“Mati aku!” diam-diam Siau In berdesah di dalam hati. “Orang itu mempunyai ginkang yang sangat tinggi. Sekali saja aku salah langkah, orang itu tentu tahu kalau ku ikuti.”

Menyadari kalau ginkangnya masih kalah dibandingkan dengan perempuan bongkok itu, maka Siau Inn semakin tidak berani terlalu dekat. Untunglah awan tebal lewat menutupi bulan sehingga suasana menjadi sedikit gelap. Ketika akhirnya di kejauhan mulai tampak sinar-sinar lampu minyak yang berkedip-kedip di kegelapan malam, Siau In menghela napas lega.
“Itu tentu dusun yang mereka tuju...” gadis itu membatin. “Tampaknya dusun itu... eh, kemana perempuan bongkok tadi?”
Siau In cepat-cepat meringkuk di balik sebuah batu besar, sementara matanya nanar melihat ke depan, mencari bayangan perempuan bongkok tadi, namun perempuan itu benar-benar tidak kelihatan lagi, bagaikan hantu tubuh bongkokitu seperti hilang begitu saja. Tak terasa meremang juga bulu tengkuk Siau In, sehingga untuk beberapa waktu lamanya ia tak berani menggerakkan tubuhnya, takut kalau-kalau perempuan bongkok itu berada di sekitarnya.
“Hantuuuuu! Tolong...!” tiba-tiba terdengan jeritan di kejauhan.
Siau In tersentak kaget, suara itu datang dari arah rombongan orang-orang dusun tadi dan benar juga, ketika Siau In memandang ke depan dilihatnya rombongan itu telah lari cerai berai. Masing-masing seperti berlomba untuk lebih dulu sampai ke dusun mereka. Mendadak sebuah bayangan berkelebat lewat tidak jauh dari tempat persembunyian Siau In. Gadis itu terkejut meskipun tidak begitu jelas, namun Siau In segera mengenalnya sebagai perempuan bongkok tadi.
“Dia membawa sesuatu di punggungnya, seperti tubuh manusia! Eh, jangan-jangan perempuan itu telah menculik seorang dari rombongan itu!”
Rasa ingin tahu membuat Siau In melupakan rasa takutnya, gadis itu segera meloncat mengejar bayangan perempuan bongkos tadi. Untunglah awan yang menutup bulan tadi telah bergeser, sehingga lembah itu kembali menjadi terang-benderang. Siau In melihat perempuan bongkok itu melesat cepat melintasi lembah itu, kemudian mendekati lereng bukit sebelah barat.
Walaupun larinya jauh ketinggalan dari lawannya, tapi dengan pertolongan sinar rembulan Siau In masih dapat mengikuti terus kemana perempuan itu pergi, apalagi lembah tersebut merupakan tanah lapang dan tidak banyak ditumbuhi pepohonan tinggi. Namun Siau In sempat menjadi bimbang juga ketika sampai di kaki bukit itu, perempuan bongkok tadi sudah tidak kelihatan bayangannya lagi dari bawah dan Siau In khawatir perempuan itu telah menunggunya di atas bukit.
“Ah, persetan! Aku akan melawannya kalau dia memang berada di sana.” akhirnya gadis itu mengambil keputusan.
Kemudian dengan sangat berhati-hati Siau In mendaki bukit itu. Segala kemampuan yang ia miliki ia persiapkan, kalau-kalau secara mendadak mendapat serangan dari perempuan itu. Tapi sampai di puncak bukit itu ternyata tidak terjadi apa-apa. Perempuan bongkok itu tidak menghadangnya, bahkan bayangannyapun sudah tidak kelihatan lagi. Sebaliknya justru ada hal lain yang lebih mengejutkan Siau In! Tanah lereng di balik bukit itu ternyata merupakan sebuah kuburan kuno yang luas sekali.
Batu-batu nisannya, bangunan-bangunannya, benar-benar menunjukkan betapa sudah ratusan tahun umurnya. Banyak yang sudah roboh atau rusak, meskipun dahulunya bangunan itu kelihatan sangat kokoh dan kuat. Malahan ada beberapa di antara bangunan itu yang kini telah ditumbuhi oleh pohon-pohon yang tinggi.
“Melihat luas dan keadaan bangunannya, tampaknya kuburan ini adalah bekas kuburan orang-orang kaya dan orang-orang berpangkat di zaman dulu. Mungkin dahulu ada sebuah kerajaan di sekitar tempat ini.”
Bulan sudah jauh bergeser turun ke arah barat dan lapat-lapat juga sudah terdengar suara lonceng ditabuh tiga kali dari arah perkampungan penduduk. Hari telah menunjukkan pukul tiga pagi. Suara binatang malam juga sudah mulai berkurang, sementara embun pagi sebaliknya malah menjadi semakin tebal turun ke bumi. Kabut dingin tampak mulai mengepul menyelimuti tanah kuburan itu.
Namun demikian semua itu tidak menghalangi niat Siau In untuk mencari perempuan bongkok tadi. Selangkah demi selangkah gadis itu turun memasuki tanah kuburan tersebut. Langkahnya tetap berhati-hati, bahkan sebentar-sebentar selalu berhenti untuk mengamati keadaan lebih dahulu. Ternyata apa yang dilakukan oleh Siau In tersebut membuahkan hasil pula.
Ketika untuk yang kesekian kalinya dia berhenti mengamati keadaan, tiba-tiba matanya menangkap sebuah gerakan di tengah-tengah kuburan itu. Sebuah bayangan tampak melintas di antara dua bangunan yang masih berdiri megah. Bayangan itu kemudian masuk ke salah satu dari bangunan megah tersebut.
“Itulah dia perempuan bongkok tadi. Tak salah lagi. Tapi... apakah dia tinggal di tempat itu? Aaaaaaah!” Sekejap merinding juga bulu roma Siau In, dani otomatis bermacam-macam bayangan menakutkan melintas di dalam pikirannya.
“Sebenarnya... sebenarnya dia itu manusia atau hantu? Kalau manusia biasa... Kenapa berada di tempat yang menyeramkan begini? Tapi kalau hantu, mengapa bisa menggendong orang dan berlari seperti manusia biasa? Ah, kepalang tanggung... sudah sampai di sini, masakan aku harus kembali lagi? Biar kulihat saja sekalian, hantu atau bukan!”
Dengan bekal nekad Siau In beringsut sedikit demi sedikit mendekati bangunan tua itu. Semakin dekat perasaan Siau In juga semakin tegang, sehingga jantungnya hampir copot ketika dua ekor tikus tiba-tiba berlari melintas di depannya. Bangunan itu sudah retak-retak dindingnya, bahkan gentingnyapun juga sudah banyak yang pecah dan berlubang-lubang pula sehingga sorot sinar bulan dengan leluasa menerobos masuk menyibak rumput dan alang-alang, juga tampak meraja-lela di antara rekahan-rekahan dinding dan lantainya yang berlumut.
“Benar-benar sebuah bangunan yang menyeramkan...” Siau In berdesah dengan bulu meremang. Dalam jarak lima tombak Siau In berhenti dan tidak berani maju lagi, khawatir bila secara mendadak perempuan bongkok itu keluar memergokinya. Kebetulan pula tempat di mana ia berhenti terdapat sebuah pohon tua yang besar dan rimbun daunnva, dari salah satu cabangnya menjulur panjang mendekati bangunan itu.
“Sebaiknya aku naik ke atas pohon ini dan mengawasi bagian dalam bangunan itu dari atas genting.” Tanpa menimbulkan suara Siau ln merayap mendekati pohoh tua itu, lalu memanjatnya perlahan-lahan. Gadis itu tidak berani melompat langsung ke dahan dengan ilmu meringankan tubuhnya, karena takut gerakannya justru bisa ditangkap oleh orang lain.
Tapi dengan merayap seperti cecak sambil berlindung di antara sulur-sulur pohon tua yang memiliki batang sebesar perut gajah itu, tubuh Siau In justru terlindung serta tidak menarik perhatian. Sambil terus mengamati keadaan di sekelilingnya Siau In memanjat setapak demi setapak ke atas. Beberapa kali gadis itu terpaksa berhenti karena beberapa ekor kelelawar beterbangan di sekelilingnya. Tampaknya kelelawar-kelelawar itu merasa heran atas kehadiran seorang manusia di daerahnya.
