Memburu Iblis Jilid 26 karya Sriwidjono - "Gila!" jago silat nomer dua di dunia persilatan itu menggeram marah. Dan kemarahannyapun semakin menjadi pula ketika telinganya juga mendengar pekikan dan keluhan para pembantunya yang terkena senjata lawan itu.
"Sam-eng! Lepaskan Hwee-coa! Cepat!" lengkingnya meninggi seraya melompat keluar dari kurungan asap beracun itu.
Tiba-tiba tiga buah cahaya berwarna kemerah-merahan tampak melesat ditengah-tengah arena pertempuran tersebut. Warnanya yang terang bagai bara api di dalam sekam itu seolah-olah dapat mengusir pekatnya asap tersebut. Cahaya merah itu tampak bergerak dengan cepat sekali, melenting kesana-kemari mengejar Giok-bin Tok-ong dan murid-muridnya.
Dengan segala kelincahannya Giok-bin Tok-ong mencoba menghadapi kegesitan Ular Api itu. Begitu pula dengan Kim Hong San dan adik-adik seperguruannya. Meskipun mereka juga merasa sedikit gentar, namun mereka berusaha pula untuk melawan ular kecil itu. Bahkan mereka berusaha dengan sekuat tenaga untuk membunuh ular yang sangat mengerikan tersebut.
Tapi ular kecil itu benar-benar lincah dan gesit luar biasa. Berkali-kali ular tersebut berhasil menusup ke dalam pakaian Giok-bin Tok-ong dan muridnya. Namun setiap kali pula ular kecil itu harus keluar lagi, karena tokoh-tokoh sakti dari Lembah Tak Berwarna itu segera berguling dan bergelundungan di atas tanah. Ular kecil yang cerdik itu tak mau mati tertindih.
Hwee-coa itu selalu mengincar lobang telinga, mulut atau hidung Giok-bin Tok-ong dan murid-muridnya. Tapi tentu saja hal itu sangat sulit untuk dilaksanakan. Mereka adalah tokoh-tokoh silat tingkat tinggi, yang tidak mudah untuk diserang atau dicari kelengahannya. Namun demikian ular kecil itu melejit kesana-kemari dengan amat gesitnya, diantara tubuh-tubuh lawan mereka tersebut, seolah-olah ular-ular kecil yang ganas itu tidak pernah mengenal lelah maupun putus-asa.
Bahkan ketika Giok-bin Tok-ong dan murid-muridnya telah mulai kelelahan, ular-ular kecil itu tetap tidak kehilangan kegesitannya. Ular-ular kecil itu bahkan mulai berani menyusup ke dalam pakaian dan menggigit sekenanya. Tentu saja hal itu sangat mengesalkan hati Giok-bin tok-ong dan murid-muridnya. Untunglah mereka telah minum obat penawar racun yang paling hebat, sehingga racun Hwee-coa yang sangat dahsyat itu tidak dapat membinasakan mereka.
Walaupun demikian mereka berempat menjadi kesal sekali dan kemudian mulai menyesali asap tebal yang mereka buat sendiri itu. Asap itu terasa mengganggu pandangan mereka sekarang, sehingga mereka tidak bisa melihat dan tidak bisa melawan ular-ular jahanam tersebut dengan baik. Tanpa asap itu mereka tentu bisa membinasakan ular-ular itu dengan mudah.
Sementara itu Bok Siang Ki dan keempat pembantunya telah berada di luar tabir asap tersebut. Sambil berusaha mengobati luka-luka yang mereka peroleh tadi, mereka mencoba mengetahui apa yang telah terjadi di dalam tabir asap yang amat pekat itu.
"Sam-eng....? Dimanakah pemuda itu....? Rasa-rasanya aku tidak pernah beradu tangan ketika berada di dalam tadi," dengan heran Bok Siang Ki bertanya kepada pembantu-pembantunya.
"Entah, tuanku. Hamba pun rasa-rasanya juga tak bersinggungan dengannya tadi."
"Jangan-jangan dia telah lari meninggalkan arena pertempuran ini!"
"Tidak mungkin. Kita telah mengepungnya tadi. Kalaupun dia telah lari, Giok-bin Tok-ong dan murid-muridnya itu tentu telah pergi pula. Bocah itu tentu masih ada di dalam asap itu," ujar anggota Sam-eng yang termuda seraya meringis kesakitan. Mata kiri dan pelipis kirinya ternyata telah rusak dan menjadi cacat terkena letusan peluru Giok-bin Tok-ong tadi.
"Benar katamu, Pek-eng (Garuda Putih). Akupun masih mempunyai dugaan demikian pula. Pemuda itu tentu masih berada di dalam asap itu! Hmmh... bagaimana dengan luka-luka kalian? Bagaimana kalau kita masuk lagi ke dalam arena untuk membantu ular-ular kita?" Bok Siang Ki menggeram tak sabar.
"Kami telah selesai mengobati luka-luka kami, tuanku. Meskipun agak parah, tapi kami sekarang sudah siap untuk bertempur. Kami justru sangat mengkhawatirkan jarum yang menembus paha tuanku itu..." Hek eng (Garuda Hitam), anggauta yang tertua dari Sam-eng itu menjawab perlahan.
"Bagus! Aku pun tidak apa-apa. Jarum itu telah kukeluarkan pula. Daging pahaku telah kurobek sedikit untuk mengeluarkannya. Kalau begitu mari kita terjun lagi ke arena."
"Marilah, tuanku...."
Demikianlah, masuknya kembali mereka itu ke dalam arena pertempuran ternyata bersamaan pula dengan habisnya kesabaran Giok-bin Tok-ong dalam menghadapi Hwee-coa. Karena tokoh Lembah Tak Berwarna itu juga sangat mengkhawatirkan Liu Yang Kun, yaitu kalau kalau pemuda itu telah diringkus lebih dahulu oleh lawannya, maka ia telah mengambil keputusan yang tak dapat ditunda lagi. Kakek tampan itu telah memutuskan untuk mempergunakan Pek-Iek-tan! Apalagi ketika pada saat itu pula ia mendengar jeritan Nyo Kin Ong, muridnya! Jerit kematian!
"Nyo su-te....?" Kim Hong San memekik kaget.
"Nyo su-heng...?" Tang Hu berseru pula.
"Suiiiit! Suiiiiiiiiiiiit…!" tiba-tiba Giok-bin Tok-ong bersiul panjang dua kali, memberi tanda atau isyarat kepada murid-muridnya itu untuk menyingkir dari arena sejauh-jauhnya.
Dan pada detik itu pula kakek tampan itu membanting peluru mautnya! Kemudian bergegas melesat pergi meninggalkan arena! Demikian pula dengan Kim Hong San dan Tang Hu meskipun keduanya belum lenyap rasa kagetnya! Hampir saja mereka bertiga bertubrukan dengan Bok Siang Ki dan pembantu-pembantunya! Untunglah kedua belah pihak sama-sama lincahnya dan sama-sama tinggi ilmu meringankan tubuh mereka, sehingga dengan tangkas dan gesit, masing-masing cepat menghindarkan diri!
Giok-bin Tok-ong dan kedua muridnya cepat menjatuhkan diri dan menggelundung pergi cepat sekali! Sedangkan Bok Siang Ki dan para pembantunya cepat pula menggeliatkan tubuh mereka ke samping, kemudian melesat ke belakang menjauhkan diri. Entah mengapa, mendengar suara siulan Giok-bin Tok-ong dan menyaksikan ketergesaan lawan mereka itu, Bok Siang Ki dan para pembantunya menjadi curiga. Tiba-tiba saja mereka juga ikut meloncat pergi menjauhkan diri. Biarpun tidak sejauh lawan-lawan mereka itu.
Dan pada saat itu pula terdengar sebuah ledakan yang maha dahsyat di tengah-tengah arena pertempuran itu! Sebuah ledakan yang benar-benar mengguncangkan isi hutan tersebut. Tanah dan pasir berhamburan ke udara. Empat atau lima batang pohon besar di sekeliling arena itu roboh pula dengan suara yang bergemuruh. Bok Siang Ki dan para pembantunya yang benar-benar tidak menduga akan hal itu, terlempar pula dengan kuatnya. Tubuh mereka melanggar pepohonan di belakang mereka, kemudian terbanting jatuh ke dalam semak-semak.
Bok Siang Ki, Hek-eng dan Ui-eng tidak apa-apa. Mereka itu hanya menderita beberapa goresan luka akibat melanggar pepohonan tadi. Tapi Pek-eng orang yang termuda diantara mereka menderita patah tulang pada kaki kirinya. Kaki itu patah ketika melanggar sebatang pohon siong besar. Meski pohon tersebut juga berderak patah tersabet kakinya.
Sebaliknya Giok-bin Tok-ong dan kedua orang muridnya, Kim Hong San dan Tang Hu, selamat tak kurang suatu apa. Mereka bertiga bangkit berdiri limabelas atau duapuluh tombak dari tempat ledakan. Pakaian mereka memang menjadi kotor oleh tanah dan lumpur. Mereka berdiri mengawasi tempat mereka bertempur tadi, tapi kegelapan malam menghalangi pandangan mereka.
"Su-hu....? Nyo su-te.... telah... telah tiada!" Kim Hong San berkata tersendat-sendat.
"Ah, Nyo su-heng...." Tang Hu mengeluh pula dengan sendu.
Giok-bin Tok-ong menghela napas panjang. "Sudahlah kita tak perlu terlalu menyedihkan kematiannya. Dia mati karena Hwee-coa. Dan Hwee-coa itu kini sudah binasa pula mengiringinya. Sekarang Nyo Kin Ong tentu tersenyum gembira di alam baka sana. Sayang Bok Siang Ki dan orang-orangnya sempat menghindar dari neraka itu. Hmmmmh....!"
"Tapi belum tentu mereka selamat, su-hu. Paling tidak mereka tentu terluka parah. Mereka berada terlalu dekat dengan tempat ledakan itu." Tang Hu menyahut.
"Ya. Tapi pemuda yang membawa Buku Rahasia itu tentu hancur pula bersama bukunya. Aku belum melihat dia keluar dari kurungan asap itu." Kim Hong San berkata pula.
"Biarlah. Dari pada jatuh ketangan Bok Siang Ki....." Giok-bin Tok-ong menghentikan omongan muridnya.
Demikianlah, kedua belah pihak sama-sama beranggapan pula bahwa Liu Yang Kun telah hancur luluh bersama bukunya oleh ledakan itu. Oleh karena itu pula masing-masing pihak menganggap bahwa perselisihan mereka tidak perlu dilanjutkan lagi. Apalagi kedua belah pihak sekarang telah sama-sama mengalami kerugian pula.
Giok-bin Tok-ong telah kehilangan salah seorang muridnya, sedangkan Bok Siang Ki walaupun tidak kehilangan salah seorang pembantunya, tapi keadaan Pek-eng itu hampir sama dengan orang mati. Kalau pun harus ada perang tanding lagi, orang termuda dari Sameng tersebut juga tidak bisa berbuat apa-apa pula.
Bahkan sekarang justru Bok Siang Ki-lah yang kemudian bergegas mengajak pergi para pembantunya. Dengan musnahnya buku yang diperebutkan itu, praktis tinggal Bok Siang Ki dan Bu-tek sin-tong-lah yang memiliki bagian dari buku itu. Jadi kalau ia tidak lekas-lekas pergi, mungkin ganti Giok-bin Tok-ong lah yang kemudian justru akan meminta sebagian dari buku yang lain itu kepadanya.
Sebaliknya Giok-bin Tok-ong yang telah kehilangan salah seorang muridnya itu juga tidak ingin memperpanjang urusan itu lagi. Dengan wajah lesu kakek tampan itu mengajak kedua muridnya yang masih tinggal untuk pergi meninggalkan tempat tersebut.
Angin tengah malam mulai meniup membelai bumi. Anginnya yang dingin bercampur embun itu mulai pula membasahi di dalam hutan itu. Binatang-binatang malampun telah mulai bernyanyi kembali. Suara-suara mereka yang khas saling bersahut-sahutan, sehingga membentuk sebuah irama yang khusus pula. Irama keheningan sebuah hutan di malam hari! Hening, sunyi, namun juga mencekam hati!
Tapi keheningan dan kesunyian itu mendadak dipecahkan oleh suara bisik-bisik dan langkah kaki manusia. Seorang kakek buta tampak berjalan bersama seorang pemuda berwajah buruk sekali, menerobos rimbunnya semak-belukar yang tumbuh di tempat itu. Di atas pundak kakek buta itu tersampir sesosok tubuh manusia pula. Sebentar-sebentar tubuh itu melorot turun dan hampir jatuh dari punggung kakek buta tersebut sehingga setiap kali pula kakek itu harus membetulkannya.
"Su-hu.....? Apakah luka-lukanya bisa disembuhkan? Apakah dia bisa menjadi sehat kembali seperti sediakala?" pemuda berwajah buruk itu berbisik khawatir. Suaranya terdengar bening bernada tlnggi seperti layaknya seorang perempuan. Sungguh sangat bertolak belakang dengan wajahnya yang mengerikan itu.
Kakek buta itu menarik napas panjang. Katanya kemudian dengan nada lembut, "Engkau tidak perlu merasa khawatir. Dia tentu akan sembuh pula nanti. Kau justru harus berterima kasih sekali dengan kejadian ini. Siapa lagi yang akan dapat melukai pemuda ini sedemikian parahnya kalau bukan orang-orang itu? Coba kau bayangkan! Sampai kapan kita harus menunggu pemuda ini menjadi pingsan dan terluka parah, sehingga kita berdua bisa melaksanakan rencana kita, kalau tidak ada orang seperti Giok-bin Tok-ong dan Bok Siang Ki itu?"
Pemuda berwajah buruk itu menundukkan mukanya. "Suhu benar..." bisiknya lirih.
"Nah! Oleh karena itu pula kita tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang amat bagus ini. Mulai detik ini kita harus sudah memulainya. Mulai dengan rencana yang telah kita susun itu. Kau harus melakukannya dengan sungguh-sungguh seluruh petunjuk yang kuberikan kepadamu dulu. Jangan sampai lupa….!"
Sekali lagi pemuda berwajah buruk itu menundukkan kepalanya. Tiada tampak kesan apapun pada wajahnya yang hitam itu. Hanya sikapnya saja yang tiba-tiba berubah menjadi malu-malu. "Ba-ba-baik... su-hu," desahnya gemetar seperti perawan yang sedang malu malu atau mabuk kepayang.
"Bagus. Kalau begitu marilah kita sekarang mencari rumah penduduk yang terdekat. Dan kau harus lekas-lekas menanggaIkan penyamaranmu itu. Pemuda ini sebentar lagi akan siuman."
Kedua orang aneh yang tidak lain memang kakek Lo dan A Hek itu segera mempercepat langkah mereka. Ternyata selama ini mereka berdua selalu mengikuti Liu Yang Kun. Memang, sejak terjadinya huru-hara kebakaran perahu di tepian sungai itu, mereka berdua lalu memisahkan diri. Tapi walaupun demikian secara diam-diam mereka tetap mengikuti segala langkah Liu Yang Kun. Dan setiap saat pula mereka berdua selalu mencari kesempatan atau menanti kesempatan untuk melaksanakan rencana rahasia yang hendak mereka lakukan terhadap Liu Yang Kun.
Demikianlah setelah dengan tekun mereka menanti, akhirnya kesempatan tersebut datang juga. Mereka berdua sampai di hutan itu malam itu. Mereka menyaksikan Liu Yang Kun bertempur melawan Giok-bin Tok-ong dan Bok Siang Ki.
Dengan berharap-harap cemas mereka berdua menantikan akhir dari pertempuran tersebut. Tapi sambil menanti dan berdoa di persembunyian mereka, kakek Lo juga berusaha untuk mencari kesempatan yang baik bagi rencananya. Tentu saja kakek buta itu juga sadar kalau orang yang dihadapinya adalah tokoh-tokoh sakti yang berada di atasnya.
Ketika menyaksikan Liu Yang Kun tercecer dan terluka oleh serangan Giok-bin Tok-ong, kakek Lo hampir-hampir tidak bisa mengendalikan dirinya. Untunglah kakek itu cepat menyadari bahwa waktunya belumlah tiba, sehingga ia tidak terlanjur terjun ke arena.
Ternyata kesabaran kakek itu membuahkan hasil juga. Yaitu ketika secara tak terduga Giok-bin Tok-ong meledakkan senjata asapnya. Asap tebal kuning pekat itu menutup hampir seluruh arena pertempuran, sehingga orang-orang yang sedang berkelahi itu tak bisa melihat apa-apa. Mereka bertempur secara membuta dan hanya mengandalkan panca indera mereka yang lain saja.
