Pendekar Pedang Pelangi Jilid 12

Sonny Ogawa
Cerita silat Mandarin karya Sriwidjono

“Tapi apakah anak itu masih berada di sana? Apakah Ia tidak kembali lagi ke kota?”

“Yaaa... Mungkin saja. Tapi lebih baik kita membuktikan dulu masih ada tidaknya adikmu di pantai. Setelah kita cari di pantai dia tidak ada, baru kita ke kota.”

Tak seorangpun para anggota Hek-to-pai yang bertebaran di halaman depan itu berani menghalangi Liu Wan dan Tio Ciu In ketika sepasang muda-mudi itu melewati mereka. Bahkan mereka segera menyingkir untuk memberi jalan kepada Liu Wan.

“Heran...! Mengapa Kwe Tek Hun tidak kelihatan? Bukankah dia tadi menghadapi para penjaga pintu gerbang itu?” Liu Wan bergumam kaget ketika tidak melihat Kwe Tek Hun di pintu gerbang masuk.

“Eh, Liu Twako... Lihat pohon besar yang tumbang itu! Bukankah tidak ada badai yang mengamuk ini tadi? Mengapa pohon itu roboh?”

“Benar. Memang aneh. Marilah kita tanyakan kepada penjaga itu!” Para penjaga pintu gerbang itu menjadi pucat wajahnya ketika Liu Wan dan Tio Ciu ln datang mendekati mereka.

“Hei! Katakan, kemana teman kami tadi? Cepat!” hardik Liu Wan keras.

“Dia... dia pergi bersama seorang lelaki dan seorang wanita, setelah kedua orang itu mengalahkannya.” salah seorang penjaga menjawab dengan suara gemetar.

Bukan main kagetnya Liu Wan dan Tio Ciu In! Demikian gugupnya Liu Wan mendengar laporan itu sehingga secara tak sadar tangannya menyambar leher baju penjaga tersebut. “Apa katamu...? Katakan yang benar!”

Tentu saja penjaga itu semakin menjadi takut. “Anu... anu... aku mengatakan yang... yang sebenarnya. Lihat pohon itu! Laki-laki yang mengaku dari Pondok Pelangi itu menumbangkannya dari jauh dengan... dengan pukulannya yang dahsyat, sehingga teman Taihiap mengaku kalah, dan... dan ikut pergi dengan mereka!”

Liu Wan melepaskan cengkeramannya dan mendorong penjaga itu ke belakang, sehingga menabrak teman-temannya. Mereka jatuh terjengkang tumpang-tindih. “Sungguh gawat sekali, Ciu-moi. Orang yang bisa mengalahkan Kwe Tek Hun tentu bukan orang sembarangan. Rasanya akupun takkan bisa menolongnya. Mungkin hanya tokoh-tokoh setingkat Hong-gi-hiap Souw Thian Hai, Guruku, atau ayah Kwe Tek Hun sendiri yang bisa menghadapinya.”

“Orang itu... orang itu memang mengajak teman Taihiap untuk menemui ayahnya.” penjaga yang didorong jatuh oleh Liu Wan tadi tiba-tiba berkata.

“Heh...? Jadi mereka pergi ke Pulau Meng-to?” Liu Wan berseru kaget.

“Ya-ya... Mereka tadi memang nyebut-nyebut Pulau Meng-to.” penjaga itu berkata pula.

“Aaaaah...” Liu Wan menarik napas panjang. Keningnya berkerut dan untuk beberapa waktu lamanya pemuda itu tak berkata-kata lagi.

Tio Ciu In yang tak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Liu Wan segera menarik lengannya. “Twako, apa yang kau pikirkan?”

Sekali lagi pemuda itu menghela napas panjang, kemudian menggandeng tangan Tio Ciu In untuk dibawa keluar meninggalkan perkampungan itu. Liu Wan tetap melangkah ke arah pantai seperti rencananya semula. Sementara itu matahari mulai bergulir dari atas kepala. Panasnya benar-benar mulai menyengat.

Sehingga pipi Tio Ciu In yang ranum itu menjadi kemerah-merahan. Beberapa tetes keringat juga mulai mengalir membasahi kening gadis ayu itu. Akan tetapi tak sepatah katapun keluh-kesah yang keluar dari bibir tipis tersebut. Justru Liu Wan lah yang akhirnya merasa kasihan melihatnya.

“Ah, panasnya bukan main! Kita berteduh dulu, Ciu-moi?”

“Tidak usah, Twako. Panas sedikit tidak apa. Kita berjalan terus saja hingga ke perkampungan Ui-thian-cung. Aku cepat-cepat ingin bertemu Siau In...”

“Tapi... tapi keringatmu mengalir membasahi pelipis dan lehermu. Pipimu... pipimu...” Liu Wan tak berani meneruskan kalimatnya. Matanya juga tidak berani memandang gadis itu lama-lama.

“Pipiku... Kenapa, Twako?” Tio Ciu In mengerutkan alisnya yang lentik.

“Ah, tidak... tidak apa-apa!” tiba-tiba Liu Wan menjawab cepat sambil menundukkan mukanya. Suaranya bergetar seperti orang yang sedang menahan beban batin yang amat berat.

“Lho? Kau ini bagaimana, sih? Seperti orang sedang kebingungan saja!” Tio Ciu In mendamprat kesal.

Liu Wan cuma tersenyum kecut dan tak berani mengeluarkan suara apa-apa. Bahkan memandang, Tio Ciu lnpun ia tak berani. Rasanya seperti ada kesedihan di hatinya setiap kali memandang gadis ayu itu. Namun ia tak tahu, apa yang menyebabkan kesedihan itu. Sebaliknya gadis itu sama sekali tak tahu apa yang sedang bergejolak di dada teman seperjalanannya. Ia hanya menduga kalau Liu Wan sedang bingung memikirkan kepergian Kwe Tek Hun.

“Siapa sebenarnya orang yang mengaku dari Pondok Pelangi itu? Mengapa Twako sangat mengkhawatirkan mereka?” akhirnya gadis itu bertanya perlahan.

Liu Wan tersentak seperti orang yang terbangun dari lamunannya segera menggeleng tanda tak tahu. “Aku juga baru mendengarnya sekali ini. Tapi kalau benar apa yang dikatakan penjaga itu bahwa mereka dapat mengalahkan Kwe Tek Hun, rasanya kepandaian mereka benar-benar sangat tinggi.

Hanya yang tidak kumengerti, mengapa mereka membawa Kwe Tek Hun ke Pulau Meng-to. Apakah orang-orang dari Pondok Pelangi itu bermusuhan dengan ayah Kwe Tek Hun, sehingga mereka menyandera Kwe Tek Hun?” Pemuda itu kemudian berkata agak lancar Tio Ciu In memandang Liu Wan sekejap, lalu cepat-cepat beralih ke pucuk-pucuk pepohonan tinggi yang tumbuh berjejer-jejer di pinggir jalan. Tak terasa pikiran gadis itu juga ikut terbenam pula di dalam urusan yang tak dimengertinya itu.

“Apakah kira-kira mereka itu mempunyai hubungan dengan gadis yang memusuhi kita di penginapan pagi tadi?” tiba-tiba Tio Ciu In bergumam.

Liu Wan terkejut. Pemuda itu tidak berpikir sampai ke sana, tapi kemungkinan tersebut memang bisa saja terjadi. Mereka sama-sama memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Angin terasa mulai berhembus dengan kencang, membawa butiran debu dan pasir kemana-mana. Mereka berdua telah melewati hamparan tambak garam yang berpetak-petak di kanan kiri jalan. Lautpun mulai tampak di kejauhan, dengan garis pantai yang rimbun oleh pepohonan perdu dan alang-alang tinggi.

Mereka masih sempat menyaksikan bekas-bekas kesibukan luar biasa di perkampungan nelayan itu. Belasan orang perajurit penjaga keamanan masih tampak berada di sana. Bahkan di rumah Tiam Lok, kepala kampung Ui-thian-cung itu masih kelihatan seregu pasukan keamanan kota Hang-ciu sedang beristirahat.

