Memburu Iblis Jilid 35 karya Sriwidjono - "Ya-ya! Tapi... ah! Biarlah semuanya itu kita pikirkan saja nanti setelah penyakitku ini sembuh." Liu Yang Kun cepat menjawab dengan suara berat. Wajahnya kelihatan pucat seperti sedang menahan beban perasaan yang amat berat.
Tentu saja Souw Thian Hai menjadi bertanya-tanya di dalam hatinya. Tapi pendekar sakti itu tak mau ikut campur dalam percakapan itu. Ia pura-pura sibuk mengendalikan sampan mereka. "Ada sesuatu yang aneh pada pangeran muda ini..." katanya di dalam hati. Kemudian pendekar sakti itu teringat akan Souw Lian Cu, puterinya. Diam-diam hatinya menjadi sedih.
"Rasanya aku seperti melihat getaran cinta diantara mereka berdua. Tapi kenapa nasib seakan-akan selalu memisahkan mereka? Apakah mereka itu memang benar-benar tidak berjodoh?"
Demikianlah, selagi pendekar sakti itu memikirkan hubungan Souw Lian Cu dengan Pangeran Liu Yang Kun, maka di tempat lain Souw Lian Cu sendiri juga sedang berpikir pula tentang hubungannya dengan Liu Yang Kun. Saat itu Souw Lian Cu juga sedang dalam perjalanan ke kota Cin-an pula bersama rombongan Ui Bun Ting. Mereka belum begitu jauh dari kota Lai ying karena keberangkatan mereka memang jauh tertunda akibat kegemparan semalam.
Dan kuda serta kereta yang mereka pergunakan juga tidak dapat mereka kendarai dengan cepat pula, karena kesehatan Ui Bun Ting yang belum baik. Souw Lian Cu berkuda sendirian di depan. Sedang kereta yang ditumpangi Ui Bun Ting, Han Sui Nio dan Tui Lan beserta bayinya, berada di belakangnya. Dan sebagai pengawal dari rombongan tersebut adalah orang-orang Tiam jong-pai yang menyusul Ui Bun Ting tadi malam. Mereka berkuda di belakang kereta.
Tak ada sinar kegembiraan di wajah Souw Lian Cu. Gadis ayu itu lebih banyak merenung di atas punggung kudanya. Hanya sesekali ia tampak melirik atau memandang dengan sudut matanya ke arah kereta, dimana Tui Lan bersama bayinya berada. Gadis ayu itu merasa bahwa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Tui Lan terhadapnya, namun ia tak tahu apa yang disembunyikan oleh sahabatnya itu.
Gadis itu hanya bisa mengingat bahwa sejak siuman dari pingsannya, sahabatnya itu bersikap amat aneh. Yaitu seperti orang yang kaget, bingung dan sedih luar biasa. Dan celakanya, sahabatnya itu tak mau mengatakannya apa yang sedang dideritanya. Bahkan kepada ibunya, Han Sui Nio, Tui Lan juga tak mau berterus terang pula.
"Heran. Dengan akupun ci-ci Tui Lan juga bersikap aneh. Ci-ci Tui Lan seperti selalu menghindari aku. Apa sebenarnya yang dipikirkannya? Apakah ci-ci Tui Lan tak menyukai ibunya kawin dengan Ui Bun Ting?" Souw Lian Cu menerka-nerka di dalam hatinya.
Sebenarnyalah bahwa pada waktu itu Tui Lan sedang mengalami goncangan pikiran yang hebat sekali. Pertemuannya yang tak terduga dengan Liu Yang Kun, yang selama ini telah ia anggap mati, benar-benar sangat menggoncangkan jiwanya. Dia seperti mendapatkan sebuah mukjijat. Namun di lain pihak, ketika ia sadar bahwa kemunculan suaminya itu bersama dengan Tiauw Li Ing dan Souw Lian Cu, kegembiraan itu tiba-tiba seperti hilang kembali.
Bahkan kehilangan tersebut seperti meninggalkan bekas-luka yang menyakitkan di dadanya. Tiba-tiba ia merasa semua kesedihan dan kesengsaraan di dunia ini tertimbun dipundaknya. Apalagi ketika diketahuinya, suaminya itu pergi ke Cin-an tanpa sedikitpun mempedulikannya. Semalam, begitu siuman dari pingsannya, yang dicari Tui Lan adalah Liu Yang Kun. Ia segera bangkit dari pembaringannya. Matanya nanar melihat kesana-kemari.
Bahkan ketika di dalam kamar itu hanya ada ibunya dan keluarga Ui Bun Ting yang lain ia berlari keluar. Ke ruang-tengah, dimana terdengar suara orang banyak bercakap-cakap. Namun di ruang tengah itupun Tui Lan juga tidak dapat melihat wajah Liu Yang Kun. Yang ada hanya Ui Bun Ting dan beberapa orang saudaranya. Mereka sedang berbincang ramai dengan Souw Lian Cu, yang tampaknya baru saja masuk ke rumah itu. Sedang di luar rumah, di jalan raya, terdengar suara ribut para penduduk yang berlarian sambil menangis dan menjerit-jerit.
"Hei, Lan-ji...? Ada apa?" Ui Bun Ting yang belum sembuh dari pengaruh racun Giok-bin Tok-ong itu cepat menyapa Tui Lan.
Sementara Han Sui Nio yang mengejar Tui Lan dari dalam kamarpun telah berada di belakangnya pula. Dengan perasaan khawatir wanita tua itu memeluk Tui Lan dari belakang. "Tui Lan? Apa yang kau cari, nak? Kau mencari bayimu...? Jangan khawatir! Dia ada di kamar belakang. Dia sedang tidur," wanita tua itu membujuk.
Namun dengan tegas Tui Lan menggelengkan kepalanya. Matanya tetap nanar mencari kesana kemari. Ui Bun Ting saling pandang dengan Han Sui Nio.
"Lan-ji....! Apakah engkau mencari Giok-bin Tok-ong?" dengan hati-hati ketua Tiam-jong-pai itu bertanya.
Tui Lan tidak menjawab. Tiba-tiba saja gadis itu berlari ke pintu dan melesat ke jalan raya dengan cepatnya. Dan gadis itu menjadi kaget sekali menyaksikan penduduk yang berlarian di depan rumah itu. Dan kekagetannya itu semakin menjadi jadi pula tatkala melihat tembok depan yang roboh serta kubangan yang dalam di depan rumah tersebut. Ketika Tui Lan hendak berbalik untuk menanyakan semuanya itu, ternyata mereka telah datang kepadanya.
"Ibu...! Oh, ibu! Apa yang telah terjadi? Apa artinya semua ini...?" akhirnya Tui Lan menjerit dan menubruk ibunya.
Han Sui Nio cepat memeluk dan mengusap rambut Tui Lan. Dengan lembut dibawanya gadis itu ke dalam rumah kembali. Diambilnya sebuah kursi, kemudian Tui Lan disuruhnya duduk dengan baik. Sedangkan yang lain-lain segera mencari tempat duduk sendiri-sendiri, sambil menunggu di sekitar kursi Tui Lan. Tak seorangpun yang menyangka kalau gadis itu sedang mencari Liu Yang Kun. Semuanya mengira kalau Tui Lan sedang mencari Giok-bin Tok-ong, yang pada saat-saat terakhir tadi baru diketahui oleh gadis itu sebagai ayahnya.
Oleh karena itu dengan perlahan-lahan dan hati-hati Ui Bun Ting mencoba untuk menerangkannya. Namun sebelumnya ketua Tiam-jong-pai itu mengerling dahulu ke arah Souw Lian Cu, karena orang tua itu juga baru saja mendengar nasib Giok bin Tok-ong dari gadis ayu itu.
Ketika gadis ayu berlengan tunggal itu juga menganggukkan kepalanya, maka Ui Bun Ting pun menjadi semakin mantap untuk bercerita. Mula-mula dia nasehatkan agar Tui Lan tidak berkecil hati ataupun bersedih karena memiliki ayah seperti Giok-bin Tok-ong itu. Setelah itu dengan hati-hati Ui Bun Ting bercerita pula tentang sepak terjang ayah Tui Lan pada malam itu.
Bagaimanakah kakek jahat itu ketika menculik Han Sui Nio dan membunuhi anggauta keluarga Ui. Dan bagaimana pula ketika kakek jahat itu melukai dirinya dan hampir membunuh Han Sui Nio, ibu Tui Lan. Untunglah mereka semua diselamatkan oleh Pangeran Liu Yang kun dan pengawalnya, Hong-lui kun Yap Kiong Lee. Sehingga akhirnya terjadilah peristiwa mengerikan di depan rumah itu, Giok-bin Tok-ong mati oleh ledakan peluru pek-lek-tannya sendiri!
"'Oooh…!" Tui Lan mengeluh pendek seraya menutupi mukanya.
