Pendekar Pedang Pelangi Jilid 16

Sonny Ogawa
Cerita silat Mandarin karya Sriwidjono

Setelah membersihkan pasir yang mengotori pakaian mereka. Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong mendekati A Liong kembali. Kini cara mereka memandang kepada A Liong telah berubah, “A Liong! kau tahu apa yang baru saja terjadi? Hmm, kau telah mengalahkan kami berdua. Rasa-rasanya kami tak mungkin lagi menjadi gurumu...” Bok Kek Ong berkata tegas.

“Suhu...?” A Liong berseru kecewa, “Siauwte benar-benar tak tahu apa-apa. Siauwte belum pernah belajar silat. Belum pernah berguru kepada siapapun juga. Siauwte hanya pernah diajari cara bernapas untuk mengusir hawa dingin oleh seorang kakek asing. Itupun hanya sekali saja, ketika siauwte berumur lima atau enam tahun! Suhu, siauwte berkata sebenarnya! Jangan tolak aku! Berilah aku kesempatan untuk berguru kepadamu...!”

Sekali lagi kedua orang tua itu saling pandang satu sama lain. Mereka saling bertukar pendapat. Akhirnya Soat Ban Ong menganggukkan kepalanya. “Baiklah, A Liong. Kami memang percaya padamu. Kami menyadari bahwa hal-hal aneh dan ajaib itu, tentu bukan karena kehendakmu sendiri. Kami juga tahu bahwa sampai sekarangpun kau juga belum tahu apa yang telah terjadi pada dirimu. Ada suatu rahasia besar yang tampaknya menyelubungi kehidupanmu.”

“Jadi...?”

“Yah! Kami tetap akan mengajarimu ilmu silat, agar kekuatanmu itu bisa dikendalikan dan dipergunakan dengan baik.”

Betapa leganya hati A Liong! Untuk beberapa saat dia menatap wajah kedua gurunya itu dengan air mata berlinang. Kemudian dengan bersemangat ia berlutut dan menghentakkan dahinya berulang-ulang ke atas pasir.

“Sudahlah, silakan kau berdiri! Kami berdua akan meneliti keadaan tubuhmu dulu. Kami ingin tahu di mana letak keajaibanmu itu.”

“Silakan, Suhu! Silakan...!” A Liong melepas bajunya. Demikian pula dengan celana luarnya, sehingga ia hanya mengenakan celana dalam saja.

Soat Ban Ong dan Kek Ong benar-benar kagum menyaksikan badan yang tegap dan penuh otot itu. Sungguh seorang anak yang sehat dan berbakat untuk belajar silat! Ketika tampak oleh mereka gambar “tato naga” di dada A Liong, mereka saling memandang dengan kening berkerut. Ternyata mereka berdua, yang belum pernah menginjakkan kaki di daratan Tiongkok, tidak mengenal tanda itu.

Mereka juga belum pernah mendengar bahwa di dunia kang-ouw ada partai persilatan yang memiliki tanda khusus seperti itu. Tak heran kalau akhirnya mereka menggeleng-gelengkan kepala tanda tak tahu. Soat Ban Ong menarik napas panjang sambil memandang A Liong.

“A Liong! Apakah kau ingat, siapa yang melukis gambar tato naga di dadamu itu?”

A Liong menunduk, melihat gambar tato naga di dadanya kemudian menggeleng. “Tidak, Suhu. Sejak kecil gambar ini sudah ada di sini. Semua orang yang mengenal aku juga mengatakan demikian. Itulah sebabnya orang memanggilku... A Liong (Si Naga)!”

Soat Ban Ong menatap mata Bok Kek Ong, demikian pula sebaliknya. Keduanya sama-sama berpikir bahwa gambar itu tentu ada artinya. Tapi, apakah itu? “Bagaimana dengan pengemis-pengemis tua di kelompokmu? Apakah mereka juga tidak tahu?”

Sekali lagi A Liong menggelengkan kepalanya. “Mereka juga tidak tahu, Suhu. Ketika orang tua angkatku membawa aku ke dalam kelompok pengemis itu dan bergabung dengan mereka, gambar ini juga sudah ada. Tak seorangpun bisa menghapusnya, walaupun telah dibubuhi bermacam-macam obat penyembuh luka. Sampai orang tua angkatku tiada dan aku berkeliaran sendiri bersama kelompokku, gambar ini tetap menempel di sini. Bahkan semakin bertambah umur, gambarnya juga semakin jelas.”

“Dan... Kau tak pernah berusaha untuk mencari tahu makna gambar itu? Setidak-tidaknya ingin tahu, siapa sebenarnya engkau ini?” Bok Kek Ong bertanya.

A Liong terhenyak. Matanya terbuka lebar, seolah-olah pertanyaan itu sangat aneh dan mengejutkannya. Tapi rasa kaget itu hanya sekejap. Di lain saat kepalanya telah tertunduk kembali. “Siapa sebenarnya aku? Ah, Suhu! Bukankah aku anak gelandangan yang tak punya ayah-ibu? Aku lahir di tempat sampah, seperti teman-temanku yang lain. Lalu, apa yang harus dicari?”

Bok Kek Ong tertawa sambil menggoyangkan tangannya. “Aaah, pendapat itu terlalu picik dan tidak masuk akal, A Liong. Mungkin kawan-kawanmu memang anak keturunan pengemis yang lahir di tempat sampah. Tapi, kau? Rasanya tak seorangpun mau percaya kalau kau katakan dirimu seorang tidak memiliki ayah-ibu, apalagi lahir di tempat sampah seperti katamu tadi. Sikap dari kepribadianmu sama sekali tak mencerminkan hal itu. Kami justru beranggapan bahwa kau memiliki asal-usul yang menarik. Kau bukan keturunan manusia sembarangan. Dari gambar tato naga itu bisa diduga bahwa kau berasal dari keluarga atau golongan yang punya nama di tengah-tengah masyarakat ramai. kau... atau teman-temanmu seharusnya tahu atau berpikir tentang hal itu.”

A Liong tertegun. Matanya, terbelalak lebar menatap wajah gurunya. Ucapan orang tua itu bagaikan kilatan petir yang tiba-tiba menyeruak menerangi otaknya. Benarkah apa yang dikatakan orang tua itu? “Maaf, Suhu. Siauwte... siauwte memang tak pernah memikirkannya. Kami, anak-anak pengemis, tidak pernah berpikir tentang kehidupan. Setiap hari kami hanya berjuang untuk tetap hidup dan tak pernah berpikir tentang asal-usul kami. Apalagi harus berpikir tentang hari esok. Kami sudah pasrah pada nasib yang telah diberikan kepada kami.”

A Liong berhenti sejenak. Kemudian dengan nada yang agak bersemangat ia meneruskan. “Tapi ucapan Suhu tadi, rasanya... ada benarnya juga. Kadangkala terlintas juga dalam pikiran siauwte tentang hal itu. Benarkah aku ini anak seorang pengemis? Kalau benar, mengapa keadaanku banyak berbeda dengan anak-anak pengemis lainnya? Mengapa hanya aku yang memiliki gambar tato naga ini? Mengapa hanya aku pula yang memiliki benjolan di pusar. Dan mengapa hanya aku juga yang mempunyai tubuh sehat dan kuat? Suhu benar! Seharusnya aku sudah memikirkan sejak dulu dan tidak terlena oleh anggapan tentang anak sampah itu. Tidak mungkin manusia lahir dari sampah. Aku tentu mempunyai ayah-ibu...”

Soat Ban Ong beringsut mendekati A Liong dan menepuk pundaknya. “Nah, kalau kau bisa keluar dari tempat ini, kau selidikilah asal-usulmu! Jangan sampai kau menyesal di kemudian hari! Siapa tahu orang tuamu masih mencarimu sampai sekarang!”

“Suhu...???” A Liong berseru dengan wajah pucat.

“Sudahlah! Kau tak usah memikirkannya sekarang! Setelah tamat belajar silat nanti, kau boleh memikirkannya lagi! Sekarang duduklah! Biar kami meneliti keadaan di dalam tubuhmu. Mudah-mudahan kami bisa menemukan rahasia kehebatanmu tadi, sehingga kami dapat menemukan cara yang tepat dalam memberi tuntunan silat kepadamu.”

“Benar, kau tak usah memikirkannya sekarang. Kini bersiap sajalah untuk kami periksa keadaan di dalam tubuhmu...!” Bok Kek Ong menambahkan.

