Pendekar Pedang Pelangi Jilid 22 karya Sriwidjono - “TENTU saja kami terima dengan senang hati. Siapapun akan bergembira menerima kunjungan tokoh Beng-kaw. Bukankah demikian, Ma-Taihiap?” Liu Wan menyahut dengan nada yang semakin berhati-hati.

“Benar, Ciok Sinshe...” Ma Sing yang dapat merasakan keraguan sahabatnya itu mengangguk sambil mengedipkan matanya.
“Terima kasih! Emm, tapi... aku tidak melihat kehadiran Pangeran Liu Wan di tempat ini. Apakah Beliau tidak datang?”
Tiau Hek Hoa merangkapkan kedua tangannya. “Tentu saja tidak, Lihiap. Perkumpulan ini merupakan keinginan kami sendiri dan tidak melibatkan Pangeran Liu...” Huang-ho Siang-kiam Ma Sing menjawab dengan berhati-hati pula.
“He, Ma-Taihiap!” Tiba-tiba terdengar teriakan Pek Hou. “Kapan pemilihan akan dimulai? Sudah hampir pagi, nih!” Terdengar suara tertawa di sana-sini.
Ma Sing kembali mengangkat kedua tangannya ke atas. “Baiklah. Pemilihan akan kita mulai. Supaya bisa adil maka setiap perkumpulan hanya memilih satu suara. Demikian pula dengan kelompok saudara-saudara kita yang mencalonkan Taihiap tadi. Sehingga akan ada enam suara yang berhak memilih nanti. Nah, sekarang, silakan setiap perkumpulan mengirimkan wakilnya ke depan!”
Enam orang maju ke depan. Mereka adalah wakil dari Pek-lian-eng, Sin-hou-pang, Kong-sim-pang, Liong-gi-eng, Bu-lim-eng dan kelompok lelaki kasar tadi. Ma Sing lalu menancapkan lima batang kayu di tengah-tengah arena. Setiap kayu diberi tulisan nama para calon ketua yang hendak mereka pilih.
“Nah, saudara berenam! saudara tentu telah mendapatkan pesan dari kelompok saudara. Sekarang pilihlah batang kayu yang sudah diberi nama para calon ketua itu! Dan pemenangnya adalah calon yang paling banyak pemilihnya! Dia berhak diangkat menjadi ketua perkumpulan kita!”
Enam orang itu bergegas memilih kayu yang diinginkan. Ternyata hampir semuanya memilih kayu bertuliskan nama Ma Sing! Hanya seorang yang memegang kayu bertuliskan Tiau Hek Hoa, yaitu wakil dari rombongan lelaki kasar tadi. Semuanya bersorak gembira. Ma Sing tidak bisa menolak lagi. Ketua Pek-lian-eng itu kini resmi menjadi Ketua Perkumpulan Pendekar di sepanjang Sungai Huang-ho!
“Sekarang kita rayakan penobatan ketua kita ini dengan berpesta seadanya! Setuju...?” Gobi Sam-ci berseru dari tempat duduknya.
Setujuuuuuu...!”
“He! Nanti dulu...! Kita masih melupakan sesuatu! Kita belum memberi nama perkumpulan kita!” Tiba-tiba Tiau Hek Hoa berteriak melengking.
Semuanya terdiam. Lagi-lagi gadis berkulit hitam itu menyadarkan mereka. Tetapi keadaan itu tidak berlangsung lama. Seseorang berteriak dari bagian belakang. “Mudah saja! Kita namakan Huang-ho Eng-hiong! Bukankah kita berasal dari daerah sepanjang aliran Sungai Huang-ho?”
“Setuju! Setujuuuuuu...!”
“Setujjjuuuuu...!”
Demikianlah sisa malam itu mereka pergunakan untuk berpesta pora. masing dengan gaya dan cara sendiri. Ada yang bergerombol sambil minum arak yang telah mereka sediakan. Ada pula yang bersantap-ria membakar daging buruan atau daging ikan yang banyak terdapat di tempat itu.
Ma Sing bersama dengan bekas ketua-ketua perkumpulan lama saling berbicara di sekeliling api unggun. Ikut duduk di antara mereka itu, si Pencuri Sakti Ang Jit Kun, Ui Tiam Lok, A Liong dan Souw Hong Lam.
“Kita harus segera membuat rencana bagi perkumpulan kita. Kita tidak boleh terlambat. Pasukan Mo Tan sudah menyusup ke selatan...” Gobi Sam-ci berkata dengan suara bergetar.
“Benar, Ma Taihiap! Mari kita susun rencana kita! Mumpung kita masih berkumpul di sini...” Pek Hou mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ma Sing menghela napas panjang. Matanya yang kecil namun tajam luar biasa itu memandang ke kanan dan ke kiri. Dan pandangannya, segera berhenti wajah hitam legam yang saat itu mengawasinya pula. Ma Sing menarik napas panjang. Ternyata Tiau Hek Hoa duduk tidak jauh dari tempat itu. Bahkan mata Ma Sing juga melihat seorang pemuda jangkung berdiri tak jauh dari gadis itu. Pemuda itu sebentar-sebentar memandangi gadis itu.
“Ahhh...!” Ma Sing berdesah sambil memalingkan mukanya. “Sebenarnya aku sudah mempunyai rencana. Tapi... aku tidak berani mengatakan. Rencana itu sangat berbahaya bagi perkumpulan kita.”
“Cepat katakan, Ma-Taihiap! Apa rencanamu? Kita bisa mengaturnya nanti...” Ang-bin Kuai-jin yang tidak sabaran itu mendesak.
Ui Thian Lok menggamit Liu Wan. Sambil mendekatkan bibirnya dia berbisik di telinga pemuda itu. “Ciok Sinshe, kau juga punya rencana yang belum jadi kau beritahukan kepadaku!”
Liu Wan tersenyum. Seolah-olah ingin bercanda pemuda itu juga berbisik di telinga Ui Tiam Lok. “Ah, mudah saja kalau begitu. Akan kukatakan sekarang juga. Heem, kalau aku menjadi ketua, perkumpulan ini, aku akan membawa para pendekar ke Benteng Langit untuk membebaskan Yap Tai-Ciangkun! Hehe-hehe...!”
Ui Tiam Lok terbelalak, namun segera tersenyum pula. Dia tahu Ciok Sinshe yang dikenalnya itu sedang bercanda. Sementara itu Ma Sing juga menjawab desakan rekannya.
“Kita tak akan berhasil menghalau pasukan Mo Tan tanpa seorang ahli siasat perang di antara kita. Kita membutuhkan seorang ahli perang seperti... Yap Tai-Ciangkun!”“Hah...???” Semuanya terkejut. Tak terkecuali Liu Wan dan Ui Tiam Lok sendiri yang baru saja menyebut nama itu.
Huang-ho Siang-kiam Ma Sing memandang wajah rekan-rekannya. “Memang, rencanaku ini sangat tidak masuk akal dan amat berbahaya! Kita dapat dituduh sebagai pemberontak! Tapi apa boleh buat, memang tidak ada jalan yang lain lagi! Di medan perang memang butuh seorang jendral yang baik! Tanpa pimpinan seorang ahli perang, maka ribuan atau laksaan prajurit takkan dapat berbuat banyak!”
Tak seorangpun memberi komentar. Apa yang diucapkan oleh Huang-ho Siang-kiam Ma Sing itu memang benar. Dan apa yang direncanakan itu sebenarnya juga baik sekali. Cuma pelaksanaannya saja yang sulit! Yap Tai-Ciangkun adalah tawanan pemerintah, bahkan dianggap sebagai pengkhianat negara. Jadi memberontak terhadap negara!
