Karya : Sriwidjono |
“Whuh!” gadis cantik bermata dingin itu merasa tak senang pula melihat kedatangan Tio Ciu In yang mampu menyaingi kecantikannya. Di depan meja Kwe Tek Hun, Tio Ciu In menegur Liu Wan yang ternyata juga ikut terbengong-bengong pula menyaksikan kecantikan gadis itu.
“Twako, mari kita berangkat sekarang...!”
“Ini... Ini... eh, kemana kita. akan pergi?” Liu Wan menjawab gugup, sehingga Ciu In menjadi geli melihatnya.
“Hei bukankah kita akan mencari Siau In? Mengapa kau sudah lupa lagi?” dengan gemas Tio Ciu In menggerutu.
“Eh-oh... ya benar. Mari... mari...!” Bagaikan orang bingung Liu Wan lalu berdiri dan hendak beranjak pergi dari tempat itu. Untunglah dengan sigap Kwe Tek Hun menahan lengannya.
“Sebentar, saudara Liu...! Kau hendak pergi ke mana? Bagaimana dengan rencana kita untuk menemui Jeng-bin Lokai,?” pemuda itu mengingatkan.
“Hah?” Liu Wan tersentak kaget dan tersadar dari linglungnya. Kemudian dengan tergesa-gesa pemuda itu mempersilakan Tio Ciu In duduk di kursi dan memperkenalkannya kepada Kwe Tek Hun bersaudara. Tak lupa dengan wajah kemerah-merahan Liu Wan meminta maaf atas kekilafannya. Lalu pemuda itu juga bercerita kepada Tio Ciu In tentang rencana mereka untuk minta pertolongan orang-orang Tiat-tung Kai-pang, agar jejak Tio Siau In cepat ditemukan.
“Terserah kepada Twako. Pokoknya Adikku segera diketemukan.” Tio Ciu In menyahut perlahan.
“Nah, kalau begitu kita berangkat saja sekarang!” Kwe Tek Hun menggeram dengan suara bersemangat.
“Aih... Nanti dulu! Bagaimana dengan makan pagi kita? Bukankah perut kita belum terisi?”
Namun dengan cepat Song Li Cu menahan keinginan kakak seperguruannya itu. “Ah, kau benar Nona Song. Kita tak perlu tergesa-gesa. Kita memang harus mengisi perut kita dulu.”
Sambil tertawa Liu Wan menyambut usul gadis manis itu. Demikianlah seraya menyantap bubur ayam hangat mereka lalu melanjutkan obrolan mereka kembali. Dan Kwe Tek Hun yang merasa dirinya sebagai pihak tuan rumah lalu bercerita tentang pengalaman pengalamannya yang mengesankan selama ia berkelana di dunia persilatan.
Pengalaman Kwe Tek Hun memang sangat banyak, pengetahuannya juga luas karena sejak kecil sampai menginjak remaja sering diajak oleh gurunya yang juga orang tuanya sendiri, mengembara ke seluruh pelosok negeri. Semuanya asyik mendengarkan. Sambil makan perhatian mereka hampir tak pernah lepas dari bibir Kwe Tek Hun.
Bahkan Liu Wan yang sudah bertahun-tahun bertualang di dunia kang-ouw pun masih tetap merasa kagum pula mendengar kisah-kisah yang diutarakan oleh Kwe Tek Hun. Apalagi Tio Ciu In yang masih hijau itu, kisah cerita yang baru pertama kali didengarnya itu benar-benar amat menarik hatinya.
Namun yang sungguh amat menyolok adalah perhatian yang dibenarkan oleh Song Li Cu. Dengan pandang mata mesra, kagum serta bangga, gadis itu selalu mengawasi wajah kakak seperguruannya yang gagah tampan itu. Gadis cantik itu hanya mau melepaskan pandangannya apabila sedang melayani tambahan makanan atau minuman Kwe Tek Hun.
Walaupun sedang asyik makan dan mendengarkan cerita Kwe Tek Hun, tetapi Liu Wan sempat juga melihat kemesraan yang diberikan oleh gadis itu. Sesaat Liu Wan merasa terharu juga. Namun apabila kemudian dilihatnya wajah Ku Jing San yang sayu, hatinya ikut merasa sedih pula.
“Secara diam-diam tampaknya Ku Jing San telah mencintai Song Li Cu, akan tetapi gadis itu sendiri kelihatannya lebih mengagumi Twa-suhengnya. Sementara Kwe Tek Hun sendiri tak bisa diduga hatinya, apakah ia membalas cinta Song Li Cu atau tidak...”
Tak terasa Liu Wan berdesah panjang. Pikirannya lantas terhunjam pada keadaannya sendiri. Dalam usianya yang sudah dua puluh lima tahun ini ia telah banyak mengenal dan berhubungan dengan wanita, namun tak seorangpun di antaranya yang mampu menarik dan menggugah perasaan cintanya.
Bahkan sudah berulang kali ia mencoba menyelusuri keadaandiri pribadinya sendiri, untuk mengetahui mengapa ia merasa sulit mencintai wanita. Tapi sampai sekarang ia belum pernah mendapatkan jawabannya. Padahal ia tak memiliki impian yang muluk-muluk. Sama sekali ia tak bercita-cita untuk kawin dengan seorang putri raja yang cantik bagai bidadari. Diam-diam Liu Wan melirik Tio Ciu In yang duduk di sampingnya. Gadis yang lembut dan ayu itu benar-benar lain daripada yang lain.
Gadis itu mampu menggoncangkan batinnya, meruntuhkan dinding hatinya, sehingga beberapa kali membuatnya gugup, linglung dan salah tingkah. Namun demikian dia juga belum tahu, apakah dirinya telah jatuh cinta atau tidak, karena menurut pengalaman, perasaannya yang panas membara dan menggebu-gebu itu akan segera padam apabila wanita itu mulai bertingkah ingin menguasai dirinya.
“Liu Twako...?” tiba-tiba terdengar suara Tio Ciu In memanggilnya.
“Ha? Yaa... apa?” Bagaikan disengat lebah Liu Wan tersentak kaget, bahkan hampir terjengkang dari kursinya. Sesaat kemudian pemuda itu menjadi gugup. Tapi hanya sesaat saja, karena dengan cepat pemuda itu bisa menguasai dirinya kembali.
“He, Twako... Kau melamun, ya?” Tio Ciu In menegur sambil tertawa.
“Tidak. Aku sedang asyik mendengarkan cerita saudara Kwe...” Liu Wan mencoba membela diri. Tak terduga Tio Ciu In dan yang lain justru tertawa semakin keras. “Nah... Nah... Kebohonganmu justru ketahuan malah. Apa yang hendak kau dengarkan lagi kalau cerita itu sudah selesai sejak tadi?” Dengan suara riang Tio Ciu In semakin menggoda.
“Benarkah...? Wah, ini... Ini...” Liu Wan tersenyum malu.
“Sudahlah, tampaknya saudara Liu Wan menyukai ceritaku sehingga tertidur.” Kwe Tek Hun bergurau.
“Oleh karena itu sebaiknya kita segera berangkat saja.” Semuanya tertawa. Liu Wan terpaksa ikut tertawa pula, meskipun tertawa kecut. Namun suara tertawa mereka terpaksa terhenti ketika mendadak gadis ayu yang baru saja datang tadi menggebrak mejanya.“Brengsek! Pelayan...!” gadis ayu itu berteriak memanggil pelayan.
“Ya. Siocia...? Apakah Siocia menghendaki sesuatu? Apakah... apakah...? Anu... eh, hidangan yang Siocia pesan belum selesai!” Tergopoh-gopoh pelayan yang melayani gadis itu tadi datang dan bertanya gugup.
“Persetan! Aku tidak menanyakan masakanmu! Aku hanya tidak menyukai suara berisik di ruangan ini! Hmmmh! Apakah kau tidak mempunyai tempat yang lain, yang terpisah dari tempat ini, agar aku bisa tenang menikmati hidanganmu?” Gadis itu membentak sambil bertolak pinggang. Suaranya nyaring dan beberapa kali matanya yang bulat indah itu melirik ke arah meja Kwe Tek Hun.
Pipi Song Li Cu menjadi merah karena jelas yang dimaksudkan oleh gadis itu adalah rombongannya. Namun sebelum Song Li Cu bertindak lebih jauh, Kwe Tek Hun telah lebih dahulu menahannya. Dengan sabar dan tenang pemuda gagah itu menjura ke arah tetangganya yang sedang marah tersebut.
