Namun kepergian Pengeran Liu Wan Ti tidak mempengaruhi kelangsungan rencana Au-yang Goanswe selanjutnya. Jendral tua yang sudah teracuni dendam kesumat itu segera meneruskan rencananya. Dan langkah berikutnya, langkah yang paling berat dan sulit dilakukan, yaitu menyingkirkan Panglima Besar Bala Tentara Kerajaan, Panglima Yap Kim beserta para perwira kepercayaannya.

Namun sekali lagi dengan tipu daya dan kelicikannya, Au-yang Goanswe juga berhasil menjatuhkan dan menyingkirkan mereka pula. Bahkan salah seorang di antara perwira tinggi yang ikut tersingkir bersama Panglima Yap Kim itu adalah Kong-sun Goanswe, Komandan Pasukan Rahasia Kerajaan, yang menjadi saingan beratnya selama ini.
Panglima Yap Kim dituduh berkhianat dan dianggap bersalah terhadap kerajaan, sehingga ibu suri Li lalu mencopot jabatannya dan membuangnya ke benteng langit yaitu sebuah bangunan kuno yang didirikan di atas pulau karang kecil ditengah-tengah aliran sungai Huangho, ketika Liu Pang naik tahta, bangunan kokoh kuat seperti benteng tersebut diubah fungsinya menjadi sebuah penjara.
Sedangkan jendral Kong Sun yang sebelumnya menjadi komandan pasukan rahasia kerajaan yang dianggap bersalah karena tidak mengetahui penghianatan panglima Yap Kim, dipindah tugaskan ke daerah perbatasan bagian utara. Jendral Kong Sun yang mahir ilmu perang itu hanya ditugaskan sebagai komandan pasukan kecil yang mengawasi suku bangsa liar di luar tembok besar.
Selama lima tahun itu pula, Au-yang Goanswe masih selalu menyelenggarakan “Perlombaan Mengangkat Arca” disetiap peringatan tahun baru, dengan cara yang sangat rahasia ia masih tetap mencari pemuda bertato naga yang dicurigainya sebagai keturunann Kaisar Liu Pang harus dilenyapkan. Namun dengan dalih perlombaan tersebut dia juga berhasil mengumpulkan jago-jago silat kelas tinggi untuk diangkat menjadi pengawalnya.
Persahabatan rahasia dengan Raja Mo Tan juga masih tetap dilakukan oleh Au-yang Goanswe, meskipun persahabatan tersebut terasa mulai mengendor setelah Au-yang Goanswe merasa dirinya kuat dan tidak memerlukan bantuannya lagi.
Demikianlah setelah semua lawannya tersingkir, maka perjalanan cita-cita Au-yang Goanswe tinggal beberapa langkah lagi. Rencananya sekarang adalah menunggu kematian Ibu Suri Li, setelah pemangku kekuasaan negeri yang sedang sakit berat itu meninggal dunia.
Maka Au-yang Goanswe merencanakan untuk mengangkat dirinya menjadi Wali Kerajaan, dengan kekuasaan dan dukungan para pengikutnya, Jendral Au-yang yakin bahwa rencananya itu akan mudah dilaksanakan. Kemudian pada suatu saat yang tepat nanti, ia akan mengangkat dirinya sendiri menjadi Kaisar. Dan pada saat itu dia akan menggunakan nama marga Beng kembali.
Begitulah, dalam suasana penuh keprihatinan itu, Au-yang Goanswe beserta para pendukungnya justru tidak sabar lagi dalam menunggu berita kematian dari Istana. Di dalam Istananya yang besar dan megah, yang dibangun di atas puing-puing reruntuhan Istana Pangeran Liu yang kun, Au-yang Goanswe terus mengikuti semua perkembangan di Istana Kaisar.
Tiba-tiba seorang prajurit kelihatan berlari melintasi halaman Istananya. Prajurit itu berlari ke gardu jaga dan melaporkan maksudnya kepada perwira yang berada di sana. Perwira tua itu mengerutkan keningnya, lalu bergegas masuk ke ruang dalam.
“Goanswe...! Ada berita dari Istana bahwa Menteri si Sun Ong dan Kui Hua Sin memasuki Ruang Pertemuan. Bahkan di ruang itu juga sudah siap pula beberapa orang dari Dewan Penasehat Kerajaan. Beng Goanswe menduga, mereka akan membicarakan sesuatu yang sangat penting...” Perwira tua itu melapor.
Au-yang Goanswe yang sedang minum teh bersama para pembantu dekatnya, cepat meletakkan cangkirnya. Wajahnya berseri-seri. “Bagaimana dengan Ibu Suri? Apakah... sudah ada kabar tentang dia?” Au-yang Goanswe berdiri dan bertanya penuh semangat.
Perwira tua itu memberi hormat dengan cepat. “Sama sekali belum ada berita, Goanswe.” Jenderal Au-yang menggeram dengan suara kesal.
“Lalu... apa maksud pertemuan mereka? Apakah mereka ingin menyusun rencana untuk melawan aku, heh? Lao Cing, pergilah ke Istana menemui Beng Cun! Selidiki, apa maksud pertemuan itu!” Seorang perwira Kim-i-wi yang sedang tidak berdinas dan sedari tadi berada di dekat Au-yang Goanswe, segera berdiri dan bergegas meninggalkan tempat itu.
Di luar pendapa perwira Kim-i-wi itu memanggil para pengawalnya, kemudian bersama-sama meninggalkan Istana itu dengan naik kuda. Di tengah jalan mereka bertemu dengan seorang perwira berseragam lusuh, naik kuda diiringkan sekelompok prajurit penjaga pintu gerbang kota. Perwira itu tampak sangat kusut dan kelelahan. Baju seragamnya tampak kotor penuh debu, sementara topi kebesarannya hanya digantungkan pula di belakang punggungnya.
Rambutnya yang tebal dibiarkan lepas tertiup angin. Dilihat dari penampilannya bisa diduga bahwa usia perwira itu tentu belum ada empat puluh tahun. Namun kalau dilihat dari sikap dan penampilannya, maka dapat ditebak bahwa perwira itu tentu telah banyak mengarungi ganasnya medan pertempuran. Apalagi kalau dilihat dari beberapa luka yang tergores di wajah dan tangannya.
“Siapa perwira yang datang berpapasan dengan kita itu, Prajurit?” Perwira berpakaian lusuh itu bertanya kepada prajurit yang mengawalnya.
“Beliau... jendral Lao Cing, Wakil Komandan Pasukan Kim-i-wi, Yo-Ciangkun!”
“Jendral Lao Cing? Ah, sudah belasan tahun aku di perbatasan sehingga tak mengenal lagi rekan-rekanku di Kotaraja. Hmm! Semua sudah berubah. Dia telah menjadi jendral sekarang.”
“Ciangkun pernah bertemu dengan Lao-Goanswe?” Prajurit itu bertanya pula.
Yo-Ciangkun yang berseragam lusuh itu tersenyum kecil kemudian menggebrak kudanya agar berjalan lebih cepat. Ketika berpapasan dengan rombongan Lao-Goanswe, Yo-Ciangkun cepat mengangkat tangannya. Karena terlalu lama di perbatasan, maka sopan-santun keprajuritannya juga tidak sekuat dulu lagi. Apalagi yang dia jumpai adalah bekas teman dekatnya. Tangannya tetap teracung untuk memberi hormat, namun mulutnya berkata seenaknya.
“Wah, saudara Lao! Apa khabar? Tidak kusangka kita bisa bertemu lagi.”
Jendral Lao kelihatan tersentak di atas kudanya. Pandangan matanya berkilat tegang, sementara dahinya berkerut melihat ke arah Yo-Ciangkun. Melihat sikapnya mudah diduga bahwa hatinya merasa kurang senang menyaksikan kelancangan Yo-Ciangkun. Mereka berhadapan dalam jarak yang amat dekat. Dan baru beberapa saat kemudian Jendral Lao dapat mengingat wajah Yo-Ciangkun. Namun wajah jendral itu tidak berubah ketika membalas sapaan Yo-Ciangkun. Bahkan suaranya berkesan acuh dan dingin.
“Ah... Kau Yo Keng, mengapa kau berada disini?”
