Memburu Iblis Jilid 19

Sonny Ogawa

Memburu Iblis Jilid 19 karya Sriwidjono - "Huh, peduli amat! Bukankah kita telah mendapat mandat dari Mo-cu untuk menyelesaikan masalah ini? Jangankan cuma dia, biarpun Tung-hai-tiauw sendiri yang datang, kita tak perlu cemas." suhengnya menambahkan.

Sementara itu Liu Yang Kun dan Toan Hoa yang telah berada di kamarnya, segera mengambil tempat duduk dan meneruskan pembicaraan mereka. Karena kamar mereka hanya berbataskan dinding dengan ruang restoran itu, maka pembicaraan kedua orang tamu itu, lapat-lapat masih bisa didengar oleh telinga Liu Yang Kun yang tajam.

"Ah.... ingat aku sekarang! Ya.... mereka Bhong Kim Cu dan Leng Siauw! Tokoh-tokoh puncak dari Aliran Mo-kauw yang terkenal itu!" pemuda itu berdesah di dalam hatinya.

"Kalau begitu permusuhan mereka dengan Tung-hai- tiauw memang sudah mencapai puncaknya."

"'Hei, Tuan Chin! Mengapa kau termenung saja? Apakah kau sedang memikirkan Bu-tek Sin-tong itu?" tiba-tiba Toan Hoa berseru sehingga mengagetkan Liu Yang Kun.

"Eh-oh..... bu-bukan! Aku sedang memikirkan tokoh yang satunya lagi. Apakah Giok-bin Tok-ong itu seorang kakek berwajah tampan dan memiliki senjata peledak yang sangat mengerikan?" dengan gugup Liu Yang Kun mencoba menjawab.

Tak terduga Toan Hoa kembali bersorak dan menggebrak meja. "Betul! Betul! Oh.... apakah Tuan Chin sudah pernah berkenalan dengan dia?"

Liu Yang Kun menghela napas panjang. "Aku belum sempat berkenalan dengannya, sebab begitu berjumpa kami lalu saling mengukur kepandaian."

"Apa.....? Tuan Chin sudah pernah berkelahi dengan tokoh sakti itu? Bagaimana kesudahannya?" Toan Hoa mendesak penuh perhatian.

"Sudahlah, hampir saja aku mati berkeping-keping oleh senjata peledaknya itu." Liu Yang Kun menjawab pendek.

"Oooooh!"

"Tapi untung aku masih bisa menghindarinya. Tapi.... eh, apakah hanya mereka itu saja yang sudah muncul?" mendadak Liu Yang Kun mengalihkan pembicaraan mereka.

"Ya.... ya.... memang baru mereka itu yang muncul. Tapi sebenarnya masih ada satu lagi yang kemunculannya sempat menggemparkan dunia persilatan. Namun karena namanya tidak tercantum di dalam daftar urutan itu, maka aku tidak menyebutkannya. Padahal begitu muncul, dunia persilatan menjadi gempar. Namanya dikenal dimana-mana. Kepandaiannya pun sangat luar biasa pula. Hanya sayang, perbuatannya buruk dan tidak terpuji, sehingga orang menjadi takut dan benci terhadapnya."

Liu Yang Kun menjadi berdebar-debar mendengar cerita itu. "Siapakah tokoh yang kaumaksudkan itu?" tanyanya dengan suara gemetar.

"Si Penyebar Maut!" Toan Hoa menjawab mantap. Lalu, "Sayang kemunculannya tidak lama. Mungkin cuma setahun ia merajalela mengumbar kekejaman dan keganasannya. Setelah itu ia menghilang dan tidak terdengar lagi kabar beritanya. Namun sebelum menghilang ia sempat menggegerkan dunia persilatan, yaitu membunuh ribuan pendekar di luar Kota Soh-ciu!"

"Bohong!" tiba-tiba Liu Yang Kun berseru. Wajahnya merah. Matanya melotot. Tapi sesaat kemudian pemuda itu menjadi sadar pula, bahwa tak seharusnya ia marah atau tersinggung mendengar cerita tersebut.

"Eh-uh.... Tuan Chin? Ke-kenapa.....? Apa..... apa salahku?" Toan Hoa yang masih dalam keadaan mabuk itu menjadi ketakutan.

Liu Yang Kun cepat merangkul pundak Toan Hoa. "Tidak apa-apa. Aku cuma bergurau kepadamu. Aku hanya ingin mengetahui, apakah kau masih mabuk atau tidak?" katanya sambil tertawa.

"Ah, Tuan Chin sungguh membuat hatiku berdebar-debar saja. Siapa bilang aku mabuk, huh?"

"Nah, kalau begitu..... lanjutkan ceritamu tadi!"

"Sudah selesai. Apa yang mesti kuceritakan lagi?" Toan Hoa mengangkat pundaknya sambil tersenyum.

"Hei! Masakan cuma sekian saja ceritanya? Apakah tidak ada cerita tentang tokoh yang lain? Tentang Hong-gi-hiap Souw Thian Hai atau Lo-sin-ong misalnya?" Liu Yang Kun mencoba mengorek lagi cerita dari mulut Toan Hoa. Siapa tahu ada cerita tentang orang lihai yang ditakutinya sejak ia pergi meninggalkan dusun Kee-cung itu?

Novel silat Mandarin karya Sriwidjono

Toan Hoa mengerutkan dahinya seperti seorang yang sedang berpikir keras. Namun perlahan-lahan kepalanya menggeleng. "Tidak ada lagi. Kalau pun ada, itu hanya merupakan peristiwa-peristiwa kecil yang tak patut dijadikan cerita. Misalnya tentang permusuhan yang tiba-tiba terjadi antara Aliran Mo-kauw dengan Tung-hai-tiauw dari Lautan Timur. Atau peristiwa yang agak menghebohkan di Danau Tai-Ouw sebulan yang lalu. Yaitu kerusuhan kecil yang terjadi di atas danau itu, akibat memperebutkan mustika dan darah naga Ceng-liong-ong."

Sekali lagi hati Liu Yang Kun menjadi berdebar-debar. Tiba-tiba ia teringat pada ular raksasa yang dibunuhnya dulu, yang menurut Tui Lan bernama Ceng-liong-ong itu.

"Memperebutkan.... mustika dan darah Ceng-liong-ong?" pemuda itu mencoba menegaskan.

"Ya. Mustika dan darah Ceng-liong-ong, yang khabarnya bisa membuat orang menjadi sakti luar biasa."

Liu Yang Kun mengangguk-anggukkan kepalanya dan pura-pura merasa heran mendengar cerita tersebut. "Begitukah? Hmm.... lalu ada cerita tentang apa lagi?" tanyanya pula setelah Toan Hoa mengakhiri ceritanya.

"Wah, Tuan Chin ini mendesak terus .....?" pengurus Kim-liong Piauw-kok itu menggerutu. Tapi sekejap kemudian ia berdesah. "Eh, ya..... nanti dulu! Masih ada khabar baru....."

"Apakah itu? Coba ceritakan!" Liu Yang Kun berbisik pula dengan gairah.

"Anu..... Si Iblis Penyebar Maut telah muncul kembali didunia kang-ouw!"

"Apaaa.....?" Liu Yang Kun tersentak kaget. Matanya menatap Toan Hoa dengan curiga. Namun seperti juga tadi, pemuda itu segera sadar pula akan dirinya. "Aaaah....." desahnya panjang.

Untuk sesaat Toan Hoa juga menjadi ragu-ragu melihat perubahan wajah Liu Yang Kun. Tapi begitu melihat senyum telah mengembang kembali di bibir pemuda itu, maka ia menjadi tenang pula.

"B-benar, Tuan Chin. Aku memang mendengar berita tentang munculnya iblis itu lagi. Sudah lebih dari sebulan ini Si Iblis Penyebar Maut dikhabarkan orang berkeliaran mencari mangsa di daerah pantai timur sana. Kata orang sudah banyak korban yang jatuh di tangannya....!" Toan Hoa meneruskan ceritanya.

"Begitukah?" Liu Yang Kun menggeram tanpa terasa. Bagaimana pun juga berita tentang munculnya Si Iblis Penyebar Maut itu benar-benar membuatnya penasaran.

Groubyaaaag! Tiba-tiba terdengar suara gaduh di ruang restoran! Liu Yang Kun cepat bangkit berdiri, kemudian bergegas melangkah keluar dari kamar itu.

"Saudara Toan! Kau tunggulah sebentar! Aku akan melihat ke depan." pesannya kepada Toan Hoa.