“Maafkanlah kami. Nona. Kami sampai lupa bahwa kami bukan berada di tempat kami sendiri. Biarlah kami pergi. Nona tak perlu mencari tempat yang lain lagi.” Kwe Tek Hun lalu mengajak Liu Wan, Tio Ciu In dan adik-adik seperguruannya meninggalkan tempat itu.
Liu Wan, sebagai pemuda matang yang telah kenyang pengalaman, dapat menerima dan memahami sikap Kwe Tek Hun yang sabar dan mau mengalah itu. Tapi bagi Tio Ciu In, Ku Jin San dan Song Li Cu, sikap Kwe Tek Hun yang terlalu mengalah itu benar-benar tidak bisa mereka terima. Bukankah tempat itu tempat umum? Bukan rumah pribadi? Seharusnyalah setiap orang yang berada di tempat itu menyadari bahwa ia tidak berada di rumahnya sendiri.
Tetapi karena Kwe Tek Hun sebagai wakil dari rombongan itu telah mengutarakan sikapnya, maka meskipun menahan berang Ku Jing San, Song Li Cu dan Tio Ciu In terpaksa menahan dirinya. Dengan perasaan kesal dan penasaran mereka mengikuti saja langkah Kwe Tek Hun dan Liu Wan, keluar dari ruangan tersebut. Namun demikian tetap saja Ku Jing San dan Song Li Cu yang agak berangasan itu tak bisa menyembunyikan kedongkolan hatinya ketika lewat di dekat meja gadis itu.
Kedua saudara seperguruan itu menatap dengan mata melotot seakan-akan hendak menelan tubuh gadis itu. Tak terduga gadis yang rewel dan cerewet itu ternyata pemarah pula. Sikap yang ditunjukkan Ku Jing San dan Song Li Cu itu ternyata telah menyulut api kemarahannya juga. Persis pada saat Ku Jing San dan Song Li Cu berjalan di dekat mejanya, gadis ayu itu dengan sengaja menumpahkan minumannya.
Tentu saja air teh itu muncrat mengenai pakaian Ku Jing San dan Song Li Cu. Song Li Cu tak bisa mengekang kemarahannya lagi, dengan cepat tangannya meraup tumpahan air teh yang ada di atas meja untuk disiramkan kembali ke wajah gadis ayu itu. Namun sebelum tangannya mampu meraih ke atas meja, ujung sepatu gadis ayu itu ternyata telah lebih dulu menghantam lututnya.
“Duukk!” Seketika itu juga Song Li Cu kehilangan keseimbangan tubuhnya. Badannya terjungkal ke depan menghantam meja! Ku Jing San yang sedikit terlambat menyadari keadaan sumoinya, cepat bertindak Tangannya menyambar tubuh gadis yang terpental itu!
“Braaaaaak!” Tubuh Song Li Cu menghajar meja sehingga tumpahan air teh tadi justru membasahi pakaiannya lagi. Untunglah sebelum tubuh Song Li Cu itu terjerembab ke lantai dan mencium kaki gadis ayu tersebut, lengan Ku Jing San yang kokoh itu telah berhasil menyambarnya, sehingga Song Li Cu terhindar dari penghinaan yang lebih besar lagi.
Ku Jing San benar-benar tak mampu mengendalikan dirinya lagi. Apalagi ketika tubuh Song Li Cu yang ada di dalam pelukannya itu ternyata telah tertotok lemas tak bisa bergerak. Kemarahannya benar-benar meledak. Dengan cepat pemuda itu meletakkan tubuh Song Li Cu di atas kursi yang terdekat, lalu tanpa bicara apa-apa lagi kaki kanannya terayun deras ke depan, mengarah ke kaki meja, dengan maksud untuk melontarkannya ke tubuh lawan.
Dengan kekuatan dan ketangkasan kakinya Ku Jing San yakin ia dapat membalas penghinaan yang menimpa sumoinya. Gadis ayu itu tentu akan jatuh tunggang langgang tertimpa meja. Tapi sedetik kemudian mata Ku Jing San terbelalak! Hampir tak dipercayainya gadis ayu yang kelihatan amat lemah itu ternyata mampu bergerak lebih cepat! Jauh lebih cepat dari gerakannya malah!
Seperti main sulap saja gadis ayu itu membawa kursinya meluncur ke depan meja, lalu kakinya yang terbungkus sepatu mungil itu diangkat ke atas, menyongsong kaki Ku Jing San. Maka tak dapat dihindarkan lagi kedua kaki yang berlawanan arah itu bertemu satu sama lain. Sekejap Ku Jing San agak menyesal. Pemuda itu khawatir tenaganya akan terlalu besar sehingga kaki lawannya yang cantik itu dapat menjadi patah karenanya. Mati-matian Ki Jing San mencoba mengurangi tenaganya!
Tapi untuk yang kedua kalinya Ku Jing San telah terkecoh oleh lawannya. Kebaikan hatinya itu ternyata justru telah mencelakakan dirinya sendiri. Ketika kedua kaki yang berlawanan arah itu saling berbenturan satu sama lain. bukannya kaki mungil itu yang patah, tetapi justru sebaliknya kaki Ku Jing San yang kokoh kuat itulah yang berderak mau patah.
“Dhiieees!”
“Uuugh!” Ku Jing San mengeluh pendek. Tubuhnya yang besar itu terlempar ke belakang menabrak meja yang lain. Namun demikian dengan tangkas pemuda itu bangkit kembali. Hanya saja ketika akan melangkah, tiba-tiba saja kakinya terasa sakit bukan main. Terpaksa dengan hanya bertumpu pada kaki kirinya pemuda itu meloncat ke depan lawannya kembali. Tangan kirinya meluncur dengan kekuatan penuh ke arah muka gadis ayu itu.
Dan kali ini pemuda itu benar-benar tidak mau sembrono lagi. Pukulannya itu benar-benar dilandasi dengan seluruh tenaga dalamnya yang dahsyat. Akan tetapi untuk yang kesekian kalinya Ku Jing San telah salah perhitungan pula. Lawannya kali ini ternyata memiliki watak, sifat dan kesaktian yang tidak lumrah manusia.
Gadis ayu yang kelihatan lemah gemulai itu ternyata sama sekali tidak mempunyai rasa belas kasihan dan kebajikan. Bagaikan iblis wanita yang haus darah gadis ayu itu juga mengayunkan tangan kanannya dan belasan am-gi (senjata rahasia) berbentuk bintang segera menebar menyongsong kedatangan Ku Jing San.
Begitu banyaknya senjata rahasia itu tersebar dari telapak tangannya, seolah-olah gadis ayu itu hendak membunuh seekor gajah hanya dengan sekali timpuk. Wajah Ku Jing San menjadi pucat pasi. Pemuda itu merasa ajalnya telah sampai. Tak mungkin ia dapat menghindari semua senjata rahasia yang tertuju ke arah bagian-bagian tubuhnya yang mematikan itu.
Seluruh kejadian, sejak Song Li Cu mendapat musibah sampai dengan Ku Jing San terancam jiwanya, berlangsung dalam waktu yang singkat, sehingga orang-orang yang berada di dalam ruang makan itu hampir sama sekali belum menyadari apa yang telah terjadi. Baru sesaat kemudian semuanya sadar bahwa telah terjadi keributan yang bisa mengancam jiwa mereka. Otomatis semuanya bubar dan lari menghindar.
Ternyata Liu Wan dan Kwe Tek Hun yang berjalan mendahului rombongan itu juga terlambat mengetahui kejadian yang menimpa Song Li Cu dan Ku Jing San tersebut. Mereka berdua baru sadar ketika keadaan Ku Jing San sudah diambang maut! Demikianlah, di dalam situasi yang amat mendesak dan berbahaya bagi keselamatan Ku Jing San itu, tiada lain yang bisa dilakukan oleh Kwe Tek Hun dan Liu Wan selain berusaha menolong dengan ilmunya yang paling tinggi. Hampir berbareng keduanya bergerak!
Liu Wan berbalik sambil merendahkan badannya. Dari bawah pinggangnya pemuda itu menggerakkan kedua tangannya ke depan, ke arah taburan am-gi yang meluncur dari tangan gadis ayu itu. Terdengar suara mendesing tajam dari telapak tangannya itu ketika hembusan angin yang kuat menyambar ke arah taburan amgi.
“Siiiiiiing!!!” Dan pada saat yang bersamaan Kwe Tek Hun menjejakkan kakinya ke lantai. Tubuh pemuda itu melesat seperti kilat ke depan dengan gaya dan gerakan yang sangat aneh serta mentakjubkan. Badan pemuda itu selalu berputar setengah lingkaran setiap menjejakkan kakinya ke lantai. Dan hanya dalam dua kali gerakan saja pemuda itu telah mampu menyambar tubuh Ku Jing San. Jauh lebih cepat daripada luncuran am-gi lawannya. Pada detik itu pula tiba-tiba terdengar suara ledakan yang keras bagaikan petir.
