Pendekar Pedang Pelangi Jilid 21

Sonny Ogawa

Pendekar Pedang Pelangi Jilid 21 karya Sriwidjono - SELANJUTNYA kedua orang itu berhadapan muka seperti ayam aduan. Dan tampaknya mereka tak ingin saling berbicara lagi, karena kemudian senjata mereka ternyata lebih bersemangat daripada mulut mereka. Ciang Kwan Sit tetap memegang cambuk, sementara tangan Sogudai telah memegang belati besar sepanjang siku tangannya.

Cerita silat Mandarin karya SriwidjonoKarya: Sriwidjono

Belati itu bersinar biru karena tajamnya. Dan di tangan Sogudai benda itu benar-benar mengerikan. Mereka segera terlibat dalam pertempuran yang sengit. Sogudai yang kasar dan kuat itu berkelahi dengan liar dan ganas. Belati besarnya melayang-layang mengejar lawan.

Sementara Ciang Kwan Sit menghadapinya dengan tenang, namun penuh dengan perhitungan. Dia sama sekali tidak melayani kegarangan Sogudai. Dia lebih banyak menghindar dan menjauhi lawannya. Bahkan untuk menahan desakan Sogudai, ia sering melecutkan ujung cambuknya keras-keras. Beberapa kali senjata mereka beradu diudara. Dan dengan sifatnya masing-masing, kedua senjata itu berusaha untuk menekan lawannya.

Ciang Kwan Sit dengan cambuknya yang lemas dan panjang itu selalu mencoba memotong dan menahan gerakan lawan. Sementara Sogudai dengan belati besarnya, tetap merangsak ke depan dengan kekuatan besarnya. Keduanya memang bukan orang sem-barangan. Seperti halnya keturunan suku Mongol lainnya, Sogudai memiliki tubuh yang kokoh dan kuat. Ditambah dengan ilmu silatnya yang tinggi, maka kekuatannya semakin menjadi dahsyat sekali.

Sebaliknya Ciang Kwan Sit juga mempunyai ilmu silat yang hebat pula. Di kalangan Pasukan Rahasia ilmu cambuknya sangat terkenal. Rekan sepasukannya, mendiang Su Hiat Hong dan Lim Kok Liang, amat segan terhadap ilmu cambuknya. Begitulah, semakin lama pertempuran mereka menjadi semakin seru. Demikian sengitnya, sehingga masing-masing tidak ada waktu lagi untuk melihat sekelilingnya. Mereka tidak sempat pula melihat anak buah mereka.

Apalagi arena pertempuran semakin menebar ke segala penjuru. Bahkan sebagian dari mereka kembali memasuki rawa-rawa. Tapi jumlah mereka memang tidak seimbang. Pasukan Sogudai berlipat lebih banyak, sehingga dengan menebarnya arena itu semakin membuat pasukan Ciang Kwan Sit terpecah-belah. Akhirnya setiap prajurit Ciang Kwan Sit harus melawan enam atau tujuh orang lawan. Akibatnya bisa diduga. Satu persatu mereka mati terbunuh.

“Lihat! Teman-temanmu sudah mati semua! Mengapa kau tidak menyerah saja?” Sogudai berseru gembira melihat lawannya tinggal Ciang Kwan Sit seorang.

Ciang Kwan Sit menggerakkan giginya. “Bangsat! Dari mana kau mendapatkan pasukan sedemikian banyaknya, heh? Kau tentu bukan gerombolan perampok biasa! Anak buahmu amat terlatih dalam pertempuran! Jangan-jangan kau mau memberontak, ya?”

“Gerombolan perampok? Kurang ajar...! Kau kira kami siapa, heh? Jangankan cuma kau dan kawan-kawanmu itu, bala tentara dari negerimu pun takkan mampu melawan pasukan kami, hohohehe!”

“Hei, kalian...? Jadi kalian ini pasukan asing?” Ciang Kwan Sit tersentak kaget, sehingga pertahanannya sedikit mengendor. Akibatnya belati Sogudai menyerempet bahunya. Membuat bahu itu tergores dalam dan hampir memutuskan uratnya. Darah mengucur membasahi pakaian Ciang Kwan Sit. Dan lengan itu terasa lemas dan sulit digerakkan.

“Gila! Kau benar-benar gila!” Ciang Kwan Sit mengumpat.

Tapi Sogudai tidak meladeni sumpah serapah Ciang Kwan Sit. Melihat lawannya terluka, sepak terjangnya justru semakin ganas. Matanya melotot penuh hawa pembunuhan, membuat Ciang Kwan Sit semakin turun semangat tempurnya.

“Aduuuuh...!” Sekali lagi Ciang Kwan Sit menjerit ketika belati besar itu menghunjam lengannya. Otomatis cambuknya terlepas dari pegangan.

“Mati kau sekarang...!” Sogudai bersorak kegirangan. Belatinya menyambar ke arah tenggorokan.

“Traaaaang!”

Tiba-tiba belati besar itu terlempar ke udara! Sebutir kerikil menghantam badan belati tersebut! Namun pada saat terakhir ujung belati itu masih sempat menyayat leher Ciang Kwan Sit! Perwira itu terjungkal pingsan dengan darah mengalir dari luka barunya!

“Aaaah!” Sogudai juga menggeram kesakitan. Dengan muka merah padam Sogudai melihat ke sekelilingnya, mencari orang yang telah mengganggu perkelahiannya. Dan di tepi rawa, di atas sebuah cabang pohon, dilihatnya seorang lelaki setengah baya tertawa ke arahnya. Sogudai tidak segera mengenalnya.

Tetapi suara tertawa itu cepat mengingatkannya kembali kepada musuh bebuyutannya selama ini, Bun-bu Siucai (Si Pelajar Serba Bisa) Liu Wan. Dan seperti halnya lima tahun lalu, pemuda itu masih juga menyamar sebagai tabib keliling. Bahkan pakaian dan buntalan obatnya juga masih memakai yang dulu pula.

“Sogudai! Kau masih ingat kepadaku?” Pemuda itu menyapa dan sama sekali tidak peduli pada kawan-kawan Sogudai yang mengepung di bawah pohonnya.

“Bun-bu Siucai!” Sogudai berdesah dengan suara gemetar.

“Hahaha” Sogudai... ternyata dugaanku selama ini memang benar. Kedatanganmu ke Tionggoan dulu adalah untuk mencari jalan bagi pasukan Raja Mo Tan. Kini saat untuk menyerbu tampaknya sudah tiba. Kau benar-benar dikirim bersama pasukan perangmu menyeberangi Tembok Besar!” Pemuda yang tidak lain adalah Liu Wan itu berseru dari atas. pohon.

“Bunuh dia...!” Sogudai berteriak marah. Belasan anak panah melesat menuju ke tempat Liu Wan berada.

Namun dengan cepat pemuda itu melompat ke cabang yang lain, kemudian berjumpalitan ke bawah, sehingga anak panah itu gagal memburunya. Begitu berdiri di atas tanah, Liu Wan tidak segera melayani Sogudai dan anak buahnya. Sebaliknya dengan tenang pemuda itu menghampiri tubuh Ciang Kwan Sit dan memeriksa luka-lukanya. Baru setelah yakin Ciang Kwan Sit masih hidup, dia berdiri menghadapi lawannya.

“Sekarangpun belum terlambat! Katakan kepada Rajamu, bahwa kami telah mencium maksudnya! Katakan pula, bahwa bangsa Han tidak akan membiarkan tanah ini diinjak oleh orang seperti dia! Para pendekar telah besatu, menyusun kekuatan untuk menghadapi serbuannya. Lihatlah...! Pasukan para pendekar telah siap bertempur denganmu!” Kata Liu Wan berapi-api. Telunjuknya menuding ke tengah rawa, di mana puluhan kepala tersembul di antara semak dan alang-alang.

“Gila! Sejak dulu kau selalu merintangi jalanku!”

Liu Wan tertawa panjang. “Sudah kukatakan dari dulu, bahwa aku paling tidak suka melihat orang asing menginjak-injak dan merusak negeriku!”

“Bagus! Tampaknya kau memang telah menunggu kedatangan kami. Nah, mari kita selesaikan saja secepatnya! Prajurit, cepat lepaskan panah berapi! Kita undang pasukan yang lain ke tempat ini!"

