Pendekar Pedang Pelangi Jilid 05 karya Sriwidjono - “Maafkan hamba, kongcu, hamba datang terlambat, sehingga hamba tidak bisa menjemput kedatangan paduka di tengah laut tadi.” Orang yang baru saja datang itu membungkuk hormat ke arah perahu sambil melaporkan keadaannya.
“Ada urusan apa di pek-hok-bio sehingga kau mesti terlambat menjemput aku?” orang lihai di dalam perahu itu berkata dingin.
Raksasa berjubah hitam itu menarik napas panjang. “Musuh lama hamba kembali datang mengganggu tugas hamba.” Jawabnya kemudian dengan suara geram.
“Hmmmh! Sogudai...! Siapa musuh lamamu itu? Apakah kau dan teman-temanmu tidak dapat menyelesaikan dia?” suara di dalam perahu itu terdengar marah.
Raksasa yang dipanggil Sogudai itu kelihatan gemetar tubuhnya. “Dia bernama Liu Wan, kongcu, dia dikenal orang sebagai Bun-bu siucai, kepandaiannya sangat tinggi sehingga hamba dan kawan-kawan tidak bisa menghadapinya, Pek-hok-bio terpaksa kami tinggalkan...”
Siau In yang sejak tadi selalu melotot mengawasi timbunan ilalang di atas perahu itu, tiba-tiba melihat sebuah gerakan, tumpukan daun ilalang yang menutupi bagian atap perahu itu mendadak tersingkap sedikit, lalu sesosok bayangan tampak melesat keluar dengan kecepatan yang sukar dilukiskan dan selanjutnya yang terdengan suara tamparan pada pipi Sogudai, sehingga raksasa itu sempoyongan hampir jatuh.
“Tolol kau...!” orang yang bersuara angker itu mengumpat dan di lain saat bayangannya telah menyusup kembali ke dalam perahu.
Meskipun bisa menangkap gerakan orang di dalam perahu itu, tapi tetap saja Siau In tak dapat melihat dengan jelas macam apa orang itu, demikian cepat orang tersebut bergerak sehingga rasa-rasanya Cuma bayangannya saja yang nampak. Sogudai berlutut di atas pasir, kepalanya tertunduk dalam-dalam.
“Maafkan hamba, kongcu...” desahnya lirih hampir tak terdengar. Hening sesaat, lalu terdengar suara tarikan napas panjang dari dalam perahu.
“Baiklah, semua ini memang bukan salahmu sendiri, kau boleh terus melanjutkan tugasmu, lalu... Kemanakah kawan-kawanmu?” suara dari dalam perahu itu berubah lunak.
Sogudai tampak gembira sekali, berulang kali dia membungkukkan tubuhnya dan mengucapkan terima kasih. “Mereka hamba perintahkan untuk pergi meninggalkan Pek hok bio dan berkumpul di kota Cia sing, kalau kongcu memperbolehkan kami bermaksud untuk menggabungkan diri dengan rombongan Bayan Tanu di kotang Siang-hai.”
“Bodoh!” tiba-tiba orang yang ada di dalam perahu membentak.
“Mengapa otakmu sekarang menjadi amat tolol begitu, Sogudai? Bukankah kau dan anak buahnya ditugaskan di propinsi She-kiang ini? Kenapa sekarang tiba-tiba kau ingin bergabung dengan Bayan Tanu yang bertugas di propinsi Kiang-su? Lalu siapa yang bertanggung jawab di daerah ini?” Sogudai dengan ketakutan berlutut di atas pasir basah, berulang-ulang ia meminta maaf dan mengakui kebodohannya itu.
“Hamba... Hamba memang terlalu bodoh, kongcu, kegagalan-kegagalan dalam tugas hamba selama ini membuat hamba berputus asa dan kehilangan kepercayaan diri. Hamba takut akan semakin mengecewakan Seng-yu (sebutan untuk raja suku bangsa Hun atau tartar).”
“Jadi... Kau hendak mengundurkan diri dari tugasmu ini?” suara dari dalam perahu itu mendadak menjadi kejam dan dingin kembali.
“Bukan... bukan begitu, kongcu!” Sogudai merintih ketakutan. “Hamba tidak bermaksud demkian, hamba... Hamba justru ingin bertanggung-jawab atas kegagalan-kegagalan hamba itu, tapi hamba ingin mempertanggungjawabkan sendiri, hamba tidak ingin melibatkan dan menyeret teman-teman hamba dalam hal ini, mereka adalah orang-orang yang sangat patuh dan setia kepada Seng-yu, maka biarlah mereka bergabung dengan Bayan Tanu, sementara hamba akan menanti hukuman dari Kongcu.”
Hening kembali, orang yang ada di dalam perahu itu tidak segera menjawab perkataan Sogudai dan keheningan tersebut benar-benar mencekam hati Siau In yang menggigil kedinginan didalam persembunyiannya. Meskipun tidak mengetahui ujung pangkal dari pembicaraan orang-orang itu, namun sebagai orang Han yang setia kepada negerinya, sedikit banyak Siau In menjadi curiga terhadap sepak terjang mereka, Gurunya pernah bercerita tentang kekejaman suku bangsa Hun dari luar tembok besar, yang pernah beberapa kali menyerang negeri Tiongkok.
“Jangan-jangan mereka ini orang-orang Hun yang pernah diceritakan Suhu itu, tetapi... rasa-rasanya juga mustahil, tempat ini ada ribuan lie jauhnya dari tembok besar itu, apa yang mereka cari di daerah ini?” gadis itu bertanya-tanya didalam hatinya.
“Sogudai...! Kita tunda dulu persoalan ini, kita bicarakan lagi nanti setelah tugas di tempat ini selesai, untuk sementara kau boleh bergabung dengan rombongan Hulungka yang sebentar lgi akan tiba disini.” Akhirnya suara dari dalam perahu itu memecah keheningan.
“Terima kasih, Kongcu.”
“Nah... Itu dia! Hulungka telah datang! kau tetaplah di tempatmu!”
Siau In semakin berdebar-debar hatinya, secara tak sengaja ia berada di tempat yang sangat berbahaya, dimana sebuah kekuatan rahasia yang amat mencurigkan mengadakan pertemuan. Tak lama kemudian dari tengah laut muncul tiga buah sampan kecil merapat ke pantai, setiap sampan memuat tiga orang lelaki berseragam nelayan, lengkap dengan jaring dan topi lebarnya, salah seorang dari mereka yang bertubuh besar seperti halnya Sogudai, segera meloncat turun dan berlari mendapatkan Sogudai. Namun sebelum orang itu menyapa Sogudai, orang yang ada di dalam perahu itu sudah menegur terlebih dahulu.
“Hulungka! bagaimana dengan hasil penyelidikanmu? Apakah para pemenang sayembara Mengangkat Arca dari lima kabupaten di sekitar muara sungai Yan-tse itu jadi dkumpulkan didaerah ini?”
Nelayan bertubuh besar itu terkejut sekali, ia tak bisa segera menjawab teguran tersebut. “Kongcu berada di dalam perahu yang tertimbun ilalang itu.” Sogudai memberitahukan.
“Akh...! Maaf, Kongcu, perhatian hamba cuma ke Sogudai saja sehingga tidak tahu kalau Kongcu sudah berada di tempat ini.” Hulangka cepat-cepat menjawab dan memberi hormat ke arah perahu itu.
“Lekas kau laporankan hasil penyelidikanmu itu!” suara dari dalam perahu itu kembali menghardik. Hampir saja Siau In terpeleset di tempat persembunyiannya, suara itu tidak begitu keras, namun terasa menggelegar di dalam rongga dadanya. Untungnya ia segera mengerahkan sinkangnya, sehingga getaran suara itu dapat diredamnya.“Orang yang dipanggil Kongcu ini sungguh hebat sekali kepandaiannya, rasanya tidak kalah dengan pemuda nakal yang memberi malu kepadaku sore tadi. Hmmmmm, dunia persilatan memang benar-benar menggetarkan. Kepadaian silat yang kupelajari dan kubangga-banggakan selama ini ternyata belum ada apa-apanya bila dibandingkan dengan mereka.” Gadis itu berdecak kagum di dalam hati.