Yo-Ciangkun terkesiap. Namun demikian dia segara menyadari kekeliruannya. ini semuanya telah berubah dan keadaannya tidak seperti dulu lagi. Sekarang Lao Cing telah menjadi jendral, bahkan selah menjadi Wakil Komandan Pasukan Cim-i-wi yang termashur itu. Tentu saja dia bukan apa-apa dibandingkan Lao-Goanswe. Apakah arti seorang perwira rendah dari daerah perbatasan seperti dia.
“Aaah, celaka! Bodoh benar aku!” Geramnya menyesali diri. Yo Keng cepat turun dari kudanya. Sambil membungkuk dia memberi hormat.
“Maafkan aku, Lao-Goanswe. Terimalah hormatku.” Ucapnya tergesa untuk memperbaiki kekeliruannya.Wajah Lao-Goanswe justru semakin keruh. Apa yang dilakukan Yo Keng tersebut malah berkesan meledek atau mengolok-olok dirinya. “Yo Keng, jangan bergurau! Katakan saja apa keperluanmu di tempat yang bukan daerah tugasmu ini?”
Ganti Yo Keng yang kaget. Tidak terduga langkah pertamanya di Kotaraja justru jatuh di bara api yang berbahaya. Padahal kedatangannya ke Kotaraja membawa persoalan penting bagi pasukannya di perbatasan. “Aku... ah, maafkanlah aku. Aku menjadi gugup sekali, karena aku harus segera menemui Menteri Kui Hua Sin.” Yo Keng menjadi bingung dan salah tingkah.
Lao Cing tetap berada di atas punggung kudanya. Sama sekali ia tak mau turun menyambut kedatangan teman dekatnya itu. “Mengapa harus menemui Menteri Kui Hua Sin? Apakah tidak dapat disampaikan kepada orang lain?”
“Ah, bukan begitu maksudku.” Yo Keng buru-buru menjelaskan. “Persoalan yang kubawa ini bukan persoalan biasa. Tapi menyangkut persoalan negara. Aku akan dianggap bersalah, bahkan bisa dianggap membocorkan rahasia kerajaan, kalau persoalan yang kubawa ini kukatakan kepada orang lain. Jadi, hanya kepada Pemangku Kekuasaan Negeri saja hal ini harus kukatakan. Maafkanlah aku...”
Mata Jendral Lao Cing yang sipit itu tampak berkilat-kilat lagi. Namun kali ini mengandung sinar keji dan licik. Hal itu dapat dilihat dari sikapnya yang mendadak berubah ramah dan bersahabat. “Baiklah. Aku takkan mencampuri urusanmu. Tapi ketahuilah, hari ini Menteri Kui Hua Sin dan Menteri-menteri lainnya sedang mengadakan pertemuan di Istana. Bahkan mereka sedang mengadakan pertemuan dengan Dewan Penasehat Kerajaan. Lebih baik kau datang nanti sore saja. Percuma kau datang ke sana. Tak seorangpun diperbolehkan masuk ke Istana...”
Yo Keng semakin bingung. “Tapi... apa yang harus kuperbuat? Laporan itu tidak boleh ditunda-tunda lagi. Kong-sun Goanswe akan marah sekali kalau laporan itu sampai terlambat.”
“Yaa, kalau begitu... Kau bisa mencobanya. Mudah-mudahan Beng Goanswe mengijinkan niatmu. Nah, selamat jalan. Kuharap kita bisa bertemu lagi.” Selesai berbicara, Lao-Goanswe menghentakkan tali kudanya, sehingga kudanya melompat ke depan dengan garangnya. Para pengawal cepat memacu kuda mereka pula, takut ketinggalan.
“Lao-Goanswe...!!!” Yo Keng berseru gugup, tapi Lao Cing dan anak buahnya tak ada yang peduli lagi. Mereka tetap memacu kuda dengan kencang. Yo Keng menundukkan mukanya. Sekarang dia benar-benar memaklumi ucapan Kong-sun Goanswe tentang keadaan di Kotaraja. Kotaraja sekarang memang sudah berubah dan amat berbeda dengan keadaan lima atau enam tahun lalu. Orang tidak dapat lagi membedakan mana kawan dan mana lawan. Istana Kaisar penuh dengan serigala-serigala berbulu angsa, yang setiap saat bisa berubah wujud untuk menikam kawan sendiri dari belakang.
“Benar juga kata-kata Kong-sun Goanswe. Semuanya sudah berubah. Ternyata akupun tak bisa mengenali kawanku pula. Sungguh tak kusangka. Padahal aku benar-benar mengenalnya di masa-masa yang lalu. Hemmmm...!”
“Yo-Ciangkun, kau tidak apa-apa bukan? Mengapa Yo-Ciangkun tidak sekalian minta tolong kepada Jendral Lao? Dia dapat membawa Yo-Ciangkun masuk ke Istana...”
Tiba-tiba Yo Keng terkejut mendengar suara prajurit pengawalnya. Yo Keng menghela napas panjang. “Kau benar, Prajurit. Bagaimana aku bisa lupa bahwa dia adalah Wakil Komandan.”
“Lalu... apa yang akan Yo-Ciangkun lakukan sekarang?”
“Apa boleh buat. Aku terpaksa ke Istana untuk menemui Lao-Goanswe lagi. Biarlah aku akan sedikit mengalah kepadanya. Dalam keadaan begini, kepentingan negara di atas segala-galanya.”
“Kalau begitu kami akan mengantar Yo-Ciangkun ke Istana.” Prajurit itu berkata pula.
Demikianlah, Yo Keng lalu meneruskan perjalanannya ke istana. Prajurit-prajurit penjaga Pintu Gerbang Kota itu mengantarnya sampai di depan pintu halaman istana. Di sana mereka diterima oleh para pengawal istana berbaju emas, yang biasa disebut pasukan Kim-i-wi (Pasukan Baju Emas).
“Aku Yo Keng, perwira dari pasukan ke tiga di perbatasan utara. Aku diperintahkan Kong-sun Goanswe untuk menghadap Menteri Kui Hua Sin, yang saat ini sedang mengadakan pertemuan dengan Dewan Penasehat Kerajaan. Antarkan aku menghadap Beliau. Penting sekali. Inilah tanda pengenalku dari Pasukan Perbatasan.” Yo Keng mengeluarkan selembar perak sebesar tapak tangan bertuliskan huruf “SENG” dari emas, yang merupakan tanda kebesaran pasukan Kong-sun Goanswe di perbatasan.
“Baiklah, Ciangkun. Kami akan melaporkan masalah ini ke atasan kami. Kebetulan Beng Goanswe sedang berbincang-bincang dengan Lao-Goanswe di Gedung Bendera.”
“Tunggu! Mengapa aku tidak kalian bawa langsung ke Ruang Pertemuan itu? Laporan yang hendak kusampaikan kepada Menteri Kui Hua Sin ini tidak boleh terlambat. Tolonglah...!”
“Maaf, kami tidak bisa, Ciangkun. Pada saat-saat seperti ini tak seorangpun boleh masuk ketempat itu. Hanya Beng Goanswe dan Lao-Goanswe yang berhak mengijinkan orang ke sana.”
Yo Keng berdesah. Hatinya mulai kecewa dan ragu. Ragu akan keberhasilan tugasnya. Sebelum dia berangkat, Kong Sun Goanswe sudah mengatakan bahwa tugasnya ini akan banyak menghadapi rintangan. Terutama dari orang-orang yang kini berkuasa, yang pada lima tahun lalu telah memfitnah Panglima Yap Kim dan Kong-sun Goanswe. Dan ramalan itu ternyata benar. Kini hidungnya sudah mulai mencium bahaya yang akan tiba.
“Baiklah. Sekali lagi aku akan mencoba untuk membujuk dan memberi pengertian kepada Beng Goanswe dan Lao-Goanswe. Kalau mereka masih tetap tidak memberikan ijin, yaaaa... aku terpaksa nekad masuk ke dalam, walaupun taruhannya adalah nyawa.” Sambil menunggu Yo Keng bergumam di dalam hati.
Tapi apa yang terjadi kemudian sungguh di luar dugaan Yo Keng. Utusan Jendral Kong-sun itu melihat Jendral Beng sendiri yang keluar menemuinya. Sedang Lao-Goanswe, yang dikatakan sedang berbicara dengan jendral itu, tidak tampak batang hidungnya. Mungkin menunggu di ruangan dalam.
