Memburu Iblis Jilid 20

Sonny Ogawa

Memburu Iblis Jilid 20 karya Sriwidjono - 'Bangsat itu telah lolos! Keparat!"

"Dia menyamar dengan pakaian Tang Hun!"

"Ayoh, cari dia sebelum pergi dari tempat ini!"

"Setan busuk! Tangkap orang yang mengenakan pakaian Tang Hun!"

"Bunuuuuh...!"

Dan kepungan itupun lantas bubar kembali. Mereka menyebar untuk mencari buruan mereka yang kini mengenakan pakaian Tang Hun. Tetapi sekali lagi mereka dikejutkan oleh teriakan dari atas genting. Kali ini adalah teriakan kawan-kawan mereka yang menemukan persembunyian Liu Yang Kun.

"Awas! Dia bersembunyi di sini!"

"Cepat kemari semua! Dia ada di sini!"

Kawanan bajak laut yang berada di atas genting itu berteriak-teriak, sehingga kawanan bajak laut yang berada di bawah itu tidak jadi bubaran. Semuanya berlarian kembali ke tempat itu.

"Hei? Kalian mengatakan apa? Buruan kita berada di atas genting?"

'Mana dia......? Tangkap saja!"

"Bunuuuuh......!"

Mereka berteriak dan menjerit-jerit lagi. Bagi yang mempunyai gin-kang lumayan segera ikut naik ke atas genting, sedangkan yang tidak mampu lantas menggerombol berdesakan di bawah. Mereka mengumpat-umpat sambil mengacung-acungkan senjata mereka.

Di dalam kekecewaannya, karena tidak jadi bisa melihat orang yang bersembunyi di dalam semak itu, Liu Yang Kun sampai lupa akan keadaan dirinya sendiri. Sehingga ketika kawanan bajak laut itu menemukannya, ia sudah tidak bisa lari bersembunyi lagi.

"Kurang ajar! Kini aku lah yang menjadi kambing hitamnya! Huh....!" geramnya mendongkol.

"Menyerahlah! Jangan bertindak bodoh. Lihatlah di bawah itu! Engkau telah dikepung." kawanan bajak laut yang berada di atas genting itu membentak, ketika menyaksikan Liu Yang Kun bangkit untuk melawan.

Tapi dengan suara kaku pemuda itu menjawab, "Persetan..... Aku tidak takut! Kerahkanlah semua kawan kawanmu! Tangkaplah aku kalau kalian bisa!"

"Bangsat busuk! Sombong benar kau! Terimalah pedangku ini...!" kawanan bajak laut yang berada di atas genting itu berseru marah, kemudian berloncatan menyerang Liu Yang Kun. "Bunuh orang sombong ini!"

"Cincang tubuhnya...!" yang lain pun segera berteriak-teriak pula.

Sekejap kemudian tempat itu telah menjadi ajang pertempuran yang kasar dan tak beraturan. Genting-genting yang mereka injak pun segera berpecahan dan melorot turun pula. Banyak yang terperosok kakinya dan jatuh tunggang langgang ke bawah, karena gin-kangnya yang buruk.

Liu Yang Kun tertawa dingin, dia itu sama sekali belum menggerakkan tangannya. Dia hanya melangkah dan meloncat kesana-kemari untuk mengelakkan serangan lawannya. Mereka terlalu empuk baginya. Liu Yang Kun baru terpancing untuk menggerakkan lengannya ketika beberapa orang thouw-bak mulai datangi tempat itu.

Dengan kepandaiannya yang tinggi pemuda itu berloncatan, menghindar dan menangkis serbuan para pengepungnya. Namun karena para thouw-bak itu rata-rata juga memiliki kepandaian tinggi, maka serangan mereka semakin lama semakin merepotkan pula.

Novel silat Mandarin karya Sriwidjono

Seringkali karena tak sempat untuk mengelak lagi, Liu Yang Kun terpaksa membiarkan punggung, dada atau perutnya yang terlindung oleh kulit ular Ceng-liong-ong itu dihantam atau ditusuk oleh senjata lawannya. Akibatnya para thouw-bak itu menjadi jerih, karena senjata mereka terpental dan tak bisa melukai kulit pemuda itu.

"Awas.... dia kebal!"

"Ya..... dia tak mempan senjata! Cepat laporkan kepada Hai-ong....!" mereka berseru gusar.

"Tak usah! Aku sudah ada di sini! Tak perlu melapor kepada ayah! Semuanya minggir.....!" Tiba-tiba terdengar suara Tiauw Kiat Su membentak.

"Benar! Semuanya minggir! Biarlah kami yang menghadapi bangsat itu!" terdengar pula suara Tung-hai Nung-jin.

Para thouw-bak itu mundur ke belakang, dan membiarkan Tung-hai Nung-jin dan Tiauw Kiat Su menghadapi lawan mereka.

"Cuh!" Tiauw Kiat Su meludah, kemudian melangkah maju bersama sama Tunghai Nung-jin. Sikapnya benar-benar amat memandang rendah kepada Liu Yang Kun. Namun ketika mereka sudah berhadapan muka, tiba-tiba pemuda itu terbelalak kaget. Begitu pula halnya dengan Tung-hai Nung-jin.

"Kau.....?" desahnya pendek.

"Kau.....?" Tung-hai Nung-jin tersentak hingga terbatuk-batuk.

Liu Yang Kun tersenyum dingin, lalu meludah pula di depan lawannya, "Benar! Akulah yang datang. Kalian masih mengenal aku?" katanya tenang. Sama sekali tidak peduli melihat lawan sedemikian banyaknya.

Tiauw Kiat Su terperangah. Hatinya tersinggung. Sikap Liu Yang Kun yang seenaknya itu benar-benar membakar jantungnya. Diam-diam ia membatin, "Kurang ajar! Ia masih menyangka aku seperti dulu. Hmm... akan kuringkus dia. Akan kubeset kulit mukanya. Akan kucongkel biji matanya. Biar dia tahu siapa aku sekarang. Bangsat!"

Tetapi Tiauw Kiat Su tidak menunjukkan kemarahannya itu dihadapan Lawannya. Sambil menahan kegeramannya dia berkata, "Huh..... Jadi kau tidak mati tertimbun bukit longsor itu? Lalu... dimanakah gadis cantik yang kau bela mati-matian itu?"

Untuk sekejap mata Liu Yang Kun seperti menyala di dalam kegelapan. Bayangan wajah Tui Lan yang sedang hamil tua itu kembali menggoda hatinya. "Aah....?" pemuda itu berdesah panjang sekali. Suaranya terdengar sedih.

Tiauw Kiat Su menjadi salah tafsir. Ia mengira kalau Liu Yang Kun telah mulai sadar akan kedudukannya sekarang. Dan pemuda itu mulai merasa ketakutan melihat lawan yang sedemikian banyaknya.

Sementara itu diam-diam Tung-hai Nung-jin menggamit lengan Tiauw Kiat Su. "Hati-hati! Kudengar pemuda ini lihai sekali. Kalau tak salah dia lah yang dulu dikejar-kejar adikmu..." bisiknya perlahan.

"Apa? Dia...?" Tiauw Kiat Su tersentak kaget. "Bangsat. Kalau begitu akan kubunuh dia! Dia bukan tandinganku sekarang!"

Sejak Tiauw Kiat Su mendengar adiknya tergila-gila kepada manusia yang bernama Chin Yang Kun, bahkan khabarnya adiknya itu sampai mengejar-ngejarnya pula, maka Tiauw Kiat Su merasa malu dan juga sangat benci kepada Chin Yang Kun. Tapi karena belum pernah melihat wajah Chin Yang Kun, maka Tiauw Kiat Su tidak mengenalnya ketika berjumpa di kota Soh-ciu setahun yang lalu.

"Hmh! Apakah kau yang bernama Chin Yang Kun itu?" tanyanya menahan gusar.

Liu Yang Kun tersentak kaget dari lamunannya. Dengan wajah kaku ia menatap mata Tiauw Kiat Su. "Kau sudah mengenal namaku!" katanya serak.

"Tentu saja. Aku sudah lama mencarimu. Aku ingin membunuhmu agar kau tidak bisa mengganggu adikku lagi. Oleh karena itu bersiaplah sekarang...!"

Liu Yang Kun mengerutkan dahinya. Namun akhirnya ia tak mau berpikir banyak lagi. Sambil mengepalkan tinjunya ia menggeram. "Persetan! Majulah....!"