“Kongcu, seperti yang diperintahkan oleh Pendeta Agung Ulan Kili, hamba beserta anak buah hamba sudah menjelajah hampir seluruh kota aliran muara sungai Yant-tse. Hamba melihat dan mengikuti terus persiapan-persiapan yang dilakukan oleh anak buah Au-yang Goanswe di daerah tersebut, menurut penglihatan hamba, rencana mereka tetap tak berubah. Pemuda-pemuda itu tetap akan dikumpulkan lebih dulu di tempat di sepanjang pantai ini. Sayang hamba tak bisa memperoleh kepastian tempatnya...”
“Huh!” orang yang ada di dalam perahu itu mendengus kesal. “Lalu, apa yang hendak kalian lakukan selanjutnya?”
Hampir berbareng Hulungka dan Sogudai mengangkat wajahnya, keduanya tampak kaget dan bingung. “Aa... apa... Maksud Kongcu?” akhirnya Hulungka memberanikan diri untuk bertanya.
“Sudah kukatakan, apa rencana kalian selanjutnya? Lekas kalian jawab!”
“Eh, anu... bukankah kita telah diperintahkan oleh Panglima Solinga untuk menumpas mereka setelah mereka berkumpul semuanya?” Hulungka menjawab dengan gugup.
“Aku tidak sependapat!” tiba-tiba orang yang ada di dalam perahu itu menggeram keras.
Tubuh Sogudai dan Hulungka yang besar itu tersentak kaget. Mereka saling berpandangan. “Maksud... Maksud Kongcu?” Sogudai memohon penjelasan.
“Aku tidak setuju dengan rencana panglima Solinga!”
“Jadi...?”
“Kita akan membantai para pemenang perlombaan itu secepatnya, dimanapun juga mereka kita temukan! Tak perlu harus menunggu mereka berkumpul!”
Hulungka dan Sogudai menjadi ketakutan, wajah mereka menjadi pucat. “Tapi... tapi... panglima Solinga telah dipercaya oleh “Seng-yu” untuk memimpin tugas rahasia ini.” Dengan suara gemetar Hulungka mencoba untuk memperingatkan.
“Persetan dengan kepercayaan itu! Yang penting kita harus berhasil dengan tugas ini! Seharusnya panglima Solinga berpikir dua kali untuk mempercayai rencana Au-yang Goangswe itu!” orang di dalam perahu itu menggeram lagi dengan keras.
“Maksud Kongcu...?” Hulungka bertanya.
“Orang Han terkenal akan kelicikan dan kecerdikannya. Aku khawatir Au-yang Goanswe sengaja meniupkan berita palsu untuk menjebak orang-orang yang hendak merintangi tugasnya, ingatlah! Au-yang Goanswe adalah seorang penglima perang yang terkenal cerdik dan ahli bersiasat!”
“Oooohh!” Hulunga tertegun seperti orang yang baru saja terbangun dari tidurnya. Perkataan orang yang ada di dalam perahu itu mulai mengusik hatinya.
“Seharusnya kita merasa heran atas rencana itu. Cobalah kalian pikirkan, kota An-king dan Wuhu di propinsi An Hui lalu kota-kota Nanking, Cin Kiang dan Wu-shi di propinsi Kiangsu. Kota-kota tersebut lebih dekat jaraknya dengan Kotaraja daripada Hang ciu ini, nah mengapa anak buah Au-yang Goangswe itu harus bersusah payah membawa rombongan pemenang sayembara itu ke sini kalau akhirnya mereka harus dibawa kembali ke utara? Masuk akalkah itu?”
“Ini..., ini, eh... pendapat Kongcu rasanya betul juga.” Akhirnya dengan suara lirih Hulungka mengakui.
“Benar, rasanya memang aneh, mengapa mereka tidak dikumpulkan di kota Nanking saja, sehingga tidak bolak-balik membawanya?” Sogudai berdesah pula dengan heran.
“Nah! sekarang kalian berdua boleh memilih, menurut perintahku atau... tetap mengikuti rencana Panglima Solinga! Lekas jawab!”
“Tapi... bagaimana dengan Panglima Solinga?” Hulungka menjawab ragu.
“Jangan khawatir! Aku sendiri yang akan berbicara dengan dia nanti.” Orang yang ada di dalam perahu itu berkata tegas.
“Bagimana dengan Seng-yu...?” Sogudai bertanya pula.
“Jangan cerewet! Aku juga yang akan bertanggung jawab jika Seng-yu marah! Nah... bagaimana?” Sogudai dan Hulungka saling memandang sejenak, kemudian mengangguk ke arah perahu.
“Baiklah, kongcu, kami berdua akan patuh pada perintah Kongcu” keduanya menjawab berbareng.
“Bagus! Pilihan kalian memang tepat! Aku tidak perlu bersusah payah memerintahkan Lok kui tin (barisan enam hantu) untuk mengambil nyawa kalian...” orang di dalam perahu itu berkata dingin.
“Terima kasih, Kongcu.” Hulungka dan Sogudai cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut di atas pasir, keringat dingin keluar membasahi punggung mereka.
Keringat dingin juga mengalir membasahi tubuh Siau In di tempat persembunyiannya. Semakin banyak gadis itu mendengarkan percakapan mereka, hatinya semakin ngeri dan di dalam hatinya gadis itu juga menjadi semakin yakin bahwa ia sedang berhadapan dengan orang-orang asing. Orang-orang dari suku bangsa Nomad yang berdiam jauh di utara, bahkan kalau ditilik dari nama maupun sebutan-sebutan yang mereka gunakan, mereka memang benar-benar dari suku bangsa Hun.
“Apa yang hendak mereka lakukan di tempat yang jauh ini? Mengapa mereka akan membunuh semua pemenang perlombaan “Mengangkat arca”? mengapa mereka sampai mengirimkan panglima pula? Ah...! Aku tidak mengerti, tentu... tentu ada sesuatu rencana yang besar di balik semua ini. Aku... aku harus melaporkannya kepada Suhu.” Berbagai macam pertanyaan berkecamuk di benak Siau In.
“Kongcu! Perahu besar itu sudah kelihatan!” Tiba-tiba entah darimana datangnya, salah satu dari keenam pengawal itu telah berada disamping Hulungka, ia mengenakan seragam merah-merah. Kedatangan orang itu tidak hanya mengagetkan Siau In, tapi juga mengejutkan Sogudai dan Hulungka.
Menurut Siau In gerakan orang berseragam merah-merah ini sungguh sesuai dengan julukannya. Hantu! Tanpa diketahui gerakannya dan darimana ia datang, tahu-tahu ia telah berdiri di dekat Hulungka! Kecepatannya gerakannya rasa-rasanya tidak jauh dibawah orang yang bersembunyi di dalam perahu itu. Sedangkan bagi Sogudai dan Hulungka sendiri rasa kaget itu lebih disebabkan karena tidak menyangka bahwa mereka bisa bertemu muka secara langsung dengan salah seorang Hantu Pengawal Raja yang amat tersohor di negerinya.
Soal kesaktian, barisan enam hantu itu memang sudah lama mereka ketahui, apalagi sepak terjangnya yang ganas, kejam, serta penuh rahasia itu dan seperti halnya Siau In, dia-diam hati merakapun merasa bergetar menyaksikan kehebatan ginkang hantu berseragam merah tersebut.
“Kata orang hantu merah ini adalah orang termuda dari barisan hantu itu, paling muda tapi kabarnya paling ganas dan paling sulit diajak bersahabat, hmm kalau yang termuda saja ginkangnya sudah demikian tinggi, apalagi dengan yang lain-lainnya” diam-diam Sogudai dan Hulungka berkata di dalam hatinya.
“Baik, Ang kui! kau bersiaplah bersama saudara-saudaramu! Kita tumpas rombongan pemenang sayembara itu setelah mereka berkumpul di atas perahu!” orang yang bersembunyi di dalam perahu itu tiba-tiba memberi perintah.
“Baik, Kongcu!” Ang-kui menyahut lantang, kemudian tubuhnya melesat pergi dengan cepatnya.