Demikianlah dengan sangat hati-hati, kedua orang tua itu mencoba mencari, di mana letak rahasia tenaga sakti A Liong. Soat Ban Ong duduk di depan sambil menempelkan kedua telapak tangannya di dada A Liong. Sedangkan Bok Kek Ong bersila di belakang dengan tangan melekat di punggung pemuda itu. Masing-masing berusaha menyusupkan tenaga dalamnya ke tubuh A Liong dengan hati-hati. Begitu ada perlawanan dari tenaga dalam A Liong, mereka cepat-cepat menariknya kembali dan berpindah ke bagian lain.

Keringat mulai menitik di dahi Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong. Meskipun tidak sedang bertempur, namun cara mereka mengerahkan tenaga dalam secara khusus itu benar-benar menguras tenaga mereka. Dan semakin turun mendekati pusar A Liong, loncatan tenaga balik yang diakibatkan oleh daya tolak pemuda itu semakin kuat. Sedikit saja tenaga dalam kedua orang tua itu tersalur, maka sebuah kekuatan yang maha dahsyat segera menyembur keluar dari bawah pusar A Liong!

Terlambat sedetik saja menarik saluran tenaga mereka, nyawa merekalah taruhannya! Untunglah dengan cara dari muka dan belakang, otomatis tenaga dahsyat itu terbelah menjadi dua jurusan. Namun demikian tetap saja mereka berdua tak kuasa menghadapinya. Ketika sampai di bawah pusar, dimana benjolan sebesar ibu jari itu berada, telapak tangan Soat Ban Ong bergetar dengan hebat. Belum juga tenaga dalam orang tua itu tersalur, tempat itu sudah bergolak seperti kepundan gunung api!

Mata Soat Ban Ong terbeliak ketakutan. Tangannya yang menempel di atas benjolan itu tiba-tiba seperti tersedot ke dalam perut A Liong! Untunglah Bok Kek Ong yang berada di belakang A Liong, segera tanggap akan bahaya yang menimpa sahabatnya! Kedua jari telunjuknya buru-buru ditekuk, kemudian menekan jalan darah keh-ping-hiat di kanan kiri tulang pinggul A Liong! Untuk sedetik daya sedot dari perut A Liong seperti terhambat.

Dan kesempatan tersebut tidak disia-siakan oleh Soat Ban Ong. Kakek itu cepat menarik tangannya hingga terlepas! Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong bangkit berdiri sambil menyeka keringat mereka. Hampir saja mereka mendapat kesulitan lagi. Untung mereka bisa menyelamatkan diri. Kedua orang tua itu memandang A Liong dengan kagum sekali. Sekarang mereka sudah mengetahui rahasia kekuatan A Liong.

Pemuda itu memiliki sesuatu yang aneh di dalam perutnya, yang membuat tenaga dalamnya menjadi berlipat ganda kekuatannya. Tapi mereka tidak tahu, benda apa yang tersimpan di sana. Dan hal ini semakin meyakinkan mereka, bahwa asal-usul A Liong tidaklah seperti yang diceritakannya. Tentu ada rahasia tersembunyi dalam asal-usulnya, yang tidak diketahui oleh anak muda itu sendiri.

“A Liong...! Sekali lagi kau membuat kaget kami berdua! Ternyata di dalam perutmu tersimpan barang aneh, yang membuat tenaga saktimu (sinkang) menjadi tidak terukur tingginya! Kami tidak tahu barang apa itu, tetapi yang jelas barang tersebut telah berada di dalam perutmu sejak kau lahir di dunia. Dan kami yakin benda itu tidak berada begitu saja di dalam badanmu. Tentu ada orang yang sengaja memasukannya. Dan orang itu tentu mempunyai hubungan dekat denganmu. Mungkin orang tuamu yang aseli, atau keluargamu yang lain. Dan mereka tidak mungkin orang biasa, apalagi seorang pengemis atau gelandangan! Benda-benda langka seperti itu biasa dimiliki oleh tokoh-tokoh sakti atau orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi di masyarakat!”

A Liong menatap gurunya dengan wajah kosong. Semua yang dikatakan orang tua itu merupakan hal-hal baru yang belum pernah dipikirkannya. Namun, demikian apa yang mereka katakan itu terasa mengandung kebenaran. Bahkan pikiran dan perasaannya dapat menerimanya. “Suhu maksudkan... suhu maksudkan benjolan di bawah pusarku ini? Memang dari sinilah bau amis itu bermula...”

Baik Soat Ban Ong maupun Bok Kek Ong menganggukkan kepalanya. “Ya! Untunglah selama ini tak ada orang yang berusaha mengambilnya. Benda itu merupakan sumber bahaya bagimu, sebab setiap orang tentu ingin memilikinya. Terutama orang-orang dari dunia persilatan!”

“Aaah...!” A Liong berdesah ketakutan.

Tapi Soat Ban Ong cepat mengelus pundak A Liong. “Jangan khawatir, A Liong! Kami akan mengajarimu mengendalikan kekuatan itu. Setelah kau mampu mengendalikannya, hmmmmm... tak seorangpun di dunia ini dapat mengalahkanmu. Termasuk kami berdua, bahkan Ketua Pondok Pelangi sendiri! Meskipun ilmu silatnya sangat sempurna, tapi kekuatannya takkan bisa menandingimu!”

“Ketua Pondok Pelangi? Siapakah dia, Suhu?” A Liong bertanya kaget.

Soat Ban Ong terbelalak. Ternyata tanpa disadari mulutnya telah kelepasan omong. Sebenarnya dia dan Bok Kek Ong tidak ingin bercerita tentang ketua Pondok Pelangi. Tapi kata-kata itu telah terlanjur keluar dan tak bisa dijilatnya kembali. Memang sebenarnya mereka enggan bercerita tentang Pondok Pelangi. Selain mereka berdua berasal dari tempat itu, mereka juga memiliki keluarga dan sanak saudara di sana. Bahkan mereka berdua mempunyai kedudukan tinggi dalam sistim pemerintahan di kepulauan kecil itu.

“Suhu, mengapa Suhu diam saja? Apakah dia musuhmu? Apakah dia pula yang mengasingkan Suhu ke mari?”

Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong tersentak. “Ah, tidak...! Bukan begitu...!” Mereka buru-buru menerangkan. Demikianlah, karena tak ingin terjadi salah pengertian pada A Liong, maka kedua orang tua itu terpaksa berbicara tentang Pondok Pelangi!

Kepulauan kecil yang jauh terpencil dari dunia ramai itu hanya berpenduduk sekitar dua ribu orang. Mereka hanya terdiri dari tiga nama keluarga, yaitu Soat, Souw dan Bok. Masing-masing marga atau keluarga itu mempunyai seorang Kepala Marga, yang sangat dijunjung tinggi oleh marganya. Mereka adalah orang yang paling dituakan dan paling tinggi ilmu silatnya di antara warganya. Dan sebagai kepala pemerintahan atau Pemimpin dari Negeri Kepulauan itu dipilih salah seorang dari tiga Kepala Marga tersebut.

Orang itu akan bertindak sebagai raja di kepulauan kecil tersebut. Hampir sepanjang tahun negeri itu dibalut oleh udara dingin. Hanya beberapa bulan saja mereka melihat wajah matahari. Mereka biasa beternak rusa dan anjing, sementara kaum wanitanya menanam rumput laut, jamur-jamur karang dan tanaman obat-obatan. Penduduk kepulauan itu memiliki sebuah keistimewaan, yaitu ilmu silat keturunan yang hanya bisa diwarisi oleh kalangan mereka sendiri.

Ilmu silat keturunan itu telah berabad-abad diwariskan kepada mereka oleh nenek-moyang Keluarga Soat, Souw dan Bok. Ilmu silat keturunan itu diciptakan berdasarkan kekhususan daerah itu, yaitu kabut pelangi yang selalu menyelimuti kepulauan tersebut. Nenek moyang mereka menyebut ilmu silat itu dengan Ilmu Silat Cahaya Pelangi!

Konon kabarnya ilmu silat itu merupakan sumber dari segala ilmu silat Tiongkok asli, sebelum Tat-mo Cou-su membawa ilmu silat baru dari India. Sayang sekali, sekitar lima abad yang lalu salah seorang warga mereka melarikan diri dari kepulauan itu. Warga mereka yang bernama Souw Gi itu menjadi nekad karena patah hati. Cintanya ditolak oleh gadis dari Marga Bok.