"Kau sendiri juga hampir dibunuhnya pula, Lan-ji! Ayahmu memang bersumpah akan membasmi semua anak keturunannya sendiri." Han Sui Nio ikut menyambung cerita Ui Bun Ting.
"Benar. Untunglah Hong-gi-hiap Souw Thian Hai ayah Nona Souw ini, bersama-sama dengan Pangeran Liu Yang Kun segera menolongmu." Ui Bun Ting menambahkan.
Dengan cepat Tui Lan tengadahkan kepalanya. "Hong gihiap Souw Thian Hai dan Pangeran Liu Yang Kun,...?" desisnya. "Lalu... lalu kemanakah mereka itu sekarang?"
"Ayah dan Pangeran Liu Yang Kun telah pergi mendahului ke kota Cin-an, Ci-ci...!" Souw Lian Cu yang sejak tadi hanya berdiam diri tiba-tiba menyahut.
Tui Lan menoleh dengan kaget sekali. Gadis itu seperti baru menyadari bahwa Souw Lian Cu juga berada di tempat itu. Dan tiba-tiba gadis itu menjerit sambil menutup wajahnya. Selanjutnya tangisnya meledak dan tak bisa dihibur atau dihentikan lagi. Terpaksa Han Sui Nio memapahnya memasuki kamar.
Demikianlah pagi harinya sikap Tui Lan benar-benar berubah sama sekali. Gadis itu tak mau berbicara sedikitpun. Dia hanya merenung dan meneteskan air mata. Ia segera berlari ke kamar bila ada orang yang mendekatinya. la benar-benar tak mau berbicara dengan siapapun juga. Hanya tangis bayinya saja yang mampu menggugah minatnya.
Namun demikian gadis itu tak menolak ketika diajak berkereta ke kota Cin-an. Hanya saja gadis itu tetap tak mau berbicara dengan siapapun juga. Dan anehnya gadis itu selalu menghindar bila bertatap muka dengan Souw Lian Cu, orang yang pernah menyelamatkan nyawanya. Satu-satunya yang dilakukan oleh gadis itu hanyalah menggendong serta membujuk bayinya supaya tidak menangis.
Tentu saja hal itu membuat Ui Bun Ting dan Han Sui Nio sedih sekali. Mereka tetap menyangka bahwa Giok-bin Tokong lah yang menjadi sebab dari kesedihan Tui Lan itu. Gadis itu tak tahan menerima kenyataan bahwa ia adalah puteri seorang iblis jahat. Namun demikian kedua orang tua itu juga percaya bahwa kesedihan puteri mereka itu tentu hanya sementara pula. Besok pagi atau lusa tentu telah sembuh lagi.
Begitulah, seperti yang telah diceritakan di bagian depan, mereka semua berangkat ke kota Cin-an dengan kereta dan kuda. Ui Bun Ting dan Han Sui Nio yang tak ingin mendapatkan gangguan ataupun kesulitan lagi di dalam perjalanannya sengaja menutup diri di dalam kereta bersama Tui Lan. Sedangkan Souw Lian Cu dan kedua pengawal Ui Bun Ting yang datang dari Tiam-jong-pai itu penunggang kuda di belakang mereka.
Rombongan itu melaju dengan cepatnya ke arah barat, menyusuri jalan yang sama dengan jalan yang ditempuh oleh rombongan Yap Kiong Lee semalam. Mereka memacu kuda dan kereta mereka seolah-olah mereka sedang berpacu dengan matahari yang merangkak di atas punggung mereka. Bahkan Souw Lian Cu memacu kudanya lebih cepat lagi, sehingga gadis itu seperti terlepas dari rombongan itu.
Dan sementara itu di tempat lain, jauh di depan mereka, yaitu di tempat penyeberangan sungai Huang-ho, rombongan Yap Kiong Lee justru sedang terlibat dalam keributan yang kacau balau, sebuah keributan yang berlangsung di tengah-tengah sungai, yang melibatkan belasan atau puluhan jago-jago silat dari dunia persilatan.
Dan telah diceritakan pula di bagian depan bahwa rombongan Yap Kiong Lee itu telah kehilangan jejak Lo-sin-ong, yang semua mereka lihat lewat dekat sampan mereka. Dan karena mereka tidak bisa menemukan buruan mereka tersebut maka merekapun lalu meneruskan kembali arah tujuan mereka semula, yaitu ke perahu besar di tengah-tengah sungai, dimana keributan itu terjadi.
Namun untuk mencapai ke perahu besar tersebut sungguh tidak mudah. Gelombang dan arus air di bagian tengah sungai itu segera menyambut mereka. Sampan mereka segera meliuk-liuk, berputar putar dan timbul-tenggelam ditelan ombak. Begitu ganasnya arus sungai tersebut sehingga mereka bertiga benar-benar harus mengerahkan segala kemampuan dan kesaktian mereka.
Demikianlah, berkali-kali sampan kecil itu harus jungkir balik dan timbul tenggelam dihantam gelombang yang ganas. Namun pada waktu gelombang itu tiba-tiba agak mereda ternyata sampan itu telah berada di samping perahu besar tersebut.
Lega benar hati Yap Kiong Lee bertiga. Dengan pakaian yang basah oleh percikan air sungai, mereka bertiga segera melambung ke atas geladak perahu besar itu. Tapi belum juga kaki mereka menginjak lantai perahu, segulung asap tebal yang disertai taburan jarum beracun telah menyongsong kedatangan mereka.
Mereka bertiga cepat menghindar dengan cara masing-masing. Dan otomatis ketiganya berpencar. Yap Kiong Lee yang berada di sebelah kiri cepat melejit ke kiri sambil mengebutkan lengan bajunya ke arah gumpalan asap itu. Sedangkan Souw Thian Hai yang berada di sebelah kanan juga melompat pula ke kanan, sambil tak lupa menyelimutkan mantel pusakanya ke tubuhnya.
Yang agak sulit adalah posisi Liu Yang Kun. Karena pemuda itu berada di tengah-tengah temannya, maka hanya ada dua jalan untuk menghindar gumpalan asap itu. Kembali meloncat ke belakang yang berarti harus mencebur ke dalam sungai, atau melenting ke atas melewati gulungan asap tebal tersebut.
Ternyata Liu Yang Kun memilih jalan yang terakhir. Dengan gin-kang warisan Si Raja Kelelawar pemuda itu menjejakkan kakinya, sehingga tubuhnya melayang ke atas seperti burung garuda yang terbang ke angkasa. Kemudian sambil berjumpalitan beberapa kali pemuda itu mendaratkan kakinya di atas atap perahu. Semua gerakan pemuda itu dilakukan dengan amat gesit dan cepat luar biasa, serta tidak menimbulkan suara atau desir angin yang berarti, sehingga sepintas lalu tubuh yang jangkung itu seperti bayangan hantu yang berpindah tempat begitu saja.
Dan sungguh kebetulan bagi Liu Yang Kun, karena dari atas atap perahu itu dia bisa melihat dengan jelas seluruh keributan yang terjadi di atas perahu besar tersebut. Di ujung haluan perahu yang luasnya hampir mencapai dua belas tombak persegi itu tampak tiga orang berseragam hitam-hitam, kuning-kuning dan putih-putih, dikeroyok oleh sembilan atau sepuluh orang berpakaian macam-macam, sehingga tempat yang luas tersebut terasa sempit oleh gerakan mereka.
Ketiga orang berseragam itu sama sekali tidak memegang senjata, sementara para pengeroyoknya mengepung mereka dengan senjata di tangan. Namun demikian Liu Yang Kun melihat bahwa ketiga orang berseragam itu sama sekali tidak mengalami kesulitan. Bahkan setelah beberapa saat melihat pertempuran itu Liu Yang Kun dapat memastikan bahwa ketiga orang berseragam tersebut akan bisa mengatasi lawan-lawannya.
Sedangkan di bagian lain, yaitu di buritan perahu, Liu Yang Kun melihat sebuah pertempuran yang lain, yang justru lebih seru malah. Bahkan belasan sosok mayat telah tampak berserakan di sekitar pertempuran itu. Semuanya mati dalam keadaan yang sangat mengerikan. Ada yang tubuhnya seperti terbakar dan mengeluarkan bau busuk. Ada yang lukanya menganga dan mengalirkan cairan kuning seperti bubur cair yang banyak sekali. Bahkan ada yang kulit tubuhnya berubah menjadi putih meletak seperti kapur dinding, sementara seluruh rambutnya rontok ke bawah.
"Hmm… tampaknya kepulan asap yang disertai taburan jarum beracun tadi datang dari tempat itu." Liu Yang Kun bergumam perlahan.