Liu Wan terkejut. Otomatis otaknya bekerja. Kalau Sogudai benar-benar mengundang bantuan, berarti kekuatan mereka akan bertambah. Dan bila jumlah bantuan itu sama banyaknya dengan jumlah kekuatan Sogudai sekarang, berarti para pendekar persilatan yang dibawanya takkan menang melawan mereka. Liu Wan cepat memanggil tiga orang kawannya yang bersembunyi di dalam semak di pinggir rawa.

Salah seorang di antara mereka berbadan kecil, namun lengannya tampak lebih panjang dari ukurannya. Orang itu berjalan seperti kera. Tapi ketika sebuah anak panah melesat ke arahnya, tiba-tiba tubuhnya melenting ke udara dengan gesitnya. Dan di lain saat anak panah itu telah berada dalam cengkeraman jarinya.

“Si Pencuri Sakti Ang Jit Kun!” Sogudai yang sudah terbiasa berkeliaran di Tionggoan itu segera mengenali orang berbadan kecil itu.

“Ang-heng, pilihlah lima orang berkepandaian tinggi di antara teman-teman kita! Bawalah mereka ke belakang untuk menjaga jalan ke dalam rawa! Kita tidak tahu persis, berapa jumlah musuh yang akan tiba nanti. Kita harus siap untuk mundur bila diperlukan!” Liu Wan berbisik kepada Ang Jit Kun.

“Baik, Ciok-heng!” Pencuri Sakti itu lalu berkelebat cepat memasuki rawa-rawa kembali. Gerakannya cepat bukan main.

“Ciok-heng! Apa yang harus kami kerjakan?” Dua orang yang datang bersama Ang Jit Kun tadi bertanya kepada Liu Wan.

“Saudara Un dan saudara Lo, kita bertiga tetap di sini. Kita pimpin rekan-rekan kita menghadapi mereka! Tapi ingat...! Kita harus tetap menjaga, agar kawan-kawan kita tidak keluar dari garis pertempuran! Kita tidak boleh menerobos ke dalam lingkungan musuh! Kita harus tetap berada dalam satu baris tempur.”

Un Kao dan Lo Su Ti, dua pendekar yang tampaknya merupakan pembantu utama Liu Wan, menganggukkan kepala. “Baik, kami tahu maksud Ciok-heng. Kita harus segera bisa menyelamatkan diri kalau terdesak. Tetapi, sebelum bala bantuan mereka datang, kita harus secepatnya mengurangi jumlah mereka. Siapa tahu bala bantuan mereka tidak banyak, sehingga kita bisa menumpasnya? Begitu bukan?”

Liu Wan mengangkat ibu jarinya. “Bagus! Jiwi memang berpandangan tajam! Marilah! Mereka sudah tidak sabar lagi!”

Demikianlah pertempuran tak bisa dielakkan lagi. Masing-masing berusaha membunuh lawan sebanyak-banyaknya. Anak buah Sogudai menyerang dengan ganas dan penuh semangat, sementara para pendekar yang dipimpin oleh Liu Wanpun melayani mereka dengan penuh semangat pula.

Meski secara perorangan para pendekar itu memiliki kepandaian lebih tinggi, tapi dalam pertempuran besar mereka tetap harus waspada dan dapat menempatkan diri dalam kelompoknya. Sekejap saja dia terlepas dari kelompoknya dan terjebak dalam kepungan lawan, maka akan sangat sulit untuk meloloskan diri.

Betapapun lihai ilmu silat seorang perajurit, namun siasat dan cara bertempur tetap diperlukan dalam setiap arena. Walaupun demikian kemampuan perorangan juga tak bisa diabaikan. Seorang jago silat tetap lebih berbahaya daripada prajurit biasa. Tanpa senjatapun mereka masih lebih berbahaya daripada prajurit bersenjata.

Korban mulai berjatuhan, sehingga jumlah mereka semakin berkurang pula. Tempat yang licin berlumut itu kini mulai tampak kemerahan. Sogudai yang sedang berhadapan dengan Liu Wan juga mulai gelisah pula. Bantuan belum datang, sementara anak buahnya banyak yang telah menjadi korban. Tapi wajah itu segera berseri kembali ketika tiba-tiba terdengar sorak-sorai mendatangi.

Benar juga, dari balik pepohonan tiba-tiba muncul belasan orang bersenjata yang segera menceburkan diri ke dalam pertempuran. Datangnya bala bantuan yang tidak kecil itu membuat perubahan kekuatan di arena. Pasukan Sogudai yang tadi terdesak, kini berbalik mendesak lawan. Apalagi bala bantuan yang datang masih tetap bermunculan tiada putusnya. Mereka langsung menggempur pasukan pimpinan Liu Wan.

Liu Wan cepat memberi isyarat kepada Un Kao dan Lo Su Ti. Perlahan-lahan mereka mundur sambil membawa teman mereka yang terluka. Ang Jit Kun bersama lima orang kawannya segera menebar membuka jalan. Karena mereka memang tak pernah meninggalkan jalan masuk ke dalam rawa, maka pasukan para pendekar itu dengan mudah dapat meloloskan diri. Pasukan Sogudai yang tidak tahu keganasan rawa itu mencoba mengejar mereka. Namun beberapa orang di antara mereka segera tenggelam ke dalam lumpur.

“Jangan masuk ke dalam rawa! Hujani mereka dengan panah!” Sogudai berteriak. Berpuluh-puluh anak panah meluncur mengejar para pendekar itu.

Tapi sudah terlambat. Selain gerakan para pendekar itu sangat cepat, kondisi rawa-rawa itu benar-benar sangat membantu mereka. Sebentar saja mereka telah lenyap ke dalam rimbunnya semak belukar. Dan di lain saat rombongan para pendekar itu telah menaiki sampan masing-masing dan pergi dari tempat itu. Sogudai berteriak marah. Musuh lama yang telah berada dalam genggaman, ternyata lepas begitu saja.

* * *

Sementara itu Liu Wan membawa kawan-kawannya ke kota Lau-ying, sebuah kota kecil di sebelah utara Tai-bong-sui. Mereka langsung menuju ke markas darurat mereka, di sebuah kuil kosong di luar kota. Kedatangan mereka disambut oleh kawan-kawan mereka yang lain.

“Ciok-heng, kita mendapat tamu dari kota Ling-fu. Sekarang ia berada di dalam bersama kawan-kawan.” Seorang lelaki bersenjata golok memberi laporan.

Liu Wan mengangguk. Setelah mengatur dan menugaskan beberapa orang kawannya untuk mengurusi yang luka, Liu Wan mengajak si Pencuri Sakti Ang Jit Kun ke dalam untuk menemui tamunya.

“Ahh...?” Liu Wan berdesah ketika melihat tamunya. Tapi rasa kaget itu cepat disembunyikannya. Dia sedang menyamar sebagai Tabib Ciok sekarang.

“Selamat bertemu, Ciok Sinshe! Perkenalkan... aku yang rendah bernama Tan Sin Lun, dari Aliran Im-yang-kauw. Mungkin Sinshe masih ingat padaku, karena aku pernah datang mengunjungi pondokmu di kota Hang-ciu lima tahun lalu...” Tamu itu memperkenalkan diri.

“Ah, tentu saja... Tan Siau-heng. Meskipun sudah tua ingatanku masih tetap baik. Hemm, apakah sumoimu yang hilang itu sudah kau temukan?” Liu Wan tetap berusaha bersikap wajar, walaupun hatinya tetap berdebar-debar. Bagaimanapun juga ia harus berhati-hati, sebab sebagai Liu Wan maupun sebagai Tabib Ciok ia sama-sama telah mengenal Tan Sin Lun. Ia harus pandai membawakan perannya.

Tan Sin Lun menghela napas panjang. “Belum. Malah aku juga kehilangan kakaknya pula. Dan sampai sekarang... Kedua sumoiku itu tak pernah kembali.”

Mereka lalu duduk di ruangan tengah. Sebelum menanyakan maksud kedatangan tamunya, Liu Wan memperkenalkan kawan-kawannya. Setelah itu baru dia menanyakan keperluan Tan Sin Lun.

“Ciok Sinshe, rasanya kita semua sudah tahu bahwa suku bangsa Hun bermaksud mencaplok negeri kita. Bertahun-tahun mereka mempersiapkan diri. Dan tampaknya niat itu benar-benar mereka laksanakan sekarang. Mereka melintasi Tembok Besar secara diam-diam!.”

