Memburu Iblis Jilid 23 karya Sriwidjono - "Setuju!" mendadak A Hek berseru tak terasa, sehingga semuanya tersenyum di dalam hati.
"Baik tuan. Kalau begitu aku akan memasaknya. Tapi tolonglah awasi jaringku! Angkat saja kalau sudah banyak isinya!" Si nelayan miskin berseru pula.
Demikianlah, malam itu mereka makan bersama dengan lauk ikan hasil tangkapan mereka sendiri. Rasa-rasanya perut Liu Yang Kun menjadi lapar sekali sehingga ia dan si Nelayan Miskin seperti berlomba menghabiskan hasil masakan sederhana itu. Sedangkan Si Buruk Rupa yang semula juga kelihatan bernafsu itu ternyata hanya makan sedikit saja. Bahkan lebih sedikit dari pada kakeknya malah.
Keesokan harinya perahu mereka tiba di sebuah dusun besar yang sangat ramai, yang kesibukannya hampir menyamai kota kecil. Dusun itu disebut orang dusun He-cung atau Dusun Ikan, karena dusun itu menjadi pusat penjualan ikan di daerah itu.
Dan sepagi itu pula pasar ikan yang berada di tepian sungai tersebut telah ramai dengan pedagang-pedagang yang datang dari luar daerah. Mereka memang telah biasa datang sepagi mungkin. Bahkan mereka kadang-kadang telah bermalam di pasar ikan tersebut, agar dengan demikian mereka bisa memperoleh hasil ikan dari tangan pertama. Sebab kedatangan para nelayan pencari ikan itu juga tidak bersamaan.
Mereka bisa singgah atau datang ke pasar itu setelah merasa cukup mendapatkan hasil. Ada yang datang setelah matahari terbit, tapi ada yang datang juga pada hari menjelang fajar. Bahkan yang memiliki nasib baik kadang-kadang malah sudah kembali di tengah malam.
Beberapa buah perahu yang tadi malam berlayar di dekat perahu Si Nelayan Miskin juga sudah tampak berlabuh di pasar ikan tersebut. Perahu-perahu itu juga sudah dikerumuni para tengkulak ikan. Seperti halnya perahu Si Nelayan Miskin, tampaknya mereka juga mendapatkan hasil yang melimpah pula malam tadi.
Dan kedatangan perahu Si Nelayan Miskin pun segera disongsong pula oleh para tengkulak itu. Bahkan seorang diantaranya malah telah mengayuh sampannya yang kecil, mendahului yang lain, merapat di sisi perahu Si Nelayan Miskin. Seorang lelaki kurus kecil namun berperut buncit segera menggapai pinggiran perahu Si Nelayan Miskin dan meloncat naik. Sedangkan temannya yang bertugas sebagai pengayuh sampan, segera mengambil tali pengikat sampannya dan menambatkannya pada perahu Si Nelayan Miskin.
"Ah, Tuan Coa....?" Si Nelayan Miskin menyambut kedatangan lelaki kurus itu dengan suara kurang senang sehingga Liu Yang Kun yang sedang tiduran di bangku perahu tertarik untuk melihatnya.
"Oho... apa kabar Ciok Kwan? Lama benar kau tak muncul? Kukira kau sudah tidak berani lagi datang kesini. Apakah kau sudah menyiapkan uang untuk melunasi hutangmu? Heheheh..." lelaki kurus berperut buncit itu menyahut. Suaranya terdengar acuh dan menjengkelkan.
"Hutang? Siapakah yang masih berhutang kepadamu?" Si Nelayan Miskin yang ternyata bernama Ciok Kwan itu tersentak marah. "Bukankah Tuan Coa sudah mengambil seluruh hasil penangkapan ikanku yang terakhir itu? Tuan pun tahu bahwa hasil itu sebenarnya terlalu banyak untuk melunasi hutangku kepada Tuan…."
Tengkulak kurus berperut buncit itu tertawa dingin. "Sudah lunas? Kau anggap hasil penangkapan ikanmu dulu sudah cukup untuk membayar hutangmu? Hihihi.... enak benar! Apa kau lupa bahwa hutang itu harus membayar bunga? Kau sangka hasil penangkapan ikanmu dulu itu sudah cukup untuk melunasi hutangmu kepadaku?"
Si nelayan miskin atau Ciok Kwan terbelalak matanya. Tampak benar kalau hatinya sangat penasaran mendengar perkataan tengkulak ikan itu. "Bukankah Tuan dulu bilang kalau uang itu bukan hutang, tapi….. uang muka? Dan uang muka itu Tuan berikan kepadaku, sebagai ikatan bahwa aku harus menjual semua hasil penangkapan ikanku kepada Tuan? Mengapa uang muka itu tiba-tiba berubah menjadi hutang? Bahkan kemudian… berbunga pula? Dimana ada peraturan seperti itu?"
"Hihi-hihi…" tengkulak itu tertawa semakin menyakitkan. "apa bedanya uang muka dan hutang? Pokoknya hasil penangkapan ikanmu dulu itu belum cukup untuk membayar hutangmu. Kau baru membayar pokok hutang dan separuh bunganya. Sedang separuh bunganya yang lain kini telah beranak-pinak pula dalam beberapa bulan ini. Dan, hmmm kelihatannya hasil ikanmu sekarang juga belum cukup untuk melunasinya, hi-hi-hiiii…"
Wajah Ciok Kwan menjadi pucat seketika. Air matanya mulai menggenang dan hampir menangis. "Kau... kau memang bangsat! K-kau memang bukan manusia!" jeritnya serak.
"Jangan merajuk! Aku akan memberikan keringanan kepadamu. Biarlah semua hutang itu kuanggap lunas dengan hasil ikanmu kali ini. Lain kali kita bisa mengadakan perhitungan lagi."
"Oh.... jangan!" Ciok Kwan berteriak seraya meloncat menghalang-halangi tengkulak itu. Tapi dengan sekali hentakan saja Ciok Kwan telah terpelanting menabrak pagar perahunya. Dan tengkulak itu lalu menoleh kepada tukang dayung atau pengawalnya.
''Ambil semua ikan Ciok Kwan ini. Masukkan ke dalam sampan kita!" serunya.
"Jangan! Oh, jangan ambil ikanku..!" Ciok Kwan merintih sambil memegangi kepalanya yang berdarah akibat membentur lantai perahu. Dengan terhuyung-huyung Ciok Kwan berdiri dan berusaha mencegah pembantu tengkulak yang bertubuh kokoh kekar itu mengambil ikan-ikannya.
Tapi tentu saja usahanya itu sia-sia saja. Baru dengan si tengkulak yang berperut buncit saja ia sudah kalah tenaga, apalagi berhadapan dengan si pengawal yang berotot kekar itu. Dengan mudah si pengawal itu mengangkat tubuhnya dan membantingnya di lantai perahu.
"Aouuuugh....!" Ciok Kwan menjerit, kemudian pingsan. Darah semakin banyak mengalir dari kepalanya. Bahkan dari lobang hidungnya pula.
Peristiwa yang berlangsung dengan cepat di atas perahu itu dapat dilihat dengan jelas oleh setiap orang. Tapi apa daya mereka? Setiap orang di tempat itu tahu belaka, siapakah tengkulak ikan she Coa itu? Meskipun mereka merasa kasihan kepada Ciok Kwan, namun mereka juga tidak berani menghalang-halangi tindakan orang she Coa itu.
Orang she Coa itu bernama Coa In Lok. Dia merupakan seorang tengkulak kaya yang licik dan sering menjerumuskan nelayan ke dalam perangkapnya. Pengawalnya sangat banyak, terdiri dari orang-orang kasar yang suka membuat onar dan kerusuhan. Hampir semua nelayan di daerah itu telah berada di dalam cengkeraman tangannya.
Sehingga boleh dikatakan bahwa para nelayan di daerah itu hanya merupakan orang-orang yang pekerjaannya mencari ikan, sementara hasilnya adalah Coa In Lok yang berkuasa. Nelayan-nelayan itu hanya sekedar memperoleh upah atau imbalan, padahal mereka itu mempergunakan peralatan dan perahu mereka sendiri.
"Hi-hihi-hi..... orang lemah seperti kau masih berani melawan aku. Huh!‖ Coa In Lok mencemooh seraya menendang punggung Ciok Kwan yang tak berdaya itu. Lalu serunya kembali kepada pengawalnya, "Cepat kuras ikan-ikan ini....!"
"Baik, Tai-ya (Tuan Besar)…!"
Tapi tiba-tiba terdengar suara nyaring yang mencegah mereka. "Tunggu!"
Coa In Lok dan pengawalnya terperanjat. Mereka menoleh ke arah suara itu berasal. Seorang pemuda bertubuh tinggi namun agak kurus tampak berdiri bertolak pinggang di haluan perahu. Matanya yang mencorong dingin itu seolah olah menyaingi sorot matahari yang baru saja terbit di ufuk timur. Tajam menyilaukan!
Sekejap bergetar juga perasaan Coa In Lok dan pengawalnya. Namun ketika tampak belasan orang kawan mereka di atas sampan di sekitar perahu itu, hati mereka menjadi besar kembali. Dengan perasaan ditenang-tenangkan Coa In Lok balas memandang Liu Yang Kun dan kemudian juga kakek Lo serta A Hek yang berwajah mengerikan itu!
Liu Yang Kun memang tidak tahan menyaksikan kekejaman dan keserakahan Coa In Lok. Dialah yang mengeluarkan suara tadi. Ia memang terlambat tampil ke depan, karena di dalam hatinya ia berharap agar supaya kakek Lo dan cucunya itulah yang tampil ke depan menolong Ciok Kwan. Namun ternyata harapannya itu sia-sia belaka. Kedua orang itu ternyata cuma diam saja di tempatnya. Mereka juga menunggu dan melirik saja kepadanya.
"Hi-hihi-hi.... kau siapa? Mengapa kau mencegah maksud kami untuk mengambil ikan-ikan ini? Apakah kau keluarga dari Ciok Kwan?" Coa In Lok bertanya dengan suara yang dibesar-besarkan agar tidak kentara rasa ketakutannya.
"Aku bukan apa-apanya orang itu, tapi aku muak melihat kelakuanmu. Tampaknya kamu dan kawan-kawanmu memang telah biasa bertindak sewenang-wenang begitu. Hmmm... awas kalau nelayan itu sampai mati karena ulah kalian!" Liu Yang Kun menggeram seraya melangkah ke tempat Ciok Kwan menggeletak.
"Hi-hihi-hi… lagaknya! Lalu… apa maumu?"
Liu Yang Kun yang hendak lewat di depan Coa In Lok dan pengawalnya itu mendelik. "Minggir!" bentaknya.
Coa In Lok melirik pengawalnya. Meskipun sedikit gemetar tapi ia tak beranjak dari tempatnya. "Jangan berlagak di depanku...!" katanya.
"Bangsat!" Liu Yang Kun mengumpat marah. Lalu tiba-tiba saja tangan Liu Yang Kun menyambar ke depan dan setengah detik kemudian pengawal yang hendak berlagak melindungi Coa In Lok itu telah terangkat tinggi-tinggi di udara. Selanjutnya sekali tangan Liu Yang Kun dikibaskan, tubuh pengawal itu terlempar jauh keluar perahu. Byuuur! Pengawal itu tercebur ke dalam air.
"Ooh....???" Coa In Lok terpekik ketakutan. Otomatis ia melangkah mundur untuk memberi jalan kepada Liu Yang Kun.
Pada saat yang sama di pinggir sungai terdengar tepukan riuh para penonton yang menyaksikan peristiwa tersebut. Rata-rata para penonton itu sangat bergembira melihat orang yang mereka benci itu dihajar orang. Tapi tepuk tangan itu segera terhenti pula ketika tiba-tiba muncul beberapa orang kaki-tangan Coa In Lok di tepi sungai itu.
Orang-orang itu mendelik ke arah penonton, lalu bergegas mengambil sampan dan bergabung dengan teman-teman mereka di sekitar perahu Ciok Kwan. Dua orang diantara mereka lalu meloncat ke atas perahu Ciok Kwan dan menolong majikan mereka turun ke sampan, setelah itu mereka memberi aba-aba untuk mengepung perahu Si Nelayan Miskin itu.
Sekarang para penonton menjadi cemas memikirkan keselamatan Liu Yang Kun. Semuanya terdiam sambil berdoa agar supaya orang yang belum mereka kenal itu dapat menyelamatkan diri dari kekejaman anak-buah Coa In Lok.
Kalau semua orang pada mencemaskan dirinya, sebaliknya Liu Yang Kun sendiri justru bersikap acuh tak acuh malah. Sama sekali pemuda itu tak mempedulikan keadaan sekitarnya. Perhatiannya hanya tercurah kepada Ciok Kwan yang pingsan.
"Paman.....! Paman.....! Sadarlah! Ikanmu ada disini…." Pemuda itu berbisik sambil memijit dan mengurut beberapa jalan darah di dada dan di leher Ciok Kwan.
"Oooooooh....?" Ciok Kwan mengeluh dan tersadar dari pingsannya.
"Paman.....? Apakah yang kaurasakan? Katakan! Jangan takut! Aku ada di dekatmu. Aku siap membantu paman…"
Ciok Kwan membuka matanya. Begitu tahu Liu Yang Kun ada di sampingnya, tangannya segera mencengkeram lengan pemuda itu. Matanya memandang dengan penuh harapan. "Tuan.... oh... Jangan biarkan bangsat itu merampas ikanku! Aku tak merasa berhutang kepadanya. Manusia serakah itu hanya ingin menguasai hasil ikanku," Ciok Kwan merintih.
"Jangan khawatir, paman. Aku akan membantumu. Aku takkan membiarkan mereka mengambil ikanmu. Akan kubunuh siapa saja yang berani menyentuhnya."
"Te-terima kasih, tuan. Bangsat itu... bangsat itu memang sudah selayaknya mati. Sudah banyak orang yang dibunuhnya. Sudah banyak orang yang dibuatnya menderita. Sudah banyak keluarga nelayan yang menjadi korbannya. Dia... dia memang patut mati."
Liu Yang Kun menggeretakkan giginya. Wajahnya terangkat dan matanya yang mencorong mengerikan itu mencari Coa In Lok. Namun keningnya segera berkerut. Ia tidak mendapatkan si tengkulak busuk itu di tempatnya. Sebaliknya pemuda itu malah melihat belasan manusia kasar mengepungnya. Mereka berada di atas sampan sampan kecil di sekeliling perahunya. Sekali lagi Liu Yang Kun menggeretakkan giginya.
"Benar, paman. Tampaknya orang itu memang sudah ingin mati. Dia mengerahkan orang-orangnya untuk membakar perahu kita. Tapi paman tak usah khawatir. Mereka takkan bisa berbuat apa-apa kepadamu. Di atas perahu ini banyak orang yang mampu mengusir dan bahkan memusnahkan mereka itu," katanya sambil melayangkan pandangannya ke arah kakek Lo dan cucunya yang diam saja sejak tadi.
Ciok Kwan membelalakkan matanya ketika menyaksikan belasan lelaki kasar mengepung perahunya dengan obor yang siap untuk dilontarkan. "To-tolonglah, tuan...." bisiknya ketakutan.
"Heii..... Ciok Kwan! Suruh kawanmu itu menyerahkan diri, lalu tinggalkan perahumu! Kau akan memperoleh pengampunan dari Tuan Coa!" tiba-tiba terdengar salah seorang diantara lelaki kasar itu berseru.
Dan ketika Liu Yang Kun memandang, dilihatnya pengawal yang ia lemparkan ke sungai tadi telah ditolong kawan-kawannya. Tampaknya dia adalah kepala dari kawanan lelaki kasar itu. Meskipun pakaiannya basah kuyup, namun wajahnya tampak merah padam menahan marah.
"Ba-ba bagaimana ini..... tuan? Mereka.... hendak membakar kita semua." Ciok Kwan semakin pucat dan gugup. Bibirnya gemetaran.
Liu Yang Kun menghela napas panjang, lalu bangkit berdiri. Otaknya sibuk mencari jalan yang baik untuk mengatasi keadaan yang dihadapinya. "Aku memang bisa saja menghabisi mereka. Tapi kalau mereka benar-benar mau membakar perahu ini memang sulit bagiku untuk menyelamatkannya. Kecuali kalau kakek Lo serta cucunya itu mau turun tangan membantuku," pikir pemuda itu seraya melirik teman seperahunya yang cacat itu.