Pada saat itulah kakek Lo terjun ke dalam pertempuran. Terjun secara diam-diam, tanpa sepengetahuan orang-orang yang sedang berkelahi. Demikianlah, dengan matanya yang memang sudah buta itu kakek Lo justru menjadi orang yang paling awas di dalam gelapnya tabir asap tersebut. Kalau semua orang menjadi bingung dan sulit membedakan lawan, kakek Lo justru dengan mudah mendapatkan Liu Yang Kun. Dan kemudian dengan perlindungan tabir asap itu pula kakek Lo berusaha melumpuhkan Liu Yang Kun yang sudah terluka parah itu.
Dalam keadaan biasa kakek Lo memang bukan lawan Liu Yang Kun. Tapi di dalam pekatnya asap yang bergulung-gulung itu, dengan tubuh yang sudah terluka pula, bahkan empat buah pisau terbang tampak menancap di kedua lengannya, Liu Yang Kun benar-benar tidak berdaya melawan kakek Lo yang masih segar-bugar tersebut. Dalam beberapa jurus saja pemuda itu telah dapat diringkus oleh kakek Lo.
Lalu setelah ditotok pingsan pemuda itu dibawa lari oleh kakek Lo. Itulah sebabnya pemuda itu terbebas dari ledakan dahsyat pek lek-tan tadi. Liu Yang Kun memang terbebas dari keganasan Giok-bin Tok-ong, dan juga terhindar pula dari kekejaman Bok Siang Ki.
Namun apa yang hendak terjadi atas pemuda itu sekarang, ternyata justru akan jauh lebih seram dan mengerikan dari pada nasibnya bila jatuh ke tangan Giok-bin Tok-ong atau Bok Siang Ki tadi. Pemuda itu memang tidak akan mati di tangan kakek Lo, karena kakek Lo memang tidak bermaksud untuk membunuhnya. Tapi meskipun tidak mati, keadaan yang diterimanya nanti justru akan lebih hebat dari pada mati.
Embun semakin tebal menyelimuti hutan itu. Sebaliknya tiupan angin justru semakin hilang dan mereda. Kakek Lo sengaja membawa Liu Yang Kun menjauhi aliran sungai, karena ia khawatir akan bertemu kembali dengan Giok-bin Tok-ong atau Bok Siang Ki. Air embun yang menempel di pucuk-pucuk daun menetes membasahi rambut dan pakaian mereka. Dinginnya bukan alang-kepalang.
Mereka berjalan terus di dalam naungan kegelapan pepohonan yang tumbuh lebat di hutan itu. Hanya kadang-kadang saja mereka memperoleh secercah sinar rembulan yang menerobos diantara rimbunnya dedaunan. Meskipun demikian mereka tidak berhenti untuk melepaskan lelah.
Bahkan orang setua kakek Lo itu, yang tubuhnya kelihatan kurus dan kecil, ternyata masih tampak gesit dan lincah memanggul tubuh Liu Yang Kun. Sedikitpun kakek tua itu tidak kelihatan capai atau kehilangan tenaganya. Justru muridnya yang masih amat muda itulah yang kemudian tampak kusut dan terengah-engah. Berkali-kali pemuda berwajah buruk itu hampir jatuh ketika melewati tanah becek atau melompati jurang kecil yang sangat licin.
Beberapa saat kemudian pepohonan yang mereka lalui pun semakin menjadi jarang. Bahkan semak-semak pun tampak semakin menghilang pula, sehingga akhirnya yang ada hanya satu-dua pohon dengan rumput atau alang-alang di sekitarnya.
"Su-hu! Ada sinar lampu di depan sana. Tampaknya kita sudah mendekati sebuah perkampungan penduduk." tlba-tiba A Hek berbisik seraya menggamit lengan kakek Lo.
"Bagus. Kalau begitu... marilah kita ke sana!"
Tapi tampaknya saja amat dekat, namun setelah mereka menuju ke tempat itu ternyata cukup jauh juga. Mereka harus menuruni sebuah jurang dahulu, kemudian harus menyeberangi sungai pula. Sebuah sungai kecil yang dangkal dan jernih airnya. Setelah itu masih harus mendaki sebuah lereng bukit lagi. Dan di lereng bukit itu pulalah sinar lampu tersebut berasal.
Dari jauh tadi sinar lampu itu memang tampak jelas. Tapi setelah mendaki bukit tersebut, sinar lampu itu tiba-tiba menghilang. Pandangan A Hek yang menuntun kakek Lo itu mendadak terhalang oleh hutan cemara yang tumbuh lebat di lereng bukit tersebut.
"Ah! Ternyata bukan perkampungan penduduk, su-hu. Kita sampai di sebuah hutan pohon cemara. Dan tampaknya sinar lampu itu datang dari tengah-tengah hutan ini. Kalau begitu sinar lampu itu tentu bukan keluar dari rumah orang. Mungkin sinar itu cuma datang dari sebuah obor yang dibawa oleh seseorang di dalam hutan ini. Seorang pemburu barangkali....."
Kakek itu membetulkan tubuh Liu Yang Kun yang ada di atas punggungnya. Kedua belah alisnya yang putih itu tampak berkerut sehingga hampir bertemu satu sama lain. Tiba-tiba kakek itu menggeleng. "Tentu bukan. Apa yang hendak dicari oleh seorang pemburu di hutan cemara larut malam begini?" sanggahnya kemudian.
"Lalu apa menurut pendapat su-hu?"
Kakek itu menengadahkan mukanya sebentar ke langit, seolah-olah matanya yang buta itu ingin melihat bintang-bintang yang bertaburan di sana. Sesaat kemudian dia kembali menundukkan kepalanya sambil menarik napas panjang. "Entahlah. Tapi perasaanku mengatakan bahwa kita harus berhati-hati di tempat ini. Hmm... Li Ing! Lebih baik kau lekas-lekas menanggalkan penyamaranmu itu. Kita harus benar-benar mulai dengan rencana kita. Lekaslah...!"
"Di sini, su-hu? Ah.... aku malu!" pemuda buruk rupa yang ternyata adalah penyamaran Li Ing itu berkata kaget.
"Memangnya kenapa? Tiada orang di hutan ini malam-malam begini. Dan kau juga tak perlu menanggalkan pakaianmu. Basuh saja mukamu di sungai tadi sehingga penyamaranmu hilang.....!"
"Oh.... ba-baik, su-hu." Dengan tersipu-sipu Li Ing menjawab. Gadis itu lalu berlari kembali ke bawah. Kemudian setelah yakin bahwa tiada seorangpun yang melihatnya, ia membersihkan tepung dan perekat yang menempel pada wajahnya. Gigi palsu yang dipakai untuk mengganjal mulutnya pun juga dia tanggalkan pula.
Demikianlah, beberapa waktu kemudian A Hek yang buruk rupa itu telah berubah menjadi Tiauw Li Ing yang cantik jelita kembali. Gadis itu lalu kembali lagi ke tempat gurunya berada. Tapi ia menjadi kaget sekali ketika menyaksikan tubuh Liu Yang Kun telah dibaringkan di atas tanah dan gurunya yang tiada lain adalah Lo-sin-ong itu sedang sibuk menusukkan jarum-jarum emasnya ke kepala pemuda itu.
"Eh.... su-hu? Apa yang sedang kau lakukan?" serunya kaget dan khawatir.
Tapi dengan tenang Lo-sin-ong menggelengkan kepalanya. "Sssst! Jangan ribut! Pemuda itu tampaknya sudah akan siuman kembali. Kita tidak boleh terlambat. Kini aku sedang membetulkan letak jarum-jarum itu, agar kalau ia siuman nanti tidak merasakannya. Nah... kau bersiap-siaplah!" ujarnya perlahan.
"Dia... dia... oh, dia hendak siuman sekarang?" tiba-tiba Tiauw Li Ing yang biasanya lincah dan berani itu berseru gugup. Pipinya pun mendadak juga menjadi merah.
Lo-sin-ong tersenyum. Biarpun buta, tapi ia bisa merasakan nada suara muridnya yang gembira, gugup dan tegang itu. "Tenanglah! Jangan gugup! Bisa berantakan rencana kita itu nanti. Bersikaplah wajar, seakan-akan tidak terjadi apa-apa pada kita! Nah sekarang mari kita bawa dia ke sungai itu! Kita guyur dia dengan airnya yang dingin, biar lekas sadar!"
Lo-sin-ong lalu membawa Liu Yang Kun ke sungai. Kemudian dicelupkannya telapak tangannya ke dalam air untuk seterusnya ia usapkan ke wajah pemuda itu. Tiga kali hal itu ia lakukan ketika tiba-tiba pemuda itu sudah membuka matanya.
"Hah...?" pemuda itu tersentak kaget lalu bangkit berdiri dengan tiba-tiba.
Sigap dan cepat sekali, sehingga tokoh sakti seperti Lo-sin-ong dan Tiauw Li Ing yang sudah bersiap-siaga sejak semula itu pun tetap ikut kaget pula. Lo-sin-ong melompat ke belakang dan berdiri tegak. Tongkatnya melintang di depan dadanya. Sedangkan Tiauw Li Ing ikut-ikutan meloncat pula ke belakang, namun wajahnya tampak tegang dan khawatir.
Liu Yang Kun berdiri tegak mengawasi Lo-sin-ong dan Tiauw Li Ing bergantian. Sinar matanya tampak mencorong mengerikan. Sementara kulit wajahnya yang pucat itu tampak mengkilat kekuningan. Seolah-olah sedang menahan marah.
Memang pemuda itu dalam keadaan siap tempur! Tapi hal itu cuma beberapa kejap saja berlangsung, karena di lain saat pemuda itu tiba-tiba menggeram dengan mulut meringis. Kepalanya terasa sakit, seperti ada sesuatu yang menyengatnya. Bahkan beberapa saat kemudian seluruh tubuhnya juga terasa linu dan lemas. Dan pemuda itu juga terkejut ketika melihat kedua buah lengannya telah dibalut dengan kain pula.
"Sia.... siapa ka-kalian? A-a-apa yang telah kalian perbuat terhadapku?" katanya kaget.
Plong! Lega hati Lo-sin-ong sekarang. Ternyata garapannya berhasil. Pemuda sakti itu sudah tidak mengenal mereka lagi. Tidak mengenal dia sebagai kakek Lo dan juga tidak mengenal Tiauw Li Ing pula. Dan hal itu berarti bahwa pemuda itu telah melupakan masa lalunya.
Oleh karena itu Lo-sin-ong segera memberi isyarat kepada Tiauw Li Ing untuk segera menjalankan rencana mereka. Tapi untuk beberapa saat gadis itu masih bungkam saking tegangnya. Gadis yang biasanya lincah dan berani itu hanya mampu memandang kekasihnya dengan mata terbelalak serta dengan bibir yang bergetar pucat.
"Kenapa kalian diam saja? Siapakah sebenarnya kalian berdua ini? A-a-pa yang telah kalian perbuat terhadapku di hutan malam-malam begini?" Liu Yang Kun berseru pula kembali. Suaranya juga masih terdengar tegang dan curiga.
"Ko-ko....?" akhirnya Tiauw Li Ing menegur setelah dengan susah payah dapat menguasai hatinya.
Namun dengan cepat Liu Yang Kun menghindar ketika gadis itu hendak memeluknya. Dengan air muka semakin heran ia memandang Tiauw Li Ing. "Kau.... kau siapa? Mengapa kau memanggilku 'ko-ko'? Apakah engkau adikku?"
Tiauw Li Ing kembali terdiam dan menjadi salah tingkah lagi. Semua rencana dan petunjuk yang ia terima dari Lo-sin-ong tiba-tiba juga menghilang dari ingatannya.
"Hmm, Yang Kun! Mengapa kau menjadi lupa kepada isterimu sendiri? Oh, celaka!" Lo-sin-ong tiba-tiba mengeluh dengan suara keras untuk memancing perhatian Liu Yang Kun.
Benar juga. Bagai disengat lebah Liu Yang Kun tersentak menghadapi Lo-sin-ong. Wajahnya semakin bingung. "Isteriku? Dia... ini... isteriku?" desahnya tertahan.
Tiauw Li Ing sendiri seperti terlepas dari beban berat yang menindihnya. Sambil menjerit ia menubruk dada Lo-sin-ong dan menangis sepuas-puasnya. "Su-hu, aku takut! Aku... malu...! Jangan-jangan... jangan-jangan ia masih tetap sadar! Jangan-jangan dia mencemoohkan aku! Oooh, suhu...!" ia mengeluh diantara isaknya.
Sebaliknya tangis Tiauw Li Ing itu ternyata semakin mengalutkan hati dan pikiran Liu Yang Kun. Pemuda yang kini telah menjadi lupa akan masa lalunya, akibat cekokan-cekokan obat dan jarum-jarum emas yang dimasukkan ke kepalanya oleh Lo-sin-ong itu, semakin menjadi bingung menghadapi hal-hal yang tak dimengertinya itu. Pikirannya seolah-olah telah buntu dan tak tahu apa-apa. Rasanya ia benar-benar seperti bayi yang baru saja lahir. Akhirnya Liu Yang Kun menatap Lo-sin-ong yang ada di depannya. Dipandangnya orang tua itu dengan wajah sedih dan tertekan.
"Kakek....! Tolonglah aku! Aku benar-benar sangat bingung. Aku sungguh-sungguh tak tahu apa-apa. Siapakah sebenarnya aku ini? Dan siapa pula kakek berdua ini? Mengapa aku berada di tempat ini? Dan mengapa pula kakek berada pula disini bersama aku? Tolonglah, kek....!" rintihnya memelas seperti orang yang menderita sakit berat.
Lo-sin-ong menundukkan kepalanya dan berbisik pelan kepada Tiauw Li Ing, "Lihat! Dia benar-benar telah melupakan segalanya. Berarti semua rencana kita berhasil dengan baik. Kau tidak perlu takut lagi. Kau harus melakukan peranmu sebaik-baiknya. Kau masih ingin menjadi isterinya, bukan?"
Tiauw Li Ing menghentikan isaknya. Masih dengan butirbutir air mata yang menggenangi matanya gadis itu tersenyum. Pelan-pelan gadis itu menganggukkan kepalanya.
Lo-sin-ong berdesah lega. Kemudian sambil memiringkan wajahnya ke arah Liu Yang Kun ia berkata, "Yang Kun...! Sungguh tak kusangka luka-luka yang kau peroleh dalam pertempuran itu telah membuatmu menderita seperti ini. Hmmmh...!"
"Luka-luka dalam pertempuran? Aku baru saja berkelahi? Dengan siapa?" Liu Yang Kun tersentak kaget. Otomatis matanya memandang kain pembalut yang melilit lengannya.
Bagaikan seorang pemain sandiwara ulung orang tua itu menunduk sedih. Dipeluknya kepala Tiauw Li Ing yang bersandar di dadanya. "Ya! Tak kusangka semuanya berlalu sedemikian cepatnya. Kau yang kemarin masih segar bugar dan tampak mesra dengan isterimu ini, ternyata kini telah berubah sama sekali akibat luka-luka itu. Ooooh...!" orang tua itu sengaja menggelitik hati Liu Yang Kun.
Benar saja Liu Yang Kun cepat melompat ke depan dan menyambar lengan Lo-sin-ong. Cepat bukan main, sehingga Lo-sin-ong yang agak ragu-ragu itu tidak kuasa mengelak lagi. Lengannya yang memegang tongkat itu telah dicengkeram oleh Liu Yang Kun.
"Kek, katakanlah cepat apa yang terjadi pada diriku? Lekaslah! Jangan kau siksa aku berlama-lama...!" pemuda itu memohon dengan sangat.
Lo-sin-ong mendorong tubuh Tiauw Li Ing dan menyuruhnya duduk, lalu sambil mempersilahkan Liu Yang Kun pula ia duduk di samping muridnya itu. "Yang Kun, namamu adalah Liu Yang Kun. Kau memang benar-benar suami dari muridku ini. Namanya Tiauw Li Ing. Kalian adalah pengantin baru." Lo-sin-ong memulai cerita palsunya.
"Liu Yang Kun...? Ehm, ya... rasa-rasanya aku juga sangat mengenal nama itu. Hmm...! Jadi namaku Liu Yang Kun? Lalu dia itu isteriku?'" Liu Yang Kun bergumam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Matanya melirik Tiauw Li Ing yang menjadi merah padam mukanya. Kemudian pemuda itu mengetuk-ngetuk dahinya sendiri dengan jari-jarinya. "Tiauw Li Ing... isteriku. Benar rasa-rasanya aku memang sudah beristeri. Cuma aku memang lupa nama itu."
"Dia memang isterimu. Dia adalah puteri Tung-hai-tiauw, tokoh besar dari lautan Timur sana." Lo-sin-ong menerangkan lagi.
"Tung-hai-tiauw? Ah, aku sudah melupakannya pula. Hmm.... lalu siapa orang tuaku? Dari mana aku berasal?"
