
Soat Ban Ong menatap mata A Liong beberapa saat lamanya, kemudian, menghela napas panjang berkali-kali. “Kelihatannya laut di sini biasa-biasa saja. Tidak berbahaya. Bahkan berkesan sangat tenang. Tapi pada waktu-waktu tertentu air laut ini akan berubah menjadi ganas dan mengerikan. Jangankan hanya sampan kecil seperti ini, perahu dagang yang sangat besarpun tidak akan berani melewati tempat ini. Itulah sebabnya daerah ini sangat sepi dan tak pernah dilalui orang.”
“Tapi Lo-Cianpwe berdua berani juga sampai di sini, walaupun hanya dengan sampan kecil.”
Soat Ban Ong tertawa. “Ya, karena selama setengah abad kami berdiam di sini, kami telah mengenal betul semua lika-liku dan rahasianya. Sehingga kami bisa memilih dan menghindari bahaya-bahaya yang ada. Nah, kau lihat tempat yang kini sedang dilalui oleh Kakek Bok Kek Ong itu? Tempat itu justru tempat yang paling aman dibandingkan dengan tempat-tempat yang lain. Tempat itu merupakan titik pertemuan antara arus laut dari arah barat dan arus laut dari arah selatan. Karena tempat itu adalah tempat bertemunya dua buah arus laut, maka di sekelilingnya banyak terbentuk pu-saran-pusaran maut yang berbahaya. Kami pernah menghitung, kira-kira ada sebelas pusaran besar dan kecil di tempat itu. Semua pusaran itu dapat menghisap dan menelan perahu sebesar apa pun.”
“Menghisap dan menelannya?”
“Ya, pusaran itu berputar pada porosnya. Semakin mendekati porosnya, putarannya semakin cepat dan kuat. Dan pada porosnya itu terdapat lubang menganga, yang siap menelan semua mangsanya.”
A Liong mengerutkan dahinya dengan perasaan ngeri. Pikirannya segera membayangkan dasar laut yang gelap dan dalam di mana pusat dari pusaran itu berada. Di sana tentu banyak barang-barang atau makhluk-makhluk yang pernah ditelan oleh pusaran itu. “Ah!” A Liong berdesah pendek. “Tapi mengapa kita tidak menghindar saja sejauh-jauhnya, keluar dari aliran arus ini?”
“Waduh, tidak semudah itu melakukannya. Keluar dari arus ini berarti kita harus bertempur dengan rombongan ikan hiu dan ikan cucut yang haus darah. Kita tidak dapat melawan mereka dengan sampan sekecil ini. Lubang mulut mereka mampu mencaplok dan menelan sampan ini berikut isinya.”
“Lalu... Kenapa Lo-Cianpwe tidak berusaha membuat perahu yang lebih besar agar bisa keluar dari tempat ini?”
“Hai, bagaimana kami bisa membuat perahu besar kalau di pulau itu hanya ada tumbuhan jamur dan lumut? Coba kau lihat sampanku ini! Sampan ini hanya terbuat dari tulang rusuk ikan hiu. Ra-tusan batang tulang rusuk ikan hiu kami susun dan kami rekatkan dengan getah jamur. kau tahu, berapa tahun kami harus menyelesaikan pembuatan sampan ini? Lima belas tahun!
A Liong terbelalak. Otomatis tangannya meraba pinggiran sampan itu. Memang benar, sampan itu terbuat dari jajaran tulang rusuk ikan hiu. Kotoran dan lumut tebal yang tumbuh di sela-selanya telah menyembunyikan bentuk aslinya. “Bukan main...” A Liong membatin.
Bok Kek Ong telah berhasil melewati daerah berbahaya itu. Kini giliran sampan Kakek Soat Ban Ong yang harus melewati daerah tersebut. Hati A Liong menjadi tegang, sedangkan air di bawah sampan mulai terasa. Semakin lama semakin kuat. Bahkan hantaman ombak datang dari segala jurusan. Kadang kala dari depan, kemudian dari belakang dan di lain saat dari samping.
Akibatnya Soat Ban Ong menjadi sulit mengendalikan arahnya. Namun demikian kakek itu tetap berusaha mengarahkan sampannya ke tempat pertemuan dua arus itu. A Liong merasa ngeri menyaksikan deburan air yang semakin lama semakin menggila. Semburan air yang melonjak ke atas membasahi udara di sekitarnya, membuat tempat itu bagaikan tertutup oleh kabut tebal. Bagi yang belum tahu, tempat itu tentu akan dihindari dan dijauhi.
Padahal justru tempat itulah daerah yang paling aman untuk menyeberang. Di luar daerah itu merupakan daerah berbahaya yang menyimpan seribu jebakan mengerikan. Rasa takut justru membuat A Liong tidak bisa memejamkan matanya. Begitu menembus kabut air itu ia merasakan goncangan-goncangan yang keras pada sampannya. Tubuhnya yang terguyur semburan air itu merasakan adanya hawa panas dan dingin di sekitarnya.
Remang-remang A Liong melihat jilatan-jilatan lidah ombak menggapai ke udara. Sepintas lalu bagaikan jin dan setan yang berloncatan gembira dalam semburan kabut tebal. Kakek Soat Ban Ong mati-matian mengendalikan sampannya. Namun demikian ia selalu berseru memperingatkan A Liong agar berpegangan dengan kuat. Sekali terpental dari sampan dan jatuh ke dalam air, berarti jiwa A Liong tak bisa tertolong lagi.
Meskipun tak bisa melihat dengan jelas, tapi A Liong benar-benar kagum menyaksikan kehebatan Kakek Soat dalam mengemudikan sampannya. Berkali-kali kakek itu harus melompat, berjumpalitan dan menjepit sampannya, untuk tetap menjaga agar sampan itu tidak terbalik.
“A Liong, pejamkan matamu! Jangan melihat apa-apa! Rasa ngeri akan membuatmu mual dan pusing! Berpeganglah kuat-kuat pada pinggir perahu."
Tapi mana bisa A Liong memejamkan matanya? Semakin dahsyat gempuran air laut menggoncang sampannya, justru semakin lebar pula pemuda itu membuka matanya. Rasa takut dan ngeri malah membuat pemuda itu semakin waspada. Matanya justru jelalatan kesana-kemari, berjaga-jaga bila ada sesuatu yang membahayakan dirinya. Semburan air yang tinggi, ditingkah oleh gemuruhnya suara air da angin, membuat suasana di tempat itu benar-benar menakutkan!
Namun justru di tempat itulah A Liong melihat betapa he-batnya kepandaian Kakek Soat Ban Ong. Kakek tua yang bertubuh gemuk pendek itu bergerak lincah melebihi kemampuan anak muda. Untuk mengendalikan sampan agar tidak bergeser dari tujuannya serta menjaga agar sampan itu tidak terbalik. Kakek itu benar-benar mengeluarkan segala kesaktiannya. Sampan kecil yang ditumpangi A Liong itu bagaikan sebuah barang mainan saja baginya.
Kadang-kadang sampan itu dijepit dengan kedua kakinya dan dibawa melenting ke atas seperti meninjing keranjang sampah atau suatu saat dayung kecilnya yang terbuat dari tulang itu menghantam lidah ombak yang hendak menggempur sampannya. Dan A Liong sampai melongo menyaksikan ombak itu meledak berhamburan seperti menerjang batu karang!
“Siapa sebenarnya kakek ini? Rasanya aku belum pernah mendengar namanya di Dunia Persilatan...”
Mungkin ada sepeminuman teh lamanya mereka harus bertarung dengan tempat berbahaya itu. Begitu terlepas dari tempat itu Kakek Soat masih harus mengendalikan sampannya agar tetap bera-da pada jalur arus laut yang membawanya. Sedikit saja melenceng, maka kemungkinan hidup akan sangat kecil. Kalau tidak ditelan oleh pusaran air, mereka tentu akan dikeroyok dan diperebutkan oleh kawanan ikan buas.
A Liong mendengar bermacam-macam gaung suara angin di sekitarnya. Ada yang bernada rendah, tapi juga ada yang bernada tinggi. Suara itu seperti suara-suara gasing di lomba permainan anak-anak. “Suara apa itu, Lo-cianpwe?”