Liu Wan tidak segera menyahut. Dia tetap berdiam diri menunggu habisnya ucapan Tan Sin Lun.

“Tapi gerakan mereka tetap saja tercium oleh para pendekar persilatan. Banyak tokoh-tokoh persilatan yang datang ke daerah ini. Semuanya ingin menghadapi para penyerbu itu. Dan kami dengar ciok Sinshe berhasil mempersatukan para pendekar itu.” Tan Sin Lun melanjutkan kata-katanya.

“Ah, hanya sebagian kecil saja. Di kota-kota lain juga banyak perkumpulan-perkumpulan seperti ini.” Liu Wan merendah.

“Benar, Ciok Sinshe. Di kota Leng-fu, kami juga mendirikan perkumpulan seperti ini. Kami memberi nama Pek-lian-eng (Pendekar Teratai Putih).” Tan Sin Lun melanjutkan kata-katanya.

“Ya, kami juga sudah mendengarnya, Tan-heng. Bahkan kami pernah bertemu pimpinannya, Huang-ho Siang-kiam Ma Sing.”

Tan Sin Lun tersenyum gembira. “Nah, Ciok Sinshe... Kedatanganku ke sini justru atas perintah Ma Susiok itu. Beliau mengharapkan bantuan Ciok Sinshe.”

“Bantuan? Bantuan apa?” Liu Wan mengerutkan keningnya.

“Tan Siau-hiap...! Selain memimpin Pek-lian-eng, Ma Taihiap adalah ketua cabang Aliran Im-yang-kauw di bagian utara. Ilmu silat Ma Taihiap jauh lebih tinggi di atas kami. Lalu bantuan apa lagi yang dapat kami berikan kepadanya?” Ang Jit Kun ikut berbicara.

Tan Sin Lun memperbaiki letak duduknya, kemudian merogoh saku dan mengeluarkan segulung kain putih selebar saputangan. “Ciok Sinshe...! Sekarang Pangeran Liu Wan Ti berada di dalam benteng Kong-sun Goanswe. Di mana Pangeran Liu mencoba mengajak para pendekar untuk memerangi Raja Mo Tan. Beliau mulai mengumpulkan orang-orang yang betul-betul dapat dipercaya untuk mewujudkan maksudnya itu. Dan kebetulan Ma Susiok terpilih sebagai salah seorang yang mendapat kepercayaan tersebut. Sekarang Ma Susiok juga mulai mengumpulkan kawan-kawan pula. Nah, salah seorang yang sangat dipercaya oleh Ma Susiok adalah ciok Sinshe! Dan kedatangan kami ke mari untuk menyerahkan undangan dari Ma Susiok kepada Ciok Sinshe. Silakan diterima...!”

Liu Wan menerima kain yang disodorkan Tan Sin Lun dan membacanya. Isinya antara lain mengajak Ciok Sinshe dan kelompoknya untuk bergabung dengan barisan Pangeran Liu. Dan dalam waktu dekat Pangeran Liu ingin merundingkan cara mewujudkan rencana mereka. Selesai membaca Liu Wan meminta pendapat rekan-rekannya. Terutama kepada si Pencuri Sakti Ang Jit Kun.

“Kalau memang benar demikian maksud Pangeran Liu, maka tidak ada salahnya kita bergabung dengan mereka. Semakin besar dan terarah, maka kekuatan kita akan semakin kokoh pula. Rasanya Pangeran Liu memang cocok untuk memimpin kita.”

“Baiklah, Tan-heng. Rasanya kami juga tidak keberatan untuk bergabung. Katakan kepada Ma Taihiap, bahwa kami semua siap bergabung dengan Pangeran Liu!” Akhirnya Liu Wan menjawab.

Tan Sin Lun bangkit dan merangkapkan kedua tangannya. “Terima kasih, Ciok Sinshe. Ma Susiok tentu akan senang sekali mendengarnya.”

Matahari mulai terbenam. Mereka makan minum sekedarnya. Ketika akhirnya Tan Sin Lun meminta diri, maka matahari benar-benar sudah tenggelam. Sebelum berangkat pemuda itu masih sempat bercerita pula tentang utusan Kong-sun Goanswe yang telah sebulan lamanya belum kembali. Utusan itu bernama Yo Keng, seorang perwira, diutus ke Kotaraja untuk menghadap Menteri Kui Hua Sin.

“Utusan itu belum juga kembali?” Liu Wan mengerutkan dahinya. “Ah, mungkin dia mendapat kesulitan di Kotaraja...”

“Tampaknya memang demikian. Semua orang memang harus berhati-hati di Kotaraja. Kata orang suasana di sana sudah tidak sehat lagi. Ibu Suri dalam keadaan sakit, sementara keluarga Kaisar yang lain juga tidak ada yang dapat diharapkan lagi. Bahkan para pejabat kerajaan juga tidak ada yang peduli pula. Mereka saling mencari kepuasannya sendiri.”

“Benar. Oleh karena itu dengan munculnya Pangeran Liu Wan Ti, rasanya kita semua harus bergembira...” Ang Jit Kun berkata pelan.

Setelah Tan Sin Lun pergi, Liu Wan memanggil si Pencuri Sakti Ang Jit Kun. “Saudara Ang, tampaknya situasi semakin gawat. Aku akan pergi dalam beberapa hari. Tolong kau pimpin kawan-kawan kita. Apabila saat bulan purnama aku belum datang, bawalah kawan-ka-kawan kita ke rawa Tai-bong-sui. Para pendekar akan mengadakan pertemuan di tempat itu. Mereka akan merundingkan jalan yang hendak kita tempuh bersama. Aku akan pergi ke Kotaraja untuk melihat keadaan. Siapa tahu aku mendapatkan sesuatu yang penting bagi perjuangan kita.”

“Ciok Sinshe akan berangkat malam ini juga?” Ang Jit Kun bertanya kaget.

“Benar. Situasi sudah semakin gawat. Pasukan asing sudah masuk ke negeri kita, sementara di Kotaraja malah saling cakar-cakaran sendiri. Kita harus segera berbuat sesuatu.”

“Ciok Sinshe hendak berbuat apa...?” Ang Jit Kun berdesah tak mengerti.

Tapi Liu Wan tak menjawab. Selesai membenahi bekalnya ia segera berangkat meninggalkan tempat itu. Dia berkuda ke arah timur. Dua hari kemudian Liu Wan sudah melewati kota An-yang. Ia terkejut ketika berjumpa dengan barisan prajurit dari Kotaraja. Demikian panjang barisan itu sehingga Liu Wan terpaksa menyelinap ke dalam hutan dan kebun untuk menghindari mereka.

“Ah! Tampaknya Au-yang Goanswe sudah mencium juga kedatangan pasukan Mo Tan. Pasukan ini sangat lengkap dan dipersiapkan untuk perang yang panjang.”

Hampir setengah hari barisan prajurit itu baru habis. Liu Wan menyeka debu dan keringat yang mengotori wajahnya. Sambil meneruskan perjalanan ia sibuk berpikir. Dua atau tiga hari lagi perang besar akan berkecamuk di sepanjang aliran Sungai Huang-ho. Dan perang itu akan membuat penderitaan dan kesengsaraan rakyat kecil. Malam itu Liu Wan menginap di kota An-sing, sebuah kota kecil di sebelah tenggara An-yang. Walaupun kecil tapi kota itu sangat ramai.

Anak Sungai Huang-ho di bagian selatan kota, memberi banyak kesuburan pada sawah ladang, sehingga daerah itu tampak lebih makmur daripada daerah sekitarnya. Tapi barisan prajurit yang lewat di kota itu telah meresahkan hati mereka. Bagaimanapun juga perang tidak pernah mereka sukai.

“Maaf, Tuan... Meja ini sudah dipesan orang. Sebentar lagi mereka datang. Kalau Tuan ingin makan, Tuan dapat pergi ke rumah makan sebelah. Di sana masih banyak tempat kosong...” Pelayan memberi tahu ketika Liu Wan bermaksud duduk di ruangan makan penginapan itu.

Liu Wan menarik napas kecewa. Tapi ketika hendak berbalik, seorang lelaki berseru kepadanya. “Ciok-heng, marilah kita duduk bersama...! Masih ada kursi kosong di mejaku!”