“Sogudai...! Hulungka! Perahu besar yang dikirim untuk mengangkut pemenang sayembara itu telah datang, ternyata semuanya memang sesuai dengan rencana. Kita basmi mereka setelah pemenang dari kota Hangciu nanti datang, hm, apakah kalain sudah siap?” orang yang disebut kongcu itu lalu mengalihkan kata-katanya kepada Sogudai dan Hulungka yang masih berdiri di tempat itu.
“Hamba juga sudah siap, Kongcu.” Sogudai dan Hulungka menjawab hampir berbarengan.
“Bagus, nah, Hulungka... Kau ajak Sogudai bersama anak buahmu untuk mengawasi perahu itu di tengah laut! Awas, kalian harus benar-benar dapat mempergunakan penyamaran kalian sebagai nelayan dengan baik! Jangan sampai anak buah Au-yang Goanswe curiga, cepat kalian melapor kalau perahu itu merubah haluan!”
Hulungka cepat membungkukkan tubuhnya, kemudian menggandeng lengan Sogudai, menuju ke sampan bersama anak buahnya, sebentar saja sampan-sampan itu telah dikayuh ke tengah lautan. Siau In benar-benar memperoleh tempat persembunyian yang bagus, yaitu di sebuah tumpukan karang-karang besar yang berongga di dalamnya, sehingga dengan aman dan leluasa ia bisa mengawasi keadaan di tepian itu tanpa diketahui oleh lawan-lawannya.
Siau In memang tidak menunggu terlalu lama, begitu sampan-sampan tadi hilang ditelan kegelapan, dari tengah laut tampak sinar lampu yang semakin lama semakin membesar, keringat dingin mulai membanjir kembali di tubuh gadis itu, ia tak segera bisa memutuskan apa yang harus ia perbuat untuk menolong mereka.
“Kepandaian mereka rata-rata berada di atas kepandaianku, melawan mereka sendirian berarti bunuh diri, tapi kalau hanya melihat dan berdiam diri saja di sini, rasanya juga salah. Ahhh... apa yang harus kulakukan?” Belum juga Siau In menemukan jalan keluar yang baik untuk ia lakukan, telinganya telah mendengar suara derak perahu dan lengkingan suara aba-aba di kejauhan.
Ketika Siau In melongok dari lobang persembunyiannya, dilihatnya sebuah perahu besar telah membuang sauh agak jauh dari garis pantai, dua buah lampu besar menerangi bagian haluan dan buritannya dan Siau In segera melihat kesibukan para penumpangnya. Belasan orang prajurit berseragam lengkap berbegas menurunkan beberapa buah sampan kecil ke dalam air.
Kemudian satu persatu mereka turun menaikinya, sebuah sampan untuk tiga orang prajurit, mereka lalu menyebar di sekeliling perahu besar tersebut untuk berjaga-jaga. Seorang perwira tinggi berseragam indah gemerlapan tampak keluar dai bilik perahu, seperti sedang kesal ia melangkah cepat ke atas anjungan, seorang lelaki berpakaian biasa tampak menempel ketat dibelakangnya.
“Heran! Kemana Lin Kok Liang dan Su Hiat Hong ini? Mengapa mereka tidak menyambut kedatangan kita?” perwiran itu menggerutu kesal.
“Mungkin ada sesuatu yang menghambat tugas pekerjaan mereka, Ciangkun.” Lelaki berpakaian biasa yang tidak lain adalah pengawal pribadi perwira itu menjawab perlahan. “Jangan-jangan mereka kena musibah juga seperti yang lain...” Perwira itu tidak berkata lagi, dia hanya berdesah panjang seraya naik ke tempat yang lebih tinggi lagi, matanya tajam mengawasi kegelapan malam, tiba-tiba wajahnya menjadi cerah, ia melihat iring-iringan manusia menuju ke tempat itu.
“Itu mereka datang...!” Serunya lega. “Tampaknya banyak juga anak yang dibawanya...”
Siau In mengintip lagi dari celah-celah lobang persembunyiannya, di kejauhan dari arah perkampungan Ui-Thian-cung, memang terlihat sebuah iring-iringan panjang mendatangi, setelah dekat gadis itu segera mengeryitkan dahinya, rombongan itu terdiri dari sepuluh orang pemuda tanggung dan enam orang pengiringnya. Siau In memang tidak mengenal tiga orang pengiring bersenjata golok di belakang barisan, tapi ia mengenal tiga orang pengiring yang berjalan di depan barisan.
Dua orang diantaranya pernah di lihatnya di dalam warung arak pagi tadi, sementara yang seorang lagi adalah Tong taisu yang baru saja berkelahi dengannya. Perwira tinggi yang berdiri diatas anjungan itu segera memerintahkan anak buahnya untuk menurunkan sampan lagi yang agak besar, bersama pengawal pribadinya ia lalu mendarat di tepian.
“Selama malam, Gui Ciangkun...!” Lin Kok Liang yang segera tiba pula bersama rombongannya, menyapa sambil membungkukkan badannya. “Maaf kami datang terlambat, ada keributan sedikit yang menggangu perjalanan kami.”
“Keributan...?” Gui Ciangkun berdesah kaget. “Apakah rombonganmu juga diganggu orang-orang dari Rimba persilatan?”
Lim Kok Liang, Su Hiat Hong dan Tong Taisu saling berpandangan dengan mata terbelalak. “Mengapa Ciangkun berkata demikian? Apakah Ciangkun sudah lebih dulu mengetahuinya?” Lim Kok Liang bertanya.
“Hmmm... benar, bukan? Nah, tadi aku hanya menduga-duga saja, karena rombongan yang lain-lain juga mengalami hal yang sama, sampai sekarang perahuku masih kosong karena rombongan dari Sao-hing yang dipimpin oleh Kwa Ciangkun diserbu penjahat di tengah jalan, semuanya mati terbunuh kecuali Kwa Ciangkun, ia terluka parah dan kini ada di dalam perahu. Kwa Ciangkun mengatakan bahwa selain rombongannya, rombongan Ong Ci Kin dari kota Cia-sing juga telah disergap pengacau bahkan Ong Ci Kin dan seluruh anak buahnya ikut terbunuh pula.”
“Gila...! Ternyata benar juga hasil penyelidikan Tong Taisu.” Lim Kok Liang menggeram marah sambil menoleh ke arah temannya yang berambut panjang itu.
“Aku sudah memberi peringatan kepada Lim Ciangkun pagi tadi, kita harus lebih berhati-hati karena ada sebuah kekuatan rahasia yang besar jumlahnya sedang mengintai kita, bahkan sekarangpun hatiku merasa kurang enak, jangan-jangan tempat ini telah mereka ketahui pula...” Tong Taisu menyambut dengan berat.
Diam-diam Siau In menjadi tegang sendiri, rombongan pemenang sayembara dari kota Hangciu itu berkumpul tidak jauh dari tempat persembunyiannya, lalu Tong Taisu dan Lim Kok Liang berdiri didekat perahu yang ditimbuni ilalang tadi dan di dalam ketegangnnya itu Siau In hampir saja berteriak memperingatkan mereka akan bahaya yang sedang mengintai.
“Taisu tak perlu khawatir, hanya kalangan kita sendiri saja yang mengetahui tempat ini.” Tiba-tiba Gui Ciangkun membesarkan hati Tong Taisu. “Tapi... Kalau rahasia tempat ini memang sudah bocor ke telinga mereka, kitapun tidak perlu takut, aku membawa tiga puluh enam prajurit pilihan untuk melaksanakan tugasku ini.”
Tong Taisu menjura denga hormatnya, namun sebelum pendeta berambut panjang itu mengutarakan pendapatnya sekonyong-konyong terdengar suara orang tertawa dingin, suara tersebut demikian dekatnya sehingga semua merasa seolah-olah orang yang sedang tertawa itu berada diantara mereka.
“Hahahahaha...! Hahaha...! Ciangkun, kau jangan terlalu menyombongkan prajuritmu yang tidak ada gunannya itu. Berpalingalah...! Coba kau lihat lagi prajurit kebangganmu itu! Adakah mereka itu bisa diandalkan? Hahaha...!”
