Pendekar Pedang Pelangi Jilid 14

Sonny Ogawa
Cerita silat Mandarin karya Sriwidjono

Akan tetapi sebaliknya, Tio Ciu In Hampir pingsan mendapat perlakuan seperti itu. Rasanya takut, malu dan ngeri, membuat gadis itu seperti kehilangan akal. Tiba-tiba Ho Bing terbelalak. Matanya yang melotot itu melihat sebuah tato kecil di bagian kiri atas dari buah dada Tio Ciu In.

Gambar tato itu berbentuk burung Hong! Burung Hong yang sedang mengepakkan sayapnya. Indah bukan main! Sekali lagi Ho Bing menelan ludahnya. Pemandangan itu membuat otaknya semakin tidak bisa dikendalikan lagi. Namun sebelum ia menerkam tubuh Tio Ciu In, lonceng di dalam ruangan itu tiba-tiba berbunyi.

“Kurang ajar! Sudah berkali-kali kukatakan bahwa jangan sekali-kali datang ke tempat ini! Tapi tetap saja datang! Huh!” mulutnya menggeram. Dengan sikap malas dan geram pengemis itu melangkah ke tangga. Sambil berjalan matanya tetap tak lepas dari tubuh Tio Ciu In, sehingga tubuhnya hampir menabrak meja.

“Baiklah, kau tunggu dulu sebentar! Aku akan melihat siapa yang datang! Setelah itu kita lanjutkan lagi acara kita...” Sebentar kemudian pengemis itu meng hilang di balik pintu.

Merasa ada kesempatan Tio Ciu In lalu berusaha untuk membebaskan totokannya. Berkali-kali ia mengerahkan tenaga dalamnya. Tapi totokan itu benar-benar sulit dibuka. Keringat sampai mengalir membasahi dada bergambar burung Hong itu. Akhirnya tidak hanya keringat yang mengalir, tapi air matapun mulai menetes dari mata Tio Ciu In. Gadis ayu itu benar-benar mulai putus asa sekarang.

Dan di dalam keputusasaannya, tak terasa bibirnya mulai bergumam dengan nyanyian. Nyanyian yang disukai si Pendekar Buta itu. Semakin lama semakin keras. Bahkan untuk melepaskan segala kepepatan hatinya, Tio Ciu In menyanyikannya dengan seluruh perasaan. Bahkan dengan dorongan seluruh tenaga saktinya.

Suara yang keluar dari bibir Ciu ln memang tidak terlalu keras, namun dorongan tenaga dalamnya ternyata mampu menggetarkan udara di sekelilingnya. Memantul dan bergema ke segala penjuru, bagaikan getaran suara guruh yang merambat melalui udara. Ternyata tanpa disadari Tio Ciu In bernyanyi dengan Iontaran ilmu Coan-im-jip-pit!

Apabila di malam yang gelap gilita.
Tiba-tiba muncul Bulan Purnama.
Maka malampun bagai tersentak dari tidurnya.
Untuk menyambut hangatnya Sang Pelita Malam!
Kekasihku...!
Aku selalu mengharap kehadiranmu!

Sementara itu pada saat yang hampir bersamaan Liu Wan telah tiba di tempat kediamannya. Rumah di tengah-tengah empang itu kelihatan sepi. Dan Lo Kang yang sudah tidak sabar lagi un-tuk melihat keadaan saudaranya, segera mendahului menyeberang. Pelayan gagu itu bergegas membuka pintu. Tapi tiba-tiba tubuh Lo Kang terpental balik.

“Lo Kang!” Liu Wan berseru. Pemuda yang berpakaian sebagai Tabib Ciok itu melesat ke depan dengan tangkasnya. Tubuhnya yang tegap itu bagaikan burung rajawali yang terbang melintasi empang. Di lain saat tubuh Lo Kang telah ditangkapnya. Liu Wan menurunkan tubuh Lokang di sampingnya. Matanya hampir tak lepas dari lubang pintu, dimana Lo Hai yang baru saja menyerang saudaranya itu berdiri dengan garang. Pembantunya yang lain itu telah siap untuk melancarkan pukulannya lagi.

“Lo Hai...! Kau kenapa, hei?” Liu Wan berteriak bingung. “Mengapa kau menyerang saudaramu?”

Tapi Lo Hai yang biasanya sangat penurut itu, tiba-tiba melompat ke luar dan menghantam dada Liu Wan. Dari te lapak tangannya meluncur getaran tenaga berputar seperti layaknya tenaga untuk menutup botol minuman. Liu Wan terkejut. Lo Hai langsung mempergunakan ilmu silat perguruannya, Hong-lui-kun-hoat (Pukulan Petir dan Badai)! Pukulan itu merupakan pembukaan dari jurus yang ke sembilan, yang di-sebut Badai Berputar Menerjang Ombak!

Jurus itu biasa dilontarkan bila berhadapan dengan lawan bertenaga besar! Lo Hai maupun Lo Kang memang bukan saudara seperguruan Liu Wan. Mereka berdua hanyalah pelayan dan pembantu kepercayaan gurunya. Namun oleh gurunya mereka berdua juga diberi pelajaran ilmu silat. Meskipun hanya kulitnya! Tapi karena sebelum mengabdi pada guru Liu Wan, Lo Kang dan Lo Hai juga telah memiliki ilmu silat tinggi, maka tambahan ilmu itu sudah cukup membuat mereka semakin berbahaya.

Demikianlah, meskipun jurus Badai Berputar Menerjang Ombak tersebut tidak ditopang dengan tenaga sakti yang asli dari perguruan Liu Wan, namun perbawanya ternyata cukup mengerikan. Dada Liu Wan yang merupakan sasaran pokok dari pukulan itu tiba-tiba seperti diremas olah sebuah kekuatan yang tidak kelihatan!

“Lo Hai, jangan!” Liu Wan berteriak dan bergegas melejit ke samping untuk menghindarkan diri. Karena terburu-buru maka segumpal dari jenggot penyamarannya terlepas. Namun seperti orang kesurupan Lo Hai tetap saja menyerang Liu Wan. Semakin lama semakin gencar. Bahkan serangan itu tetap tidak mau berhenti walaupun Lo Kang yang sudah bisa mengo-bati luka-lukanya itu mencoba melerai saudaranya.

“Sudahlah, Lo Kang. Engkau mundurlah! Biarlah kucoba untuk melumpuhkan kekuatannya dulu.” Liu Wan memperingatkan pembantunya. Lo Kang memberi isyarat kepada Liu Wan.

“Jangan khawatir. Aku tidak akan melukainya. Aku hanya ingin melumpuhkannya, agar kita lebih tahu apa yang menyebabkan dia berbuat seperti ini.” Pemuda itu menjawab. Tapi untuk melumpuhkan Lo Hai tidaklah mudah. Ilmu silat Lo Hai hanya satu tingkat di bawah Liu Wan. Maka dengan sangat terpaksa pemuda itu juga mengeluarkan ilmu andalannya. Hong-lui-kun-hoat!

Liu Wan menjejakkan kakinya ke lantai. Tubuhnya segera melenting ke atas dalam jurus Awan Mengambang Menutupi Bumi. Kedua lututnya menempel perut, sementara kedua lengannya mengembang ke depan membentuk sapit udang. Kemudian dengan sekuat tenaga pemuda itu mengayunkan kedua kakinya ke bawah, menuju ke arah ubun-ubun! Lo Hai tersentak kaget. Tapi gerakannya sungguh cepat puja.

Sambil mengangkat kedua sikunya ke atas, orang tua itu melangkah setindak ke kiri. Gerakannya sungguh indah. Tubuhnya meliuk ke kanan seperti pohon cemara yang akan roboh. Namun bersamaan dengan gerakan itu, ke sepuluh jari tangan Lo Hai telah terkepal dalam bentuk kepala ular. Selanjutnya kepala ular itu segera me-matuk kaki Liu Wan. Kali ini Lo Hai tidak mempergunakan ilmu Hong-lui-kun-hoat lagi. Orang tua itu mengeluarkan ilmu silatnya sendiri.

Sebuah ilmu silat dari daerah Selatan, yang lebih mementingkan kekuatan tenaga dalam daripada kemampuan geraknya! Gerakannya sangat sederhana dan mudah diduga, namun dengan kekuatannya ternyata gerakan itu sulit dielakkan. Tangan itu memang, belum menyentuh sasaran, tapi kekuatan yang mendorongnya ternyata telah lebih dulu tiba di kaki Liu Wan. Sengatan udara panas membuat Liu Wan cepat-cepat menarik kedua kakinya sambil membuat salto dua kali ke depan.