Ketika Liu Yang Kun mencoba untuk melihat lebih teliti lagi, maka ia melihat dua orang Ielaki gagah, yang masing-masing telah berusia lebih dari empat puluh tahun, dikeroyok oleh belasan tokoh persilatan yang rata-rata kepandaiannya juga sangat tinggi. Namun demikian kedua orang gagah yang bersenjatakan ular hidup itu ternyata dapat melayani para pengeroyoknya dengan mudah. Bahkan ternyata korban yang berjatuhan di sekeliling pertempuran tersebut adalah hasil amukan mereka pula.
"Heran, ilmu silat kedua orang itu mirip sekali dengan ilmu silat Giok-bin Tok-ong..." sekali lagi Liu Yang Kun bergumam.
Ternyata Liu Yang Kun sama sekali sudah tak ingat lagi bahwa ia sebenarnya pernah bertemu dengan kedua orang itu. Bahkan pernah berkelahi malah. Kedua orang itu memang murid Giok-bin Tok-ong, Kim Hong San dan Tang Hu. Mereka tinggal berdua saja sekarang, karena Nyo Kin Ong telah mati dalam pertempuran melawan anak buah Siang Ki dahulu.
"Grobyaaaaag!" tiba-tiba terdengar suara keras di bawah atap yang diinjak Liu Yang Kun. Liu Yang Kun cepat mendekap di atas seraya bersiap-siaga menghadapi segala kemungkinan. Apa lagi ketika kemudian terdengar suara angin pukulan yang berderak-derak menerjang dinding perahu.
"Ada orang berkelahi di dalam...." pemuda itu berkata didalam hati.
Sementara itu kedua orang murid Giok-bin Tok-ong semakin tampak beringas mendesak lawan-lawannya. Tangan mereka semakin latah mengobral racun-racun pembunuh, sehingga korbanpun menjadi semakin bertambah banyak pula.
Souw Thian Hai yang berada lebih dekat dengan pertempuran tersebut segera mendekati. la menghampiri dua orang lelaki kurus yang juga menonton pertempuran itu. Dua orang itu berdiri di pinggiran perahu, berlindung di dekat tumpukan barang. Dan mereka segera memegang hulu pedang yang terikat di belakang punggung mereka ketika mendengar langkah kaki Souw Thian Hai.
"Souw Thian Hai…" desah mereka kemudian ketika mereka melihat siapa yang datang! Otomatis mereka melepaskan kembali gagang pedang mereka. Bahkan dengan cepat mereka membungkukkah tubuh mereka untuk memberi hormat.
Souw Thian Hai tidak mengenal mereka. Namun sebagai seorang pendekar besar yang namanya sangat tersohor dan dikenal orang ia dapat memahami hal itu. Oleh karena itu dengan sopan pula pendekar itu mengangguk. "Maaf. Semakin tua ingatanku ini menjadi semakin lemah pula. Bolehkah saya bertanya, siapakah sebenarnya tuan berdua ini," Souw Thian Hai bertanya perlahan.
Dengan tersipu-sipu kedua orang lelaki kurus itu membungkukkan tubuhnya lagi. "Ah! Bukannya Taihiap yang telah lupa kepada kami, tapi kami berdualah yang terlalu kecil sehingga tak mungkin orang seperti kami ini dapat berkenalan dengan Tai-hiap. Kami hanyalah dua orang murid rendahan dari Tiam-jong-pai," salah seorang dari mereka cepat menjawab.
Souw Thian Hai menjadi kikuk pula, "Ah... jangan berkata seperti itu. Aku menjadi malu terhadap diriku sendiri. Aku memang sering berkunjung ke Tiam-jong-pai, tapi ingatanku yang terbatas ini tentunya tak bisa mengenal cu-wi satu persatu. Oleh karena itu maafkanlah keterbatasanku ini."
"Kami mengerti, Tai-hiap. Kami berdua memahaminya. Namaku Ong Su, dan ini adikku Ong Kak. Eh... mengapa Taihiap sampai berada disini pula? Bukankah Tai-hiap kemarin sudah berada di Cin-an untuk menghadiri pernikahan Ciang-bun-jin kami?"
Souw Thian Hai tersenyum, kemudian memalingkan pandangannya ke pertempuran yang tampak semakin seru itu. "Aku juga heran melihat ji-wi berada disini. Padahal malam nanti perhelatan itu sudah akan dilaksanakan. Apakah ji-wi sebagai orang Tiam-jong pai tidak ingin menghadiri perkawinan ketuanya?" Souw Thian Hai balik bertanya.
"Kami….. kami eh?!?" dengan gugup kedua orang lelaki itu mengawasi Souw Thian Hai.
Tapi dengan mulut masih tetap tersenyum Souw Thian Hai kembali memandang kedua orang itu. "Jangan gugup, Saudara Ong. Aku tidak mencurigai Ji-wi. Aku justru ingin mengatakan kepada Ji-wi bahwa kedatanganku kemari kemungkinan besar justru sama dengan kepentingan Ji-wi."
Ong Cu dan Ong Kak terkejut. "Apakah... apakah Taihiap juga bermaksud untuk menjemput Ciang-bun-jin kami?" Ong Su berdesah.
"Ya. Dan Ji-wi tak perlu gelisah lagi. Ui Ciang-bun sudah diketemukan. Mungkin sekarang sudah hampir sampai di tempat ini pula."
"Oooh...!" kedua saudara Ong itu berseru gembira.
"Tapi... eh, apakah yang sebenarnya yang terjadi di perahu ini? Mengapa mereka saling berkelahi?" tiba-tiba Souw Thian Hai mengalihkan pembicaraannya.
"Oh, Taihiap. Masalahnya cuma orang-orang dari Lembah Tak Berwarna itu. Mereka menculik seorang gadis dari kampung itu dan hendak membawanya ke seberang. Karena perahu mereka kecil, maka ketika hendak melewati perahu ini mereka lalu berpindah tempat. Tapi di dalam perahu besar ini ternyata mereka ketemu batunya. Seorang pendekar silat berkepandaian tinggi telah merebut gadis itu dari tangan mereka," Ong Su bercerita sambil menunjuk kesana-kemari.
Souw Thian Hai mengerutkan dahinya. "Lalu bagaimana?" desaknya. Ong Su lalu menunjuk ke arah korban yang bergelimpangan di sekitar pertempuran.
"Tapi... orang-orang yang mengejar para penculik itu telah sampai pula kemari. Termasuk kami juga. Kami lalu mengeroyok mereka."
"Lalu.... dimanakah gadis itu?" Souw Thian hai bertanya.
"Disembunyikan oleh pendekar yang merebutnya dari tangan orang-orang Lembah Tak Berwarna itu. Ternyata pendekar tersebut juga bukan orang baik baik pula. Tiga orang anak buahnya segera melabrak kami. Terpaksa kami berpencar untuk melawan mereka...."
"Begitukah? Hmmh?" Souw Thian Hai menggeram.
"Benar, Souw Tai-hiap. Ternyata mereka semua berkepandaian sangat tinggi. Korban segera berjatuhan di tangan mereka. Baik di tangan anak-buah pendekar itu maupun di tangan orang-orang Lembah Tak Berwarna," Ong Kak meneruskan cerita kakaknya.
Tiba-tiba Ong Su menjatuhkan diri berlutut di depan Souw Thian Hai. "Souw Taihiap! Kalau Souw Tai-hiap tidak lekas-lekas membantu kami, orang-orang jahat itu tentu akan membasmi kita semua." Serunya bersemangat.
Souw Thian Hai memandang ke arah pertempuran. "Kalian memang terlalu gegabah melawan mereka. Mereka semua adalah orang-orang dari perguruan ternama. Saya sendiri belum tentu menang melawan mereka. Apalagi kalau majikan dari ketiga orang berseragam itu juga ada disini."
"Ketiga orang berseragam itu? Siapakah mereka, Tai-hiap?"
"Mereka itu orang-orang Ui-soa-pai dari Gurun Go-bi. Dan pendekar yang Ji-wi sebutkan tadi kemungkinan besar adalah pemimpin mereka, yaitu Bok Siang Ki."
"Ui-soa-pai? Bok Siang Ki?" Kedua orang saudara Ong itu menjerit kaget. Dan wajah merekapun segera berubah menjadi pucat.
Souw Thian Hai menarik napas. Katanya kemudian, "Mengapa? Ehm, jangan takut! Mereka justru tidak seberbahaya orang-orang dari Lembah Tak Berwarna itu. Kalaupun Bok Siang Ki itu memang benar-benar berada di sini, kita juga tak perlu takut kepadanya. Aku membawa seorang jago yang bisa menghadapinya."
"Menghadapi Bok Siang Ki? Apakah Taihiap datang bersama Bun-hoat Sian-su....?"
"Bukan! Tanpa Bun-hoat Sian-seng pun pemuda itu bisa menghadapi Bok Siang Ki...!" Souw Thian Hai berkata mantap seraya menunjuk ke arah Liu Yang Kun yang bertengger di atas atap perahu.
"Pemuda itu….?" Ong Su dan Ong Kak berdesah tak percaya.