Otomatis semuanya berpaling ke perahu besar milik Gui Ciangkun dan semuanya segera terbelalak kaget! Belasan prajurit yang tadi kelihatan diatas geladak, kini tampak bergelimpangan dimana-mana. Ada yang tergolek di atas anjungan, ada yang terjungkal di bawah tangga dan ada pula yang tersampir di pagar perahu. Semuanya telah meninggal, sedangkan sampan-sampan kecil tadi kini juga tidak berpenumpang lagi, penumpannya telah mengapung di dalam air. Mati.
“Haaaa...?” Semuanya menjerit kaget seolah tak percaya, mereka sama sekali tidak mendengar suara apa-apa, apalagi suara keributan ketika para prajurit itu mendapatkan serangan, para prajurit itu seperti dengan mendadak mati sendiri secara berbareng.
“Gui Ciangkun...!” Lim kok Liang berseru dengan suara serak.
“Kok Liang...!” Gui Ciangkun berdesah pula dengan suara lirih.
“Hahaha, bagaimana Gui Ciangkun? Benar, bukan? Prajuritmu itu sama sekali tidak berguna, mereka mati tanpa sedikitpun berkesempatan menggerakkan senjatanya dan sebentar lagi engkau dan kawan-kawanmu ini akan bernasib sama pula seperti mereka. Hahihiha... bersiap-siaplah!” sura itu kembali menggema di telinga mereka.
Otomatis semuanya saling mendekatkan diri membentuk lingkaran. Gui Ciangkun dan pengawalnya, Lim kok Liang, Su Hiat Hong, Tong Taisu serta tiga orang bersenjata golok yang dibawa oleh Lim Kok Liang. Masing-masing telah menggenggam senjata andalan mereka sendiri. Lim Kok Liang dan Su Hiat Hong memegang pedang, sedangkan Tong Taisu juga telah mengeluarkan tasbehnya.
“Kok Liang! Apakah orang ini yang mengganggu perjalananmu?” dalam ketegangannya Gui Ciangkun masih sempat berbisik kepada Lim Kok Liang.
“Entahlah. Dia belum memperlihatkan batang hidungnya...”
Sementara itu pemuda-pemuda pemenang sayembara itu menjadi ketakutan setengah mati, termasuk pula A Liong di dalamnya. Hati yang semula diliputi kebanggaan dan kegembiraan itu tiba-tiba kini berubah menjadi ngeri dan ketakutan yang amat sangat, bahkan beberapa orang diantara mereka telah menjadi lemas dan pingsan, sementara yang lain seperti memperoleh kekuatan untuk lari dari tempat tersebut. Namun langkah mereka segera terhenti ketika enam orang berseragam warna-warni sekonyong-konyong muncul dari dalam kegelapan menghalangi mereka.
“Tolong! Tolong...!” Mereka menjerit ketakutan.
“Lok kui-tin, bunuh mereka!” suara tanpa wjud itu tiba-tiba memberi perintah.
“Jangan! Jangan bunuh aku...!” A Liong yang berdiri diantara pemuda-pemuda itu merintih ketakutan.
Tapi rintihan itu segera terbenam dalam teriakan dan jeritan ngeri teman-temannya, tubuhnya dan juga tubuh kawan-kawannya sekonyong-konyong seperti dihantam oleh badai yang maha dahsyat sehingga terlempar kesana kemari dan tubuh A Lion bersama dua orang temannya secara kebetulan membentur batu karang dimana Siau In bersembunyi. Semuanya berlangsung dengan cepat sehingga Gui Ciangkun dan Lin Kok Liang terlambat memberi pertolongan, pemuda-pemuda itu telah terlanjur mati dengan tubuh menggenaskan.
“Bunuh juga yang pingsan itu! Jangan biarkan seorangpun lolos!” suara tanpa wujud itu kembali memberi perintah lagi.
Keenam hantu itu cepat menghanpiri pemuda-pemuda yang pingsan tadi, tapi sebelum mereka melepaskan serangan, Lin Kok Liang lebih dulu berteriak.
“Tunggu...! Jangan bunuh mereka!” Lin Kok Liang cepat melesat ke depan Lok kui tin, kemudian diikuti pula oleh teman-teman yang lain. “Kalian ini sebenarnya siapa? Mengapa membunuhi orang-orang yang tak berdosa?” Lin Kok Liang menggeram penasaran.
“Bagaimana, Kok Liang? Benarkah mereka yang telah mengganggu perjalanan tadi?” Gui Ciangkun yang telah berada di samping Lim Kok Liang berbisik pelan.
Lin Kok Liang menghembuskan napasnya kuat-kuat. “Bukan Ciangkun, orang yang mengganggu kami tadi adalah anak murid aliran Beng-kauw, orang-orang ini kelihatannya bukan dari aliran itu.”
“Kalau begitu mereka ini tentulah kawanan penjahat yang teleh mencegat dan membasmi rombongan Ong Ci Kin dan Kwa Sing.” Gui Ciangkun menggeram pula.
“Hahaha... dugaan Ciangkun memang tidak salah. Memang kamilah yang telah menumpas seluruh rombongan Ong Ciangkun dan kwa Ciangkun dan kami memang sengaja tidak membunuh mati Kwa Ciangkun agar kami bisa bertemu dengan rombongan Gui Ciangkun, hehehe...” suara tanpa wujud itu kembali menertawakan kebodohan Gui Ciangkun.
“Kurang ajar...! Keluarlah kau! Dan katakanlah siapa kalian ini sebenarnya? Mengapa kalian membunuhi petugas-petugas kerajaan? Apakah engkau ingin memberontak terhadap kerajaan?” Gui Ciangkun berteriak lantang.
Tak terduga teriakan Gui Ciangkun itu disambut dengan ketawa dingin oleh lawannya, bahkan orang itu kemudian menjawab dengan suara yang amat menghina. “Persetan dengan kerajaanmu! Kami orang-orang Hun sama sekali tidak takut terhadap Rajamu!”
“Oooooh??” Gui Ciangkun, Lim Kok Liang dan Tong Taisu saling pandang dengan wajah kaget, mereka sama sekali tak menyangka bila lawan mereka itu ternyata adalah orang-orang dari suku bangsa Hun di diluar tembok besar.
“Jadi kalian ini orang-orangnya Mo Tan? Tapi..... Mengapa kalian?” Tong Taisu yang sejak tadi belum mengeluarkan suara tiba-tiba berseru keras.
“Karena kami benci terhadap Liu Pang dan keluarganya!” orang yang masih belum mau menampakkan diri itu menggeram dengan nada berang. Sekali lagi Gui Ciangkun, Lim Kok Liang dan Tong Taisu saling pandang dengan dahi berkerut.
“Benci dengan keluarga Kaisar? Mengapa? Dan... Kalau kalian memang membenci keluar Kaisar kami, mengapa kalian justru membunuhi orang-orang tak berdosa seperti pemuda-pemuda itu?” Lim Kok Liang cepat menyela.
Tapi orang itu tampaknya menjadi kesal karena diajak omong terus menerus. “Kurang ajar! Kenapa kalian masih berpura-pura juga? Apa bedanya kami dengan kalian he? Perempuan junjungan kalian itu (permaisuri Li Liong Hui) mengumpulkan anak-anak muda ini juga untuk dibunuh pula! Apa bedanya...? Bukankah perbuataku ini justru membantu niatnya itu?” Katanya berapi-api.
“Fitnah! Kau omong sembarangan kau...?” Lim Kok Liang berteriak pula dengan marah.
“Bagus! Kini kalian menjadi marah setelah ketahuan belangnya! Tapi aku malah menjadi senang melihatnya! Kalian akan mampus dengan hati penasaran hahahahahaa!” Suara orang itu berubah menjadi gembira sekali sekarang.
“Bangsat pengecut, keluarlah kau! Marilah kita bertempur sampai mati!” Lim Kok Liang berteriak marah.
“Tidak perlu! Para para pengawalku itu sudah lebih dari cukup untuk mengantarkan nyawamu ke akherat! Lok Kui Tin, bunuh mereka pula! cepaaat!”