Liu Wan menoleh. Dilihatnya seorang lelaki tua berpakaian sederhana duduk di dekat jendela. Ketika Liu Wan memperhatikan, dia segera mengingatnya. Orang itu adalah Ui Tiam Lok, kepala kampung Ui-thian-cung di Hang-ciu. Orang tua itu duduk bersama dua orang puteranya, Ui Kong Tee dan Ui Kong Lam, yang pandai bermain barongsai itu. Sebagai penduduk yang pernah tinggal satu kota tentu saja mereka mengenal satu sama lain.

“Ah, apakah aku yang sudah tua ini bertemu dengan keluarga Ui dari Ui-thian-cung...?” Liu Wan menyapa ramah.

Ui Tiam Lok berdiri sambil merangkapkan kedua tangannya di depan dada. Begitu pula dengan kedua puteranya. Mereka saling memberi hormat. Liu Wan menerima undangan mereka. Mereka lalu saling menanyakan kabar dan pengalaman masing-masing. Dan akhirnya mereka juga saling menanyakan keperluan masing-masing di tempat itu.

“Ciok Sinshe...! Kau tentu masih ingat peristiwa lima tahun yang lalu, bukan? Pada waktu itu muncul beberapa tokoh aneh di dunia persilatan, yang memperkenalkan diri sebagai utusan dari Pondok Pelangi. Kepandaian mereka begitu tinggi, sehingga tokoh-tokoh besar seperti Hong-gi-hiap Souw Thian Hai dan Keh-sim Thai-hiap Kwe Tiong Lipun tidak mampu menandingi mereka. Bahkan keduanya ditaklukkan dengan mudah, kemudian dibawa pergi entah ke mana. Dan sampai sekarang mereka berdua belum kembali. Usaha kaum persilatan untuk mencari mereka juga tidak pernah berhasil. Tidak seorangpun tahu, di mana Pondok Pelangi itu berada.” Ui Tiam Lok bercerita perlahan.

Liu Wan mengangguk-anggukkan kepalanya. Matanya menerawang jauh keluar jendela. Peristiwa di dunia persilatan pada lima tahun lalu memang tidak dapat dilupakan begitu saja. Terutama bagi dirinya sendiri. Banyak peristiwa mengesankan yang tidak mungkin bisa dia lupakan, Kedatangan anak-anak Raja Mo Tan yang memiliki kesaktian seperti iblis di daerah Tionggoan.

Kemudian lenyapnya Tio Ciu In, gadis yang baru saja dikenalnya, namun telah mampu mengusik hatinya. Dan yang terakhir adalah munculnya beberapa orang tokoh Pondok Pelangi yang sempat membikin geger dunia persilatan. Lima tahun telah berlalu, namun semua peristiwa itu seperti masih terbayang di pelupuk mata.

“Yaaah, tentu saja aku masih ingat, Ui-heng. Bagaimana mungkin aku bisa melupakan peristiwa itu? Ilmu silat yang telah kupelajari selama puluhan tahun ini ternyata tidak berarti apa-apa diban-dingkan ilmu silat mereka. Cuma dengan tiga jurus, orang-orang dari Pondok Pelangi itu telah mengalahkan aku. Aku benar-benar kecewa dan malu sekali pada waktu itu.” Ui Tiam Lok tersenyum arif. Usianya yang sudah mencapai tujuh puluh lima tahun itu membuatnya matang luar dalam. “Ciok-heng, kau tak perlu merasa malu dan patah semangat. Tidak hanya kau yang mengalami hal itu...”

“Yah, tapi... rasanya mengganjal juga di dalam hati. Apalagi mereka datang dan pergi begitu saja, seolah-olah tidak ada seorang manusiapun di Tionggoan ini yang mampu mengusik mereka. Rasa-rasanya kita ini seperti anak-anak yang tak bisa berbuat apa-apa. Benar-benar sebuah mimpi buruk dalam kehidupan kita...”

Pelayan yang mengusir Liu Wan tadi datang membawa makanan yang mereka pesan. Dengan sikap sopan dan ramah pelayan itu menaruh makanan di atas meja. Gerakannya sangat cekatan. Beberapa kali tangan itu menyambar dan meletakkan mangkok kuah ke atas meja. Dan yang sangat mengherankan, kuah yang ada di dalam mangkok itu sama sekali tidak bergetar, apalagi memegang cara sembarangan pula. Tak seorangpun melihat keanehan itu.

Liu Wan juga baru menyadari ketika pelayan tersebut sudah meninggalkan mereka. “Eh...???”

“Ciok-heng, ada apa?” Ui Tiam Lok bagai tersengat lebah.

Liu Wan memandang kembali mangkok kuah di depannya. Tak ada getaran. Tak ada percikan. “Ah, tidak apa-apa...Ui-heng. Aku hanya sedikit terkejut. Rasa-rasanya pernah melihat pelayan itu. Tapi aku lupa di mana?” Liu Wan cepat mengalihkan pembicaraan. Dia tak ingin dianggap terlalu berprasangka dan curiga.

Sambil makan mereka lalu berbicara lagi. Ui Tiam Lok bercerita tentang beberapa kejadian yang menimpa keluarganya, yang akhirnya membuat dia keluar dari kampungnya. “Ciok-heng... dalam satu bulan ini beberapa orang nelayanku telah empat kali melihat orang-orang misterius itu. Mereka naik sampan kecil terbuat dari tulang-tulang ikan paus.”

“Orang-orang dari Pondok Pelangi...?”

Ui Tiam Lok mengangguk. “Aku sudah memberitahukan hal itu kepada tokoh-tokoh persilatan yang kukenal, agar mereka bersiap-siap menghadapi kedatangan mereka. Siapa tahu mereka ingin menculik beberapa orang di antara kita lagi?”

Liu Wan menghela napas panjang. “Perang besar akan segera meletus. Pasukan Raja Mo Tan telah menyeberangi Tembok Besar. Tapi, dunia persilatan justru bergolak sendiri...”

“Ciok-heng, kau benar... tampaknya perang besar memang segera meletus. Aku juga sudah melihatnya. Bahkan pasukan yang dikirim dari Kotaraja sudah melewati kota ini pula.”

“Tapi bukan itu yang kuprihatinkan. Sebenarnya kita dapat mengusir musuh bila bersatu. Baik prajurit, rakyat, maupun para pendekar persilatan. Tapi tampaknya Mo Tan memang tahu kelemahan kita. Sudah beberapa tahun ini rakyat hidup dalam kerusuhan dan ketidak-adilan. Di Istana pun para pejabat saling berebut pengaruh. Kini para pendekar juga diteror pula oleh kemunculan orang-orang Pondok Pelangi. Nah... Lengkap sudah!”

“Oh...?!” Ui Tiam Lok seakan-akan baru terjaga dari tidurnya. “Benar! Jangan-jangan semua itu memang berkaitan satu sama lain. Nah, Ciok-heng! Apa yang sebaiknya kita lakukan?”

Mata Liu Wan berkilat-kilat. “Tentu saja yang terpenting adalah mempersatukan semua kekuatan kita! Mereka harus kita galang menjadi satu kekuatan untuk menghadapi pasukan Mo Tan!”

Ui Tiam Lok tersenyum. “Ya, tapi... bagaimana caranya?”

Liu Wan melirik ke sekitarnya. Setelah yakin tak seorangpun memperhatikan mereka, ia berbisik perlahan. “Mudah. Kita harus dapat mencari seorang pemimpin yang benar-benar mampu menguasai semua kekuatan itu. Seorang pemimpin yang sangat disegani dan dihormati oleh kekuatan kita itu!”

“Siapa...?” Ui Tiam Lok menatap tajam.

Sekali lagi Liu Wan mengedarkan pandangannya. “Ada dua tokoh! Mereka adalah pangeran Liu Yang Kun dan bekas Panglima Besar Yap Kim! Menurut pendapatku hanya mereka berdua yang mampu mempersatukan kekuatan itu!”

Mata Ui Tiam Lok yang sudah berkeriput itu terbelalak. Namun sinar kegembiraan tampak di dalamnya. “Benar, Ciok-heng. Aku sependapat denganmu. Tapi rasanya, hanya tokoh ke dua saja yang bisa diharapkan. Itupun harus ada yang dapat membebaskan dia dari Benteng Langit.”

“Bagaimana dengan Pangeran Liu Yang Kun...?”