"Alaaa......! Paling-paling cuma orang mabuk, hehehe…." Toan Hoa meringis, lalu merebahkan dirinya di atas meja.

Liu Yang Kun meloncat ke jendela yang menembus ke ruang restoran. Pelan pelan disingkapnya kain menutup jendela itu. Dan matanya segera menyaksikan seorang lelaki kurus kerempeng dan seorang pemuda halus tampan, sedang berdiri berhadapan dengan kedua tokoh Aliran Mo-kauw itu.

Dan meskipun sudah bertahun-tahun tidak bertemu, tapi Liu Yang Kun masih tetap ingat kepada lelaki kerempeng itu, karena orang itu tidak lain adalah Tung-hai Nung-jin, pembantu Tung-hai-tiauw.

"Dan pemuda yang datang bersamanya itu tentulah Tiauw Kiat Su, kakak dari Tiauw Li Ing. Aaah....." tiba-tiba Liu Yang Kun teringat akan gadis binal yang pernah mengejar-ngejar dirinya dulu. Liu Yang Kun lalu mengedarkan pandangannya. Dilihatnya ruangan yang luas itu telah kosong. Semua tamu telah pergi. Yang ada tinggal beberapa orang pelayan yang berdiri gemetar di pojok ruangan.

"Oh, kami berdua benar-benar tak menyangka bisa berjumpa dengan Tung-hai Nung-jin di tempat ini. Hmm, apa khabar Nung-jin?" Bhong Kim Cu menyapa ramah. Tapi Tung-hai Nung-jin membalasnya dengan tertawa dingin. Begitu pula dengan Tiauw Kiat Su. Pemuda tampan itu malah mendengus dengan acuh tak acuh.

"Hmm, aku pun juga tak mengira akan bertemu dengan Bhong Lo-heng dan Leng Lo-heng di sini. Tadi siang aku hanya memperoleh laporan dari anak buahku, bahwa dua orang tokoh Aliran Mo-kauw sedang berada di kota ini. Uh, ternyata orang itu adalah Lo-heng berdua."

"Wah... kalau demikian pertemuan ini benar-benar sangat kebetulan sekali, bukan?" Leng Siauw menyela dengan wajah berseri-seri." Dan kemungkinan besar kita semua bisa menyingkat waktu di sini, sehingga aku dan suhengku tak perlu jauh-jauh datang ke istana Tung-hai-tiauw nanti."

Tung-hai Nung-jin mengerutkan alisnya. "Hmm.... jadi Ji-wi Lo-heng ini bermaksud mengunjungi kami di Hai-ong-hu (Istana Raja Laut)? Bolehkah aku mengetahui maksud kunjungan Ji-wi Lo-heng itu?" orang tua itu bertanya.

Bhong Kim Cu saling pandang dengan su-tenya, kemudian mereka tertawa lepas. "Ah.... kita toh bukan anak-anak lagi, Nung-jin. Apa perlunya kita orang tua ini saling berpura-pura lagi? Kita toh sudah sama-sama maklum, apa yang terjadi di antara kita akhir-akhir ini. Mengapa kau masih bertanya pula....?"

"Bagus! Kalau begitu..... apa mau mu, heh?" tiba-tiba Tung-hai Nung-jin membentak.

Bhong Kim Cu dan Leng Siauw terperangah. Namun sebagai tokoh aliran terkemuka, mereka segera bisa menguasai diri. Sambil tersenyum kecut Leng Siauw melangkah ke depan mewakili su-hengnya.

"Sabar, Nung-jin. Kita tak perlu bersitegang leher dalam hal ini. Kalau toh harus marah, sebenarnya bukan kau yang harus marah kepada kami. Sebaliknya kami berdualah yang seharusnya marah kepadamu!"

"Heh-he-heh-he! Jangan memutar-balikkan kenyataan! Mengapa kaukatakan bahwa aku tidak boleh marah kepadamu Dan sebaliknya justru kalian lah yang seharusnya menjadi marah kepadaku?"

Leng Siauw menarik napas panjang. "Nung-jin! Sudah kukatakan bahwa kita tak perlu berpura-pura lagi. Oleh karena itu kau tak perlu menutup-nutupi pula semua sepak-terjang kalian selama ini. Nah, sekarang katakan kepada kami! Apa maksud kalian memusuhi dan menangkapi orang-orang Mokauw kami akhir-akhir ini? Bukankah kami tak pernah memusuhi atau bermusuhan dengan pihakmu?"

Tak terduga Tung-hai Nung-jin tertawa tergelak-gelak mendengar ucapan Leng Siauw itu. Sambil menoleh ke arah Tiauw Kiat Su, bajak laut tua itu mengejek. "Kau dengar ucapannya itu, Kiat Su? Dia bilang tak pernah memusuhi kita selama ini, heh-he-heh-he! Sungguh tidak tahu malu....."

Tiauw Kiat Su tertawa dingin. ―Mengapa Paman mesti heran? Bukankah sudah biasa kalau orang itu tidak bisa melihat kesalahannya sendiri? Justru keburukan atau kesalahan orang lain-lah yang akan nampak jelas di matanya." pemuda itu menyahut pendek, namun sangat pedas serta menyakitkan.

Bhong Kim Cu menggeram, tapi ia tetap berusaha untuk mengendalikan dirinya. Sedangkan Leng Siauw yang tak kurang tersinggungnya mendengar ucapan Tiauw Kiat Su itu hanya melirik saja kepada pemuda tampan itu. Diam-diam tokoh dari Aliran Mo-kauw itu menilai pemuda yang sombong dan bermulut tajam tersebut.

"Tampaknya pemuda ini lebih berbahaya dan lebih buruk perangainya dari pada Tung-hai Nung-jin. Aku harus berhati-hati kepada pemuda ini." dengusnya di dalam hati.

"Tung-hai Nung-jin! Tampaknya kau tidak mau mengakui kesalahanmu, dan justru melemparkan kesalahan itu kepada kami. Hmmmh....! Cobalah kau jelaskan kepada kami sikapmu itu! Jangan berteka-teki lagi!" Bhong Kim Cu akhirnya berseru penasaran.

"Benar. Pihak kalian-lah yang secara mendadak mengobarkan permusuhan kepada kami. Tanpa sebab dan alasan, kalian telah menangkapi orang-orang Mo kauw kami." Leng Siauw menambahkan.

Tiba-tiba air-muka Tung-hai Nung-jin menjadi gelap. Dahinya berkerut, sehingga kedua alis-matanya hampir bertemu satu sama lain. "Hmmh! Benarkah kalian tidak tahu kesalahan yang telah kalian lakukan terhadap kami?" hardiknya keras.

"Kurang ajar! Apakah kami berdua harus bersumpah di hadapanmu?" Bhong Kim Cu berteriak marah pula.

Tung-hai Nung-jin menatap tajam. "Baiklah. Kalau begitu... ikutilah aku! Akan kubawa kalian ke hadapan Hai ong (Raja Laut) untuk memperoleh penjelasan." katanya kaku.

Bhong Kim Cu dan Leng Siauw terperanjat. "Kau maksudkan.... kami akan kau bawa ke depan Tung-haitiauw di Lautan Timur sana?" mereka berdesah hampir berbareng.

Sekali lagi Tung-hai Nung-jin tertawa dingin. "Tidak perlu ke Hai-ong hu. Hai-ong kami sedang berada di kota ini pula sekarang." kata bajak laut tua itu tidak kalah kerasnya.

"Begitukah.....? Hmmh... bagus! Kami memang ingin sekali bertemu muka dengan Tung-hai-tiauw." Bhong Kim Cu berseru gembira.

"Aaah..... mengapa Paman harus repot-repot membawa mereka ke hadapan ayah? Mengapa mereka tidak kita bereskan saja di tempat ini?" tiba-tiba Tiauw Kiat Su mencela Tung-hai Nung-jin.

"Jangan bertindak sembrono! Mereka adalah tokoh-tokoh utama di dalam Aliran Mo-kauw. Kita tidak boleh gegabah menghadapi mereka, agar tujuan atau harapan kita tidak menjadi berantakan karenanya. Biarlah ayahmu yang mengurusnya." Tung-hai Nung-jin menjelaskan.

"Hmmh.....!" Tiauw Kiat Su mendengus kurang senang, kemudian mendahului melangkah keluar dari restoran.

Tung-hai Nung-jin mengawasi punggung Tiauw Kiat Su dengan perasaan kurang senang pula. Semenjak menjadi murid Giok-bin Tok-ong, sikap pemuda itu terasa semakin sombong dan kurang ajar. Tapi apa boleh buat, kepandaian pemuda itu memang lebih tinggi dari padanya sekarang.