Enam hantu itu tiba-tiba menggeram, bersama-sama mereka menerjang rombongan Gui Ciang Kun, dari telapak tangan mereka segera menghembus angin dingin yang mendahului langkah mereka. “Wuuuuushhhh” dan tiba-tiba saja Gui Ciangkun bersama teman-temannya merasa seperti diterjang oleh air yang maha dahsyat!
“Aaahhhhh...” Semuanya menjadi gelagapan seperti anak ayam tercebut di kolam dan otomatis masing-masing berusaha menyelamatkan diri mereka dengan cara mereka sendiri-sendiri.
Gui Ciangkun bersama pengawalnya segera menjatuhkan diri ke pasir dan berguling-guling menjauhi arena, sedangkan Lim Kok Liang dan Su Hiat Hong cepat-cepat menjejakkan kaki mereka ke tanah dan berjumpalitan ke belakang, hanya tiga orang kawan Lim Kok Liang yang bersenjatakan golok itu saja yang berusaha melawan hembusan angin dahsyat itu dengan kekuatan mereka.
Masing-masing memutar golok mereka di depan dada, kemudian dengan nekad menerjang ke depan menyerang lawan. Namun apa yang dilakukan oleh jago-jago silat kerajaan itu tetap sia-sia belaka, kepadaian enam hantu dari luar tembok besar itu benar-benar jauh dari jangkauan kepandaian mereka, tanpa mengendorkan langkah masing-masing, barisan hantu itu tiba-tiba memecah barisannya.
Dua orang bergeser ke kiri dan ke kanan menghindari terjangan tiga orang bergolok itu, untuk kemudian meneruskan langkah mereka memburu Gui Ciang Kun dan pengawalnya. Dua orang lagi segera melesat tinggi ke udara melewati kepala tiga orang bergolok tadi, untuk menangkap Lim Kok Liang dan Su Hiat Hong, sedangkan sisanya yang dua orang lagi tetap menyongsong kedatangan tiga orang bergolok itu dengan tangan kosong.
“Sisakan salah seorang dari mereka untuk memberi laporan kepada Au-yang Goangswe” pimpinan orang-orang Hun itu tiba-tiba berseru lagi memperingakan pengawal-pengawalnya.
Sementara itu di tempat persembunyiannya Tio Siau In belum juga bisa menemukan jalan terbaik yang harus ia lakukan, sebenarnya dengan kedatangan Tong Taisu diantara para pengawal pemenang perlombaan tersebut telah membuat gadis itu menjadi lega, tapi ketika pada gebrakan pertama tadi pendeta lihai itu sama sekali tak mampu mencegah atau menghalangi Lok kui tin membunuhi korban-korbannya, hati Siau In menjadi goyah lagi.
Bahkan akhirnya gadis itu merasa yakin bahwa Tong taisu takkan bisa menyelamatkan orang-orang yang dilindunginya. Dengan perasaan sedih dan kasihan Tio Siau In menatap tiga sosok mayat pemuda-pemuda tak berdosa yang berserakan di depan lobang persembunyiannya. Pakaian yang menempel di badan mayat-mayat itu nyaris hancur terkena pukulan tenaga sakti gabungan dari Lok-kui-tin. Kulit tubuh mereka tampak kehitam-hitaman seperti bekas tersiram air panas.
Mendadak Tio Siau In terbelalak! Secara tak sengaja dan tak terduga mata gadis itu melihat gambar tato naga di pangkal lengan salah satu dari tiga mayat itu. Pikiran gadis itu segera melayang pada pesan gurunya, bahwa ia dan kakak-kakak seperguruannya ditugaskan untuk mencari seorang pemuda yang memiliki tato di tubuhnya.
Sejenak Tio Siau In terpaku diam ditempatnya, betulkan pemuda ini yang dikendaki oleh gurunya itu? Kalau memang benar lalu apa yang harus ia lakukan? Masakan ia harus membawa mayat itu ke hadapan gurunya? Tak terasa tangan Siau In terulur keluar untuk meraih mayat bertato naga itu, seolah-olah ia ingin menyakin sekali lagi bahwa orang itu tidak mati. Tapi karena mayat itu tertindih oleh mayat yang lain, terpaksa Siau In menggeser mayat yang lain itu terlebih dahulu.
Tapi sekali lagi mata Siau In terbeliak lebar! untuk yang kedua kalinya gadis itu melihat gambar tato naga pada tubuh mayat yang lain tersebut, hanya bedanya pada mayat yang pertama tadi gambar itu berada di pangkal lengan dan Cuma berwujud sebuah kepala naga yang menganga, sementara pada mayat yang kedua gambar naga itu berada di tengah-tengah dada dan lebih lengkap bentuknya, bahkan gambar pada mayat yang kedua itu terdiri dari dua ekor naga yang saling membelit satu sama lain.
Setelah hatinya menjadi tenang kembali Siau In mencoba memperhatikan mayat yang ketiga yang tergolek miring membelakangi lobang persembunyiannya, seperti mayat-mayat yang lain mayat itu juga hampir telanjang sama sekali, hanya ada sedikit saja serpihan-serpihan kain yang masih tersisa di badannya.
“Hmmmmmmm... jangan-jangan mayat itu juga memiliki gambar tato naga di tubuhnya.” Gadis itu menduga-duga. Tangan Siau In sedikit gemetar meraih tubuh mayat yang ketiga itu, lalu disentakkanya sehingga terlentang dan benar juga dugaannya! Mayat yang berdada bidang itu mempunyai tato naga pula di atas dada sebelah kanan, tidak begitu besar. Cuma sebesar jari tangan orang dewasa, tapi digores dengan coretan yang kuat dan bagus sekali sehingga gambar naga itu tampak garang dan hidup.
“Nah, apa kataku? Banyak sekali orang yang menggambari tubuhnya dengan lukisan naga di dunia ini, lalu bagiamana aku bisa menentukan orangnya yang dikehendaki oleh suhu?” Gadis itu berkata di dalam hatinya. Beberapa saat lamanya Siau In tercenung diam memikirkan masalah yang dihadapinya, kemarin gadis itu masih merasa sulit untuk bisa melaksanakan perintah gurunya, namun sekarang sekali bertemu ia malah bisa mendapatkan sekaligus tiga orang yang memiliki gambar tato naga di badannya, sehingga ia justru menjadi bingung karenanya.
Sebuah bayangan yang mengerikan tiba-tiba melintas di benak Siau In, mengapa tiga diantara sepuluh orang pemenang “Perlombaan Mengangkat Arca” itu secara kebetulan memiliki gambar tato naga di tubuhnya? Apakah semua itu hanya merupakan kebetulan saja? Jangan-jangan para pemenang lomba yang lain itu juga memiliki gambar tato naga pula?
Kalau memang demikian halnya, persoalan pemuda bertato naga ini tampaknya memang bukan persoalan kecil, tentu ada sebuah misteri besar di balik semua ini. Otomatis Siau In teringat kembali akan kata-kata Lojin-Ong yang disampaikan melalui gurunya, bahwa suatusaat seorang laki-laki bertato naga akan mengharumkan nama aliran Im-yang-kau di kemudian hari.
“Hmmmm, apakah para pejabat kerajaan juga sedang mencari laki-laki bertato naga itu karena ia juga dianggap bisa mengharumkan nama negeri ini? Lalu, bagaimana dengan orang-orang Hun yang membunuhi para rombongan pemenang “Perlombaan Mengangkat Arca” ini? Apakah mereka juga mencari laki-laki bertato naga itu untuk dimusnahkan agar tidak membahayakan negeri mereka di kemudian hari?” bermacam-macam pikiran dan dugaan memenuhi kepala Siau In.
Untuk membuktikan dugaannya gadis itu mencoba mencari mayat pemuda pemenang perlombaan yang lain, tetapi ketika tangannya terjulur keluar hendak meraih mayat yang berada agak jauh dari lobang persembunyiannya, mendadak telinganya mendengar suara keluhan. Siau In terkejut, salah seorang dari tiga sosok mayat tadi ternyata belum mati, mayat berdada bidang dengan gambar naga yang indah dan hidup itu tampak berusaha menggerak-gerakkan tangannya.
