Ketika dinding pondok itu mulai terkoyak api, maka satu persatu kayu penahan gentingpun mulai berjatuhan pula. Sementara itu di bagian bawah, tiang penyangga rumah juga sudah mulai goyah digerogoti api. Liu Wan terbatuk-batuk. Matanya hampir tak bisa dibuka lagi. Ruangan itu penuh asap tebal yang menyesakkan napas.

Mendadak lantai ruangan itu berderak patah. Ternyata lidah api benar-benar telah membakar balok penyangga lantai, sehingga lantai papan di atasnya langsung rontok pula ke bawah. Otomatis semua orang yang ada di dalam ruangan itu terjeblos ke bawah.
“Byuuuuur...!” Dalam keadaan lumpuh dan terikat mereka tak mungkin dapat bergerak atau berenang menyelamatkan diri. Apalagi ketiga tokoh Aliran Im-yang-kauw itu terikat menjadi satu. Yang bisa mereka lakukan hanya berusaha untuk tetap mengambang dan menempatkan hidung mereka di atas air.
Tapi untuk melakukan hal itu juga sulit bukan main. Terutama bagi orang-orang Im-yang-kauw itu. Selain guncangan air membuat mereka selalu bergerak timbul-tenggelam, mereka harus bisa saling bergantian mengambil napas di permukaan air. Dan usaha itu semakin sulit dengan adanya kayu-kayu yang berjatuhan dari rumah.
Untunglah mereka berempat merupakan jago-jago silat yang sudah terbiasa melakukan latihan bernapas di dalam air. Sehingga dengan kemampuan dan kecerdikan mereka, mereka bisa memanfaatkan setiap kesempatan yang ada. Bahkan dengan memanfaatkan alunan gelombang air, mereka dapat menghindari kayu dan api yang berjatuhan di sekitar mereka.
Karena pondok itu memang terpencil dan jauh dari pemukiman penduduk, maka tak seorangpun mengetahui kebakaran tersebut. Sampai pondok itu habis roboh ke dalam air, tidak seorangpun datang melawat ke tempat itu. Akhirnya dengan memanfaatkan gelombang air, mereka berempat dapat mendarat di tepian empang.
Mula-mula yang dapat membebaskan diri dari pengaruh totokan adalah Lojin-Ong. Orang tua itu segera melepaskan diri dari ikatan dan keluar dari dalam air. Kemudian berturut-turut ia menolong Tan Sin Lun, Giam Pit Seng dan Liu Wan. Dan begitu selesai mengeluarkan mereka, orang tua itu lalu duduk bersamadi untuk memulihkan tenaga lebih dulu.
Beberapa saat kemudian orang tua itu menarik napas panjang. Lalu tubuh yang bongkok itu berdiri. Wajah tua renta itu sudah berseri-seri kembali. Liu Wan memandang kagum. Orang tua itu benar-benar memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Hanya dalam waktu singkat dia bisa memunahkan totokan lawan. Padahal dengan segala kepandaiannya Liu Wan masih tetap belum bisa melepaskan diri. Bahkan usahanya itu justru membuat otot-ototnya menjadi sakit.
“Lo-Cianpwe, tolonglah aku. Bukalah totokanku ini...” Akhirnya pemuda itu memohon perlahan.
Orang tua itu menoleh. Mulutnya yang ompong tak bergigi itu tersenyum lebar. “Anak muda, ilmu silatmu tadi benar-benar hebat. Kau bisa melayani Bocah Gila itu dalam beberapa saat lamanya. Aku lantas teringat kepada sahabatku, yang memiliki gerakan seperti ilmu silatmu itu. Dia bernama Hong-lui-kun Yap Kiong Lee Hemmm, kau kenal dengan dia?”
Liu Wan tak segera menjawab. Selama ini ia selalu menyamar karena tak ingin dikenal orang, sehingga pertanyaan itu sulit dijawabnya. Untunglah pada saat yang bersamaan terdengar suara ramai mendatangi. “Apakah itu...?” Liu Wan pura-pura kaget.
Lojin-Ong menoleh. Dilihatnya beberapa orang penduduk berlari ke tempat itu. Karena hari sudah gelap, mereka membawa obor di tangan. Ternyata ada juga seorang penduduk yang melihat kebakaran itu. Kebetulan sore tadi ia ingin berobat ke rumah Tabib Ciok. Melihat pondok itu dimakan api, dia cepat kembali memberi tahu tetangga-tetangganya. Tapi karena kampung mereka cukup jauh, maka kedatangan mereka sudah terlambat.
Namun demikian kedatangan orang-orang itu cukup memberi pertolongan kepada Liu Wan dan kawan-kawannya. Mereka membawa Liu Wan dan rombongan orang Im-yang-kauw itu ke kampung mereka. Mereka bergantian menggotong Liu Wan, Giam Pit Seng dan Tan Sin Lun. Hanya Lojin-Ong yang bisa berjalan sendiri.
Ternyata mereka tidak mengenal Liu Wan. Wajah pemuda itu sama sekali tidak mirip Tabib Ciok, karena penyamarannya telah dicopot dan dipereteli oleh Mo Hou. Apalagi alat penyamarannya yang lain, seperti bantal pengganjal punggung, gigi palsu dan lain-lainnya, juga copot di dalam empang. Orang-orang itu tinggal di dekat kuil Pek-hok-bio, yang semalam baru saja diobrak-abrik oleh kawanan pengemis dari Tiat-tung Kai-pang.
“Para pendeta kuil itu memang tidak pernah mengganggu penduduk kampung ini. Tapi kami sering bertanya-tanya di dalam hati kalau kebetulan banyak tamu asing yang datang. Logat bicara mereka seperti orang-orang dari luar Tembok Besar.” Salah seorang penduduk itu bercerita.
“Benar. Dandanan merekapun lain dengan dandanan orang-orang di sini. Sikap merekapun kasar-kasar. Pernah beberapa orang diantara mereka berkelahi dengan pemuda kami. Untung para pendeta kuil itu cepat melerai.” Yang lain ikut berbicara pula.
“Yaaaah, akhirnya ketahuan juga bahwa kuil itu dipergunakan oleh para perusuh dari utara.” Pemilik rumah yang dipakai untuk merawat Liu Wan dan kawan-kawannya berkata pelan.
“Siapa yang mengatakan itu?” Lojin-Ong bertanya.
“Para pengemis itu.” Orang-orang itu menjawab serentak.
Lojin-Ong tersenyum. “Apakah pengemis-pengemis itu tidak berbohong? Jangan-jangan mereka hanya memfitnah saja, karena permintaan derma mereka ditolak oleh para pendeta kuil itu.”
“Wah, Loheng ini ada-ada saja. Kau belum tahu siapa mereka. Pengemis-pengemis itu adalah anggota Tiat-tung Kai-pang, yang sangat terkenal di daerah selatan ini. Mereka bukan pengemis-pengemis biasa. Mereka memiliki kepandaian silat tinggi. Segala sepak-terjang mereka juga diatur dan diawasi oleh perkumpulannya.”
“Wah, hebat sekali...!” Lojin-Ong pura-pura kagum.
Beberapa orang lalu bertanya tentang kebakaran di rumah Tabib Ciok. Mereka juga menanyakan Tabib Ciok dan pembantunya. Lojin-Ong menjadi bingung juga untuk menjawab. Apalagi ketika ia melirik ke arah Liu Wan. Pemuda yang menyamar sebagai Tabib Ciok itu masih tampak lemah tak berdaya. Tentu ada sesuatu yang disembunyikan pemuda itu dan ia tak ingin mencampurinya.
Selain mereka belum pernah saling mengenal, hati tuanya merasakan bahwa pemuda itu tak bermaksud jahat. Oleh karena itu ia menjawab pertanyaan orang-orang itu sesuai dengan apa yang dialaminya, tanpa menyinggung atau melibatkan Liu Wan.
“Entahlah. Semula kami hanya ingin mencari tempat aman untuk mengobati luka, karena kami baru saja bertempur dengan perampok di jalan. Eeeeh, tak tahunya para perampok itu masih tetap mengejar kami. Nah, di dalam pondok itulah kami bertempur lagi. Mereka berjumlah banyak, sehingga kami kewalahan. Kami diringkus dan diikat menjadi satu, lalu dibakar bersama-sama pondok kayu itu.”