“Teeeeng! Teeeeng! Teeeeng! Teeeeng!”
Terdengar lagi sayup-sayup suara lonceng dikejauhan memberikan tanda bahwa hari telah menunjukkan pukul empat pagi. Sambil menengadahkan kepalanya Siau In buru-buru mengulurkan tangan guna meraih cabang pohon di atasnya.
“Aku harus cepat-cepat berlindung di balik dedaunan, siapa tahu... oooooh!” Dengan memekik kecil dan wajah pucat pasi Siau In cepat-cepat melepaskan pegangannya! Matanya nanar ketakutan, menatap seorang wanita muda bak bidadari yang duduk tersenyum bergantung kaki, persis di atas kepalanya! Benda yang dikira cabang pohon tadi ternyata sebuah kaki manusia, yang tak lain adalah kaki perempuan cantik yang kini duduk di atas cabang pohon itu!“K-k-kkau... siapa?” dengan suara gugup serta hampir tak terdengar Siau In bertanya.
“Sssssst! kau duduklah dahulu di dekatku ini!” perempuan cantik bak bidadari itu berbisik merdu seraya menaruh jarinya yang lentik di depan bibirnya.
Untuk beberapa saat Siau In berdiam diri, sementara matanya tak lekang dari wajah yang amat cantik itu. Akhirnya hilang juga rasa kaget, takut dan bimbang di dalam hati Siau In. Gadis itu segera menyadari bahwa ia benar-benar sedang berhadapan dengan seorang manusia biasa, bukan dengan hantu atau bidadari.
“Ba-baiklah...!” Siau In lalu melompat ke cabang yang melintang di depan perempuan cantik itu. Mereka duduk berhadapan dalam jarak yang dekat, tidak lebih dari satu tombak, sehingga Siau In dapat dengan jelas memandang wajah lawannya.
Wanita itu memang benar-benar luar biasa cantiknya. Wajahnya bulat telur dengan bentuk mata, hidung dan bibir yang amat sempurna. Tubuhnya tinggi semampai dengan kulit yang putih cemerlang seolah-olah bercahaya di dalam gelap. Rambutnya yang hitam panjang itu disanggul seperti puteri Istana, sementara tubuhnya yang lentur seperti pohon yang-Iiu” itu terbungkus mantel hitam yang panjang sampai di mata kakinya. Siau In menduga perempuan itu berusia di atas dua puluh atau dua puluh satu tahun.
“Adik manis, kulihat sejak tadi kau berlari-lari, kemudian mengendap-endap seperti ada sesuatu yang kau kejar dan kau cari. Eeeem, bolehkah aku tahu siapa yang kau cari?” perempuan cantik itu memecah kebisuan dengan suara yang lirih namun sangat jelas diterima oleh telinga Siau In.
Siau In tidak segera menjawab, ia masih tetap bercuriga terhadap perempuan cantik yang baru saja ditemuinya itu. Bahkan ada terlintas di dalam pikiran Siau In, jangan-jangan perempuan bongkok tadi adalah samaran dari perempuan cantik bak bidadari ini. Tampaknya perempuan cantik itu merasa pula kalau Siau In mencurigainya. Namun demikian ia tak menjadi marah atau berkecil hati karenanya, bahkan ia seperti bisa memakluminya. Pertemuan mereka itu memang sangat mengejutkan, aneh dan terasa kurang wajar!
“Maaf. Adik manis. Aku bukan orang jahat, kau tidak perlu khawatir. Namaku... giok Hong, Souw Giok Hong!” dengan suara sabar dan lembut perempuan cantik itu mencoba meyakinkan Siau In.
Siau In menghela napas panjang. Ucapan yang halus bernada jujur yang keluar dari bibir perempuan itu mulai menyentuh hatinya. Kecurigaannya menurun, walaupun ia masih tetap teringat akan pesan suhunya, agar ia selalu berhati-hati terhadap orang asing.
“Aku... aku, ah, aku bernama Siau In. Tio Siau In...” akhirnya meluncur juga jawaban dari mulut Siau In.
“Mmmm...” bibir perempuan cantik bernama Souw Giok Hong itu tersenyum lega. “Lalu... apa yang sedang kau cari di tempat seperti ini, In-moi?”
Siau In menatap Souw Giok Hong sekejap. Perempuan cantik yang baru saja dikenalnya itu memanggilnya adik, seakan akan mereka telah menjadi sahabat akrab, sehingga Siau In semakin merasa tidak enak untuk bercuriga terus menerus. “Aku, aku... sebenarnya tidak mencari siapa-siapa. Aku... aku tersesat. Cuma, ketika aku memasuki makam kuno ini, aku seperti melihat berkelebatnya sebuah bayangan di bangunan itu sehingga aku ingin melihatnya. Emmmm, apakah Cici juga melihatnya?”
Souw Giok Hong memandang bangunan yang ditunjuk oleh Siau In. Dahinya berkerut, lalu mengangguk perlahan. Meskipun demikian ia tak segera menjawab. Lebih dulu dia mengawasi Siau ln. “Ya, aku memang melihatnya. Bahkan aku sudah bersiap untuk mengejar bayangan itu, tapi... Niat itu segera kuurungkan karena aku melihat kedatanganmu. Eh, In-moi... apakah kau penduduk Lim-kang-cung itu?” Siau In menggeleng.
“Cici maksudkan... dusun di pinggir sungai itu?” ujarnya menegaskan. Sikap Siau In sudah mulai longgar.
Souw Giok Hong mengangguk, kemudian berpaling mengawasi langit yang mulai semburat kemerah-merahan. Fajar mulai menyingsing dan sebentar lagi matahari akan muncul dan peraduannya. “Pagi telah tiba. In-moi, aku pergi dulu. Lain kali kita berjumpa lagi...” tiba-tiba Souw Giok Hong berdesah, lalu tubuhnya yang terbungkus mantel hitam itu melayang ke bawah dan sekejap saja telah hilang di balik semak-semak belukar.
“Cici, tunggu...!” Siau ln berseru kaget. Tapi perempuan cantik bak bidadari itu benar-benar telah pergi. Bayangannya seperti terhisap oleh kabut pagi yang mengepul menyelumuti kuburan kuno itu. Siau In tertegun di tempatnya. Wajahnya sedikit pucat dan diam-diam bulu romanya meremang.
Perempuan cantik yang mengaku bernama Souw Giok Hong itu datang dan pergi bagaikan hantu malam. Sama sekali tak terlihat atau terdengar gerakan tubuhnya. Tahu-tahu seperti muncul atau menghilang begitu saja dan yang kini tertinggal hanyalah baunya yang harum semerbak tertiup angin. Siau ln bergegas turun dari pohon itu. Sebentar ia menoleh ke arah bangunan kuno di mana bayangan perempuan bongkok tadi malam menghilang.
Dadanya berdebar-debar, kembali timbul keinginannya untuk melihat tempat tersebut mumpung hari telah terang tanah. Setelah menarik napas panjang beberapa kali untuk menguatkan hatinya Siau In melangkahkan kakinya ke bangunan kuno itu. Setiap langkah rasanya seperti menginjak lumpur liat yang kental, sehingga langkahnya terasa berat dan agak tertahan-tahan. Apalagi ketika sepatunya telah menginjak lantai pendapa yang berlumut tebal itu, Siau In seperti hendak mengurungkan niatnya saja.
Bangunan itu memang benar-benar menyeramkan. Lantai dan temboknya yang telah pecah-pecah atau retak-retak itu banyak ditumbuhi alang-alang, rumput atau tetumbuhan perdu lainnya. Sementara genting dan susunan kayu penyangga atapnya juga sudah banyak yang kropos dan runtuh ke bawah, sehingga atap gedung itu tampak bolong di sana-sini.
Ruang dalamnya yang terlihat dari luar karena pintunya telah hilang itu kelihatan pengab, kotor dan menyeramkan pula. Rasanya sudah bertahun-tahun, bahkan mungkin sudah berpuluh tahun ruangan dalam itu tak diinjak manusia. Keadaannya benar-benar porak-poranda. Tiba-tiba Tio Siau In terpekik kecil karena dua ekor ular mendadak melintas di dekat kakinya.
