Demikianlah, dalam keadaan kaget Giam-lo Sam-kui tidak menyangka kalau selendang yang berputar di atas kepala Kwa Yung Ling itu mendadak terputus menjadi beberapa bagian. Dan mereka juga tidak menduga pula ketika potongan-potongan selendang itu tiba-tiba menerjang ke arah mereka. Ternyata hentakan tenaga Kwa Yung Ling tadi telah memotong selendang itu menjadi beberapa bagian.

Mati-matian Giam-lo Sam-kui berusaha menghindar dari potongan selendang itu. Mereka berjungkir balik sambil mengibaskan lengan baju mereka yang longgar. Namun tetap saja beberapa potongan selendang melesat mengenai mereka. Ketiganya meringis menahan sakit. Ketika mereka berdiri tegak kembali, tampak baju mereka telah terbuka di sana-sini. Bahkan darah mulai mengalir membasahi kain yang sobek itu. Beruntung bagi mereka karena memiliki sinkang lebih tinggi, sehingga luka-luka itu tidak terlalu dalam.
“Keparat! Hampir saja dia membunuhku!” Orang termuda dari Giam-lo Sam-kui mengumpat, karena dialah yang terparah lukanya.
Namun mereka tidak bisa menghukum Kwa Yung Ling lagi, karena sejalan dengan jurus terakhirnya itu maka seluruh jalan darah wanita itu telah tertutup, sehingga jantungnya juga berhenti berdenyut. Wanita cantik itu telah mati mengikuti pengasuhnya. Giam-lo Sam-kui bergegas mengobati luka-lukanya, kemudian cepat-cepat menggeledah tubuh kedua korbannya. Dan sebuah buku kecil mereka dapatkan di balik pakaian Kwa Yung Ling.
“Ah, Tai-bong Pit-kip telah kita dapatkan kembali!” Orang tertua dari Giam Lo Sam-kui berdesah kegirangan. Buku itu segera dimasukkannya ke dalam saku. “Ji-te, Sam-te... ayo, cepat kita tinggalkan tempat ini! Kita harus segera melaporkan penemuan ini kepada Yok Ciangbun (Ketua Yok)!”
Namun belum sempat mereka melangkahkan kaki meninggalkan tempat itu, segera seorang dara remaja berusia empat belas tahun menghambur datang. Gadis itu berteriak setinggi langit begitu melihat mayat Kwa Yung Ling.
“Ibuuuuuu...!!!”
“Tahan! Bukankah anak ini... Yok Ting Ting?” Orang tertua dari Giam-lo Sam-kui tiba-tiba mencengkeram lengan kedua saudaranya.
“Kita tak usah pedulikan dia. Kita sudah membunuh kedua buruan itu dan sudah mendapatkan buku mereka pula. Kita tak usah membuang-buang waktu untuk mengurusi anak itu.” Orang kedua dari Giam-lo Sam-kui memperingatkan kakaknya.
“Benar, Twako. Perjalanan kita masih panjang. Kita tak usah mencari perkara yang lain. Biarlah anak itu mengurusi Ibu dan pengasuhnya.” Orang termuda dari Giam-lo Sam-kui berkata pula.
“Ah, bodoh benar kalian ini! Bagaimanapun juga dia adalah puteri Yok Ciangbun. Kedatangan anak ini akan menambah kegembiraan beliau. Hmm, ayo... Kita bawa anak ini!”
Orang kedua dan ketiga dari Giam-lo Sam-kui tidak mau membantah lagi. Sambil saling memandang dan mengangkat pundaknya, mereka berdua cepat melangkah ke depan untuk meringkus Yok Ting Ting.
“Nona Yok, Ibumu sudah mati. Tak perlu kau tangisi lagi. Marilah sebaiknya kau ikut kami untuk menemui Ayahmu.”
“Pembunuh! Kalian bertiga benar-benar manusia busuk! Kalian telah membunuh Ibuku dan Nenekku! Aku... aku... ah, kubunuh kalian bertiga!” Yok Ting Ting berteriak tinggi, kemudian dengan nekad melompat dan memukul orang tertua dari Giam-lo Sam-kui.
Tapi hanya dengan sebelah tangan orang tertua dari Giam-lo Sam-kui menangkap pergelangan tangan Yok Ting Ting. Kemudian hanya dengan sekali sentak gadis itu terkulai lemas dalam pelukannya. Sebuah totokan jari telah membuat gadis itu tak berdaya. Namun sebelum ketiga iblis itu beranjak pergi, dari balik air terjun terdengar suara bentakan nyaring.
“Lepaskan anak itu...!” Dengan gesit Giam-lo Sam-kui membalikkan badan. Dan mata mereka segera menangkap dua sosok bayangan wanita berkelebat menghampiri tempat itu. Salah seorang dari bayangan itu tiba-tiba telah berdiri di depan mereka, sementara bayangan yang lain melesat ke tempat di mana Tio Siau In tergeletak. Sekejap ketiga iblis itu melongo menyaksikan wajah cantik berkesan agung itu.
“Engkau... siapa?” Di dalam kekagetan mereka orang tertua dari Giam-lo Sam-kui itu bertanya.
Wanita cantik di depan Giam-lo Sam-kui, yang tidak lain adalah Bibi Lian itu berdesah pendek. “Kalian tak perlu tahu siapa kami berdua. Kami hanya meminta agar anak itu dilepaskan!”
“Oh...!” saudara tertua dari Giam-lo Sam-kui menggeram. Kulit wajahnya yang pucat itu kembali memerah. Hatinya tersinggung. “Tahukah kau... siapa gadis ini? Dia puteri ketua kami yang hilang sejak dua tahun lalu. Kami telah menemukannya kembali dan akan membawanya ke Tai-bong-pai. Nah, apakah kau tetap ingin mencampuri urusan kami?”
“Bohong...! Penjahat ini berbohong! Aku bukan anak Yok si Ki! Orang-orang ini justru telah membunuh Ibu dan Nenekku!” Tak terduga Yok Ting Ting berteriak keras sekali.
Tentu saja Giam-lo Sam-kui menjadi marah sekali. Kelima jari-jari tangan kanannya tiba-tiba terayun ke ubun-ubun Yok Ting Ting. Gadis itu menjadi pucat seketika. Dia tak mungkin bisa mengelak, karena tubuhnya tertotok lemas dan tak bisa bergerak! Namun di dalam situasi yang kritis itu mendadak terdengar suara berdesis seperti suara bara api terjatuh ke dalam air.
“Cush!” Dan Giam-lo Sam-kui tiba-tiba melihat cahaya kebiruan melesat menerjang ke arah jari tangannya yang hendak mencoblos kepala Yok Ting Ting! Ujung jari yang hampir menembus ubun-ubun Yok Ting Ting itu cepat ditarik kembali. Sebagai gantinya orang tertua dari Giam-lo Sam-kui itu mengebutkan ujung lengan bajunya ke arah cahaya yang datang.
“Taaak...! Taaaak!” Tak terasa lengannya bergetar hebat seperti menahan gempuran pedang, sehingga Yok Ting Ting terlepas dari pelukannya! Dan pada saat itu pula wanita cantik tersebut berkelebat menyambar tubuh gadis itu!
“Aaiiih...!?” Tiga Iblis dari Neraka itu membelalakkan mata mereka. Ujung lengan baju saudara tertua mereka tampak berlubang di kedua sisinya. Lubang sebesar ujung jari itu bagaikan lubang bekas tertembus anak panah.
“Kau... Kau dari keluarga Souw?” saudara tertua dari Giam-lo Sam-kui bertanya gugup.
“Benar! Ia memang puteri kesayangan Hong-gi-hiap Souw Thian Hai!” Tiba-tiba dari pinggir arena terdengar suara lembut dan merdu. Semuanya berpaling dengan cepat ke arah suara itu.Di tepian kolam, di mana air terjun itu tertumpah tampak seorang gadis cantik bak bidadari. Tubuhnya yang tinggi langsing itu melenggang gemulai bagaikan pohon yang-liu tertiup angin. Sementara itu wajahnya yang bulat telur kelihatan bercahaya laksana bintang kejora. Kalau Giam-lo Sam-kui terbelalak matanya melihat kecantikan yang tiada tara itu, sebaliknya Bibi Lian tersentak keheranan seperti melihat hantu!