“Oh, begitu. Lalu... apakah Loheng tidak bertemu dengan Tabib Ciok, pemilik rumah itu?”Lojin-Ong menggelengkan kepalanya. “Ketika kami datang, rumah itu kosong tidak ada penghuninya.”
“Ah, kalau begitu Tabib Ciok masih hidup.” Orang-orang itu tersenyum gembira. Tampaknya mereka sangat hormat dan suka kepada tabib itu. Sekali lagi Lojin-Ong melirik ke arah Liu Wan. Ketika dilihatnya pemuda itu mulai bisa menggerakkan tangan dan kakinya, dia segera menghampiri.
“Wah, tampaknya kau sudah bisa membebaskan diri dari pengaruh totokan itu. Bukan main. Orang muda zaman sekarang memang hebat-hebat.” Ia berbisik di telinga Liu Wan.
Liu Wan tersenyum kikuk. Orang tua itu seperti tahu segalanya. Oleh karena itu ia segera mengalihkan pembicaraan. “Wah, Lo-Cianpwe kejam sekali. Membiarkan kami semua lemas tak berdaya.”
Lojin-Ong tersenyum maklum. “Ah, tidak mudah memunahkan totokan itu. Terus terang aku tak mampu melakukannya. Dibutuhkan seorang yang memiliki tenaga dalam sempurna untuk dapat memunahkan totokan itu. Bocah kejam itu benar-benar hebat sekali. Semuda itu usianya, ternyata ilmu silatnya sudah mendekati kesempurnaan. Lohu (aku) yang telah belajar dan mendalami ilmu silat lebih dari tiga perempat abad, rasanya cuma sedikit saja di atasnya. Bahkan Ilmu Memindah Jalan Darah, yang telah kupelajari selama puluhan tahun sama sekali tidak dapat menangkal kekuatan jarinya. Yah, apa boleh buat. Kita terpaksa harus menunggu totokan itu punah sendiri.”
Lojin-Ong tidak melanjutkan kata-katanya, karena orang-orang kampung itu segera mendekati Liu Wan pula. Mereka bertanya macam-macam, yang dijawab seadanya oleh pemuda itu. Demikianlah, beberapa saat kemudian Giam Pit Seng dan Tan Sin Lun juga bisa bergerak kembali. Giam Pit Seng segera mengucapkan terima kasih kepada para penolongnya.
Sedangkan Liu Wan bergegas mendekati Tan Sin Lun yang pernah berkunjung ke pondoknya. Dengan berbisik Liu Wan minta agar penyamarannya tidak dibeberkan kepada penduduk itu. Setelah berbicara panjang lebar dengan orang-orang kampung itu, Liu Wan lalu memberitahukan keadaan Tio Ciu In dan Tio Siau In kepada Giam Pit Seng. Dia juga bercerita tentang kepergian Tio Ciu In ke markas Tiat-tung Kai-pang ketika mereka berpisah.
“Anak muda! Siapakah tokoh Tiat-tung Kai-pang yang berada di Hang-ciu sekarang? Kudengar Tiat-tung Hong-kai dan Tiat-tung Lokai sudah lama meninggal?” Lojin-Ong berbisik kepada Liu Wan.
“Entahlah, Lo-Cianpwe. Tapi pimpinan Tiat-tung Kai-pang yang ada di Hang-wi sekarang adalah Jeng-bin Lokai.”
Ternyata berita itu sangat mencemaskan hati Giam Pit Seng. Dengan suara agak gemetar ia meminta pendapat Lojin-Ong. “Bagaimana kalau kita segera menjumpai anak itu, Lojin-Ong? Siapa tahu anak itu butuh pertolongan? Dia telah kehilangan adiknya, tentu pikirannya sangat kacau.”
“Mungkin kita tak perlu ke markas Tiat-tung Kai-pang, Lo-Cianpwe. Hari sudah malam, mungkin Nona Tio sudah kembali ke penginapan. Kita tengok dulu di sana.” Liu Wan memotong.
“Baiklah. Kita pergi ke penginapan dulu. Kalau belum kembali, kita pergi ke markas Tiat-tung Kai-pang. Ayoh, sekarang kita berpamitan dulu kepada para penolong kita!” Lojin-Ong mengangguk-angguk, lalu melangkah ke depan untuk meminta diri kepada tuan rumah.
Demikianlah, malam itu juga mereka mencari Tio Ciu In. Tan Sin Lun yang sangat mengkhawatirkan keadaan sumoinya, tampak sangat tegang di sepanjang jalan. Dan sikap pemuda pendiam itu tak pernah lepas dari penglihatan Liu Wan.
“Tampaknya memang ada perhatian khusus dari pemuda ini untuk Tio Ciu In.” Katanya di dalam hati.
Sampai di penginapan mereka mendapat keterangan bahwa Tio Ciu In belum kembali. Tentu saja semuanya menjadi heran dan khawatir. Bahkan Tan Sin Lun mulai berpikir yang bukan-bukan. Jangan-jangan sumoinya mendapat kesulitan di markas Tiat-tung Kai-pang. Lalu dengan tergesa-gesa mereka menuju keluar kota, ke markas Tiat-tung Kai-pang. Namun di tempat itu mereka benar-benar memperoleh berita yang mengejutkan. Tio Ciu In hilang diculik Yok si Ki dan Ho Bing!
“Yok si Ki...? Gila...! Mengapa iblis itu sampai di Pantai Timur ini? Apa yang sedang dicarinya?” Giam Pit Seng tersentak kaget. Nama Yok si Ki memang menyeramkan dan sangat ditakuti orang di mana-mana.
“Siapakah Yok si Ki itu, Suhu?” Tan Sin Lun bertanya.
Lojin-Ong kelihatan kesal pula. “Manusia iblis itu bukan tokoh sembarangan. Dia adalah Ketua Partai Tai-bong-pai. Ilmu silatnya sangat hebat. Terkenal karena kekejamannya dan kesukaannya mempermainkan wanita. Siapapun juga harus berhati-hati bila bertemu dengan orang itu.”
Tan Sin Lun semakin kelabakan mendengar keterangan itu. “Lalu... Lalu apa yang mesti kita lakukan, Suhu?” Teriaknya ketakutan.
Giam Pit Seng juga tidak kalah khawatirnya. Namun demikian dia masih dapat mengendalikan dirinya. Dia segera meminta pendapat Lojin-Ong, orang yang amat dihormatinya.
Sesepuh aliran Im-yang-kauw itu mengelus-elus jenggotnya. Sebelum menjawab ia bertanya lebih dulu kepada Jeng-bin Lokai. “Lo-heng, benarkah anak itu dibawa oleh Yok si Ki?”
“Lohu tidak tahu pasti, siapa sebenarnya yang membawa Nona Tio. Seingatku si Tongkat Bocor Ho Bing tidak pernah berkawan dengan ketua Tai-bong-pai. Tapi kenyataannya mereka berdua memang berkomplot untuk menculik gadis itu. Lohu menyaksikan sendiri mereka membawa masuk Nona Tio ke dalam rumah. Ketika Lohu bersama kawan-kawan yang lain mengepung dan mengejar mereka, mereka telah hilang tidak tentu rimbanya. Kami lalu menggeledah rumah itu. Tapi kami tetap tak bisa mendapatkan mereka. Kedua orang itu benar-benar hilang...”
“Kau tidak menyelidiki rumah itu dengan teliti? Siapa tahu mereka lewat pintu rahasia?”
Jeng-bin Lokai mengangguk. “Benar. Kami memang curiga, jangan-jangan mereka lari lewat pintu rahasia. Celakanya, kami tidak pernah bisa menemukan pintu rahasia itu. Akhirnya kami memutuskan untuk mencari mereka di rawa-rawa itu. Tetapi mereka tetap tidak dapat kami temukan...” Jeng-bin Lokai memberi keterangan.
“Benar. Tidak biasanya Yok si Ki berkawan dengan orang lain. Dia selalu bertindak sendirian. Dia terlalu percaya pada kemampuannya sendiri. Tentu ada sesuatu yang membuat mereka saling membutuhkan.” Lojin-Ong menduga-duga.