Kedua ekor binatang menjijikkan itu saling berlumba untuk menangkap anak tikus yang lari ketakutan. Anak tikus itu melesat ke ruang dalam, diikuti oleh dua ekor ular pengejarnya. Mereka segera hilang di balik bongkahan-bongkahan batu bekas patung yang berserakan di dalam ruangan itu. Tio Siau In menghela napas sambil mengusap dadanya yang berdebar-debar.
“Sialan! Mengagetkan orang saja!” sungutnya perlahan. Akibatnya Tio Siau ln mengurungkan niatnya memasuki pintu yang terbuka itu. Dia tak mau bertemu dengan ular-ular yang menjijikkan tadi. Langkahnya berbelok ke kanan, keluar dari pintu samping, lalu berjalan mengitari bangunan itu ke arah belakang. Tio Siau In ingin masuk ke dalam gedung itu dari pintu belakang.
Sementara itu matahari benar-benar telah muncul di ufuk timur. Sinarnya yang terang keemasan itu segera mengusir sisa-sisa kegelapan yang masih bercokol di kuburan kuno itu. Tio Ciu In menjadi lega. Semangat keberaniannya seperti pulih kembali. Bagian depan dan belakang ternyata sama saja. Sama-sama rusaknya.
Bahkan ruangan-ruangan yang ada di belakang hampir dipenuhi dengan tumbuh-tumbuhan berduri yang menjalar kemana-mana. Tio Siau In enggan masuk, takut ada ularnya lagi. Dia hanya menjulurkan kepalanya saja melalui lubang jendela.
“Iiiih...! Tak ada tempat sedikitpun yang bersih dan lapang untuk lewat. Bagaimana mungkin perempuan bongkok itu dapat masuk ke sini?” gadis itu berdesah. Tio Siau In lalu mengelilingi bangunan itu. Dicarinya tempat yang kira-kira memungkinkan untuk masuk.
Namun usahanya sia-sia, semua tempat juga penuh dengan onak dan duri. Malahan dinding gedung yang sebelah kanan hampir runtuh karena terbelah oleh pohon yang tumbuh melekat di dindingnya. Begitu besarnya pohon tersebut sehingga salah sebuah dahannya yang rimbun itu telah mengangkat sebagian dari atap gedung itu.
“Ah, sudahlah! Lebih baik aku kembali ke pantai saja, atau...wah, perutku lapar!” mendadak gadis itu berseru perlahan ketika tiba-tiba dari balik alang-alang di depannya muncul tiga ekor kelinci yang gemuk-gemuk. Tanpa membuang waktu lagi Tio Siau In mengejar kelinci-kelinci itu.
Tapi tampaknya binatang berbulu tebal itu sudah bercuriga sejak semula, sebab begitu Tio Siau In bergerak maka merekapun segera menghilang ke dalam semak-semak. Akan tetapi Tio Siau In juga tidak ingin kehilangan calon sarapan paginya. Semak itu segera diaduknya, sehingga kelinci itu terpaksa lari ketakutan.
“Huup!” Salah seekor di antaranya cepat disambar oleh Tio Siau In. Kena. Namun dua ekor lainnya keburu menghindar dan menyusup ke semak-semak yang lain. Tio Siau In tidak berusaha mengejar mereka lagi. Seekor sudah cukup baginya.
Demikianlah, tanpa membuang-buang waktu lagi ia menguliti buruannya. Sama sekali dia tak peduli bahwa dirinya masih berada di kuburan. Panas matahari yang semakin terik itu membuatnya tidak takut akan segala macam hantu, termasuk pula hantu perempuan bongkok itu. Yang penting baginya adalah mengisi perutnya yang lapar.
Sebentar saja bau sedap daging kelinci bakar memenuhi tempat itu. Dan Tio Siau In dengan gayanya yang bebas dan sedikit urakan menyantap daging yang telah matang. Sambil berdiri menopangkan sebelah kakinya di atas batu nisan (bong-pai), gadis itu berkacak pinggang seraya mengunyah makanannya. Sama sekali ia tak berusaha menutupi decak mulutnya yang penuh daging itu.
Tanpa kehadiran sang kakak di sampingnya, Tio Siau In memang merasa bebas dan merdeka. Segala tingkah lakunya tiada yang mencela atau memarahinya. Wataknya memang bebas terbuka dan tidak pedulian. Bahkan cenderung untuk bersikap seenaknya sendiri. Sepotong demi sepotong daging kelinci itu amblas ke dalam perutnya. Namun demikian ketika daging itu telah habis, perutnya masih terasa kurang.
“Memalukan benar! Masakan sudah menghabiskan seekor kelinci perut ini masih belum kenyang juga? Wah, kalau cici ada... tentu sudah marah-marah kepadaku.” gumamnya sambil mengendorkan tali celananya. Karena masih merasa lapar Tio Siau In mulai mengincar dua ekor kelinci tadi.
Pelan-pelan kakinya melangkah mendekati semak-semak di mana kedua kelinci tadi bersembunyi. Dan gerumbul perdu yang menutupi gundukan tanah sebuah makam itu disingkapnya hati-hati. Lalu dengan merangkak ia menyusup di bawah dedaunan yang rimbun itu untuk mencari buruannya.
Diam-diam Tio Siau In tersenyum geli sendiri. Semak itu ternyata hanya rimbun di bagian atas saja, karena di bagian bawah amat longgar, mengingatkan dia pada ayam-ayam piaraannya yang suka bersembunyi dan bertelur di semak-semak seperti itu.
“Tampaknya aku juga seperti ayam-ayamku itu. Sehabis makan kenyang, lalu mencari tempat tersembunyi untuk bertelur! Hehehe, rasanya aku juga ingin... buang air besar! Heeei? Apa itu?”
Mata Tio Siau In terbelalak. Di depannya tampak sebuah lubang persegi setinggi satu meter, menembus ke dalam tanah. Di dalam bayang-bayang rimbunnya daun, lubang itu menganga bagaikan mulut raksasa yang hendak mencaplok dirinya. Tio Siau In segera bisa menduga bahwa lubang itu merupakan pintu masuk ke dalam kuburan di bawahnya.
Zaman dahulu, terutama orang-orang kaya, memang sering membuatkan kamar-kamar atau ruangan-ruangan yang lengkap dengan segala perabotnya di dalam makam sanak familinya. Ruangan-ruangan itu bisa dibuatkan di dalam tanah, di bawah gundukan makamnya, atau bisa juga dibangun di atas kuburan itu, berwujud seperti pondok atau rumah biasa. Perlahan-lahan Tio Siau In mundur kembali.
Entah mengapa bulu romanya terasa meremang membayangkan apa yang ada di dalam lubang kuburan itu. Namun baru saja dia beringsut beberapa langkah, tiba-tiba telinganya mendengar suara langkah banyak orang mendatangi tempat itu. Terpaksa dia merangkak ke tempat semula, bahkan lebih dekat lagi dengan pintu makam yang menganga itu. Hati-hati ia mengintip dari balik rimbunnya daun.
“Nah... Inilah dia, Tuan! Dia benar-benar bersembunyi di sini! Baru saja dia membakar daging di tempat ini! Dia tentu melihat kedatangan kita...!” Tio Siau In beringsut semakin dalam dan tanpa ia sadari ia telah bersandar di bibir pintu makam itu. Dari tempatnya itu ia masih bisa melihat orang-orang yang baru saja datang. Mereka terdiri dari tujuh orang lelaki, di mana empat orang di antaranya ternyata telah pernah dilihat olehnya.
“Ah, mereka orang-orang kampung yang mengadakan upacara di atas tebing itu. Hanya tiga orang aneh berpakaian putih-putih itu saja yang belum pernah kulihat. Siapakah mereka?” Tio Siau In berkata di dalam hatinya.
Tiga lelaki yang dimaksudkan oleh Tio Siau In itu memang berpenampilan aneh dan agak menyeramkan. Selain pakaian berwarna putih yang mereka kenakan itu dibuat dari kain kasar yang biasa digunakan untuk membungkus mayat, rambut mereka yang panjang itu juga mereka biarkan terurai lepas pula. Usia mereka rata-rata belum mencapai empat puluh tahun.
