Pedang Naga Kemala Jilid 02 karya Kho Ping Hoo - TENTU saja hati orang tua ini merasa hancur membayangkan betapa terpaksa anaknya yang masih begitu kecil harus melakukan perjalanan sukar seorang diri, bahkan mungkin anaknya mulai sekarang akan hidup sebatang kara di dunia yang kejam ini. Dia sudah mengambil keputusan. Sakitnya takkan sembuh, ini dia dapat merasakan benar. Biarpun tabib itu hendak menyembunyikan kenyataan, dia sendiri dapat merasakan.

Apa lagi dia tidak mempunyai cukup uang untuk biaya pengobatan dirinya sampai sembuh, kalau hal itu mungkin. Dan diapun teringat akan ancaman Ma-Ciangkun yang dia tahu bukan merupakan gertakan kosong belaka. Sekali waktu ancaman perwira gendut itu tentu akan dilaksanakan dan dia tidak ingin puteranya ikut tertangkap nanti.
Ci Kong harus bebas dan satu-satunya jalan hanyalah lebih dulu pergi secara diam-diam dari Tung-kang. Syukur kalau puteranya dapat bertemu dengan Sie Kian, saudara angkatnya di Nan-ning. Andaikata tidak dapat jumpa, setidaknya Ci Kong sudah pergi jauh dari Tung-kang dan aman dari ancaman malapetaka yang datang dari Ciu Wan-gwe dan Ma-Ciangkun.
Kini keputusannya telah tetap. Dia tidak boleh mati konyol begitu saja. Sehari itu, juga pada malam harinya, Tan Siucai tiada hentinya menulis, dengan huruf besar-besar di atas kertas bertumpuk-tumpuk sampai habis kertas-kertasnya baru dia berhenti. Kemudian, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia membawa kertas-kertas itu, berjalan terhuyung-huyung, menuju ke pasar yang berada di tengah-tengah dusun.
Kemudian, di tempat yang belum begitu ramai karena masih amat pagi itu, Tan Siucai menempel-nempelkan semua kertas yang sudah ditulisinya itu di atas papan-papan, pada dinding-dinding toko, pada batang-batang pohon. Tentu saja hal ini menarik perhatian orang dan sebentar saja tempat-tempat itu penuh dengan kerumunan orang dan dapat dibayangkan betapa kagetnya semua orang ketika membaca tulisan-tulisan Tan Siucai.
Mereka saling pandang dan saling bertanya-tanya apakah sasterawan yang mereka hormati dan kagumi tulisannya itu kini sudah menjadi gila! Tulisan-tulisan itu adalah protes-protes terhadap para pejabat, dan protes akan adanya madat yang meracuni bangsanya. Di antaranya terdapat kalimat keras,
“Para pendekar, di mana kegagahan kalian? Apakah kalian membiarkan saja bangsa kita menjadi pemadat-pemadat lemah yang mudah dihina orang?” dan ada lagi kecaman-kecaman keras terhadap para pejabat, “Apakah para pembesar mengorbankan rakyat hanya untuk memenuhi kantong hasil perdagangan candu?”
Dan banyak macam lagi kata-kata yang mengejutkan semua orang karena kata-kata itu jelas merupakan protes keras dan dapat dianggap sebagai mengandung hasutan-hasutan pemberontakan! Banyak orang yang sudah mengenal Tan Siucai memberi nasihat agar sasterawan itu menyingkirkan semua tulisan itu. Akan tetapi hal ini membuat Tan Siucai marah dan dia berkata lantang,
“Kalau bangsa kita sudah begini pengecut, apa yang dapat diharapkan? Anak cucu kita akan menjadi hamba-hamba madat yang hina!” Makin siang, makin banyak orang berkerumun dan tak lama kemudian, tentu saja pembesar setempat mendengarnya dan Tan Siucai ditangkap!
Ketika Ciu Wangwe mendengar akan hal ini, cepat dia menghubungi Ma Cek Lung yang segera mengirim pasukan untuk mengambil alih tawanan dari dusun Tung-kang itu. Sebagai seorang tawanan berat, seorang yang dicap sebagai pemberontak, Tan Siucai lalu dibawa ke Kanton sebagai seorang tawanan yang diborgol kaki tangannya, diperlakukan kasar dan dijaga ketat seolah-olah dia seorang yang amat berbahaya!
Padahal, napas sasterawan itu sudah empas empis dan sukar sekali dia menggerakkan tubuhnya karena tarikan-tarikan dan pukulan-pukulan, serta perlakuan kasar yang didapatnya dari para perajurit ketika dia diseret, membuat luka-luka di tubuhnya semakin parah. Dan apa yang diduga oleh kebanyakan orangpun terjadilah. Tan Siucai meninggal dunia di dalam tahanan tanpa memperoleh kesempatan membela diri di depan pengadilan!
Banyak orang tahu bahwa di balik kematian Tan Siucai ini tentu tersembunyi rahasia. Siapapun maklum akan kelihaian sasterawan itu dalam kesusasteraan dan andaikata sasterawan itu dihadapkan di pengadilan, tentu akan banyak yang dibicarakan, banyak yang akan dibongkarnya mengenai kebejatan-kebejatan yang terjadi. Dan hal itu amatlah berbahaya bagi para pejabat setempat. Lebih aman dan mudah kalau sasterawan yang memang sudah menderita luka dalam yang parah itu mati saja sebagai seorang tahanan.
Pada waktu itu, yang menjadi Kaisar dari kerajaan Ceng-tiauw atau kerajaan Mancu adalah Kaisar Tao Kuang, seorang Kaisar yang tidak berhasil mempertahankan kejayaan Kerajaan Mancu yang selama puluhan tahun dibina oleh mendiang Kaisar Kian Liong sehingga menjadi besar dan kuat.
Semenjak Kaisar Kian Liong meninggal dan singgasana diserahkan kepada Kaisar Cia Cing (1796-1820) sampai kini diduduki Kaisar Tao Kuang, putera Kaisar Cia Cing, Kerajaan Ceng-tiauw terus merosot. Pemberontakan terjadi di mana-mana para pembesar mabok kekayaan dan kedudukan, terjadi perebutan kekuasaan di antara para pembesar, dan penindasan kaum pembesar terhadap rakyat jelata untuk menambah isi gudang kekayaan mereka. Korupsi terjadi di mana-mana.
Di bawah pemerintahan Kaisar Cia Cing setelah Kaisar Kian Liong meninggal, rakyat mulai mengenal madat. Mula-mula madat itu didatangkan oleh para pedagang dari India, karena memang dari sanalah datangnya madat itu. Setelah banyak orang mencobanya dan mulai ketagihan, perdagangan madat ini menjadi semakin subur. Kebutuhan akan madat makin hebat, orang-orang yang ketagihan semakin banyak dan mulailah benda yang amat berbahaya itu mengalir dalam jumlah besar ke Cina.Pada permulaan abad ke sembilan belas itulah, Persatuan Dagang India Timur (East India Company) milik orang-orang Inggris, melihat kesempatan untuk mengeduk keuntungan yang amat besar. Mereka lalu bersekutu dengan para pejabat pemerintah Ceng dan sebentar saja, dengan jalan penyuapan dan penyogokan, kaum pedagang Inggris itu berhasil menguasai seluruh pejabat pemerintah di Kanton, dari gubernurnya sampai kepada perajurit-perajurit petugas keamanan.
Pemerintah Kaisar Tao Kuang sama sekali tidak mengijinkan peredaran madat itu dan mereka sudah tahu akan bahayanya. Akan tetapi, di Kanton terjadi penyelundupan-penyelundupan atau penyuapan-penyuapan dan dengan cara bagaimanapun juga, orang-orang berkulit putih itu berhasil memasukkan madat dalam jumlah yang luar biasa besarnya ke daratan Cina. Melalui madat, kaum kulit putih itu menghisap seluruh kekayaan Cina.
Dan melihat sukses yang diperoleh orang-orang Inggeris, maka bangsa kulit putih lainnya seperti Amerika, Portugis dan Belanda, juga tidak mau tinggal diam dan merekapun mengharapkan bagian sehingga perdagangan madat menjadi semakin ramai. Orang-orang kulit putih itu mengusap-usap perut gendut dan kantong padat, meninggalkan rakyat Cina menjadi kurus kering karena kehabisan kekayaan dan juga karena keracunan madat.
Cerita ini terjadi pada jaman itu, selagi madat merajalela di Cina, dan pusatnya berada di Kanton di mana terdapat banyak kantor-kantor perdagangan orang kulit putih. Tidaklah mengherankan kalau Ciu Lok Tai menjadi kaya raya karena dia merupakan seorang di antara para pedagang madat yang menerima madat dari orang-orang kulit putih. Dan tentu saja dia mempunyai hubungan erat dengan para pejabat, termasuk Ma Cek Lung yang menjadi komandan pasukan keamanan di Kanton.
Dan tidak mengherankan pula kalau Tan Siucai mati di dalam kamar tahanan karena dia berani menyinggung masalah yang amat peka itu, soal peredaran madat yang tentu saja dianggap membahayakan kedudukan para pembesar yang menjadi makmur karena perdagangan madat. Pada waktu itu, orang-orang kulit putih tidak memperoleh kebebasan gerak di daratan Cina. Mereka hanya boleh datang di dua tempat saja.
Yaitu pertama di Makao yang menjadi pusat orang-orang portugis berpangkal, sedangkan kota ke dua adalah Kanton. Agaknya, setelah ribuan tahun lamanya mempunyai pemerintahan feudal dan keluarga Kaisar selalu menganggap derajatnya amat tinggi, jauh lebih tinggi dari derajat manusia biasa, bahkan Kaisar menganggap dirinya sebagai utusan Tuhan.
Maka setelah bangsa kulit putih mulai mengadakan hubungan dengan Cina, Kaisarpun memandang mereka itu atau bangsa-bangsa asing pada umumnya sebagai bangsa biadab. Hal ini mungkin tadinya timbul karena di luar Cina banyak tinggal suku-suku bangsa yang liar dan yang selalu membikin kekacauan, menyerbu ke pedalaman sehingga timbul pandangan bahwa bangsa yang berada di luar Cina adalah bangsa liar atau bangsa biadab.
Pandangan yang besar sekali kemungkinan timbul karena kecongkakan pemerintahannya sebagai akibad sistim perbedaan kelas yang menyolok dari keluarga Kaisar ini kemudian menjalar ke seluruh rakyat sehingga timbul semacam penyakit dalam batin masyarakat Cina untuk menganggap bangsa apapun di luar Cina adalah bangsa biadab.
Kecongkakan dan pemujaan diri sendiri yang berlebihan ini menghancurkan Cina sendiri. Karena congkak, mereka tidak mau tahu bahwa bangsa-bangsa biadab yang mereka pandang rendah itu telah memperoleh kemajuan pesat sekali dan sama sekali tidak dapat dinamakan bangsa yang lebih bodoh, lebih sederhana, atau lebih rendah dari pada mereka. Bahkan untuk mengurus bangsa asingpun oleh pemerintah dinamakan Kantor Urusan Bangsa-bangsa biadab!
Kaisar keturunan Bangsa Mancu, yang sebelum menguasai Cina juga dianggap bangsa biadab oleh pribumi daratan Cina sendiri, agaknya sengaja mengangkat bangsanya agar terlupa bahwa mereka adalah suku bangsa di luar tapal batas Cina dan hendak melebur diri sendiri dengan pribumi. Pemerintah mengadakan peraturan yang amat menghina bangsa asing.
Bangsa asing dari manapun juga yang hendak menghadap Kaisar harus tunggu berbulan lamanya dan diperlakukan sebagai utusan negara yang hendak menyataklan tunduk dan setia kepada Kaisar. Mereka diharuskan menjura dengan hormat kepada Kaisar. Kalau tidak mau melakukan penghormatan ini, mereka tidak akan diterima dan akibatnya mereka tidak boleh berdagang, apa lagi tinggal di Cina.