“Duuuuuuuaaar!” Belasan senjata rahasia yang meluncur dari tangan gadis itu tadi tampak berhamburan ke lantai terkena pukulan udara kosong yang melesat dari tangan Liu Wan! Akan tetapi secara tak terduga salah sebuah di antaranya mendadak meledak ketika jatuh menimpa lantai! Dan ledakan itu ternyata disertai semburan api kecil berwarna kehijauan! Celakanya semburan api itu persis mengenai tumit Ku Jing San yang terseret ketika diselamatkan Kwe Tek Hun!
“Auuuugh...!” sekali lagi Ku Jing San mengeluh kesakitan karena semburan api panas itu kebetulan mengenai bagian tulangnya yang nyeri tadi. Ku Jing San lolos dari maut berkat pertolongan Kwe Tek Hun dan Liu Wan. Tetapi gadis ayu itu justru tertawa menyakitkan.
“Hihihi... Hebat sekali! Sungguh hebat sekali! Selama keluar dari rumah baru sekarang aku melihat ilmu silat yang bermutu! Dan kalian berdua ternyata memiliki ilmu silat yang berbeda. Yang satu mempunyai Thian lui-khong (Pukulan Petir Membelah Langit) dari keluarga Yap, sedangkan yang lain memiliki Ban seng-po Lian-hoan (Langkah Selaksa Bintang Berantai) dari Keluarga Kwe yang tersohor! Nah, coba kalian sebutkan... apa hubungan kalian dengan keluarga-keluarga tokoh persilatan yang kusebutkan tadi?”
Kalau pada saat itu ada halilintar yang menyambar di dalam ruangan tersebut, mungkin Liu Wan maupun Kwe Tek Hun tidak akan sekaget seperti sekarang. Rasanya benar-benar tak masuk akal, hanya dengan melihat sebuah gerakan saja dari ilmu silat mereka, gadis ayu yang masih berusia sangat muda itu mampu menebak dengan tepat asal-usul ilmu silat Liu Wan maupun Kwe Tek Hun!
“Nona...? Sebutkan dulu, kau siapa...?” dengan suara serak Liu Wan bertanya.
“Benar, Nona... sebutkanlah namamu dan nama perguruanmu!” Kwe Tek Hun turut menandaskan pertanyaan Liu Wan.
Gadis ayu itu tertawa geli, namun kali ini nadanya terasa dingin dan kaku. Suaranyapun terdengar congkak dan ketus ketika memberi jawaban. “Kalian mau tahu namaku? Huh, boleh saja! Setiap saat kalian boleh saja mencari aku untuk membuat perhitungan! Dengar, namaku... Mo Goat! Aku datang jauh dari utara Tembok Besar, dari Gurun Gobi! Cukup jelas?”
“Gurun Gobi...?” Liu Wan dan Kwe Tek Hun berdesah sambil berusaha mengingat-ingat tokoh-tokoh persilatan yang bertempat tinggal di Gurun Gobi, yang mungkin mempunyai hubungan dengan gadis di depan mereka itu. Tetapi sampai beberapa saat mereka berdua tetap tak mampu menemukan tokoh yang mereka kenal.
Sebaliknya dengan tatapan matanya yang semakin mengancam, gadis ayu yang bernama Mo Goat itu mendesak mereka. “Ayo, sekarang lekaslah kalian katakan! Apa hubungan kalian dengan tokoh-tokoh tua yang telah kusebutkan tadi?”
Liu Wan dan Kwe Tek Hun saling pandang satu sama lain. Sebenarnya mereka tak ingin membawa-bawa nama guru atau perguruan mereka. Akan tetapi gadis itu telah menyebutkan nama dan asal-usul perguruannya, sehingga tak enak rasanya kalau mereka tetap menyembunyikan diri mereka. Salah-salah mereka dikira takut terhadap gadis itu.
Sementara itu Tio Ciu ln telah membawa Song Li Cu dan Ku Jing San ke tempat yang aman. Song Li Cu masih tetap lemas kena totokan tadi, sedangkan Ku Jing San juga masih merasakan kesakitan pada kaki kanannya. Karena tidak bisa mengobati mereka, maka Tio Ciu In memutuskan untuk menantikan saja petunjuk dari Kwe Tek Hun dan Liu Wan.
Dan Tio Ciu In segera memasang telinga ketika gadis yang bernama Mo Goat itu bertanya tentang asal-usul Liu Wan dan Kwe Tek Hun. Di dalam hatinya gadis ayu itu juga ingin tahu siapa sebenarnya Liu Wan yang baru saja dikenalnya itu.
“Baiklah. Dugaan Nona memang benar. Aku memang mempunyai hubungan perguruan dengan keluarga Yap, karena salah seorang dari anggota keluarga itu adalah Guruku. Dan namaku sendiri adalah Liu Wan...” akhirnya Liu Wan mengaku juga.
“Nah, dugaanku benar bukan? Thian-lui-khong-ciang hanya ada satu di dunia ini dan ilmu sakti itu hanya dimiliki oleh keluarga Yap di Kotaraja. Melihat kesempurnaan ilmu yang kau keluarkan tadi, aku berani memastikan bahwa kau adalah murid Hong-lui-kun Yap Kiong Lee yang terkenal itu. Benar tidak?” dengan suara tetap kaku Mo Goat berkata lantang.
Liu Wan yang biasanya tangkas berbicara itu terdiam. Wajahnya kelihatan kaku menahan geram.
“Dan dugaanku tentang engkau juga benar, bukan?” Mo Goat mengalihkan ucapannya kepada Kwe Tek Hun. “Kau tentu anak murid Keluarga Kwe yang bertempat tinggal di Pulau Meng-to itu.”
Kwe Tek Hun berdesah pendek. Hatinya juga merasa geram terhadap gadis itu, tapi seperti halnya Liu Wan dia juga merasa sulit untuk mengungkapkannya. Gadis itu memang pintar mempermainkan orang. “Ya! Aku memang putera tunggal pendekar Kwe Tiong Li, pemilik Pulau Meng-to.”
Sekejap mata yang bulat indah itu terbelalak. “Oh, jadi kau putera pendekar yang disebut orang Keh-sim Taihiap itu? Sungguh tak kusangka sama sekali. Pantaslah kalau Ban-seng-po Lian-hoan yang kau keluarkan tadi mampu mengungguli kecepatan senjata rahasiaku. Ban-seng-po Lian-hoan memang hebat sekali. Mungkin sejajar dengan Bu-eng Hwe-teng milik Bit-bo-ong jaman dahulu.”
Diam-diam Liu Wan dan Kwe Tek Hun merasa tergetar juga hatinya. Gadis remaja itu ternyata luas sekali pengetahuannya. Sungguh tak sebanding dengan usianya. “Wah, jangan-jangan ilmu silat gadis ini juga hebat pula...” Liu Wan mulai menduga-duga di dalam hati.
Semantara itu melihat kedua adik seperguruannya masih menderita akibat perbuatan lawannya, Kwe Tek Hun menjadi penasaran. “Nona...! Kami hanya tertawa secara tidak sengaja. Itupun aku sudah berusaha mengalah dengan meminta maaf kepadamu. Tetapi mengapa kau tetap saja menganiaya dan mempermainkan Adik-adikku? Apakah engkau benar-benar tidak memiliki perasaan?”
Mata itu tiba-tiba berkilat marah. “Apa katamu? kau anggap aku tak berperasaan? Huh! Justru kalianlah yang tak memiliki perasaan! Semua orang Han berhati culas dan kejam! Mengapa aku harus berbelas kasihan kepada kalian?” sekonyong-konyong Mo Goat menjerit.
Semua orang terperanjat. Ucapan yang baru saja keluar dari mulut gadis itu seperti melantur, namun juga seperti mengandung arti yang dalam, seolah-olah gadis itu sangat kecewa dan amat membenci bangsa Han.
“Eh, ucapan Nona sungguh sangat mengherankan sekali. Mengapa Nona menyeret-nyeret bangsa Han dalam pertengkaran kita ini? Mengapa pula Nona mengatakan orang Han itu culas dan kejam? Apa hubungannya?” Liu-Wan bertanya penasaran. Tak terduga kemarahan Mo Goat semakin berkobar. Gadis itu mengembangkan kipasnya di depan dada. Matanya yang indah itu menjadi beringas.