“Eh, tampaknya ada sesuatu yang baru saja terjadi di tempat ini, Lopek?” Liu Wan mencoba bertanya kepada se orang nelayan tua yang sedang menambal jalanya. Nelayan itu memandang Liu Wan dan Tio Ciu ln beberapa saat lamanya. Melihat wajah-wajah yang bersih dan halus dari kedua anak muda itu, ia kelihatan lesu.

“Yaaah... ada pembunuhan besar-besaran di pantai sebelah sana! Para Pemenang “Perlombaan Mengangkat Arca” dan pengawal mereka dibantai orang di atas pasir itu...”

“Ohhhh!” Liu Wan dan Tio Ciu ln yang sudah mendengar berita tersebut di markas Tiat-tung Kai-pang berdesah pendek.

“Apakah sanak saudara Kongcu ikut menjadi korban pula?”

“Oh, tidak... tidak!” Ciu In cepat-cepat menjawab. “Kedatangan kami berdua kemari memang mau mencari seseorang, tapi orang yang kami cari itu bukan salah seorang dari orang-orang yang terbunuh itu. Orang yang kami cari adalah seorang gadis muda berpakaian merah. Perawakannya biasa-biasa saja, tak begitu tinggi tapi juga tidak pendek, badannya agak kurus sedikit, rambutnya dikepang dua, Eh, apakah Lopek melihatnya...?”

Sekali lagi nelayan tua itu menatap Ciu In dan Liu Wan beberapa saat lamanya, keningnya berkerut, seolah-olah merasa heran, kaget dan curiga. “Sungguh mengherankan...! Beberapa saat yang lalu juga ada yang bertanya kepadaku tentang gadis yang ciri-cirinya seperti itu...”

“Apa...? Ada orang lain yang bertanya kepada lopek? Siapa dia? Bagaimana ciri-cirinya?” Ciu In mendesak dengan suara penuh harap, gadis itu teringat akan suhengnya lagi.

Nelayan itu meletakkan jalanya, kemudian berdiri. “Dia seorang pemuda tampan, tingginya kira-kira sama dengan aku, kurus, rambutnya awut-awutan...”

“Oooohhh...” Ciu In berdesah kecewa karena ciri-ciri yang disebutkan bukan ciri Tan Sin Lun suhengnya.

“Nah... Itu dia orangnya!” tiba-tiba nelayan tua itu berseru, tangannya menuding ke pintu masuk perkampungan Ui-Thian-cung.

Liu Wan dan Ciu In menatap ke depan, mereka melihat seorang pemuda kurus mengenakan pakaian hitam kedodoran berjalan lesu ke arah mereka, tampaknya pemuda itu baru saja menemui kepala kampung.

“Tampaknya memang bukan suhengmu...” Liu Wan berdesah hambar seperti kehilangan semangat.

Ciu In berpaling, sekejap, mata yang bulat indah itu menatap tajam penuh selidik, ada terungkap rasa heran dan tak mengerti pada pancaran sinar mata itu. Tapi mata indah itu segera berpaling kembali ketika Liu Wan balas memandangnya. Tampaknya pemuda kurus yang tidak lain adalah Chin Tong Sia atau Put-tong-sia itu memang bermaksud menemui nelayan tua tersebut.

Tapi ia menjadi ragu-ragu melihat kehadiran Liu Wan dan Tio Ciu In, sehingga ia diam saja di depan nelayan itu. Liu Wan baru pertama kali ini melihat pemuda itu, tapi Tio Ciu In sudah melihatnya di atas panggung perlombaan kemarin. Tio Ciu In masih ingat sekali karena pemuda itu telah membuat keributan di atas panggung.

“Nah, apakah Tuan hendak bertanya tentang gadis itu lagi?” sekonyong-konyong nelayan tua itu mendahului bertanya kepada Chin Tong Sia yang tampak ragu-ragu. Chin Tong Sia melirik ke arah Liu Wan dan Tio Ciu In, kemudian mengangguk lemah.

“Apakah engkau tetap belum melihatnya juga?” tanyanya kaku. Nelayan tua itu menggelengkan kepalanya.

“Belum. Mungkin gadis itu memang tidak pergi ke tempat ini. Tapi... eh, omong-omong... Kongcu dan Siocia ini juga menanyakan gadis itu. Apakah Tuan mengenal mereka?” Chin Tong Sia memandang Liu Wan dan Tio Ciu In sekejap, kemudian mengangkat pundaknya. Sambil beranjak pergi pemuda itu meninggalkan pesan kepada nelayan tersebut.

“Paman, tolong beritahukan kepadaku kalau gadis yang kumaksudkan itu lewat di sini. Aku berada di tempat penambatan perahu.”

“Saudara, tunggu...!” Tio Ciu In yang menjadi penasaran itu tiba-tiba berseru memanggil.

Chin Tong Sia berhenti melangkah, lalu dengan cepat membalikkan tubuhnya. Dan pada saat membalikkan badan itulah buntalan pakaian Tio Siu In yang dibawanya melorot turun dan jatuh dari balik bajunya yang kedodoran, namun dengan tangkas dan cepat pula bungkusan itu disambarnya serta dimasukkan kembali ke balik bajunya. Akan tetapi waktu yang hanya sekejap itu sudah cukup bagi Tio Ciu In. untuk mengenali bungkusan pakaian adiknya.

“Nona memanggil saya?” Dengan tenang Chin Tong Sia menghadapi Tio Ciu In.

Sebaliknya Tio Ciu In sendiri juga mencoba untuk bersikap hati-hati pula. Dia ingin mencari tahu perihal hubungan adiknya dengan pemuda itu, sehingga pemuda itu kelihatan berhasrat sekali menemui Siau In.

“Maaf, kudengar dari Lopek ini saudara sedang mencari seorang gadis muda berbaju merah di tempat ini. Eeem... apakah yang saudara maksudkan itu bernama Tio Siau ln?” dengan amat sopan Tio Ciu In bertanya, membuat Liu Wan yang berdiri di sampingnya merasa kikuk melihatnya.

Tak terduga wajah Chin Tong Sia menjadi merah. Pertanyaan itu membuatnya bingung dan tak tahu harus menjawab apa, karena dia memang belum tahu nama gadis yang dicarinya itu.

“Ha-ha-haha-hihihi! Nona ayu, jangan kau tanyakan nama gadis itu kepadanya! Dia takkan tahu, karena dia memang belum sempat menanyakan nama pacarnya itu!” Tiba-tiba terdengar suara serak berkumandang tanpa kelihatan orangnya.

“Suheng, mengapa kau suka benar mencampuri urusan orang? Apakah lukamu akibat mencampuri urusan orang-orang Hun tadi malam belum membuatmu jera?” Put-tong-sia menggeram marah. Matanya memandang nanar ke segala penjuru, mencari tempat persembunyian Put-pai-siu Hong-jin.

Wajah Liu Wan menjadi amat tegang pula. Suara tanpa ujud itu membuat jantungnya berdegup lebih keras. Dan otomatis kakinya mendekati Tio Ciu In, siap untuk setiap saat melindungi gadis itu dari bokongan musuh. Yang justru menjadi ketakutan adalah nelayan tua itu. Mendengar suara tanpa ujud, padahal suara itu seakan-akan berada di dekatnya, membuat orang tua itu gemetar ketakutan. Setelah menengok kesana-kemari, ia segera mengambil langkah seribu, meninggalkan tumpukan jala yang belum selesai digulungnya.

“Kurang ajar! Bikin ribut saja! Eh, maaf... aku akan mencari suhengku dulu...”? akhirnya Chin Tong Sia berkata kesal.

“Tapi... saudara belum menjawab pertanyaanku.” Tio Ciu In cepat memotong ucapan pemuda itu. Chin Tong Sia tertegun, kakinya tak jadi melangkah. Sekejap wajahnya menjadi merah lagi, namun segera hilang pula.

“Bukankah suhengku tadi sudah menjawabnya? Maaf, aku pergi dulu...”

“Tunggu...!” Tio Ciu In berseru seraya melompat ke depan menghadang langkah Chin Tong Sia. Pemuda kurus itu berdiri tegak, urat-uratnya menegang, sehingga Liu Wan yang amat mengkhawatirkan keselamatan Tio Ciu In cepat-cepat bergeser mendampingi gadis itu.