Dan ternyata Tiauw Kiat Su juga tidak mau membuang-buang waktu lagi. Langsung saja ia mengeluarkan ilmu barunya yang didapatkannya dari Giok-bin Tok-ong. Ia ingin segera memperlihatkan ilmunya itu kepada Liu Yang Kun agar pemuda yang dibencinya itu tahu bahwa ilmunya sekarang telah jauh melampaui ilmu pemuda itu. Dan setelah lawannya itu kalah dan menjadi ketakutan nanti, ia akan mempermainkannya dan menyiksanya lebih dulu, sebelum akhirnya ia serahkan kepada Tiauw Li Ing untuk dibunuh.

Dengan demikian semua hati dan dendam keluarganya terhadap pemuda itu telah terlampiaskan. Begitulah, ketika Tiauw Kiat Su mengerahkan tenaga saktinya, maka di seputar arena itu lalu tercium udara busuk yang menyesakkan napas. Kawanan bajak laut yang tidak segera mundur menjauhkan diri, atau meloncat turun ke bawah, segera menjadi pening dan mau muntah.

"Semuanya mundur! Jangan dekat-dekat!" Tung-hai Nungjin cepat berteriak.

"Hei.... ada apa? Apakah yang terjadi?" kawanan bajak laut yang berdesakan di bawah genting menjadi ribut dan berteriak-teriak. Mereka tidak tahu apa yang telah terjadi dengan kawan-kawan mereka di atas genting.

Dan beberapa orang kawan mereka yang turun ke bawah segera memberi tahu apa yang terjadi di atas. Sehingga kawanan orang kasar itu merasa ngeri tapi sekaligus juga merasa kagum dan bangga terhadap putera Hai-ong mereka.

"Begitukah....? Wah, hebat betul!" mereka berseru.

"Kalau begitu sungguh malang benar nasib buruan kita itu. Sebentar lagi dia akan disiksa dan menjadi tontonan yang mengasyikkan buat kita, hahaha...."

"Biar tahu rasa dia! Mentang-mentang memiliki kepandaian tinggi enak saja dia mempermainkan kawan-kawan kita. Dikiranya kita ini tidak memiliki jago pula?" salah seorang bajak laut yang tadi ditotok lemas berseru pula dengan gemasnya.

Demikianlah, pertempuran di atas genting itu berlangsung semakin hebat dan seru. Ilmu yang diturunkan Giok-bin Tokong kepada Tiauw Kiat Su memang dahsyat sekali. Ganas dan mengerikan. Selain hawa pukulannya mengandung racun, gerakan-gerakannya pun amat ganas dan mematikan. Sungguh sangat cocok dan serasi dengan watak dan ilmu yang pernah diwariskan oleh ayah Tiauw Kiat Su sendiri.

Jadi, sesungguhnyalah bahwa ilmu kepandaian Tiauw Kiat Su sekarang benar-benar hebat sekali. Tak heran kalau Tung-hai Nung-jin yang lihai itu sampai kalah. Sayang sekali yang dihadapi pemuda itu sekarang adalah Liu Yang Kun, seorang pemuda yang secara tak terduga juga mempunyai nasib baik dan pengalaman yang menguntungkan dalam ilmu s ilat. Maka sungguh tidak mengherankan bila ilmunya yang ganas dan mengerikan itu hampir menjadi tidak berarti berhadapan dengan ilmu Liu Yang Kun yang dahsyat dan aneh luar biasa.

Baru menghadapi gin-kang Liu Yang Kun saja Tiauw Kiat Su sudah kewalahan, apalagi menghadapi ilmu-ilmu Yang Kun yang lain. Meskipun demikian karena ilmu Tiauw Kiat Su juga bukan ilmu sembarangan, maka dalam waktu singkat Liu Yang Kun juga sulit untuk mengatasinya.

Cuma yang sangat mengherankan Tiauw Kiat Su adalah mengapa lawannya seolah-olah kebal terhadap racun yang sebarkannya? Lima puluh jurus telah berlalu. Dan selama itu pula hati Tiauw Kiat Su semakin menjadi kecut, gelisah, namun juga .heran, penasaran dan bingung! Kesombongan hatinya yang meledak-ledak tadi berangsur-angsur menghilang, dan selanjutnya berganti dengan kecemasan serta keputus-asaan.

"Sungguh gila! Manusia atau setan-kah pemuda ini? Mengapa ilmuku tidak mampu mengatasinya? Apakah aku harus mempergunakan pek-lek-tan untuk menundukkannya.....?"

Di dalam keputus-asaannya Tiauw Kiat Su mulai berpikir tentang senjata pamungkasnya. Kesulitan Tiauw Kiat Su itu dapat dilihat dan dirasakan pula oleh Tung-hai Nung jin. Diam-diam orang tua itu merasa kaget dan heran juga menyaksikan kehebatan ilmu silat Liu Yang Kun. Padahal beberapa tahun yang lalu dia pernah mengalahkan pemuda itu. (baca Pendekar Penyebar Maut).

Lalu dari manakah pemuda itu memperoleh kesaktiannya ini? "Tampaknya aku harus turun tangan untuk membantu Kiat Su..." bajak laut tua itu bergumam. Tangannya mulai menyentuh senjata paculnya yang terkenal itu.

Sementara itu Liu Yang Kun sendiri ternyata belum sepenuhnya mengeluarkan ilmunya. Pemuda itu baru mengerahkan Bu-eng Hwe-teng dan sebagian saja dari ilmu Bit-bo-ong yang lain. Itu pun belum ia kerahkan sampai ke puncaknya. Meskipun demikian ternyata Tiauw Kiat Su yang kini kepandaiannya sudah melampaui ayahnya itu tidak dapat berbuat banyak dalam menghadapinya.

"Ilmu silat pemuda ini sangat mirip dengan ilmu silat Giok-bin Tok-ong yang memiliki senjata peledak amat dahsyat itu. Hmmh.... apakah pemuda ini murid kakek tua pesolek itu? Kalau dia benar-benar murid orang tua itu, ah... aku harus berhati-hati menghadapinya. Siapa tahu dia juga mewarisi senjata peledak itu?" Liu Yang Kun berkata dalam hatinya.

Demikianlah, meskipun berada diatas angin, namun Liu Yang Kun masih tetap waspada dan berhati-hati. Pemuda itu juga masih tetap menyisakan tenaganya untuk sewaktu-waktu menghadapi hal-hal yang luar biasa. Ia hanya mengerahkan separuh dari tenaga sakti liong-cu-i-kangnya yang maha ampuh itu, sementara ilmu silat Kim-coa ih-hoatnya belum ia keluarkan sama sekali.

Liu Yang Kun baru mengeluarkan ilmu silat warisan Keluarga Chin, yang merupakan dasar ilmu kepandaiannya semenjak kecil. Hanya kadang-kadang saja ia menyelipkan beberapa jurus ilmu silat warisan Bit-bo-ong yang hebat itu.

Namun karena semuanya itu ditunjang oleh gin-kangnya yang sempurna serta tenaga dalamnya yang dahsyat, maka sungguh tidak mengherankan bila pengaruhnya benar-benar menjadi hebat tiada terkira.

Walaupun demikian, ternyata masih sulit juga bagi Liu Yang Kun untuk mengalahkan Tiauw Kiat Su, yang kepandaiannya sudah melebihi ayahnya itu. Maka dengan sangat terpaksa Liu Yang Kun lalu mengeluarkan Pat-hong Sin-ciang secara utuh. Perlahan-lahan ilmu warisan Bit-bo-ong itu ia mainkan dengan konsentrasi penuh.

Oleh karena pemuda itu telah menguasai ilmu iblis tersebut dengan sempurna, sesempurna penciptanya sendiri, maka akibat dan pengaruhnya pun benar-benar luar biasa hebat dan mengerikan! Malahan kalau mau diperbandingkan dengan Bit-bo-ong asli, yang hidup pada zaman seratus tahun yang lalu, kedahsyatan ilmu itu sekarang justru melebihi dalam segala-galanya. Hal itu disebabkan oleh karena lwee-kang Yang Kun sekarang jauh lebih tinggi dan lebih sempurna dari pada lweekang mendiang Bit-bo-ong asli dahulu.

Begitulah, tanpa mengetahui sebab-sebabnya, tiba-tiba saja kawanan bajak laut itu merasakan sesuatu yang aneh di sekitar mereka. Udara tiba-tiba menjadi gelap. Dan hawa pun mendadak berubah menjadi dingin mencekam. Hati dan perasaan merekapun tiba-tiba menjadi kecut dan ngeri pula.