Jleg! Tanpa mendapat kesulitan pemuda itu mendaratkan kakinya di depan pintu. Dari tempatnya berdiri Liu Wan segera menyerang kembali. Kedua tangannya mendorong ke depan dalam jurus Satu Petir Dua Gelombang. Jurus ke dua puluh satu dari Hong-lui-kun-hoat. Dari telapak tangannya meluncur angin pukulan yang menyambar punggung Lo Hai dengan dahsyatnya.

“Dhuaaaar!”Pukulan itu menyambar tempat kosong, karena dengan tangkas Lo Hai telah keburu melejit ke kanan!

Melihat letupan yang dahsyat itu Lo Kang tak kuasa menahan dirinya lagi. apapun yang telah dilakukan Lo Hai kepadanya, dia tetap tidak tega melihat saudaranya itu terluka. Dengan badan masih terasa sakit, ia segera melesat di antara Liu Wan dan Lo Hai. Kedua tangannya membuat isyarat untuk memohon belas kasihan Liu Wan. Liu Wan menggigit bibirnya.

“Jangan khawatir, aku tidak akan melukainya. Aku hanya ingin meringkus. Menyingkirlah...!”

Namun Lo Kang tetap menggoyang-goyangkan tangannya. Bahkan dia lalu membalikkan tubuhnya dan berusaha memeluk saudaranya. Tangannya mengembang ke arah Lo Hai. Tapi tiba-tiba telapak tangan Lo Hai menyambar ke depan dengan cepatnya. Di tangannya telah terhunus sebilah pisau tajam.

“Cuuuuuus!” Pisau itu menancap tepat di ulu hati Lo Kang! Suatu hal yang benar-benar tak diduga oleh Liu Wan maupun Lo Kang sendiri!

“Uh-uh-uh...?” Sekejap mata Lo Kang terbelalak tak percaya. Tapi di lain saat tubuhnya segera terbanting di atas lantai. Mata itu tetap terbeliak, namun nyawanya sudah melayang.

“Lo Kang...!” Liu Wan menjerit dan menubruk tubuh pembantunya. Tapi lagi-lagi Lo Hai yang sudah kalap itu menghunjamkan pisaunya ke arah Liu Wan. Untunglah Liu Wan tetap waspada. Otomatis kedua tangannya menampar ke depan. Karena ada kemarahan yang terpendam di dalam hati, maka seluruh kekuatannya seolah meluncur begitu saja dalam tangkisan itu.

Duaaaar! Tangan itu seperti mengeluarkan suara ledakan ketika bertemu dengan lengan Lo Hai! Pelayan itu mengeluh, sementara pisau di tangannya terlempar ke bawah, persis mengenai punggung Lo Kang! Dan pisau itu menancap sampai di gagangnya! Kemarahan Liu Wan benar-benar tak bisa dikendalikan lagi.

“Kurang ajar! Kau... Kau! Oh, binatang apa sebenarnya kamu ini?” pemuda itu menjerit. Liu Wan tak bisa berpikir lagi. Tak terasa kedua tangannya menyambar ke depan dalam jurus Mencabut Hutan Mengangkat Gunung, gerakan terakhir dari Hong-Iui-kun-hoat! Jurus itu diciptakan oleh kakek gurunya pada saat ditinggal pergi nenek gurunya! Perasaan marah, sedih dan tertekan seperti tertuang dan terungkap dalam jurus itu!

Maka tidak mengherankan bila pengaruhnya sungguh hebat tiada terkira! Sekali lagi di hari yang cerah itu terdengar suara letupan petir menyambar. Dan pada saat yang sama tubuh Lo-Hai tampak terlempar tinggi ke udara. Lo Hai berusaha menyelamatkan diri dengan menggeliatkan tubuhnya beberapa kali. Gerakan tersebut mampu menahan daya luncur tubuhnya ketika kembali jatuh ke bawah.

Namun demikian tamparan Liu Wan yang dahsyat tadi telah mengacaukan seluruh susunan syaraf dan aliran darahnya. Bagaikan hutan dan gunung yang diaduk oleh topan puting beliung, maka seperti itu pulalah keadaan tubuh Lo Hai ketika kakinya mendarat di atas papan. Orang tua itu sudah tidak berdaya lagi ketika menjejakkan kakinya. Tubuhnya tersungkur di dekat mayat Lo Kang, saudaranya. Dan matanya yang terbuka itu tampak berkedip-kedip menahan tangis. Mata itu tampak redup dan tidak liar lagi.

Tiba-tiba Liu Wan seperti terbangun dari mimpinya. Matanya terbelalak kosong, seolah tak percaya apa yang telah terjadi. Dipandangnya tubuh Lo Hai yang bergetaran itu beringsut mendekati mayat Lo Kang. Darah mengalir dari sela-sela bibirnya. Dan sebentar kemudian orang itu telah memeluk mayat saudaranya dengan air mata bercucuran. Keduanya mati di depan kaki Liu Wan.

“Lo Hai... Lo Kang!” Liu Wan tak kuasa membendung rasa sedihnya. Pada saat-saat terakhir baru terpikir olehnya ketidak-beresan itu. Sikap Lo Hai sangat aneh dan tidak sewajarnya. Dan keadaan itu seperti sudah terlihat pula oleh Lo Kang. Tapi karena tidak bisa berbicara, maka Lo Kang tidak bisa mengatakannya. Lo Kang hanya berusaha untuk mencegah dan menghentikan kesalah-pahaman itu.

Liu Wan berlutut di depan mayat mereka. Terbayang kembali saat-saat Lo Hai memeluk mayat saudaranya. Wajah dan pandang matanya kelihatan wajar seperti biasanya. Bahkan matanya yang berkeriput itu tampak mengalirkan air mata. Sungguh sangat berlainan dengan saat berkelahi melawan dirinya tadi.

“Lo Hai! Apa yang telah terjadi denganmu? Bukan watakmu untuk berbuat seperti itu, apalagi sampai membunuh saudara kembarmu sendiri. Tentu ada sesuatu di luar kehendakmu, yang membuatmu berbuat seperti ini. Buktinya pada saat-saat terakhir kau kembali normal seperti biasanya...” Satu persatu mayat itu dibawa Liu Wan ke dalam. Mereka diletakkan berjajar di atas meja. Ketika Liu Wan membuka jubahnya untuk menutupi jasad mereka, tiba-tiba telinganya mendengar suara mencurigakan dari ruang dalam.

“Siapa...?” Sambil menyapa Liu Wan melesat ke dalam. Seluruh kekuatannya siap untuk dipergunakan. Tiada siapapun disana. Liu Wan mengerahkan seluruh kemampuannya untuk memeriksa ruangan itu. Namun tak seorangpun dilihatnya. Perlahan-lahan dia bergeser ke bagian belakang, dimana dia memasang gambar-gambar keluarganya.

“Ah...!” Tiba-tiba otot Liu Wan menegang. Tampak di dalam ruangan itu seorang pemuda tampan sedang menggoyang-goyangkan kipasnya. Dan di sebelahnya berdiri seorang lelaki yang tak mungkin dilupakan oleh Liu Wan! Sogudai!

Pemuda tampan itu tampak pucat, namun sorot matanya sungguh tajam luar biasa. Di depan mereka, persis di tengah-tengah ruangan, terlihat tiga orang lelaki diikat menjadi satu. Mereka adalah seorang pemuda dan dua orang tua, di mana salah seorang di antara orang tua itu benar-benar sudah lanjut usia.

“Inikah Bun-bu Siucai itu, Sogudai?” Pemuda tampan yang tidak lain adalah Mo Hou bertanya kepada Sogudai.

“Benar, Kongcu. Telah Kongcu lihat sendiri betapa pandainya dia menyamar sebagai seorang tabib tua. Apabila tidak menyaksikan sendiri jenggotnya yang copot tadi, mungkin kita sudah terkecoh pula” olehnya.” Sogudai menjawab dengan suara geram.

“Jangan banyak bicara! Aku sudah tahu... dan aku tidak suka melihat dandanannya itu! Ternyata ia hanya seorang pengecut yang berlindung di balik topeng-topeng penyamarannya! Aku justru lebih menghargai pemuda lemah yang kau ikat itu. Dia lebih berani daripada pengecut itu...”