Soat Ban Ong menarik napas lega. Setelah melewati daerah berkabut itu tugasnya menjadi lebih ringan, walaupun sebenarnya bahaya-bahaya yang lain masih banyak lagi. “Itulah suara Pusaran Air yang kuceritakan tadi. Di kanan kiri jalur perjalanan kita ini terdapat belasan Pusaran Air. Begitu kencangnya putaran air sehingga menimbulkan gesekan angin seperti itu.”
Walaupun tidak merasa ngeri lagi, tapi wajah A Liong masih tampak pucat. Pemuda itu hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar penjelasan kakek itu. Kakek Bok Kek Ong yang telah menunggu di depan, melambaikan tangannya begitu melihat Kakek Soat Ban Ong keluar dari tabir kabut. Kakek Soat Ban Ong membalas lambaian itu dan memberi isyarat untuk meneruskan perjalanan mereka.“Kau lihat gugusan pulau-pulau di garis cakrawala itu? Di sanalah tempat tinggal kami...” Kakek Soat Ban Ong mengangkat jarinya ke depan.
“Oooo, indah sekali...!” A Liong membelalakkan matanya. Di depan matanya terbentang sebuah panorama alam yang luar biasa sekali.
Permukaan laut tampak berkilat-kilat kuning kemerahan. Sementara kabut yang tercipta dari semburan air pusaran, bertebaran ke udara bagaikan mau menggapai langit. Ditingkah oleh cahaya mentari maka semburan kabut itu menciptakan beberapa lembar pelangi, yang berkelak-kelok mempesonakan. Benar-benar keindahan alam yang sangat mentakjubkan!
“Tempat ini memang selalu dikelilingi pelangi. Kabut tipis yang ditimbulkan oleh pusaran air itu akan membiaskan cahaya matahari dalam bentuk warna yang indah-indah.”
Tiba-tiba A Liong teringat ucapan Kakek Soat Ban Ong tadi malam, pada saat kakek itu melihat dia untuk pertama kali. “Lo-Cianpwe... Kalau tidak salah tadi malam Lo-Cianpwe mengatakan bahwa aku datang dari Pondok Pelangi. Apa yang Lo-Cianpwe maksudkan? Apakah ada Pondok Pelangi di sekitar tempat ini? Di mana tempatnya?”
Sungguh mengherankan. Mendengar pertanyaan A Liong tentang Pondok Pelangi, wajah Kakek Soat Ban Ong tampak kaget. Tapi cuma sebentar, karena di lain saat orang tua itu telah tertawa kembali. “Yah... jauh di sebelah utara sana memang ada sebuah gugusan pulau lagi. Namanya Kepulauan Pelangi, karena setiap hari tempat itu juga diselimuti pelangi. Berbeda dengan tempat tinggal kami, tempat itu sangat subur dan menyenangkan untuk tempat tinggal. Maka tidak mengherankan bila pulau-pulau itu telah dihuni orang sejak ribuan tahun lalu.
"Mereka hanya terdiri dari tiga buah keluarga besar, yaitu Keluarga Soat, Souw dan Bok. Karena tempat itu terpencil dan tidak bisa didatangi orang, maka mereka mendirikan kekuasaan sendiri, terlepas dari daratan Tiongkok. Mereka menyebut negeri mereka Kerajaan Pelangi. Mereka mendirikan sebuah Istana sederhana yang disebut Pondok Pela-ngi. Dan yang paling menonjol dari mereka adalah ilmu silat khusus yang hanya bisa dipelajari oleh masyarakat mereka sendiri...”
A Liong mengerutkan keningnya dan kakek itu tertawa melihatnya. “Kau tak percaya?”
A Liong tersenyum kecut. Ia memang tidak mempercayainya. Bagaimana mungkin sebuah ilmu silat hanya bisa dipelajari oleh masyarakat tertentu? Apakah ilmu silat itu menuntut sesuatu yang khusus dari orang yang ingin mempelajarinya? Misalnya orang itu harus mempunyai empat tangan atau empat kaki?
Kakek Soat Ban Ong duduk di pinggiran sampan. Mereka telah melewati daerah berbahaya dan kini tinggal mengikuti arus saja. A Liong merasa lega. Sambil lalu pemuda itu ikut-ikutan duduk di tepi sampan.
“Aaaaaaah...!” A Liong menjerit. Sampan itu bergoyang miring begitu menerima beban tubuhnya. Untunglah Kakek Soat Ban Ong cepat menyambar lengannya.
“Lalala, kenapa kau ini? Mau bunuh diri, ya? Enak saja duduk di pinggiran sampan. kau kira tubuhmu itu enteng? Tubuh gembrot segede gajah begitu mau main goyang-goyangan, lalalalaaaa.”
“Tapi... tapi... Lo-Cianpwe sendiri juga duduk di pinggiran sampan. Padahal Lo-Cianpwe... Malah lebih gemuk dari pada saya.” Dalam kegugupannya A Liong mencoba membela diri.
Tak terduga orang tua itu tertawa terkekeh-kekeh. Begitu geli hatinya sehingga matanya yang sipit itu sampai mengeluarkan air mata. Selesai tertawa tiba-tiba orang tua itu melemparkan da-yungnya ke laut, lalu tubuhnya yang gemuk pendek itu melesat mengejarnya. Dayung kecil dari tulang ikan yang panjangnya hanya satu lengan orang dewasa itu jatuh di atas permukaan air.
Dan sebelum benda itu hanyut dibawa gelombang, kaki kanan Soat Ban Ong lebih dulu mendarat di atasnya. Selanjutnya bagaikan seorang pemain sulap kakek itu berayun-ayun di atas dayung kecil tersebut. Sungguh sangat mengherankan sekali, dayung kecil itu sama sekali tidak amblas atau terbenam karenanya. Tentu saja pertunjukan ilmu meringankan tubuh yang nyaris sempurna itu benar-benar mengagumkan hati A Liong.
“Wah, seharusnya aku sudah tahu sejak tadi kalau orang tua ini memiliki kesaktian yang hebat.”
Selesai mempertunjukkan kebolehannya Kakek Soat Ban Ong kembali meloncat ke dalam sampan. Tak lupa dayung kecilnya itu dibawa pula. Dengan mengulum senyum ia mengawasi A Liong. “Nah, sebelum kau bisa berdiri di atas dayung ini, tak mungkin kau dapat duduk di pinggiran sampanku. Lalalaaaaa...”
“Wah, mana mungkin bisa...” A Liong menyahut dengan cepat.
“He, kenapa tidak bisa? Asal mau belajar setiap orang pasti bisa.”
A Liong tak menjawab. Sebenarnya ingin sekali dia belajar Ilmu Meringankan Tubuh seperti orang tua itu, karena dia juga ingin bisa bergerak lincah seperti halnya Siau In. Tapi bagaimana caranya? Sebagai orang yang baru saja kenal, tak mungkin kakek itu mau mengajarinya. “Tapi Lo-Cianpwe tadi mengatakan bahwa ilmu silat dari Kerajaan Pelangi tidak bisa dipelajari oleh sembarang orang.” A Liong menjawab sekenanya.
Tak terduga wajah Soat Ban Ong berubah hebat mendengar jawaban tersebut. Matanya yang sipit berkilat-kilat memandang A Liong. “Kau bilang apa? kau tahu ilmu silatku dari... dari Pondok Pelangi?”
A Liong menjadi kaget juga. Sebenarnya dia cuma bicara sembarangan, karena otaknya yang cerdas hanya menerka-nerka saja tentang siapa kakek itu. “Maaf, Lo-Cianpwe. Aku hanya menduga-duga saja dari cerita Lo-Cianpwe tadi. Lo-Cianpwe mengatakan bahwa Pondok Pelangi hanya dihuni oleh keluarga Soat, Souw dan Bok. Sementara Lo-Cianpwe berdua dari keluarga Soat dan Bok...”
Kakek Soat Ban Ong termangu sebentar, tapi sesaat kemudian tawanya meledak lagi. “Bukan main! Kau sangat cerdas dan teliti sekali, lalalala.”
Wajah A Liong menjadi merah oleh pujian itu. Dan kakek itu semakin senang melihatnya. “Sudahlah! Kita sudah sampai. Lihat...! Pulau itu tak memiliki apa-apa, bukan?”
A Liong mengangkat mukanya. Benar, pulau itu telah berada di depan matanya. Sebuah gugusan pulau berpasir putih, dengan batu-batu karang berwarna putih pula, membuat pulau itu bagaikan lembaran kapas yang terapung di atas air.