“Ah, mudah saja! Kalau memang hanya itu jalan keluarnya, kita lakukan saja rencana itu.! Kita tidak perlu banyak berpikir tentang salah-benarnya! Kata para cerdik-pandai, seorang budiman lebih banyak menurutkan naluri dan perasaannya, daripada oleh pikirannya! Kalau jalan itu kita anggap paling benar bagi kita semua, yah... Kita laksanakan saja! Adapun akibatnya, kita hadapi saja dengan dada terbuka!”
Tiba-tiba A Liong berkata tegas dan mantap. Semuanya tertegun. Sebenarnya jawaban seperti itu sudah bergema di hati mereka masing-masing. Namun untuk mengucapkannya mereka tidak berani. Kini melihat seorang pemuda berusia dua puluhan tahun berani mengucapkannya, hati mereka terasa bergetar!
“Saudara kecil, boleh aku mengetahui namamu?” Ang-bin Kuai-jin bertanya dengan suara bergetar pula.
“Aku yang sudah tua ini sebenarnya sependapat denganmu. Cuma, hehehe... bagaimana cara melaksanakannya? Semua orang mengetahui, bahwa Benteng Langit dijaga ketat oleh lebih dari seribu orang prajurit pilihan. Selain itu Benteng Langit merupakan bangunan besar, terdiri dari ratusan kamar dan lorong bangunan. Bagaimana kita dapat menemukan kamar penjara Yap Tai-Ciangkun?” Gobi Sam-ci menatap A Liong sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Apa yang dikatakan Ang-bin Kuai-jin itu memang benar, Anak Muda, Kita tak mungkin menyerbu benteng di atas pulau karang itu dengan segenap kekuatan kita. Selain kita tidak punya perahu, kedatangan kitapun akan mudah mereka ketahui. Sebelum kita dapat memanjat dinding tembok, kita akan dihujani panah dan tombak!”
A Liong tersenyum sombong pada sikap dan cara berbicaranya. “Tentu saja kita tak perlu mengerahkan pasukan besar hanya untuk mengetahui di mana Yap Tai-Ciangkun itu ditawan, Lo-Cianpwe! Apalagi kita juga belum tahu, apakah Beliau masih hidup atau tidak!”
“Jadi, bagaimana menurut saran saudara A Liong?” Liu Wan mulai tertarik mendengar cara berbicara pemuda itu.
“Kita kirimkan beberapa orang petugas pilihan untuk menyusup ke dalam benteng itu. Setelah kita tahu tempat di mana Yap Tai-Ciangkun ditawan, kita baru dapat mengatur siasat yang tepat untuk membebaskannya!”
Mereka saling pandang dengan kening berkerut. Saran itu sebenarnya sederhana sekali, tapi sungguh tepat dan bagus. Untuk membebaskan Yap Tai-Ciangkun memang tidak boleh dilakukan secara terang-terangan. Apalagi oleh perkumpulan para pendekar seperti mereka.
“Bagus! Nah, kalau begitu... siapa kira-kira yang harus pergi ke benteng itu?” Ma Sing menjadi tertarik pula dengan rencana tersebut.
A Liong menunduk sambil memegangi dagunya. “Tentu saja yang pergi adalah mereka yang memiliki kepandaian tinggi. Tapi yang jelas mereka bukan Lo-Cianpwe sekalian! Lo-Cianpwe sekalian sudah dikenal orang banyak, termasuk petugas kerajaan, sehingga tugas itu sangat berbahaya bagi nama dan martabat Lo-Cianpwe. Sungguh berbahaya dan sangat tidak enak dituduh sebagai pemberontak.”
Semuanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Apa yang diucapkan pemuda itu memang benar serta masuk akal. Mereka memang tak berani menanggung resiko dicap sebagai pemberontak, yang berakibat akan selalu dikejar-kejar oleh petugas kerajaan.
“Lalu... Kalau bukan para ketua perkumpulan, siapa lagi...?” Liu Wan bertanya lirih.
A Liong mengangkat wajahnya. “Lo-cianpwe harus memilih empat atau lima orang di antara para pendekar yang hadir malam ini! Dan mereka itu harus memiliki kepandaian tinggi! Paling tidak harus sejajar atau syukur lebih tinggi dari Lo-Cianpwe sekalian! Selain daripada itu mereka harus siap untuk mati demi tugas ini!” ucapnya kemudian dengan suara tegas dan bersemangat.
“Aaaaaah...!” Semuanya berdesah.
“Bagus! Aku setuju!” Tiba-tiba Tiau Hek Hoa berseru seraya melangkah menghampiri tempat itu. “Rencana saudara A Liong itu sangat baik. Aku mendukungnya.”
“Hmmh...!” Pemuda jangkung yang berada di belakang Tiau Hek Hoa tadi menggeram dan terbatuk-batuk. “Ah, Lihiap juga mendengarkan percakapan kami?”
Huangjio Siang-kiam. Ma Sing berkata kaget. Tiau Hek Hoa berdiri di depan A Liong. Sorot api unggun menerpa wajahnya yang hitam legam bak pantat kuali itu.
“Maaf, Ma-Lo-Cianpwe. saudara A Liong ini berbicara dengan keras dan bersemangat sehingga telingaku juga mendengarnya.”
Ma Sing menarik napas panjang. “Baiklah, tidak apa-apa. Semua orang memang boleh mendengarnya, asal dapat menyimpan dan merahasiakannya. Nah, bagaimana pendapat cuwi sekalian dengan rencana saudara A Liong tadi?” Katanya kemudian kepada para ketua perkumpulan itu.
“Aku setuju!” Liu Wan dengan cepat menjawab.
“Lohu juga sependapat! Rencana itu memang hebat! Kalau boleh... Lohu juga mau berangkat!” Ang-bin Kuai-jin yang berangasan itu berseru pula.
“Wah, tentu saja tidak boleh, Kuai-jin! Wajahmu banyak dikenali orang. Begitu para perajurit kerajaan itu tahu, maka seluruh anggota Huang-ho Eng-hiong kita akan diburu dan dimusnahkan oleh bala tentara kerajaan! Kita memang harus memilih orang seperti yang diusulkan oleh saudara A Liong tadi.” Pek-hou tertawa sambil mmengelus-elus jenggotnya.
“Sudahlah! Cepat kita pilih orang yang akan berangkat ke benteng itu! Nah, Ma Taihiap... beberapa orang yang hendak kita pilih? Satu, dua, atau... sepuluh orang?” Gobi Sam-ci menyela tak sabar.
Setelah berpikir sebentar, Ma Sing menjawab perlahan. “Sebaiknya memang tidak boleh terlalu banyak. Tetapi juga tidak boleh terlalu sedikit. Terlalu banyak justru akan menyulitkan kerjasama mereka. Tapi terlalu sedikit juga akan mengurangi kemungkinan keberhasilan tugas itu. Yah, tampaknya yang baik memang empat atau lima orang itu! Mudah diatur, gampang menyusupnya dan apabila terlihat oleh lawan, maka salah seorang tentu dapat menyelamatkan diri. Dan hal itu sudah cukup bagi kita untuk mendapatkan keterangan.”
“Bagus! Sekarang tinggal menentukan cara memilihnya!” Huang-ho Siang-kiam Ma Sing berdiri sambil mengangkat tangannya. Sikapnya kelihatan serba salah.
“Mencari orang terbaik berarti harus memilih calon yang ada. Dan untuk menentukan pilihan, harus dilihat dulu kemampuannya. Untuk melihat kemampuan mereka, terpaksa harus diadu. Nah... Inilah yang kurang kusukai!” Katanya sambil berpantun.
Hiruk-pikuk di tengah rawa terpencil itu tiba-tiba berhenti! Semuanya memandang Huang-ho Siang-kiam Ma Sing. Mereka tidak tahu, apa yang sedang dibicarakan oleh para pimpinan mereka. Namun yang jelas Ma Sing baru saja berkata tentang pemilihan adu silat. Mereka berbisik satu sama lain. Dan sesaat kemudian sorak-soraipun kembali bergema di tempat itu. Pengaruh arak telah membakar kegembiraan mereka.