“Lalu... apa yang akan kita perbuat, Lojin-Ong?” Giam Pit Seng mendesak.
“Yah, sebaiknya kita melihat rumah di tengah rawa itu lagi. Siapa tahu kita bisa menemukan petunjuk di sana?”
“Benar, Lojin-Ong.” Jeng-bin Lokai mengiyakan. “Satu-satunya petunjuk yang bisa kita cari memang hanya di tempat itu. Marilah... akan kutunjukkan tempatnya.”
“Wah, kami cuma mengganggu Jeng-bin Lokai saja...” Giam Pit Seng berdesah kikuk.
“Ah, saudara Giam... jangan terlalu sungkan. Sudah menjadi kewajiban kita untuk saling membantu. Apalagi musibah itu disebabkan oleh keinginan Nona Tio untuk mengunjungi markas kami.” Pengemis tua itu menjawab dengan suara ikhlas. Demikianlah, mereka lalu pergi bersama-sama ke pondok Ho Bing. Hari benar-benar telah menjadi gelap ketika mereka sampai di daerah rawa-rawa itu.
“Itulah rumahnya...!” Jeng-bin Lokai menunjuk ke sebuah pondok kecil agak menjorok ke tengah rawa. Mereka meniti jembatan bambu, melangkah menuju halaman pondok. Rumah itu masih tetap terbuka pintunya. Bahkan lampunya juga belum dinyalakan, sehingga dari luar tampak gelap gulita. Tampaknya Ho Bing belum kembali, atau kemungkinan memang benar-benar sudah menghilang dari tempat itu.
“Bagaimana, Lojin-Ong? Kita langsung masuk ke dalam atau kita ketuk dulu pintunya?” Giam Pit Seng meminta pendapat pimpinannya.
Lojin-Ong mengerahkan tiga bagian dari seluruh tenaga saktinya, kemudian melangkah mendekati pintu. “Tampaknya penghuni rumah ini memang belum pulang. Tetapi kita tidak boleh lengah. Siapa tahu ada orang lain di dalam? Atau mungkin juga ada jebakan?”
“Benar! Kalau begitu... biarlah Lohu yang masuk lebih dahulu!” Jeng-bin Lokai berkata lantang. Lalu tanpa persetujuan kawan-kawannya Jeng-bin Lokai masuk.
Lojin-Ong dan Giam Pit Seng cepat mengikuti di belakangnya. Begitu pula dengan yang lain. Mereka masuk ke pondok itu dalam keadaan siap tempur. Pondok kecil itu mempunyai lima buah ruangan, yaitu ruang depan, ruang tengah, ruang samping dan ruang belakang. Mereka memeriksa ruangan tersebut satu persatu dengan teliti. Bangkai serigala masih berserakan di segala tempat, sementara bau anyir juga masih tercium di dalam pondok itu.
“Semuanya belum berubah. Keadaannya masih tetap seperti siang tadi...” Jeng-bin Lokai bergumam perlahan.
“Bagus! Kalau begitu tempat ini belum dijamah orang lain selain kita sendiri. Nah, sekarang... di manakah tempat menghilangnya Yok si Ki dan Ho Bing?” Lojin-Ong berbisik.
“Kami tidak tahu pasti. Mereka menghilang setelah masuk ke Ruang Belakang. Padahal ada tiga buah pintu di dalam ruangan itu. Kami tidak bisa menentukan, pintu mana yang dipakai oleh mereka. Tapi yang jelas semua pintu dapat mereka pergunakan untuk melarikan diri, karena semuanya menuju ke halaman belakang.”
Mereka berdiri di ruang belakang. Giam Pit Seng menyalakan lampu yang tergantung di dekat pintu keluar menuju dapur. Di dalam keremangan lampu minyak, suasana di dalam pondok itu sungguh menyeramkan.
“Lihat...! Tak ada tanda-tanda yang menunjukkan adanya pintu rahasia di tempat ini. Kesimpulannya. Mereka memang benar-benar lari lewat halaman belakang, menerobos semak-semak, kemudian menyeberangi rawa-rawa. Kami tidak bisa mengikuti mereka, karena mereka lebih paham dan lebih kenal tempat ini.”
Lojin-Ong, Giam Pit Seng dan yang lain, mencoba meneliti seluruh perabot yang ada di dalam ruangan itu. Mereka mencoba mendapatkan pintu rahasia yang mungkin digunakan oleh Yok si Ki. Namun ternyata tak seorangpun menemukannya. Pintu itu benar-benar tersembunyi.
Demikianlah, mereka lalu keluar ke halaman belakang. Dalam temaramnya cahaya bulan yang tampak hanyalah rawa dan semak belukar. Begitu luasnya rawa itu sehingga batasnyapun tidak kelihatan oleh mereka. Suasananya tampak lengang, sunyi, serta mengerikan!
“Lihat...! Rawa ini sudah memakan banyak korban. Baik penduduk di sekitarnya, maupun para pendatang yang belum paham seluk beluk rawa ini.” Jeng-bin Lokai menerangkan.
“Lalu... sampai di mana para anggota Tiat-tung kai-pang tadi menyusuri rawa ini?” Lojin-Ong bertanya.
Jeng-bin Lokai tersenyum malu. “Wah, maafkanlah kami. Kami hanya sampai pada jarak satu lie dari sini. Kami terpaksa kembali karena keadaan rawa semakin berbahaya dan sulit dilalui. Di malam hari semua binatang melata akan keluar dari sarangnya. Padahal sebagian besar dari binatang itu memiliki racun yang sangat berbahaya. Terutama racun ular rawa berjengger merah. Sekali patuk racunnya akan membuat orang menjadi buta dan gila.”
“Oh... sedemikian berbahayanya? Wah, benar-benar mengerikan!” Giam Pit Seng mengerutkan dahinya.
“Baiklah! Kalau begitu biarlah kami menunggu di sini sampai besok pagi. Kami akan mencoba sekali lagi menyusuri rawa ini pada siang hari. Siapa tahu kami dapat menemukan orang-orang itu. Nah, terima kasih atas bantuan Jeng-bin Lokai. Untuk selanjutnya, biarlah kami yang menangani sendiri. Kami tidak berani terus-terusan mengganggu para sahabat dari Kai-pang...” Lojin-Ong berkata pelan.
Tiba-tiba wajah pengemis tua itu berubah. “Apa yang kau katakan itu, Lojin-Ong? Jangan katakan bahwa kami para pengemis ini adalah orang-orang yang takut mati. Kalau tadi kami harus menunda pencarian di dalam rawa, hal itu bukan karena kami takut. Tapi semua itu kami lakukan demi keselamatan orang-orang kami pula. Kami tak ingin asal berani saja. Kami juga harus memperhitungkan keselamatan kami sendiri pula.”
“Ah, maafkan kami! Maafkan...! Kami tidak bermaksud begitu. Kami benar-benar tidak ingin mengganggumu. Itu saja, lain tidak!” Lojin-Ong cepat-cepat menjelaskan.
“Benar, Lo-Cianpwe. Kami sangat berterima kasih sekali atas bantuanmu. Namun demikian kami juga sangat sungkan kalau harus selalu merepotkan orang...” Giam Pit Seng ikut berbicara.
“Tidak! Lohu tidak merasa terganggu sama sekali. Oleh karena itu kami akan tetap tinggal pula sampai besok.” Jeng-bin Lokai berkata tegas.
Mereka lalu masuk ke dalam pondok lagi. Lojin-Ong dan Jeng-bin Lokai segera bersila dan bersamadhi di pojok ruangan. Begitu pula dengan Giam Pit Seng, setelah mengatur penjagaan ia lalu bersamadi pula di belakang sesepuhnya itu. Sementara itu Liu Wan dan Tan Sin Lun merasa kegerahan di dalam pondok. Keduanya melangkah keluar mencari udara segar.
“Nona Tio juga datang ke pondokku beberapa hari yang lalu.” Liu Wan membuka percakapan.
Tan Sin Lun menoleh. Matanya memandang Liu Wan, kemudian menghela napas panjang. “Dia juga menanyakan Siau In, adiknya?”
Liu Wan mengangguk. “Benar. Dan jawabku sama dengan jawaban yang kuberikan kepada Tan-heng. Nona Siau In memang tidak pernah dibawa ke tempatku.”
