Memburu Iblis Jilid 29 karya Sriwidjono - "Bagaimana pendapat Ciangkun tentang orang tua itu tadi?" sambil melangkah Liu Yang Kun meminta pendapat Yap Kiong Lee.
Jagoan dari istana itu menghela napas panjang. Dengan tiada bersungguh-sungguh ia menjawab, "Saya agak bercuriga kepada orang itu pangeran. Saya yakin dia tentu bukan orang sembarangan bahkan perasaan saya mengatakan bahwa orang tua itu tentu memiliki kedudukan tinggi di dunia persilatan. Bayangkan saja! Pangeran yang telah memiliki ilmu silat sempurna dan telah tertulis di Buku Rahasia itu saja tak mampu menangkap gerakannya..."
Kening Liu Yang Kun berkerut tatkala Yap Kiong Lee menyebutkan Buku Rahasia. "Buku Rahasia….? Buku apakah itu? Mengapa namaku juga tertulis di dalamnya?" tanyanya bingung.
"Aaah...." Yap Kiong Lee berdesah sadar bahwa Liu Yang Kun telah kehilangan semua masa lalunya. Oleh karena itu dengan cepat pula ia bercerita serba sedikit tentang buku yang sangat menghebohkan tersebut.
"Oh… begitu!" Liu Yang Kun tersenyum seraya mengangguk-angguk kepalanya. Lalu tambahnya pula.
"Jadi... siapakah orang tua itu menurut pendapat Ciang-kun? Mungkinkah dia itu termasuk orang-orang yang tertera didalam Buku Rahasia itu?"
Yap Kiong Lee tersenyum. Sambil mengangkat pundaknya Jagoan dari istana itu mengelak. "Saya tak berani mengatakannya, pangeran. Demikian banyaknya manusia sakti di dunia ini dan demikian luasnya pula negeri kita ini, sehingga orang tak mungkin bisa menduga apa yang terkandung di dalamnya. Dahulu kala orang menyebut-nyebut bahwa Empat Datuk Persilatan seperti Bu-eng Sin-yok-ong dan kawan-kawannya itu adalah tokoh-tokoh yang tiada tandingannya di dunia ini. Tapi bagaimanakah sekarang? Nyatanya nama-nama mereka masih kalah tersohor dengan tokoh-tokoh yang sekarang tertulis di dalam Buku Rahasia itu. Nah, siapa tahu pula di luar nama-nama yang tertera di dalam buku itu, masih ada lagi tokoh-tokoh terpendam yang kesaktiannya justru lebih dahsyat dan lebih tinggi dari pada mereka? Siapa tahu?"
Liu Yang Kun mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia memaklumi ucapan dan pemikiran Yap Kiong Lee tersebut. Dunia memang sangat luas, dan manusiapun juga tak terhitung pula jumlahnya. Maka bukan tidak mungkin kalau di dunia ini masih banyak tokoh-tokoh terpendam yang sengaja menyembunyikan diri di tempat-tempat sepi serta terpencil, dan tak mau muncul atau melibatkan dirinya dengan segala keramaian dunia. Ataupun kalau mereka itu berada di tempat umum, mereka sengaja menyembunyikan kepandaiannya, sehingga tak seorangpun tahu bahwa sebenarnya mereka itu memiliki ilmu yang maha dahsyat.
"Benar, Orang-orang yang tersohor di dunia persilatan sekarang ini adalah orang-orang yang sengaja melibatkan dirinya di dunia persilatan, sehingga nama dan kepandaian mereka menjadi terkenal serta ditakuti oleh orang banyak. Tapi selain mereka itu tentu masih banyak pula yang sama sekali tak mau melibatkan dirinya atau memperlihatkan kesaktiannya di muka umum. Mereka ini lebih suka mengasingkan diri bertapa di tempat sunyi, demi untuk kedamaian dan kesempurnaan hidup mereka di dunia akherat nanti." Liu Yang Kun menyetujui pendapat Yap Kiong Lee.
Mereka berdua lalu berjalan ke pusat kota untuk melihat-lihat keramaian. Tapi baru saja mereka berbelok ke jalan besar, Yap Kiong Lee telah menggamit lengan Liu Yang Kun. Sambil berbisik perlahan jagoan dari istana itu menunjukkan jarinya ke seberang jalan.
"Pangeran, lihat.....! itu dia si Giok-bin Tok-ong!"
"Ciangkun maksudkan… kakek tua berambut hitam yang berjalan bersama dua orang temannya itu?"
"Benar. Tapi kurasa dua orang itu bukan temannya. Bukankah Lo-sin-ong dan… dan muridnya pernah mengatakan bahwa Giok-bin Tok-ong telah mengeroyok pangeran bersama murid-muridnya? Kedua orang itu tentulah muridnya."
"Oh…!" Liu Yang Kun menggeram dan tiba-tiba saja wajahnya menjadi tegang.
Namun dengan cepat Yap Kiong Lee menyentuh lengan pemuda itu kembali. Dengan nada rendah ia berusaha mendinginkan hati pemuda tersebut. "Maaf, pangeran... Kita masih mempunyai banyak urusan. Kita jangan mencari perselisihan dahulu dengan mereka. Biarlah mereka bebas untuk sementara....!"
"Baiklah, Ciang-kun… Aku... hei??? Lihat. Bukankah gadis itu nona Souw Lian Cu?" Liu Yang Kun yang akhirnya bisa mengendalikan dirinya itu tiba-tiba berseru tertahan. Jari telunjuknya teracung ke arah belakang Giok-bin Tok-ong.
Yap Kiong Lee terperanjat pula. Beberapa puluh langkah di belakang Iblis dari Lembah Tak Berwarna itu tampak Souw Lian Cu berjalan dengan mengendap-endap dan berhati-hati. Gadis ayu itu seperti sedang mengikuti langkah Giok-bin Tok-ong.
"Ah, benar. Dia memang nona Souw...!"
"Hmm, Ciangkun.... aku menjadi penasaran. Aku akan mengikuti mereka..." tiba-tiba Liu Yang Kun berkata dengan tegas.
Tapi ketika hendak menyeberang jalan mendadak dari arah timur berderap belasan ekor kuda dengan kecepatan tinggi. Kuda yang paling depan hampir saja menabrak Liu Yang Kun. Untunglah pemuda itu cepat-cepat melompat mundur kembali. Sekilas pemuda itu melihat penunggangnya melotot marah kepadanya.
"Kurang ajar! Kalau dia tahu siapa yang hendak ditabraknya, niscaya hatinya menjadi takut dan menyesal bukan main," tiba-tiba Yap Kiong Lee menggeram marah.
Liu Yang Kun menyeringai kaku. Kulit mukanya menjadi merah juga. Namun demikian suaranya tetap tenang ketika menyahut perkataan 'pengawalnya‘ itu. "Ciang-kun tahu siapa para penunggang kuda tadi? Kulihat mereka mengenakan seragam prajurit kerajaan."
"Mereka memang sebagian dari perajurit kerajaan yang ditempatkan di daerah ini. Perwira yang hendak menabrak pangeran tadi adalah Thio Cian-bu (Kapten Thio) namanya Thio Tek Kong. Sebenarnya dia adalah seorang prajurit yang baik. Banyak jasanya di dalam pertempuran. Itulah sebabnya dia dipercaya adikku untuk mengawasi kota-kota yang berada di daerah ini. Tapi... hmmh, mengapa sikapnya menjadi kurang ajar begitu?" Yap Kiong Lee menerangkan dengan suara sesal.
Sekali lagi Liu Yang Kun mencoba untuk tersenyum. Sambil mengebut-ngebutkan lengan bajunya yang kotor terkena debu, ia berkata, "Sudahlah, Ciang-kun. Mungkin mereka sedang tergesa-gesa. Siapa tahu mereka sedang mengurus sebuah keperluan yang sangat penting?"
"Tapi…?"
Ah, sudahlah! Marilah kita.... oh? Dimana dia tadi?" tiba-tiba Liu Yang Kun tersentak kaget. Matanya terbuka lebar kearah dimana Souw Lian Cu tadi berada.
"Dia....? Siapa!" Yap Kiong Lee tertegun."Nona Souw dan Giok-bin Tok-ong tadi...." Liu Yang Kun berdesis.
"Ooooh... mereka sudah menghilang!"
"Kurang ajar!!!" Liu Yang Kun mengumpat kesal. Kini ia benar-benar marah. Marah dan menyesal karena telah kehilangan buruannya. Kemungkinan ia akan benar-benar menghajar para prajurit berkuda itu kalau mereka sekarang berada di depannya.