“Jangan banyak tanya! Pokoknya setiap orang Han yang mengganggu aku takkan kuberi ampun! Harus dibunuh! Termasuk... temanmu yang telah berani menyerangku itu!” serunya nyaring seraya menuding ke arah Ku Jing San.
Kwe Tek Hun mendengus melalui hidungnya. “Kau takkan bisa membunuhnya. Dia adalah adik seperguruanku. Selama aku masih ada di sini, dia takkan bisa kau apa-apakan!” pemuda gagah itu menggeram.
“Hihihihi...! Kau katakan aku tak bisa membunuhnya? Oooo, kau benar-benar buta dan bodoh! Apa kau tak menyadari bahwa Sutemu itu sebentar lagi akan mati? Coba kau lihat kakinya yang sakit itu...!” mendadak gadis itu tertawa mengejek.
Kwe Tek Hun menoleh. Dipandangnya Ku Jing San lekat-lekat. Hatinya merasa was-was juga “Jing San...! Bagaimana kakimu?” tanyanya khawatir.
Ku Jing San yang kesakitan itu cepat membuka sepatunya. Tiba-tiba matanya terbeliak. Kaki yang terbungkus sepatu itu ternyata sudah busuk dan berwarna hijau. “Suheng...!” Ku Jing San berteriak naikkan pipa celananya, warna kehijauan itu ternyata telah merembes ke atas sampai di bawah lututnya kehijauan! Dan ketika pemuda itu melihat dengan gemetar ke arah Kwe Tek Hun.
Bagai berlomba Kwe Tek Hun dan Liu Wan melesat mendekati Ku Jing San. Keduanya bergegas memeriksa kaki anak muda itu. Kwe Tek Hun mencoba menekan bekas luka bakar akibat ledakan senjata rahasia tadi. Tapi betapa kagetnya dia ketika daging itu mendadak terlepas dan jatuh tergumpal di atas lantai. Daging di atas tumit itu sekarang menganga, namun anehnya tak setetespun darah keluar. Kwe Tek Hun meloncat mundur dengan muka pucat. Liu Wan menatap pendekar muda itu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Sebagai seorang tabib yang mengerti ilmu pengobatan ia tahu bahwa kaki itu tak bisa dipertahankan lagi.
“Saudara Kwe! Potong saja kaki itu sebelum racunnya naik ke atas! Cepat!” Liu Wan berseru tegang.
“Apaaaa...? Kakiku dipotong?” Ku Jing San menjerit hampir pingsan.
“Saudara Liu? Apa maksudmu...?” Kwe Tek Hun menegaskan pula dengan suara menggeletar.
“Daging itu sudah mati dan busuk! Tak mungkin bisa dihidupkan lagi walau dengan obat dewa sekalipun! Satu-satunya jalan hanya dibuang, sebelum menjalar ke bagian lain!” Liu Wan menerangkan.
“Ooouuh...!” Ku Jing San berdesah ketakutan. Wajahnya menjadi putih pucat seperti tak berdarah.
“Saudara Kwe, cepat...! Lakukan apa yang dikatakan Liu Twako! Dia seorang tabib yang tak mungkin berdusta!” dalam ketegangannya Tio Ciu ln ikut berteriak.
“Hihihih...! Mengapa kalian semua menjadi cemas? Biarkan saja dia mati! Racun api itu memang tidak ada obat pemunahnya! Sekali kena tak mungkin bisa hidup lagi!” Mo Goat tertawa puas.
Melihat pertunjukkan kekejaman yang sangat mengerikan itu para tamu yang masih tersisa di tempat tersebut segera bubar menyelamatkan diri. Ruang makan itu lantas menjadi sepi. “Iblis keji! kau memang bukan manusia...!” akhirnya Kwe Tek Hun memekik, lalu mencabut pedang yang terselip di pinggangnya dan menabas kaki Ku Jing San, persis pada lututnya.
Darah segar mengucur deras dari kaki yang terpotong itu. Dan pukulan batin tersebut benar-benar tak dapat dipikul oleh Ku Jing San. Pemuda itu terkapar di lantai tak sadarkan diri. Liu Wan yang kemudian bergerak menolongnya. Pemuda yang mahir ilmu pengobatan itu segera memungut bungkusan obatnya.
Paha Ku Jing San cepat diikatnya erat-erat, kemudian lukanya yang menganga lebar itu ditaburinya dengan obat sampai rata. Setelah itu semuanya dibalut dengan kain bersih, sehingga sebentar kemudian kaki yang buntung tersebut telah terbungkus dengan rapi.
Melihat sutenya telah dirawat Liu Wan, Kwe Tek Hun segera kembali menghadapi Mo Goat. Wajah pemuda gagah itu tampak suram. Bagaimanapun sabarnya pemuda itu, namun usia Kwe Tek Hun tetap masih muda. Darahnya masih mudah bergejolak pula seperti halnya pemuda lain.
Apalagi tindakan sewenang-wenang itu menimpa adik seperguruannya sendiri. Maka tidaklah mengherankan bila akhirnya pemuda itu tak bisa menahan dirinya lagi. Terdengar suara berkerotokan ketika Kwe Tek Hun mengerahkan tenaga saktinya. Matanya tampak mencorong seperti mata harimau di dalam kegelapan.
“Nona! Sebetulnya aku tidak suka berkelahi dengan wanita. Tetapi perlakuanmu yang amat kejam itu dan tak berperikemanusiaan itu membuat aku terpaksa menghadapimu.” Lagi-lagi Mo Goat tertawa dingin. Nada suaranya semakin terasa mengerikan, seperti suara hantu cantik di malam sunyi.
“Kau mau melawanku? Baiklah! Tapi jangan menyesal bila nasibmu sama seperti kawanmu itu. Hihihi, majulah...!” Kwe Tek Hun mencabut kembali pedangnya. Pemuda itu tidak ingin bernasib malang seperti halnya Ku Jing San dan Song Li Cu, terjungkal pada gebrakan pertama. Apalagi gadis cantik itu sekarang membawa kipas bajanya yang aneh.
“Lihat pedang!” Kwe Tek Hun tiba-tiba berseru dan menyerang. Mula-mula pedang Kwe Tek Hun menghunjam ke bawah, menuju ke perut Mo Goat. Tapi sebelum ujung pedang itu menyentuh sasaran, Kwe Tek Hun mengangkatnya ke atas seperti layaknya orang mencongkel sebuah benda dengan ujung pedang. Terdengar suara mengaung tak kala ujung pedang yang tipis itu bergetar dengan hebat.
Mo Goat terkesiap Walaupun serangan yang sesungguhnya belum datang, namun getaran ujung pedang yang menggiriskan itu seperti memberi bisikan padanya agar berhati-hati. Oleh karena itu sama sekali ia tak berusaha menangkis atau menyentuh ujung pedang pedang tersebut. Gadis itu memilih jalan yang lebih aman, yaitu menghindar sambil balas menyerang.
Dengan gesit Mo Goat menggeliatkan tubuhnya ke kanan, sehingga pinggangnya yang kecil pipih itu seolah-olah terlipat mau patah. Dan gerakannya yang indah itu segera diikuti dengan meluncurnya ujung kaki kirinya ke atas, ke dagu Kwe Tek Hun.
Untuk sesaat Kwe Tek Hun mengagumi kecerdikan lawan yang tak mau membentur ujung pedangnya, sehingga jebakan yang telah dia persiapkan menjadi batal untuk dilakukan. Bahkan sekarang dagunya balik diserang dengan ujung sepatu lawan. Kwe Tek Hun menarik tubuhnya ke belakang sambil mengayunkan pedangnya mendatar. Sambil mengelak pemuda itu bermaksud menabas kaki Mo Goat.
Kali ini Kwe Tek Hun benar-benar mengerahkan kelincahan dan kecepatan geraknya agar mampu memotong kaki gadis itu, sehingga dendam Ku Jing San dapat terbalas. Tapi keinginan itu memang sulit terlaksana. Jangankan memotong kaki lawan, menyentuh kainnyapun ternyata tidak bisa. Gerakan Kwe Tek Hun yang dilandasi tenaga dalam sepenuhnya itu memang cepat bukan main, namun ternyata gerakan Mo Goat jauh lebih cepat lagi.
Hanya dengan jalan melemparkan badannya ke belakang, gadis ayu itu sudah bisa meloloskan diri dari tebasan pedang Kwe Tek Hun. Meskipun demikian beberapa gebrakan tadi sudah cukup bagi mereka untuk menjajaki ilmu masing-masing. Ternyata mereka sama-sama memiliki kegesitan dan ilmu meringankan tubuh yang luar biasa. Ban-seng-po Lian-hoan dari keluarga Kwe yang sangat dikagumi orang itu ternyata sekarang bisa dilayani dengan baik oleh Mo Goat.