Pantang bagi pemuda seperti Liu Wan disebut sebagai pengecut. Apalagi oleh gerombolan pengacau seperti Sogudai dan kawan-kawannya. Tak heran bila wajah di balik penyamaran itu tiba-tiba menjadi merah padam. “Aku belum kenal denganmu. Tapi enak saja kau berkata jelek tentang aku. Apakah kau sadar apa yang kau katakan? Apakah kau benar-benar masih waras?”

Ternyata kata-kata Liu Wan yang pedas itu menyulut kemarahan Mo Hou pula. Terdengar suara berkerotokan ketika pemuda itu mengerahkan tenaga dalamnya. “Kurang ajar! Mulutmu sangat tajam! Kubunuh kau...!”

“Tahan!” Liu Wan mengangkat tangannya ke atas. “Sebelum bertempur aku ingin menanyakan sesuatu kepadamu. Siapakah engkau ini sebenarnya? Apa hubunganmu dengan Sogudai? Dan siapa pula orang-orang yang kau ikat ini?”

Mo Hou menurunkan tangannya kembali. Namun matanya masih berkilat penuh hawa pembunuhan ketika menjawab pertanyaan Liu Wan. “Aku bukan pengecut yang suka menyembunyikan diri seperti engkau. Aku orang Hun dari luar Tembok Besar. Aku putera Raja Mo Tan Yang Agung. Namaku Mo Hou dan Sogudai adalah pem-bantuku. Kedatanganku ke sini adalah untuk menangkap dan membunuhmu, karena kau telah berani mengganggu anak buahku. Nah, apa lagi...?”

Jawaban itu memang sangat mengejutkan Liu Wan. Meskipun sejak semula ia sudah menduga kalau Sogudai itu tentu memiliki hubungan dengan Raja Mo Tan, namun kenyataan tersebut tetap saja menggetarkan hatinya. Kini tinggal mencari, apa sebenarnya yang dilakukan oleh orang-orang Mo Tan itu di Tionggoan.

“Dan kedatanganku di sini tidak ada hubungannya dengan orang-orang Im-yang kau ini. Kami bermusuhan dengan mereka sejak mereka mencampuri urusan kami kemarin malam. Mereka melarikan diri dari pertempuran. Maka ketika kutemui mereka di sini, kami tak mau kehilangan lagi. Nah, sekarang giliranmu untuk menyerahkan diri. Akan kuikat kau bersama mereka, kemudian kubakar bersama rumahmu ini. Hmmmmmm, bagus sekali, bukan?” Mo Hou meneruskan ucapannya.

Liu Wan tidak memperdulikan ancaman tersebut. Pikirannya lebih terpusat pada orang-orang yang terikat itu. Liu Wan memang belum pernah mengenal tokoh-tokoh Im-yang-kauw. Namun demikian di dalam hatinya timbul juga perasaan, jangan-jangan salah seorang dari mereka itu adalah Giam Pit Seng, guru Tio Ciu In.

“Aku tahu, kau ingin membalas dendam atas kekalahan Sogudai di Kuil Pek-hok-bio. Tapi sebelum bertempur, katakan juga kepadaku, apakah kematian pembantuku tadi juga karena perbuatan-mu?” Mo Hou tertawa panjang. Gema suaranya menggetarkan permukaan air empang di sekeliling pondok itu, sehingga ikan-ikan kecil di dalamnya tampak berlarian menyembunyikan diri di balik bebatuan.

“Huh, mengapa otakmu begitu bodoh? kau telah memperlakukan Sogudai seperti binatang buruan. Maka tidak ada salahnya pula kalau aku juga memperlakukan pembantumu seperti ayam aduan. Bukankah hal itu sudah adil?”

“Manusia tak berperasaan...!” Liu Wan mengumpat.

“Sudahlah! Waktuku tidak banyak. Dan sebentar lagi matahari juga akan terbenam. Tidak enak rasanya kalau malam-malam membakar rumah ini. Ayo, menyerahlah! Kau bukan lawan yang setimpal untukku...” Mo Hou menggeram.

“Tunggu...! Satu pertanyaan lagi! Benarkah kau yang membantai para prajurit dan perwira kerajaan itu?” Sekonyong-konyong pemuda itu menggertakkan giginya.

“Tidak salah! Setiap prajurit Kerajaan Han memang layak untuk dibunuh! Nah... kau mau apa?”

“Kemarin aku bertemu dengan seorang gadis bernama Mo Goat. Kau kenal dia?” Dalam kekagetannya Liu Wan masih berusaha untuk mengorek keterangan sebanyak-banyaknya.

Mo Hou tersentak kaget. Matanya yang dingin tajam itu berkilat-kilat mengawasi Liu Wan. Ada sinar kecurigaan di mata bak burung hantu itu. “Kau maksudkan seorang gadis yang selalu memegang kipas seperti kepunyaanku ini?” tanyanya kemudian tak percaya.

“Ya!” Liu Wan menganggukkan kepalanya.

Mo Hou menatap Sogudai sebentar. “Gila! Kenapa bocah itu sudah ada di sini?” Ia bergumam penasaran. Pemuda itu melangkah setindak ke depan, sehingga Liu Wan bergegas mengerahkan seluruh kekuatannya. Mo Hou adalah putera Mo Tan, Raja dari seluruh suku bangsa liar di utara Tembok Besar. Mo Tan sangat terkenal akan kehebatan ilmunya, karena itu Mo Hou tentu lihai pula seperti ayahnya.

“Dengan siapa adikku itu berada ketika bertemu denganmu?”

“Oh... jadi gadis galak itu adikmu?” Diam-diam perasaan Liu Wan menjadi kecut. Kalau Mo Goat saja demikian dahsyatnya, apalagi kakaknya. Tak terasa keringat dingin mulai mengalir membasahi punggungnya.

“Gila! Cepat katakan...! Dengan siapa adikku itu berada?” Tiba-tiba Mo Hou berseru bengis.

“Aku tidak tahu nama-nama mereka. Hanya salah seorang di antaranya dipanggil dengan sebutan Panglima...”

“Solinga!” Mo Hou berdesah. Matanya menatap Sogudai.

“Kongcu...?” Sogudai menanti perintah.

Pemuda itu mendekati Sogudai, lalu berbisik pelan. “Pergilah menemui Lok-kui-tin! Katakan kepada mereka bahwa adikku dan Panglima Solinga sudah berada di kota ini! Katakan pula agar me-reka mencari rombongan itu dan menunggu kedatanganku di tempat biasanya!”

“Bagaimana dengan dia?” Sogudai menunjuk ke arah Liu Wan.

“Jangan pedulikan dia. Bocah yang menyamar jadi tabib ini juga akan kuikat pula seperti yang lain. Mereka akan kubakar bersama-sama rumah ini. Nah, pergilah!” Sogudai tidak berani membantah lagi. Sekali berkelebat tubuhnya yang besar itu melesat ke luar pondok. Sebentar saja dia telah menghilang di balik rimbunnya pepohonan.

“Nah, Bun-bu Siucai... Nama julukanmu sangat hebat. Aku percaya kepandaianmu tentu hebat pula. Tapi demi kebaikanmu sendiri, engkau tak usah melawan. Coba kau lihat, siapa yang terikat di depanmu itu? Mereka adalah tokoh-tokoh puncak aliran Im-yang-kauw. Orang tua yang sudah uzur itu adalah Lojin-Ong, sesepuh Im-yang-kauw. Di waktu mudanya ia disebut orang Toat-beng-jin (Manusia Pencabut Nyawa). Sedangkan yang lain adalah Giam Pit Seng, Ketua Cabang Im-yang-kauw daerah timur bersama muridnya. Nah, mereka bertiga tidak kuasa melawan aku. Apalagi... Kau!”

Selesai bicara Mo Hou mengangkat tangan kanannya, siap untuk menyerang. Tangan kirinya yang memegang kipas tetap terlipat di depan dada. Hawa dingin berembus dari dalam tubuhnya, suatu tanda bahwa tenaga dalamnya telah tersalur ke seluruh darahnya. Liu Wan terkejut. Benar juga dugaan nya, ternyata salah seorang di antara orang yang terikat itu adalah guru Tio Ciu In. Tapi tidak ada kesempatan untuk menolong mereka. Ia tidak bisa mengelak lagi dari pertempuran itu.