“Yo-Ciangkun...? Ayo, masuklah!” Dengan ramah Beng Goanswe mempersilakan Yo Keng masuk. Yo Keng dibawa Beng Goanswe ke Ruang Bendera. Beberapa orang prajurit Kim-i-wi tampak berjaga-jaga di dalam ruangan itu. Namun demikian Yo Keng tidak melihat Lao-Goanswe di sana.
“Yo-Ciangkun, duduklah! Jangan khawatir! Sebentar lagi kau akan diantar ke Ruang Pertemuan. Aku sudah memerintahkan anak buahku untuk memberitahukankan kedatanganmu kepada Menteri Kui. Sekarang bersihkan dulu badanmu, agar penampilanmu tidak memalukan di hadapan Beliau...!”
Yo Keng tidak dapat menolak sambutan yang ramah tersebut. Dia menurut saja ketika dibawa ke Ruangan Belakang dan diberi sepasang pakaian bersih. Bahkan dia juga tidak bisa menghindar pula ketika diajak minum teh lebih dahulu. Sama sekali Yo Keng tidak menyadari akan tipu muslihat dan kelicikan lawan-lawannya. Begitu teh di dalam cangkirnya habis, tiba-tiba kepalanya terasa berputar. Semakin cepat, sehingga tubuhnya seperti mengambang di udara. Dan sebentar kemudian semua yang dilihatnya menjadi gelap.
“Bagus! Nah, prajurit... geledah tubuhnya!” Tiba-tiba Lao-Goanswe muncul dari ruangan dalam dan memberi perintah kepada para prajurit pengawalnya.
“Kau yakin dia membawa surat rahasia Kong-sun Goanswe?” Beng Goanswe bertanya kepada Lao-Goanswe, wakilnya.
Lao-Goanswe mengangguk. “Ya! Lihatlah sarung pedangnya itu! Aku yakin dia menyembunyikan sesuatu di sana. Sejak bertemu di jalan tadi, kulihat dia tak pernah melepaskan benda itu.”
“Benar, Goanswe. Ada surat di sini.” Prajurit yang menggeledah Yo Keng tiba-tiba berseru sambil memperlihatkan gulungan kain berwarna putih.
“Apa isinya?” Beng Goanswe yang tidak sabar menunggu cepat mendesak. Lao Cing memberikan gulungan kertas itu setelah membaca isinya. Dia tampak puas walaupun masih kelihatan tegang.
“Nah, Beng Goanswe... dugaanku benar, bukan? Aku mengenal Yo Keng sudah puluhan tahun lamanya. Aku tahu betul siapa dia. Turun-temurun keluarganya adalah prajurit. Jangan harap bisa mempengaruhi atau memaksa dia. Orang seperti dia bersedia mati atau berkorban apa saja demi keyakinannya. Dan prajurit tangguh seperti dia, selalu mempersiapkan tindakannya dengan cermat dan telitu. Tampaknya saja dia sendirian, tapi sebenarnya tidak. Aku yakin beberapa orang pengawalnya berkeliaran mengawasinya dari jauh. Kalau tadi kita bersikap keras dan main paksa kepadanya, yaah... jangan harap surat ini bisa jatuh ke tangan kita. Sebelum kita dapat meringkusnya, dia akan memberi isyarat kepada kawan-kawannya. Dan sebelum kita menggeledahnya, dia akan lebih dulu menghancurkan surat ini dengan pedangnya...”
Beng Goanswe mengangguk-angguk- kan kepalanya. “Kau benar. Yo Keng membawa berita buruk bagi kita. Kong-sun Goanswe melaporkan bahwa Pangeran Liu Wan Ti sudah ditemukan dan sekarang berada dalam lingkungan pasukannya. Wah, gawat! Seharusnya orang itu kita buang saja sejak dulu, sehingga tidak menimbulkan kesulitan seperti sekarang. Hmmm, kita harus cepat-cepat memberitahukan hal ini kepada Au-yang Goanswe. Berita ini sangat berbahaya bila sampai di tangan Dewan Penasehat Kerajaan. Lao-Goanswe... apa rencana kita selanjutnya.”
“Tenang, Beng Goanswe. Jangan panik. Jangan berbuat sesuatu yang menimbulkan kecurigaan orang di sekitar kita. Ingat...! Siapa tahu ada kawan Yo Keng berada di tengah-tengah kita?”
“Tidak mungkin!” Beng Goanswe melotot.
Tapi Lao-Goanswe cepat menyentuh lengan rekannya. “Goanswe, jangan memandang enteng lawan. Apalagi orang seperti Kong-sun Goanswe dan Yo-Ciangkun ini.”
Beng Goanswe terdiam. “Baiklah. Lalu... apa tindakan kita selanjutnya?”
Lao-Goanswe berbisik di telinga atasannya. “Kita berbuat seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Anggap saja Yo Keng tertidur sekejap karena terlalu lelah. Sementara itu isi surat itu kita ubah isinya. Bagaimana?”
Beng Goanswe menatap wakilnya dengan gembira. “Jadi Yo Keng tetap kita biarkan menghadap Menteri Kui Hua Sin, tapi... dengan membawa surat yang telah diubah isinya? Wah, kau benar-benar hebat dan cerdik luar biasa! Bagus! Mari kita laksanakan! Tapi... apa yang harus kita tulis di dalam surat itu?”
Lao Cing tersenyum licik. “Mudah saja. Kita tulis saja, seakan-akan Kong Sun Goanswe minta prajurit untuk memperkuat pasukannya, karena mendapat gempuran pasukan Mo Tan. Kini pasukannya dalam keadaan porak poranda.”
Beng Goanswe menepuk pundak rekannya. “Yah, benar. Dengan demikian akan terjadi salah pengertian di antara mereka. Menteri Kui setelah membaca surat itu tentu minta kepada Au-yang Goanswe untuk mengirimkan pasukan, sementara Yo Keng menerimanya sebagai bantuan untuk Pangeran Liu Wan Ti nanti. Padahal pasukan itu justru akan membereskan Pangeran Liu Wan Ti di sana. Bagus! Tapi kita harus berusaha agar Yo Keng tidak berbicara langsung dengan Menteri Kui Hua Sin.” Katanya gembira.
“Tentu saja. Suasana tegang dalam pertemuan ini justru membuat Menteri Kui tidak punya waktu untuk menemui Yo Keng. Paling-paling dia hanya memanggil Beng Goanswe untuk menyampaikan pesannya kepada Au-yang Goanswe.” Demikianlah ketika Yo Keng sadar kembali, Beng Goanswe seakan-akan menggoyang-goyang lengannya.
“Yo-Ciangkun! Yo-Ciangkun! Wah, tampaknya kau lelah sekali! Masa berbicara sambil memejamkan mata! Marilah, Menteri Kui telah memanggilmu!” Yo Keng terkejut. Matanya menatap tajam ke sekitarnya. Dan diam-diam tangannya meraba sarung pedangnya. Perasaannya menjadi lega melihat benda itu masih tetap di tempatnya.
“Beng Goanswe...? Apakah aku tertidur tadi?”
“Tertidur sih... tidak! Hanya tampaknya kau sangat lelah, sehingga berbicara sambil terantuk-antuk.” Beng Cun berbohong.
“Aaaah...!”
“Ayolah, Yo-Ciangkun! Menteri Kui Hua Sin telah menunggumu. Mari, kuantar kau ke sana...!”
“Sekarang...? Beng Goanswe sendiri yang akan mengantarku? Ah, jangan! Biarlah prajuritmu saja, atau... di manakah Lao-Goanswe sebenarnya? Tadi aku bertemu dia di jalan. Dia mengatakan bahwa hendak ke mari pula...”
Beng Goanswe berdiri dan menarik lengan Yo-Ciangkun. “Marilah, kebetulan aku juga akan ke Ruang Pertemuan. Kau tentu bertemu dengan Lao-Goanswe di sana. Dia memeriksa semua pos penjagaan Istana setiap hari. Ayo...!”