Tapi kepergian Souw Gi itu ternyata dengan membawa Pedang Pusaka kaum mereka, yaitu Pedang Pelangi! Semua itu bisa terjadi karena ayah Souw Gi adalah Kepala Marga Souw yang terpilih sebagai Ketua Pondok Pelangi! Ayah Souw Gi membentuk pasukan khusus untuk mencari pedang pusaka serta anaknya. Pasukan pilihan yang terdiri dari sepuluh orang itu berangkat dengan perahu-perahu kecil. Mereka menyebar ke segala penjuru.

Namun bertahun-tahun kemudian, hingga ayah Souw Gi meninggal dan digantikan oleh ketua yang baru, pasukan pilihan itu tidak pernah kembali. Begitu pula ketika Ketua yang baru membentuk pasukan pilihan lagi dan mengirimkan mereka keluar pulau, tidak seorangpun kembali pulang. Sejak itu setiap pergantian Ketua, terjadi semacam tradisi untuk mengirimkan utusan khusus untuk mencari pedang pusaka tersebut.

Tapi seperti halnya yang terdahulu, utusan-utusan itu tidak pernah kembali pula. Demikian pula halnya yang terjadi pada empat puluh tahun lalu. Saat itu terjadi pergantian Ketua, karena ketua yang lama telah meninggal, Kebetulan terpilih sebagai utusan khusus adalah Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong! Pada saat itu Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong baru berusia dua puluh tahun. Keduanya memiliki bakat alam yang hebat, sehingga dalam usia muda meresa telah menyempurnakan ilmu silatnya.

Kebetulan pula mereka adalah putera Kepala Marga mereka masing-masing. Sebenarnya tugas itu sangat menyedihkan keluarga mereka, apalagi masing-masing sudah menikah pula. Tapi di lain pihak tugas itu juga membuat keluarga mereka merasa bangga. Utusan khusus untuk mencari pedang pusaka itu merupakan tugas suci dari warga Pondok Pelangi.

Oleh karena itu sebelum berangkat mereka berpesan kepada keluarga masing-masing, agar supaya anak mereka yang belum lahir bisa dikawinkan satu sama lain bila ternyata lelaki dan perempuan. Demikianlah, Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong berangkat dengan sebuah jukung kecil tanpa layar. Mereka berlayar ke selatan, menuju ke daerah panas, karena mereka berpendapat bahwa seorang yang lari dari pulau mereka tentu menuju ke daerah panas. Tidak mungkin menuju ke kutub atau ke laut lepas.

Namun seperti halnya pendahulu-pendahulu mereka, mereka berduapun ternyata tak kuasa melawan keganasan alam. Belum juga keluar dari daerah pusaran air, jukung mereka telah dihantam gelombang laut hingga pecah dan terdampar di gugusan pulau itu. Sudah empat puluh tahun Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong bertahan di gugusan pulau karang itu.

Mereka terjebak di dalam lingkungan daerah berbahaya yang tidak mungkin bisa dilalui oleh manusia. Daerah itu adalah daerah berbahaya, di mana beberapa arus laut lewat dan bertemu. Badai lautpun setiap saat juga selalu melanda daerah itu. Bahkan badai saljupun sering menyerang daerah itu pula. Tanpa memiliki perahu besar tak mungkin bisa lewat di tempat itu.

Namun dengan ketekunan dan latihan keras, disertai pengamatan lingkungan yang teliti, akhirnya mereka berdua bisa bermain-main agak jauh dengan sampan buatan mereka. Meskipun demikian mereka tetap belum dapat keluar dari daerah berbahaya itu. Sampan kecil itu tak dapat bertahan terhadap badai laut. Celakanya, di kawasan berbahaya itu juga banyak dihuni oleh ikan hiu dan cucut, yang besarnya sepuluh atau lima belas kali lipat besar sampan mereka. Mudah saja bagi binatang itu untuk melahap mereka!

“Begitulah A Liong...!” Empat puluh tahun kami hidup di tempat ini. Setiap hari yang kami lakukan hanyalah berlatih silat dan mencari jalan, keluar dari tempat ini.”

“Dan suhu berdua belum mendapatkan jalan itu?”

Soat Ban Ong saling pandang dengan Bok Kek Ong, lalu menganggukkan kepala. “Kami hampir menemukannya. Tapi karena jalan keluar itu menuju ke timur, kami tak berani mencobanya. Kata orang di tempat matahari terbit itu tak ada kehidupan. Seluruhnya hanya terdiri dari air yang tak berujung pangkal. Tak mungkin manusia bisa hidup di sana, apalagi hanya dengan sampan kecil seperti milik kami.”

“Kami lalu mencoba jalan yang lain lagi. Kami mencoba bersampan melawan arus menuju ke selatan...” Bok Kek Ong meneruskan cerita sahabatnya. “Semula memang sangat sulit sekali. Bayangkan! Arus itu deras sekali! Dengan segala kekuatanku aku bisa mengayuhnya maju. Tapi sekejap saja aku berhenti mengayuh, sampan itu sudah kembali ke tempat semula. Nah, akibatnya seharian penuh sampan itu hampir tak dapat bergerak maju...”

“Tapi... suhu bisa mengayuhnya sampai jauh ke selatan, ke tempat Suhu menemukan aku itu.” A Liong memotong cerita gurunya.

“Tentu saja, karena kami telah berlatih selama sepuluh tahun untuk melakukan hal itu. Latihan keras untuk menaklukkan arus itu membuat tenaga dalam kami tumbuh berlipat ganda. Kalau semula sekali kayuh kami hanya dapat maju setombak jauhnya, kini sekali kayuh kami bisa meluncur sepuluh atau dua belas tombak ke depan!” Soat Ban Ong tersenyum bangga.

“Maka kami benar-benar kaget ketika tenaga gabungan kami tak dapat mengalahkanmu! Kami berdua benar-benar tak percaya, karena dengan tingkat kami sekarang, rasanya Ketua Pondok Pelangi sendiri takkan mampu mengalahkan kami!” Tiba-tiba Bok Kek Ong menyela perkataan sahabatnya.

“Ah, Suhu... jadi Jiwi Suhu tetap yakin bahwa menentang arus itu merupakan jalan keluar satu-satunya?” A Liong mengalihkan pembicaraan tentang dirinya itu dengan bertanya kepada Bok Kek Ong.

“Yah, hanya itu jalan keluarnya. Diluar jalur arus adalah daerah berbahaya. Mengikuti arus, sama saja pergi ke daerah tak berujung-pangkal alias mati. Maka menurut kami, hanya menentang aliran arus itulah satu satunya jalan kebebasan. Tapi sekarang niat itu kami tangguhkan dulu. Kami akan mengajarimu ilmu silat, agar kau juga bisa mengikuti kami keluar dari tempat ini.”

A Liong cepat berlutut di depan Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong. Wajahnya sangat terharu. “Terima kasih, Suhu...” Betapa gembiranya hati A Liong mendengar kesanggupan gurunya. Tak terasa terngiang kembali janjinya kepada Siau In, bahwa pada suatu saat dia akan menjadi jago silat nomer satu. Dan tampaknya janji itu kini sudah mulai terasa di dalam genggamannya.

Demikianlah, hari itu A Liong selalu teringat kepada Siau In, gadis cantik yang telah menolongnya dari keganasan orang-orang Hun. A Liong sama sekali tak menyangka bahwa gadis itu berada dalam cengkeraman penghuni kuburan.

* * *

Kita kembali lagi ke kuburan tua di balik bukit itu. Siau In yang dikurung di dalam ruangan gelap di bawah tanah masih saja merenungi nasibnya. Ruangan itu sama sekali tak ada pintu keluarnya.

“Cici, maafkan aku.” Rintihnya perlahan. “Aku... aku, hah? Bau apa ini?” Tiba-tiba hidung Siau In terasa membaui asap masakan yang enak, sehingga otomatis perutnya menjadi lapar sekali. “Nenek tua itu sedang memasak dan asapnya menjalar sampai di sini. Hmm, berarti ada ruangan lain di dekat ruangan ini. Baik, aku akan mencarinya...”

Seperti seekor anjing pelacak Siau In lalu menggunakan hidungnya untuk mencari asal asap masakan itu. Dan ternyata kegigihannya membawa hasil pula. Ketika ia menunduk di samping peti-peti yang paling ujung, bau asap itu terasa makin menyengat. Siau In segera menggeser peti mati itu ke tengah. Sinar terang tampak menyorot ke luar dari sebuah lobang besar di bawahnya. Ternyata lobang itulah pintu keluarnya, tempat di mana nenek tua itu keluar masuk ke dalam ruangan tersebut.