"Nah, marilah kalian ikuti aku!" akhirnya bajak laut tua itu berseru pula dengan suara kaku kepada Bhong Kim Cu dan Leng Siauw.

Kedua orang tokoh Aliran Mo-kauw itu tak menjawab. Dengan tenang mereka melangkah keluar mengikuti Tung-hai Nung-jin. Mereka adalah tokoh-tokoh tingkat dua setelah Mocu atau Ketua mereka, Pek-i Liong-ong, maka tidak mengherankan bila nyali mereka amat besar dan sangat percaya kepada kemampuan mereka sendiri.

Liu Yang Kun pun cepat keluar dari persembunyiannya. Pemuda itu bergegas pula mengikuti mereka. Ia ingin tahu apa yang akan terjadi dengan para tokoh Aliran Mo-kauw itu nanti.

"Tolong katakan kepada Tuan Toan Hoa bahwa aku sedang keluar sebentar!" katanya kepada para pelayan yang merasa lega kembali setelah empat orang itu meninggalkan restoran mereka.

"Tu-tuan hendak pergi kemana...?" salah seorang pelayan itu bertanya dengan kening berkerut.

Liu Yang Kun tidak menjawab. Ia cepat menyelinap keluar dan menghilang di dalam kegelapan. Dengan Bu-eng Hweteng-nya ia melejit dan menyelinap di antara rumah-rumah penduduk, mengikuti ke mana saja rombongan Tung-hai Nung-jin itu pergi. Di tempat-tempat yang ramai pemuda itu berjalan biasa, membaurkan diri dengan para pejalan kaki yang lain. Tapi bila berada di tempat sepi, pemuda itu terpaksa berloncatan di atas genting-genting rumah atau pepohonan yang rimbun, agar supaya jejaknya tidak ketahuan oleh mereka.

Untunglah, di tempat-tempat yang sepi biasanya juga gelap atau kurang penerangannya, sehingga langkah pemuda itu tidak gampang terlihat oleh siapapun juga. Apa lagi gin-kang pemuda itu memang telah mencapai kesempurnaannya. Gerakannya yang cepat dan gesit itu benar-benar sulit diikuti oleh pandangan mata.

Tung-hai Nung-jin membawa tamunya ke pinggir kota sebelah timur. Di sebuah jalan yang gelap dan sepi, mereka berbelok ke halaman yang amat luas dan banyak pepohonannya. Mereka masuk ke dalam rumah besar yang terang benderang penerangannya. Beberapa orang penjaga tampak keluar dari dalam kegelapan dan menyambut mereka.

Liu Yang Kun cepat berlindung di tempat yang gelap. "Hmm..... inilah tampaknya gedung dimana Tung-hai-tiauw tinggal di kota ini. Sungguh angker dan lepas dari perhatian sekelilingnya. Tapi aku harus berhati-hati memasukinya. Kulihat banyak sekali penjaga yang berkeliaran di dalam kegelapan." pemuda itu membatin.

Liu Yang Kun lalu mengawasi pepohonan tinggi dan rimbun yang banyak terdapat di halaman itu. "Kukira ada juga penjaga yang bertengger di atas dahan-dahan sana. Namun didalam rimbunnya dedaunan itu tampaknya aku juga akan lebih aman dari pada harus berjalan di atas tanah." pemuda itu berpikir pula.

Demikianlah setelah memutuskan diri untuk mendekati gedung tersebut dengan cara berloncatan di atas pohon, maka Liu Yang Kun lalu mempersiapkan seluruh kemampuannya. Dikerahkannya seluruh tenaga sakti Liong-cu-i-kangnya, agar supaya sewaktu-waktu bisa ia pergunakan dengan sesuka hatinya. Pemuda itu lalu melesat ke atas pohon yang terdekat.

Beberapa orang penjaga yang ada di dalam halaman itu hanya melihat berkelebatnya sebuah bayangan, yang mereka sangka adalah seekor kelelawar atau burung malam saja.

"Gila! Tung-hai-tiauw benar-benar menjaga rumah ini seperti menjaga sangkar emas saja. Dimana-mana ada penjaga." sambil beringsut dan berlompatan dari dahan ke dahan, Liu Yang Kun menghitung jumlah penjaga yang dilewatinya.

Tiba-tiba pemuda itu melihat sesosok bayangan melesat di atas pohon di depannya. Bayangan hitam itu hanya tampak sekilas saja, karena untuk selanjutnya lalu hilang ditelan kegelapan malam atau rimbunnya daun yang menutupi pohon tersebut. Liu Yang Kun menjadi tegang dan berdebar-debar. Apalagi ketika lapat-lapat terdengar suara keluhan di dalam rimbunnya daun itu.

"Siapa itu? Kaukah, Houw Ti?" seorang penjaga yang berada di bawah pohon itu menyapa dan menengadahkan kepalanya.

"Benar! Ssst..... jangan berisik!" terdengar suara jawaban dari atas pohon.

"Bangsat! Kaulah yang berisik! Kalau kau tidak berisik lebih dulu, masakan aku mengerti tempatmu, huh?" penjaga yang ada di bawah itu mengumpat.

Orang yang ada di atas pohon itu tidak melayani umpatan itu. Liu Yang Kun melihat orang itu telah melesat pergi meninggalkan pohon tersebut. Gerakannya demikian ringannya sehingga ranting-ranting pohon itu tidak tergoncang ataupun bergoyang karenanya.

"Agaknya memang betul apa yang dikatakan oleh Toan Hoa tadi. Banyak jago-jago silat sakti, yang semula tak pernah terdengar namanya, kini tampak terjun berkeliaran di dunia kang-ouw, hanya karena munculnya Buku Rahasia. Baru sehari aku keluar dari gua di bawah tanah itu, ternyata sudah ada tiga orang berkepandaian tinggi yang kutemui. Kam Lojin, orang yang kuikuti siang tadi, dan orang ini! Dan ketiga-tiganya memiliki gin-kang yang hebat sekali! Hmm! Coba aku tidak memiliki Bu-eng Hwe-teng, niscaya aku tak bisa berkutik di depan mereka."

Perlahan-lahan Liu Yang Kun mengintip penjaga yang berdiri di bawah pohon itu. Ketika penjaga itu lengah, Liu Yang Kun segera melesat ke pohon tersebut. Dan pohon itu juga tidak bergoyang sedikitpun, seolah-olah loncatan pemuda itu cuma loncatan seekor belalang kecil yang tak berbobot sama sekali.

"Ah.....!" tiba-tiba Liu Yang Kun berdesah perlahan ketika ia mendapatkan sesosok tubuh manusia terikat di sebuah dahan.

Orang itu tidak mati, tapi lumpuh karena ditotok urat darahnya. Dan Liu Yang Kun semakin menjadi kaget begitu menyaksikan pakaian seragam orang itu. Karena pakaian itu sama warna dan potongannya dengan pakaian yang dikenakan di bawah pohon itu.

"Oh, kalau demikian, orang inilah yang dipanggil dengan nama Houw Ti tadi. Jadi bayangan yang kulihat itu bukanlah teman atau anak buah Tung hai-tiauw. Tampaknya orang itu juga orang luar yang sedang menyelidiki tempat ini, seperti aku pula." pemuda itu membatin.

Begitulah, semakin mendekati gedung itu, Liu Yang Kun semakin sering mendapatkan penjaga yang telah dilumpuhkan atau ditotok urat darahnya. Mereka disembunyikan di tempat-tempat yang terlindung agar tidak diketahui oleh penjaga yang lain. Meskipun demikian ketika telah mencapai tembok gudang itu, ternyata Liu Yang Kun telah kehilangan jejak orang yang sangat lihai tersebut.

"Kemanakah larinya orang itu? Apakah dia telah masuk ke dalam gedung itu?"

Dengan sangat berhati-hati Liu Yang Kun lalu merayap ke atas genting. Perlahan-lahan ia menuju ke atas pendapa, dimana ia perkirakan Tung-hai-tiauw sedang menjumpai kedua tokoh Aliran Mo-kauw itu. Dibukanya sebuah genting untuk mengintip ke dalam.

"Hai Ong dataaaaang....!" tiba-tiba terdengar teriakan seorang penjaga.

Liu Yang Kun cepat melongok ke bawah. Matanya melihat seorang lelaki tinggi besar, berjenggot lebat, sedang memasuki pendapa itu dari pintu tengah. Beberapa orang pengawal tampak berbaris di kanan-kirinya. Gayanya dan caranya berjalan kelihatan angkuh dan berwibawa seperti seorang raja.