Liu Yang Kun lalu bergegas menyeberang jalan, dan Yap Kiong Lee pun dengan cepat mengikutinya. Mereka mencoba mengejar buruan mereka tadi. Namun demikian ternyata mereka tetap tak bisa menemukan orang-orang itu. Bahkan saking kesal serta penasarannya, Liu Yang Kun mengajak Yap Kiong Lee untuk mencari buruan mereka itu keseluruh pelosok kota. Tetapi usaha mereka itupun tetap sia-sia pula. Buruan mereka itu seperti lenyap ditelan oleh kesibukan dan keramaian kota.
Mereka berdua justru bertemu lagi dengan rombongan prajurit berkuda itu di dekat pasar. Para prajurit berkuda itu tampak menyebar dan mengepung pasar tersebut. Dan Thio Cian-bun yang berseragam lengkap itu kelihatan memberi perintah kepada anak-buahnya. Mereka menggeledah seluruh penghuni pasar tersebut.
"Hem... ada apa sebenarnya? Mengapa prajurit-prajurit itu tampak sibuk sekali? Kelihatannya ada sesuatu yang dicari oleh mereka." Liu Yang Kun bergumam perlahan.
Mereka berdua lalu melangkah mendekati tempat itu. Kepada beberapa orang penduduk yang menonton kesibukan itu mereka bertanya, "Maaf, ada apa sebenarnya? Mengapa pasar ini digeledah perajurit-perajurit kerajaan itu?"
Orang-orang itu mengawasi Liu Yang Kun dan Yap Kiong Lee. Hampir serempak mereka menjawab. "Mereka mencari hantu kuntilanak!"
"Mencari hantu kuntilanak....?" Liu Yang Kun berseru kaget.
"Ya. Hantu itu telah sampai kemari pula. Bahkan tadi malam telah berani memasuki gedung Thio Cian-bu dan hendak menculik bayinya. Untunglah Thio Cian-bu berada di rumah, sehingga niat buruk Hantu Kuntilanak itu dapat digagalkan. Meskipun demikian Thio Cian-bu tetap menjadi marah dan penasaran. Seluruh kota ini lalu digeledahnya." salah seorang dari penduduk itu memberi penjelasan.
"Hemmm... lagi-lagi Hantu Kuntilanak! Seperti apakah sebenarnya hantu itu? Mengapa dalam sepekan ini hantu itu menghebohkan beberapa kota di daerah Propinsi Santung?" Yap Kiong Lee berkata dengan suara geram pula.
Liu Yang Kun mendekati Yap Kiong Lee. "Bagaimana twako...?" tanyanya pelan sambil melirik kepada orang-orang itu.
"Mari kita kembali ke penginapan. Kita tak perlu ikut campur urusan negara. Ayoh!" seperti orang dusun yang baru saja datang ke kota, Yap Kiong Lee mengajak Liu Yang Kun pergi. Sekilas tampak matanya berkedip untuk memberi isyarat kepada pemuda itu.
Liu Yang Kun cepat menangkap isyarat itu pula. Namun sebelum melangkah ia sempat berkata, yang nadanya seperti ditujukan kepada orang-orang disekitarnya. "Eh, masakan persoalan mencari hantu saja menjadi persoalan negara? Dan... mana ada hantu di siang hari begini? Memangnya hantu itu mau berbelanja juga?"
"Hush" Yap Kiong Lee pura-pura membentak, lalu menyeret lengan Liu Yang Kun pergi.
Orang-orang tertawa mendengar ucapan Liu Yang Kun. Tapi suara mereka itu segera terhenti manakala mereka menyadari bahwa ucapan tersebut memang ada benarnya juga. Mereka berdesah seraya mengerutkan kening mereka, kemudian satu persatu juga meninggalkan tempat itu pula.
Sementara itu setelah berada agak jauh dari pasar, Yap Kiong Lee bergegas menarik lengan Liu Yang Kun dan mengajaknya berlari-lari kecil ke arah barat. Jagoan dari istana itu sengaja menyusup-nyusup diantara lalu lintas para pejalan kaki yang hilir mudik di jalan besar itu. Bahkan kadang-kadang ia membawa Liu Yang Kun ke tengah jalan, untuk berlindung di belakang kereta atau pedati yang lewat.
Tentu saja Liu Yang Kun menjadi heran dan bingung. Pemuda itu sama sekali tak mengerti maksud dan tujuan Yap Kiong Lee. Oleh karena itu setelah mereka melangkah di tempat yang agak sepi, Liu Yang Kun lalu menanyakan maksud dan tujuan mereka.
"Maaf, pangeran. Tampaknya memang ada sesuatu yang akan terjadi di kota ini. saya baru saja melihat seorang tokoh persilatan lagi di dekat pasar tadi." Yap Kiong Lee menerangkan sambil tetap berjalan cepat.
"Tokoh persilatan lagi? Siapakah dia?"
"Bu-tek Sin-tong! Dia lewat menumpang kereta. Tampaknya dia menumpang dengan cara paksa, karena saya lihat pengendara kereta itu kelihatan ketakutan."
"Bu-tek Sin-tong? Tokoh yang pernah Ciang-kun ceritakan kepadaku itu?"
"Benar, Dia memang tokoh ketiga di dalam Buku Rahasia itu. Tadi hanya secara kebetulan saja saya melihatnya. Mula-mula saya merasa kaget ketika mendengar suara tangis bayi dari dalam kereta itu. Ketika saya menoleh, sekilas saya melihat wajah Bu-tek Sin tong di dalamnya."
"Oooh... lalu apa yang hendak Ciang-kun kerjakan sekarang? Mengejarnya? Tapi... bukankah Ciang-kun tak ingin kita terlibat dalam keributan disini?"
Tiba-tiba Yap Kiong Lee menghentikan langkahnya. Begitu pula halnya dengan Liu Yang Kun. Mereka berdiri berhadapan di dekat pintu gerbang kota Lai-ying sebelah barat. "Pangeran ! Semula saya memang menginginkan agar perjalanan kita ini tidak terhambat oleh segala macam persoalan yang mungkin timbul di dalam kota ini. Tapi pendapat itu tiba-tiba berubah setelah saya melihat beberapa tokoh persilatan terkemuka berkeliaran di tempat ini. Bagaimanapun juga perjalanan kita ini sangat tergantung kepada nona Souw. Dan perasaan saya mengatakan bahwa urusan yang hendak diselesaikan oleh nona Souw itu tentu berkaitan dengan kedatangan tokoh-tokoh persilatan terkemuka ini. Oleh sebab itu tidak boleh tidak kita harus ikut campur pula. Hemm... bagaimana pendapat pangeran?"
Tiba-tiba wajah Liu Yang Kun menjadi berseri-seri. Dengan suara mantap ia menjawab. "Saya setuju! Marilah kita selidiki urusan yang hendak diselesaikan oleh nona Souw itu! Kalau perlu kita tolong dia, sehingga urusannya menjadi cepat selesai, dan kita dapat cepat-cepat meninggalkan kota ini!"
"Nah! Kalau begitu marilah kita kejar kereta Bu-tek Sin-tong itu! Kereta itu tentu telah keluar melalui pintu-gerbang ini. Marilah, pangeran..!"
Mereka lalu keluar dari tembok kota. Mereka lalu berlari menyusuri jalan berdebu yang menghubungkan kota itu dengan kota lainnya. Namun sampai belasan lie mereka berlari, kereta itu tetap tak mereka ketemukan juga. Tentu saja mereka berdua menjadi heran.
"Heran. Kemana kereta itu sebenarnya? Tak mungkin ia melaju sedemikian cepatnya." Yap Kiong Lee berhenti berlari dan bersungut-sungut.
"Jangan-jangan kereta itu masih berada di dalam kota. Siapa tahu kereta itu berbelok ke sebuah gang atau jalan kecil?" Liu Yang Kun berkata.
"Tapi rasanya... eh, apakah itu?" tiba-tiba Yap Kiong Lee tersentak kaget.
Tiba-tiba terdengar suara bunyi-bunyian yang riuh ditabuh orang. Bahkan diantara hiruk-pikuknya suara tersebut masih terdengar pula suara tangisan yang melengking bersaut sautan. Dan suara itu berasal dari desa di depan mereka. "Ah! Tampaknya ada iring-iringan jenazah yang hendak lewat di jalan ini." Liu Yang Kun bersungut-sungut.
Yap Kiong Lee mengangguk. Dan tak lama kemudian benar juga dugaan pemuda itu. Sebuah iring-iringan para pengantar jenazah tampak muncul dari lorong desa tersebut. Iring-iringan itu melangkah ke jalan raya dan lewat di depan Liu Yang Kun dan Yap Kiong Lee.