Tanpa menyadari kelicikan orang, Yo-Ciangkun menurut saja ketika dibawa masuk halaman dalam Istana. Mereka menuju ke Ruang Pertemuan, di mana sepanjang jalan Yo Keng tak habis-habisnya mengagumi keindahan bangunan Istana. Walaupun dia seorang perwira, tapi selama hidupnya Yo Keng belum pernah menginjakkan kakinya di halaman Istana.
Sementara itu Lao-Goanswe buru-buru mengirimkan surat pemberitahuan kepada Au-yang Goanswe. Lalu memberi pesan kepada para perajurit jaga, dia segera berangkat menuju ke Ruang Pertemuan pula. Dia harus mendampingi Beng Goanswe agar rencananya berjalan dengan baik.
Dan memang benar pula, bahwa pada saat itu Menteri Kui Hua Sin sedang mengadakan pertemuan dengan menteri menteri lainnya. Bahkan Menteri Kui Hua Sin juga mengundang seluruh anggota Dewan Penasehat Kerajaan pula, karena kali ini Menteri Kui Hua Sin benar-benar ingin membicarakan keadaan negeri mereka.
Hal itu dilakukan Menteri Kui karena keadaan di luar tembok kota raja benar-benar semakin memburuk. Menteri Kui menerima banyak laporan tentang situasi di daerah. Baik laporan tentang masuknya pasukan Mo Tan ke selatan, maupun laporan tentang kerusuhan dan ketidak amanan di seluruh pelosok negeri. Bahkan Menteri Kui juga menerima laporan tentang semakin jauhnya wibawa dan pengaruh kerajaan atas propinsi dan daerahnya.
Terutama propinsi-propinsi yang jauh dari Kotaraja. Dan semua itu sangat menyedihkan hati Menteri Kui. Dia bersama enam menteri lainnya hampir tak bisa berbuat apa-apa semenjak mendapatkan mandat itu. Sekarang Menteri Kui sudah nekad. Dia harus menyelamatkan kerajaan, sebelum terlambat.
“Apabila keadaan ini kita biarkan berlarut-larut, niscaya negeri ini akan runtuh. Lebih celaka lagi kalau Mo Tan menguasai negeri kita. Kita semua akan dijadikan budak-budaknya. Harta dan kekayaan kita akan dijarah rayah dan dirampok. Lalu... apa jadinya dengan anak keturunan kita nanti?” Menteri Kui membuka pertemuan itu dengan suara lantang.
“Benar. Tahun ini sudah ada empat kota yang jatuh ke tangan Mo Tan. Dan sekarang pasukannya sudah mulai mengalir ke arah selatan. Menurut laporan, mereka mulai menuju ke perbatasan Se-cuan, Kang-su dan Cing-hai. Kalau kita tidak segera mengambil tindakan, maka pasukan Mo Tan akan segera menguasai Propinsi Si-kang. Apabila hal itu benar-benar terjadi, maka jalan perdagangan kita ke barat akan putus, suatu yang sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup negeri kita.”
Menteri si Sun Ong yang duduk di sebelah Kui Hua Sin tak terduga juga berkata pula dengan berani. Sekejap para menteri dan para Penasehat Kerajaan lainnya, terpaku diam di tempat masing-masing. Diam-diam semuanya melirik ke arah pintu dan jendela Ruang Pertemuan yang tertutup rapat. Mereka tahu bahwa di luar ruangan banyak prajurit Kim-i-wi, anak buah Au- yang Goanswe, sementara masalah yang mereka bicarakan itu adalah tanggung jawab Au-yang Goanswe sebagai Panglima Bala Tentara Kerajaan.
“Baiklah, semua ini memang menjadi tugas Bala Bantuan Kerajaan. Namun kita sebagai penerima mandat dari Ibu Suri, berhak pula meminta pertanggung-jawaban Panglima Bala Tentara Kerajaan. Panglima Kerajaan harus bisa mengatasi masalah ini. Apa jadinya kalau serbuan Mo Tan itu tidak secepatnya ditanggulangi?” Akhirnya Menteri Kui memecah kesunyian mereka.
“Memang benar apa yang diucapkan oleh Menteri Kui. Kita tidak boleh diam saja melihat hal ini. Kita wajib menanyakan kepada Panglima Kerajaan. Sampai di mana tindakan yang telah dilakukannya untuk menangani masalah itu?” Lagi-lagi Menteri si Sun Ong memberi dukungan kepada rekannya.
“Tapi...?” Menteri Go Hak tiba-tiba menyela, namun segera terdiam kembali. Wajahnya tampak pucat.
Go Hak adalah Menteri Bendahara Kerajaan. Sebagai menteri yang bertanggung jawab atas kekayaan dan harta benda kerajaan, dia paling sering berurusan dengan petugas-petugas kerajaan. Dan dalam masalah yang mereka bicarakan itu, dia pula yang paling banyak mendapat tekanan dari Au-yang Goanswe.
“Apakah yang ingin kau katakan, Menteri Go? Maksudmu terlalu berbahaya bagi kita untuk menanyakan hal tersebut kepada Au-yang Goanswe. Begitukah?” Menteri Kui mendesak dengan suara gemas.
“Bukan! Bukan itu! Kukira... Kalau kita hanya menghubungi panglima saja, tidak segera menyelesaikan masalah ini. Kita perlu mengusahakan jalan lain selain hal itu... Misalnya... Kita perlu segera menemukan kembali Pangeran Liu Wan Ti atau... pangeran Liu Yang Kun! Saat ini kita membutuhkan sosok penguasa yang berwibawa serta disegani orang untuk membangkitkan kekuatan rakyat!”
“Benar. Aku sependapat dengan Menteri Go. Pada saat-saat seperti ini baru kita ingat akan kebutuhan seorang kaisar yang kuat dan bijaksana.” Menteri Liang Wei memberikan suaranya. Sebagai Menteri Urusan Hukum dan Keadilan Liang Wei memang selalu mendambakan sandaran yang kuat.
Kui Hua Sin dan si Sun Ong terperangah. “Bagus. Pendapat kalian memang benar sekali. Rasanya kami berdua juga sependapat pula dengan kalian.” Menteri Kui makin bersemangat.
“Ada saran yang lain?” Menteri si Sun Ong memandang Menteri Gan Jit Kong dan Kiat Peng To yang belum mengeluarkan pendapatnya sejak tadi.
“Aku pribadi juga setuju dengan pendapat Menteri Go. Tapi bagaimana kita harus melaksanakan hal itu? Kita semua tahu, bahwa selama ini sudah diusahakan untuk mencari Pangeran Liu Wan Ti. Namun selama itu pula kita tidak dapat menemukannya. Lalu... tindakan apalagi yang harus kita usahakan?” Menteri Gan Jit Kong berkata pelan.
“Benar. Selama ini kita sudah menyebar petugas rahasia ke seluruh negeri, bahkan juga sudah menghubungi para Kepala Daerah pula. Tapi ternyata Pangeran Liu Wan Ti tetap belum ditemukan. Oleh karena itu kita harus mencari jalan lain. Eemm... aku punya usul. Bagaimana kalau kita menawarkan hadiah besar bagi orang yang bisa memberi petunjuk tempat tinggal Pangeran Liu Wan Ti...?” Menteri Kiat Peng To mengajukan sarannya.
“Usulmu memang bagus. Tapi... apakah hal itu tidak membikin malu kita sendiri? Bagaimana bisa terjadi seorang putera mahkota sampai hilang dari Istana?” Menteri Gan Jit Kong memotong ucapan Menteri Kiat Peng To.
Menteri Kiat Peng To tersenyum. “Menteri Gan, kukira kita tidak perlu merasa malu lagi. Penduduk di selurur pelosok negeri ini rasanya sudah tahu semua akan hilangnya Pangeran Mahkota. Kita tidak dapat menutup-nutupi lagi. Kita justru harus bisa segera menemukannya, karena hal seperti ini akan meresahkan rakyat banyak. Bagaimana, Menteri Kui?”
Menteri Kui Hua Sin mengerutkan dahinya. Pendapat Menteri Kiat Peng To memang masuk akal juga. Bahkan usul itu tampaknya memang paling mengena. Tapi karena usul tersebut berkaitan dengan kehormatan negara, Menteri Kui tidak bisa memutuskan begitu saja.