Siau In menjenguk ke dalam. Ia melihat sebuah gua besar di balik lubang itu. Gua yang sudah ditata rapi dan diratakan lantainya. Bahkan berbagai macam perabotan sederhana tampak tersusun pula dengan teratur. Almari, tempat tidur, meja kursi, semuanya terbuat dari kayu kasar. Sebuah lampu minyak terletak di atas meja. Dengan hati-hati Siau In masuk ke dalam. Bau masakan tetap menyengat hidung, tetapi tak seorangpun tampak di dalam ruangan itu.

Ruangan itu benar-benar bersih dan rapi. Beberapa potong pakaian wanita tampak tergantung di dekat almari. Pakaian model lama tapi masih kelihatan terawat baik. Di dekat almari itu terlihat lobang besar, yang tampaknya adalah pintu keluar dari ruangan tersebut. Dan dari lubang itulah datangnya bau masakan tadi. Siau In bergegas menuju ke lubang besar itu. Bau masakan makin menusuk hidung.

“Siapakah kau...? Mengapa kau bisa sampai ke sini?” Tiba-tiba terdengar suara wanita menyapa di dalam ruangan itu. Suaranya amat jelas dan nyaring, suatu tanda kalau orang itu memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi.

Siau In hampir melompat saking kagetnya. Otomatis seluruh uratnya menegang, siap menghadapi segala kemungkinan. Matanya berputar, mencari arah suara itu. Aneh, tak seorangpun dilihatnya. “Aku... aku tidak melihatmu. Di manakah kau...?” Siau In menjawab dengan suara gemetar. Bayangan nenek tua itu kembali menghantuinya.

“Jawab dulu pertanyaanku, baru aku keluar menemuimu!”

Siau In mulai ketakutan. “Namaku... Tio Siau ln, dari aliran Im-yang-kauw. Aku tersesat dan tidak dapat keluar dari tempat ini!”

“Tersesat? Siapa yang membawamu ke mari?”

“Lhoh...?” Siau In tertegun. Ternyata orang itu bukan si Perempuan Tua yang menculiknya itu. Hening sejenak. Berdebar hati Siau In menantikan jawaban orang itu. Kalau bukan penculiknya, lalu siapakah orang ini? Wah, jangan-jangan yang ini justru hantu sungguhan!

“Jawablah! Mengapa diam saja?” Suara itu kembali berdentang.

“Eh-oh... aku Tio Siau In, murid ketua Cabang Im-yang-kauw wilayah Timur. Guruku bernama Giam Pit Seng.” Siau In tersentak kaget dan buru-buru menjawab dengan suara gemetar.

“Anggota aliran Im-yang-kau?”

“Yah... Kau pernah mendengarnya?”

“Ya, tapi aku tidak mengenal tokoh-tokoh yang baru. Apakah Toat-beng-jin yang biasa disebut Lojin-Ong itu masih hidup?”

Siau In mengerutkan dahinya, lalu mengangguk. Perasaannya menjadi tidak enak karena orang itu menanyakan tokoh yang paling dihormati di dalam aliran Im-yang-kauw.

“Ah... tentu sudah tua sekali. Eeem, lalu... bagaimana dengan... Kauwcusi (Pengurus Agama) Tong Ciak?”

Tong Ciak merupakan orang kepercayaan mendiang Kaisar Chin si Hong-te, seperti halnya mendiang Jendral Beng Tian. Setelah kaisar terakhir Dinasti Chin tersebut runtuh dan kerajaan jatuh ke tangan Kaisar Liu Pang, Tong Ciak kembali lagi ke tempat asalnya, yaitu ke aliran Im-yang-kauw. Karena sejak semula tingkat kedudukannya memang sudah tinggi, maka ia segera diangkat menjadi Pengurus Agama.

Dan itu terjadi pada tiga puluhan tahun yang lalu, Tong Ciak masih berumur tiga puluh tahun. Hati Tio Siau In semakin kecut. Ternyata orang itu juga sudah mengenal Tong Ciak pula. Bahkan caranya menyebut seperti kepada sahabat atau orang yang memiliki kedudukan setingkat.

“Beliau juga dalam keadaan baik. Tapi... sekarang beliau menjabat sebagai Ketua, bukan sebagai Pengurus Agama lagi.”

“Oh... ya? Sekarang Ilmu Silat Kulit Dombanya tentu telah mencapai puncaknya. Kata orang, lima belas tahun lalu dia sudah berada di tingkat ke sebelas.”

Dada Siau In semakin berdebar-debar. Orang itu juga mengenal ilmu silat Aliran Im-yang-kauw yang sangat dirahasiakan. Padahal Ilmu Silat Kulit Domba hanya diketahui oleh tokoh-tokoh puncak mereka. Gurunya sendiri yang sudah berkedudukan cukup tinggi, juga belum diijinkan untuk mempelajari ilmu rahasia tersebut.

“Lo-Cianpwe siapakah?” Di dalam keraguannya Siau In bertanya. Ia tidak berani bersikap sembarangan lagi.

“Kau ingin tahu siapa aku? Baik! Lihatlah...!”

Siau In tersentak dan hampir saja menjerit ketika tiba-tiba di depannya telah berdiri seorang wanita yang sangat cantik. Cantik dan matang! Dilihat dari rambutnya yang telah bercampur uban, usianya tentu sudah lebih dari empat puluh tahun. Tapi kalau dilihat dari kulit wajahnya yang tetap licin dan segar, orang takkan percaya kalau dikatakan umurnya lebih dari tiga puluh tahun.

Pakaiannya yang longgar dan panjang itu hampir menutupi seluruh tubuhnya yang tinggi langsing. Hampir saja Siau In mengira bahwa ia sedang berhadapan dengan Souw Giok Hong, gadis ayu yang dijumpainya di atas pohon itu. Wajah mereka sangat mirip satu sama lain. Hanya umur dan penampilan mereka saja yang berlainan.

“Kau terkejut? Mengapa? Kau pernah bertemu dengan aku?” Wanita cantik itu bertanya. Suaranya nyaring berwibawa.

Siau In menggeleng. Mulutnya belum bisa menjawab. “Jangan takut! Aku tidak akan berbuat jahat kepadamu. Aku hanya ingin tahu, bagaimana kau bisa sampai ke tempat ini. Hmm, siapakah namamu tadi? Tio Siau In? Benarkah?”

Siau In mengangguk. Mulutnya tetap terkunci. “Baiklah! Tenangkanlah dulu perasaanmu! Atau kita keluar dulu? Marilah, akan kuperkenalkan kau dengan saudaraku!” Wanita cantik itu lalu menggandeng lengan Tio Siau In dan membawanya keluar melalui lubang besar tadi. Mereka menyusuri lorong panjang yang di kanan kirinya banyak dipasangi lampu minyak, sehingga tempat tersebut tampak terang-benderang.

Hembusan angin dingin menerpa tubuh Siau In, seolah-olah dinding gua itu mempunyai banyak lubang angin. Lorong itu berbelok-belok, naik turun dan kadang-kadang menembus ke lubang gua yang lain. Demikianlah, setelah beberapa saat lamanya mereka berjalan, akhirnya Siau ln melihat sinar terang di kejauhan. Ternyata ujung lorong nembus ke permukaan tanah. Begitu keluar yang terlihat oleh Siau In adalah air terjun.

Curahan air yang menebar panjang itu bagaikan selembar daun pintu yang menutupi pintu gua. Dan persis di mulut gua itu terlihat seorang wanita yang tidak kalah cantiknya dengan wanita yang datang bersama Siau In. Bahkan usia merekapun tampak sebaya pula. Hanya bedanya, perawakan wanita yang kini baru memasak itu lebih kecil dan agak lebih pendek. Penampilannya juga tampak lebih sabar dan lembut.

“Lan-moi, lihatlah... siapa yang kubawa ini? Aku hampir saja salah lihat. Kukira kau yang berada di bilik Semadhi, ternyata dia! Lihat wajahnya, mirip denganmu, bukan?”

Wanita cantik yang sedang memasak itu agak kaget juga melihat kehadiran Siau In. Bibirnya tersenyum, tapi senyumnya segera hilang begitu melihat wajah Siau In. Matanya terbuka lebar seolah-olah ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Tetapi kemudian mata itu kembali meredup, bahkan mulai berkaca-kaca.