“Kau... Kau siapa? Bagaimana kau bisa mengenal aku?”
Gadis ayu itu tersenyum sambil memberi hormat kepada Bibi Lian. “Cici, kau tentu telah melupakan Adikmu, karena akupun hampir melupakan wajahmu pula. Tapi Ayah telah memberikan ciri-ciri wajahmu, sehingga aku bisa mencarimu...”
“Kau... Kau mencariku? Apakah kau... souw Giok Hong?”
Gadis ayu yang kemarin berjumpa dengan Tio Siau In di atas kuburan itu mengangguk. “Benar, Cici Lian Cu. Ayah sangat prihatin dan tidak pernah percaya kalau kau mati dalam musibah kebakaran itu. Beliau tetap mencarimu kemana-mana bersama Ibu. Beruntunglah aku bisa melacakmu sampai di tempat ini. Cici, Ayah sangat kangen padamu...”
Terdengar suara tertahan di tenggorokan wanita bertangan buntung itu. Matanyapun tampak berkaca-kaca. Perlahan-lahan tangannya yang memegang Yok Ting Ting itu terkulai lemas, sehingga gadis remaja itu melorot turun ke atas rumput.
Sementara itu Giam-lo Sam-kui saling memberi isyarat untuk secara diam-diam meninggalkan tempat tersebut, karena melihat kesaktian wanita buntung tadi mereka sadar bahwa mereka tak mungkin bisa menghadapinya. Apalagi wanita itu masih memiliki dua orang kawan yang belum mereka ketahui kepandaiannya. Namun mereka percaya bahwa kedua orang itu tentu memiliki kesaktian yang serupa pula. Tapi ketika Giam-lo Sam-kui mulai bergerak melangkahkan kakinya, gadis ayu yang baru datang itu cepat membentak.
“Berhenti...! Kalian telah membunuh orang! Hmm, bagaimana mungkin pergi begitu saja?”
Bukan main malunya ketiga iblis neraka itu. Mereka benar-benar menjadi marah sekarang. Walaupun tahu berhadapan dengan tokoh sakti yang mereka perkirakan dari keluarga Souw, tapi mereka juga pantang dihina. Bagaimanapun juga mereka adalah tokoh dari partai persilatan terkenal pula.
“Hmmh! Peduli apa dengan engkau? Kami adalah petugas Pengawas Hukum dari Tai-bong-pai! Dan kedua wanita yang kami bunuh itu adalah anggota-anggota partai kami yang harus kami adili karena telah berbuat kesalahan! Apakah engkau hendak mencampuri urusan kami?” saudara tertua dari Giam-lo Sam-kui menggeram. Ketiga Iblis Neraka itu lalu berdiri berdampingan, siap untuk bertempur.
Sebaliknya gadis ayu itu tergagap bingung mendengar ucapan lawannya. Melihat hal itu Bibi Lian atau Lian Cu segera memunahkan totokan Yok Ting Ting dan bertanya kepada gadis itu. “Benarkah Nenek dan Ibumu anggota Partai Tai-bong-pai?”
Gadis remaja itu memandang jenazah ibu dan pengasuhnya. Air matanya kembali bercucuran. “Orang-orang itu sangat jahat! Mereka adalah Giam-lo Sam-kui! Mereka...uhuk-huk...!”
“Jawablah pertanyaanku dulu! Benarkah Ibu dan Nenekmu itu anggota Partai Tai-bong-pai seperti mereka?” Wanita bertangan buntung itu kembali mendesak.
Sambil tersedu-sedu Yok Ting Ting mengangguk. “Tapi... tapi Ibuku dipaksa oleh...” Jawabnya tersendat, lalu tiba-tiba terdiam kembali dan tak mau melanjutkan kata-katanya.
“Ya, sudah! Kalau begitu urusan ini memang urusan Partai Tai-bong-pai sendiri! Orang luar tidak berhak untuk mencampurinya.” Wanita buntung itu melirik Souw Giok Hong.
“Tapi... dia telah membunuh Ibuku! Aku harus membunuhnya!” Yok Ting Ting melengking tinggi. Wanita berlengan buntung itu melepaskan pegangannya.
“Kalau engkau sendiri yang hendak melawan mereka, silakan...! Kau dan mereka memang sama-sama anggota Tai-bong-pai! Cuma... Hm, rasanya kepandaianmu masih terlalu lemah dibandingkan mereka. Melawan mereka sekarang, sama saja dengan bunuh diri. Dan hal itu berarti dendam Ibu dan Nenekmu tidak ada yang membalaskan.”
Yok Ting Ting terbelalak. Di balik ucapannya wanita cantik itu seolah-olah memberi harapan kepadanya. Harapan untuk belajar ilmu silat kepadanya. Dan ketika menoleh, gadis ayu bak bidadari tadi juga tampak mengedip-ngedipkan mata kepadanya. Akhirnya Yok Ting Ting memberi hormat.
“Bibi, kau... Kau mau menerima aku sebagai murid?” Katanya dengan suara gemetar.
Wanita cantik itu menghela napas. Matanya menerawang jauh, seperti ada banyak masalah yang sedang membebani pikirannya. “Sudahlah, hal itu bisa kita pikirkan belakangan. Sekarang biarkanlah Giam-lo Sam-kui pergi. Lebih baik kita urus sendiri jenazah Ibu dan Nenekmu.”
Akhirnya wanita cantik itu berdesah dengan suara berat. Lalu tangannya dikibaskan untuk memberi isyarat agar lawannya segera pergi meninggalkan tempat itu. Bagi Giam-lo Sam-kui yang penting adalah tugas yang diberikan oleh ketua mereka, yaitu mencari Tai-bong Kui-bo dan Buku Pusaka Tai-bong Pit-kip.
Sekarang mereka telah berhasil menyelesaikan tugas tersebut dengan baik. Selain sudah berhasil menemukan Tai-bong Kui-bo dan membunuhnya, mereka juga berhasil mendapatkan Tai-bong Pit-kip pula. Oleh karena itu urusan Yok Ting Ting sebenarnya tidak penting bagi mereka.
Kalau tadi mereka berniat menangkap gadis itu, sesungguhnya hanya untuk menyenangkan ketua mereka saja. Maka melihat Yok Ting Ting sekarang dilindungi oleh orang-orang yang lebih kuat, mereka tidak ingin mencari kesulitan lagi. Mereka bergegas meninggalkan tempat tersebut. Begitu ketiga iblis itu pergi, Yok Ting Ting segera menubruk mayat ibunya dan menangis sekuat-kuatnya.
Sementara itu dari arah lain Bibi Lan datang bersama Tio Siau In. Wanita cantik itu, yang begitu tiba tadi langsung menghampiri tubuh Siau In, berhasil menyelamatkan gadis itu dari maut. Wajah Tio Siau In kelihatan pucat sekali. Meskipun dapat berjalan, namun gadis itu masih tampak lemah sekali. Serangan Giam-lo Sam-kui dan Tai-bong Kui-bo tadi benar-benar telah melukai bagian dalam tubuhnya dengan parah. Apabila tadi tidak cepat-cepat ditolong oleh Bibi Lan, mungkin dia sudah mati.
“Cici Tui Lan...? Benarkah?” Melihat kedatangan wanita cantik itu, Souw Giok Hong tiba-tiba berseru gembira.
Wanita cantik yang datang bersama Siau In itu terkejut. Matanya menatap Souw Giok Hong dengan tajamnya. Karena merasa belum pernah kenal juga, maka ia memandang Lian Cu, seakan-akan menuntut penjelasan.
“Lan-moi, kau masih ingat gadis kecil yang sering digendong Ayahku dahulu” Wanita bertangan buntung itu akhirnya berkata pelan.
“Maksudmu dia ini... giok Hong?” Wanita yang datang bersama Siau In itu bertanya ragu.
Lian Cu mengangguk sambil meraih pundak Giok Hong. “Benar, Lan-moi entah bagaimana caranya dia sampai bisa menemukan persembunyian kita ini. Padahal sudah dua belas tahun kita menghilang dan kukira setiap orang juga beranggapan bahwa kita sekeluarga telah terbakar hangus di dalam Istana itu. Aaah!” Wanita cantik itu berdesah sedih.