Pemerintah juga melarang orang-orang asing melakukan perdagangan langsung ke pasar-pasar, melainkan harus berhubungan dengan badan yang ditunjuk pemerintah khusus melayani mereka, dan badan atau orang ini disebut Co-hong. Akibatnya tentu saja ada persekutuan antara orang-orang asing dengan Cohong-cohong ini, yang meluas menjadi kerja sama dengan para pejabat yang menerima suapan.
Pemberontakan yang merajalela di seluruh Tiongkok membuat pemerintah Kaisar Tao kuang menjadi semakin lemah. Sementara itu, orang-orang Eropa yang datang ke daratan Cina bukan lagi perantau-perantau seperti abad-abad yang lalu, melainkan orang-orang yang mewakili negara-negara yang mulai berkembang menjadi negara yang kuat.
Mereka tidak mau direndahkan dan menganggap diri mereka lebih tinggi. Merekalah yang menganggap Bangsa Cina masih terbelakang dan kuno, dan melihat negara dan bangsa itu merupakan makanan empuk dan merupakan pasar yang amat besar untuk menjual barang-barang dagangan mereka. Akan tetapi, pada permulaan abad ke sembilanbelas itu, Cina tidak membutuhkan barang-barang dari Eropa.
Kemudian, setelah orang-orang kulit putih melihat kelemahan rakyat Cina yang mulai ketagihan candu, mereka melihat kesempatan baik sekali untuk mengeduk keuntungan sebesarnya dan mulailah mereka memasukkan madat secara besar-besaran, madat yang mereka datangkan dari India. Dan madat ini, seperti yang digambarkan oleh Tan Siucai, memang benar-benar merupakan malapetaka bagi rakyat Cina.
Dalam waktu beberapa tahun saja, racun itu bukan saja terdapat dalam rumah-rumah madat umum di mana para pecandu boleh membeli dan menghisap madat, akan tetapi juga sudah menyusup ke rumah-rumah para hartawan dan bangsawan, bahkan banyak sekali pendekar-pendekar gagah perkasa tunduk dan lumpuh oleh pengaruh madat, para pejabat juga menjadi hambanya.
Demikianlah gambaran sekilas tentang keadaan di jaman itu dan mari kita ikuti perjalanan Tan Ci Kong, putera tunggal Tan Siucai yang bernasib malang itu. Pesan Ayahnya masih terngiang di telinganya ketika akhirnya dia tiba di tepi sungai Si-kiang, menyusuri tepi sungai sebelah utara menuju ke barat untuk mencari tempat penyeberangan. Air sungai itu penuh dan arusnya deras sekali dan tidak nampak ada perahu disitu.
Di antara pesan Ayahnya yang paling membingungkan adalah "Jangan sekali-kali engkau kembali ke Tung-kang sebelum ada berita dariku. Kelak aku akan menyusulmu ke Nan-ning.” Jadi aku tidak akan melihat dusun tempat kelahiranku lagi, pikir Ci Kong ketika dia berjalan dengan menyusuri sungai.
Melakukan perjalanan di waktu itu tak dapat dibilang aman. Penduduk tidak boleh membawa senjata dan tampa senjata di tangan, tentu saja orang mudah menjadi korban keganasan perampok-perampok yang bersenjata. Akan tetapi, siapakah mau menganggu seorang anak laki-laki kecil, apa lagi kalau dia tidak memakai pakaian bagus dan tidak membekal uang?
Setelah menemukan perahu yang suka membawanya ke seberang dan melanjutkan perjalanannya yang amat melelahkan, berulah seminggu kemudian Ci Kong tiba di kota Nan-ning. Kota ini tidak begitu besar dan tidak sukar bagi Ci Kong untuk menemukan toko obat milik orang yang bernama Sie Kian. Dia tiba di toko itu setelah hari mulai gelap dan toko itu sudah tutup, hanya daun pintunya saja yang masih terbuka.
Sebuah toko sederhana saja, tidak terlalu besar. Ketika Ci Kong mengetuk daun pintu perlahan, muncullah seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih, pakaiannya seperti seorang pelajar dengan lengan baju yang lebar sekali. Biarpun usianya baru lima puluh tahun lebih, akan tetapi kepala orang itu sudah putih, semua rambutnya sudah menjadi uban. Wajahnya juga membayangkan bahwa hidupnya lebih banyak menderita dari pada bersuka ria. Pandang matanya sayu dan gerak geriknya halus.
“Anak baik, apakah engkau hendak membeli obat? Ataukah ada yang sakit?” Tanya Kakek itu denga sikap ramah.
Ci Kong menggeleng kepala. “Tidak, paman, saya mencari seorang paman yang bernama Sie Kian dan kata orang tinggal di toko obat ini.” Ci Kong memandang penuh selidik karena dia sudah menduga bahwa agaknya orang inilah sahabat Ayahnya itu.
“Sie Kian? Ah, aku sendirilah orangnya. Engkau anak kecil ada urusan apakah mencari aku? Dan darimana engkau datang? Nampaknya kau lelah sekali.”
Bukan main girangnya hati Ci Kong ketika orang itu mengaku bernama Sie Kian, orang yang dicarinya. Segera dia menjatuhkan diri berlutut sebagai penghormatan. “Paman Sie Kian, saya datang diutus oleh Ayah saya yang bernama Tan Seng...” katanya dengan suara serak karena hatinya merasa terharu sekali.
Orang itu terbelalak. “Apa? Kau maksudkan Tan Siucai... yang tinggal di Tung-kang?”
“Benar, paman, dan ada surat dari Ayah untuk paman.” Ci Kong menurunkan buntalan pakaiannya dan hendak membukanya.
Akan tetapi Sie Kian menangkap lengannya. “Mari masuk, nak. Kita bicara di dalam saja.”
Ci Kong menurut dan merekapun memasuki rumah itu. Sie Kian menutup daun pintunya dan setelah mereka memasuki rumah itu, baru Ci Kong tahu bahwa laki-laki itu tinggal seorang diri saja dalam rumah ini, bahkan pelayanpun tidak punya. Sie Kian mengajak anak itu duduk menghadapi sebuah meja dan ruangan itu diterangi oleh sebuah lampu yang cukup besar.
“Duduklah. Taruh buntalanmu di atas meja dan keluarkan surat itu. Ingin sekali aku tahu apa isi surat Ayahmu,” kata Sie Kian, masih terheran-heran melihat anak sekecil ini datang sendirian saja dari tempat yang begitu jauhnya.
Hatinya merasa tidak enak. Apakah gerangan yang terjadi dengan diri kakak angkatnya itu? Sudah hampir sepuluh tahun mereka tidak saling mengadakan hubungan dan dia tidak tahu sama sekali bagaimana keadaan sasterawan itu. Setelah dia membaca surat Tan Siucai yang diterimanya dari Ci Kong, wajah orang she Sie itu berobah agak pucat.
“Ah... ahhh...!” berkali-kali dia mengeluh, kemudian dia menyimpan surat itu di saku jubahnya. “Anak baik, namamu Tan Ci Kong?”
“Benar paman.”
“Engkau tinggallah disini bersamaku, engkau bisa membantuku. Besok aku akan menyuruh seorang teman untuk pergi ke dusunmu dan menyelidiki tentang keadaan Ayahmu. Kalau mungkin, aku akan membawa Ayahmu itu ke sini agar dapat kurawat dia sampai sembuh.”
Tentu saja hati anak kecil itu menjadi girang sekali dan diapun cepat menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Sie Kian. “Terima kasih, paman, aku Tan Ci Kong selama hidup tidak akan lupa kepada budi paman ini.”
Sie Kian merangkul anak itu dengan hati terharu dan diam-diam dia merasa kagum. Anak kecil ini bukan hanya tabah dan pemberani sekali, tahan menderita dan dapat melakukan perjalanan demikian jauhnya sendirian saja, akan tetapi juga baik budi dan berkelakuan sopan. Mulai hari itu, Ci Kong membantu paman angkatnya yang tidak mempunyai pelayan.
Dia membersihkan rumah, mencuci pakaian, mencari air, masak nasi dan air, juga belajar membuat masakan dari pamannya. Sementara itu Sie Kiam mengutus seorang teman untuk melakukan penyelidikan ke Tung-kang. Seminggu kemudian, teman itu datang kembali dan menyampaikan kabar yang amat mengejutkan hati Sie Kian, bahwa Tan Siucai telah tewas di dalam tahanan setelah ditangkap karena menempelkan tulisan-tulisan yang dianggap memberontak!
Sie Kian segera menutup tokonya dan membawa Ci Kong ke dalam kamarnya. Di situ dia merangkul anak itu, tak mampu mengeluarkan kata-kata dan orang yang bertubuh agak gemuk pendek dan biasanya amat peramah dan halus budi ini menangis! Ci Kong adalah seorang anak yang amat cerdik. Melihat sikap pamannya, hatinya terasa perih seperti tertusuk.
“Paman Sie Kian, apakah yang telah terjadi dengan Ayahku?”
Mendengar pertanyaan ini Sie Kian makin mengguguk tangisnya dan dia mendekap kepala anak itu di dadanya. Selama ini dia hidup menyepi seorang diri, tanpa sanak tanpa teman, dan segera tiba-tiba dia dipertemukan dengan anak kakak angkatnya ini, akan tetapi ternyata nasib anak ini demikian buruknya.
“Paman. Apakah Ayah... Ayah meninggal dunia?”
Sie Kian terkejut dan memegang kedua pundak kecil itu, melalui air matanya dia memandang wajah itu dengan heran. Ci Kong tidak menangis, akan tetapi kedua matanya juga basah air mata.
“Paman, ketika aku disuruh pergi oleh Ayah, dia terluka parah dan hatiku sudah tidak enak. Sikap Ayah seolah-olah kami tidak akan saling bertemu kembali. Benarkah Ayah meninggal dunia...?”
Sie Kian menelan ludahnya dan mengangguk. Ci Kong menjatuhkan dirinya berlutut, tidak menangis hanya menundukkan mukanya dan hanya beberapa butir air mata yang menuruni kedua pipinya. Anak itu mengepalkedua tangannya yang kecil. Hening sejenak, yang terdengar hanya tarikan napas panjang berkali-kali dari Sie Kian. Kemudian terdengar suara Ci Kong, lirih dan agak gemetar.
“Paman Sie Kian, bagaimanakah meninggalnya Ayahku? Dan siapakah yang mengurus penguburannya?”
Dengan hati-hati dan perlahan-lahan Sie Kian lalu menceritakan apa yang telah didengarnya dari teman yang disuruhnya melakukan penyelidikan ke Tung-kang itu, betapa Ayah anak itu dalam keadaan sakit menempelkan tulisan-tulisan yang menentang madat dan mengutuk para pembesar dan pedagang madat, sehingga dia dianggap pemberontak, ditangkap dan karena keadaannya memang payah, dia meninggal dalam tahanan.
“Ayahmu sungguh keras hati dan nekat,” Sie Kian berkata, “Dalam keadaan masih sakit berat, dia bahkan berani bertindak demikian jauh sehingga menimbulkan keributan. Mungkin ketika ditangkap, dia berada dalam keadaan yang sudah menghebat sakitnya akibat luka-lukanya dan dia meninggal di dalam kamar tahanan.”
“Ayah hebat!” Tiba-tiba Ci Kong berkata sambil mengepal tinju. “Biarpun lemah dan sakit, Ayah berani menentang apa yang dianggapnya tidak benar, kalau sudah besar, akupun ingin seperti Ayah!”
Sie Kian memandang kagum dan tiba-tiba ada sebuah pikiran menyelinap di benaknya. “Ci Kong, dengar baik-baik. Peristiwa kematian Ayahmu ini mendorongku untuk segera membawamu pergi ke suatu tempat. Engkau tidak bisa tinggal terus disini...!”
Ci Kong mengerutkan alisnya, menatap wajah Sie Kian dengan pandang mata tajam penuh selidik. “Apakah paman takut terlibat dan menerima akibat buruk dari urusan keluarga Ayah? Kalau begitu, biarlah aku pergi dari sini agar paman tidak sampai tersangkut.”