“Kau benar... cici. Aku benar-benar terkejut melihatnya. Siapakah dia...? Ah, kalau saja Cu Hua masih hidup...” Wanita berwajah lembut itu bergumam perlahan.

“Maafkan aku, Lan-moi. Aku tidak bermaksud membangkitkan ingatanmu pada Cu Hua.” Wanita yang datang bersama Siau In itu cepat meminta maaf.

Wanita berwajah lembut itu menghela napas panjang sekali. Bahkan kepalanya menggeleng beberapa kali, seperti ingin melepaskan diri dari kabut kenangan yang menyedihkan. “Tidak apa, Cici. Melihat sikapmu kepada anak itu, aku juga tahu... bahwa kaupun ingat kepada Han Sui pula. Anak ini memang sebaya dengan kedua anak kita itu. Sayang bocah-bocah manis itu telah mendahului kita.”

Wanita cantik yang datang bersama Siau In itu tiba-tiba juga menarik napas panjang. Bahkan ia buru-buru berpaling untuk menyembunyikan matanya yang mulai memerah. “Ah, Lan-moi... sudahlah. Bagaimana dengan masakanmu? Sudah siap belum? Ayolah, kita bersantap bersama. Kita jamu tamu kita ini sambil kita tanyakan asal-usulnya.” Katanya kemudian untuk mengalihkan suasana yang kurang menyenangkan itu.

Demikianlah, tiga orang wanita itu lalu makan bersama-sama. Matahari sudah naik hampir di atas kepala, membuat ruangan sempit di mulut gua itu terasa segar dan nyaman. Suasana itu membuat nafsu makan Siau In menjadi semakin bertambah, sehingga tanpa malu-malu lagi gadis itu menyerbu hidangan yang tersedia. Tingkahnya yang bebas tanpa kendali, namun wajar serta alami itu, justru sangat menyenangkan tuan rumah.

Dan pada saat makan itulah Siau In baru menyadari kalau tangan kiri wanita cantik yang sudah mulai beruban rambutnya itu, hanya sebatas siku saja panjangnya. Tampaknya lengan itu cacat atau terputus karena kecelakaan. Namun demikian wanita cantik itu bergerak dengan leluasa. Cacat tubuhnya sama sekali tidak membuatnya kikuk. Sikapnya juga kelihatan biasa saja dan wajar.

“Tio Siau In, ketahuilah... Kami berdua telah lebih dari sepuluh tahun tinggal di guha ini. Riwayat hidup kami sangat menyedihkan sehingga kami tidak ingin mengingatnya lagi. Kau boleh menyebutku Bibi Lian dan memanggil adikku itu bibi Lan. kau boleh tinggal bersama kami... Kalau mau.”

Siau In tersenyum sambil mengucapkan terima kasih.

“Lan-moi, anak ini bernama Tio Siau In. Gurunya adalah Ketua Cabang Im-yang-kauw wilayah timur. Katanya dia diculik seorang wanita bongkok dan dibawa masuk ke lubang kuburan di atas sana.”

“Im-yang-kauw...?” Wanita cantik berwajah lembut yang disebut Bibi Lan itu tersedak. Matanya yang redup dan sayu menatap wajah Siau In dengan tajamnya.

“Apakah Bibi Lan juga sudah mengenal Lojin-Ong dan Tong Kauwcu?” Tak terduga Siau In bertanya lebih dulu dengan suara lucu. Dia berkata sambil melirik ke arah Bibi Lian.

Wanita yang disebut Bibi Lan itu tiba-tiba menundukkan wajahnya. Bibirnya yang tipis bergumam perlahan. “Tentu saja. Bukankah aku dan Bibi Lian bersaudara? Apa yang dia kenal, tentu aku ketahui pula. Aku mengenal Lojin-Ong seperti mengenal kakekku sendiri. Ah, apakah dia masih hidup?”

“Dia memang masih hidup, Lan-moi. Katanya tubuh Lojin-Ong sudah bongkok, tetapi masih tetap bersemangat mendampingi Kauwcusi Tong Ciak, yang kini telah diangkat menjadi Kauwcu.”

“Benarkah...?” Wanita berwajah lembut itu berdesah pendek, kemudian menundukkan mukanya kembali. Matanya terpejam seperti ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.

Mereka lalu terdiam untuk beberapa saat, sehingga kesempatan itu segera dipergunakan Siau In untuk menceritakan pengalamannya selama ini. Dia bercerita tentang tugas yang diberikan gurunya, serta pengalamannya bersama A Liong, Kedua wanita cantik itu saling berpandangan. Wajah mereka sedikit berubah. Bahkan Bibi Lan bergumam, tapi tak jelas.

“Lojin-Ong mencari pemuda bertato. Pihak kerajaan juga mengumpulkan para pemuda bertato naga? Oh, apakah mereka masih tetap mencari keturunan Pangeran Liu Yang Kun?”

“Pangeran Liu yang kun? Siapakah dia, Bibi?”

Lagi-lagi kedua wanita cantik itu menarik napas panjang. Keduanya tidak segera menjawab. Tampaknya seperti ada sesuatu yang mereka pikirkan. “Pangeran Liu Yang Kun adalah putera mendiang Kaisar Liu Pang yang lenyap ketika akan dinobatkan menjadi Kaisar. Ah, sudahlah! Lanjutkan saja ceritamu! Tak ada hubungannya dengan ceritamu.” Akhirnya Bibi Lian menerangkan dengan suara berat.

Meski tidak puas tapi Siau In tidak berani bertanya lebih lanjut. Dia lalu meneruskan ceritanya. Dia bercerita tentang Wanita Bongkok yang membawanya ke liang kuburan.

“Kau maksudkan di atas Ruang Semadi itu ada Kamar Mayatnya? Eh, mengapa tidak kau katakan sejak tadi? Lan-moi, mari kita lihat!” Bibi Lian tiba-tiba berseru.

Tiba-tiba saja kedua wanita cantik itu menghilang dari depan Siau In! Sepintas hanya terlihat bayangan mereka, berkelebat masuk ke dalam gua! Siau In sampai melongo saking kagumnya! Gerakan mereka sama cepatnya dengan gerakan pemimpin rombongan orang Hun yang membantai prajurit kerajaan itu.

Siau In bangkit sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Timbul perasaan kagum dan perasaan ingin dapat menjadi seperti mereka. Alangkah bahagia hatinya bila dapat menjadi murid wanita-wanita sakti itu. Sambil melamun Siau In melangkah mengikuti mereka. Namun baru selangkah kakinya menapak, Siau In mendengar suara nyaring di balik tumpahan air terjun. Dengan tangkas Siau In membalikkan tubuh dan berjalan keluar mendekati air terjun.

Sambil berlindung dari semburan air yang memercik kemana-mana, Siau In berusaha mengintip keluar. Suara teriakan yang disertai desau angin pukulan terdengar semakin jelas. Tapi Siau In tetap tak bisa melihatnya, karena curahan air menimpa bebatuan di depan gua itu amat deras sekali. Percikan air seolah-olah menyelimuti tempat itu sehingga semuanya tampak remang-remang. Kadang-kadang memang kelihatan bayangan di luar air terjun.

“Wah, tampaknya ada pertempuran di luar sana. Tapi lubang gua ini tidak ada jalan keluarnya. Jalan satu-satunya hanya menerobos air terjun itu...” Siau In mengawasi batu-batu besar yang berserakan di depan gua, di mana air terjun itu tercurah dari atas. Batu-batu itu kelihatan licin dan berbahaya, sementara air yang menimpanya tentu memiliki kekuatan yang dahsyat pula.

“Apa boleh buat... Kalau ingin keluar memang harus berani mencobanya!” Tapi sebelum kakinya melangkah, tiba-tiba terdengar suara panggilan yang berdengung di lubang telinganya.

“Siau In...!” Suara itu bergetar jelas melalui gelombang ilmu Coan-im-ji-bit.

“Wah, Bibi Lian memanggilku...” Siau In bergumam dan terpaksa mengurungkan niatnya untuk menerobos air terjun. Siau In lalu masuk kembali ke lorong gua dengan tergesa-gesa. Setelah beberapa kali berbelok, serta melewati beberapa buah gua, Siau In sampai ke sebuah lorong kecil yang menanjak ke atas. Di tempat itu baru Siau In sadar bahwa dia tersesat. Lorong itu bukan jalan menuju Ruang Semadi.