“Semua orang memang berpendapat begitu, karena perajurit yang memeriksa reruntuhan Istana itu telah menemukan mayat dua wanita yang sedang memeluk anak-anaknya. Jadi semua orang menganggap bahwa Cici sekeluarga memang telah menjadi korban kebakaran itu. Cuma... ayah dan Ibu yang tidak percaya pada khabar itu. Menurut Ayah, Cici bedua memiliki kepandaian tinggi. Tidak mungkin Cici mati hanya karena kobaran api itu. Dan sampai sekarangpun Ayah tetap mencari Cici."
Sekali lagi wanita bertangan buntung itu berusaha menahan sedu-sedannya. Terbayang kembali wajah Hong-gi-hiap Souw Thian Hai, ayahnya, yang kini tentu sudah tua. “Aku bersama kakakmu Tui Lan memang dapat menyelamatkan diri. Tapi anak-anak...? Ah, kasihan sekali mereka...”
Sementara itu Siau In yang tidak pernah melupakan wajah Giok Hong, menyapa dengan suara lemah pula. “Hei, Cici... ternyata kita bertemu kembali.”
“Ah, kau? Mengapa kau tampak kesakitan begitu? Apakah engkau terluka?” Giok Hong menyahut kaget.
“Aku terkena pukulan Perempuan Bongkok yang kukatakan tadi malam itu. Kebetulan aku menemukannya di dekat air terjun ini dan sedang berkelahi dengan lawan-lawannya. Tetapi ketika mereka melihat aku, entah mengapa... tiba-tiba semuanya berbalik menyerangku.” Siau In bercerita dengan suara lirih dan agak gemetar.
“Begitukah? Padahal sebenarnya Perempuan Bongkok itu tidak begitu jahat. Kelakuannya yang aneh itu disebabkan oleh keinginannya untuk melindungi anak dan cucunya, lihatlah, dia telah menjadi korban lawan-lawannya!”
“Oooh! Lalu... Kemana tiga orang lawannya itu? Apakah mereka menemukan anak dan cucunya?” Souw Giok Hong mengangguk sambil menunjuk Yok Ting Ting yang sedang menangisi mayat ibunya
“Itu dia anak dan cucunya. Hampir saja mereka mati di tangan orang-orang itu.”
“Sudahlah!” Tui Lan atau Bibi Lan menengahi. “Kita urus dulu mayat mereka! Setelah itu kita bisa berbincang-bincang lagi sepuasnya. Bagaimana? Setuju?”
Lian Cu dan Giok Hong mengangguk. Mereka lalu membujuk Yok Ting Ting, agar merelakan kedua orang tuanya dikuburkan. Semakin cepat dikuburkan akan semakin baik buat mereka. Semula Yok Ting Ting menolak. Gadis yang sekarang merasa sebatangkara dan tidak memiliki sanak saudara lagi itu tidak memperbolehkan ibunya dikubur. Namun setelah Lian Cu dan Tui Lan membujuknya, gadis itu mau juga menurut. Sambil menimbun tanah ke liang lahat, Lian Cu mendekati Giok Hong. Ia berbisik ke telinga gadis ayu itu.
“Eh, Giok Hong! Bagaimana dengan Pangeran Liu Yang Kun? Apakah dia telah pulang ke Istana?” Tapi gadis ayu itu menggelengkan kepalanya.
“Belum, Cici. Sampai sekarang Pangeran Liu Yang Kun belum muncul juga. Entahlah, semua orang juga sudah melupakannya. Malah sekarang Permaisuri Li telah mengangkat puteranya sendiri untuk menggantikan Pangeran Liu Yang Kun menjadi putera mahkota. Anehnya... pangeran mahkota yang baru itu mendadak juga hilang dari Istana. Persis seperti peristiwa hilangnya Pangeran Liu Yang Kun pada lima belas tahun yang lalu. Dan sekarang sudah lebih dari dua tahun pangeran muda itu menghilang dari Istana. Permaisuri Li sudah berkali-kali mengerahkan pasukan rahasia untuk mencari puteranya itu.”
Terdengar tarikan napas yang berat di dada Lian Cu. Matanya juga menerawang jauh. Kenangannya bersama Pangeran Liu yang kun kembali terbayang di depan matanya.
“Apakah dia benar-benar sudah tiada...?” Lian Cu bergumam seperti kepada dirinya sendiri. Memang sebenarnyalah bahwa kedua wanita cantik itu adalah isteri Pangeran Liu Yang Kun. Mereka bernama Han Tui Lan dan Souw Lian Cu. Mereka berdua merupakan jago-jago silat berkepandaian tinggi, sebelum menjadi isteri Pangeran Liu yang kun. Han Tui Lan adalah Anggota Aliran Im-yang-kauw, sedangkan Souw Lian Cu adalah puteri Hong-gi-hiap Souw Thian Hai dari isteri pertamanya.
Seperti telah dituturkan pada permulaan cerita ini, Istana Pangeran Liu yang kun terbakar habis bersama seluruh isinya. Semua orang berpendapat bahwa keluarga Pangeran Liu yang kun habis terbakar api. Namun anggapan itu ternyata tidak benar. Kedua isteri Pangeran Liu yang kun dan putera-puteri mereka ternyata dapat lolos dari malapetaka tersebut.
Semuanya selamat walaupun terpisah dan saling tidak mengetahui keadaan masing-masing. Han Tui Lan dan Souw Lian Cu dapat menyelamatkan diri dengan luka bakar di seluruh badan mereka. Sedangkan putera-puteri mereka dapat diselamatkan oleh Tabib Tong Kian Teng, walaupun akhirnya anak-anak tersebut juga hilang di dalam perjalanan mereka. Karena mengira anak-anak mereka sudah mati, apalagi mereka berdua juga menderita luka bakar yang parah.
Maka Souw Lian Cu dan Han Tui Lan sengaja menyembunyikan diri di gua itu sambil mengobati luka-lukanya. Sepuluh tahun telah berlalu dan mereka sudah dapat melupakan peristiwa sedih itu. Namun peristiwa tak terduga pada hari ini, telah membangkitkan kembali kenangan lama mereka. Kenangan yang sangat menyakitkan, yang membuat luka di hati mereka seolah-olah terkoyak kembali.
“Lalu... bagaimana dengan mayat para dayang dan anak-anak yang ditemukan setelah kebakaran itu? Apakah mereka juga dikuburkan secara layak? Hmm, kasihan sekali para dayang itu! Mereka tentu telah berusaha menyelamatkan anak-anak...” Souw Lian Cu meneruskan pertanyaannya begitu upacara penguburan itu selesai.
“Benar, Cici. Mereka dimakamkan secara terhormat, karena semua orang memang menyangka bahwa mereka adalah isteri dan putera-puteri Pangeran Liu Yang Kun. Permaisuri Li malah mengadakan upacara kebesaran di seluruh negeri. Ah... semua orang tentu akan kaget sekali kalau tiba-tiba Cici berdua muncul di depan mereka.”
“Jangan dipikirkan dulu masalah itu! Sebaliknya kita mengatur rencana sebelum melangkah. Dan pertama-tama... Kita bicarakan dulu masalah Yok Ting Ting ini. Eh... Namamu Yok Ting Ting, bukan? Kudengar Giam-lo Sam-kui menyebut namamu tadi...” Souw Lian Cu mengalihkan pembicaraan kepada Yok Ting Ting. Gadis yang masih dibalut kesedihan itu mengangguk.
“Kau boleh memilih, tinggal bersama kami atau pulang ke Tai-bong-pai?” Souw Lian Cu bertanya dengan suara perlahan.
Yok Ting Ting menundukkan mukanya. Beberapa kali dia mengusap matanya yang basah. “Aku... aku sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi. Semua orang Tai-bong-pai juga memusuhi aku. Maka... Kalau diperbolehkan aku akan tinggal di sini saja. Aku bisa membantu apa saja. Memasak, menyediakan teh, mencuci pakaian...”
Ucapan itu benar-benar menyentuh lubuk hati Souw Lian Cu dan Han Tui Lan. Mereka jadi ingat akan anak-anak mereka sendiri, yang tidak dapat mereka asuh karena musibah itu. Mereka tentu telah tumbuh sebesar Yok Ting Ting atau Tio Siau In ini apabila masih hidup. Dengan penuh kelembutan Han Tui Lan lalu mengelus rambut Yok Ting Ting. Bahkan matanya tampak berkaca-kaca ketika berkata.