“Apa yang Nona inginkan lagi?” Chin Tong Sia berdesis. Matanya menatap dingin, terutama kepada Liu Wan yang kelihatan selalu melindungi Tio Ciu In.

“Saudara, kulihat kau tadi membawa bungkusan pakaian. Apakah bungkusan itu milik gadis yang kau cari itu?” Tio Ciu In bertanya, suaranya tetap tenang. Mata pemuda kurus itu tiba-tiba bergetar seolah-olah menahan marah.

“Apa peduli Nona dengan bungkusan pakaian itu? Kuharap Nona jangan mencampuri urusan orang!” pemuda itu menggeram. Ternyata Tio Ciu ln juga tidak sabar pula.

“Apa? Aku tidak boleh mencampuri urusan Saudara? Bagaimana aku tidak boleh mencampuri urusan saudara kalau bungkusan yang saudara bawa itu milik Adikku?” jeritnya marah.

“Apa...?” Chin Tong Sia berseru kaget.

“Bungkusan itu milik Adikku! Tahu? Sekarang, berikan bungkusan itu kepadaku...!” Tio Ciu In melangkah ke depan, tapi dengan cepat Chin Tong Sia bergeser ke belakang.

Pemuda itu menatap Tio Ciu In dan Liu Wan dengan pandangan curiga. “Tidak! Aku tidak percaya kepadamu! Akan aku serahkan sendiri bungkusan ini kepada yang punya.”

“Kurang ajar! Serahkan kepadaku!” Tio Ciu In menjerit, kemudian menyerang Chin Tong Sia.

Tapi dengan mudah pemuda kurus itu mengelakkannya. Hanya dengan mendoyongkan tubuhnya ke kiri, serangan Tio Ciu In gagal mengenai sasarannya. Bahkan ketika pemuda itu balas memukul dengan siku tangannya, Tio Ciu In menjadi gelagapan dibuatnya. Untunglah Liu Wan cepat membantu. Dari jauh Liu Wan melontarkan pukulan Thian-lui kong-ciangnya!

“Whuuuuus!”Hembusan angin tajam menyambar siku Chin Tong Sia! Chin Tong Sia cepat menarik kembali serangannya, lalu berjumpalitan menghindari sambaran angin tajam yang amat berbahaya itu.

“Thaaaaar!” Angin pukulan yang gagal mengenai sasaran itu menerjang gundukan pasir yang menghamburkannya kemana-mana.

“Bagus...!” sekonyong-konyong Chin Tong Sia bersorak gembira, seakan-akan memperoleh mainan yang menyenangkan.

“Ciu-moi, minggirlah... dia bukan tandinganmu!” Liu Wan berseru.

Tio Ciu In menarik napas lega. Hampir saja rusuknya patah. Dia tak mengira kalau lawannya bisa bergerak begitu. Sementara itu Liu Wan telah berhadapan dengan Chin Tong Sia. Seperti dua ekor ayam aduan mereka saling menaksir kekuatan lawannya.

“Maaf, Saudara... bolehkah aku tahu namamu?” Liu Wan menyapa lebih dulu.

“Boleh. Aku tak pernah menyembunyikan namaku. Namaku Chin Tong Sia dari aliran Beng-kauw. Dan kau sendiri tentu datang dari utara, bukan? Aku belum tahu namamu, tapi aku kenal ilmu pukulanmu tadi. Thian-lui kong-ciang, bukan?”

Jawaban itu benar-benar mengejutkan Liu Wan dan Tio Ciu In, sama sekali mereka tak menyangka kalau pemuda itu dari aliran Beng-kauw, salah satu aliran keagamaan terbesar di daerah selatan, bahkan hati Tio Ciu In menjadi berdebar-debar pula karena pada tahun-tahun terakhir ini di antara aliran Im-yang-kau di utara dan beng-kaw di selatan seperti bersaing dalam pertumbuhannya.

“Ah, kami sungguh tak menduga dapat berjumpa dengan seorang murid aliran Beng-kauw di pantai timur ini, aku memang dari utara dan ilmu pukulanku tadi kebetulan memang bernama Thian-lui kong-ciang...”

“Hmmm, bagus... bagus! Apakah gadis ini adikmu?”

Liu Wan mengangguk, hatinya mulai panas juga melihat kecongkakan lawannya.

“Oooh, jadi... Kau juga ingin mengambil bungkusan ini?”

“Tentu saja, karena seperti yang dikatakan adikku ini bungkusan yang kau bawa itu, adalah milik adik kami.”

“Baiklah, kau boleh membawanya, asal...” Chin Tong Sia tak melanjutkan kata-katanya. Wajahnya yang tampan itu tiba-tiba tersenyum dingin.

“Asal apa?” Liu Wan mendesak, urat-uratnya menegang, siap untuk menggempur lawannya.

“Asal kalian bisa mengalahkan aku! Kalau kalian tidak mampu, jangan harap aku akan memberikannya!”

“Kurang ajar! Sombong sekali!” Liu Wan menggeram. Lalu tanpa mengulur-ulur waktu lagi Liu Wan menerjang Chin Tong Sia dengan kedua telapak tangannya. Hembusan angin yang amat kuat meluncur dari telapak tangan tersebut, bergulung-gulung, susul menyusul, bagiaman gempuran ombak menerjang dada Chin Tong Sia.

“Wah, dahsyat sekali!” pemuda kurus itu berteriak kagum sekali sambil melompok tinggi ke udara.

Melihat lawannya bisa meloloskan diri dari gempuran pukulan udara kosongnya, Liu Wan cepat-cepat mengejarnya dengan sabetan sisi tangannya. Pukulan itu diarahkan ke lutut Chin Tong Sia yang masih mengapung di udara. Dan sekali lagi dari sisi telapak tangan itu berdesis angin tajam yang menyambar lebih dahulu ke arah sasarannya. Liu Wan benar-benar tak memberi kesempatan kepada Chin Tong Sia untuk bernapas.

“Wah, gila...! Gila! Hihihi-ha-haha! benar-benar pukulan bagus! Sute, kau takkan bisa mengelak lagi sekarang! Hoho-ho... tibalah ajalmu kini!” tiba-tiba suara tanpa ujud itu kembali bergema di tempat itu.

“Suheng keparat! Suheng bermuka jelek! kau kira aku tak bisa menghindar lagi? Huh, lihat...!” Entah disebabkan karena ejekan atau cemoohan suhengnya itu, atau entah karena kemarahannya yang memuncak akibat didesak terus menerus oleh Liu Wan, tapi yang jelas pemuda kurus itu mendadak bisa melakukan suatu gerakan yang aneh, sulit, namun hebat bukan main! Tubuhnya yang terapung di udara itu tampak menggeliat beberapa kali ke samping, sehingga tubuhnya yang kecil kurus itu bagaikan segumpal kapas yang turun-naik ditiup angin!

“Wah, wah, wah, Setan Busuk! Setan Gila! Kau benar-benar telah melakukan jurus Menerobos Lubang Pintu Jala dengan amat sempurna! Oh-ho-ho-ho, Sute... selamat! Selamat! Kini sudah ada dua orang yang mampu melakukan gerakan itu di Aliran Beng-kauw kita, kau dan aku... He-he-he-he!” suara tanpa ujud itu bersorak memuji gerakan Chin Tong Sia yang hebat.

Begitu indah dan mentakjubkan jurus yang diperlihatkan oleh Chin Tong Sia itu, hingga untuk sesaat lamanya Liu Wan ikut tertegun di tempatnya. Liu Wan baru sadar kembali ketika melihat lawannya itu telah berdiri siap di depannya.

“Bagus!” Liu Wan memuji sambil menerjang lawannya kembali. Kali ini dengan tusukan dua buah jari ke leher Chin Tong Sia. Akan tetapi Chin Tong Sia tak ingin jadi sasaran terus-menerus. Sambil menghindari tusukan jari Liu Wan, tangan kanannya menyambar ke depan, menuju ke ulu-hati lawannya. Serangannya amat cepat dan kuat bagaikan patukan ular kobra!

“Wah, jelek... jelek! Siku tanganmu masih terlalu melebar ke luar lagi! Sute, kau bisa celaka! Pertahananmu menjadi rapuh!” Put-pai-siu Hong-jin yang belum juga mau memperlihatkan dirinya itu mencela gerakan Chin Tong Sia. Entah benar atau kurang benar, namun serangan itu sendiri sudah cukup merepotkan Liu Wan.