“Bagaimana menurut pendapat para menteri yang lain?” Demikianlah, karena semua juga sependapat dengan usul Menteri Kiat Peng To, maka Menteri Kui Hua Sin lalu meminta nasehat serta pendapat sepuluh anggota Dewan Penasehat Kerajaan. Dan akhirnya para anggota dewan itu menyetujui niat mereka.
Kemudian Menteri Kui membagi tugas yang harus mereka kerjakan. Menteri Go Hak diminta untuk menyiapkan hadiahnya, sedangkan Menteri Liang Wei diminta untuk menyiapkan orang yang bertugas menyiarkan pengumuman itu keseluruh negeri. Menteri Gan Jit Kong dan Kiat Peng To bertugas menyiapkan orang yang akan melihat dan meneliti propinsi-propinsi mana yang perlu dicurigai.
Sementara Menteri Kui dan si Sun Ong akan menghubungi Au-yang Goanswe. Di tengah kesibukkan pertemuan itu, tiba-tiba pintu ruangan diketuk dari luar. Beng Goanswe masuk disertai Yo-Ciangkun. Mereka berdiri di dekat pintu. Untuk sesaat semua menteri terkejut. Mereka baru saja membicarakan Au-yang Goanswe, kini tahu-tahu tangan kanan jendral yang sangat berpengaruh itu telah berada di depan mereka.
“Beng Goanswe, ada perlu apa?” Menteri Kui cepat menyapa.
“Maaf, Kui Taijin. Yo-Ciangkun dari perbatasan utara ingin menghadapmu. Dia membawa berita dari Kong-sun Gon-swe.”
Menteri Kui Hua Sin terkesiap. “Silakan masuk! Apa yang hendak kau laporkan kepadaku?”
Yo Keng cepat mengambil surat rahasia yang dia sembunyikan di dalam sarung pedangnya. Surat itu buru-buru diberikan kepada Beng Goanswe untuk dihantarkan ke tangan Menteri Kui. Setelah itu dia kembali berdiri tunduk di tempatnya. Menteri Kui menerima surat tersebut dan membukanya. Wajahnya sedikit berubah.
Yo Keng berdebar-debar ketika tidak melihat sinar kegembiraan di wajah menteri tua itu. Apakah penemuan Pangeran Liu Wan Ti itu tidak disukai mereka? Surat itu dibaca secara bergilir oleh para menteri. Dan rata-rata wajah mereka menjadi masam dan kurang gembira malah. Yo Keng semakin bingung dan penasaran. Jangan-jangan semua pejabat di Kotaraja memang telah berubah pikiran.
“Bagaimana, Taijin?” Yo Keng tak kuasa menahan hatinya.
“Baiklah, Yo-Ciangkun. Kami telah mengerti kesulitan Kongsun Goanswe. Kami akan memikirkannya. Jangan khawatir. Biarlah kami berbicara dulu dengan Panglima Kerajaan. Nah, Beng Goanswe...! Tolong kirimkan prajurit untuk mengundang Au-yang Goanswe ke mari! Kami ingin merundingkan situasi negara dengan dia...” Menteri Kui menghela napas panjang.
“Tapi Taijin, Kong-sun Goanswe...” Yo Keng mencoba melaporkan maksud kedatangannya. Tapi entah sejak kapan Lao-Goanswe datang, tahu-tahu ia telah berada di samping Yo Keng.
“Sudahlah, Yo Keng. Menteri Kui akan berbicara dulu dengan Au-yang Goanswe. Kita tunggu keputusannya di luar. Ayolah...!” Wakil Komandan Kim-i-wi. itu cepat-cepat menarik lengan Yo Keng keluar dari ruangan itu.
Yo Keng tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia terpaksa menurut saja apa yang diperintahkan Lao-Goanswe. Bahkan dia juga tak dapat menolak pula ketika dibawa ke Istana Au-yang Goanswe. Sebagai seorang prajurit dia tidak bisa membantah perintah atasannya. Demikianlah Yo Keng terpaksa menunggu di Istana Au-yang Goanswe.
Ketika sampai malam hari jendral itu juga belum kembali dari Istana, Yo Keng terpaksa menginap pula. Dia baru merasa curiga ketika esok harinya dipanggil Au-yang Goanswe ke pendapa. Ketika menerima tugas dari Kong-sun Goanswe, Yo Keng telah dipesan dengan sungguh-sungguh agar menghadap langsung kepada Menteri Kui Hua Sin. Dia tidak boleh percaya kepada siapapun juga selain kepada menteri itu.
Dan dia harus berhati-hati bila berhadapan dengan Au-yang Goanswe beserta anak buahnya. Termasuk di antaranya adalah para anggota Pasukan Kim-i-wi dan Gin-i-wi, karena merekalah sebenarnya yang berkhianat terhadap kerajaan dan kemudian memfitnah Panglima Yap Kim ke dalam penjara. Tapi apa dayanya sekarang. Dia justru berada dalam ceugkeraman Au-yang Goanswe begitu datang di Kotaraja. Sebagai perajurit dia tak bisa menolaknya.
“Selamat pagi, Goanswe...!” Yo Keng menyapa dengan cara dan sikap seorang prajurit.
“Aha, kau kah... perwira yang datang dari perbatasan itu? Bagus. Mari kita minum teh dulu. Setelah itu aku akan menyampaikan kehendak dan perintah Menteri Kui Hua Sin kepadamu.”
“Terima kasih, Goanswe.”
“Yo Keng! Aku mendapat perintah dari Menteri Kui Hua Sin untuk mengirim empat ribu orang prajurit ke benteng Kong-sun Goanswe. Tapi aku tidak diberitahu maksudnya. Nah, sekarang katakan padaku... apa sebenarnya yang terjadi di sana? Apakah Raja Mo Tan menyerang bentengmu?” Au-yang Goanswe bertanya dengan suara menyelidik.
Yo Keng terkejut. Sekejap matanya berkilat ke arah jendral itu. Dan dalam sekejap itu pula pikirannya menjadi tegang. Pertanyaan itu memojokkan dirinya dan mengandung bisa yang sangat berbahaya. Begitu jawabannya salah, jiwanya tak mungkin tertolong lagi.
“Bagaimana Yo Keng? Mengapa kau diam saja?” Au-yang Goanswe mendesak. Matanya mulai kemerahan.
Sebagai prajurit yang biasa bertempur di medan perang, maka naluri keprajuritan Yo Keng segera timbul. Dalam situasi demikian, otaknya segera bekerja, menghitung untung-ruginya. “Tampaknya dia belum tahu isi surat itu dan sekarang ingin mengorek keterangan dari aku. Kalau aku mengatakan apa adanya, bahwa Pangeran Liu berada di dalam benteng, maka dia bisa kalap dan mengirimkan pasukan sandinya untuk membunuh Pangeran Liu. Tapi kalau aku berbohong dan tepat pada sasarannya, dia akan menjadi penasaran, sehingga... Kematianku dapat tertunda.”
Sama sekali Yo Keng tidak menyangka bahwa jenderal itu telah tahu semuanya. Kalaupun sekarang dia pura-pura dia tidak tahu dan bertanya kepada Yo Keng, hal itu hanya untuk mengetahui hasil dari pada tipu daya Jendral Lao Cing. Sekalian juga untuk mengetahui, kepada siapa saja berita tentang Pangeran Liu itu disampaikan.
“Yo Keng! kau dengar pertanyaanku?” Au-yang Goanswe membentak, sehingga prajurit yang bertugas di halaman Istana itu terkejut mengawasi mereka.
“Ah! Maaf, Goanswe! Aku... aku memang sulit untuk menjawab pertanyaan Goanswe itu!” Tiba-tiba Yo Keng mendapatkan jalan. Benar juga. Au-yang Goanswe menjadi penasaran.
“Kenapa mesti sulit, heh? kau mau merahasiakan sesuatu dari aku?”
“Bukan! Bukan begitu, Goanswe! Bukan...! Goanswe tentu tahu bahwa pasukan di daerah perbatasan tidak selalu terkumpul menjadi satu. Mereka terdiri dari beberapa kelompok besar yang selalu berkeliling dan berpindah tempat di sepanjang perbatasan itu. Hanya Kong-sun Goanswe saja yang secara resmi selalu berkedudukan di dalam benteng, meskipun pada kenyataannya beliau juga selalu berkeliling pula...”