Kini Lo-sin-ong lah yang ganti terdiam menerima pertanyaan pemuda itu. Sekejap orang tua itu menjadi bimbang untuk menjawabnya. Apakah ia harus berbohong atau mengatakan yang sesungguhnya? Namun sekejap kemudian orang tua itu telah mengambil keputusan pula. Dia harus mengatakan yang sebenarnya, sebab tidak mungkin membohongi orang tentang pemuda itu.
Liu Yang Kun telah terkenal di dunia persilatan. Bahkan pemuda itu adalah putera Kaisar Han yang sedang dicari-cari oleh para punggawa kerajaan. Setiap saat pemuda itu akan segera mengetahui siapa dirinya. Sungguh sangat berbahaya bila ia membohonginya.
"Sebenarnya kau pun juga bukan pemuda sembarangan pula, Yang Kun. Kau adalah seorang pangeran. Bahkan kau adalah putera Hong-siang sendiri. Tapi kau selalu mengembara di dunia kang-ouw, karena kau tak senang berada di istana yang gemerlapan itu. Dan selama ini Hong-siang selalu mencarimu dan memanggilmu agar kembali ke istana, tapi kau tak mau. Kau justru bersembunyi dan kawin dengan puteri Tung-hai-tiauw ini...."
Liu Yang Kun ternganga. Ia seperti tak percaya kepada cerita orang tua itu. Tapi apa daya? Ia benar-benar tak mengerti apa-apa, sehingga ia juga tidak bisa membantahnya. "Lalu siapakah yang telah berkelahi dan melukai aku kemarin?" tanyanya kemudian.
Lo-sin-ong menghela napas, lalu bercerita dengan singkat pertempuran yang terjadi ditengah-tengah hutan semalam. Bagaimana pemuda itu berkelahi dengan Giok-Bin Tok-ong dan Bok Siang Ki, tokoh nomer empat dan nomer dua di dunia persilatan. Tapi tentu saja orang tua itu tidak bercerita tentang sebagian dari Buku Rahasia yang mereka perebutkan itu, karena buku itu kini berada di dalam saku bajunya.
"Giok-bin Tok-ong dan Bok Siang Ki?" lagi-lagi Liu Yang Kun merasa belum pernah mengenal nama-nama itu. Dan hal itu benar-benar sangat menyedihkannya.
"Sudahlah, kau tak perlu menjadi sedih karena keadaanmu ini. Yang penting kau selamat lebih dahulu. Suatu saat kau tentu akan sembuh kembali seperti semula. Sekarang marilah kita meneruskan perjalanan kita...!" Lo-sin-ong pura-pura membujuk dan membesarkan hati Liu Yang Kun.
"Ah.... kemana kita akan pergi? Aku sama sekali tak mempunyai tujuan..." Liu Yang Kun menjawab hambar.
"Tentu saja kita pulang ke rumah, ko-ko. Kau harus banyak beristirahat agar ingatanmu menjadi segar kembali." tiba-tiba Tiauw Li Ing menyela dan menyentuh lengan pemuda itu dengan jari-jarinya.
Liu Yang Kun menoleh dengan cepat. Ditatapnya wajah Tiauw Li Ing yang cantik itu dengan pandangan asing. Tapi ia buru-buru menundukkan mukanya lagi ketika menyaksikan pancaran sinar kasih di mata gadis itu. "Be-benarkah kau isteriku?" katanya kemudian seperti tak percaya.
Untuk sesaat pipi Tiauw Li Ing menjadi merah. Namun di lain saat gadis itu telah menemukan keberaniannya kembali. "Ah, ko-ko. Mengapa kau masih belum percaya juga? Kita memang belum resmi dimeriahkan dengan pesta oleh ayahku. Tapi percayalah, Kita memang benar-benar suami-isteri!"
"Baik.... baiklah kalau begitu." Liu Yang Kun menyahut dengan gugup. Apalagi ketika Tiauw Li Ing merangkul pinggangnya dan menyandarkan kepalanya di pundaknya.
"Sudahlah. Marilah sekarang kita berangkat!" Lo-sin-ong memotong pula, kemudian mendahului melangkah pergi meninggalkan tempat itu.
Tiauw Li Ing segera mengajak Liu Yang Kun untuk mengikuti orang-tua itu. Ketika mereka mendaki lereng bukit itu kembali, Lo-sin-ong berkata kepada Liu Yang Kun.
"Yang Kun! Sementara ingatanmu belum pulih kembali, kau lebih baik menurut saja apa perintah isterimu. Biarlah dia yang mengatur dan memberitahukan kepadamu, apa yang seharusnya kau lakukan nanti."
Liu Yang Kun memandang orang tua itu sekejap, kemudian menoleh pula ke arah Tiauw Li Ing." Baiklah, aku menurut..." jawabnya pelan seperti kepada dirinya sendiri.
Lalu ketika pada suatu saat Tiauw Li Ing mendekati gurunya, Lo-sin-ong juga berpesan pula, meskipun dengan perlahan sekali. "Dan kau juga harus ingat pula akan janjimu. Kau harus mengubah sikap dan kelakuanmu selama ini."
Gadis itu mengerling dan memainkan bibirnya. "Tentu saja, su-hu. Akupun tak ingin kehilangan dia pula," desahnya manja.
Demikianlah, mereka bertiga sampai pula ke tempat berhenti mereka semalam. Sementara itu di ufuk timur mulai membersit sinar pagi yang kemerah-merahan.
"Su-hu, lihat! Sebentar lagi fajar akan menyingsing..."
Walaupun tidak bisa melihat, namun Lo-sin-ong bisa merasakan nada gembira yang terpancar dalam suara muridnya itu. Diam-diam hatinya juga ikut berbahagia pula. "Aah... moga-moga kebahagiaannya ini benar-benar bisa mengusir kekelaman jiwanya dan menuntunnya ke dalam kehidupan yang lebih baik. Dengan demikian dosa yang telah kuperbuat ini rasanya menjadi ringan dan tidak sia-sia," ia bersyukur di dalam hati.
Dan ketika matahari benar-benar tersembul di ufuk timur, maka tirai kegelapanpun rasanya seperti terkuak dari muka bumi. Meskipun masih remang remang, tapi semuanya sudah dapat ditembus dengan penglihatan mereka.
"Mengapa kau diam saja sejak tadi? Lihatlah, pemandangan alam demikian indah dan mempesonakan! Kau pernah menyaksikan panorama seperti ini?" tiba-tiba Tiauw Li Ing berkata kepada Liu Yang Kun. Jari tangannya menunjuk ke lembah di sebelah kiri mereka. Lembah dlmana sungai kecil tadi mengalir.
Liu Yang Kun mengikuti arah jari telunjuk itu. Dan matanya segera memancarkan sinar kekaguman pula. Lembah itu tampak hijau segar, sehingga aliran air jernih yang membelah ditengah-tengahnya itu bagaikan tinta perak yang mengalir gemerlapan di pagi hari. Bahkan kabut tipis yang kemudian turun dari bukit-bukit di sekitarnyapun semakin menambah keelokan dan keindahannya. Bagai tirai kain yang sangat tipis, kabut itu membuat tempat-tempat yang dilaluinya menjadi samar-samar.
"Bagaimana...? Pernahkah?" Tiauw Li Ing mendesak lagi.
Liu Yang Kun menatap wajah Tiauw Li Ing, kemudian menggelengkan kepalanya. "Entahlah, aku sudah tak ingat lagi. Tapi panorama seperti ini rasanya juga tidak asing bagiku. Aku seperti sering melihatnya. Bahkan rasanya aku pernah tinggal pula di tempat seperti ini...."
Tiauw Li Ing meraih lengan Liu Yang Kun. Matanya melirik, sementara bibirnya menyunggingkan senyum manis sekali. "Ah, mana mungkin? Kau adalah seorang pangeran. Mana mungkin kau tinggal di tempat sunyi seperti ini?"
Liu Yang Kun tersenyum pula. Entah mengapa hatinya tidak enak untuk terus menerus bercuriga terhadap gadis cantik itu. "Aku seorang pangeran? Hmm... aku berani bertaruh kalian keliru dalam hal ini. Aku sama sekali tidak merasa sebagai pangeran selama ini. Aku memang telah kehilangan seluruh ingatanku, tapi aku tidak kehilangan perasaan dan naluriku. Ketika gurumu itu mengatakan bahwa kau adalah isteriku, naluriku memang merasakan bahwa aku memang sudah beristeri.
"Ketika orang tua itu juga mengatakan bahwa aku berkelahi dengan tokoh-tokoh ternama di dunia persilatan, hati dan perasaanku juga tidak membantahnya, karena naluriku juga mengatakan pula bahwa aku memang seorang Jago persilatan berkepandaian tinggi. Eh, maaf, aku tidak bermaksud menyombongkan diri. Tapi kalau kalian katakan bahwa aku seorang pangeran, hmm, kalian keliru!
"Sekali lagi kukatakan bahwa aku bukan seorang pangeran. Sama sekali aku tidak merasakannya. Aku bahkan sangat setuju kalau kaukatakan bahwa aku ini seorang dusun atau seorang pengembara, karena naluriku mengatakan bahwa aku sangat akrab dengan lembah dan gunung yang indah seperti ini. Bahkan aku merasa pernah tinggal lama sekali di tempat seperti ini."
Tiba-tiba Tiauw Li Ing tertawa lepas. Begitu wajar dan segar suaranya. Dan begitu cantik pula wajahnya, sehingga tak terasa mata Liu Yang Kun seperti terpaku dan terpesona melihatnya. Dan diam-diam hati pemuda itu merasa tergetar. Tak terasa Liu Yang Kun meraih jari-jari Tiauw Li Ing.
"Kau... kau sungguh cantik sekali! Benarkah kau ini isteriku?" bisiknya gemetar pula.
Tawa itu tiba-tiba terhenti dengan mendadak. Wajah yang segar dan renyah itu tiba-tiba juga berubah menjadi merah. Bahkan wajah yang cantik itu kemudian tertunduk pula dalam-dalam. Sama sekali tidak berani menatap Liu Yang Kun. Barulah gadis itu menjadi kaget setengah mati ketika tiba-tiba tubuhnya dipeluk. Bahkan semangatnya seperti melayang pula dengan mendadak ketika tiba-tiba bibirnya juga dicium oleh Liu Yang Kun. Selanjutnya gadis itu sudah tidak ingat lagi. Tahu-tahu ia sudah terlena dalam pelukan pemuda yang dicintainya itu.
"Hem... hem....! Kalian kenapa! Ada sesuatu di sekitar kita? Mengapa tiba-tiba kalian terdiam?" mendadak Lo-sin ong yang berada jauh di depan mereka itu membalikkan badan dan berseru kepada mereka.
Tergesa-gesa Tiauw Li Ing melepaskan diri dari pelukan Liu Yang Kun. Mukanya yang cantik itu merah padam bagai udang direbus. "Tidak apa-apa, su-hu.... tidak apa-apa!" jawabnya gugup seraya membenahi bajunya yang kedodoran.
Yang tidak kalah kagetnya adalah Liu Yang Kun. Pemuda itu seperti terbangun dari mimpinya. Wajah dan matanya tampak memerah seperti singa sedang marah, sementara napasnya seperti kuda yang baru saja berjalan jauh. "Gila!" pemuda itu menggeram perlahan sambil mengibas-ngibaskan kepalanya, ke kanan dan ke kiri.
"Kalau begitu marilah kita meneruskan perjalanan kita! Kita capai dulu desa atau kota yang terdekat, baru kemudian kita istirahat sepuasnya nanti." Lo-sin-ong berkata lagi seolah-olah menyindir mereka.
Wajah Tiauw Li Ing semakin merah padam. Begitu pula halnya dengan Liu Yang Kun. "Huh... kau! Nekad saja!" gadis itu menggerutu sambil memukul dada kekasihnya.
"Apakah dia tahu? Bukankah matanya tidak dapat melihat?" Liu Yang Kun membantah.
Tiauw Li Ing melirik. Mulutnya yang runcing itu kemudian mencibir. "Huh, enak saja! Meskipun buta suhu memiliki perasaan yang peka dan tajam luar biasa! Tahu?"
"Ya, tapi dia juga sudah bilang sendiri bahwa kau adalah isteriku Apa salahnya kalau aku memeluk dan...?" Liu Yang Kun mau membantah lagi, tapi keburu ditutup mulutnya oleh Tiauw Li Ing.
"Li Ing, ayolah....! Ajak suamimu!" Lo-sin-ong berseru lagi.
"Baik su-hu.... Sssst... ayolah, jangan membantah lagi!"
Tapi baru beberapa langkah mereka berjalan, Tiauw Li Ing telah berteriak pula. "Su-hu... Lihat. Aku menemukan bekas tangkai obor di sini. Bahkan tidak cuma satu. tapi... lima buah ah!"
"Benarkah....? Coba kau selidiki, obor itu baru saja dipakai ataukah sudah lama dibuang? Dan apakah ada tanda tanda yang bisa kita pakai untuk mengenali pemiliknya?"
Tiauw Li Ing membungkuk dan mengambil tangkai-tangkai obor-obor itu. Dua diantaranya ia berikan kepada Liu Yang Kun. "Tolong kau lihat pula....!" pintanya.
Liu Yang Kun menerima tangkai obor itu, kemudian mencoba untuk menelitinya. Tangkai obor itu masih hangat, suatu tanda bahwa obor itu memang baru saja dipergunakan. Namun selain itu tiada lagi yang istimewa, karena tangkai obor tersebut juga hanya terbuat dari bambu hijau biasa. Bahkan obor itu agaknya juga dibuat secara darurat dan sembarangan saja. Buktinya garapannya tampak sangat kasar dan satu sama lain tidak sama panjangnya.
"Ini hanya obor biasa. Tidak ada istimewanya. Memang ada apa? Mengapa tiba-tiba kau tertarik pada benda ini?" Liu Yang Kun bertanya.
Tiauw Li Ing tersenyum, kemudian bercerita tentang sinar lampu yang mereka lihat tadi malam. "Kami mengira kalau sinar lampu itu datang dari perkampungan penduduk, tapi ternyata bukan. Namun demikian hal ini juga berarti bahwa kita telah dekat dengan tempat tinggal atau perkampungan penduduk. Benar-benar suatu hal yang amat melegakan setelah berjalan semalam suntuk di hutan saja."
"Bagaimana, Li Ing?" Lo-sin-ong mendesak.
"Hanya tangkai obor biasa, suhu. Tidak ada keistimewaannya."
"Hmmh, masa.....? Coba kau lihat di sekitar tempat ini! Adakah bekas-bekas jejak manusia di sana?"
Tiauw Li Ing merengut. Matanya yang bulat bening itu menatap ke sekelilingnya. "Kenapa suhu menanyakan yang lain? Bukankah suhu tadi.... eh, benar suhu! Di sini ada bekas-bekas tapak kaki orang! Tumpukan daun cemara kering ini sampai melesak ke dalam tanah diinjak orang!" tiba-tiba gadis itu berseru nyaring.
Liu Yang Kun mendekati isterinya. Dia ikut mengawasi bekas-bekas telapak kaki itu. "Benar. Ini memang bekas kaki orang. Tampaknya tempat ini memang telah dekat dengan tempat tinggal manusia."
"Bagus! Kalau begitu marilah kita ikuti jejak itu! Li Ing, ayo... kau duluan," Lo-sin-ong berseru gembira.
Mereka lalu bergegas mengikuti bekas-bekas telapak kaki itu. Dan sungguh beruntung bagi mereka, karena jejak-jejak kaki itu tampaknya memang masih sangat baru, sehingga amat jelas dan mudah dilihat oleh mata mereka. Kalaupun ada yang kurang jelas, mereka segera mencari tanda-tanda lain di sekitarnya.
Beberapa kali mereka melingkari lereng lereng bukit yang banyak terdapat di daerah itu. Untung pula bagi mereka, tanah yang mereka lewati sedikit berair dan agak becek, sehingga mereka tak pernah kehilangan jejak-jejak tersebut.
"Su-hu! Kita telah sampai dijalan besar....!" akhirnya Tiauw Li Ing bersorak gembira.
"Betul.....? Apa kau melihat rumah penduduk juga?" Lo-sin-ong menyahut gembira pula.
"Belum! Tapi aku melihat debu mengepul di ujung jalan besar itu. Hmm, tampaknya ada pasukan berkuda yang hendak lewat."
"Pasukan berkuda? Mengapa ada pasukan berkuda lewat pagi hari begini?" Lo-sin-ong terhenyak kaget. Dahinya yang berlipat-lipat itu semakin berkeriput pula.
"Siapa tahu ada gerombolan perampok atau ada pemberontakan di daerah ini?" tiba-tiba Liu Yang Kun ikut berbicara.