Kawanan bajak laut itu masih memegang obor di tangan mereka. Namun api obor yang menjilat-jilat ke udara itu rasa-rasanya tidak memiliki sinar terang yang bisa menerangi udara di sekitar mereka. Nyala api itu rasa-rasanya hanya seperti bara api yang memerah tanpa sinar sama sekali.

Dan ketika mereka mencoba mendongak ke atas mereka itu pun lantas menjadi kaget pula. Bintang yang semula bertaburan di atas langit itu mendadak lenyap. Yang mereka lihat sekarang Cuma kekelaman, seolah-olah di atas mereka telah terbentang sebuah tabir hitam yang hendak mengurung mereka.

"Gila....!" mereka mengumpat dengan tubuh gemetar, karena mendadak saja gelombang udara dingin telah mengurung mereka pula. Perubahan suasana yang tidak wajar itu ternyata dapat dicium dan dirasakan pula oleh Kiat Su dan Tung-hai Nung-jin. Terutama sekali oleh Tiauw Kiat Su, yang sedang bertempur langsung dengan Liu Yang Kun.

Pemuda itu merasa seperti ada getaran aneh di dalam dadanya. Di dalam hatinya. Getaran getaran aneh yang membuat perasaannya menjadi kecut dan ngeri tanpa sebab. Malah beberapa saat kemudian hatinya merasa resah dan takut pula. Apalagi kalau ia terlalu lama sering menatap mata lawannya.

Di dalam pandangan atau pun perasaan Tiauw Kiat Su, roman muka dan perbawa Liu Yang Kun itu semakin menakutkan serta mengerikan. Lambat laun ia merasa seperti tidak sedang berhadapan dengan manusia lumrah, tetapi sedang bertempur dengan Raja Iblis atau Raja Kegelapan yang sangat mengerikan hati.

"Aaah.... ilmu sihir!" pemuda itu berdesah panjang. Sebagai pemuda berkepandaian tinggi Tiauw Kiat Su cepat menebak bahwa ketidak-wajaran suasana itu disebabkan atau diakibatkan oleh ilmu lawannya. Oleh karena itu untuk menjaga hal-hal yang tidak ia inginkan, ia sengaja mengelak dan menghindar terus dari benturan tenaga lawan. Sebaliknya ia berusaha untuk tidak selalu berhadapan langsung dengan lawannya. Terutama sekali ia harus menghindari tatapan mata lawan yang mengeluarkan getaran-getaran mengerikan itu.

Dan untuk itu ia mengeluarkan senjata andalannya, yaitu sepasang kipas besi yang penuh jebakan dan senjata rahasia. Tetapi dengan caranya itu Tiauw Kiat Su semakin terjeblos ke dalam kesulitan. Karena ia mengambil sikap bertahan, maka Liu Yang Kun semakin bebas dan leluasa menentukan serangannya. Apalagi bagaimana Tiauw Kiat Su mampu mengimbangi kedahsyatan Bu-eng Hwe-teng yang amat luar biasa itu?

Dengan kehebatan dan keanehan senjata kipasnya, memang beberapa kali Tiauw Kiat Su bisa menyelamatkan dirinya. Tapi setelah Liu Yang Kun juga semakin meningkatkan ilmunya, maka keadaannya pun semakin menjadi parah pula. Dengan demikian semakin terusik pula hati pemuda itu untuk mempergunakan senjata pamungkasnya. Pek lek-tan!

Namun sebelum Tiauw Kiat Su mengeluarkan senjata peledaknya itu, tiba-tiba Tung-hai Nung-jin telah terjun ke dalam arena untuk membantunya. Dengan garangnya orang tua itu mengayunkan pacul-panjangnya ke arah Liu Yang Kun.

Karena orang tua itu sengaja mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, maka pacul itu pun juga menyambar pula dengan dahsyatnya. Terdengar suara mengaung tajam ketika mata pacul tersebut membelah udara dingin yang tersebar dari tubuh Liu Yang Kun.

Siiiiiing! Wuuuuuuut!

Bagaikan hantu atau siluman, tiba-tiba saja Liu Yang Kun menghilang dari tempatnya. Tahu-tahu pemuda itu telah berpindah tempat, sehingga pacul itu menyambar udara kosong.

"Keparat! Ilmu.... ilmu meringankan tubuhnya benar-benar hebat!" Tung-hai Nung-jin menggeram dengan mulut melongo. Hampir saja orang tua itu lupa meneruskan serangannya kalau tiba-tiba tidak datang sebatang paku yang menyambar dadanya. Paku itu meluncur dari dalam kipas Tiauw Kiat Su.

Paku itu gagal menyambar Liu Yang Kun, sehingga meluncur terus ke arah dirinya. Tapi dengan demikian orang tua itu justru menjadi sadar kembali kalau dirinya sedang membantu kerepotan Tiauw Kiat Su. Demikianlah, setelah menghindari paku tersebut Tung-hai Nung-jin lantas maju lagi untuk membantu Tiauw Kiat Su.

Mereka berdua bekerja-sama menghadapi Liu Yang Kun. Mereka berdua saling membelakangi agar mereka tidak terlalu di kocok oleh gin-kang Liu Yang Kun yang sangat luar biasa itu. Dan kerja-sama itu ternyata dapat menahan gempuran lawan untuk sementara waktu. Tapi cuma untuk sementara waktu saja. Sebab bagaimanapun juga ilmu warisan Bit-boong itu, yang kemudian ditunjang dengan tenaga-dalam Liu Yang Kun sendiri yang maha dahsyat, benar-benar merupakan sebuah ilmu silat yang tak terukur tingginya.

Sementara itu pertempuran di dalam pendapa pun ternyata telah meningkat menjadi semakin menarik pula. Tiauw Li Ing yang masih muda belia itu ternyata mampu mengimbangi permainan Bhong Kim Cu yang sangat lihai dan banyak pengalaman itu. Meskipun Iwee-kang gadis itu masih berada setingkat di bawah lwee-kang Bhong Kim Cu, namun permainan kipasnya yang aneh dan penuh muslihat itu ternyata mampu membendung serangan lawannya.

Bahkan ilmu meringankan tubuh Bhong Kim Cu yang tinggi itu sering tersendat-sendat oleh cegatan-cegatan Tiauw Li Ing, yang ternyata memiliki langkah-langkah ajaib dan membingungkan. Lambat laun Bhong Kim Cu menjadi kewalahan menghadapi permainan kipas Tiauw Li Ing yang diselang-seling dengan taburan senjata rahasia itu. Beberapa kali tokoh Aliran Mo-kauw itu berada di dalam bahaya. Taburan senjata rahasia yang dilemparkan secara khusus itu benar-benar sulit dihadapi dan sukar dielakkan.

"Gila! Sungguh memalukan sekali! Apakah aku harus mengaku kalah kepada gadis kecil yang patut menjadi cucuku ini?" Bhong Kim Cu mengeluh sambil mengeluarkan senjatanya. Sebatang cambuk panjang bergerigi yang amat jarang sekali ia keluarkan.

Kemudian dengan cambuknya itu Bhong Kim Cu berusaha memperbaiki keadaannya. Cambuknya yang bergerigi tajam itu menyambar-nyambar bagaikan ekor naga yang berkelebatan di udara. Dengan cambuk itu pula Bhong Kim Cu mencoba menjinakkan langkah-langkah ajaib Tiauw Li Ing yang sangat membingungkan itu.

Namun usahanya itu tetap juga mengalami kesulitan. Sebab begitu ia mengeluarkan cambuk, gadis itu lalu meningkatkan serangannya pula. Lontaran-lontaran senjata rahasia yang sulit di tebak arah dan tujuannya itu ternyata juga semakin sering pula dilakukan oleh lawannya. Alhasil ia tetap saja terdesak di bawah angin. Bahkan beberapa waktu kemudian jiwanya pun sudah mulai terancam pula.

"Oooh, gila....! Tak kusangka nama yang telah kupupuk selama puluhan tahun itu akan hancur di tempat ini....." diam-diam Bhong Kim Cu menyesali nasibnya.

Melihat su-hengnya di dalam bahaya, Leng Siauw tidak mau tinggal diam. Ia juga mengeluarkan senjatanya, kemudian perlahan-lahan ia melangkah mendekati arena. Tapi sebelum ia turun tangan, tiba-tiba terasa hembusan angin di sampingnya.