Demikianlah, akhirnya mereka sampai juga di tempat Kakek Soat Ban Ong. A Liong melihat Kakek Bok Kek Ong sudah mendaratkan sampannya di atas pasir. Bahkan kakek itu telah menyeretnya jauh ke daratan. Tampaknya kakek itu tak ingin sampannya yang sangat berharga itu terseret kembali ke tengah lautan.
Selesai menyimpan sampannya, Kakek Bok Kek Ong segera menyelinap pergi tanpa menunggu kedatangan mereka. Namun Kakek Soat Ban Ong juga tidak peduli. Setelah mengikat sampannya di tempat aman, Kakek Soat Ban Ong segera menggandeng lengan A Liong.
“Nah, A Liong... Marilah kita pergi ke rumahku dulu. Setelah menyiapkan makan kita bisa bercerita lagi. Ayo...!”
Mereka berjalan ke tengah pulau, mengikuti jejak Bok Kek Ong yang telah berjalan lebih dulu. Di sepanjang jalan A Liong tidak henti-hentinya mengagumi panorama di atas pulau itu. Walaupun tidak ada tumbuh-tumbuhan besar, namun bebatuan yang ditumbuhi lumut dan jamur itu mampu menampilkan pemandangan tersendiri.
Di bawah pantulan cahaya matahari, batu-batu karang yang menonjol di sana-sini itu seperti memercikan sinar warna-warni. Merah, biru, kuning, hijau. Sungguh indah sekali. Apalagi lumut dan jamur yang tumbuh di atasnya juga memiliki warna yang bermacam-macam. Dari jauh tumbuh-tumbuhan kecil itu seperti rangkaian bunga yang mekar bersama-sama.
“Ah, suasananya benar-benar seperti di taman Istana saja!” Tak terasa lidah A Liong berdecak kagum.
Kakek Soat Ban Ong mengajak A Liong ke suatu tempat di mana terdapat rimba batu karang yang menjulang tinggi ke udara. Seperti halnya bebatuan di tepi pantai tadi, maka batu karang raksasa yang ada di tempat itu juga memiliki warna yang beraneka macam. Berkilat-kilat gemerlapan seperti batu permata. Kakek Soat Ban Ong memasuki sebuah gua kecil. Di dalamnya tampak tertata rapi. Ada bermacam-macam peralatan di pojok gua itu. Ada peralatan masak, peralatan memancing dan sebagainya.
“Lo-Cianpwe tinggal di gua ini?”
Kakek Soat Ban, Ong mengangguk. “Memangnya ada apa?”
A Liong tidak menjawab. Dia justru keluar dan melongok ke luar gua. “Sejak tadi aku tidak melihat Bok Kek Ong Lo-Cianpwe. Ke manakah dia?”
“Alalaaa... tentu saja dia berada di rumahnya sendiri. Eh, apakah kau ingin berkunjung ke sana, A Liong?”
“Oh? Jadi Lo-Cianpwe tidak tinggal bersama?”
“Wah, gawat! Jelek-jelek kami berdua ini lelaki semua. Masa kami harus tinggal bersama seperti suami-isteri, heh? Kau pikir salah satu dari kami ini banci?”
A Liong cepat merangkapkan tangan di depan dada. “Maaf, Lo-Cianpwe Bukan... bukan begitu maksudku. Locian-. pwe berdua tidak memiliki sanak saudara lagi. Bukankah lebih baik hidup berdekatan... agar dapat saling tolong-menolong satu sama lain?”
“Wah, siapa bilang kami tidak mempunyai sanak saudara, kau salah! Keluarga kami sangat banyak. Cuma kami tak bisa bertemu dengan mereka, karena semuanya berada di Kepulauan Pelangi.” Kakek Soat Ban Ong menyela dengan suara tinggi.
“Sangat banyak?” A Liong berdesah kaget. “Tapi... Mengapa tak bisa ke sana? Bukankah Lo-Cianpwe dapat naik sampan?”
Kakek Soat Ban Ong menatap A Liong dengan tajamnya. Mata itu seperti hendak berbicara banyak, tapi tak jadi. Kakek itu membalikkan tubuhnya dan melangkah masuk ke dalam gua. Wajah yang biasanya tampak gembira itu tertunduk lesu. A Liong bergegas mengikutinya. Tapi kini pemuda itu tak berani berkata sembarangan lagi. Dia segera duduk pula ketika kakek itu merebahkan tubuhnya di atas batu datar, yang selama ini di-pergunakan sebagai tempat tidur.
“Kau ingin tahu mengapa kami tidak dapat kembali ke Kepulauan Pelangi? Baiklah, aku akan bercerita. Tapi sebelumnya aku ingin tahu juga tentang kau. Kau belum berkata sepatahpun tentang dirimu sendiri...” Akhirnya Kakek Soat Ban Ong berkata pelan.
A Liong tersenyum kecut. Setiap kali ditanya tentang dirinya atau riwayat hidupnya, pemuda itu selalu bingung dan salah tingkah. Riwayat hidupnya yang kurang manis itu membuatnya tidak enak setiap kali harus diceritakan. “Tak ada yang bisa diceritakan, Lo-Cianpwe. Siauwte (aku yang hina ini) hanyalah anak keturunan pengemis gelandangan yang hidup dari mengais-ngais sisa makanan di jalanan. Siauwte tidak tahu siapa orang tuaku, karena sejak kecil siauwte berada dalam lingkungan kelompok pengemis yang selalu berjalan dan berpindah-pindah dari kota ke kota.”
Soat Ban Ong tersentak kaget. Matanya memandang wajah A Liong hampir tak percaya. Masa anak gelandangan yang hidup menjadi pengemis bisa memiliki tubuh kekar, kuat dan sehat seperti itu? “Kalau begitu... apa nama keluargamu?” kakek sakti itu bertanya ragu.
A Liong cepat menggelengkan kepalanya. “Jangankan nama keluarga, nama sendiripun siauwte tak punya. Nama A Liong hanyalah sebutan yang diberikan oleh kawan-kawan, karena ada gambar tato naga di dada Siauwte.”
Jawaban itu benar-benar mencengangkan Soat Ban Ong. Orang tua itu sama sekali tak menduga kalau A Liong mempunyai riwayat hidup yang runyam seperti itu. “Lalu... bagaimana kau bisa tercebur ke laut dan terseret ombak sampai ke Laut Utara? Apakah kau sudah bosan hidup dan berniat bunuh diri?”
A Liong tersenyum. “Ah, Lo-Cianpwe ini ada-ada saja. Bagi siauwte hidup ini terasa nikmat dan menyenangkan. Bagaimana mungkin siauwte berniat untuk meninggalkannya?”
“Kalau begitu... yah, sudahlah! Ceritakan saja semua riwayatmu! Tentu saja sejauh yang kau ingat!”
A Liong menurut. Dibeberkannya semua pengalaman dan riwayat hidupnya, seperti yang pernah dia ceritakan pula kepada Siau In. Lalu diceritakannya juga perjalanannya ke rumah Tabib Tong Kiat Teng bersama gadis itu. Hanya dalam hal terseretnya dia ke Laut Utara, dia benar-benar tak tahu. Selain malam sangat gelap, suasana di lautpun sangat asing baginya, sehingga ia benar-benar tidak tahu bagaimana dia sampai di Laut Utara.
Soat Ban Ong benar-benar terkesan pada penuturan A Liong. Terutama ketika A Liong menceritakan tragedi pembantaian di tepi pantai itu. Walaupun pada saat itu A Liong dalam keadaan pingsan, tapi Siau In telah menceritakan semuanya, sehingga A Liong bisa menuturkannya dengan lancar. Sebuah pertempuran yang amat dahsyat, yang melibatkan tokoh-tokoh kenamaan dari Beng-kauw, lm-yang-kauw dan orang-orang Hun.
Kakek Soat Ban Ong sama sekali tidak mengenal tokoh-tokoh dalam cerita itu. Tapi cerita tentang kedahsyatan ilmu mereka benar-benar menggelitik hatinya. Sebagai orang yang sangat menyukai ilmu silat, maka kaki dan tangannya menjadi gatal untuk menjajal ilmu kepandaian tokoh-tokoh dalam cerita itu.