Ui Thian Lok menggelengkan kepalanya. “Aku tak yakin beliau masih hidup. Dua puluh tahun bukanlah waktu yang pendek. Kalau masih hidup, tidak mungkin dia melupakan keluarganya.”

“Bukankah isteri dan anak-anaknya telah mati semua?”

“Ya, tapi masih ada adik-adiknya. Bukankah mereka juga keluarganya?”

Liu Wan menghela napas dalam sekali. Wajahnya yang tertutup kumis dan jenggot palsu itu tampak gelap. “Kau benar. Memang akulah yang terlalu berharap.” Akhirnya Liu Wan bergumam seperti ditujukan kepada dirinya sendiri.

Ui Tiam Lok memandang tamunya. “Maaf, Ciok-heng. Bukannya aku merendahkan nama Pangeran Liu Yang Kun, tetapi kita memang tidak mungkin mengharapkannya lagi. Kita harus berpijak pada kenyataan. Dan kenyataannya, Pangeran Liu Yang Kun sudah tidak mungkin diharapkan lagi. Kini tinggal Panglima Besar Yap Kim saja yang dapat kita harapkan. Sayang sekali, beliau terkurung dalam penjara. Apa daya kita...?”

Wajah Liu Wan yang tertutup cambang itu tiba-tiba menjadi cerah kembali. “Ui-heng, aku punya rencana...!”

“Rencana...? Rencana apa?”

“Ah, nanti saja! Belum saatnya dikatakan...” Liu Wan tidak meneruskan ucapannya, karena pelayan yang menghidangkan kuah tadi datang kembali. Dan Liu Wan baru menyadari, betapa gagahnya pelayan itu. Tubuhnya tinggi dan besar. Raut mukanya yang keras dan penuh keyakinan itu membuat usianya kelihatan lebih dewasa. Penampilannya sama sekali tidak sesuai dengan seragam kacungnya.

“Maaf, Tuan. Tuan Muda yang duduk di pojok ruangan itu ingin mengundang cuwi semua. Apakah cuwi bersedia...?” Liu Wan dan Ui Tiam Lok melihat ke pojok ruangan.

Mereka melihat seorang Pemuda berpakaian pelajar duduk sendirian di mejanya. Bajunya yang longgar berwarna putih, sementara topinya berwarna hitam seperti rambutnya. Kumis tipis menempel di atas bibirnya, membuat pemuda itu kelihatan ganteng sekali. Liu Wan saling pandang dengan Ui Tiam Lok. Masing-masing mengangkat pundaknya. Keduanya tidak mengenal pemuda itu.

“Siapa dia? Mengapa dia mengundang kami?” “Tuan Muda itu mengaku saudara Pangeran Liu Yang Kun dari Istana kaisar. Apakah cuwi belum mengenalnya?”

Tidak hanya Liu Wan yang kaget mendengar jawaban itu, tapi-juga Ui Tiam Lok beserta putera-puteranya. Bagaimana tidak? Mereka baru saja berbicara tentang Pangeran Liu yang kun, kini tiba-tiba saja ada orang yang mengaku sebagai saudara pangeran itu. Liu Wan dan Ui Tiam Lok berembug sebentar.

“Baiklah, kami tidak berkeberatan.” Mereka lalu berdiri mengikuti pelayan itu.

Pemuda ganteng itu menyambut kedatangan mereka. “Oh, terima kasih atas kesediaan cuwi memenuhi undanganku. Perkenalkanlah, aku bernama Souw Hong Lam. Silakan duduk...!” Mereka lalu saling memperkenalkan diri. Meskipun demikian Liu Wan dan Ui Tiam Lok tetap berhati-hati.

“Maaf...! Siauwte telah berani mengganggu ketenangan cuwi berempat. Cuwi tentu merasa kaget, curiga dan bingung. Kita memang belum pernah saling mengenal sebelumnya. Tapi, apa boleh buat... tidak ada cara lain. siauwte ingin sekali berbicara tentang orang-orang Pondok Pelangi itu dengan cuwi berempat. Kudengar cuwi baru saja bercerita tentang mereka.” Souw Hong Lam berkata panjang lebar.

Liu Wan maupun Ui Tiam Lok terkejut. Jarak antara meja mereka dengan meja pemuda itu sangat jauh, bahkan di selingi oleh beberapa meja yang pemuh tamu pula. Bagaimana pemuda itu dapat mendengarkan percakapan mereka? Liu Wan saling pandang dengan Ui Tiam Lok. Mereka semakin berhati-hati. Kalau memang benar apa yang diucapkan pemuda itu, berarti pemuda itu memiliki tenaga dalam yang hebat.

“Maaf, Souw-heng. Kata pelayan rumah makan ini, kau masih memiliki hubungan keluarga dengan Pangeran Liu Yang Kun. Hmm, benarkah...?” Liu Wan bertanya hati-hati.

Pemuda itu tertawa. Dan Liu Wan harus mengakui bahwa pemuda itu benar-benar tampan sekali. Giginya tersusun rapi, sementara bibirnya yang tertutup kumis tipis itu merekah seperti bibir wanita. “Ah! Kalau mau dianggap masih keluarga, yah... bisa saja, karena salah seorang keluargaku adalah menantu Kaisar Liu Pang. Tapi kalau hal itu dianggap bukan keluarga, yaaa... memang bukan apa-apa!”

Liu Wan tersentak. Putera Kaisar Liu Pang yang sudah menikah hanya Pangeran Liu Yang Kun. Dan kedua isteri pangeran itu adalah Souw Lian Cu dan Han Tui Lan. “Salah seorang isteri Pangeran Liu Yang Kun adalah puteri pendekar Souw Thian Hai. Apakah saudara dari keluarga pendekar ternama itu?” Liu Wan bertanya kaget.

“Benar. Tapi aku tidak berani mengaku terlalu dekat dengan mereka. Aku hanya keluarga jauh. Namun demikian kepergianku ini juga untuk mencari Pendekar Souw Thian Hai. Kata orang dia di culik utusan dari Pondok Pelangi. Nah, apakah jiwi Lo-Cianpwe tahu letak Pondok Pelangi itu?”

Ui Tiam Lok menelan ludah. Sambil bergeser di tempat duduknya, ia berkata pelan. “Souw-heng...! Kami memang baru saja membicarakan orang-orang dari Pondok Pelangi itu. Aku mengatakan kepada Ciok Sinshe ini, bahwa beberapa orang nelayan di kampungku telah melihat lagi kedatangan mereka di Laut Utara. Tapi para nelayan itu tidak ada yang tahu dari mana mereka datang...”

“Laut Utara...? Oh! Apakah mereka datang dari seberang lautan? Bukan dari daratan kita ini?” Souw Hong Lam bergumam.

“Dugaan Tuan memang benar...” Tiba-tiba pelayan muda itu datang lagi membawa botol arak pesanan Souw Hong Lam. Bibirnya tersenyum kepada Souw Hong Lam.

Tentu saja ucapan pelayan itu sangat mengejutkan mereka. Bahkan Liu Wan yang sudah bercuriga sejak tadi sampai melongo mendengarnya. Tapi pelayan muda itu dengan tenang melanjutkan kata-katanya.

“Maaf. Bukan maksudku untuk mencampuri pembicaraan Tuan. Tapi, orang-orang dari Pondok Pelangi itu memang bertempat tinggal jauh di seberang lautan sana. siauwte pernah berkunjung ke tempat itu. Pada musim panas begini, tempat tinggal mereka memang sangat indah. Tapi pada musim dingin, seluruh tanah mereka diselimuti oleh salju. Bahkan permukaan laut di sekitar tanah merekapun dilapisi oleh es pula."

Liu Wan cepat berdiri sambil merangkapkan tangannya. “Maaf, bolehkah kami tahu nama saudara? Sejak tadi aku memang tidak percaya bahwa saudara adalah seorang pelayan biasa.”

“Wah, Sinshe salah duga. Siauwte memang seorang pelayan. Sudah lima hari siauwte bekerja di sini. Siauwte bernama A Liong. Dan siauwte memang berasal dari Lautan Es itu...”