"Ah.... itulah agaknya yang bernama Tung-hai-tiauw, Raja Bajak Laut yang tersohor itu. Tampaknya ia juga baru saja keluar menemui tamunya itu. Bukan main....!" Liu Yang Kun berdesah sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ia benar-benar seperti seorang raja. Pakaiannya gemerlapan. Pengawalnya banyak serta garang-garang. Dan pasukan atau anak-buahnya pun tak terhitung pula jumlahnya. Hmmm....."

Tung-hai-tiauw lantas duduk di kursinya. Sama sekali ia tak menyapa atau menengok ke arah tamunya, padahal kedua orang tokoh Aliran Mo-kauw itu juga ikut berdiri pula di samping Tung hai Nung-jin untuk menghormati kedatangannya. Meskipun demikian kedua tokoh Aliran Mokauw itu tak menjadi tersinggung karenanya. Wajah kedua orang itu tetap tenang.

"Hai-ong....! Inilah tokoh Mo-kauw yang kulaporkan itu. Mereka adalah tangan kanan Pek-i Liong-ong. Nama mereka adalah Bhong Kim Cu dan Leng Siauw. Keduanya menduduki jabatan sebagai Siang-kauw Tai-shih (Sepasang Duta Agung) di dalam Aliran Mo-kauw. Mereka berdua kubawa menghadap kemari agar Hai-ong dapat menjelaskan persoalannya. Sebab mereka ini merasa tidak bersalah. Bahkan mereka merasa penasaran karena kita telah menangkapi kawan kawannya selama ini." Tung-hai Nung-jin membuka laporannya.

"Benar, Hai-ong...." tiba-tiba Bhong Kim Cu berdiri dan memberi hormat. Matanya memandang tajam dan sedikitpun tidak kehilangan ketenangannya. Sikapnya benar-benar menunjukkan bahwa ia tidak terpengaruh oleh kegarangan ataupun keangkeran lawannya.

"Apanya yang benar, heh?" raja bajak laut yang kasar itu tiba-tiba membentak dengan suara menggeledek.

Sesuai dengan jabatannya sebagai pemimpin para perompak, ternyata Tung-hai-tiauw itu juga berwatak kasar dan kurang mengindahkan sopan-santun. Meskipun Bhong Kim Cu dan Leng Siauw telah bersikap hormat kepadanya, namun ternyata Tung-hai-tiauw tidak mengacuhkannya.

Padahal kedua tokoh Aliran Mo-kauw tersebut mempunyai kedudukan tinggi dan amat dihormati di dunia persilatan. Untunglah sebagai seorang tokoh agama, apalagi umur mereka juga sudah tidak muda pula, mereka berdua bisa menguasai diri. Mereka tidak merasa tersinggung, karena mereka juga menyadari dengan siapa mereka berhadapan.

"Seperti yang telah dikatakan oleh Tung-hai Nung-jin tadi, kami orang orang Mo-kauw benar-benar merasa penasaran. Orang-orang kami yang selama ini merasa tidak pernah bermusuhan atau berselisih dengan Hai-ong, tiba-tiba diserang dan ditangkapi. Beberapa orang utusan kami, yang bermaksud meminta keterangan kepada Hai-ong, juga tidak pernah kembali. Sehingga dengan berat hati kami berdua terpaksa meminta kepada Mo-cu, untuk berangkat sendiri ke hadapan Hai-ong.

"Dan sungguh beruntung sekali kami dapat menghadap Hai-ong di sini, sehingga kami berdua tak perlu jauh-jauh pergi ke Hai-ong-hu. Nah, sekarang kami mohon penjelasan kepada Hai-ong. Apa sebabnya Hai-ong memusuhi kami dan menangkapi anggota kami? Dan dimanakah kawan-kawan kami itu sekarang?" dengan tenang dan jelas Bhong Kim Cu berkata kepada Tung-hai-tiauw.

Braaaak! Tung-hai-tiauw menggebrak meja. "Hah! Kalian benar-benar tidak tahu atau cuma berpura-pura saja?" hardiknya seraya berdiri.

Leng Siauw cepat bangkit pula dari kursinya. Sambil berdiri di samping su-hengnya tokoh ketiga dari Aliran Mo-kauw itu menggeram: "Kami bukan anak kecil lagi. Apa perlunya bagi kami bergurau dalam suasana yang gawat seperti ini?"

"Bagus! Nah, sekarang jawablah! Kalian sudah pernah melihat dan mendengar tentang baju-mustika Kim-pauw-san atau belum?"

Seketika Bhong Kim Cu dan Leng Siauw saling pandang dengan wajah kaget. Tentu saja mereka tahu sekali tentang baju mustika yang tak mempan senjata itu, karena secara kebetulan memang mereka berdualah yang dulu mendapatkannya. Hanya saja benda mustika tersebut kini telah menjadi barang pusaka Aliran Mo-kauw, dan yang berhak memakai hanyalah Mo-cu seorang.

Dahulu benda mustika itu mereka dapatkan dari seorang tokoh hitam, bernama Song-bun-kwi (Si Mayat Berkabung) Kwa Sun Tek. Penjahat itu mereka bunuh, dan baju mustika yang dikenakan oleh penjahat tersebut mereka ambil. Mereka berdua merasa bahwa tak seorangpun yang mengetahui perbuatan mereka itu.

Tapi, mengapa sekarang secara tiba tiba Tung-hai-tiauw menanyakan tentang hal itu? Apakah raja Bajak Laut itu hendak merebut dan memiliki benda pusaka itu? Beberapa saat lamanya Bhong Kim Cu dan Leng Siauw tak bisa menjawab pertanyaan Tung-hai-tiauw tersebut.

"Hei! Mengapa kalian tidak menjawab? Kalian pernah melihat atau belum?"

''Ayo! Lekaslah Ji-wi menjawabnya! Mengapa diam saja?"

Tung-hai Nung-jin ikut mendesak pula. Bhong Kim Cu menoleh sekilas. Sebenarnya ia sudah tak bisa membendung kemarahannya. Belum pernah ia selama ini dibentak-bentak orang sedemikian rupa. Tapi karena ia sedang mengemban perintah ketuanya, maka terpaksa ia menahan hati sebisa-bisanya.

"Hmm..... mengapa Hai-ong menanyakan hal itu kepada kami? Apakah Hai ong menginginkan benda itu dan bermaksud untuk memilikinya?" dengan berani Leng Siauw mendahului su-hengnya.

"Bangsat benda itu milikku! Bukan milik siapa-siapa! Karena keteledoran puteriku benda itu hilang dicuri orang! Tahu....?" Tung-hai-tiauw mengumpat kasar.

Melihat kemarahan pemimpinnya, otomatis para pengawal dan anggota bajak laut yang berada di ruangan itu segera bersiap-siaga. Mereka berjaga-jaga kalau tamu-tamu itu menjadi marah pula dan menyerang pemimpin mereka. Sebaliknya Bhong Kim Cu dan Leng Siauw juga sudah habis kesabarannya.

"Jangan asal bicara! Benda pusaka itu adalah milik kami. Kami berdualah yang memperolehnya dari tangan Song-bunkwi Kwa Sun Tek!" Bhong Kim Cu berteriak pula tanpa terasa.

"Bagus! Kau tahu dari mana orang itu mendapatkannya? Uh, ia mencuri pusaka itu dari tangan puteriku! Sudah bertahun-tahun aku menyelidikinya. Dan ternyata benda itu kemudian jatuh ketangan kalian. Itulah sebabnya kami memusuhi Aliran Mo-kauw. Kami menangkapi orangmu sebanyak-banyaknya, dengan harapan pada suatu saat kelak bisa kami tukarkan dengan baju Kim-pauw-san itu." Tung-haitiauw tertawa lega mendengar pengakuan Bhong Kim Cu itu.

Bhong Kim Cu agak menyesal juga telah kelepasan omong. Namun ia juga tak percaya pula pada omongan raja bajak laut itu. "Hmm.... siapa percaya, pada ucapanmu? Kau hanya mencari alasan saja untuk memiliki benda pusaka itu!" katanya keras.

"Apa? Kau katakan bahwa kami cuma mencari-cari alasan saja! Bangsat setan laut keparat.....! Dengarlah! Apakah kalian masih ingat pertempuran hebat di atas bukit kecil di dekat kota Poh-yang enam tahun yang lalu? Pertempuran hebat yang terjadi antara pasukan pemberontak dibawah pimpinan Song-bun-kwi itu dengan pasukanku yang kukirim dari lautan Timur? Kau tahu apa sebabnya pertempuran itu berlangsung?"