Sin Lun berdesah panjang. Sambil memandang bintang-bintang di langit ia bergumam. “Heran. kemana sebenarnya anak itu? Apabila tidak ada apa-apa, tentunya sudah kembali menemui Suhu.”
“Yah, kita hanya bisa berdoa, mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu yang jelek padanya.” Liu Wan mencoba membesarkan hati pemuda itu.
Keduanya lalu berbincang-bincang sambil berjaga. Semakin lama Liu Wan semakin yakin bahwa pemuda itu memang amat mencintai Tio Ciu In. Dan entah mengapa, kenyataan itu benar-benar sangat memukul hatinya. Malam semakin larut, udarapun terasa semakin dingin pula. Rasa kantuk mulai menyerang Liu Wan dan Tan Sin Lun, sehingga untuk menghilangkannya Liu Wan lalu berdiri dan berjalan menuju ke halaman depan.
“Mau ke mana...?” Tan Sin Lun bertanya.
“Berjalan-jalan saja. Mataku mengantuk sekali. Aku...? Hei, awas! Aku seperti melihat bayangan di jembatan!” Tiba-tiba Liu Wan berbisik dan berlindung di bawah rimbunnya dedaunan.
“S-s-siapa...?” Tan Sin Lun tergagap kaget.
“Entahlah! Tolong kau beritahu yang lain bahwa ada orang datang ke tempat ini! Aku akan mengawasi orang itu...” Tanpa membantah Tan Sin Lun menyelinap masuk, kemudian melaporkan kecurigaan Liu Wan itu kepada gurunya. Sementara itu Liu Wan mencoba memotong gerak bayangan itu.
“Berhenti...!” Liu Wan menghardik begitu bayangan tersebut kelihatan lagi.
Bayangan itu tersentak kaget dan berhenti dengan tiba-tiba. Di dalam kegelapan malam tampak bayangan mengkilap panjang terpegang di dalam tangannya. “Kau siapa? Mengapa berkeliaran di sini? Apa yang kau cari?” Tak terduga bayangan itu justru membentak Liu Wan.
“Gila! Aku yang bertanya kepadamu! Jawab dulu!” Liu Wan berseru marah.
“Persetan! Kauyang gila! Enak saja memaksa orang! Kau pikir ini rumahmu, heh?” Ternyata bayangan itu menjadi berang pula. Bahkan sambil berteriak dia menyerang dengan benda mengkilap itu.
“Wuuuuuut!” Terdengar suara mencicit ketika benda yang tidak lain adalah sebatang tongkat besi itu menerjang ke arah ulu hati Liu Wan!
“Traaaaaang!” Liu Wan menangkis dengan kursi yang ada di dekatnya, sehingga kursi itu pecah berantakan! Liu Wan melompat mundur. Dia tetap tak bisa mengenali lawannya. Malam memang terlalu gelap untuk melihat wajah orang. Tetapi yang jelas orang itu bersenjatakan tongkat besi seperti halnya kaum pengemis.
Begitulah, karena tak ada yang mau mengalah, maka mereka berdua segera terlibat dalam pertempuran sengit. Bayangan itu menyerang Liu Wan dengan ganas. Tongkatnya menyambar-nyambar seperti burung elang melihat mangsa. Begitu cepat dan kuat ayunannya sehingga Liu Wan dibuat repot untuk menghindarinya. Liu Wan terpaksa mengurai sabuknya, sebuah sabuk terbuat dari kulit ular berbandul perak. Sabuk itu segera dia pergunakan untuk melayani lawannya.
“Siiiuuut! Traaaaaang! Thiiiiing...!” Berkali-kali kedua macam senjata itu berbenturan di udara. Bunga api memercik kemana-mana. Semakin lama semakin sering, sehingga lengan mereka menjadi kesemutan dibuatnya.
“Bagus! Ternyata orang ini boleh juga! Siapa dia...?” Liu Wan berkata di dalam hati.
Sebaliknya orang itu benar-benar kaget melihat kemampuan Liu Wan. Permainan tongkatnya yang selama ini sangat disegani orang, ternyata mendapat perlawanan sengit dari sabuk kulit lawannya.
Sementara itu Lojin-Ong dan Jen-bin Lokai telah berlari ke halaman depan. Giam Pit Seng dan Tan Sin Lun mengikut di belakang mereka. Melihat Liu Wan telah bertarung dengan seseorang, mereka berempat segera bersiap-siap untuk membantu. Melihat lawan berjumlah banyak, Orang itu diam-diam menjadi keder juga hatinya.
“Kurang ajar! Ternyata kau membawa banyak orang untuk merampok rumahku!” Orang itu berteriak geram.
“Rumahmu...? Kau? Kau... si Tongkat Bocor Ho Bing?” Liu Wan berseru kaget.
Orang itu tertawa panjang. “Hehehe... tampaknya kau terkejut mendengar namaku, ya? Bagaimana? Masih mau merampok juga?”
Tiba-tiba Jeng-bin Lokai melangkah ke depan. “Kami para pengemis Tiat-tung Kai-pang tidak pernah menjadi perampok! Bahkan menjadi penipu atau pembohongpun belum pernah! Nah, Ho Bing... Katanya kau juga menjadi anggota kami pula! Benarkah...?”
Bukan main terkejutnya Ho Bing. Dia berbohong ketika berhadapan dengan Liu Wan dan Tio Ciu In pagi tadi. Semua itu dia lakukan hanya untuk menjebak Tio Ciu In. Tak terduga tokoh Tiat-tung Kai-pang yang ia catut namanya itu sekarang berada di depannya. Sekejap timbul maksud Ho Bing untuk melarikan diri. Tetapi keinginannya menjadi batal ketika Jeng-bin Lokai dan pengawalnya bergerak mengepungnya.
“Bagus!” Ho Bing justru menggertak. “Aku memang bukan orang Tiat-tung Kai-pang! Aku... Ho Bing si Tongkat Bocor!”
Jeng-bin Lokai tertawa mengejek. “Ho Bing! Kau jangan terlalu sombong di depanku. Meskipun ilmu silatmu terkenal hebat, tapi tenaga murnimu kau hambur-hamburkan di segala tempat. Kau hanya seperti harimau kertas, tampaknya saja garang dan menakutkan, tapi sebenarnya kropos tak berdaya. Menghadapi lawan bertenaga dalam tinggi, kau takkan bisa berbuat apa-apa.”
Ucapan pengemis tua itu laksana peluru meriam yang menghantam dada Ho Bing. Dia memang merasa lemah dalam hal tenaga dalam. Melawan Jeng-bin Lokai dia tidak takut, tapi yang perlu dia perhitungkan justru pemuda yang baru saja bertempur dengan dirinya tadi. Terasa olehnya pemuda itu belum mengeluarkan semua kepandaiannya. “Sayang Yok si Ki sudah pergi...”
“Hei! Mengapa kau diam saja? Ayo, katakan di mana sumoiku? Jawab!” Tan Sin Lun berteriak tak sabar.
Ho Bing mendelik. “Bangsat! Kau... siapa?”
“Aku kakak seperguruan Tio Ciu In! Ayo, cepat katakan!” Sambil menjerit Tan Sin Lun menyerang Ho Bing. Pemuda itu tidak bisa mengekang hatinya lagi. Kekhawatirannya terhadap keselamatan Tio Ciu In membuatnya mata gelap.
“Tan-heng, jangan...!” Liu Wan yang sudah merasakan kehebatan tongkat Ho Bing berseru. Terlambat. Hanya dengan miringkan tubuhnya, Ho Bing mampu meloloskan diri dari serangan Tan Sin Lun. Sebaliknya, pada saat yang hampir bersamaan tongkat Ho Bing menusuk ke arah dada Tan Sin Lun dengan cepatnya.
Wajah Giam Pit Seng menjadi pucat seketika. Muridnya yang belum berpengalaman itu benar-benar dalam bahaya. Untuk menolong jelas tidak bisa. Jaraknya terlalu jauh. Sesuatu yang dapat ia lakukan hanyalah menyerang Ho Bing dengan bintang terbangnya!