Namun karena wajah mereka sangat pucat dan kurus seperti orang yang sedang menderita penyakit berat, maka mereka kelihatan lebih tua. Tapi yang paling membuat seram di hati Tio Siau In adalah pancaran sinar mata mereka. Mata yang cekung dan menjorok ke dalam itu bersinar dingin menyeramkan, seperti mata hantu di kegelapan malam.
“Kalian cepatlah menyingkir! Aku masih membaui kehadirannya di tempat ini... tiba-tiba salah seorang dari lelaki menyeramkan itu menggeram dengan suaranya yang serak.
“Tapi... tapi kuharap Tuan berhati-hati menghadapinya. Hantu Bongkok itu masih membawa teman kami...” Lelaki menyeramkan itu mendengus dingin, lalu berpaling ke arah teman-temannya.
“Sute, bersiaplah! Tampaknya kali ini kita benar-benar beruntung bisa menemukan persembunyian budak perempuan dan pengasuhnya itu!” katanya serak penuh harap.
“Baik, suheng! Kita harus bisa menangkap dia dan mengambil kembali pusaka yang dicurinya!”
Sementara itu Tio Siau In menjadi bingung di tempat persembunyiannya. Dia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Dia tak mengenal mereka dan tak tahu siapa mereka pula. Tapi kalau mereka bertiga benar-benar mengobrak-abrik tempat itu untuk menemukan perempuan bongkok, otomatis mereka akan menemukan dirinya juga.
“Daripada mereka menemukan aku bersembunyi di sini, lebih baik aku mendahului keluar menemui mereka.” katanya didalam hati. Tio Siau In lalu mengerahkan tenaga saktinya untuk bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Kemudian diperiksanya kedua pedang pendek yang terikat di dalam lengan bajunya. Akan tetapi ketika dia hendak bangkit dari tempatnya, tiba-tiba sebuah totokan membuatnya lemas tak berdaya. Tio Siau In ingin berteriak, tapi mulutnya tak kuasa mengeluarkan suara. Ia hanya mampu terbelalak mengawasi seorang wanita tua yang menyeretnya ke dalam lubang makam itu. Entah mengapa, mendadak saja hatinya menjadi ketakutan setengah mati.
Ia seperti sedang dijemput oleh Giam-lo-ong untuk dibawa ke Akherat. Semuanya gelap gulita dan Tio Siau In merasakan seperti diseret melalui lorong-lorong yang berliku-liku. Kadang-kadang seperti melalui sebuah pintu dan memasuki sebuah ruangan, tapi kadang-kadang juga seperti menaiki atau menuruni sebuah tangga pula. Lama sekali rasanya Tio Siau In diperlakukan seperti itu.
Dibawa setengah diseret, berputar-putar naik turun tangga, tanpa sedikitpun wanita tua itu berbicara kepadanya. Wanita itu berjalan dengan langkah cepat seolah-olah dia bisa melihat di tempat gelap. Akh! Tio Siau In baru menyadari keanehan itu! Dia yang masih muda saja sama sekali tak bisa mempergunakan matanya untuk menembus kegelapan itu, tapi mengapa wanita tua itu malah bisa berjalan dengan lancar seperti di tempat terang saja? Keringat dingin membanjir membasahi tubuh Siau In.
Bagaimana kalau wanita tua itu mendadak meninggalkannya di tempat itu? Bagaimana ia bisa keluar nanti? Dan bagaimana kalau ia ditinggalkan di antara mayat-mayat atau tulang-belulang yang tentu banyak terdapat di dalam makam itu? Brug! Tiba-tiba Tio Siau In merasa tubuhnya diletakkan dengan kasar di atas lantai yang dingin. Lalu terdengar suara langkah wanita itu meninggalkannya.
Tio Siau In mau berteriak sekeras-kerasnya, tapi suaranya tetap tak bisa keluar! Otot gagunya masih terkunci oleh totokan wanita itu. Lalu dicobanya untuk membebaskan totokan yang membelenggu kaki dan tangannya. Tak berhasil juga. Rasa takut mulai merayapi hatinya. Apalagi ketika hidungnya menangkap bau busuk di sekitarnya. Bayangan mayat yang menakutkan itu seolah-olah telah menjadi kenyataan.
Hampir saja Tio Siau In menangis ketika mendadak ada seberkas cahaya memasuki tempat itu. Dan semakin lama cahaya itu semakin banyak sehingga tempat tersebut menjadi semakin terang pula. Namun berbareng dengan itu terdengar juga suara langkah kaki mendatangi. Wanita tua itu ternyata telah datang kembali ke tempat itu sambil membawa obor besar di tangannya.
“Oooouuh!” Tio Siau In menjerit kecil ketika wanita itu membebaskan totokannya.
“Berdirilah!” wanita tua itu memerintah dengan suaranya yang berat mengerikan.
“Kkkau... siapa?” Tio Siau In berdesah ketakutan. Wajah yang menyerupai mayat hidup itu menyeringai.
“Diam... Kau!” hardiknya. Wanita itu lalu meletakkan obornya di pojok ruangan. Sekali lagi matanya yang cekung itu berkilat ke arah Tio Siau In.
“Kau tunggu sebentar di sini dan jangan pergi kemana-mana!” Selesai berbicara wanita itu tiba-tiba menghilang. Tubuhnya yang bongkok itu seperti tertelan oleh kepulan asap obor.
Tio Siau ln menggigil ketakutan. Meskipun demikian kakinya bergegas melangkah mengitari ruangan itu untuk mencari pintu keluar. Tapi usahanya sia-sia. Ruangan itu sama sekali tak berpintu. Keempat dindingnya tertutup rapat. Bahkan Tio Siau ln juga tidak melihat sebuah lubang anginpun di sana.
“Lalu... dari mana wanita itu bisa keluar masuk ruangan ini?” Tio Siau In berdesah ngeri. Obor yang berada di pojok ruangan itu diambilnya, kemudian dicobanya kembali mencari jalan keluar. Di pojok yang lain ia melihat lima buah peti mati yang telah terbuka tutupnya. Dilihatnya mayat yang ada di dalamnya tinggal tulang-tulangnya saja.
“Ooooh... bagaimana aku bisa keluar dari tempat ini? Apakah aku harus mati sia-sia di dalam lubang kuburan yang gelap dan mengerikan ini?”
Gadis itu lalu menjatuhkan dirinya di atas lantai. Seluruh tubuhnya merasa lemah lunglai. Serasa hilang semua harapan dan kini tinggal menanti maut yang akan menjemputnya. Tak terasa air matanya mengalir. Timbul rasa sesal di hatinya. Ternyata dia terlalu menuruti kemauannya sendiri. Coba kalau kemarin dia tidak ngambek dan pergi meninggalkan kakaknya, dia tentu tidak akan mengalami kejadian seperti ini.
“Cici...!?” ratapnya sedih.
Ternyata di kota Hang-ciu, Tio Ciu In sendiri juga tidak kalah sedihnya. Sejak Siau In pergi, gadis ayu itu sama sekali tidak bisa memicingkan matanya. Bagaimanapun juga dia merasa bersalah atas kepergian adiknya. Dan dia harus mempertanggung-jawabkan hal itu di depan gurunya.
Demikianlah, ketika akhirnya korban kebiadaban orang-orang Hun itu dibawa ke kota, maka suasana dikotapun lalu berubah menjadi gempar. Korban yang berjumlah lebih dari empat puluh jiwa itu disemayamkan berjajar di pendapa Kabupaten.
Semua orang menjadi sibuk. Bupati, sebagai penguasa tertinggi di kota itu segera mengumpulkan pembantunya. Mereka segera berembuk dengan para petugas keamanan daerah, serta para utusan dari Kotaraja yang kebetulan belum meninggalkan kota itu! Mereka benar-benar menjadi penasaran atas kejadian itu. Memang semua orang sangat penasaran. Mereka ingin tahu, apa sebenarnya yang telah terjadi di pantai malam itu?