Pemuda sakti itu terpaksa membuang tubuhnya ke kanan sambil menjejakkan kakinya ke atas untuk menghantam Chin Tong Sia, kemudian berjumpalitan menjauhkan diri. Semua itu dilakukan Liu Wan karena dilihatnya kaki kiri Chin Tong Sia telah bersiap-siap menerjang tubuhnya.

“Aduuuh... salah! Seharusnya kau tidak mengelak ke kanan! Seharusnya kau bergeser sedikit saja ke kiri, lalu menghajar ketiak Suteku yang terbuka itu! Huh, pasti suteku itu mampus!” suara Put-pai-siu Hong-jin kembali terdengar, tapi kali ini mencela gerakan Liu Wan.

Sementara itu Tio Ciu In menonton pertempuran itu dengan perasaan kebat-kebit. Matanya selalu gelisah melirik kesana-kemari, mencari orang yang bersuara tanpa kelihatan ujudnya itu. Namun sampai bosan ia mencarinya, orang itu tetap tak kelihatan juga. Padahal tempat itu adalah tempat yang lapang, sama sekali tiada pepohonan ataupun bangunan rumah.

Yang ada cuma gubug kecil reyot tempat nelayan tua tadi berteduh duri teriknya matahari! Dan bangunan reyot itu tak mungkin untuk bersembunyi, karena selain tak ada dindingnya, atapnyapun hanya dari daun-daun ilalang pula yang sudah bolong di sana-sini. Seekor kucingpun sudah cukup untuk meruntuhkan atap tersebut bila bertengger di atasnya.

Demikianlah dua jago muda itu segera bertempur pula dengan sengitnya. Masing-masing memperlihatkan kehebatan ilmunya. Liu Wan bersilat dengan gerakan-gerakan cepat dan bertenaga, sehingga setiap gerakannya menimbulkan gesekan atau pusaran angin yang semakin lama semakin bertambah besar. Sedangkan lawannya yang berperawakan kecil kurus itu bersilat dengan amat lincah pula.

Tubuhnya yang ringan itu bagaikan seekor tupai yang gesit dan lincah, berloncatan kesana-kemari menghindari badai serangan yang dilancarkan Liu Wan. Pertempuran mereka benar-benar ramai dan mengasyikkan untuk ditonton. Masing-masing tampaknya masih berusaha menjajagi kemampuan dan kekuatan lawannya, sehingga mereka bertempur dengan sangat hati-hati dan tidak segera mengeluarkan ilmu simpanan mereka.

Liu Wan masih tetap bersilat dengan gerakan-gerakan cepat penuh tenaga, sementara Chin Tong Sia melayaninya dengan gerakan-gerakan yang manis, gesit serta lincah bukan main. Tak terasa lima puluh jurus telah berlalu. Gesekan dan pusaran angin yang ditimbulkan oleh ilmu silat Liu Wan sudah demikian kuatnya sehingga debu dan pasir di mana mereka berdua berkelahi mulai terangkat dan berhamburan kemana-mana.

Bahkan gubug reyot tadi sudah mulai bergoyang-goyang mau roboh pula. Tio Ciu In terpaksa mundur beberapa langkah menjauhi arena yang sekarang menjadi gelap oleh debu. Otomatis pertempuran yang hebat itu tak bisa ditonton lagi. Tubuh Liu Wan maupun Chin Tong Sia hanya tampak samar-samar saja dari luar.

“Wah-wah-wah, ilmu silat apa ini...? Kasar! Kasar sekali, seperti kerbau berlaga saja! Tak sedap dipandang! Huuuh, sebal mendingan tidur.” Suara Put-pai-siu Hong-jin yang serak itu terdengar kembali namun nadanya terasa sangat kesal dan kecewa.

Pertempuran tetap berjalan terus, bahkan semakin lama arena yang mereka pergunakan semakin lebar dan luas. Tampaknya mereka mulai meningkatkan kemampuan mereka masing-masing. Malahan Liu Wan kelihatan sudah mulai menyelipkan pukulan-pukulan Thian-lui kong-ciangnya, karena di dalam pekatnya debu. yang bertaburan itu sesekali terdengar letupan-letupan kecil.

Akhirnya gubug reyot itu tak bisa bertahan lagi. Tiang-tiangnya yang sudah rapuh itu roboh berpatahan, sementara atapnya yang rombeng terhempas entah ke mana. Dan Tio Ciu In sendiri terpaksa semakin menjauhi arena. Hatinya masih merasa kebat-kebit dan cemas. Takut kalau Liu Wan kalah, padahal pihak lawan masih ada satu orang lagi yang belum memperlihatkan diri, seorang lawan yang tampaknya justru lebih tangguh daripada pemuda kurus itu.

Sebenarnyalah, sekali ini Liu Wan memang benar-benar menghadapi lawan yang sangat berat. Chin Tong Sia memiliki kelincahan dan kegesitan yang luar biasa. Tubuhnya yang kurus kerempeng itu melejit dan berjumpalitan kesana-kemari laksana tupai yang bermain akrobat di atas pohon. Gerakan tubuhnya seringkali sangat aneh, muskil dan sulit diduga, bahkan kadangkala seperti tak masuk di akal, sehingga lama kelamaan Liu Wan menjadi bingung juga menghadapinya.

Akhirnya terpaksa juga Liu Wan mengeluarkan ilmu simpanannya, Thian-lui kong-ciang. Setahap demi setahap gerakannya diperlamban, sehingga prahara atau angin ribut yang ditimbulkan, oleh ilmu silatnya tadi juga berangsur-angsur menjadi reda pula. Angin Prahara itu bagaikan terhisap kembali ke dalam telapak tangannya, membuat kedua buah telapak tangan itu seolah-olah menggenggam kekuatan angin yang sangat dahsyat. Dan memang itulah inti kekuatan Thian-lui kong-ciang atau Telapak Tangan Halilintar!

Sementara itu angin laut bertiup dengan kencang. Sehingga kumpulan debu dan pasir yang menyelimuti arena itu tersapu bersih dalam sekejap. Sekarang dua jago yang sedang berlaga itu kelihatan lagi. Keduanya masih bertempur dengan gigihnya dan masing-masing telah mulai memperlihatkan ilmu andalannya. Thian-lui kong-ciang memang sebuah ilmu yang sangat dahsyat. Dengan mengerahkan ilmu itu kaki dan tangan Liu Wan seolah-olah berubah menjadi besi yang beratnya ribuan kati.

Setiap hentakan kaki atau tangannya akan menimbulkan kekuatan yang dahsyat tiada terkira. Bahkan angin pukulannya saja sudah mampu melumatkan semua sasaran yang ada. Setelah Liu Wan melancarkan serangan dengan Thian-lui kong-ciang, Chin Tong Sia memang mengalami kesulitan. Gerakan-gerakan Liu Wan yang ketat dan penuh tenaga itu seakan-akan menciptakan dinding-dinding pertahanan yang sulit ditembus.

Bahkan dinding-dinding yang tercipta itu semakin lama terasa semakin banyak sehingga ruang geraknya menjadi ciut. Otomatis ia tak dapat mengembangkan ciri-ciri ilmu silat Aliran Beng-kauw, yaitu kelincahan dan kegesitan tubuh. Maka tiada jalan lain lagi bagi Chin Tong Sia selain mengeluarkan ilmu puncaknya, yaitu Chuo-mo-ciang (Ilmu Menangkap Setan), andalan Aliran Beng-kauw, yang salah satu jurusnya, Menerobos Lubang Pintu Jala, telah diperagakan, oleh Chin Tong Sia tadi.

Dan sesuai dengan adat kebiasaan orang dusun, yang selalu menabuh bunyi-bunyian sambil berdoa atau bernyanyi di kala mengadakan upacara adat menangkap setan, maka di setiap menjalankan ilmu Chuo-mo-ciang pun para anggaota Aliran Beng-kauw tentu “bocor” pula mulutnya. Dan karena sebagian besar ilmu silat Chin Tong Sia itu hasil didikan suhengnya.