"Ciok Kwan,....! Ayo cepat! Apa kau ingin melihat berkobarnya api dulu di perahumu, heh?" pengawal Coa In Lok itu mengancam lagi.
Liu Yang Kun menggeram kemudian dengan sangat terpaksa ia menoleh ke arah kakek Lo dan A Hek. "Nah kita tak mempunyai banyak waktu lagi. Mereka akan segera membakar perahu kita ini. Terserah kepada ji-wi (tuan berdua) untuk mengambil sikap. Ji-wi akan tetap berdiam diri saja, atau ikut membantu aku menyelamatkan perahu ini," katanya dingin.
A hek tetap berdiam diri. Cuma matanya saja yang melirik ke arah kakeknya. Tampaknya hatinya tetap tak tergoyahkan juga menyaksikan kekejaman Coa In Lok terhadap Ciok Kwan tadi. Tampaknya perasaannya juga sekejam wajahnya yang buruk itu.
"Baiklah, siauw-hiap. Kami berdua akan membantumu menyelamatkan perahu ini. Bagaimanapun juga kami masih membutuhkan perahu ini sampai di Cin-an nanti," akhirnya kakek Lo yang menjawab.
"Bagus. Kalau begitu kuserahkan keselamatan perahu ini kepada ji-wi. Aku akan menghadapi orang-orang itu," sahut Liu Yang Kun lega.
"Bagaimana, Ciok Kwan....? Kuhitung sampai lima, kalau kau tetap berdiam diri, aku akan memerintahkan untuk membakar perahumu. Nah, satu... dua... tiga....?" Pengawal itu mulai menghitung.
"Bangsat! Pergi kalian dari sini!" Liu Yang Kun memotong dengan suara menggeledek. Lalu kakinya menjajal lantai dan tiba-tiba saja tubuhnya 'terbang' menyerang.
"Aaaaah.....!" Untuk sekejap semua orang tertegun dan berdesah kaget menyaksikan kehebatan gin-kang Liu Yang Kun itu. Namun bagi orang-orang Coa In Lok rasa kaget itu segera berubah menjadi rasa cemas yang Iuar biasa pula. Dalam sekejap itu juga mereka segera menyadari bahaya yang hendak mengancam mereka. Terutama si pimpinan pengawal Coa In Lok yang secara langsung mendapat serangan Liu Yang Kun tersebut.
"Cepat menghindar...!!" tangan kanan Coa ln Lok itu berteriak parau seraya bergegas melompat ke sampan yang lain.
Orang-orang yang satu sampan dengan dia pun cepat melompat pula ke sampan yang lain. Meskipun demikian sambil melompat tidak lupa mereka menyambut kedatangan Liu Yang Kun dengan melemparkan obor yang ada di tangan mereka pula.
Wuuuut! Wuuuut! Braaaak!
Dengan mudah obor-obor itu ditepiskan Liu Yang Kun sehingga obor tersebut pecah dan apipun bertebaran kemana mana membakar minyak yang tertumpah dari dalamnya! Sebaliknya di dalam kemarahannya Liu Yang Kun segera mengerahkan lwee-kang ke kakinya, sehingga ketika ia mendarat di atas sampan si pengawal yang kosong itu, maka tiada ampun lagi sampan tersebut hancur berantakan!
Belasan anak buah Coa In Lok itu semakin merasa kaget dan cemas menyaksikan kelihaian Liu Yang Kun. Mereka benar-benar tidak menyangka kalau pemuda itu sedemikian hebat kepandaiannya.
"Lemparkan obor....!" dalam ketakutannya pemimpin pengawal Coa In Lok itu berteriak.
Sesaat kemudian, bersamaan dengan melentingnya kembali tubuh Liu Yang Kun dari sampan yang pecah itu, maka belasan atau bahkan puluhan buah obor pun segera berterbangan di atas permukaan sungai yang amat lebar tersebut. Sebagian diantaranya tampak melayang ke perahu Ciok Kwan, sementara yang sebagian lagi tampak menyerang tubuh Liu Yang Kun.
Tapi baik Liu Yang Kun maupun kakek Lo segera beraksi pula. Mati-matian mereka menghalau obor itu. Dengan kaki dan tangannya, atau kadang-kadang dengan pukulan jarak jauhnya Liu Yang Kun meruntuhkan obor-obor itu, sementara kakek Lo mengayunkan tongkatnya kesana-kemari menghalau obor-obor yang hendak menimpa perahunya.
Meskipun buta ternyata kakek tua itu hampir bisa menangkis semua obor yang datang. Sementara obor yang dapat lolos dari tongkatnya segera dipungut oleh A Hek untuk dilempar kembali kepada pemiliknya. Alhasil di atas sungai itupun segera berlangsung perang obor yang sangat mengasyikkan! Para penonton yang memadati pinggiran sungai itu segera bersorak-sorak riuh.
Apalagi ketika mereka menyaksikan orang-orang Coa In Lok yang tak mereka sukai itu tampak kewalahan menghadapi Liu Yang Kun yang ‗beterbangan‘ seperti burung walet diatas sampan-sampan itu. Bahkan sambil menyambar-nyambar Liu Yang Kun dapat melumpuhkan lawannya satu persatu.
Beberapa buah sampan tampak pecah atau terbalik ketika dilewati pemuda itu. Namun kegembiraan para penonton segera berubah menjadi ketegangan yang luar biasa ketika 'perang api‘ itu berubah menjadi 'pesta kebakaran‘ diatas sampan-sampan tersebut, yang kemudian bahkan ke sampan-sampan dan perahu-perahu yang sedang berlabuh di tepi sungai tersebut.
Penonton pun segera bubar berlarian menyelamatkan diri. Penonton yang merasa memiliki perahu atau sampan di tepian sungai itu pun bergegas pula dengan sekuat tenaga untuk menyelamatkan miliknya tersebut dari kobaran api. Tak seorang pun lagi yang memperhatikan atau menonton pertempuran diatas sungai. Semua perhatian hanya tertuju kepada api yang mengamuk di tepian sungai tersebut.
"Gila! Tak kusangka semuanya akan jadi begini! Tak kusangka tumpahan dan percikan minyak obor itu bisa menimbuIkan kebakaran besar seperti ini.' Liu Yang Kun mengeluh kesal sambil berloncatan menyelamatkan dirinya. Tangan kanannya tampak menjinjing tubuh Ciok Kwan yang juga telah berhasil ia selamatkan dari kobaran api itu pula. Namun pemuda itu tak tahu bagaimana nasib kakek Lo dan A Hek.
Demikianlah, sepagi itu penduduk dusun tersebut telah disuguhi 'pesta api‘ yang sangat menggemparkan. Ternyata tak seorangpun yang mampu menjinakkannya, meskipun kebakaran itu berlangsung diatas sungai yang berlimpah airnya. Hanya beberapa buah perahu saja yang selamat. Itupun karena mereka ditambatkan agak jauh dari tempat kebakaran, sehingga lidah api yang berkobar-kobar itu tak kuasa menjilatnya.
Dari belasan anak buah Coa In Lok itu ternyata hanya empat orang yang bisa menyelamatkan diri. Itupun dengan luka-luka bakar yang hampir menghancurkan seluruh kulit tubuh mereka. Sedangkan pengawal-pengawal yang lain telah tewas dan tenggelam bersama sampan-sampan mereka.
Dan kini diatas sungai tersebut tinggallah bekas-bekas rongsokan perahu dan sampan, yang terapung berserakan diantara genangan minyak yang belum terbakar. Perlahan-lahan mereka hanyut didorong aliran air sungai. Di beberapa tempat masih tampak asap mengepul dari kayu-kayu yang belum sepenuhnya padam dari cengkeraman api.
Liu Yang Kun membawa Ciok Kwan ke pinggir. Diletakkannya tubuh nelayan yang pingsan itu di bawah sebuah pohon yang rindang. Pemuda itu sengaja mencari tempat yang agak jauh dari tempat kebakaran tadi.
"Tuan....? Apakah tuan yang bernama Tuan Chin atau Tuan Liu?" Tiba-tiba seorang nelayan setengah baya muncul dari balik semak-semak dan menegur Liu Yang Kun. Dengan agak takut-takut nelayan itu mendekat.
Otomatis Liu Yang Kun meningkatkan kewaspadaannya. Matanya menatap nelayan itu dengan tajamnya. "Benar. Lo-pek siapa....? Mengapa mengetahui namaku?" Liu Yang Kun menjawab hati hati.
"Ooh....!" nelayan yang baru datang itu berdesah lega.
"Aku sudah menduganya sejak tadi. Sejak tuan mulai datang dan berselisih paham dengan tuan Coa itu. Apalagi seseorang telah mengatakan ciri-ciri tuan..." Nelayan itu lalu mengeluarkan secarik kertas dari saku bajunya.
"Tuan Chin.... Seseorang telah menitipkan surat kepadaku. Dia minta agar aku mau menyerahkan surat itu kepada tuan. Dan inilah surat itu!" katanya sambil menyerahkan kertas surat itu kepada Liu Yang Kun.
Dengan agak ragu-ragu Liu Yang Kun menerima kertas itu, kemudian membukanya. Hatinya segera berdesir keras ketika terbaca tulisan 'Teman Lama' di akhir surat itu.
"Ah... si sastrawan itu lagi!" Liu Yang Kun berdesah seraya membaca isi surat tersebut.
Saudara Chin,
Berhati-hatilah di dusun yang tampaknya kecil ini! Jangan sekali-kali berurusan dengan Coa In Lok, seorang tengkulak kaya yang amat berpengaruh di daerah ini! Maaf, terus terang aku belum bisa menjelaskan alasan-alasannya, karena aku sendiri juga belum sempat menyelidikinya. Namun yang terang orang itu sangatlah berbahaya. Dia sendiri tidak bisa silat, tapi dia mempunyai hubungan dengan seorang tokoh yang sangat berbahaya dari dunia persilatan!
Teman Lama
"Hmm.... sudah terlambat! Aku sudah terlanjur berurusan dengan tengkulak kaya itu. Bahkan aku sudah mengobrak-abrik para pengawalnya." Liu Yang Kun bergumam begitu selesai membaca surat itu. Lalu katanya kepada nelayan yang membawa surat itu,‖Lo-pek! Kapan surat ini dititipkan kepadamu? Kau kenal siapa nama orang itu?"
Nelayan setengah baya itu menggelengkan kepalanya. "Saya belum pernah melihat atau mengenalnya, tuan. Saya baru melihatnya ketika dia datang menitipkan surat itu di pagi-pagi buta tadi," jawabnya perlahan.
"Di pagi buta? Apakah dia juga naik perahu?"
"Ya. Tapi perahu itu hanya singgah sebentar. Cuma menambah perbekalan dan menjual hasil ikannya yang tidak begitu banyak. Tampaknya pemilik perahu itu sangat tergesa-gesa. Dan sementara para pekerja menurunkan ikan dari perahu, nona itu datang mendekati aku dan menitipkan surat itu."
"Nona.......?" Liu Yang Kun tersentak kaget. "Dia.... seorang gadis? Dia bukan seorang pemuda tampan berpakaian sastrawan?"
Saking kagetnya mendengar penuturan nelayan itu, Liu Yang Kun sampai lupa diri. Tangannya mencengkeram pundak nelayan tersebut, sehingga orang itu sampai menjerit kesakitan. Untunglah pemuda itu tidak mengerahkan tenaga saktinya.
"Eh-oh... maaf, lo-pek.... aku tak sengaja. Aku betul-betul kaget ketika kaukatakan bahwa orang yang menitipkan surat itu adalah seorang gadis. Aku benar-benar tak menyangkanya." Sambil mengusap-usap pundaknya yang masih terasa sakit, nelayan itu mengangguk-angguk. "Tak apa, tuan, tampaknya tuan memang betul-betul terkejut mendengar keteranganku tadi. Dan agaknya tuan juga belum mengenal nona cantik itu."
"Nona cantik....?" Liu Yang Kun menegaskan.
"Benar. Nona itu memang cantik sekali...."
"Oooooh....!" Liu Yang Kun berdesah.
Pemuda itu lalu duduk lemas di tanah. Pikirannya menjadi kacau. Benar-benar kacau. Manakah sebenarnya keterangan yang betul? Keterangan yang diberikan oleh pelayan rumah penginapan itu atau keterangan nelayan separuh baya ini? Mengapa keterangan mereka tentang 'teman lama' itu sangat berbeda?
Manakah yang benar, seorang pemuda tampan berpakaian sastrawan ataukah seorang gadis muda yang cantik sekali? Si nelayan pembawa surat itu menjadi kikuk juga menyaksikan Liu Yang Kun hanya terdiam dan termenung saja setelah membaca surat yang dibawanya itu. Oleh karena itu diam-diam ia melangkah mundur dan pergi dari tempat tersebut.
"Uuuuuuh......?!" tiba-tiba Ciok Kwan yang pingsan itu mengeluh sadar.
Liu Yang Kun tersentak kaget dari lamunannya. Matanya nyalang mencari nelayan yang membawakan surat untuknya itu. Tapi ia tak menemukannya. Orang itu telah pergi. Sebaliknya ia melihat Ciok Kwan telah siuman dari pingsannya. Nelayan miskin yang kini juga telah kehilangan perahunya pula itu tampak bangkit dari tidurnya. Dan begitu sadar orang itu segera teringat perahunya.
"Oh…. oh…. perahuku? Perahuku..? Diimana… dia?" jeritnya parau dengan wajah pucat pasi. Matanya tampak melotot memandang Liu Yang Kun dengan sinar mata putusasa.
Liu Yang Kun tak kuasa menatap wajah itu lama-lama. Ia mengerti perasaan nelayan miskin itu. Hatinya ikut menyesal pula. Dan ia merasa turut bertanggung-jawab atas hilangnya harta-benda satu-satunya dari keluarga miskin itu.
"A-a-apa.... apakah ia turut terbakar.....?" orang tua itu berkata pula hampir menangis.
Liu Yang Kun terdiam bingung serta tak tahu harus menjawab bagaimana. Ia tak ingin melihat sinar penderitaan dan keputus-asaan di wajah orang yang telah kenyang dengan kesengsaraan hidup itu. Tapi bagaimana ia harus mengembalikan perahu yang sudah musnah terbakar itu?
Tak terasa pemuda itu menggeram. "Aku harus mendapatkan gantinya! Persetan dengan peringatan 'Teman Lama' itu. Aku akan menuntut Coa In Lok! Dialah biang keladi semua kejadian ini! Huh!"
"Tu-tuan bilang a-a-apa…? Ciok Kwan tergagap meminta penjelasan.
Sekali lagi Liu Yang Kun menggeram. Kini lebih keras. "Paman, kau tak usah khawatir karena kehilangan perahumu. Aku akan mencarikan gantinya! Kau tunggulah disini, aku akan ke rumah tengkulak busuk itu!"
Bukan main terkejutnya Ciok Kwan. Jangan tuan! Dia... dia...?"
Tapi sambil mendengus dingin Liu Yang Kun telah berkelebat pergi dari tempat itu. Lapat-lapat masih terdengar suara ancamannya! "Paman tak usah takut! Lihat saja! Kalau bangsat busuk itu tak mau mengganti semua kerugianmu, hmm... seluruh harta bendanya juga akan terbakar musnah seperti perahumu itu!"
"Ooooh!" Ciok Kwan berdesah ngeri.
Sekejap saja Liu Yang Kun telah berada di tepian sungai itu kembali. Dan dilihatnya orang-orang masih ribut mengurusi bekas-bekas kebakaran tadi. Sebagian dari mereka tampak mengangkuti barang-barang yang masih dapat diselamatkan dari amukan api. Sementara yang lain lagi tampak sibuk mengumpulkan dan merawat mayat-mayat yang terapung di atas sungai.
Mereka kelihatan sibuk dan bekerja tanpa pamrih, seakan-akan mereka semua telah melupakan kebencian mereka kepada orang-orang yang sering berlaku kejam terhadap mereka itu. Dan semuanya segera terperanjat serta berdebar-debar hatinya begitu melihat Liu Yang Kun! Sama sekali mereka tak menyangka kalau pemuda itu kembali lagi. Mereka mengira kalau pemuda itu telah jauh meninggalkan dusun mereka.
"Tuan....? Eh.... mengapa tuan kembali lagi ke sini?" seorang nelayan tua segera menegurnya. Wajahnya tampak cemas.
"Benar! Mengapa tuan kembali lagi! Pergilah cepat! Sebelum Tuan Coa datang lagi dengan seluruh kekuatannya!" yang lain datang pula memperingatkan.