Souw Thian Hai tersenyum. Sambil melangkah mendekati pertempuran ia berkata, "Jangan remehkan dia. Meski masih muda tapi kesaktiannya tidak kalah dengan Bok Siang Ki. Lihat saja nanti. Nah, sekarang biarlah aku menolong teman-teman Ji-wi dahulu. Kasihan mereka."
Dan kedatangan Souw Thian Hai pun segera tercium pula oleh Kim Hong San dan Tang Hu. Kedua orang murid Giok-bin Tok-ong itu segera menyongsongnya dengan taburan pasir beracun. Namun hanya dengan mengebutkan mantel pusakanya Souw Thian Hai bisa merontokkannya ke bawah. Sebaliknya pendekar sakti itu lalu membalasnya dengan pukulan jarak-jauhnya.
Siuut! Siiiut! Taas! Duk!
Sambaran-sambaran angin tajam segera melanda jago dari Lembah Tak Berwarna itu. Dan ketika mereka mencoba untuk menangkisnya, maka hati merekapun menjadi kaget setengah mati. Kedua ujung lengan baju Kim Hong San terputus bagian ujungnya, seolah-olah dipotong dengan pisau tajam. Sementara keadaan Tang Hu lebih parah lagi. Bagian punggung tangannya yang ia pakai untuk menangkis pukulan angin tajam itu tampak terluka dan berdarah, seperti tergores oleh ujung pedang.
"Gila! Kau siapa...!" Kim Hong San berteriak.
Souw Thian Hai hendak menjawab. Namun sebelum mulutnya terbuka, orang-orang yang baru saja bertempur dengan Kim Hong San itu telah menyebut namanya.
"Hong-gi-hiap Souw Thian Hai...?" mereka berdesah gembira.
"Huh! Jadi kaukah pendekar yang sangat disohorkan orang itu! Pantas! Pantas! ilmu silatmu sedemikian hebatnya..." Kim Hong San menggeram.
"Kita harus berhati hati, su-heng," Tang Hu bergumam pula seraya mengobati lukanya.
Souw Thian Hai mengedikkan kepalanya. Dengan nada marah ia membentak, "Jadi kaliankah penjahat yang suka memperkosa dan membunuh wanita di daerah pantai timur selama beberapa bulan ini?"
"Tak salah. Memang kamilah yang melakukannya! Kami berbuat seperti itu untuk melengkapi kesempurnaan ilmu kami. Kau mau apa? Mau menghukum kami? Ha-he-hehaa! Kau jangan menjadi besar kepala hanya karena namamu tertulis di dalam Buku Rahasia! Kami berdua tidak silau melihatmu! Ha-he-hehaaa...!" Kim Hong San tertawa terbahak-bahak.
"Gila…..! Kalian guru dan murid memang pantas untuk dibunuh! Orang-orang seperti kalian ini sangat berbahaya dan mengotori dunia saja."
"Ha-he-hehaaaa...! Jangan sebut-sebut nama guru kami! Kau akan semakin ketakutan menghadapi kami nanti! Nama Giok-bin Tok-ong lebih tersohor dan lebih tinggi daripada namamu, he-ha-hehaaa...!"
Wajah Souw Thian Hai yanq gagah berwibawa itu tiba-tiba menjadi gelap. Dengan nada dalam ia menggeram, "Kalianlah yang seharusnya tidak menyebut-nyebut nama Giok-bin Tok-ong lagi! Gurumu itu telah tewas berkeping-keping akibat ledakan pek-lek-tannya sendiri tadi malam! Hmmh!"
Seketika suara tawa kedua orang murid Giok-bin Tok-ong itu terputus. Dengan pandang mata marah serta tak percaya mereka menghardik, "Tutup mulutmu; kau telah berani menghina guru..."
Ternyata Souw Thian Hai pun sudah tidak bisa menahan kemarahannya pula. Dengan geram telapak tangannya digosok-gosokkannya ke depan dada, dan sekejap kemudian dari ubun ubun kepalanya, mengepul asap berwarna merah dan putih bergantian.
"Ang-pek Sin-kang...!" Kim Hong San berdesah kaget. Kemudian bisiknya kepada Tang Hu. "Su-te! Hati-hati! Orang ini tampaknya memang benar-benar berbahaya..."
"Ah, persetan! Aku tidak takut!" Tak terduga Tang Hu menjawab sambil berteriak. Tampaknya berita tentang kematian gurunya itu sedikit mempengaruhi perasaannya juga. Hatinya menjadi bimbang.
Oleh karena itu justru Tang Hu lah yang kemudian memulai pertempuran itu. Tangan kanannya terayun ke depan, dari bawah ke atas seperti orang menabur benih. Dan dari telapak tangan itu memang benar-benar berloncatan belasan paku beracun ke arah kepala dan dada Souw Thian Hai. Dan gerakan ini segera diikuti pula oleh gerak tangan kirinya, dari belakang ke depan, seakan-akan mendorong lajunya paku-paku tersebut. Sementara itu melihat adik seperguruannya telah memulai serangannya, Kim Hong San juga tidak mau ketinggalan juga.
Dengan tangkas ia melompat ke samping kiri Souw Thian Hai. Tak lupa telapak tangan kanannya menebas ke arah pinggang lawannya. Dan tiupan angin dingin berbau amis segera tercium pula dengan kerasnya. Melihat kedua orang lawannya mendahului menyerang, apalagi serangan mereka itu betul-betul ganas dan keji, Souw Thian Hai semakin menjadi marah sekali.
Namun demikian pendekar sakti juga tak bisa mengabaikan kedahsyatan serangan tersebut. Kedua murid Lembah Tak Berwarna itu tentu juga mewarisi kelicikan gurunya, sehingga ia juga harus berhati-hati dan waspada terhadap jebakan-jebakan tersembunyi yang ada di dalam serangan tersebut. Oleh karena itu demi amannya Souw Thian Hai segera menghindari saja serangan itu. Kaki kanannya bergeser kesamping dengan cepat, sehingga tubuhnya seolah-olah rebah ke samping.
Kemudian setelah itu dengan cepat pula tubuh atasnya terayun ke belakang seperti layaknya orang terjengkang ke belakang. Seluruh gerakan itu dilakukan dengan tangkas dan manis, serta kuda-kuda yang tetap kokoh kuat menghujam bumi, sehingga ketika kedua serangan lawannya dapat ia elakkan, Souw Thian Hai cepat bisa tegak kembali dengan baik. Lalu sebelum kedua orang lawannya itu menyusuli serangannya lagi, Souw Thian Hai cepat-cepat memotong dan mendahului mereka dengan Tai-lek Pek-khong-ciangnya.
Cuuus! Cus! Cusss! Dan loncatan-loncatan angin tajam segera melesat dari ujung ujung jari tangannya!
Kini ganti Kim Hong San dan Tang Hu yang kelabakan menghadapi tusukan-tusukan angin tajam yang mampu menghunjam melukai kulit daging itu. Sehingga untuk melindungi diri mereka dari kejaran angin tajam tersebut, Kim Hong San dan Tang Hu terpaksa meledakkan tabir asap tebal di sekeliling mereka.
Souw Thian Hai terpaksa menahan serangannya karena ia tak ingin salah sasaran dan melukai orang-orang yang ada di sekitar pertempuran tersebut. "Sungguh licik!" pendekar sakti itu mengumpat marah. Kemudian teriaknya kepada orang-orang yang ada di buritan tersebut. "Saudara-saudara, awas...! Jauhkan diri dari arena pertempuran!"
Benar juga peringatan Souw Thian Hai itu. Sambil masih tetap berlindung di dalam pekatnya asap, kedua murid Giok-bin Tok-ong itu balas menyerang Souw Thian Hai dengan lontaran-lontaran senjata rahasianya. Dan tentu saja lontaran senjata rahasia yang membabi-buta itu juga akan membahayakan orang lain pula.
Namun ternyata kali ini Souw Thian Hai juga tak ingin menghindari serangan-serangan itu pula. Selain tak ingin membahayakan keselamatan orang lain, pendekar sakti itu juga ingin lekas-lekas menyelesaikan pertempuran tersebut.
Demikianlah dengan perlindungan mantel pusakanya Souw Thian Hai nekad menerobos tabir asap yang menyelimuti arena pertempuran itu. Beberapa kali terdengar suara denting senjata rahasia yang menghantam mantel pusakanya, tapi pada saat itu pula Souw Thian Hai melepaskan tusukan-tusukan angin tajamnya ke arah dari mana senjata rahasia itu datang.
Ternyata siasat Souw Thian Hai tersebut berhasil. Kim Hong San dan Tang Hu benar-benar kelabakan menghadapi serangan itu. Selain mereka bingung bagaimana harus menghadapi lawannya yang tak bisa dilukai dengan senjata itu Kim Hong San dan Tang Hu harus menghindari tusukan-tusukan angin tajam yang tak dapat dilihat oleh mata tersebut. Tapi ternyata Kim Hong San juga tidak kekurangan akal. Ia tahu bahwa lawannya dapat mengetahui tempatnya karena ia melepaskan senjata rahasia.