Ginkang gadis itu benar-benar hebat tiada terkira. Dan pertarungan selanjutnya lebih tepat disebut pertandingan ilmu meringankan tubuh daripada bertempur mengadu ilmu silat. Mereka berdua bagaikan sepasang burung walet yang berlaga di udara. Tubuh mereka berkelebatan kesana-kemari, di antara meja dan kursi. Kadang-kadang terdengar suara nyaring apa bila kedua senjata mereka beradu satu sama lain.
“Traaaaaang,Trannnnnng! Thing!”
Tak terasa peluh dingin membasahi punggung tangan Liu Wan. Pertarungan itu sungguh dahsyat dan menegangkan. Masing-masing ternyata memiliki modal ilmu silat yang sulit dicari tandingannya. Mo Goat yang cantik itu mempunyai ilmu silat yang aneh dan mengerikan. Sepintas lalu gaya dan gerakannya seperti campur aduk antara beberapa ilmu silat yang dimainkan bersama-sama.
Namun apabila diperhatikan benar-benar, maka akan tampak betapa dalamnya arti dari setiap gerakan yang kelihatan seperti campur aduk itu. Begitu dalam dan rumit sehingga menyimpan kekuatan yang dahsyat tiada terkira. Apalagi semuanya itu didukung oleh lwekang dan ginkang gadis itu yang sukar diukur pula tingginya. Akan tetapi Kwe Tek Hun sendiri juga memiliki ilmu yang hebat pula.
Sebagai ahli waris Keh-sim Taihiap (Pendekar Patah Hati), yang tersohor memiliki beberapa macam ilmu kesaktian tinggi, seperti Pek-in Ginkang (Ilmu Meringankan Tubuh Awan Putih), Kim-hong-kun-hoat (Pukulan Burung Merak), Pai-hud-sinkang (Tenaga Sakti Menyembah Budha) dan Ban-seng-po Lian-hoan (Langkah Selaksa Bintang Berantai).
Maka tak mengherankan bila pemuda gagah itu juga tumbuh seperti ayahnya. Di dalam usianya yang masih amat muda, kesaktian Kwe Tek Hun benar-benar sulit dicari tandingannya. Namun di kota Hang-ciu ini ternyata Kwe Tek Hun mendapatkan lawan yang setimpal.
Mo Goat, seorang gadis remaja, yang usianya jauh lebih muda daripada Kwe Tek Hun, ternyata mampu menandinginya. Malahan kalau dikaji benar-benar, gadis cantik itu justru memiliki beberapa kelebihan yang bisa membahayakan jiwa Kwe Tek Hun. Apalagi gadis itu tampaknya belum mengeluarkan seluruh ilmu simpanannya. Sebagai seorang yang juga memiliki ilmu silat tinggi Liu Wan segera bisa membaca irama pertempuran mereka.
Setelah pertempuran berlangsung lebih dari lima puluhan jurus, terlihat permainan pedang Kwe Tek Hun mulai tampak kesulitan menghadapi kelincahan kipas Mo Goat. Meskipun permainan pedang Kwe Tek Hun tersebut bukan merupakan ilmu andalan Keluarga Kwe, tapi untuk memainkannya pemuda itu sudah menopangnya dengan Pai-hud-sinkang dan Pek-in-ginkang, sehingga kekuatan dan kecepatannya benar-benar telah menjadi berlipat ganda.
Akan tetapi kehebatan ilmu pedang itu masih tetap saja di bawah bayang-bayang ilmu kipas Mo Goat yang cepat dan kuat. Tampaknya lwekang dan ginkang gadis cantik itu memang lebih tinggi daripada Kwe Tek Hun. Kenyataan itu benar-benar mengecutkan hati Liu Wan. Pemuda sakti yang mahir bermacam-macam ilmu itu merasa bahwa kepandaiannya tak lebih baik daripada Kwe Tek Hun. Walaupun dia memiliki Thian-Iui-khong-ciang yang ampuh, rasanya juga sulit mengalahkan Mo Goat.
Gadis cantik itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat, sehingga Pek-in ginkang keluarga Kwe yang sangat disegani orang itu tak berdaya dibuatnya. Thian-lui-khong-ciang memang dahsyat. Tapi ilmu itu membutuhkan pengerahan Iwekang yang berat pula. Kalau lawan dengan ginkangnya yang tinggi bisa selalu menghindari pukulannya, akhirnya ia sendiri yang akan kehabisan tenaga.
“Bukan main...!” Liu Wan berdesah kagum.
Sebaliknya pertempuran tingkat tinggi itu semakin membuka mata Tio Ciu In. Ternyata apa yang didapat dari gurunya selama ini belumlah apa-apa bila dibandingkan dengan mereka, jangankan harus mengikuti jurus-jurus yang mereka keluarkan, melihat gerakan-gerakan mereka yang cepat bagai kilat itu saja sudah membuat pening kepalanya.
Namun kenyataan itu justru menggugah semangatnya. Ia harus bisa seperti mereka. Ia harus lebih tekun mempelajari ilmu silat Im-yang-kauw, karena gurunya pernah bercerita bahwa Aliran Im-yang-kauw juga memiliki sebuah ilmu yang amat dahsyat, yang disebut Ilmu Silat Kulit Doma. Siapa tahu dirinya bisa mempelajarinya kelak?
“Traaaaaaang...!”
Tiba-tiba Tio Ciu In dikejutkan oleh suara benturan senjata yang amat nyaring. Ketika gadis ayu itu memandang ke arena pertempuran, dilihatnya Kwe Tek Hun dan Mo Goat telah berhenti bertempur. Mereka tampak berdiri berhadapan dalam jarak lima langkah.
Sementara Liu Wan yang berdiri menonton tadi telah berada di dekat Tek Hun. Mo Goat berdiri tegak sambil mengibas-ngibaskan kipasnya di depan dada. Bibirnya yang merah tipis itu tersenyum mengejek. Sedangkan Kwe Tek Hun tampak berdiri lesu memandangi pedang yang terlepas jatuh dari tangannya.
“Kau memang hebat, Nona. Rasanya aku harus belajar sepuluh tahun lagi untuk bisa menandingimu. Baiklah, kami mengalah kali ini. Tapi suatu saat aku akan mencarimu untuk membuat perhitungan lagi.” akhirnya pemuda itu menggeram perlahan.
Tak terduga gadis cantik itu mencibirkan bibirnya. “Wah, enak benar...! Begitu kalah langsung pergi sambil mengancam akan membalas dendam. Mana ada peraturan begitu?” ujarnya lantang.
Kwe Tek Hun tersentak kaget. “Maksud Nona...?”
“Crek!” Gadis cantik itu menutup kipasnya dengan tiba-tiba. Matanya yang mencorong dingin itu menatap ganas. “Tinggalkan dulu kepalamu! Baru kau boleh pergi meninggalkan tempat ini!” bentaknya keras.
“Kurang ajar...!” Kwe Tek Hun menggeram dengan wajah pucat pasi.
“Kau sungguh keterlaluan sekali, Nona! Apakah kau benar-benar ingin membunuh kami semua?” Liu Wan berseru penasaran.
“Tentu saja.” Kalian telah berani mengusik ketenanganku. Dan tadi sudah kukatakan, orang-orang Han yang berani mengganggu aku akan kubunuh!”
“Baik! Kalau begitu silakan kau buktikan niatmu itu!” Liu Wan menjadi marah juga akhirnya.
“Saudara Liu! Biarkan aku yang membuktikan ucapannya itu!” tiba-tiba Kwe Tek Hun berteriak, lalu menerjang lebih dulu ke arah Mo Goat.
Gadis cantik itu tertawa mengejek. “Majulah kalian semuanya, agar aku bisa menghemat waktu!” serunya seraya mengelak ke samping.
“Iblis...!” Liu Wan mengumpat keras. Pemuda itu lalu merangkapkan kedua tangannya di depan dada. Berbareng dengan kedua kakinya yang ditarik merenggang, kedua belah telapak tangan yang terbuka itu mendorong ke depan dengan kekuatan penuh.
“Wuuus!” Terdengar suara desir angin meluncur dari kedua telapak tangan tersebut. Mo Goat ingin mencoba kekuatan Thian-lui-khong-ciang Liu Wan. Sambil merendahkan badannya, gadis itu mengibaskan kipasnya ke depan.
