Pedang Naga Kemala Jilid 04 karya Kho Ping Hoo - “Heh-Heh-heh-heh, banyak lalat dan hawanya panas, sungguh tidak nyaman...!” tiba-tiba terdengar suara orang mengomel.

Semua orang menoleh dan ternyata yang mengomel itu adalah Bu-beng San-kai yang duduk agak jauh dari orang-orang lain, duduk sembarangan saja di atas rumput sambil mengipasi tubuhnya seolah-olah dia benar-benar merasa gerah padahal hawa di puncak bukit itu tentu saja sejuk!
Seorang anak perempuan berusia sebelas tahun yang cantik mungil, bermata lebar dan bersikap pendiam duduk di belakangnya, hanya sepasang matanya yang lebar itu saja bergerak memandangi semua orang akan tetapi mulutnya yang kecil merah itu tak pernah dibukanya.
“Jembel badut!” tiba-tiba Hai-tok Tang Kok Bu mengejek. “Agaknya yang kau maki lalat itu termasuk dirimu sendiri, kalau tidak demikian, mau apa engkau muncul di sini!”
Siauw-bin-hud memandang Kakek kurus yang bajunya tambal-tambalan itu dan diapun tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, kiranya ada pula Bu-beng San-kai di sini! Wah-wah, San-kai, apakah benar dugaan Hai-tok bahwa engkaupun datang untuk memperebutkan Giok-liong-kiam?”
Semua orang, kecuali Hai-tok, terkejut bukan main dan kini mereka memandang ke arah pengemis tua itu dengan mata terbelalak. Bu-beng San-kai? Sebuah nama yang pernah menggemparkan dunia persilatan, dan tak seorangpun di antara mereka, kecuali Hai-tok dan Siauw-bin-hud, menyangka bahwa Kakek jembel yang nampaknya tidak ada apa-apanya itu ternyata adalah Bu-beng San-kai!
Kalau disebut San-tok (Racun Gunung) tentu semua orang akan lebih kaget lagi tadi. Akan tetapi nama Bu-beng San-kai (Pengemis Berkipas Tak Bernama) atau San-tok (Racun Gunung) juga sama saja. Di dunia persilatan, pernah muncul empat orang tokoh yang amat hebat, yang dinamakan Racun-racun Dunia.
Mereka adalah San-tok (Racun Gunung) yaitu yang berjuluk pula Bu-beng San-kai, lalu Hai-tok (Racun Lautan) yang kini menjadi orang kaya di Pulau Layar. Masih ada dua orang lagi, yaitu Thian-tok (Racun Langit) dan Tee-tok (Racun Bumi) yang tidak pernah didengar orang pula, entah berada di mana. Kalau orang-orang seperti Hai-tok dan San-tok kini muncul, dapat dibayangkan betapa penting dan berharganya Giok-liong-kiam!
Kalau Tang Kok Bu, seperti julukannya, Hai-tok, dahulunya adalah datuk para bajak laut, sebaliknya San-tok adalah datuk para perampok di pegunungan dan hutan-hutan. Akan tetapi, berbeda dengan Hai-tok yang kini nampaknya menjadi orang kaya raya, San-tok masih kelihatan miskin, bahkan pakaiannya seperti seorang pengemis.
Bu-beng San-kai atau San-tok terkekeh mendengar ucapan Hai-tok dan Siauw-bin-hud dan diapun menjawab, “Siauw-bin-hud, engkau tahu bahwa aku bukan seorang yang mata duitan atau haus akan harta. Aku datang hanya untuk menonton keramaian, dan apa salahnya setelah sama tuanya kita saling membuktikan siapa yang menjadi loyo lebih dahulu di antara kita semua tua bangka-tua bangka ini? Ha-ha-ha!”
Dan diapun mengebutkan kipasnya semakin cepat. Kipas itu butut saja, akan tetapi begitu dikebut dengan cepat, semua orang yang berada di situ hampir menggigil karena hawa menjadi semakin dingin seperti ada angin besar yang lewat!