“Anak manis, jangan khawatir! Kau boleh tinggal bersama kami sesukamu. Sampai kau bosan. Lihatlah, kau akan mempunyai banyak teman di sini. Gadis ayu yang ada di depanmu ini bukan bidadari, tapi adik Bibi Lian Cu. Namanya Souw Giok Hong. Dan gadis di dekatku ini bernama Tio Siau In, dari Aliran Im-yang-kauw. Dia akan lama berada di sini, karena luka dalamnya sangat parah. Mudah-mudahan aku dan Bibi Lian Cu bisa menyembuhkan lukanya.”
Yok Ting Ting melelehkan air mata saking gembiranya. Ia segera berlutut di depan Han Tui Lian dan Souw Lian Cu. Han Tui Lan dan Souw Lian Cu saling pandang dengan tersenyum. Mereka berdua benar-benar merasa bahagia, seolah-olah kehilangan mereka akan keluarga selama ini sedikit terhibur dengan kedatangan mereka.
Gua yang sepi itu tiba-tiba terasa semarak. Mereka lalu saling menceritakan pengalaman mereka masing-masing. Souw Lian Cu bercerita tentang penderitaannya bersama Han Tui Lan pada waktu menyelamatkan diri dari Istana dua belas tahun lalu. Mereka berdua berlari tanpa mengenakan sepotong pakaianpun di tubuh mereka. Baju yang mereka pakai telah habis dimakan api.
Bahkan hampir semua kulit tubuh mereka melepuh, sementara rambut di kepala mereka juga tidak ada tersisa sama sekali. Oleh karena itu selain merasa kesakitan, mereka juga malu bertemu orang. Keadaan mereka pada waktu itu lebih pantas disebut mayat daripada manusia hidup. Begitulah, mereka lalu mencari tempat sunyi untuk bersembunyi dan mengobati luka-luka mereka.
“Mengapa Cici tidak pulang saja ke rumah? Ayah dan Ibu tentu akan mengobati luka-luka itu.” Souw Giok Hong menyela keputusan kakaknya untuk menyendiri.
Han Tui Lan tersenyum. “Ah, saat itu kami benar-benar sudah putus asa. Suami hilang, anak mati terbakar, sementara kami sendiri juga lebih pantas disebut kuntilanak daripada manusia.”
“Ya... Mana ada keinginan untuk kembali lagi?” Souw Lian Cu menambahkan sambil tersenyum.
“Tapi sekarang Cici berdua telah pulih menjadi cantik lagi.” Souw Giok Hong memuji.
“Ah, kami telah menjadi tua sekarang. Dan kami berdua merasa betah di tempat ini, sehingga kami tidak ingin kemana-mana lagi.”
“Cici, kau...?” Souw Giok Hong tiba-tiba cemberut.
“Sudahlah! Sekarang ganti kau yang bercerita. Bagaimana kau dapat menemukan kami di sini?” Souw Lian Cu cepat mengalihkan pembicaraan lagi. Merasa belum puas bicara tentang kakaknya, Souw Giok Hong hampir saja tidak mau bercerita tentang dirinya. Tapi dengan nada halus dan lembut akhirnya Han Tui Lan bisa juga membujuknya, sehingga gadis itu lalu menceritakan pengalamannya.
“Ayah sering mengajak aku dan Ibu berkeliling ke seluruh pelosok negeri untuk mencari jejak dan berita Cici. Walaupun semua orang menganggap kami gila, tapi kami tak peduli. Dan bertahun-tahun kemudian, setelah aku selesai mempelajari ilmu silat Keluarga Souw, aku berusaha mencari Cici sendiri. Setiap kali mendengar berita tentang pendekar wanita yang muncul di dunia kang-ouw, aku segera mencarinya.”
“Giok Hong, kau memang gila... Mencari orang yang sudah dianggap mati!” Souw Lian Cu menyela.
“Tetapi... bukankah jerih payahku tidak sia-sia? Akhirnya aku juga dapat menemukan Cici berdua.”
Souw Lian Cu menatap adik tirinya dengan perasaan haru. “Baiklah, teruskan ceritamu!” Souw Giok Hong tersenyum, lalu melanjutkan ceritanya.
“Sebulan yang lalu aku mendengar dongeng tentang Dewi Bulan yang sering muncul di daerah pantai timur ini. Malah selain Dewi Bulan aku juga mendengar cerita tentang Perempuan Bongkok pula. Demikianlah, hampir sebulan lamanya aku berkeliaran di daerah ini untuk menemui Dewi Bulan atau Perempuan Bongkok itu. Siapa tahu salah seorang di antara mereka adalah Cici?”
“Benar. Aku malah melihat sendiri penduduk kampung di tepi sungai itu mengadakan upacara memanggil Dewi Bulan di atas tebing. Ketika aku membuntuti mereka, tiba-tiba datang Perempuan Bongkok menculik salah seorang di antara mereka. Eh...??” Tak terasa Siau In menyela.
Tapi mulutnya segera terdiam manakala menyebut si Perempuan Bongkok. Dia segera sadar bahwa perempuan bongkok itu adalah pengasuh Yok Ting Ting. Untunglah Yok Ting Ting tidak merasa tersinggung oleh ucapan Siau In. Bahkan. gadis itu mau memberi penjelasan kepada mereka.
“Maaf, Cici. Orang-orang Tai-bong-pai memang memiliki sifat dan adat istiadat aneh yang lain dari orang kebanyakan. Kami sering dianggap jahat dan disebut sebagai pengikut ajaran ilmu hitam. Bahkan untuk mempelajari ilmu silat Tai-bong-pai, sering dilakukan dengan cara-cara yang aneh. Dengan upacara-upacara mistik serta menggunakan benda-benda yang dianggap bertuah. Dan salah satu di antara benda bertuah yang dapat menambah kekuatan kami adalah... Memanfaatkan zat yang keluar dari mayat manusia.”
“Mayat manusia...?” Siau In bergidik ngeri.
“Ya! Itulah yang dilakukan Tai-bong-Kui-bo selama ini. Untuk menambah kekuatan Ilmu Perampas Ingatan yang sedang dia pelajari, dia harus banyak menyadap dari bangkai manusia. Karena sudah kehabisan bangkai manusia, maka Tai-bong Kui-bo mulai menculik orang kampung. Ah, kasihan dia. Dia melakukan hal itu karena ingin membalaskan dendam kami kepada Ketua Tai-bong-pai.”
“Hei! Bukankah mereka masih satu perguruan?” Souw Giok Hong bertanya keheranan.
Wajah Yok Ting Ting tiba-tiba berubah. Mulutnya terdiam, tapi sinar matanya menyimpulkan kesedihan, kegeraman, sekaligus juga keputusasaan yang dalam. Souw Lian Cu cepat menepuk pundak Yok Ting Ting.
“Sudahlah! kau tak usah menceritakannya kalau keberatan.”
Sekonyong-konyong Yok Ting Ting memeluk Souw Lian Cu dan menangis sekeras-kerasnya. Tentu saja kelakuannya itu mengagetkan yang lain. Namun dengan sabar dan telaten Han Tui Lan dan Souw Lian Cu membujuk dan membesarkan hatinya. Akhirnya Yok Ting Ting mau juga menceritakan siapa sebenarnya dia dan ibunya. Siapa pula sesungguhnya Tai-bong Kui-bo itu. Dia juga bercerita tentang aib yang disandang ibunya. Bagaimana penderitaan ibunya selama ini.
Mereka sangat membenci Yok si Ki. Benci sekali. Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa. karena bagaimanapun juga orang itu adalah ayahnya. Semuanya berdesah dan menggeram, seolah-olah ikut terbuai dalam kekalutan pikiran Yok Ting Ting. Terutama Tio Siau In. Gadis yang biasanya acuh tak acuh dan suka berbuat sekehendak hatinya itu, seperti bisa merasakan penderitaan Yok Ting Ting dan ibunya.
“Sudahlah, kau benar. Kau memang tidak boleh memusuhi Ayahmu sendiri. Perbuatannya yang tak terpuji itu tentu akan mendapatkan balasan nanti. Biarkan saja orang lain yang melakukannya. Sekarang tenangkanlah hatimu di sini. Anggaplah kami semua ini sebagai pengganti keluargamu.” Souw Lian Cu menghibur.