"Betul, tuan. Tuan jangan membahayakan diri tuan sendiri. Kami seluruh penduduk desa ini sudah sangat berterima kasih sekali melihat sepak terjang tuan tadi. Sekarang tuan harus lekas-lekas meninggalkan dusun ini! Tuan tak usah menentang seluruh kekuatan Tuan Coa yang amat kuat itu. Tengkulak busuk itu sudah cukup mendapat pengajaran....." seorang nelayan berambut putih ikut pula memberi peringatan.
Liu Yang Kun tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengucapkan rasa terima kasih atas perhatian mereka. Namun demikian ia juga menyatakan bahwa dirinya tak berniat untuk pergi meninggalkan desa itu sebelum semuanya menjadi beres. Bahkan dengan suara tegas ia menanyakan tempat tinggal Coa ln Lok.
"Biarlah kuselesaikan sekalian urusanku dengan dia itu agar dia tak membalas dendam kepada penduduk yang tak bersalah! Kalau perlu akan kubasmi habis semua kaki tangannya, sehingga dusun yang ramai ini menjadi aman...!" katanya menambahkan.
Ucapan pemuda itu segera disambut dengan gembira oleh orang-orang itu. Mereka telah menyaksikan sendiri kehebatan dan kesaktian pemuda itu. Meskipun demikian ada juga diantara mereka yang merasa sangsi atas keberhasilannya, karena bagaimanapun juga mereka telah menyaksikan kekuatan Coa In Lok dan anak-buahnya yang banyak itu. Setelah puluhan tahun keluarga tengkulak kaya itu berkuasa di daerah mereka.
Tapi sorak-sorai gembira itu segera terdiam ketika belasan orang lelaki kasar mendatangi tempat itu. Bahkan beberapa orang yang berhati kecil telah berlari lintang-pukang menyelamatkan diri. Sementara yang lain, yang tak sempat lari, tampak gemetaran kakinya. Mereka memandang kedatangan lelaki-lelaki kasar itu dengan wajah pucat seperti mayat.
Liu Yang Kun membalikkan tubuhnya. Dipandangnya belasan lelaki yang datang itu, dan ia segera bisa menebak siapa yang telah datang. Otomatis tangannya terkepal. Matanya menyala. Seorang diantara kawanan lelaki kasar itu maju ke depan. Wajahnya yang tinggi besar, dengan cambang dan jenggotnya yang lebat itu sungguh membuat orang menjadi segan dan takut.
Dan perhatian orang itu segera tertuju kepada Liu Yang Kun, karena sikap dan penampilan pemuda itu sama sekali lain dengan orang-orang yang ada di tempat itu. Kalau semua orang tampak pucat ketakutan, sebaliknya pemuda itu kelihatan tenang-tenang saja. Bahkan pada raut mukanya menampakkan wibawa atau perbawa yang menggetarkan hati siapapun yang menghadapinya. Tak terkecuali si tinggi besar yang berjenggot lebat itu!
Sementara itu hari telah semakin siang. Matahari telah merangkak semakin tinggi. Perahu pun semakin banyak yang berdatangan pula. Dan rata-rata semuanya menjadi kaget dan heran menyaksikan bekas-bekas kebakaran di tempat itu. Apalagi ketika melihat mayat mayat yang bertebaran di segala tempat.
Diantara perahu-perahu yang datang tampak pula sebuah perahu penumpang yang tiba dari arah hilir atau dari kota Cinan. Kelihatannya perahu penumpang itu hendak singgah dulu sebelum melanjutkan perjalanannya ke kota An-lei. Seorang lelaki gagah berusia empatputuh lima tahunan ikut turun dari atas perahu tersebut.
Di belakangnya berjalan juga dua orang pengawal yang umurnya juga sebaya dengan lelaki itu. Yang agak mengherankan pada orang-orang itu adalah kulit mereka. Ketiga-tiganya memiliki kulit yang amat pucat seolah-olah tak berdarah. Sementara sinar mata mereka tampak ganjil dan mengerikan.
Seperti halnya para penumpang yang turun dari perahu itu, maka ketiga orang itu pun juga berjalan mendekati Liu Yang Kun yang sedang menantikan kedatangan lelaki-lelaki kasar tersebut. "Hmmh.... kaukah yang telah membikin onar dan membunuh beberapa orang teman kami?" si tinggi besar bercambang lebat itu menghardik Liu Yang Kun.
Liu Yang Kun menyeringai dan menganggukkan kepalanya. "Benar! Dan sungguh kebetulan sekali kalian datang kesini, sehingga tak perlu berpayah-payah mencari rumah majikanmu," jawab pemuda itu tak kalah kakunya.
"Maksudmu.....?" si tinggi besar itu tersentak kaget dengan suara bergetar.
"Maksudku? Hmmh! Antarkan aku ke rumah Coa In Lok keparat itu! Aku hendak membuat perhitungan dengan dia!" Liu Yang Kun menggeram dengan suara menggeledek.
"Bangsat...!!" si tinggi besar itu mengumpat.
Tiba-tiba kawanan lelaki kasar itu menebar dan masing-masing juga telah mencabut senjatanya. Mereka mengepung Liu Yang Kun. Dan orang-orang yang berada di tempat itupun segera berlarian menyingkir. Begitu pula dengan tiga orang lelaki pucat itu. Mereka juga menyingkir, meskipun tidak berlarian seperti yang lain. Mereka melangkah dengan tenang. Bahkan di wajah mereka tersungging senyuman gembira melihat tontonan kekerasan yang hendak berlangsung di depan mereka itu.
"Minggir.....!" beberapa orang diantara lelaki kasar itu menggertak melihat langkah mereka yang pelan itu.
"Kurang......" salah seorang dari kedua pengawal lelaki gagah itu hendak mengumpat, tapi cepat dicegah oleh lelaki gagah tersebut.
"Ssssst.... biarkan saja! Kita lihat dulu keramaian ini!" lelaki gagah itu berkata, lalu menarik lengan kedua pengawalnya ke pinggir.
"Maaf, su-heng... dia...?" pengawal itu mencoba membela diri.
Tapi belum juga pengawal itu menyelesaikan kata-katanya, beberapa orang lelaki kasar yang membentaknya itu tiba-tiba mendelik dan kemudian jatuh tertelungkup diatas tanah. Kulit tubuh mereka tiba-tiba juga berubah menjadi putih pucat seperti kapur, sementara dari lobang mulut, hidung dan telinga mereka mengalir darah segar. Mereka tewas dengan mengerikan!
Tentu saja lelaki gagah itu menjadi kaget. Sambil menggamit lengan pengawalnya ia berbisik. "Hei, Nyo-su-te...? Kenapa orang itu? Diam-diam kau telah melepaskan Jarum Cit-hoan tok-ciam (Jarum Beracun Tujuh Langkah) ya?"
"Maaf, Kim su-heng.... aku tak sengaja," bisik orang yang disebut Nyo-sute itu sambil menundukkan kepalanya.
Orang yang ketiga dari mereka itu segera menengahi. "Sudahlah, Kim suheng… Nyo su-heng telah terlanjur berbuat dan ia sudah mengakui kesalahannya. Maafkanlah dia," katanya dengan berbisik pula. Kemudian sambungnya lagi.
"Dan.... kukira orang-orang itu juga tidak tahu kalau yang membunuh kawan-kawan mereka adalah Nyo su-heng."
"Hmmmh.... kuharap memang demikian. Tapi siapa tahu ada orang yang bisa melihatnya? Misalnya pemuda jangkung itu?" lelaki gagah itu menggeram tertahan seraya melirik Liu Yang Kun. "Dan sebenarnya aku juga tidak peduli kalau Nyo sute itu suka membunuh orang. Kukira selama ini aku juga tak pernah melarang atau menghalang-halanginya. Tapi saat ini kita sedang bertugas mencari dan melacak tempat tinggal suhu. Kalau belum-belum kita sudah membikin onar di daerah yang kita tuju, bagaimana kita bisa menemukan orang tua itu?"
Sebenarnyalah bahwa orang-orang Coa In Lok itu tiada yang tahu persis siapa yang membunuh teman-teman mereka itu. Bahkan mereka itu, terutama si tinggi besar bercambang lebat itu cenderung untuk menuduh bahwa Liu Yang Kun lah yang telah menewaskan kawan-kawan mereka tersebut.
"Bangsat pembunuh! Kau memang licik dan kejam luar biasa!" teriaknya seraya menyerang Liu Yang Kun dengan golok besarnya.
Tetapi Liu Yang Kun yang tahu siapa sebenarnya pembunuh orang-orang Coa In Lok itu juga tidak mempedulikan tuduhan tersebut. Bahkan tiba-tiba pemuda itu juga tidak berselera untuk melayani orang-orang kasar itu. Perhatiannya tiba-tiba terpusat pada tiga orang misterius itu! Namun karena ia diserang oleh si tinggi besar, bahkan kemudian juga diikuti pula oleh kaki tangan Coa In Lok yang lain, maka pemuda itu terpaksa harus bergerak pula untuk melayani serbuan mereka.
Untunglah kawanan lelaki kasar pimpinan si tinggi besar tersebut tidak banyak bedanya dengan kawanan pengawal yang dibawa oleh Coa In Lok tadi pagi. Mereka hanyalah orang-orang kasar yang mengandalkan kekuatan otot belaka. Jikalau mereka memiliki ilmu-silat, itupun juga hanya sekedar ilmu silat biasa pula, yang tidak mempunyai keistimewaan atau kehebatan yang pantas untuk ditakuti.
Apalagi oleh Liu Yang Kun yang telah mencapai tingkat hampir sempurna itu. Sebenarnya tanpa menghindarpun senjata orang-orang itu takkan mampu menggores atau melukai kulit daging Liu Yang Kun. Hanya saja pemuda itu memang tak ingin pakaiannya menjadi rusak oleh sabetan-sabetan senjata mereka.
Demikianlah, sambil melayani keroyokan orang-orang Coa In Lok, diam-diam Liu Yang Kun tak pernah melepaskan perhatiannya kepada tiga orang yang mencurigakan itu. "Ketiga orang itu tentu memiliki kesaktian yang sangat hebat. Dan yang jelas orang itu suka menggunakan racun pula. Aku harus berhati-hati bila berhadapan dengan mereka. Apalagi kelihatannya mereka bertiga juga bukan orang baik-baik," pemuda itu berkata di dalam hatinya.
Akhirnya pemuda itu menjadi bosan juga melayani orang-orang Coa In Lok itu. Ketika kemudian ia meningkatkan ginkangnya, maka kawanan manusia kasar itupun segera menjadi bingung dan kehilangan lawan. Mereka lalu menyerang dengan ngawur sehingga yang terjadi kemudian adalah saling gebuk diantara mereka sendiri. Korbanpun segera berjatuhan.
Dan pertempuran itupun segera berhenti pula dengan sendirinya. Ternyata mereka menjadi sadar bahwa mereka telah terhanyut dalam pertempuran diantara mereka sendiri, sementara lawan yang harus mereka hadapi justru telah tiada diantara mereka. Pemuda yang mereka keroyok itu sudah berdiri tenang di pinggir arena.
Tentu saja kenyataan itu telah membuka pikiran mereka. Sekarang mereka menyadari bahwa pemuda yang hendak mereka tangkap itu sebenarnya memiliki ilmu silat yang sangat tinggi, yang tidak mungkin dapat mereka lawan. Satu-satunya jalan hanyalah meninggalkan tempat itu dan melaporkannya kepada Coa In Lok, majikan mereka.
"Nah.... bagaimana sekarang? Mau tidak mengantarkan aku ke rumah majikanmu? Atau kalian ingin melanjutkan lagi permainan ini?" dari pinggir arena Liu Yang Kun berseru kepada mereka.
"Ba-baiklah...! Marilah tuan kami antar kesana....!" akhirnya si lelaki tinggi besar bercambang lebat itu menjawab lemah. Segores luka tapak memerah di atas punggungnya, akibat senjata temannya sendiri yang tak sengaja.
Si tinggi besar itu lalu memerintahkan anak-buahnya untuk merawat dan membawa teman-temannya yang mati ataupun terluka beserta mereka. Kemudian ia berjalan mendahului, setelah lebih dahulu mempersilakan Liu Yang Kun untuk mengikutinya.
Liu Yang Kun melirik sekejap ke arah tiga orang asing yang dicuriganya itu, kemudian melangkah mengikuti rombongan kaki tangan Coa In Lok tersebut. Dan penduduk yang berada di tepian sungai itupun lantas bubaran pula, sementara yang belum menyelesaikan pekerjaannya segera melanjutkan lagi.
Cuma sekarang mereka tinggal membersihkan bekas-bekas kebakaran itu saja, karena mayat-mayat kaki tangan Coa In Lok sudah dibawa serta kawanan manusia kasar anak-buah tengkulak kaya itu.
"Hei.... lalu bagaimana dengan kita bertiga, Kim su-heng?" salah seorang diantara tiga orang asing itu tiba-tiba berbisik kepada yang lain.
Dan orang yang diajak berbicara itu tampak mengerutkan keningnya. "Hmm.... bagaimana, ya? Bagaimanakah kalau menurut pendapatmu, Tang su-te?" lelaki gagah itu balik bertanya.
Saudara termuda yang dipanggil dengan sebutan 'Tang sute' itu juga mengerutkan dahinya pula. "Wah, kalau aku menurut saja semua keputusan Kim su-heng dan Nyo su-heng. Uh, bagaimana pendapatmu, Nyo suheng?"
Orang yang tadi telah membunuh beberapa orang kaki-tangan Coa In Lok dengan jarum Ci-hoan-tok-ciam itu juga mengangkat pundaknya. "Akupun terserah kepada Kim suheng. Dialah yang tertua diantara kita bertiga. Dan dia pula yang menjadi wakil su-hu selama beliau pergi." Jawabnya pelan.
"Baiklah.... baiklah! Kalau begitu kita ikuti saja rombongan orang-orang itu tadi. Sambil melihat-lihat keramaian, kita menyelidiki daerah ini. Kata su-hu ia berada di sekitar dusun ini," lelaki gagah Itu akhirnya memutuskan.
"Kalau begitu.... marilah kita cepat berangkat! Mereka keburu hilang dari pandangan kita,‖ orang yang disebut Tang su-te itu menyahut dengan cepat.
Bergegas ketiga orang asing itu mengejar rombongan Liu Yang Kun. Seperti yang mereka ucapkan tadi, mereka berjalan sambil melihat-lihat suasana di sekeliling mereka. Sungguh sangat kebetulan bagi mereka, karena rombongan Liu Yang Kun itu berjalan dengan lambat.
"Heran benar aku. Mengapa su-hu harus pergi jauh-jauh ke sini kalau cuma untuk mengobati luka-lukanya? Mengapa beliau tidak tinggal di rumah saja bersama kita? Bukankah dengan demikian beliau akan mendapatkan pelayanan yang lebih baik?‖ orang yang dipanggil dengan sebutan 'Tang su-te‘ itu berkata kepada saudara-saudaranya.
"Benar. Aku sendiri diam-diam juga merasa heran pula di dalam hati. Tidak hanya sekali ini su-hu mendapat luka di dalam pertempuran. Tapi baru kali ini aku melihat su-hu sampai harus bersembunyi dan merahasiakan tempat tinggalnya hanya untuk mengobati lukanya. Demikian parahkah lukanya?" orang kedua yang dipanggil dengan nama Nyo su-heng atau Nyo su-te tadi menambahkan pula.
Orang yang tertua, namun justru yang memiliki perawakan paling gagah itu, berpaling ke arah adik-adiknya. Terdengar tarikan napasnya yang panjang ketika ia menyahut ucapan adik-adik seperguruannya itu.
"Entahlah, su-te.... akupun juga tidak bisa menebak maksud su-hu. Sejak perselisihan dengan Toa-suheng, sehingga akhirnya Toa-suheng meninggal, watak su-hu semakin bertambah aneh. Seakan-akan su-hu tidak bisa percaya lagi kepada orang lain. Termasuk kepada kita pula."
"Ya, benar. Seperti yang terjadi sekarang ini. Selama setahun su-hu menghilang. Dan selama itu pula beliau hanya mengirim pesan dua kali. Pertama pada setengah tahun yang lalu, ia memberitahukan keadaannya yang gawat dan keinginannya untuk mengobati luka-lukanya. Kedua, pada sebulan yang lalu, dimana beliau memerintahkan kepada kita untuk datang ke dusun ini,‖ orang kedua, yang disebut dengan nama 'Nyo su-te‘ itu menyambung perkataan suhengnya.