Siauw-bin-hud mengenal empat racun dunia sejak masih muda, bahkan mereka itu boleh dibilang merupakan saingan-sainganya dalam dunia persilatan. Sejak dahulu, ilmu kepandaian antara para Racun Dunia itu sebanding, dan masing-masing di antara mereka juga hampir dapat menandingi tingkat kepandaian Siauw-bin-hud sendiri yang ketika itu masih menjadi seorang tokoh Siauw-lim-pai yang disegani.
Hanya selisih sedikit saja kepandaian tokoh Racun Dunia ini dengan kepandaian para Racun Dunia itu. Kini, melihat munculnya dua orang ini, diam-diam Siauw-bin-hud maklum bahwa mereka berdua itu bukan semata-mata mencari pedang pusaka karena haus akan harta, melainkan dalam usia tua itu agaknya hendak melanjutkan persaingan waktu dahulu untuk menjadi orang nomor satu. Atau mungkin juga mereka itu masih memiliki keinginan untuk menjadi Bu-lim Beng-cu (Pemimpin Rimba Persilatan) yang disegani dan dihormati seluruh dunia persilatan!
Sebelum Siauw-bin-hud menjawab, tiba-tiba saja Ci Kong sudah melompat ke depan dan dengan membusungkan dada dia menghadapi para tamu itu, memandang kepada mereka dengan sinar mata mencorong. “Kalian ini orang-orang tak tahu malu, tamu-tamu tak diundang datang mengganggu Susiok-Couw, seorang tua yang tidak berdosa. Apakah kalian tidak malu? Kalau memang kalian berhati kejam, biarlah aku yang maju mewakili Susiok-Couw, kalian boleh bunuh atau siksa aku untuk memuaskan hati kalian yang kotor dan jahat!”
Tentu saja sikap dan ucapan Ci Kong itu sama sekali tidak terduga-duga dan semua orang menjadi tertegun. Bahkan Nam Sam Losu sendiri terkejut, tidak mengira bahwa muridnya akan seberani dan selancang itu. Mukanya sudah menjadi pucat karena marah dan malu. Dia sebagai gurunya harus bertanggung jawab atas kelancangan muridnya itu, apa lagi mengingat nama Siaw-lim-pai yang dapat tercemar karena sikap anak itu.Juga para tamu menjadi kaget dan heran, apa lagi mendengar bahwa anak itu menyebut Susiok-Couw (paman Kakek guru) kepada Siauw-bin-hud! Seorang anak kecil, dua belas tahun, dengan tingkat yang serendah itu dari Siaw-lim-pai, berani menantang mereka yang terdiri dari orang-orang berkedudukan tinggi di dunia persilatan, bahkan dua di antara mereka adalah San-tok dan Hai-tok!!
Akan tetapi sebelum Nam San Losu sempat memarahi muridnya, Siauw-bin-hud sudah tertawa geli. “Ha-ha-ha, orang-orang tua memang sudah penuh dengan kepalsuan, kemurkaan, loba tamak dan menjadi hamba dari pada kesenangan, kehilangan kewajaran dan kehilangan perikemanusiaan. San-tok dan Hai-tok, kalian kalau dibandingkan dengan bocah ini… wah, kalah jauh sekali!”
“Huh!” Hai-tok mendengus. “Dibandingkan anakku yang di rumah, dia itu bukan apa-apa, Siauw-bin-hud!”
“Heh-heh, benarkah dia begitu hebat. Siauw-bin-hud? Aku tidak percaya!” berkata demikian, San-tok atau Bu-beng San-kai lalu menggerakkan kakinya dan dalam keadaan duduk tahu-tahu tubuhnya melayang ke depan dan dia sudah berdiri di depan Ci Kong sambil tersenyum-senyum.
Ci Kong sama sekali tidak menjadi gentar dan memandang Kakek berpakaian jembel itu dengan sepasang mata mencorong. “Bocah bernyali besar, kalau engkau tidak membolehkan aku mengganggu Susiok-Couwmu, lalu kau mau apa? Apa kau berani melawan aku?”
Sikap dan ucapan ini membuat Ci Kong marah bukan main. “Apa lagi engkau, biar raja iblis sekalipun akan kulawan kalau dia jahat dan hendak mengganggu kami!” bentaknya.