“Bagus! Bagus! Mari kita pilih jago kita malam ini...!” Mereka bersorak dan berteriak kegirangan.
“Apa pendapatmu, Ciok-heng? Ma Sing yang tidak menyukai pertandingan silat itu meminta pendapat Liu Wan.
“Waaah...! Repot juga!” Liu Wan bergumam melihat kegembiraan para pendekar itu.
A Liong melangkah ke depan. “Lo-Cianpwe! Bagaimana kalau diatur saja dengan cara yang lebih aman? Para calon tidak perlu bertanding! Masing-masing hanya diminta untuk menunjukkan kemampuannya! Dan Lo-Cianpwe berlima yang akan menjadi juri. Lo-Cianpwe tentu akan dapat memilih jago yang dikehendaki!”
Ma Sing dan para ketua lainnya memandang A Liong dan Liu Wan bergantian. Sejak semula mereka memang tidak begitu memperhatikan A Liong. Mereka percaya bahwa semua teman Ciok-Sinshe adalah kawan seperjuangan mereka pula. Namun sebenarnya mereka juga bertanya-tanya di dalam hati.
Apalagi anak yang masih sangat muda itu kelihatannya amat disegani oleh yang lain. Memang repot bagi Liu Wan untuk memberi penjelasan. Di satu pihak dia sudah percaya penuh kepada pemuda asing itu, tapi di lain pihak dia memang tidak tahu banyak tentang asal-usulnya.
“Saudara A Liong... semua orang mempunyai hak untuk mengemukakan pendapatnya! Silakah! Siapa tahu saranmu benar-benar memberi jalan keluar yang baik?” Akhirnya Liu Wan berkata perlahan. Ma Sing mengerutkan keningnya.
“Tapi... setiap ilmu silat memiliki rahasia dan keistimewaannya sendiri-sendiri. Kadang-kadang ilmu silat baru menunjukkan kedahsyatannya setelah berhadapan dengan lawan. Bagaimana mungkin kita bisa menilainya?”
A Liong tersenyum pahit. “Benar, Lo-Cianpwe. Usulku memang bukan yang terbaik, karena usul itu hanya berpijak pada keinginan untuk menghindari korban di antara kita. Sebab, apa yang kita perlukan hanyalah memilih beberapa orang yang pantas menerima tugas itu. Bukan mencari siapa yang paling sakti di antara kita!”
“Ah, kau benar, saudara A Liong! Maafkan aku...!” Huang-ho Siang-kiam Ma Sing tergagap. Usul A Liong itu sungguh tepat dan cocok dengan keinginannya. Hilang semua kecurigaannya kepada pemuda itu. Segera dimintanya pemuda itu menjelaskan usulnya lebih lanjut.
A Liong menunjuk ke sebuah batu karang besar yang tersembul di tengah-tengah rawa. Tempat itu kira-kira sepuluh tombak jauhnya dari tempat itu. Air tak terlalu dalam. Paling hanya sepuluh lutut orang dewasa. Persis di bagian atas batu karang itu terdapat pecahan karang sebesar kambing. Berwarna hijau lumut. Entah sudah berapa ratus tahun batu itu bertengger di sana. Namun yang jelas, guyuran air hujan serta hembusan angin di setiap musim, belum mampu menggesernya darri tempat itu.
“Bagaimana kalau masing-masing calon diminta untuk mengambil batu karang itu dan membawanya ke sini, tanpa harus mempergunakan perahu atau sampan?” A Liong mengutarakan pendapatnya.
Para ketua perkumpulan itu memandang A Liong dengan wajah tak mengerti. “Maaf, aku kurang paham maksud saudara A Liong. Bukankah mudah sekali untuk membawa batu itu ke mari? Walaupun besar, tapi setiap pendekar tentu dapat mengangkatnya. Apalagi air rawa ini juga tidak terlalu dalam.” Gobi Sam-ci berkata perlahan.
“Ah, bukan begitu maksudku.” A Liong buru-buru menerangkan. “Mereka tidak boleh masuk ke dalam air. Mereka harus berloncatan di atas lima buah patok kayu, yang akan kita tancapkan di dalam rawa. Nah, selanjutnya... tinggal para penguji yang menilai kemampuan mereka.”
Pek-hou dan Ang-bin Kuai-jin bertepuk tangan. Mereka berdua merasa bahwa ujian itu benar-benar berat. Bahkan mereka sendiri belum tentu dapat melakukannya. “Bagus! Rencana yang bagus sekali! Kita akan menyaksikan kehebatan ilmu silat para anggota perkumpulam kita.”
Akhirnya semua orang menyetujui usul itu. Liu Wan dan Ma Sing tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepala mereka. Bahkan Liu Wan segera menggamit lengan A Liong. “Kau juga ikut bukan?”
“Harus! Dia yang mengusulkan, maka dia harus dapat pula melakukannya!” Para ketua perkumpulan itu menyahut berbareng.
“Lhoh? Ini... Ini...?” A Liong gelagapan.
Demikianlah, Ma Sing lalu mengumumkan niatnya untuk memilih lima orang jago silat di antara mereka. Dikatakan pula bahwa para jago yang terpilih nanti akan mendapatkan tugas penting dari perkumpulan mereka. Para pendekar itu kembali bersorak gembira. Walaupun syarat. atau ujian itu sangat berat, tetapi pertandingan itu akan benar-benar menyemarakkan suasana.
Bagi mereka tiada kegembiraan lain selain pertandingan silat. Begitu Ma Sing memberi tanda, maka beberapa orang segera maju ke depan. Bergantian mereka mencoba menyeberangi rawa tersebut. Dan orangpun segera tergelak-gelak ketika satu persatu mereka terjungkal ke dalam air. Tak seorangpun yang mampu mencapai seberang. Meski berkepandaian tinggi, tetapi mereka tidak biasa berloncatan di atas patok kayu.
Semakin malam suasana pertandingan menjadi semakin seru. Ada beberapa pendekar yang memiliki ginkang tinggi, sehingga dapat mencapai seberang. Tapi mereka segera tenggelam begitu kembali dengan batu karang itu, namun terpeleset, tetapi ada pula yang langsung tercebur ke dalam rawa dan mereka harus segera mengambalikan batu tersebut ke asalnya.
“Ang-heng cobalah...!” Pek hou yang mengetahui kehebatan ginkang Ang Jit Kun mencoba mendesaknya.
“Yaaah, kalau tidak membawa beban apa-apa... Memang mudah berlompatan diatas kayu itu! Tapi kalau harus membawa beban berat, waah... ya sulit” si pencuri sakti Ang Jit Kun menggerutu.
“Waduh! Kalau saja kau tidak mampu lalu... siapa lagi yang akan dapat melakukannya?” Ketua Liong Gi Eng itu mengeleng-gelengkan kepalanya.
Ang Jit Kun melirik ke arah Liu Wan, sebagai pembantu dekat tokoh itu tahu banyak tentang tingkat kesaktian Liu Wan. Tapi Liu Wan cepat menggelengkan kepalanya.
“Ah! Aku juga tdak dapat melakukannya, Ang-heng! Perguruanku lebih mengutamakan Iweekang daripada ginkang, kalau aku dapat membawa batu itu kemari, maka cara yang kupergunakan tidak akan memenuhi syarat.”
“Apa maksud Ciok heng?” Go bi sam-ci bertanya bingung.
“Ah, lihatlah... ada yang ingin mencoba lagi!” Liu Wan buru-buru mengalihkan perhatian.
Ditepi rawa telah berdiri seorang pemuda jangkung kurus, berpakaian serba hitam dan masing segera mengenalnya sebagai pemuda asing yang tadi berdiri tidak jauh di belakang Tiau Hek Hoa. Wajahnya tampan, namun kelihatan muram dan tidak gembira, bahkan sorot matanya berkesan dingin menakutkan seperti mata srigala di kegelapan malam.