Dan mereka juga ingin tahu pula, siapakah orangnya yang begitu berani membantai para perwira dan prajurit itu? Ternyata Liu Wan juga merasa penasaran pula. Pemuda itu akhirnya juga membatalkan niatnya untuk meninggalkan kota itu. Pemuda yang setiap harinya selalu menyamar sebagai Tabib Ciok itu juga ingin memastikan, apakah pembantaian itu juga dilakukan oleh Mo Goat seperti yang dikatakan Jeng-bin Lokai?
“Penjahat biasa memang tidak mungkin berani membasmi kelompok prajurit dan perwira kerajaan! Dendam pribadi juga tidak mungkin sampai membantai pemenang sayembara sebanyak itu! Satu-satunya kemungkinan memang hanya gerombolan Mo Tan! Jadi kelihatannya memang benar dugaanku selama ini! Sogudai, yang selalu berkeliaran di daerah Tionggoan itu, memang merupakan sebagian dari orang-orang Hun yang disebar oleh Mo Tan! Dan kemungkinan besar Mo Goat adalah atasan Sogudai, atau sebaliknya! Yah, benar... Memang tak pelak lagi!” pemuda itu mencoba merangkai semua penyelidikannya selama ini.
Keesokan harinya seorang pelayan mengetuk pintu kamar Liu Wan. Pelayan itu melapor bahwa ada dua orang tamu mencari Liu Wan. Ketika Liu Wan keluar, ternyata tamu itu adalah Ku Jing San dan Song Li Cu, saudara seperguruan Kwe Sun Tek.
“Oh, saudara Ku dan Nona Song! Marilah, silakan duduk!” Tapi Ku Jing San cepat menggoyangkan tangan kanannya, sementara tangan kirinya tetap memegang tongkat penyangga tubuhnya.
“Tak usah, saudara Liu. Kami hanya singgah sebentar saja. Kami hanya ingin menanyakan khabar Twa-suheng. Kemarin Twa-suheng bersama saudara Liu pergi menemani Nona Tio ke perkampungan Hek-to-pai. Tapi kami lihat Twa-suheng tidak kembali bersama-sama saudara Liu. Lalu... Kemana Twa-suheng kami?”
“Aduh, maaf...! Ketika kemarin kami pergi ke markas Tiat-tung Kai-pang, kami melihat saudara Ku dan Nona Song sehingga kami lupa mengatakan hal itu kepada Jeng-bin Lokai.”
“Lalu... di manakah Kwe suheng sebenarnya?” Song Li Cu menyela dengan suara kurang senang. Tio Ciu In yang kamarnya tidak terlalu jauh dari kamar Liu Wan, bergegas keluar mendengar ribut-ribut itu. Dengan senyum ramah dia menyapa murid-murid keluarga Kwe tersebut.
“Ah, ternyata saudara Ku dan Nona Song. Ada apa...? Ada sesuatu yang bisa kami bantu?”
“Saudara Ku dan Nona Song ke sini untuk bertanya tentang saudara Kwe...” Liu Wan menyahut. Lalu pemuda itu bercerita tentang munculnya tokoh Pondok Pelangi yang mengajak Kwe Sun Tek ke Pulau Meng-to.
“Pondok Pelangi?” Ku Jing San dan Song Li Cu mengerutkan kening. Mereka belum pernah mendengar nama itu.
“Ya, katanya tokoh itu ingin bertemu Keh-sim Taihiap.”
“Ingin bertemu dengan Suhu? Ada maksud apa mereka? Ah, saudara Liu... Nona Tio kalau begitu kami mohon diri saja. Kami akan pulang juga ke Pulau Meng-to. Kami ingin tahu, apa sebenarnya yang dikehendaki oleh orang dari Pondok Pelangi itu. Ayo, Sumoi... Kita berangkat!” Ku Jing San berseru dan menarik lengan Song Li Cu.
Liu Wan dan Song Li Cu mengantar mereka sampai ke pintu depan. “Nah, bagaimana kalau kita mencoba berkeliling kota kembali? Siapa tahu adikmu sudah datang? Dia tidak akan bisa menemukan kita kalau kita hanya berdiam diri di sini.” Liu Wan berkata setelah tamu mereka pergi. Tio Ciu In cepat menganggukkan kepalanya.
“Ayoh!” sahutnya bersemangat.
“Tapi... aku akan mengenakan pakaian Tabib Ciok dulu! Tunggulah!”
“Eh, kenapa Twako menyamar lagi? Bukankah musuh Twako yang bernama Sogudai itu sudah pergi meninggalkan kota ini?” Liu Wan tersenyum sambil mengepalkan tangannya.
“Aku tetap akan memburu orang itu sampai ketemu...!” ucapnya tegas.
Demikianlah pagi itu mereka berkeliling kota kembali untuk mencari Siu In. Tapi dari pagi hingga matahari berada di atas kepala, gadis bengal itu tetap tak dapat mereka temukan. Sama sekali tidak ada petunjuk tentang Siau In. Liu Wan yang diam-diam juga mencari berita tentang Sogudai dan rombongan Mo Goat, juga tidak memperoleh khabar apa-apa. Sebaliknya, secara tak terduga Ciu In justru menemukan isyarat atau tanda yang diberikan oleh gurunya.
“Twako... eh, Tabib Ciok. Guruku sudah tiba di kota ini. Lihatlah pit berwarna merah di atas bubungan rumah itu! Suhu pernah berpesan, bahwa dia akan meletakkan sebuah pit merah di atas bangunan yang paling tinggi di kota ini kalau datang.” Tiba-tiba perasaan Liu Wan menjadi berdebar-debar.
“Kalau begitu, di mana dia sekarang?”
“Entahlah! Tentunya pit itu ditaruh di sana sejak tadi malam. Tidak mungkin Suhu menaruhnya pagi ini. Tempat ini sangat ramai. Sekarang Suhu tentu sudah berada di salah satu penginapan di kota ini. Twako, marilah kita mencarinya...”
Mereka lalu berkeliling kota kembali. Selain mencari Siau In, mereka juga mencari Giam Pit Seng. Tapi nasib mujur memang belum berada di tangan mereka. Sampai matahari mulai bergulir dari puncaknya, mereka belum bisa menemukan orang yang mereka cari. Tapi sekali ini jerih payah Liu Wan benar-benar mendapat imbalan.
Sekilas pemuda itu melihat bayangan Mo Goat dan kawan-kawannya di depan kabupaten. Tapi karena tidak ingin meresahkan hati Ciu In, pemuda itu tidak mengatakan apa-apa. Di pinggiran kota mereka beristirahat dan berteduh di bawah pohon. Dengan perasaan kesal dan kecewa Ciu In menyeka keringatnya.
“Twako... Kemana kita harus mencari lagi?” Liu Wan menatap wajah Ciu In. Gadis itu benar-benar kelihatan kesal dan kecewa sekali.
“Wah, kau panggil aku... twako lagi! Bagaimana kau ini? Bukankah kini aku sedang menyamar sebagai Tabib Ciok? Celaka! Bagaimana kalau di depan Gurumu nanti kau tetap memanggil aku Twako? Bisa berantakan penyamaranku!”
Pemuda itu mencoba mengalihkan perhatian. Tio Ciu In pura-pura cemberut dengan mencibirkan bibirnya yang tipis. “Baiklah... baiklah! Aku berjanji takkan menyebutmu Twako lagi, dah!” Liu Wan tersenyum meskipun senyumnya nyaris tertutup oleh kumis dan jenggot panjang Tabib Ciok.
“Bagus! Begitu baru cocok! Nah, begini... mungkin Gurumu tidak tidur di penginapan. Mungkin dia bermalam di rumah kawan atau keluarganya. kau tahu, siapa sahabat atau keluarganya di kota ini?”
Tio Ciu In mengangkat wajahnya. Dahinya berkerut. Dicobanya mengingat, kalau-kalau gurunya pernah bercerita tentang sahabat atau familinya di daerah itu. “Tapi Guru... guruku tak pernah bercerita tentang keluarga atau sahabatnya yang tinggal di kota ini. Entahlah...” akhirnya gadis itu menjawab ragu.
“Baiklah. Kalau begitu kita pergi saja ke markas Tiat-tung Kai-pang sekarang. Siapa tahu mereka memperoleh berita tentang adikmu atau... gurumu? Biasanya kaum persilatan lebih cepat memperoleh khabar daripada orang awam.”