Tiba-tiba tangan Souw Hong Lam menyambar ke depan, ke arah pergelangan tangan A Liong. Gerakannya cepat bukan main, sehingga mata Liu Wan hampir tidak bisa mengikutinya. Tapi A Liong sekarang bukanlah A Liong lima tahun lalu. Gerak tangannya ternyata jauh lebih cepat daripada gerakan Souw Hong Lam! Bagaikan main sulap, lengan pemuda itu tiba-tiba lenyap dari tempatnya. Dan tangan Souw Hong Lam hanya mampu meraup asap tipis yang tiba-tiba mengepul di tempat lengan A Liong tadi berada. Asap itu segera buyar tertiup angin, meninggalkan bau amis menyentak hidung.

“Gila...!” Liu Wan mengumpat di dalam hati. “Pelayan ini jelas lihai sekali! Jikalau aku yang mendapat serangan itu, aku tidak mungkin bisa mengelakkannya. Paling-paling aku hanya bisa mengadu tenaga!”

Ternyata Souw Hong Lam sendiri juga tidak kalah kagetnya. Dia tidak meneruskan gerakannya. Matanya yang jernih dan tajam itu menatap lawan lekat-lekat. “Maaf, aku tidak bermaksud menyerang, Saudara. Aku hanya ingin mengetahui, siapakah saudara ini sebenarnya...”

A Liong tersenyum. “Ah, tidak apa-apa. Siauwte hanya bergurau pula. Siauwte ingat, waktu masih kecil dahulu sering bermain “tangkap tangan” dengan teman-temanku. Melihat gerakan tangan Tuan tadi, otomatis tanganku menghindar.”

“Tapi... asap itu?” Liu Wan menyela.

Lagi-lagi A Liong tersenyum. “Ah, bukankah asap itu keluar dari arak yang kubawa? Arak itu baru saja dipanaskan!”

“Tapi baunya amis sekali...”

A Liong tidak menjawab. Dia cepat membungkukkan badan dan melangkah mundur untuk kembali ke tempatnya.

“Tunggu...!” Souw Hong Lam berseru.

Tapi A Liong tetap melangkah ke dalam, sehingga Souw Hong Lam terpaksa bangkit dan mengejarnya. Liu Wan dan keluarga Ui mengikut di belakangnya. Namun mereka tidak menemukan A Liong. Pelayan lainnya mengatakan bahwa A Liong baru saja keluar untuk membeli daging. Tampaknya Souw Hong Lam tidak mau kehilangan. Setelah membayar semua makanan, ia berlari keluar. Liu Wan dan keluarga Ui tidak mau ketinggalan pula. Mereka berlari-lari kecil di jalan raya.

“Ah! cepat sekali dia menghilang. Padahal kita hanya terlambat beberapa langkah saja di belakangnya...!” Souw Hong Lam bersungut-sungut.

Mereka berdiri di perempatan jalan. Ui Tiam Lok tiba-tiba menunjuk ke sebuah kereta yang berjalan lambat dari arah selatan. Dua orang petugas keamanan tampak berdiri di atas kereta, sementara beberapa petugas lain membunyikan tambur untuk menarik perhatian orang. Dua petugas itu meneriakkan sebuah seruan tentang hadiah bagi siapa saja yang dapat menemukan Pangeran Liu Wan Ti.

“Eh, katanya Pangeran Liu berada di Benteng Kong-sun Goanswe. Mengapa para petugas itu meneriakkan pengumuman itu? Apakah berita itu belum didengar oleh pemerintah?” Ui Tiam Lok berbisik.

Souw Hong Lam menoleh. Dahinya berkerut. “Apa...? Pangeran Mahkota itu masih hidup?”

Liu Wan mengangkat pundaknya. “Berita yang terdengar memang begitu. Malah kabarnya beliau sekarang sedang mengumpulkan kekuatan untuk melawan Raja Mo Tan di benteng Kong-sun Goanswe.”

“Lhoh? Mo Tan menyerang Tionggoan?” Lagi-lagi Souw Hong Lam berseru tak percaya.

“Wah, Siau-ya benar-benar ketinggalan jaman!” Entah dari mana datangnya tiba-tiba A Liong telah berada di belakang mereka.

“Kau...???” Semuanya berdesah kaget.

“Oh, maaf! Siauwte telah mengagetkan cuwi sekalian! Siauwte dari pasar untuk membeli daging, tapi ternyata sudah habis. Jadi, siauwte terpaksa... eh, mengapa cuwi berada di sini? Bukankah cuwi sedang minum arak?” A Liong pura-pura terkejut.

Souw Hong Lam menelan ludah. “Maaf, kami memang mencari Saudara. Kami bersungguh-sungguh tentang Pondok Pelangi itu sehingga kami menginginkan beberapa keterangan lagi dari Saudara.”

“Oh, ya-ya...! Tapi sekarang siauwte sedang sibuk. Bagaimana kalau kita bertemu saja di kuil San-hong-bio besok pagi?”

“Baiklah, Saudara A Liong. Kami akan menunggu di depan Kuil San-hong-bio besok pagi.” Liu Wan mengiyakan ketika dilihatnya Souw Hong Lam tidak segera menjawab. Entah mengapa, tapi pelayan itu benar-benar menarik perhatian Liu Wan. Ada sesuatu yang disembunyikan oleh pemuda gagah itu. Sikapnya sangat aneh. Sama anehnya dengan Souw Hong Lam, yang juga baru dikenalnya itu. Diam-diam Liu Wan ingin tahu, siapa sebenarnya mereka itu.

Demikianlah hari berikutnya mereka bertemu di halaman San-hong-bio. Liu Wan tetap dalam penyamaran sebagai Tabib Ciok, sementara A Liong tidak berpakaian seperti pelayan lagi. Pemuda itu datang dengan pakaian longgar berwarna biru tua. Di atas pungungnya terikat sebuah bungkusan kain.

“Maaf, hari ini siauwte akan pergi ke suatu tempat, sehingga tak dapat menemani cuwi terlalu lama. Kita langsung saja berbicara tentang Pondok Pelangi itu...” Begitu datang A Liong berkata lantang.

Souw Hong Lam maju ke depan. “Aku sependapat denganmu, saudara A Liong! Aku juga tidak ingin berbelit-belit. Kedatanganku ke mari adalah untuk mengajakmu pergi ke Pondok Pelangi.”

“Ke Pondok Pelangi? Mau apa Siau-ya ke sana?” A Liong kaget.

“Saudara A Liong! Jangan panggil aku... siau-ya! Kau bukan seorang pelayan lagi! Panggil saja aku Hong Lam! Dan aku memanggilmu A Liong! Kita tak perlu berbasa-basi.”

“Baiklah...!” Tak terduga A Liong mengiyakan.

“Nah, A Liong... aku ingin mencari Souw Thian Hai! Dia masih keluargaku. Kata orang dia bersama isterinya dibawa oleh utusan dari Pondok Pelangi lima tahun lalu.”

“Souw Thian Hai dan isterinya? Dia bertubuh tinggi besar berambut putih? Dan usianya kira-kira sama dengan Ui Lo-Cianpwe ini?” Mendadak A Liong berteriak gembira.

“A Liong! Apa maksudmu?”

Cepat bagai kilat A Liong menyambar lengan Souw Hong Lam. Dan pemuda ganteng itu mengelak. Tapi sia-sia. Jari tangan A Liong yang kokoh kuat itu lebih dulu mencengkeram pergelangan tangannya. Souw Hong Lam berontak. Asap tipis berwarna kemerahan tiba-tiba mengepul di atas topinya.

Dan kekuatan yang maha besar segera menghentakkan tangannya dari cengkeraman A Liong. Demikian besar kekuatan tersebut, sehingga getaran anginnya dapat dirasakan oleh Liu Wan maupun Ui Tiam Lok. A Liong melepaskan tangannya. Bibirnya tersenyum.

“Bagus! Kau memang dari keluarga Souw. Ketahuilah, Souw Taihiap memang berada di Pondok Pelangi selama lima tahun ini. Tapi beliau sudah kembali ke Tionggoan sebulan lalu.”

“Benarkah...?” Souw Hong Lam berseru gembira. “Lalu ke manakah mereka sekarang?”

A Liong mengangkat pundaknya. “Entahlah, aku tidak tahu. Aku cuma berjumpa saja di perjalanan. Mungkin dia langsung kembali ke kampungnya...”

“Ke rumahnya? Ah, tidak! Aku baru saja dari sana! Eh... Mengapa kau tahu benar keadaannya? Apakah kau dari... pondok Pelangi juga?” Tiba-tiba mata Souw Hong Lam terbelalak.