“Kau bilang orang Hun itu bisa bergerak seperti ini?” Orang tua itu berseru penasaran. Telapak tangan Soat Ban Ong tiba-tiba menepuk batu di bawahnya. Plaak! Kontan tubuhnya yang gemuk itu mencelat ke atas bagaikan seekor belalang yang menyentakkan kaki belakangnya. Gerakannya cepat bukan main, sehingga mata A Liong sama sekali tak bisa mengikutinya. Tahu-tahu kakek sakti itu sudah melekat di atas langit-langit gua, seperti seekor cecak yang sedang menanti mangsa.
Mulut A Liong ternganga menyaksikan kecepatan gerak orang tua itu. Namun demikian A Liong tak bisa membandingkan, mana yang lebih cepat dan lebih tangkas antara Mo Hou dan Soat Ban Ong. Seperti telah diketahui pada saat pertempuran itu berlangsung ALiong dalam keadaan pingsan.
Tapi yang jelas bagi A Liong kakek yang berada di depannya itu memang benar-benar hebat. Gerakan kakek itu sama sekali tak bisa diikuti dengan matanya. Bahkan kakek itu juga mampu menempelkan tubuhnya di langit-langit gua. Tubuh yang gemuk itu melekat seperti cecak.
“Maaf, Lo-Cianpwe... siauwte tak bisa menilai. Pengetahuan siauwte tentang ilmu meringankan tubuh sama sekali tidak ada” jawab Aliong sambil tersenyum malu.
Sesaat Ban Ong tertawa, lalu kembali ke depan A Liong, ia tidak mendesak lebih lanjut, karena dari sinar mata A Liong saja dia bisa menduga apa yang ada di dalam pikiran pemuda itu. “Jangan khawatir. Kami berdua sudah sepakat untuk mengajarkannya kepadamu. Meskipun kau tidak akan dapat mendalami rahasia ilmu Pondok Pelangi secara tuntas, tapi paling tidak kau dapat mengenal dan mainkan jurus-jurusnya. Dengan cara begitu tubuhmu akan selalu sehat dan cekatan, sehingga kau bisa bertahan seperti kami nanti.”
“Apa...? Mengapa harus tinggal di sini? Apakah Lo-Cianpwe berdua hendak menyandera aku?” A Liong menjerit ketakutan.
Kakek Soat Ban Ong tertawa. “Lala-la, tenang A Liong... tenang! Jangan menjerit-jerit begitu! Aku tidak bermaksud apa-apa. Aku tidak bermaksud menyandera kamu. Apa gunanya? Tanpa kami sanderapun kau tak mungkin bisa keluar dari kawasan ini. Kau lihat kami berdua, aku dan kakek Bok Kek Ong itu apakah kami berdua tak ingin keluar dari pulau ini dan kembali ke Pondok Pelangi? Telah enam puluhan tahun kami berada di sini dan entah sudah berapa ribu kali kami mencobanya. Tapi hasilnya? Padahal ilmu yang kami pelajari rasa-rasanya juga sudah cukup untuk modal menghadapi segala macam kesulitan. Nah...!” Ucapnya kemudian dengan suara renyah. Sama sekali tak ada kesan sedih ataupun kesal di wajahnya.
A Liong lah yang kemudian tertunduk sedih. Apa yang dikatakan orang tua itu tentu saja benar. Mereka tentu sudah kembali ke keluarganya kalau memang mampu. Mengapa harus susah-susah hidup sendirian di tempat terpencil seperti ini? Ingat akan hal itu A Liong menjadi sedih sekali. Tak terasa satu persatu wajah kawan-kawannya berkelebat di pelupuk matanya.
Mereka hidup susah dan selalu dalam kesulitan, namun mereka selalu bergembira. Selalu berbagi rasa dan berbagi rejeki bersama-sama. Bahkan setelah ia memisahkan diri, karena ingin bekerja dan mendapatkan uang sendiri, ia selalu menyempatkan diri menjumpai kawan-kawannya itu. Dengan gaji yang diperolehnya, ia sering mentraktir atau membeli makanan untuk berpesta bersama.
Kawan-kawannya itu tentu akan merasa kehilangan apabila lama dia tidak muncul. Pernah terjadi, gerombolannya itu berjalan berkeliling ribuan Lie jauhnya di daerah Tionggoan, dari kota yang satu ke kota yang lain, hanya untuk mencari dirinya. Waktu itu secara diam-diam ia pergi ke utara, keluar dari Tembok Besar untuk mencari pengalaman.
“Sudahlah, A Liong. Kau tidak perlu bersedih. Kau tidak boleh berputus asa. Setiap orang memiliki keberuntungannya sendiri-sendiri. Kami berdua memang tidak mampu keluar dari tempat ini, tapi siapa tahu Thian mentakdirkan lain buatmu? Nah, kalau memang nasibmu baik dan memperoleh jalan keluar dari tempat ini, kau harus tetap memiliki badan dan semangat yang sehat. Jangan menjadi manusia yang loyo dan sinting. Tidak akan ada gunanya lagi kalau waktu keberuntungan itu datang, engkau telah berubah menjadi sinting dan loyo. Benar tidak?”
Nasihat sederhana itu ternyata sangat mengena di hati A Liong. Ya, siapa tahu? Selama ini ia selalu memiliki semangat yang tinggi. Segala macam kesulitan dan kesengsaraan selalu diterimanya dengan penuh tawakal dan lapang dada. Dia tak pernah mengeluh ataupun menyesali nasibnya. Sebaliknya dia malah selalu pemberi semangat dan membesarkan hati teman-temannya.
Nah, kalau begitu mengapa sekarang dia harus bersedih? Tidak seorangpun tahu, apa yang akan terjadi besok atau lusa. Manusia : hanya wajib berusaha dan berikhtiar. Yah, siapa tahu nasibnya memang lain daripada kedua orang tua itu?
“Terima kasih, Lo-Cianpwe. Siauwte benar-benar beruntung bisa menjadi muridmu. Siauwte berjanji akan belajar dengan sepenuh hati. Mudah-mudahan siauwte mampu menerimanya sehingga tidak mengecewakan Lo-Cianpwe berdua.” A Liong segera berlutut di depan Kakek Soat Ban Ong.
“Bagus! Bagus! Aku tahu kau anak yang baik. Lalalala...” Orang tua itu merangkapkan kedua tangannya sambil menengadahkan kepalanya ke atas, ke langit-langit gua. Sepasang matanya tampak berkaca-kaca.
Demikianlah pada hari berikutnya A Liong sudah mulai belajar ilmu silat dari Kakek Soat Ban Ong. Karena A Liong pada dasarnya memang belum pernah belajar silat, maka Soat Ban Ong juga memulainya dari awal. “Hari ini kau berlatih menggerak-gerakkan kaki tanganmu dulu, agar urat-uratmu menjadi lemas dan mapan. Cobalah dengan berlari mengelilingi pulau ini!”
“Baik, Lo-Cianpwe.”
“Lalala, bagaimana kau ini? Panggil aku Suhu, dong!”
A Liong tertegun sebentar, namun segera menyadarinya. Bergegas ia menekuk lututnya. “Baik, Suhu.” Ia memberi hornat dengan bersemangat. “Murid akan segera berlari mengelilingi pulau ini.”
“Bagus! Nah, mulailah!”
A Liong mengangguk, kemudian bergegas ke pantai. Dengan bersemangat ia lalu berlari di atas pasir. Karena sejak kecil dia sudah terbiasa melakukan cara-cara pernapasan yang diajarkan oleh orang tua tak dikenal itu, maka sekarangpun secara otomatis dia juga melakukannya pula. Dengan hembusan dan tarikan napas yang teratur A Liong berlari perlahan. Kadang-kadang juga di dalam air yang dangkal.
Karena pulau itu memang kecil dan berpantai pasir landai, maka A Liong tidak menemui kesulitan untuk mengelilinginya. Bahkan sambil berlari dia sempat melihat-lihat panorama indah di sekitar pulau tersebut. Memang benar. apa yang dikatakan oleh gurunya kemarin, bahwa gugusan pulau itu terdiri dari beberapa buah pulau kecil-kecil. Malah antara pulau yang satu dengan pulau yang lain hampir melekat satu sama lain. Masing-masing hanya dibatasi oleh air setinggi lutut saja.
“Kelihatannya Suhu Bok Kek Ong tidak tinggal di pulau ini, tapi di pulau seberang itu.”