Setelah diam sejenak, pemuda itu lalu melompat tinggi ke udara, patok kayu pertama dilewatinya, tubuhnya tetap melayang ke depan, pada saat melayang turun ke patok berikutnya, ia berjungkir balik beberapa kali untuk mengurangi berat tubuhnya. Ternyata pada patok kayu yang ke dua, pemuda itu juga tidak mendaratkan kakinya. Pada saat tubuhnya melayang turun, pemuda itu dengan tenang justru mencopot ikat pinggangnya! Sebuah ikat pinggang terbuat dari kain putih sepanjang satu tombak lebih.
“Taaaar...!” Tiba-tiba pemuda itu menyabetkan ujung ikat pinggangnya ke patok kayu! Dan... Huuuup! Tubuh yang hampir menyentuh air itu sekonyong-konyong melenting ke atas lagi seperti bola karet! Bahkan daya luncurnya menjadi lebih cepat lagi, sehingga patok kayu yang ke tigapun terlewati pula! Ketika tubuhnya mulai menukik ke patok yang ke empat, pemuda itu bergegas mengayun kembali ikat pinggangnya ke bawah!
“Taaaarrrr...!” Pemuda itu kembali melenting ke depan, menuju ke patok yang ke lima dan selanjutnya dengan tumpuan patok kayu tersebut dia melesat ke batu karang! Tidak terasa semuanya menahan napas. Ilmu meringankan tubuh pemuda itu sungguh hebat sekali. Jauh lebih baik dari ginkang para ketua perkumpulan mereka. Maka tak mengherankan kalau sesaat kemudian terdengar suara gemuruh tepuk tangan dan teriakan mereka!
“Huuuuraaaa! Hurrra...!” Tak seorangpun yang tidak takjub melihat gerakan itu. Bagi mereka, pemuda itu tak ubahnya seekor burung elang yang terbang rendah di atas air. Di mana pada saat-saat tertentu kukunya menghunjam ke dalam air untuk menyambar ikan.
“Bukan main!” Para ketua perkumpulan itu berdesah kagum.
“Siapakah dia...?” Ma Sing hampir tidak percaya pula. Belum juga pertanyaan tersebut terjawab, sorak-sorai di tempat itu terhenti!
Ternyata pemuda itu telah mulai memperlihatkan kesaktiannya lagi! Batu karang yang diperlombakan itu telah berada di dalam pelukannya. Ketika semua orang masih menduga-duga, apa yang hendak dilakukan oleh pemuda itu, ternyata pemuda tersebut sudah lebih dulu melemparkan batu karang itu ke patok kayu yang terdekat.
“Wus...!” Dan pemuda itu bergegas mengejarnya! Namun dengan mengerahkan segala kemampuannya, ternyata pemuda itu bergerak jauh lebih gesit dan lebih cepat dari pada batunya. Ternyata pemuda itu lebih dulu mendaratkan kakinya di patok kayu. Kemudian sebelum batu itu menimpa kepalanya, pemuda itu lebih dulu menyongsongnya dengan sabetan tali ikat pinggangnya!
“Srrrt!” Batu karang itu terbelit ujung ikat pinggang! Selanjutnya dengan sekali hentak, maka batu tersebut kembali terlempar ke atas melewati kepalanya! Pemuda itu cepat berbalik dan melesat mengejarnya. Dan seperti tadi, maka diapun lebih dulu mendarat di patok kayu berikutnya. Kemudian dia mengulangi pula caranya tadi.
Dan beberapa saat kemudian dia telah berhasil membawa batu karang itu ke depan Huang-ho Siang-kiam Ma Sing! Sekali lagi tempat itu gemuruh dengan suara tepuk tangan! Gobi Sam-ci melesat ke depan. Sambil merangkapkan kedua telapak tangannya bekas ketua Kong-sim-pang itu mengawasi tamunya.
“Tampaknya saudara telah berhasil lulus dari ujian ini. Namun demikian kami perlu mengetahui asal-usul saudara dulu, sebelum kami berlima menetapkan sebagai pemenang...”
Pemuda jangkung kurus itu tidak segera menjawab. Sebaliknya dari balik kerumunan tamu yang datang, tiba-tiba muncul seorang lelaki separuh baya yang berlari ke arah mereka. Lelaki itu mengenakan pakaian sederhana, yang biasa dipakai oleh orang-orang di daerah pedalaman. Meskipun demikian Gobi Sam-ci maupun para ketua yang lain segera mengenal orang itu, karena dia tidak lain adalah Yo Keng, utusan Kong-sun Goanswe!
“Yo-Ciangkun...!” Semua orang yang hadir di tempat itu bergumam pendek.
“Gobi Sam-ci, jangan khawatir! Aku yang membawa pemuda ini. Kita semua dapat mempercayainya!” Yo Keng berkata lantang. Kemudian Yo Keng mendekati Ma Sing.
“Ma-heng, kau juga tidak perlu meragukan pemuda ini. Dia seorang pendekar pengembara. Namanya Chin Tong Sia. Dia telah menyelamatkan aku dari keganasan pasukan Mo Tan. Bahkan dia juga telah menyelamatkan aku dari perangkap si Tongkat Bocor Ho Bing di kota Leng-fu!”
Huang-ho Siang-kiam Ma Sing tersentak kaget. “Si Tongkat Bocor Ho Bing? Bukankan dia sering terlihat di Istana Au-yang Goanswe? Mengapa pengemis itu ingin menangkap Yo-Ciangkun? Apakah dia mau memberontak?”
“Ah, entahlah, Ma-Taihiap. Tampaknya memang ada sesuatu yang tak beres di kota raja. Suasananya tidak seperti dulu lagi. Pengaruh Au-yang Goanswe terasa di mana-mana. Tidak hanya di kalangan prajurit pengawal Istana, tapi di kalangan para pejabat kerajaan pun pengaruhnya sangat kuat. Aah... tampaknya kecurigaan Kong-sun Goanswe selama ini memang benar. Kota raja telah dikuasai para pengikut Au-yang Goanswe!”
Para ketua partai persilatan itu menghela napas. Huang-ho Siang-kiam Ma Sing menganggukkan kepalanya. “Baiklah, Yo-Ciangkun. Nanti kita bicarakan lebih lanjut masalah itu. Sekarang kita lihat dulu kemampuan para pendekar muda kita. saudara Chin, silakan beristirahat dulu! Kau kami nyatakan berhasil...”
“Bagus! Kalau begitu aku juga ingin mencobanya! Hih...!” Tiba-tiba Tiau Hek Hoa berseru nyaring. Tubuhnya yang mungil itu melesat ke depan, lalu menyambar batu karang hijau di tengah arena. Sebelum semuanya mengetahui apa yang terjadi, gadis berkulit hitam itu telah terbang ke dalam rawa!
Gerakan gadis itu memang lebih tepat disebut terbang daripada melompat. Dengan memeluk batu karang tersebut di dadanya, dia berloncatan di atas patok kayu, laksana seekor lebah betina yang pulang membawa hasil buruannya! Sekejap saja batu karang itu telah bertengger kembali di tempatnya semula! Maka tidaklah mengherankan kalau sedetik kemudian tempat itu seperti diguncang oleh suara riuh tepuk-tangan para pendekar yang hadir!
Pemuda jangkung yang tidak lain adalah Put-tong-sia atau Chin Tong Sia dari Beng-kauw itu merah padam melihatnya. Hampir saja ia melompat dan menerjang gadis yang berani mengaku orang dari Beng-kauw itu. Untunglah dia segera dapat meredam perasaannya.
“Lebih baik kubiarkan saja ia ikut ke Benteng Langit. Akan kuselidiki apa maksud dan tujuannya ia menyamar sebagai orang Beng-kauw...” Put-tong-sia berkata di dalam hatinya.