Tlauw Li Ing tersenyum. "Mungkin kau benar, ko-ko. Tapi... sudahlah! Kita tak perlu main tebak-tebakan. Sekarang marilah kita mendekat saja ke jalan itu! Kita lihat... apa sebenarnya yang menyebabkan debu mengepul itu?"
Mereka lalu menuruni lereng bukit itu, kemudian naik lagi ke bukit di depan mereka. Karena ingin lekas sampai di jalan itu, maka masing-masing tanpa terasa lalu mengerahkan ilmu meringankan tubuh mereka. Tiauw Li Ing berada di depan, sementara gurunya yang buta itu mengikutinya dari belakang.
Keduanya berloncatan dengan amat lincah dan ringan luar biasa. Ujung sepatu mereka seakan-akan tidak pernah menyentuh tanah. Bahkan kadang-kadang mereka melenting tinggi ke atas, kemudian berjumpalitan melompati semak-semak belukar yang banyak terdapat di lereng itu. Tampaknya gadis itu sengaja memamerkan kepandaiannya kepada 'suaminya'.
Dan Tiauw Li Ing benar-benar amat puas ketika menginjakkan kakinya di pinggir jalan itu. Wajahnya atau pipinya tampak memerah, tanda bahwa ia sungguh-sungguh telah mengerahkan tenaganya beberapa saat tadi. Ketika melirik ke arah gurunya, gadis itu sempat menyaksikan bagaimana gurunya yang amat sakti itu menarik napas panjang. Suatu tanda juga bahwa gurunya tersebut diam-diam juga telah mengerahkan sedikit tenaganya pula. Tapi ketika ia menoleh ke belakang, dimana Liu Yang Kun berada, tiba-tiba matanya terbelalak!
Ternyata sikap dan keadaan suaminya itu sama sekali tidak mengalami perubahan. Air mukanya tetap biasa. Bahkan pernapasannyapun juga masih tetap teratur pula seperti semula. Sedikitpun tidak ada tanda-tanda bahwa pemuda itu baru saja berlari menuruni lereng bukit tersebut.
"Ada apa....? Mengapa matamu terbelalak memandangku? Ada yang salah?" Liu Yang Kun bertanya kepada Tiauw Li Ing.
"Oh, tidak.... tidak!" Tiauw Li Ing berdesah sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, tapi matanya tidak bisa menyembunyikan kekagetan dan kekagumannya.
"Lalu... kenapa kau memandangku seperti itu?" Liu Yang Kun mendesak.
Masih dengan menatap kagum kepada 'suaminya‘ itu Tiauw Li Ing tersenyum. Senyum bangga dan bahagia. "Ko-ko, ilmu meringankan tubuhmu sungguh luar biasa sekali. Aku sungguh kagum sekali, siapakah sebenarnya gurumu itu? Apa nama ilmu itu?" gadis itu bertanya. Air mukanya tampak berbinar-binar dan bersemangat sekali.
Tiba-tiba wajah Liu Yang Kun tampak keruh dan lesu. Matanya menerawang jauh tinggi ke angkasa. Lalu perlahan-lahan kepalanya menggeleng. "Entahlah, aku sudah lupa pula. Aku tak ingat lagi siapa guruku. Dan aku juga tak ingat lagi nama ilmu itu. Bahkan aku juga sudah tak ingat lagi bagian-bagiannya. Aku hanya bergerak menurut naluriku saja," jawabnya sedih.
Lo-sin-ong mendekati Tiauw Li Ing dan kemudian menyikut lengan muridnya itu. "Hmmh... Jangan kau usik dia dengan masa lalunya! Semua itu hanya akan membuatnya sedih. Sebab dia sudah takkan bisa mengingatnya lagi. Kalau ia sekarang masih bisa bersilat, itu hanya karena nalurinya saja. Seperti halnya kalau kita berjalan, berbicara atau bernapas. Kalau kau suruh dia mengingat-ingat, hmm... semuanya justru akan menjadi kalut dan kacau malah!" orang tua itu berbisik perlahan di telinga Tiauw Li Ing.
"Oooh.....!"
"Nah, sudahlah.... kalian jangan berisik lagi! Aku sudah mendengar suara gemuruh di balik hutan itu. Marilah kita bersembunyi....!" Lo-sin-ong kemudian menambahkan dengan suara keras.
Mereka bertiga lalu bergegas menyembunyikan diri. Mereka berlindung di balik batu-batu karang besar yang banyak terdapat di kanan kiri jalan itu. Dan mereka tidak usah menunggu lama, karena sebentar kemudian suara gemuruh dan debu yang mengepul tinggi itu telah muncul di balik tikungan jalan.
Suara sepatu kuda segera menghentak-hentak ke telinga mereka. Dan sesaat kemudian mereka telah melihat serombongan pasukan berkuda yang terdiri dari limapuluhan perajurit lewat di depan mereka. Sebuah bendera besar berwarna hijau gemerlapan tampak berkibar di depan pasukan itu. Tiga buah pedati besar yang masing masing ditarik oleh enam ekor kuda beban tampak meluncur pula di belakang pasukan itu.
Dan kemudian agak jauh dari barisan pedati tersebut masih berbaris pula sekelompok pasukan bertombak dan berpedang berjalan kaki. Kedua buah pasukan ini berjumlah kira-kira seratusan orang perajurit. Semuanya masih tampak segar dan bergembira-ria, mungkin mereka semua itu baru saja meninggalkan barak mereka.
Diam-diam dengan wajah tegang Tiauw Li Ing melirik ke arah 'suaminya'. Tapi ketika ia tidak melihat perubahan di wajah suaminya itu, hatinya menjadi lega. Apalagi ketika 'suaminya' itu tersenyum kepadanya.
"Nah, apa kataku? Sepasukan prajurit berkuda, bukan?" pemuda itu berkata.
Tiauw Li Ing mengerling. "Kau tidak mengenal mereka?" tanyanya menguji.
Liu Yang Kun mengerutkan keningnya. "Mengenal mereka? Apa maksudmu?"
"Aku mengenal mereka," gadis itu menjawab. "Mereka adalah prajurit-prajurit kerajaan. Kau lihat bendera itu? Dan kau lihat pula panglima yang berkuda di deretan paling depan tadi?"
"Kau maksudkan orang yang berpakaian gemerlapan dan selalu dikawal oleh seorang lelaki yang berseragam tadi?" Liu Yang Kun menegaskan.
"Ya! Dia itu adalah Panglima Besar Kerajaan. Namanya Yap Khim, tapi orang biasa menyebutnya Yap Tai-ciangkun. Sedangkan pengawalnya itu bernama Yap Kiong Lee, kakak kandung panglima itu sendiri. Orang kang-ouw biasa menyebutnya Hong-lui-kun (si Tinju Petir Dan Badai). Mereka berdua adalah orang-orang kepercayaan Hong-siang. Kepandaian mereka sangat tinggi, terutama Hong lui-kun Yap Kiong Lee itu. Dialah jago silat nomer satu di istana. Eh... masakan kau telah melupakan mereka?" Tiauw Li Ing masih tetap mencoba juga daya ingatan Liu Yang Kun.
Ternyata Liu Yang Kun menjadi tidak senang oleh pertanyaan itu. "Huh... jadi kau masih menganggap aku ini seorang pangeran?" pemuda itu berkata kesal.
Tiauw Li Ing cepat menyambar lengan 'suaminya‘ itu. "Eeee... jangan lekas menjadi marah! Aku bertanya baik-baik, dan guruku itu memang tidak berbohong ketika mengatakan bahwa kau adalah putera Kaisar Han. Kalau kau memang tidak menyukai pertanyaanku tadi, baiklah, aku takkan mengulanginya lagi. Aku tadi hanya berpikir, kalau-kalau kau ingin menemui mereka, karena mereka itu memang prajurit-prajurit ayahandamu...!" katanya cepat pula untuk membujuk dan meredakan kemarahan kekasihnya itu.
Liu Yang Kun menatap wajah 'isterinya', kemudian menghela napas panjang. "Sudah kukatakan bahwa aku tidak pernah merasa menjadi seorang pangeran. Oleh karena itu aku juga tak ingin menemui mereka atau menemui siapa saja yang berbau istana. Bahkan sekarang aku menjadi takut malah. Jangan-jangan cerita kalian itu memang benar, sehingga aku harus... harus kembali ke istana. Hmh... aku benci kehidupan yang berbau gemerlapan dan banyak aturan. Semua itu tidak cocok dengan jiwaku. Aku lebih suka hidup bebas merdeka di alam terbuka, tanpa terikat oleh segala macam aturan dan adat-istiadat."
Pemuda itu berkata dengan berapi-api. Dan Tiauw Li Ing menyambutnya dengan rasa gembira dan lega. Karena memang ucapan seperti itu pulalah yang ingin ia dengar dari mulut 'suaminya' itu. Rasa cintanya yang amat besar membuat gadis cantik itu takut kehilangan Liu Yang Kun. Maka betapa bahagia hatinya tatkala mendengar kata-kata tersebut.
"Nah... mereka telah lewat. Bagaimana sekarang menurut pendapatmu, Li Ing? Kemanakah kita harus pergi? Mengikuti pasukan itu ataukah mencari jalan yang lain...?" tiba-tiba Lo-sin-ong menengahi percakapan mereka.
Tiauw Li Ing tersentak kaget. Untuk sekejap wajahnya menjadi merah. Tapi sekejap kemudian ia menoleh ke arah 'suaminya'. Matanya yang bening seolah olah memancarkan sinar pertanyaan atau meminta pertimbangan kepada Liu Yang Kun.
Tapi Liu Yang Kun diam saja. Bahkan pemuda itu balas memandangnya dengan tajam, sehingga Tiauw Li Ing terpaksa mengalihkan pandangannya kembali kepada gurunya. "Bagaimanakah menurut pendapat suhu sendiri? Jalan mana yang sebaiknya harus kita pilih?" la lalu balas bertanya kepada gurunya.
Lo-sin-ong menengadahkan kepalanya sebentar. Setelah menarik napas berulang-kali orang tua itu lalu berkata, "Pasukan itu tampaknya baru saja berangkat meninggalkan perkemahan tempat mereka melepaskan lelah malam tadi. Hal itu berarti tempat ini jauh dari kota maupun perkampungan penduduk. Oleh karena itu menurut pendapatku kita sebaiknya mengikuti saja pasukan itu dari jauh. Dengan begitu paling tidak kita telah mendapatkan teman seperjalanan. Siapa tahu kita kelaparan atau bertemu dengan perampok di jalan nanti?"
"Ah, suhu...? Masakan kita takut kelaparan dan takut kepada segala macam perampok?" Tiauw Li Ing cemberut.
"Aha, aku cuma bergurau saja. Bagaimana pendapatmu?"
"Terserah suhu saja...."
Lo-sin-ong mengangguk-angguk. "Kalau begitu ajaklah suamimu berangkat! Kita ikuti pasukan berkuda itu!"
Tiauw Li Ing menatap Liu Yang Kun. "Bagaimana pendapatmu, koko? Apakah kau setuju kalau kita berjalan di belakang pasukan berkuda itu?"
Liu Yang Kun mengangkat pundaknya. "Terserah kepadamu. Asal saja kita tidak sampai ketahuan oleh mereka."
Tiauw Li Ing mengangguk dan tersenyum manis sekali. Dengan mesra tangannya lalu merangkul dan menggandeng lengan pemuda itu. Kemudian perlahan-lahan mereka melangkah di belakang Lo-sin-ong. Belum juga ada lima lie mereka berjalan, di depan mereka telah tampak membentang sebuah tembok kota yang dibangun di kaki bukit. Bahkan rumah-rumah pendudukpun sudah banyak pula yang dibangun di sekitar tembok kota tersebut.
Sementara sawah dan ladang juga telah mulai bertebaran pula dikerjakan orang di sekitar jalan yang mereka lalui. Ketika rombongan pasukan berkuda yang ada di depan mereka itu berhenti dan membuat kemah di luar tembok kota tersebut, Lo-sin-ong juga berhenti puIa. Orang tua itu memanggil Tiauw Li Ing.
"Li Ing, kudengar suara derap di depan itu telah berhenti. Apakah yang telah terjadi pada mereka?"
"Su-hu, kita telah sampai di sebuah kota. Pasukan itu berhenti di luar tembok dan membuat kemah di sana. Apa yang harus kita lakukan?"
"Oh... begitu cepatnya kita sampai di sebuah kota? Kota mana itu?"
"Entahlah, su-hu. Tembok kota itu masih jauh dari sini. Aku belum bisa membaca huruf yang tertulis di atas Pintu Gerbangnya."
Lo-sin-ong berdiam diri sebentar. Lalu katanya lagi, "Baiklah. Marilah kita sekarang mencari jalan lain dengan menjauhi perkemahan para prajurit itu. Lalu secara diam-diam kita menyelinap memasuki pintu gerbang kota."
Demikianlah, dengan jalan melingkar mereka memasuki pintu gerbang kota itu. Mereka lewat di ladang-ladang dan perkampungan penduduk sehingga mereka tidak bertemu dengan para prajurit itu.
"Kota Cia-souw...! Ah, ternyata kita berada dikota Cia-souw di semenanjung Syan-tung, suhu!" Tiauw Li Ing bergumam sedikit keras ketika membaca huruf yang tertera di atas pintu gerbang yang mereka lalui itu.
"Kota Cia-souw? Ah, kalau begitu kita berada agak jauh di sebelah timur kota Cin-an." Lo-sin-ong menyahut dengan kening berkerut. Sama sekali tak disangkanya kalau mereka sampai melenceng sedemikian jauhnya dari kota An-lei.
"Benar, suhu. Ternyata malam tadi kita telah menempuh perjalanan yang jauh sekali. Tapi sungguh kebetulan malah, karena ayahku justru banyak mempunyai kaki tangan di daerah ini. Nanti kita bisa menghubungi mereka."
"Cin-an... Cin-an... Cin-an....?" tiba-tiba Liu Yang Kun turut bergumam pula ketika Lo-sin-ong menyebut-nyebut kota Cin an. Dahinya berkerut seakan-akan sedang mengerahkan semua ingatannya.
"Koko, ada apa.....?" Tiauw Li Ing berdesah khawatir. "Kau teringat sesuatu?"
"Tidak.... tidak. Aku tidak teringat apa-apa. Cuma kota itu rasa-rasanya sudah kukenal. Malahan kota itu seperti... seperti penting bagiku. Hmmm.... jangan-jangan aku memang berasal dari kota itu. Ah...! Li Ing, aku harus ke sana! Aku ingin ke kota itu! Siapa tahu ingatanku akan kembali lagi setelah melihat kota Cin-an?"
Liu Yang Kun menatap mata Tiauw Li Ing. Wajahnya tegang, seolah-olah keinginannya untuk pergi ke kota Cin-an itu sudah tak bisa diganggu gugat lagi. Bahkan seandainya dicegah oleh Tiauw Li Ing sekalipun.
Tentu saja Tiauw Li Ing menjadi khawatir dan bingung. Kota itu adalah kota yang sangat besar. Kota yang dihuni oleh banyak perwira dan prajurit kerajaan. Bahkan di kota itu juga banyak tinggal tokoh-tokoh persilatan yang terkenal. Malah diantara mereka itu adalah Hek-pian-hok Ui Bun Ting, Ketua Tiam-jong-pai yang dua atau tiga hari lagi akan melangsungkan perkawinannya. Tentu akan banyak lagi tokoh-tokoh persilatan yang akan berkunjung ke kota itu. Lalu bagaimana kalau nanti pemuda itu dikenal orang dan dibawa pergi oleh prajurit-prajurit istana?
"Ko-ko, bukankah kau tidak ingin bertemu dengan... dengan punggawa-punggawa ayahmu? Di kota itu banyak berkeliaran perwira dan prajurit kerajaan. Bagaimana kalau kau dikenali mereka nanti?''
"Tapi…. tapi aku harus ke sana. Kita.... kita bisa menyamar atau pergi secara diam-diam. Tetapi kalau kau takut, biarlah aku pergi ke sana sendirian." Liu Yang Kun tetap bersikeras untuk melaksanakan keinginannya.
Hampir saja Tiauw Li Ing tak bisa menguasai dirinya. Kalau saja saat itu mereka tidak sedang berjalan di jalan umum yang penuh orang, mungkin Tiauw Li Ing sudah menangis dan merengek-rengek kepada Liu Yang Kun agar supaya pemuda itu mau membatalkan niatnya.
"Su-hu, bagaimana ini? Dia ingin pergi ke kota Cin-an yang banyak prajuritnya itu. Bagaimana nanti kalau ada yang mengenalinya? Ooooh...!" gadis itu mengeluh ketakutan.
"Ah, kalian ini seperti anak kecil saja. Berdebat dan bertengkar di muka umum. Ayoh, kita cari dulu tempat untuk beristirahat, baru kemudian kita rundingkan semua persoalan kalian itu!" Lo-sin-ong membentak perlahan....