"Hahaha-heheh.......!" Tung-hai-tiauw yang semula duduk dikursi itu mendadak telah berdiri didekatnya, "Kulihat kau juga sudah gatal tangan pula. Tapi tak baik mengganggu pertempuran mereka. Marilah kita membuat arena sendiri, hahahaha!" raja bajak laut itu menantang.

"Bagus! Memang inilah yang kuharapkan. Bukankah sudah sejak tadi aku menantangmu?" Leng Siauw menggeram sambil menyerang pula.

Tung-hai-tiauw cepat berkelit. Kemudian tangannya mencabut golok emas yang terselip di pinggangnya dan balas menyerang lawannya. Dan sebentar saja mereka telah terlibat dalam pertempuran yang seru serta menegangkan. Masing masing mengeluarkan ilmu kepandaian mereka yang tinggi. Kepandaian Leng Siauw tidak jauh bedanya dengan Bhong Kim Cu. Mereka sama-sama murid Pek-i Liong-ong.

Dan Ilmu silat mereka banyak bersumber pada ilmu silat warisan mendiang Bu-eng Sin yok-ong, karena sebelum menjadi Mo-cu dari Aliran Mo-kauw, Pek-i Liong-ong yang bernama Ouw-yang Kwan Ek itu adalah murid dari Bu-eng Sin-yok-ong. Maka tidaklah mengherankan bila kepandaian mereka sangat tinggi.

Namun yang dihadapi Leng Siauw sekarang adalah Tunghai-tiauw, Si Raja Bajak Laut dari Lautan Timur, yang memiliki kepandaian luar biasa pula. Apalagi raja bajak laut itu sekarang memegang sebuah golok mustika yang mampu memotong besi dengan mudahnya. Maka seperti halnya Bhong Kim Cu, Leng Siauw pun akhirnya harus mengakui keunggulan lawannya pula.

Sedikit demi sedikit sambaran cambuknya terdesak dan terkurung oleh ayunan golok lawannya. Anak buah Tung-hai-tiauw yang berada di dalam ruangan itu bersorak-sorak gembira. Meskipun tidak bisa mengikuti jalannya pertempuran, namun mereka tahu kalau pemimpin mereka berada di pihak yang menang.

Hanya seorang yang tidak ikut bersorak-sorak seperti yang lain, yaitu seorang bajak Iaut tua-renta berjenggot putih panjang sebatas dada. Orang tua itu berdiri menyendiri di pojok ruangan. Pakaian seragamnya tampak serabutan dan kurang cocok untuk ukurannya.

Selain menyendiri bajak laut tua renta itu tampak menghela napas panjang bila menyaksikan Bhong Kim Cu dan Leng Siauw berada dalam kesulitan sedang menghadapi bahaya. Bahkan sesekali orang itu menyeka keringat dingin yang mengalir di lehernya.

"Aaah....?!" sesekali pula mulutnya yang tertutup kumis dan jenggot panjang itu berdesah cemas dan gelisah.

Tiba-tiba seorang bajak laut muda datang mendekati orang tua itu. "Hei? Mengapa kau tidak ikut bergembira melihat keunggulan Hai-ong kita? Apakah kau... kau.... eh-oh...? Siapakah kau?" serunya terputus.

Bajak laut muda itu terbeliak matanya. Dan mata itu hampir tak berkedip mengawasi orang tua renta itu. "Kau.. , .kau.....si-si-siapa? Mengapa k-k-kau berada disini.... dan... dan mengenakan seragam ka-kami?" desisnya kemudian dengan bibir gemetar.

Orang tua renta itu menarik napas panjang kembali, lalu perlahan-lahan menanggalkan seragamnya yang kebesaran itu. Dan sebentar kemudian ia telah mengenakan jubahnya sendiri yang berwarna putih bersih.

"Aku adalah Pek-i Liong-ong, ketua Aliran Mo-kauw." jawabnya perlahan pula.

Tapi nama itu ternyata sangat mengejutkan bajak laut muda itu. "Kau...kau.....?" serunya tertahan sambil mundur-mundur.

"Benar. Akulah penyelundup yang kalian cari-cari itu. Aku memang sengaja merampas pakaian seragam dari salah seorang kawan kalian agar dapat lebih leluasa memasuki gedung ini. Dan kini aku sudah tidak membutuhkannya lagi, karena aku harus membantu muridku...." orang tua itu berkata lagi dengan tenangnya.

Namun bajak laut muda itu segera menjerit dan berteriak begitu sudah mendekati teman-temannya kembali. "Itu dia penyelundupnya! Itu dia penyelundupnya! Dialah yang merampas pakaian Tang Hun! Tangkaaaap.....!"

Kawanan bajak laut yang berada di ruangan itu seketika menjadi gempar. Semuanya buru-buru berlari ke tempat Pek-I Liong-ong berada. Bagaikan kawanan pemburu yang menemukan binatang buruannya, mereka mengangkat senjata dan siap menghunjamkannya.

Tapi dengan sangat tenangnya Pek i Liong-ong mengibaskan kedua lengan bajunya yang lebar itu ke arah mereka. Dan hembusan udara yang sangat kuat tiba-tiba telah melemparkan kawanan bajak laut itu ke pinggir.

"Kalian menyingkirlah! Biarlah pemimpinmu saja yang menghadapi aku!" ketua Aliran Mo-kauw itu berseru.

Kemunculan Pek-i Liong-ong yang tak terduga itu ternyata juga amat mengejutkan orang-orang yang sedang bertempur. Tung-hai-tiauw dan puterinya cepat meloncat mundur. Begitu pula dengan Bhong Kim Cu dan Leng Siauw yang hampir dikalahkan itu. Semuanya mengawasi kedatangan Pek-i Liongong yang tak terduga itu.

"Pek-i Liong ong....!" Tung-hai-tiauw menyapa kaku.

"Mo-cu....?" Bhong Kim Cu dan Leng Siauw membungkuk ragu seakan belum percaya bahwa ketuanya telah benar-benar datang.

Pek-i Liong-ong mengangguk ke arah Tung-hai-tiauw untuk membalas sambutan raja bajak laut itu. Setelah itu Pek-I Liong-ong menoleh ke arah murid-muridnya. "Kalian berdua mengasolah! Biarlah aku sendiri yang menyelesaikan masalah ini." katanya berwibawa.

"Harap Mo-cu berhati-hati. Puteri Tung-hai-tiauw itu sangat lihai. Terutama senjata rahasia dan langkah-langkah ajaibnya...." Bhong Kim Cu melaporkan.

"Jangan takut! Aku telah melihatnya juga."

Sementara itu Tung-hai-tiauw juga berbisik kepada puterinya. "Li Ing, awas! Orang tua ini ditulis pada urutan yang kedelapan di dalam Buku Rahasia itu. Jadi berada dua tingkat di atasku. Kepandaiannya tentu amat luar biasa."

Tiauw Li Ing mencibirkan bibirnya yang mungil. "Ah? ayah....! Aku tidak takut! Bukankah dia cuma sendirian saja! Masakan dia menang melawan kita berdua?"

"Lalu bagaimana dengan kedua bekas lawan kita tadi? Kepandaian mereka pun sangat tinggi."

"Bukankah kita masih mempunyai paman Tung-hai Nungjin dan engkoh Kiat Su pula? Sebentar juga mereka akan kembali ke ruangan ini. Hmm.... nanti ayah tinggal menonton saja kalau engkoh Kiat Su telah datang. Aku dan engkoh Kiat Su yang.... eh! Ayah! Kudengar di atas genting ini ada pertempuran juga. Apa yang terjadi di luar?" tiba-tiba Tiauw Li Ing berseru kaget.

Tung-hai-tiauw mendongakkan kepalanya. Dan sekejap kemudian Si Raja Bajak Laut itu ganti mengawasi Pek-i Liongong. "Entahlah, aku tak tahu. Hmm… mungkinkah bangsat tua dan Mo-kauw ini masih membawa teman yang lain lagi?" geramnya.

"Ayah....! Itu seperti suara paman Tung-hai Nung-jin dan Engkoh Kiat Su! Tampaknya mereka.... mereka seperti sedang marah-marah. Apakah... apakah.....?" Tiauw Li Ing tidak berani meneruskan kata-katanya.

Pek-i Liong-ong melangkah setindak ke depan. "Tung-hai tiauw! Di luar memang sedang terjadi pertempuran. Seorang pemuda sakti telah masuk pula ke halaman gedungmu ini, dan anak buahmu telah mencegatnya. Tapi harap engkau ketahui pula bahwa kami tidak mempunyai sangkut-paut dengan pemuda itu. Aku datang hanya sendirian...."