Bagaimanapun juga dia tetap harus berkelahi melawan Mo Hou. Apabila ilmu silat pemuda itu memang lebih tinggi daripada adiknya, maka kesempatannya memang sangat tipis. Dan apa yang ditakutkan oleh Liu Wan memang menjadi kenyataan. Begitu bergerak tubuh Mo Hou laksana burung walet menyambar mangsanya. Walaupun sudah bersiap-siaga, gerakan Liu Wan tetap terlambat setindak.

Serangan tangan kanan Mo Hou yang berbentuk cengkeraman itu hampir saja mengenai pelipisnya. Liu Wan sudah berusaha menghindar secepatnya, namun serangan itu tetap menyerempet rambutnya. Bahkan dorongan hawa dingin yang menyertai serangan tersebut terasa membeset kulitnya dan mencabut beberapa lembar rambut di keningnya. Buru-buru Liu Wan membanting tubuh ke samping, sekalian melepaskan sebuah pukulan berputar dari bawah ketiaknya.

Gerakan itu disebut Membuat Bendungan Menadah Hujan, jurus ke tiga puluh tiga dari Hong-Iui-kun-hoat. Jurus ini memang diciptakan untuk menangkal dan menghadapi lawan yang lebih kuat. Bagaikan sebuah bendungan air tubuh Liu Wan menyedot sebagian dari arus kekuatan lawan, kemudian memuntahkannya kembali lewat pukulan tangannya.

“Bagus...!” Mo Hou menghindar seraya memuji.

“Dhuuuuaaar!” Pukulan udara kosong Liu Wan meledak hanya sejengkal dari tubuh Mo Hou! Ternyata Mo Hou bergerak lebih cepat. Tubuhnya yang jangkung itu menyelinap ke kanan. Begitu cepatnya sehingga mata Liu Wan hampir tidak bisa mengikutinya. Pemuda itu seperti menghilang begitu saja. Dan pada saat yang hampir bersamaan, Liu Wan merasa seperti diterpa oleh hembusan angin dingin dari arah belakang.

Hembusan hawa dingin itu begitu kuatnya, sehingga kulit punggungnya bagai dicocok dengan ribuan batang jarum. Liu Wan tahu bahwa Mo Hou berada di belakangnya. Tetapi untuk berbalik serta menangkis serangan tersebut, jelas tidak ada waktu lagi.

Namun kalau harus menghindar lagi, dia akan semakin kalah langkah dan terdesak. Bahkan pada serangan selanjutnya dia tentu akan mati langkah dan tidak bisa berkutik lagi. Hal itu berarti bahwa dia ditundukkan lawan dalam tiga jurus saja! Demikianlah, pada saat-saat yang berbahaya itu tiba-tiba Liu Wan mengambil keputusan yang amat riskan dan berbahaya. Bahkan bisa dibilang untung-untungan.

Dia biarkan pukulannya itu mengarah kepunggungnya, sementara secara naluriah tubuhnya menggeliat sedikit untuk memperkecil bidan sasaran. Kemudian dengan berani Liu Wan menghantamkan sikunya ke belakang, untuk menyongsong pukulan Mo Hou. Liu Wan hanya berharap agar lawannya yang belum kenal Hong-lui-kun-hoat itu menjadi ragu-ragu dan mengurungkan niatnya. Ternyata perhitungan Liu Wan benar.

Melihat keberanian Liu Wan, pemuda itu justru menjadi curiga. Pemuda itu menyangka ada jebakan dalam gerakan Liu Wan, sehingga dengan cepat pula dia menahan tangannya. Serangan yang sudah hampir mengenai sasaran itu buru-buru ditarik kembali dan diganti dengan tendangan kaki ke arah pinggang. Tapi waktu yang hanya sesaat itu sudah lebih dari cukup bagi Liu Wan. Begitu serangan Mo Hou yang berbahaya itu ditarik, Liu Wan dengan tangkas meloncat mundur.

Gerakan yang dia laku pada saat yang sangat berbahaya lawan benar-benar cepat bukan main. Siiiing! Ujung sepatu Mo Hou mengejar perut Liu Wan, namun gagal. Ujung sepatu itu hanya mampu menyerempet baju Liu Wan hingga bolong. Sebaliknya Liu Wan yang telah dapat membebaskan diri dari tekanan Mo Hou, segera balas menerjang dengan jurus Sambaran Petir Membelah Bumi! Telapak tangan Liu Wan menyambar ke bawah, tertuju ke arah perut Mo Hou!

“Kurang ajar! Ternyata engkau berisi juga seperti tokoh Im-yang-kaw tua itu! Mampu melayani tiga jurus seranganku tanpa terluka! Tapi jangan bergembira dulu, karena semuanya ini baru dimulai, serangan sebenarnya baru akan keluar sebentar lagi...” Sambil berbicara Mo Hou melangkah ke tengah ruangan, menjauhi tubuh Lojin-Ong dan Giam Pit Seng, sekejap wajah yang tampan tapi berkesan licik itu meringis seperti menahan sakit.

“Kau memang beruntung, Bun-bu-siucai apabila aku tidak terluka oleh pukulan Put-pai-siu-hong-jin, kau tak mungkin bisa menghindar pukulanku tadi.”

“Put-pai-siu hong-jin? kau berkelahi dengan orang tua itu?”

“Hmmm... Lojin-Ong dan put pai siu hong jin mencoba menyelamatkan para prajurit itu, sayang usaha mereka sia-sia, Lojin-Ong melarikan dari pertempuran, sementara Put pai siu hong jin terbenam ke dalam laut.”

Li Wan merasa semakin kecut hatinya, meskipun dia juga merasa memiliki kepandaian, namun kalau dibandingkan dengan Put pai siu hong jin dan Lojin-Ong terang ia belum ada apa-apanya, apabila benar mereka itu telah dikalahkan oleh Mo Hou berarti diapun tak mungkin bisa selamat pula. Tapi Liu Wan tak ingin menyerah begitu saja, di dalam petarungan silat semua kemungkinan bisa terjadi.

Orang yang memiliki ilmu silat lebih tinggi belum tentu selalu mendapatkan kemenangan, kadang-kadang kecerdikan dan akal budi lebih diutamakan, bahkan nasib orangpun sering menentukan pula. Liu Wan benar-benar mengerahkan seluruh kemampuannya. Hong lui sin kang yang telah dipelajarinya selama bertahun-tahun terungkap sampai ke puncaknya, kulitnya berubah kecoklatan seperti tembaga yang berkilat di timpah matahari.

Mo Hou juga maklum bahwa lawannya memiliki kepandaian tinggi, tanpa ilmu silat yang baik tak mungkin pemuda itu mendapatkan julukan Bun bu siucaidan mengalahkan Sogudai. Sogudai telah dikenalnya dengan baik, begitu pula dengan ilmu silatnya. Oleh karena itu begitu bergerak Mo Hou mengerahkan hampir tiga perempat kekuatannya.

Tangannya menyambar ubun-ubun Liu Wan, diikuti oleh tebaran udara dingin yang berhembus memenuhi ruangan. Pemuda yang diikat bersama-sama dengan Lojin-Ong itu tampak bergetar menahan dingin. Liu Wan merendahkan tubuhnya. Dari bawah ia mendorong ke atas dengan dua telapak tangan terbuka. Seluruh tenaga saktinya bagai terhentak keluar, menerjang dada.

“Wuuuuuus!”Suaranya terdengar bergemuruh laksana guruh yang menggelegar di antara hujan. Mo Hou berputar ke samping untuk mengelakkan pukulan berbahaya tersebut. Kecepatan geraknya sungguh mentakjub kan. Sepintas lalu tubuhnya seperti bayang-bayang yang meluncur dan berkelebat pergi menjauhi Liu Wan. Namun di lain saat bayangan itu kembali datang dengan serangan yang lebih dahsyat lagi.

Liu Wan mencoba untuk mengimbangi kecepatan lawannya, tapi tak berhasil. Semakin lama gerakan Mo Hou semakin cepat, sehingga Liu Wan terpaksa mengobral Pukulan Geledeknya untuk bertahan. Tanpa benteng pukulan geledek itu ia tak mungkin bisa menahan kecepatan lawannya.

“Tampaknya ilmu silatmu sudah habis. Padahal aku belum mengeluarkan seluruh kemampuanku, apalagi ilmu andalan perguruanku. Bagaimana...? Ingin diteruskan juga?” Sambil melesat berputaran mengelilingi lawannya. Mo Hou mengejek.