Demikianlah, sambil menjaga jarak mereka dengan rombongan Liu Yang Kun ketiga orang asing itu berbincang-bincang tentang maksud tujuan mereka ke tempat itu. Dan sementara itu rombongan yang membawa Liu Yang Kun terus saja menyusuri aliran sungai tersebut ke arah utara. Mereka melewati perkampungan penduduk yang rumah-rumahnya berderet memanjang di tepian sungai itu.
Ketika aliran sungai itu kemudian menikung dan membuat belokan tajam karena membentur tembok tebing yang agak tinggi, maka kawanan kaki-tangan Coa In Lok itu lalu berhenti persis di atas tebing itu tampak sebuah bangunan gedung yang tinggi dan megah. Beberapa orang penjaga tampak berdiri di pintu halamannya. Itulah rumah keluarga Coa In Lok!
Seorang dari penjaga itu segera berlari ke dalam begitu melihat rombongan tersebut, sementara yang lain segera turun ke tepian sungai untuk menyongsong mereka. Namun para penjaga itu tampak kaget dan tertegun begitu melihat keadaan rombongan itu. Untuk beberapa saat lamanya mereka terdiam menyaksikan mayat teman-teman yang telah meninggal dunia. Rasa-rasanya hati mereka tidak mempercayainya karena baru beberapa waktu yang lalu mereka berkumpul dan bersenda-gurau.
Dari kaget para penjaga itu menjadi heran pula melihat pemuda yang hendak mereka tangkap itu kini justru berdiri bebas diantara rombongan tersebut. Bahkan kalau ditilik dari sikap pemuda itu dan sikap teman-teman sendiri, jelas kalau pemuda tersebut telah menguasai kawan-kawannya malah.
"Hmnmh.... itukah tempat-tinggal majikan kalian? Bagus kalau begitu lekaslah kalian beritahu dia, bahwa aku hendak menjumpainya!" Liu Yang Kun tiba-tiba berseru.
"Benar. Marilah tuan masuk ke dalam. Para penjaga tentu telah melaporkan kedatangan kita kepada Tuan Coa," si tinggi besar menjawab sedikit keras pula. Keberaniannya pulih kembali setelah berada di sarangnya.
Rumah besar itu memang agak terpisah dengan perumahan penduduk yang lain. Dan letaknyapun juga di tempat yang lebih tinggi dari pada tanah di sekitarnya. Sekilas pandang Liu Yang Kun segera memuji letaknya yang strategis. Apalagi bangunan tersebut menghadap ke arah tikungan sungai, sehingga dari atas pendapa dapat dilihat lalu-lintas perahu dari segala jurusan. Baik yang datang dari arah hulu, maupun yang datang dari arah hilir. Sementara di belakang bangunan rumah tersebut adalah lereng bukit yang lebat dengan pepohonan dan semak belukar.
Untuk mencapai bangunan rumah itu mereka harus melangkah melalui trap-trap atau tangga, yang dibangun melingkar lingkar diantara pertamanan penuh bunga. Indahnya bukan main. Apalagi ketika Liu Yang Kun sudah menginjak pendapa rumah itu. Dari sana pemuda itu bisa menyaksikan pemandangan yang amat mempesonakan di bawahnya. Aliran sungai yang berkelok-kelok berwarna biru kehijauan.
Perahu-perahu yang beraneka-warna bentuk maupun rupanya. Tebing-tebing sungai yang berbatu karang kecoklatan. Dan tetumbuhan yang lebat kehijauan di sekitar sungai itu. Sementara tiupan anginpun terasa semilir menyejukkan. Sungguh suatu tempat yang lebih pantas disebut sebagai tempat peristirahatan dari pada rumah biasa!
"Silahkan masuk, siauw-hiap (pendekar muda)! Tuan Coa telah lama menunggumu," tiba-tiba terdengar suara melengking dari dalam pendapa.
Liu Yang Kun terkejut. "Inilah dia orangnya yang betul-betul berisi…." gumamnya sambil mengerahkan sin-kangnya untuk melindungi dadanya, karena suara itu terasa mengalun menggempur pemusatan pikirannya. "Terima kasih...!" pemuda itu menjawab.
Dan pemuda itu sengaja mengerahkan lwee-kangnya pula untuk melawan getaran suara tersebut. Bahkan dengan kekuatan ilmu yang telah ia kembangkan sendiri dari lembaran-lembaran yang hilang dari buku peninggalan mendiang Bit-bo-ong, Liu Yang Kun mampu mengembalikan serangan-serangan gelombang suara itu ke arah pemiliknya.
"Aaaaah!" terdengar desah kaget dari orang yang berada di dalam pendapa itu.
Liu Yang Kun menaiki tangga dan kemudian melangkah ke dalam pendapa. Dengan tenang matanya mengawasi deretan pengawal yang berjaga-jaga di dalam ruangan itu. Ia berhenti di depan Coa In Lok yang telah duduk di dalam ruangan itu pula.
Tengkulak kaya itu berdiri menyambutnya. Namun pemuda itu tidak begitu mempedulikannya. Ia sedang mencari orang yang telah menyerangnya dengan gelombang suara tadi. Gelombang suara yang ternyata mampu menggetarkan isi dadanya.
"Dimanakah dia? Aku tidak boleh lengah menghadapinya. Dia mampu mengembangkan ilmu sejenis ilmu Sai-cu Ho-kang (Auman Singa), sehingga ia bisa menyerang lawan tanpa harus berteriak atau menggeram keras-keras. Dia tentu telah memiliki tenaga dalam yang sangat sempurna."
Tiba-tiba Liu Yang Kun menjadi tegang. Di pojok ruangan tampak seorang kakek tampan sedang duduk melenggut di kursinya. Matanya yang tajam mengerikan itu memandang tak berkedip kepadanya. Kelihatannya kakek tampan itu juga terkejut melihat dirinya.
"Giok-bin Tok ong....?" Liu Yang Kun berbisik seolah tak percaya.
"Kau.... kau belum mati juga?" kakek tampan yang tak lain adalah Si jago Silat Nomer Empat di dunia itu berdesah parau pula.
Ternyata mereka dengan cepat saling mengenali wajah masing-masing. Meskipun keduanya cuma pernah bertemu sekali saja, yaitu ketika mereka bertempur di Lembah Dalam setahun yang lalu, namun keduanya tak mungkin bisa melupakan wajah masing-masing. Giok-bin Tok-ong tak mungkin bisa melupakan wajah Liu Yang Kun, seorang pemuda ingusan yang mampu menandingi bahkan hampir saja mengalahkannya. Sebaliknya Liu Yang Kun juga tidak mungkin bisa melupakan orang yang membuatnya terkurung dalam tanah selama setahun itu.
Sementara itu melihat tamunya sudah saling mengenal dengan Giok-bin Tok-ong, Coa In Lok diam-diam menjadi bergembira malah. Dia telah mendapat laporan lengkap tentang Liu Yang Kun dari anak buahnya bahkan sekilas ia telah melihatnya sendiri tadi pagi. Melihat kesaktian Liu Yang Kun, diam-diam Coa In Lok justru berharap dapat menariknya menjadi pengawalnya malah. Ia sama sekali tidak peduli bahwa pemuda itu telah membunuh mati belasan anak-buahnya.
"Ah….. jadi tuan telah saling mengenal dengan Giok-bin Locianpwe? Maaf….! Maaf....! Kalau begitu kita semua ini masih segolongan. Hmm, kalau kami tahu sebelumnya, takkan terjadi keributan-keributan seperti ini, hi-hi-hi......." Coa In Lok mulai menjilat dan berusaha mengambil hati Liu Yang Kun.
Tapi tengkulak kaya itu terkejut bukan main ketika kedua orang tamunya tersebut tiba-tiba mendengus berbareng. Bahkan Liu Yang Kun kemudian menggeram seraya mengepalkan tinjunya. Pemuda itu tampak menatap Giok-bin Tok-ong dengan sinar mata geram dan benci. Begitu pula sebaliknya. Mereka saling pandang bagaikan dua ekor kucing yang hendak berkelahi.
Perlahan-lahan Giok-bin Tok-ong turun dari kursinya, kemudian melangkah mendekati Liu Yang Kun. Otot-ototnya tegang, siap untuk menerkam. Begitu pula sebaliknya dengan Liu Yang Kun! Pemuda itu perlahan lahan juga melangkah ke samping, ke tempat yang lapang. Dari celah-celah bibirnya yang mulai terdengar suara desisnya yang khas kalau sedang mengerahkan tenaga sakti Liong-Cu-I-kangnya. Yang menjadi sangat cemas dan gelisah justru Coa In Lok sekarang!
"Lo-cianpwe! Lo-cianpwe....! A-ada apa sebenarnya? Siapakah dia? Mengapa lo-cianpwe bersikap bermusuhan dengannya?" jeritnya kebingungan. Kakinya melangkah ke depan Giok-bin Tok-ong untuk melerai.
Tapi kakek tampan yang wataknya seperti iblis itu mendadak mengebutkan ujung lengan bajunya. Dan hembusan angin yang dahsyat tiba-tiba mendorong tubuh Coa In Lok, sehingga tengkulak kaya itu terjengkang ke belakang, kemudian terbanting ke lantai! Mulutnya mengeluarkan darah segar!
"Lo-cianpwe....? Kau... kau,...?" Lengkingnya parau seolah-olah tak percaya apa yang telah dilakukan orang-tua itu kepadanya. Kedua telapak tangannya menekan dadanya yang terasa sesak luar biasa.
Meskipun tampak sangat segan dan takut, namun para penjaga yang ada di dalam pendapa itu segera bersiap siap untuk membantu majikan mereka. Tapi ketika Giok-bin Tok-ong mendelik ke arah mereka, mereka pun segera mundur pula kembali. Tampaknya mereka benar benar takut dan ngeri kepada orang tua itu.
"Jangan ikut campur! Pemuda itu adalah musuh lamaku! Aku akan membunuhnya!" Giok-bin Tok-ong membentak.
Namun dengan suara garang Liu Yang Kun juga menggeram. "Nanti dulu, Kakek tua. Persoalanmu dan persoalanku dapat diselesaikan belakangan. Tujuan Utamaku kemari adalah untuk meminta pertanggung-jawaban Coa In Lok dahulu. Setelah itu kita berdua dapat berlaga sepuas hati."
"Bangsat! Persetan dengan urusanmu. Pokoknya...." kakek tampan itu mendengus dengan mata merah.
Namun tiba-tiba pula mata itu meredup. Agaknya sesuatu telah melintas di dalam otak orang tua yang kejam, keji dan licik luar biasa itu. "Hmm.... bolehlah! Kau kuberi waktu sebentar untuk menyelesaikan urusanmu dengan manusia goblog tapi rakus itu! Tapi setelah itu...." ujarnya kemudian dengan suara sedikit mengendor.
"Hah? Lo-cianpwe, kau....? Mengapa lo-cianpwe berbalik pikiran terhadap aku? Bukankah selama ini kami selalu berbaik-hati kepada lo cianpwe? Mengapa sekarang locianpwe tiba-tiba... tiba-tiba.....?" Coa In Lok memotong dengan suara penasaran.
Giok-bin Tok-ong tertawa terkekeh-kekeh. "Heh-hehheh....! Terima kasih atas bantuanmu selama setengah tahun lebih ini. Kini aku sudah sembuh dari luka-lukaku, dan juga sudah selesai pula mempelajari Buku Rahasia yang kuperoleh dulu itu. Aku sekarang tak memerlukan bantuanmu lagi. Oleh karena itu, heeh-heh-he... persetan dengan urusanmu!"
"Jadi.... jadi lo-cianpwe telah melupakan janji itu?" Coa In Lok berseru geram.
"Siapa berjanji kepadamu? Bukankah kita cuma saling bertukar 'kebaikan' saja selama ini? Engkau memberi aku tempat untuk menumpang, sementara aku mengajarimu ilmu tentang racun. Nah, walaupun ilmu racun yang telah kuberikan itu cuma kulitnya saja, tapi hal itu sudah cukup bagimu untuk menggertak orang lain. Bukankah dengan demikian semuanya sudah impas dan tiada utang piutang lagi?" enak saja kakek tampan itu menjawab. Lalu sambil melenggang seenaknya pula kakek itu melangkah kembali ke kursinya.
Sungguh amat geram dan kesal hati Coa ln Lok. Tapi apa daya? Dia dan anak-buahnya tak berani berbuat apa-apa terhadap orang tua itu. Kakek tampan itu memiliki kemampuan seperti Iblis sementara wataknya juga sangat sulit diduga pula. Salah-salah kakek itu menjadi marah, ia tak bisa membayangkan apa jadinya rumah itu beserta seluruh isinya.
Coa In Lok sudah tahu benar sifat dan perangai Giok-bin Tok-ong, karena sudah lebih dari setengah tahun ini ia melayani orang tua aneh itu. Dahulu kedatangan kakek itu juga disambutnya dengan kekerasan. Tapi hanya dengan semburan ludahnya saja kakek tampan itu mampu membunuh seluruh pengawalnya. Padahal waktu itu Giok-bin Tok-ong sedang terluka berat.
"Coa In Lok, bangunlah! Aku akan berbicara kepadamu.....!" tiba-tiba terdengar suara Liu Yang Kun menyadarkan tengkulak kaya itu dari lamunannya.
"Oh...?!" Coa In Lok mengeluh, lalu bangkit berdiri dengan tergesa-gesa. Walaupun orang yang selalu melindunginya selama ini telah cuci tangan dan tak mau ikut campur lagi, tapi Coa In Lok mencoba untuk tetap berlaku garang di depan anak buahnya. Sambil menyiapkan 'sesuatu' di balik sapu tangannya tengkulak kaya yang sangat disegani dan ditakuti di daerah itu menghadapi Liu Yang Kun. Namun bagaimanapun juga sikap dan perbawa pemuda itu tetap membuatnya gemetaran juga.
"A-a-apa yang hendak tuan bicarakan dengan aku?" tanyanya seraya mengusap keringat dingin yang mendadak membanjiri lehernya.
Liu Yang Kun melirik sekilas kepada Giok-bin Tok-ong. Melihat kakek sakti itu benar-benar berdiam diri di kursinya, pemuda itu menjadi lega. "Coa In Lok! kau masih ingat peristiwa di atas sungai pagi tadi?" kata pemuda itu kemudian dengan suara yang menggetarkan hati.
Coa In Lok semakin berdebar-debar hatinya. Tapi ketika para pengawal yang ada di dalam ruangan itu kemudian berkumpul di belakangnya, nyalinya menjadi besar kembali. "Tuan… tuan maksudkan… perselisihan kami dengan Ciok Kwan itu?"
"Benar. Perselisihan yang mengakibatkan keributan besar, sehingga kau banyak kehilangan pengawal dan penduduk yang tak berdosa banyak kehilangan harta-bendanya itu."
"Tapi.... tapi aku tak bermaksud...?"
"Persetan dengan alasanmu! Yang jelas karena ulahmu tadi pagi, tiga orang penduduk telah kehilangan perahunya. Dan duabelas penduduk lainnya juga telah kehilangan sampannya. Semuanya habis terbakar oleh obor-obor yang dibawa para pengawalmu."
"Tapi...?" Coa In Lok masih mencoba membela diri.
"Lebih dari pada itu, karena ulahmu itu pula perahuku juga ikut terbakar musnah! Oleh karena itu kau harus bertanggung-jawab terhadap seluruh kerugian ini! Kalau sebuah perahu ditaksir seharga duaribu tail dan sebuah sampan seharga seratus tail, maka kau harus mengganti setidaknya sepuluh ribu tail."
"Sepuluh ribu tail....? Oh, mana aku punya uang sebanyak itu! Kalau pun misalnya ada, uang itupun takkan kugunakan untuk mengganti kerugian itu. Duaribu tail terlalu tinggi untuk sebuah perahu, sementara seratus tail juga terlalu banyak untuk mengganti sebuah sampan."
"Punya atau tidak itu urusanmu! Pokoknya kau harus mengganti semua kerugian itu! Kalau engkau tidak mau, hmmmh.... akupun akan membakar pula seluruh bangunan rumahmu ini beserta isinya. Apabila kau melawan, he-hehe.... akan kuhabiskan juga kau dan semua anak-buahmu. Habis perkara!" Liu Yang Kun mengancam dengan gigi terkatup rapat.
"Aku tidak mau menuruti permintaanmu! Tangkap pemuda itu!" tiba-tiba Coa ln Lok menjerit keras sekali. Tangannya menggapai anak buahnya supaya mengeroyok Liu Yang Kun.