“Wah-wah, agaknya engkau memang memiliki ilmu yang lihai maka kecil-kecil berani menantang aku. Nah, coba kulihat, apakah engkau berani memukul perutku ini?” Kakek itu mencoba untuk membusungkan perutnya yang kempis.
Ditantang begitu, Ci Kong menjadi marah dan hatinya terasa panas. Sudah enam tahun lamanya dia belajar silat di kuil Siauw-lim-si, dipimpin langsung oleh Nam San Losu. Dia mengenal jenis pukulan-pukulan berbahaya, apa lagi pukulan yang ditujukan kearah perut. Dia mengenal pukulan yang menggetarkan jantung, pukulan yang merusak isi perut.
Akan tetapi karena di samping mempelajari ilmu silat diapun mempelajari ilmu budi pekerti dan ilmu batin, hatinya penuh welas asih dan betapapun marahnya, dia tidak tega untuk melakukan pemukulan yang berbahaya bagi seorang Kakek yang sudah tua itu. Hanya tantangan itu saja yang memaksanya untuk memukul.
“Baik, aku akan memukulmu seperti yang kau tantang itu. Bersiaplah!” katanya sambil memasang kuda-kuda.
“Ha-ha, kau wakili Susiok-Couw mu memukulku, dan kerahkan semua tenagamu!” Kakek kurus itu menantang.
Ci Kong tidak tahu betapa Nam-San-Losu, gurunya, sudah bergerak hendak mencegahnya akan tetapi tiba-tiba gurunya terkejut karena tubuhnya seperti disedot angin dari belakang yang membuatnya tidak mampu bergerak. Ketika Suhunya menengok, ternyata Siauw-bin-hud sudah mengulurkan tangannya dan kini Kakek itu tersenyum lebar dan memberi isyarat agar dia tidak melakukan sesuatu terhadap anak itu.
Legalah hati Nam San Losu karena dia maklum bahwa susioknya itu tentu tidak akan membiarkan muridnya celaka, hanya dia merasa heran mengapa susioknya itu seperti mendukung sikap dan perbuatan Ci Kong yang dianggapnya kurang ajar terhadap tingkatan yang tua. Ngeri dia membayangkan apa akan menjadi akibatnya kalau muridnya itu memukul tubuh San-tok, seorang di antara Empat Racun Dunia itu!
Dia sudah mendengar nama ini dan agaknya tingkat kepandaian susioknya, Siauw-bin-hud sajalah yang dapat mengimbangi kepandaian Empat Racun Dunia. Bahkan para suhengnya sendiri yang kini menjadi para pemimpin Siauw-lim-pai juga tidak akan mampu menandingi San-tok!
“Hyaaaattt...!” Ci Kong yang sudah melihat Kakek itu bersiap diri, lalu menerjang ke depan, tangan kanannya dikepal dan memukul ke arah perut. Menurut yang sudah dipelajarinya, memukul bagian lunak dari tubuh lawan sebaiknya memutar kepalan tangan karena hasilnya akan lebih baik, sehingga tangan membuat gerakan seolah-olah membor perut lawan. Akan tetapi karena dia tidak berniat mencelakai lawan, hanya sekedar “menghajar” saja untuk memperlihatkan bahwa dia benar-benar berani menentang siapa saja yang hendak mengganggu Susiok-Couwnya, dia memukul biasa saja kearah perut kecil itu.
“Bukkk...!” Pukulan itu tepat mengenai perut bawah Kakek kurus itu, akan tetapi sedikitpun Kakek itu tidak menangkis atau mengelak, juga tidak bergoyang sedikitpun oleh pukulan si anak kecil. Ci Kong yang merasa betapa kepalan tangannya memasuki daging lunak sekali, menjadi terkejut dan cepat menarik kembali tangannya. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika kepalan tangannya memasuki perut itu tidak dapat ditarik kembali, bahkan kepalannya tidak dapat dibuka!
Dia mengangkat muka memandang, dan melihat betapa wajah San-tok masih menyeringai biasa, dan sepasang mata Kakek itu memancarkan sinar aneh. Kembali dia berusaha membetot tangannya, namun tiba-tiba tubuhnya malah terasa lemas kehilangan semua tenaga dan kepalan tangannya terasa hangat, lalu semakin lama menjadi semakin panas!