“Kau benar! Mengapa tidak terpikirkan oleh kita sejak tadi?” Tio Ciu In bersorak gembira.
Liu Wan tersenyum kembali. “Yah, pikiran itu juga baru saja timbul dalam pikiranku. Tapi sebaiknya kita mencari rumah makan dulu untuk mengisi perut. Jadi ada alasan buat kita nanti untuk menolak jamuan makan para pengemis itu. Bagaimana? Atau kau memang berminat untuk mencicipi masakan mereka?”
Terbayang di dalam pikiran Tio Ciu In sebuah bumbung bambu milik Jeng-bin Lokai. Bumbung itu digunakan untuk minum secara bergantian. Dan mereka tidak pernah mencucinya lebih dulu. “Ih, tidak mau! Lebih baik berpuasa daripada harus makan bersama mereka.”
Demikianlah, mereka lalu mencari rumah makam yang terdekat. Mereka memilih tempat yang baik dan bisa leluasa melihat ke jalan raya. “Aku akan tinggal beberapa hari lagi. Aku ingin mengetahui lebih jelas tentang pembantaian para perwira dan perajurit kerajaan itu.” Liu Wan berkata sambil memesan makanan kepada pelayan.
“Betul...? Wah!” Tio Ciu In hampir bersorak, tapi segera terdiam pula. Wajahnya tiba-tiba menjadi merah.
Namun Liu Wan pura-pura tak melihatnya. Pemuda itu justru melayangkan pandangannya keluar pintu, ke arah anak-anak gelandangan yang bergerombol di pinggir jalan. Pikirannya masih dipenuhi oleh bayangan Mo Goat dan kawan-kawannya. Gadis yang ia curigai sebagai pelaku pembantaian para perajurit itu ternyata masih berkeliaran di dalam kota. Tiba-tiba perasaan Liu Wan menjadi kecut. Wajahnya berubah. Sebuah dugaan buruk melintas di benaknya.
“Jangan-jangan pihak yang berwenang memang belum mencium gerakan orang-orang Hun ini.” katanya di dalam hati.
“Twako! kau... Kau kena apa? Mengapa tiba-tiba wajahmu menjadi pucat?” Tio Ciu ln menjerit kaget.
Liu Wan tersadar kembali. “Ah, maaf. Tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa. Aku hanya bercuriga terhadap seseorang.” katanya sambil tersenyum untuk menghibur hati Ciu In. Matanya yang tajam itu menatap keluar, memperhatikan sebuah kereta yang mendadak berhenti di seberang jalan.
Seorang lelaki jangkung kurus, dengan kulit putih pucat seperti penderita penyakit berat, keluar dari dalam kereta. Orang itu menyeberang jalan dan melangkah menuju ke restoran. Kusirnya yang sudah tua mengikuti di belakangnya. Orang itu mengenakan kain katun kasar, berwarna putih, seperti pakaian yang dikenakan oleh orang-orang yang sedang kesusahan. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai menutupi pundaknya. Anak-anak gelandangan yang berkumpul di depan restoran itu berlarian menyongsongnya. Mereka berlumba mengacungkan tangan sambil memohon belas kasihan.
“Kasihanilah kami, Tuan. Sejak kemarin sore kami belum makan.” seperti penyanyi opera mereka meratap bersama-sama. Lelaki berambut panjang itu berhenti dan menengadahkan kepalanya. Angin bertiup keras menyibakkan rambut yang terjurai di depan keningnya. Wajah yang tertutup jenggot dan kumis itu tertimpa sinar matahari.
“Ah...! Hampir saja aku mengira Lo-Cianpwe buta itu yang datang.” Liu Wan berdesah perlahan.
“Siapa...??” Tio Ciu In menoleh dengan kening berkerut. Liu Wan menunjuk keluar, ke arah tamu yang baru saja datang.
“Oooh...?!?” Ciu ln terpekik perlahan. Penampilan orang itu memang hampir sama dengan si Pendekar Buta. Bahkan lebih menyeramkan.
Di depan pintu restoran orang itu merogoh saku jubahnya, lalu memberikan beberapa keping uang tembaga kepada anak-anak itu. Tentu saja anak-anak itu menjadi gembira bukan main. Sambil mengucapkan terima kasih mereka berlarian ke jalan raya.
“Pai-cu...???” Kusir itu berseru kaget. Matanya mengawasi bocah-bocah terlantar itu. Liu Wan yang sedang menyamar sebagai Tabib Ciok itu tiba-tiba bangkit dari kursinya. Hatinya berdebar-debar. Ada sesuatu yang mengerikan pada orang itu, tapi ia tidak bisa mengatakan sebabnya.
“Twako ada apa lagi? kau membuatku takut saja!” Ciu In berseru kesal. Liu Wan cepat menggelengkan kepalanya. Perlahan ia duduk lagi di atas kursinya.
“Entahlah! Aku... aku tidak tahu.” gumamnya kurang jelas sehingga Ciu In menjadi semakin kesal pula.
Sementara itu pelayan telah meletakkan makanan dan minuman di atas meja. Dan begitu menyaksikan makanan yang tersedia, Ciu In segera melupakan sikap Liu Wan yang menjengkelkan. Dengan penuh semangat dia mengajak Liu Wan menyantapnya.
“Tabib Ciok, ayolah...!”
Akhirnya Liu Wan terseret pula oleh kegembiraan Tio Ciu In. Dibuangnya pikiran buruk yang sedang menghantui pikirannya. Kemudian dipandangnya wajah ayu itu seolah-olah meminta maaf. Mereka lalu menyantap makanan itu dengan lahap. Selesai makan mereka langsung keluar pula tanpa menghiraukan tamu lainnya. Ketika melewati jalan setapak di pinggiran kota mereka dihentikan oleh seorang pengemis berwajah bersih.
Terlalu bersih untuk ukuran pengemis. Bahkan berkesan agak genit dengan dandanan rambutnya. Usianya sekitar tiga puluhan tahun lebih sedikit. Pakaiannya benar-benar bersih dan rapi, meskipun di bagian dada ditempelkan tiga lembar kain tambalan. Dan jumlah tambalan itu merupakan pertanda dari tingkat kedudukannya di dalam perkumpulan.
“Apakah saudara anggota Tiat-tung Kai-pang?” Liu Wan menyapa pengemis itu dengan ramah.
Orang itu tidak segera menjawab. Matanya memandang Liu Wan dan Tio Ciu In berganti-ganti dan mata itu akhirnya berhenti pada wajah Tio Ciu ln. “Apakah Nona murid pendekar Giam Pit Seng dari Aliran Im-yang-kauw?” pengemis itu tiba-tiba bertanya kepada Tio Ciu In.
Sambil melirik ke arah Liu Wan, Tio Ciu In mengangguk. Dia tak tahu arah pembicaraan pengemis itu. “Maaf. Bolehkah aku melihat sepasang pedang pendek Nona?” Pengemis itu tetap bercuriga.
Tio Ciu In mengerutkan dahinya. Ia merasa kurang senang dengan sikap itu. Tapi Liu Wan cepat menggamit lengannya. “Tidak apa. Perlihatkan saja kepadanya!” bisiknya perlahan. Dengan agak segan Tio Ciu In mengeluarkan pedang pendeknya. Senjata itu dipegangnya erat-erat. Mendadak pengemis tua itu memberi hormat.
“Maaf, Nona Tio. Aku memang mendapat perintah untuk menjemputmu. Pendekar Giam Pit Seng kini berada di markas kami. Beliau telah menunggu Nona sejak tadi pagi.”
“Oh, Suhu benar-benar berada di markas Tiat-tung Kai-pang?” Tio Ciu In bersorak lega.
“Benar, Nona. Dan... Maafkanlah kelakuanku tadi. Aku belum mengenal Nona, karena aku tak berada di markas ketika Nona mengunjungi kami.”
“Tapi... paman sudah mengenal Tabib Ciok ini, bukan?” Tio Ciu In ingin tahu, apakah pengemis itu mengenali penyamaran Liu Wan.