“Siiiiiing! Taaaaassh! Tuuuk! Gedubrak! Bruk!” Ternyata tidak hanya Giam Pit Seng yang kaget atas serangan Ho Bing tadi. Dalam kagetnya Lojin-ong dan Liu Wan juga menyerang pula. Masing-masing dengan ilmu andalannya. Lojin-Ong dengan Ilmu Silat Kulit Dombanya, melempar tongkatnya ke lengan Ho Bing. Sedang Liu Wan dengan Hong-lui-kun-hoat juga berusaha menghalau tongkat pengemis hidung belang itu.
Ketika serangan itu datang pada saat yang sama. Mula-mula tongkat Ho Bing yang sudah menyentuh baju Tan Sin Lun itu tergetar hebat, akibat tangan yang memegangnya tak mampu mengelakkan terjangan tongkat Lojin-Ong. Na-mun pada saat itu juga jari Ho Bing sudah memencet tombol rahasianya, sehingga asap tebal berwarna kuning menyambar ke wajah Tan Sin Lun.
Tapi pada saat asap kuning itu menyembur keluar, maka pukulan petir Liu Wan juga persis datang menyambar tongkat itu. Terdengar sebuah letupan kecil ketika tongkat tersebut terpental dari tangan Ho Bing. Namun demikian tongkat itu sempat merobek baju Tan Sin Lun dan menggores kulit dadanya. Bahkan asap kuning itu sudah terhisap pula oleh hidung Tan Sin Lun.
“Bruuuuk!” Tubuh Tan Sin Lun terbanting pingsan di atas tanah! Sementara itu senjata rahasia bintang terbang milik Giam Pit Seng juga mengenai punggung Ho Bing dengan telak, bahkan persis pada jalan darah Tai-hung-hiat di bawah pundak.
Akibatnya tubuh pengemis hidung belang itu juga tersungkur pula di samping Tan Sin Lun. Giam Pit Seng segera menghambur ke depan untuk menolong muridnya. Kedua jari telunjuknya beberapa tempat. Kemudian tangannya bergegas mengambil beberapa ramuan obat serta memasukkannya ke dalam mulut Tan Sin Lun.
“Bagaimana? Lukanya parah?” Lojin-Ong bertanya khawatir.
“Lukanya memang tidak seberapa, karena tongkat itu hanya menggores sedikit saja. Tapi asap kuning itulah yang berbahaya. Anak ini terlanjur menghisapnya, walaupun tidak banyak.”
Mereka lalu membawa Tan Sin Lun ke dalam pondok dan meletakkannya di atas lantai. Liu Wan dan Jeng-bin Lokai juga meringkus Ho Bing yang sudah terluka itu dan membawanya ke dalam rumah pula.
“Kurang ajar! Lepaskan aku...!” Pengemis hidung belang itu mengumpat-umpat.
“Jangan khawatir! Aku akan melepaskanmu kalau kau sudah mengatakan di mana Tio Ciu In berada...” Liu Wan menggeram dengan suara kesal.
“Persetan! Perempuan hina itu sudah mati!” Plok! Plok! Telapak tangan Liu Wan menampar pipi Ho Bing beberapa kali, meskipun tidak sampai merontokkan giginya.
“Aduh...! Bangsat! Keparat! Lepaskan tanganku!” Ho Bing menjerit-jerit.
Setelah mengobati Tan Sin Lun, Giam Pit Seng menghampiri Ho Bing. Dengan suara tertahan pendekar Aliran Im-yang-kauw itu bertanya tentang murid perempuannya. Dari sikap dan roman mukanya, kelihatan sekali kalau dia menahan rasa marahnya.
“Aku tidak tahu! Tanyakan sendiri kepada Yok si Ki! Orang itu yang membawa muridmu!”
Liu Wan menyambar leher baju Ho Bing. “Jangan coba-coba melibatkan orang lain! Aku tahu sendiri, kaulah yang membawa gadis itu! Kau ingat Tabib Ciok yang datang bersama gadis itu? Akulah tabib itu!”
Ho Bing terperanjat. Matanya terbelalak memandang Liu Wan. Tiba-tiba mulutnya berdesis. “Kau... siapa?”
“Namaku Liu Wan. Tapi banyak yang menyebutku Bun-bu Siucai. Tabib Ciok adalah penyamaranku di kota Hang-ciu ini...”
Jawaban itu benar-benar mengejutkan Ho Bing. Bahkan tidak cuma Ho Bing, tapi juga semua tokoh yang ada di situ. Nama Bun-bu Siucai sangat terkenal di pantai timur Tiongkok. Namun demikian tak seorangpun di antara mereka yang pernah melihat wajahnya. Lojin-Ong mengangguk-anggukkan kepalanya. Bayangan wajah Hong-lui-kun Yap Kiong Lee, orang yang pernah dikenalnya, kembali terbayang di depan matanya. Dan dia semakin yakin, bahwa pemuda ini tentu mempunyai hubungan dengan orang itu.
“Oh, jadi kaulah pendekar ternama itu? Bagus! Kalau begitu, siapa orang tua bongkok ini? Gurumu?” Ho Bing berkata lantang. Sama sekali tidak kelihatan takut menghadapi lawan banyak. Liu Wan tersenyum.
“Hari ini nasibmu memang kurang beruntung. Locianpwe ini adalah tokoh paling tinggi di dalam aliran Im-yang-kauw saat ini. Beliau adalah Lojin-Ong atau Toat-beng-jin!”
Ho Bing mengerutkan keningnya, kemudian tertawa panjang. “Kau benar, Liu Wan. Nasibku memang kurang baik hari ini. Begitu mendapat lawan, sekaligus dari tokoh-tokoh ternama dari dunia persilatan. Hohoho, baiklah. Rasanya aku tidak perlu berbelit-belit lagi sekarang. Akan kukatakan apa yang kalian inginkan...”
“Jangan bertele-tele! Cepat katakan! Di mana Nona Tio sekarang?” Jeng-bin Lokai membentak.
“Sabarlah, Hu-pangcu! Aku akan bercerita...” Begitulah, Ho Bing lalu bercerita apa adanya. Bagaimana ia dan Yok si Ki meloloskan diri melalui pintu rahasia dan kemudian bertemu pendekar bermata buta di dalam Gua Seribu Jalan..."
“Bohong! Dia tentu berbohong, Suhu!” Tan Sin Lun yang sudah berangsur baik dan ikut mendengarkan cerita Ho Bing, tiba-tiba berteriak.
“Huh! Terserah kalian...! Mau percaya atau tidak! Kalau kalian ingin mencoba kesaktian Pendekar Buta itu, akupun bersedia mengantarnya. Tapi... jangan salahkan aku, bila kalian mendapat celaka nanti! Harap tahu saja, pendekar itu mampu meruntuhkan atap gua... Hanya dengan getaran suaranya! Kau dengar! Hanya dengan getaran suaranya!” Ho Bing berteriak pula dengan suara mendongkol.
Semuanya terdiam di tempatnya. Mereka tahu bahwa Ho Bing tidak berbohong atau ingin menakut-nakuti mereka. Dari roman mukanya dapat dilihat bahwa pengemis hidung belang itu juga ketakutan pula ketika bercerita.
“Baiklah, antarkan kami ke gua itu! Kami juga ingin berkenalan dengan Pendekar Buta itu. Siapa tahu dia masih hidup dan dapat menyelamatkan Tio Ciu In? Kukira orang yang memiliki kemampuan meruntuhkan atap gua dengan getaran suaranya, tentu dapat pula mengatasi bencana yang terjadi...” Akhirnya Lojin-Ong berkata pelan.
“Aku sependapat dengan ucapan Lojin-Ong. Ho Bing, cepat antarkan kami ke gua itu!” Seru Liu Wan tidak sabar.
“Baik, kalian mau lewat mana? Lewat pintu rahasia... atau lewat rawa-rawa di belakang itu?”
Jeng-bin Lokai mendengus dengan suara di hidung. “Huh! Aku tahu rencanamu. Manusia licik seperti kamu tentu mempunyai rencana-rencana busuk untuk mencelakakan kami dalam usahamu meloloskan diri. Bagimu, lewat terowongan di bawah tanah ataupun lewat rawa-rawa, sama saja. Kau akan berusaha menyesatkan kami, bahkan menjebloskan kami ke tempat-tempat berbahaya, kemudian menyelinap pergi meninggalkan kami. Begitu, bukan? Hoho... jangan harap kau bisa mengelabuhi aku! Aku akan menjagamu seperti seorang ibu menjaga bayinya!”