“Ah, seharusnya aku sudah sadar ketika tidak melewati lorong berlampu minyak itu...! Aduh, bagaimana sebaiknya? Oh, ada sinar terang di ujung lorong ini. Tentu ada lampu di sana. Baiklah, aku berjalan terus saja.” Karena lorong itu terlalu sempit, Siau In terpaksa merangkak. Beberapa saat kemudian telinga Siau In mendengar desau angin dan burung berkicau. Udara yang berhembuspun terasa lebih segar.

“Hei... Ini jalan keluar!” Siau In bersorak gembira. Otomatis Siau In menjadi bersemangat. Dan benar juga dugaannya. Sebentar kemudian mata Siau In menjadi silau oleh sorot matahari. Siau In segera melompat keluar. Ternyata lubang keluar itu berada di antara dua batu besar di tepi sungai. Lubang itu hampir tidak kelihatan karena tertutup ilalang dan lebarnyapun hanya setebal tubuh manusia dewasa. Siau In melesat ke kanan dan ke kiri. Tempat itu benar-benar sepi. Sungai di depannya juga besar dan lebar, di mana airnya mengalir dengan tenang tanpa riak yang berarti.

“Sungai ini tentu dalam sekali dan... aha, kalau aku mengikuti alirannya, tentu akan sampai di air terjun itu! Bagus, aku akan ke sana!” Dengan wajah riang Siau In berlari di antara batu-batu yang berserakan di pinggir sungai. Sebentar saja ia sudah mendengar suara gemuruh itu.

“Nah, apa kataku? Lorong gua tadi memang berada di bawah sungai ini. Air terjun itu...wah!” Tiba-tiba mulut Siau In ternganga. Aliran sungai itu sekonyong-konyong terputus dan meluncur turun dengan derasnya. Air sungai yang dalam dan lebar itu bagai ditumpahkan ke bawah begitu saja! Dan ketika Siau In mencoba melongok ke bawah, kakinya buru-buru ditarik kembali ke belakang. Ternyata air terjun itu cukup tinggi. Mungkin ada tiga belas atau lima belas tombak tingginya.

Untuk menuruninya Siau In harus berjalan memutar cukup jauh, karena dinding tebing yang membatasi air terjun itu sangat terjal dan licin berlumut. Sampai di bawah Siau In semakin berhati-hati. Pengalamannya selama ini telah mengajarkan kepadanya, agar dia selalu waspada di manapun juga berada. Dia belum tahu siapa yang sedang berkelahi, tapi mengingat suara teriakan mereka yang mampu menindih, bahkan dapat mengalahkan suara air terjun, Siau In yakin bahwa mereka bukan orang sembarangan.

Ternyata benar juga dugaan Siau In. Dia segera mengenal orang-orang yang sedang berkelahi itu. Mereka adalah orang-orang yang dilihatnya di kuburan pagi tadi, yaitu si Wanita Bongkok dan tiga orang aneh berkain belacu kasar itu. Sendirian Wanita Bongkok itu melawan tiga orang lawannya. Meskipun sudah tua namun gerakannya tetap luar biasa lincahnya. Tubuhnya yang sudah melengkung itu melenting kesana-kemari.

Dia tidak membawa senjata apa-apa, tapi dari kedua telapak tangannya selalu tersembur angin tajam yang memburu lawan-lawannya. Dan bau aneh seperti bau dupa wangi menyebar sampai ke tempat Siau In. Tapi ketiga orang lawannya juga tidak kalah pula lincahnya. Mereka justru bergerak dengan cara yang lebih aneh dan mengerikan. Setiap kali kaki mereka menapak di tanah, tubuh mereka tampak terhuyung-huyung seperti orang mabuk berat.

Namun setiap kali hendak jatuh tubuh mereka segera melenting lagi dengan tangkasnya. Demikianlah, pertempuran mereka benar-benar seru dan menegangkan. Dibandingkan dengan pertempuran di tepi Pantai Hang-ciu, pertempuran itu memang belum seberapa. Namun demikian pertempuran ini memiliki kesan tersendiri bagi Siau In.

Cara dan gaya mereka berkelahi sama sekali berbeda dengan ilmu silat kebanyakan. Ternyata pada puncak pertempuran mereka, kedua pihak mempergunakan ilmu yang sama. Mereka bergerak kaku dan selalu bergoyang, seperti layaknya orang yang berdiri di atas geladak kapal. Entah mengapa, cara mereka bersilat yang aneh itu lama-lama menimbulkan perasaan seram dan ngeri di hati Siau In. Gadis itu serasa melihat sebuah acara ritual para pengikut setan.

Bau dupa wangi serta kabut tipis tampak menyelimuti tubuh mereka, seperti halnya acara persembahan atau acara memanggil roh. Bahkan suasana segar dan cerah tadi tiba-tiba juga berubah menjadi sunyi mencekam. Suara gemuruh air yang mula terasa bising, mendadak mereda. Sebaliknya telinga Siau In seperti mendengar suara nyamuk yang mendenging tiada henti-hentinya.

“Aduuuuh...!” Sekonyong-konyong Siau In mendekap kepalanya. Mulutnya meringis menahan sakit. Ternyata suara mendenging itu semakin lama semakin kuat dan tajam, hingga telinga Siau In menjadi sakit. Dan sebelum gadis itu sempat menutup telinganya, mendadak suara itu melengking makin kuat. Akibatnya seperti ada ribuan jarum yang tiba-tiba menyusup ke dalam telinga Siau In dan menyerang otaknya!

“Hentikan...!!!” Karena tidak tahan lagi, maka Siau In berteriak sambil meloncat keluar dari persembunyiannya. Tapi apa yang dilakukan gadis itu benar-benar suatu kesalahan besar. Rasa kaget membuat orang-orang itu cenderung untuk membela diri.

Otomatis semuanya bergerak menyerang Siau In. Ada yang melontarkan jarum-jarum kecil. Ada yang menghembuskan asap beracun. Dan ada pula yang menerjang dengan pukulan penuh tenaga sakti! Serangan tak terduga itu menyambar dengan cepat sekali dan tidak mungkin Siau In bisa mengelakkannya. Apalagi kepandaian mereka rata-rata memang berada jauh di atas gadis itu.

Disertai jerit kesakitan tubuh Siau In terpental ke belakang. Sesaat gadis itu mencoba untuk bangkit kembali, namun gagal. Tubuhnya kembali terhempas ke tanah dan pingsan. Semua serangan lawannya tidak ada yang meleset. Semua mengenai tubuhnya. Sejenak pertempuran itu berhenti. Masing-masing melihat korban serangan mereka, tapi ketika tidak seorangpun diantara mereka yang mengenal Siau In, mereka saling bercuriga satu sama lain.

“Kukira Kwa Yung Ling, ternyata... bukan! Hmmm siapakah gadis ini, Tai-Bong Kui-bo?” Salah seorang dari tiga lelaki berbaju putih itu bertanya kepada Wanita bongkok.

“Mana aku tahu? Aku juga mengira ia kawan yang kau bawa dari Tai-bong-pai, sejak dulu kalian, Giam-lo sam-kui tak pernah pergi sendirian, selalu saja bertiga atau membawa kawan yang lain.” Wanita bongkok itu mengejek.

Orang tertua dari Giam-lo tai-bong itu mendengus, wajahnya yang pucat itu tampak semakin kusam. “Kurang ajar, perempuan tua tak tahu diri! Sudah dekat liang kubur, masih juga bersikap sombong, mari kita teruskan lagi pertempuran kita! Jangan harap kau dan Kwa Yung Lin bisa melepaskan diri dari hukuman Tai-bong-pai. Lihat serangan...!”

“Bagus, kalau kalian memang bisa mengalahkan aku, akan kukatakan dimana Kwa Yu Ling berada!”

Maka pertempuranpun pecah kembali, masing-masing tak mau mengalah lagi, begitu bergebrak mereka segera mengeluarkan kemampuan sepenuhnya, sekali lagi tempat itu menjadi ajang pertempuran yang dahsyat. Meskipun dari perguruan yang sama tapi kemampuan mereka memang berbeda, sejak kecil Tai-Bong Kui-bo ikut keluarga mendiang ketua Tai-bong-pai lama Kwa Eng Ki, meskipun tidak diambil murid tapi Kwa Eng Ki juga memberinya pelajaran silat.