"Bagus! Kalau begitu kita tak usah menghiraukan pertempuran di luar. Kita menyelesaikan urusan kita sendiri. Bagaimana......?" Tung-hai-tiauw berkata kasar.

"Benar. Kita menyelesaikan urusan kita sendiri." Pek-I Liong-ong mengiyakan.

"Bagus! Nah, silakan duduk! Penjaga.....! Ayo, atur kembali kursi dan meja ini!"

"Ayah......! Mengapa pakai duduk-duduk segala? Hantam saja. habis perkara!" Tiauw Li Ing bersungut-sungut.

Tung-hai-tiauw tertawa. "Jangan khawatir! Kita gebuk juga mereka nanti. Tapi siapa tahu mereka mau memberikan pusaka itu secara suka-rela! Haha-hah....??"

Bhong Kim Cu dan Leng Siauw menggeram, tapi tidak berani membuka mulut di depan ketuanya. Mereka tetap berdiam diri karena ketua mereka juga berdiam diri. Tapi keduanya tidak ikut duduk di kursi yang disediakan. Mereka memilih berdiri di belakang kursi Pek-i Liong-ong sekalian berjaga-jaga keselamatan ketuanya itu.

Praaaaak! Krosaaak.......! Plok! Plok!

Tiba tiba sebuah genting di atas mereka pecah dan berjatuhan ke bawah karena terinjak sepatu dari orang-orang yang sedang bertempur di atas genting itu. Hampir saja pecahan genting tersebut mengenai kepala Tiauw Li Ing.

"Kurang ajar!" gadis itu memaki, lalu bangkit dari kursinya.

Namun dengan cepat Tung-hai-tiauw menahan lengannya. "Biarkan saja! Kau tetap disini menemani ayah. Kita tak perlu mengurusi orang-orang di luar itu. Bukankah begitu, Liong-ong?"

Pek-i Liong-ong menengadahkan mukanya ke atas sebentar, kemudian mengangguk. "Kau benar, Hai ong. Nah, silakan kau berbicara....!"

Sekali lagi Tung-hai-tiauw tertawa puas. Sambil mengelus-elus golok pusakanya si Raja Bajak Laut yang ganas itu berkata. "Hahaha....! Mengapa aku harus mengulangi lagi kata-kataku? Bukankah Liong-ong juga sudah mendengarnya tadi? Bukankah Liong-ong sudah berada di pendapa ini semenjak utusanmu itu datang?"

Pek-i Liong-ong menatap mata lawannya dengan tajam. "Baiklah, aku tak tahu, apakah kau benar-benar mengetahui kedatanganku atau cuma menduga-duga saja. Yang jelas aku memang telah mendengar seluruh ucapanmu tentang baju mustika Kim-pouw-san itu."

Ketua Aliran Mo-kauw itu berhenti untuk mengambil napas sebentar. Setelah itu ia melanjutkan lagi perkataannya. "Cuma yang menjadi masalahnya sekarang adalah... hmm....?"

"Apakah masalahnya, hei? Ayo, lekaslah kau sebutkan," Tung-hai-tiauw yang kasar itu mendesak.

"Hmm.... betulkah engkau ini pemiliknya yang asli? Apakah buktinya? Siapa tahu kau hanya mengaku-aku saja?"

"Bangsat!" Tung-hai-tiauw menggebrak meja dengan kerasnya. Wajahnya yang kasar itu menjadi merah padam. Matanya melotot buas sehingga Bhong Kim Cu dan Leng Siauw buruburu berdiri di samping Pek-i Liong-ong. Mereka bersiap siaga kalau-kalau raja bajak laut itu menjadi kalap dan menyerang ketuanya.

"Bangsat! Kau kira aku cuma mengaku-aku saja, heh? Bagaimana kami sampai tahu kalau pusaka itu berada di tangan kalian, kalau kami cuma mengaku-aku saja? Sudah sejak lama kami mencari-cari dan menyelidiki hilangnya pusaka itu, tahu? Baju pusaka itu semula dipakai oleh puteriku ini lalu dirampas oleh Song-bun-kwi Kwa Sun Tek dari perguruan Tai-bong-pai. Nah, bagaimana aku harus membuktikannya kalau Song-bun-kwi itu telah dibunuh oleh kedua utusanmu itu?"

Pek-i Liong-ong lalu berdiri pula dari kursinya. Walaupun lawannya mengumpat-umpat dan membentak-bentak namun orang tua itu tetap tenang dan tidak menjadi marah. "Maaf, Hai-ong. Kalau hanya itu alasanmu, terus terang aku tak bisa memberikannya."

"Apa? Apakah kau tak memikirkan nasib orang-orangmu yang ada di dalam penjara kami? Apakah kau tega membiarkan mereka terbunuh hanya karena kau ingin mempertahankan benda itu?" Tung-hai-tiauw masih mencoba mempengaruhi lawannya.

Tiba-tiba Pek-i Liong-ong menarik napas panjang sekali. Perlahan-lahan orang tua itu menoleh ke arah muridnya. "Bagaimana pendapatmu, Bhong Kim Cu?" bisiknya perlahan.

"Mhhmm.... memang sangat berat untuk memutuskannya, Mo-cu. Tapi.... terserahlah bagi Mo-cu untuk memutus kailnya. Saya selalu siap menerima perintah Mo-cu." Bhong Kim Cu menjawab.

"Ehmm.... lalu menurut engkau bagaimana, Leng Siauw?"

Pek-i Liong-ong ganti menanyakan pendapat Leng Siauw, muridnya yang banyak akal dan pandai. Murid kedua dari ketua Aliran Mo-kauw itu menatap wajah Tung-hai-tiauw dengan sinar mata geram. Sambil mengepalkan tinjunya ia menjawab. "Mereka memang sangat licik, Mo-cu. Tapi apa boleh buat, semuanya telah terjadi. Kita harus bisa mengatasinya dengan kepala dingin."

"Benar. Itulah yang hendak kuketahui darimu. Nah, coba katakan pendapatmu!‖ Pek i Liong-ong mengangguk-angguk.

"Mo-cu, maafkanlah kalau pendapatku nanti salah."

"Jangan takut! Katakanlah!"

"Begini. Mo-cu. Dalam hal bagaimanapun kukira kepentingan Mo-kauw harus diutamakan. Benda itu kukira tidak begitu penting bila dibandingkan dengan nyawa orang-orang kita yang dipenjara oleh mereka...."

"Su-te.....?" Bhong Kim Cu memotong dengan suara kaget.

"Maafkan aku, su-heng....."

"Bhong Kim Cu, biarkan su-temu berbicara!" Pek-i Liongong menegur muridnya.

Setelah mengangguk ke arah su-hengnya, Leng Siauw meneruskan pendapatnya. "Mo-cu, agama kita tidak memerlukan baju mustika itu. Agama kita lebih memerlukan orang-orang yang sanggup mendalaminya, menganutnya dan sekaligus juga mengamalkannya. Apalagi baju mustika itu cuma sebuah benda mati, sementara orang-orang kita itu adalah makhluk-makhluk hidup yang perlu dihormati dan dilindungi. Oleh karena itu, kalau kita dipojokkan dalam suatu pilihan, kita lebih baik memilih orang-orang kita dari pada baju mustika itu. Meskipun demikian.... hal itu juga tidak berarti kalau kita takut kepada mereka!"

Pek-i Liong-ong mengangguk-angguk memahami ucapan muridnya. "Jadi maksudmu?" orang tua itu bertanya.

"Kita membuat perjanjian dengan mereka. Kita menyerahkan baju mustika itu kepada mereka. Tapi mereka juga harus melepaskan semua orang kita."

"Tapi, mereka akan beranggapan bahwa kita takut kepada mereka!" Bhong Kim Cu menyela lagi.

"Tidak, su-heng. Setelah semua perjanjian itu dilaksanakan dengan baik oleh mereka, baru kita nanti menunjukkan taring kita kepada mereka. Kita tantang mereka, agar supaya mereka tahu bahwa sebenarnya kita tidak takut menghadapi mereka. Kita kalahkan mereka, supaya mereka tahu bahwa kita ini lebih baik dari pada mereka!" Leng Siauw berbisik semakin lama semakin perlahan.

Pek-i-Liong-ong bertepuk tangan gembira. "Bagus. Aku setuju dengan pendapatmu, Leng Siauw. Biarlah sekarang kurundingkan dengan mereka."