"Sam-eng! Lepaskan Hwee-coa! Cepat!" lengkingnya meninggi seraya melompat keluar dari kurungan asap beracun itu.
Tiba-tiba tiga buah cahaya berwarna kemerah-merahan tampak melesat ditengah-tengah arena pertempuran tersebut. Warnanya yang terang bagai bara api di dalam sekam itu seolah-olah dapat mengusir pekatnya asap tersebut. Cahaya merah itu tampak bergerak dengan cepat sekali, melenting kesana-kemari mengejar Giok-bin Tok-ong dan murid-muridnya.
Dengan segala kelincahannya Giok-bin Tok-ong mencoba menghadapi kegesitan Ular Api itu. Begitu pula dengan Kim Hong San dan adik-adik seperguruannya. Meskipun mereka juga merasa sedikit gentar, namun mereka berusaha pula untuk melawan ular kecil itu. Bahkan mereka berusaha dengan sekuat tenaga untuk membunuh ular yang sangat mengerikan tersebut.
Tapi ular kecil itu benar-benar lincah dan gesit luar biasa. Berkali-kali ular tersebut berhasil menusup ke dalam pakaian Giok-bin Tok-ong dan muridnya. Namun setiap kali pula ular kecil itu harus keluar lagi, karena tokoh-tokoh sakti dari Lembah Tak Berwarna itu segera berguling dan bergelundungan di atas tanah. Ular kecil yang cerdik itu tak mau mati tertindih.
Hwee-coa itu selalu mengincar lobang telinga, mulut atau hidung Giok-bin Tok-ong dan murid-muridnya. Tapi tentu saja hal itu sangat sulit untuk dilaksanakan. Mereka adalah tokoh-tokoh silat tingkat tinggi, yang tidak mudah untuk diserang atau dicari kelengahannya. Namun demikian ular kecil itu melejit kesana-kemari dengan amat gesitnya, diantara tubuh-tubuh lawan mereka tersebut, seolah-olah ular-ular kecil yang ganas itu tidak pernah mengenal lelah maupun putus-asa.
Bahkan ketika Giok-bin Tok-ong dan murid-muridnya telah mulai kelelahan, ular-ular kecil itu tetap tidak kehilangan kegesitannya. Ular-ular kecil itu bahkan mulai berani menyusup ke dalam pakaian dan menggigit sekenanya. Tentu saja hal itu sangat mengesalkan hati Giok-bin tok-ong dan murid-muridnya. Untunglah mereka telah minum obat penawar racun yang paling hebat, sehingga racun Hwee-coa yang sangat dahsyat itu tidak dapat membinasakan mereka.
Walaupun demikian mereka berempat menjadi kesal sekali dan kemudian mulai menyesali asap tebal yang mereka buat sendiri itu. Asap itu terasa mengganggu pandangan mereka sekarang, sehingga mereka tidak bisa melihat dan tidak bisa melawan ular-ular jahanam tersebut dengan baik. Tanpa asap itu mereka tentu bisa membinasakan ular-ular itu dengan mudah.
Sementara itu Bok Siang Ki dan keempat pembantunya telah berada di luar tabir asap tersebut. Sambil berusaha mengobati luka-luka yang mereka peroleh tadi, mereka mencoba mengetahui apa yang telah terjadi di dalam tabir asap yang amat pekat itu.
"Sam-eng....? Dimanakah pemuda itu....? Rasa-rasanya aku tidak pernah beradu tangan ketika berada di dalam tadi," dengan heran Bok Siang Ki bertanya kepada pembantu-pembantunya.
"Entah, tuanku. Hamba pun rasa-rasanya juga tak bersinggungan dengannya tadi."
"Jangan-jangan dia telah lari meninggalkan arena pertempuran ini!"
"Tidak mungkin. Kita telah mengepungnya tadi. Kalaupun dia telah lari, Giok-bin Tok-ong dan murid-muridnya itu tentu telah pergi pula. Bocah itu tentu masih ada di dalam asap itu," ujar anggota Sam-eng yang termuda seraya meringis kesakitan. Mata kiri dan pelipis kirinya ternyata telah rusak dan menjadi cacat terkena letusan peluru Giok-bin Tok-ong tadi.
"Benar katamu, Pek-eng (Garuda Putih). Akupun masih mempunyai dugaan demikian pula. Pemuda itu tentu masih berada di dalam asap itu! Hmmh... bagaimana dengan luka-luka kalian? Bagaimana kalau kita masuk lagi ke dalam arena untuk membantu ular-ular kita?" Bok Siang Ki menggeram tak sabar.
"Kami telah selesai mengobati luka-luka kami, tuanku. Meskipun agak parah, tapi kami sekarang sudah siap untuk bertempur. Kami justru sangat mengkhawatirkan jarum yang menembus paha tuanku itu..." Hek eng (Garuda Hitam), anggauta yang tertua dari Sam-eng itu menjawab perlahan.
"Bagus! Aku pun tidak apa-apa. Jarum itu telah kukeluarkan pula. Daging pahaku telah kurobek sedikit untuk mengeluarkannya. Kalau begitu mari kita terjun lagi ke arena."
"Marilah, tuanku...."
Demikianlah, masuknya kembali mereka itu ke dalam arena pertempuran ternyata bersamaan pula dengan habisnya kesabaran Giok-bin Tok-ong dalam menghadapi Hwee-coa. Karena tokoh Lembah Tak Berwarna itu juga sangat mengkhawatirkan Liu Yang Kun, yaitu kalau kalau pemuda itu telah diringkus lebih dahulu oleh lawannya, maka ia telah mengambil keputusan yang tak dapat ditunda lagi. Kakek tampan itu telah memutuskan untuk mempergunakan Pek-Iek-tan! Apalagi ketika pada saat itu pula ia mendengar jeritan Nyo Kin Ong, muridnya! Jerit kematian!
"Nyo su-te....?" Kim Hong San memekik kaget.
"Nyo su-heng...?" Tang Hu berseru pula.
"Suiiiit! Suiiiiiiiiiiiit…!" tiba-tiba Giok-bin Tok-ong bersiul panjang dua kali, memberi tanda atau isyarat kepada murid-muridnya itu untuk menyingkir dari arena sejauh-jauhnya.
Dan pada detik itu pula kakek tampan itu membanting peluru mautnya! Kemudian bergegas melesat pergi meninggalkan arena! Demikian pula dengan Kim Hong San dan Tang Hu meskipun keduanya belum lenyap rasa kagetnya! Hampir saja mereka bertiga bertubrukan dengan Bok Siang Ki dan pembantu-pembantunya! Untunglah kedua belah pihak sama-sama lincahnya dan sama-sama tinggi ilmu meringankan tubuh mereka, sehingga dengan tangkas dan gesit, masing-masing cepat menghindarkan diri!
Giok-bin Tok-ong dan kedua muridnya cepat menjatuhkan diri dan menggelundung pergi cepat sekali! Sedangkan Bok Siang Ki dan para pembantunya cepat pula menggeliatkan tubuh mereka ke samping, kemudian melesat ke belakang menjauhkan diri. Entah mengapa, mendengar suara siulan Giok-bin Tok-ong dan menyaksikan ketergesaan lawan mereka itu, Bok Siang Ki dan para pembantunya menjadi curiga. Tiba-tiba saja mereka juga ikut meloncat pergi menjauhkan diri. Biarpun tidak sejauh lawan-lawan mereka itu.
Dan pada saat itu pula terdengar sebuah ledakan yang maha dahsyat di tengah-tengah arena pertempuran itu! Sebuah ledakan yang benar-benar mengguncangkan isi hutan tersebut. Tanah dan pasir berhamburan ke udara. Empat atau lima batang pohon besar di sekeliling arena itu roboh pula dengan suara yang bergemuruh. Bok Siang Ki dan para pembantunya yang benar-benar tidak menduga akan hal itu, terlempar pula dengan kuatnya. Tubuh mereka melanggar pepohonan di belakang mereka, kemudian terbanting jatuh ke dalam semak-semak.
Bok Siang Ki, Hek-eng dan Ui-eng tidak apa-apa. Mereka itu hanya menderita beberapa goresan luka akibat melanggar pepohonan tadi. Tapi Pek-eng orang yang termuda diantara mereka menderita patah tulang pada kaki kirinya. Kaki itu patah ketika melanggar sebatang pohon siong besar. Meski pohon tersebut juga berderak patah tersabet kakinya.
Sebaliknya Giok-bin Tok-ong dan kedua orang muridnya, Kim Hong San dan Tang Hu, selamat tak kurang suatu apa. Mereka bertiga bangkit berdiri limabelas atau duapuluh tombak dari tempat ledakan. Pakaian mereka memang menjadi kotor oleh tanah dan lumpur. Mereka berdiri mengawasi tempat mereka bertempur tadi, tapi kegelapan malam menghalangi pandangan mereka.
"Su-hu....? Nyo su-te.... telah... telah tiada!" Kim Hong San berkata tersendat-sendat.
"Ah, Nyo su-heng...." Tang Hu mengeluh pula dengan sendu.
Giok-bin Tok-ong menghela napas panjang. "Sudahlah kita tak perlu terlalu menyedihkan kematiannya. Dia mati karena Hwee-coa. Dan Hwee-coa itu kini sudah binasa pula mengiringinya. Sekarang Nyo Kin Ong tentu tersenyum gembira di alam baka sana. Sayang Bok Siang Ki dan orang-orangnya sempat menghindar dari neraka itu. Hmmmmh....!"
"Tapi belum tentu mereka selamat, su-hu. Paling tidak mereka tentu terluka parah. Mereka berada terlalu dekat dengan tempat ledakan itu." Tang Hu menyahut.
"Ya. Tapi pemuda yang membawa Buku Rahasia itu tentu hancur pula bersama bukunya. Aku belum melihat dia keluar dari kurungan asap itu." Kim Hong San berkata pula.
"Biarlah. Dari pada jatuh ketangan Bok Siang Ki....." Giok-bin Tok-ong menghentikan omongan muridnya.
Demikianlah, kedua belah pihak sama-sama beranggapan pula bahwa Liu Yang Kun telah hancur luluh bersama bukunya oleh ledakan itu. Oleh karena itu pula masing-masing pihak menganggap bahwa perselisihan mereka tidak perlu dilanjutkan lagi. Apalagi kedua belah pihak sekarang telah sama-sama mengalami kerugian pula.
Giok-bin Tok-ong telah kehilangan salah seorang muridnya, sedangkan Bok Siang Ki walaupun tidak kehilangan salah seorang pembantunya, tapi keadaan Pek-eng itu hampir sama dengan orang mati. Kalau pun harus ada perang tanding lagi, orang termuda dari Sameng tersebut juga tidak bisa berbuat apa-apa pula.
Bahkan sekarang justru Bok Siang Ki-lah yang kemudian bergegas mengajak pergi para pembantunya. Dengan musnahnya buku yang diperebutkan itu, praktis tinggal Bok Siang Ki dan Bu-tek sin-tong-lah yang memiliki bagian dari buku itu. Jadi kalau ia tidak lekas-lekas pergi, mungkin ganti Giok-bin Tok-ong lah yang kemudian justru akan meminta sebagian dari buku yang lain itu kepadanya.
Sebaliknya Giok-bin Tok-ong yang telah kehilangan salah seorang muridnya itu juga tidak ingin memperpanjang urusan itu lagi. Dengan wajah lesu kakek tampan itu mengajak kedua muridnya yang masih tinggal untuk pergi meninggalkan tempat tersebut.
Angin tengah malam mulai meniup membelai bumi. Anginnya yang dingin bercampur embun itu mulai pula membasahi di dalam hutan itu. Binatang-binatang malampun telah mulai bernyanyi kembali. Suara-suara mereka yang khas saling bersahut-sahutan, sehingga membentuk sebuah irama yang khusus pula. Irama keheningan sebuah hutan di malam hari! Hening, sunyi, namun juga mencekam hati!
Tapi keheningan dan kesunyian itu mendadak dipecahkan oleh suara bisik-bisik dan langkah kaki manusia. Seorang kakek buta tampak berjalan bersama seorang pemuda berwajah buruk sekali, menerobos rimbunnya semak-belukar yang tumbuh di tempat itu. Di atas pundak kakek buta itu tersampir sesosok tubuh manusia pula. Sebentar-sebentar tubuh itu melorot turun dan hampir jatuh dari punggung kakek buta tersebut sehingga setiap kali pula kakek itu harus membetulkannya.
"Su-hu.....? Apakah luka-lukanya bisa disembuhkan? Apakah dia bisa menjadi sehat kembali seperti sediakala?" pemuda berwajah buruk itu berbisik khawatir. Suaranya terdengar bening bernada tlnggi seperti layaknya seorang perempuan. Sungguh sangat bertolak belakang dengan wajahnya yang mengerikan itu.
Kakek buta itu menarik napas panjang. Katanya kemudian dengan nada lembut, "Engkau tidak perlu merasa khawatir. Dia tentu akan sembuh pula nanti. Kau justru harus berterima kasih sekali dengan kejadian ini. Siapa lagi yang akan dapat melukai pemuda ini sedemikian parahnya kalau bukan orang-orang itu? Coba kau bayangkan! Sampai kapan kita harus menunggu pemuda ini menjadi pingsan dan terluka parah, sehingga kita berdua bisa melaksanakan rencana kita, kalau tidak ada orang seperti Giok-bin Tok-ong dan Bok Siang Ki itu?"
Pemuda berwajah buruk itu menundukkan mukanya. "Suhu benar..." bisiknya lirih.
"Nah! Oleh karena itu pula kita tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang amat bagus ini. Mulai detik ini kita harus sudah memulainya. Mulai dengan rencana yang telah kita susun itu. Kau harus melakukannya dengan sungguh-sungguh seluruh petunjuk yang kuberikan kepadamu dulu. Jangan sampai lupa….!"
Sekali lagi pemuda berwajah buruk itu menundukkan kepalanya. Tiada tampak kesan apapun pada wajahnya yang hitam itu. Hanya sikapnya saja yang tiba-tiba berubah menjadi malu-malu. "Ba-ba-baik... su-hu," desahnya gemetar seperti perawan yang sedang malu malu atau mabuk kepayang.
"Bagus. Kalau begitu marilah kita sekarang mencari rumah penduduk yang terdekat. Dan kau harus lekas-lekas menanggaIkan penyamaranmu itu. Pemuda ini sebentar lagi akan siuman."
Kedua orang aneh yang tidak lain memang kakek Lo dan A Hek itu segera mempercepat langkah mereka. Ternyata selama ini mereka berdua selalu mengikuti Liu Yang Kun. Memang, sejak terjadinya huru-hara kebakaran perahu di tepian sungai itu, mereka berdua lalu memisahkan diri. Tapi walaupun demikian secara diam-diam mereka tetap mengikuti segala langkah Liu Yang Kun. Dan setiap saat pula mereka berdua selalu mencari kesempatan atau menanti kesempatan untuk melaksanakan rencana rahasia yang hendak mereka lakukan terhadap Liu Yang Kun.
Demikianlah setelah dengan tekun mereka menanti, akhirnya kesempatan tersebut datang juga. Mereka berdua sampai di hutan itu malam itu. Mereka menyaksikan Liu Yang Kun bertempur melawan Giok-bin Tok-ong dan Bok Siang Ki.
Dengan berharap-harap cemas mereka berdua menantikan akhir dari pertempuran tersebut. Tapi sambil menanti dan berdoa di persembunyian mereka, kakek Lo juga berusaha untuk mencari kesempatan yang baik bagi rencananya. Tentu saja kakek buta itu juga sadar kalau orang yang dihadapinya adalah tokoh-tokoh sakti yang berada di atasnya.
Ketika menyaksikan Liu Yang Kun tercecer dan terluka oleh serangan Giok-bin Tok-ong, kakek Lo hampir-hampir tidak bisa mengendalikan dirinya. Untunglah kakek itu cepat menyadari bahwa waktunya belumlah tiba, sehingga ia tidak terlanjur terjun ke arena.
Ternyata kesabaran kakek itu membuahkan hasil juga. Yaitu ketika secara tak terduga Giok-bin Tok-ong meledakkan senjata asapnya. Asap tebal kuning pekat itu menutup hampir seluruh arena pertempuran, sehingga orang-orang yang sedang berkelahi itu tak bisa melihat apa-apa. Mereka bertempur secara membuta dan hanya mengandalkan panca indera mereka yang lain saja.