“Heh-Heh-heh, Siauw-bin-hud, engkau benar. Anak ini jauh lebih baik dari pada aku atau Hai-tok, dan aku kagum sekali!”
Melihat keadaan muridnya yang nampak lemas dan tidak mampu menarik kembali tangannya dari perut San-tok, tentu saja Nam-San-Losu menjadi terkejut sekali. Dia maklum bahwa nyawa muridnya terancam maut, maka dengan nekat diapun bangkit dan melangkah maju untuk menolongnya. Akan tetapi kembali tubuhnya tersedot ke belakang dan Siauw-bin-hud memberi isyarat dengan pandang matanya agar dia tidak sembarangan bergerak.
Nam-San-Losu mentaatinya karena Kakek inipun maklum bahwa keadaan muridnya itu seperti telah ditolong. Sedikit saja dia bergerak dengan mudah San-tok akan dapat membunuh anak itu. “Ha-ha-ha, San-tok. Jelas dia jauh lebih baik, tidak seperti engkau yang tanpa malu-malu memperdayakan seorang anak kecil. Apa kehendakmu?”
Siauw-bin-hud berkata, dengan sikap masih tenang. Diapun maklum betapa licik dan jahatnya Empat Racun Dunia, akan tetapi dia menghadapi kelicikan San-tok yang kini mengancam nyawa cucu muridnya itu dengan tenang dan sikap yang masih ramah tanpa dibuat-buat.
Bagi seorang yang tingkat kebatinannya seperti Siau-bin-hud, sudah tidak mengenal lagi rasa dendam atau khawatir, juga tidak dipengaruhi lagi oleh emosi. Dan kewajaran ini seperti kembali kepada sifat kanak-kanak yang bersih dan polos, namun matang dan tidak menjadi permainan emosi sehingga tenang dan jernih bagaikan air telaga dalam yang tenang.
“Ha-ha, apa lagi, Siauw-bin-hud, kalau bukan Giok-liong-kiam yang ingin kulihat? Aku ingin sekali melihat macamnya benda yang diperebutkan itu.”
“Dan untuk itu kau akan membebaskan anak itu?”
“Heh-heh, seperti kau katanan tadi, anak ini jauh lebih baik dari pada aku atau Hai-tok, mana aku mau merusak bahan sebaik ini? Tentu dia kubebaskan.”
“Ha-ha-ha, Racun Gunung, kurasa engkau tidak begitu bodoh untuk tetap menyangka bahwa aku menyembunyikan pusaka itu, bukan? Pusaka itu tidak ada padaku.”
“Aku percaya padamu dan kiranya ada orang lain yang mempergunakan namamu untuk merampas pusaka itu. Akan tetapi, seperti dikatakan orang Thian-te-pai itu, penggunaan namamu oleh orang lain itu adalah urusanmu. Aku minta agar engkau mencari pemalsu itu, merampas kembali Giok-liong-kiam kemudian memberikan kepadaku!”
“San-tok!” Tiba-tiba Hai-tok membentak marah. “Enak saja kau memaki orang lain tadi, kini engkau sendiri yang hendak memaksa Siauw-bin-hud menyerahkan pusaka kepadamu! Tak tahu malu!”
“Heh-heh, siapa tak tahu malu?” kata Kakek kurus. “Aku hanya ingin melihat, kemudian akan kuputuskan siapa yang berhak menyimpan pusaka itu kelak. Nah, Siauw-bin-hud, bagaimana?”
Siauw-bin-hud tersenyum lebar. “Heh-heh, tanpa kau minta sekalipun, aku merasa sudah menjadi kewajibanku untuk mencari pusaka itu. Pusaka itu sudah lenyap selama enam tahun dan kalian tidak mampu mendapatkannya kembali. Karena itu, sudah adillah kiranya kalau kalian memberi waktu enam tahun juga kepada pinceng untuk mencarinya. Enam tahun lagi, pada hari dan bulan yang sama, pinceng harap Cu-wi suka datang kesini dan kita lihat saja apakah pinceng berhasil mendapatkannya kembali.”