Sie Kian merangkul pundak anak itu. “Jangan salah sangka, anak baik. Dengarlah. Ayahmu dimusuhi oleh pemerintah, dan dicap pemberontak. Hal ini amat berbahaya bagimu. Kalau mereka tahu bahwa Ayahmu mempunyai seorang putera, tentu mereka akan mencarimu dan kalau sampai ketahuan engkau disini, bagaimana aku akan dapat melindungimu? Karena itu, engkau harus disingkirkan dan diselamatkan, disembunyikan dari mereka. Dan ke dua, engkau tadi mengatakan bahwa engkau ingin segagah Ayahmu, bukan? Akan tetapi, bagaimana engkau dapat berhasil melakukan kegagahan kalau tubuhmu lemah seperti Ayahmu? Engkau harus menjadi seorang yang berbeda dengan Ayahmu yang hanya pandai menulis itu. Engkau harus menjadi seorang ahli silat yang pandai dan kuat.”
Ci Kong yang masih kecil itu dapat menangkap apa yang dimaksudkan pamannya dan dia mengangguk-angguk. “Lalu apa yang akan paman lakukan?”
“Aku akan mengantarmu ke sebuah kuil. Kepala kuil itu adalah seorang Hwesio tua yang berilmu tinggi. Aku mengenalnya dengan baik karena diantara kami terdapat kecocokan, yaitu kami sama-sama penentang pemerintah penjajah Mancu. Di sana engkau akan lebih terlindung, juga tersembunyi. Engkau dapat belajar ilmu dari Hwesio itu dan membantu pekerjaan di kuil. Setujukah engkau, Ci Kong?”
Anak itu mengangguk. Dan pada hari itu juga Ci Kong dibawa oleh Sie Kian pergi ke sebuah kuil tua yang besar. Kuil itu berada di lereng dekat puncak sebuah bukit, di sebelah utara kota Nan-ning, dua hari perjalanan dari kota itu. Dari bukit inilah mengalirnya sungai Si-kang ke timur.
Ketua kuil itu bernama Nam San Losu, seorang penganut agama Budha yang taat, berusia enam puluh tahun lebih namun tubuhnya tinggi besar masih nampak kokoh kuat dan dengan wajahnya yang hitam dan kasar dia kelihatan seperti seorang yang berhati keras. Akan tetapi sesungguhnya tidak demikian karena Nam San Losu memiliki watak yang lembut, halus tutur sapanya dan halus gerak geriknya walaupun dalam setiap gerakannya itu tenaga yang amat kuat.
Dengan sabar Nam San Losu mendengarkan penuturan Sie Kian yang sudah lama menjadi sahabatnya karena keduannya suka bertukar pikiran tentang ilmu pengobatan, dan setelah Sie Kian selesai bercerita, Kakek kepala gundul itu menarik napas panjang dan memandang kepada Ci Kong.
“Omitohud...! Pinceng sendiri prihatin melihat betapa makin banyak rakyat yang menjadi korban madat. Kalau saja semua orang yang pandai memiliki kebijaksanaan seperti Tan Siucai, tentu pengaruh madat itu akan dapat ditentang dan ditolak.” Kemudian dia bertanya kepada Ci Kong, “Anak baik, siapakah namamu?”
“Namaku Tan Ci Kong, losuhu.”
“Engkau tidak lagi mempunyai sanak keluarga di dunia ini?”
“Tidak, kecuali paman Sie Kian seorang.”
“Pamanmu hendak menitipkan engkau disini, apakah engkau suka?”
Ci Kong mengangguk tampa menjawab, akan tetapi sinar matanya yang tajam berseri itu menunjukkan bahwa dia menyukai tempat sunyi yang berhawa sejuk itu.
“Ci Kong, tempat ini adalah sebuah kuil dan hanya orang-orang yang telah bersumpah mengabdikan dirinya kepada agama saja dan menjadi Hwesio yang tinggal disini. Pinceng tinggal disini bersama lima orang Hwesio yang menjadi murid pinceng. Akan tetapi kulihat engkau tidak mempunyai bakat untuk menjadi pendeta. Satu-satunya jalan agar engkau dapat tinggal disini untuk sementara waktu hanyalah menjadi muridku, bukan murid agama melainkan murid ilmu silat. Bagaimana?”
Ci Kong memang cerdik. Sebelumnya dia sudah mendengar penuturan Sie Kian tentang Hwesio tua ini, maka mendengar ucapan itu diapun segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Hwesio itu. “Teecu suka sekali menjadi murid Suhu dan akan mentaati segala petunjuk dan perintah suhu.”
Hwesio itu tersenyum dan saling bertukar pandang dengan Sie Kian yang menganggukangguk girang dan kagum. “Selain mempelajari ilmu silat, karena kau putera seorang siucai, engkaupun harus mempelajari ilmu sastera dan pinceng akan memimpinmu sedapat mungkin. Akan tetapi, di waktu tidak belajar engkau harus bekerja keras membantu para suhengmu di kuil ini.”
“Teecu akan mentaatinya!”
Demikianlah, mulai hari itu, Sie Kian meninggalkan Ci Kong di kuil tua dan anak itu menjadi murid Nam San Losu, Hwesio tua yang hidup seperti pertapa di dekat puncak bukit sunyi itu. Dia belajar ilmu silat dan sastera kepada Hwesio itu, dan bergaul dengan akrabnya dengan para suhengnya yang menjadi Hwesio-Hwesio berusia antara empat puluh sampai lima puluh tahun.
Anak ini rajin sekali, tidak pernah bermalas-malasan sehingga bukan saja Nam San Losu suka kepadanya, juga lima orang Hwesio lainnya menjadi sayang kepadanya. Untunglah bagi Ci Kong karena Nam San Losu adalah seorang ahli silat dari Siauw-lim-pai dan betapapun beratnya gemblengan yang dilakukan Nam San Losu terhadap dirinya, dia terima dengan segala keikhlasan hati dan dia belajar tanpa mengenal lelah.
Malam yang gelap di kota Kanton. Kota ini menjadi sebuah kota yang ramai dan mewah setelah kota itu ditentukan untuk menjadi kota perdagangan dengan orang-orang berkulit putih. Kota inilah, disamping kota Makao, yang menampung penyelundupan candu dan di kedua kota ini rakyat dapat melihat orang-orang berkulit putih yang kalau masuk ke pedalaman, tentu akan menimbulkan perasaan heran bukan main karena kulit mereka yang putih, rambut dan bola mata mereka yang berwarna.
Malam itu gelap, kecuali rumah-rumah besar para pedagang kaya yang sekelilingnya digantungi lampu-lampu minyak yang besar dan yang sinarnya mendatangkan penerangan sekedarnya di jalan-jalan depan rumah-rumah gedung itu. Rumah berpintu merah itu amat dikenal oleh mereka yang suka melacur dan mereka yang suka menghisap madat. Di dalam rumah itu laki-laki iseng dapat menghamburkan uangnya untuk pelacur ataupun untuk menghisap madat.
Memang dua kebiasaan ini berdekatan selalu. Kalau malam tiba, terdengar suara cekikikan ketawa wanita menyelinap keluar melalui jendela kamar-kamar itu bersama keluarnya asap tipis berbau madat yang memuakkan bagi mereka yang tidak biasa. Akan tetapi merupakan asap ajaib yang dapat mendatangkan kenikmatan tanpa batas bagi mereka yang telah mencandu.
Orang-orang yang tidak punya uang jangan harap dapat memasuki rumah berpintu merah ini, karena selain madat mahal harganya, juga para pelacur yang berkumpul disitu, yang jumlahnya belasan orang, terdiri dari pelacur-pelacur kelas mahal.
Seorang laki-laki tinggi kurus yang mukanya pucat kehijauan keluar dari dalam kamar yang bau pengap oleh asap madat dan dengan langkah terhuyung akan tetapi kedua kakinya bergerak ringan dia berjalan ke ruangan depan. Sebuah buntalan kuning digendongnya di belakang punggung dan wajah si muka kehijauan ini nampak senyum penuh kepuasan seperti biasa senyum laki-laki yang meninggalkan kamar madat itu.
“Hai, A-Ceng! kau hendak kemana? Malam belum larut dan kau sudah mau pergi?”
Tegur seorang laki-laki gendut yang sedang memangku seorang pelacur dan bergurau dengan teman-temannya yang masing-masing dikawani seorang pelacur pula. Mereka, empat orang itu, duduk menghadapi arak mengelilingi sebuah meja bundar dan agaknya mereka ini lebih suka minum-minum di situ ditemani pelacur dari pada menghisap madat atau melacur di dalam kamar. Atau mungkin juga mereka tadi sudah puas menghisap madat.
Laki-laki kurus bermuka hijau itu menoleh dan tersenyum ketika melihat mereka berempat. Hanya si gendut itu saja yang dikenalnya, yang lainnya tidak. Kenalpun hanya selewat dengan si gendut karena si gendut itu adalah seorang tukang pukul yang melindungi tempat pelacuran dan pemadatan itu. Secara sambil lalu dia berkenalan dengan si gendut.
Bahkan secara sembarangan dia memperkenalkan diri dengan nama palsu A Ceng, dan si gendut itu memperkenalkan namanya pula yang tidak diingatnya lagi, akan tetapi dia teringat akan julukan yang diperkenalkan dengan bangga oleh si gendut, yaitu “Si Kaki Besi.” Orang bermuka kehijauan yang mengaku bernama A Ceng itu melambaikan tangan sebagai balasan salam.
“Aku sudah puas menghisap, dan ada keperluan penting. Besok aku dating lagi!” A Ceng melanjutkan langkahnya keluar dari rumah berpintu merah itu.
Si Kaki Besi memberi syarat kepada tiga orang kawannya. Merekapun segera meninggalkan pelacur-pelacur itu dan dengan berindap-indap mereka berempat keluar pula dari tempat itu melalui pintu samping, dengan sikap yang amat mencurigakan. Empat orang wanita pelacur itu saling pandang dengan heran akan tetapi seperti biasa, mereka tidak perduli dan segera memperbaiki muka dan rambut mereka dengan bedak, pemerah bibir dan sisir untuk menanti datangnya lain tamu iseng.
Malam masih terlalu panjang bagi mereka ini. A Ceng berjalan menyelinap di antara rumah-rumah penduduk dan tiba-tiba dia berhenti di dekat tempat terbuka yang sunyi, memandang ke kanan kiri dan belakang karena dia seperti mendengar suara yang mencurigakan. Dari sikapnya yang penuh curiga dan waspada, dapat diduga bahwa dia tidak sedang berjalan-jalan biasa melainkan ada suatu urusan penting yang sedang dikerjakannya.
Tiba-tiba nampak empat bayangan orang berloncatan dan si gendut yang berjuluk Si Kaki Besi, tukang pukul rumah pelacuran dan pemadatan Pintu Merah telah berada di depan A Ceng, bersama tiga orang kawannya yang tadi minum-minum dengannya. Melihat si gendut, wajah A Ceng yang tadinya terkejut nampak lega.
“Ah, kiranya engkau, Toako! Ada apakah menyusulku? Aku tidak meninggalkan hutang di rumah Pintu Merah.”
Si gendut menyeringai. “Hemm, engkau membawa bungkusan dari rumah itu. Aku harus memeriksanya dulu, sobat, apa isi bungkusan itu.”
Wajah yang kehijauan itu berobah pucat dan matanya terbelalak. “Aku tidak mengambil apa-apa, tidak mencuri apa-apa. Ini adalah barang ku sendiri!”
“Heh, mana aku tahu kalau belum kulihat isi buntalan itu?” hardik si gendut dan dengan sikap mengancam dia mendekati A Ceng, diikuti tiga orang temannya yang jelas memperlihatkan sikap mengurung dan mengancam.
“Toako, sekali lagi kuperingatkan bahwa aku tidak mencuri apa-apa dan ketika memasuki rumah Pintu Merah aku sudah membawa barangku ini.” Bantah pula orang yang mengaku bernama A Ceng.