Tampaknya kehebatan ilmu silat Put-tong-sia dan Tiau Hek Hoa tadi sangat menggelitik hati Souw Hong Lam pula. Terbukti pemuda ganteng itu cepat berdiri begitu Tiau Hek Hoa kembali ke tempatnya! Liu Wan dan A Liong menoleh. Terlambat! Mereka hanya melihat bayangan Souw Hong Lam berkelebat.
Di lain saat pemuda ganteng itu telah melayang di atas permukaan air. Mantel hitamnya yang lebar itu berkibar indah di belakangnya. Sepintas lalu bagaikan sayap burung rajawali yang berkepak melawan angin. Dia hanya memanfaatkan sebuah patok saja di antara lima buah patok kayu itu.
Jarak sejauh itu hanya ditempuh dalam dua kali lompatan! Sebelum orang-orang di tempat itu sadar apa yang terjadi, Souw Hong Lam telah berada di seberang. Dan ketika semuanya tersentak kaget melihat ulahnya, Souw Hong Lam telah melesat kembali dengan batu karang di dalam pelukannya. Tubuhnya melayang seperti induk rajawali pulang ke sarangnya. Batu besar itu seakan-akan tak berbobot sama sekali di tangannya.
Kedatangan Souw Hong Lam disambut lebih meriah daripada Chin Tong Sia maupun Tiau Hek Hoa. Mereka merasa telah mendapatkan seorang jago sakti lagi. Sementara itu para ketua perkumpulan tampak saling lirik lagi. Mereka merasa heran karena tak terduga hari itu muncul jago-jago muda yang berkepandaian sangat tinggi. Bahkan mereka merasa bahwa ginkang ketiga anak muda itu boleh dikatakan di atas mereka.
“Heran! Rasanya hanya Ketua Pusat Im-yang-kauw saja yang mampu berbuat seperti itu!” Huang-ho Siang-kiam Ma Sing yang juga Ketua Cabang Im-yang-kauw bagian utara itu bergumam pelan.
Liu Wan bertepuk tangan pula. “Bagus! Sudah tiga jago yang kita dapatkan Nah, saudara A Liong... sekarang giliranmu!”
“Benar! Ayo, saudara A Liong...! Kau yang memilih permainan ini! Kau yang harus menyelesaikannya!” Pek Hou berteriak keras, diikuti pula oleh yang lain.
“Ayolah, saudara A Liong!” Ma Sing ikut mendesak pula.
A Liong tidak dapat menghindar lagi. Menolak permintaan mereka berarti mengecewakan banyak orang. Terpaksa dia melangkah ke rawa. Sebenarnya berloncatan di atas patok kayu itu merupakan pekerjaan mudah bagi A Liong. Bersama kedua gurunya, Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong, dia sudah biasa bermain-main di atas ombak hanya dengan alas kaki dari tulang ikan paus.
Tapi sekarang, di depan para pendekar persilatan, dia tak mau menyombongkan diri. Dia akan mjenyeberang dan mengembalikan batu itu ke tempatnya, tapi dengan cara biasa. Tanpa mengeluarkan ilmunya yang aneh-aneh. A Liong bersiap-siap. Setelah mengerahkan sebagian dari tenaga saktinya, dia mengangkat batu karang yang dibawa Souw Hong Lam tadi ke pundaknya.
Gerakannya berkesan lamban dan kurang bertenaga. Bahkan ketika berloncatan di atas patok kayu, tubuhnya tampak limbung serta nyaris jatuh ke dalam air. Namun demikian sampai juga pemuda itu ke seberang dengan selamat. Kembalinya lebih mudah daripada perginya. Tanpa beban batu karang itu, A Liong dengan cepat menyeberang dan kembali di tempat semula. Dan kedatangannya disambut dengan tepuk tangan riuh.
“Bagus...!” Walaupun kurang puas dengan penampilan A Liong, tapi Ma Sing tetap gembira dengan hasilnya. Karena jago yang diinginkan baru empat orang, padahal yang dibutuhkan lima orang, maka ujian terus dilaksanakan. Namun hingga bulan melorot ke barat, tiada lagi orang yang mampu menyeberangkan batu karang itu. Ang Jit Kun, yang terkenal memiliki ginkang tinggi, ternyata juga gagal menyelesaikan permainan tersebut. Kakinya tergelincir pada saat membawa batu karang.
“Sudahlah. Tampaknya tiada lagi yang dapat menyeberangkan batu itu. Bagaimana pendapatmu, Ciok-heng?” Huang-ho Siang-kiam Ma Sing meminta pendapat Liu Wan.
“Kalau memang demikian, yaaa... apa boleh buat! Rasanya empat orangpun sudah dapat berjalan pula. Bagaimana pendapat rekan-rekan yang lain?”
“Aku mempunyai usul! Bagaimana kalau Ciok Sinshe ikut dalam rombongan itu...?” Ang-bin Kuai-jin yang sejak tadi jarang sekali bersuara, tiba-tiba memotong.
“Maksud Kuai-jin...?” Pek Hou dan Gobi Sam-ci bertanya hampir bersamaan.
Ang-bin Kuai-jin menarik napas sambil mengawasi jago-jago muda yang baru saja terpilih itu. “Maaf! Lohu tidak bermaksud memandang rendah kemampuan para pendekar muda ini. Tapi kurasa... Mereka perlu seorang pendamping yang memiliki pengalaman dan wawasan luas. Lohu percaya, ilmu silat mereka, sulit dicari bandingannya. Tapi untuk menghadapi rintangan dan jebakan di dalam benteng itu perlu adanya seorang pendamping yang berpengalaman.”
“Bagus. Lohu juga sependapat. Tapi... Mengapa harus Ciok Sinshe dan bukan yang lain?” Pek Hou menyela.
“Ah, rasanya aku bisa menebak jalan pikiran Ang-bin Kuai-jin. Selain banyak pengalaman, Ciok Sinshe juga mahir ilmu pengobatan. Eeee, siapa tahu ada yang terluka dalam tugas itu nanti?” Huang-ho Siang-kiam Ma Sing memotong.
“Waaaah...!” Liu Wan pura-pura mengeluh, padahal di dalam hati dia memang ingin berangkat pula. Demikianlah Ma Sing lalu melakukan perundingan rahasia dengan para pembantu dekatnya. Dan pada malam itu juga rombongan penyelidik ke Benteng Langit diberangkatkan. Mereka terdiri atas Chin Tong Sia, Tiau Hek Hoa, Souw Hong Lam, A Liong dan Liu Wan! Rombongan itu berangkat secara diam-diam. Mereka menggunakan dua buah sampan kecil.
A Liong bertiga dengan Chin Tong Sia dan Tiau Hek Hoa, sedangkan Liu Wan berdua dengan Souw Hong Lam. Ketika fajar mulai menyingsing mereka telah meninggalkan rawa Tai-bong-sui itu. Sekarang mereka berada di perbatasan Propinsi Shan-si dan Ho-nan. Mereka berjalan ke selatan, menyusuri hutan cemara yang terbentang luas sampai di Sungai Huang-ho.
Di sepanjang jalan Liu Wan mengakrabkan jalinan persaudaraan mereka. Tapi usahanya agak sedikit mengalami kesulitan. Mereka terdiri dari anak-anak muda yang belum saling mengenal sebelumnya. Maka tak mengherankan kalau mereka masih saling curiga-mencurigai. Hanya A Liong saja yang kelihatan santai dan acuh.
Mereka berhenti ketika matahari mulai memperlihatkan kekuatannya. Kebetulan mereka berada di sebuah kota kecil yang cukup ramai. Bahkan mereka melihat banyak toko dan warung makan di pinggir jalan.
“Ciok Sinshe, sebaiknya kita makan dahulu di kota ini. Atau paling tidak kita singgah sebentar untuk mencari bekal. Perjalanan kita masih panjang dan rasanya kita takkan dapat lagi menemukan tempat seperti ini.” Tiau Hek Hoa berkata kepada Liu Wan.