Tung-hai-tiauw yang sudah tidak merasa sabar lagi itu bertepuk tangan pula. "Hei? Apakah kalian sudah selesai berunding? Hmm, Liong-ong..... apakah keputusanmu?"

Pek-i Liong-ong tersenyum, kemudian mengangkat kedua telapak tangannya di dada. "Baiklah, Hai-ong.... aku akan menyerahkan baju Kim pouw-san itu. Tapi dengan syarat..."

''Hahaha.... apa syaratmu, heh?"

"Kau juga harus melepaskan semua orang-orangku yang telah kau penjara. Bagaimana.....?"

Bukan main senangnya Tung-hai tiauw. "Bagus! Bagus! Hahaha.... kuterima syaratmu! Nah, dimanakah baju itu! Lekas kauserahkan kepadaku!"

Tapi dengan cepat Pek-i Liong-ong menggoyang-goyangkan telapak tangannya. "Kita berbareng menyerahkannya. Kau keluarkan dulu orang-orangku. Setelah itu aku juga akan mengeluarkan baju Kim-pouw-san itu. Kemudian kita menukarkannya bersama-sama."

Tung-hai-tiauw terperangah. "Bangsat! Baiklah, aku akan memenuhi permintaanmu. Tapi awas kalau kau berbohong, aku akan mencincangmu sampai lumat!"

Pek-i Liong-ong tersenyum. Sama sekali orang tua itu tidak tersinggung mendengar bentakan-bentakan yang menyakitkan itu. Dengan tenang ia duduk kembali di kursinya.

Demikianlah, beberapa waktu kemudian pendapa itu menjadi sibuk dengan kawanan bajak laut yang membawa keluar para tawanan mereka. Lebih kurang dua puluh orang anggota Aliran Mo-kauw yang masih dalam keadaan terikat kedua kaki dan tangannya, mereka dorong dan mereka kumpulkan di ruangan tersebut.

Para tawanan itu tampak amat lelah dan menderita. Sebagian dari mereka malah tampak sedang menderita sakit atau menderita luka-luka di tubuhnya. Mereka rata-rata sangat terkejut begitu melihat Mocu atau ketua mereka.

"Nah, lihat mereka itu, Su-heng! Apakah kita akan tega melihat kesengsaraan orang-orang kita itu? Apa gunanya benda mati itu bila dibandingkan dengan nyawa mereka?"

Leng Siauw berbisik dengan nada geram kepada su-hengnya. Bhong Kim Cu menjadi sadar pula. "Kau benar, su-te." desahnya perlahan.

"Nah, Pek-i Liong...! Coba kau lihat orang-orangmu ini! Sudah cocok atau belum? Kalau sudah... hehehe... ayo, kau keluarkan baju Kim-pouw-san itu di hadapanku!" setelah selesai semuanya Tung-hai-tiauw berseru kepada Pek-I-Liong-ong.

"Mo-cu...!" para tawanan itu berbisik gemetar menyebut ketua mereka.

"Baiklah.....?" Pek-i Liong-ong berseru pula, kemudian membuka jubahnya dan melepaskan baju Kim-pouw-san yang melekat di dadanya.

Tung-hai-tiauw terbelalak gembira. Si Raja Bajak Laut itu lalu melangkah ke depan seakan sudah tidak sabar lagi melihat mustika yang diimpi-impikannya itu. Tapi dengan tangkas Pek-i Liong-ong meloncat mundur pula. "Jangan tergesa-gesa Hai-ong! Kau belum memerintahkan anak buahmu untuk melepaskan tali-tali pengikat itu!" katanya keras.

"Bangsat....!" Tung-hai-tiauw menggeram marah. "Masakan aku mau berbuat demikian bodohnya dengan melepaskan ikatan mereka? Bukankah dengan demikian sama saja aku melepaskan kawanan singa di rumahku, heh? Ayoh, serahkan baju mustika itu, dan aku akan menyerahkan orang-orangmu dalam keadaan masih terikat begitu! Kalian sendirilah yang harus melepaskan ikatan itu! Cepat...!"

Pek-i Liong-ong memandang Leng Siauw sekejap. "Bagaimanakah pendapatmu, Leng Siauw?" bisiknya perlahan.

Leng Siauw menghela napas panjang. "Apa boleh buat... Kita terpaksa menurutinya. Silahkan Mo-cu memberikan benda itu kepadanya. Biarlah tee-cu dan Bhong su-heng yang melepaskan ikatan tali itu." katanya perlahan pula.

"Liong-ong! Kau menunggu apalagi? Bukankah aku sudah menyerahkan semua tawananku?" Tung-hai-tiauw membentak lagi.

"Baiklah, Hai-ong. Tapi.... apakah aku benar-benar bisa memegang janjimu tadi...?" Pek-I Liong-ong masih mencoba untuk mengulur waktu. Sementara itu Bhong Kim Cu dan Leng Siauw bergegas menghampiri para tawanan untuk melepaskan ikatan mereka.

"Persetan! Kau boleh percaya, boleh tidak! Pokoknya aku telah meluluskan permintaanmu untuk melepaskan tawanan-tawanan itu! Habis perkara!"

Terpaksa Pek-i Liong-ong tak bisa menundanya lagi. Seakan-akan dengan berat hati ia menyerahkan baju pusaka itu kepada lawannya. Sementara hatinya agak sedikit terhibur tatkala dengan sudut matanya melihat sudah ada lima atau enam orang tawanan yang dilepaskan ikatannya. Di pihak lain Tung-hai-tiauw tampak sangat bergembira sekali. Baju mustika Kim-pouw-san itu dibolak-balik dan dipandanginya sambil tertawa-tawa.

"Li Ing, lihatlah! Baju Kim-pouw san yang kauhilangkan itu telah kita ketemukan kembali. Hahahaha....!"

"Tapi.... bagaimana dengan orang-orang Mo-kauw ini, ayah?" Tiauw Li Ing tetap cemberut.

"Hahaha.... biarkan mereka pergi!"

"Tapi mereka tahu tentang baju mustika kita, ayah." Tung-hai-tiauw menghentikan tawanya secara tiba-tiba. "Maksudmu....?" serunya tertahan.

"Ayah tentu bisa membayangkan, bagaimana repotnya kita nanti bila khabar tentang Kim-pouw-san ini tersebar di dunia persilatan."

Tung-hai-tiauw terdiam. Matanya yang besar kemerahan itu terbelalak memandang puterinya. Dan perlahan-lahan ia mulai mengerti maksud puterinya itu.

"Lalu.....?" desahnya perlahan dan hampir tak terdengar.

Gadis yang cantik itu menyeringai kejam. "Habisi saja semuanya!" cetusnya dingin.

"Tapi aku telah berjanji kepadanya." Tung-hai-tiauw berkata ragu.

"Persetan dengan janji itu. Sejak dahulu golongan kita juga tak pernah disebut sebagai kesatria yang selalu memegang janji. Apalagi ayah tadi tak menjanjikan keselamatan kepada mereka. Ayah hanya berjanji untuk menukar pusaka itu dengan para tawanan. Dan janji itu telah ayah penuhi."

Tung-hai-tiauw tertawa bengis. "Bagus! Bagus! Kau benar, haha....! Kalau begitu.... mari kita basmi mereka!"

"Marilah, ayah!"

Demikianlah, setelah mengenakan baju Kim-pouw-san itu di badannya, Tung-hai-tiauw lalu menerjang Pek-i Li ong kembali. Golok pusakanya yang tajam luar biasa itu menyambar-nyambar laksana burung garuda mengejar mangsanya. Sementara di tempat lain Tiauw Li Ing menyerang Bhong Kim Cu dan Leng Siauw yang sedang sibuk melepaskan tali-tali pengikat anak buahnya.

"Panggil beberapa orang touw-bok kemari untuk membantu aku!" sambil menyerbu lawannya gadis cantik itu masih sempat berteriak kepada anak buahnya pula. "Kurang ajar! Mengapa nona menyerang kami? Bukankah kita telah......?"

"Persetan! Pokoknya kalian semua harus mati! Habis perkara!‖ Tiauw Li Ing memotong perkataan Bhong Kim Cu.

"Gila! Kalian memang manusia-manusia kasar yang tak mengenal tata-tertib dan sopan-santun!" Bhong Kim Cu mengumpat, kemudian melayani serangan gadis cantik itu dengan kemarahan yang meluap-luap.