“Te-terima kasih! Terima kasih...!” Yok Ting Ting sekali lagi memberi hormat sambil meneteskan air mata. Untuk beberapa saat mereka hanyut dalam keharuan. Tapi Siau In segera mengganggu keheningan itu dengan pertanyaannya.
“Cici Hong, kau belum selesai dengan cerita Dewi Bulan mu tadi. Selesaikan dulu, dong!”
Souw Giok Hong tidak menjawab. Justru Souw Lian Cu yang meneruskan kisah adiknya itu. “Ternyata daya cium Giok Hong kali ini memang benar. Meskipun sempat dikacaukan oleh keberadaan Tai-bong Kui-bo di sini, tapi tokoh yang dianggap sebagai Dewi Bulan itu memang kami berdua adanya. Dan anggapan penduduk itu berawal dari seringnya kami berdua membantu segala macam kesulitan mereka secara diam-diam. Oleh karena kami hanya berani keluar di malam hari, maka mereka menganggap kami sebagai seorang dewi. Dan sebagai imbalan atas bantuan itu mereka mengadakan persembahan makanan kepada kami. Ah, mereka memang terlalu bodoh dan sederhana...”
“Untunglah pada saat-saat terakhir aku bisa melihat Cici. Kalau tidak, ah... aku tentu akan segera pergi begitu melihat perempuan bongkok itu bukan Cici. Dalam benakku perempuan bongkok itu juga... dewi Bulan.”
Souw Lian Cu memeluk adiknya. “Thian memang telah mentakdirkan kita bersua kembali.”
Demikianlah, mulai hari itu Tio Siau In tinggal bersama mereka untuk memulihkan kembali luka-lukanya. Dia memang selalu teringat kepada kakaknya. Tapi dengan keadaannya sekarang, tidak mungkin dia bisa meninggalkan tempat itu.
Sementara itu jauh di luar Kota Hang-ciu, di sebuah pondok kecil yang terpencil di tengah-tengah rawa, Tio Ciu In benar-benar berada dalam keadaan putus asa. Dengan badan lumpuh akibat totokan dan dada terbuka akibat kekasaran Ho Bing, gadis itu meratapi nasibnya. Tiada aib yang lebih menyakitkan dan memilukan hati seorang gadis selain diperkosa oleh laki-laki yang dibencinya. Dan kini Tio Ciu In akan mengalami hal seperti itu, diperkosa oleh seorang pengemis yang belum pernah dikenalnya.
Demikianlah, dalam keadaan putus asa segala macam usaha segera dicoba oleh Tio Ciu In. Ketika tiba-tiba muncul bayangan Pendekar Buta di benaknya, maka gadis itu segera ingat akan pesannya. Apabila ingin berjumpa dengan orang tua itu dia harus menyanyikan lagu “Menanti Kekasih.” Dan harapan itulah yang sekarang dicoba oleh Tio Ciu In. Dia menyanyikan lagu itu dengan penuh perasaan. Dia tak peduli lagi apakah lagu itu dapat didengar atau tidak.
Apabila di malam gelap gulita,
Tiba-tiba muncul Bulan Purnama.
Malampun bagai tersentak dari tidurnya,
Menyambut hangatnya Sang Pelita Malam!
Kekasihku?
Aku selalu mengharap kedatanganmu!
Karena merasa tak berpengharapan lagi, maka suara itu bebar-benar bergetar dari lubuk hati. Suaranya mengalun pedih penuh dengan dorongan perasaan. Maka getaran suara yang terciptapun mampu menggetarkan udara di sekitarnya. Sementara itu si Tongkat Bocor Ho Bing meninggalkan ruangan tersebut dengan hati mendongkol. Ketika menyanggupi perintah Mo Goat, dia sudah berpesan bahwa dia akan bekerja sendiri dan tidak mau diganggu sebelum selesai menunaikan tugasnya. Maka kedatangan seseorang di saat seperti itu benar-benar tidak disukainya.
“Bangsat kurang ajar! Kalau urusan yang dibawa cuma sepele, akan kubunuh orang itu!” Ho Bing agak terkejut juga ketika sampai di ruang tengah. Ruangan berukuran tiga tombak persegi itu penuh dengan bangkai serigala. Begitu pula halnya dengan ruangan depan. Bau darah terasa anyir memuakkan. Ruangan depan itu tampak sepi. Halaman depan yang terlihat dari pintunya yang terbuka juga kelihatan sunyi. Yang tampak hanya tumpukan bangkai serigala di mana-mana. Ho Bing mulai curiga.
“Bbrrrrrrh!” Tiba-tiba seekor elang putih menukik dari atas dan terbang masuk ke dalam rumah. Ho Bing meloncat mundur. Namun sebelum kakinya mendarat, matanya terbelalak kaget! Entah dari mana datangnya, tiba-tiba di depan pintu telah berdiri seorang lelaki berambut panjang. Wajahnya putih pucat, seputih warna pakaian yang dipakainya.
“Kau... Kau siapa? Mengapa kau masuk rumah orang seenaknya? kau kah yang membunyikan lonceng?” Di dalam kegugupannya Ho Bing membentak garang.
“Benar. Akulah yang menarik loncengmu. Tapi kau tak perlu tahu namaku, karena aku hanya ingin mengambil gadis yang datang bersamamu tadi.” Orang yang berpenampilan aneh dan menakutkan itu menjawab dengan suara dingin.
Ho Bing menggeram. Jawaban orang itu benar-benar memuakkan hatinya, sehingga hasratnya untuk membunuh orang benar-benar timbul sekarang. “Kurang ajar! Enak saja kau bicara! Kau kira mudah mengambil sesuatu dari tangan si Tongkat Bocor Ho Bing?”
Tak terduga orang itu meludah. “Aku! tidak peduli! Untuk menyingkirkan kau tak perlu waktu lama. Paling-paling cuma dua jurus saja! Itupun nyawamu sudah melayang!”
Saking marahnya Ho Bing malah tak bisa bicara lagi. Tongkatnya segera terayun ke depan dengan derasnya. Kekuatannya sungguh hebat luar biasa, sehingga tongkat berlubang itu mengeluarkan suara melengking seperti suling. Namun pada saat yang hampir bersamaan, orang itu juga melesat ke depan untuk menyongsong tongkat Ho Bing. Tubuhnya berputar cepat di udara, sementara telapak tangannya menyambar ke arah kepala Ho Bing.
Kecepatannya benar-benar sulit diikuti dengan pandang mata biasa. Ho Bing hanya bisa melihat lawannya menerjang ke arah dirinya dengan cara berputar seperti gasing di udara. Tapi akibatnya sungguh di luar dugaan! Rambut Ho Bing yang digelung ke atas itu tiba-tiba jatuh ke tanah! Rambut itu seolah-olah dipangkas dengan pisau cukur! Wajah Ho Bing seolah-olah tak berdarah lagi! Putih pucat seperti mayat!
Apalagi ketika menyadari bahwa rambut itu hanya ditabas dengan sisi telapak tangan saja! Oh, kalau saja tebasan tangan itu sejengkal lebih ke bawah, pikirnya. Ho Bing benar-benar menjadi lemas. Dia yang selama ini sangat ditakuti orang, ternyata ditaklukkan orang dalam satu gerakan saja. Sungguh suatu kepandaian yang amat mentakjubkan!
“Tu-tuan... si-siapa?” Ho Bing bertanya dengan suara gemetaran. Untunglah pada saat itu juga terdengar suara nyanyian Tio Ciu In, mengalun perlahan melintasi ruangan tersebut. Hawa pembunuhan yang memenuhi ruangan itu mendadak surut kembali.
“Hmmh... sedang apa dia? Mengapa bernyanyi-nyanyi begitu? Apa dia sedang mandi, heh?” Orang berambut panjang itu menurunkan tangannya, lalu melangkah ke ruang dalam.
Ho Bing mencoba menggerakkan kakinya untuk menghadang, tetapi tidak bisa. Kekuatannya seperti tidak ada lagi. Dan pada saat itu pula sekonyong-konyong dari ruang dalam menyambar burung elang putih, yang tadi masuk ke dalam rumah. Burung itu terus melesat keluar dan terbang tinggi ke udara.
“Hehehe...! Tampaknya kau ingin memanggil bantuan dengan burungmu itu?” Orang berambut panjang itu berhenti melangkah dan berpaling sambil tertawa menghina. Ho Bing terkejut. Dia juga mengira burung itu milik lawannya.