“Ha-ha! kau kira kami orang-orang bodoh atau buta? Engkau bukan bernama A Ceng, melainkan she Phek, seorang buaya darat dari sebelah utara Kanton. Engkau mengaku bernama A Ceng dan engkau membawa barang yang selalu kau rahasiakan. Hayo buka dan perlihatkan kepada kami!”
“Baiklah..., baiklah...!” kata A Ceng dan diapun menurunkan buntalannya dari gendongan dan meletakkannya di atas tanah. Ketika dia membuka buntalan itu perlahan-lahan.
Empat orang itu membungkuk di sekelilingnya karena mereka ingin melihat lebih jelas apa isi bungkusan itu dan tempat itu hanya mendapat penerangan sedikit saja dari lampu yang tergantung di rumah agak jauh dari tempat itu. Dengan perlahan-lahan dan sikap tenang sekali A Ceng membuka buntalan kain kuning itu dan tiba-tiba dia mengeluarkan bentakan nyaring, kedua tangannya bergerak ke atas.
Sinar-sinar hitam menyambar ke empat penjuru dan Si Kaki Besi bersama tiga orang kawannya berteriak kesakitan sambil menutupi kedua mata dengan tangan, menggosok-gosoknya karena mata mereka disambar pasir yang dilemparkan dengan tiba-tiba oleh A Ceng tadi. A Ceng tidak membuang waktu lagi. Melihat betapa empat orang itu kebingungan menggosok-gosok mata dengan kedua tangan, diapun cepat meloncat berdiri dan membagi-bagi pukulan dan tendangan yang dilakukan penuh pengarahan tenaga sinkangnya.
“Bukk...! Dess...! Kekkk...!”
Tiga orang teman Si Kaki Besi terjungkal ketika dua pukulan mengenai lambung dan sebuah tendangan mengenai selakangan. Mereka roboh dan munta darah, lalu pingsan. A Ceng mendesak terus, kini menyerang Si Kaki Besi dengan pukulan maut kearah leher. Akan tetapi Si Kaki Besi agaknya lebih pandai dari pada kawan-kawannya. Dia dapat mendengar angin tendangan itu dan cepat meloncat ke belakang.
Ketika dia mendengar gerakan A Ceng menyerbu ke depan, cepat dia menggerakkan kedua kakinya bergantian dan memang Si Kaki Besi ini tidak sia-sia saja mempunyai julukan itu. Kedua kakinya dapat melakukan tendangan berantai yang amat cepat dan amat kuat sehingga biarpun A Ceng yang menjadi kaget cepat mengelak ke samping, tetap saja sebuah tendangan menyerempet pahanya dan diapun roboh terguling.
Akan tetapi tendangan itu tidak tepat sekali dan A Ceng bergulingan menjauh sehingga tendangan-tendangan berikutnya yang dilakukan ngawur itu tidak mengenai sasaran. Sayang bagi Si Kaki Besi bahwa dia belum dapat membuka kedua matanya yang masih terasa pedas dan perih terkena pasir yang tadi disambitkan A Ceng. Maka kini dia hanya menyerang dengan ngawur, mengandalkan pendengarannya saja.
Sementara itu A Ceng atau yang lebih tepat sebenarnya bernama Phek Kiat itu, sudah meloncat lagi dan menjadi marah sekali. Lawannya yang sudah tak mampu membuka mata itu masih dapat menendangnya sehingga hampir saja dia celaka. Dengan cepat dan kuat dia lalu menyerang dari samping. Si Kaki Besi mendengar angin serangan ini dan berusaha menangkis, akan tetapi tangkisannya luput dan sebuah pukulan yang keras mengenai lambungnya.
“Bukk...!” Tubuh yang gendut itu terpelanting. Sebelum dia dapat bangkit, sebuah tendangan mengenai dadanya dan kembali dia terjengkang. Phek Kiat tidak memberi kesempatan lagi kepadanya dan menghujankan pukulan dan tendangan. Sebuah tendangan yang tepat mengenai tengkuk membuat Si Kaki Besi itu roboh terkulai dan tidak mampu bergerak lagi.
Melihat empat orang lawannya sudah menggeletak tak berkutik lagi, si muka hijau itu menyeringai puas dan kini nampaklah bentuk mukanya yang kejam, sinar matanya yang licik dan senyumnya yang menyeramkan. Diperbaiki lagi buntalannya dan diapun cepat meninggalkan tempat itu. Peristiwa itu terjadi amat cepatnya, di tempat sunyi dan gelap sehingga terjadi tanpa diketahui orang lain. Akan tetapi agaknya tidak demikian.
Ketika A Ceng atau Phek Kiat meninggalkan tempat itu dengan berlari cepat dan ringan, sesosok bayangan berkelebat dan terus membayangi orang bermuka kehijauan itu. Bayangan ini memiliki gerakan yang amat cepat dan ringan sehingga langkah kakinya ketika berlari tidak menimbulkan suara apapun. Namun, Phek Kiat agaknya merasa sesuatu yang tidak enak maka beberapa kali dia menoleh dengan tiba-tiba.
Hebat sekali gerakan bayangan itu. Begitu Phek Kiat menoleh, dia sudah menyelinap dengan kecepatan seperti terbang dan setiap kali Phek Kiat menengok, dia tidak melihat apa-apa karena bayangan itu telah bersembunyi di balik pohon atau dinding rumah. Phek Kiat melanjutkan larinya menuju ke pinggir kota yang sepi dan di bagian ini tidak ada rumahnya karena daerahnya terdapat banyak rawa dan sawah. Phek Kiat tiba di atas sebuah jembatan yang tua.
Sunyi dan gelap di tempat ini, hanya diterangi bintang-bintang yang memenuhi langit. Dan begitu tiba di tempat itu, Phek Kiat bersuit perlahan. Tak lama kemudian suitan itu dibalas orang dan muncullah seorang laki-laki dari bawah jembatan. Agaknya sejak tadi dia sudah menanti di situ dan seperti juga Phek Kiat, orang itu juga membawa sebuah buntalan hitam.
“Sin-touw (Maling Sakti), engkau sudah di sini pula? Bagus!” kata Phek Kiat dengan hati lega dan girang, apa lagi melihat betapa orang berpakaian hitam-hitam itu memondong sebuah buntalan hitam yang bentuknya persegi panjang.
“Phek Kiat, aku belum pernah melanggar janji. Engkau... sudah membawa... itu…?” tanya si baju hitam yang disebut Maling Sakti itu dengan suara agak gugup, lalu menoleh ke kanan kiri seolah-olah merasa takut kalau-kalau pembicaraan mereka dilihat atau didengar orang lain. Akan tetapi tempat itu sunyi, tidak nampak sesuatu selain berkelap-kelipnya bintang-bintang di langit dan tidak terdengar sesuatu kecuali kerik jengkerik di sawah-sawah kering.
“Ha, jangan khawatir, sobat. Akupun bukan orang yang suka melanggar janji. Nih, sudah kubawa, lengkap seperti yang kau minta. Tiga puluh kati, sedikitpun tidak kurang, barang murni tidak campuran pula.” Phek Kiat menunjuk bungkusannya.
“Sobat Phek, tolong, beri aku sedikit dulu, sudah tiga hari aku tidak mengisap, badanku sakit semua rasanya, tolonglah... kau tentu membawa yang sudah dicampur tembakau, bukan?” Si baju hitam itu mengeluarkan sebuah pipa cangklong kecil dari balik bajunya, pipa yang biasanya dia pakai untuk menghisap madat. Kedua tangannya gemetar ketika dia mengeluarkan pipa itu.
Melihat ini, Phek Kiat tersenyum dan matanya bersinar aneh. “Tentu saja, Sin-touw. Akan tetapi sejak tadi sudah ingin sekali melihat benda itu. Berilah aku lihat sebentar saja, dan aku akan memberi madat sampai engkau dapat menghisap sepuasmu. Coba buka dan perlihatkan padaku benda itu,” kata Phek Kiat sambil memandang ke arah buntalan kain hitam yang persegi panjang itu.
Maling Sakti itu agaknya sudah percaya benar kepada Phek Kiat, atau memang dia sudah amat ketagihan candu, maka diapun segera membuka buntalan kain hitam dan nampaklah sebuah peti hitam pula. Dibukanya tutup peti itu dengan sebuah kunci dan begitu tutup peti itu terbuka, nampaklah sebuah benda berkilauan, benda yang berwarna hijau kemerahan, berbentuk sebatang pedang kecil berukir tubuh naga dan benda itu terbuat dari batu giok yang luar biasa indahnya!
Sepasang mata Phek Kiat terbelalak penuh kagum. Sungguh selama ini tidak pernah dia dapat membayangkan akan dapat melihat benda pusaka ini, bukan hanya melihatnya, bahkan sebentar lagi benda itu akan menjadi miliknya! “Giok-liong-kiam...!” bisiknya.
“Ya, Giok-liong-kiam...!” kata pula Sin-touw dengan suara penuh kebanggaan.
Siapa yang takkan merasa bangga telah berhasil mencuri sebuah benda keramat, pusaka yang dikagumi dan diinginkan oleh seluruh tokoh besar dunia persilatan? Hanya dialah yang mampu dan julukannya Sin-touw kiranya pantas diabadikan karena dia telah berhasil memiliki benda pusaka ini. Akan tetapi semenjak dia berhasil mencuri benda pusaka ini kurang lebih setengah tahun yang lalu, hidupnya menjadi sengsara! Dia harus melarikan diri terus dan selalu bersembunyi, tidak pernah berani muncul di siang hari.
Keselamatannya terancam karena banyak sekali orang pandai mencarinya, begitu terdengar berita di dunia kang-ouw bahwa pusaka Giok-liong-kiam lenyap dari ketua perkumpulan Thian-te-pai (Perkumpulan Langit Bumi)! Bukan hanya jagoan-jagoan Thian-te-pai yang mencari jejaknya, bahkan tokoh-tokoh besar dari semua golongan juga mencari maling yang telah melarikan pusaka itu. Bahkan juga dari istana muncul jagoan-jagoan yang berkeliaran mencari pusaka itu. Seolah-olah terjadi perlumbaan untuk memperebutkan benda pusaka itu.
Setelah kini benda pusaka itu bukan lagi menjadi pusaka Thian-te-pai, karena sudah berhasil dicuri orang, maka semua golongan mencarinya dan kini siapa yang berhasil merampasnya dari si pencuri, berarti berhak untuk memiliki pusaka keramat Giok-liong-kiam atau Pedang Naga Kemala. Inilah sebabnya maka Sin-touw yang merasa hidupnya terancam, ketika bertemu dengan Phek-Kiat yang sudah lama dikenalnya sebagai seorang penjahat yang cerdik dan licik, dia mengadakan perjanjian dengan orang itu.
Dia yang sudah ketagihan candu, setuju untuk menukarkan benda pusaka itu dengan tiga puluh kati madat murni. Tiga puluh kati! Jumlah yang tidak sedikit dan mahal sekali harganya. Dan bukan itu saja. Juga Phek Kiat berjanji untuk mencukupi semua kebutuhannya akan madat kalau yang tiga puluh kati itu sudah habis. Berarti selama hidupnya dia tidak akan kekurangan candu.
Kesenangannya terpenuhi, keselamatannya tidak terancam lagi dan selain itu, yang lebih penting lagi, dia tahu di mana adanya pusaka itu. Dia seperti menitipkannya saja kepada Phek Kiat, mengalihkan bahaya yang mengancam kepada orang she Phek itu. Dan kalau sewaktu-waktu dia hendak mengambil kembali benda pusaka itu, apa sukarnya baginya untuk mencari Phek Kiat?
Bahkan, kalau keadaan memaksa, dia dapat menjual orang itu kepada tokoh pandai yang mengejar, dan untuk keterangan bahwa dia tahu dimana adanya benda pusaka itu, tentu dia akan memperoleh hadiah yang amat besar pula. Dia harus dapat mengeduk keuntungan sebanyaknya dari Giok liong-kiam tanpa membahayakan keselamatan diri sendiri.