"Su-te! Hentikan serangan! Bunuh saja ia dengan racun! Masa dia... eh!" Kim Hong San berseru namun terpotong karena pundaknya terserempet oleh tusukan angin tajam yang dilepaskan Souw Thian Hai.
"Su-heng, kau tidak apa-apa... hei?! bangsat!" Tang Hu berteriak kaget. Namun suaranya segera berganti dengan makian pula karena teriakannya itu membuat Souw Thian Hai mengetahui dimana dia berada. Akibatnya dadanya hampir saja termakan oleh tusukan jari tangan pendekar sakti itu. Begitulah kedua orang murid Giok-bin Tok-ong itu segera menyadari kesalahan mereka. Maka untuk selanjutnya mereka berdua lalu berdiam diri di tempat masing-masing dan tetap berlindung didalam pekatnya asap tebal yang mereka ciptakan. Kemudian dengan hati-hati mereka meniupkan asap beracun ke sekeliling mereka.
Tapi Souw Thian Hai juga mengenal bahaya pula. Melihat lawannya berdiam diri, ia cepat-cepat meloncat keluar dari dalam gulungan asap itu. Ternyata pendekar itu masih ingat akan pertempurannya melawan Giok-bin Tok-ong tadi malam, dimana ia terkena jenis racun yang tidak berwarna maupun berbau, sehingga ia hampir saja celaka di tangan iblis tua itu.
"Pengecut! Ayo! Kenapa kau melarikan diri dari arena....?" Tang Hu berteriak dari dalam gulungan asap.
"Hmm… buat apa aku takut bermain-main dengan asapmu? Mending aku melihat dan menunggu kalian di sini. Toh asapmu juga akan sirna ditiup angin..." Souw Thian Hai menjawab seenaknya.
:Bangsat....!" sekali lagi Tang Hu mengumpat kasar. Tiba-tiba dari dalam kepulan asap itu meluncur dua buah bola api yang melesat ke arah Souw Thian Hai! Dan serangan yang tak terduga itu sungguh sangat mengejutkan pendekar sakti itu. Tapi dari mula pendekar itu memang telah bersiap siaga pula. Oleh karena itu meskipun terkejut pendekar itu tetap tidak kehilangan pengamatannya. Bahkan sambil menghindar pendekar sakti itu sempat membalas menyerang pula dengan tidak kalah cepatnya. Dan serangan itu ditujukan ke arah bola api tersebut berasal.
Cuuuus! Cuuuuuus! Cus!
"Aduh!" terdengar suara Tang Hu mengeluh pendek.
Sementara itu sebuah tiupan angin yang agak kencang telah menghalau tabir asap yang dibuat oleh Kim Hong San itu. Dan sejalan dengan hilangnya tabir asap itu maka tampaklah tubuh Kim Hong San dan Tang Hu yang sempoyongan terkena pukulan jarak jauh Souw Thian Hai tadi.
"Su-te... kau terluka?" Kim Hong San cepat memegang tubuh adik seperguruannya.
"Bangsat gila! Monyet itu memang lihai sekali! Tanpa melihatpun dia bisa menyerang aku…" Tang Hu mengeluh dan mengumpat tiada hentinya.
"Tidak aneh! Namanya memang tertulis hanya satu tingkat di bawah nama su-hu. Tidak mengherankan bila kepandaiannya sangat tinggi. Kitalah yang terlalu memandang rendah dia. Hmm… lalu bagaimana denganmu? Kau masih bisa meneruskan pertempuran ini?"
Tiba-tiba Tang Hu mengibaskan tangan kakak seperguruannya. Dengan menggeretakkan giginya ia menggeram. "Mengapa tidak? Aku hanya kaget saja. Aku tidak apa-apa. Aku justru hendak membunuh bangsat itu sekarang! Apalagi ia telah menghina su-hu..."
Kim Hong San mendengus pula. Sambil menoleh ke arah Souw Thian Hai ia berkata. "Aku juga tidak percaya pada omongannya. Masakan su-hu sampai bisa mati oleh senjatanya sendiri. Huh! Dia memang patut dibunuh!"
Souw Thian Hai mengangkat bahunya. "Terserah kalau kalian tidak percaya. Tapi apa yang kukatakan itu memang benar. Kalian akan mengetahuinya pula besok."
"Kurang ajar...!" Tang Hu mengumpat keras, kemudian menerjang Souw Thian Hai. Dari kedua tangannya meluncur dua ekor ular kecil yang amat ganas.
Souw Thian Hai segera bergeser ke samping. Tak lupa telunjuk kanannya yang penuh sin-kang itu ia kibaskan ke arah ular itu. Cuus...! Serangkum angin tajam segera menusuk ke
arah ular tersebut. Tapi sungguh sangat mentakjubkan. Kedua ekor ular itu seperti bersayap saja pada tubuhnya. Dengan gesit dan ringan tubuhnya yang pipih panjang itu meliuk dan menggeliat beberapa kali di udara, sehingga angin tajam itu melesat lewat tanpa mengenainya. Sebaliknya dengan kecepatan yang berlipat ganda ular tersebut meneruskan serangannya ke arah Souw Thian Hai.
Walaupun merasa heran dan takjub, namun kehebatan ular-ular kecil itu tak sampai menggoyahkan ketenangan Souw Thian Hai. Bahkan dengan kematangannya sebagai seorang pendekar silat besar, Souw Thian Hai justru menyongsong kedatangan dua ekor ular itu. Bagian atas tubuhnya berputar setengah lingkaran, sehingga mantel pusakanya terayun ke depan menutupi dadanya. Sementara dari balik mantel pusaka tersebut jari-jari tangannya memuntahkan kembali serangan-serangan angin tajamnya yang menggiriskan itu.
Whuuuuus...! Cuuus! Cuus!
Ular-ular itu masih mencoba berkelit beberapa kali di udara. Namun pada serangan Souw Thian Hai yang terakhir, kesempatan untuk menghindar sudah tidak ada lagi. Sebuah hentakan yang amat kuat membuat kedua ekor ular kecil itu terpental ke udara. Tubuh mereka yang pipih panjang itu terpotong menjadi beberapa bagian!
"Gila!" sekali lagi Tang Hu mengumpat. Namun kedua orang murid Giok-bin Tok-ong itu tak punya kesempatan untuk mengobral makiannya lagi, karena di lain saat berondongan angin tajam yang meluncur dari tangan Souw Thian Hai telah membikinnya jungkir-balik untuk mengelakkannya. Dan saat-saat selanjutnya mereka harus memeras keringat dan memeras tenaga untuk menghadapi Tai-lek Pet-khong-ciang Souw Thian Hai yang dahsyat dan mengerikan itu.
Belasan jurus pun telah berlalu. Penonton yang berada di buritan perahu itu telah menyingkir jauh-jauh pula. Serangan angin tajam yang dilontarkan oleh Souw Thian Hai berkelebatan kesana-kemari dan merusakkan dinding-dinding perahu yang dilewatinya. Sementara Kim Hong San dan Tang Hu pun juga mengobral racun mereka pula untuk menandingi kedahsyatan ilmu Souw Thian Hai tersebut.
Namun semakin lama semakin terlihat bahwa ilmu silat Hong-gi-hiap Souw Thian Hai lebih unggul dari pada ilmu kedua murid Giok-bin Tok-ong itu. Walaupun kedua orang murid lembah Tak Berwarna itu menguras segala kemampuan mereka, tetapi dengan perisai mantel pusakanya Souw Thian Hai mampu bertahan sekaligus mendesak mereka.
Semua macam racun telah dikeluarkan oleh Kim Hong San dan Tang Hu. Segala macam binatang berbahaya, seperti ular, kala-jengking, kelabang, ulat berbisa juga telah dipergunakan pula oleh kedua orang itu. Namun semuanya dapat diatasi oleh Souw Thian Hai. Dengan benteng mantel pusakanya pendekar sakti itu benar benar tak bisa disentuh oleh siapapun juga.
Sehingga akhirnya kedua orang murid Giok-bin Tok-ong tak dapat mengelakkan lagi tusukan-tusukan angin tajam yang dilontarkan oleh Souw Thian Hai. Darahpun mulai menetes membasahi lantai perahu. Semakin lama semakin banyak sehingga akhirnya mereka tak kuasa melawan lagi.
"Su-te... kita... kita lari saja! Kita... terjun ke air!" di dalam kesulitannya Kim Hong San masih bisa berseru kepada Tang Hu. Lalu tanpa menanti jawaban adiknya ia melompat dalam air yang menggelegak di bawahnya.