"Dua sosok jenazah…!" Liu Yang Kun berbisik perlahan. "…jenazah seorang yang telah dewasa dan jenazah anak-anak."
Yap Kiong Lee mengangguk lagi. Mulutnya tetap diam. Dia baru membuka suara ketika iring-iringan itu sudah lewat. Dia bertanya kepada seorang lelaki tua yang ketinggalan langkah di belakang. "Maaf, Lo-pek… siapakah yang meninggal dunia itu? Kenapa sekaligus ada dua buah jenazah?"
Lelaki tua itu berhenti dan tertegun untuk beberapa saat lamanya. Matanya memandang dengan curiga. Namun demikian ia tetap menjawab juga, meskipun singkat. "....yang meninggal adalah isteri dan anak kepala desa kami. Mereka mati dibunuh... hantu kuntilanak!" Dan begitu selesai berbicara ia segera berlari menyusul rombongan. Sama sekali ia tak peduli lagi pada Liu Yang Kun dan Yap Kiong Lee yang terbelalak kaget mendengar keterangannya.
"Hantu kuntilanak...?" desah Liu Yang Kun dan Yap Kiong Lee gemetar. Dan untuk beberapa waktu lamanya mereka berdua tak bisa berkata apa-apa. Mereka baru tersadar dan tersentak kembali dari kebekuan mereka itu tatkala sebuah suara yang lain tiba-tiba berkumandang di belakang punggung mereka.
"Ah, bohong! Ada-ada saja. Mana ada hantu kuntilanak di dunia ini?" suara itu terdengar terang dan jelas.
Seperti berlomba Liu Yang Kun, Yap Kiong Lee membalikkan tubuh mereka. Dan betapa terkejutnya mereka ketika tiba-tiba saja di depan mereka telah berdiri si Kakek Tua yang tadi mereka lihat di warung arak itu. Dengan tersenyum sabar orang tua itu memandang mereka berdua.
"Selamat bertemu kembali ji-wi siauw-heng..." orang tua itu menyapa.
"Se-selamat... bertemu...." Liu Yang Kun menjawab sedikit gugup.
"Ah... tampaknya kedatanganku kali ini sangat mengagetkan ji-wi Siauw-heng. Maafkanlah aku..." orang tua itu berkata lagi dengan nada menyesal.
"Ah, tidak apa... tidak apa. Kami berdua memang kaget, karena sedikitpun kami tidak mendengar langkah kaki locianpwe tadi. Eem... bolehkah kami berdua mengetahui nama dan gelar lo-cianpwe?" Yap Kiong Lee cepat-cepat menyahut.
Tapi wajah itu tiba-tiba berubah. Wajah yang tenang dan berseri tadi mendadak berubah menjadi kecut dan hampa. Bahkan sambil menengadahkan kepalanya orang tua itu tampak menarik napas panjang berulang-ulang.
"Nama...? Apa perlunya 'nama' dan 'gelar' di dunia ini? Nama dan gelar hanya akan membatasi kebebasan hati. Lebih baik tak bergelar dan tak bernama dari pada untuk itu kita harus terbelenggu di dalam ikatan dan kurungannya." Orang tua itu bergumam perlahan.
Beberapa saat lamanya Liu Yang Kun dan Yap Kiong Lee tertegun mendengar ucapan orang tua itu. Mereka dapat menangkap makna ucapan tersebut. Namun demikian mereka tak dapat segera menjawabnya. Mereka sadar bahwa yang mereka hadapi adalah seorang yang telah menjauhi urusan keduniaan.
"Tapi 'nama' bagi kita, orang-orang yang masih belum bisa melepaskan diri dari pergaulan umum ini. Sebab nama itu sangat memudahkan bagi orang lain untuk membedakan seseorang dengan seseorang lainnya. Lain halnya dengan 'gelar'. Gelar memang sering membuat kita menjadi terpenjara. Banyak contoh yang dapat kita simak di sekeliling kita. Dan saya sendiri juga sependapat dengan lo-cianpwe itu. Saya sendiri juga banyak gelar yang seram-seram, sehingga aku justru menjadi sulit bergerak di tempat umum karena gelarku itu..." tiba-tiba Liu Yang Kun membuka mulutnya.
Orang tua itu tersentak kaget. Dengan wajah tak percaya ia menatap Liu Yang Kun. "Siauw-heng memiliki gelar yang seram-seram? Bolehkah aku yang tua ini mengetahuinya?" desaknya kemudian.
Sekarang ganti Liu Yang Kun yang terdiam. Sambil menyembunyikan senyumnya pemuda itu meniru gaya lawannya ketika berbicara tadi. "Ah... apa perlunya sebuah nama? Nama hanya akan membatasi kebebasan hati. Aku sudah melupakannya..."
Orang tua itu terperangah. Wajahnya menjadi merah. Namun demikian sekejap kemudian wajah itu telah berubah menjadi terang kembali. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya orang tua itu memuji kecerdikan Liu Yang Kun. "Siauw-heng, kau benar-benar sangat menyenangkan hatiku. Hatimu sangat mudah tersinggung. Tapi kau sangat cerdas dan cerdik. Hmm... kau benar-benar seperti muridku. Sama-sama muda, cerdik dan elok. Dan tentang namaku... emm... sayang... aku benar-benar telah melupakannya. Baiklah kalian panggil dengan sebutan 'lo-jin‘ saja. Bagaimana?"
Liu Yang Kun menghela napas. "Kalau lo-cianpwe memang menghendaki demikian apa boleh buat?"
Tiba-tiba Yap Kiong Lee tertawa. "Wah... sedari tadi kita cuma omong saja tentang 'nama'. Kita sampai lupa bahwa kita berada di jalan raya. Locianpwe...! Apakah Lo-cianpwe juga ikut mengantar jenazah itu tadi? Silahkan kalau...!"
"Ah, tidak... tidak! Aku tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan rombongan pengantar jenazah itu. Kedatanganku kemari adalah untuk mencari muridku."
"Mencari murid lo-cianpwe?" Yap Kiong Lee dan Liu Yang Kun menyahut hampir berbareng.
Tiba-tiba orang tua itu tersadar bahwa dia telah terlanjur mengatakan kepentingannya kepada seseorang yang baru dikenalnya. Tapi karena sudah terlanjur, apa boleh buat, ia terpaksa mengatakannya juga semuanya.
"Benar. Aku sudah menunggunya selama dua hari di kota ini. Tapi dia tak muncul-muncul juga. Tapi secara kebetulan aku keluar di jalan raya. Dan sekilas mataku seperti melihatnya di depan pasar. Namun ketika aku mengejarnya, ia telah menghilang lagi diantara kerumunan orang banyak. Selanjutnya aku lalu mendapatkan kesulitan untuk menemukannya kembali. Itulah sebabnya aku sampai kesini..."
"Oooooh....? bagaimanakah ciri-ciri murid lo-cianpwe itu? Maaf.... siapa tahu kami bisa membantu lo-cianpwe?" Yap Kiong Lee menyela.
Namun dengan cepat orang tua itu menggoyangkan telapak tangannya. Bahkan seperti orang yang takut ketahuan rahasianya orang tua itu cepat-cepat meminta diri. "Ah, tak usah... tak usah. Terima kasih. Muridku itu paling tidak suka dikenal orang. Aku tak ingin mengecewakannya. Permisi...." Dan sekejap saja orang tua itu telah hilang di kelokan jalan.
"Aneh! Orang tua itu benar-benar aneh sekali...!" Yap Kiong Lee bergumam perlahan.
"Memang benar. Semakin tinggi ilmunya, biasanya orang menjadi semakin aneh pula tingkah lakunya...." Liu Yang Kun menambahkan.
Keduanya lalu kembali ke kota Lai-yin lagi. Tetapi di luar pintu gerbang kota lagi-lagi mereka berjumpa dengan pasukan Thio Ciang-bu atau Thio Tek kong itu. Cuma yang amat mengagetkan mereka ialah keadaan pasukan itu sekarang. Pasukan yang semula tampak sangat garang dengan seragam dan kuda-kudanya yang bagus itu, kini tiba-tiba telah berubah menjadi tidak keruan dan berantakan. Mereka seperti sebuah pasukan yang baru saja kalah perang. Bahkan beberapa orang diantara mereka telah menjadi mayat dan ditumpuk di atas pedati mereka.
Yap Kiong Lee tidak melihat Thio Tek Kong diantara pasukan itu. Otomatis hatinya menjadi tegang dan gelisah. "Berhenti....!" Jagoan dari istana menghentikan mereka.