Sin-touw menutupkan kembali peti hitam itu dan lenyaplah sinar berkilauan hijau tadi. Dan kembali dia menyodorkan pipa cangklong tembakau kepada Phek Kiat. “Nah, sekarang isilah cangklong agar aku dapat menghisapnya dulu barang beberapa kali sedotan.”
“Baiklah, sobat, baiklah,” kata Phek Kiat yang segera mengeluarkan sebuah kantong dari saku bajunya. Kantong itu dibuka dan dia mengambil atau menjumput tembakau madat dengan tiga buah jari tangannya, lalu mengisi mulut pipa cangklong itu dengan tembakau sampai penuh padat. Akan tetapi, tiba-tiba sekali Sin-touw yang sejak tadi sudah menempelkan mulutnya pada ujung pipanya, mengerahkan tenaganya meniup.
“Srrrr...!“ Sebatang jarum hitam halus menyambar dari sebuah lubang rahasia di bawah cangklong dan karena jaraknya amat dekat, jarum yang tiba-tiba meluncur itu dengan tepat sekali mengenai tenggorokan Phek Kiat yang sama sekali tidak menduganya dan tidak mempunyai kesempatan untuk mengelak. Tahu-tahu jarum itu telah menusuk tenggorokannya. Dia terkejut dan merasa tenggorokannya panas dan perih sekali. Dia terbelalak memandang pencuri itu.
“Keparat...! kau... kau...!” Dia menerjang ke depan, mengerahkan seluruh tenaganya untuk menghantam. Akan tetapi, Sin-touw sudah bersiap siaga, sekali menggerakkan kakinya dia sudah meloncat jauh ke belakang sehingga tubrukan A Ceng atau Phek Kiat mengenai tempat kosong dan tubuh itupun terguling.
Phek Kiat bukanlah seorang lemah, akan tetapi jarum yang menancap hampir seluruhnya ke dalam tenggorokannya itu bukan jarum sembarangan, melainkan jarum yang mengandung racun amat keras sehingga begitu tempat yang lemah itu tertusuk, racun dalam jarum itu sudah terbawa oleh darah dan menjalar amat cepatnya. Leher itu seketika menjadi bengkak dan Phek Kiat merasa kepalanya pening berputar sehingga dia roboh dan berkelojotan. Sin-touw tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha..., baru engkau tahu akan kelihaian Sin-touw, ha-ha-ha!” Dia merasa girang sekali. Akal ini baru diperolehnya tadi ketika dia menanti munculnya Phek Kiat di bawah jembatan.
Dia teringat bahwa Phek Kiat adalah seorang penjahat yang amat licin dan keji dan mulailah dia merasa menyesal mengapa dia memilih Phek Kiat sebagai orang yang akan menyimpan Giok-liong-kiam. Bagaimana kalau kelak dia ditipunya? Bagaimana kalau Phek Kiat di luar tahunya menjual pusaka itu dengan harga yang amat tinggi, beberapa kali lipat dari sekedar tiga puluh kati candu?
Dan hal ini amat boleh jadi mengingat bahwa Phek Kiat adalah seorang yang berwatak rendah. Lebih baik mencari orang lain yang lebih dapat dipercaya, demikian timbul pikirannya dan diapun mencari akal untuk membatalkan jual beli itu dengan membunuh Phek Kiat. Dan candu tiga puluh kati itu akan menjadi miliknya, dengan gratis karena pusaka Giok-liong-kiam masih akan tetap berada padanya.
“Ha-ha-ha-ha!” Si Maling Sakti tertawa lagi, lalu merenggut buntalan dari pundak tubuh Phek Kiat yang sudah kaku tak bergerak lagi. Dibukanya buntalan itu dan ketika dia melihat candu sebanyak itu, kembali dia tertawa girang. “Aku harus memberi selamat kepada diri sendiri dengan mengisap sepuasnya!”
Dia lalu menyeret tubuh tubuh Phek Kiat yang sudah tidak bernyawa itu ke bawah jembatan. Kemudian diapun mengikat dua bungkusan itu menjadi satu dan menggendongnya di punggung. Setelah duduk di dekat mayat Phek Kiat, dia lalu menyalakan tembakau di mulut pipa cangklongnya dan mulailah dia mengisap tembakau madat. Wajahnya berseri gembira dan matanya terpejam ketika dia menyedot asap candu itu sampai memenuhi paru-parunya. Terasa nikmat sekali dan dia menghisap terus-menerus dan sambung-menyambung.
Akan tetapi tiba-tiba dia tersentak kaget, pipa cangklong itu dibuangnya dan diapun meloncat bangun, menekan dadanya. Akan tetapi, dia terguling roboh dan muntah-muntah, kedua tangannya mencengkeram ke arah dadanya dan ditarik-tariknya bajunya sehingga robek-robek. Mukanya kini berobah kehitaman, tidak lagi berseri-seri melainkan penuh ketakutan dan kemarahan.
“Celaka...! Jahanam keparat...!” Dia memaki dan dengan marah dia menendang mayat Phek Kiat.
Akan tetapi baru dua kali dia menendang, tubuhnya terguling dan berkelojotan dan tak lama kemudian nyawanya menyusul Phek Kiat. Kiranya tembakau madat yang oleh Phek Kiat dimasukkan ke dalam pipa cangklong itu bukanlah tembakau biasa, melainkan tembakau madat yang sudah dicampuri racun yang jahat sekali. Baru menyedot satu kali saja sudah cukup untuk membunuh orang, apa lagi Sin-touw yang menghisapnya berkali-kali sampai paru-parunya penuh!
Setelah tubuh Sin-touw tidak bergerak lagi, mencullah sesosok bayangan hitam yang gerakkannya gesit. Dia meloncat turun ke bawah jembatan, sejenak berdiri memandang dua mayat itu dan dia tertawa terkekeh. Suara ketawanya aneh menyeramkan, seperti ringkik kuda dan perutnya yang gendut bergoyang-goyang.
“Manusia-manusia hina, kalian memang tidak pantas untuk hidup lebih lama lagi di dunia ini. Orang-orang macam kalian mana pantas menjamah Giol-liong-kiam?”
Dia lalu menggerakkan tangannya dan tahu-tahu buntalan kain hitam persegi panjang itu sudah direngutnya dari punggung mayat Sin-touw. Dibukanya buntalan itu dan ketika dia membuka tutup peti, matanya bersinar-sinar melihat pedang kemala yang berkilauan kehijauan itu. Ditutupnya kembali peti itu dan tiba-tiba dia memandang ke kanan kiri seperti orang khwatir. Hati siapakah yang tidak merasa gelisah setelah berhasil memperoleh Giok-liong-kiam?
Benda pusaka ini diinginkan oleh semua orang di dunia persilatan, baik dari golongan sesat maupun para pendekar. Bahkan orang-orang dari istana juga menginginkannya. Belum lagi diingat orang-orang dari Thian-te-pai yang ingin merampas kembali benda pusaka perkumpulan mereka. Para tokoh dunia persilatan, baik dari golongan hitam maupun golongan pendekar, ingin menguasai Giok-liong-kiam karena benda pusaka ini menjadi lambang dari keunggulan seseorang, menjadi bukti ketinggian tingkat kepandaiannya.
Dan bahkan sebelum benda itu terjatuh ke tangan Thian-te-pay, pernah Giok-liong-kiam dianjurkan oleh para datuk persilatan untuk menjadi tanda kuasa seseorang Bu-Lim Beng-cu (Ketua Dunia Persilatan) yang diakui oleh semua orang di dunia kang-ouw! Ada pula golongan sesat yang menginginkan benda itu bukan karena kekeramatannya, melainkan karena harganya.
Benda itu amat berharga karena selain batu kemala hijau kemerahan itu merupakan kemala pilihan yang sukar didapatkan di dunia ini, juga ukir-ukiran berbentuk pedang naga itu amat halus dan indahnya, kabarnya dilakukan oleh seorang ahli ukir di jaman Dinasti Tang, ahli ukir dari istana yang kenamaan, seribu tahun yang lalu. Sukar dinilai berapa harganya benda itu dan agaknya orang-orang yang kaya raya akan berlumba membelinya dengan harga yang paling tinggi sekalipun!
Tidaklah mengherankan kalau terjadi pembunuhan-pembunuhan keji semenjak orang tahu bahwa A Ceng atau Phek Kiat sedang melakukan urusan yang ada kaitannya dengan Giok-liong-kiam. Mula-mula dengan matinya Si Kaki Besi dan tiga orang kawannya yang hendak merampas tiga puluh kati madat dari tangan Phek Kiat, kemudian kematian Phek Kiat dan Sin-touw yang saling membunuh untuk memperebutkan Giok-liong-kiam dan madat yang banyak itu.
Dan kini, si Gendut berpakaian serba hitam itu dengan jantung berdebar penuh ketegangan menggendong Giol-liong-kiam baik-baik dan merasa cemas. Akan tetapi diapun lalu mengambil buntalan madat karena madat sebanyak tiga puluh kati itu merupakan harta yang amat banyak pula. Sambil menyeringai puas dan girang si gendut berpakaian hitam itu melompat ke luar dari bawah jembatan.
Setelah merasa yakin bahwa tempat itu sunyi dan tidak ada orang lain kecuali dia yang menyaksikan perkelahian antara Phek Kiat dan Sin- touw yang mengakibatkan keduanya tewas itu. Setelah kedua kakinya dengan ringan sekali hinggap di atas jembatan, dia celingukan lagi dan makin legalah hatinya ketika melihat kesunyian sekeliling jembatan itu.
Malam itu juga dia harus dapat keluar dari kota Kanton, pikirnya. Dia tidak akan merasa aman sebelum meninggalkan Kanton. Dengan kepandaiannya yang tinggi, si gendut baju hitam itu dapat lolos dari kota dengan jalan melompati pagar tembok kota di bagian yang sunyi tidak terjaga. Setelah meloncat ke luar dari tembok, dia lalu mempercepat gerakan kakinya, berlari seperti terbang menuju ke utara.
Tujuannya adalah ke kota Sau-koan di mana dia mempunyai seorang sahabat yang dapat dimintai tolong agar membantunya menyembunyikan diri untuk sementara. Menjelang pagi, selagi dia menuruni sebuah bukit kecil, tiba-tiba dia mendengar derap kaki kuda dari belakang. Dia terkejut sekali. Akan tetapi setelah dia mendengarkan dengan teliti dan ternyata yang datang dari belakang itu hanya seekor kuda saja, hatinya menjadi tenang.
Kalau hanya menghadapi seorang lawan saja, dia tidak takut. Apa lagi yang datang dari belakang itu belum tentu seorang musuh, mungkin sekali hanya orang yang kebetulan lewat saja. Karena itu, setelah mempererat gendongannya, dia melanjutkan perjalanan dengan jalan seenaknya agar tidak menimbulkan kecurigaan. Tak lama kemudian, setelah derap kaki kuda itu semakin keras suaranya, muncullah seorang penunggang kuda yang membalapkan kudanya mendahului si baju hitam.
Si gendut baju hitam ini melirik dan dia melihat seorang laki-laki tinggi besar menunggang kuda yang besar pula. Seorang laki-laki biasa saja yang pandai menunggang kuda dan agaknya tergesa-gesa. Akan tetapi ketika si gendut itu melihat baju orang itu, jantungnya berdebar tegang, Baju Kulit Harimau! Teringatlah dia akan nama Lam-hai Ngo-houw (Lima Harimau Laut Selatan) yang terkenal di Kanton.
Lima orang kakak beradik yang ditakuti, karena mereka adalah orang-orang kuat yang kadang-kadang mengandalkan kekuatan dan kepandaian silat mereka untuk memaksakan kehendak mereka kepada orang-orang atau golongan yang lebih lemah. Ciri khas mereka adalah baju harimau mereka. Biar dalam musim panas sekalipun mereka tak pernah menanggalkan baju harimau mereka.