“Hei! Pemuda itu belum mati, sungguh mengherankan sekali, tampaknya pukulan dahsyat enam hantu tadi tidak benar-benar telak mengenai tubuhnya, aku harus menolongnya, biarlah ia kuseret ke dalam lobang ini agar tidak terlihat oleh pembunuh-pembunuh itu.” Dengan hati-hati Tio Siang In menarik tubuh pemuda yang masih hidup itu ke dalam lobang persembunyiannya dan bertepatan dengan masuknya tubuh tersebut ke dalam lobang.
Diarena pertempuran terdengar jeritan ngeri saling susul-menyusul, enam orang hantu itu tampaknya telah menyelesaikan tugasnya membunuh mati semua musuhnya. Tempat itu menjadi lengang kembali, Siau In tidak berani bergerak, angin malam yang berhembus dari laut membawa butiran-butiran air bercampur embun, demikian dingin udaranya sehingga bulan tipis yang tergantung di langit seperti terburu-buru menyurukkan diri ke dalam pelukan awan, malam semakin gelap gulita.
Siau In semakin ketakutan di dalam lobang persembunyiannya, sama sekali ia tidak berani bergerak. Gadis itu hanya dapat membayangkan bahwa para petugas kerajaan itu sudah menjadi mayat bercampur dengan mayat para pemuda pemenang angkat arca. Siau In menjadi kaget ketika terdengar geraman orang yang bersembunyi di dalam perahu seperti kura-kura itu.
“Siapakah kalian... He? Berani benar menghalangi orang-orangku! Apakah kalian sudah bosan hidup?”
“Ada orang yang menghalangi mereka, siapa?” Siau In berdesah tak percaya, hampir saja kepalanya melongok keluar tapi karena takut segera ditariknya kembali.
“Biarlah kami yang membereskannya Kongcu, tak perlu kongcu mengotori tangan untuk membunuh dua orang tua ini.” Ang-kui yang pernah di dengan suaranya oleh Siau In tadi menggeram.
“Benar, kongcu, mereka telah menghalangi niat kami untuk mencabut nyawa para anjing kaisar Han itu, mereka harus dilumatkan untuk mempertanggungjawabkan kelancangannya...!” Pek Kui si hantu putih yang tertua berseru keras. Hening sejenak, kemudian terdengar suara napas ditarik, panjang sekali.
“Maafkan kami... Kami tak bermaksud mencampuri urusan tuan, bukankah kami belum mengenal tuan-tuan semua, kami hanya ingin mencegah pertumpahan darah ini” terdengar suara serak.
“Kurang ajar...! Enak saja berbicara! Siapa bilang pertumpah darah ini tak berguna? Mereka adalah begundal kaisar Han dan keluarga kami adalah musuh bebuyutan kaisar itu! Nah sudah selayaknyalah kalau kami membasmi mereka!” orang yang bersembunyi di dalam perahu itu membentak.
“Ooooh, jadi tuan-tuan ini bermusuhan dengan mendiang Kaisar Liu Pang? Dan saat kaisar Liu Pang masih hidup tidak berani berhadapan langsung dengan beliau, setelah beliau meninggal baru keluar untuk membunuhi orang-orangnya yang tidak tahu permusuhan itu, wahhh alangkah hebatnya!” tiba-tiba terdengar suara lain yang membuat kaget Siau In di tempat persembunyiannya.
“Suhu...?!?” Gadis itu bersorak dalam hati. Siau In cepat-cepat melongokkan kepalanya keluar, memang tepat, dilihatnya gurunya Giam Pit Seng dengan tenang dan gagah berdiri tak jauh dari perahu orang Hun itu.
Di dekatnya berdiri Lo-jin-Ong, seorang kakek yang benar-benar sudah sangat tua, sehingga tubuhnya yang renta itu telah condong ke depan seolah-olah tulang punggungnya tak lagi kuat untuk menyangganya. Sebatang tongkat terpegang di tangan kirinya untuk menopang agar tubuh reyot itu tidak tersungkur ke depan, rambutnya yang tipis berwarna putih di gelung ke atas sepertinya layaknya seorang pendeta, sementara jenggotnya yang panjang sampai perut dibiarkan melambai-lambai di tiup angin laut.
Dua orang tua itu telah dikepung oleh Liok kui tin, sementara di belakang mereka berdiri bergerombol rombongan Lim kok liang dan Gui Ciangkun, para abdi kerajaan itu tampak pucat kesakitan menahan luka dalam yang parah akibat gempuran lok kui tin tadi, bahkan Gui Ciangkun dan Su Hiat Hong yang memiliki ilmu silat paling rendah diantara mereka tampak tergeletak diam diatas pasir.
Gui Ciangkun masih tampak bergerak-gerak dalam rangkulan pengawalnya, sementara Su Hiat Hong diam tak bergerak seolah telah mati. Tiba-tiba terdengar suara mendengus dari dalam perahu dan mendadak pula Siau In melihat sesosok bayangan berdiri diatas atap perahu tersebut.
Bayangan itu mengenakan baju berlengan pendek yang ditutup oleh kulit rusa berbulu tebal, rambut yang gemuk hitam itu sebagian di gelung keatas dan sebagian lagi dibiarkan terurai di atas bahunya, persis seperti model banci jaman sekarang. Tiga butir mutiara berwarna merah, kuning, hijau tampak gemerlapan di atas tali pengikat rambutnya. Cara berpakaian orang itu tampak sedikit aneh dan tak layaknya orang Han, namun dari bahan yang dikenakan kelihatan bahwa semua itu mahal.
“Hei, orang tua...! Enak saja kau bicara! Kalau keluarga kaisarmu itu tidak selalu bersembunyi di balik tembok Istana yang dijaga oleh ribuan pengawalnya tentu telah kuhabisi dulu-dulu.” Bayangan itu menggeram ke arah Giam Pit Seng.
“Ah, kukira mereka tidak bersembunyi, sejak dahulu keluarga raja atau kaisar memang tinggal di dalam tembok Istana yang kuat dan dijaga para pengawal. Mengapa tuan tidak menggempur saja tembok itu kalau berani, jangan membunuhi anak buahnya dijalanan, hal ini kelihatan bahwa Tuan pengecut tidak berani langsung berhadapan dengan beliau hanya secara pengecut menyergap anak buah beliau” guru Siau In menjawab seolah tak tahu akan bahaya yang dapat menimpanya.
“Kurang ajar...!” Bayangan itu berseru marah. Kemudian seperti kilat menyambar tubuh orang itu melesat ke arah Giam Pit Seng, demikian cepat gerakannya sehingga bayanganya saja hampir tak dapat diikuti oleh mata Siau In, hanya gemerlapnya mutiara dan permata di sarung pedang orang itu yang membantu Siau In untuk melihat.
“Suhu...” Gadis itu berdesah khawatir dalam hatinya.
“Pit Seng, awaaasss...!” orang tua bongkok di samping Giam Pit Seng berdesah dengan suara khawatir pula, tongkat yang ada di tangan kirnya tiba-tiba beralih ke tangan kanan.
“Baik, Lojin-Ong” ketua cabang aliran Im-yang-kau-yang kenyang asam garam pertempuran itu menyahut keras sambil bergegas merogoh sepasang pit atau benda yang menjadi senjata andalannya, tetapi gerakan orang itu benar-benar cepat dan dahsyat tidak terkira, sehingga Giam Pit Seng terbelalak tak percaya, belum juga senjatanya siap ditangan, badai serang itu keburu tiba, cepatnya bukan main.
“Traaaaaang! Traaaaaaaang...!” Untunglah Lojin-Ong cepat membantu, ujung tongkat yang telah pindah ke tangan kanan itu tiba-tiba melambung ke atas, memotong badai serangan yang lewat di depannya.
Benturan keras seperti layaknya dua bilah pedang baja berdentang memekakkan telinga ketika ujung tongkat itu beradu dengan lengan si penyerang, namun berkat bantuan tersebut ternyata tidak sepenuhnya bisa menyelamatkan Giam Pit Seng, lengan si penyerang yang lain ternyata masih terjulur menyambar ke dada Pit Seng. Namun hambatan yang cuma sedetik dari tongkat Lojin-Ong telah banyak artinya buat Giam Pit Seng.