“Setuju...!” San-tok atau Bu-beng San-kai berseru, mendahului orang lain yang masih ragu-ragu dan memandang dengan alis berkerut. “Nah, terimalah kembali cucu muridmu, Siauw-bin-hud!”
Semua orang memandang ke arah Ci Kong yang masih bergantung pada perut Kakek itu dengan tangan kanannya menancap di perut itu sampai di pergelangan tangan. Anak itu sudah lemas dan kini kulit muka dan tangannya nampak kehijauan! Begitu Kakek kurus itu menggerakkan perutnya, anak yang sudah pingsan itu terlempar kebelakang, ke arah Siauw-bin-hud yang cepat menangkapnya lalu merebahkan anak itu di atas tanah.
Melihat betapa kulit muridnya menjadi kehijauan dan anak itu pingsan, Nam San Losu menjadi terkejut dan gelisah sekali. Akan tetapi diapun seorang Kakek yang berpengetahuan luas Dan dia tidak berani sembarangan bergerak, menyerahkan segalanya kepada susioknya. Sungguh heran dia melihat betapa susioknya setelah meletakkan telapak tangannya ke dada Ci Kong, lalu tertawa girang, dan memandang ke arah San-tok lalu berkata,
“Ha-ha-ha, San-tok. Agaknya selama ini engkau telah memperoleh banyak kemajuan, lahir batin. Terima kasih!”
Tiba-tiba, terdengar bentakan halus, “Kakek berwatak keji!” Dan tahu-tahu anak perempuan yang sejak tadi berada di belakang Bu-beng San-kai atau San-tok dan hanya menjadi penonton saja seperti yang lain, tiba-tiba meloncat ke depan dan sudah menghadap Siauw-bin-hud sambil mengeluarkan suara celaan setengah memaki itu.
Siauw-bin-hud mengangkat muka memandang. Dia masih bersila ketika memeriksa tubuh Ci Kong dan melihat anak perempuan yang berdiri di depannya, dia tersenyum ramah lalu menoleh ke arah San-tok yang hanya memandang sambil tersenyum-senyum. “Nona kecil, mengapa engkau datang-datang memaki aku?” tanya Siauw-bin-hud.
Anak perempuan itu adalah Lian Hong. Sejak tadi anak ini mengikuti jalannya peristiwa dan melihat betapa anak laki-laki yang pemberani itu menjadi korban karena membela Kakek gendut, hatinya merasa penasaran sekali. Apa lagi melihat sikap Kakek gendut yang menerima cucu muridnya yang pingsan itu sambil tertawa-tawa, bahkan mengucapkan terima kasih kepada gurunya, hatinya memberontak. Ia mengenal gurunya sebagai seorang Kakek yang wataknya aneh luar biasa.
Maka iapun tidak dapat mengerti apa arti perbuatan gurunya itu. Karena itu, melihat betapa gurunya tadi menerima pukulan anak laki-laki dan membuat anak laki-laki pingsan dengan kulit kehijauan, ia tahu bahwa anak itu keracunan akan tetapi ia tidak berani menegur gurunya yang juga menjadi Kakeknya itu. Kemarahannya karena merasa kasihan dan penasaran melihat anak laki-laki itu menjadi korban, kini ditimpakan kepada Siauw-bin-hud yang dianggapnya menjadi gara-gara.
“Engkau ini orang tua yang keji dan tak tahu diri! Semua urusan pusaka ini adalah gara-gara mu, akan tetapi engkau tidak mau maju sendiri, malah membiarkan seorang anak kecil maju mewakilimu sehingga terluka. Patutkah itu?”
“Hemmm, anak perempuan licik!” tiba-tiba Hai-tok mengejek. “Gurumu yang mencelakai anak itu, dan engkau malah memaki Siauw-bin-hud!”
Hati Kakek yang menjadi Racun Lautan ini sudah mendongkol sekali melihat permainan antara Siauw-bin-hud dan San-tok sehingga dia sendiri terdesak. Dua orang itu sudah membuat janji-janji dan menganggap orang-orang lain yang hadir di situ seolah-olah tidak ada dan tidak memiliki hak suara untuk menentukan tentang urusan Giok-liong-kiam. Lian Hong menoleh ke arah Kakek pesolek itu.