Pada saat itulah kakek Lo terjun ke dalam pertempuran. Terjun secara diam-diam, tanpa sepengetahuan orang-orang yang sedang berkelahi. Demikianlah, dengan matanya yang memang sudah buta itu kakek Lo justru menjadi orang yang paling awas di dalam gelapnya tabir asap tersebut. Kalau semua orang menjadi bingung dan sulit membedakan lawan, kakek Lo justru dengan mudah mendapatkan Liu Yang Kun. Dan kemudian dengan perlindungan tabir asap itu pula kakek Lo berusaha melumpuhkan Liu Yang Kun yang sudah terluka parah itu.
Dalam keadaan biasa kakek Lo memang bukan lawan Liu Yang Kun. Tapi di dalam pekatnya asap yang bergulung-gulung itu, dengan tubuh yang sudah terluka pula, bahkan empat buah pisau terbang tampak menancap di kedua lengannya, Liu Yang Kun benar-benar tidak berdaya melawan kakek Lo yang masih segar-bugar tersebut. Dalam beberapa jurus saja pemuda itu telah dapat diringkus oleh kakek Lo.
Lalu setelah ditotok pingsan pemuda itu dibawa lari oleh kakek Lo. Itulah sebabnya pemuda itu terbebas dari ledakan dahsyat pek lek-tan tadi. Liu Yang Kun memang terbebas dari keganasan Giok-bin Tok-ong, dan juga terhindar pula dari kekejaman Bok Siang Ki.
Namun apa yang hendak terjadi atas pemuda itu sekarang, ternyata justru akan jauh lebih seram dan mengerikan dari pada nasibnya bila jatuh ke tangan Giok-bin Tok-ong atau Bok Siang Ki tadi. Pemuda itu memang tidak akan mati di tangan kakek Lo, karena kakek Lo memang tidak bermaksud untuk membunuhnya. Tapi meskipun tidak mati, keadaan yang diterimanya nanti justru akan lebih hebat dari pada mati.
Embun semakin tebal menyelimuti hutan itu. Sebaliknya tiupan angin justru semakin hilang dan mereda. Kakek Lo sengaja membawa Liu Yang Kun menjauhi aliran sungai, karena ia khawatir akan bertemu kembali dengan Giok-bin Tok-ong atau Bok Siang Ki. Air embun yang menempel di pucuk-pucuk daun menetes membasahi rambut dan pakaian mereka. Dinginnya bukan alang-kepalang.
Mereka berjalan terus di dalam naungan kegelapan pepohonan yang tumbuh lebat di hutan itu. Hanya kadang-kadang saja mereka memperoleh secercah sinar rembulan yang menerobos diantara rimbunnya dedaunan. Meskipun demikian mereka tidak berhenti untuk melepaskan lelah.
Bahkan orang setua kakek Lo itu, yang tubuhnya kelihatan kurus dan kecil, ternyata masih tampak gesit dan lincah memanggul tubuh Liu Yang Kun. Sedikitpun kakek tua itu tidak kelihatan capai atau kehilangan tenaganya. Justru muridnya yang masih amat muda itulah yang kemudian tampak kusut dan terengah-engah. Berkali-kali pemuda berwajah buruk itu hampir jatuh ketika melewati tanah becek atau melompati jurang kecil yang sangat licin.
Beberapa saat kemudian pepohonan yang mereka lalui pun semakin menjadi jarang. Bahkan semak-semak pun tampak semakin menghilang pula, sehingga akhirnya yang ada hanya satu-dua pohon dengan rumput atau alang-alang di sekitarnya.
"Su-hu! Ada sinar lampu di depan sana. Tampaknya kita sudah mendekati sebuah perkampungan penduduk." tlba-tiba A Hek berbisik seraya menggamit lengan kakek Lo.
"Bagus. Kalau begitu... marilah kita ke sana!"
Tapi tampaknya saja amat dekat, namun setelah mereka menuju ke tempat itu ternyata cukup jauh juga. Mereka harus menuruni sebuah jurang dahulu, kemudian harus menyeberangi sungai pula. Sebuah sungai kecil yang dangkal dan jernih airnya. Setelah itu masih harus mendaki sebuah lereng bukit lagi. Dan di lereng bukit itu pulalah sinar lampu tersebut berasal.
Dari jauh tadi sinar lampu itu memang tampak jelas. Tapi setelah mendaki bukit tersebut, sinar lampu itu tiba-tiba menghilang. Pandangan A Hek yang menuntun kakek Lo itu mendadak terhalang oleh hutan cemara yang tumbuh lebat di lereng bukit tersebut.
"Ah! Ternyata bukan perkampungan penduduk, su-hu. Kita sampai di sebuah hutan pohon cemara. Dan tampaknya sinar lampu itu datang dari tengah-tengah hutan ini. Kalau begitu sinar lampu itu tentu bukan keluar dari rumah orang. Mungkin sinar itu cuma datang dari sebuah obor yang dibawa oleh seseorang di dalam hutan ini. Seorang pemburu barangkali....."
Kakek itu membetulkan tubuh Liu Yang Kun yang ada di atas punggungnya. Kedua belah alisnya yang putih itu tampak berkerut sehingga hampir bertemu satu sama lain. Tiba-tiba kakek itu menggeleng. "Tentu bukan. Apa yang hendak dicari oleh seorang pemburu di hutan cemara larut malam begini?" sanggahnya kemudian.
"Lalu apa menurut pendapat su-hu?"
Kakek itu menengadahkan mukanya sebentar ke langit, seolah-olah matanya yang buta itu ingin melihat bintang-bintang yang bertaburan di sana. Sesaat kemudian dia kembali menundukkan kepalanya sambil menarik napas panjang. "Entahlah. Tapi perasaanku mengatakan bahwa kita harus berhati-hati di tempat ini. Hmm... Li Ing! Lebih baik kau lekas-lekas menanggalkan penyamaranmu itu. Kita harus benar-benar mulai dengan rencana kita. Lekaslah...!"
"Di sini, su-hu? Ah.... aku malu!" pemuda buruk rupa yang ternyata adalah penyamaran Li Ing itu berkata kaget.
"Memangnya kenapa? Tiada orang di hutan ini malam-malam begini. Dan kau juga tak perlu menanggalkan pakaianmu. Basuh saja mukamu di sungai tadi sehingga penyamaranmu hilang.....!"
"Oh.... ba-baik, su-hu." Dengan tersipu-sipu Li Ing menjawab. Gadis itu lalu berlari kembali ke bawah. Kemudian setelah yakin bahwa tiada seorangpun yang melihatnya, ia membersihkan tepung dan perekat yang menempel pada wajahnya. Gigi palsu yang dipakai untuk mengganjal mulutnya pun juga dia tanggalkan pula.
Demikianlah, beberapa waktu kemudian A Hek yang buruk rupa itu telah berubah menjadi Tiauw Li Ing yang cantik jelita kembali. Gadis itu lalu kembali lagi ke tempat gurunya berada. Tapi ia menjadi kaget sekali ketika menyaksikan tubuh Liu Yang Kun telah dibaringkan di atas tanah dan gurunya yang tiada lain adalah Lo-sin-ong itu sedang sibuk menusukkan jarum-jarum emasnya ke kepala pemuda itu.
"Eh.... su-hu? Apa yang sedang kau lakukan?" serunya kaget dan khawatir.
Tapi dengan tenang Lo-sin-ong menggelengkan kepalanya. "Sssst! Jangan ribut! Pemuda itu tampaknya sudah akan siuman kembali. Kita tidak boleh terlambat. Kini aku sedang membetulkan letak jarum-jarum itu, agar kalau ia siuman nanti tidak merasakannya. Nah... kau bersiap-siaplah!" ujarnya perlahan.
"Dia... dia... oh, dia hendak siuman sekarang?" tiba-tiba Tiauw Li Ing yang biasanya lincah dan berani itu berseru gugup. Pipinya pun mendadak juga menjadi merah.
Lo-sin-ong tersenyum. Biarpun buta, tapi ia bisa merasakan nada suara muridnya yang gembira, gugup dan tegang itu. "Tenanglah! Jangan gugup! Bisa berantakan rencana kita itu nanti. Bersikaplah wajar, seakan-akan tidak terjadi apa-apa pada kita! Nah sekarang mari kita bawa dia ke sungai itu! Kita guyur dia dengan airnya yang dingin, biar lekas sadar!"
Lo-sin-ong lalu membawa Liu Yang Kun ke sungai. Kemudian dicelupkannya telapak tangannya ke dalam air untuk seterusnya ia usapkan ke wajah pemuda itu. Tiga kali hal itu ia lakukan ketika tiba-tiba pemuda itu sudah membuka matanya.
"Hah...?" pemuda itu tersentak kaget lalu bangkit berdiri dengan tiba-tiba.
Sigap dan cepat sekali, sehingga tokoh sakti seperti Lo-sin-ong dan Tiauw Li Ing yang sudah bersiap-siaga sejak semula itu pun tetap ikut kaget pula. Lo-sin-ong melompat ke belakang dan berdiri tegak. Tongkatnya melintang di depan dadanya. Sedangkan Tiauw Li Ing ikut-ikutan meloncat pula ke belakang, namun wajahnya tampak tegang dan khawatir.
Liu Yang Kun berdiri tegak mengawasi Lo-sin-ong dan Tiauw Li Ing bergantian. Sinar matanya tampak mencorong mengerikan. Sementara kulit wajahnya yang pucat itu tampak mengkilat kekuningan. Seolah-olah sedang menahan marah.
Memang pemuda itu dalam keadaan siap tempur! Tapi hal itu cuma beberapa kejap saja berlangsung, karena di lain saat pemuda itu tiba-tiba menggeram dengan mulut meringis. Kepalanya terasa sakit, seperti ada sesuatu yang menyengatnya. Bahkan beberapa saat kemudian seluruh tubuhnya juga terasa linu dan lemas. Dan pemuda itu juga terkejut ketika melihat kedua buah lengannya telah dibalut dengan kain pula.
"Sia.... siapa ka-kalian? A-a-apa yang telah kalian perbuat terhadapku?" katanya kaget.
Plong! Lega hati Lo-sin-ong sekarang. Ternyata garapannya berhasil. Pemuda sakti itu sudah tidak mengenal mereka lagi. Tidak mengenal dia sebagai kakek Lo dan juga tidak mengenal Tiauw Li Ing pula. Dan hal itu berarti bahwa pemuda itu telah melupakan masa lalunya.
Oleh karena itu Lo-sin-ong segera memberi isyarat kepada Tiauw Li Ing untuk segera menjalankan rencana mereka. Tapi untuk beberapa saat gadis itu masih bungkam saking tegangnya. Gadis yang biasanya lincah dan berani itu hanya mampu memandang kekasihnya dengan mata terbelalak serta dengan bibir yang bergetar pucat.
"Kenapa kalian diam saja? Siapakah sebenarnya kalian berdua ini? A-a-pa yang telah kalian perbuat terhadapku di hutan malam-malam begini?" Liu Yang Kun berseru pula kembali. Suaranya juga masih terdengar tegang dan curiga.
"Ko-ko....?" akhirnya Tiauw Li Ing menegur setelah dengan susah payah dapat menguasai hatinya.
Namun dengan cepat Liu Yang Kun menghindar ketika gadis itu hendak memeluknya. Dengan air muka semakin heran ia memandang Tiauw Li Ing. "Kau.... kau siapa? Mengapa kau memanggilku 'ko-ko'? Apakah engkau adikku?"
Tiauw Li Ing kembali terdiam dan menjadi salah tingkah lagi. Semua rencana dan petunjuk yang ia terima dari Lo-sin-ong tiba-tiba juga menghilang dari ingatannya.
"Hmm, Yang Kun! Mengapa kau menjadi lupa kepada isterimu sendiri? Oh, celaka!" Lo-sin-ong tiba-tiba mengeluh dengan suara keras untuk memancing perhatian Liu Yang Kun.
Benar juga. Bagai disengat lebah Liu Yang Kun tersentak menghadapi Lo-sin-ong. Wajahnya semakin bingung. "Isteriku? Dia... ini... isteriku?" desahnya tertahan.
Tiauw Li Ing sendiri seperti terlepas dari beban berat yang menindihnya. Sambil menjerit ia menubruk dada Lo-sin-ong dan menangis sepuas-puasnya. "Su-hu, aku takut! Aku... malu...! Jangan-jangan... jangan-jangan ia masih tetap sadar! Jangan-jangan dia mencemoohkan aku! Oooh, suhu...!" ia mengeluh diantara isaknya.
Sebaliknya tangis Tiauw Li Ing itu ternyata semakin mengalutkan hati dan pikiran Liu Yang Kun. Pemuda yang kini telah menjadi lupa akan masa lalunya, akibat cekokan-cekokan obat dan jarum-jarum emas yang dimasukkan ke kepalanya oleh Lo-sin-ong itu, semakin menjadi bingung menghadapi hal-hal yang tak dimengertinya itu. Pikirannya seolah-olah telah buntu dan tak tahu apa-apa. Rasanya ia benar-benar seperti bayi yang baru saja lahir. Akhirnya Liu Yang Kun menatap Lo-sin-ong yang ada di depannya. Dipandangnya orang tua itu dengan wajah sedih dan tertekan.
"Kakek....! Tolonglah aku! Aku benar-benar sangat bingung. Aku sungguh-sungguh tak tahu apa-apa. Siapakah sebenarnya aku ini? Dan siapa pula kakek berdua ini? Mengapa aku berada di tempat ini? Dan mengapa pula kakek berada pula disini bersama aku? Tolonglah, kek....!" rintihnya memelas seperti orang yang menderita sakit berat.
Lo-sin-ong menundukkan kepalanya dan berbisik pelan kepada Tiauw Li Ing, "Lihat! Dia benar-benar telah melupakan segalanya. Berarti semua rencana kita berhasil dengan baik. Kau tidak perlu takut lagi. Kau harus melakukan peranmu sebaik-baiknya. Kau masih ingin menjadi isterinya, bukan?"
Tiauw Li Ing menghentikan isaknya. Masih dengan butirbutir air mata yang menggenangi matanya gadis itu tersenyum. Pelan-pelan gadis itu menganggukkan kepalanya.
Lo-sin-ong berdesah lega. Kemudian sambil memiringkan wajahnya ke arah Liu Yang Kun ia berkata, "Yang Kun...! Sungguh tak kusangka luka-luka yang kau peroleh dalam pertempuran itu telah membuatmu menderita seperti ini. Hmmmh...!"
"Luka-luka dalam pertempuran? Aku baru saja berkelahi? Dengan siapa?" Liu Yang Kun tersentak kaget. Otomatis matanya memandang kain pembalut yang melilit lengannya.
Bagaikan seorang pemain sandiwara ulung orang tua itu menunduk sedih. Dipeluknya kepala Tiauw Li Ing yang bersandar di dadanya. "Ya! Tak kusangka semuanya berlalu sedemikian cepatnya. Kau yang kemarin masih segar bugar dan tampak mesra dengan isterimu ini, ternyata kini telah berubah sama sekali akibat luka-luka itu. Ooooh...!" orang tua itu sengaja menggelitik hati Liu Yang Kun.
Benar saja Liu Yang Kun cepat melompat ke depan dan menyambar lengan Lo-sin-ong. Cepat bukan main, sehingga Lo-sin-ong yang agak ragu-ragu itu tidak kuasa mengelak lagi. Lengannya yang memegang tongkat itu telah dicengkeram oleh Liu Yang Kun.
"Kek, katakanlah cepat apa yang terjadi pada diriku? Lekaslah! Jangan kau siksa aku berlama-lama...!" pemuda itu memohon dengan sangat.
Lo-sin-ong mendorong tubuh Tiauw Li Ing dan menyuruhnya duduk, lalu sambil mempersilahkan Liu Yang Kun pula ia duduk di samping muridnya itu. "Yang Kun, namamu adalah Liu Yang Kun. Kau memang benar-benar suami dari muridku ini. Namanya Tiauw Li Ing. Kalian adalah pengantin baru." Lo-sin-ong memulai cerita palsunya.
"Liu Yang Kun...? Ehm, ya... rasa-rasanya aku juga sangat mengenal nama itu. Hmm...! Jadi namaku Liu Yang Kun? Lalu dia itu isteriku?'" Liu Yang Kun bergumam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Matanya melirik Tiauw Li Ing yang menjadi merah padam mukanya. Kemudian pemuda itu mengetuk-ngetuk dahinya sendiri dengan jari-jarinya. "Tiauw Li Ing... isteriku. Benar rasa-rasanya aku memang sudah beristeri. Cuma aku memang lupa nama itu."
"Dia memang isterimu. Dia adalah puteri Tung-hai-tiauw, tokoh besar dari lautan Timur sana." Lo-sin-ong menerangkan lagi.
"Tung-hai-tiauw? Ah, aku sudah melupakannya pula. Hmm.... lalu siapa orang tuaku? Dari mana aku berasal?"