"Baik tuan. Kalau begitu aku akan memasaknya. Tapi tolonglah awasi jaringku! Angkat saja kalau sudah banyak isinya!" Si nelayan miskin berseru pula.
Demikianlah, malam itu mereka makan bersama dengan lauk ikan hasil tangkapan mereka sendiri. Rasa-rasanya perut Liu Yang Kun menjadi lapar sekali sehingga ia dan si Nelayan Miskin seperti berlomba menghabiskan hasil masakan sederhana itu. Sedangkan Si Buruk Rupa yang semula juga kelihatan bernafsu itu ternyata hanya makan sedikit saja. Bahkan lebih sedikit dari pada kakeknya malah.
Keesokan harinya perahu mereka tiba di sebuah dusun besar yang sangat ramai, yang kesibukannya hampir menyamai kota kecil. Dusun itu disebut orang dusun He-cung atau Dusun Ikan, karena dusun itu menjadi pusat penjualan ikan di daerah itu.
Dan sepagi itu pula pasar ikan yang berada di tepian sungai tersebut telah ramai dengan pedagang-pedagang yang datang dari luar daerah. Mereka memang telah biasa datang sepagi mungkin. Bahkan mereka kadang-kadang telah bermalam di pasar ikan tersebut, agar dengan demikian mereka bisa memperoleh hasil ikan dari tangan pertama. Sebab kedatangan para nelayan pencari ikan itu juga tidak bersamaan.
Mereka bisa singgah atau datang ke pasar itu setelah merasa cukup mendapatkan hasil. Ada yang datang setelah matahari terbit, tapi ada yang datang juga pada hari menjelang fajar. Bahkan yang memiliki nasib baik kadang-kadang malah sudah kembali di tengah malam.
Beberapa buah perahu yang tadi malam berlayar di dekat perahu Si Nelayan Miskin juga sudah tampak berlabuh di pasar ikan tersebut. Perahu-perahu itu juga sudah dikerumuni para tengkulak ikan. Seperti halnya perahu Si Nelayan Miskin, tampaknya mereka juga mendapatkan hasil yang melimpah pula malam tadi.
Dan kedatangan perahu Si Nelayan Miskin pun segera disongsong pula oleh para tengkulak itu. Bahkan seorang diantaranya malah telah mengayuh sampannya yang kecil, mendahului yang lain, merapat di sisi perahu Si Nelayan Miskin. Seorang lelaki kurus kecil namun berperut buncit segera menggapai pinggiran perahu Si Nelayan Miskin dan meloncat naik. Sedangkan temannya yang bertugas sebagai pengayuh sampan, segera mengambil tali pengikat sampannya dan menambatkannya pada perahu Si Nelayan Miskin.
"Ah, Tuan Coa....?" Si Nelayan Miskin menyambut kedatangan lelaki kurus itu dengan suara kurang senang sehingga Liu Yang Kun yang sedang tiduran di bangku perahu tertarik untuk melihatnya.
"Oho... apa kabar Ciok Kwan? Lama benar kau tak muncul? Kukira kau sudah tidak berani lagi datang kesini. Apakah kau sudah menyiapkan uang untuk melunasi hutangmu? Heheheh..." lelaki kurus berperut buncit itu menyahut. Suaranya terdengar acuh dan menjengkelkan.
"Hutang? Siapakah yang masih berhutang kepadamu?" Si Nelayan Miskin yang ternyata bernama Ciok Kwan itu tersentak marah. "Bukankah Tuan Coa sudah mengambil seluruh hasil penangkapan ikanku yang terakhir itu? Tuan pun tahu bahwa hasil itu sebenarnya terlalu banyak untuk melunasi hutangku kepada Tuan…."
Tengkulak kurus berperut buncit itu tertawa dingin. "Sudah lunas? Kau anggap hasil penangkapan ikanmu dulu sudah cukup untuk membayar hutangmu? Hihihi.... enak benar! Apa kau lupa bahwa hutang itu harus membayar bunga? Kau sangka hasil penangkapan ikanmu dulu itu sudah cukup untuk melunasi hutangmu kepadaku?"
Si nelayan miskin atau Ciok Kwan terbelalak matanya. Tampak benar kalau hatinya sangat penasaran mendengar perkataan tengkulak ikan itu. "Bukankah Tuan dulu bilang kalau uang itu bukan hutang, tapi….. uang muka? Dan uang muka itu Tuan berikan kepadaku, sebagai ikatan bahwa aku harus menjual semua hasil penangkapan ikanku kepada Tuan? Mengapa uang muka itu tiba-tiba berubah menjadi hutang? Bahkan kemudian… berbunga pula? Dimana ada peraturan seperti itu?"
"Hihi-hihi…" tengkulak itu tertawa semakin menyakitkan. "apa bedanya uang muka dan hutang? Pokoknya hasil penangkapan ikanmu dulu itu belum cukup untuk membayar hutangmu. Kau baru membayar pokok hutang dan separuh bunganya. Sedang separuh bunganya yang lain kini telah beranak-pinak pula dalam beberapa bulan ini. Dan, hmmm kelihatannya hasil ikanmu sekarang juga belum cukup untuk melunasinya, hi-hi-hiiii…"
Wajah Ciok Kwan menjadi pucat seketika. Air matanya mulai menggenang dan hampir menangis. "Kau... kau memang bangsat! K-kau memang bukan manusia!" jeritnya serak.
"Jangan merajuk! Aku akan memberikan keringanan kepadamu. Biarlah semua hutang itu kuanggap lunas dengan hasil ikanmu kali ini. Lain kali kita bisa mengadakan perhitungan lagi."
"Oh.... jangan!" Ciok Kwan berteriak seraya meloncat menghalang-halangi tengkulak itu. Tapi dengan sekali hentakan saja Ciok Kwan telah terpelanting menabrak pagar perahunya. Dan tengkulak itu lalu menoleh kepada tukang dayung atau pengawalnya.
''Ambil semua ikan Ciok Kwan ini. Masukkan ke dalam sampan kita!" serunya.
"Jangan! Oh, jangan ambil ikanku..!" Ciok Kwan merintih sambil memegangi kepalanya yang berdarah akibat membentur lantai perahu. Dengan terhuyung-huyung Ciok Kwan berdiri dan berusaha mencegah pembantu tengkulak yang bertubuh kokoh kekar itu mengambil ikan-ikannya.
Tapi tentu saja usahanya itu sia-sia saja. Baru dengan si tengkulak yang berperut buncit saja ia sudah kalah tenaga, apalagi berhadapan dengan si pengawal yang berotot kekar itu. Dengan mudah si pengawal itu mengangkat tubuhnya dan membantingnya di lantai perahu.
"Aouuuugh....!" Ciok Kwan menjerit, kemudian pingsan. Darah semakin banyak mengalir dari kepalanya. Bahkan dari lobang hidungnya pula.
Peristiwa yang berlangsung dengan cepat di atas perahu itu dapat dilihat dengan jelas oleh setiap orang. Tapi apa daya mereka? Setiap orang di tempat itu tahu belaka, siapakah tengkulak ikan she Coa itu? Meskipun mereka merasa kasihan kepada Ciok Kwan, namun mereka juga tidak berani menghalang-halangi tindakan orang she Coa itu.
Orang she Coa itu bernama Coa In Lok. Dia merupakan seorang tengkulak kaya yang licik dan sering menjerumuskan nelayan ke dalam perangkapnya. Pengawalnya sangat banyak, terdiri dari orang-orang kasar yang suka membuat onar dan kerusuhan. Hampir semua nelayan di daerah itu telah berada di dalam cengkeraman tangannya.
Sehingga boleh dikatakan bahwa para nelayan di daerah itu hanya merupakan orang-orang yang pekerjaannya mencari ikan, sementara hasilnya adalah Coa In Lok yang berkuasa. Nelayan-nelayan itu hanya sekedar memperoleh upah atau imbalan, padahal mereka itu mempergunakan peralatan dan perahu mereka sendiri.
"Hi-hihi-hi..... orang lemah seperti kau masih berani melawan aku. Huh!‖ Coa In Lok mencemooh seraya menendang punggung Ciok Kwan yang tak berdaya itu. Lalu serunya kembali kepada pengawalnya, "Cepat kuras ikan-ikan ini....!"
"Baik, Tai-ya (Tuan Besar)…!"
Tapi tiba-tiba terdengar suara nyaring yang mencegah mereka. "Tunggu!"
Coa In Lok dan pengawalnya terperanjat. Mereka menoleh ke arah suara itu berasal. Seorang pemuda bertubuh tinggi namun agak kurus tampak berdiri bertolak pinggang di haluan perahu. Matanya yang mencorong dingin itu seolah olah menyaingi sorot matahari yang baru saja terbit di ufuk timur. Tajam menyilaukan!
Sekejap bergetar juga perasaan Coa In Lok dan pengawalnya. Namun ketika tampak belasan orang kawan mereka di atas sampan di sekitar perahu itu, hati mereka menjadi besar kembali. Dengan perasaan ditenang-tenangkan Coa In Lok balas memandang Liu Yang Kun dan kemudian juga kakek Lo serta A Hek yang berwajah mengerikan itu!
Liu Yang Kun memang tidak tahan menyaksikan kekejaman dan keserakahan Coa In Lok. Dialah yang mengeluarkan suara tadi. Ia memang terlambat tampil ke depan, karena di dalam hatinya ia berharap agar supaya kakek Lo dan cucunya itulah yang tampil ke depan menolong Ciok Kwan. Namun ternyata harapannya itu sia-sia belaka. Kedua orang itu ternyata cuma diam saja di tempatnya. Mereka juga menunggu dan melirik saja kepadanya.
"Hi-hihi-hi.... kau siapa? Mengapa kau mencegah maksud kami untuk mengambil ikan-ikan ini? Apakah kau keluarga dari Ciok Kwan?" Coa In Lok bertanya dengan suara yang dibesar-besarkan agar tidak kentara rasa ketakutannya.
"Aku bukan apa-apanya orang itu, tapi aku muak melihat kelakuanmu. Tampaknya kamu dan kawan-kawanmu memang telah biasa bertindak sewenang-wenang begitu. Hmmm... awas kalau nelayan itu sampai mati karena ulah kalian!" Liu Yang Kun menggeram seraya melangkah ke tempat Ciok Kwan menggeletak.
"Hi-hihi-hi… lagaknya! Lalu… apa maumu?"
Liu Yang Kun yang hendak lewat di depan Coa In Lok dan pengawalnya itu mendelik. "Minggir!" bentaknya.
Coa In Lok melirik pengawalnya. Meskipun sedikit gemetar tapi ia tak beranjak dari tempatnya. "Jangan berlagak di depanku...!" katanya.
"Bangsat!" Liu Yang Kun mengumpat marah. Lalu tiba-tiba saja tangan Liu Yang Kun menyambar ke depan dan setengah detik kemudian pengawal yang hendak berlagak melindungi Coa In Lok itu telah terangkat tinggi-tinggi di udara. Selanjutnya sekali tangan Liu Yang Kun dikibaskan, tubuh pengawal itu terlempar jauh keluar perahu. Byuuur! Pengawal itu tercebur ke dalam air.
"Ooh....???" Coa In Lok terpekik ketakutan. Otomatis ia melangkah mundur untuk memberi jalan kepada Liu Yang Kun.
Pada saat yang sama di pinggir sungai terdengar tepukan riuh para penonton yang menyaksikan peristiwa tersebut. Rata-rata para penonton itu sangat bergembira melihat orang yang mereka benci itu dihajar orang. Tapi tepuk tangan itu segera terhenti pula ketika tiba-tiba muncul beberapa orang kaki-tangan Coa In Lok di tepi sungai itu.
Orang-orang itu mendelik ke arah penonton, lalu bergegas mengambil sampan dan bergabung dengan teman-teman mereka di sekitar perahu Ciok Kwan. Dua orang diantara mereka lalu meloncat ke atas perahu Ciok Kwan dan menolong majikan mereka turun ke sampan, setelah itu mereka memberi aba-aba untuk mengepung perahu Si Nelayan Miskin itu.
Sekarang para penonton menjadi cemas memikirkan keselamatan Liu Yang Kun. Semuanya terdiam sambil berdoa agar supaya orang yang belum mereka kenal itu dapat menyelamatkan diri dari kekejaman anak-buah Coa In Lok.
Kalau semua orang pada mencemaskan dirinya, sebaliknya Liu Yang Kun sendiri justru bersikap acuh tak acuh malah. Sama sekali pemuda itu tak mempedulikan keadaan sekitarnya. Perhatiannya hanya tercurah kepada Ciok Kwan yang pingsan.
"Paman.....! Paman.....! Sadarlah! Ikanmu ada disini…." Pemuda itu berbisik sambil memijit dan mengurut beberapa jalan darah di dada dan di leher Ciok Kwan.
"Oooooooh....?" Ciok Kwan mengeluh dan tersadar dari pingsannya.
"Paman.....? Apakah yang kaurasakan? Katakan! Jangan takut! Aku ada di dekatmu. Aku siap membantu paman…"
Ciok Kwan membuka matanya. Begitu tahu Liu Yang Kun ada di sampingnya, tangannya segera mencengkeram lengan pemuda itu. Matanya memandang dengan penuh harapan. "Tuan.... oh... Jangan biarkan bangsat itu merampas ikanku! Aku tak merasa berhutang kepadanya. Manusia serakah itu hanya ingin menguasai hasil ikanku," Ciok Kwan merintih.
"Jangan khawatir, paman. Aku akan membantumu. Aku takkan membiarkan mereka mengambil ikanmu. Akan kubunuh siapa saja yang berani menyentuhnya."
"Te-terima kasih, tuan. Bangsat itu... bangsat itu memang sudah selayaknya mati. Sudah banyak orang yang dibunuhnya. Sudah banyak orang yang dibuatnya menderita. Sudah banyak keluarga nelayan yang menjadi korbannya. Dia... dia memang patut mati."
Liu Yang Kun menggeretakkan giginya. Wajahnya terangkat dan matanya yang mencorong mengerikan itu mencari Coa In Lok. Namun keningnya segera berkerut. Ia tidak mendapatkan si tengkulak busuk itu di tempatnya. Sebaliknya pemuda itu malah melihat belasan manusia kasar mengepungnya. Mereka berada di atas sampan sampan kecil di sekeliling perahunya. Sekali lagi Liu Yang Kun menggeretakkan giginya.
"Benar, paman. Tampaknya orang itu memang sudah ingin mati. Dia mengerahkan orang-orangnya untuk membakar perahu kita. Tapi paman tak usah khawatir. Mereka takkan bisa berbuat apa-apa kepadamu. Di atas perahu ini banyak orang yang mampu mengusir dan bahkan memusnahkan mereka itu," katanya sambil melayangkan pandangannya ke arah kakek Lo dan cucunya yang diam saja sejak tadi.
Ciok Kwan membelalakkan matanya ketika menyaksikan belasan lelaki kasar mengepung perahunya dengan obor yang siap untuk dilontarkan. "To-tolonglah, tuan...." bisiknya ketakutan.
"Heii..... Ciok Kwan! Suruh kawanmu itu menyerahkan diri, lalu tinggalkan perahumu! Kau akan memperoleh pengampunan dari Tuan Coa!" tiba-tiba terdengar salah seorang diantara lelaki kasar itu berseru.
Dan ketika Liu Yang Kun memandang, dilihatnya pengawal yang ia lemparkan ke sungai tadi telah ditolong kawan-kawannya. Tampaknya dia adalah kepala dari kawanan lelaki kasar itu. Meskipun pakaiannya basah kuyup, namun wajahnya tampak merah padam menahan marah.
"Ba-ba bagaimana ini..... tuan? Mereka.... hendak membakar kita semua." Ciok Kwan semakin pucat dan gugup. Bibirnya gemetaran.
Liu Yang Kun menghela napas panjang, lalu bangkit berdiri. Otaknya sibuk mencari jalan yang baik untuk mengatasi keadaan yang dihadapinya. "Aku memang bisa saja menghabisi mereka. Tapi kalau mereka benar-benar mau membakar perahu ini memang sulit bagiku untuk menyelamatkannya. Kecuali kalau kakek Lo serta cucunya itu mau turun tangan membantuku," pikir pemuda itu seraya melirik teman seperahunya yang cacat itu.
"Ciok Kwan,....! Ayo cepat! Apa kau ingin melihat berkobarnya api dulu di perahumu, heh?" pengawal Coa In Lok itu mengancam lagi.