Pasukan yang kini tinggal delapan atau sembilan orang lagi itu berhenti pula dengan ketakutan. Mereka menyangka telah berjumpa dengan musuh mereka lagi. Tapi ketika menyaksikan siapa yang datang, tiba-tiba wajah mereka menjadi berseri-seri. Mereka segera mengenal wajah Hong-luikun Yap Kiong Lee! Meskipun Yap Kiong Lee tidak menjadi tentara atau menjabat jabatan apapun di istana, namun setiap orang tahu bahwa pendekar berkepandaian tinggi itu adalah kakak Yap Tai Ciang-kun dan orang kepercayaan kaisar mereka.
"Yap Tai-hiap, celaka...! Thio Cian-bu… Thio Cianbu mati dibunuh orang!" salah seorang dari para prajurit yang masih tertinggal itu melapor dengan suara gugup.
"Hah? Apa…..? Thio Tek Kong mati? Siapakah yang membunuhnya?" Yap Kiong Lee berseru kaget. Suaranya bergetar menahan marah.
"Kami… kami tak tahu. Ketika kami mengejar bayangan seorang wanita berbaju putih, yang berlari keluar tembok kota, kami menemukan sebuah bangunan kuno di tengah-tengah hutan. Thio Cian-bu. Thio Cian-bu lalu memberi perintah kepada kami untuk mengepung bangunan kuno tersebut, sementara beliau….sementara beliau bersama dua orang pengawal memasukinya. Lalu… lalu… tiba-tiba kami mendengar beliau menjerit keras sekali dan… dan…"
"Dan ketika kalian masuk, kalian... mendapatkan tubuh Thio Tek Kong telah menjadi mayat. Begitu...?" Yap Kiong Lee cepat-cepat memotong.
"Be-be-benar! Bahkan.... bahkan..."
"Hmm, bahkan kalian semuapun lalu mendapat serangan dari sesosok bayangan yang tidak kalian ketahui wajah mau pun bentuknya! Begitu bukan? Dan serangan tersebut demikian dahsyatnya sehingga semua tak kuasa untuk menyelamatkan diri. Sehingga beberapa orang dari kalianpun lalu bergelimpangan pula menjadi mayat! Begitu...?" sekali lagi Yap Kiong Lee yang sedang marah itu menukas.
"Be-benar, tai-hiap! Mengapa tai-hiap mengetahuinya? Apakah... apakah Tai-hiap berada di tempat itu pula?" dengan heran prajurit itu bertanya.
"Goblog! Aku cuma menduga saja!" Yap Kiong Lee membentak marah. Lalu sambungnya lagi. "Nah! Sekarang katakan kepadaku, dimanakah bangunan kuno itu berada?"
Dengan agak takut-takut prajurit itu lalu menunjuk ke arah utara, dimana beberapa lie jauhnya dari tempat itu terlihat tanah perbukitan yang diselimuti oleh hutan belukar nan lebat. "Di sana, tai-hiap...!"
"Baik! Sekarang kalian pergilah ke kota! Laporkan kejadian ini kepada wakil Thio Cian-bu!"
"Baik, tai-hiap...." Pasukan berkuda yang sudah tidak karuan bentuknya itu lalu berjalan lagi memasuki kota. Mereka tampak semakin kepayahan terkena sinar matahari yang bergulir ke arah barat.
"Nah! Bagaimana menurut pendapat pangeran tentang hal ini?" Yap Kiong Lee kemudian bertanya kepada Liu Yang Kun yang sejak tadi cuma diam saja.
Liu Yang Kun memandang ke arah pasukan yang sedang memasuki pintu gerbang kota itu untuk beberapa saat lamanya. Setelah itu sambil menarik napas panjang kepalanya tertunduk. "Kukira pendapat kita tidak akan jauh berbeda..."
Yap Kiong Lee mengerutkan keningnya. "Jadi pangeran juga berpendapat bahwa hantu Kuntilanak itu sebenarnya juga seorang manusia biasa? Seorang manusia berwatak aneh dan berkepandaian sangat tinggi?"
Liu Yang Kun mengangguk. "Ya! Dan hantu itu membunuh Thio Cian-bu beserta anak buahnya, karena mereka telah mengganggu tempat tinggalnya."
"Lalu... bagaimana dengan bayi-bayi yang diculiknya?"
"Diculik? Aku belum mendengar khabar bahwa hantu itu telah menculik bayi. Aku hanya mendengar bahwa ia selalu mengelilingi rumah korbannya di malam hari."
"Dan bayi si pemilik rumahpun akan mati keesokkan harinya!" Yap Kiong Lee meneruskan.
"Ya, begitulah. Jadi selama ini orang yang dijuluki 'Hantu Kuntilanak' itu selalu mendatangi rumah penduduk yang ada bayinya. Tak seorangpun yang tahu, apa yang dikerjakan oleh 'hantu' tersebut. Namun yang terang dia tak pernah mengganggu atau menculik bayi. Dia cuma mondar-mandir saja di sekeliling rumah korbannya, sementara bayi yang ada di dalam rumah itu akan menangis terus tiada henti-hentinya."
"Dan bayi itu akan mati keesokan harinya, karena hantu itu telah mengguna-gunainya...!" sekali lagi Yap Kiong Lee menandaskan.
Liu Yang Kun tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Mungkin disinilah perbedaan kita....." pemuda itu berkata perlahan. "Aku sama sekali tak melihat hubungan antara kematian bayi itu dengan kedatangan 'hantu' tersebut. Tapi terus terang saja akupun tak bisa menjelaskan, mengapa aku mempunyai dugaan atau pendapat demikian. Semuanya itu cuma perasaanku saja..."
Yap Kiong Lee tersentak kaget. Dengan kening berkerut jagoan dari istana itu berdesah. "Aneh! Kenapa pangeran berpendapat begitu? Apakah tidak terlintas di dalam hati pangeran bahwa 'hantu' itu sedang mendalami sebuah ilmu hitam yang mempergunakan bayi-bayi sebagai sarananya?"
Sekali lagi Liu Yang Kun tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Semula aku memang berprasangka demikian pula. Tapi entah mengapa, perasaanku seperti tidak menyetujuinya. Perasaanku cenderung untuk mengatakan yang lain. Namun seperti yang telah kukatakan tadi, aku tak bisa menjelaskannya...."
"Oooh, lalu.... apa yang hendak kita lakukan sekarang?" setelah berdiam diri beberapa saat lamanya, Yap Kiong Lee bertanya kepada Liu Yang Kun.
Liu Yang Kun terpekur sebentar. Lalu jawabnya. "Kalau... kalau ciang-kun setuju, aku ingin menyelidiki bangunan kuno itu pula. Tapi malam nanti saja. Sekarang kita ke rumah Thio Cian-bu lebih dahulu. Kita mencari keterangan yang benar, apa sebenarnya yang telah terjadi di rumah perwira itu malam tadi?"
Liu Yang Kun agak bingung juga untuk menyebut Yap Kiong Lee. Semula ia menyebut 'ciang-kun' karena menyangka jagoan istana itu sebagai seorang perwira kerajaan pula seperti adiknya, yaitu Yap Tai-ciangkun itu. Tapi setelah mendengar sebutan para perajurit berkuda itu tadi, ia menjadi sadar bahwa ia telah salah duga. Ternyata Yap Kiong Lee bukanlah seorang perwira. Sebaliknya Yap Kiong Lee sendiri agaknya juga tidak ambil pusing pada sebutan yang diberikan Liu Yang Kun kepadanya.
"Terserah kepada pangeran. Apabila pangeran memang menghendaki demikian, sayapun hanya menurut saja..." Katanya kemudian dengan mantap.
Demikianlah, seperti halnya pasukan yang kalah perang tadi, mereka berduapun lalu melangkah memasuki pintu gerbang kota itu pula. Mereka berjalan menyusuri jalan besar, menuju ke rumah kediaman Thio Tek Kong di tengah kota. Sekilas mereka masih bisa melihat debu yang ditinggalkan oleh pasukan yang kalah perang itu. Sementara di kanan-kiri jalan tersebut mereka juga masih bisa menyaksikan para penduduk yang saling bergerombol membicarakan kejadian itu.
Ketika mereka berdua melewati perempatan jalan yang pertama, mereka tiba-tiba dikejutkan oleh suara jerit tangis yang memilukan dari sebuah rumah besar di pinggir jalan. Otomatis pikiran Liu Yang Kun dan Yap Kiong Lee tertuju pada keluarga para perajurit Thio Cian-bu yang tewas itu.