Sementara itu Soat Ban Ong mengambil beberapa macam jamur yang secara khusus ditanamnya di pulau itu. Dia ingin menyiapkan makan siang untuk A Liong nanti. Dia juga mengambil beberapa ekor ikan laut yang diternakkannya di dalam kolam. Kakek Soat Ban Ong memang pandai memasak. Ikan laut itu dioles dengan jamur yang telah dilumatkan, kemudian diberi bumbu dan dibakar di atas api. Beberapa waktu kemudian asapnya yang berbau gurih itu telah berhembus kemana-mana, memenuhi udara di atas pulau kecil itu.
“Hei kura-kura gemuk! kau mau berpesta, ya?” Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja Kakek Bok Kek Ong telah berdiri di dekat Soat Ban Ong.
“Lalalala, apa kataku? Mudah sekali untuk memanggilmu. Buat saja masakan yang enak, tanggung mukamu yang rusak itu akan segera muncul.” Soat Ban Ong tertawa meledek.
Tapi Bok Kek Ong tidak mempedulikan ejekan itu. Bahkan tanpa berbasa-basi lagi dia memungut ikan yang telah masak dan mencicipinya. Liurnya sampai menetes saking nikmatnya ia merasakan ikan laut bakar itu. “Bukan main...! Enak sekali! Cek... cek... cek.!"
“Wah! Wah! Masakan ini bukan untuk kita, Cacing Kurus! Ini untuk murid kita! Apakah kau tak melihat dia sedang berlari melemaskan otot-ototnya mengelilingi pulau ini? Huh, kau ini!”
Tiba-tiba Bok Kek Ong menengadahkan wajahnya. Mulutnya berhenti mengunyah. “Jadi... dia setuju menjadi murid kita?” katanya kemudian seperti tak percaya. Soat Ban Ong mengangguk. Bibirnya yang tertutup kumis dan jenggot lebat berwarna hitam legam itu tersenyum.
“Tapi kau tak memaksanya, bukan?” Bok Kek Ong menegaskan lagi.
“Tentu saja tidak. Kau ini ada-ada saja. Memangnya mudah mempelajari ilmu silat dari Pondok Pelangi? Apalagi tanpa keinginan dan semangat yang tinggi dari orang itu sendiri? Memaksa orang untuk belajar ilmu silat Pondok Pelangi, sama saja memaksa orang menjadi gila!”
Bok Kek Ong tertawa dan kembali mengunyah makanannya. “Wah, aku juga cuma bertanya saja, kok! Siapa tahu karena sulitnya mencari ahli waris, engkau lantas jual murah ilmu silat kita? Apalagi selama ini juga baru sekali ini ada orang yang mampu keluar dari pusaran iblis itu. Dan kebetulan pula orang itu adalah seorang bocah yang bertulang amat bagus.”
Soat Ban Ong ikut tertawa pula. sambil mengangkat pundak dia berkata santai. “Yah, kita memang orang yang beruntung. Karena selalu sabar dan tawakal, jerih payah kita selama ini akhirnya membuahkan hasil pula. Memang untuk mendapatkan ikan besar, diperlukan umpan yang sepadan pula. Bukankah begitu Lo Kek Ong (Si Tua Kek Ong)?”
Bok Kek Ong tidak menjawab. Tapi dia tersenyum, suatu hal yang tidak pernah dilakukannya selama ini. Biasanya setiap kali berhadapan dengan Soat Ban Ong, mereka tentu bertengkar dan berdebat. Bahkan kadang-kadang sampai berkelahi pula. Kelihatannya kedatangan A Liong tersebut telah mengubah perangainya. Karena Bok Kek Ong tidak menjawab, maka Soat Ban Ongpun tidak ambil pusing pula. Diambilnya ikan-ikan bakar yang telah masak itu, ditaruhnya di dalam mangkuk batu, lalu dibawanya ke pantai. Bok Kek Ong bangkit pula. Seperti seekor kucing ia mengikuti dari belakang.
“A Liong...! A Liong...!” Soat Ban Ong berseru. Sampai di atas hamparan pasir tiba-tiba Soat Ban Ong tertegun. Matanya terbelalak mengawasi bekas-bekas sepatu di atas pasir tersebut. Hampir saja mangkuk batu yang dibawanya itu terlepas.
Bok Kek Ong cepat menghampiri. “Ada apa, Lo Ban Ong (Si Tua Ban Ong)...?” Ia menegur.
Soat Ban Ong menunjuk ke bekas sepatu itu. “Banyak benar bekasnya! Berapa puluh kali anak itu mengelilingi pulau ini?”
“Lhoh... Memangnya kau suruh bagaimana dia?”
Soat Ban Ong menghela napas panjang. Matanya segera melongok kesana-kemari mencari bayangan A Liong. Dan wajahnya menjadi lega begitu melihat pemuda itu berlari mendatangi. “A Liong berhenti dulu!” Dia berteriak memanggil.
Pemuda itu berhenti di depan Soat Ban Ong. Namun serentak dilihatnya Bok Kek Ong juga ada di situ, A Liong cepat menghampiri dan berlutut di hadapannya. Bok Kek Ong menyembunyikan perasaan gembiranya. Tangannya meraih pundak A Liong dan ditariknya agar berdiri. Mereka saling berpandangan.
Tiba-tiba Bok Kek Ong tertegun menyaksikan wajah A Liong yang tampan itu sama sekali tidak berkeringat. Wajah pemuda itu masih tampak segar, seakan-akan tidak pernah berlari atau melakukan sesuatu yang menguras tenaganya. Bahkan pernapasannyapun tetap halus dan teratur. Sama sekali tidak tampak lelah atau tersengal-sengal.
Ternyata Soat Ban Ong menjadi heran melihat kenyataan tersebut. Melihat bekas sepatu yang ada di atas pasir, bisa dikira-kira kalau A Liong lebih dari puluhan kali melewati tempat itu. Tapi, mengapa pemuda itu sama sekali tidak kelihatan lelah? Bahkan berkeringatpun tidak?
“Anak baik, duduklah!” Akhinya Bok Kek Ong menyuruh A Liong untuk duduk di atas pasir.
“Benar, A Liong. Duduklah! Marilah kita kukuhkan secara resmi hubungan guru dan murid ini dengan berpesta ikan bakar...” Soat Ban Ong berkata pula.
“Lo Ban Ong...?” Bok Keng Ong berdesah. Ia tak tahu apa yang hendak dilakukan oleh Soat Ban Ong terhadap A Liong. Soat Ban Ong memberi tanda kepada kawannya itu.
“Kita berpesta dulu. Urusan yang lain kita bicarakan belakangan.”
Demikianlah siang hari itu Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong meresmikan A Liong sebagai murid mereka. Bok Kek Ong yang lebih tua daripada Soat Ban Ong disebut Toa-suhu, sedangkan Soat Ban Ong disebut dengan Ji-suhu. Selesai melakukan upacara sederhana, mereka berpesta ikan bakar yang dimasak oleh Soat Ban Ong tadi.
“Hmmmh! Omong-omong... sudah berapa kali kau mengitari pulau ini?” Selesai makan Soat Ban Ong segera bertanya kepada A Liong.
A Liong mengangguk. “Lima puluh kali, Suhu!”
“Lima... puluh kali?” Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong berseru hampir berbareng. Mata mereka terbelalak seolah tak percaya.
“Benar, Suhu. Mengapa? Apakah masih harus ditambah lagi?” A Liong bertanya dengan suara tegas.
“Ah, sudah cukup!” Soat Ban Ong buru-buru menggoyangkan tangannya.
Namun diam-diam Soat Ban Ong saling pandang dengan Bok Kek Ong. Sinar mata mereka menunjukkan perasaan heran, karena menurut cerita A Liong sendiri, pemuda itu belum pernah belajar ilmu silat. Tapi kenyataannya berlari dari pagi hingga siang hari, pemuda itu masih tetap segar bugar dan tidak mengeluarkan keringat yang berarti. Bahkan pernapasannya pun tetap biasa pula, tidak tersengal-sengal. Apakah sebenarnya yang terjadi? Apakah A Liong telah membohongi mereka?
Tapi, bagaimana dengan jejak-jejak sepatu di atas pasir itu? Tidak mungkin jejak itu tiba-tiba tercipta sendiri, seolah-olah ada sepasukan hantu yang berbaris di tempat itu. Satu-satunya kemungkinan memang hanya pada A Liong sendiri. Mungkin pemuda itu memang telah menyembunyikan kepandaiannya. Akhirnya Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong sepakat menanyakannya kepada A Liong.