Tang Hu yang keadaannya lebih parah segera berlari ke pagar perahu. Tapi beberapa orang penonton yang berada di dekatnya cepat menyongsongnya dengan taburan senjata rahasia. "Aduuuh...!" Tang Hu menjerit keras, kemudian terjungkal ke dalam air pula.
Hong-gi-hiap Souw Thian Hai menghela napas panjang. Dikebut-kebutkannya lengan bajunya, serta dirapikannya pula kembali pakaiannya yang kedodoran, baru kemudian menemui orang-orang yang ada di buritan perahu tersebut.
Sementara itu pertempuran antara murid-murid Bok Siang Ki melawan para pengeroyok mereka di haluan perahu ternyata juga tidak kalah serunya dibandingkan dengan pertempuran Souw Thian Hai tadi. Meskipun tidak mempergunakan senjata-senjata beracun, namun pertempuran mereka ternyata tidak kalah dahsyatnya dibandingkan dengan pertempuran murid-murid Lembah Tak Berwarna. Bahkan dipandang dari segi ilmu silat pertempuran di haluan perahu tersebut tampak- lebih bermutu, dan lebih mengasyikkan.
Ternyata Yap Kiong Lee telah ikut pula bertempur di antara para pengeroyok itu. Dengan kepandaiannya yang sangat tinggi pendekar dari istana itu segera menjadi lawan yang paling berbahaya bagi ketiga orang murid perguruan Ui-soapai itu. Bahkan orang termuda dari Sam-eng yang dipanggil dengan nama Pek-eng atau Garuda Putih itu tak mampu beradu dada, satu lawan satu, melawan Yap Kiong Lee. Sehingga murid termuda dan Ui-soa-pai itu terpaksa berkelebatan kesana-kemari mempergunakan kelebihan ginkangnya untuk mengimbangi desakan Yap Kiong Lee.
"Hmmh... kepandaianmu sungguh hebat sekali. Siapakah sebenarnya engkau ini? Apakah kamu masih mempunyai hubungan perguruan dengan Yap Tai ciangkun dari Kota raja itu?" di dalam kesibukannya Pek-eng masih dapat juga bertanya kepada Yap Kiong Lee.
Yap Kiong Lee terperanjat, "Kau pernah berjumpa dengan adikku?" sergahnya cepat.
Mendadak Pek-eng tertawa, "hahaha... jadi dia itu adikmu? Untunglah aku tidak jadi membunuhnya. Kalau pada waktu itu kami jadi membunuh dia, kau tentu tidak akan punya adik lagi, hahaa..."
"Kurang-ajar...!" Apa yang telah kau lakukan terhadap adikku?" Yap Kiong Lee membentak penasaran.
Sekali lagi Pek-eng tertawa semakin keras. Hahaha...! Kau tidak perlu khawatir. Kami benar-benar tidak mengganggu adikmu. Bun-hoat Sian-seng telah menolongnya dari cengkeraman kami bertiga."
"Bun-hoat Sian-seng...!" Yap Kiong Lee bernapas lega. Lega karena adiknya selamat. "Tapi... apa sebabnya kalian berselisih dengan adikku? Apakah kalian telah berlaku jahat terhadap dia?"
"Bukan kami yang memulainya. Adikmu yang merasa menjadi pembesar kerajaan itulah yang terlalu usil mencampuri urusan kami," Pek-eng menggeram.
"Kurang ajar! Adikku tak pernah mengganggu orang lain. Kalaupun adikku memusuhi kalian, tentu haI itu karena kalian telah terbuat jahat kepada orang lain. Adikku tentu hanya
bermaksud menghalang-halangi kejahatan kalian.."
Bukan main marahnya Pek-eng. "Monyet busuk! Kau memang tidak berbeda dengan adikmu! Sama-sama sombongnya. Huh, kaukira aku takut padamu; lihat pukulan...." bentaknya keras.
Tiba-tiba Pek eng bergerak semakin cepat. Dan serangannyapun juga semakin kuat pula. Bahkan gerakan-gerakannya terasa berubah. Semakin lama kedua buah lengannya bergerak semakin cepat, sehingga lengan itu seperti berubah menjadi banyak sekali. Begitu pula dengan kedua buah kakinya. Yap Kiong Lee tertegun. Matanya terbeliak. Ia seperti sedang melawan seorang lelaki bertangan dan berkaki seribu.
"Gila…!" Yap Kiong Lee mengumpat dan kakinya terus saja mundur. Dan keadaan pun segera berbalik. Kini Yap Kiong Lee ganti terdesak dan hanya bisa mengelak dan bertahan saja. Pendekar dari istana itu seperti terkepung oleh ribuan tangan dan kaki lawannya. Dan kepungan tersebut semakin lama semakin rapat sehingga akhirnya Yap Kiong Lee merasa seperti berada di dalam kurungan.
Tapi Yap Kiong Lee adalah jago nomer satu di kota raja. Kakak kandung Yap Kim atau Yap Tai ciangkun. Panglima Besar dari seluruh pasukan kerajaan, dan juga keturunan langsung dari Datuk Utara, pada zaman Lima Datuk Persilatan dulu. Oleh karena itu kepandaian silatnya tentu juga tidak hanya sampai sekian itu saja. Merasa dirinya dalam bahaya, otomatis ilmu simpanannya keluarganya keluar. Hong-lui-Kun-hoat atau Tinju petir dan Badai segera dimainkannya.
Demikianlah di dalam arena itu segera terdengar suara gemuruh disertai hembusan angin berputar yang semakin lama semakin kuat, sehingga orang-orang yang ada di dalamnya seperti tergulung oleh badai! Dan diantara kurungan angin berputar itu kadang kadang terdengar pula suara letupan keras seperti petir menyambar yang ternyata adalah suara pukulan jarak jauh yang terlepas dari telapak tangan Yap Kiong Lee! Ternyata Yap Kiong Lee benar-benar telah mengeluarkan ilmu warisan ayahnya yang membuat dirinya dijuluki Hong-lui-kun atau Si Tinju Petir dan Badai!
Dan pengaruhnya memang amat hebat. Ilmu silat Ui-soa-pai yang baru saja dikeluarkan oIeh Pek-eng, yang membuat murid Bok Siang Ki itu seperti memiliki kaki dan lengan seribu, segera tertahan oleh pusaran angin yang keluar dari tangan Yap Kiong Lee. Bahkan beberapa waktu kemudian murid Bok Siang Ki itu kembali dibikin repot oleh letupan-letupan petir yang melesat dari telapak tangan Yap Kiong Lee. Untunglah semua orang Ui-soa-pai sudah dibekali dengan gin-kang yang tiada duanya di dunia ini.
Sehingga biarpun terdesak, namun Pek-eng masih tetap bisa menyelamatkan diri dari lubang kesulitan. Melihat adik seperguruannya masih juga dilanda kesulitan, maka Ui-eng segera datang membantu. Mula-mula diputarnya kedua belah lengannya kuat-kuat, sehingga pengeroyoknya terpaksa berloncatan mundur menjauhinya.
Setelah itu dengan gin-kangnya yang sangat tinggi ia melayang mendekati Pek-eng. Tak ketinggalan kedua belah telapak tangannya mendorong ke arah Yap Kiong Lee. Sebuah dorongan yang mengandung sin-kang maha besar, mengalahkan tiupan topan dan badai yang ditimbulkan Yap Kiong Lee.
Buuuuuum! Dua macam kekuatan yang amat besar saling berbenturan dan menimbulkan suara berdentam keras sekali. Tubuh Ui-eng sedikit tertahan di udara. sementara tubuh Yap Kiong Lee tampak terpental menabrak pagar perahu. ui-eng kemudian mendarat dengan manis di samping Pek-eng, sedang Yap Kiong Lee sambil meringis kesakitan terpaksa berpegangan pada pagar perahu.
Sementara itu dari atap kamar perahu Liu Yang Kun bisa menyaksikan pula kejadian itu. Namun pemuda itu merasa bimbang untuk memberi pertolongan karena pada saat yang sama suara berderak yang terdengar di bawah atap itu juga semakin keras pula.
"Tampaknya di dalam kamar ini betul-betul ada orang berkelahi. Hmmh.... Biarlah aku lihat dulu siapa mereka," pemuda itu berkata di dalam hatinya.
Sekali lagi Liu Yang Kun menoleh ke arah Yap Kiong Lee. Melihat pendekar dari istana masih punya kemungkinan untuk bertahan beberapa saat lamanya, hatinya menjadi lega. Dibukanya sedikit atap perahu yang diinjaknya, sehingga di celah-celahnya ia bisa mengintip ke dalam.
"Ah...!" tiba-tiba bibir Liu Yang Kun berdesah kaget. Di dalam ruangan itu ia menyaksikan Bok Siang Ki sedang beradu tangan dengan Lo-sin-ong! Masing-masing tampak sedang mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya, sehingga tubuh mereka tampak mengeluarkan kabut tipis. Sementara itu di pojok ruangan terlihat tubuh Tiauw Li Ing tergolek pingsan di atas bangku kecil.