“Kakekku dipukul dan hanya membela diri!” teriaknya membela Kakeknya.
“Heh-Heh-heh, jadi engkau cucu San-tok, ya? Bagus, memang cocok sekali menjadi cucu si Racun Gunung. Nona cilik, kalau benar pinceng membiarkan cucu muridku ini mewakili pinceng memukul Kakekmu, habis engkau mau apa terhadap diri pinceng?”
“Cucu muridmu telah mewakili engkau memukul Kakekku, maka akupun kini mewakili Kakekku untuk membalas memukulmu. Ada pepatah mengatakan bahwa satu pukulan layak dibalas dua pukulan, akan tetapi melihat engkau sudah terlalu tua, lebih tua dari Kakekku, biar aku membalas dengan satu pukulan pula.”
“Ha-ha-ha, San-tok, cucumu ini hebat sekali, sama hebatnya dengan cucu muridku. Nah, baiklah, kau pukullah aku, nona cilik!”
“Bersiaplah kau, Kakek tua!” Lian Hong memasang kuda-kuda dan kini iapun menerjang kedepan, mengirim tamparan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga dalam kearah kepala Kakek yang masih duduk bersila itu. Tamparannya ini hebat sekali, karena biarpun ia baru berusia sebelas tahun, selama enam tahun ini Lian Hong menerima gemblengan yang keras dari Kakeknya atau gurunya.
“Wah, bagus...!” Siauw-bin-hud memuji dan sama sekali tidak mengelak.
“Plakkk!” Telapak tangan itu tepat mengenai kepala yang gundul dan hal ini tentu saja dianggap amat kurang ajar oleh para Hwesio Siauw-lim-pai yang memandang dengan mata mendelik. Ingin mereka memukul anak perempuan yang berani menampar kepala susiok mereka itu.
Akan tetapi, Siauw-bin-hud hanya tersenyum lebar dan kini terulanglah peristiwa seperti yang terjadi pada diri Ci Kong tadi. Lian Hong merasa betapa telapak tangannya bertemu dengan batok kepala yang amat lunak dan dingin seperti es! Ketika ia hendak menarik kembali tangannya, ternyata telapak tangan itu melekat pada batok kepala yang halus itu.
Berkali-kali ia mengerahkan tenaga untuk membetotnya kembali, akan tetapi makin dibetot makin melekat dan semakin dingin sehingga ia menggigil dan kehabisan tenaga untuk meronta. Dan sebentar saja iapun pingsan dengan tangan masih menempel pada kepala Kakek itu! Terdengar Hai-tok terkekeh.
“Ha-ha-ha, ternyata Siauw-bin-hud setelah bertapa dua puluh tahun, tidak berobah menjadi dewa. Sama saja dengan San-tok!”
Mendengar ejekan ini, Siauw-bin-hud tertawa lalu dia menggerakkan kepalanya sambil berkata, “San-tok, kau terimalah cucumu yang baik ini!”
Dan tubuh anak perempuan yang pingsan itupun terlempar ke arah Bu-beng San-kai yang cepat menyambutnya. Ternyata Lian Hong pingsan dengan muka kebiruan seperti orang yang menderita kedinginan hebat! San-tok meletakkan telapak tangannya ke punggung cucunya, lalu tertawa girang. “Ha-ha-ha, agaknya engkau bukan orang yang suka berhutang, Siauw-bin-hud. Terima kasih!”
Tentu saja semua orang menjadi terheran-heran. Jelas bahwa San-tok tadi melukai Ci Kong, akan tetapi Siauw-bin-hud malah berterima kasih, dan sekarang, Siauw-bin-hud melukai Lian Hong akan tetapi San-tok juga berterima kasih! Hanya Hai-tok yang ilmunya paling tinggi di antara mereka yang lain, diam-diam merasa mendongkol sekali.
Dia dapat menduga bahwa dua orang Kakek itu bukan melukai untuk mencelakakan, melainkan masing-masing telah menyalurkan tenaga ke dalam tubuh dua orang anak itu sehingga dua orang anak itu bukannya dirugikan, malah menerima tenaga yang hebat. Dua orang Kakek itu telah saling menukar kebaikan!