Maka “Kebocoran” Chin Tong Siapun sebagian besar juga mewarisi “Keceriwisan” Put-pai-siu Hong-jin! Sambil menyerang atau mengelakkan pukulan Li Wan, Chin Tong Sia bernyanyi. Suaranya kaku dan sumbang, sama sekali tak berbakat menjadi penyanyi. Syair-syair lagunyapun hanya ngawur dan sekenanya saja.

“Ada ular di dalam lubang... Ularnya satu lubangnya satu! Ularnya bingung lobangnya buntu! Maju mundur sampai mati...!”

“Hohohoo-hahaha...! Sute, ularmu goblok benar! Masakan hanya karena lubang buntu saja sudah mati, hohoho-hahahaa! Goblok... goblok!!!” Tak terduga suara Put-pai-siu Hong-jin muncul lagi.

“Suheng, diam kau...! Kalau berani, keluarlah! Jangan bersembunyi!” Chin Tong Sia tersinggung dan marah-marah.

“Oho, Sute... sute! Celaka benar ularmu! Ular goblog saja dipelihara, hohoho! Mengapa engkau tidak mencontoh ularku? Ularku pintar dan cerdik. Dengarlah!”

Ada ular melibat lubang...!
Dilihat dulu lubangnya buntu!
Ular berbalik ekornya maju!
Di Lubang buntu ular berlagu...!


“Suheng keparat! Suheng bangsat! Awas, kuhajar kau nanti...!”

Bukan main dongkolnya Liu Wan, lawannya yang kurus kerempeng itu bertempur sambil bergurau dengan suhengnya. Celakanya, tampaknya saja bergurau tapi sambil bergurau ternyata Chin Tong Sia menyerang terus dengan jurus-jurusnya yang aneh. Demikian anehnya gerakan yang dilakukan Chin Tong Sia, sehingga dia menjadi bingung dan serba salah menghadapinya.

Suatu saat ketika Liu Wan menghajar pelipis Chin Tong Sia, pemuda itu mengelak dengan gaya seperti orang kesurupan setan. Badannya limbung, kemudian terjerembab ke depan seolah-olah hendak menimpa tubuh Liu Wan. Tentu saja Liu Wan menjadi curiga, sehingga otomatis bergeser ke samping menghindarinya. Tak terduga tubuh Chin Tong Sia itu benar-benar jatuh ke tanah, sehingga Liu Wan untuk sedetik menjadi heran.

Namun waktu yang cuma sedetik itu ternyata telah membawa celaka. Ketika tubuh Chin Tong Sia itu hampir menyentuh tanah, tiba-tiba tangan kanannya menyambar. Cuma sedetik, sehingga Liu Wan benar-benar tak mempunyai kesempatan lagi. Tahu-tahu pergelangan kakinya telah dicengkeram Chin Tong Sia! “Bluug!” Tubuh Chin Tong Sia membentur tanah!

“Auugh!” Liu Wan menjerit seraya menghajar lengan yang mencengkeram kakinya itu dengan Thian-lui kong-ciangnya. “Duuuaaar!” Tanah di depan Liu Wan meledak berhamburan terkena hantaman Thian-lui kong-ciang, karena dengan gesit Chin Tong Sia telah melejit pergi dengan lincahnya.

“Puteri Istana menghisap hun-cwe (pipa panjang)
Hun-cwe terisi butiran candu.
Bibir pucat matanya sayu.
Bagai bidadari sedang bercumbu.”


Dengan wajah cerah penuh senyuman Chin Tong Sia telah berdiri siap kembali. Matanya yang kocak itu memandang Liu Wan yang terpincang-pincang karena salah satu urat darahnya tertutup akibat cengkeramannya. Sambil tersenyum ia berpantun.

“Hei, Sute! Puterimu itu gila barangkali! Masakan seorang puteri keraton menghisap pipa...!” Put-pai-siu Hong-jin berteriak penasaran dari tempat persembunyiannya.

Chin Tong Sia melirik kesana-kemari mencari arah suara suhengnya. Senyumnya menghilang. “Suheng, kenapa engkau hari ini usil banget? Apakah tidak boleh seorang puteri Istana menghisap pipa?” pemuda itu berseru kesal.

“Boleh... sih... boleh! Tapi, ya... aneh sekali!”

“Ah, peduli amat! Pokoknya puteri itu suka menghisap pipa! Titik!”

“Uh, ya... terserah kalau begitu maumu. Tapi itu tidak wajar, masakan seorang puteri menghisap pipa panjang, hehehehe. Tidak lucu. Hmmm, apakah kau mau kalau isterimu besok suka menghisap pipa?”

“Suheng gila, keluar kau!” Chin Tong Sia berteriak dengan wajah merah padam.

Tak ada jawaban. Tampaknya Put-pai-siu Hong-jin sudah merasa cukup menggoda adik seperguruannya. Mungkin orang tua itu kini terkekeh-kekeh gembira di tempat persembunyiannya. sementara itu Liu Wan memanfaatkan waktu tersebut untuk melancarkan kembali urat darahnya yang tertutup. Tapi usahanya sia-sia. Aliran darahnya masih tetap tersumbat, sehingga kakinya tak bisa bergerak dengan leluasa.

Tio Ciu In menghampiri dengan wajah khawatir. “Bagaimana, Twako? Ada sesuatu yang salah?” tanyanya cemas.

“Gila! Anak itu memang lihai sekali, aku tak bisa membuka totokannya.”

“Lalu... apa yang harus kita perbuat?” Tio Ciu In berbisik tegang.

“Apa boleh buat. Mungkin aku tidak bisa menang, tapi yang jelas aku akan mengadu jiwa dengannya!”

“Liu Twako...”

“Sudahlah, Ciu-moi... Minggirlah, aku belum kalah.”

Di lain pihak Chin Tong Sia masih menoleh kesana-kemari mencari suhengnya. Pemuda itu masih kelihatan penasaran terhadap Put-pai-siu Hong-jin, sehingga dia tak peduli lagi kepada Liu Wan. Bahkan dia juga tidak ambil pusing pula ketika Tio Ciu In menghampiri Liu Wan.

Tio Ciu In melangkah menjauhi arena lagi. Ia tak dapat menghalangi niat Liu Wan, karena pemuda itu tentu tak ingin kehilangan harga dirinya. Langkahnya terhenti di dekat tumpukan jala si Nelayan Tua itu. Sekonyong-konyong tumpukan jala itu terangkat dan terlempar jauh, sementara dari bawahnya muncul Put-pai-siu Hong-jin sambil menjerit-jerit!

“Kurang ajar! Kepiting keparat! Kepiting bangsat! Menjepit pantat orang seenaknya! Huh, mati kau...!”

Ternyata tak seorangpun yang mengira kalau Put-pai-siu Hong-jin bersembunyi di bawah tumpukan jala tersebut. Dan tampaknya si Nelayan tadi tidak menyadari pula kalau gulungan jalanya menindih Put-pai-siu Hong-jin yang tipis kerempeng itu. Mungkin sewaktu meletakkan jalanya tadi si Nelayan tak memperhatikan bahwa di bawah gubug reyot itu ada seseorang yang lagi tidur melingkar keenakan. Dan sebaliknya Put-pai-siu Hong-jin sendiri kelihatannya justru merasa kesenangan mendapatkan selimut tebal.

“Bagus! Ternyata suheng bersembunyi di situ! Nah, rasakan pukulanku...!” Begitu melihat suhengnya, Chin Tong Sia segera menerjang dengan pukulan tangannya.

“Hei... Hei, nanti dulu! Aku belum mengikat tali celanaku! Kepiting celaka itu... Kepiting celaka itu... Hei, awas... celanaku nanti melorot turun! Wah!” Put-pai-siu Hong-jin yang sedang ribut dengan kepiting di dalam celananya itu menjadi kaget dan bingung melihat serangan sutenya.

Sambil berusaha mengikatkan kembali tali celananya orang tua itu mengelak kesana-kemari. Celakanya Chin Tong Sia tak memberinya kesempatan sama sekali. Pemuda itu terus saja mengejar suhengnya, sehingga akhirnya tali celana itu bukannya terikat lagi dengan baik, tapi malah menjadi ruwet tidak karuan.