Ho Bing menyeringai senang, seolah-olah tidak peduli dengan ucapan Jeng-bin Lokai. “Bagaimana? Kalian pilih lewat mana...?”
Giam Pit Seng mendekati Lojin-Ong. “Sebaiknya kita lewat rawa-rawa saja, Lojin-Ong. Lebih aman serta lebih cepat sampai, karena kita selalu tahu di mana kita berada. Di dalam terowongan kita sulit menentukan arah.” Dia berbisik perlahan.
“Baiklah! saudara Ho, kami ingin lewat rawa-rawa saja.” Lojin-Ong memberi kepastian. Demikianlah, Giam Pit Seng lalu mengatur rencana keberangkatan mereka.
Tan Sin Lun tidak diperkenankan ikut. Pemuda itu tetap tinggal bersama para pengawal Jeng-bin Lokai di rumah itu. Sementara itu karena sampan yang tersedia hanya dua buah, maka Jeng-bin Lokai dan Lojin-Ong berada satu sampan dengan Ho Bing. Sedang Liu Wan dan Giam Pit Seng berada dalam sampan yang lain. Untuk menjaga agar Ho Bing tidak lari, Jeng-bin Lokai sengaja menotok beberapa jalan darah di pangkal paha pengemis palsu itu. Bahkan demi keamanan mereka, Ho Bing ditempatkan di tengah-tengah.
Malam semakin larut, sementara bintang di langit telah jauh bergeser ke arah barat. Kedua sampan kecil itu bergeser perlahan di antara semak-semak belukar yang banyak terdapat di tengah rawa itu. Selain berpedoman pada bintang-bintang, mereka juga mengandalkan pengalaman dan daya ingat Ho Bing, yang telah biasa bertualang di tempat itu.
Rawa itu seperti tidak ada ujungnya. Semakin jauh sampan mereka melaju, maka semakin bingung pula mereka menentukan arah. Rasanya sampan itu hanya berputar-putar saja di antara gerumbul perdu dan alang-alang. Tapi dengan tenang dan penuh keyakinan, Ho Bing menunjukkan jalan yang harus mereka lalui. Dengan berpedoman pada letak bintang di langit, Ho Bing membawa rombongan itu ke arah yang benar.
Akhirnya ketika sinar kemerahan mulai semburat di ufuk timur, rombongan tersebut sampai juga di seberang. Mereka menyembunyikan sampan mereka, kemudian naik ke daratan. Lojin-Ong kembali membebaskan totokan Ho Bing. Sementara itu udara bertiup dengan kencang menerpa tubuh mereka, sebagai bukti bahwa mereka telah berada di dekat pantai.
“Bagus Ho Bing! Tampaknya kau memang benar-benar tahu cara melintasi rawa-rawa ini. Kata orang, rawa ini penuh dengan binatang-binatang berbahaya, yang setiap saat bisa membunuh orang. Tapi sejak berangkat tadi, kita tidak menemuinya sama sekali. Bagaimana kau bisa menghindari mereka? Apakah cerita tentang binatang-binatang berbahaya itu hanya bohong belaka?” Jeng-bin Lokai bertanya sambil berdecak kagum.
Tiba-tiba Ho Bing tertawa. “Kalau kukatakan apa yang ada di tengah perjalanan tadi, mungkin kita belum sampai di tempat ini.”
“Apa katamu...?” Liu Wan tersentak tak paham.
“Sebenarnya kita baru saja lolos dari dua kali kematian. Pertama, kita lolos dari keroyokan ular berjengger merah. Kedua, kita lolos dari pusaran maut.”
Semuanya mengerutkan dahi. “Jangan berbelit-belit! Jelaskan kata-katamu!” Mereka berdesis hampir berbareng.
Ho Bing kembali tertawa. “Ketahuilah, ular rawa berjengger merah itu hidup di tempat yang banyak ditumbuhi pohon bunga. Turun-temurun ular itu selalu beristirahat pada saat pohon bunga sedang mekar. Dan waktunya tidak lama. Mungkin cuma sepeminuman teh saja. Setelah itu mereka akan keluar lagi...”
“Oh, begitukah...? Sungguh berbahaya sekali! Untung kita tidak ribut selama berada di tempat itu...” Jeng-bin Lokai berdesah ngeri.
“Benar, Hu-pangcu. Sedikit saja kita membangunkan mereka, hohoho... tempat itu akan penuh dengan ular bercengger merah! Dan bila sudah demikian keadaannya, maka cuma manusia bersayap saja yang mampu keluar dari tempat itu.”
Liu Wan menarik napas lega. “Lalu... dimana bahaya kematian yang ke dua itu berada? Kami tidak melihat pusaran itu!"
Ho Bing menatap pemuda tampan itu dengan perasaan puas. Puas karena memiliki pengalaman lebih baik daripada mereka. “Liu-heng, kau masih ingat ketika hendak mengayuh sampan ke daerah yang terbuka tadi?”
“Maksudmu... bagian yang tidak ada tumbuh-tumbuhan dan semak-belukar itu? Airnya sangat dalam?”
Sekali lagi pengemis hidung belang itu tertawa lepas. “Jadi Liu-heng berpendapat demikian? Oho... untunglah aku cepat-cepat membawa Liu-heng menghindari tempat itu. Kalau tidak... wah, kau dan Giam Lo-Cianpwe sudah bertemu dengan Giam-lo-ong (Dewa Kematian) sekarang.”
“Mengapa begitu, saudara Ho?” Lojin-Ong yang jarang sekali berbicara itu mendesak menyela pembicaraan mereka.
“Ah, Lo-Cianpwe... biasanya orang yang belum tahu tentang rawa ini, cenderung memilih lewat di tempat yang terbuka. Selain tidak ada tumbuh-tumbuhan yang menghalangi pandangan, bahaya yang datangpun segera bisa dilihat. Namun, justru di sanalah tempat yang paling berbahaya pada rawa-rawa ini.”
“Paling berbahaya? Mengapa?” Karena memang belum tahu, Lojin-Ong minta penjelasan.
“Seharusnya orang merasa curiga. Paling tidak, berpikir tentang keanehan itu. Mengapa di tempat itu tidak ada tanaman, sementara di perairan di sekitarnya penuh dengan semak belukar?”
“Ya, ya... cepat katakan! Apanya yang berbahaya? Heh?!” Jeng-bin Lokai membentak tak sabar.
Tapi dengan tenang Ho Bing melanjutkan keterangannya. Sama sekali tak terpengaruh oleh bentakan Jeng-bin Lokai. “Seperti yang diduga oleh saudara Liu tempat itu memang dalam airnya. Tapi bukan itu yang ditakuti orang. Yang ditakuti adalah pusaran airnya! Pada waktu-waktu tertentu terjadi pusaran air yang dahsyat, yang akan menelan benda apa saja ke dalam dasarnya. Apabila sampan kita berada di sana, kemudian muncul pusaran air tersebut, maka kita semua akan tersedot ke bawah dan hilang entah ke mana. Kata orang, di dasar rawa itu terdapat lobang, yang berhubungan dengan sungai di bawah tanah.”
Semuanya termangu-mangu mendengar keterangan pengemis hidung belang itu. “Tapi... Mengapa baru sekarang hal itu kau katakan? Mengapa tak kau beritahukan pada saat kita berada di sana?” Jeng-bin Lokai mendongkol.
“Oh-oh, aku tak ingin mati bersamamu, Lokai. Kau tidak mungkin percaya kepadaku. Kalau saat itu aku berkata demikian, engkau akan menuduhku bohong. Kau tentu berprasangka bahwa aku hanya merancang jalan untuk melarikan diri. Dan yang paling kutakutkan, ketidak percayaanmu itu akan membuahkan keputusan untuk memaksa lewat di tempat itu. Bukankah hal itu sangat mengerikan?”
“Sudahlah, saudara Ho. Mari kita lanjutkan perjalanan kita!” Lojin-Ong menghentikan pembicaraan mereka.