“Sombong! Kalau memang mampu, cepat kau jatuhkan aku!”

“Tentu saja! Biasanya aku memang tidak pernah membuang-buang waktu. Kalau sekarang aku tidak lekas-lekas meringkusmu, hal itu disebabkan karena rasa kesal dan penasaranku. kau telah banyak merusak rencanaku, membuat sengsara anak buahku, sehingga aku merasa sayang kalau cepat-cepat membunuhmu. Biarlah kau menyadari dulu kesalahanmu sebelum mati. Siapa sebenarnya yang kau hadapi dan seberapa tinggi ilmu yang kau miliki, hingga kau berani me-ngacaukan rencanaku.”

“Anak liar! Ayoh, jangan bicara saja!” Liu Wan menggeram sambil menerjang ke depan.

Tampaknya Mo Hou sudah merasa cukup memberi pelajaran kepada Liu Wan. Sikapnya yang agak kendor itu kini telah berubah menjadi kaku lagi seperti biasanya. Dengan sinar mata dingin ia me-nyongsong terjangan Liu Wan itu dengan keras pula. Kipasnya terayun ke depan, menyambut kepalan Liu Wan.

Tentu saja Liu Wan tidak berani adu tenaga. Selain tenaga dalamnya masih lebih rendah, kipas Mo Hou juga bisa melukai tangannya. Oleh karena itu pada kesempatan terakhir Liu Wan memutar pergelangan tangannya dalam jurus Memutar Kemudi Menggulung Layar. Gelombang getaran yang kuat seolah-olah keluar dari telapak tangannya, menerjang ke depan, menepis kipas Mo Hou.

Hanya menepiskan sedikit saja, karena selain kalah tenaga, kipas itu juga terbuat dari lembaran-lembaran baja tipis yang sulit dirusakkan. Namun tepisan yang hanya sedikit itu sudah cukup bagi Liu Wan untuk melanjutkan gerakannya. Begitu arah kipas itu sedikit melenceng, maka kedua tangannya cepat dihentakkan ke bawah, seperti menarik tali layar secara mendadak! Berbareng dengan itu, kaki kanan Liu Wan menggempur ke atas, ke arah kipas lawannya!

“Bagus!” Mo Hou berseru.

Sambil menyerang Liu Wan masih sempat menatap wajah lawannya. Sekilas ia melihat senyum kemenangan di bibir pemuda itu. Liu Wan terkesiap, tapi terlambat.

“Dhuuuaaar!” Kipas itu terlempar ke udara. Tapi pada saat yang sama tangan kanan Mo Hou menyelinap ke bawah, menyongsong tendangan kaki Liu Wan. Cepat bukan main! Tahu-tahu kaki Liu Wan terasa kesemutan dan selanjutnya tidak bisa digerakkan lagi. Lemas! Liu Wan hampir jatuh tertelungkup karena kaki itu tak mau menyangga tubuhnya. Sambil terpincang-pincang Liu Wan berusaha membuang” tubuhnya ke samping. Mo Hou tidak mengejarnya.

“Hehe, masih mau melawan juga?” Mo Hou tertawa puas.

Lui Wan mencoba memunahkan totok-an Mo Hou, tapi tak berhasil. “Kurang ajar!” Tanpa mempedulikan kakinya Liu Wan nekad menerjang lawannya lagi. Seluruh tenaga dalamnya tersalur melalui lengannya.

“Duaarr! Duaaar!”Ledakan-ledakan kecil memburu bayangan Mo Hou. Semakin lama semakin cepat, sehingga bangunan kecil di atas empang itu bagaikan hendak meledak karenanya.

Mo Hou berkelebat semakin cepat mengelilingi Liu Wan. Sambil tertawa mengejek pemuda itu sekali-sekali menggebrak pertahanan Liu Wan. Dan beberapa kali pula serangannya itu mampu me-ngecoh benteng angin yang diciptakan Liu Wan, bahkan melukainya.

“Dhiegh! Dhuuuuuar! Dhuaaaaarr!”

Pertempuran mereka dapat diibaratkan seperti pertarungan seorang matador melawan seekor banteng liar. Liu Wan yang memiliki ilmu silat keras dan lugas bagaikan seekor banteng liar, mengumbar pukulan-pukulan petirnya.

Sementara Mo Hou yang gesit dan lincah, laksana seorang matador, melenting kesana-kemari menghindarinya. Hong-lui-kun-hoat memang dahsyat tiada terkira. Tapi sayang sekali ilmu silat itu terlalu banyak menguras tenaga dalam. Menghadapi lawan yang lincah dan pandai mengelak, ilmu itu tak bisa berbuat banyak. Malah akhirnya bisa menjadi bumerang bagi tuannya.

Demikianlah, seperti halnya banteng liar yang hanya mengandalkan kekuatannya, akhirnya Liu Wan kehabisan tenaga. Apalagi ketika Mo Hou beberapa kali dapat memasukkan pukulannya. Liu Wan semakin terdesak. Tampaknya Mo Hou benar-benar ingin membuktikan ancamannya. Pemuda itu tidak ingin langsung membunuh Liu Wan, tapi ingin mengikat dan membakarnya bersama yang lain. Oleh karena itu se-perti sengaja bermain-main ia menotok satu-persatu anggota badan Liu Wan.

Liu Wan memang tak bisa berbuat banyak. Berturut-turut jalan darah pada anggota badannya tertotok lemas oleh ujung kipas Mo Hou. Setelah kaki kanannya tak bisa digerakkan, lalu disusul oleh tangan kirinya. Dan beberapa saat kemudian diikuti pula oleh sambaran kipas pada jalan darah pang-hu-hiat di tangan kanannya, sehingga otomatis Liu Wan hanya bisa menggerakkan kaki kirinya saja. Kini Liu Wan tinggal bisa berloncatan dengan satu kaki.

Namun demikian pemuda itu tetap tidak mau menyerah. Bagaikan burung bangAu-yang berloncatan dengan satu kaki, pemuda itu tetap menerjang. Dia berloncatan menyerang dengan sabetan kakinya. Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Sejurus kemudian ujung kipas Mo Hou kembali menyelinap dan menghajar dengan tepat jalan darah teng-liu-hiat di atas lutut Liu Wan.

“Thuuuuk...!” Bruug! Tubuh Liu Wan yang tegap itu terbanting ke lantai seperti banteng liar yang jatuh berdebam terkena jerat!

“Hehehe... apa kataku tadi? Seperti yang lain-lain itu maka engkaupun bukan lawan yang setimpal buatku! Kini kau juga tak bisa bergerak pula seperti mereka.”

“Sudahlah, aku memang kalah! Kau bisa membunuhku sekarang!” Liu Wan yang masih dapat berbicara itu menggeram marah.

“Tentu! Tapi aku berhak menentukan cara-cara yang kusukai untuk membunuhmu! Membunuh orang-orang sombong yang suka mencampuri urusan orang lain! Dan cera yang kuinginkan adalah membakar tubuh kalian, seperti layaknya membakar babi panggang di atas perapian, heheheh!” Mo Hou tertawa kejam.

“Manusia kejam! Manusia berhati binatang!”

“Tapi sebelum aku membakar tubuhmu, aku ingin menyaksikan dulu tampang aselimu. Seperti apakah Bun-bu Siucai itu?” Mo Hou buru-buru menambahkan. Selesai berkata, tangan Mo Hou benar-benar mencopoti penyamaran Liu Wan, sehingga wajah aseli pemuda itu terlihat dengan jelas.

“Hei, ternyata kau masih muda dan tampan. Wah... sayang juga kalau mati. Tapi... apa boleh buat. Kau memang layak untuk mati!”

Demikianlah, setelah melemparkan tubuh Liu Wan ke pojok ruangan di mana tokoh-tokoh Im-yang-kauw tadi berada. Mo Hou lalu menaburkan jerami kering yang banyak terdapat di ruang belakang. Dan sesaat kemudian ia telah siap dengan pemantik apinya.

“Nah, selamat jalan kalian semua!” Bersamaan dengan berkobarnya api yang mulai membakar pondok kayu itu. Mo Hou melesat pergi melalui jembatan penyeberangan. Untuk beberapa saat pemuda itu masih berdiri di tepi empang, menyaksikan lidah api yang mulai merembet ke atas atap. Selanjutnya dengan wajah puas ia berlari meninggalkan tempat itu.