“Ayo, jawab saja pertanyaanku! Jangan melingkar-lingkar!”
“Baik! Baik, Goanswe! Terus terang saja aku... aku sebenarnya tidak begitu tahu apa yang terjadi di dalam benteng. Kebetulan... Kebetulan kami sudah lebih dari tujuh bulan meninggalkan benteng-itu. Dan selama itu pula kami tidak pernah bertemu dengan Kong-sun Goanswe. Oleh karena itu kami kaget sekali ketika seorang kurir Kong-sun Goanswe tiba-tiba datang ke tempat kami. Ternyata dia membawa surat yang harus kuantar sendiri kepada Menteri Kui. Tugasku adalah tugas rahasia, yang tak seorangpun boleh tahu. Dan lagi... surat itu hanya boleh kuserahkan kepada Menteri Kui.” Akhirnya Yo Keng dapat juga berbohong.
Au-yang Goanswe memandang Yo Keng dengan tajamnya. Roman mukanya kelihatan lega. Tampaknya dia percaya apa yang dituturkan Yo Keng. Tapi sebaliknya Yo Keng sendiri justru tidak menyadari bahwa ceritanya semakin menguatkan niat jendral untuk menyingkirkan dia.
“Mumpung berita tentang keberadaan Pangeran Liu Wan Ti di benteng Kong-sun Goanswe belum tersebar kemana-mana, aku harus cepat-cepat melenyapkan dia! Besok akan kukirim pula sepuluh ribu orang prajurit, secara terpisah dari beberapa tempat, untuk menghancurkan Pangeran Liu Wan Ti dan Kong-sun Goanswe. Akan kubuat seolah-olah benteng itu telah diduduki musuh. Biarlah Lao-Goanswe yang menghubungi Raja Mo Tan.” Au-yang Goanswe membuat rencana di dalam hatinya. Kemudian seolah-olah memahami penuturan Yo Keng, Au-yang Goanswe mengangguk-angguk.
“Kalau begitu, bersiaplah! Pasukan akan berangkat besok pagi. Kau bisa berjalan bersama mereka.”
Yo Keng cepat-cepat membungkukkan badannya. “Terima kasih, Goanswe! Tapi... bersama sebuah pasukan besar akan menghambat perjalananku. Sementara itu kedatanganku akan sangat dinantikan oleh Kong Sun Goanswe. Oleh karena itu, Goanswe... biarlah aku berangkat lebih dulu.”
Diam-diam wajah Au-yang Goanswe menjadi gembira. Dengan berjalan seorang diri justru lebih mudah untuk membunuh Yo Keng. Demikianlah, pada hari itu juga Yo Keng berangkat meninggalkan Kotaraja. Au-yang Goanswe memberinya bekal dan pakaian karena ia harus berjalan selama tiga hari penuh untuk mencapai benteng Kong-sun Goanswe. Sama sekali tidak di sadari oleh Yo Keng bahwa Au-yang Goanswe telah mempersiapkan lubang kuburan bagi dirinya.
Jendral tua itu telah memerintahkan Beng Goanswe untuk mengirim pasukan rahasia untuk membunuhnya. Yo Keng harus mati sebelum tiba di perbatasan. Ketika matahari mulai condong ke barat, perlahan Yo Keng sudah mendekati kota An-yang. Sejak dari Kotaraja sampai di An-yang, Yo Keng selalu memberi tanda di tempat-tempat yang mudah terlihat. Seperti dugaan Lao Goanswe, kepergiannya ke Kotaraja memang selalu diawasi oleh beberapa orang pengawalnya.
Tapi Yo Keng tidak ingin singgah di kota An-yang. Selain kota itu penuh dengan prajurit kerajaan, Yo Keng juga tak mau berjumpa dengan banyak orang. Dia justru ingin lewat di jalan sepi, karena dia harus tetap waspada terhadap siapa saja, termasuk kepada Au-yang Goanswe dan anak buahnya. Menurut penuturan Kong-sun Goanswe, jendral tua itu sangat licik dan berbahaya. Yo Keng mengambil jalan kecil ke arah barat.
Ia ingin lewat di bagian selatan Propinsi Sian-su, menyusuri daerah perbukitan di sebelah kota Lia-feng dan selanjutnya meneruskan perjalanan menuju kota kecil Leng-fu di tepian Sungai Huang-ho. Dan jika tidak ada hambatan atau rintangan, dia akan sampai di kota itu menjelang matahari terbenam. Dan menurut rencana ia akan berjumpa dengan para pengawalnya di sana.
Kuda Yo Keng memang kuda pilihan. Kuda itu tahan berlari disegala medan. Selama tiga hari berjalan menuju ke Kotaraja kemarin, Yo Keng hanya sempat memberi istirahat kudanya itu pada malam hari. Sementara pagi sampai sore terus mereka berjalan tanpa mengenal lelah. Tiba-tiba kuda tunggangan itu berhenti dan mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi. Yo Keng mencabut pedangnya. Kuda itu memberi firasat bahwa ada orang di sekitar tempat itu. Benar saja.
Dari balik semak pepohonan sekonyong-konyong muncul belasan orang bertopeng menghadang di tengah jalan. Ketika Yo Keng menoleh, ternyata di belakangnyapun telah berloncatan pula orang-orang yang sama. Dia telah dikepung dari segala jurusan. Tanpa bertanya lagi Yo Keng menghentakkan tali kekang kudanya, sehingga kuda itu menerjang ke depan dengan garangnya. Pedangnya berkelebat melindungi badannya.
“Berhentiiiii...!”
“Traaang...! Traaaang! Traaaaaang!”
Orang-orang bertopeng itu beramai-ramai menyerang Yo Keng yang bertahan di atas pungung kudanya. Dan pertempuran brutal pun segera berlangsung dengan sengitnya. Orang-orang bertopeng itu mengeroyok dengan senjata mereka. Beberapa orang di antara mereka mulai terluka akibat sabetan pedang Yo Keng. Perwira dari perbatasan itu memang tidak bisa dianggap enteng. Pengalamannya dalam pertempuran sangat banyak. Dan tampaknya orang-orang itu hanyalah perampok-perampok jalanan. Mereka berkeliaran akibat situasi keamanan yang buruk.
Kini menghadapi Yo Keng, seorang perwira yang biasa berlaga di medan pertempuran, mereka tidak dapat berbuat banyak. Walaupun mereka berjumlah banyak, tetapi Yo Keng sendiri hampir tak bisa disentuh. Di atas punggung kuda yang biasa membawanya dalam setiap pertempuran, Yo Keng benar-benar seperti garuda yang terbang di atas awan. Sesekali dia menyambar ke kanan dan ke kiri untuk merobohkan mangsanya.
Beberapa saat kemudian para perampok mulai tampak kebingungan. Kuda perang yang dinaiki Yo Keng itu semakin garang mengobrak-abrik mereka. Korban mulai berjatuhan. Bukan karena pedang Yo Keng, tapi karena tendangan kaki kuda gila itu. Akhirnya mereka tak tahan lagi. Mereka lalu lari berserabutan menyelamatkan diri. Mereka lari sambil membawa teman-temannya yang terluka.
“Gila! Siang hari bolong begini ada juga perampok berkeliaran! Kurang ajar!” Begitu musuh-musuhnya hilang, Yo Keng menggeram kesal. Ketika sampai di sebuah sungai kecil Yo Keng turun dari kuda dan dibiarkannya kudanya itu beristirahat. Dia sendiri lalu duduk di bawah pohon rindang. Hembusan angin segar hampir membuatnya terlena, kalau tiba-tiba tidak terdengar suara jeritan meminta tolong.
Yo Keng bangkit dengan cepat. Kudanya juga kaget dan melompat keluar dari da-lam air. Kemudian Yo Keng bergegas memanjat pohon. Matanya nyalang mencari asal suara tadi. Tiba-tibaJ dia melihat serombongan wanita berlarian dikejar oleh belasan lelaki kasar. Mereka berkejaran di pinggir hutan.