“Kau benar, Lihiap. Aku juga pernah melewati jalan ini. Perjalanan selanjutnya memang hanya lewat di hutan dan tanah gersang. Padahal kita masih membutuhkan waktu dua hari lagi untuk mencapai Sungai Huang-ho...”
Demikianlah, mereka lalu masuk ke sebuah warung kecil yang hanya menyediakan empat buah meja. Di mana salah satu mejanya telah terisi oleh tiga orang tamu lain. Kulit Tiau Hek Hoa yang hitam itu segera menarik perhatian mereka. Kulit gadis itu memang terlalu hitam, sehingga tidak mengherankan bila orang merasa aneh melihatnya.
Sebaliknya Tiau Hek Hoa sendiri seperti tidak peduli terhadap mereka. Dia justru mendahului kawan-kawannya untuk memilih meja. Liu Wan, Souw Hong Lam, Chin Tong Sia dan A Liong juga tidak peduli pula. Mereka berempat berjalan dengan tenang di belakang Tiau Hek Hoa. Meskipun demikian perhatian Chin Tong Sia tak pernah lepas dari sekelilingnya.
“Silakan masuk...!” Pemilik warung menyambut kedatangan mereka sambil melirik ke wajah Tiau Hek Hoa. Tiau Hek Hoa tetap acuh. Sambil melangkah ia melemparkan beberapa keping uang tembaga ke atas nampan si pemilik warung itu.
“Hidangkan masakan yang paling enak untuk kami berlima! Uang itu sebagai ongkos pelayananmu! Cepatlah...!” Gadis itu berkata datar tanpa memalingkan mukanya.
Pemilik warung itu terbelalak. Tapi sekejap kemudian wajahnya berubah menjadi gembira bukan main. Seperti orang yang baru mendapatkan lotere, ia bergegas ke dapur untuk menyiapkan hidangan.
“Lihiap...?” Liu Wan mengerutkan dahinya melihat keroyalan gadis itu.
Tapi Tiau Hek Hoa cepat merangkapkan kedua tangannya di depan dada. “Maaf, Ciok Sinshe. Biarlah aku yang membayar makanan. Tampaknya orang itu lebih menghormati uang daripada perempuan jelek seperti aku ini.”
“Tiau-lihiap...! Jangan berprasangka begitu...!” Liu Wan berkata kikuk.
“Waduh perutku sudah keroncongan. Ciok Sinshe, Tiau-lihiap, ayolah...! Kita duduk sambil berbicara tentang rencana kita nanti!” A Liong tiba-tiba menyela untuk menghilangkan suasana yang kurang menyenangkan itu.
Ternyata Souw Hong Lam dan Chin Tong Sia juga sependapat dengan ucapan A Liong. Mereka segera duduk mengitari meja. A Liong lalu mengangguk kepada Liu Wan, yang mereka anggap sebagai pimpinan rombongan itu.
“Nah, Ciok Sinshe. Bagaimana rencana kita? Berilah kami keterangan dan penjelasan, agar semua tindakan kita selalu terpadu dan tidak bertindak menurut keinginan masing-masing.”
Liu Wan tertegun sebentar, lalu tersenyum. Dia benar-benar kagum melihat sikap dan penampilan pemuda bertubuh kekar itu. Usianya masih amat muda, tapi pikiran dan pembawaannya sungguh sangat tenang dan matang. “Kau benar, saudara A Liong! Kita memang harus merundingkan dulu rencana kita...” Liu Wan mengangguk.
Demikianlah, sambil menantikan hidangan, Liu Wan lalu memberitahukan rencana perjalanan mereka nanti. Pertama, mereka menuju ke desa Luang-cung di tepi Sungai Huang-ho. Dari sana mereka akan menempuh perjalanan melalui sungai. Mereka akan berperahu menyusuri Sungai Huang-ho sampai ke Benteng Langit.
“Nanti kita rundingkan lagi cara memasuki benteng itu setelah kita dapat melihat dan mengetahui keadaannya...” Liu Wan mengakhiri keterangannya.
Sementara itu makanan telah dihidangkan. Mereka lalu bersantap bersama. Dan A Liong yang tidak pernah belajar tata cara makan bersama itu segera menyerbu hidangan tanpa malu-malu lagi. Sejak kecil sampai berada di bawah bimbingan kedua gurunya pemuda itu tidak pernah belajar tata krama. Dia hanya tahu tentang baik buruk, serta menghormati orang lain, terutama orang yang lebih tua. Tetapi pemuda itu tak pernah belajar tentang cara berprilaku dan bertatakrama dalam menghadapi orang lain.
Cara makan A Liong yang bebas dan seenaknya itu memang sedikit mengganggu Tiau Hek Hoa. Kaki A Liong yang diangkat ke atas kursi serta cara melahap makanan dengan jari tangan itu, berkesan liar dan urakan. Sebagai gadis terpelajar dan terhormat, gadis itu merasa risih juga melihatnya. Tapi apa boleh buat, A Liong sendiri seperti tidak pernah merasa bersalah atau peduli dengan sikapnya.
Begitu pula dengan anggota rombongan lainnya. Semuanya juga bersikap acuh saja melihat cara makan A Liong, sehingga Tiau Hek Hoa terpaksa berdiam diri pula. Sikap A Liong sungguh amat berbeda dengan Souw Hong Lam. Pemuda ganteng itu bersikap halus, tenang, sopan dan penuh tata krama. Caranya makanpun amat sopan dan berhati-hati. Bahkan terlihat lebih sopan daripada Tiau Hek Hoa.
Ketika pemilik warung itu lewat di dekat mereka, Tiau Hek Hoa menghentikannya. “Paman...! Di mana kami dapat membeli kuda?”
“Kuda...? Apakah cuwi hendak membeli kuda? Wah, banyak sekali pedagang kuda di sini. Kebetulan sekali daerah ini memang daerah peternakan kuda. Tetapi kalau Nona menginginkan kuda yang bagus, sebaiknya pergi saja ke peternakan Kim Wangwe!”
“Kim Wangwe...? di mana tempatnya?”
“Peternakannya berada di sebelah selatan kota ini. Tapi hati-hati dengan para centengnya, Mereka galak-galak. Apalagi Kim Wangwe jarang berada di rumahnya. Dia lebih sering berada di kota.”
“Di kota Lu-fan maksudmu?”
Pemilik warung itu mengangguk. Liu Wan memandang Tiau Hek Hoa. “Lihiap hendak membeli kuda? Tapi... Kita tidak boleh berangkat sendiri-sendiri. Rombongan ini harus selalu bersama-sama!”
Gadis itu balik menatap wajah Liu Wan yang tertutup oleh penyamarannya. “Sinshe, aku tidak bermaksud berangkat sendiri. Kebetulan aku ada uang. Aku akan membeli lima ekor kuda sekaligus untuk kita.”
“Ah, maafkan aku. Tapi rasanya Lihiap tak perlu membuang-buang uang sebanyak itu. Harga kuda terlalu mahal. Apalagi harus membeli lima ekor...”
“Benar. Kita berjalan kaki saja. Aku tak biasa naik kuda. Malah repot nanti...” A Liong yang belum pernah naik kuda itu juga berseru. Mulutnya masih penuh dengan makanan.
Tiba-tiba salah seorang dari tiga tamu yang duduk di dekat mereka bangkit berdiri. Dia memberi hormat kepada Tiau Hek Hoa. “Maaf. Nona hendak membeli kuda? Kami, eh... Kami kebetulan juga mau menjual kuda. Mungkin Nona berminat membelinya?”
Tiau Hek Hoa bangkit pula dari tempat duduknya.
Tanpa rasa curiga ia membalas penghormatan orang itu. “Cuwi ingin menjual kuda? Bagus! Boleh aku melihatnya dulu...?”
Ketiga orang tamu itu cepat membayar makanannya, lalu mengajak Tiau Hek Hoa keluar. Dan tanpa sungkan-sungkan lagi gadis itu segera mengikuti pula. “Ciok Sinshe, aku akan melihat kuda mereka. Sebentar saja!” Gadis itu berkata kepada Liu Wan.