“Mengenal secara pribadi memang belum. Tapi semua anggota Tiat-tung Kai-pang tentu sudah mendengar nama dan melihat Tabib Ciok.” pengemis itu menjawab tegas.
Liu Wan menghela napas lega. Ternyata penyamarannya masih tetap baik. “Terima kasih. Kalau begitu kami juga ingin tahu nama besar Saudara. Bolehkah...?” Liu Wan menjura.
“Namaku Ho Bing! Tapi kawan-kawan biasa memanggilku si Tongkat Bocor! Dan aku berada dibawah pimpinan Jeng-bin Lokai!” Pengemis itu menjawab dengan cepat.
“Tongkat Bocor...?” Tio Ciu In bergumam, namun tak berani bertanya lebih lanjut. Mereka bertiga lalu menyusuri jalan yang berdebu. Tapi belum ada seratus langkah, mereka mendengar siulan dari belakang. Otomatis ketiganya berhenti dan menoleh.
“Lo Kang...!” Liu Wan berseru ketika dilihatnya orang yang bersiul tadi ternyata pelayannya. “Ada apa? Mana saudaramu? Mengapa kau menyusulku?”
Pelayan setia itu menggerak-gerakkan kedua tangannya untuk menjawab. Raut wajahnya tampak tegang dan penasaran.
“Apa yang dia katakan, Tabib Ciok?” Tio Ciu In bertanya kepada Liu Wan. Ternyata air muka Liu Wan berubah pucat.
“Dia mengatakan bahwa saudaranya terluka! Nona Tio... Kau berangkatlah lebih dulu! Setelah melihat Lo Hai, nanti aku akan menyusul!”
“Tapi...?” Tio Ciu In ragu-ragu.
“Jangan khawatir! Mereka tidak apa-apa! Nah, aku berangkat dulu! Maaf, saudara Ho Bing!” Liu Wan bergegas pergi bersama Lo Kang. Sejenak Tio Ciu In masih termangu di tempatnya. Matanya tetap saja terpaku di tempat Liu Wan hilang di balik pepohonan.
“Marilah, Nona Tio...!” suara si Tongkat Bocor Ho Bing menyadarkan Tio Ciu In.
Mereka lalu melangkah di atas jalan itu kembali. Teriknya matahari sudah tidak terasa lagi, di kanan kiri jalan mulai banyak pepohonan yang rindang. Tio Ciu In mengikuti saja langkah si Tongkat Bocor sambil melamun. Pikirannya sudah membayangkan pertemuannya dengan gurunya. Bagaimana dia harus melapor dan mempertanggungjawabkan kepergian Siau In? Bagaimana kalau gurunya menjadi marah? Lalu bagaimana pula ia harus mengatakan tentang kepergian suhengnya?
“Lho? Paman...? Rasanya kemarin aku tidak melewati jalan ini?” Tio Ciu In berseru kaget ketika melewati jembatan kayu yang melintang di sebuah sungai kecil.
Ho Bing menoleh. “Kita memang mengambil jalan memutar, Nona. Jalan yang biasa kita lalui sudah tidak aman lagi dengan kedatangan para pembunuh.”
“Pembunuh...? Pembunuh yang beraksi di pantai itu?”
Ho Bing mengangguk dan melangkahkan kakinya kembali. Tongkatnya yang pendek itu diseretnya melintasi jembatan. Untuk beberapa saat Ciu In masih termangu-mangu di tempatnya, tapi memang tiada pilihan lain kecuali mengikuti orang itu. Ketika sampai di sebuah rawa Tio Ciu In menjadi heran. Di tempat sepi dan terpencil itu ternyata ada sebuah pondok kecil. Dan Ho Bing melangkah ke sana.
“Paman, mau ke mana? Tempat siapkah ini?” Tio Ciu In bertanya ragu. Hatinya mulai was-was.
Pengemis itu tersenyum aneh. “Kita beristirahat dulu di sini. Ada seorang kawan yang ingin berjumpa dengan aku. Mari... Kita masuk!” katanya seraya mendahului masuk ke dalam pondok.
Tio Ciu In makin curiga. Pengemis itu masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dulu, seperti masuk ke rumah sendiri saja. Padahal rumah itu cukup bagus. Terlalu bagus untuk seorang pengemis. Perasaan Ciu In menjadi semakin was-was. Seperti ada perasaan yang mengatakan bahwa tempat itu sangat berbahaya baginya. Tapi sebelum otaknya mampu berpikir lebih lanjut, tiba-tiba terdengar suara lolongan serigala. Dan suara itu bersaut-sautan, semakin lama semakin dekat.
“Kawanan serigala...?” Tio Ciu In terbeliak kaget. Otomatis kakinya melangkah ke dalam pondok.
“Di rawa-rawa ini memang banyak berkeliaran serigala pemakan bangkai. Baik bangkai hewan maupun bangkai Manusia!” Ho Bing yang berada di dalam ruangan itu tiba-tiba tertawa seram.
Tio Ciu In terbelalak. Tangannya mencengkeram gagang pedang di balik bajunya. Tapi hatinya segera bergetar hebat ketika melihat rombongan serigala itu tiba-tiba telah berhamburan datang. Begitu banyaknya mereka, sehingga dalam tempo singkat halaman pondok itu telah penuh dengan serigala. Tio Ciu ln bergegas menutup pintu dan jendela, namun beberapa ekor di antaranya sempat melompat melalui jendela. Gadis itu menjerit dan melompat ke atas meja. Otomatis pedang pendeknya tercabut dan berkelebat melindungi diri.
“Srrrrt!” Dua ekor serigala segera meraung kesakitan karena terbelah perutnya. Bau darah membuat serigala-serigala itu menjadi buas. Mereka segera menerkam dan menjarah bangkai kawanan yang masih berkelojotan itu. Mereka berebut sambil meraung, menggeram dan melolong! Dan lolongan itu bagaikan tengara perang bagi serigala yang lain. Kawanan binatang buas itu tiba-tiba menyerbu pintu dan jendela.
Mereka mencakar, menggigit dan menerjang daun pintu bagaikan telah menjadi gila! Daun pintu itu mulai berderak mau pecah, sementara dari lubang jendela yang belum tertutup baik itu telah masuk beberapa ekor serigala lagi! Meski agak tinggi, tapi beberapa ekor serigala muda ternyata mampu melompati jendela itu. Tio Ciu In mengamuk, rasa ngeri membuat gadis itu membabat mati semua serigala yang mendekatinya.
“Hihihihi... bagus! Bagus!” Ho Bing yang berdiri di pojok ruangan tertawa sambil bertepuk tangan.
“Paman! Bantu aku...!” Tio Ciu In berteriak.
“Bantu? Eh-oh? Baik... baik! Aku datang!” Ho Bing memutar tongkatnya kuat-kuat, lalu menerjang ke depan. Desing suaranya mengaung bersamaan dengan derak pecahnya pintu rumah. Puluhan ekor serigala berhamburan ke dalam, bagaikan kawanan semut memasuki liangnya!
Tio Ciu In menjerit dan berteriak sambil menghentakkan pedangnya. Dan setiap kali pedangnya terayun, maka tentu ada dua atau tiga ekor serigala yang mati! Darah muncrat dan memercik kemana-mana! Akan tetapi semua itu tidak membuat mereka takut. Bahkan bau daah membuat mereka semakin beringas. Semuanya seperti sudah berubah menjadi gila. Mereka meminum darah yang mengalir dari bangkai kawan kawannya dan mencabik-cabik juga dagingnya.
“Pamaaaaaan...!?!?” sekali lagi Tio Ciu In memekik. Gadis itu benar-benar merasa ngeri menyaksikan kebuasan binatang itu.
“Ya-ya, aku datang! Awaaaaas...!” Tapi yang didapatkan oleh Tio Ciu In kemudian, ternyata sungguh di luar dugaannya! Begitu tiba di dekatnya tiba-tiba ternyata Ho Bing justru menyabetkan tongkatnya ke arah pergelangan tangan Ciu In! “Wuuuuut!” Sabetan itu benar-benar cepat dan kuat luar biasa!
“Hei!? kau...???” Tio Ciu In menjerit kaget. Namun sambaran tongkat itu tak mungkin dapat dielakkan lagi. Tio Ciu In hanya mampu mengerahkan tenaga sakti untuk melindungi tangannya.