“Gila! Tampaknya ada perampok lagi! Benar-benar rusak negeri ini!” Yo Keng menggeram marah. Tanpa memikirkan rasa lelahnya lagi Yo Keng memacu kudanya untuk menolong wanita-wanita itu. Tapi ketika sampai di pinggir hutan itu, semuanya sudah hilang. Orang-orang itu tidak kelihatan lagi. Bahkan di atas tanah juga tidak ada bekas-bekasnya pula.
“Eh, kemana mereka? Masa mereka bisa menghilang?” Tapi Yo Keng tidak segera menyerah. Dia malah menjadi penasaran, sehingga tempat itu justru diaduknya dengan teliti. Tidak sejengkal tanahpun luput dari pengamatannya. Dan akhirnya ia dapatkan juga apa yang dia inginkan. Tepat di tengah-tengah semak belukar, tak jauh dari tempat itu, Yo Keng menemukan sebuah lubang gua. Tidak begitu besar, tapi manusia dapat masuk dengan mudah.
Dan dari bekas-bekas yang ada, Yo Keng yakin bahwa orang-orang itu benar-benar lewat melalui lubang tersebut. Setelah mengikat kudanya di tempat yang tersembunyi, Yo Keng nekad masuk ke dalam lubang itu. Sungguh menakjubkan. Beberapa saat kemudian ujung terowongan itu menembus ke lereng te-bing curam, di mana di bawahnya mengalir sungai deras.
“Ah, sungai di bawah itu tentu merupakan kepanjangan dari sungai tempat aku beristirahat tadi. Tapi... Kemana orang-orang itu tadi? Apa ada jalan setapak ke bawah?”
Ketika Yo Keng melongok ke bawah, di bawah tebing tampak belasan buah tenda didirikan berjajar di tepian sungai. Puluhan lelaki bertubuh tegap tampak berjalan hilir-mudik di antara tenda-tenda itu. Sepintas lalu mereka kelihatan seperti kawanan perampok yang membangun sarang di lembah sempit itu. Tempat itu memang strategis sekali.
Selain tersembunyi, juga sulit dijangkau orang. Jalan keluarnyapun hampir tidak ada pula. Bagian samping dibatasi oleh tebing yang tinggi, sementara di bagian depan dan belakang merupakan aliran sungai yang terjal bertingkat-tingkat. Sehingga satu-satunya jalan hanya dari lubang gua itu.
“Tempat ini memang sangat baik untuk bersembunyi, tapi berbahaya untuk sebuah pasukan. Memang sulit untuk ditemukan, namun mudah diserang dan dihancurkan lawan. Heran, siapakah mereka?” Yo Keng lalu mencari akal untuk menuruni tebing itu. Tapi belum juga cara itu dia temukan, telinganya mendengar langkah orang memasuki terowongan itu. Cepat dia bersembunyi di tempat gelap. Tujuh orang lelaki lewat di depannya.
Masing-masing membawa perempuan dipundaknya. Mereka kelihatan tergesa-gesa sehingga tidak memperhatikan keadaan di sekeliling mereka. Mereka melangkah dengan terburu-buru. Begitu pula ketika menuruni tebing itu. Kebetulan lelaki yang paling belakang agak sedikit ketinggalan dari kawan-kawannya. Dan kesempatan itu tak disia-siakan oleh Yo Keng. Sekali sodok dengan sarung pedangnya, lelaki itu roboh tak berkutik.
Dan perempuan yang ada dalam pelukan orang itu cepat disambarnya serta ditaruh pula di atas pundaknya. Lalu dengan cekatan orang itu diseretnya ke tempat yang tersembunyi. Selanjutnya, seperti tak pernah terjadi apa-apa, ia berjalan di belakang rombongan tersebut. Dia sengaja memperlambat langkahnya. Kemudian buru-buru menyelinap pergi, begitu rombongan tersebut menginjakkan kaki di bawah tebing. Yo Keng menyuruk ke dalam semak-semak.
“Hei, mau apa sebenarnya kau? Kenapa kau gantikan orang itu dengan kekerasan? Kau... siapa?” Tiba-tiba terdengar bisikan di belakang Yo Keng. Suaranya kecil.
Bukan main kagetnya Yo Keng! Otomatis tubuhnya berbalik, sehingga perempuan di atas pundaknya itu hampir saja terjatuh. “Sia-siapakah... Kau?” Mata Yo Keng jelalatan mencari lawannya. Tapi tak seorangpun di sekitarnya.
“Celaka...! Bagaimana kau ini? Kau sekarang sedang menggendong aku! Wah, gobloknya!” Suara itu terdengar kembali, bahkan lebih keras dan berkesan jenaka. Suaranya berubah besar seperti suara lelaki. Yo Keng terkejut. Dan lebih kaget ketika jalan darah tong-tie-hiat di lehernya telah dicengkeram oleh perempuan itu.
“Hei, awas! Jangan dibanting! Nanti suaranya akan terdengar oleh mereka!” Suara itu lagi-lagi memperingatkan.
Yo Keng menggeram. Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Orang yang menyamar menjadi wanita itu telah mencengkeram jalan darah kematian di lehernya. “Si-siapa kau...? Mengapa kau menyamar menjadi perempuan dan membiarkan diri dibawa oleh lelaki kasar itu?” Yo Keng menggeram dengan suara tertahan.
“Wah, jangan bertanya sekarang! Nanti saja setelah kita benar-benar aman. Kini turunkanlah aku dulu dan jangan banyak bicara!” Untunglah kedatangan rombongan itu tidak begitu diperhatikan oleh yang lain, sehingga penyusupan Yo Keng berjalan dengan mulus. Hanya seorang saja di antara ketujuh lelaki tadi yang berteriak mencarinya.
“Hei...? kemana orang gila tadi? Apakah ia masih di atas?”
“Aaa, sudahlah! Biarkan saja ia berbuat sekehendak hatinya. Paling-paling berada di antara semak-semak itu! Hehehehe!”
Sementara itu di Kotaraja, Au-yang Goanswe sudah mengirimkan pasukan rahasianya untuk mengejar Yo Keng. Pasukan yang amat terlatih itu menyamar seperti rombongan penduduk biasa. Mereka bergerak di dalam beberapa kelompok. Semula mereka bermaksud menghadang Yo Keng di kota Lia-feng.
Namun rencana mereka berubah lagi karena Yo Keng tidak menuju ke kota itu. Mereka lalu menuju ke kota berikutnya, yaitu kota Leng-fu di tepian Sungai Huang-ho. Untuk itu mereka membagi rombongan menjadi dua bagian. Sebagian melewati perbukitan di selatan Lia-feng dan sebagian lagi menerobos terus ke barat melalui Tai-bong-sui, daerah rawa-rawa berbahaya.
Demikianlah, pada saat matahari mulai bergeser turun ke barat, beberapa kelompok di antara pasukan itu telah tiba di kota Leng-fu. Mereka segera berkumpul di luar pintu gerbang kota bagian selatan. Mereka dipimpin oleh Tongkat Bocor Ho Bing, yang kini telah berhasil menjadi orang kepercayaan Au-yang Goanswe.
“Heran! Mengapa Ciang Ciangkun belum juga datang? Dia seharusnya tiba di sini. Jarak yang mereka tempuh lebih pendek daripada kita.” Lelaki bermuka kelimis itu menggerutu, karena Ciang Kwan Sit, pemimpin rombongan mereka, belum juga tiba di tempat itu. Padahal rombongan Ciang Kwan Sit lewat Tai-bong-sui.
“Biarlah kita bersabar sedikit.” Salah seorang di antara temannya yang berkepala gundul mendinginkan hatinya.
“Tapi... Kita tidak mempunyai banyak waktu, Tiat-tou (Kepala Besi)! Sebentar lagi Yo-Ciangkun akan tiba. Kita belum mengatur rencana untuk menghadapinya...”
“Kalau begitu, mengapa tidak kau saja yang menyusun rencana? Bukankah Ciang Ciangkun telah memberi wewenang kepadamu?” si Gundul itu menjawab enteng.
“Hei, mengapa aku...?” Ho Bing berteriak.
“Mengapa...? Hehehee, sudah kukatakan, selain lebih cerdik dan lebih banyak akal, kau sudah diberi wewenang oleh Ciang Ciangkun. Mau apa lagi? Ayolah...!”