Akan tetapi, penunggang kuda ini hanya seorang saja, pikir si gendut baju hitam. Dan kabarnya Lam-hai Ngo-Houw selalu maju berlima. Mungkin bukan mereka, dan andaikata benar orang ini seorang di antara Lima Harimau itu, takut apa? Orang itu tentu tidak tahu apa isi dua buntalan di punggungnya. Juga dia tidak pernah berkenalan dengan Lam-hai Ngo-houw dan tidak mempunyai urusan apapun juga.
Tanpa sebab, tidak mungkin Lam-hai Ngo-houw mau mengganggu dirinya. Hatinya lebih tenang melihat betapa penunggang kuda itu membalap terus dan agaknya sama sekali tidak memperhatikan dirinya. Karena hatinya lega, si gendut itu lalu beristirahat di dalam sebuah hutan dan pada keesokan harinya, setelah matahari mulai mengusir kegelapan malam, diapun melanjutkan perjalanan menuju ke utara. Dia tahu bahwa setelah dia keluar dari dalam hutan ini, kota Saukoan tinggal belasan li saja lagi jauhnya.
Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya ketika tiba-tiba dia mendengar suara auman harimau dari depan! Seekor harimau! Dia merasa heran sekali karena dia bukan seorang asing di daerah ini dan dia tahu betul bahwa di hutan ini tidak pernah orang bertemu harimau. Akan tetapi auman itu jelas merupakan auman harimau.
Tiba-tiba dia terlonjak kaget ketika terdengar auman harimau lain lagi, kini datang dari arah belakangnya! Ketika terdengar lagi suara auman dari kanan kiri, keheranannya berobah menjadi kegelisahan dan mukanya berobah agak pucat. Tidak mungkin ada harimau demikian banyaknya tersesat di dalam hutan Ini! Harimau! Lima ekor banyaknya!
Tiba-tiba wajah si gendut menjadi semakin pucat dan dia siap siaga menghadapi segala kemungkinan karena dia teringat akan penunggang kuda berjubah harimau semalam. Dan ketika tiba-tiba bermunculan lima orang berjubah harimau dari semua penjuru, si gendut jubah hitam itu tidak begitu kaget lagi karena memang dia sudah menduga bahwa tentu suara-suara harimau itu perbuatan Lam-hai Ngo-houw yang agaknya sengaja menghadangnya di tempat ini.
Tahulah dia sekarang bahwa penunggang kuda semalam itu hanya ingin memperoleh keyakinan bahwa dia memang memasuki hutan ini. Diam-diam dia merasa menyesal sekali atas kelengahannya sendiri. Kalau dia berhati-hati dan sudah menduga lebih dulu akan berurusan dengan Lam-hai Ngo-houw, tentu malam tadi diam-diam dia melarikan diri. Banyak terdapat kesempatan baginya untuk diam-diam merobah tujuan perjalanan semalam.
Akan tetapi kini sudah terlanjur dan pula, andaikata dia merobah tujuan dan melarikan diri, siapa tahu lima orang jahanam ini sudah selalu mengintai dan membayanginya. Dia menabahkan hatinya dan berhenti melangkah, memandang kepada laki-laki tinggi besar berkumis tebal yang agaknya menjadi pemimpin dari lima orang berjubah harimau itu.
“Maafkan saya,” katanya dengan sikap merendah. “Saya adalah seorang perantau yang tidak mempunyai apa-apa dan tidak pernah mengganggu orang. Ada keperluan apakah ngo-wi menghadang perjalanan saya?”
Si kumis tebal menyeringai dan memandang tajam, bukan ke arah wajah si gendut, melainkan ke arah punggungnya. Hal ini saja membuat si gendut menjadi semakin gelisah dan dia sudah dapat menduga bahwa lima orang ini agaknya tahu akan isi kedua bungkusannya. “Hemm, bukankah engkau yang berjuluk Tai-lek Hek-wan (Lutung Hitam Tenaga Besar) dari Nan-leng?”
Si gendut yang dijuluki Lutung Hitam itu terkejut. Kiranya lima orang ini sudah mengenalnya! Maka diapun tidak mau berpura-pura lagi dan cepat menjura, “Saya seorang perantau dari Nan-leng merasa gembira sekali dapat bertemu dengan Lam-hai Ngo-houw yang terkenal gagah perkasa!”
“Hemm, mengapa bergembira?” tanya si kumis tebal dengan suara bernada ejekan.
“Bertemu dengan orang-orang segolongan, berarti bertemu dengan saudara sendiri. Persatuan antara kita akan menciptakan kekuatan untuk menghadapi lawan kita bersama. Sebaliknya perpecahan di antara kita hanya akan mendatangkan kelemahan dan menguntungkan pihak lawan.”
Lima orang itu saling pandang. “Siapakah lawan yang kau maksudkan, Hek-wan?” tanya si kumis tebal.
Tai-lek Hek-wan menarik napas panjang. “Bnyak sekali! Terutama sekali orang-orang yang berhati sombong selalu mengejarku dan kalau aku tidak bertemu dengan kalian berlima, tentu aku akan celaka. Aku minta bantuan kalian agar kita dapat bekerja sama, dan segala keuntungan yang kudapatkan, tidak akan kumakan sendiri. Buktinya, inilah kuberikan untuk kalian!”
Dia lalu menurunkan buntalan madat dan melemparkannya kepada si kumis tebal. Orang tinggi besar ini menerima buntalan itu dan membukanya, diikuti oleh empat orang adiknya. Ketika mereka melihat isi buntalan yang ternyata adalah madat murni yang demikian banyaknya, mereka terbelalak.
“Madat...?” Si kumis tebal berseru. “Dan ini masih murni...?”
Si gendut tertawa, merasa menang dan berhasil mengambil hati mereka sebagai kawan. Untuk sementara ini dia harus mempergunakan akal menambah teman, bukan menambah musuh. Dia tidak takut menhadapi lima orang ini, akan tetapi selama Giok-liong-kiam belum dia simpan dan sembunyikan dengan baik, berbahayalah menentang mereka ini sambil membawa benda pusaka itu.
“Ha-ha, itu baru sebagian, Lam-hai Ngo-houw. Kalau kalian mau bersekutu dengan aku, masih banyak lagi kelak bagian kalian. Bagaimana? Ataukah kalian mau nekat menggangguku, belum tentu kalian menang dan kalian akan menghadapi semua pendekar yang melakukan pengejaran kepadaku?”
Lima orang itu adalah tukang-tukang pukul bayaran yang sudah biasa menerima pembayaran untuk melakukan perbuatan-perbuatan jahat dan kekerasan. Kini ada orang yang memberi hadiah madat demikian banyaknya, tentu saja hati mereka senang sekali. Mereka bukan pemadatan, akan tetapi mereka yang menjadi penduduk Kanton tentu saja tahu betapa mahalnya benda itu.
“Dan... Giok-liong-kiam...?” Akhirnya si kumis tebal bertanya sambil memandang ke arah buntalan yang ke dua dan yang berada di punggung Tai-lek Hek-wan.
Si Lutung Hitam ini tersenyum, namun hatinya mendongkol sekali. Kiranya lima orang kasar itu sudah tahu pula akan Giok-liong-kiam! “Itulah yang menggelisahkan hatiku, kawan,” katanya dengan sikap sebagai seorang atasan terhadap para pembantunya. “Dengan kelihaianku, aku berhasil mendapatkannya. Akan tetapi betapa banyaknya orang yang hendak memperebutkannya, dan bukan hanya orang-orang biasa. Karena itu, kita harus bersatu menghadapi mereka. Dan kelak, kalau aku berhasil menjualnya dengan harga tinggi, kita bagi bersama.”
Kembali lima orang itu saling pandang dan akhirnya si kumis tebal mengangguk-angguk. “Baiklah, melihat pemberianmu ini kepada kami, kami menilai, bahwa engkau seorang kawan baik. Akan tetapi kelak jangan lupakan kami kalau benda itu sudah menjadi uang.”
Sebelum Hek-wan menjawab, tiba-tiba terdengar suara ketawa yang lirih namun jelas sekali seolah-olah suara itu berada di dekat telinga mereka berenam. Suara ketawa wanita yang tidak nampak orangnya, merdu dan juga halus menusuk anak telinga, seperti suara ketawa kuntilanak dalam dongeng.
Tentu saja enam orang kasar itu, apa lagi setelah kini mereka bersatu, tidak takut menghadapi lawan yang bagaimanapun juga. Akan tetapi menghadapi mahluk yang tidak nampak, hanya terdengar suara ketawanya saja yang demikian merdu, mereka terbelalak dan memandang ke kanan kiri tanpa hasil karena tidak nampak seorang wanita di sekeliling tempat itu.
“Hik-hik, tikus-tikus kecil mana ada harga untuk bicara tentang Giok-liong-kiam?” Tiba-tiba suara ketawa itu disusul kata-kata mengejek dan kini suara itu datangnya dari atas.
Enam orang itu memandang ke atas dan tiba-tiba dari atas melayang turun bayangan merah yang menyambar ke arah Hek-wan. Tentu saja si Lutung Hitam terkejut sekali, maklum bahwa orang ini menyeranganya untuk merampas buntalan Giok-liong-kiam. Dia cepat mengelak dengan meloncat ke kiri sambil menggerakkan kakinya menendang ke arah tubuh yang menyambar dari atas bagaikan seekor burung walet cepatnya itu.
“Plakkk...!” Kaki Hek-wan yang menendang bertemu dengan tangan yang dimiringkan dan akibatnya, tubuh Hek-wan terjengkang dan bergulingan. Dia merasa ada angin menyambar ketika dia bergulingan dan cepat dia menggerakkan tangan untuk menangkis atau mencengkeram.
Akan tetapi tiba-tiba dia merasa buntalan di punggungnya terlepas dan ketika dia meloncat berdiri buntalan persegi panjang itu telah berada di tangan seorang wanita cantik berpakaian merah! Tentu saja si gendut ini menjadi terkejut dan marah sekali. Giok-liong-kiam telah dirampas orang sedemikian mudahnya.
Dan kini wanita berpakaian serba merah itu, yang usianya sekitar tiga puluhan tahun, dengan amat tenang berdiri mengamat-amati peti hitam panjang lalu membuka tutupnya dan melihat isinya yang membuat matanya terbelalak lebar dan wajahnya berseri, mulutnya tersenyum kagum dan wanita itu mengguman lirih, “Giok-liong-kiam... Indah sekali...”
“Kembalikan barangku!“ Hek-wan membentak dan tubuhnya sudah menerjang ke depan dengan cepatnya. Gerakan Tai-lek Hek-wan ini selain cepat juga amat kuat karena dia terkenal sekali memiliki tenaga yang besar. Dan kecepatan gerakannya inipun sesuai dengan julukannya Lutung Hitam, karena memang dia dapat bergerak cepat dan lincah seperti seekor monyet atau lutung.
“Wuuuttt!” Tubrukan Hek-wan untuk merampas pedang kemala dengan tangan kiri dan menyerang dengan tangan kanan yang mencengkeram ke arah kepala wanita itu hanya mengenai tempat kosong saja karena wanita itu tahu-tahu sudah menyingkir dengan gerak langkah kaki ringan dan aneh, tanpa menghentikan pekerjaannya mengagumi pedang itu!
Kembali Hek-wan menubruk, akan tetapi sekali lagi serangannya dielakkan dengan amat mudahnya. Tahulah Tai-lek Hek-wan bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita yang amat pandai, maka untuk ketiga kalinya dia menyerang, sepenuhnya menyerang, bukan seperti tadi perhatiannya dipecah untuk merampas Giok-liong-kiam.
Dan serangan seorang bertenaga besar seperti Tai-lek Hek-wan amatlah berbahaya dan agaknya hal inipun diketahui oleh wanita itu yang sudah mengalungkan bungkusan itu di lehernya. Wanita itu bukan hanya mengelak sekarang, melainkan menangkis dari samping.