Demikianlah bersamaan dengan terbitnya matahari, mereka menjejakkan kaki mereka di pantai Gua Seribu. Sorot matahari yang merah kekuningan itu seolah-olah melapis permukaan laut dengan hamparan emas berlikauan. Kebetulan pula angin yang bertiup tidak begitu kencang, sehingga gelombangpun tidak segarang biasanya.
“Itulah gua-gua itu!” Ho Bing menunjuk ke tebing pantai yang memanjang jauh ke selatan, di mana lubang-lubang gua itu bertaburan bagai sarang tawon. Begitu banyaknya, sehingga sulit untuk menghitung, apalagi mencari lubang gua yang dikehendaki.
“Ah! Bagaimana kau mencari lubang gua di mana kau berada tadi malam?” Giam Pit Seng mulai ragu.
Ho Bing melangkah maju, diikuti oleh Jeng-bin Lokai yang tak pernah lekang barang seujung rambut pun. “Tidak sulit, Lokai. Kita tak usah mencari lubang gua yang berada di tebing atas, Kita cari saja lubang gua yang sejajar dengan permukaan laut, karena lubang gua yang kita cari itu merupakan muara sebuah sungai bawah tanah. Nah, setelah itu kita lihat di dalamnya. Bila di situ terdapat bekas reruntuhan tadi malam, maka lubang itulah gua yang kita cari...”
Liu Wan mengangguk-angguk. “Baik! Marilah kita mulai mencarinya...!”
Meskipun lubang gua yang berada di bawah sangat banyak dan setiap saat harus melongok ke dalam, namun lubang gua yang mereka cari akhirnya ketemu juga. Bahkan jejak-jejak sepatu Ho Bing dan Yok si Ki banyak terdapat di sana.
“Nah, lihatlah! Reruntuhanya masih baru...” Ho Bing berkata lantang.
Semua berebut masuk. Mereka melihat batu-batu besar berserakan di mana-mana. Dari pecahan-pecahan batu yang ada, mereka percaya bahwa kejadiannya memang belum lama. Bahkan batu-batu itu banyak yang runtuh begitu tersentuh tangan mereka. Semakin dalam mereka masuk, keadaannya semakin porak poranda. Rasanya tidak mungkin kalau hal itu disebabkan oleh getaran suara manusia. Kerusakan itu lebih pantas disebabkan oleh goncangan gempa yang hebat.
“Bukan main! Benarkah semua ini disebabkan oleh kekuatan seorang manusia? Hmm, jangan-jangan hanya kebetulan, saja...” Lojin-Ong tak henti-hentinya berdecak heran.
“Apa maksud Lo-Cianpwe?” Liu Wan bertanya tak mengerti.
“Hmm... jangan-jangan memang ada gempa bumi di tempat ini. Atau mungkin keadaan gua ini memang sudah rapuh sebelumnya, sehingga getaran sedikit saja sudah membuat batu-batu di atas berguguran ke bawah. Hal seperti itu memang banyak terjadi di gua-gua berusia ribuan tahun.” Lojin-Ong menerangkan.
“Benar, Lojin-Ong. Aku berpikir demikian. Rasanya sulit dipercaya kalau hal ini diakibatkan oleh manusia.” Giam Pit Seng memberikan tanggapannya pula.
Jeng-bin Lokai menyentuh batu yang melekat di dinding gua. Ketika tangannya mencoba mendorong, batu tersebut tak bergerak sedikit pun. Begitu pula ketika ia mencoba menggoyang batu lainnya. “Tapi batu-batu di gua ini tampak kokoh kuat...” Dia bergumam kurang percaya.
Liu Wan menoleh. Ketika matanya tak melihat Ho Bing, ia berteriak. “He...? Di mana Ho Bing tadi?” Semuanya tersentak kaget. Pengemis hidung belang itu benar-benar tidak ada di antara mereka.
“Kurang ajar...! Sekejap saja aku berpaling, orang itu sudah menghilang!” Jeng-bin Lokai mengumpat-umpat.
“Jangan-jangan dia juga berbohong tentang semua ini. Mungkin Tio Ciu In tak pernah dibawa ke sini. Dia hanya mencari jalan untuk melepaskan diri dari kita.” Giam Pit Seng semakin ragu.
Tiba-tiba Liu Wan meloncat ke depan dan mendorong sebongkah batu besar. Dengan sebat tangannya menarik sesuatu dari bawah batu tersebut. “Lo-Cianpwe, lihat...! Bukankah ini sepatu Tio Ciu In?” Pemuda itu berseru keras sekali.
Lojin-Ong dan Giam Pit Seng bergegas melihat sepatu itu. “Benar. Sepatu ini memang milik Tio Ciu In. Anak itu sendiri yang membuatnya setiap kali menyelesaikan latihan silatnya...” Giam Pit Seng mengangguk-angguk. Matanya berkaca-kaca.
“Ciu In...!!” Lojin-Ong berseru dengan kekuatan tenaga dalamnya. Suaranya bergema, bergulung-gulung, menembus lorong-lorong gua itu. Begitu kuat getarannya sehingga lapisan tanah dan bongkahan batu kecil yang masih tersisa di atap gua berguguran ke bawah.
“Lojin-Ong, awaaaas...! Susunan batu di dalam gua ini masih belum mantap benar. Semuanya masih mudah runtuh.” Liu Wan memperingatkan.
“Benar. Aku memang kurang memperhitungkannya. Aku terlalu khawatir terhadap keselamatan Tio Ciu In.”
Mereka lalu masuk lebih ke dalam lagi. Ketika mereka mendapatkan lubang-lubang yang lain, mereka mulai bingung. Apalagi ketika mereka masuk ke dalam salah satu lubang di antaranya, mereka kembali mendapatkan sebuah gua besar yang memiliki beberapa buah lubang terowongan lagi.
“Awassss...! Gua ini memiliki terowongan yang berbelit-belit seperti sarang laba-laba! Sebelum kita berjalan lebih dalam dan kehilangan arah, kita harus mencari cara agar tidak tersesat. Kita tidak boleh kehilangan jalan untuk kembali ke gua besar tadi. Nah, bagaimana pendapatmu, jeng-bin Lokai?” Lojin-Ong menghentikan langkahnya dan bertanya kepada wakil ketua Tiat-tung Kai-pang.
“Kau benar, Lojin-Ong. Sekali kita kehilangan arah, maka kita semua akan berputar-putar di dalam gua-gua ini sampai mati. Sudah banyak cerita yang kudengar tentang hal itu. Hemmmmm, menurut pendapatku... Kita harus memberi tanda setiap memasuki lubang gua yang lain. Bagaimana...?”
“Baiklah. Mari kita mencobanya...” Kemudian setiap kali berbelok dan masuk ke dalam gua yang lain mereka memberi tanda dengan goresan-goresan pada dindingnya. Mereka melakukannya berkali-kali, hingga suatu saat mereka menjadi kaget ketika tiba-tiba telah berada di tempat semula. Padahal mereka yakin bahwa mereka tidak merasa berputar atau berbalik arah.
“Gila! Gua ini benar-benar membingungkan. Bagaimana kita bisa kembali ke tempat ini? Bukankah kita tadi maju terus kedalam tanpa mengambil jalan ke kiri atau ke kanan?” Liu Wan bingung.
“Benar, Liu-heng. Tapi kita keluar dari lubang yang lain lagi. Jadi benar dugaan Lojin-Ong, bahwa lubang terowongan di dalam tanah ini berbelit-belit seperti sarang laba-laba.” Giam Pit Seng membenarkan.
Lojin-Ong mendekati mereka. Sambil menepuk pundak Liu Wan dia mengajak keluar dari gua tersebut. “Sebaiknya kita keluar dulu. Kita rundingkan cara yang baik untuk mengatasi hal ini. Selain daripada itu kita perlu makan pula, bukan? Nah, mari kita keluar...!”
Ternyata matahari telah sepenggalah tingginya. Panasnya memancar, mengusap dinding-dinding karang yang tinggi, seolah-olah mau menghangatkan suasana yang kaku di siang hari itu. Mereka mencoba mencari ikan apa saja untuk mengisi perut. Sungai-sungai di bawah tanah itu memang menyediakan ikan yang biasa mereka ambil. Demikianlah, selama enam hari mereka mencoba terus mencari Tio Ciu In.