Tung-hai-tiauw menghentikan kata-katanya sebentar. Matanya melotot, seakan-akan ingin melihat reaksi tamu-tamunya. Lalu sambung lagi. "Pertempuran tersebut herlangsung karena Song-bun-kwi telah berani menculik puteriku. Tiauw Li Ing. Bangsat itu menculik puteriku agar supaya bisa memiliki baju Kim-pouw-san yang dipakai oleh puteriku. Sayang dalam pertempuran besar itu Song-bun-kwi dapat melarikan diri, sehingga baju itupun ikut lenyap bersamanya. Nah itulah kisahnya. Dan dalam pelariannya itu mungkin Song-bun kwi lalu bertemu dengan kalian. Dan mungkin juga kalian telah membunuhnya."

Tapi Bhong Kim Cu dan Leng Siauw tetap tak mempercayai cerita Tung-hai-tiauw itu. "Kau boleh bercerita tentang berbagai macam kisah tentang baju pusaka itu, tapi kami tetap tidak mempercayainya." kata Leng Siauw dingin.

"Kurang ajaaaar.....!" Tung-hai-tiauw mengumpat dan menggebrak meja dengan keras sekali. Matanya berubah menjadi merah saking marahnya. "Jadi kalian ingin agar permusuhan kita ini diteruskan? Kalian benar-benar tidak memikirkan anggota kalian yang berada di penjara kami? Heh?"

Tiba-tiba saja pendapa yang luas itu telah dikepung oleh anak buah Tung hai-tiauw. Mereka telah siap sedia dengan berbagai macam senjata untuk mengeroyok tokoh-tokoh Aliran Mo-kauw itu.

"Ah, kenapa ayah sekarang menjadi sabar amat? Mengapa sejak tadi cuma berbicara saja? Kenapa mereka tidak segera dibunuh dan diambil baju Kim pouw sannya?" mendadak terdengar suara Tiauw Kiat Su dari ruang dalam.

"Benar bunuh saja mereka. Habis perkara." terdengar pula suara Tiauw Li Ing dibelakang pemuda itu.

Sekejap kemudian seorang pemuda dan seorang gadis telah berada dipendapa itu pula. Keduanya memandang Bhong Kim Cu dan Leng Siauw dengan pandang mata dingin.

"Li Ing......?" Liu Yang Kun menyebut nama gadis itu dengan bibir gemetar. "Ternyata dia semakin cantik dan matang sekarang. Tapi sifat buruknya yang suka membunuh orang itu tampaknya tidak mau hilang juga...."

Liu Yang Kun yang mengintip dari atas genting itu lalu terkenang kembali akan semua pengalamannya dengan Tiauw Li Ing beberapa tahun yang lalu. (Baca: Pendekar Penyebar Maut). Sering kali ia bertengkar dan bercekcok dengan gadis itu, hanya karena ulah Tiauw Li Ing yang kejam, sombong dan ganas terhadap sesama manusia.

Ternyata keadaan di dalam pendapa semakin bertambah panas dengan kedatangan putera-puteri Tung-hai-tiauw itu. Bhong Kim Cu dan Leng Siauw yang merasa terdesak dan tak mungkin bisa mengelakkan diri dari bentrokan dengan lawannya itu, segera mempersiapkan diri mereka.

Namun sebelum pertempuran itu dimulai, Bhong Kim Cu masih sempat berkata kepada Tung hai-Tiauw. "Hai-ong! Kau jangan terburu-buru menjadi marah dulu! Biarkanlah kami pergi dari tempat ini untuk melaporkan pembicaraan kita tadi kepada Mo-cu kami. Biarlah Mo-cu kami yang menyelesaikannya nanti."

"Heh-heh..... enak benar. Ikan yang sudah masuk perangkap tak mungkin kami lepaskan lagi. Ayo....! Katakan terus terang! Siapa di antara kalian berdua yang membawa Kim-pouw san? Mungkin kami akan memberi ampun apabila kalian mau menyerahkannya tanpa perlawanan." Tung-haitiauw tertawa dingin.

"Ah, engkau telah salah duga. Tak seorangpun dari kami berdua yang mengenakan baju mustika itu. Baju itu kami simpan di gedung pusaka kami." Leng Siauw menjawab.

"Begitukah? Bagus! Kalau begitu kami tidak akan membunuh kalian sekarang. Kalian hanya akan kami tangkap untuk melengkapi jumlah tawanan kami. Biarlah ketua kalian itu yang membuat perhitungan dengan kami nanti. Apakah dia merelakan kalian semua, atau dia mau menukarkannya dengan Kim-pouw-san itu?"

Bhong Kim Cu dan Leng Siauw menggeretakkan giginya. "Kau licik!" Leng Siauw menggeram. Seluruh urat-uratnya telah menegang, siap untuk menerjang.

Tapi sebelum kedua orang tokoh Aliran Mo-kauw itu mendahului menyerang Tung-hai-tiauw, tiba-tiba seorang penjaga tampak menerobos masuk dengan tergesa-gesa. Wajahnya pucat dan nafasnya tersengal-sengal. Dan ia segera menjatuhkan dirinya di depan pemimpinnya itu.

"Lapor ke-ke-kepada Hai-ong! Pa.... para penjaga kita.... ba-ba-nyak yang lumpuh dan tak berdaya, karena.... karena ditotok 'hantu‘ pada jalan darahnya! Mereka.... mereka....?" laporannya dengan gugup dan takut.

"Tutup mulutmu! Mana ada hantu disini? Ha? Goblog! Bicaralah yang benar!" hardik Tung-hai-tiauw.

"Be-be-benar, Hai-ong. Se-semuanya.... tidak.... tidak ada yang bisa melihat, siapa... siapa yang telah menotok mereka. Tahu-tahu mereka menjadi lemas dan tak sadarkan diri. A-apalagi kalau bukan han-hantu.....?" penjaga itu semakin gemetar ketakutan.

"Goblog! Tolol! Tidak ada di sini! Tahu? Dia juga seorang manusia biasa! Cuma kepandaiannya yang sangat tinggi! Huh! Hei Nung-jin... Kiat Su! Cari orang yang berani bermain-main dengan kita itu sampai ketemu! Ringkus dia dan bawa kesini!" di dalam kemarahannya itu Tung-hai-tiauw memberi perintah kepada Tung-hai Nung-jin dan puteranya untuk mencari penyelundup yang mengganggu para penjaganya itu.

"Baik, Hai-ong!"

"Baik, ayah!"

Kedua orang itu lalu melesat keluar. Gerakan mereka gesit luar biasa, terutama putera Tung-hai-tiauw yang bernama Tiauw Kiat Su itu! Dan diam-diam Bhong Kim Cu dan Leng Siauw tergetar juga hatinya.

Tiba-tiba Tiauw Li Ing maju ke depan pula. "Ayah, bolehkah aku ikut keluar mencari penyelundup itu?" katanya kepada Tung-hai-tiauw.

"Jangan! Kau di sini membantu ayah!"

Sementara itu Liu Yang Kun yang bersembunyi di atas genting menjadi kaget dan bingung juga melihat perubahan suasana yang amat mendadak itu. Sebentar lagi tentu ada penjaga atau anak-buah Tung-hai-tiauw yang datang ke tempat itu. Bahkan seluruh bangunan itu tentu akan diteliti dan diperiksa dengan cermat oleh mereka.

"Gila! Kemana aku harus menyembunyikan diri?" pemuda itu mengasah otaknya seraya merayap turun dari atas genting. Liu Yang Kun urung menurunkan kakinya di atas tanah ketika sesosok bayangan melesat lewat di bawah genting itu. Malahan bayangan itu kemudian menyusup ke dalam semak-semak pohon bunga yang tumbuh lebat di bawahnya.

"Kurang ajar......!" Liu Yang Kun memaki di dalam hatinya. Otomatis pemuda itu tidak berani bergerak. Meskipun tubuhnya terlindung di dalam kegelapan, namun bila ia bergerak, orang yang bersembunyi di bawahnya itu akan segera tahu.

Sementara itu berpuluh-puluh obor telah disulut untuk menerangi halaman yang luas tersebut. Dan anak buah Tung hai-tiauw pun telah bertebaran pula di mana-mana memenuhi halaman itu. Beberapa orang yang memiliki gin-kang yang lumayan pun telah naik ke atas genting pula untuk memeriksa atap gedung yang amat besar itu.