"Tampaknya khabar tentang kematian para perajurit itu telah sampai pula kepada keluarganya..." Yap Kiong Lee menghela napas duka.
"Agaknya memang demikian. Tetapi…?" Tiba-tiba Liu Yang Kun menghentikan langkahnya. Wajahnya menjadi bersungguh-sungguh. Matanya memandang ke rumah besar itu tanpa berkedip.
"Pangeran...? Ada apa?" Tentu saja Yap Kiong Lee menjadi terkejut sekali.
"Oh, tidak...!" Liu Yang Kun tersentak sadar. "Tiba-tiba saja perasaanku menjadi lain. Aku seperti mencium sesuatu yang ganjil di rumah itu. Tangis itu rasanya bukan karena mereka adalah keluarga perajurit yang tewas itu. Rasa-rasanya mereka menangis karena sesuatu hal yang lain. Ciang-kun, marilah kita singgah sebentar...!"
Yap Kiong Lee menatap Liu Yang Kun sebentar, kemudian menundukkan mukanya. Walau merasa sedikit aneh, tapi jagoan dari istana itu tidak berani membantah. Perlahan-lahan mereka melangkah memasuki halaman luas itu. Mereka melewati beberapa orang tetangga atau penghuni rumah yang lain, yang juga datang menjenguk ke rumah itu.
Beberapa orang pelayan rumah itu cepat menyambut kedatangan Liu Yang Kun. Namun karena mereka merasa belum pernah melihat wajah Liu Yang Kun dan Yap Kiong Lee, maka mereka tidak segera menyapa atau mempersilakan masuk. Bahkan mereka menjadi curiga dan agak takut. Tapi dengan tenang serta tidak memperdulikan kecurigaan mereka, Liu Yang Kun mendekati mereka.
"Maaf, kami berdua adalah petugas dari bagian keamanan kota…" Liu Yang Kun membohong. "Bolehkah kami mengetahui, apa yang telah terjadi di rumah ini?"
Mendengar tamu-tamunya adalah petugas keamanan kota, para pelayan itu menjadi lega. Dengan ramah dan hormat mereka mempersilakan Liu Yang Kun masuk. Tapi Liu Yang Kun tidak segera masuk. Dengan suara erlahan ia bertanya kepada para pelayan itu, apa sebenarnya yang telah terjadi di rumah tersebut.
"Tuan besar baru saja dianiaya penjahat! Dan... dan calon nyonya besar diculik pula!" pelayan itu paling tua segera menjawab.
"Hah? Ada penjahat yang berani menganiaya dan menculik orang di siang hari begitu? Kurang ajar....!" Yap Kiong Lee menggeram marah.
"Be-benar, tuan....! Mari... mari silahkan tuan berdua menyaksikan sendiri keadaan tuan besar kami! Beliau ada di ruang tengah." Pelayan itu lalu membawa Liu Yang Kun dan Yap Kiong Lee masuk, sementara teman-temannya yang lain segera mendahului dan melapor kepada majikan mereka. Dan seorang lelaki setengah baya segera keluar pula menyambut kedatangan Liu Yang Kun dan Yap Kiong Lee.
"Terima kasih... terima kasih! Belum juga kami sekeluarga sempat melapor, ternyata ji-wi telah sampai di tempat ini. Terima kasih..." lelaki setengah baya itu menyambut dengan ramah, meskipun sinar kesedihan tetap memenuhi wajahnya.
"Bolehkah kami berdua menengok..?" Yap Kiong Lee cepat melangkah ke depan dan menyahut sambutan dari tuan rumah itu.
"Silahkan... silahkan...!" Lelaki setengah baya itu mempersilakan, kemudian mendahului masuk ke ruang tengah. Di ruangan tengah telah berkumpul menyaksikan seluruh keluarga penghuni rumah tersebut. Mereka mengelilingi sebuah pembaringan dengan wajah yang sedih dan diliputi oleh kedukaan yang mendalam. Seorang lelaki berwajah tampan, namun sudah berusia sekitar limapuluhan tahun, tampak tergolek pucat di atas pembaringan itu. Sementara di dekat kepalanya tampak duduk seorang nenek tua-renta menangisinya.
"Hek-pian-hok Ui Bun Ting....?" tiba-tiba Yap Kiong Lee berdesah kaget begitu menyaksikan wajah orang yang sakit itu. Dan kekagetan Yap Kiong Lee ini tentu saja juga amat mengejutkan Liu Yang Kun pula.
"Ciang.... eh, twa-ko mengenalnya....?"
Yap Kiong Lee cepat menganggukkan kepalanya. Namun ketika ia hendak menjawab, tiba-tiba Hek-pian-hok Ui Bun Ting atau orang yang terbaring di atas pembaringan itu membuka matanya. Agaknya kedatangan Yap Kiong Lee yang menyebut namanya itu telah menyadarkannya.
Mula-mula ia hanya memandang saja kepada Yap Kiong Lee. Bahkan beberapa kali dahinya tampak berkerut menahan sakit. Namun beberapa saat kemudian ketika kesadarannya mulai penuh, ia mulai mengenal pula wajah Yap Kiong Lee.
"Yap Tai-hiap....?" gumamnya perlahan.
"Ui Ciang-bun (Ketua Partai Persilatan Ui)...? Benarkah ini? Mengapa Ui Ciang-bun berada di tempat ini? Bukankah hari pernikahan itu tinggal sehari lagi?" Yap Kiong Lee bertanya dengan heran seolah-olah tak percaya bahwa orang yang dihadapinya itu benar-benar ketua persilatan Tiam-jongpai.
Tapi Ui Bun Ting cuma menyeringai saja kepada Yap Kiong Lee. Ia tak menjawab pertanyaan itu. Sebaliknya ia malah memperkenalkan keluarganya kepada Yap Kiong Lee. "Yap Tai-hiap, perkenalkanlah ini ibuku..." katanya perlahan seraya memandang wanita tua-renta yang duduk di dekat kepalanya. "Dan... itu adikku." lanjutnya lagi sambil menunjuk ke lelaki setengah baya yang tadi menyambut kedatangan Liu Yang Kun dan Yap Kiong Lee.
Kemudian Ui Bun Ting menyebut pula satu-persatu orang-orang yang ada di sekelilingnya. Bibinya, adik-adiknya yang lain, keponakannya dan lain-lainnya lagi. Dan setiap ketua Tiam-jong-pai itu menyebutkan nama keluarganya, Liu Yang Kun dan Yap Kiong Lee terpaksa membungkuk memberi hormat. Namun ketika ketua Tiam-jong-pai itu hendak berbicara lagi, Yap Kiong Lee cepat mencegahnya.
"Sudahlah Ui Ciang-bun, jangan banyak bicara dahulu! Kau harus beristirahat! Ehm... bolehkah aku memeriksa luka-lukamu?" jagoan dari istana itu memotong.
Ui Bun Ting menatap tamunya dengan perasaan terima kasih. Namun dengan amat berat kepalanya menggeleng. Tiba-tiba wajahnya sangat sedih. "Tidak ada gunanya, Tai-hiap, Lukaku sungguh sangat parah. Selain itu aku juga terkena racun yang mematikan. Rasanya aku sudah tidak mungkin hidup lagi. Tapi aku tidak akan menyesali kematianku. Aku hanya... ooh…" Ui Bun Ting tidak kuasa melanjutkan kata-katanya. Rasa sedih dan rasa sakit mendadak telah menyerang dada dan perutnya. Otomatis semua keluarganya menjerit dan menangis menyaksikan penderitaannya.
Yap Kiong Lee cepat menyambar lengan Ui Bun Ting. Diperiksanya denyut nadinya, kemudian detak jantungnya. Lalu yang terakhir Yap Kiong Lee menotok beberapa titik jalan darah di sekitar pusar ketua Tiam-jong-pai itu. Namun ketika Yap Kiong Lee hendak menyalurkan tenaga saktinya untuk mengurangi beban sakit di dada Ui Bun Ting, tiba-tiba ia meloncat mundur. Wajahnya mendadak menjadi pucat. Liu Yang Kun dan lelaki setengah baya itu cepat mendesak maju.
"Twa-ko, ada apa…..?" Liu Yang Kun berseru kaget.
"Bagaimana tuan….?" Lelaki setengah baya itu ikut berdesah pula.
Yap Kiong Lee menatap Liu Yang Kun dengan wajah ngeri. "Racun!" geramnya. "Sungguh keji sekali orang yang melukainya. Hampir saja racun itu membalik ketika aku tadi mengerahkan tenaga..." Sambil berbicara Yap Kiong Lee memperlihatkan telapak tangannya yang terbakar. Liu Yang Kun mengerutkan keningnya.