“Cukuplah semua permainan sandiwara dan badut ini!” Hai-tok berkata dan diapun melangkah maju menghadapi Siauw-bin-hud. “Siauw-bin-hud, mari kita main-main sebentar saja untuk menentukan siapa yang berhak menjadi pemilik Giok-liong-kiam, baik sekarang maupun kelak.” Kakek ini sudah mengangkat tongkatnya ke atas. Tongkat itu panjangnya lima kaki, berlapis emas dan terhias batu permata sehingga nampak indah dan berkilauan ketika diangkatnya di depan dada.
“Wah-wah, Racun Lautan ini hendak menjual lagak di sini? Kita sama-sama menjadi tamu di Siauw-lim-si, sungguh tidak enak kalau aku membiarkan saja engkau mengacau. Pergilah dan jangan membikin malu aku sebagai sama-sama tamu Siauw-lim-si!” Tiba-tiba Bubeng San-kai atau San-tok sudah melompat ke depan, menghadapi Hai-tok dengan kipas bututnya di tangan.
Dua orang Kakek itu, dua di antara Empat Racun Dunia, kini saling berhadapan dengan mata melotot seperti dua ekor ayam jago berlagak dan hendak saling bertempur mati-matian. Entah sudah berapa puluh kali dua orang ini dahulu saling mengukur kepandaian dan belum pernah di antara mereka ada yang menang atau kalah. Di antara empat orang Racun Dunia, memang tidak ada yang lebih kuat atau lebih lemah.
Mereka masing-masing memiliki keistimewaan sendiri dan karena maklum bahwa tidak seorangpun di antara mereka yang dapat menjagoi, maka merekapun dapat bekerja sama kalau menghadapi lawan. Tentu saja untuk membela kepentingan sendiri, para tokoh sesat ini seringkali saling gempur sendiri. Dan sekarangpun, setelah belasan tahun tidak saling jumpa dan berhubungan, kini sekali bertemu mereka sudah siap untuk saling gebuk lagi!
Tentu saja semua orang memandang dengan hati tegang sekali. Sudah belasan tahun mereka mendengar nama besar Empat Racun Dunia dan baru sekarang berkesempatan melihat orangnya, dua diantara mereka, bahkan kini dua orang itu siap untuk saling serang. Tentu saja mereka merasa tegang dan juga gembira karena berkesempatan menyaksikan kehebatan dua orang yang dianggap sakti dan jahat seperti iblis itu.
“Bagus!” Hai-tok Tang Kok Bu membentak marah. “Biarkan kita membuat perhitungan di sini dan lihat, siapa yang lebih pantas menjadi pemilik Giok-liong-kiam!”
“Nanti dulu!” Tiba-tiba Pouw Gun atau Pauw-Ciangkun, perwira tinggi dari istana itu melangkah maju, “Ji-wi Locianpwe tidak berhak menentukan sebagai calon pemilik Giok-liong-kiam. Hendaknya ji-wi ketahui bahwa Sri Baginda Kaisar telah mengutus kami untuk mencari dan membawa pusaka itu ke istana!”
“Tidak! Kamilah yang paling berhak karena pusaka itu adalah pusaka perkumpulan kami yang hilang dicuri orang!” kata Coa Bhok, wakil ketua Thian-te-pai yang merasa penasaran melihat orang-orang membicarakan Giok-liong-kiam tanpa memperdulikan mereka yang merasa paling berhak atas pusaka itu.
Dua orang Kakek yang tadi sudah saling berhadapan untuk berkelahi itu, kini tiba-tiba saling pandang dan tersenyum. Dari pandang mata yang saling tatap itu, keduanya mengalami kegembiraan di jaman dahulu dan seolah-olah pandang mata mereka menjadi isyarat bagi mereka untuk bersatu, walaupun hanya untuk sementara, guna menghadapi lawan yang datang dari luar menentang mereka! Secara otomatis, keduanya lalu membalikkan tubuh, membagi tugas!