Meski tergesa-gesa dan belum siap sepenuhnya tapi setidak-tidaknya sebuah pit telah terpegang di depan dadanya, sehingga pada sat serangan lawan tiba, pit itu sempat menangkis, meskipun akhirnya harus terlepas dari pegangannya. Ketika kemudian Lojin-Ong dan Giam Pit Seng meloncat mundur untuk bersiap sedia, bayangan yang menyerang mereka itu telah bertengger di atas perahu.
“B-bu-bukan main!” Giam Pit Seng berdesah dengan suara bergetar, telapak tangannya yang memegang pit tadi tampak terkelupas mengeluarkan darah.
“Memang hebat sekali! Sungguh tak kusangka! Usianya masih begitu muda tapi ginkang dan lwekangnya hampir telah mencapai kesempurnaan, sungguh berbahaya...!” Lojin-Ong mengangguk-angguk sambil mengawasi ujung tongkatnya yang somplak. Sementara itu Lok kui-tin telah mengepung mereka, siap untuk menerjang.
“Lok-kui-tin, hati-hati dengan orang tua bongkok itu! Kulit dan tulang-tulangnya ternyata masih alot sekali.” Orang yang ada di atas perahu itu memperingatkan pengawalnya. “Kalian bertiga atau berempat baru bisa menghadapinya...”
“Kongcu...?” Keenam orang yang tergabung dalam barisan hantu itu berdesah seperti orang penasaran. Mereka yang selama ini ditakuti orang dan hampir tak pernah menemukan lawan yang bisa menandingi ilmu mereka tentu saja takkan percaya kalau orang tua jompo itu harus dikeroyok tiga atau empat. Masa orang tua itu memiliki kesaktian melebihi guru mereka? Tampaknya orang yang berada di atas perahu itu merasakan keragu-raguan pengawalnya.
“Jangan bertindak bodoh! Lakukan seperti yang kuperintahkan, nanti kalian akan mengerti! Nah, Pek-kui, Hek-kui, Cing-kui dan Ui-kui... Kalian berempat” menghadapi orang tua bongkok itu! Gi-kui kau melanjutkan pekerjaan kalian yang tertunda tadi! Dan... ang-kui, kau membereskan orang tua bersenjata pit itu!
“Dia sebenarnya tidak ada apa-apa-hya. Paling-paling dia cuma mampu bertahan lima jurus menghadapimu! Kakek bongkok itulah yang berbahaya...!” Meskipun masih merasa penasaran, tapi Keenam Hantu itu tak berani membantah lagi. Mereka segera membagi diri untuk melaksanakan perintah itu...
Namun ketika mereka telah siap untuk bergerak, tiba-tiba orang di atas perahu itu berseru lagi. Tapi tidak kepada mereka. O rang itu mengacungkan jari telunjuknya ke arah batu karang besar ditempat Tio Siau ln bersembunyi.
“Kau siapa...?” Lemas seluruh, sendi-sendi tulang Tio Siau In. Walaupun ia merasa tak menimbulkan suara gerakan. yang membuat dirinya diketahui lawan, tapi tampaknya orang lihai itu telah mengetahui, persembunyiannya. Dengan wajah pucat dan tubuh gemetaran Tio Siau In mengusap keringat dingin yang membanjiri dahi dan lehernya.
“Cepat katakan.! Siapakah kau...?” orang diatas perahu itu Membentak lagi. Hampir saja Tio Siau In menjawab serta keluar dari lobang, persembunyiannya ketika tiba-tiba, di atas batu karang itu terdengar suara jawaban yang. amat dikenalnya. Suara kakek gila, saudara seperguruan si Pemuda nakal yang dibencinya itu!
“Ho-ho-ho-ha-ha-ha...! Sungguh penasaran! Penasaran...! Hei, Bocah Tampan... Kenapa kau melupakan aku di sini? Semuanya kau beri lawan bertanding, tapi... Kenapa aku belum, hah? Lalu... dengan siapa aku harus berkelahi? Apakah... apakah... ohh, ya... tahu aku sekarang, he-he-he-he! Tampaknya kau sendiri yang hendak bertarung denganku! Bagus! Bagus...! lo-ho-ho-ha-ha-ha-ha!”
Tio Siau Tn tidak jadi keluar dari lobang persembunyiannya. Entah mengapa, ada perasaan lega di hatinya. Ternyata bukan dirinya yang dimaksud oleh orang di atas perahu itu. Walaupun di dalam hati ia juga merasa kaget karena ia tak tahu, sejak kapan kakek gila itu bertengger di atas batu karang persembunyiannya.
Di lain pihak kemunculan Put-pai-siu Hong-jin itu juga amat melegakan hati Lojin-Ong dan Giam Puit Seng. Bagaimanapun juga kedua tokoh Aliran Im-yang-kauw itu tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa mereka menghadapi lawan yang amat berat, sehingga kedatangan Put-pai-siu Hong-jin itu benar-benar menambah semangat mereka.
“Iblis gila! Siapakah kau...? Lekas katakan!” orang yang berdiri di atas perahu itu menghardik lagi.
“Percuma saja kau bicara apabila dia sedang sinting seperti itu. Dia adalah Put-pai-siu Hong-jin dari aliran Beng-kauw, heh-heh...” Lojin-Ong cepat-cepat menyela perkataan lawannya.
“Put-pai-siu Hong-jin? Huh, aku belum pernah mendengarnya.” orang yang berdiri di atas perahu itu mendengus dingin.
“Bagus! Bagus! kau memang tidak perlu mengenal nama itu! Akupun benci kepadanya! Hahaha-heheh...! Buat apa mengingat-ingat nama? Hanya membuang waktu saja! Lebih baik berkelahi! He-he... Itu baru asyik! Ayo!” si Gila dari Beng-kauw itu tiba-tiba berteriak kegirangan, kemudian meloncat turun mendekati perahu.
Gerakannya ketika melayang turun dari atas batu karang berkesan santai dan ogah-ogahan, bahkan seperti anak kecil yang sedang main lompat tali saja. Tapi semuanya menjadi kaget dan tercengang keheranan ketika tubuh si Gila itu tidak segera jatuh ke pasir, namun melayang-layang lebih dulu ke kanan kiri, bagaikan daun kering yang terbang tertiup angin, jatuhnyapun tidak di atas kaki tapi menggelepar di atas punggungnya.
“Gila! Bocah itu memang semakin gila...!” Lojin-Ong berdecak kagum menyaksikan peragaan ilmu mengentengkan tubuh yang tiada tara itu.“
“Ginkangnya benar-benar telah mencapai kesempurnaan, sehingga tubuhnya menjadi seringan kapas...” Giam Pit Seng berdesah pula dengan kagumnya.
Ternyata demonstrasi ginkang Put-pai-siu Hong-jin itu membuat keder juga di hati lawannya. Selama ini, orang yang bertengger di atas perahu itu merasa, bahwa ginkangnya tak ada yang bisa mengalahkan selain gurunya, Pendeta Ulan Kili. Namun di tepi pantai yang sepi ini, ternyata ada seorang kakek gila, yang ginkangnya bisa dikatakan setingkat dengan gurunya.
“Hei! Kenapa masih diam saja di situ? Ayoh, cepat kita berkelahi! Tangan dan kakiku sudah tak bisa dikendalikan lagi! Mereka segera ingin berantem!” Put-pai-siu Hong-jin yang sudah berdiri di dekat perahu itu berseru keras.
“Baik! Jangan menyesal kalau nyawamu melayang di tempat ini! Lihat pukulan...!” Orang yang bertengger di atas perahu itu menyambar turun ke arah Put-pai-siu Hong-jin.