“Taaaak!” Tongkat itu dengan telak menghajar pergelangan tangan Tio Ciu In! Gadis itu berteriak kesakitan. Meski tidak sampai mematahkan pergelangan tangannya, tapi pukulan tongkat itu terasa nyeri luar biasa! Sampai-sampai pedang yang ada di dalam genggaman tak bisa dipertahankan pula! Senjata itu terlempar jatuh menimpa kawanan serigala!
“Kenapa... Kenapa kau menyerangku?” di dalam kekalutannya Tio Ciu In masih sempat berteriak.
Tapi Ho Bing tak mau memberi kesempatan lagi. Tongkatnya yang garang itu sekali lagi terayun dalam bentuk lingkaran. Begitu kuatnya sehingga tongkat itu mengeluarkan suara lengkinganSeperti suara suling yang ditiup kuat-kuat! Sekejap telinga Tio Ciu In seperti tercocok oleh ribuan jarum! Otomatis konsentrasi dan keseimbangannya ter ganggu! Dan pada saat itu pulalah tiba-tiba tongkat Ho Bing menerjang pinggangnya!
“Auugh!” Tio Ciu In mengeluh. Tubuhnya terhuyung. Ujung tongkat itu mengenai jalan darah ki-ping-hiat di bawah punggungnya, yang membuat seluruh tubuhnya menjadi lemas. Dan kawanan serigala itu telah siap untuk menerkam tubuh Tio Ciu In. Tapi Ho Bing lebih dulu menyambarnya.
“Hihihi... tidak boleh! Ini bagianku, kawan!” Ho Bing menggendong tubuh Tio Ciu In. Dengan tangkas ia menerobos kepungan serigala, lalu masuk ke ruangan dalam melalui pintu rahasia. Sementara itu pesta pora tetap berlangsung dengan meriah. Kawanan serigala yang sudah terlanjur gila itu saling menyerang diantara mereka sendiri.
Sebentar kemudian Tio Ciu In telah siuman kembali. Dia sangat terkejut ketika mengetahui dirinya berada di dalam gendongan Ho Bing. Dia mau meronta, tapi tak bisa. Seluruh urat darahnya tersumbat! Berbicarapun ia tak mampu! Ho Bing membawanya ke ruang bawah tanah. Satu persatu kakinya melangkah menuruni kayu.
Tubuhnya yang kecil memang terlalu berat untuk menggendong tubuh Ciu In. Ruangan itu benar-benar lembab, sehingga lampu minyak di atas meja tak mampu untuk menghangatkannya. Di pojok kiri ada sebuah bangku panjang beralaskan jerami. Ho Bing meletakkan tubuh Tio Ciu In di sana.
“Hihihi, aku sungguh beruntung sekali hari ini! Sekali menebar jala, seorang bidadari cantik dapat tertangkap dengan mudah! Oh-hoooo, betapa mulus kulitnya! Benar-benar seperti sutera!” Bagaikan orang gila Ho Bing meraba dan mengelus-elus pipi dan leher Tio Ciu In.
Di dalam ketakutannya Tio Ciu In terus mencoba membebaskan diri. Dan akhirnya ketika wajah yang kasar dan berminyak itu hendak mencium pipinya, Ciu In telah berhasil membebaskan urat gagunya. “Jangannnnnn...!” Tio Ciu In menjerit keras sekali, sehingga Ho Bing meloncat mundur saking kagetnya.
Beberapa saat lamanya pengemis itu memandangi wajah Tio Ciu In. Dia seperti tak percaya bahwa gadis itu mampu melepaskan totokannya. Tapi ketika dilihatnya gadis itu hanya bisa melepaskan urat gagunya, ia tertawa. “Bukan main! Ternyata tenaga dalammu hebat juga, kau dapat membebaskan diri dari totokanku, meskipun hanya sebagian. Untunglah aku tadi tidak berlaku sembrono terhadapmu. Coba, kalau aku hanya main pukul saja, tanpa menggiring dan menjebakmu di dalam rumah ini, mungkin tugasku bisa gagal!”
“Lpaskan aku...! Lepaskan aku! Aku...” Tio Ciu In berseru serak dan hampir menangis.
“Lepaskan? Huh, enaknya! Aku sudah dibayar mahal untuk tugas ini. Bagaimana mungkin aku bisa membatalkannya? Hehe he! Apalagi setelah melihat wajahmu! Betapa cantiknya! Aku benar-benar terpesona, tanpa diupahpun aku juga mau...” Selesai berbicara Ho Bing kembali mendekatkan wajahnya untuk mencium Tio Ciu In.
“Tahaaaaaan!” Gadis ayu itu menjerit lagi.
“Ada apa lagi, Bidadariku? Ingin kubuka dulu pakaianmu agar kau tidak merasa kegerahan? Boleh... boleh!”
“Jangaaaaann...!”
“Lalu, apa yang kau kehendaki?” Ho Bing yang sudah kalap itu berhenti sebentar.
“Ceritakan dulu! Siapa kau sebenarnya? Dan siapa pula yang mengupahmu?” Tiada jalan lain bagi Tio Ciu In selain mengulur-ulur waktu. Sambil bertanya otaknya bekerja keras untuk mencari jalan keluar.
Pengemis itu mengedip-edipkan matanya. Wajahnya kelihatan puas sekali. Puas dan gembira. “Oh, jadi kau ingin tahu siapa yang memberi tugas kepadaku? Boleh! Nah, apakah kau kenal dengan gadis cantik bernama Mo Goat? Dia yang memberi banyak uang kepadaku. Dia meminta agar aku mau menangkapmu dan mengurungmu di tempat ini, lalu memperkosamu setiap hari, sampai akhirnya kau mati secara mengenaskan.”
Bulu roma Tio Ciu In bergetar dengan hebat. Wajahnya menjadi pucat, seakan-akan darahnya langsung membeku mendengar ancaman itu. “Mo Goat...?” Tio Ciu In ternganga. Di dalam kengeriannya Ciu In merasa kaget setengah mati. Gadis kejam yang dijumpai di restoran itu ternyata benar-benar membuktikan ancamannya. Semua orang yang bentrok dengan dia harus mati. Apalagi dia itu orang Han. Dan kini, gadis itu benar-benar mengirimkan seorang pembunuh kepadanya. Sungguh keji!
Begitu ingat Mo Goat, otak Ciu In segera ingat kepada Pendekar Buta pula! Dan untuk sekejap matanya berbinar. Tapi sekejap kemudian wajahnya kembali muram. Tak mungkin dia bisa meminta pertolongan orang itu. Selain tempat itu sangat terpencil, ruang di mana dia beradapun jauh di bawah tanah. Meskipun berteriak setinggi langit, tak seorangpun akan bisa mendengarnya. Apalagi cuma dengan bernyanyi seperti yang diminta oleh orang tua itu.
“Nah, kau sudah mengenal gadis itu, bukan? Dan tentang aku, kau juga sudah tahu pula. Selama ini aku memang sangat menyukai perempuan, sehingga kawan-kawanku memberi julukan si Tongkat Bocor, hehehe...!” Selesai tertawa pengemis itu kembali mendekatkan mukanya.
Dan kali ini Tio Ciu In tak ingin menjerit lagi. Satu-satunya jalan untuk melawan hanya menyemburkan ludahnya ke muka penjahat itu! “Cuuuh! Cuuuh!”
Ho Bing tak menyangka akan hal itu menjadi kelabakan. Wajahnya yang kelimis dan berminyak itu segera berlepotan dengan ludah Tio Ciu In. “Bangsat keparat! Perempuan celaka!” Bukan main berangnya pengemis itu. Sambil mengeluarkan kata-kata kotor tangannya mencengkeram baju Tio Ciu In dan merenggutnya kuat-kuat.
“Brrrrrrt!” Baju itu sobek dan terlepas. Tak selembar benangpun menutupi pundak dan dada Tio Ciu In, sehingga kulitnya yang lembut itu seolah-olah bercahaya di dalam kegelapan. Begitu mempesonakan pemandangan itu sehingga Ho Bing seperti terpaku di tempatnya. Tak terasa pengemis itu menelan ludahnya berkali-kali...