“A Liong... tampaknya kau pernah belajar ilmu silat, ya? Kau tidak merasa lelah meskipun telah berlari sekian lamanya. Napasmu juga tidak tersengal-sengal pula...” Soat Ban Ong bertanya perlahan.
A Liong menatap kedua orang tua itu bergantian. Alisnya berkerut. Tapi sesaat kemudian otaknya yang cerdas segera menangkap kecurigaan mereka. Pemuda itu masih ingat akan keheranan Siau In ketika tubuhnya mampu menahan pukulan dayung. “Ah, maaf... suhu. Siauwte memang benar-benar belum pernah belajar ilmu silat. Tapi kalau yang Suhu maksudkan itu tentang cara-cara pernapasan untuk menguatkan tubuh, siauwte memang pernah mempelajarinya. Seorang kakek aneh mengajarkan kepada siauwte ketika siauwte masih kecil.”
“Cara-cara pernapasan? Dapatkah kau perlihatkan cara pernapasan itu kepada kami?” Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong berdesah hampir berbareng.
“Tentu saja, Suhu. Begini...” A Liong lalu duduk bersila di atas pasir. Punggungnya tegak lurus sampai kepala, sementara matanya menatap tajam ke arah ujung hidungnya sendiri. Kedua buah telapak tangannya yang terbuka terkatup rapat di depan dada. Kemudian dengan sikap yang amat tenang, serta penuh keyakinan, dia melakukan cara pernapasan seperti yang telah diajarkan oleh kakek aneh dulu.
Dan tak lama kemudian dari ubun-ubun A Liong mengepul asap tipis berwarna putih. Asap itu tidak buyar tertiup angin. Asap itu melayang ke atas perlahan-lahan, bagaikan ular kobra yang meliuk dan menari mengikuti irama suling. Dan anehnya asap itu makin lama makin pekat, bahkan warnanyapun juga berubah. Sedikit demi sedikit asap putih itu berubah menjadi merah.
Bukan main kagetnya hati Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong! Cara dan bentuk ilmu pernapasan itu mirip sekali dengan ilmu pernapasan mereka! Asap yang timbul di atas kepalapun nyaris sama pula. Perbedaannya, asap A Liong itu jauh lebih pekat dan lebih kental daripada asap milik mereka! Dan asap yang timbul di atas kepala A Liong cuma ada dua macam warna saja, yaitu merah dan putih.
Demikian pula dengan bentuk asapnya. Asap milik A Liong cuma bergerak naik di atas kepalanya. Sebaliknya asap yang mereka miliki bisa berubah-ubah dalam tujuh macam warna, sesuai dengan warna pelangi. Bentuknyapun tidak hanya mengepul di atas kepala, tetapi bisa menebar lembut menyelimuti badan.
Akan tetapi bagaimanapun juga kenyataan itu telah membuka mata Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong, bahwa A Liong memiliki sebuah ilmu pernapasan yang mirip dengan ilmu pernapasan dari Pondok Pelangi. Dan kenyataan itu benar-benar menggelitik hati mereka untuk menyelidikinya. Dengan sangat hati-hati Soat Bari Ong mendekati A Liong.
“Baiklah, A Liong... Kau...?” Ucapan Soat Ban Ong tiba-tiba terhenti ketika hidungnya mencium bau amis yang amat keras! Demikian kuatnya bau amis itu sehingga perut mereka menjadi mual dan mau muntah!
“Bau keringat! Kenapa bau keringat A Liong seperti ini?” Bok Kek Ong berseru kaget.
A Liong menghentikan latihannya. Wajahnya kelihatan bingung ketika Soat Ban Ong tiba-tiba mengulurkan tangannya dan meraba tempurung kepalanya. Bahkan Bok Kek Ong yang berdiri di belakangnyapun ikut-ikutan memeriksa beberapa jalan darah di sepanjang tulang belakangnya.
“Aaaaaah...!” Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong sama-sama berteriak kaget. Keduanya saling memandang, kemudian bersama-sama menganggukkan kepala mereka.
Ternyata dalam waktu yang bersamaan tadi mereka telah memeriksa tubuh A Liong. Soat Ban Ong meneliti bentuk tulang kepala A Liong, sedangkan Bok Kek Ong memeriksa susunan urat di sekitar tulang belakang. Dan ternyata mereka berdua menemukan hal-hal yang aneh dan mustahil! Ternyata beberapa buah urat penting di kanan-kiri tulang belakang A Liong, telah disusun secara khusus seperti halnya anak keturunan penghuni Pondok Pelangi.
Dan susunan tersebut telah dibentuk sejak A Liong lahir, sehingga tempurung A Liong telah tumbuh dalam bentuk yang khusus pula. Soat Ban Ong memegang pundak A Liong dan menatap wajah pemuda itu dengan tajamnya. Kalau semula mereka hanya berpendapat bahwa ilmu pernapasan A Liong sangat mirip dengan ilmu pernapasan mereka, kini mereka justru menjadi yakin bahwa ilmu yang dimiliki A Liong benar-benar ilmu dari Pondok Pelangi!
“A Liong! Katakan yang sebenarnya! Siapakah kau ini? Bukankah engkau datang dari Pondok Pelangi juga?”
Perubahan sikap gurunya itu benar-benar membingungkan A Liong. Dengan wajah pucat ia memandang Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong bergantian. Sinar matanya tampak bergetar, karena tidak mengerti apa yang sebenarnya dikehendaki oleh gurunya. “Lo-cian... Lo-Cianpwe! A-ada apa sebenarnya? Bukankah Siauwte... sudah mengatakannya? Siauwte anak seorang pengemis dan Siauwte... tidak tahu menahu soal Pondok Pelangi.”
A Liong berkata dengan suara gemetar, menandakan ucapannya itu benar-benar keluar dari lubuk hatinya. Dan sesungguhnya, baik Soat Ban Ong maupun Bok Kek Ong dapat merasakan juga. Tapi tanda-tanda khusus yang mereka temukan pada tubuh A Liong itu tidak mungkin salah lagi. Tanda-tanda itu persis seperti milik mereka! Tanda-tanda khusus bagi keturunan warga Pondok Pelangi! Mereka benar-benar pusing.
Di suatu pihak mereka percaya akan semua penuturan A Liong. Tapi di pihak lain mereka juga yakin bahwa anak itu tentu anak keturunan dari warga Pondok Pelangi. Hanya ada satu hal yang membuat mereka sedikit ragu akan kebenaran dugaan mereka itu, yaitu bau amis yang keluar dari badan A Liong. Penghuni Pondok Pelangi rata-rata memiliki bau harum, bau khas yang timbul bila mereka menghentakkan tenaga sakti mereka.
“A Liong, ketahuilah! Kami berdua benar-benar bingung melihatmu... semula kami memang percaya pada riwayat hidupmu. Tapi setelah menyaksikan kemampuanmu dan meneliti keadaan tubuhmu, kepercayaan tersebut menjadi kabur lagi. Ternyata sejak lahir susunan urat darahmu telah dibentuk sesuai dengan ilmu warisan dari Pondok Pelangi. Nah, hal itu berarti kau memiliki hubungan dengan Pondok Pelangi, karena hal itu tidak mungkin dilakukan oleh orang lain. Kecuali orang tuamu atau salah seorang dari para pengemis itu tahu tentang ilmu warisan tersebut. Dan kalau memang demikian halnya, berarti orang itu adalah orang dari Pondok Pelangi pula.” Soat Ban Ong berkata dengan hati-hati.
“Tapi... jangan khawatir! Kami masih tetap percaya pada ceritamu. Kau tentu takkan membohongi kami.” Bok Kek Ong ikut menambahkan.
Soat Ban Ong tersenyum. “Benar. Kami tetap percaya padamu. Tapi harap kau ingat juga, bahwa kami tetap berpendapat bahwa kau tentu seorang anak keturunan Pondok Pelangi. Hanya saja... Kami tak bisa menerka, apa yang dulu terjadi padamu. Mungkin kau memang keturunan seorang warga Pondok Pelangi yang terdampar di daratan Tiongkok.”