Sementara itu Pek-i Liong-ong dan Tung-hai-tiauw telah terlibat dalam pertarungan yang sengit pula. Meskipun di dalam Buku Rahasia itu nama Pek-i Liong-ong ditulis dua tingkat di atas Tung-hai-tiauw, namun karena Tung-hai-tiauw sekarang mempergunakan dua pusaka sekaligus, yaitu baju Kim-pouw-san dan golok emas Toat-beng-to, maka perbedaan tingkat kepandaian tersebut menjadi tidak berarti lagi. Bahkan di dalam beberapa kesempatan golok pusaka itu justru menjadi sangat berbahaya bagi keselamatan Pek-i Liong-ong.

"Tak kusangka tokoh tersohor semacam ini masih suka menjilat ludah sendiri. Dasar...." Pek-i Liong-ong mendengus gusar.

"Hahaha...! Jangan berang, Liong-ong! Apakah kau telah lupa siapa aku ini, heh? Aku adalah Raja Perompak Lanun! Apa yang hendak kauharapkan dari orang seperti aku ini? Apalagi aku tadi tak merasa menjanjikan keselamatan bagi kalian semua, hahahah....!"

"Baik! Kalau begitu aku memang tidak mempunyai pilihan lain lagi." Pek i Liong-ong berdesah seraya mengeluarkan cambuk bergeriginya yang berwarna putih.

Dan sementara itu kawanan bajak laut yang berada di luar pendapa tampak berbondong-bondong masuk memenuhi panggilan Tiauw Li lng tadi. Tiga atau empat orang touw-bak yang memiliki kepandaian tinggi tampak memimpin mereka.

Dan kedatangan mereka segera disambut oleh tokoh-tokoh Aliran Mo-kauw yang telah dilepaskan tali pengikatnya. Mereka bertempur secara serabutan seperti layaknya dua pasukan musuh di medan laga, sehingga semua perabotan di dalam ruangan itu menjadi porak-poranda.

Bhong Kim Cu yang berhadapan dengan Tiauw Li Ing terpaksa harus mengakui keunggulan gadis itu lagi. Selain kipasnya yang hebat, gadis itu mahir sekali melontarkan senjata rahasia. Berkali-kali tokoh Aliran Mo-kauw itu harus berjumpalitan jatuh bangun untuk menyelamatkan dirinya.

Leng Siauw sendiri tak bisa membantu su-hengnya, karena dia juga harus menghadapi tiga orang touw-bak sekaligus. Dan para pengeroyoknya itu ternyata memiliki kepandaian yang hebat-hebat, sehingga untuk sementara waktu dia juga sulit untuk menundukkan mereka. Sedangkan tokoh-tokoh Aliran Mo-kauw yang sudah dilepaskan tali pengikatnya itu juga harus menghadapi kepungan bajak laut yang memenuhi ruangan tersebut.

Meskipun mereka itu rata-rata juga berkepandaian tinggi, namun karena lawan berjumlah banyak, apalagi banyak di antara mereka yang telah terluka ataupun letih, maka keadaan mereka itu juga sama saja. Alhasil nasib para tokoh Aliran Mo-kauw yang bertempur di dalam pendapa itu benar-benar seperti telur di ujung tanduk. Mundur atau maju akan sama saja. Setiap saat tentu akan hancur di tangan lawan.

Sementara itu di atas genting Liu Yang Kun benar-benar telah menguasai lawannya pula. Tiauw Kiat Su dan Tung-hai Nung-jin yang sangat lihai itu betul-betul tidak berdaya melawan ilmunya. Dan kenyataan tersebut sungguh sangat memukul batin Tiauw Kiat Su yang sombong dan merasa tak terkalahkan itu.

Demikianlah, di dalam keputus-asaannya tiada jalan lain bagi Tiauw Kiat Su selain mengeluarkan senjata pamungkasnya. Sebuah pek-lek-tan segera digenggamnya. Pemuda itu sudah tidak peduli lagi bila senjata peledaknya nanti akan memusnahkan tempat itu.

Wuuuuut! Dalam keadaan terpojok dan tak bisa mengelak lagi, tiba-tiba Tiauw Kiat Su melemparkan senjata peledaknya. Setelah itu dengan tergesa-gesa ia menjatuhkan diri di atas genting dan menggelundung ke bawah dengan cepatnya.

"Paman, lariii.....!" teriaknya kepada Tung-hai Nungjin.

Tung-hai Nung-jin terperanjat. Dia yang kebetulan sedang berada jauh dari Liu Yang Kun itu cepat melemparkan dirinya ke bawah genting pula.

Dhuuuuuuuuuuaaaaaaaarrrr....! Udara malam yang dingin itu tiba tiba disentakkan oleh suara ledakan yang maha dahsyat! Begitu dahsyatnya suara tersebut sehingga gedung yang megah itu bagai digoncang oleh gempa! Tembok gedung yang kokoh itu tampak merekah di beberapa tempat, sementara genting-gentingnya pun banyak yang melorot berhamburan ke bawah! Asap debu mengepul tinggi, seolah-olah di tempat itu baru saja terjadi ledakan gunung berapi.

Begitu dahsyatnya letusan itu, sehingga suaranya benar-benar menggoncangkan udara malam di kota kecil itu. Penduduk di sekitar tempat itu segera berlarian keluar dari rumah mereka. Tapi serentak mereka tahu bahwa suara letusan itu datang dari rumah luas, yang selama ini mereka anggap angker serta dihuni oleh sekelompok orang-orang aneh, mereka tidak berani datang mendekatinya. Mereka hanya berdiri bergerombol di kejauhan.

Sementara itu pertempuran seru di dalam pendapa gedung itu menjadi bubar dengan sendirinya. Semuanya berlarian keluar menyelamatkan diri. Mereka mengira kalau gedung itu hendak roboh. Beberapa orang yang telah terluka terpaksa diseret keluar oleh kawannya. Pek-i Liong-ong, Bhong Kim Cu, Leng Siauw, dan tokoh-tokoh Aliran Mo-kauw yang lain terpaksa menjebol pintu dan jendela agar dapat dengan segera meninggalkan ruangan tersebut.

Tung-hai-tiauw dan puterinya tidak ketinggalan pula. Kedua orang ayah dan anak itu telah lebih dulu keluar untuk kemudian mencegat lawan-lawan mereka itu di halaman. Sebab meskipun mereka bingung dan heran atas kejadian yang mendadak itu, mereka tetap tak ingin kehilangan lawan-lawan mereka.

Di lain pihak, walaupun Tiauw Kiat Su dan Tung-hai Nungjin telah berusaha dengan sekuat tenaganya untuk menghindari daya ledakan tersebut, tetapi mereka berdua tetap saja terhempas ke tanah dengan kuatnya. Mereka berdua jatuh berguling-guling dengan pakaian yang compang-camping. Dan secara kebetulan mereka jatuh terhempas di dekat Tung-hai-tiauw dan Tiauw Li Ing berdiri.

"Ko-ko....?" Tiauw Li Ing menjerit kaget.

"Nung-jin....?" Tung-hai-tiauw berseru kaget pula.

Meskipun macamnya sudah tidak keruan lagi, tapi Tiauw Kiat Su masih juga bisa tersenyum kepada ayah dan adiknya. "Jangan khawatir, kami tidak apa apa. Ledakan itu aku sendiri yang membuat. Terpaksa kulakukan untuk membunuh penyelundup itu." katanya puas dan bangga.

"Penyelundup? Jadi kau benar-benar mempunyai lawan lain selain orang-orang ini?" tukas Tung-hai-tiauw seraya menoleh ke arah Pek-i Liong-ong dan kawan-kawannya.

Ternyata Tiauw Kiat Su dan Tung hai Nung-jin pun menjadi kaget pula melihat kehadiran Pek-i Liong-ong di tempat itu. Apalagi ketika melihat beberapa orang tawanan mereka telah dibebaskan pula. Tung-hai-tiauw bisa menebak apa yang dipikirkan oleh Tung-hai Nung-jin dan Tiauw Kiat Su. Oleh karena itu ia segera menceritakan dengan singkat apa yang telah terjadi. Raja Bajak Laut itu juga menerangkan pula maksudnya untuk membasmi tokoh-tokoh Aliran Mo-kauw itu.

"Bagus, ayah. Aku pun telah membunuh penyelundup itu pula. Kuhantam dia dengan peluru peledakku, sehingga hancur-lebur menjadi abu." Tiauw Kiat Su menyombongkan diri pula. Sambil berkata pemuda itu melirik Tiauw Li Ing, adiknya.