“Wah, ini... Ini bagaimana? Tali celanaku...?” orang tua itu berteriak ketakutan, kemudian lari lintang pukang meninggalkan tempat itu. Kedua tangannya sibuk mencengkeram celananya yang melorot turun memperlihatkan pantatnya yang tepos. Tio Ciu In menjerit lirih dan cepat cepat memalingkan mukanya.

“Kurang ajar! Jangan lari...!” Chin Tong Sia berseru sambil terus mengejar suhengnya.

Liu Wan menarik napas panjang, seolah-olah beban yang menghimpit perasaannya telah lepas namun demikian matanya masih tampak lesu memandang ke depan, ke arah mana Chin Tong Sia dan suhengnya tadi pergi.

“Bagaimana Liu-twako? Kita kembali saja ke kota? Siau In mungkin sudah tidak berada di pantai ini, karena pemuda itu juga sudah sejak kemarin mencarinya.” Tio Ciu In mendekati dan berkata perlahan.

“Baiklah...” Liu Wan mengangguk lesu. “Ciu-moi, ternyata sungguh banyak sekali orang lihai di dunia ini. Aku yang selama ini sangat bangga dengan julukan Bun-bu Siucai, ternyata harus menghadapi kenyataan dalam sehari ini. Dalam waktu hanya sehari ini saja aku bertemu dengan banyak orang yang kepandaiannya lebih tinggi daripada aku. Kwe Tek Hun, Ma Goat dan pembantunya, orang tua buta itu, orang-orang dari Pondok Pelangi dan sekarang Chin Tong Sia bersama suhengnya dari Aliran Beng-kauw. Aaaah... aku memang harus banyak belajar lagi.”

Sambil berjalan kembali ke kota Hang-ciu Tio Ciu In berusaha menghibur kekecewaan Liu Wan. “Twako, dunia ini memang luas. Kita tak usah merasa kecewa terhadap diri sendiri, karena kitapun sebenarnya juga sudah lebih dari pada yang lain. Contohnya, Twako sendiri masih jauh lebih baik dan lebih beruntung daripada aku, Adikku, suhengku, Ku Jing San, Sogudai dan pendeta-pendeta Pek-hok-bio itu. Namun demikian aku sendiri juga masih lebih mendingan daripada anak buah Kuil Pek-hok-bio dan lain-lainnya. Nah, mau apa lagi?”

Liu Wan memandang tak percaya kepada Tio Ciu In. Ia tak percaya kata-kata yang bermakna amat dalam itu keluar dari bibir tipis itu. “Bukan main...!” pemuda itu berdesah sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Matanya menatap redup dan sama sekali tak menyembunyikan rasa kagumnya.

“Apanya yang bukan main...?” Tio Ciu In bertanya sambil menundukkan mukanya, takut melihat pandangan mata Liu Wan.

“Pandangan hidupmu itu tadi, Ciu-moi. Apakah semua yang kau katakan itu sungguh-sungguh keluar dari lubuk hatimu?”

Tio Ciu In mengangkat wajahnya. “Tentu saja, Twako. kau kira aku cuma asal bicara saja?” katanya kurang senang.

“Eh, bukan begitu maksudku...” Liu Wan cepat-cepat menyela. “Aku cuma mempunyai perkiraan, bahwa kau bisa mengatakan seperti itu karena selama ini kau selalu mendapatkan yang baik dan tak pernah mendapatkan kekecewaan di dalam kehidupanmu.”

“Maksudmu...?”

“Yaaaah, misalnya saja tentang... rupa. Kau tidak ditakdirkan berwajah jelek, tetapi kau dikaruniai wajah ayu. Sangat ayu malah. Nah, tentu saja kau tidak pernah merasa kecewa dengan keadaanmu. Akan tetapi lain halnya kalau Thian memberimu wajah yang jelek, kau tentu takkan bisa berkata seperti tadi. Kau tentu akan merasa kecewa terhadap dirimu sendiri...”

Tak terduga wajah yang cantik dan halus itu tersenyum. “Kau salah menduga, Twako. Selama ini aku tak pernah memikirkan, apakah wajahku cantik atau jelek, sehingga aku tak pernah mempersoalkan pula, apakah aku merasa gembira atau kecewa terhadap diriku. Bagiku cantik atau tidak cantik itu sama saja. Semuanya tak perlu dikecewakan.”

“Apakah kau tidak merasa kecewa kalau wajahmu jelek?” Liu Wan penasaran.

Tio Ciu In menggelengkan kepalanya. “Tidak ada yang perlu dikecewakan. Misalkan aku berwajah jelekpun masih tetap seorang manusia, Masih lebih baik dan lebih cantik daripada seekor monyet betina.”

“Hah...? Sungguh gila!” Liu Wan terbelalak. “Lalu, misalkan kau benar-benar menjadi... eem, monyet betina? Apakah kau juga tidak pernah kecewa terhadap dirimu?”

Lagi-lagi wajah yang cantik itu tersenyum, sehingga Liu Wan semakin menjadi gemas melihatnya. “Aku tetap tidak akan menjadi kecewa karenanya. Menjadi monyet masih lebih beruntung daripada menjadi patung batu. Thian maha adil. Kalau pun aku ditakdirkan menjadi monyet, aku percaya Thian akan mengirimkan kepadaku seekor monyet jantan yang kuat dan tampan.”

“Ooooooooooh!” Liu Wan berdesah panjang seraya menundukkan mukanya. Ucapan-ucapan Tio Ciu In yang amat sederhana itu ternyata telah mampu menerangi hatinya, menyadarkannya, betapa serakahnya dia selama ini. “Ciu-moi, kau benar-benar hebat. Aku sungguh merasa suka dan kagum sekali kepadamu. Rasa-rasanya aku menjadi ingin sekali menjadi monyet jantan itu, tapi...”

“Ah, kau...!” Tio Cu In cemberut dan mukanya menjadi merah. “Semua itu hanya perumpamaan saja, bukan kenyataan. Siapa bilang aku seekor monyet betina?”

Liu Wan menjadi malu. “Maaf, Ciu-moi... memang tiada seorangpun yang mengatakan kau seekor monyet betina. kau... seorang dewi, seorang bidadari yang hebat tiada tandingannya. Akulah yang benar-benar pantas menjadi monyet dan bukan monyet jantan seperti keinginanmu itu, tapi monyet kerdil yang tiada artinya sama sekali.”

“Nah, Twako... Kau mulai merajuk lagi. Kau mulai kecewa terhadap dirimu kembali. Semangatmu mudah kembali patah...”

“Aaaaaaah!” Liu Wan menjadi sadar pula kembali. “Maafkan aku, Ciu-moi.”

Demikianlah, sambil berbicara macam-macam mereka berjalan terus sehingga tak terasa mereka telah tiba di kota Hang-ciu lagi. Mereka berhenti dulu untuk mengisi perut, baru kemudian memulai pencarian mereka. Seluruh kota mereka jelajahi dan mereka aduk-aduk, bahkan mereka juga menemui Jeng-bin Lokai pula, namun Siau In tetap tak mereka jumpai. Akhirnya. Setelah sore mereka terpaksa mencari penginapan lagi.

“Bagaimana kalau adikmu tetap tak diketemukan juga? Apakah kau akan tetap mencari di sini?” Liu Wan bertanya.

Tio Ciu In menundukkan wajahnya, menyembunyikan dua tetes air mata yang terlepas dari pelupuk matanya. “Aku akan menantinya di sini. Aku percaya dia takkan jauh dari kota ini. Ia belum pernah bepergian kemana-mana.”

“Tapi...?”

“Twako, kau jangan terlalu memikirkan aku. Aku tahu engkau mempunyai banyak urusan yang lain. Silakan kalau Twako hendak meneruskan perjalanan. Biarlah aku menunggunya di sini, sekalian menanti kedatangan Guruku...”

“Oh, ya...? Jadi Suhumu juga hendak datang ke sini?” Liu Wan menegaskan, suaranya sedikit berubah.

“Rencananya memang demikian. Empat hari yang lalu kami berangkat bersama-sama dari Gedung Cabang Aliran Im-yang-kauw di kota An-king. Suhu menyuruh suheng, aku dan Adikku, langsung pergi ke kota ini, sementara Suhu sendiri berangkat menyusuri Sungai Yang-tse, melalui kota Wu-hu, Nan-king, Wuh-si dan Soh-ciu. Karena harus melalui jalan memutar yang sangat jauh, kemungkinan dua atau tiga hari lagi Suhu baru sampai di sini.”