Ketika Kwa Eng Ki meninggal dan diganti Kui Mo Siang, sutenya, Tai-Bong Kui-bo diangkat menjadi pengurus rumah tangga perguruan, meskipun Tai-Bong Kui-bo tetap berada di rumah keluarga Kwa Eng Ki, wanita itu tetap mengasuh Kwa Yung Ling, cucu perempuan Kwa Eng Ki. Malapetaka timbul setelah Kui Mo Siang meninggal dunia. Penggantinya Yok si Ki, murid Mo Siang sendiri.

Tapi watak mereka benar-benar bertolak belakang. Yok si Ki sangat kejam dan licik. Usianya yang masih terhitung muda, ditambah dengan ilmu silatnya yang tinggi membuat wataknya menjadi sombong dan sewenang-wenang. Lebih celaka lagi Yok si Ki memiliki watak hidung belang dan suka main perempuan. Banyak wanita dan gadis baik-baik yang menjadi korban kebiadabannya, di antaranya adalah Kwa Yung Ling, cucu Kwa Eng Ki sendiri.

Padahal saat itu Kwa Yung Ling masih terlalu muda. Hanya karena menolak menjadi isteri mudanya, Kwa Yung Ling ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Dan di dalam penjara itu berkali-kali Kwa Yung Ling diperkosa dan dihina, sehingga akhirnya ia melahirkan seorang bayi perempuan. Dua belas tahun lamanya Kwa Yung Ling terkurung bersama anaknya.

Dan selama itu pula pengasuhnya, Tai-bong Kui-bo, tak pernah kelihatan batang hidungnya. Perempuan itu menghilang sejak dikalahkan oleh pengawal-pengawal Yok si Ki. Selama dua belas tahun itu pula Yok si Ki selalu menyebar anak buahnya untuk mencari Tai-bong Kui-bo, karena wanita itu ternyata menghilang bersama buku pusaka Tai-bong Pit-kip.

Tetapi usahanya tak pernah berhasil. Tak seorangpun di antara orang-orangnya yang dapat menemukan perempuan itu. Tai-bong Kui-bo seakan-akan sudah lenyap ditelan tanah. Maka Yok si Ki benar-benar tidak menduga ketika dua tahun yang lalu Tai-bong Kui-bo tiba-tiba muncul di gedung penjara, membunuh para penjaga, kemudian membawa pergi Kwa Yung Ling dan anaknya! Bahkan ketika Tai-bong Kui-bo yang kini sudah tua dan bongkok itu kepergok dengan Hiat-tok Mo-li (Iblis Wanita Darah Beracun), dia masih bisa mengecoh dan meloloskan diri. Padahal Hiat-tok Mo-li merupakan orang nomor tiga di partai Tai-bong-pai setelah Yok si Ki dan Mo-gan Wan-ong (Si Raja Kera Bermata Iblis).

Sebab itulah selama dua tahun ini Yok si Ki benar-benar mengerahkan seluruh kekuatannya untuk memburu Tai-bong Kui-bo. Seluruh pelosok negeri diaduknya. Puluhan orang kepercayaannya tersebar hampir di segala tempat. Tak heran kalau akhirnya jejak perempuan tua itu dapat ditemukan juga. Giam-lo Sam-kui, tiga orang Petugas Hukum dari Tai-bong-pai, berhasil mencium persembunyiannya dan sekarang ketiga iblis neraka itu mencoba meringkusnya.

Kepandaian Giam-lo Sam-kui memang masih di bawah Mo-gan Wan-ong maupun Hiat-tok Mo-li. Tapi di dalam Partai Tai-bong-pai, kedudukan Giam-lo Sam-kui sangat dihormati. Mereka bertiga adalah Pengawas Hukum di dalam Partai Tai-bong-pai. Kedudukan mereka sejajar dengan Pengurus Partai, yang kini dipegang oleh Mo-gan Wan-ong.

Oleh karena itu tidak mengherankan bila mereka bertiga mampu melayani Tai-bong Kui-bo dengan baik. Sebenarnya kepandaian Tai-bong Kui-bo sendiri juga sulit diduga pula. Selama dua belas tahun bersembunyi, ditambah dengan dua tahun dalam pelariannya bersama Kwa Yung Ling, kesaktiannya benar-benar lain dengan Tai-bong Kui-bo dahulu. Dengan mempelajari Buku Pusaka Tai-bong Pit-kip yang berisi rahasia Ilmu Silat Tai-bong-pai, ilmunya telah meningkat berlipat ganda.

Sayang sekali cacat pada tulang punggungnya, akibat keroyokan pengawal Yok si Ki lima belas tahun lalu, membuat dia tidak bisa mempelajari Tai-bong Pit-kip secara tuntas. Itulah sebabnya dalam pertempuran sekarang, Tai-bong Kui-bo tampak sangat geram kepada Giam-lo Sam-kui, karena ketiga Iblis Neraka tersebut termasuk pula di antara para pengeroyoknya pada waktu itu.

Demikianlah, pada lima belas tahun lalu memang mudah bagi Giam-lo Sam-kui untuk mengalahkan Tai-bong Kui-bo. Tapi sekarang mereka tidak dapat melakukannya lagi. Kini ilmu silat Tai-bong Kui-bo telah sejajar dengan ilmu silat mereka. Bahkan tenaga dalam perempuan tua itu juga sudah mencapai tingkatan tertinggi pula. Oleh karena itu pertempuran mereka tidak mungkin selesai dalam waktu pendek. Masing-masing sudah saling mengenal ilmu silat lawannya. Mereka hanya bisa mengandalkan memujuran saja, siapa tahu lawan mereka lengah atau salah langkah.

Demikianlah, lima puluh jurus telah berlalu. Dan mataharipun mulai bergeser ke arah barat. Tubuh mereka telah mulai basah dengan keringat, sementara kekuatan mereka telah berimbang. Namun menginjak jurus ke sembilan puluh, tiba-tiba perimbangan kekuatan mereka mulai berubah.Sedikit demi sedikit gerakan Tai-bong Kui-bo kelihatan melemah. Bahkan setiap kali beradu tenaga, mulut perempuan tua itu tampak menyeringai kesakitan.

Malah sesekali perempuan tua itu terhuyung seolah-olah kehilangan tenaga. Ternyata perbedaan usia dan jumlah lawan berpengaruh juga pada daya tahan mereka. Walaupun berkepandaian tinggi tetapi tulang dan otot Tai-bong Kui-bo tidak sekuat dan sesegar tubuh Giam-lo Sam-kui yang masih muda.

Apalagi Tai-bong Kui-bo memiliki cacat pada punggungnya, sehingga ia selalu merasa kesakitan setiap kali beradu kekuatan. Semakin lama perimbangan kekuatan mereka juga semakin berat sebelah. Pelan tetapi pasti perbedaan kekuatan itu membuat Tai-bong Kui-bo mulai terdesak. Malah beberapa saat kemudian satu dua pukulan mulai mendarat pada tubuh bongkok itu.

“Iblis pengecut...!” Perempuan tua itu menjerit-jerit.

“Sudahlah, Kui-bo! Lebih baik kau menyerah saja dan katakan di mana Kwa Yung Ling berada!”

“Persetan! Kalian tidak mungkin... aduuuh!” Sebuah sabetan kaki mengenai pinggang perempuan itu sehingga tubuhnya terlempar jauh. Tapi dengan ginkangnya yang tinggi Tai-bong Kui-bo mampu mendaratkan kakinya di atas tanah kembali. Meskipun demikian tendangan itu tetap melukai bagian dalam perutnya.

“Ayoh, cepat katakan! Di mana Kwa Yung Ling, hah...?” saudara tertua dari Giam-lo Sam-kui membentak seraya menahan dua saudaranya untuk memberi kesempatan kepada lawannya.

Namun Tai-bong Kui-bo tak menjawab. Matanya justru mendelik penuh hawa pembunuhan. Dan itu sudah cukup bagi Giam-lo Sam-kui untuk segera mengakhiri pertempuran mereka. Oleh karena itu Giam-lo Sam-kui segera mempersiapkan diri mereka untuk menggempur perempuan itu dengan kekuatan penuh. Meski sedang goyah, tapi Tai-bong Kui-bo menyadari bahaya yang hendak menimpanya. Dalam keadaan terdesak itulah timbul kenekatannya. Lebih baik mati daripada jatuh ke tangan lawannya.