“Heiiittt...!” Dan tangkisan tangan yang kecil lunak itu membuat Hek-wan terpelanting kehilangan keseimbangan badannya! Terkejutlah Hek-wan. Dia berhasil melompat bangun.
“Ngo-houw, bantulah!” teriaknya tanpa malu-malu lagi karena kini dia hampir yakin bahwa dia berhadapan dengan lawan yang lebih tinggi tingkat ilmu silatnya.
Lam-hai Ngo-houw yang dipimpin oleh si kumis tebal itupun cepat bergerak mengurung. Mereka melihat betapa Giok-liong-kiam sudah berpindah tangan, maka mereka harus turun tangan membantu Hek-wan untuk merampas benda berharga itu kembali dari tangan wanita berpakaian merah.
Orang ke tiga dari Lam-hai Ngo-houw yang berusia tiga puluh lima tahun adalah seorang laki-laki yang mata keranjang, Melihat kecantikan wanita berpakaian merah itu, sejak tadi dia sudah melongo penuh kagum. Kini, sambil mengepung bersama teman-temannya, diapun membujuk,
“Manis, mengapa seorang cantik seperti engkau membahayakan diri memperebutkan sebuah pedang kemala? Ikutlah aku, dan aku akan membelikan tusuk konde kemala dan barang-barang indah lain, juga engkau akan terlindung dan aman...!”
Sungguh merupakan rayuan yang menggelikan karena pada saat itu, si wanita sedang dikepung dan diancam oleh enam orang laki-laki yang kuat-kuat. Wanita itu agaknya tidak marah mendengar rayuan itu. Melihat betapa lima orang Lam-hai Ngo-houw memasang kuda-kuda dengan kedua tangan membentuk cakar harimau, sedangkan Tai-lek Hek-wan juga memasang kuda-kuda seperti ilmu Silat Monyet, iapun terkekeh dengan suara yang agak genit.
“Hi-hi-hik, seekor lutung dan lima ekor harimau! Tapi kalian bisa berbuat apa terhadap seekor burung bangau yang dapat terbang?” Tiba-tiba saja tubuhnya sudah melompat tinggi ke atas dan mulailah ia melancarkan serangan-serangan dari atas dengan kecepatan yang mengejutkan.
Sebelum enam orang itu tahu apa yang terjadi, mereka melihat warna merah menyambar-nyambar dari atas dengan totokan-totokan jari tangan yang cepat sekali. Mereka berusaha menangkis dan mengelak, akan tetapi dua di antara Lam-hai Ngo-houw yang kurang cepat mengelak, terkena totokan pada ubun-ubun kepala mereka. Ubun-ubun kepala itu pecah berlubang dan merekapun roboh berkelojotan dan tewas seketika!
Tentu saja tiga orang Lam-hai Ngo-houw terkejut setengah mati melihat robohnya dua orang adik mereka dalam segebrakan saja itu. Mereka berlima merupakan jagoan-jagoan di Kanton yang sudah terkenal dan ditakuti karena ilmu silat mereka yang tinggi. Tentu saja merekapun tahu bahwa banyak orang pandai di dunia ini dan mereka tidak berani mengaku yang paling pandai, akan tetapi dalam segebrakan saja harus kehilangan dua orang saudara yang roboh tewas, hal ini sungguh sukar untuk dapat mereka terima.
Apa lagi kalau diingat bahwa mereka berlima, bahkan berenam dengan Tai-lek Hek-wan yang mereka tahu juga memiliki ilmu kepandaian silat tinggi. Biarpun mereka dapat menduga bahwa lawan yang satu ini memang lihai bukan main, namun kemarahan dan sakit hati membuat mereka kehilangan rasa gentar dan merekapun mengeluarkan suara gerengan-gerengan seperti harimau marah.
Gerakan mereka kini semakin ganas dan kedua tangan mereka membentuk cakar harimau dengan kuat sehingga tangan dan jari-jarinya itu seperti telah menjadi kaku dan keras. Si kumis tebal lebih hebat lagi. Ketika melihat Hek-wan menyerang ganas kepada wanita itu, dibantu oleh dua orang adiknya yang juga telah mengerahkan seluruh tenaganya untuk menyerang.
Dia mempergunakan kesempatan itu untuk meloncat ke atas dan menerkam punggung wanita itu, kedua tangannya yang membentuk cakar harimau itu mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala. Wanita itu terkejut bukan main. Ia sedang menghadapi terjangan Hek-wan dan dua orang Ngo-Houw yang lain, dan tiba-tiba ada angin keras sekali menyambar dari belakang atas!
“Heiiiittt!” Ia membentak dan mengelak. Tubrukan itu luput akan tetapi terdengar bunyi kain robek dan ternyata buntalan Giok-liong-kiam itu robek dan peti panjang itu terlepas dan jatuh dari pinggang si wanita. Dan sebelum wanita itu dapat mengambilnya kembali, tiga orang Ngo-houw sudah menerjangnya lagi.
Dan melihat kesempatan ini, Hek-wan yang cerdik sudah bergulingan ke arah Giok-liong-kiam dan sudah berhasil menyambar peti itu! Cepat dia membungkusnya lagi dan menggantungkan di lehernya! Melihat ini, wanita baju merah itu tentu saja marah bukan main, akan tetapi dalam kemarahannya, ia malah tersenyum-senyum, agaknya sama sekali tidak khawatir akan kehilangan pusaka itu karena ia yakin akan mampu mengalahkan empat orang ini.
“Hemm, kalian masih belum mau menyerah?” bantak wanita baju merah itu sambil tersenyum mengejek, akan tetapi karena serangan tiga orang itu benar-benar amat berbahaya, wanita itupun kembali berloncatan ke atas dengan amat lincahnya.
Melihat ini, diam-diam Tai-lek Hek-wan terkejut dan khawatir sekali. Dia adalah seorang yang amat cerdik dan melihat tewasnya dua orang di antara Lam-hai Ngo-houw, diapun maklum bahwa wanita ini benar-benar seorang lawan yang amat tangguh dan amat berbahayalah kalau sampai dia melanjutkan perlawanan.
Yang penting adalah menyelamatkan Giok-liong-kiam, pikirnya. Maka, begitu melihat tiga orang Lam-hai Ngo-houw sudah menyerang lagi dan sekali ini serangan mereka penuh dengan rasa dendam sehingga amat hebat, diapun mempergunakan kesempatan ini untuk melarikan diri!
Melihat ini, wanita itu berteriak, “Eh, pengecut, hendak lari kemana engkau?” Tubuhnya bergerak hendak mengejar, akan tetapi karena tiga orang harimau itu menyerangnya dengan amat ganas, iapun tidak mudah melepaskan diri begitu saja.
“Tikus-tikus tolol, kau mau ditipu lutung itu yang melarikan pusaka sedangkan kalian dijadikan korban?” Wanita itu membentak.
Bentakan ini agaknya menyadarkan tiga orang Lam-hai Ngo-houw itu. Biarpun mereka mendendam kepada wanita ini untuk kematian dua orang saudara mereka, namun pada hakekatnya mereka adalah orang-orang yang berwatak jahat dan amat loba akan harta, maka merekapun seperti disadarkan akan kelicikan Tai-lek Hek-wan dan mereka mengendurkan kurungan mereka.
Kesempatan ini dipergunakan oleh si wanita baju merah untuk meloncat, lolos dari kepungan dan mengejar Lutung Hitam. Tiga orang Lam-hai Ngo-houw itupun cepat melakukan pengejaran, mengejar Hek-wan akan tetapi juga mengejar wanita itu. Tai-lek Hek-wan sudah mengerahkan ilmunya berlari cepat, akan tetapi betapa kaget hatinya ketika tahu-tahu ada bayangan merah berkelebat dan wanita itu sudah menghadang di depannya dengan senyum mengejek.
Marahlah Lutung Hitam ini, marah dan juga putus asa, maka dengan nekat diapun menubruk ke depan menyerang wanita yang menghadangnya. Seperti juga tadi, kecepatan gerakan Lutung Hitam itu tidak ada artinya bagi si wanita baju merah yang ternyata memiliki gerakan lebih cepat lagi. Wanita itu sudah mengelak ke kiri dan tiba-tiba kakinya mencuat dalam sebuah tendangan mengarah perut Hek-wan.
Lutung Hitam itu terkejut dan hanya dengan bergulingan menjatuhkan dirinya dia dapat menyelamatkan perutnya dari ciuman sepatu yang akan membahayakan keselamatannya itu. Akan tetapi pada saat itu, tiga orang Lam-hai Ngo-houw sudah tiba pula di situ dengan marah si kumis tebal menubruk ke arah tubuh Hek-wan yang bergulingan untuk merampas buntalan di punggungnya.
“Dukk...!” Hek-wan menangkis dan keduanya terpental. “Sobat, kenapa berbalik menyerangku? Mari kita keroyok wanita iblis itu!” Tai-lek Hek-wan berseru kaget.
“Pengecut, tak perlu merayu!” bentak si kumis tebal yang terus saja menyerang lagi dengan marahnya.
Sementara itu, dua orang adiknya sudah mengeroyok si baju merah yang melayani mereka sambil tersenyum simpul karena girang hati wanita itu sudah berhasil membakar hati si kumis tebal. Baginya sesungguhnya sama saja. Andaikata dikeroyok sekalipun, ia yakin akan dapat merobohkan mereka semua. Apa lagi sekarang si kumis tebal yang marah dan merupakan orang pertama paling lihai dari Lam-hai Ngo-houw telah menumpahkan kemarahannya kepada Tai-lek Hek-wan sehingga ia hanya menghadapi dua orang lawan, tentu dianggapnya amat ringan.
Ternyata kekuatan antara si kumis tebal dan Tai-lek Hek-wan seimbang dan selisihnya hanya sedikit saja. Kalau perkelahian itu dilanjutkan, akhirnya si kumis tebal tentu akan kalah. Sudah tiga kali dia terkena pukulan dan tendangan dari Lutung Hitam akan tetapi ternyata orang pertama dari Lam-hai Ngo-houw itu kuat sekali tubuhnya dan belum juga roboh.
Sementara itu, dengan mudahnya wanita baju merah itu telah merobohkan dua orang pengeroyoknya denga totokan-totokan yang membuat kedua lawan itu roboh dengan mata mendelik dan napas putus. Kini wanita baju merah itu berdiri sambil tersenyum lebar, geli dan juga gembira menonton Tai-lek Hek-wan dan ketua Lam-hai Ngo-houw saling gebuk. Akan tetapi yang dilihatnya bukanlah kedua orang itu, melainkan dua buah buntalan yang berada di punggung mereka.
Melihat robohnya dua orang lagi, wajah Tai-lek Hek-wan berobah pucat. Sambil menangkis sebuah pukulan dari si kumis tebal, dia menghardik, “Tolol! Dua orang adikmu sudah roboh pula, tinggal kita berdua yang terancam maut dan engkau masih menyerangku seperti orang gila?”
Si kumis tebal menoleh dan barulah dia terkejut bukan main. Tadi dia mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menyerang Hek-wan sehingga dia tidak memperhatikan dua orang adiknya dan kini dia melihat betapa dua orang adiknya telah menggeletak tak bernyawa lagi sedangkan wanita baju merah itu berdiri sambil tersenyum-senyum mengejek. Dapat dibayangkan betapa sedih dan marah hatinya. Empat orang adik-adiknya telah tewas semua di tangan wanita cantik ini.
“Aurrggghhh...! Gerengan seperti seekor harimau keluar dari dalam dadanya dan biarpun harimau keluar dari dalam dadanya dan biarpun sudah terkena pukulan dan tendangan Hek-wan, si kumis tebal ini mengerahkan seluruh tenaganya, menubruk kearah wanita baju merah. Melihat ini, Hek-wan lalu membalikkan tubuhnya dan lari tunggang langgang sekuat tenaga!