“Namun demikian kami juga belum yakin pula pada dugaan itu, karena... tiba-tiba badanmu mengeluarkan bau amis yang amat menyengat! Padahal ilmu pernapasan dari Pondok Pelangi justru mengakibatkan bau harum pada pemiliknya, bukan bau amis seperti itu.” Bok Kek Ong menambahkan lagi.
Soat Ban Ong mengangguk. “Itulah sebabnya kami menanyakan lagi asal-usulmu. Tapi kalau kau memang benar-benar tidak tahu, kami berdua juga memakluminya. Mungkin kau memang anak keturunan warga Pondok Pelangi, yang ditemukan oleh kawanan pengemis, yang kemudian menjejalimu dengan makanan-makanan kotor, sehingga bau keringatmu menjadi amis” ketika mengerahkan tenaga Bok Kek Ong menepuk pundak A Liong.
“Tapi bisa juga kau bukan anak keturunan Pondok Pelangi. Mungkin memang anak pengemis yang pada saat kelahiranmu mendapat pertolongan dari seorang warga Pondok Pelangi. Dan orang itu kebetulan menyukaimu, semua ingin mengangkatmu sebagai murid, sehingga ia mempersiapkan susunan urat-urat di dalam tubuhmu.”
“Maksud Suhu... orang tua yang mengajariku ilmu pernapasan itu? Tapi... orang itu hanya sekali saja bertemu denganku.” A Liong mencoba mengikuti jalan pikiran gurunya.
“Mungkin juga. Yah, siapa tahu? Kau bisa menanyakannya bila bertemu nanti! Lalalalala...! Kulihat riwayat hidupmu sangat aneh dan menarik. Kurasa masih ada suatu rahasia yang belum kau ketahui. Kau kelihatan berbeda dangan anak-anak sebayamu. Dan kau tidak sesuai menjadi seorang anak pengemis. Kau tentu bukan anak sembarangan. Tapi... yah, sebaiknya kau menyelidikinya sendiri nanti. Lalalalala...!” Soat Ban Ong yang suka melucu itu tertawa.
A Liong tercenung diam. Kata-kata gurunya itu benar-benar tercerna ke dalam hatinya. Rahasia? Benarkah masih ada rahasia yang belum diketahuinya? Apakah itu? Selama ini A Liong memang tidak pernah memikirkan siapa dirinya. Dia sudah pasrah akan nasibnya dan ia tak pernah mempersoalkan siapa orang tuanya, la sudah menganggap dirinya sebagai bagian dari kelompok pengemis itu. Tapi kata-kata gurunya itu masuk akal juga. Selama ini nasibnya, jalan hidupnya, memang tampak berbeda dengan para pengemis yang lain. Benarkah ia bukan keturunan mereka? Lalu anak siapakah dia sebetulnya?
“Tapi... apa yang telah siauwte ceritakan itu memang benar, Lo-Cianpwe. Siauwte tidak berbohong.” Akhirnya A Liong berkata dengan memelas.
“Ya, ya, kami tahu. Itulah sebabnya kami tetap menginginkan kau menjadi murid kami.” Soat Ban Ong mengiyakan.
“Sekarang kami akan menguji dululu. sebelum kami memberi pelajaran silat.” Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong lalu membawa A Liong ke tempat yang lebih datar. Mereka duduk melingkar saling berhadapan.
“Sekarang... coba kau kerahkan ilmu pernapasanmu tadi, lalu pukullah telapak tanganku ini!” Soat Ban Ong mengangkat tangannya ke depan.
“Memukul? Tapi cara pernapasan itu hanya digunakan untuk melawan hawa dingin, Suhu.”
“Sudahlah! Kau turuti saja perintah kami!” Bok Kek Ong menimbrung.
Meskipun agak ragu, tetapi A Liong melaksanakan juga perintah itu. Setelah mengerahkan ilmu pernapasannya, sehingga uap putih mengepul di atas kepalanya, tangannya diayun ke depan, ke arah telapak tangan gurunya.
“Whuuuuuut... Dhug!”
A Liong meringis kesakitan. Buku tangannya bagaikan membentur sebongkah batu karang! Sebaliknya Soat Ban Ong merengut karena kecele. Dia terlanjur mengerahkan sebagian besar tenaga dalamnya, karena ia melihat pekatnya asap yang mengepul di ubun-ubun A Liong. Namun pukulan yang terlontar dari tangan pemuda itu ternyata tak berisi apa-apa. Bocah itu benar-benar tak tahu ilmu siat. Tidak tahu cara menyalurkan tenaga sakti untuk menyerang lawan! Orang tua itu memandang Bok Kek Ong untuk menanyakan pendapatnya.
“Baiklah! Kalau memang dia hanya membutuhkan ilmu itu untuk bertahan terhadap udara dingin, artinya dia bisa menggunakannya untuk mempertahankan diri. Sekarang... biarlah dia tetap bertahan! Kau saja yang menyerangnya!” Bok Kek Ong berkata.
“Menyerang dia? Hei, kau jangan main-main! Bocah ini bisa lumat oleh pukulanku!”
“Belum tentu! Apakah kau tidak melihat asapnya tadi? Asapmu belum tentu setebal itu!”
“Tapi...?” Soat Ban Ong bergumam ragu.
“Yah, tentu saja kaupun harus melihat keadaan pula. Terlalu meremehkan, kau bisa celaka. Tapi terlalu bernafsu, kau juga bisa membunuhnya. Nah, lakukanlah!”
“Tidak! Kalau begitu kau saja yang menguji dia! Tenaga dalammu lebih baik daripada aku. Kaulah yang bisa mengaturnya.”
Bok Kek Ong yang kurus itu menarik napas panjang. Terpaksa dia mengambil alih ujian itu. Sambil menggeser badannya ia mengangguk kepada A Liong. “Baiklah! Nah, A Liong... Kau lakukan lagi cara pernapasan itu! Berbuatlah seperti kalau kau bertahan terhadap udara dingin dan aku akan mencoba menghembuskan udara dingin kepadamu. Berusahalah untuk bertahan! Syukur kau bisa menolak atau menentangnya!”
“Baik, Suhu!” Sekali lagi A Liong melakukan cara-cara pernapasannya. Begitu uap putih yang keluar dari ubun-ubunnya berubah menjadi merah.
Maka Bok Kek Ong juga mengerahkan tenaga dalamnya. Uap putih mengepul pula menyelimuti tubuh Bok Kek Ong, seakan-akan tubuh yang kurus itu telah berubah menjadi sebongkah es yang dingin. Lalu perlahan-lahan tangan orang tua itu mendorong ke depan. Serangkum udara dingin meluncur menuju ke dada A Liong. Desau suaranya seolah-olah mengalahkan suara angin yang bertiup dari arah barat. Untuk menguji kekuatan A Liong, Bok Kek Ong sengaja mengeluarkan sepertiga dari seluruh tenaga saktinya.
A Liong tidak bereaksi atau berbuat apa-apa, selain tetap meneruskan semadinya. Di dalam hatinya hanya ada satu keinginan, yaitu melawan hawa dingin yang tiba-tiba membentur dadanya. Dan apa yang terjadi kemudian benar-benar membuat kecut hati Bok Kek Ong. Hentakan udara dingin dari telapak tangannya tiba-tiba terserap ke dalam aliran darah A Liong dan ikut berputar di dalam tubuh, kemudian keluar melalui ubun-ubun dalam bentuk asap putih yang semakin tebal.
Bok Kek Ong terkejut. Dorongan tenaga saktinya itu cukup untuk membunuh seekor kerbau liar, namun kenyataannya tak selembar rambutpun tergoncang dari tubuh A Liong. Bahkan dari raut wajahnya, pemuda itu sama sekali tak merasakan gangguan tersebut. Bok Kek Ong menambah tenaganya. Dan kali ini kedua telapak tangannya bersama-sama mendorong ke depan, menggempur dada A Liong dengan dua pertiga bagian dari seluruh kekuatannya.
“Lo Kek Ong (Si Tua Kek Ong)...!” Soat Ban Ong berseru kaget, karena kekuatan Bok Kek Ong itu dapat melemparkan seekor gajah dengan gampangnya.