“Nona, kau belum selesai makan, bukan? Mengapa tidak kau habiskan dulu?” Pemilik warung itu tiba-tiba berseru dari mejanya. Wajahnya kelihatan pucat.
Tiau Hek Hoa tidak menjawab. Dia tetap melangkah keluar mengikuti pedagang kuda itu. Chin Tong Sia mengerutkan keningnya. Dia tak mau kehilangan gadis itu. Dia harus tahu siapa gadis yang mengaku anggota Aliran Beng-kauw tersebut.
“Nona Tiau, kubantu kau memilih kuda. Aku mempunyai banyak pengalaman soal kuda...” Chin Tong Sia berseru dan bangkit pula dari kursinya.
Tiau Hek Hoa menoleh, tapi tidak mengatakan apa-apa. Dia juga tidak peduli ketika Chin Tong Sia mengikutinya. Wajah yang hitam itu benar-benar sulit ditebak hatinya. Mereka masuk ke dalam pasar. Dan kebetulan hari itu merupakan hari besar, sehingga pedagang dari luar kotapun datang membanjiri pasar itu.
Maka tidak mengherankan kalau tempat itu menjadi ramai sekali. Begitu berjejalnya sehingga Chin Tong Sia mendapat kesulitan mengikuti langkah Tiau Hek Hoa. Malah sebentar kemudian bayangan gadis berkulit hitam itu telah hilang bersama tiga orang yang diikutinya.
“Wah, cepat benar! kemana mereka tadi?” Karena kehilangan jejak maka Chin Tong Sia lalu berjalan sekenanya. Matanya tajam mengawasi orang-orang di sekelilingnya. Namun bayangan Tiau Hek Hoa dan para pedagang kuda itu sama sekali tak kelihatan.
Demikianlah setelah berputaran kesana-kemari tanpa hasil, Chin Tong Sia Lalu keluar dari pasar. Perlahan-lahan dia melangkah kembali ke tempat di mana kawan-kawannya menunggu. Sambil berjalan matanya masih tetap melirik kesana-kemari, mencari gadis bermuka hitam itu. Tiba-tiba matanya terbelalak. Jauh di ujung jalan matanya menangkap berkelebatnya bayangan Tiau Hek Hoa di antara para pejalan kaki yang lain.
Gadis itu berjalan bersama seorang pemuda. Ketika Chin Tong Sia mencoba melongok lebih jelas lagi, bayangan gadis itu telah berbelok ke sebuah gang kecil. Chin Tong Sia berlari secepatnya, sehingga orang-orang di sekitarnya hanya melihat bayangan hitam dan hembusan angin yang amat kuat melewati mereka. Namun demikian, ketika Chin Tong Sia sampai di gang kecil itu, bayangan Tiau Hek Hoa telah hilang pula.
“Gila! permainan apa yang sedang ia lakukan? Jelas tadi aku melihatnya berjalan bersama seorang lelaki di sini? kemana dia?” Sambil menggeram Chin Tong Sia masuk ke dalam gang kecil itu.
Di depan sebuah rumah besar bercat putih dan berhalaman luas dia berhenti. Pintu gerbang halaman rumah itu masih terbuka sedikit, seakan-akan baru saja dibuka orang. Chin Tong Sia melongok ke dalam. Dan ia segera melihat lelaki yang berjalan bersama Tiau Hek Hoa itu di sana. Lelaki itu berdiri di halaman bersama tiga orang temannya.
“Hei? Tiga orang itu...? Bukankah mereka para pedagang kuda itu? Bagus! Jadi... aku memang tidak salah masuk!” Tanpa berpikir dua kali Chin Tong sia segera menerobos masuk. Dan tanpa berbasa-basi pula ia menghadapi lelaki muda itu. Sebagai orang Beng-kauw, Chin Tong Sia memang tidak pernah mempedulikan aturan dan sopan santun.
“Maaf, aku sedang mencari temanku Kulihat dia masuk ke sini. Di mana dia?”
Namun sungguh mengherankan. Keempat orang itu sama sekali tidak kaget melihat kedatangan Chin Tong Sia. Bahkan mereka kelihatan tenang sekali, seolah-olah memang sedang menantikan Chin Tong Sia.
“Orang inikah yang telah mempecundangimu, Ho Bing?” Lelaki yang ternyata masih sebaya A Liong itu menoleh ke pendapa.
Chin Tong Sia melihat ke pendapa. Hatinya berdegup keras. si Tongkat Bocor Ho Bing yang telah gagal menghadang Yo Keng dan dirinya di kota Lu-feng itu tampak berdiri geram memandangnya. Di sebelahnya juga berdiri Tiat-tou dan Siang-kim-eng, pembantunya.
“Benar, Kongcu. Dialah orangnya! Huh! Di mana perwira yang kau lindungi itu?” Ho Bing menghardik ke arah Chin Tong Sia.
Chin Tong Sia sadar bahwa dia telah terperangkap dalam sarang musuh. Dan melihat sikap Ho Bing yang garang, dia yakin orang itu telah memiliki sandaran kokoh di tempat tersebut. Chin Tong Sia bersiap-siap. Perasaannya mengatakan bahwa pemuda tampan di depannya itulah yang menjadi sandaran Ho Bing. Dan dari sikapnya Chin Tong Sia yakin, bahwa pemuda itu merupakan lawan yang tangguh. Bahkan dari getaran suaranya, Chin Tong Sia juga yakin bahwa pemuda itu memiliki tenaga dalam amat sempurna.
“Anak muda berpakaian bagus ini tentu lihai sekali...” Chin Tong Sia berkata di dalam hatinya.
Pemuda tampan itu melangkah mendekati Chin Tong Sia. “Bagus. Kalau begitu orang ini harus dibunuh karena telah berani mengganggu tugasmu.”
“Tahan! Siapa kau ini? Apakah kau seorang pangeran dari kota raja? Atau... Kau masih keluarga dari Au-yang Goanswe?”
Melihat pemuda itu datang bersama Ho Bing, maka Chin Tong Sia menyangka lawannya itu berasal dari kota raja. “ Au-yang Goanswe? Huh! Tak ada sangkut pautnya aku dengan manusia tamak dan licik itu! Aku adalah Mo Hou, putera Mo Tan, raja suku bangsa Hun yang besar!”
Bukan main terkejutnya Chin Tong Sia. Tak disangka-sangka dia berjumpa dengan putera Raja Mo Tan di tempat itu. Otomatis seluruh urat-urat Chin Tong Sia menegang. Dia sering mendengar bahwa putera-puteri Mo Tan memiliki ilmu silat yang tinggi sekali.
“Oh, jangan-jangan Tiau Hek Hoa itu juga... puteri Mo Tan!” Tiba-tiba Chm Tong Sia membatin.
Tapi sebelum pemuda itu bertanya lebih lanjut, Mo Hou telah lebih dahulu menyerang. Mo Hou mengibaskan lengan kirinya ke depan,” menyerang wajah Chin Tong Sia. “Ho Bing mengatakan bahwa kau bernama Chin Tong Sia atau Put-tong-sia dan berasal dari aliran Beng-kauw! Orang selalu bercerita bahwa ilmu silat aliran Beng-kauw sangat tinggi! Tapi, aku tidak percaya! Coba, kau perlihatkan ilmumu kepadaku!”
Angin tajam menyambar kepala Chin Tong Sia. Tapi dengan sigap Chin Tong Sia menarik kepalanya ke belakang. Kemudian dalam waktu yang hampir bersamaan dia bergeser ke kanan sambil melontarkan pukulan lurus ke belakang kepala Mo Hou. Chin Tong Sia tak mau berbasa-basi pula. Tiga perempat dari tenaga saktinya membanjir keluar mendorong pukulannya. Perbawanya sungguh menggetarkan hati.