“Duaaaaar!” Terdengar sebuah letupan yang amat keras! Gadis cantik itu terdorong mundur satu langkah, sementara dua lembar daun kipasnya di bagian tengah tampak melengkung. Sebaliknya tubuh Liu Wan sendiri kelihatan bergoyang-goyang, meskipun kedua kakinya tetap kokoh menghunjam lantai. Pemuda itu merasakan betapa kuatnya sambaran kipas lawannya tadi.
“Bagus, kalian berdua telah maju berbareng! Kali ini akupun tidak akan segan-segan lagi mengeluarkan ilmuku! Nah, lihatlah...!” sekonyong-konyong Mo Goat berseru nyaring.
Liu Wan bersiap kembali dengan pukulan Thian-lui-khong-ciangnya. Bahkan pemuda itu telah siap untuk mengurung lawannya dengan ilmu silat andalan perguruannya, Tai-khong Sin-kun (Pukulan Angin Puyuh)! Sedangkan Kwe Tek Hun tampak merapatkan ujung-ujung jari tangannya di depan wajahnya. seolah-olah ingin membentuk dua buah paruh burung merak dengan jari-jarinya itu.
Tapi mata mereka tiba-tiba terbeliak. Tubuh lawannya yang rampirg indah itu mendadak pecah menjadi dua bagian dan masing-masing bagian lalu tumbuh menjadi tubuh Mo Goat yang utuh, sehingga di dalam arena tersebut ada dua Mo Goat yang siap bertarung dengan mereka.
“Gila! Tidak mungkin...” Kwe Tek Hun berdesis ragu.
“Awas, saudara Kwe, ia pandai ilmu sihir!” Liu Wan yang juga menjadi bingung itu memperingatkan temannya.
“Hihihihi...! Ayolah, keluarkan seluruh kepandaianmu!” sepasang Mo Goat kembar itu menantang.
“Saudara Kwe, mari kita hadapi dia bersama-sama!”
“Mari!” Karena tak tahu mana Mo Goat yang aseli dan mana Mo Goat yang palsu, maka Liu Wan dan Kwe Tek Hun menyerang saja semuanya.
Liu Wan segera mengeluarkan Pukulan Angin Puyuhnya. Bergantian kedua telapak tangannya menghantam tubuh Mo Goat yang berdiri di depannya. Angin kencang terasa bersiutan dari telapak tangannya, melanda tubuh gadis itu. Dan dalam waktu yang bersamaan Kwe Tek Hun juga menerjang pula tubuh Mo Goat yang lain.
Pemuda gagah itu menyerang dengan jurus Kim-hong-pao-goat (Burung Merak Memeluk Bulan), salah satu jurus Kim-hong-kun-hoat andalan Keluarga Kwe. Gerakannya sangat indah, namun amat berbahaya dan mematikan. Memang sebenarnyalah bahwa ilmu silat Keluarga Kwe sangat hebat.
Kalau tadi Kwe Tek Hun dikalahkan, hal itu bukan karena kepandaiannya yang rendah, tapi disebabkan karena pemuda tersebut telah terlanjur mempergunakan pedangnya. Padahal bukan itu yang menjadi inti kepandaiannya. Namun karena pedangnya terlanjur dikalahkan, sebagai seorang ksatria pemuda itu mengakui kekalahannya. Kini tanpa pedang di tangannya Kwe Tek Hun justru menjadi lebih berbahaya malah. Dengan ilmu andalan keluarganya itu Kwe Tek Hun benar-benar seperti seekor harimau ganas yang tumbuh sayapnya.
Demikianlah dalam waktu yang bersamaan Mo Goat diserang dengan dua macam ilmu silat tinggi yang jarang tampak di dunia persilatan. Meskipun demikian gadis yang kini berubah menjadi dua orang itu sama sekali tak menunjukkan perasaan takut. Kedua tubuh kembarnya itu masing-masing cepat mengelak dengan ginkangnya yang amat tinggi. Bahkan beberapa saat kemudian tubuh kembar itu ganti menyerang dengan gesitnya. Masing-masing dari tubuh kembar itu berkelebatan mengurung Liu Wan dan Kwe Tek Hun.
Memang mentakjubkan, masing-masing seperti memiliki nyawa sendiri-sendiri. Maka terjadilah sebuah pertempuran seru, aneh dan membingungkan! Seru, karena ilmu-ilmu yang mereka keluarkan adalah ilmu yang jarang ada duanya di dunia persilatan. Tapi aneh dan membingungkan karena salah seorang di antaranya cuma bentuk semu atau bentuk tipuan yang sebenarnya tidak ada. Hanya karena kehebatan ilmu sihir Mo Goat saja hal itu bisa terjadi. Yang benar-benar repot adalah Liu Wan.
Tanpa disadarinya pemuda itu berkelahi melawan bentuk Mo Goat yang palsu. Maka ilmu silatnya yang dahsyat dan menggiriskan itu menjadi percuma saja. Dia seperti bertempur dengan sebuah bayangan yang bisa dilihat, tapi tak dapat disentuhnya. Thian-lui-khong-ciangnya yang meledak-ledak seperti halilin tar itu tidak bisa menghancurkan tubuh lawannya. Paling-paling tubuh lawannya itu seperti bergoyang-goyang mau hilang bila terkena pukulannya.
Sementara itu Kwe Tek Hun yang kebetulan berhadapan dengan Mo Goat asli, benar-benar harus mengerahkan segala kemampuannya. Lawannya yang masih amat muda itu ternyata menyimpan ilmu yang luar biasa tingginya. Ilmu silat keluarganya yang selama ini tak pernah memperoleh lawan, sekarang benar-benar ketemu batunya. Tenaga sakti Pai-hud-sinkang dan ilmu meringankan tubuh Pek-in-ginkang, yang selama ini ditakuti orang sama sekali tak berdaya mengungguli tenaga dalam dan kelincahan lawannya.
Dalam segala hal gadis cantik itu ternyata berada di atasnya. Hanya langkah ajaib Ban-seng-po Lian-hoan saja yang akhirnya masih bisa menolong Kwe Tek Hun dari kehancuran. Dalam keadaan terpojok, langkah ajaib itu ternyata masih mampu menyelamatkan nyawanya. Akan tetapi dengan demikian akhir dari pertempuran itu sudah bisa diduga. Cepat atau lambat Kwe Tek Hun maupun Liu Wan mesti mengakui keunggulan lawannya.
Dan hal itu berarti saat kematian mereka telah tiba. Mo Goat yang kejam dan amat benci kepada orang Han itu tentu akan membunuh mereka. Walaupun tidak dapat mengikuti irama pertempuran tersebut, namun Tio Ciu In dapat juga merasakan kesulitan kawan-kawannya. Tapi karena kepandaian sendiri masih terlampau rendah, maka tak mungkin bisa menolong mereka.
Matahari belum terlampau tinggi. Sinarnya yang hangat masih menerobos lobang jendela, menebarkan kehangatan di udara pagi yang dingin itu. Tio Ciu In memang tidak merasa kedinginan karena pertempuran itu justru membuatnya gerah dan cemas.
Lain halnya dengan Tio Siau In, yang pada saat itu sedang duduk merenung sendirian di rumah tabib di tepi laut itu. Walau di depan perapian, gadis itu masih kedinginan. Matahari memang bersinar terang di tepi laut itu. Tapi karena angin laut. berhembus sangat kencang, maka panasnya seolah-olah selalu terguncang pergi terbawa angin. Bahkan hembusan angin yang amat kuat itu justru melemparkan butiran-butiran air ke daratan.
Dinginnya bukan alang kepalang. Tio Siau In melipat kakinya yang dingin di depan perapian. Gadis centil yang biasanya selalu bersikap lincah itu kini hanya merenung diam tak bergerak. Matanya yang berbulu lentik itu menatap kosong ke dalam api, seakan-akan lidah api yang menjilat-jilat ke atas itu amat mengasyikkannya.
Tio Siau In memang sedang melamun. Berbagai peristiwa menegangkan yang dialaminya sejak dia meninggalkan rumah berkelebat satu persatu di depan matanya. Semenjak gurunya memerintahkan dia dan kakaknya ke kota Hang-ciu untuk mencari pemuda bertato “Naga” di badannya, hingga peristiwa menegangkan yang terjadi di dalam rumah makan itu tadi malam. Semula Tio Siau In memang tidak menyukai tugas itu. Tugas yang dianggapnya terlalu mengada-ada dan kurang masuk akal.