“Jadi... burung itu... burung itu juga bukan milik Tuan?”
“Apa...? Jangan mengada-ada! Huh!”
Wajah Ho Bing menjadi merah! Hatinya sungguh amat sakit. Biarpun berpakaian pengemis, tapi selama ini tak seorangpun berani membentak-bentak dirinya seperti itu! Bahkan setiap orang cenderung segan dan takut kepadanya! Namun apa boleh buat, sekali ini lawannya memang benar-benar bukan tandingannya. Sedikit saja ia salah ngomong, nyawanya bisa melayang. Oleh karena itu dia tidak boleh bermain kasar. Dia harus pandai-pandai melihat keadaan, dia harus menghadapinya dengan kecerdikan.
“Baiklah! Tuan boleh mengambil gadis itu. Tapi sebelumnya perkenankanlah aku mengetahui nama besarmu agar hatiku merasa puas karenanya.” Ho Bing memberi hormat. Wajah pucat itu tampak sangat puas.
“Apakah kau benar-benar ingin tahu namaku? Hehehe, dengarlah! Namaku... Yok Si Ki! Kau pernah mendengarnya?”
“Yok... Si... Ki? Tuan ini... Ketua Tai-bong-pai?” Suara Ho Bing menjadi gemetaran lagi.
“Nah... Kau mulai ketakutan, bukan?”
Ho Bing menggeretakkan giginya. Nama itu memang sangat mengerikan baginya. Meskipun baru sekarang melihat orangnya, tapi nama itu telah didengarnya sejak dulu. Nama itu sangat terkenal di dunia persilatan. Setiap orang tentu tahu, siapa Ketua Partai Tai-bong-pai yang ganas itu.
“Tidak! Aku hanya ingin bertanya sedikit...”
“Bertanya...? Apa yang hendak kau tanyakan?”
“Tuan tadi mengatakan... bahwa Tuan ingin bertemu dengan gadis itu. Hem mm, apakah Tuan mempunyai hubungan keluarga dengan dia?” Tak terduga orang itu berkata kasar.
“Kau gila! Kau kira rupaku mirip dengan dia, hah? Aku ingin bertemu dia karena dia seorang gadis yang cantik menggairahkan! Tahu? Sudah berbulan-bulan aku tidak menjumpai gadis secantik dia. Hahaha... aku akan menyesal sekali kalau kesempatan ini tak kupergunakan!”
Bukan main kagetnya Ho Bing. Ternyata orang itu mempunyai keinginan yang sama dengan dirinya. Sama-sama ingin menikmati tubuh cantik itu. Tiba-tiba timbul akalnya yang cerdik. “Bagus! Kalau begitu... Maksud Tuan tidak berbeda dengan tugas yang diberikan kepadaku. Tidak ada bedanya, siapa yang harus menikmati gadis itu.”
Yok si Ki bukan orang bodoh. Bahkan sebagai ketua sebuah partai persilatan besar, yang terkenal tak disukai orang, maka otaknya juga penuh dengan akal dan kelicikan pula. Namun demikian, sekali ini Yok si Ki tidak dapat menebak, apa yang ada di belakang ucapan Ho Bing itu. “Apa maksudmu? Katakan lekas!”
“Seseorang telah mengupah aku untuk memperkosa gadis itu sampai mati. Nah, bukankah tidak menjadi soal bagiku... siapa yang harus memperkosanya? Pokoknya gadis itu mati dalam keadaan sudah diperkosa. Habis perkara!”
Yok si Ki mengerutkan keningnya. Masa ada tugas seaneh dan seenak itu? Dibayar pula? “Hei! Siapa yang mengupahmu itu? Apakah dia telah ditolak lamarannya oleh gadis itu?”
Ho Bing meringis. “Ditolak? Wah, bukan-bukan! Dia juga seorang perempuan! Bukan karena itu...!”
“Perempuan? Oh, kalau begitu... tentu bersaing dalam kecantikan. Mereka tentu bersaing dalam hal kecantikan. Karena cantik, maka perempuan itu ingin menghabisi saingannya. Lalu dia mengupahmu untuk membunuh gadis itu. Begitukah?”
“Tidak. Bukan begitu. Gadis yang mengupah aku itu juga cantik sekali. Bahkan menurut pendapatku dia justru lebih menarik dan lebih bergaya.”
Yok si Ki mengerutkan dahinya. “Jadi, mengapa dia mengupahmu? Ooooh... apakah mereka saling berebut lelaki?”
Ho Bing menatap lawannya. Melihat wajah lawannya tidak sekeruh dan seganas tadi, hatinya menjadi lega. “Aku juga tidak tahu persis sebabnya, Menurut keterangan beberapa orang pelayan tadi di kota mereka memang pernah berkelahi, malah pada waktu berkelahi masing-masing membawa teman sehingga pertempuran menjadi semakin seru, pertempuran baru berhenti setelah dilerai oleh seorang lelaki buta datang memisah mereka.”
“Kalau begitu mereka mengupahmu karena... dendam? Lalu... berapa dia memberi uang kepadamu?”
Ho Bing menatap lawannya sambil menghela napas. Tidak mungkin dia membohongi orang itu. “Sepuluh tail emas! Dan akan ditambah lagi bila tugas itu bisa kuselesaikan dengan baik.” jawabnya singkat.
“Wah... begitu murahkah harga gadis secantik itu? Tapi, baiklah... sekarang serahkan saja uang itu kepadaku! Biarlah aku yang melakukan tugasmu! Dan kau boleh mengambil uang tambahannya nanti. Bagaimana...?”
Ho Bing tak bisa mengelak lagi. Terhadap Yok si Ki ia tidak bisa berbuat apa-apa, karena orang itu dapat berbuat apa saja. Termasuk hal-hal yang tidak mungkin dilakukan oleh manusia biasa Jangankan harus menolak atau memilih, dapat lepas dari keganasannya saja sudah untung bagi Ho Bing. Maka tiada jalan lain baginya selain harus memenuhi perintahnya. Yok si Ki menerima uang itu dengan sorot mata dingin.
“Nah, sekarang tunjukkan tempat gadis itu! Awas, kau jangan bertingkah macam-macam di depanku.”
Ho Bing terpaksa membawa Yok si Ki ke ruang bawah tanah. Mereka berjalan beriringan. Ho Bing di depan dan Yok si Ki mengikuti di belakangnya. Sayup-sayup masih terdengar alunan suara Tio Ciu In menyanyikan lagu “Menanti Kekasih.” Semakin lama suara itu semakin jelas.
“Dia menggunakan Coan-im-jib-bit. Tampaknya dia ingin menghubungi seseorang...” Yok si Ki bergumam perlahan.
“Menghubungi teman-temannya? Ah, mana mungkin! Temannya hanya Tabib Ciok ketika datang ke mari tadi. Dan orang tua itu sudah pergi bersama pembantunya.”
“Hanya Tabib Ciok? Bukankah kau tadi mengatakan bahwa temannya sangat banyak?”
“Yah... tapi mereka tidak ada gunanya dibandingkan Tuan. Hanya dengan sebelah tangan saja Tuan mampu mengalahkan mereka.”
“Jangan terlalu meremehkan kekuatan orang lain. Satu persatu mereka mungkin tidak bisa melawanku. Tapi kalau mereka maju bersama? Huh... bisa merepotkan juga!”
“Kalau begitu... apa yang hendak Tuan lakukan? Membawa gadis itu pergi dari tempat ini?” Yok si Ki tersenyum. Senyum pertama sejak kemunculannya tadi.
“Kau memang pandai menebak hati orang. Aku memang baru saja memikirkannya.” Ho Bing juga tersenyum. Senyum lega karena jalan untuk mengambil hati orang itu terasa kian licin. Namun senyumnya segera hilang begitu lawannya meneruskan ucapannya.
“Tapi... aku juga harus lebih berhati-hati terhadapmu! Orang seperti engkau tentu sangat berbahaya! Dan... aku tidak ingin terkecoh olehmu. Ingatlah itu! Sedikit saja aku curiga, jangan harap kepalamu masih bertengger di situ!”
Ho Bing terkesiap. Ketua Tai-bong-pai itu ternyata lebih cerdik dan lebih berbahaya dari yang ia duga. “Lihat, Tuan! Itulah kamarnya!” ucapnya keras untuk menghilangkan rasa kecut di hati.