* * *

Begitulah, kalau Liu Wan dan para tokoh Aliran Im-yang-kauw itu merasa kepanasan akibat kobaran api di sekitarnya, maka nun jauh di tengah lautan A Liong justru kedinginan karena harus bertarung melawan gelombang laut yang hendak menelannya. Seharian penuh pemuda itu diombang-ambingkan ombak. Untunglah sejak kecil pemuda itu sudah terbiasa bermain-main di sungai, sehingga dia bisa mengatur tubuhnya agar tidak tenggelam.

Dan lebih beruntung lagi ketika di tengah laut dia mendapatkan sebuah gentong kayu besar, yang biasa dipergunakan oleh para nelayan untuk menyimpan air tawar. Tampaknya benda itu berasal dari perahu Au-yang Goanswe dan pasukannya. Air tawar yang masih tersisa di dalam genting kayu itulah yang akhirnya banyak membantu kehidupan A Liong.

Sejak kecil A Liong memang sudah terbiasa menghadapi nasib buruk. Bahkan pemuda itu juga sudah sangat akrab dengan segala macam kesulitan dan kesengsaraan hidup. Namun justru kesulitan dan kesengsaraan hidup itulah yang” menggembleng dan menggodoknya menjadi lebih cepat dewasa dan matang.

Dengan usianya yang baru enam belas tahun itu A Liong telah memiliki watak dan kepribadian yang kokoh serta tahan uji. Semangat hidupnya tak pernah padam. Bahkan dalam keadaan yang sangat menyedihkan itu dia tetap bergembira dan bersemangat. Demikianlah ketika cuaca kembali cerah dan bulan yang cantik itu muncul di atas langit, maka tubuh A Liong masih tetap terayun dan terbuai oleh ayunan gelombang laut.

Bahkan dengan mengikatkan sabuknya pada gentong kayu itu, A Liong sempat terkantuk-kantuk. Tiba-tiba pemuda itu tersentak kaget, matanya melotot, memandang gejolak air di sekelilingnya. Belasan benda aneh tampak timbul tenggelam di dekatnya. Semakin dekat benda itu semakin sering berada di atas air. Bahkan sering meloncat tinggi ke udara. Rasa takut membuat pemuda itu tidak berani bergerak.

“Ah, kelihatan seperti ikan besar. Jangan-jangan ikan hiu!” Beberapa saat kemudian benda-benda aneh yang belum pernah dilihat oleh A Liong itu telah tiba. Ternyata mereka adalah sekawanan ikan lumba-lumba yang datang karena tertarik pada A Liong. Begitu datang mereka segera berputaran di sekeliling A Liong. Bahkan beberapa ekor di antaranya malah menggesek-gesekkan kulitnya kepada A Liong, seolah-olah binatang cerdik itu mau mengajaknya bermain.

Tapi karena belum pernah melihat binatang itu, A Liong tetap tidak berani berbuat apa-apa. Bergerakpun ia tak berani. Takut kalau binatang itu kaget. Karena perutnya kosong, maka di dalam kantuknya pemuda itu membayangkan makanan dan minuman yang enak-enak. Dibayangkannya sendiri seolah-olah dia sedang berbaring di kursi goyang dan belasan orang bidadari cantik datang mengerumuni dirinya. Gadis-gadis cantik itu melayani makan, minum, serta memijiti kakinya. Oh, bukan main nikmatnya!

Sebaliknya ikan lumba-lumba itu kelihatan senang dan amat tertarik kepada A Liong. Bagaikan binatang-binatang piaraan yang senang bercanda, ikan lumba-lumba itu mengerumuni A Liong. Mereka menggosok-gosokkan kulitnya, bahkan moncong hidungnya ke kepala A Liong. Akhirnya A Liong tidak merasa takut lagi. Ikan-ikan bertubuh besar itu ternyata sangat bersahabat dan sama sekali tidak bermaksud jahat terhadap dirinya. Diam-diam pemuda-pemuda itu tersenyum geli.

Di dalam pikirannya kembali terbayang bidadari-bidadari cantik yang datang mengerumuninya. Malam semakin larut. Bulan yang cerah itu sudah tidak kelihatan lagi. Gumpalan awan yang tebal menutupi seluruh wajahnya, sehingga dunia seolah-olah beruban menjadi hitam kelam. Cahaya jutaan bintang di langit tetap tak kuasa menggantikan sinar rembulan. Lautpun tampak hitam legam, sehingga A Liong merasa seperti berkubang dalam genangan darah yang mengerikan.

Anehnya, kawanan ikan lumba-lumba itu tetap berseliweran di dekat A Liong. Mereka bagaikan binatang piaraan yang berusaha melindungi tuannya. Bahkan kawanan lumba-lumba itu seperti menggiring A Liong melalui tempat yang aman. Dalam keadaan gelap seperti itu A Liong tidak tahu arah lagi. Pemuda itu hanya merasa seperti dihanyutkan oleh arus laut ke arah Utara. Semakin lama airnya semakin terasa dingin.

“Aduh... gelapnya! Andaikata ada lammm... oh?!” A Liong terdesak dan hampir saja terminum air yang menyiram wajahnya, ketika matanya tiba-tiba melihat cahaya lampu minyak melayang mendatangi. Tentu saja A Liong buru-buru menghindar ke balik gentong kayunya. Tapi sesaat kemudian mulutnya kembali melongo.

“Gila!” Pemuda itu berdesah dan terlongong-longong bingung ketika menyaksikan lampu minyak yang hendak melanggar dirinya tadi mendadak lenyap tak keruan arahnya. Sekejap ada perasaan seram di dalam hati A Liong. Jangan-jangan ada hantu yang hendak menakut-nakuti dirinya. Tapi dasar A Liong. Rasa takut itu hanya singgah sebentar saja dalam hatinya.

Sesaat kemudian matanya justru mencari-cari, kemana perginya lampu aneh itu. Namun sampai beberapa waktu kemudian lampu itu tak dapat dilihatnya kembali, sehingga A Liong menganggap dia tadi hanya melihat bayang-bayang saja. Mungkin karena dia terlalu lelah, lapar dan mengantuk, pandangannya menjadi kabur. Seolah-olah matanya melihat sebuah lampu minyak yang sebenarnya tak pernah ada.

“Ah, karena kedinginan dan kelaparan, pikiranku membayangkan hal yang bukan-bukan. Aku... Hei?!? Ke manakah kawanan ikan besar tadi?” Sekali lagi mata A Liong belingsatan kesana-kemari. Tapi tak terlihat apapun di sekelilingnya. Di mana-mana hanya hitam. Hitam dan hitam. Hanya sekali-sekali terlihat kilatan sinar bintang yang memantul di ujung riak dan gelombang.

“Wah, jangan-jangan ikan itu juga hantu laut!” Rasa seram kembali mencekam hati A Liong. Kubangan hitam di bawahnya itu entah sampai di mana dasarnya. Dan di dalamnya tentu dihuni oleh bermacam-macam makhluk mengerikan. Tiba-tiba ingin rasanya ia menarik kakinya dan naik ke atas gentong kayu itu. Tapi mana mungkin ia bisa melakukannya? Gentong kayu itu tak cukup kuat untuk menampung tubuhnya.

Akibatnya ia seperti berada di depan mulut ikan paus, yang sewaktu-waktu akan menelannya. Kini rasa takut benar-benar telah menguasai hati A Liong. Keberanian yang dimilikinya hampir tak kuasa lagi bertahan menghadapi peristiwa yang belum pernah dialaminya itu. Bagaimanapun juga rasa lelah dan lapar membuat daya tahannya menurun.

“Oooh, tampaknya... tampaknya aku sudah... Hei, apa itu?” Untuk ketiga kalinya mata A Liong terbelalak! Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja sebuah sampan kecil muncul dan melintas dengan cepat di depannya! Sekilas tampak bayangan seorang manusia duduk di dalamnya.

“Cici Siau In...?!? Otomatis lidah A Liong menyebut nama Siau In. Seperti orang kesetanan A Liong berenang mengejar sampan itu. Demikian bersemangatnya sehingga gentong kayu yang terikat dengan sabuknya itu hampir terlepas dari tubuhnya. Tapi bersamaan dengan datangnya segulung ombak, sampan itu mendadak lenyap begitu saja. Sampan kecil itu bagaikan ditelan masuk ke dalam perut ombak yang ganas.