Tugas yang diberikan atas dasar ramalan-ramalan yang belum tentu benar. Tapi kejadian demi kejadian yang secara tak sengaja dilihatnya, membuat Tio Siau In berbalik pikiran. Sekarang gadis itu berubah menjadi ingin tahu, apa sebenarnya yang ada di balik cerita tentang pemuda bertato naga itu? Mengapa kelihatannya setiap orang mempunyai kepentingan dengan pemuda bertato naga tersebut?
Bahkan sekarang di dekat Tio Siau In sendiri ada seorang pemuda yang juga memiliki tato naga di dadanya. Mungkinkah pemuda ini yang dimaksudkan oleh gurunya itu? Tak terasa Tio Siau In melirik ke pintu kamar yang ada di belakangnya. Di dalam kamar itu A Liong beristirahat. Sejak meminum obat penyembuh luka dalam, pemuda itu langsung tertidur dengan nyenyaknya. Tio Siau In menarik napas panjang. Matanya kembali terhunjam ke dalam perapian.
Kejadian yang mendebarkan hatinya semalam kembali di pelupuk matanya. Kejadian yang sangat membekas di dalam hatinya, yang membuka mata batinnya akan sifat-sifat manusia. Keculasan, keserakahan, kekejaman dan tipu daya demi kepentingan pribadi. Tadi malam, ketika mereka memasuki perairan teluk kecil itu, Su Hiat Hong meminta kepada Tio Siau In untuk meminggirkan sampannya.
Berbeda dengan pantai di sekitarnya, pantai di teluk kecil tersebut memiliki hamparan pasir yang landai, sehingga Tio Siau In mudah membawanya ke daratan. Rumah bekas tabib kerajaan itu didirikan di atas tiang-tiang yang cukup tinggi dari tanah. Mungkin dimaksudkan untuk menghindari air pasang atau binatang-binatang melata yang banyak berada di tempat itu. Setiap pintu keluar dipasangi tangga ke bawah.
Sementara di kanan kiri bangunan tersebut ditanami pohon-pohon besar untuk melindungi rumah itu dari angin laut dan terik matahari. Rumah itu tidak begitu besar. Mungkin hanya terdiri dari tiga atau empat Kamar saja. Dan dinding bagian belakang rumah itu menempel pada tebing curam yang memagari ceruk sempit tersebut, sungguh sebuah rumah yang aneh dan antik.
“Rupanya Tong Kiat Teng belum tidur. Mungkin dia masih bekerja di kamar obatnya, atau mungkin dia sedang membaca di kamar tidurnya. Kita jangan sampai mengagetkannya.” Su Hiat Hong berkata pelan ketika melihat jendela rumah itu terbuka lebar. Sinar lampu dari dalam ruang panggung itu menyorot keluar.
“Lalu... apa yang harus kulakukan, Paman? Apakah aku harus naik dan mengetuk pintunya?” Tio Siau In bertanya.
“Ya! Tapi lebih baik kita pergi ke sana bersama-sama. Coba, kau tolong pemuda ini agar bisa berjalan ke rumah itu!” Su Hiat Hong yang masih lemah itu meminta kepada Tio Siau In.
Tio Siau In lalu memapah A Liong turun darisampan, kemudian membantunya berjalan melewati hamparan pasir di tepian pantai tersebut. Su Hiat Hong sambil mendekap dadanya yang sakit melangkah di belakang mereka.
“He, Paman... Lihatlah! Di sana ada perahu!” tiba-tiba Tio Siau Iri yang secara tak sengaja memandang ke laut berdesah perlahan. Tangannya menuding ke sebuah perahu yang ditambat di antara bongkalan batu karang besar di luar pantai.
“Haaah...? Nanti dulu, Nona! Jangan-jangan itu perahu orang-orang Hun tadi! Awas...! Mari kita mencari tempat persembunyian yang aman!”
“Bagaimana dengan sampan kita?”
“Biarkan saja. Takkan kelihatan dari rumah itu. Kalaupun diketemukan oleh orang-orang itu, paling-paling juga dikira kepunyaan Tong Kiat Teng. Ayo, cepat!”
A Liong sama sekali tak berkata apa-apa ketika dibawa bersembunyi di semak-semak yang tumbuh di pinggiran tebing ceruk itu. Pemuda yang masih tampak kesakitan itu menurut saja ketika dituntun Tio Siau In ke balik perdu. Beberapa saat lamanya mereka menunggu di tempat itu. Tapi tak seorangpun tampak keluar atau terdengar suaranya.
Rumah itu kelihatan sepi-sepi saja, Su Hiat Hong menjadi curiga. Benarkah yang datang itu rombongan orang-orang Hun? Kalau benar mereka, apa maksud mereka datang ke rumah Tong Kiat Teng ini? Mengapa rumah itu tampak tenang-tenang saja? Apakah mereka sudah saling mengenal?
“Nona...?” Akhirnya Su Hiat Hong tak tahan lagi menunggu lebih lama. “Mari kita mendekat ke rumah itu! Kita bergeser perlahan-lahan melalui semak-semak ini, lalu kita mendekam di bawah kolong rumah. Beranikah kau?”
Tio Siau In tersenyum. “Seharusnya aku yang bertanya kepada Paman. Dengan keadaan Paman dan A Liong ini, apakah bisa merangkak sampai ke sana?”
“A Liong...? Bagaimana? Kau tinggal di sini atau ikut kami ke rumah itu...?” Su Hiat Hong bertanya kepada A Liong.
Pemuda itu menengadah kepalanya. Meskipun pucat namun pandangannya kelihatan tegar dan bersemangat. “Aku ikut!” jawab pemuda itu tegas.
“Baiklah! Tapi kita harus berhati-hati benar! Langkah kita tidak boleh mengeluarkan suara sama sekali. Sekali kita ketahuan oleh orang-orang Hun itu, matilah kita! Bagaimana, Nona?”
Tio Siau In mengangguk. Bagaimanapun juga gadis cantik itu sudah membulatkan tekadnya untuk menyelidiki masalah pemuda bertato naga ini. Apalagi dia juga sudah bersedia untuk memberi pertolongan kepada Su Hiat Hong dan A Liong. Tidak enak rasanya membiarkan mereka menempuh bahaya sendirian.
Mereka lalu merangkak perlahan-lahan mendekati rumah panggung itu. Su Hiat Hong paling depan, A Liong di tengah dan Tio Siau In di belakang sendiri. Semakin dekat dengan rumah itu perasaan mereka menjadi semakin tegang. Apalagi lapat-lapat mereka mulai mendengar suara percakapan orang di dalam rumah itu. Dua puluh langkah dari bangunan rumah itu Su Hiat Hong berhenti. Perwira kerajaan itu teringat akan kebiasaan pimpinan orang Hun yang bersembunyi dalam gelap.
Ditelitinya lebih dulu tempat di sekeliling rumah tersebut, kalau-kalau ada orang di sana. Setelah yakin tak ada bahaya yang mengancam mereka, Su Hiat Hong baru merangkak lagi. Suara percakapan itu semakin jelas terdengar. Apalagi ketika mereka telah sampai di bawah kolong rumah tersebut. Mereka mencari tempat yang terlindung di antara bebatuan yang berserakan di bawah bangunan itu.
“Nah, sudah habis waktu yang kita berikan kepada Tabib Tua itu! Bawa dia ke sini!” tiba-tiba terdengar suara menggeledek di dalam rumah itu.
“Baik,. Goanswe! Prajurit, bawa orang tua itu ke mari!” Hampir saja Su Hiat Hong berseru kaget. Untunglah telapak tangannya cepat membungkam mulutnya sendiri.
Tentu saja Tio Siau In menjadi terheran-heran melihat ulahnya. Gadis itu mendekatkan mulutnya ke telinga Su Hiat Hong. “Ada apa. Paman? Mengapa kau tampak kaget sekali? Apakah Paman Telah mengenal suara itu?”
Su Hiat Hong mengangguk, namun ia menaruh jari telunjuknya di depan bibir. Terdengar suara kaki dari bagian belakang diatas lantai papan rumah itu, terdengar suara ribut sebentar. Kemudian terdengar suara langkah lagi, namun kali ini terdiri dari dua orang, di mana yang seorang langkahnya terdengar lemah dan agak di seret.
“Inilah dia, Goanswe!”
“Bagus! Nah, Tong Kiat Teng... waktu berfikir yang kami berikan telah habis. Bagaimana pendapatmu? Apakah kau sudah mau berterus-terang kepadaku?”
“Maaf, Goanswe... aku sudah mengatakan yang sebenarnya. Aku tidak tahu di mana anak-anak itu sekarang.”
“Bangsat! Kau memang keras kepala! Apakah kau sudah tidak ingin hidup lagi?”