"Wah, tampaknya aku akan memperoleh kesulitan di tempat ini. Orang lain yang berbuat, aku yang ketangkap. Seperti maling lagi! Kurang ajar! Beginilah orang kalau suka iseng dan ingin mencampuri urusan orang lain...." Liu Yang Kun menggerutu penasaran, menyalahkan dirinya sendiri.

Di dalam pendapa, ternyata pertempuran telah berlangsung dengan hebatnya! Tung-Hai-tiauw telah memerintahkan anak buahnya untuk menangkap Bhong Kim Cu dan Leng Siauw, sehingga puluhan penjaga yang ada di dalam pendapa tersebut lalu meloncat maju, mengeroyok kedua orang tokoh Aliran Mo-kauw itu. Sedangkan bajak laut itu sendiri masih menonton di pinggir arena didampingi puterinya.

"Ah! Mengapa ayah membuang-buang waktu dengan membiarkan ikan-ikan teri ini untuk melawan kedua ekor ikan paus itu? Mengapa tidak kita sendiri yang menghadapi mereka? Percuma....!" Tiauw Li Ing bersungut-sungut menyaksikan anak buahnya yang banyak itu tak mampu menahan amukan kedua orang jago Aliran Mo-kauw itu.

"Biar saja dahulu. Aku ingin melihat ilmu silat mereka."

"Ooo..... ayah ingin melihat ciri-ciri ilmu silat mereka? Mengapa ayah tidak membiarkan saja aku melawannya? Untuk mendapatkan ikan yang besar, kita juga harus mempergunakan jala yang kuat dan besar. Untuk memancing agar mereka mau mengeluarkan ilmu mereka yang sejati, kita juga harus mampu memberi umpan yang bisa menarik perhatian mereka."

Tung-hai-tiauw menoleh dengan cepat. Dia memandang wajah puterinya lekat-lekat. Air mukanya yang tegang itu tiba-tiba mengendor, lalu tersenyum kagum. "Katamu memang benar, anakku. Ayah pun tahu akan hal itu. Tapi.... apakah engkau mampu melakukannya? Kudengar kepandaianmu melonjak hebat setelah berguru kepada orang lain. Tapi selama ini aku belum pernah menyaksikannya. Berbeda dengan kakakmu. Aku pernah menyaksikannya, bahkan telah mencobanya malah."

Tiauw Li Ing membelalakkan matanya yang lebar dan indah itu. "Ayah pernah mencobanya sendiri? Bagaimana kesudahannya?"

Tung-hai-tiauw tertawa bangga dan puas. "Aku benar-benar puas melihat kepandaiannya. Kini ayah takkan merasa khawatir akan masa depan Hai-ong-hu. Ayah telah memiliki penggantinya kelak."

"Ah! Ayah belum menjawab pertanyaanku. Bagaimana kesudahannya?"

Tung-hai-tiauw tersenyum. Ia tidak segera menjawab pertanyaan puterinya itu. Sebaliknya ia malah bertanya kembali. "Kau sendiri bagaimana? Pernahkah kau mencoba kepandaian kakakmu? Kira-kira bagaimana kepandaianmu sekarang bila dibandingkan dengan dia?"

"Aaah.... ayah!" Tiauw Li Ing cemberut manja. "Aku memang belum bisa mengalahkan Kiat ko-ko. Tapi diapun tak mudah menundukkan aku pula. Kepandaiannya cuma berada sedikit di atasku. Asal dia tak menggunakan senjata pamungkasnya."

"Senjata pamungkas?" Tung-hai-tiauw tertegun heran. "Apakah itu?"

"Pek-lek-tan (Peluru Petir)! Senjata rahasia sebesar telur penyu yang memiliki daya ledak seperti petir!"

"Ohh......?" Tung-hai-tiauw bergumam dengan kening berkerut. "Dia belum menceritakannya kepadaku."

"Kata Kiat Su ko-ko, pek-lek-tan itu adalah pemberian suhunya. Dia hanya diberi tiga buah saja, sehingga ia sangat berhati-hati dan tak mau sembarangan mempergunakannya."

"Oooh.....?" Sekali lagi Tung-hai tiauw berdesah sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Ah, mengapa ayah cuma.... ah-oh-ah-oh saja? Mengapa tidak lekas-lekas menjawab pertanyaan tadi? Bagaimana kesudahan dari cobaan ayah terhadap ilmu Kiat Su ko-ko itu?"

"Ah....?" Tung-hai-tiauw menarik napas panjang, lalu tersenyum. "Sama seperti kau pula. Persis. Aku tidak bisa mengalahkan kakakmu. Tapi kakakmu pun juga sulit untuk menundukkan aku. Cuma selama ini aku memang tidak tahu kalau kakakmu memiliki pek-lek-tan itu...."

''Nah! Kalau begitu ayah bisa menilai sekarang, bagaimana kepandaianku kini. Paling tidak adalah setingkat dengan kepandaian ayah sendiri. Bagaimana...? Apakah ayah masih menyangsikan kemampuanku untuk melawan kedua orang Aliran Mo-kauw itu?" akhirnya Tiauw Li Ing mendesak ayahnya.

Masih ada juga keraguan di hati Tung-hai-tiauw. Tapi akhirnya raja bajak laut itu mengangguk. "Baiklah! Kau boleh maju menghadapi mereka. Tapi.... Berhati-hatilah! Mereka berdua bukan tokoh sembarangan. Coba kau lihat...! Kemampuan mereka benar-benar menggiriskan!"

Tung-hai-tiauw menunjuk ke arah arena. Dan memang benar apa yang dikatakannya. Puluhan anggota bajak laut yang ada di dalam pendapa itu benar-benar tak berdaya menghadapi tokoh Aliran Mo-kauw tersebut. Korban telah berserakan. Beberapa orang thouw-bak (pemimpin regu atau kelompok) yang juga memiliki kepandaian tinggipun telah banyak menjadi korban pula. Malah sesaat kemudian pengepungan mereka sudah mulai kendor. Para anggota bajak laut yang mengeroyok itu mulai jeri dan ketakutan. Mereka mulai menjauh dan mundur-mundur.

"Kalian mundurlah!" tiba-tiba Tiauw Li Ing meloncat maju sambil berteriak garang. "Biarlah aku sendiri yang melawan mereka!"

Tubuh Tiauw Li Ing yang kecil langsing itu melenting tinggi, lalu berjungkir balik di udara, untuk kemudian mendarat di depan Bhong Kim Cu dan Leng Siauw yang sedang berusaha menerobos keluar. Gadis itu berdiri tegak di ambang pintu. Matanya yang bulat jeli itu menatap dingin ke arah lawannya.

Sementara di masing-masing telapak tangannya telah tergenggam sepasang kipas besi, berukuran besar dan kecil. Dengan hati lega kawanan bajak laut yang mengeroyok Bhong Kim Cu dan Leng Siauw itu mundur. Mereka membiarkan lawan yang sangat lihai itu berhadapan dengan puteri Hai-ong mereka. Beberapa orang di antara mereka malah meletakkan senjata mereka, dan menolong kawan-kawan mereka yang terluka.

Dan otomatis Bhong Kim Cu dan Leng Siauw juga menghentikan perlawanan mereka. Keduanya memandang Tiauw Li Ing dan Tung-hai-tiauw berganti-ganti. Mereka menjadi curiga, mengapa raja bajak-laut yang lihai dan kejam itu membiarkan gadis muda itu menghadapi mereka.

"Tung-hai-tiauw! Sekali lagi kami berdua meminta kepadamu. Lepaskanlah kami, agar kami bisa memberi laporan ketua kami. Dan urusan di antara kita ini bisa diselesaikan dengan baik." Bhong Kim Cu berseru.

Tung-hai-tiauw tertawa menghina. "Tidak bisa! Kalian berdua tetap akan kami tangkap. Hal ini sudah menjadi keputusanku. Sejak semula aku sudah tidak percaya kalau urusan ini bisa diselesaikan dengan musyawarah. Apapun yang terjadi, pihak kalian tentu akan mempertahankan baju mustika itu. Sehingga kalau pihak kami menyerbu dan meratakan gedung perkumpulan kalianpun kalian tentu takkan mau menyerahkan pusaka itu. Maka kucari jalan lain untuk mendapatkan benda itu, yaitu menangkap dan menculik anggota perkumpulan kalian sebanyak-banyaknya. Terutama tokoh-tokohnya. Setelah itu baru kami akan berbicara dengan Pek-i Liong-ong, ketua kalian. Biarlah nanti ketua kalian itu memilih, kehilangan seluruh jago-jagonya atau menyerahkan baju mustika itu kepada kami. Hahahahaha....!"