Beberapa saat lamanya A Liong masih mencari kesana-kemari, tapi suasana yang gelap itu tidak menguntungkannya. Seluruhnya kembali berwarna hitam. Hitam mengerikan. A Liong tertunduk lemah. Rasa lelah dan lapar benar-benar membuat keseimbangan batinnya menjadi kacau. “Gila! Lama-lama aku bisa gila kalau begini...!”

Demikianlah, sampai saatnya matahari memancarkan sinarnya di ufuk timur. A Liong tetap tak bisa memejamkan matanya. Rasa lapar benar-benar sangat menyiksanya sehingga matanya terasa berkunang-kunang. Air laut yang bergejolak merah bak genangan darah itu tak mampu lagi menarik perhatiannya.

Burung-burung laut mulai beterbangan mencari mangsa. Suaranya terdengar nyaring di antara gemuruhnya deru gelombang. Mereka melayang berputaran di atas kepala A Liong, seolah-olah mereka ingin memastikan makhluk aneh yang terapung di bawah mereka.

Bahkan ada satu dua ekor, yang berani mendekati dan menyambar rambut pemuda itu. Tapi gangguan burung itu tak mampu lagi mengusik perhatian A Liong. Pemuda itu sudah memutuskan untuk tidak mempedulikan lagi bayang-bayang buruk yang menggoda matanya. Pemuda itu tetap mengira bahwa semua yang dilihatnya hanyalah bayangan, yang sekejap kemudian tentu akan hilang tertiup angin.

Demikian pula ketika tiba-tiba pemuda itu melhat kawanan ikan lumba-lumba datang mendekati. A Liong sama sekali ak peduli. Bahkan pemuda itu tetap tak tertarik pula ketika binatang-binatang menyenangkan itu bermain-main di atas permukaan air. Mereka bergantian meloncat ke udara dan berenang berputaran mengelilingi sebuah sampan yang ditumpangi oleh seorang kakek tua.

“Ah, tipuan lagi...! Paling-paling cuma bayangan yang hendak menggoda mataku saja! Huh!” A Liong bergumam sambil memejamkan matanya.

“Duuuuk!”A Liong terperanjat. Seekor di antara ikan lumba-lumba itu menyentuh punggungnya dan nyaris melemparkannya ke dalam air. Ketika A Liong berputar untuk melihat pengganggunya, sampan kecil itu telah berada di depan matanya. Bahkan ia dapat melihat dengan jelas senyum kakek itu. A Liong mengucak-ucak matanya. Dia tetap belum percaya apa yang dilihatnya. Tapi ketika kakek di atas sampan itu menyapanya, A Liong baru tergagap kaget.

“Anak muda, kau siapa...? Mengapa kau terapung-apung di sini? Apakah kau juga dari Pondok Pelangi?”

A Liong yang masih dalam keadaan gugup tak bisa segera menjawab. Pemuda itu masih belum yakin kalau yang dihadapi adalah manusia biasa seperti dirinya. Dia masih tetap beranggapan bahwa apa yang dilihatnya itu cuma bayangan seperti tadi malam.

“Byuuuuuur!” Sebuah ombak yang amat besar menghantam sampan kecil itu hingga terlempar jauh. Begitu pula dengan gentong kayu A Liong. Barang itu terlempar pula bersama-sama dengan penumpangnya. A Liong gelagapan seperti anak ayam yang tercebur ke dalam kolam. Namun demikian, begitu muncul dari dalam air, yang pertama dicarinya adalah kakek tua itu. Tapi sekali lagi hatinya menjadi kecewa sekali. Tak ada sebuah bendapun tampak di sekitarnya.

“Gila! Aku sudah gila!” Umpatnya penuh geram.

“Byuuuuur!” Makian dan kekesalan pemuda itu dijawab dengan gempuran gelombang lagi. Bahkan kali ini ombak yang datang lebih besar daripada tadi. Begitu besarnya sehingga gentong kayu itu terlempar jauh dan terlepas dari A Liong! A Liong tidak menyadari bahwa tubuhnya terseret ke dalam pusaran air yang sangat ganas. Sebuah pusaran yang tercipta dari pergesekan dua buah arus laut.

Air laut di tempat itu berputar dengan kuat sekali. Jangankan manusia kecil seperti A Liong, sebuah perahu besarpun dengan mudah akan dipilinnya seperti baling-baling. Seperti sehelai daun kering yang tak ada artinya, tubuh A Liong timbul tenggelam tak berdaya. Memang, bagaimanapun hebat kekuatan dan kesaktian manusia, dia tetap takkan mampu melawan keganasan alam.

Akhirnya yang bisa dilakukan oleh A Liong hanya bertahan dan mencoba untuk menyelamatkan diri. Agaknya Tuhan memang belum menghendaki nyawa A Liong. Terbukti dengan segala kekuatannya pemuda itu masih bisa melepaskan diri dari pusaran air yang menggulungnya. Bahkan dengan sisa-sisa tenaganya A Liong masih bisa berenang menjauhi tempat itu. A Liong berenang bagaikan dikejar setan.

Pemuda itu sama sekali tak sempat memikirkan arah dan tujuannya. Yang penting bagi pemuda itu, bagaimana menjauhkan diri dari tempat tersebut secepatnya. Setelah terbebas dari cengkeraman maut, barulah terasa oleh A Liong betapa lemas seluruh tubuhnya. Tiba-tiba saja semangat dan kekuatannya seperti tiada lagi. Bahkan untuk bertahan agar tidak tenggelampun pemuda itu sudah tak mampu lagi.

Bagaikan sebongkah batu yang tak memiliki kekuatan apa-apa, tubuh A Liong tenggelam. Tiba-tiba seutas tali menjerat kaki A Liong dan di lain saat tubuh pemuda itu ditarik ke atas lagi. A Liong tidak tinggal diam. Merasa ada yang membantunya, tangannya berusaha menggapai seke-nanya. Pemuda itu berpendapat, asal tangan dan kakinya bergerak tubuhnya tak-kan tenggelam. Tapi pada gerakan yang kesekian kalinya, tangan A Liong merasa menyentuh sesuatu.

Ketika pemuda itu mengangkat kepalanya, hampir saja dahinya melanggar dinding sampan yang mendadak saja sudah berada di depan hidungnya. Dalam kekagetannya tangan A Liong masih tak lupa untuk meraih pinggiran sampan itu. Bahkan pemuda itu tak menampik ketika kakek tua yang mengemudikan sampan itu mengulurkan tangan untuk menolongnya.

“Wah, kita benar-benar mendapatkan ahli waris itu! Bukan main! Semula, aku sudah tidak yakin dia bisa keluar dari pusaran air itu! Sudah sekian puluh tahun kita menunggu, tak seorang manusiapun mampu keluar dari lubang itu! Hmm... ternyata benar juga kata Souw Ju Kang.”

Tiba-tiba terdengar suara di belakang A Liong. A Liong tertegun dan hampir saja melepaskan tangannya yang dipegang oleh kakek itu. Ia bergegas membalikkan badannya untuk mencari asal. suara itu. Dan entah dari mana. datangnya, tiba-tiba di belakangnya telah ada sebuah sampan yang lain. Sampan kecil dengan seorang kakek pula sebagai penumpangnya. Orang itulah yang berbicara tadi.

A Liong mengejap-ngejapkan matanya. Walaupun sudah yakin kalau mereka adalah orang-orang biasa, namun dandanan dan wajah mereka tetap terasa aneh bagi mata A Liong. Kakek pertama, yang berada di dekat A Liong bertubuh gemuk pendek. Rambutnya yang putih seperti perak itu digelung ke atas dan diikat seperti layaknya para pendeta Agama To.

Jubahnya sudah sangat lusuh dan penuh tambalan. Namun wajah kakek itu kelihatan terang dan bercahaya. Anehnya, walaupun rambut di kepalanya sudah putih semua, tetapi alis mata, kumis dan jenggotnya tetap berwarna hitam legam seperti rambut pemuda belasan tahun. Sedangkan kakek yang ke dua, bertubuh kurus, rambutnya dibiarkan terurai panjang di belakang punggungnya.