“Tapi ilmu silat kalian banyak yang lebih tinggi daripada ilmu silatku.”
“Waah... Itu tidak menjadi soal. Sekarang yang penting adalah rencananya, bukan pertempurannya. Ayolah!”
Ho Bing tidak dapat menolak lagi. Terpaksa dia mengambil alih pimpinan rombongan itu. Dia lalu membagi rombongan tersebut menjadi tiga kelompok kecil. Kelompok pertama dipimpin oleh Tiat-tou dan tetap berada di tempat itu. Kelompok ke dua, dipimpin Siang-kim-eng (Sepasang Elang Emas), menunggu di pintu gerbang kota sebelah timur. Sedang Ho Bing bersama lima orang sisanya, masuk ke dalam kota. Mereka bersiap-siap untuk membantu kelompok yang nanti berhadapan dengan Yo Keng.
“Dengan pembagian kelompok seperti ini kita berharap tidak akan kehilangan buruan kita. Kelompok yang menerima kedatangan Yo Keng harus segera memberi tanda kepada yang lain. Bagaimana?”
“Baiklah... Kita semua sependapat. Mari kita berangkat!” Tiat-tou mewakili teman-temannya.
Demikianlah mereka lalu berpencar bersama kelompok mereka masing-masing Mereka tidak sempat lagi menunggu kedatangan rombongan Ciang Kwan Sit. Sama sekali mereka tidak menyangka kalau rombongan Ciang Kwan Sit mendapat rintangan di tengah jalan. Begitu melewati rawa-rawa Tai-bong-sui, rombongan itu bertemu dengan sebagian kecil dari iring-iringan pasukan Raja Mo Tan yang menyusup ke Propinsi Siangsi.
Dan tanpa berbasa-basi lagi pasukan itu mengepung dan menyerang rombongan Ciang Kwan Sit. Kelompok kecil pasukan Raja Mo Tan yang tidak mengenakan seragam perajurit itu dipimpin oleh Sogudai, seorang keturunan Mongol yang mengabdi kepada Raja Mo Tan. Rombongan itu merupakan sebagian dari pasukan besar Raja Mo Tan yang mulai menyusup ke wilayah Tionggoan.
Ternyata berita tentang Pangeran Liu Wan Ti itu telah diketahui pula oleh Raja Mo Tan. Bahkan raja dari berbagai suku bangsa liar di luar Tembok Besar itu sudah menyusun rencana untuk menyerbu Kerajaan Han. Demikianlah, selagi Jenderal Au-yang sendiri sibuk dengan rencana pengkhianatannya, Raja Mo Tan justru mulai menabuh genderang perangnya. Panglima Solinga dengan pasukan besarnya telah berangkat menuju ke benteng Kong-sun Goanswe.
Sedangkan panglima-panglima Raja Mo Tan yang lain, seperti Panglima Yeh Sui dan Huang Yin, berangkat ke timur dan ke selatan. Mereka berdua diperintahkan untuk memotong bala bantuan yang datang dari Tionggoan. Dan di dalam rombongan pasukan yang menuju ke timur itulah kelompok pasukan Sogudai berada.
Seperti halnya Panglima Solinga, Panglima Yeh Sui dan Panglima Huang Yin merupakan jago-jago yang handal. Bahkan seperti halnya Panglima Solinga, mereka berdua juga memiliki kesaktian yang hebat pula. Perbedaan mereka hanyalah dalam usia. Panglima Yeh Sui dan Huang Yin adalah jago-jago tua yang berusia lebih dari lima puluh tahun, sementara Panglima Solinga yang anak keturunan suku Mongol itu masih sangat muda.
Di dalam penyamarannya ini Panglima Yeh Sui membawa lima ribu orang perajurit. Dan untuk mengurangi kesan sebagai sebuah barisan besar ataupun arak-arakan prajurit, Panglima Yeh Sui membagi pasukannya menjadi kelompok-kelompok kecil. Setiap kelompok terdiri dari empat puluh atau lima puluh orang dan dipimpin oleh seorang pemimpin kelompok.
Mereka sengaja menyamar seperti rakyat biasa, agar perjalanan itu tidak terlalu menarik perhatian orang. Mereka berjalan berombongan, kelompok demi kelompok, seakan-akan rombongan pengungsi yang melarikan diri dari daerah perbatasan. Namun di sepanjang jalan pasukan itu banyak membuat kesengsaraan penduduk, apalagi tingkah laku mereka sering tidak terkendali. Mereka merampas dan menjarah rayah persediaan pangan penduduk.
Bahkan mereka berlaku kasar terhadap wanita, sehingga acapkali timbul kerusuahan diantara mereka dengan penduduk setempat dan kadangkala kerusuhan yang mereka timbulkan itu berkembang menjadi pertempuran-pertempuran kecil di sepanjangan perjalanan mereka, akibatnya bisa diduga, banyak penduduk yang tidak tahu memegang senjata menjadi korban kebrutalan mereka.
Penduduk desa menganggap pasukan itu sebagai gerombolan pengungsi yang bertindak brutal karena kelaparan, sehingga mereka terpaksa menjadi perampok. Sama sekali mereka tidak menduga kalau gerombolan itu adalah pasukan asing yang hendak menduduki negeri mereka. Akhirnya situasi seperti itu mengundang simpati para pendekar di seluruh negeri, tanpa diundang mereka datang dari propinsi Kiangsu, Siang-si, Ho-pak, San-tung dan sekitarnya.
Mereka mencoba membantu penduduk mengatasi gerombolan tersebut. Bahkan beberapa waktu kemudian muncul beberapa kelompok kekuatan yang lebih tersusun rapi dan memiliki pandangan lain terhadap kemelut di daerah itu, mereka terdiri dari kelompok para pendekar yang dianggap mampu memimpin mereka.
Demikianlah belasan orang dari rombongan Ciang Kwaan Sit itu harus menghadapi pasukan Sogudai yang berlipat ganda banyaknya, meskipun demikian karena mereka rata-rata memiliki ilmu silat tinggi, maka untuk sementara mereka dapat bertahan dengan baik. Mereka tetap melawan dengan semangat tinggi. Tapi bagaimanapun juga jumlah mereka terlalu sedikit, satu banding empat dalam sebuah pertempuran tetap merupakan masalah yang serius.
Walaupun mereka rata-rata memiliki ilmu silat yang baik, namun di pihak Sogudai terdapat pula jago-jago gulat yang tangguh. Bahkan beberapa saat kemudian Sogudai dan dua orang pengawalnya telah menunjukkan keunggulannya. Beberapa orang anak buah Ciang Kwan Sit terlempar dari arena pertempuran.
Peristiwa itu semakin membesarkan hati anak buah Sogudai. Mereka lalu mengamuk dan berkelahi seperti serigala haus darah. Apalagi sebagai suku-suku liar dari padang rumput, mereka memang sangat mahir berkelahi dalam kelompok. Di daerah mereka, mereka sudah terbiasa bertarung dalam kelompok melawan harimau ataupun kuda-kuda liar. Dan kini mereka mulai bersikap seperti itu pula.
Mereka berkelahi seperti kawanan serigala yang sedang mengepung binatang mangsanya. Ciang Kwan Sit menjadi marah. Di kalangan keprajuritan dia merupakan seorang perwira menengah yang disegani. Ilmu cambuknya tidak ada duanya di jajaran pasukan rahasia. Kini melihat anak buahnya terdesak, kemarahannya tak bisa ditahan lagi. Tangannya segera mengurai cambuk baja yang terbelit dipinggangnya. Lalu dengan garang dia menghentakkan ujungnya!
“Thaaaaaar! Taaaaar...!” Dua orang anak buah Sogudai terjungkal roboh!
“Gila! Kubunuh kau...!” Sogudai menjerit marah. Tubuh Sogudai yang tinggi besar itu meloncat ke atas melampaui kepala anak buahnya. Dari ujung lengan bajunya melesat sebuah belati ke arah Ciang Kwai Sit!
“Siiiiiinggg...” Sekali lagi Ciang Kwan Sit menghentakkan cambuknya. Kini ditujukan ke arah datangnya belati. “Taaaas!” Ujung cambuknya menghantam badan belati tersebut sehingga arahnya melenceng ke kanan...