A Liong kembali tersenyum. “Benar, aku memang datang dari daerah itu. Walaupun bukan dari Pondok Pelangi.”

Liu Wan dan Ui Tiam Lok terkejut. Otomatis mereka bersiaga. Namun dengan tenang A Liong menerangkan bahwa dia bukanlah orang Pondok Pelangi. Seperti halnya pendekar Souw dan isterinya, dia juga seorang pendatang pula di tempat itu.

“Ah, tampaknya misteri tentang orang-orang dari Pondok Pelangi akan segera terkuak...” Tak terasa Liu Wan berdesah perlahan.

“Wah, kalau begitu... orang yang dilihat oleh para nelayan itu tidak lain adalah Hong-gi-hiap Souw Thian Hai. Bahkan kemungkinan juga malah... saudara A Liong ini.” Ui Tiam Lok tiba-tiba berseru.

A Liong tertawa. “Mungkin juga, Ui Locianpwe. Sebab banyak juga nelayan, yang kutemui di perjalanan. Rata-rata mereka merasa aneh melihat perahuku yang terbuat dari tulang-tulang ikan paus.”

“A Liong, menurut pendapatmu ke mana kira-kira tujuan pendekar Souw Thian Hai?” Souw Hong Lam mendesak.

A Liong tidak menjawab. Pemuda itu memang tidak tahu arah dan tujuan Souw Thian Hai beserta isterinya. Tiba-tiba Ui Tiam Lok memegang tangan Souw Hong Lam.

“Souw-heng, rasanya saudara A Liong ini memang benar-benar tidak tahu! Tapi Souw-heng juga tidak perlu khawatir! Pendekar Souw sangat terkenal di dunia persilatan. Semua orang tahu dia. Maka kedatangannya kali ini tentu tidak akan lepas dari perhatian banyak orang. Sebaiknya kita berangkat ke Tai-bong-sui saja. Tempat itu akan menjadi ajang pertemuan para pendekar persilatan. Aku yakin kita akan mendapatkan keterangan dari sana. Bagaimana...?”

“Bagus, Ui Locianpwe! Pendapat Locianpwe benar sekali. Di sana akan berkumpul para pendekar dari segala penjuru. Siapa tahu ada salah seorang yang pernah melihat Souw-Taihiap? Kebetulan sekali aku juga hendak ke sana pula.” A Liong bersorak gembira.

Demikianlah, dua hari kemudian para pendekar persilatan yang berdiam di sekitar aliran Sungai Huang-ho, berkumpul di tengah rawa Tai-bong-sui. Mereka datang secara rahasia. Dan undangan hanya diberikan kepada orang yang sudah dikenal dan dipercaya. Namun demikian tamu yang datang ternyata lebih banyak dari yang diperkirakan. Mereka berkumpul di sebuah pulau gundul di tengah rawa. Tempat itu sangat cocok sekali untuk berkumpul.

Selain tempatnya lapang, kebetulan pula air di sekitarnya amat lebar dan dalam. Ketika rombongan Liu Wan datang, tempat itu telah ramai sekali. Ada rombongan dari Pek-lian-eng, Sin-hou-pang, Kong-sim-pang, Liong-gi-eng dan banyak pendekar lainnya. Rata-rata mereka datang dari daerah sekitar aliran Sungai Huang-ho.

Termasuk pula perkumpulan para pendekar yang didirikan oleh Liu Wan. Mereka dipimpin si Pencuri Sakti Ang Jit Kun. Sebagai Tuan rumah adalah Perkumpulan Pek-lian-eng, karena mereka pula yang mendapat kepercayaan dari Pangeran Liu Wan Ti. Maka tidak mengherankan bila anggota mereka banyak yang tersebar di sekeliling arena itu. Mereka mengawasi dan meneliti semua undangan yang datang. Mereka juga meronda dengan sampan-sampan kecil di rawa-rawa itu.

Mereka juga menyiapkan petugas-petugas rahasia di tempat-tempat tersembunyi, seperti di semak-semak, pepohonan dan sebagainya. Bahkan beberapa orang di antaranya ada juga yang berbaur dengan tamu-tamu yang datang. Liu Wan dan rombongannya segera bergabung dengan rombongan si Pencuri Sakti Ang Jit Kun. Setelah saling berkenalan, Liu Wan bertanya tentang Souw Thian Hai.

“Ah! Benarkah pendekar itu sudah muncul lagi? Wah, kalau begitu benar juga ucapan Huang-ho Siang-kiam. Dia tadi mengatakan bahwa salah seorang anak buahnya telah melihat suami-isteri Souw Thian Hai menyeberangi Sungai Huang-ho di kota Liang-an.”

“Di kota Liang-an...?” Souw Hong Lam bergumam lirih. Liang-an adalah kota kecil di Propinsi San-tung. Sebuah kota pelabuhan sungai yang cukup ramai, sehingga penduduknya cukup padat dan sibuk.

“Jangan khawatir, Souw-heng! Nanti kubantu mencarinya. Kebetulan aku juga hendak ke San-tung setelah pertemuan ini.” Liu Wan berkata pelan.

“Ah, aku tak berani merepotkan Lo-cianpwe...”

Ketika bulan purnama menyibak kabut yang menggenang di tengah rawa itu, Huang-ho Siang-kiam Ma Sing tampil di tengah arena. Ketua Cabang lm-yang-kauw bagian utara itu diapit oleh orang murid utamanya. Meskipun usianya telah mencapai enam puluh lima tahun, namun orang tua itu masih tampak gesit dan lincah.

Setelah mengucapkan rasa terima kasih dan selamat datang kepada tamu-tamunya, Ma Sing lalu menjelaskan maksud dan arti daripada pertemuan itu. Maksudnya yang utama adalah membentuk wadah bersama dalam menanggulangi kekuatan Raja Mo Tan.

“Wadah ini akan membuat kekuatan kita menjadi satu kesatuan yang kokoh kuat. Di dalam satu wadah dan satu perintah, kekuatan kita tidak akan terpecah-belah. Aku telah berbicara dengan Pangeran Liu Wan Ti. Beliau setuju dengan niat tersebut, tapi beliau tidak ingin terlalu turut campur. Sebagai pangeran mahkota beliau tidak ingin terjun langsung dalam gerakan seperti ini. Beliau khawatir hal itu akan berbuntut jelek di kemudian hari. Beliau tidak ingin ada yang menyalah-tafsirkan keterlibatannya itu. Siapa tahu ada yang berprasangka jelek dan menuduhnya yang bukan-bukan. Karena mengumpulkan kekuatan besar di kalangan rakyat dapat dianggap sebagai pemberontak yang hendak merongrong kekuatan kaisar.” Ma Sing berhenti untuk mengambil napas. Kemudian lanjutnya dengan kata-kata yang tegas dan berwibawa.

“Tapi saya harap saudara jangan salah sangka. Ucapanku ini bukan lalu berarti bahwa aku ingin menggantikannya menjadi ketua. Sama sekali aku tidak bermaksud demikian. Aku hanya ingin seluruh kekuatan di sini. Tentang ketuanya, silahkan pilih saja yang lain!”

Semuanya menyambut baik gagasan Ma Sing itu. Tapi banyak juga yang memprotes karena Ma Sing tidak bersedia menjadi ketua. Bahkan sebagian dari mereka justru ingin memilihnya.

“Sekali lagi aku mohon maaf. Keputusanku tidak dapat diubah lagi. Di sini banyak tokoh yang lebih patut menyandang kedudukan itu. Biarlah aku yang tua ini berdiri sebagai penopangnya saja.” Ma Sing menegaskan lagi.

“Wah, aku tidak setuju!” Ang Jit Kun tiba-tiba berseru. Ang Jit Kun berkata sambil berdiri, sehingga semua orang dapat melihat dia. “Perkumpulan kita berdiri di atas keadilan bagi seluruh anggotanya. Tidak ada yang diistimewakan ataupun dibedakan dari yang lain. Ma-Taihiap juga memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kita semua. Bukankah demikian, saudara-saudara?” Ang Jit Kun melanjutkan lagi.

Semuanya bertepuk tangan. Mereka sependapat dengan ucapan si Pencuri Sakti Ang Jit Kun. Akibatnya Ma Sing tidak dapat menghindar atau menolak lagi. Namun demikian Ma Sing tetap berkeberatan bila menjadi calon tunggal. Dia ingin agar semua ketua perkumpulan yang hadir dicalonkan pula untuk dipilih.