Mo Hou kaget bukan main. Putera Raja Mo Tan yang terlalu percaya akan kehebatan ilmunya itu sama sekali tidak percaya kalau lawannya memiliki kece patan dan tenaga dalam sedahsyat itu. Pukulan itu hampir saja mengenai kepala Mo Hou. Untunglah pada saat-saat terakhir pemuda itu masih dapat menghindarinya. Namun demikian tali pengikat rambutnya tetap saja terlepas bersama beberapa helai rambutnya, sehingga rambut yang panjang itu terurai lepas menutupi bahu.
Bahkan butir-butir mutiara yang menghias tali pengikat rambut itu juga ikut terlempar entah ke mana. Wajah Mo Hou menjadi merah padam. Karena terlalu memandang rendah lawan, hampir saja dia kehilangan kepalanya. Sementara itu ketiga orang kawan Mo Hou tadi telah berpencar di sekeliling mereka.
“Gila! Kubunuh kau...!” Mo Hou berteriak marah.
“Kongcu, biarlah kami bertiga yang menangani bocah ini!” Seorang dari ketiga teman Mo Hou melompat ke depan sambil melepaskan pukulan. Mo Hou terpaksa menunda kemarahannya. Sambil mendengus ia melangkah mundur.
“Bayan Tanu, hati-hati! Ucapan Ho Bing memang benar. Orang ini tidak boleh dipandang ringan. Engkau bertiga belum tentu dapat mengatasinya.”
Chin Tong Sia mengelakkan pukulan Bayan Tanu dengan mudah. Dalam keadaan marah pemuda itu masih tetap mempergunakan akal sehatnya, dia cuma sendirian di rumah itu, sementara lawannya berjumlah banyak. Dia tidak boleh gegabah mengumbar tenaga. Dia harus mampu keluar dan menyelamatkan diri dari halaman tersebut. Tampaknya Mo Hou mengetahui maksud Chin Tong Sia.
Sambil menggeram pemuda tampan itu bertepuk tangan dan beberapa saat kemudian belasan orang segera muncul dari segala penjuru rumah itu. Mereka mengepung halaman itu dengan senjata lengkap. Ho Bing yang tadi berdiri di atas pendapa juga turun bersama para pembantunya.
“Kau harus mati!” Ho Bing yang telah dipermalukan oleh Chin Tong Sia di kota Leng-fu itu berseru marah.
“Bagus! Tampaknya kau telah bersekongkol dengan kekuatan musuh untuk menghadapi aku!”
“Huh! Akulah lawanmu! Bukan dia!” Bayan Tanu yang telah siaga di depan Chin Tong Sia itu tiba-tiba berteriak sambil mendiang.
“Wuuuuuuuush...!” Tentu saja Chin Tong Sia tidak ingin terjungkal pada jurus-jurus pertama. Dengan ginkangnya yang hebat dia melenting ke samping, kemudian sambil memba likkan badannya dia mengayunkan tangannya dengan jari-jari terbuka. Tujuannya adalah tenggorokan Bayan Tanu. Serangan ini hanya mempergunakan separuh dari tenaga dalamnya. Namun demikian pengaruhnya telah mengejutkan lawan-lawannya. Bayan Tanu menangkis dengan sisi tangannya.
“Duuuug!” Dua buah kepalan bertemu di udara, menyebabkan keduanya terpental ke belakang. Chin Tong Sia terdorong mundur selangkah ke samping, sementara Bayan Tanu terhuyung mau jatuh. Orang kepercayaan Mo Hou itu marah sekali. Sebagai orang Mongol, yang ilmu silatnya lebih banyak bertumpu pada ilmu gulat, ia memiliki otot-otot yang kuat dan liat. Meskipun tenaganya juga lebih terpusatkan pada tenaga luar (gwakang).
Namun kecepatan tangan juga tidak dapat dipandang ringan. Orang seperti Bayan Tanu dengan mudah dapat menangkap lalat yang terbang di sekitarnya. Benturan kedua tangan itu sama sekali tak menyakitkan Bayan Tanu. Bahkan dengan kelincahannya Bayan Tanu kembali menerjang Chin Tong Sia.
Kali ini dengan kekuatan kakinya. Demikianlah, kedua orang itu segera terlibat dalam pertempuran seru. Chin Tong Sia dengan tenang dan santai melayani Bayan Tanu yang marah dan ingin segera memperoleh kemenangan. Dan pertarungan itu semakin lama semakin cepat. Saling memukul dan menangkis, sehingga halaman yang luas itu bagaikan sebuah ajang pertarungan silat yang menegangkan. Tapi beberapa jurus kemudian segera terlihat siapa yang lebih unggul di antara mereka.
Napas Bayan Tanu yang lincah dan kuat itu mulai tersengal-sengal, sementara napas Chin Tong Sia masih kelihatan teratur seperti sedia kala. Merasa kalah dalam hal tenaga Bayan Tanu segera mengurai senjatanya yang selalu melingkar di pinggangnya. Yaitu sebuah rantai baja sepanjang satu-setengah depa dengan mata tombak di salah satu ujungnya.
Begitu diputar maka rantai baja itu mengeluarkan suara mengaung panjang. Dan Chin Tong Sia terpaksa harus berloncatan kesana-kemari untuk menghindarinya. Debu mengepul tinggi ketika beberapa kali rantai itu menghantam tanah, sehingga Mo Hou dan para pembantunya terpaksa mundur sampai ke tangga pendapa. Dari tempat itu mereka harus menyaksikan, bagaimana sulitnya Bayan Tanu menyentuh lawannya.
Sebagai jago silat yang memiliki ginkang hampir sempurna, Mo Hou dapat melihat, betapa jauh perbedaan ilmu meringankan tubuh mereka. Bayan Tanu yang hanya mengandalkan kelincahan dan kekuatan otot-ototnya, sama sekali tidak mampu mengejar kecepatan gerak Chin Tong Sia. Ilmu meringankan tubuh murid aliran Beng-kauw itu benar-benar sudah mendekati puncaknya, sehingga ia sendiri sering tersilap dan terlambat mengikutinya.
“Tidak heran kalau Ho Bing kalah. Sepuluh orang Ho Bingpun belum tentu dapat menundukkannya. Mungkin hanya Mo Goat atau Panglima Solinga yang dapat menandingi dia.”
Semakin lama gerakan rantai Bayan Tanu semakin melemah. Serangan ujung tombaknya juga tidak akurat lagi. Sementara gerakan Chin Tong Sia masih tetap lincah dan tegar seperti sedia kala. Tampaknya pemuda itu memang mengulur-ulur waktu untuk mencari kesempatan meloloskan diri.
“Ho Bing, Tiat-tou, Siang-kim-eng, majulah...! Bantu Bayan Tanu!” Akhirnya Mo Hou berteriak tidak sabar lagi.
Tanpa diulang lagi perintah Mo Hou tersebut segera dilaksanakan oleh Ho Bing dan kawan-kawannya. Ketiganya segera terjun ke arena dengan senjata masing-masing. Begitu masuk mereka segera menyerang Chin Tong Sia tanpa ampun.
Sekarang Chin Tong Sia terpaksa harus bersungguh-sungguh. Sekaligus menghadapi empat orang jago silat berkepandaian tinggi, bukanlah pekerjaan enteng. Meskipun dia telah menguasai hampir seluruh ilmu silat aliran Beng-kauw, namun dia juga merasa bahwa dia belum sampai pada puncaknya.
Sementara itu di pihak lain ternyata Mo Hou sendiri memang bermaksud melihat dan menjajagi ilmu silat Chin Tong Sia. Peristiwa lima tahun lalu di pantai timur Hang-ciu ternyata masih amat membekas di hati Mo Hou. Betapa dahsyatnya ilmu silat Put-pai-siu Hong-jin sehingga dia harus digotong pulang oleh Lok-kui-tin (Barisan Enam Hantu)...