“Baiklah, Ciu-moi... aku akan menemanimu sehari lagi. Besok lusa baru aku akan berangkat ke barat menemui Guruku. Aku harus melaporkan kegiatan orang orang Hun itu kepada beliau.” Liu Wan berdesah panjang seakan-akan amat berat meninggalkan Tio Ciu In sendiri. “Yaaaaah, sekalian memohon maaf kepada guruku, karena aku telah meninggalkan beliau selama hampir lima tahun tanpa pamit.”

Tio Ciu In memandang Liu Wan degan kening berkerut. “Kau tinggalkan Gurumu selama lima tahun tanpa pamit? Mengapa...?” tanya gadis itu heran.

Liu Wan tersenyum kecut. Dipandangnya gadis ayu itu sekejap, kemudian menggeleng lemah. “Ah, cuma karena urusan keluarga yang kurang menyenangkan saja.”

“Yang Twako maksud... Keluarga Gurumu atau keluargamu sendiri?”

Sekali lagi Liu Wan menghela napas panjang, wajahnya kelihatan buram. “Keluargaku sendiri... aku... ah, sudahlah... aku tak ingin mengingat-ingatnya lagi.”

Tio Ciu In menjadi semakin heran. Baru kemarin pemuda itu memperlihatkan gambar-gambar keluarganya dengan hati riang. Mengapa sekarang tiba-tiba saja pemuda itu kelihatan sedih membicarakan keluarganya? Siapakah sebenarnya pemuda itu?

“Baiklah, Twako... aku juga tak ingin mencampuri urusan keluargamu. Kau tentu mempunyai alasan yang kuat, mengapa sampai pergi meninggalkan keluargamu sekian lamanya.”

Demikianlah mereka terpaksa tinggal di kota itu menantikan munculnya Tio Siau In. Sama sekali mereka tidak membayangkan bahwa gadis itu telah berada jauh di laut utara.

* * *

Ketika menyaksikan A Liong benar-benar tidak muncul lagi ke permukaan air, Siau In menjadi sedih dan menyesal bukan main. Gadis itu merasa telah membunuh orang tak berdosa, sehingga seharian ia tak bosan-bosannya berputar-putar di pinggiran pantai itu, sambil berharap-harap kalau-kalau pemuda itu muncul kembali.

Setelah matahari terbenam barulah Tio Siau In mengayuh sampannya ke pinggir. Tubuhnya lemas karena seharian tidak makan dan minum. Dan malam itu terpaksa harus tidur dan berpuasa pula di atas pasir yang dingin. Demikianlah, karena perasaannya selalu dicengkam rasa gelisah, maka dalam tidurnya Siau In juga mendapat mimpi yang menyeramkan pula.

Di dalam mimpinya gadis itu seperti melihat A Liong timbul tenggelam dipermainkan ombak di tengah lautan. Pemuda itu seperti menjerit-jerit memanggil namanya. Siau In berusaha menolong pemuda itu. Mati-matian ia mengayuh sampannya, menerjang ombak yang setiap kali selalu melemparkan sampannya kembali ke tepian.

Namun suara jeritan A Liong membuat Siau In seperti kesetanan. Ia tetap mengayuh terus, sehingga akhirnya bisa juga sampannya mendekati A Liong. Siau In mengulurkan tangannya untuk menarik tubuh A Liong. Tetapi belum juga tangan itu sempat menyentuh tubuh A Liong, sekonyong-konyong dari dalam air muncul kepala seekor naga raksasa yang sangat menyeramkan!

Ketika naga itu membuka mulutnya yang lebar, maka air laut yang ada di sekitarnyapun segera membanjir masuk, termasuk pula di antaranya adalah tubuh A Liong serta Siau In bersama sampannya! ia terbangun dari tidurnya. Keringat dingin membanjir membasahi seluruh badannya, padahal malam itu bertiup angin laut yang cukup kencang, dinginnya menggigit tulang.

“Ooooooh... aku bermimpi.” Tio Siau In berdesah dengan napas terengah-engah. Siau In mencoba meringkukkan tubuhnya, berlindung di dalam sampannya yang sempit, namun tetap saja ia menggigil kedinginan. Saat itulah Siau In baru ingat bahwa buntalan pakaiannya tertinggal ketika berselisih dengan pemuda kurang ajar yang mengintipnya itu. Teringat akan kekurang-ajaran Chin Tong Sia, Siau In menjadi merah kembali mukanya. Ingin rasanya ia membunuh pemuda tak tahu adat itu, yang enak saja mengintip orang sedang berganti pakaian.

“Aaaah!” Siau In cepat-cepat membuang kenangan yang amat memalukan itu. Angin laut semakin kencang bertiup membuat Siau In semakin tak bisa memicingkan matanya kembali. Akhirnya gadis itu bangkit dari tidurnya. Dipandangnya air laut yang kini tampak tenang di dalam cerahnya sinar bulan. Dan otomatis matanya mencari-cari kalau-kalau terlihat A Liong di antara riak gelombangnya yang berkejaran ke arah pantai.

Tiba-tiba hidung Siau In mencium bau dupa wangi, tapi ketika gadis itu mencoba mencari dari mana arah bau itu datang, mendadak bau itu hilang kembali. Tak terasa berdiri juga bulu roma Siau In. Matanya menatap kesana-kemari, kalau-kalau ada orang yang sedang membakar dupa sekitar tempat itu.

“Jangan-jangan A Liong yang membakar dupa tapi...” Siau In berpikir keras. Timbul kembali harapan Siau In untuk menemukan A Liong. Bergegas ia bangkit dari duduknya, kemudian berjalan meninggalkan sampannya, menyusuri pantai itu menyongsong angin ke arah utara. Dan semakin jauh ia berjalan, bau dupa wangi itu semakin sering pula tercium oleh hidungnya.

Ketika kemudian tepian berpasir itu terhalang oleh tebing tinggi yang menjorok ke laut, bau dupa itu semakin keras menyentuh hidung Siau In. Gadis itu lalu melangkah ke kiri, menyusuri tebing tersebut untuk mencari tempat yang landai agar dia bisa naik ke atasnya. Tapi semakin jauh ke darat tebing itu justru semakin curam dan tinggi, sehingga akhirnya Siau In memutuskan untuk merayapi tebing tersebut dengan ilmu meringankan tubuhnya.

Untunglah dinding tebing itu tidak licin rata seperti tembok rumah. Selain banyak tumbuh-tumbuhan kecil yang bisa untuk berpegangan, dinding tebing itu sendiri banyak memiliki ceruk-ceruk ataupun tonjolan-tonjolan batu karang yang bisa untuk berpijak. Namun demikian tanpa memiliki ginkang yang tinggi rasanya sulit orang bisa merayap sampai di atas. Ternyata dataran di atas tebing yang menjorok ke tengah laut itu cukup luas juga.

Bahkan di atasnya banyak tumbuh pepohonan rindang sampai hampir di ujungnya. Diam-diam merinding juga hati Siau In. Hembusan angin laut yang kuat itu membuat pohon-pohon itu bergoyang-goyang, sehingga dalam kerem angan sinar rembulan pohon-pohon itu bagaikan makhluk-makhluk hitam yang bernyawa. Sekarang bau dupa itu benar-benar terasa menyentak hidung Siau In. Malahan lapat-Iapat gadis itu seperti mendengar suara manusia pula.

“Ada orang di ujung tebing itu. Coba kulihat ke sana...” Dengan mengendap-endap Siau In berjalan mendekati ujung tebing itu. Bau dupa wangi semakin menyengat hidungnya, membuat gadis itu menjadi makin berhati-hati. Ia tak pernah keluar dari bayangan semak maupun pepohonan yang gelap.

Siau In terpaksa berhenti sebentar di bawah semak-semak yang paling akhir. Ujung tebing itu ternyata merupakan tanah bebatuan yang tak ada tumbuh-tumbuhannya sama sekali. Yang ada cuma batu-batu karang tajam berserakan di sana-sini. Dan persis di ujung tebing itu, di tempat yang kosong dari bebatuan, tampak belasan orang lelaki duduk berjajar, berderet-deret menjadi beberapa lapis, menghadap ke arah laut.