“Goanswe...? Apalagi yang aku harus katakan kepadamu? Aku sudah mengatakan semuanya. Memang akulah yang menyelamatkan anak-anak itu dari kobaran api yang mengamuk di Istana Pangeran Liu Yang Kun. Dan aku pulalah yang membawa mereka keluar dari Kotaraja. Tapi luka-lukaku ketika aku menerobos kobaran api itu selalu mengganggu perjalananku. Aku tak tahan lagi, sehingga ditengah jalan aku terpaksa menitipkan mereka pada seseorang. Celakanya, karena saat itu aku dalam keadaan sakit dan kalut pikiran, maka aku telah lupa kepada siapa aku telah menitipkan anak-anak itu.”
“Bohong...! Kau memang keras kepala! Kau tak mau berterus terang kepadaku! Kau tentu telah menyembunyikan mereka di suatu tempat...! Hmmh!”
“Aku tidak membohong, Goanswe. Selama lima belas tahun ini aku juga sia-sia mencari jejak anak-anak itu. Bagaikan orang gila aku mencari mereka kemana-mana. Seluruh negeri ini hampir telah kujelajahi semuanya, tapi aku tetap tidak menemukan mereka. Aku sudah berputus asa. Aku merasa berdosa kepada Pangeran Liu Yang Kun. Itulah sebabnya aku mengasingkan diri di tempat ini.”
“Huh, kau memang benar-benar keras kepala, Kiat Teng! Rupanya kau memang sudah tidak menyayangi jiwamu lagi. Baiklah, tanpa bantuanmupun aku tentu dapat menemukan anak-anak itu. Masih banyak jalan untuk menemukan mereka, walaupun untuk itu akan jatuh korban jiwa. Aku tidak peduli. Jangankan cuma ribuan jiwa, kalau aku harus membantai setiap anak yang seusia merekapun akan aku laksanakan juga!”
Ucapan Au-yang Goanswe itu benar-benar mengejutkan Tong Kiat Teng. Bahkan juga mengagetkan Su Hiat Hong yang bersembunyi di kolong rumah itu. Sungguh keji sekali hati Jenderal Au-yang yang telah diselimuti dendam itu. Tak terasa Su Hiat Hong menoleh ke belakang, mencari Tio Siau In dan A Liong.
Tapi yang tampak cuma Siau In saja. A Liong tidak berada di tempatnya. Tentu saja keduanya semakin kaget. Tio Siau In menjadi cemas sekali. Hampir saja mulutnya berteriak memanggil. Untung tidak jadi, karena tiba-tiba saja pemuda itu muncul dari celah-celah besar di sampingnya.
“Batu besar ini dapat bergeser. Ada lubang di bawahnya. Aku tadi menemukannya secara tak sengaja. Nona, marilah kita bersembunyi di sini. Di dalam ada ruangan yang lebar.” pemuda itu memberi keterangan dengan kalimat pendek-pendek seperti orang yang terengah-engah. Lupa bahwa mereka sedang bersembunyi.
“Hei, siapa di luar...? Beng Ciangkun tangkap orang yang bersembunyi di luar itu!” sekonyong-konyong Goanswe yang ada di dalam rumah itu berseru keras.
Muka Su Hiat Hong menjadi pucat seperti kapur. Kehadiran mereka bertiga telah diketahui orang itu. Satu-satunya jalan hanya menyelamatkan anak-anak muda itu. “Nona, cepatlah kau ikut A Liong masuk ke dalam lubang itu! Biarlah kutemui mereka sendirian. Cepat...” Su Hiat Hong cepat berbisik di telinga Tio Siau In.
“Paman sendiri bagaimana?” Tio Siau In ragu-ragu.
“Jangan khawatir aku kenal mereka! Cepat!”
Bersamaan dengan melompatnya Tio Siau In ke dalam lobang batu, yang kemudian menutup perlahan-lahan, beberapa orang perajurit kerajaan tampak berloncatan keluar dari dalam rumah panggung tersebut. Seorang perwira setengah baya cepat mendekati persembunyian Su Hiat Hong. Empat orang perajurit mengikuti di belakangnya.
“Selamat bertemu, Beng Ciangkun...!” Su Hiat Hong menyapa perwira itu dengan ramah.
“Kau...? Ah, Su Ciangkun rupanya! Bagaimana kau bisa sampai berada di tempat ini? Di mana Lim Ciangkun?” orang yang disebut Beng Ciangkun tersebut berseru kaget. Suaranya bernada curiga dan berkesan menyelidik, sama sekali tidak terasa ramah atau gembira.
“Beng Ciangkun, siapa dia? Mengapa tidak segera kau bawa ke dalam?”
“Su Ciangkun, mari kita masuk...! Au-yang Goanswe memanggilmu!” Beng Ciangkun berkata pelan, Su Hiat Hong tak berani menolak. Beng Ciangkun yang bernama Beng Cun itu memiliki kepandaian yang tinggi, karena dia adalah tangan kanan Au-yang Goanswe. Perlahan-lahan, dengan menahan rasa sakit Su Hiat Hong menaiki tangga rumah.
“Apakah kau sakit, Su Ciangkun?” Beng Cun bertanya keheranan.
“Ya...! Nanti kuceritakan semuanya...” Begitu memasuki ruangan Su Hiat Hong terperanjat. Tong Kiat Teng, sahabatnya itu, benar-benar mengenaskan sekali keadaannya. Tubuh yang kurus itu tidak mengenakan baju sama sekali. Wajahnya, kulit punggungnya, lengannya, semuanya terdapat bekas luka siksaan. “Tong Kiat Teng, kau kenapa? Siapakah yang telah menyiksamu?”
“Ah, Su Hiat Hong... Kau?” Tong Kiat Teng menyapa lemah.
Su Hiat Hong cepat melangkah maju, namun dengan cepat Au-yang Goanswe yang bertubuh tinggi besar dan berusia lima puluhan tahun itu menghadangnya. Sama sekali tidak ada kesan ramah atau bersahabat dari jenderal yang menjadi atasannya itu. Bahkan jenderal itu seperti memusuhinya, suatu hal yang benar-benar tidak dipahami oleh Su Hiat Hong. Bahkan Su Hiat Hong menjadi kaget ketika pimpinannya itu membentak marah!
“Su Hiat Hong! Di mana Lim Kok Liang dan yang lain-lainnya? Mengapa engkau tiba-tiba berada di tempat yang terasing ini? Apakah kau memata-matai aku?”
Su Hiat Hong menjadi kaget meskipun dia telah mencium sesuatu yang tidak beres pada pimpinannya itu, tapi ia juga belum bisa mengetahuinya dengan pasti. Dan terus terang dia juga tidak berani menduga-duga, berprasangka yang bukan-bukan terhadap atasannya itu. Dia memang menjadi kaget ketika mendengar niat jenderal itu untuk membasmi semua anak keturunan Pangeran Liu Yang Kun, tetapi tidak memahami apa sebenarnja terselip di balik maksud dan tujuan Au-yang Goanswe itu, ia tidak berani menanyakannya.
“Goanswe...! Tugas yang Goanswe berikan kepada kami itu ternyata penuh aral dan rintangan. Tak seorangpun di antara kami yang mampu melaksanakan tugas itu dengan baik. Bahkan mereka telah menjadi korban. Semuanya telah tewas di tangan para pengacau yang tidak menyetujui diadakannya “Perlombaan Mengangkat Arca” itu. Tinggal aku seorang yang masih hidup. Lim Kok Liang, Ong Ci Kin. Kwa Sing, Gui Ciangkun, semuanya telah gugur di tangan gerombolan suku bangsa Hun...” Su Hiat Hong melapor seolah-olah tidak memiliki prasangka apa-apa terhadap pimpinannya.
Namun Au-yang Goanswe seperti tidak mengacuhkan laporan Su Hiat Hong. Bahkan jenderal itu juga seperti tidak mempedulikan kematian-kematian anak buahnya. “Persetan dengan kematian teman-temanmu! Aku tidak peduli! Sekarang katakan terus terang kepadaku! Mengapa kau sampai di tempat ini? Bukankah kau kutugaskan di kota Hang-ciu? Lekas jawab!” jenderal itu menggeram keras.
“Goanswe, aku sungguh tidak mengerti apa yang Goanswe maksudkan...”
“Bohong! Kau tidak perlu bersandiwara lagi di depanku. kau tentu sudah tahu, atau setidak-tidaknya telah bercuriga kepadaku, sehingga kau tidak pergi melaksanakan perintahku, tapi selalu menguntit dan memata-matai semua kegiatanku. Benar tidak...?”