Kini Lo-sin-ong lah yang ganti terdiam menerima pertanyaan pemuda itu. Sekejap orang tua itu menjadi bimbang untuk menjawabnya. Apakah ia harus berbohong atau mengatakan yang sesungguhnya? Namun sekejap kemudian orang tua itu telah mengambil keputusan pula. Dia harus mengatakan yang sebenarnya, sebab tidak mungkin membohongi orang tentang pemuda itu.
Liu Yang Kun telah terkenal di dunia persilatan. Bahkan pemuda itu adalah putera Kaisar Han yang sedang dicari-cari oleh para punggawa kerajaan. Setiap saat pemuda itu akan segera mengetahui siapa dirinya. Sungguh sangat berbahaya bila ia membohonginya.
"Sebenarnya kau pun juga bukan pemuda sembarangan pula, Yang Kun. Kau adalah seorang pangeran. Bahkan kau adalah putera Hong-siang sendiri. Tapi kau selalu mengembara di dunia kang-ouw, karena kau tak senang berada di istana yang gemerlapan itu. Dan selama ini Hong-siang selalu mencarimu dan memanggilmu agar kembali ke istana, tapi kau tak mau. Kau justru bersembunyi dan kawin dengan puteri Tung-hai-tiauw ini...."
Liu Yang Kun ternganga. Ia seperti tak percaya kepada cerita orang tua itu. Tapi apa daya? Ia benar-benar tak mengerti apa-apa, sehingga ia juga tidak bisa membantahnya. "Lalu siapakah yang telah berkelahi dan melukai aku kemarin?" tanyanya kemudian.
Lo-sin-ong menghela napas, lalu bercerita dengan singkat pertempuran yang terjadi ditengah-tengah hutan semalam. Bagaimana pemuda itu berkelahi dengan Giok-Bin Tok-ong dan Bok Siang Ki, tokoh nomer empat dan nomer dua di dunia persilatan. Tapi tentu saja orang tua itu tidak bercerita tentang sebagian dari Buku Rahasia yang mereka perebutkan itu, karena buku itu kini berada di dalam saku bajunya.
"Giok-bin Tok-ong dan Bok Siang Ki?" lagi-lagi Liu Yang Kun merasa belum pernah mengenal nama-nama itu. Dan hal itu benar-benar sangat menyedihkannya.
"Sudahlah, kau tak perlu menjadi sedih karena keadaanmu ini. Yang penting kau selamat lebih dahulu. Suatu saat kau tentu akan sembuh kembali seperti semula. Sekarang marilah kita meneruskan perjalanan kita...!" Lo-sin-ong pura-pura membujuk dan membesarkan hati Liu Yang Kun.
"Ah.... kemana kita akan pergi? Aku sama sekali tak mempunyai tujuan..." Liu Yang Kun menjawab hambar.
"Tentu saja kita pulang ke rumah, ko-ko. Kau harus banyak beristirahat agar ingatanmu menjadi segar kembali." tiba-tiba Tiauw Li Ing menyela dan menyentuh lengan pemuda itu dengan jari-jarinya.
Liu Yang Kun menoleh dengan cepat. Ditatapnya wajah Tiauw Li Ing yang cantik itu dengan pandangan asing. Tapi ia buru-buru menundukkan mukanya lagi ketika menyaksikan pancaran sinar kasih di mata gadis itu. "Be-benarkah kau isteriku?" katanya kemudian seperti tak percaya.
Untuk sesaat pipi Tiauw Li Ing menjadi merah. Namun di lain saat gadis itu telah menemukan keberaniannya kembali. "Ah, ko-ko. Mengapa kau masih belum percaya juga? Kita memang belum resmi dimeriahkan dengan pesta oleh ayahku. Tapi percayalah, Kita memang benar-benar suami-isteri!"
"Baik.... baiklah kalau begitu." Liu Yang Kun menyahut dengan gugup. Apalagi ketika Tiauw Li Ing merangkul pinggangnya dan menyandarkan kepalanya di pundaknya.
"Sudahlah. Marilah sekarang kita berangkat!" Lo-sin-ong memotong pula, kemudian mendahului melangkah pergi meninggalkan tempat itu.
Tiauw Li Ing segera mengajak Liu Yang Kun untuk mengikuti orang-tua itu. Ketika mereka mendaki lereng bukit itu kembali, Lo-sin-ong berkata kepada Liu Yang Kun.
"Yang Kun! Sementara ingatanmu belum pulih kembali, kau lebih baik menurut saja apa perintah isterimu. Biarlah dia yang mengatur dan memberitahukan kepadamu, apa yang seharusnya kau lakukan nanti."
Liu Yang Kun memandang orang tua itu sekejap, kemudian menoleh pula ke arah Tiauw Li Ing." Baiklah, aku menurut..." jawabnya pelan seperti kepada dirinya sendiri.
Lalu ketika pada suatu saat Tiauw Li Ing mendekati gurunya, Lo-sin-ong juga berpesan pula, meskipun dengan perlahan sekali. "Dan kau juga harus ingat pula akan janjimu. Kau harus mengubah sikap dan kelakuanmu selama ini."
Gadis itu mengerling dan memainkan bibirnya. "Tentu saja, su-hu. Akupun tak ingin kehilangan dia pula," desahnya manja.
Demikianlah, mereka bertiga sampai pula ke tempat berhenti mereka semalam. Sementara itu di ufuk timur mulai membersit sinar pagi yang kemerah-merahan.
"Su-hu, lihat! Sebentar lagi fajar akan menyingsing..."
Walaupun tidak bisa melihat, namun Lo-sin-ong bisa merasakan nada gembira yang terpancar dalam suara muridnya itu. Diam-diam hatinya juga ikut berbahagia pula. "Aah... moga-moga kebahagiaannya ini benar-benar bisa mengusir kekelaman jiwanya dan menuntunnya ke dalam kehidupan yang lebih baik. Dengan demikian dosa yang telah kuperbuat ini rasanya menjadi ringan dan tidak sia-sia," ia bersyukur di dalam hati.
Dan ketika matahari benar-benar tersembul di ufuk timur, maka tirai kegelapanpun rasanya seperti terkuak dari muka bumi. Meskipun masih remang remang, tapi semuanya sudah dapat ditembus dengan penglihatan mereka.
"Mengapa kau diam saja sejak tadi? Lihatlah, pemandangan alam demikian indah dan mempesonakan! Kau pernah menyaksikan panorama seperti ini?" tiba-tiba Tiauw Li Ing berkata kepada Liu Yang Kun. Jari tangannya menunjuk ke lembah di sebelah kiri mereka. Lembah dlmana sungai kecil tadi mengalir.
Liu Yang Kun mengikuti arah jari telunjuk itu. Dan matanya segera memancarkan sinar kekaguman pula. Lembah itu tampak hijau segar, sehingga aliran air jernih yang membelah ditengah-tengahnya itu bagaikan tinta perak yang mengalir gemerlapan di pagi hari. Bahkan kabut tipis yang kemudian turun dari bukit-bukit di sekitarnyapun semakin menambah keelokan dan keindahannya. Bagai tirai kain yang sangat tipis, kabut itu membuat tempat-tempat yang dilaluinya menjadi samar-samar.
"Bagaimana...? Pernahkah?" Tiauw Li Ing mendesak lagi.
Liu Yang Kun menatap wajah Tiauw Li Ing, kemudian menggelengkan kepalanya. "Entahlah, aku sudah tak ingat lagi. Tapi panorama seperti ini rasanya juga tidak asing bagiku. Aku seperti sering melihatnya. Bahkan rasanya aku pernah tinggal pula di tempat seperti ini...."
Tiauw Li Ing meraih lengan Liu Yang Kun. Matanya melirik, sementara bibirnya menyunggingkan senyum manis sekali. "Ah, mana mungkin? Kau adalah seorang pangeran. Mana mungkin kau tinggal di tempat sunyi seperti ini?"
Liu Yang Kun tersenyum pula. Entah mengapa hatinya tidak enak untuk terus menerus bercuriga terhadap gadis cantik itu. "Aku seorang pangeran? Hmm... aku berani bertaruh kalian keliru dalam hal ini. Aku sama sekali tidak merasa sebagai pangeran selama ini. Aku memang telah kehilangan seluruh ingatanku, tapi aku tidak kehilangan perasaan dan naluriku. Ketika gurumu itu mengatakan bahwa kau adalah isteriku, naluriku memang merasakan bahwa aku memang sudah beristeri.
"Ketika orang tua itu juga mengatakan bahwa aku berkelahi dengan tokoh-tokoh ternama di dunia persilatan, hati dan perasaanku juga tidak membantahnya, karena naluriku juga mengatakan pula bahwa aku memang seorang Jago persilatan berkepandaian tinggi. Eh, maaf, aku tidak bermaksud menyombongkan diri. Tapi kalau kalian katakan bahwa aku seorang pangeran, hmm, kalian keliru!
"Sekali lagi kukatakan bahwa aku bukan seorang pangeran. Sama sekali aku tidak merasakannya. Aku bahkan sangat setuju kalau kaukatakan bahwa aku ini seorang dusun atau seorang pengembara, karena naluriku mengatakan bahwa aku sangat akrab dengan lembah dan gunung yang indah seperti ini. Bahkan aku merasa pernah tinggal lama sekali di tempat seperti ini."
Tiba-tiba Tiauw Li Ing tertawa lepas. Begitu wajar dan segar suaranya. Dan begitu cantik pula wajahnya, sehingga tak terasa mata Liu Yang Kun seperti terpaku dan terpesona melihatnya. Dan diam-diam hati pemuda itu merasa tergetar. Tak terasa Liu Yang Kun meraih jari-jari Tiauw Li Ing.
"Kau... kau sungguh cantik sekali! Benarkah kau ini isteriku?" bisiknya gemetar pula.
Tawa itu tiba-tiba terhenti dengan mendadak. Wajah yang segar dan renyah itu tiba-tiba juga berubah menjadi merah. Bahkan wajah yang cantik itu kemudian tertunduk pula dalam-dalam. Sama sekali tidak berani menatap Liu Yang Kun. Barulah gadis itu menjadi kaget setengah mati ketika tiba-tiba tubuhnya dipeluk. Bahkan semangatnya seperti melayang pula dengan mendadak ketika tiba-tiba bibirnya juga dicium oleh Liu Yang Kun. Selanjutnya gadis itu sudah tidak ingat lagi. Tahu-tahu ia sudah terlena dalam pelukan pemuda yang dicintainya itu.
"Hem... hem....! Kalian kenapa! Ada sesuatu di sekitar kita? Mengapa tiba-tiba kalian terdiam?" mendadak Lo-sin ong yang berada jauh di depan mereka itu membalikkan badan dan berseru kepada mereka.
Tergesa-gesa Tiauw Li Ing melepaskan diri dari pelukan Liu Yang Kun. Mukanya yang cantik itu merah padam bagai udang direbus. "Tidak apa-apa, su-hu.... tidak apa-apa!" jawabnya gugup seraya membenahi bajunya yang kedodoran.
Yang tidak kalah kagetnya adalah Liu Yang Kun. Pemuda itu seperti terbangun dari mimpinya. Wajah dan matanya tampak memerah seperti singa sedang marah, sementara napasnya seperti kuda yang baru saja berjalan jauh. "Gila!" pemuda itu menggeram perlahan sambil mengibas-ngibaskan kepalanya, ke kanan dan ke kiri.
"Kalau begitu marilah kita meneruskan perjalanan kita! Kita capai dulu desa atau kota yang terdekat, baru kemudian kita istirahat sepuasnya nanti." Lo-sin-ong berkata lagi seolah-olah menyindir mereka.
Wajah Tiauw Li Ing semakin merah padam. Begitu pula halnya dengan Liu Yang Kun. "Huh... kau! Nekad saja!" gadis itu menggerutu sambil memukul dada kekasihnya.
"Apakah dia tahu? Bukankah matanya tidak dapat melihat?" Liu Yang Kun membantah.
Tiauw Li Ing melirik. Mulutnya yang runcing itu kemudian mencibir. "Huh, enak saja! Meskipun buta suhu memiliki perasaan yang peka dan tajam luar biasa! Tahu?"
"Ya, tapi dia juga sudah bilang sendiri bahwa kau adalah isteriku Apa salahnya kalau aku memeluk dan...?" Liu Yang Kun mau membantah lagi, tapi keburu ditutup mulutnya oleh Tiauw Li Ing.
"Li Ing, ayolah....! Ajak suamimu!" Lo-sin-ong berseru lagi.
"Baik su-hu.... Sssst... ayolah, jangan membantah lagi!"
Tapi baru beberapa langkah mereka berjalan, Tiauw Li Ing telah berteriak pula. "Su-hu... Lihat. Aku menemukan bekas tangkai obor di sini. Bahkan tidak cuma satu. tapi... lima buah ah!"
"Benarkah....? Coba kau selidiki, obor itu baru saja dipakai ataukah sudah lama dibuang? Dan apakah ada tanda tanda yang bisa kita pakai untuk mengenali pemiliknya?"
Tiauw Li Ing membungkuk dan mengambil tangkai-tangkai obor-obor itu. Dua diantaranya ia berikan kepada Liu Yang Kun. "Tolong kau lihat pula....!" pintanya.
Liu Yang Kun menerima tangkai obor itu, kemudian mencoba untuk menelitinya. Tangkai obor itu masih hangat, suatu tanda bahwa obor itu memang baru saja dipergunakan. Namun selain itu tiada lagi yang istimewa, karena tangkai obor tersebut juga hanya terbuat dari bambu hijau biasa. Bahkan obor itu agaknya juga dibuat secara darurat dan sembarangan saja. Buktinya garapannya tampak sangat kasar dan satu sama lain tidak sama panjangnya.
"Ini hanya obor biasa. Tidak ada istimewanya. Memang ada apa? Mengapa tiba-tiba kau tertarik pada benda ini?" Liu Yang Kun bertanya.
Tiauw Li Ing tersenyum, kemudian bercerita tentang sinar lampu yang mereka lihat tadi malam. "Kami mengira kalau sinar lampu itu datang dari perkampungan penduduk, tapi ternyata bukan. Namun demikian hal ini juga berarti bahwa kita telah dekat dengan tempat tinggal atau perkampungan penduduk. Benar-benar suatu hal yang amat melegakan setelah berjalan semalam suntuk di hutan saja."
"Bagaimana, Li Ing?" Lo-sin-ong mendesak.
"Hanya tangkai obor biasa, suhu. Tidak ada keistimewaannya."
"Hmmh, masa.....? Coba kau lihat di sekitar tempat ini! Adakah bekas-bekas jejak manusia di sana?"
Tiauw Li Ing merengut. Matanya yang bulat bening itu menatap ke sekelilingnya. "Kenapa suhu menanyakan yang lain? Bukankah suhu tadi.... eh, benar suhu! Di sini ada bekas-bekas tapak kaki orang! Tumpukan daun cemara kering ini sampai melesak ke dalam tanah diinjak orang!" tiba-tiba gadis itu berseru nyaring.
Liu Yang Kun mendekati isterinya. Dia ikut mengawasi bekas-bekas telapak kaki itu. "Benar. Ini memang bekas kaki orang. Tampaknya tempat ini memang telah dekat dengan tempat tinggal manusia."
"Bagus! Kalau begitu marilah kita ikuti jejak itu! Li Ing, ayo... kau duluan," Lo-sin-ong berseru gembira.
Mereka lalu bergegas mengikuti bekas-bekas telapak kaki itu. Dan sungguh beruntung bagi mereka, karena jejak-jejak kaki itu tampaknya memang masih sangat baru, sehingga amat jelas dan mudah dilihat oleh mata mereka. Kalaupun ada yang kurang jelas, mereka segera mencari tanda-tanda lain di sekitarnya.
Beberapa kali mereka melingkari lereng lereng bukit yang banyak terdapat di daerah itu. Untung pula bagi mereka, tanah yang mereka lewati sedikit berair dan agak becek, sehingga mereka tak pernah kehilangan jejak-jejak tersebut.
"Su-hu! Kita telah sampai dijalan besar....!" akhirnya Tiauw Li Ing bersorak gembira.
"Betul.....? Apa kau melihat rumah penduduk juga?" Lo-sin-ong menyahut gembira pula.
"Belum! Tapi aku melihat debu mengepul di ujung jalan besar itu. Hmm, tampaknya ada pasukan berkuda yang hendak lewat."
"Pasukan berkuda? Mengapa ada pasukan berkuda lewat pagi hari begini?" Lo-sin-ong terhenyak kaget. Dahinya yang berlipat-lipat itu semakin berkeriput pula.
"Siapa tahu ada gerombolan perampok atau ada pemberontakan di daerah ini?" tiba-tiba Liu Yang Kun ikut berbicara.
Tlauw Li Ing tersenyum. "Mungkin kau benar, ko-ko. Tapi... sudahlah! Kita tak perlu main tebak-tebakan. Sekarang marilah kita mendekat saja ke jalan itu! Kita lihat... apa sebenarnya yang menyebabkan debu mengepul itu?"