“Bagus! Masuklah! Aku ikut di belakangmu! Ingat, jangan berbuat yang mencurigakan!” Tapi ketika Ho Bing meraih daun pintu, Yok si ki membentak kembali.
“Tahan! Ada orang datang...!”
“Siapa? Aku tidak mendengarnya...” Ho Bing berbisik.
“Mereka masih satu lie dari sini. Ah banyak sekali...”
“Satu lie? Ah, masih jauh! mungkin mereka hanya lewat saja. Walaupun terpencil, kadang-kadang tempat ini juga dilewati orang. Mungkin...”
“Diam! Mereka menuju ke tempat ini. Ada kira-kira sepuluh atau lima belas orang banyaknya. Ah, lebih baik gadis itu kita bawa keluar dulu. Ayo, cepat!”
Mereka bergegas masuk. Dan Tio Ciu In hampir saja bersorak begitu melihat bayangan Yok si Ki. Namun kegembiraan itu segera hilang begitu menyadari siapa yang datang. Sepintas lalu penampilan Ketua Partai Tai-bong-pai itu memang mirip dengan Pendekar Buta. Keduanya sama-sama jangkung dan berambut panjang. Begitu datang mata Yok si Ki dan Ho Bing tak pernah lepas dari dada Tio Ciu In yang terbuka. Gadis itu benar-benar memiliki dada yang mulus dan indah. Bahkan kulitnya yang bersih itu seperti mengeluarkan cahaya di dalam gelap.
“Gila! Sungguh sempurna! Ayo, kita bawa dulu gadis ini keluar! Kita sembunyikan agar tidak diketahui orang! Ah, sungguh beruntung sekali aku hari ini...!” Yok si Ki berkata sambil menyambar tubuh Tio Ciu In dan dibawa keluar.
“Ouuuugh! Lepaskan aku! Lepaskan...!” Tio Ciu In menjerit-jerit, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Tubuhnya lemas bagai tak bertulang. Yok si Ki melompat dan berlari ke luar, diikuti oleh Ho Bing. Tapi langkah mereka segera terhenti di halaman depan. Sekelompok pengemis tampak berdiri bergerombol menantikan mereka. Dua pengemis tua tampak memimpin rombongan itu. Mereka adalah Jeng-bin Lokai dan Pek-bi-kai.
Yok si Ki terkejut. Ternyata ia salah perhitungan. Tak disangka mereka datang begitu cepat. Yok si Ki tidak tahu bahwa kaum pengemis, terutama anggota Tiat-tung Kai-pang, mengenal daerah itu seperti mengenal diri mereka sendiri. Mereka mengenal jalan pintas dan jalan setapak yang biasa dilalui binatang-binatang buruan. Ketika Yok si Ki berusaha menghindar, Jeng-bin Lokai buru-buru menghadang.
“Maaf, Tuan! Ijinkanlah kami berbicara sebentar...” Orang tua itu cepat menganggukkan kepalanya dan memberi hormat.
“Kalian siapa?” Yok si Ki menggeram penuh kewaspadaan.
“Mereka anggota Tiat-tung Kai-pang...” Ho Bing buru-buru membisiki Yok si Ki. Suaranya sedikit gemetar.
Sementara itu di dalam gendongan Yok si Ki, Tio Ciu In seperti mengenal suara, orang-orang yang baru saja datang itu. Tapi karena dipanggul secara terbalik di atas pundak Yok si Ki, maka pandangannya terhalang oleh punggung orang itu.
“Kami adalah pengemis-pengemis hina dari Tiat-tung Kai-pang. Aku adalah Jeng-bin Lokai dan di sebelahku ini... Pek-bi-kai. Dan kalau tidak salah lihat kami sedang berhadapan dengan Ketua Tai-bong-pai. Benarkah?”
Yok si Ki mengerutkan keningnya. Dia juga pernah mendengar nama-nama itu. Mereka adalah orang-orang yang memiliki nama besar di dunia persilatan. Walaupun demikian ia tidak peduli. Yang perlu diwaspadai adalah sahabat-sahabat mereka, karena para pengemis itu bersahabat dengan tokoh-tokoh persilatan ternama.
“Benar, Lokai. kau memang tidak salah lihat. Aku memang Yok si Ki dari Tai-bong-pai. Lalu... apa kehendak Lokai menghentikan aku?”
Tiba-tiba Jeng-bin Lokai mengalihkan pandangannya ke arah Ho Bing. “Maaf Yok Ciangbun. Kami mempunyai urusan penting dengan kawan Yok Ciangbun ini. Salah seorang anggota kami melihat dan mendengar bahwa kawan Yok Ciangbun ini mengaku sebagai anggota Tiat-tung Kai-pang, bahkan mengaku sebagai tangan kananku. Padahal setiap orang tahu, bahwa Ho Bing si Tongkat Bocor bukan anggota kami lagi. Dia kami keluarkan dari Tiat-tung Kai-pang karena telah berbuat kesalahan besar terhadap perkumpulan. Nah, Yok Ciangbun, ijinkanlah kami bertanya kepadanya. Apakah yang ia inginkan dengan kebohongannya itu? Apakah karena soal wanita lagi seperti dulu?”
Yok si Ki menghela napas lega. “Oh! Jadi Lokai ingin berurusan dengan dia? Aha, silakan kalau begitu. Sebenarnya kami bukan sahabat atau kawan. Kebetulan saja kami punya urusan kecil di sini. Nah, silakan! Aku akan pergi dulu...!”
“Jeng-bin Lokai...! Jehg-bin Lokai, tolong...!” Tiba-tiba Tio Ciu In berteriak begitu tahu siapa yang mencegat mereka.
Yok si Ki dan Ho Bing terkejut. Mereka lupa bahwa tawanan mereka sudah terlepas dari totokan gagunya. Namun hal itu justru sangat menggembirakan hati Ho Bing, karena tidak mungkin para pengemis itu membiarkan Yok si Ki pergi.
“Hei, Nona Tio Ciu In rupanya! Ah, Yok Ciangbun... jangan pergi dulu!”
Benar juga. Pengemis tua itu buru-buru menghentikan Yok si Ki. “Kurang ajar! Apa sebenarnya kemauanmu, Pengemis Tua? Bukankah kau ingin berurusan dengan Ho Bing? Mengapa tiba-tiba berubah pikiran? Apakah kau ingin melihat darah anak buahmu berceceran di tempat ini?”
“Ah, ternyata benar juga dugaanku. Tidak ada masalah lain bagi Ho Bing selain masalah wanita. Bahkan kali ini masalahnya menjadi besar dengan ikut campurnya ketua Tai-bong-pai. Nah, Yok Ciangbun, kami semua memang bukan lawan yang setimpal bagimu. Tapi mengingat gadis itu adalah kawan kami, kami memberanikan diri memohon kepadamu. Lepaskanlah dia...!”
Tak terduga Yok si Ki tertawa panjang. “Ah-ah-ah... tampaknya kalian lebih menyukai kawan daripada nyawa kalian sendiri. Baiklah, kalian boleh mengeroyokku untuk merebut gadis ini. Aku siap melayani. Tapi jangan salahkan aku kalau nama-namamu nanti akan tinggal kenangan bagi sahabat-sahabatmu yang lain, ho-ho-hoh-ha-ha.”
“Jadi Yok Ciangbun tetap tidak mau melepaskan gadis itu?” Jeng-bin Lokai berdesah.
“Jangan banyak bicara! Majulah!” Jeng-bin Lokai tahu, Yok si Ki merupakan tokoh paling terkemuka dari golongan ilmu hitam. Selain ilmu silatnya yang berbau ilmu hitam itu sangat tinggi, dia juga seorang ketua partai persilatan besar yang mempunyai banyak anggota di dunia kang-ouw. Walau ilmu silatnya tidak seganas dan sekeji ilmu silat orang-orang dari Lembah Tak Berwarna, tapi Yok si Ki sangat ditakuti orang. Namun demi menyelamatkan teman Kwe Tek Hun, putera sahabat mereka, Jeng-bin Lokai rela menyabung nyawa. Sebelum maju ke depan pengemis tua itu memberi isyarat kepada Pek-bi-kai.