"Biarlah aku yang mengobatinya..." katanya kemudian sambil menggenggam Po-tok-cu di tangan kanannya.
"Ah, tapi....!" Yap Kiong Lee yang sangat mengkhawatirkan keselamatan Liu Yang Kun itu mencoba mencegahnya.
Namun Liu Yang Kun tetap melangkah maju. "Twa-ko tak usah cemas! Aku dapat menjaga diri. Percayalah...." ucapnya seraya memegang urat nadi Ui Bun Ting.
Lelaki setengah baya yang diperkenalkan sebagai adik Ui Bun Ting tadi tiba-tiba juga mendesak maju pula. Ia tampak sangat mengkhawatirkan keselamatan kakaknya. Di satu pihak ia ingin agar kakaknya ada yang bisa mengobati tapi di lain pihak ia juga agak ragu terhadap orang-orang yang belum dikenalnya itu. O leh karena itu ia kelihatan bingung dan salah tingkah di depan Yap Kiong Lee.
"Sudahlah…..! tuan tak perlu khawatir. Kami berdua akan berusaha menolong Ui Ciang-bun. Kami berdua adalah sahabat-sahabatnya…" Yap Kiong Lee yang bisa menduga dan memaklumi hati dan perasaan orang itu cepat menghiburnya.
"Tuan, maafkanlah saya…" lelaki setengah baya itu tersipu-sipu.
Sementara itu Liu Yang Kun telah menggores urat nadi Ui Bun Ting dengan kukunya, kemudian menutupi luka kecil itu dengan Po-tok-cu atau Mustika Inti Racunnya. Lalu dengan perlahan-lahan ia menyalurkan tenaga saktinya melalui mustika itu. Hawa hangat perlahan-lahan merambat melalui lengan Ui Bun Ting, kemudian menyebar ke seluruh tubuh dan mengusir racun yang mengeram di dalamnya. Uap seolah-olah keluar dari dalam tubuh ketua Tiam-jong-pai itu.
Uap berwarna kekuningan yang diikuti pula oleh merembesnya keringat berbau amis yang luar biasa banyaknya. Semua orang yang ada di dalam ruangan itu terbelalak matanya. Semuanya merasa kaget dan ngeri. Apalagi ketika menyaksikan keringat yang mengalir itu berwarna kehitaman dan mengotori pakaian Ui Bun Ting.
Dan beberapa waktu kemudian semuanya menjadi lega ketika Ui Bun Ting membuka matanya. Wajah orang tua itu telah berubah menjadi kemerah-merahan kembali. Liu Yang Kun melepaskan tangannya lalu sambil berpura-pura mengusap peluhnya ia menyimpan kembali Po-tok-cunya.
"Sekarang biarlah Ui Ciang-bun beristirahat sebentar sambil memulihkan tenaganya. Racun yang ada di dalam tubuhnya telah hilang......" katanya perlahan sambil memandangi keluarga ketua Tiam-jong-pai itu satu-persatu.
"Terima kasih, Tai-hiap... terima kasih!" lelaki separuh baya itu tiba-tiba berlutut di depan Liu Yang Kun seraya menyatakan terima kasihnya yang kemudian diikuti pula oleh seluruh keluarga Ui yang ada di dalam kamar tersebut.
Repot juga hati Liu Yang Kun menerima penghormatan itu. Sambil menyeringai kikuk pemuda itu menoleh ke arah Yap Kiong Lee. "Sudahlah...! Marilah kita duduk di ruang depan! Kami berdua ingin mendengar kisahnya, bagaimana asal-mulanya semua kejadian ini..."
Yap Kiong Lee cepat menengahi dan menarik tubuh lelaki setengah baya itu ke atas, kemudian mengajaknya ke ruang depan. Otomatis yang lain lalu berdiri puIa dan mengikuti langkah lelaki setengah baya tersebut. Dan Liu Yang Kun pun kemudian melangkah pula mengikuti mereka. Namun sebelum beranjak dari tempatnya pemuda itu masih mendengar desis ucapan Ui Bun Ting yang ditujukan kepadanya.
"Terima kasih, Tai-hiap..."
Demikianlah di ruang depan lelaki setengah-baya itu lalu bercerita tentang kakaknya. "Ui Bun Ting sejak kecil memang mempunyai watak dan perangai yang berbeda dengan saudara-saudaranya. Dia lebih suka ngeluyur dan bermain-main di luar rumah dari pada belajar dan berkumpul dengan saudara-saudaranya. Ui Bun Ting gemar berkelahi dan sering membuat onar. Bahkan di dalam usianya yang masih kecil itu ia sudah kerap-kali kabur meninggalkan rumah. Dan kelakuannya tersebut semakin bertambah menjadi-jadi pula ketika usianya mulai menginjak remaja.
"Dan puncak dari semua kebengalannya itu adalah ketika ia membunuh orang didalam suatu perkelahian. Ui Bun Ting yang bengal itu menjadi ketakutan. Takut kepada ayah ibunya dan juga takut kepada para petugas keamanan yang tentu akan menangkapnya. Dalam ketakutannya Ui Bung Ting lalu minggat melarikan diri. Lari meninggalkan kampung haIamannya.
"Kali ini Ui Bun Ting sungguh tidak tanggung-tanggung di dalam minggatnya. Sepuluh tahun kemudian ia baru pulang ke kampungnya, ke tengah-tengah keluarganya. Dan saat itu pula Ui Bun Ting telah tumbuh menjadi seorang pemuda dewasa yang tampan dan gagah. Bahkan Ui Bun Ting juga telah memiliki ilmu silat yang tinggi pula. Selain dari pada itu ternyata sifat dan kelakuannya juga telah berubah. Ui Bun Ting telah menjadi pemuda yang baik, sopan dan lihai.
"Tapi ternyata Ui Bun Ting tidak betah tinggal terlalu lama di rumahnya. Dia lebih suka berada di tempat perguruannya, yaitu perguruan Tiam-jong-pai, Cin-an. Dia lebih suka berdekatan dan melayani gurunya, ketua Partai Tiam-Jong-pai yang terkenal pada waktu itu. Hanya kadang-kadang saja Ui Bun Ting pulang untuk menengok ayah ibunya.
"Suatu saat Ui Bun Ting pulang membawakan seorang wanita, pendekar dari Aliran Im-Yang-kauw. Namanya adalah Han Sui Nio. Belakangan dikatakan kepada ayahnya bahwa wanita itu adalah calon isterinya. Tapi beberapa tahun kemudian ternyata Ui Bun Ting membawa pulang wanita lain. Bahkan wanita yang bernama Siauw Hong Li itu katanya telah dikawininya. Tentu saja ayahnya menjadi heran dan menanyakan keadaan Han Sui Nio. Namun dengan enaknya Ui Bun Ting menjawab bahwa mereka tak jadi menikah.
"Setelah itu Ui Bun Ting jarang sekali pulang. Ui Bun Ting hanya pulang ketika ayahnya meninggal dunia. Dan saat itu pula seluruh keluarganya tahu bahwa Ui Bun Ting telah berpisah pula dengan Siauw Hong Li, dan kini Ui Bun Ting telah diangkat sebagai Ciang-bun-jin (ketua perguruan) Tiam-jong-pai.
"Begitulah, setelah belasan tahun Ui Bun Ting tak pernah menampakkan batang hidungnya pula, tiba-tiba tadi siang telah muncul kembali di rumah itu. Dan kedatangannya kali ini ternyata juga amat mengejutkan seluruh keluarganya, karena Ui Bun Ting yang kini telah berumur limapuluhan tahun itu datang bersama Han Sui Nio, wanita yang batal ia nikahi dulu. Dan maksud kedatangannya itu adalah untuk memohon doa dan perkenan dari ibunya untuk menikah dengan kekasih lamanya itu.
"Namun belum juga mereka itu selesai berbicara, ternyata datang pula beberapa orang tamu yang tak dikenal. Begitu datang tamu-tamu yang berperangai jahat itu lalu berselisih dengan Han Sui Nio. Mereka segera berkelahi. Tetapi salah seorang dari tamu itu ternyata lihai sekali. Meskipun Ui Bun Ting datang membantu kekasihnya, keduanya tak mampu mengalahkannya. Bahkan Ui Bun Ting dapat dilukainya dan Han Sui Nio dibawa pergi.