Mereka lalu menuruni lereng bukit itu, kemudian naik lagi ke bukit di depan mereka. Karena ingin lekas sampai di jalan itu, maka masing-masing tanpa terasa lalu mengerahkan ilmu meringankan tubuh mereka. Tiauw Li Ing berada di depan, sementara gurunya yang buta itu mengikutinya dari belakang.
Keduanya berloncatan dengan amat lincah dan ringan luar biasa. Ujung sepatu mereka seakan-akan tidak pernah menyentuh tanah. Bahkan kadang-kadang mereka melenting tinggi ke atas, kemudian berjumpalitan melompati semak-semak belukar yang banyak terdapat di lereng itu. Tampaknya gadis itu sengaja memamerkan kepandaiannya kepada 'suaminya'.
Dan Tiauw Li Ing benar-benar amat puas ketika menginjakkan kakinya di pinggir jalan itu. Wajahnya atau pipinya tampak memerah, tanda bahwa ia sungguh-sungguh telah mengerahkan tenaganya beberapa saat tadi. Ketika melirik ke arah gurunya, gadis itu sempat menyaksikan bagaimana gurunya yang amat sakti itu menarik napas panjang. Suatu tanda juga bahwa gurunya tersebut diam-diam juga telah mengerahkan sedikit tenaganya pula. Tapi ketika ia menoleh ke belakang, dimana Liu Yang Kun berada, tiba-tiba matanya terbelalak!
Ternyata sikap dan keadaan suaminya itu sama sekali tidak mengalami perubahan. Air mukanya tetap biasa. Bahkan pernapasannyapun juga masih tetap teratur pula seperti semula. Sedikitpun tidak ada tanda-tanda bahwa pemuda itu baru saja berlari menuruni lereng bukit tersebut.
"Ada apa....? Mengapa matamu terbelalak memandangku? Ada yang salah?" Liu Yang Kun bertanya kepada Tiauw Li Ing.
"Oh, tidak.... tidak!" Tiauw Li Ing berdesah sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, tapi matanya tidak bisa menyembunyikan kekagetan dan kekagumannya.
"Lalu... kenapa kau memandangku seperti itu?" Liu Yang Kun mendesak.
Masih dengan menatap kagum kepada 'suaminya‘ itu Tiauw Li Ing tersenyum. Senyum bangga dan bahagia. "Ko-ko, ilmu meringankan tubuhmu sungguh luar biasa sekali. Aku sungguh kagum sekali, siapakah sebenarnya gurumu itu? Apa nama ilmu itu?" gadis itu bertanya. Air mukanya tampak berbinar-binar dan bersemangat sekali.
Tiba-tiba wajah Liu Yang Kun tampak keruh dan lesu. Matanya menerawang jauh tinggi ke angkasa. Lalu perlahan-lahan kepalanya menggeleng. "Entahlah, aku sudah lupa pula. Aku tak ingat lagi siapa guruku. Dan aku juga tak ingat lagi nama ilmu itu. Bahkan aku juga sudah tak ingat lagi bagian-bagiannya. Aku hanya bergerak menurut naluriku saja," jawabnya sedih.
Lo-sin-ong mendekati Tiauw Li Ing dan kemudian menyikut lengan muridnya itu. "Hmmh... Jangan kau usik dia dengan masa lalunya! Semua itu hanya akan membuatnya sedih. Sebab dia sudah takkan bisa mengingatnya lagi. Kalau ia sekarang masih bisa bersilat, itu hanya karena nalurinya saja. Seperti halnya kalau kita berjalan, berbicara atau bernapas. Kalau kau suruh dia mengingat-ingat, hmm... semuanya justru akan menjadi kalut dan kacau malah!" orang tua itu berbisik perlahan di telinga Tiauw Li Ing.
"Oooh.....!"
"Nah, sudahlah.... kalian jangan berisik lagi! Aku sudah mendengar suara gemuruh di balik hutan itu. Marilah kita bersembunyi....!" Lo-sin-ong kemudian menambahkan dengan suara keras.
Mereka bertiga lalu bergegas menyembunyikan diri. Mereka berlindung di balik batu-batu karang besar yang banyak terdapat di kanan kiri jalan itu. Dan mereka tidak usah menunggu lama, karena sebentar kemudian suara gemuruh dan debu yang mengepul tinggi itu telah muncul di balik tikungan jalan.
Suara sepatu kuda segera menghentak-hentak ke telinga mereka. Dan sesaat kemudian mereka telah melihat serombongan pasukan berkuda yang terdiri dari limapuluhan perajurit lewat di depan mereka. Sebuah bendera besar berwarna hijau gemerlapan tampak berkibar di depan pasukan itu. Tiga buah pedati besar yang masing masing ditarik oleh enam ekor kuda beban tampak meluncur pula di belakang pasukan itu.
Dan kemudian agak jauh dari barisan pedati tersebut masih berbaris pula sekelompok pasukan bertombak dan berpedang berjalan kaki. Kedua buah pasukan ini berjumlah kira-kira seratusan orang perajurit. Semuanya masih tampak segar dan bergembira-ria, mungkin mereka semua itu baru saja meninggalkan barak mereka.
Diam-diam dengan wajah tegang Tiauw Li Ing melirik ke arah 'suaminya'. Tapi ketika ia tidak melihat perubahan di wajah suaminya itu, hatinya menjadi lega. Apalagi ketika 'suaminya' itu tersenyum kepadanya.
"Nah, apa kataku? Sepasukan prajurit berkuda, bukan?" pemuda itu berkata.
Tiauw Li Ing mengerling. "Kau tidak mengenal mereka?" tanyanya menguji.
Liu Yang Kun mengerutkan keningnya. "Mengenal mereka? Apa maksudmu?"
"Aku mengenal mereka," gadis itu menjawab. "Mereka adalah prajurit-prajurit kerajaan. Kau lihat bendera itu? Dan kau lihat pula panglima yang berkuda di deretan paling depan tadi?"
"Kau maksudkan orang yang berpakaian gemerlapan dan selalu dikawal oleh seorang lelaki yang berseragam tadi?" Liu Yang Kun menegaskan.
"Ya! Dia itu adalah Panglima Besar Kerajaan. Namanya Yap Khim, tapi orang biasa menyebutnya Yap Tai-ciangkun. Sedangkan pengawalnya itu bernama Yap Kiong Lee, kakak kandung panglima itu sendiri. Orang kang-ouw biasa menyebutnya Hong-lui-kun (si Tinju Petir Dan Badai). Mereka berdua adalah orang-orang kepercayaan Hong-siang. Kepandaian mereka sangat tinggi, terutama Hong lui-kun Yap Kiong Lee itu. Dialah jago silat nomer satu di istana. Eh... masakan kau telah melupakan mereka?" Tiauw Li Ing masih tetap mencoba juga daya ingatan Liu Yang Kun.
Ternyata Liu Yang Kun menjadi tidak senang oleh pertanyaan itu. "Huh... jadi kau masih menganggap aku ini seorang pangeran?" pemuda itu berkata kesal.
Tiauw Li Ing cepat menyambar lengan 'suaminya‘ itu. "Eeee... jangan lekas menjadi marah! Aku bertanya baik-baik, dan guruku itu memang tidak berbohong ketika mengatakan bahwa kau adalah putera Kaisar Han. Kalau kau memang tidak menyukai pertanyaanku tadi, baiklah, aku takkan mengulanginya lagi. Aku tadi hanya berpikir, kalau-kalau kau ingin menemui mereka, karena mereka itu memang prajurit-prajurit ayahandamu...!" katanya cepat pula untuk membujuk dan meredakan kemarahan kekasihnya itu.
Liu Yang Kun menatap wajah 'isterinya', kemudian menghela napas panjang. "Sudah kukatakan bahwa aku tidak pernah merasa menjadi seorang pangeran. Oleh karena itu aku juga tak ingin menemui mereka atau menemui siapa saja yang berbau istana. Bahkan sekarang aku menjadi takut malah. Jangan-jangan cerita kalian itu memang benar, sehingga aku harus... harus kembali ke istana. Hmh... aku benci kehidupan yang berbau gemerlapan dan banyak aturan. Semua itu tidak cocok dengan jiwaku. Aku lebih suka hidup bebas merdeka di alam terbuka, tanpa terikat oleh segala macam aturan dan adat-istiadat."
Pemuda itu berkata dengan berapi-api. Dan Tiauw Li Ing menyambutnya dengan rasa gembira dan lega. Karena memang ucapan seperti itu pulalah yang ingin ia dengar dari mulut 'suaminya' itu. Rasa cintanya yang amat besar membuat gadis cantik itu takut kehilangan Liu Yang Kun. Maka betapa bahagia hatinya tatkala mendengar kata-kata tersebut.
"Nah... mereka telah lewat. Bagaimana sekarang menurut pendapatmu, Li Ing? Kemanakah kita harus pergi? Mengikuti pasukan itu ataukah mencari jalan yang lain...?" tiba-tiba Lo-sin-ong menengahi percakapan mereka.
Tiauw Li Ing tersentak kaget. Untuk sekejap wajahnya menjadi merah. Tapi sekejap kemudian ia menoleh ke arah 'suaminya'. Matanya yang bening seolah olah memancarkan sinar pertanyaan atau meminta pertimbangan kepada Liu Yang Kun.
Tapi Liu Yang Kun diam saja. Bahkan pemuda itu balas memandangnya dengan tajam, sehingga Tiauw Li Ing terpaksa mengalihkan pandangannya kembali kepada gurunya. "Bagaimanakah menurut pendapat suhu sendiri? Jalan mana yang sebaiknya harus kita pilih?" la lalu balas bertanya kepada gurunya.
Lo-sin-ong menengadahkan kepalanya sebentar. Setelah menarik napas berulang-kali orang tua itu lalu berkata, "Pasukan itu tampaknya baru saja berangkat meninggalkan perkemahan tempat mereka melepaskan lelah malam tadi. Hal itu berarti tempat ini jauh dari kota maupun perkampungan penduduk. Oleh karena itu menurut pendapatku kita sebaiknya mengikuti saja pasukan itu dari jauh. Dengan begitu paling tidak kita telah mendapatkan teman seperjalanan. Siapa tahu kita kelaparan atau bertemu dengan perampok di jalan nanti?"
"Ah, suhu...? Masakan kita takut kelaparan dan takut kepada segala macam perampok?" Tiauw Li Ing cemberut.
"Aha, aku cuma bergurau saja. Bagaimana pendapatmu?"
"Terserah suhu saja...."
Lo-sin-ong mengangguk-angguk. "Kalau begitu ajaklah suamimu berangkat! Kita ikuti pasukan berkuda itu!"
Tiauw Li Ing menatap Liu Yang Kun. "Bagaimana pendapatmu, koko? Apakah kau setuju kalau kita berjalan di belakang pasukan berkuda itu?"
Liu Yang Kun mengangkat pundaknya. "Terserah kepadamu. Asal saja kita tidak sampai ketahuan oleh mereka."
Tiauw Li Ing mengangguk dan tersenyum manis sekali. Dengan mesra tangannya lalu merangkul dan menggandeng lengan pemuda itu. Kemudian perlahan-lahan mereka melangkah di belakang Lo-sin-ong. Belum juga ada lima lie mereka berjalan, di depan mereka telah tampak membentang sebuah tembok kota yang dibangun di kaki bukit. Bahkan rumah-rumah pendudukpun sudah banyak pula yang dibangun di sekitar tembok kota tersebut.
Sementara sawah dan ladang juga telah mulai bertebaran pula dikerjakan orang di sekitar jalan yang mereka lalui. Ketika rombongan pasukan berkuda yang ada di depan mereka itu berhenti dan membuat kemah di luar tembok kota tersebut, Lo-sin-ong juga berhenti puIa. Orang tua itu memanggil Tiauw Li Ing.
"Li Ing, kudengar suara derap di depan itu telah berhenti. Apakah yang telah terjadi pada mereka?"
"Su-hu, kita telah sampai di sebuah kota. Pasukan itu berhenti di luar tembok dan membuat kemah di sana. Apa yang harus kita lakukan?"
"Oh... begitu cepatnya kita sampai di sebuah kota? Kota mana itu?"
"Entahlah, su-hu. Tembok kota itu masih jauh dari sini. Aku belum bisa membaca huruf yang tertulis di atas Pintu Gerbangnya."
Lo-sin-ong berdiam diri sebentar. Lalu katanya lagi, "Baiklah. Marilah kita sekarang mencari jalan lain dengan menjauhi perkemahan para prajurit itu. Lalu secara diam-diam kita menyelinap memasuki pintu gerbang kota."
Demikianlah, dengan jalan melingkar mereka memasuki pintu gerbang kota itu. Mereka lewat di ladang-ladang dan perkampungan penduduk sehingga mereka tidak bertemu dengan para prajurit itu.
"Kota Cia-souw...! Ah, ternyata kita berada dikota Cia-souw di semenanjung Syan-tung, suhu!" Tiauw Li Ing bergumam sedikit keras ketika membaca huruf yang tertera di atas pintu gerbang yang mereka lalui itu.
"Kota Cia-souw? Ah, kalau begitu kita berada agak jauh di sebelah timur kota Cin-an." Lo-sin-ong menyahut dengan kening berkerut. Sama sekali tak disangkanya kalau mereka sampai melenceng sedemikian jauhnya dari kota An-lei.
"Benar, suhu. Ternyata malam tadi kita telah menempuh perjalanan yang jauh sekali. Tapi sungguh kebetulan malah, karena ayahku justru banyak mempunyai kaki tangan di daerah ini. Nanti kita bisa menghubungi mereka."
"Cin-an... Cin-an... Cin-an....?" tiba-tiba Liu Yang Kun turut bergumam pula ketika Lo-sin-ong menyebut-nyebut kota Cin an. Dahinya berkerut seakan-akan sedang mengerahkan semua ingatannya.
"Koko, ada apa.....?" Tiauw Li Ing berdesah khawatir. "Kau teringat sesuatu?"
"Tidak.... tidak. Aku tidak teringat apa-apa. Cuma kota itu rasa-rasanya sudah kukenal. Malahan kota itu seperti... seperti penting bagiku. Hmmm.... jangan-jangan aku memang berasal dari kota itu. Ah...! Li Ing, aku harus ke sana! Aku ingin ke kota itu! Siapa tahu ingatanku akan kembali lagi setelah melihat kota Cin-an?"
Liu Yang Kun menatap mata Tiauw Li Ing. Wajahnya tegang, seolah-olah keinginannya untuk pergi ke kota Cin-an itu sudah tak bisa diganggu gugat lagi. Bahkan seandainya dicegah oleh Tiauw Li Ing sekalipun.
Tentu saja Tiauw Li Ing menjadi khawatir dan bingung. Kota itu adalah kota yang sangat besar. Kota yang dihuni oleh banyak perwira dan prajurit kerajaan. Bahkan di kota itu juga banyak tinggal tokoh-tokoh persilatan yang terkenal. Malah diantara mereka itu adalah Hek-pian-hok Ui Bun Ting, Ketua Tiam-jong-pai yang dua atau tiga hari lagi akan melangsungkan perkawinannya. Tentu akan banyak lagi tokoh-tokoh persilatan yang akan berkunjung ke kota itu. Lalu bagaimana kalau nanti pemuda itu dikenal orang dan dibawa pergi oleh prajurit-prajurit istana?
"Ko-ko, bukankah kau tidak ingin bertemu dengan... dengan punggawa-punggawa ayahmu? Di kota itu banyak berkeliaran perwira dan prajurit kerajaan. Bagaimana kalau kau dikenali mereka nanti?''
"Tapi…. tapi aku harus ke sana. Kita.... kita bisa menyamar atau pergi secara diam-diam. Tetapi kalau kau takut, biarlah aku pergi ke sana sendirian." Liu Yang Kun tetap bersikeras untuk melaksanakan keinginannya.
Hampir saja Tiauw Li Ing tak bisa menguasai dirinya. Kalau saja saat itu mereka tidak sedang berjalan di jalan umum yang penuh orang, mungkin Tiauw Li Ing sudah menangis dan merengek-rengek kepada Liu Yang Kun agar supaya pemuda itu mau membatalkan niatnya.
"Su-hu, bagaimana ini? Dia ingin pergi ke kota Cin-an yang banyak prajuritnya itu. Bagaimana nanti kalau ada yang mengenalinya? Ooooh...!" gadis itu mengeluh ketakutan.
"Ah, kalian ini seperti anak kecil saja. Berdebat dan bertengkar di muka umum. Ayoh, kita cari dulu tempat untuk beristirahat, baru kemudian kita rundingkan semua persoalan kalian itu!" Lo-sin-ong membentak perlahan....
Jilid selanjutnya,
Baca Cersil Lainnya :