Liu Yang Kun menggeram kemudian dengan sangat terpaksa ia menoleh ke arah kakek Lo dan A Hek. "Nah kita tak mempunyai banyak waktu lagi. Mereka akan segera membakar perahu kita ini. Terserah kepada ji-wi (tuan berdua) untuk mengambil sikap. Ji-wi akan tetap berdiam diri saja, atau ikut membantu aku menyelamatkan perahu ini," katanya dingin.
A hek tetap berdiam diri. Cuma matanya saja yang melirik ke arah kakeknya. Tampaknya hatinya tetap tak tergoyahkan juga menyaksikan kekejaman Coa In Lok terhadap Ciok Kwan tadi. Tampaknya perasaannya juga sekejam wajahnya yang buruk itu.
"Baiklah, siauw-hiap. Kami berdua akan membantumu menyelamatkan perahu ini. Bagaimanapun juga kami masih membutuhkan perahu ini sampai di Cin-an nanti," akhirnya kakek Lo yang menjawab.
"Bagus. Kalau begitu kuserahkan keselamatan perahu ini kepada ji-wi. Aku akan menghadapi orang-orang itu," sahut Liu Yang Kun lega.
"Bagaimana, Ciok Kwan....? Kuhitung sampai lima, kalau kau tetap berdiam diri, aku akan memerintahkan untuk membakar perahumu. Nah, satu... dua... tiga....?" Pengawal itu mulai menghitung.
"Bangsat! Pergi kalian dari sini!" Liu Yang Kun memotong dengan suara menggeledek. Lalu kakinya menjajal lantai dan tiba-tiba saja tubuhnya 'terbang' menyerang.
"Aaaaah.....!" Untuk sekejap semua orang tertegun dan berdesah kaget menyaksikan kehebatan gin-kang Liu Yang Kun itu. Namun bagi orang-orang Coa In Lok rasa kaget itu segera berubah menjadi rasa cemas yang Iuar biasa pula. Dalam sekejap itu juga mereka segera menyadari bahaya yang hendak mengancam mereka. Terutama si pimpinan pengawal Coa In Lok yang secara langsung mendapat serangan Liu Yang Kun tersebut.
"Cepat menghindar...!!" tangan kanan Coa ln Lok itu berteriak parau seraya bergegas melompat ke sampan yang lain.
Orang-orang yang satu sampan dengan dia pun cepat melompat pula ke sampan yang lain. Meskipun demikian sambil melompat tidak lupa mereka menyambut kedatangan Liu Yang Kun dengan melemparkan obor yang ada di tangan mereka pula.
Wuuuut! Wuuuut! Braaaak!
Dengan mudah obor-obor itu ditepiskan Liu Yang Kun sehingga obor tersebut pecah dan apipun bertebaran kemana mana membakar minyak yang tertumpah dari dalamnya! Sebaliknya di dalam kemarahannya Liu Yang Kun segera mengerahkan lwee-kang ke kakinya, sehingga ketika ia mendarat di atas sampan si pengawal yang kosong itu, maka tiada ampun lagi sampan tersebut hancur berantakan!
Belasan anak buah Coa In Lok itu semakin merasa kaget dan cemas menyaksikan kelihaian Liu Yang Kun. Mereka benar-benar tidak menyangka kalau pemuda itu sedemikian hebat kepandaiannya.
"Lemparkan obor....!" dalam ketakutannya pemimpin pengawal Coa In Lok itu berteriak.
Sesaat kemudian, bersamaan dengan melentingnya kembali tubuh Liu Yang Kun dari sampan yang pecah itu, maka belasan atau bahkan puluhan buah obor pun segera berterbangan di atas permukaan sungai yang amat lebar tersebut. Sebagian diantaranya tampak melayang ke perahu Ciok Kwan, sementara yang sebagian lagi tampak menyerang tubuh Liu Yang Kun.
Tapi baik Liu Yang Kun maupun kakek Lo segera beraksi pula. Mati-matian mereka menghalau obor itu. Dengan kaki dan tangannya, atau kadang-kadang dengan pukulan jarak jauhnya Liu Yang Kun meruntuhkan obor-obor itu, sementara kakek Lo mengayunkan tongkatnya kesana-kemari menghalau obor-obor yang hendak menimpa perahunya.
Meskipun buta ternyata kakek tua itu hampir bisa menangkis semua obor yang datang. Sementara obor yang dapat lolos dari tongkatnya segera dipungut oleh A Hek untuk dilempar kembali kepada pemiliknya. Alhasil di atas sungai itupun segera berlangsung perang obor yang sangat mengasyikkan! Para penonton yang memadati pinggiran sungai itu segera bersorak-sorak riuh.
Apalagi ketika mereka menyaksikan orang-orang Coa In Lok yang tak mereka sukai itu tampak kewalahan menghadapi Liu Yang Kun yang ‗beterbangan‘ seperti burung walet diatas sampan-sampan itu. Bahkan sambil menyambar-nyambar Liu Yang Kun dapat melumpuhkan lawannya satu persatu.
Beberapa buah sampan tampak pecah atau terbalik ketika dilewati pemuda itu. Namun kegembiraan para penonton segera berubah menjadi ketegangan yang luar biasa ketika 'perang api‘ itu berubah menjadi 'pesta kebakaran‘ diatas sampan-sampan tersebut, yang kemudian bahkan ke sampan-sampan dan perahu-perahu yang sedang berlabuh di tepi sungai tersebut.
Penonton pun segera bubar berlarian menyelamatkan diri. Penonton yang merasa memiliki perahu atau sampan di tepian sungai itu pun bergegas pula dengan sekuat tenaga untuk menyelamatkan miliknya tersebut dari kobaran api. Tak seorang pun lagi yang memperhatikan atau menonton pertempuran diatas sungai. Semua perhatian hanya tertuju kepada api yang mengamuk di tepian sungai tersebut.
"Gila! Tak kusangka semuanya akan jadi begini! Tak kusangka tumpahan dan percikan minyak obor itu bisa menimbuIkan kebakaran besar seperti ini.' Liu Yang Kun mengeluh kesal sambil berloncatan menyelamatkan dirinya. Tangan kanannya tampak menjinjing tubuh Ciok Kwan yang juga telah berhasil ia selamatkan dari kobaran api itu pula. Namun pemuda itu tak tahu bagaimana nasib kakek Lo dan A Hek.
Demikianlah, sepagi itu penduduk dusun tersebut telah disuguhi 'pesta api‘ yang sangat menggemparkan. Ternyata tak seorangpun yang mampu menjinakkannya, meskipun kebakaran itu berlangsung diatas sungai yang berlimpah airnya. Hanya beberapa buah perahu saja yang selamat. Itupun karena mereka ditambatkan agak jauh dari tempat kebakaran, sehingga lidah api yang berkobar-kobar itu tak kuasa menjilatnya.
Dari belasan anak buah Coa In Lok itu ternyata hanya empat orang yang bisa menyelamatkan diri. Itupun dengan luka-luka bakar yang hampir menghancurkan seluruh kulit tubuh mereka. Sedangkan pengawal-pengawal yang lain telah tewas dan tenggelam bersama sampan-sampan mereka.
Dan kini diatas sungai tersebut tinggallah bekas-bekas rongsokan perahu dan sampan, yang terapung berserakan diantara genangan minyak yang belum terbakar. Perlahan-lahan mereka hanyut didorong aliran air sungai. Di beberapa tempat masih tampak asap mengepul dari kayu-kayu yang belum sepenuhnya padam dari cengkeraman api.
Liu Yang Kun membawa Ciok Kwan ke pinggir. Diletakkannya tubuh nelayan yang pingsan itu di bawah sebuah pohon yang rindang. Pemuda itu sengaja mencari tempat yang agak jauh dari tempat kebakaran tadi.
"Tuan....? Apakah tuan yang bernama Tuan Chin atau Tuan Liu?" Tiba-tiba seorang nelayan setengah baya muncul dari balik semak-semak dan menegur Liu Yang Kun. Dengan agak takut-takut nelayan itu mendekat.
Otomatis Liu Yang Kun meningkatkan kewaspadaannya. Matanya menatap nelayan itu dengan tajamnya. "Benar. Lo-pek siapa....? Mengapa mengetahui namaku?" Liu Yang Kun menjawab hati hati.
"Ooh....!" nelayan yang baru datang itu berdesah lega.
"Aku sudah menduganya sejak tadi. Sejak tuan mulai datang dan berselisih paham dengan tuan Coa itu. Apalagi seseorang telah mengatakan ciri-ciri tuan..." Nelayan itu lalu mengeluarkan secarik kertas dari saku bajunya.
"Tuan Chin.... Seseorang telah menitipkan surat kepadaku. Dia minta agar aku mau menyerahkan surat itu kepada tuan. Dan inilah surat itu!" katanya sambil menyerahkan kertas surat itu kepada Liu Yang Kun.
Dengan agak ragu-ragu Liu Yang Kun menerima kertas itu, kemudian membukanya. Hatinya segera berdesir keras ketika terbaca tulisan 'Teman Lama' di akhir surat itu.
"Ah... si sastrawan itu lagi!" Liu Yang Kun berdesah seraya membaca isi surat tersebut.
Saudara Chin,
Berhati-hatilah di dusun yang tampaknya kecil ini! Jangan sekali-kali berurusan dengan Coa In Lok, seorang tengkulak kaya yang amat berpengaruh di daerah ini! Maaf, terus terang aku belum bisa menjelaskan alasan-alasannya, karena aku sendiri juga belum sempat menyelidikinya. Namun yang terang orang itu sangatlah berbahaya. Dia sendiri tidak bisa silat, tapi dia mempunyai hubungan dengan seorang tokoh yang sangat berbahaya dari dunia persilatan!
Teman Lama
"Hmm.... sudah terlambat! Aku sudah terlanjur berurusan dengan tengkulak kaya itu. Bahkan aku sudah mengobrak-abrik para pengawalnya." Liu Yang Kun bergumam begitu selesai membaca surat itu. Lalu katanya kepada nelayan yang membawa surat itu,‖Lo-pek! Kapan surat ini dititipkan kepadamu? Kau kenal siapa nama orang itu?"
Nelayan setengah baya itu menggelengkan kepalanya. "Saya belum pernah melihat atau mengenalnya, tuan. Saya baru melihatnya ketika dia datang menitipkan surat itu di pagi-pagi buta tadi," jawabnya perlahan.
"Di pagi buta? Apakah dia juga naik perahu?"
"Ya. Tapi perahu itu hanya singgah sebentar. Cuma menambah perbekalan dan menjual hasil ikannya yang tidak begitu banyak. Tampaknya pemilik perahu itu sangat tergesa-gesa. Dan sementara para pekerja menurunkan ikan dari perahu, nona itu datang mendekati aku dan menitipkan surat itu."
"Nona.......?" Liu Yang Kun tersentak kaget. "Dia.... seorang gadis? Dia bukan seorang pemuda tampan berpakaian sastrawan?"
Saking kagetnya mendengar penuturan nelayan itu, Liu Yang Kun sampai lupa diri. Tangannya mencengkeram pundak nelayan tersebut, sehingga orang itu sampai menjerit kesakitan. Untunglah pemuda itu tidak mengerahkan tenaga saktinya.
"Eh-oh... maaf, lo-pek.... aku tak sengaja. Aku betul-betul kaget ketika kaukatakan bahwa orang yang menitipkan surat itu adalah seorang gadis. Aku benar-benar tak menyangkanya." Sambil mengusap-usap pundaknya yang masih terasa sakit, nelayan itu mengangguk-angguk. "Tak apa, tuan, tampaknya tuan memang betul-betul terkejut mendengar keteranganku tadi. Dan agaknya tuan juga belum mengenal nona cantik itu."
"Nona cantik....?" Liu Yang Kun menegaskan.
"Benar. Nona itu memang cantik sekali...."
"Oooooh....!" Liu Yang Kun berdesah.
Pemuda itu lalu duduk lemas di tanah. Pikirannya menjadi kacau. Benar-benar kacau. Manakah sebenarnya keterangan yang betul? Keterangan yang diberikan oleh pelayan rumah penginapan itu atau keterangan nelayan separuh baya ini? Mengapa keterangan mereka tentang 'teman lama' itu sangat berbeda?
Manakah yang benar, seorang pemuda tampan berpakaian sastrawan ataukah seorang gadis muda yang cantik sekali? Si nelayan pembawa surat itu menjadi kikuk juga menyaksikan Liu Yang Kun hanya terdiam dan termenung saja setelah membaca surat yang dibawanya itu. Oleh karena itu diam-diam ia melangkah mundur dan pergi dari tempat tersebut.
"Uuuuuuh......?!" tiba-tiba Ciok Kwan yang pingsan itu mengeluh sadar.
Liu Yang Kun tersentak kaget dari lamunannya. Matanya nyalang mencari nelayan yang membawakan surat untuknya itu. Tapi ia tak menemukannya. Orang itu telah pergi. Sebaliknya ia melihat Ciok Kwan telah siuman dari pingsannya. Nelayan miskin yang kini juga telah kehilangan perahunya pula itu tampak bangkit dari tidurnya. Dan begitu sadar orang itu segera teringat perahunya.
"Oh…. oh…. perahuku? Perahuku..? Diimana… dia?" jeritnya parau dengan wajah pucat pasi. Matanya tampak melotot memandang Liu Yang Kun dengan sinar mata putusasa.
Liu Yang Kun tak kuasa menatap wajah itu lama-lama. Ia mengerti perasaan nelayan miskin itu. Hatinya ikut menyesal pula. Dan ia merasa turut bertanggung-jawab atas hilangnya harta-benda satu-satunya dari keluarga miskin itu.
"A-a-apa.... apakah ia turut terbakar.....?" orang tua itu berkata pula hampir menangis.
Liu Yang Kun terdiam bingung serta tak tahu harus menjawab bagaimana. Ia tak ingin melihat sinar penderitaan dan keputus-asaan di wajah orang yang telah kenyang dengan kesengsaraan hidup itu. Tapi bagaimana ia harus mengembalikan perahu yang sudah musnah terbakar itu?
Tak terasa pemuda itu menggeram. "Aku harus mendapatkan gantinya! Persetan dengan peringatan 'Teman Lama' itu. Aku akan menuntut Coa In Lok! Dialah biang keladi semua kejadian ini! Huh!"
"Tu-tuan bilang a-a-apa…? Ciok Kwan tergagap meminta penjelasan.
Sekali lagi Liu Yang Kun menggeram. Kini lebih keras. "Paman, kau tak usah khawatir karena kehilangan perahumu. Aku akan mencarikan gantinya! Kau tunggulah disini, aku akan ke rumah tengkulak busuk itu!"
Bukan main terkejutnya Ciok Kwan. Jangan tuan! Dia... dia...?"
Tapi sambil mendengus dingin Liu Yang Kun telah berkelebat pergi dari tempat itu. Lapat-lapat masih terdengar suara ancamannya! "Paman tak usah takut! Lihat saja! Kalau bangsat busuk itu tak mau mengganti semua kerugianmu, hmm... seluruh harta bendanya juga akan terbakar musnah seperti perahumu itu!"
"Ooooh!" Ciok Kwan berdesah ngeri.
Sekejap saja Liu Yang Kun telah berada di tepian sungai itu kembali. Dan dilihatnya orang-orang masih ribut mengurusi bekas-bekas kebakaran tadi. Sebagian dari mereka tampak mengangkuti barang-barang yang masih dapat diselamatkan dari amukan api. Sementara yang lain lagi tampak sibuk mengumpulkan dan merawat mayat-mayat yang terapung di atas sungai.
Mereka kelihatan sibuk dan bekerja tanpa pamrih, seakan-akan mereka semua telah melupakan kebencian mereka kepada orang-orang yang sering berlaku kejam terhadap mereka itu. Dan semuanya segera terperanjat serta berdebar-debar hatinya begitu melihat Liu Yang Kun! Sama sekali mereka tak menyangka kalau pemuda itu kembali lagi. Mereka mengira kalau pemuda itu telah jauh meninggalkan dusun mereka.
"Tuan....? Eh.... mengapa tuan kembali lagi ke sini?" seorang nelayan tua segera menegurnya. Wajahnya tampak cemas.
"Benar! Mengapa tuan kembali lagi! Pergilah cepat! Sebelum Tuan Coa datang lagi dengan seluruh kekuatannya!" yang lain datang pula memperingatkan.