“Hemm...!” Wanita baju merah itu melompat ke kiri dan tangannya menyambar ke samping “Plakk!” Tubuh si kumis tebal terpelanting dan roboh berkelojotan karena pelipisnya berlubang terkena tusukan dua jari tangan wanita itu. Tanpa menengok lagi kepada korbannya yang ia yakin tentu akan tewas, wanita itu sudah berloncatan dengan amat cepatnya mengejar Tai-lek Hek-wan!
Si Lutung Hitam menjadi panik dan wajahnya sudah pucat sekali ketika untuk kedua kalinya wanita baju merah itu sudah menghadang di depannya sambil tersenyum manis, senyum yang baginya tidak manis lagi melainkan menyeramkan! Dia bukan orang nekat seperti Lam-hai-houw. Sebaliknya, si gendut ini cerdik bukan main.
Kecerdikannya sudah nampak ketika dia membiarkan Sin-touw dan Phek Kiat saling bunuh sehingga dia mampu memperoleh Giok-liong-kiam dan madat yang amat banyak tanpa mengeluarkan sedikitpun tenaga. Juga dia sudah mampu menggerakkan hati Lam-hai Ngo-houw sehingga lima orang itu mau bersekutu dengan dia. Sekarang, melihat betapa Lam-hai Ngo-houw sudah tewas semua, diapun tidak begitu bodoh untuk menjadi nekat.
Betapapun besar harganya Giok-liong-kiam, tentu saja masih tidak melebihi nyawanya sendiri. Apa artinya Giok-liong-kiam kalau dia sudah tidak bernyawa seperti kelima orang Lam-hai Ngo-houw itu? Tanpa malu-malu lagi Tai-lek Hek-wan lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki wanita baju merah itu, berkali-kali menyentuh tanah dengan dahinya dan kedua tangannya segera menurunkan buntalan Giok-liong-kiam.
“Ampun..., harap Lihiap (pendekar wanita) sudi mengampunkan nyawa saya..., saya… mengaku kalah dan dengan rela menyerahkan Giok-liong-kiam kepada Lihiap...”
Wanita cantik itu tersenyum mengejek, geli melihat betapa perut yang gendut itu menghalangi Hek-wan untuk dapat memberi hormat dengan baik. Perutnya mengganjal ketika orang itu berlutut menyembah-nyembah. Sikap Tai-lek Hek-wan yang ia tahu selain cukup lihai juga amat cerdik itu, yang kini menyembah-nyembahnya dengan begitu merendahkan diri, dianggap cukup berharga untuk menebus nyawa orang itu.
“Hemm, baiklah, monyet. Aku mau mengampuni nyawamu. Coba buka peti itu dan perlihatkan aku Giok-liong-kiam.”
Wanita itu memang cerdik. Tadi ia sudah melihat Giok-liong-kiam dan tidak meragukan lagi keasliannya. Akan tetapi untuk beberapa saat lamanya pusaka itu telah dapat dirampas kembali oleh Hek-wan, maka ia tidak ingin tertipu dan hendak melihat lebih dahulu apakah benar itu barang yang aseli. Ia sudah cukup mengenal kelicikan orang seperti Tai-lek Hek-wan ini dan bisa saja penjahat itu memberinya peti yang isinya barang beracun yang akan menyerangnya kalau dibukanya.
Akan tetapi, Hek-wan tidak sempat melakukan hal itu dan memang bukan tidak mungkin hal itu dilakukannya, bahkan lebih hebat dari itu kalau saja dia berkesempatan. Kini tidak ada lain jalan baginya kecuali menyerahkan pusaka itu sebagai penukar nyawanya. Dibukanya buntalan dan dibukanya peti hitam itu. Dengan peti terbuka sehingga nampak isinya, dia menyerahkan benda itu dengan kedua tangannya.
Wanita cantik itu menjadi girang, melihat bahwa isi peti memang Giok-liong-kiam yang tulen. Akan tetapi pada saat ia hendak menerimanya, tiba-tiba ada angin menyambar dan sinar putih menyambar ke arah peti di tangan Tai-lek Hek-wan. Sinar itu ternyata sebatang tali yang menyambar cepat, seperti ular hidup hendak merampas peti, dibarengi bunyi meledak nyaring.
Melihat ini, wanita baju merah itu terkejut dan marah. Tangannya dikibaskan ke bawah menangkis sambaran tali dan kakinya menendang tubuh Tai-lek Hek-wan sehingga si gendut ini terguling-guling bersama peti yang masih dipegangnya. Memang wanita itu ingin menyingkirkan Hek-wan agar peti itu tidak sampai terampas orang, kemudian ia membalik dan berhadapan dengan orang yang telah menggunakan tali hendak merampas peti itu.
Ternyata orang itu adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih, bermuka pucat dan tampan, pakaiannya pesolek dan dia tersenyum masam ketika talinya membalik terkena tangkisan si wanita baju merah. Sambil menggulung talinya kini dia berdiri saling pandang dengan si wanita baju merah dan dia tertawa.
“Ha-ha-ha, seorang tokoh Ang-hong-pai yang lihai juga!”
Wanita cantik baju merah itu cemberut dan memandang dengan sinar mata marah. Siapa takkan marah melihat daging sudah di mulut kini terancam lepas? Ia menudingkan telunjuknya ke arah muka yang putih itu. “Hemm, agaknya Pek-bin Tiat-ciang yang muncul. Apakah sekarang tangan besimu sudah berkarat maka engkau mempergunakan tali untuk mencoba menjadi pencuri?” Wanita itu mengejek.
Si muka putih itupun tertawa lagi. “Ha-ha-ha, siapa yang menjadi pencuri? Monyet gendut inikah, atau engkau, ataukah aku?”
Tai-lek Hek-wan masih berdiri sambil mendekap buntalan berisi peti panjang Giok-liong-kiam itu, mukanya pucat dan dia merasa betapa kedua kakinya menggigil. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa dia berhadapan dengan dua orang yang memiliki nama besar yang amat terkenal di seluruh Negara. Kiranya wanita itu adalah seorang tokoh perkumpulan Ang-hong-pai (Perkumpulan Tawon Merah) yang ditakuti dunia kang-ouw seperti orang menakuti gerombolan setan.
Sedangkan nama Pek-bin Tiat-ciang (Tangan Besi Bermuka Putih) juga tidak kalah terkenalnya, sebagai seorang petualang yang ringan tangan dan mudah saja membunuh orang. Entah sudah berapa banyaknya orang, baik dari golongan sesat maupun kau m pendekar, yang tewas di tangan jagoan ini. Kedua orang ini termasuk tokoh-tokoh sesat yang lihai sekali. Matilah aku, karena dia maklum bahwa kepandaiannya jauh sekali berada dibawah kedua orang ini. Akan tetapi pikirannya yang cerdikitu diputar mencari akal.
Bagaimanapun juga, wanita baju merah itu tadi memperlihatkan sikap lunak dan mau mengampuninya, sedangkan laki-laki muka putih tampan menyeramkan ini belum tentu mau membiarkan dia hidup. Sementara itu, wanita tokoh Ang-hong-pai itu sudah menerjang dengan ganasnya, menggunakan pukulan-pukulan yang dilakukan dengan jari-jari tangan terbuka, totokan-totokan yang mengarah jalan darah yang mematikan.
“Heiiittt...!” bentaknya nyaring ketika kedua tangannya menyambar dengan kecepatan kilat.
“Wah, ganas...!” laki-laki muka putih itupun menggeser kaki dan menangkis dengan cepat pula.
“Plak! Plakk!” laki-laki itu terkejut karena biarpun dia sendiri berjuluk Tiat-ciang (Tangan besi), akan tetapi ketika lengannya bertemu dengan tangan wanita itu, dia merasa seolah-olah bertemu dengan daging lunak tak bertulang. Tahulah dia bahwa wanita lihai itu dalam menghadapi kekerasan tangannya telah mempergunakan ilmu Bian-kun atau tangan yang berobah menjadi kapas, mempergunakan sin-kang (tenaga sakti) untuk melawan yang keras dengan yang lunak.
Menghadapi tangan yang lunak itu, Pek-bin Tiat-ciang merasa seolah-olah tangannya seperti besi memukul kapas di udara, sama sekali tidak berbekas. Maka diapun bersilat dengan hati-hati sekali, maklum bahwa wanita itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan.
Sambil membentak marah, diapun lalu mengerahkan tenaga saktinya, tidak lagi berani main-main atau senyum-senyum, melainkan menyerang dengan amat kuat. Angin pukulan bertiup dahsyat ketika Tiat-ciang melakukan serangannya. Akan tetapi wanita itu dengan gerakan indah dapat mengelak sambil mengibaskan tangan menangkis dari samping.
“Rasakan kau !” bentak Tiat-ciang sambil mengeraskan tangannya yang tertangkis karena sekali ini dia mengerahkan seluruh tenaganya yang membuat tangan itu seolah-olah berobah menjadi baja.
“Dukkk...!” Wanita itu menyeringai menahan jeritnya karena tangannya terasa nyeri bukan main. Rasa nyeri seperti menusuk jantungnya, seolah-olah tulang-tulang tangannya menjadi remuk. Karena rasa nyeri ini, tubuhnya agak terhuyung dan kesempatan ini dipergunakan oleh Tiat-ciang untuk menubruk dengan kedua tangan terpentang.
Akan tetapi betapa kaget rasa hatinya ketika tiba-tiba dari samping ada angin pukulan menyambar dan ternyata Tai-lek Hek-wan yang menyerangnya! Hek-wan yang cerdik tidak lama mengambil keputusan dan dia sudah maju membantu tokoh Ang-hong-pai. Dia merasa lebih aman kalau tokoh wanita itu yang menang, maka diapun membantu ketika melihat wanita itu terdesak.
“Plakkk!” tangkisan Tiat-ciang membuat tubuh Hek-wan terlempar dan diapun bergulingan sampai jauh. Baru dia berhenti ketika tubuhnya tertahan oleh sesuatu. Kiranya yang menahannya itu adalah mayat si kumis tebal, orang pertama Lam-hai Ngo-houw dan tanpa disengaja dia melihat buntalan madat. Teringatlah dia betapa banyaknya madat itu dan betapa benda itu juga merupakan harta yang amat besar. Mengapa tadi dia lupa sama sekali tentang buntalan madat ini?
Cepat dia mengambil buntalan itu dan mengalungkannya ke leher. Ketika menengok, dia melihat betapa wanita itu kini mulai mendesak si muka putih! Dan melihat betapa kedua orang itu berkelahi dengan mati-matian, timbul pula niatnya yang terdorong ketamakan dan kecerdikan. Diam-diam diapun melarikan diri, kini membawa dua buntalan itu, buntalan madat dan buntalan Giok-liong-kiam!
“Keparat, kau hendak lari ke mana?” Tiba-tiba terdengar bentakan suara tokoh Ang-hong-pai itu.
Hek-wan terkejut dan menengok. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat wanita baju merah dan laki-laki muka putih itu telah berloncatan mengejarnya. Kiranya mereka itu, biarpun sedang berkelahi, tidak pernah melepaskan perhatian mereka terhadap benda yang diperebutkan, yaitu Giok-liong-kiam!
Tadi, ketika Hek-wan membantu tokoh Ang-hong-pai menyerang Pek-bin Tiat-ciang, Si Tangan Besi itu terpaksa menghentikan serangannya terhadap lawannya yang tangguh dan menangkis serangan Hek-wan. Akan tetapi pada saat itu, si wanita yang memiliki gerakan amat cepatnya telah meloncat ke atas, seperti terbang ia turun menerjang dengan amat hebatnya, tangannya menyerang dengan totokan-totokan berbahaya.
Tentu saja Pek-bin Tiat-ciang cepat mengelak dan menangkis akan tetapi sebuah tendangan kaki wanita itu yang dilakukan dari belakang, seperti seekor tawon menyengat, telah mengenai pangkal pahanya, membuat Tiat-ciang terhuyung dan selanjutnya wanita itu menyerangnya dengan bertubi-tubi, membuatnya nampak terdesak....