"Kau hantam dia dengan peluru pemberian gurumu itu?" gadis cantik itu bertanya keheranan. "Mengapa? Apakah kepandaiannya sangat tinggi sehingga ko-ko terpaksa mengeluarkan senjata ampuh itu? Siapakah dia?"

Tiba-tiba Tiauw Kiat Su menjadi gugup. Pemuda itu tak mau adiknya tahu bahwa yang datang adalah Liu Yang Kun. Tapi bagaimana ia harus menjawabnya? "Paman....?" pemuda itu meminta pertimbangan Tung-hai Nung-jin.

"Entahlah. Kami belum pernah mengenalnya." Akhirnya orang tua itulah yang menjawab pertanyaan Tiauw Li Ing.

Gadis itu mengerutkan keningnya. Hatinya merasakan adanya keganjilan pada sikap kakaknya dan Tung-hai Nungjin, Mereka seperti sedang menyembunyikan sesuatu terhadapnya. Tapi ketika ia hendak bertanya lagi, tiba-tiba terdengar suara Pek-i Liong-ong kepada ayahnya.

"Tung-hai-tiauw....! Apa maumu sekarang? Kita lanjutkan lagi pertempuran kita?"

"Hahahaha.... tentu saja. Tanpa kau ingatkan pun kami akan tetap meneruskannya. Pokoknya kalian semua harus mati. Tak boleh ada yang hidup hahahaha...."

"Hmmh, kalau begitu kita harus menunggu apa lagi? Marilah....!"

Untuk sekejap Tung-hai-tiauw merasa kaget juga melihat ketenangan lawannya. "Hahaha... kau sungguh bernyali besar! Lihat golokku.....!" bentaknya.

Penasaran juga hati Tung-hai-tiauw menyaksikan ketenangan lawannya. Oleh karena itu ia tidak mau membuang-buang waktu lagi. Begitu menyerang langsung saja ia menggunakan seluruh tenaganya.

Wuuuuut! Ayunan golok mustika itu menimbulkan hembusan angin yang luar biasa kuatnya. Begitu kuatnya sehingga pengaruhnya terasa pula oleh orang-orang yang ada di sekitarnya.

Taaaar! Pek-i Liong-ong meledakkan cambuknya untuk mengurangi perbawa kehebatan lawannya. Kemudian dengan kelincahan kakinya ketua Aliran Mo-kauw itu melangkah dengan cepat ke samping. Setelah itu dengan kekuatan penuh pula cambuknya ia sabetkan ke lengan Tung-hai-tiauw yang memegang golok. Sinnnnnng.....!

Tung-hai-tiauw buru-buru menghindari pula. Lengannya ia tekuk ke bawah, kemudian ia putar ke depan menuju ke dada lawan yang terbuka. Namun Pek-i Liong-ong dengan gesit meloncat ke belakang, sehingga ujung golok itu juga menemui tempat kosong.

Demikianlah, kedua tokoh tingkat tinggi itu lalu terlibat kembali dalam pertarungan yang sengit. Masing-masing mengerahkan segala kemampuannya. Dan karena masing-masing juga memiliki kelebihan dan kekurangannya, maka pertempuran merekapun menjadi amat sulit untuk segera diketahui hasilnya.

Sementara itu Leng Siauw dan Bhong Kim Cu juga tidak mau tinggal diam pula. Melihat ketuanya telah turun tangan, mereka lantas maju ke depan pula. Dan langkah mereka segera dicegat oleh Tung-hai Nung-jin dan Tiauw Kiat Su.

Demikian pula halnya dengan para anggota Aliran Mo-kauw yeng baru saja dibebaskan dari penjara itu. Mereka segera menceburkan diri ke dalam arena pula. Mereka langsung berhadapan dengan para touw-bak dan anak-buah bajak laut yang luar biasa banyaknya itu. Sehingga untuk yang keduakalinya tempat tersebut menjadi ajang pertempuran seru dan kacau-balau.

Tapi seperti yang telah terjadi tadi, pihak Mo-kauw lah yang kemudian menjadi repot dan terdesak oleh kerubutan lawan mereka. Jumlah mereka memang tidak banyak, apalagi kondisi badan mereka juga kurang baik selama di dalam penjara. Meskipun demikian mereka tidak mau menyerah begitu saja. Mereka tetap saja bertarung dengan segala kemampuan mereka.

Di lain pihak, dengan masuknya Tung-hai Nung-jin dan Tiauw Kiat Su didalam arena, maka perimbangan kekuatan pun menjadi semakin berat sebelah. Bhong Kim Cu dan Leng Siauw yang harus menghadapi kedua tokoh bajak laut itu terpaksa harus memeras keringat pula. Masih beruntung yang dihadapi oleh Bhong Kim Cu adalah Tung-hai Nung-jin, sehingga sedikit banyak tokoh Mo-kauw itu masih memiliki beberapa keunggulan.

Tapi bagi Leng Siauw yang kebetulan harus berhadapan dengan Tiauw Kiat Su, benar-benar harus menguras segala kemampuannya. Itu pun ternyata juga tidak banyak menolongnya, karena bagaimana pun juga ilmu kepandaian Tiauw Kiat Su masih beberapa tingkat di atasnya.

Begitulah, beberapa waktu kemudian perimbangan kekuatan yang tidak sebanding itu mulai menampakkan hasilnya. Satu demi satu orang-orang Mo-kauw yang berhadapan dengan para touw-bak itu mulai berjatuhan. Mereka tergeletak mandi darah di atas tanah. Tubuh mereka seolah hancur terkena amukan senjata para pengeroyoknya.

Pek-i Liong-ong bukan tidak melihat musibah yang menimpa anak buahnya itu. Tapi apa dayanya? Dia sendiri juga sudah terikat dengan lawannya. Sementara kedua pembantunya. Bhong Kim Cu dan Leng Siauw, juga telah disibukkan oleh musuh mereka sendiri-sendiri. Bahkan korban yang berjatuhan di pihaknya itu tampaknya juga sangat mempengaruhi perlawanan pembantunya itu. Mereka berdua tampak sangat terpukul batinnya, sehingga beberapa kali mereka membuat kesalahan dan hampir celaka karenanya.

Demikianlah, dalam saat-saat yang menegangkan itu tiba-tiba terdengar bentakan yang sangat keras, yang disertai tenaga dalam yang amat tinggi, sehingga rasa-rasanya semua isi dada dari orang-orang yang berada di halaman itu menjadi tergoncang karenanya. Begitu dahsyatnya pengaruh suara bentakan tersebut, sehingga beberapa orang bajak laut tampak terhuyung-huyung dan kehilangan keseimbangan.

Otomatis pertempuran itu terhenti. Semua mata mencari sumber suara itu. Mereka mengawasi tempat-tempat yang gelap, yang sekiranya dipergunakan untuk bersembunyi orang yang mengeluarkan suara itu. Tung-hai-tiauw juga terpaku diam di tempatnya. Raja Bajak Laut itu merasa berdebar-debar hatinya. Suara bentakan itu ternyata mampu menggoyahkan pemusatan tenaga dalamnya.

Begitu pula dengan Pek-i Liong-ong dan pembantu-pembantunya. Suara bentakan yang dilontarkan dengan kekuatan lwee-kang tinggi itu ternyata juga mampu menggetarkan isi dada mereka.

"Siapa....? Ayo keluarlah! Jangan bersembunyi ditempat gelap.....!" Tiauw Li Ing yang belum kebagian lawan itu berseru sambil bertolak pinggang.

Meskipun bersuara lantang, namun tampak pula bahwa gadis itu sangat gelisah dan tegang hatinya. Hal itu bisa dilihat pada matanya yang nanar serta jari-jari tangannya yang gemetar ketika menggenggam erat kedua buah kipasnya. Dan bagaimana halnya dengan Tiauw Kiat Su dan Tung-hai Nung-jin?

Ternyata kedua orang itu pun tidak kalah kagetnya dari pada yang lain. Malah boleh dikatakan rasa terkejut mereka jauh melebihi orang-orang yang ada di halaman itu. Suara bentakan itu seolah-olah suara petir yang meledak di telinga mereka karena suara itu adalah suara yang belum lama mereka kenal namun sudah membuat mereka ketakutan setengah mati.

"Aku tidak bersembunyi di tempat gelap, nona Tiauw. Aku berada di sini...." tiba-tiba terdengar suara itu lagi. Kali ini suara itu justru terasa sangat dekat dengan mereka. Bahkan suara itu seperti berada di tengah-tengah mereka.

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.