Otomatis Liu Yang Kun menjadi tegang dan berdebar-debar. Apalagi ketika dilihatnya badan Lo-sin-ong yang tua itu bergetar hebat seakan-akan sedang menahan beban yang amat berat. Liu Yang Kun menjadi bimbang. Menolong atau tidak?
Ketika sekali lagi Liu Yang Kun melongok ke bawah, dilihatnya kakek buta itu telah menekuk kedua lututnya. Dan wajah kakek tua itu tampak kesakitan, sementara keringatnya mengalir deras membasahi jubahnya. Sebentar lagi kakek buta itu tentu takkan kuat bertahan lagi.
Akhirnya Liu Yang Kun tak tega menyaksikannya. Tapi bagaimana ia harus menolongnya? Lu Yang Kun merasa bahwa Iwee-kangnya tidak kuat atau lebih tinggi dari pada Bok Siang Ki biarpun di dalam pertempuran mereka kemarin ia bisa mengalahkan orang itu. Oleh sebab itu ia tak yakin bisa berhasil membantu Lo-sin-ong apa bila ia lalu menyalurkan sin-kangnya kepada kakek buta itu. Salah-salah dia malah dapat mencelakakan orang tua tersebut bila gagal.
Tapi jalan lain tidak ada. Memisahkan telapak tangan mereka justru lebih berbahaya bagi Lo-sin ong. Bok Siang Ki justru akan dapat memanfaatkan tambahan tenaga dalamnya untuk menggencet Lo-sin-ong.
"Oooouugh...!" Tiba-tiba terdengar Lo-sin-ong mengeluh pendek.
Liu Yang Kun terperanjat. Tanpa berpikir panjang lagi Liu Yang Kun segera menggempur ambrol atap yang diinjaknya. Dan tubuh pemuda itu segera melayang turun bersama dengan serpihan atap yang dirusakkannya. Duuug! Liu Yang kun jatuh persis di belakang Lo-sin-ong. Begitu menginjakkan kakinya di lantai, pemuda itu segera mengambil kesempatan selagi Bok Siang Ki merasa kaget atas kedatangannya itu dengan menghantam punggung Lo-sin-ong.
Liong-cu-i-kang atau tenaga Sakti mustika naga milik Liu Yang Kun yang selama ini telah disempurnakan dan diperhebat kedahsyatannya oleh darah Ceng liong-ong itu cepat mengalir melalui tubuh Lo-sin-ong, kemudian dengan kuat membentur tenaga sakti yang keluar dari tangan Bok Siang Ki.
Dieeeees...! Liu Yang Kun terpental mundur bersama dengan tubuh Lo-sin-ong. Tapi sebaliknya tubuh Bok Siang Ki pun juga terlempar pula menabrak dinding! Grobyag! Dinding kamar yang terbuat dari kayu tebal itu pecah berantakan sehingga tubuh Bok Siang Ki melayang keluar dan tercebur ke dalam sungai.
"Ong-ya...?" Ui-eng dan Pek-eng yang sedang mendesak Yap Kiong Lee itu tiba-tiba berteriak ketika menyaksikan tubuh ketuanya tersebut tercebur ke dalam sungai. Lalu seperti mendapatkan komando saja mereka berdua meloncat meninggalkan Yap kiong Lee. Keduanya turut terjun ke dalam air.
"Hei...? Kenapa? Ada apa ini?" Hek-eng yang dari tadi tidak bisa melihat keadaan di sekelilingnya karena disibukkan oleh para pengeroyoknya itu, tiba-tiba menjadi bingung menyaksikan kedua adiknya terjun ke dalam sungai. Apalagi ketika dilihatnya bangunan di atas geladak, dimana majikannya tadi membawa Tiauw Li Ing telah jebol dan hampir roboh.
Namun sulit bagi tokoh Ui-soa-pai itu untuk meninggalkan para pengeroyoknya. Selain pengeroyoknya berjumlah banyak, mereka pun memiliki ilmu yang tinggi pula. "Kurang ajar! Kalian menang sudah bosan hidup!" akhirnya ia berteriak kesal.
Tiba-tiba Hek-eng meningkatkan ilmu meringankan tubuhnya. Tubuhnya berkelebat semakin cepat, melenting dan berputar mengelilingi pengeroyoknya. Semakin lama semakin cepat, sehingga di mata para pengeroyoknya tiba-tiba tubuh Hek-eng seperti berubah menjadi belasan banyaknya. Dan setiap bagian dari bayangan itu seperti hidup dan bernyawa pula, yang di dalam gerakannya juga mampu melayani pengeroyoknya.
"Ilmu iblis! Ilmu setan...!" beberapa orang pengeroyoknya berdesah ngeri. Bahkan beberapa orang diantaranya segera jatuh bergelimpangan terkena serangan bayangan-bayangan itu.
Tentu saja Yap Kiong Lee tak mau membiarkan hal itu. Setelah bisa mengatur pernapasannya kembali, ia beranjak dari pagar perahu. Tubuhnya meluncur ke dalam arena dan menerjang bayangan Hek-eng yang berkelebatan menguasai arena itu.
Plaaaak! Plaaaak! Dug,...! Yap Kiong Lee terpelanting keluar arena kembali. Tapi sebaliknya lebih dari separuh jumlah bayangan Hek-eng itu juga hilang musnah pula. Bahkan beberapa saat kemudian sisanya juga melenyapkan diri, sehingga akhirnya tinggal sebuah saja, yaitu tubuh Hek-eng yang asli.
Wajah tokoh Ui-soa-pai itu tampak pucat. "Gila! Tenaga dalammu sungguh hebat sekali! Siapakah kau...?" tokoh Ui-soa-pai itu menggeram marah. Tubuhnya berhenti berkelebat dan berdiri di depan Yap Kiong Lee.
Sementara itu Liu Yang Kun dan lo-sin ong yang tadi juga terpental oleh hentakan tenaga dalam Bok Siang Ki, cepat bangkit pula kembali. Liu Yang Kun segera bersiap-siaga menghadapi Bok Siang Ki lagi. Tapi pemuda itu cepat mengendorkan kembali ototnya ketika melihat lawannya tercebur ke dalam sungai.
"Ooough...!" Lo-sin-ong yang belum dapat berdiri tegak itu kembali terhuyung-huyung dan mau jatuh.
"Lo-cianpwe....? Kau terluka?" Liu Yang Kun berdesis kaget.
"Pangeran? Oh... kaukah yang menolong? Ooouh...!" tiba-tiba Lo-sin ong juga menjerit kaget pula begitu mendengar suara Liu Yang Kun. Hatinya serasa terpukul.
Liu Yang Kun cepat menyambar tubuh kakek tua itu dan menolongnya duduk di tempat yang baik. Tapi ketika pemuda itu hendak menyalurkan sin-kang untuk mengobati luka dalamnya, Lo-sin-ong cepat-cepat menolak.
"Terima kasih. Pangeran, sudah tidak ada gunanya lagi. Jalan darah Boh-kihiat dan Koan-ki-hiat di rongga dadaku telah terputus. Sebentar lagi darah akan membanjiri paru-paruku. Aku akan mati. Tapi... tapi aku sungguh sangat berbahagia sekali... karena.... karena sebelum mati dapat bertemu denganmu. Oouh.... kalau tidak, aku benar-benar akan mati penasaran...." kakek buta itu merintih sambil mendekap dadanya.
Liu Yang Kun tertegun. Matanya menatap kakek buta itu dengan bingung serta penuh tanda tanya. "A-apa maksud Lo-cianpwe...? pemuda itu berbisik.
"Pangeran.... Kau benar-benar pemuda yang baik. Tidak selayaknya bila aku sampai berbuat jahat terhadapmu. Aku sungguh sungguh berdosa besar, hanya karena kasihan serta untuk memanjakan muridku, aku telah sampai hati mencelakakanmu. Ouugh... hukk... hukk!" Lo-sin-ong terbatuk-batuk seperti seorang yang sedang menahan sakit.
Liu Yang Kun cepat mencengkeram pundak kakek buta itu. "Lo-cianpwe, kau... kau...? Apa yang kaukatakan? Aku tak mengerti."
Lo-sin-ong menengadahkan kepalanya. Matanya yang kosong itu seolah-olah hendak memandang wajah Liu Yang Kun. Tapi karena bola matanya tidak ada maka lobang itu tampak mengerikan sekali. Tapi Liu Yang Kun sama sekali tak mempedulikan hal itu. Pemuda itu lebih tertarik pada ucapan yang baru keluar dari mulut kakek itu.
"Lo-cianpwe! Lo-cianpwe…! Tampaknya kau menyimpan sebuah rahasia yang hendak kau katakan kepadaku…" desak pemuda itu kemudian dengan hati berdebar-debar.