Di depan mereka terlihat berbagai macam sesaji yang ditempatkan di atas nampan-nampan bambu. Masing-masing orang itu tampak memegang dupa yang terbakar, sehingga asapnya yang tebal bertebaran ditiup angin. Dengan mengendap-endap di antara batu-batu karang Siau In mendekati, orang-orang itu. Dalam jarak yang cukup dekat gadis itu berhenti. Dipandangnya punggung orang-orang itu dengan seksama.

“Kelihatannya mereka bukanlah orang-orang persilatan. Mereka seperti orang-orang dusun biasa yang sedang mengadakan upacara sesaji kepada laut. Mungkin mereka terdiri dari keluarga-keluarga nelayan yang sedang meminta berkah kepada Dewa Laut, agar mereka selalu mendapatkan keselamatan serta memperoleh hasil ikan yang banyak setiap kali pergi ke laut” Siau ln menduga-duga di dalam hatinya. Siau In beringsut lebih dekat lagi agar ia bisa mendengarkan apa yang mereka bicarakan.

“Oh, Dewi Bulan Yang Agung! Tolonglah kami sekali lagi untuk mengenyahkan setan dan hantu yang saat ini sedang meraja-lela mengganggu dusun kami, seperti ketika kau menolong kami membasmi para perompak yang menduduki dusun kami beberapa bulan yang lalu. Dan seperti juga ketika kau menolong kami mendamaikan pertengkaran serta pertempuran antar-dusun di daerah kami dua bulan yang lalu.”

Siau In melihat salah seorang di antara orang-orang itu berdiri meneriakkan doa-doanya, lalu berjalan ke ujung tebing diikuti oleh yang lain sambil membawa sesajian yang tadi ditaruh di depan mereka. Mereka melemparkan sesajian tersebut ke laut yang berdebur di bawah tebing itu. Setelah itu mereka mengelilingi tumpukan kayu kering yang telah dipersiapkan pula di tempat tersebut.

“Kelihatannya mereka hendak membuat api unggun...” Siau In yang melihat tumpukan kayu itu membatin.

Benar juga apa yang diduga Siau In. Orang yang meneriakkan doa-doanya tadi tampak memimpin lagi teman-temannya untuk membakar tumpukan kayu tersebut. Dan sebentar saja tumpukan kayu yang menggunung itu berkobar dimakan api. Tempat itu serentak menjadi terang-benderang karena lidah api menjilat sampai tinggi di udara. Untuk beberapa waktu orang-orang itu masih tetap berdiri di sekeliling api unggun.

Namun setelah api itu benar-benar berkobar dengan baik mereka lalu bersama-sama meninggalkan ujung tebing tersebut. Mereka berjalan satu-persatu seperti orang berbaris, dengan orang yang meneriakkan doa-doa sebagai pemimpinnya. Siau In segera bersembunyi ketika orang-orang itu lewat di dekat tempat persembunyiannya.

“Mudah-mudahan sesaji kita yang ke tiga kalinya ini dapat dilihat dan diterima oleh Dewi Bulan, sehingga dia cepat-cepat datang menolong kita, Cung-cu (Kepala Kampung)...” salah seorang diantara mereka berkata penuh harap.

“Mudah-mudahan saja begitu.” orang yang memimpin doa tadi menjawab. “Ketika datang yang terakhir kalinya itu Dewi Bulan berpesan, kita disuruh membuat api unggun yang besar di tempat ini apabila menghendaki kedatangannya.”

“Tapi kita sudah tiga malam berturut-turut membuat api unggun di sini, ternyata dia belum juga datang menolong kita.” yang lain berkata pula dengan nada kecewa.

“Ah, kau jangan berkata begitu, Ji Tek.” orang yang pertama membuka suara tadi memperingatkan temannya tersebut. “Bukankah Dewi Bulan itu juga mengatakan bahwa dia tidak mesti bisa datang oleh panggilan api unggun itu, karena mungkin dia berada di tempat yang jauh dari sini sehingga dia tidak bisa melihat kobaran api unggun kita.”

“Kau benar, Kok Siang. Mungkin saat ini Dewi Bulan memang tidak berada di sekitar pantai Laut Timur ini.” orang yang disebut Cung-cu tadi membenarkan ucapan orang itu. Akhirnya rombongan itu menghilang di balik rimbunnya, pepohonan yang tumbuh di atas tebing tersebut. Tinggallah kini Siau In sendirian di tempat persembunyiannya, sibuk memikirkan kejadian yang baru saja dilihatnya itu.

“Apa sebenarnya yang sedang dihadapi oleh orang-orang dusun itu? Mengapa mereka sampai mengadakan sesaji untuk memanggil Dewi Bulan? Dan siapa sebenarnya yang mereka anggap sebagai Dewi Bulan itu? Masakan di atas bulan yang bersinar itu benar-benar ada seorang dewi yang mau turun ke bumi untuk menolong orang-orang itu?” Kejadian tersebut sungguh menarik perhatian Siau In, sehingga gadis itu untuk sementara menjadi lupa akan urusan A Liong.

“Baiklah... akan kuikuti saja mereka! Akan kulihat, apa sebenarnya yang menjadi masalah mereka. Siapa tahu aku bisa melihat Dewi Bulan yang mereka harap-harapkan itu.” Bergegas Siau In meninggalkan tempat persembunyiannya. Meskipun rombongan itu telah berada jauh di depan, Siau In tetap melangkah dengan hati-hati, karena siapa tahu ada satu dua orang di antara mereka yang tertinggal.

Demikianlah, dengan cara menyusup kesana-kemari di antara semak dan pepohonan, Siau In mengejar rombongan orang dusun itu. Ternyata di balik tebing yang tinggi itu terhampar lembah yang cukup subur. Malahan tampak pula di sana sebuah sungai kecil yang berkelok-kelok di antara tanah pertanian.

Beberapa gerombol perkampungan penduduk tampak berkelompok di kanan kiri sungai kecil tersebut. Sejenak Siau In terpesona menyaksikan pemandangan yang amat indah itu. Di bawah tebaran sinar rembulan yang terang-benderang lembah itu benar-benar seperti sebuah taman alam yang menakjubkan.

“Nah... Itu mereka!” gadis itu berseru perlahan ketika melihat iring-iringan manusia ke luar dari semak-semak belukar di bawahnya. Dari atas tebing iring-iringan itu memang sangat jelas sekali. Mereka keluar dari semak belukar dan mulai berjalan berurutan di pinggir sungai. Siau In segera hendak beranjak dari tempatnya ketika tiba-tiba ia melihat bayangan orang di belakang rombongan orang dusun itu.

Bayangan itu juga mengendap-endap pula seperti dirinya. Kadang-kadang berkelebat di antara bebatuan yang banyak terdapat di pinggiran sungai tersebut. Di bawah sinar bulan bayangan itu seperti seorang perempuan bongkok yang mengenakan jubah panjang sampai ke lutut.

“Eh, siapa dia? Mengapa dia!” mengikuti rombongan itu secara sembunyi-sembunyi pula? Apakah dia bermaksud buruk?” Sekarang Siau In benar-benar bergegas turun, mengejar orang-orang dusun itu. Hatinya sungguh-sungguh tergelitik untuk mengetahui apa yang akan terjadi pada mereka.

Semakin dekat dengan mereka Siau In semakin meningkatkan kewaspadaannya, apalagi pinggiran sungai itu tidak banyak semak-semak yang bisa dipakai untuk bersembunyi. Ia hanya dapat mengandalkan ginkangnya untuk bergerak menyusup di antara bebatuan besar saja. Bayangan perempuan bongkok itu masih berkelebatan di depan Siau In.

Perempuan itu tampaknya tak menduga kalau dirinya yang sedang diikuti orang, buktinya ia sama sekali tak pernah menoleh atau mengawasi keadaan sekitarnya. Perhatiannya cuma ke depan, ke arah rombongan orang-orang dusun itu saja. Namun demikian setiap bergerak atau berpindah tempat, gerakannya cepat bukan main...

Jilid selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.