Tiba-tiba Tai-bong Kui-bo bergeser mundur, berbareng dengan itu kedua tangannya terayun ke depan dan belakang bergantian. Serentak dari kedua telapak tangannya berhembus angin berputar mengelilingi tubuhnya, membentuk sebuah benteng untuk melindungi diri dari sergapan lawannya. Pusaran angin yang keluar dari telapak tangan Tai-bong Kui-bo makin lama terasa semakin kuat, sehingga pengaruhnya mulai melanda pinggiran air terjun itu.

Semak-semak mulai bergoyang, sementara dedaunan juga mulai tanggal dan bertebaran ke segala penjuru. Tapi ke tiga iblis itu hampir tak terpengaruh oleh kedahsyatan ilmu Tai-bong Kui-bo tersebut. Mereka bertiga tetap menerjang ke depan, menerobos benteng angin itu. Di dalam puncak ilmu mereka, Giam-lo Sam-kui benar-benar memiliki kekuatan seperti iblis. Ketiga pasang tangan mereka bagaikan palu godam yang menggedor benteng pertahanan Tai-bong Kui-bo. Dan akibatnya sungguh mendebarkan!

“Dhuuuuaaaaaarrrr!” Tubuh Tai-bong Kui-bo terpental balik bagaikan layang-layang putus! Sebaliknya salah seorang di antara lawannya juga jatuh terduduk di atas rumput! Ternyata benturan kekuatan itu telah membawa korban!

“Kui-bo...!” Tiba-tiba terdengar jeritan dari jauh.

“Kwa Yung Ling!” Tiga Iblis dari Neraka itu menggeram bersama-sama. Salah seorang dari Giam-lo Sam-kui yang jatuh tadi telah dapat berdiri kembali. Sekejap kemudian seorang wanita cantik berusia tiga puluh satu atau tiga puluh dua tahun, datang ke tempat itu dan menubruk tubuh Tai-bong Kui-bo yang tergeletak lemah di atas tanah. Darah segar tampak mengalir deras dari mulut perempuan tua itu.

“Kui-bo, bertahanlah! Aku akan mengobati lukamu...!” Wanita yang tidak lain memang Kwa Yung Ling itu menangis di samping Tai-bong Kui-bo. Dia sama sekali tidak mempedulikan Giam-lo Sam-kui yang berdiri garang di sekelilingnya. Mata yang terpejam itu terbuka. Ketika melihat kehadiran Kwa Yung Ling, mata yang telah mulai meredup itu tampak kaget. Dengan segala kekuatan yang masih tersisa bibir itu dipaksakan untuk berkata.

“Ce-cepatlah... Laari!” Bibir itu bergetar lemah, kemudian terkatup rapat kembali. Nyawa tua itu keburu lepas dari tubuhnya.

“Kui-bo...!!!” Sekali lagi wanita yang baru tiba itu menjerit pilu dan memeluk tubuh Tai-bong Kui-bo.

“Diam! Kau tidak perlu menangis lagi! Sekarang berikan buku itu dan ikut kami ke Tai-bong-pai!” Tiba-tiba orang tertua dari Giam-lo Sam-kui menghardik dan menyambar lengan Kwa Yung Ling.

Tapi dengan tangkas wanita cantik itu menghindar. Walau sedang menangisi pengasuhnya, namun Kwa Yung Ling tetap waspada terhadap lawan-lawannya. Maka ketika tangan Giam-lo Sam-kui menyambar, dia buru-buru melompat ke samping. Di lain saat ia telah berdiri tegak di hadapan lawan-lawannya. Bahkan tangan kanannya telah memegang selendang putih yang tadi membelit di pinggangnya. Di kedua ujung selendang itu terpasang gelang kecil dan besar.

“Kalian bertiga memang bukan manusia baik-baik. Kalian telah mengkhianati sumpah kalian terhadap Tai-bong-pai. Kalian mengabdi kepada si Iblis Yok si Ki, yang telah berbuat makar terhadap Tai-bong-pai. Sebagai pejabat Pengawas Hukum seharusnya kalian tahu bahwa Yok si Ki telah menginjak-injak peraturan dan adat istiadat Tai-bong-pai, yang selama ini dijunjung tinggi oleh leluhur kita.”

Wajah Giam-lo Sam-kui yang putih pucat itu untuk sesaat berubah menjadi merah padam. Namun rasa malu justru membuat mereka menjadi marah sekali. Dengan pandangan mengerikan ketiga iblis itu mengangkat tangannya. Terdengar suara berkerotokan ketika lengan itu mengeluarkan asap tipis berwarna kemerahan.

Sebagai seorang anggota partai Tai-bong-pai, Kwa Yung Ling segera tahu apa yang sedang dilakukan lawannya Cepat ia mengerahkan segala kemampuannya, semua ilmu yang diberikan mendiang Tai-bong Kui-bo selama dua tahun ini. Selendang itu cepat direntangkan di depan dadanya. Seluruh tenaga sakti dia kerahkan di kedua lengannya, karena ia tahu bahwa dia bukan tandingan Giam-lo Sam-kui. Namun yang jelas ia tak mau menyerah begitu saja.

“Mulutmu sangat tajam, maka tiada jalan lain bagi kami selain membungkam mulutmu selama-lamanya! Nah, bersiaplah untuk mati!” Orang tertua dari Gia lo Sam-kui menggeram, kemudian memberi aba-aba kepada saudaranya untuk menyerang.

“Wuuuuuus! Singgggg! Taaaaak!”

Giam-lo Sam-kui tidak peduli lagi akan pandangan orang. Sebagai seorang tokoh Tai-bong-pai mereka tidak malu-malu lagi mengeroyok seorang wanita muda. Bagi mereka yang penting adalah menunaikan tugas yang diberikan oleh ketua mereka. Mereka tidak ingin kehilangan kesempatan itu. Mereka harus segera memanfaatkan kesempatan untuk mendapatkan buku Tai-bong Pit-kip itu kembali. Mereka bertiga menyerang tanpa belas kasihan lagi. Seluruh kemampuan mereka tercurah untuk secepatnya membunuh Kwa Yung Ling, kemudian mengeledahnya.

Kwa Yung Ling memang tidak bisa berbuat banyak. Tai-bong Kui-bo saja kalah, apalagi dia. Meskipun selendangnya yang berujung gelang itu sangat cepat dan bergerak lincah melindungi diri, tapi ketiga lawannya memiliki ilmu yang lebih tinggi daripada dia. Maka belasan jurus kemudian gerakan selendang itu justru menjadi kacau dan menyulitkan dirinya sendiri. Beberapa kali gelang di ujung selendang itu malah berbalik menyerang dirinya. Bahkan tangkai selendang itu sering membelit dan membelenggu tangannya sendiri.

“Hihihi, kelihatannya selendangmu justru ingin mengantung lehermu sendiri. Lihat saja...!” saudara termuda dari Giam-lo Sam-kui tertawa mengejek.

Benar juga. Pertempuran selanjutnya ketiga Iblis Neraka itu selalu berusaha untuk mempengaruhi jalannya ujung selendang Kwa Yung Ling. Mereka membuat gerakan agar selendang itu selalu berbalik menyerang kepada tuannya. Dan hal itu tidak sulit mereka lakukan karena kepandaian mereka memang jauh lebih tinggi daripada Kwa Yung Ling. Beberapa jurus kemudian wanita cantik itu benar-benar dalam kesulitan.

Beberapa kali ia ingin membuang selendangnya, tapi Giam-lo Sam-kui selalu mencegahnya. Selendang itu selalu berbalik kembali ke dalam genggamannya. Akhirnya dalam keputusasaannya Kwa Yung Ling nekat untuk mengadu jiwa. Ia tidak lagi mempedulikan keselamatannya. Selendang itu diputar di atas kepalanya, kemudian ia hentakan dalam jurus yang tak terduga.

Giam-lo Sam-kui memang terkejut bukan main. Dalam gerakan ilmu silat Tai-bong-pai, tidak ada jurus memutar senjata sambil menghentak seperti itu. Gerakan itu justru sangat membahayakan keselamatan sendiri, karena di dalam ajaran tenaga dalam Tai-bong-pai, gerakan tersebut justru akan memecah himpunan tenaga sakti di dalam tubuh, kemudian menutup seluruh jalan darah yang ada.

Menggunakan gerakan seperti itu sama saja dengan bunuh diri. Tapi justru itu memang sengaja diciptakan oleh Tai-bong Kui-bo, yang kemudian diajarkan kepada Kwa Yung Ling, untuk sewaktu-waktu dipergunakan bila tidak ada jalan lain lagi...

Jilid selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.