"Kami sekeluarga tak ada yang berani keluar untuk membantu, karena tak seorangpun diantara kami semua yang dapat bermain silat. Jangankan hendak menolong, sedangkan untuk melihat atau mengikuti gerakan merekapun kami tak bisa. Mereka bergerak seperti bayang-bayang yang saling membelit dan berputar cepat sekali…" lelaki setengah baya itu menutup ceritanya dengan menghela napas panjang.
"Ah, lihai benar tamu itu, sehingga Ui Ciang-bun pun tak kuasa mengatasinya. Sungguh mengherankan sekali. Siapa sebenarnya mereka itu...?" Yap Kiong Lee menatap Liu Yang Kun dan bergumam perlahan.
"Dia adalah Giok-bin Tok-ong!" tiba-tiba terdengar suara Ui Bun Ting di belakang mereka.
"Giok-bin Tok-ong…? Eh, Ui Ciang-bun… mengapa kau turun dari pembaringanmu?" Yap Kiong Lee tersentak kaget. Benar-benar kaget sekali.
Ternyata semuanyapun menjadi kaget pula melihat kedatangan Ui Bun Ting. Mereka bergegas menyambutnya dan membawanya duduk diantara mereka. Dan semuanya memandanginya dengan heran karena saudara mereka itu telah bisa berjalan kembali, walaupun masih lemah.
"Maaf, aku tak tahan untuk berbaring terus. Aku ingin cepat-cepat berkenalan dengan orang yang menolongku. Aku belum sempat mengingat-ingat namanya tadi...." Ui Bun Ting cepat memberi keterangan. Kemudian ketua Partai Tiam-jongpai itu berdiri pula kembali. Ia menjura dengan hormat kepada Liu Yang Kun. Ucapnya perlahan namun jelas dan terang. "Tai-hiap...? bolehkah aku yang tua ini mengetahui nama dan gelarmu?"
Sekejap Liu Yang Kun menjadi bingung. Pemuda itu tak tahu harus menjawab bagaimana. Oleh karena itu matanya segera mengawasi Yap Kiong Lee untuk meminta pertimbangan. Yap Kiong Lee cepat berdiri di depan Ui Bun Ting. Dengan sikap yang halus dan cerdik ia menjawab pertanyaan orang tua itu. "Maaf, Ui Ciang-bun…sahabatku ini menderita penyakit 'lupa ingatan‘. Dia sama sekali sudah lupa masa lalunya. Dia sudah tak bisa mengingat lagi siapa dirinya, ayah ibunya, keluarganya dan semua handai-taulannya. Bahkan ia juga sudah lupa pula akan namanya sendiri. Oleh karena itu... maafkanlah apabila dia tak bisa menjawab pertanyaanmu."
"Haaah....? dia sakit "lupa ingatan‘...?" Semuanya menjadi kaget, ragu dan tak percaya. Bahkan Ui Bun Ting sendiri juga tertegun pula ditempatnya. Semuanya baru sekali ini mendengar ada penyakit seaneh itu.
Yap Kiong Lee menarik napas panjang. Dia bisa memaklumi perasaan mereka, karena dia sendiripun juga berperasaan seperti mereka itu pula ketika mendengar yang pertama kali. Oleh karena itu dia lalu menjelaskannya dengan hati-hati semua yang terjadi pada sahabatnya itu, tanpa sedikitpun menyebutkan bahwa pemuda itu adalah Pangeran Liu Yang Kun.
"Jadi... Jadi Tai-hiap itu juga pernah bertarung dengan Giok-bin Tok-ong pula? Aaah...!" Ui Bun Ting berdecak dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Matanya semakin memancarkan sinar kekaguman.
"Sudahlah, Ui Ciang-bun... aku pun tak mengetahui yang lebih banyak lagi tentang dia, karena aku sendiri juga baru mengenalnya kemarin."
"Hah? Jadi....?"
"Sudahlah. Sekarang lebih baik Ciang-bun saja yang ganti bercerita kepada kami, kenapa Ui Ciang-bun sampai bermusuhan dengan Giok-bin Tok-ong..." Yap Kiong Lee cepat-cepat memotong agar Ui Bun Ting tidak banyak bertanya lagi.
Tiba-tiba ketua Partai Tiam-jong-pai itu terdiam sedih. Wajahnya tertunduk lesu. Matanyapun tampak berkaca kaca. Agaknya bayangan Han Sui Nio yang diculik oleh Giok-bin Tok-ong itu kembali menggoda hatinya.
"Hal ini sebenarnya adalah persoalan pribadi kami. Malu rasanya kalau harus diceritakan kepada orang lain. Tapi... tak apalah kalau harus kuceritakan juga kepada Ji-wi taihiap. Bagaimanapun juga aku sudah berhutang budi kepada Taihiap berdua. Rasanya jiwaku ini sudah tidak tertolong lagi kalau tidak ada ji-wi tai-hiap..."
Ui Bun Ting berhenti sebentar untuk mengambil napas. Wajahnya terangkat dan matanya menatap Liu Yang Kun maupun Yap Kiong Lee berganti-ganti. Kemudian dengan jelas dan tidak tergesa-gesa ia bercerita tentang dirinya, tentang hubungannya yang kurang lancar dengan Han Sui Nio atau Si Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai itu.
Ui Bun Ting berkenalan dengan Han Sui Nio ketika ia ikut gurunya berkunjung ke Gedung Pusat Aliran Im-Yang-kauw di Sian-yang. Dan perkenalan itu ternyata berkembang menjadi hubungan cinta yang mendalam. Mereka berdua bercita-cita untuk melanjutkan hubungan mereka itu ke dalam jenjang perkawinan. Apalagi para orang tua maupun guru dalam perkumpulan masing-masing juga merestui hubungan mereka tersebut.
Tapi memang dasar belum jodoh mereka. Hubungan batin yang telah mereka pupuk dengan baik itu tiba-tiba seperti dihempas oleh gelombang pasang dengan kedatangan pihak ketiga. Seorang gadis cantik murid ketua perguruan Ngo biepai tiba-tiba muncul di dalam kehidupan Ui Bun Ting. Gadis yang di dalam segala hal melebihi Han Sui Nio ternyata mampu menjerat dan mengalihkan perhatian Ui Bun Ting.
Segala macam petuah dan nasehat yang diberikan oleh orang-orang tua tidak juga bisa menyadarkan keduanya. Ui Bun Ting nekad meninggalkan Han Sui Nio dan mengawini Siauw Hong Li, murid Ngo-bie-pai itu. Di dalam 'kelupaannya' itu Ui Bun Ting sama sekali sudah tak ingat lagi akan nasib Han Sui Nio yang telah dia sia-siakan itu.
Namun mahligai perkawinan yang dibangun di atas puing-puing penderitaan orang lain itu ternyata tidak bisa bertahan lama. Ternyata Siauw Hong Li memiliki sifat yang liar terhadap lelaki. Wanita cantik itu mempunyai nafsu yang sangat besar dan tidak puas hanya dengan satu lelaki. Beberapa bulan saja sejak perkawinannya, ia sudah berani main gila dengan lelaki lain.
Tentu saja Ui Bun Ting menjadi marah sekali. Lelaki yang berani main gila dengan isterinya itu dibunuhnya dan Siauw Hong Li pun lalu diceraikannya pula. Di dalam kemarahan dan kesedihannya Ui Bung Ting lalu bertapa mengasingkan diri. Ia benar-benar malu dan terpukul hatinya, hingga ia menjadi malu pula bertemu dengan orang lain.
Dan ia baru mau keluar dari pertapaannya ketika belasan tahun kemudian disusul oleh adik-adik seperguruannya. Dia bersedia pulang kembali ke Tiam-jong pai, karena gurunya yang tercinta telah meninggal dunia. Dan gurunya itu menunjuk dirinya sebagai pewaris kursi ketua Partai Tiam-jong-pai.
Sementara itu karena malu, marah dan dendam, Han Sui Nio juga minggat pula dari Im-Yang-kauw. Gadis itu berjalan terlunta-lunta seorang diri di dunia persilatan yang kejam dan ganas. Yang membara di dalam hati gadis itu hanyalah perasaan dendam dan sakit hati karena ditinggalkan kekasihnya itu. Hanya satu yang menjadi cita-cita gadis itu, yaitu membalas dendam kepada Ui Bun Ting dan Siauw Hong Li.
Api dendam membuat rusak jiwa Han Sui Nio. la mulai bergaul dengan orang jahat yang sekiranya bisa memberi bekal ilmu kepadanya. Dan pada saat yang seperti itulah ia berkenalan dengan Ang-leng Kok-jin, dari perguruan Lembah Tak Berwarna. Dengan hati yang telah berubah menjadi kelam karena dendam itu, maka Han Sui Nio dengan mudah jatuh ke dalam pelukan Ang-leng Kok-jin. Keduanya menjadi suami isteri.