“Baiklah, Yok Ciangbun. Aku si Pengemis Tua ini minta pelajaran darimu.” Katanya kemudian sambil melangkah ke depan. Jeng-bin Lokai lalu mengangkat tongkatnya. Tongkat besi sepanjang satu setengah depa, yang selama ini telah mengangkat namanya di dunia persilatan. Setelah memberi peringatan, orang tua itu lalu memancing reaksi lawan dengan menyodokkan tongkat itu ke arah ulu hati.
Sambil menyodok kakinya siap bergeser ke kiri apabila lawannya menghindar. Sebaliknya ia juga siap dengan jurus berikutnya apabila lawan menangkis serangan itu. Tapi apa yang dilakukan oleh Yok si Ki sungguh di luar perkiraan Jeng-bin Lokai. Tokoh ilmu hitam itu ternyata tidak menangkis atau menghindari sodokannya. Pada saat yang paling kritis, orang itu justru balas menyerang dengan cengkeraman jari-jarinya.
“Wus!” Jeng-bin Lokai segera mengendus bau bangkai dari hembusan tangan itu! Dan pada saat yang bersamaan pula, Pek-bi-kai tiba-tiba bersiul keras sekali! Suara siulan itu segera disambut dengan suara suara siulan yang lain di kejauhan. Bahkan di beberapa tempat kemudian tampak panah berasap meluncur ke udara.
Yok si Ki dan Ho Bing terkejut. Otomatis jari tangan Yok si Ki yang telah mencengkeram ujung tongkat Jeng-bin Lokai itu dilepaskan kembali. Tokoh ilmu hitam itu mundur selangkah sambil mengamati tongkatnya yang telah melengkung dan penyot di ujungnya. Ujung tongkat itu bagaikan meleleh dibakar api.
“Bukan main! Besi saja menjadi penyok begini, apalagi kulit dan daging manusia!” Jeng-bin Lokai berkata di dalam hati. Yok si Ki mendengus dengan suara di hidung.
“Huh! kau mau mengundang seluruh anggota Tiat-tung Kai-pang ke tempat ini? Silakan kalau memang itu keinginanmu. Tempat ini akan menjadi kuburan masal bagi Tiat-tung Kai-pang!” Ho Bing yang dari tadi hanya diam di tempatnya, tiba-tiba melangkah maju.
“Tuan, mereka memberikan isyarat tanda bahaya kepada semua orang, kepada semua sahabat-sahabat mereka yang kebetulan berada di sekitar tempat ini. Lebih baik kita segera pergi, karena sebentar lagi mereka akan datang. Mungkin sepuluh, dua puluh, atau lebih banyak lagi. Kita berdua tak mungkin melawan mereka.” Bisiknya dengan suara khawatir. Sekali lagi Yok si Ki mendengus.
“Bagus! Biarlah mereka datang! Biar mereka saksikan di sini, suatu kejadian yang takkan mereka lupakan seumur hidup mereka. Musnahnya sebuah perkumpulan pengemis yang terkenal sejak dulu!”
“Tapi kalau hal itu benar-benar terjadi, justru Tuanlah yang tak bisa tidur nyenyak setiap hari. Harap Tuan memikirkannya juga.” Ho Bing yang tidak ingin mendapat kesulitan di kemudian hari, mencoba membujuk Yok si Ki.
“Apa katamu? Aku tak bisa tidur nyenyak? Mengapa?”
“Tuan memang dapat membantai mereka. Tapi selanjutnya seluruh kaum persilatan akan memusuhi Tuan, bahkan memusuhi Tai-bong-pai. Semua orang akan datang mencari Tuan...” Ho Bing berhenti sebentar, lalu lanjutnya pula. “Mungkin Tuan tidak takut menghadapi mereka. Tapi tak mungkin Tuan melayani mereka terus menerus. Satu kalah, tentu yang lain akan datang. Dua kalah maka berpuluh-puluh yang lain akan datang pula. Belum lagi kalau mereka bersatu, beramai-ramai menghadapi Tuan. Apakah Tuan tidak akan menjadi kewalahan nanti?”
“Apa...?” Ketua Tai-bong-pai itu mendelik, namun kata-kata itu termakan juga di hatinya.
“Ingatlah, Tuan. Tuan tentu tahu juga, bahwa Tiat-tung Kai-pang selalu bersahabat dengan Hong-gi-hiap Souw Thian Hai dan Keh-sim Taihiap Kwe Tiong Li. Bagaimana kalau salah seorang di antara mereka juga mencari Tuan? Apakah Tuan juga sudah siap menghadapi mereka?”
“Aku tidak takut! Mereka tidak akan bisa mengalahkan aku.” Yok si Ki berteriak, tapi tampak sekali perubahan wajahnya ketika Ho Bing menyebutkan nama Hong-gi-hiap Souw Thian Hai.
Ho Bing menarik napas panjang. Matanya menatap para pengemis yang mengepung tempat itu. “Baiklah! Kalau begitu, silakan Tuan bertempur dengan mereka! Lebih baik aku pergi menyelamatkan diri! Nah, selamat tinggal...!” Sekonyong-konyong Ho Bing membalikkan tubuhnya, kemudian melesat masuk kembali ke dalam rumah. Gerakannya cepat sekali dan tak dapat terduga oleh siapapun juga.
“Hei! Mau kemana kau? Tunggu...!” Yok si Ki berteriak, lalu menjejakkan kakinya mengejar. Gerakannya juga tidak kalah cepat pula. Bahkan tampak lebih ringan dan lebih lincah meskipun di pundaknya ada Tio Ciu In!
“Lepaskan aku! Lepaskan...!” Tio Ciu ln menjerit.
“Yok Ciangbun jangan lari! Lepaskan Nona Tio...!” Jeng-bin Lokai berseru keras seraya melompat ke depan. Namun Pek-bin Lokai segera menahannya.
“Jangan masuk, Lo-heng! Kedua orang itu sangat licik! Kita jangan sampai terperangkap oleh akal bulus mereka. Biarlah mereka di dalam. Rumah ini sudah kita kepung. Kita tunggu dulu bantuan yang datang. Nanti kita gempur bersama-sama.” Pengemis beralis putih itu menasehati Jeng-bin Lokai.
“Benar. Hampir saja aku terkecoh oleh kelicikan Ho Bing.”
Sementara itu Ho Bing melesat ke ruang bawah tanah kembali. Yok si Ki yang tak ingin kehilangan Ho Bing cepat menyusup ke dalam pula sebelum pintu itu tertutup kembali. Sambil berlari menuruni tangga Ho Bing menoleh.
“Tuan beruntung mau menerima saranku. Sebentar lagi tempat ini akan terkepung oleh puluhan, bahkan mungkin malah ratusan pendekar persilatan. Tuan tentu tahu, bahwa peristiwa pembantaian prajurit dan para pemenang sayembara itu membuat pendekar-pendekar persilatan datang ke daerah ini.”
“Lalu... Mau kemana kita? Bersembunyi di ruang ini?”
Ho Bing berdiri di tengah ruangan. Air mukanya yang kelimis, walaupun rambutnya terpotong pendek, tampak berseri-seri. Pandang matanya menunjukkan kegembiraan.
“Lepaskan aku! Lepaskan aku...!” Tio Ciu In yang menjadi ketakutan karena dibawa kembali ke dalam ruangan itu, berteriak dan menjerit-jerit. Gadis itu benar-benar ketakutan.
“He-he-he, Yok Ciangbun. Tentu saja kita bersembunyi di tempat ini. Mau kemana lagi?” Pengemis licik itu tertawa senang. Tampak sekali kalau dia amat yakin akan keselamatannya.
“Apa maumu, heh?” Yok si Ki membentak berang. Tiba-tiba saja Ketua Tai-bong-pai itu menyambar dada Ho Bing. Cepat bagai kilat.
Ho Bing yang sudah bersiaga itu mengelak dan berteriak mengancam lawannya. Di tangannya tergenggam botol berisi cairan berwarna merah. “Berhenti, Yok Ciangbun! Atau kau dan gadis itu akan mati di ruangan ini!”
“Apa maksudmu...?” Yok si Ki menggeram sambil membuang sobekan kain baju Ho Bing yang tersambar oleh tangannya tadi.
Diam-diam hati Ho Bing menjadi kecut juga. Dalam puncak kesiagaannya, ternyata tetap saja ia hampir mati disambar tangan Yok si Ki. Gerakan orang itu benar-benar seperti setan cepatnya...