"Betul, tuan. Tuan jangan membahayakan diri tuan sendiri. Kami seluruh penduduk desa ini sudah sangat berterima kasih sekali melihat sepak terjang tuan tadi. Sekarang tuan harus lekas-lekas meninggalkan dusun ini! Tuan tak usah menentang seluruh kekuatan Tuan Coa yang amat kuat itu. Tengkulak busuk itu sudah cukup mendapat pengajaran....." seorang nelayan berambut putih ikut pula memberi peringatan.
Liu Yang Kun tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengucapkan rasa terima kasih atas perhatian mereka. Namun demikian ia juga menyatakan bahwa dirinya tak berniat untuk pergi meninggalkan desa itu sebelum semuanya menjadi beres. Bahkan dengan suara tegas ia menanyakan tempat tinggal Coa ln Lok.
"Biarlah kuselesaikan sekalian urusanku dengan dia itu agar dia tak membalas dendam kepada penduduk yang tak bersalah! Kalau perlu akan kubasmi habis semua kaki tangannya, sehingga dusun yang ramai ini menjadi aman...!" katanya menambahkan.
Ucapan pemuda itu segera disambut dengan gembira oleh orang-orang itu. Mereka telah menyaksikan sendiri kehebatan dan kesaktian pemuda itu. Meskipun demikian ada juga diantara mereka yang merasa sangsi atas keberhasilannya, karena bagaimanapun juga mereka telah menyaksikan kekuatan Coa In Lok dan anak-buahnya yang banyak itu. Setelah puluhan tahun keluarga tengkulak kaya itu berkuasa di daerah mereka.
Tapi sorak-sorai gembira itu segera terdiam ketika belasan orang lelaki kasar mendatangi tempat itu. Bahkan beberapa orang yang berhati kecil telah berlari lintang-pukang menyelamatkan diri. Sementara yang lain, yang tak sempat lari, tampak gemetaran kakinya. Mereka memandang kedatangan lelaki-lelaki kasar itu dengan wajah pucat seperti mayat.
Liu Yang Kun membalikkan tubuhnya. Dipandangnya belasan lelaki yang datang itu, dan ia segera bisa menebak siapa yang telah datang. Otomatis tangannya terkepal. Matanya menyala. Seorang diantara kawanan lelaki kasar itu maju ke depan. Wajahnya yang tinggi besar, dengan cambang dan jenggotnya yang lebat itu sungguh membuat orang menjadi segan dan takut.
Dan perhatian orang itu segera tertuju kepada Liu Yang Kun, karena sikap dan penampilan pemuda itu sama sekali lain dengan orang-orang yang ada di tempat itu. Kalau semua orang tampak pucat ketakutan, sebaliknya pemuda itu kelihatan tenang-tenang saja. Bahkan pada raut mukanya menampakkan wibawa atau perbawa yang menggetarkan hati siapapun yang menghadapinya. Tak terkecuali si tinggi besar yang berjenggot lebat itu!
Sementara itu hari telah semakin siang. Matahari telah merangkak semakin tinggi. Perahu pun semakin banyak yang berdatangan pula. Dan rata-rata semuanya menjadi kaget dan heran menyaksikan bekas-bekas kebakaran di tempat itu. Apalagi ketika melihat mayat mayat yang bertebaran di segala tempat.
Diantara perahu-perahu yang datang tampak pula sebuah perahu penumpang yang tiba dari arah hilir atau dari kota Cinan. Kelihatannya perahu penumpang itu hendak singgah dulu sebelum melanjutkan perjalanannya ke kota An-lei. Seorang lelaki gagah berusia empatputuh lima tahunan ikut turun dari atas perahu tersebut.
Di belakangnya berjalan juga dua orang pengawal yang umurnya juga sebaya dengan lelaki itu. Yang agak mengherankan pada orang-orang itu adalah kulit mereka. Ketiga-tiganya memiliki kulit yang amat pucat seolah-olah tak berdarah. Sementara sinar mata mereka tampak ganjil dan mengerikan.
Seperti halnya para penumpang yang turun dari perahu itu, maka ketiga orang itu pun juga berjalan mendekati Liu Yang Kun yang sedang menantikan kedatangan lelaki-lelaki kasar tersebut. "Hmmh.... kaukah yang telah membikin onar dan membunuh beberapa orang teman kami?" si tinggi besar bercambang lebat itu menghardik Liu Yang Kun.
Liu Yang Kun menyeringai dan menganggukkan kepalanya. "Benar! Dan sungguh kebetulan sekali kalian datang kesini, sehingga tak perlu berpayah-payah mencari rumah majikanmu," jawab pemuda itu tak kalah kakunya.
"Maksudmu.....?" si tinggi besar itu tersentak kaget dengan suara bergetar.
"Maksudku? Hmmh! Antarkan aku ke rumah Coa In Lok keparat itu! Aku hendak membuat perhitungan dengan dia!" Liu Yang Kun menggeram dengan suara menggeledek.
"Bangsat...!!" si tinggi besar itu mengumpat.
Tiba-tiba kawanan lelaki kasar itu menebar dan masing-masing juga telah mencabut senjatanya. Mereka mengepung Liu Yang Kun. Dan orang-orang yang berada di tempat itupun segera berlarian menyingkir. Begitu pula dengan tiga orang lelaki pucat itu. Mereka juga menyingkir, meskipun tidak berlarian seperti yang lain. Mereka melangkah dengan tenang. Bahkan di wajah mereka tersungging senyuman gembira melihat tontonan kekerasan yang hendak berlangsung di depan mereka itu.
"Minggir.....!" beberapa orang diantara lelaki kasar itu menggertak melihat langkah mereka yang pelan itu.
"Kurang......" salah seorang dari kedua pengawal lelaki gagah itu hendak mengumpat, tapi cepat dicegah oleh lelaki gagah tersebut.
"Ssssst.... biarkan saja! Kita lihat dulu keramaian ini!" lelaki gagah itu berkata, lalu menarik lengan kedua pengawalnya ke pinggir.
"Maaf, su-heng... dia...?" pengawal itu mencoba membela diri.
Tapi belum juga pengawal itu menyelesaikan kata-katanya, beberapa orang lelaki kasar yang membentaknya itu tiba-tiba mendelik dan kemudian jatuh tertelungkup diatas tanah. Kulit tubuh mereka tiba-tiba juga berubah menjadi putih pucat seperti kapur, sementara dari lobang mulut, hidung dan telinga mereka mengalir darah segar. Mereka tewas dengan mengerikan!
Tentu saja lelaki gagah itu menjadi kaget. Sambil menggamit lengan pengawalnya ia berbisik. "Hei, Nyo-su-te...? Kenapa orang itu? Diam-diam kau telah melepaskan Jarum Cit-hoan tok-ciam (Jarum Beracun Tujuh Langkah) ya?"
"Maaf, Kim su-heng.... aku tak sengaja," bisik orang yang disebut Nyo-sute itu sambil menundukkan kepalanya.
Orang yang ketiga dari mereka itu segera menengahi. "Sudahlah, Kim suheng… Nyo su-heng telah terlanjur berbuat dan ia sudah mengakui kesalahannya. Maafkanlah dia," katanya dengan berbisik pula. Kemudian sambungnya lagi.
"Dan.... kukira orang-orang itu juga tidak tahu kalau yang membunuh kawan-kawan mereka adalah Nyo su-heng."
"Hmmmh.... kuharap memang demikian. Tapi siapa tahu ada orang yang bisa melihatnya? Misalnya pemuda jangkung itu?" lelaki gagah itu menggeram tertahan seraya melirik Liu Yang Kun. "Dan sebenarnya aku juga tidak peduli kalau Nyo sute itu suka membunuh orang. Kukira selama ini aku juga tak pernah melarang atau menghalang-halanginya. Tapi saat ini kita sedang bertugas mencari dan melacak tempat tinggal suhu. Kalau belum-belum kita sudah membikin onar di daerah yang kita tuju, bagaimana kita bisa menemukan orang tua itu?"
Sebenarnyalah bahwa orang-orang Coa In Lok itu tiada yang tahu persis siapa yang membunuh teman-teman mereka itu. Bahkan mereka itu, terutama si tinggi besar bercambang lebat itu cenderung untuk menuduh bahwa Liu Yang Kun lah yang telah menewaskan kawan-kawan mereka tersebut.
"Bangsat pembunuh! Kau memang licik dan kejam luar biasa!" teriaknya seraya menyerang Liu Yang Kun dengan golok besarnya.
Tetapi Liu Yang Kun yang tahu siapa sebenarnya pembunuh orang-orang Coa In Lok itu juga tidak mempedulikan tuduhan tersebut. Bahkan tiba-tiba pemuda itu juga tidak berselera untuk melayani orang-orang kasar itu. Perhatiannya tiba-tiba terpusat pada tiga orang misterius itu! Namun karena ia diserang oleh si tinggi besar, bahkan kemudian juga diikuti pula oleh kaki tangan Coa In Lok yang lain, maka pemuda itu terpaksa harus bergerak pula untuk melayani serbuan mereka.
Untunglah kawanan lelaki kasar pimpinan si tinggi besar tersebut tidak banyak bedanya dengan kawanan pengawal yang dibawa oleh Coa In Lok tadi pagi. Mereka hanyalah orang-orang kasar yang mengandalkan kekuatan otot belaka. Jikalau mereka memiliki ilmu-silat, itupun juga hanya sekedar ilmu silat biasa pula, yang tidak mempunyai keistimewaan atau kehebatan yang pantas untuk ditakuti.
Apalagi oleh Liu Yang Kun yang telah mencapai tingkat hampir sempurna itu. Sebenarnya tanpa menghindarpun senjata orang-orang itu takkan mampu menggores atau melukai kulit daging Liu Yang Kun. Hanya saja pemuda itu memang tak ingin pakaiannya menjadi rusak oleh sabetan-sabetan senjata mereka.
Demikianlah, sambil melayani keroyokan orang-orang Coa In Lok, diam-diam Liu Yang Kun tak pernah melepaskan perhatiannya kepada tiga orang yang mencurigakan itu. "Ketiga orang itu tentu memiliki kesaktian yang sangat hebat. Dan yang jelas orang itu suka menggunakan racun pula. Aku harus berhati-hati bila berhadapan dengan mereka. Apalagi kelihatannya mereka bertiga juga bukan orang baik-baik," pemuda itu berkata di dalam hatinya.
Akhirnya pemuda itu menjadi bosan juga melayani orang-orang Coa In Lok itu. Ketika kemudian ia meningkatkan ginkangnya, maka kawanan manusia kasar itupun segera menjadi bingung dan kehilangan lawan. Mereka lalu menyerang dengan ngawur sehingga yang terjadi kemudian adalah saling gebuk diantara mereka sendiri. Korbanpun segera berjatuhan.
Dan pertempuran itupun segera berhenti pula dengan sendirinya. Ternyata mereka menjadi sadar bahwa mereka telah terhanyut dalam pertempuran diantara mereka sendiri, sementara lawan yang harus mereka hadapi justru telah tiada diantara mereka. Pemuda yang mereka keroyok itu sudah berdiri tenang di pinggir arena.
Tentu saja kenyataan itu telah membuka pikiran mereka. Sekarang mereka menyadari bahwa pemuda yang hendak mereka tangkap itu sebenarnya memiliki ilmu silat yang sangat tinggi, yang tidak mungkin dapat mereka lawan. Satu-satunya jalan hanyalah meninggalkan tempat itu dan melaporkannya kepada Coa In Lok, majikan mereka.
"Nah.... bagaimana sekarang? Mau tidak mengantarkan aku ke rumah majikanmu? Atau kalian ingin melanjutkan lagi permainan ini?" dari pinggir arena Liu Yang Kun berseru kepada mereka.
"Ba-baiklah...! Marilah tuan kami antar kesana....!" akhirnya si lelaki tinggi besar bercambang lebat itu menjawab lemah. Segores luka tapak memerah di atas punggungnya, akibat senjata temannya sendiri yang tak sengaja.
Si tinggi besar itu lalu memerintahkan anak-buahnya untuk merawat dan membawa teman-temannya yang mati ataupun terluka beserta mereka. Kemudian ia berjalan mendahului, setelah lebih dahulu mempersilakan Liu Yang Kun untuk mengikutinya.
Liu Yang Kun melirik sekejap ke arah tiga orang asing yang dicuriganya itu, kemudian melangkah mengikuti rombongan kaki tangan Coa In Lok tersebut. Dan penduduk yang berada di tepian sungai itupun lantas bubaran pula, sementara yang belum menyelesaikan pekerjaannya segera melanjutkan lagi.
Cuma sekarang mereka tinggal membersihkan bekas-bekas kebakaran itu saja, karena mayat-mayat kaki tangan Coa In Lok sudah dibawa serta kawanan manusia kasar anak-buah tengkulak kaya itu.
"Hei.... lalu bagaimana dengan kita bertiga, Kim su-heng?" salah seorang diantara tiga orang asing itu tiba-tiba berbisik kepada yang lain.
Dan orang yang diajak berbicara itu tampak mengerutkan keningnya. "Hmm.... bagaimana, ya? Bagaimanakah kalau menurut pendapatmu, Tang su-te?" lelaki gagah itu balik bertanya.
Saudara termuda yang dipanggil dengan sebutan 'Tang sute' itu juga mengerutkan dahinya pula. "Wah, kalau aku menurut saja semua keputusan Kim su-heng dan Nyo su-heng. Uh, bagaimana pendapatmu, Nyo suheng?"
Orang yang tadi telah membunuh beberapa orang kaki-tangan Coa In Lok dengan jarum Ci-hoan-tok-ciam itu juga mengangkat pundaknya. "Akupun terserah kepada Kim suheng. Dialah yang tertua diantara kita bertiga. Dan dia pula yang menjadi wakil su-hu selama beliau pergi." Jawabnya pelan.
"Baiklah.... baiklah! Kalau begitu kita ikuti saja rombongan orang-orang itu tadi. Sambil melihat-lihat keramaian, kita menyelidiki daerah ini. Kata su-hu ia berada di sekitar dusun ini," lelaki gagah Itu akhirnya memutuskan.
"Kalau begitu.... marilah kita cepat berangkat! Mereka keburu hilang dari pandangan kita,‖ orang yang disebut Tang su-te itu menyahut dengan cepat.
Bergegas ketiga orang asing itu mengejar rombongan Liu Yang Kun. Seperti yang mereka ucapkan tadi, mereka berjalan sambil melihat-lihat suasana di sekeliling mereka. Sungguh sangat kebetulan bagi mereka, karena rombongan Liu Yang Kun itu berjalan dengan lambat.
"Heran benar aku. Mengapa su-hu harus pergi jauh-jauh ke sini kalau cuma untuk mengobati luka-lukanya? Mengapa beliau tidak tinggal di rumah saja bersama kita? Bukankah dengan demikian beliau akan mendapatkan pelayanan yang lebih baik?‖ orang yang dipanggil dengan sebutan 'Tang su-te‘ itu berkata kepada saudara-saudaranya.
"Benar. Aku sendiri diam-diam juga merasa heran pula di dalam hati. Tidak hanya sekali ini su-hu mendapat luka di dalam pertempuran. Tapi baru kali ini aku melihat su-hu sampai harus bersembunyi dan merahasiakan tempat tinggalnya hanya untuk mengobati lukanya. Demikian parahkah lukanya?" orang kedua yang dipanggil dengan nama Nyo su-heng atau Nyo su-te tadi menambahkan pula.
Orang yang tertua, namun justru yang memiliki perawakan paling gagah itu, berpaling ke arah adik-adiknya. Terdengar tarikan napasnya yang panjang ketika ia menyahut ucapan adik-adik seperguruannya itu.
"Entahlah, su-te.... akupun juga tidak bisa menebak maksud su-hu. Sejak perselisihan dengan Toa-suheng, sehingga akhirnya Toa-suheng meninggal, watak su-hu semakin bertambah aneh. Seakan-akan su-hu tidak bisa percaya lagi kepada orang lain. Termasuk kepada kita pula."
"Ya, benar. Seperti yang terjadi sekarang ini. Selama setahun su-hu menghilang. Dan selama itu pula beliau hanya mengirim pesan dua kali. Pertama pada setengah tahun yang lalu, ia memberitahukan keadaannya yang gawat dan keinginannya untuk mengobati luka-lukanya. Kedua, pada sebulan yang lalu, dimana beliau memerintahkan kepada kita untuk datang ke dusun ini,‖ orang kedua, yang disebut dengan nama 'Nyo su-te‘ itu menyambung perkataan suhengnya.