Tangan kakek buta itu cepat mencengkeram tangan Liu Yang Kun. Kemudian dengan suara terputus-putus ia bertanya. "Pangeran? Apakah pangeran tahu dimana… dimana… isterimu eh, anu… anu… Tiauw Li Ing disembunyikan oleh Bok Siang Ki?"
"Dia... dia berbaring di bangku kecil di pojok ruangan. Ada apa...? Apakah Lo-cianpwe menginginkan aku untuk membawanya kemari? Dia tampaknya terluka atau pingsan...."
Lo-sin-ong tampak bernapas lega. "Gadis sengsara... Ah!" Lo-sin-ong berdesah sedih. Kemudian ujarnya kepada Liu Yang Kun. "Pangeran, gadis itu tidak bersalah sama sekali. Jangan kau benci atau kau sia-siakan dia. Akulah yang bersalah dan berdosa besar terhadapmu."
Liu Yang Kun semakin tegang dan tidak sabar. "Lo-cianpwe! Apa yang hendak kau katakan? cepatlah!"
Namun dengan suara yang semakin lemah dan gemetar seperti lampu kehabisan minyak, Lo-sin-ong memohon, Tapi... tapi... maukah Pangeran berjanji untuk tidak menyakiti atau menyia-nyiakan Tiauw Li Ing?"
Liu Yang Kun yang semakin tidak sabar itu tiba-tiba terdiam. Matanya yang tajam bagai pisau sembilu itu menatap kakek buta itu dengan ragu. Perasaannya mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak wajar yang disembunyikan kakek itu.
Sementara itu wajah Lo-sin-ong tampak semakin membiru. Daya tahannya makin habis. Beberapa kali kakek buta itu menahan batuk, agar darah segar yang mulai mengisi paru-parunya tidak melonjak ke atas menutupi tenggorokannya.
Liu Yang Kun tak ingin kehilangan waktu lagi. la harus berterus terang kepada orang-tua itu, supaya semuanya menjadi jelas. Siapa tahu kakek buta itu tahu asal-usul dan sejarah hidupnya sehingga ia menderita penyakit 'lupa ingatan‘ ini.
"Lo-cianpwe, mengapa kau berkata demikian. Kalau Tiauw Li Ing itu memang benar-benar isteriku, aku tentu tidak akan menyia-nyiakannya. Biarpun... biarpun... sebenarnya aku merasa sangsi apakah dia benar-benar isteriku. Aku seperti... seperti tidak mempunyai perasaan mesra atau dekat dengan dia. Bahkan didalam hatiku, aku... aku seperti tidak... tidak menyukainya. Ah, maafkan aku, lo-cianpwe," akhirnya Liu Yang Kun berterus terang.
Wajah yang membiru itu semakin pias dan gemetar. Walau sudah menduga, namun apa yang dikatakan oleh Liu Yang Kun itu benar-benar sangat memukul hatinya. Kakek itu semakin merasa sedih atas nasib yang menimpa muridnya. "Huuk! Huuk! Oouugh...!" Lo-sin-ong tak bisa menahan batuknya lagi dan darah segarpun segera membanjir keluar dari mulutnya.
"Lo-cianpwe! Lo-cianpwe!" Liu Yang Kun berseru kaget. Dengan tangkas Liu Yang Kun menotok dan mengurut beberapa jalan darah di dada dan di leher Lo-sin-ong, sehingga darah yang berdesakan di tenggorokan kakek buta itu surut kembali, dan Lo-sin-ong pun dapat bernapas pula lagi, meski tersengal-sengal.
"Lo-cianpwe! Lo-cianpwe...!" kemudian pemuda itu mencoba menyadarkannya.
"Oough, Pangeran...? Maaf... maafkanlah aku. Akulah yang sebenarnya... membuatmu kehilangan ingatan. Aku aku merasa kasihan kepada Tiauw Li Ing. Dia... dia sangat ingin menjadi isterimu, sehingga... sehingga aku terpaksa... terpaksa mencelakaimu. Aku telah menanamkan beberapa buah jarum di... dikepalamu, agar... agar kau kehilangan ingatanmu...! Oooooooouuugh...!"
Tiba-tiba mulut kakek buta itu kembali menyemburkan darah segar. Kali ini benar-benar sangat banyak, sehingga kakek itu tidak bisa bernapas lagi.
Apa yang diucapkan oleh Lo-sin-ong itu benar-benar mengejutkan Liu Yang Kun. Begitu kagetnya Liu Yang Kun sehingga pemuda itu tidak bereaksi apa-apa tatkala darah kakek buta itu menyemprot dada serta membasahi pakaiannya. Bahkan pemuda itu seperti tak peduli pula ketika kakek buta itu melepaskan nyawanya.
Berbagai macam perasaan berkecamuk di dalam hati Liu Yang Kun. Perasaan kecewa, marah dan penasaran. Tapi di lain pihak pemuda itu juga merasa bingung pula, kepada siapa atau bagaimana dia harus menumpahkan segala kekecewaan dan kekesalannya itu. Orang yang telah membuatnya sengsara, yang telah mencelakakan dirinya kini telah mati.
Bahkan di dalam lubuk hatinya pemuda itu seperti tidak dapat menyalahkan perbuatan orang tua itu. Kakek buta itu berbuat demikian karena terdorong oleh keinginannya untuk membahagiakan muridnya. "Kelihatannya memang akulah yang bernasib buruk, harus menjadi korban dari maksud baik orang tua itu..." akhirnya Liu Yang Kun menyesali nasibnya.
Kemudian dipandanglah oleh pemuda itu mayat Lo-sin-ong yang tergolek di depannya. Wajah yang dingin pucat itu seolah-olah tidak menampilkan perasaan bersalah kepadanya. Bahkan mata dan mulut yang kosong itu seakan-akan masih tetap menuntut kepadanya, agar dia tetap menjadi suami Tiauw Li Ing. Liu Yang Kun bangkit berdiri sambil menghela napas panjang. Kesepuluh jari tangannya meraba-raba kulit kepalanya. Dia mencoba untuk mencari jarum-jarum yang ditanamkan oleh Lo-sin-ong itu.
"Sulit sekali. Bagaimana aku harus mencarinya? Kepalaku seperti biasa-biasa saja. Semua terasa wajar, seperti tidak ada kelainan apa-apa. Sakitpun juga tidak. Hemm..." Liu Yang Kun berdesah kesal karena tak bisa mendapati jarum-jarum itu.
Sekali lagi Liu Yang Kun menarik napas panjang. Air mukanya tampak semakin kesal. Apalagi ketika terpandang oleh matanya tubuh Tiauw Li Ing yang tergolek di pojok ruangan. Oleh karena itu dengan cepat pandangannya beralih ke tempat lain, yaitu ke dinding kayu dimana Bok Siang Ki tadi terlempar keluar. Dari lobang kayu yang jebol itu Liu Yang Kun dapat menyaksikan pertempuran Yap Kiong Lee melawan Hek-eng, tokoh tertua dari Sam-eng atau Tiga Garuda itu. Bahkan Liu Yang Kun juga bisa melihat Hong-gi-hiap Souw Thian Hai pula. Pendekar sakti itu sudah bergeser pula ke arena pertempuran tersebut dan berdiri di tepi arena.
"Ah! Tampaknya nasibku masih tetap bergantung kepada pendekar itu atau kepada isterinya…"
Di lain pihak Hong-gi-hiap Souw Thian Hai seperti merasa pula diperhatikan oleh Liu Yang Kun. Tiba-tiba kepalanya menoleh dan menatap ke arah lobang tersebut. "Pangeran...!" pendekar sakti itu berdesis perlahan, lalu melangkah menghampiri Liu Yang Kun.
Pendekar sakti itu tampak meningkatkan kewaspadaannya sebelum masuk ke dalam lobang dinding tersebut. Dan dahinya segera berkerut ketika menyaksikan pemandangan di dalam ruangan sempit itu. Apalagi ketika terpandang oleh matanya mayat Lo-sin-ong!
"Eh? Apakah yang telah terjadi di ruangan ini? Pangeran tidak apa-apa, bukan?" pendekar itu bertanya kaget.
"Ternyata Bok Siang Ki lah yang menculik gadis itu. Dan gadis yang menjadi korbannya itu kebetulan adalah murid dari Locianpwe ini, sehingga mereka lalu berkelahi. Lo-cianpwe ini dibantu oleh orang-orang kang-ouw yang kebetulan berada di tempat penyeberangan ini. Tapi karena lawan mereka adalah Bok Siang Ki, maka mereka kalah. Untunglah kita segera datang menolong. Meskipun demikian orang tua ini sudah terlanjur dilukai oleh Bok Siang Ki dengan sangat parahnya. Saya tidak bisa menolong jiwanya…" Liu Yang Kun mencoba menerangkan kepada Souw Thian Hai tentang apa yang kira-kira telah terjadi di tempat itu...