“Hahaha, baiklah... Kami juga tidak keberatan. Tapi bagaimanapun juga kami sudah sepakat untuk memilih Ma-Taihiap. Hahahahahaha...!” Ang-bin Kuai-jin, Ketua Perkumpulan Sin-hou-pang menanggapi permintaan itu dengan tertawa menggelegar.

“Yah, benar...! Sebenarnya kita tak perlu lagi mengadakan pemilihan. Namun Huang-ho Siang-kiam sudah lebih dari cukup bagi kita semua.” Gobi Sam-ci dari Kong-sim-pang berseru pula dari tempat duduknya. Anak buahnya segera bertepuk tangan tanda setuju.

Ketua rombongan Liong-gi-eng bangkit dari tempat duduknya. Pendekar bertubuh tinggi besar bercambang lebat itu tampak lebih menyeramkan dengan kulitnya berbercak-bercak putih bekas luka bakar. “Ayolah, kita tidak usah bertele-tele lagi! Kita mulai saja pemilihan ketua ini! Nah, Ma-Taihiap... cara manakah yang paling sesuai kita pergunakan?”

Pendekar yang dijuluki orang Harimau Putih atau Pek Hou itu berteriak lantang. Belum juga pertanyaan itu dijawab oleh Ma Sing, tiba-tiba sesosok bayangan kecil meloncat ke tengah arena. Gerakannya lincah dan cepat luar biasa, seperti belalang yang melenting dari pucuk-pucuk ilalang. Sekejap saja bayangan itu telah berdiri tegak di tengah arena.

Semua tamu yang hadir segera membelalakkan matanya. Bayangan yang bergerak lincah seperti belalang itu ternyata seorang perempuan muda, berkulit hi-tam-legam bak pantat kuali. Begitu hi-tamnya, sehingga wajah itu tak dapat dilihat dengan jelas dalam keremangan malam. Di bawah redupnya sinar rembulan hanya bola matanya saja yang kelihatan.

“Nanti dulu, rasanya kurang adil kalau calon yang dipilih hanya dari kalangan lelaki. Seharusnya kaum wanitapun diberi hak untuk dipilih pula. Bukankah di sini juga banyak pendekar wanita yang hadir?” Perempuan muda itu berseru nyaring. “Selain daripada itu, acara dalam pertemuan ini rasanya juga terlalu tergesa-gesa! Eh, maaf...! Aku tidak bermaksud mengacau atau mau membikin onar pertemuan ini. Tapi ketika dibuka tadi, Ma-Taihiap belum berembug dengan kita semua tentang pembentukan wadah perkumpulan itu. Kita langsung saja berbicara tentang siapa ketuanya. Seharusnya kita bicarakan dulu niat tersebut dengan para tamu yang datang. Maksudku... apakah tidak perlu ditanyakan dulu pendapat para pendekar yang hadir di sini? Yah, siapa tahu, mungkin ada yang kurang setuju, atau mungkin justru mempunyai pendapat yang berbeda?”

Semua tertegun. Ucapan wanita berkulit hitam itu seperti dentang lonceng di tengah malam. Mengejutkan, tapi juga menyadarkan hati dan pikiran mereka. Mereka mengakui kebenaran ucapan itu, walaupun terasa kurang enak di dalam hati.

“Wanita itu memiliki tenaga dalam yang tinggi!” Souw Hong Lam bergumam perlahan.

“Ya, benar! Tapi... rasanya kulit itu bukanlah kulit aslinya.” Liu Wan menganggukkan kepalanya.

“Maksud Sinshe...?” Ang Jit Kun tertegun.

“Tampaknya wanita muda itu berusaha untuk menyamar...”

“He, benarkah?” A Liong berdesah pendek.

Wanita berkulit hitam itu bertepuk tangan. “Nah, bagaimana dengan pendapat cuwi semua?”

“Benar! Benar! Ucapan Lihiap memang benar!” Entah darimana datangnya, tiba-tiba serombongan lelaki kasar telah berdiri di pinggir arena. Mereka berseru dan bertepuk tangan menanggapi ucapan wanita tersebut.

Terdengar suara menggerutu di sana-sini. Apa yang dikatakan perempuan itu memang mengandung kebenaran, namun karena ucapan tersebut keluar dari mulut seorang perempuan muda, maka rasanya menjadi kurang menyenangkan bagi para pendekar. Ma Sing berdiri seraya mengangkat kedua tangannya.

“Baiklah! Ucapan Lihiap memang benar. Kami memang terlalu tergesa-gesa. Maafkanlah...! Nah, saudara-saudara...! Adakah di antara saudara yang mempunyai pendapat lebih baik?” Tak ada yang menyahut, semuanya diam. Namun sebaliknya, mereka bersorak dan bertepuk tangan gembira tatkala Ma Sing menawarkan pembentukkan sebuah wadah perkumpulan bagi kegiatan mereka.

“Nah, Lihiap... tampaknya semua orang memang menginginkan perkumpulan itu. Kalau begitu tinggal melaksanakan usul Lihiap yang kedua tadi, calon dari kalangan pendekar wanita! Nah, kira-kira... siapakah pendekar wanita yang pantas dicalonkan dalam pertemuan ini? Mungkin... Lihiap sendiri?”

“Ya, ya, ya, kami setuju! Biarlah Lihiap itu yang mewakili kaumnya! Hehehehehe...!” Rombongan lelaki kasar tadi kembali berteriak-teriak dan bertepuk tangan.

Akhirnya Liu Wan bangkit pula dari duduknya. Dengan hati-hati ia berkata kepada perempuan berkulit hitam itu. “Lihiap maafkanlah kami! Rasanya kami belum pernah melihat Lihiap, atau mendengar nama Lihiap di dunia persilatan. Selain daripada itu kami juga merasa heran, bagaimana Lihiap dapat hadir dalam pertemuan rahasia ini. Apakah Lihiap mewakili Gurumu, atau mewakili ketua perkumpulanmu?”

Perempuan muda itu membalikkan tubuhnya. Perlahan-lahan ia melangkah mendekati Liu Wan. Dan matanya yang bulat lebar itu menatap Liu Wan dengan tajamnya. “Oh, tampaknya Lo-Cianpwe menaruh curiga kepadaku! Baiklah, namaku... Tiau Hek Hoa! Aku mewakili Ketua Aliran Beng-kauw.”

“Thuuuuuuuuoooot...!” Tiba-tiba terdengar suara kentut keras sekali. Sekejap pertemuan itu menjadi gaduh. Banyak yang tertawa, tapi ada pula yang menggeram dan mengumpat-umpat. Perempuan itu kelihatan mendongkol pula, biarpun dia telah berusaha meredamnya. Bagaimanapun juga dia tak ingin memancing keributan, yang akibatnya akan menyulitkan dirinya sendiri.

“Tampaknya ada yang tidak menyukai kehadiranku...” Katanya perlahan sambil menarik napas panjang.

Tak seorangpun menjawab keluhan itu. Orang yang kentutpun ternyata juga tidak mau keluar untuk memperlihatkan diri. Sekali lagi perempuan itu menghela napas panjang, lalu kembali menghadapi Liu Wan. Sebaliknya Liu Wan justru sedang berusaha memeras otaknya. Ternyata setelah berhadapan langsung dengan perempuan itu, Liu Wan seperti pernah melihat wajahnya. Namun dia lupa siapa dan di mana.

“Nah, Lo-Cianpwe... aku sudah mengatakan asal-usulku. Apakah Lo-Cianpwe masih mencurigaiku? Apakah kedatangaku ini tidak diinginkan.” Tiau Hek Hoa bertanya dengan suara bergetar.

“Ah, jadi Lihiap mewakili Aliran Beng-kauw yang besar itu? Wah! Tapi rasanya... kami tidak mengundang Aliran Beng-kauw.” Liu Wan tidak menjawab secara langsung.

Perempuan itu terdiam, tapi sesaat kemudian bibirnya yang hitam kebiruan itu berkata pula. “Memang! Aku tidak mempunyai undangan! Namun demikian sebagai orang Han, aku juga berhak untuk ikut mempertahankan tanah ini. Apalagi sejak dulu Aliran Beng-kauw selalu berjuang untuk menegakkan keadilan di negeri ini. Nah, apakah kedatanganku tidak diterima...?”

Jilid selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.