Demikianlah, sambil menjaga jarak mereka dengan rombongan Liu Yang Kun ketiga orang asing itu berbincang-bincang tentang maksud tujuan mereka ke tempat itu. Dan sementara itu rombongan yang membawa Liu Yang Kun terus saja menyusuri aliran sungai tersebut ke arah utara. Mereka melewati perkampungan penduduk yang rumah-rumahnya berderet memanjang di tepian sungai itu.
Ketika aliran sungai itu kemudian menikung dan membuat belokan tajam karena membentur tembok tebing yang agak tinggi, maka kawanan kaki-tangan Coa In Lok itu lalu berhenti persis di atas tebing itu tampak sebuah bangunan gedung yang tinggi dan megah. Beberapa orang penjaga tampak berdiri di pintu halamannya. Itulah rumah keluarga Coa In Lok!
Seorang dari penjaga itu segera berlari ke dalam begitu melihat rombongan tersebut, sementara yang lain segera turun ke tepian sungai untuk menyongsong mereka. Namun para penjaga itu tampak kaget dan tertegun begitu melihat keadaan rombongan itu. Untuk beberapa saat lamanya mereka terdiam menyaksikan mayat teman-teman yang telah meninggal dunia. Rasa-rasanya hati mereka tidak mempercayainya karena baru beberapa waktu yang lalu mereka berkumpul dan bersenda-gurau.
Dari kaget para penjaga itu menjadi heran pula melihat pemuda yang hendak mereka tangkap itu kini justru berdiri bebas diantara rombongan tersebut. Bahkan kalau ditilik dari sikap pemuda itu dan sikap teman-teman sendiri, jelas kalau pemuda tersebut telah menguasai kawan-kawannya malah.
"Hmnmh.... itukah tempat-tinggal majikan kalian? Bagus kalau begitu lekaslah kalian beritahu dia, bahwa aku hendak menjumpainya!" Liu Yang Kun tiba-tiba berseru.
"Benar. Marilah tuan masuk ke dalam. Para penjaga tentu telah melaporkan kedatangan kita kepada Tuan Coa," si tinggi besar menjawab sedikit keras pula. Keberaniannya pulih kembali setelah berada di sarangnya.
Rumah besar itu memang agak terpisah dengan perumahan penduduk yang lain. Dan letaknyapun juga di tempat yang lebih tinggi dari pada tanah di sekitarnya. Sekilas pandang Liu Yang Kun segera memuji letaknya yang strategis. Apalagi bangunan tersebut menghadap ke arah tikungan sungai, sehingga dari atas pendapa dapat dilihat lalu-lintas perahu dari segala jurusan. Baik yang datang dari arah hulu, maupun yang datang dari arah hilir. Sementara di belakang bangunan rumah tersebut adalah lereng bukit yang lebat dengan pepohonan dan semak belukar.
Untuk mencapai bangunan rumah itu mereka harus melangkah melalui trap-trap atau tangga, yang dibangun melingkar lingkar diantara pertamanan penuh bunga. Indahnya bukan main. Apalagi ketika Liu Yang Kun sudah menginjak pendapa rumah itu. Dari sana pemuda itu bisa menyaksikan pemandangan yang amat mempesonakan di bawahnya. Aliran sungai yang berkelok-kelok berwarna biru kehijauan.
Perahu-perahu yang beraneka-warna bentuk maupun rupanya. Tebing-tebing sungai yang berbatu karang kecoklatan. Dan tetumbuhan yang lebat kehijauan di sekitar sungai itu. Sementara tiupan anginpun terasa semilir menyejukkan. Sungguh suatu tempat yang lebih pantas disebut sebagai tempat peristirahatan dari pada rumah biasa!
"Silahkan masuk, siauw-hiap (pendekar muda)! Tuan Coa telah lama menunggumu," tiba-tiba terdengar suara melengking dari dalam pendapa.
Liu Yang Kun terkejut. "Inilah dia orangnya yang betul-betul berisi…." gumamnya sambil mengerahkan sin-kangnya untuk melindungi dadanya, karena suara itu terasa mengalun menggempur pemusatan pikirannya. "Terima kasih...!" pemuda itu menjawab.
Dan pemuda itu sengaja mengerahkan lwee-kangnya pula untuk melawan getaran suara tersebut. Bahkan dengan kekuatan ilmu yang telah ia kembangkan sendiri dari lembaran-lembaran yang hilang dari buku peninggalan mendiang Bit-bo-ong, Liu Yang Kun mampu mengembalikan serangan-serangan gelombang suara itu ke arah pemiliknya.
"Aaaaah!" terdengar desah kaget dari orang yang berada di dalam pendapa itu.
Liu Yang Kun menaiki tangga dan kemudian melangkah ke dalam pendapa. Dengan tenang matanya mengawasi deretan pengawal yang berjaga-jaga di dalam ruangan itu. Ia berhenti di depan Coa In Lok yang telah duduk di dalam ruangan itu pula.
Tengkulak kaya itu berdiri menyambutnya. Namun pemuda itu tidak begitu mempedulikannya. Ia sedang mencari orang yang telah menyerangnya dengan gelombang suara tadi. Gelombang suara yang ternyata mampu menggetarkan isi dadanya.
"Dimanakah dia? Aku tidak boleh lengah menghadapinya. Dia mampu mengembangkan ilmu sejenis ilmu Sai-cu Ho-kang (Auman Singa), sehingga ia bisa menyerang lawan tanpa harus berteriak atau menggeram keras-keras. Dia tentu telah memiliki tenaga dalam yang sangat sempurna."
Tiba-tiba Liu Yang Kun menjadi tegang. Di pojok ruangan tampak seorang kakek tampan sedang duduk melenggut di kursinya. Matanya yang tajam mengerikan itu memandang tak berkedip kepadanya. Kelihatannya kakek tampan itu juga terkejut melihat dirinya.
"Giok-bin Tok ong....?" Liu Yang Kun berbisik seolah tak percaya.
"Kau.... kau belum mati juga?" kakek tampan yang tak lain adalah Si jago Silat Nomer Empat di dunia itu berdesah parau pula.
Ternyata mereka dengan cepat saling mengenali wajah masing-masing. Meskipun keduanya cuma pernah bertemu sekali saja, yaitu ketika mereka bertempur di Lembah Dalam setahun yang lalu, namun keduanya tak mungkin bisa melupakan wajah masing-masing. Giok-bin Tok-ong tak mungkin bisa melupakan wajah Liu Yang Kun, seorang pemuda ingusan yang mampu menandingi bahkan hampir saja mengalahkannya. Sebaliknya Liu Yang Kun juga tidak mungkin bisa melupakan orang yang membuatnya terkurung dalam tanah selama setahun itu.
Sementara itu melihat tamunya sudah saling mengenal dengan Giok-bin Tok-ong, Coa In Lok diam-diam menjadi bergembira malah. Dia telah mendapat laporan lengkap tentang Liu Yang Kun dari anak buahnya bahkan sekilas ia telah melihatnya sendiri tadi pagi. Melihat kesaktian Liu Yang Kun, diam-diam Coa In Lok justru berharap dapat menariknya menjadi pengawalnya malah. Ia sama sekali tidak peduli bahwa pemuda itu telah membunuh mati belasan anak-buahnya.
"Ah….. jadi tuan telah saling mengenal dengan Giok-bin Locianpwe? Maaf….! Maaf....! Kalau begitu kita semua ini masih segolongan. Hmm, kalau kami tahu sebelumnya, takkan terjadi keributan-keributan seperti ini, hi-hi-hi......." Coa In Lok mulai menjilat dan berusaha mengambil hati Liu Yang Kun.
Tapi tengkulak kaya itu terkejut bukan main ketika kedua orang tamunya tersebut tiba-tiba mendengus berbareng. Bahkan Liu Yang Kun kemudian menggeram seraya mengepalkan tinjunya. Pemuda itu tampak menatap Giok-bin Tok-ong dengan sinar mata geram dan benci. Begitu pula sebaliknya. Mereka saling pandang bagaikan dua ekor kucing yang hendak berkelahi.
Perlahan-lahan Giok-bin Tok-ong turun dari kursinya, kemudian melangkah mendekati Liu Yang Kun. Otot-ototnya tegang, siap untuk menerkam. Begitu pula sebaliknya dengan Liu Yang Kun! Pemuda itu perlahan lahan juga melangkah ke samping, ke tempat yang lapang. Dari celah-celah bibirnya yang mulai terdengar suara desisnya yang khas kalau sedang mengerahkan tenaga sakti Liong-Cu-I-kangnya. Yang menjadi sangat cemas dan gelisah justru Coa In Lok sekarang!
"Lo-cianpwe! Lo-cianpwe....! A-ada apa sebenarnya? Siapakah dia? Mengapa lo-cianpwe bersikap bermusuhan dengannya?" jeritnya kebingungan. Kakinya melangkah ke depan Giok-bin Tok-ong untuk melerai.
Tapi kakek tampan yang wataknya seperti iblis itu mendadak mengebutkan ujung lengan bajunya. Dan hembusan angin yang dahsyat tiba-tiba mendorong tubuh Coa In Lok, sehingga tengkulak kaya itu terjengkang ke belakang, kemudian terbanting ke lantai! Mulutnya mengeluarkan darah segar!
"Lo-cianpwe....? Kau... kau,...?" Lengkingnya parau seolah-olah tak percaya apa yang telah dilakukan orang-tua itu kepadanya. Kedua telapak tangannya menekan dadanya yang terasa sesak luar biasa.
Meskipun tampak sangat segan dan takut, namun para penjaga yang ada di dalam pendapa itu segera bersiap siap untuk membantu majikan mereka. Tapi ketika Giok-bin Tok-ong mendelik ke arah mereka, mereka pun segera mundur pula kembali. Tampaknya mereka benar benar takut dan ngeri kepada orang tua itu.
"Jangan ikut campur! Pemuda itu adalah musuh lamaku! Aku akan membunuhnya!" Giok-bin Tok-ong membentak.
Namun dengan suara garang Liu Yang Kun juga menggeram. "Nanti dulu, Kakek tua. Persoalanmu dan persoalanku dapat diselesaikan belakangan. Tujuan Utamaku kemari adalah untuk meminta pertanggung-jawaban Coa In Lok dahulu. Setelah itu kita berdua dapat berlaga sepuas hati."
"Bangsat! Persetan dengan urusanmu. Pokoknya...." kakek tampan itu mendengus dengan mata merah.
Namun tiba-tiba pula mata itu meredup. Agaknya sesuatu telah melintas di dalam otak orang tua yang kejam, keji dan licik luar biasa itu. "Hmm.... bolehlah! Kau kuberi waktu sebentar untuk menyelesaikan urusanmu dengan manusia goblog tapi rakus itu! Tapi setelah itu...." ujarnya kemudian dengan suara sedikit mengendor.
"Hah? Lo-cianpwe, kau....? Mengapa lo-cianpwe berbalik pikiran terhadap aku? Bukankah selama ini kami selalu berbaik-hati kepada lo cianpwe? Mengapa sekarang locianpwe tiba-tiba... tiba-tiba.....?" Coa In Lok memotong dengan suara penasaran.
Giok-bin Tok-ong tertawa terkekeh-kekeh. "Heh-hehheh....! Terima kasih atas bantuanmu selama setengah tahun lebih ini. Kini aku sudah sembuh dari luka-lukaku, dan juga sudah selesai pula mempelajari Buku Rahasia yang kuperoleh dulu itu. Aku sekarang tak memerlukan bantuanmu lagi. Oleh karena itu, heeh-heh-he... persetan dengan urusanmu!"
"Jadi.... jadi lo-cianpwe telah melupakan janji itu?" Coa In Lok berseru geram.
"Siapa berjanji kepadamu? Bukankah kita cuma saling bertukar 'kebaikan' saja selama ini? Engkau memberi aku tempat untuk menumpang, sementara aku mengajarimu ilmu tentang racun. Nah, walaupun ilmu racun yang telah kuberikan itu cuma kulitnya saja, tapi hal itu sudah cukup bagimu untuk menggertak orang lain. Bukankah dengan demikian semuanya sudah impas dan tiada utang piutang lagi?" enak saja kakek tampan itu menjawab. Lalu sambil melenggang seenaknya pula kakek itu melangkah kembali ke kursinya.
Sungguh amat geram dan kesal hati Coa ln Lok. Tapi apa daya? Dia dan anak-buahnya tak berani berbuat apa-apa terhadap orang tua itu. Kakek tampan itu memiliki kemampuan seperti Iblis sementara wataknya juga sangat sulit diduga pula. Salah-salah kakek itu menjadi marah, ia tak bisa membayangkan apa jadinya rumah itu beserta seluruh isinya.
Coa In Lok sudah tahu benar sifat dan perangai Giok-bin Tok-ong, karena sudah lebih dari setengah tahun ini ia melayani orang tua aneh itu. Dahulu kedatangan kakek itu juga disambutnya dengan kekerasan. Tapi hanya dengan semburan ludahnya saja kakek tampan itu mampu membunuh seluruh pengawalnya. Padahal waktu itu Giok-bin Tok-ong sedang terluka berat.
"Coa In Lok, bangunlah! Aku akan berbicara kepadamu.....!" tiba-tiba terdengar suara Liu Yang Kun menyadarkan tengkulak kaya itu dari lamunannya.
"Oh...?!" Coa In Lok mengeluh, lalu bangkit berdiri dengan tergesa-gesa. Walaupun orang yang selalu melindunginya selama ini telah cuci tangan dan tak mau ikut campur lagi, tapi Coa In Lok mencoba untuk tetap berlaku garang di depan anak buahnya. Sambil menyiapkan 'sesuatu' di balik sapu tangannya tengkulak kaya yang sangat disegani dan ditakuti di daerah itu menghadapi Liu Yang Kun. Namun bagaimanapun juga sikap dan perbawa pemuda itu tetap membuatnya gemetaran juga.
"A-a-apa yang hendak tuan bicarakan dengan aku?" tanyanya seraya mengusap keringat dingin yang mendadak membanjiri lehernya.
Liu Yang Kun melirik sekilas kepada Giok-bin Tok-ong. Melihat kakek sakti itu benar-benar berdiam diri di kursinya, pemuda itu menjadi lega. "Coa In Lok! kau masih ingat peristiwa di atas sungai pagi tadi?" kata pemuda itu kemudian dengan suara yang menggetarkan hati.
Coa In Lok semakin berdebar-debar hatinya. Tapi ketika para pengawal yang ada di dalam ruangan itu kemudian berkumpul di belakangnya, nyalinya menjadi besar kembali. "Tuan… tuan maksudkan… perselisihan kami dengan Ciok Kwan itu?"
"Benar. Perselisihan yang mengakibatkan keributan besar, sehingga kau banyak kehilangan pengawal dan penduduk yang tak berdosa banyak kehilangan harta-bendanya itu."
"Tapi.... tapi aku tak bermaksud...?"
"Persetan dengan alasanmu! Yang jelas karena ulahmu tadi pagi, tiga orang penduduk telah kehilangan perahunya. Dan duabelas penduduk lainnya juga telah kehilangan sampannya. Semuanya habis terbakar oleh obor-obor yang dibawa para pengawalmu."
"Tapi...?" Coa In Lok masih mencoba membela diri.
"Lebih dari pada itu, karena ulahmu itu pula perahuku juga ikut terbakar musnah! Oleh karena itu kau harus bertanggung-jawab terhadap seluruh kerugian ini! Kalau sebuah perahu ditaksir seharga duaribu tail dan sebuah sampan seharga seratus tail, maka kau harus mengganti setidaknya sepuluh ribu tail."
"Sepuluh ribu tail....? Oh, mana aku punya uang sebanyak itu! Kalau pun misalnya ada, uang itupun takkan kugunakan untuk mengganti kerugian itu. Duaribu tail terlalu tinggi untuk sebuah perahu, sementara seratus tail juga terlalu banyak untuk mengganti sebuah sampan."
"Punya atau tidak itu urusanmu! Pokoknya kau harus mengganti semua kerugian itu! Kalau engkau tidak mau, hmmmh.... akupun akan membakar pula seluruh bangunan rumahmu ini beserta isinya. Apabila kau melawan, he-hehe.... akan kuhabiskan juga kau dan semua anak-buahmu. Habis perkara!" Liu Yang Kun mengancam dengan gigi terkatup rapat.
"Aku tidak mau menuruti permintaanmu! Tangkap pemuda itu!" tiba-tiba Coa ln Lok menjerit keras sekali. Tangannya menggapai anak buahnya supaya mengeroyok Liu Yang Kun.
Selanjutnya,