Tapi kekuatan A Liong benar-benar mentakjubkan. Begitu mendapat serangan yang lebih kuat, kekuatan yang terpendam di dalam tubuhnya tiba-tiba juga bereaksi dengan keras pula. Segumpal hawa panas otomatis muncul dari bawah pusarnya, kemudian berputar dengan cepat ke arah seluruh jalan darah di tubuhnya, membentuk asap tipis yang membungkus kulitnya. Tiupan angin dingin yang meluncur dari tangan Bok Kek Ong itu menggempur asap tipis yang menyelubungi badan A Liong!
Terdengar suara desis yang keras sekali, seperti suara bara api tersiram air. Asap mengepul semakin tebal di sekeliling tubuh A Liong, namun pemuda itu seperti tak merasakan apa-apa. Bahkan ketika Bok Kek Ong menjadi penasaran dan kemudian menghentakkan pukulan udara kosongnya, tiba-tiba timbul daya tolak yang hebat dari tubuh A Liong!
“Wuuuuuus...! Blugh!” Badan Bok Kek Ong yang kurus itu terlempar tinggi ke udara, kemudian terhempas kembali ke atas pasir! Untunglah orang tua itu sudah menduganya lebih dahulu, sehingga tubuhnya tidak terbanting ke pasir, tapi mendarat dengan ringan bagaikan segumpal kapas tertiup angin! Untuk sesaat air muka Bok Kek Ong menjadi merah padam. Dia benar-benar tak mengira kalau A Liong memiliki tenaga simpanan sedahsyat itu!
Sementara itu A Liong telah membuka matanya, dengan penuh harap ia menunggu pendapat kedua orang tua itu sama sekali tak disadarinya, bahwa ia baru saja melemparkan Bok Kek Ong ke udara.
Soat Ban Ong buru-buru menghampiri sahabatnya. “Kau tidak apa-apa?”
Bok Kek Ong menggelengkan kepalanya. “Untung bukan engkau yang mengujinya. Kalau kau yang maju, niscaya salah seorang dari kalian akan mati di tepian pantai ini...”
“Ya-ya-ya, kulihat... Kulihat tenaganya hebat sekali!”
“Hebat sekali!” Bok Kek Ong melirik ke arah A Liong, lalu mengangguk kuat-kuat. “Anak itu... benar-benar mempunyai tenaga ajaib. Dan... Ia sama sekali tak menyadarinya. Yang dia ketahui... tenaga itu hanya dipergunakan untuk menolak hawa dingin. Wah, Lo Ban Ong... jangan-jangan dia masih menyimpan tenaga yang lebih besar lagi!”
Soat Ban Ong menatap sahabatnya mata melotot. “Maksudmu... Maksudmu lwekangnya masih lebih tinggi lagi. Waduh kalau begitu kita harus mengujinya lagi, kita harus tahu sampai dimana kekuatannya agar kita dapat menyesuaikan dengan pelajaran silatnya nanti.”
Bok Kek Ong mengerutkan keningnya. Kedua alisnya yang berbeda warna itu seolah-olah menumpuk jadi satu di tengah dahi. “Baiklah...!”
“Bagaimana, Suhu?” A Liong tidak sabar lagi menantikan jawaban gurunya.
“Aku belum selesai, A Liong. Coba, kau ulangi lagi cara pernapasanmu tadi! Aku akan mengujimu kembali.”
A Liong berdesah pajang. Ia kelihatan kurang bergairah untuk melaksanakan perintah itu. Tapi apa boleh buat, ia terpaksa melakukannya juga. Demikianlah, ketika asap putih di atas kepala A Liong sudah berubah menjadi merah, Bok Kek Ong segera mengerahkan lwekangnya pula. Karena dengan dua pertiga bagian tenaganya belum dapat mengusik kekuatan A Liong, maka kini Bok Kek Ong mengerahkan hampir seluruh tenaga saktinya.
Terdengar suara gemeratak di dalam tubuh kurus itu, seolah-olah tulang-tulangnya pada berpatahan. Untuk menguji kekuatannya, orang tua itu menepuk batu karang di sampingnya. Perlahan-lahan saja. “Plaaak...!” Tapi batu karang sebesar kerbau itu tiba-tiba merekah dan terbelah menjadi dua bagian!
Melihat demikian besar kekuatan yang dipersiapkan untuk menguji A Liong, Soat Ban Ong berteriak khawatir. “Lo Kek Ong, hati-hati! Kalau anak itu sampai mati, kau harus bertanggung jawab!”
Bok Kek Ong tersenyum untuk menenangkan hati sahabatnya. Lalu perlahan-lahan tangannya terangkat ke atas. “Wuuuuuus...!” Sekonyong-konyong tangan itu menerkam ke bawah, menuju ke dada A Liong! Angin dingin menyambar dengan dahsyatnya seolah-olah hendak membelah tubuh pemuda itu!
“Kek Ong, awas... Kalau sampai cedera, kubunuh kau!” Di dalam puncak kekhawatirannya Soat Ban Ong menjerit keras sekali.
“Thaaaaaas! Klaaaak!” Tak ada benturan! Tak ada suara kesakitan! Tapi hanya suara tepukan yang lemah!
Namun apa yang terlihat di arena sungguh diluar dugaan! Dalam posisi tetap berdiri Bok Kek Ong masih menempelkan telapak tangannya yang penuh tenaga itu di dada A Liong! Sedang pemuda itu sendiri juga tetap dalam keadaan duduk bersamadhi seperti semula. Bedanya, kalau wajah A Liong tetap tenang, segar dan bersih, sebaliknya wajah Bok Kek Ong tampak merah padam, kaku dan penuh keringat! Bahkan mata orang tua itu tampak melotot menahan sakit!
Sekejap Soat Ban Ong tak tahu apa yang terjadi di antara mereka. Tapi ketika tampak olehnya sinar mata ketakutan di wajah sahabatnya itu, ia baru menyadari apa yang terjadi. Bok Kek Ong mendapat kesulitan besar! “A Liong...! Hentikan! Hentikan ilmu pernapasanmu!” Sambil berteriak Soat Ban Ong melesat ke belakang Bok Kek Ong. Kemudian dengan cepat ia mengerahkan tenaga saktinya dan menepuk punggung sahabatnya itu.
“Plaaaak!” Arus tenaga yang amat kuat mengalir dari dalam tubuhnya, membanjir ke dalam tubuh Bok Kek Ong, dan berbaur menjadi satu. Dengan tenaga gabungan itu mereka melawan daya sedot yang keluar dari dada A Liong! Sedikit demi sedikit Soat Ban Ong meningkatkan penyaluran tenaga saktinya. Tapi betapa kagetnya dia ketika seluruh kekuatan lwekangnya telah terhentak keluar, tenaga gabungan mereka tetap tak dapat mengatasi daya sedot yang keluar dari dalam tubuh A Liong!
Sekarang mereka benar-benar dalam kesulitan! Mereka tak kuasa untuk mengalihkan perhatian lagi. Sedetik saja mereka melepaskan konsentrasi, nyawa mereka akan melayang! Yang bisa mereka lakukan sekarang hanyalah bertahan. Bersama-sama mereka menghentakkan seluruh sisa-sisa tenaga mereka. Keringat sampai membanjir membasahi pakaian mereka. Bahkan sesaat kemudian tangan dan kaki mereka mulai bergetar.
Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong mulai berpikir untuk berdoa ketika daya sedot itu mendadak hilang. Ternyata pada saat-saat terakhir A Liong telah menghentikan semadinya. Teriakan Soat Ban Ong tadi telah menyadarkannya, meskipun agak lambat. A Liong membuka matanya. Melihat dua orang gurunya terlentang tumpang tindih di depannya, wajahnya segera menjadi pucat ketakutan. Bergegas ia berlutut memohon maaf.
“Suhu! Apakah... apakah siauwte telah berbuat salah?”
Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong bangkit dengan cepat. Mereka saling pandang dengan wajah merah. Mereka hampir-hampir tidak percaya akan kejadian itu. Bagaimana mungkin seorang anak berusia lima belas tahun dapat mengalahkan tenaga gabungan yang telah mereka himpun selama lima puluhan tahun?
Sungguh tidak masuk akal! Kekuatan sedahsyat itu hanya bisa diperoleh setelah berlatih selama seratus tahun! Mungkinkah A Liong seorang anak ajaib yang muncul setiap lima ratus tahun sekali? Kalau memang demikian halnya, mereka benar-benar beruntung. Mereka mendapatkan bibit unggul untuk mewarisi ilmu mereka. Dan kenyataan itu sungguh sangat menggembirakan mereka...