Namun seperti halnya kakek pertama, rambut yang tumbuh di kepala kakek itu juga terbagi dua. Bahkan pembagian warnanya benar-benar sangat aneh dan tidak masuk akal. Kepala itu bagaikan terbelah menjadi dua bagian! Bagian sebelah kiri, rambutnya berwarna putih, semen-tara di bagian kanan berwarna hitam legam. Pembagian warna itu benar-benar sangat aneh dan mentakjubkan.

“Hei, bocah! Apa yang kau lihat? Kau belum pernah melihat orang seperti kami?” kata yang bertubuh kurus itu bertanya. Suaranya keras dan kaku. Raut mukanya tampak dingin penuh rasa curiga.

“Lalala... tentu saja dia masih bingung, Kek Ong! Ayo, kita tolong dulu, baru nanti kita tanyakan siapa dia! Jangan kau takut-takuti dia dengan wajahmu yang jelek itu, lalala!” Kakek pertama yang bertubuh gemuk itu menegur temannya sambil tertawa.

Kakek kurus itu terdiam. Matanya yang tajam bagai mata burung elang itu menatap kawannya. Kemudian sambil membuang muka ia menggeram, seolah-olah berbicara dengan burung-burung laut yang beterbangan di sekitar mereka. “Huh, kau kira tampangmu yang bulat berminyak itu juga tampan, heh? Sejak dulu setiap orang selalu mengatakan kalau Bok Kek Ong lebih ganteng daripada Soat Ban Ong.”

Kakek Soat Ban Ong yang gemuk itu tidak mempedulikan kedongkolan hati kawannya. Ia tetap tertawa terkekeh-kekeh. Sambil tertawa tangannya menarik tubuh A Liong ke dalam sampannya. “Jangan takut, anak muda. Kami berdua memang sering berselisih dan suka berolok-olok, tetapi kami tak pernah bersungguh-sungguh. Kami adalah sahabat karib selama enam puluh tahun, la-lalaaaaaa. Bukankah begitu, Kek Ong?”

“Huh!” Bok Kek Ong hanya mendengus saja. Ia memutar sampannya dan mendahului berangkat meninggalkan tempat itu. Kakek Soat Ban Ong segera membalikkan sampannya pula dan mengayuhnya di belakang Kakek Bok Kek Ong. Belasan ikan lumba-lumba tiba-tiba muncul kembali di sekitar mereka. Kawanan ikan besar itu berenang di kanan kiri mereka bagaikan sepasukan pengawal yang sedang melindungi junjungannya.

Sambil mendayung Kakek Soat Ban Ong bercerita. Mereka berdua tinggal di sebuah gugusan pulau yang terpencil di tengah-tengah samudra luas. Gugusan pulau itu terdiri dari delapan pulau kecil-kecil, yang hanya ditumbuhi jamur dan lumut. Dan mereka sudah lebih dari setengah abad tinggal di sana. Sayang keadaan dan situasi di tempat itu membuat mereka berdua selalu terkurung dan tak bisa keluar ke tempat lain. Apalagi kembali ke daratan Tiongkok.

“Mengapa tak bisa? Bukankah Lo-cianpwe berdua juga bisa bersampan sampai ke tempat ini?” Tak terasa A Liong berseru. Meskipun demikian pemuda itu tak berani sembarangan menyebut nama mereka. Ia tahu bahwa mereka adalah orang-orang sakti.

Kakek Soat Ban Ong menoleh sambil tersenyum. Ia kelihatan amat gembira melihat A Liong sudah mau bicara. Ia tidak segera menjawab pertanyaan A Liong, tapi sebaliknya malah menepuk pundak pemuda itu. “Lalala, tampaknya rasa kagetmu sudah hilang sekarang. Bagus, siapa namamu, Nak? Dari mana kau datang? Apakah kau terjatuh dari perahu yang kau tumpangi?”

A Liong menarik napas panjang. Perasaannya memang telah menjadi tenang sekarang. Pertemuannya dengan kedua orang itu benar-benar telah menyingkirkan kegalauan hatinya. Tapi dengan demikian tiba-tiba dia merasakan betapa dinginnya udara di tempat itu. Bahkan dalam guyuran sinar mentari yang kemerah-merahan itu kulitnya masih tetap terasa tebal dan kaku.

“Lalala... Mengapa mulutmu terdiam lagi?”

“Eh-oh, maaf... Lo-cianpwe. Aku hanya merasa kaget saja, mengapa tiba-tiba udara menjadi dingin sekali?”

“Jadi kau tidak merasakan dinginnya udara di sini? Wah, hebat sekali kalau begitu! Coba kau lihat sekelilingmu! Laut di sini tidak begitu bergolak seperti di sana tadi, tapi airnya bisa kau rasakan perbedaannya. Sekali tercebur ke dalam air, tubuhmu akan segera berubah menjadi balok kayu yang tak bisa ditekuk-tekuk lagi. Lalala..."

A Liong terkejut. Tangannya segera meraup air di bawahnya. Dan tangan itu cepat-cepat ditariknya kembali. Jarinya serasa membeku. “Lo-cianpwe... di mana kita sekarang? Mengapa air laut di sini dingin sekali?”

“Lho, masa kau tidak tahu kalau kita berada di Laut Utara?”

“Laut Utara?” A Liong benar-benar kaget. Bagaimana mungkin hanya dalam waktu sehari semalam dia bisa terseret ombak sedemikian jauhnya?

“Hei, mengapa kau kelihatan terperanjat? Memangnya kau dari mana?” Soat Ban Ong bertanya dengan kening berkerut.

Sekali lagi A Liong menghela napas panjang. Matanya memandang kakek Soat Ban Ong seolah tak percaya. Dari Hang-ciu ke Laut Utara ada ribuan lie jauhnya. Bagaimana mungkin ia bisa percaya akan hal itu? “Lo-cianpwe, namaku A Liong, siauwte datang dari daratan Tiongkok, dari kota Hang-ciu di Propinsi Se-kiang...”

“Hang-ciu? Di mana itu? Ah, sejak kecil aku memang belum pernah menginjak daratan Tiongkok, jadi... ya, mana aku tahu tempat itu?”

Kakek itu terdiam, begitu pula A Liong, sehingga suasana menjadi sunyi untuk beberapa saat lamanya. Gelombang lautpun hampir tidak ada lagi. Permukaan air kelihatan tenang. Namun A Liong menjadi heran ketika merasakan sampan yang ditumpanginya itu melaju semakin cepat tanpa dikayuh.

“Lociapwe, sampan ini... sampan ini bisa berjalan sendiri?” serunya bingung.

“Berjalan sendiri? Lalala... Masa engkau tidak tahu? Kita berada di jalur arus laut yang menuju ke utara, maka tanpa dikayuhpun sampan ini akan berjalan sendiri Kita hanya menjaga saja agar sampan tidak berputar-putar.”

“Arus laut...? Masa di dalam genangan air juga ada air yang mengalir? Aneh!”

Soat Ban Ong tertawa. “A Liong, tampaknya kau belum mengenal jenis-jenis laut di sini. Sungguh mengherankan. Belum kenal, tapi kau mampu membebaskan diri dari sedotan pusaran maut itu. Hmmm, tampaknya Thian memang benar-benar mengirimkan kau kepadaku.”

A Liong tidak tahu maksud perkataan Soat Ban Hong, tapi ia tak berkata apa-apa. Sementara itu sampan Kakek Bok Kek Ong yang berada jauh di depan tampak diselimuti kabut tebal. Sampan itu kelihatan bergoyang-goyang, ke kanan dan ke kiri. Bahkan sejenak kemudian Bok Kek Ong tampak berusaha mempertahankan sampannya. Sampan itu mulai berputar-putar. Ketika A Liong mencoba memperhatikannya lebih lama, ternyata air laut yang tenang itu sudah mulai bergolak di depan sana.

“Lo-Cianpwe, lihat...! Bok Lo-Cianpwe seperti mendapat kesulitan.” A Liong berseru.

“Jangan khawatir. Tenang saja. Kami sudah biasa melewati tempat itu. Daerah ini adalah daerah tempat kami bercanda dan bermain-main setiap hari.” Soat Ban Ong menjawab tenang.

Tiba-tiba A Liong teringat sesuatu. “Lo-Cianpwe, kau tadi mengatakan bahwa kalian berdua hidup terkurung di pulau itu, tanpa bisa pergi kemana-mana. Tapi... eh, bukankah Lo-Cianpwe bisa bersampan kemana saja? Apa maksud perkataan Lo-Cianpwe itu...?”

Jilid selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.