“Hoho-haha...! Sekali-sekali aku memang ingin merasakan bagaimana rasanya nyawaku ini keluar sedikit demi sedikit dari dalam tubuhku, hehehe! Kubiarkan dulu dia merangkak sampai ke ubun-ubun, setelah itu cepat-cepat kutarik lagi ke dalam! Hohoho... tentu asyik sekali!” Sambil berceloteh Put-pai-siu Hong-jin melompat ke kiri untuk menghindari serangan lawannya. Kemudian dengan tangkas badannya berputar ke kanan seperempat lingkaran, seraya melepaskan pukulan tangan kiri ke pinggang lawan.
“Wuuusssss!”Gelombang udara dingin menerjang pemimpin rombongan suku Hun itu! Tak ada suaranya, namun terasa mengandung kekuatan yang amat dahsyat!
“Bagus!” pemimpin rombongan Suku Hun itu berseru. Tubuhnya berjumpalitan ke belakang untuk mematahkan serangan itu, kemudian berdiri tegak menghadapi Put-pai-siu Hong-jin kembali. Masing-masing telah menyerang satu kali, sebagai pembukaan dan sebagai penjajagan pertama atas kekuatan lawan.
Dan gebrakan tersebut seolah-olah menjadi tengara atau tanda bagi si Enam Hantu, bahwa pertempuran telah dimulai! Seperti yang telah diperintahkan pemimpin mereka tadi, maka mereka memecah diri menjadi tiga rombongan. Rombongan pertama terdiri dari Pek-kui, Hek-kui, Cing-kui dan Ui-kui, menghadapi Lojin-Ong. Rombongan kedua hanya seorang, yaitu Ang-kui, mendapat jatah untuk membunuh Giam Pit Seng.
Sedangkan rombongan ke tiga juga hanya seorang saja, Ci-kui, bertugas mencari dan membasmi seluruh sisa-sisa lawan yang masih hidup. Demikianlah, dalam waktu yang hampir bersamaan, pertempuran sengit tak dapat dielakkan lagi! Masing-masing telah mendapatkan lawan! Giam Pit Seng yang berhadapan Ang-kui sama sekali tidak kelihatan gentar walaupun lawannya sangat memandang rendah dirinya.
Dua batang pit (pena) terbuat dari baja tulen, berukuran panjang dan pendek, tergenggam, erat di tangannya. Dua batang pit itu berkelebatan di sekeliling tubuhnya, baik untuk menyerang maupun untuk mempertahankan diri, sementara. Ang-kui yang bertangan kosong itu masih belum bersungguh-sungguh melayaninya. Sebentar-sebentar Iblis Merah itu menghentikan gerakannya melihat-lihat pertempuran lainnya.
Seperti halnya Ang-kui, maka Ci-kui yang mendapat tugas ringan, menghadapi sisa-sisa kekuatan Lim Kok Liang, masih kelihatan santai pula. Hanya dengan sebelah tangan Iblis Ungu itu mempermainkan Lim Kok Liang, Tong Taisu dan pengawal Gui Ciangkun. Pada saat segar-bugar saja mereka tak mampu melawan, apalagi dalam keadaan luka dalam yang parah seperti sekarang. Mereka bertiga hanya tinggal menunggu waktu saja, kapan Iblis Ungu itu ingin menghabisi mereka.
Pertempuran yang seru, namun cukup konyol, berlangsung antara Put-pai-siu Hong-jin melawan pemimpin rombongan suku Nun itu. Kali ini pemimpin rombongan suku Hun itu benar-benar membentur musuh yang berat. Dia yang selama perjalanannya ke selatan ini tak pernah mendapatkan lawan tangguh, sehingga sikapnya menjadi congkak dan takabur, kini benar-benar dibuat jengkel dan berang oleh Put-pai-siu Hong-jin yang sinting dan konyol!
Si Gila dari aliran Beng-kauw itu berkelahi tanpa aturan. Selain gerakannya kadang-kadang kacau tak keruan, mulutnya yang lebar tanpa gigi itu juga nyerocos terus tanpa berhenti. Anehnya, dengan gerakannya yang kacau itu bisa saja ia meloloskan diri dari gempuran lawan! Bahkan dengan gayanya yang tak beraturan itu seringmembikin lawannya kalang kabut!
“Lalat busuk! Ternyata kepandaianmu benar-benar hebat! Tangan dan kakiku sampai... waduh! Bangsat... keparat curang! Kau sepak bisulku! Haduuuh! A-duuuh... bocah tak tahu sopan santun! Liha nih, sampai keluar madunya!” Pu-pai-siu Hong-jin berjingkrak-jingkrak kesakitan.
Tapi pemimpin rombongan suku Hun itu tidak mempedulikan ulah Put-pai-siu Hong-jin. Dia terlanjur kesal dan marah menghadapi tingkah-laku Put-pai-siu Hong-jin yang menjengkelkan. Sedari tadi ia telah mengerahkan beberapa macam ilmu silat kebanggaannya, namun kakek gila yang wajahnya lebih mirip monyet daripada manusia itu, ternyata mampu melayaninya dengan baik.
Meskipun gerakannya kacau, kakek gila itu selalu bisa menyelamatkan diri. Ginkangnya memang hebat sekali! Menurut ucapan gurunya, Ulan Kili, Ilmu Meringankan Tubuh yang paling baik di dunia ini adalah ilmu meringanngankan tubuh milik perguruan mereka sendiri, perguruan Ui-soa-pai (Perguruan Pasir Kuning) dari Gurun Gobi! Demikian tersohornya ilmu itu sehingga dalam perkembangan sejarahnya banyak tokoh-tokoh persilatan yang berusaha memilikinya.
Tapi perguruan Ui-soa-pai sangat tertutup dan keras menjaga tradisi sehingga sulit ditembus orang luar. Meskipun demikian ada juga tokoh persilatan yang berhasil mencuri rahasia ilmu meringankan tubuh tersebut dan menirunya. Diantaranya adalah Bu-eng Hwe-teng (Ilmu Terbang di Atas Rumput) milik seorang tokoh iblis yang hidup beberapa puluh tahun yang lalu. Ilmu tersebut merupakan hasil tiruan dari ginkang perguruan Ui-soa-pai!
“Hmmh, apakah ginkang kakek gila ini yang disebut Bu-eng Hwe-teng itu? Tapi... Kulihat gerakannya sama sekali tidak ada yang mirip dengan ginkang Ui-soa-pai.” sambil bertempur orang dari suku Hun itu menduga-duga.
“Buk!” Tak terduga sebuah tendangan Put-pai-siu Hong-jin nyelonong mengenai pantat pemimpin rombongan suku Hun itu! Tidak terlalu keras, karena posisi Put-pai siu Hong-jin sendiri sebenarnya juga tidak memungkinkan untuk melepas tendangan! Meskipun demikian tendangan tersebut telah membuat pemimpin rombongan suku Hun itu menjadi marah dan mereka merasa terhina!
“Hehe-hoho... sekarang impas sudah! kau tadi menyepak bisulku, kini aku ganti menghajar pantatmu! Hoho-hooo...! Sayang tidak punya bisul!” mulut Put-pai-siu Hong-jin yang lebar itu tertawa terbahak-bahak.
“Monyet Tua! Mulutmu memang harus segera dibungkam agar tidak menggonggong terus menerus! Nah, terimalah kematianmu sekarang...!”
Tampaknya pemimpin rombongan suku Hun itu telah merasa cukup menjajaki ilmu kepandaian Put-pai-siu Hong-Jin. Kini dia ingin mengakhiri pertempuran itu. Ia berdiri tegak dengan tangan tersilang di depan dada. Matanya yang mencorong dingin itu menatap Put-pai-siu Hong-jin tanpa berkedip. Dan sebentar kemudian tubuhnya diselimuti. kabut tipis berwarna kebiruan.
Walaupun konyol dan sinting, tapi perasaan dan otak Put-pai-siu Hong-jin sebenarnya tajam dan cerdas luar biasa. Melihat lawannya mulai mengeluarkan ilmu pamungkas, dia juga tak berani main-main lagi. Diapun segera bersiap sepenuhnya. Seluruh urat-urat tubuhnya menggeletar, suatu tanda ilmu silat andalan Aliran Beng-kauw yang disebut Chou-mo-ciang (Ilmu Menangkap Setan), telah siap dilontarkan pula...!