"Penjahat licik! Kalau begitu lakukanlah niatmu itu kalau bisa! Tangkaplah kami!" Bhong Kim Cu berseru marah.

"Benar! Majulah! Kami siap melayanimu!" Leng Siauw menggeram pula.

"Ee-ee..... jangan tergesa-gesa menantang ayahku! Hadapilah aku dulu, baru kemudian ayahku!" tiba-tiba Tiauw Li Ing menyela.

Bhong Kim Cu mengerutkan dahinya. Dengan nada kesal ia berkata kepada Tung-hai-tiauw. "Tung-hai-tiauw! Majulah! Kau jangan menghina kami. Kami toh bukan anak kemarin sore yang baru terjun di dunia persilatan. Kami berdua adalah kakek-kakek yang sedikit banyak telah punya nama juga di kalangan persilatan. Mengapa kau membiarkan anakmu, yang pantas menjadi cucu kami itu, maju menghadapi kami? Apakah engkau memang sengaja hendak mempermalukan kami?"

"Hua-ha-hahaha....!" Raja Bajak Laut itu tertawa lepas. "Aku tidak peduli kau tersinggung atau tidak. Aku hanya ingin membuktikan kepadamu bahwa namamu yang tersohor itu bukan merupakan jaminan di tempatku. Kau boleh membuktikannya sekarang. Melawan puteriku pun kalian belum tentu menang. Apalagi melawan aku, hua-hahahaha...." Sambil tertawa panjang, Tung-hai tiauw melangkah mundur dan duduk di atas kursi. Sedikitpun raja bajak laut itu tidak memandang sebelah mata kepada lawannya.

Bukan main marahnya Bhong Kim Cu dan Leng Siauw. Mereka benar-benar merasa terhina. "Bhong su-heng, biarlah kuhadapi bajak laut sombong itu! Tolong, kau awasi saja gadis cilik itu!" Leng Siauw berbisik.

Kemudian tanpa menunggu jawaban su-hengnya lagi, tokoh ketiga dari Aliran Mo-kauw itu melompat ke depan. Tubuhnya melesat tinggi di udara, kemudian menukik ke depan bagaikan burung walet menyambar mangsanya. Gerakannya cepat bukan main. Begitu cepatnya sehingga tubuhnya seperti berubah menjadi bayang-bayang hitam yang meluncur dengan cepatnya. Sungguh suatu pertunjukan ginkang yang hebat sekali.

Namun bersamaan dengan waktu itu pula, tiba-tiba Tiauw Li Ing mengebutkan dua buah kipasnya. Terdengar suara berdesing ketika dari dalam kipas-kipas tersebut melesat belasan batang paku panjang. Bhong Kim Cu yang berada di depan gadis itu terkejut. Namun terlambat, belasan batang paku itu telah terlanjur melewatinya. Semuanya melesat bagai kilat cepatnya, seakan-akan saling dahulu-mendahului, untuk mengejar tubuh Leng Siauw.

"Leng su-te, awas.....!" Bhong Kim Cu memekik.

Siing! Siing! Wuut......! Thingg! Tiiing!

Leng Siauw berjumpalitan di udara. Lengan bajunya yang besar dan lebar itu berputar dengan cepat melindungi badannya. Dan belasan paku itu pun lantas berjatuhan ke bawah tersapu oleh lengan bajunya. Tak satu pun bisa mengenai kulit dagingnya. Tapi ketika tokoh Aliran Mo-kauw itu hendak mendaratkan kakinya di atas lantai, mendadak paku-paku yang jatuh itu melenting kembali begitu menyentuh lantai. Belasan batang paku itu menyerang kaki Leng Siauw, seperti sepasukan ulat yang melejit-lejit, untuk menggapai dan menggigit kakinya.

"Auuuh....?" tokoh Aliran Mo-kauw itu menjerit kecil ketika sebuah dari paku itu mampu menembus sepatunya dan melukai ibu-jari kakinya. Untunglah paku-paku yang lain dapat ia tepiskan dengan kibasan sepatunya.

Sambil terpincang-pincang Leng Siauw memandang Tiauw Li Ing. Tokoh Aliran Mo-kauw yang memiliki nama besar di dunia kang-ouw itu hampir tak percaya kalau gadis muda yang belum dikenalnya itu mampu menggagalkan niatnya untuk menyerang Tung-hai-tiauw, Bahkan dapat melukai dirinya pula. Pandangan Leng Siauw mulai berubah terhadap gadis itu.

"Bukan main! Nona, ilmumu melempar senjata rahasia benar-benar hebat sekali! Hmm.... siapakah gurumu?" tokoh Aliran Mo-kauw itu berdesis.

Sementara itu Bhong Kim Cu menjadi marah sekali menyaksikan su-tenya terluka. la juga tak menyangka kalau puteri Tung-hai-tiauw itu memiliki ilmu sedemikian hebatnya. "Bocah licik! Pengecut! Mengapa kau menyerang lawan dari belakang?" geramnya.

Namun sambil tertawa cekikikan Tiauw Li Ing menjawab. "Hihihihi....! Sudah kukatakan tadi, kalian hadapi dulu aku baru kemudian ayah! Mengapa kalian tak mau mendengarkannya juga? Huh....! Setelah kini menerima akibatnya, kalian lantas mencak-mencak. Bilang aku pengecut, licik, menyerang lawan dari belakang.....! Huh!"

"Baik, kau bersiaplah! Tampaknya kau memang patut diberi pelajaran supaya sedikit berkurang kecongkakanmu." Bhong Kim Cu membentak.

"Rewel! Huh! Kaulah yang harus berhati-hati! Karena akulah yang akan memberi pelajaran pahit kepadamu!" Tiauw Li Ing berteriak tidak kalah garangnya.

"Kurang ajar! Lihat serangan...!" akhirnya Bhong Kim Cu tak kuasa menahan kemarahannya.

Dengan jurus Burung-Hong-merentangkan-Sayap Bhong Kim Cu menubruk Tiauw Li Ing. Sepasang lengan bajunya yang panjang dan amat longgar itu menampar dari kanan dan kiri, seolah-olah mau menjaring atau mengurung Tiauw Li Ing di tengah-tengah. Sementara gelombang udara hangat terasa menyertai serangan itu.

Tiauw Li Ing terperanjat. Hembusan udara hangat itu terasa menggencet tubuhnya ke bawah. Semakin lama semakin kuat, sehingga gadis itu merasa seperti ada beban berat yang hendak menindihnya ke atas lantai. Untunglah di dalam kekagetannya Tiauw Li Ing tidak Cuma terpaku diam menantikan datangnya serangan tersebut. Dengan ilmu silatnya yang tinggi gadis itu cepat bereaksi.

Sebelum lengan baju yang mengandung tenaga mukjijat itu benar-benar mengurung dan menindihnya ia buru-buru membungkukkan badan serendah-rendahnya. Kemudian sambil melemparkan telapak tangannya ke lantai beberapa kali, ia menggeliat ke samping tiga atau empat kali. Dengan demikian ia bisa meloloskan diri dari kurungan lawannya.

Kini ganti Bhong Kim Cu dan Leng Siauw yang terkejut. Sebagai tokoh yang memiliki banyak pengalaman mereka segera 'melihat‘ sesuatu yang aneh di dalam ilmu silat lawannya. Mereka seperti mengenal gaya dari ilmu silat tersebut. Yaitu gaya dari sebuah ilmu yang mendasarkan ilmunya pada dua inti sekaligus. Inti Im dan Inti Yang (Positif dan Negatif). Namun mereka juga merasa ragu-ragu pula, karena hanya Aliran Im-Yang kauw lah yang memiliki gaya seperti itu. Masakan anak bajak laut yang kejam itu menjadi anak murid Aliran Im-Yang-Kauw?

"Oouugh!" tiba-tiba Leng Siauw meringis kesakitan sambil memegang kakinya yang tertusuk paku tadi. Darah sudah berhenti menetes dari luka itu. Tapi ketika Leng Siauw memeriksanya sekali lagi tiba-tiba matanya melotot. Ibu-jari kakinya itu kini telah berubah menjadi hitam seluruhnya. Dan tampaknya malah akan merembet ke atas.

Leng Siauw cepat mengeluarkan pisau kecilnya. Sekali tabas, ibu jari itu dipotongnya. Darah merah mengucur seperti pancuran. Namun dengan cepat pula Leng Siauw menghentikannya. Ujung jari telunjuknya menotok beberapa jalan darah di sekitar luka tersebut.