Selain ingin berguru, Han Sui Nio memang memiliki maksud tertentu di dalam perkawinannya itu. Ia ingin mempergunakan kedahsyatan ilmu silat Ang-leng Kok-jin untuk menghadapi Tiam-jong-pai dan Ngo-bie-pai. Pokoknya ia harus membunuh mati Ui Bun Ting dan Siauw Hong Li, serta membumihanguskan pula seluruh perguruan Tiam-jong-pai dan Ngo-bie-pai.
Namun cita-citanya itu ternyata tak pernah terlaksana. Ketika pada suatu hari ia dan Ang-leng Kok-jin datang ke Tiam-jong-pai untuk menuntut balas, ternyata Ui Bun Ting sudah tidak ada disana. Begitu pula halnya ketika mereka mencari Siauw Hong Li di Ngo-bie-pai. Wanita genit itupun sudah tidak ada pula di tempatnya. Dan satu-satunya yang dapat mereka lakukan untuk melampiaskan kemarahan dan kemendongkolan mereka hanyalah mengamuk dan menimbulkan kerusakan yang sebesar-besarnya di kedua perguruan itu.
Dan di dalam bidang rusak-merusak ini memang Ang-leng Kok-jin lah jagonya. Dengan kekejamannya yang tiada tara, serta dengan kemahirannya dalam mempergunakan racun, Ang-leng Kok-jin benar-benar seperti iblis yang haus darah dan mengerikan. Apalagi di dalam partai persilatan itu tiada seorangpun yang mampu mengungguli ilmu silatnya. Maka sungguh tidak mengherankan bila korban yang jatuhpun menjadi tidak terhitung pula jumlahnya.
Tapi tindak kebrutalan itu sendiri ternyata menimbulkan gelombang kemarahan di kalangan para pendekar persilatan. Seperti ada yang memberi komando, maka para pendekar persilatan pun lantas berbondong-bondong mencari An leng Kok-jin dan Han Sui Nio. Dan dunia kang-ouw pun lalu terjadi peristiwa-peristiwa yang menarik karena ulah mereka.
Han Sui Nio dan Ang-leng Kok-jin tetap mencari dan memburu Ui Bun Ting serta Siauw Hong Li. Tapi sementara itu setiap saat merekapun harus berlari dan menghindarkan diri pula dari gempuran para pendekar, sebab bagaimanapun juga lihainya Ang-leng Kok-jin, mereka berdua tak bisa terus-menerus melayani serbuan para pendekar itu. Demikianlah setelah bertahun-tahun mereka mencari, akhirnya Siauw Hong Li dapat mereka ketemukan juga.
Tapi diluar dugaan Han Sui Nio, kali ini jagonya tiba-tiba melempem di hadapan musuh besarnya itu. Ang-leng Kok-jin yang kejam dan garang itu tiba-tiba tak berkutik ketika berhadapan dengan 'jago' Siauw Hong Li! Ternyata Siauw Hong Li telah mendapatkan seorang pelindung pula, yaitu Giok-bin Tok-ong, guru dari Ang-leng Kok-jin sendiri, sehingga ketika mereka berdua, guru dan murid itu bertarung, maka Ang-leng Kok jin lah yang menderita kekalahan.
Jago Han Sui Nio itu terluka parah di tangan gurunya sendiri! Terpaksa dengan perasaan sedih dan kecewa Han Sui Nio membawa suaminya menyingkir dari depan lawannya. Mereka berdua bersembunyi sambil berusaha mencari akal untuk menghadapi lawannya itu.
Ang-leng Kok-jin memang tidak mungkin menang melawan gurunya sendiri, sebab bagaimanapun juga semua ilmunya itu adalah pemberian gurunya. Tentu saja Giok-bin Tok-ong memiliki ilmu yang lebih lengkap dan lebih banyak dari pada dia. Satu-satunya jalan untuk memenangkannya hanyalah apabila dia bisa belajar selengkap dan sebanyak gurunya itu.
Oleh karena itu lalu diputuskan oleh Han Sui Nio dan Angleng Kok-jin bahwa mereka harus bisa mendapatkan Im-Yang Tok-keng dan Po-tok-cu, pusaka warisan leluhur perguruan Lembah Tak Berwarna. Namun karena barang itu berada di tangan Giok-bin Tok-ong, maka mereka harus bisa mencari jalan dan siasat untuk mengelabuhinya.
Mereka berdua harus bisa mendekati Giok-bin Tok-ong. Sukur bisa memperoleh kepercayaannya kembali. Kalau berdua tidak dapat, maka Han Sui Nio bersedia melakukannya sendirian. Sebab Han Sui Nio tahu bahwa kelemahan Giok-bin Tok-ong adalah perempuan. Namun demikian mereka harus menunggu apabila Giok-bin Tok-ong sudah tidak mempunyai kawan wanita lagi. Dan kesempatan tersebut akhirnya datang juga. Siauw Hong Li itu akhirnya pergi juga meninggalkan Giok-bin Tok-ong.
Maka Han Sui Nio pun lalu pura-pura datang sendirian mencari Siauw Hong Li. Kemudian dengan berbagai macam siasat serta bujuk rayu, berhasillah Han Sui Nio mendekati Giok-bin Tok-ong. Bahkan saking pintarnya melayani kakek iblis itu, maka Han Sui Nio pun segera memperoleh kepercayaannya pula.
Begitulah, dengan segala macam siasat dan tipu-dayanya, akhirnya setahun kemudian Han Sui Nio bisa membawa lari kedua buah pusaka itu. Betapa marahnya Giok-bin Tok-ong tak bisa dilukiskan lagi. Dicari dan diburunya terus wanita yang telah memperdayakannya itu, kemanapun juga wanita itu bersembunyi.
Sementara itu Han Sui Nio pun sudah bergabung pula kembali dengan Ang-leng Kok-jin. Mereka berlari dan selalu berpindah-pindah tempat untuk menghindarkan diri dari kejaran Giok-bin Tok-ong. Sambil berlari dan bersembunyi Ang-leng Kok-jin mencoba mempelajari buku warisan leluhurnya itu.
Tapi ilmu yang tercatat di dalam buku Im-Yang Tok-keng itu ternyata sukar sekali dipelajari. Ilmu tersebut harus dipelajari dengan tenang, sabar serta dengan ketekunan yang luar biasa. Maka dari itu untuk mempelajarinya dengan sungguh-sungguh, harus dibutuhkan tempat yang sunyi serta jauh dari keramaian dunia. Oleh karena itu sungguh tidak mungkin sekali bila ilmu tersebut dipelajari sambil berlari-lari seperti Ang-leng Kok-jin itu.
Dan hal ini sebenarnya disadari pula oleh Ang-leng Kok-jin. Bahkan murid Giok-bin Tok-ong itu sudah mengetahuinya sejak dulu. Dia memang mempunyai sebuah rencana rahasia di dalam hal ini. Sebagai murid Giok-bin Tok-ong yang culas dan jahat, wataknyapun memang tidak jauh berbeda pula. Kalau tidak demikian, masakan ia tega mengumpankan isterinya sendiri ke tangan gurunya?
Demikianlah, setelah waktunya dirasa tepat, maka pada suatu hari Ang-leng Kok-jin kabur meninggalkan Han Sui Nio. Dan wanita yang selama beberapa tahun menjadi isterinya itu dibiarkannya terlunta-lunta sendirian menghadapi Giok-bin Tok-ong.
Dapat dibayangkan, betapa marah, sakit hati dan sengsara keadaan Han Sui Nio pada waktu itu. Semua pengorbanan yang telah ia lakukan selama ini ternyata sia-sia belaka. Akhirnya ia tetap tak bisa membalaskan api dendam yang menyala di dalam hatinya. Bahkan nasib telah menyeretnya ke dalam lembah kesengsaraan dan penderitaan yang semakin dalam lagi.
Dan semua kepedihan itu menjadi semakin lengkap pula ketika ia ketahui dirinya sedang hamil. Ternyata ketegangan demi ketegangan yang ia alami selama dalam pengejaran Giok-bin Tok-ong itu telah membuatnya 'lupa' atau kurang perhatian terhadap keadaan tubuhnya sendiri.
Begitulah, semua cobaan itu tampaknya sudah tidak tertahankan lagi bagi Han Sui Nio. Demikian beratnya sehingga ia memutuskan untuk mati saja dari pada terus-terusan hidup didalam penderitaan....