Pada hari ke tiga Giam Pit Seng menemukan tali rambut muridnya itu, sehingga mereka menjadi bersemangat kembali. Tapi penemuan itu ternyata merupakan petunjuk mereka yang terakhir. Selanjutnya mereka tak pernah menemukan apa-apa lagi. Hingga pada hari yang ke tujuh mereka mulai putus asa.
“Bagaimana menurut pendapat Lojin-Ong? Apakah Tio Ciu In masih hidup atau mati?” Giam Pit Seng bertanya kepada sesepuhnya.
“Entahlah, Pit Seng. Sama sekali tak ada gambaran yang dapat menjadi petunjuk untuk meramalkan hal itu. Pikiran dan perasaanku serasa gelap dan buntu. Tetapi kecil rasanya kemungkinan untuk hidup bagi anak itu...”
“Hmmh, si Keparat Ho Bing itu juga tidak muncul pula. Dialah yang menjadi gara-gara semua ini. Ah, Lo-Cianpwe... apa yang harus kita kerjakan sekarang?” Liu Wan berdesah dengan suara tersendat-sendat.
“Apa boleh buat, kita telah berusaha selama enam hari di sini. Kami terpaksa pulang.”
Liu Wan duduk termangu-mangu. Semua bayangan Tio Ciu In selama ini kembali terbayang biji matanya. Senyumnya. Cara bicaranya. Demikianlah, seperti apa yang dikatakan oleh Lojin-Ong, walaupun sangat berat mereka terpaksa meninggalkan tempat itu. Mereka harus kembali, karena banyak tugas yang harus mereka lakukan selain itu.
Liu Wan sendiri selama hampir sebulan masih tetap mondar-mandir di pantai tersebut. Pemuda itu masih berharap dapat bertemu kembali dengan Tio Ciu In. Tapi setelah sekian lamanya tidak juga bersua, akhirnya pupus juga harapannya. Dengan sedih dia pergi melanjutkan pengembaraannya. Kenangan tentang gadis ayu itu dibawanya kemanapun dia pergi.
Lima tahun kemudian...
Waktu lima tahun memang tidak terlalu lama. Namun selama kurun waktu yang tidak terlalu lama itu ternyata telah banyak sekali perubahan yang terjadi di negeri Tiongkok. Pasukan Mo Tan dengan panglima-panglimanya yang gagah berani telah banyak menyusup ke selatan. Mereka melewati Tembok Besar, kemudian menyerang dan menguasai beberapa kota kecil di sepanjang Sungai Hoang-ho. Sementara itu pemberontakan suku-suku kecil di hulu Sungai Yang-tse juga semakin merajalela.
Begitulah, hanya dalam waktu lima tahun semenjak Au-yang Goanswe memperoleh kepercayaan penuh dari Permaisuri Li, maka suasana di dalam negeripun mulai berubah buruk. Cita-cita untuk mencapai negeri yang aman dan nyaman, yang telah dirintis oleh Permaisuri Li semenjak wafatnya Kaisar Liu Pang, mulai goyah dan siap untuk runtuh kembali.
Dengan kekuasaannya yang besar, Au-yang Goanswe menguasai para menteri dan penasehat kerajaan. Dengan siasat dan kelicikannya pula, Au-yang Goanswe memfitnah Panglima Besar Yap Kim, sehingga pahlawan yang berjasa besar terhadap negara itu justru dibuang dan dipenjarakan oleh Permaisuri Li. Oleh karena secara diam-diam di kotaraja sendiri terjadi persaingan dan permusuhan di antara para penguasanya, maka di daerahpun suasananya juga semakin jelek dan rusuh.
Para Gubernur atau Raja Muda yang berkuasa di luar Kotaraja, seolah-olah tidak terkendali lagi. Dengan longgarnya pengawasan dari pusat, maka kekuasaan mereka benar-benar penguasa di daerahpun tidak kalah buruknya daripada mereka. Rakyat kecil menjadi ketakutan, karena merekalah yang akhirnya menjadi korban kebrutalan itu. Para petani tidak berani sembarangan turun ke sawah.
Selain banyak penjahat yang mengancam mereka, hasil sawah merekapun belum tentu dapat mereka nikmati dengan baik. Kalau bukan perampok yang menjarah-rayah hasil panenan mereka itu, para penguasa lalimpun sering mengambilnya dengan dalih untuk negara. Begitulah, mereka yang bermandi keringat, tetapi orang lain yang berpesta pora. Bagi mereka cukup diberi jatah sebagian kecil saja dari hasil sawah ladang mereka itu.
Suasana negeri yang demikian itu juga menimbulkan pelecehan terhadap wanita secara semena-mena. Penculikan, perkosaan dan segala tindak kekerasan terhadap wanita terjadi di mana-mana. Tentu saja keadaan itu menimbulkan gelombang kemarahan dari para pendekar persilatan. Muncullah dewa-dewa penyelamat yang berusaha melindungi rakyat banyak. Meraka secara sendiri-sendiri atau berkelompok, memburu para penjahat itu dan berusaha untuk mengenyahkan mereka.
Maka bentrokanpun tidak bisa dielakkan lagi. Dunia persilatan menjadi gempar oleh pertempuran-pertempuran-mereka. Korban segera berjatuhan di antara dua golongan itu. Mereka tidak mengindahkan peraturan dan hukum negara lagi. Hanya hukum alam yang berlaku di kalangan mereka. Siapa yang lebih kuat, dialah yang menang.
Sementara itu suasana prihatin terasa mengambang di seluruh negeri. Ibu Suri Li, yang pada tahun-tahun pertama memegang kekuasaan sangat disukai rakyat, kini sedang menderita sakit. Oleh karena Pangeran Mahkota Liu Wan Ti, yang seharusnya menggantikan kedudukannya belum juga ditemukan, maka untuk sementara waktu kekuasaan negeri terpaksa dilimpahkan kepada tujuh menteri.
Mereka dibantu oleh Dewan Penasehat kerajaan yang terdiri dari sepuluh orang. Aturan yang berlaku memang tertulis demikian, namun diantara aturan yang tertulis dan kenyataan yang ada ternyata sangat berlainan, resminya saja kekuasaaan ada pada tujuh menteri dan sepuluh dewan penasehat kerajaan, tapi kenyataannya mereka sama sekali tidak punya kekuatan apa-apa.
Au-yang Goanswe yang sekarang memiliki kekuatan yang sangat besar, justru lebih berkuasa daripada tujuh menteri itu, dengan dukungan pasukan Kim-i-wi dan Gin-i-wi, ditambah lagi dengan bantuan sebagian besar panglima kerajaan yang terbujuk oleh rayuannya, maka kekuasaannya justru lebih menentukan daripada mereka.
Sebagai seorang pembesar yang mendapat kepercayaan dari Ibu Suri atau bekas Permaisuri Li, apalagi kini memiliki kedudukan sebagai Panglima besar bala tentara kerajaan, maka jenderal Au-yang merupakan orang terkuat di Kotaraja dan semua yang didapatnya tersebut memang merupakan cita-cita semenjak dulu.
Melalui jalan yang sangat panjang, disertai dengan segala macam cara dan tipu daya, Jendral yang menyimpan dendam kesumat terhadap dinasti Han itu, akhirnya berhasil menyingkirkan hampir semua lawannya. Impian dan cita-citanya untuk mengembalikan pamor keluarga Beng, serta melampiaskan dendam ayahnya terhadap keluarga Kaisar Liu Pang, tinggal beberapa langkah lagi.
Dua puluh tahun lalu, pada permulaan langkahnya, Au-yang Goanswe berhasil menyingkirkan pangeran Liu Yang Kun dari lingkungan Istana, walaupun tidak dapat membunuh pangeran mahkota yang tersohor sangat sakti itu, namun dengan segala tipu dayanya Au-yang Goanswe mampu menyingkirkannya, bahkan juga sekalian melenyapkan seluruh keluarganya.
Setelah langkah pertama itu terlaksana, Au-yang Goanswe lalu mengincar Pangeran Liu Wan Ti, adik Pangeran Liu yang kun. Tetapi sebelum rencana tersebut dilaksanakan, pangeran muda itu sudah keburu meloloskan diri dari Istana. Pergi entah ke mana...