"Awas, su-heng! Anak itu ternyata suka bermain-main dengan racun!" Leng Siauw memberi peringatan kepada suhengnya.

"Keji sekali!" Bhong Kim Cu mengumpat.

Tiauw Li Ing tertawa cekikikan lagi. Sambil menimang-nimang kedua buah kipasnya gadis itu mengejek. "Apakah kalian berdua takut? Kalau takut... hi-hi, lekaslah menyerah! Aku takkan membunuhmu."

"Huah-haha-haha....! Bagus! Bagus!" Tung-hai-tiauw tertawa puas pula menyaksikan kehebatan puterinya.

"Hmmh, jangan cepat merasa puas! Kita belum benar-benar bertarung tadi! Kini kau betul-betul harus waspada! Aku tidak akan main-main lagi." Bhong Kim Cu menggeram.

Tokoh kedua dari Aliran Mo-kauw itu lalu merangkapkan kedua buah telapak tangannya di depan dada. Setelah tenaga saktinya terkumpul, kaki kanannya lalu melangkah ke depan sambil mendorongkan kedua tangannya ke atas dan ke bawah. Masing-masing tertuju ke arah kepala dan pusar Tiauw Li Ing. Dan udara hangat pun terasa menyambar pula ke depan.

Tapi Tiauw Li Ing juga tidak mau kalah gertak. Sama sekali ia tidak mau mengelak dari serangan yang penuh dengan tenaga-sakti itu. Kedua buah kipas besi yang ada di tangannya itu segera direntangkannya ke atas dan ke bawah untuk menyongsong pukulan lawannya. Dan kedua buah kipas itu juga tampak bergetar pula, suatu tanda bahwa gerakannya juga disokong oleh sebuah tenaga raksasa. Sekali lagi gerakan gadis itu sangat mengagetkan lawannya, karena seperti tadi pula, gerakan tersebut juga mencerminkan sebuah ilmu yang berintikan Im dan Yang!

Akibatnya, untuk sesaat Bhong Kim Cu menjadi bimbang. Di kebimbangan ini ternyata malah menyelamatkan nyawanya. Sebab pada saat-saat terakhir, tokoh kedua dalam Aliran Mo kauw itu cepat menarik kembali serangannya, dan kemudian menggantinya dengan serangan yang berbeda. Dan bersamaan dengan itu pula, tiba-tiba kedua buah kipas itu menghamburkan puluhan jarum halus ke arahnya.

Untuk yang kedua kalinya Bhong Kim Cu menarik kembali serangannya. Bergegas dia membanting tubuhnya ke lantai, kemudian menggelundung pergi dengan muka merah. Hampir saja ia termakan oleh jarum-jarum halus yang berhamburan seperti hujan itu. Coba pada saat terakhir tadi ia tak menarik serangannya, niscaya kedua lengannya telah penuh dengan jarum-jarum beracun!

Demikianlah, untuk selanjutnya Bhong Kim Cu tidak berani memandang enteng gadis itu lagi. Ternyata kepandaian puteri Tung-hai-tiauw itu benar-benar di luar dugaannya. Oleh karena itu pada gebrakan-gebrakan selanjutnya ia sungguh-sungguh mengerahkan semua kemampuannya. Dan ternyata gadis itu dapat melayaninya dengan baik.

Sementara itu di luar gedung telah terjadi pertempuran yang tidak kalah serunya. Tung-hai Nung-jin dan Tiauw Kiat Su yang memimpin pencarian terhadap orang yang berani mengganggu kawan-kawan mereka itu, ternyata tidak segera dapat menemukannya. Halaman yang luas itu telah mereka periksa dengan teliti, namun orang itu tetap belum mereka ketemukan juga. Akibatnya Tung-hai Nung-jin dan Tiauw Kiat Su menjadi marah. Kedua tokoh bajak laut itu segera memanggil para touw-bak, dan memerintahkan mereka untuk segera memeriksa kembali halaman itu.

"Bongkar saja semua tempat yang sekiranya dapat dipakai untuk bersembunyi Si Penyelundup itu!" Tiauw Kiat Su yang kejam dan berangasan itu berteriak.

Tapi dengan cepat Tung-hai Nung jin melunakkan perintah itu. Orang tua yang memiliki banyak pengalaman itu tidak ingin suasana menjadi bertambah ribut dan kalut, sehingga justru memberi banyak peluang bagi buruan itu untuk meloloskan diri.

"Cobalah kalian periksa saja sekali lagi yang lebih teliti! Jangan sampai ada tempat sejengkal pun yang terlampaui!" katanya tegas dan berwibawa.

"Baik!" para thouw-bak itu mengiyakan, kemudian membawa pasukan masing masing untuk melaksanakan perintah itu.

"Kiat Su, kita pun harus membagi tugas. Kita berkeliling mengawasi mereka. Kau ke utara, aku ke selatan. Kita bertemu di tembok sebelah timur nanti. Bagaimana?" setelah semuanya berpencar pergi, Tung-hai Nung-jin berkata kepada Tiauw Kiat Su.

Tiauw Kiat Su menghela napas panjang. "Baik, Paman..." desahnya.

Demikianlah, halaman gedung yang luas itu sekali lagi diperiksa oleh kawanan bajak laut itu. Kini mereka benar-benar memeriksa dengan teliti setiap jengkal tanah yang mereka injak. Mereka meneliti sedemikian seksamanya sehingga tak mungkin rasanya buruan itu bisa meloloskan diri. Bahkan beberapa anggota bajak laut yang mempunyai ginkang agak lumayan pun telah naik ke atas genting pula. Mereka memeriksa dengan cermat semua tempat yang mereka curigai.

"Gila! Apa yang mesti kulakukan? Bangsat-bangsat itu tentu akan sampai ditempat ini pula nanti." Liu Yang Kun mengumpat-umpat ketika orang-orang itu mulai mendekati persembunyiannya.

Pemuda itu lalu melirik ke bawah, ke tempat dimana bayangan yang dilihatnya tadi bersembunyi. Ternyata orang yang berlindung di semak-semak itu juga berada dalam bahaya pula. Sekelompok bajak laut telah mendekati tempat itu. Sungguh mengherankan! Liu Yang Kun yang sedang berada di dalam bahaya itu justru menjadi tegang menyaksikan pemandangan di bawahnya. Sama sekali pemuda itu telah lupa akan keadaannya sendiri. Perhatiannya justru tercurah kepada orang yang bersembunyi di dalam semak-semak itu.

"Sebentar lagi orang itu tentu keluar. Hmm.... akan dapat kulihat nanti, siapa sebenarnya dia?" bisiknya dengan hati tegang.

"Heeei.... lihat! Dia berada di sini!" tiba-tiba salah seorang dari kawanan bajak laut itu berteriak begitu menyibakkan semak tersebut.

Dan teriakan itu segera disambut dengan gegap-gempita oleh yang lain, sehingga sebentar saja semuanya berlarian ke tempat itu. Mereka berteriak dan menjerit-jerit dengan ributnya. "Awaaaaaas....! Jangan biarkan lolos!"

"Bunuh dia!"

"Mana...? Di manakah dia?"

Namun beberapa saat kemudian mereka menjadi heran dan bingung! Demikian pula halnya dengan Liu Yang Kun yang menonton dari atas genting.

"Eh.....? Mengapa orang itu tak kunjung keluar juga dari persembunyiannya? Apakah yang terjadi dengan dia?" pemuda itu terheran-heran.

"Hei.... cepat! Dimanakah orang itu? Mengapa tidak lekas-lekas ditangkap?" kawanan bajak laut itu berteriak-teriak.

Mereka tidak mengerti, terutama yang berdesakan di belakang kepungan, mengapa kawan-kawan mereka yang berada di depan tidak lekas-lekas menangkap buruan itu.

"Ya! Mengapa cuma diam saja? Bunuh orang itu!" yang lain ikut berteriak.

"Bunuh..."

"Tangkap...!"

Dan mereka pun lantas berteriak-teriak dengan ributnya. Mereka mendesak maju dengan paksa. Namun yang berada di depan tiba-tiba berseru. "Tahaaan…! Dia…. Dia bukan buruan kita! Dia…. Tang Hun, kawan kita sendiri! Dia pingsan ditotok orang! Pakaiannya dirampas...!"

"Hah?" Kawanan bajak laut itu terdiam seketika! Mereka terbelalak dan termangu mangu di tempat masing-masing! Tapi hanya sesaat saja. Karena sedetik kemudian mereka telah berteriak dan menjerit jerit kembali. Namun kini dengan kemarahan yang meluap-luap...

Jilid selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.