Karena dia seorang yang hidup sebagai seorang hartawan kaya raya, agaknya Hai-tok masih merasa sungkan untuk berurusan dengan orang pemerintah, maka dia memilih berhadapan dengan orang-orang Thian-te-pai! Sambil tersenyum mengejek dan melintangkan tongkat emasnya di depan dada, dia menghadapi Coa Bhok wakil ketua Thian-te-pai dan empat orang adik seperguruannya.
“Hemm, Kalian ini anak-anak kecil, sudah tidak becus menjaga Giok-liong-kiam, juga tidak becus menemukannya kembali selama enam tahun ini, sekarang hendak berlagak mencampuri urusan dan perjanjian orang-orang tua? Pergilah dan jangan kalian mengganggu kami!”
Karena Hai-tok sudah memilih lawan, terpaksa San-tok menghadapi Pouw Gun dan dua orang temannya. Tentu saja Kakek yang hidup sebagai seorang perantau miskin dan jembel ini tidak takut berurusan dengan para pengawal istana. “Heh-Heh-heh, biasanya, utusan lebih sombong dari pada yang mengutusnya. Kalian hanya utusan, kalau tidak berhasil menemukan Giok-liong-kiam, laporkan saja ke atasan bahwa kalian tidak berhasil. Kenapa hendak mencampuri urusan kami orang-orang tua?”
Tentu saja orang-orang dari dua rombongan itu menjadi marah mendengar ucapan dua orang Kakek yang memandang rendah itu. Terutama sekali Pouw-Ciangkun dan dua orang temannya. Mereka adalah perwira-perwira pengawal dari istana, dan di istana dikenal sebagai jagoan, terutama sekali Pouw Gun, dan sekarang mereka sama sekali tidak dipandang mata oleh seorang Kakek jembel. Biarpun Pouw Gun pernah mendengar akan nama Bu-beng San-kai, akan tetapi dia tidak takut, didukung oleh kedudukannya dan oleh dua orang temannya yang sudah siap untuk membantunya.
“Bagus, kau orang-orang tua hendak memberontak terhadap petugas istana?” Bentaknya dan dia sudah mengeluarkan pedangnya, diikuti pula oleh si raksasa Tang Kui dan seorang temannya lagi yang kedudukannya lebih tinggi dari pada Tang Kui dan memiliki ilmu silat lebih tinggi pula. Sebagai perwira-perwira istana, tentu saja mereka tidak dilarang membawa senjata dan masing-masing kini sudah mencabut golok mereka, berdiri di kanan kiri Pouw Gun yang memegang pedang.
Melihat ini, San-tok terkekeh. “Majulah, majulah... heh-heh, sudah lama kipasku tidak menepuk lalat-lalat hijau!” Jelas bahwa ucapannya ini merupakan ejekan, mengejek para perajurit Mancu yang oleh sebagian orang patriot diejek sebagai lalat-lalat hijau.
Pouw Gun dan dua orang temannya sudah membuat gerakan mengurung dan membentuk barisan segi tiga, seorang di belakang, dan dua orang di depan kanan kiri. Yang di belakang adalah Pouw Gun sedangkan dua orang temannya yang bergolok siap di depan Kakek kurus yang memegang kipas dan nampak enak-enakan mengipasi tubuhnya yang kurus.
Sementara itu, Coa Bhok dan empat orang saudaranya juga sudah mengepung Kakek tinggi besar bermuka merah itu. Coa Bhok maklum akan kelihaian Hai-tok, maka diapun tidak malu-malu untuk maju bersama empat orang sutenya. Mengapa mesti malu? Urusan ini adalah urusan perkumpulan, untuk merebut kembali pusaka perkumpulan, bukan urusan pribadi sehingga boleh saja mereka maju bersama. Apa lagi mereka menghadapi seorang di antara Empat Racun Dunia sehingga pengeroyokan mereka tidak akan ditertawakan orang kang-ouw.
Karena pada zaman itu, pemerintah Mancu mengeluarkan larangan keras bagi siapa saja untuk membawa senjata tajam, apa lagi akhir-akhir ini setelah timbul banyak pemberontakan kecil di mana-mana, maka Thian-te-pai juga melarang murid-muridnya membawa senjata. Bahkan perkumpulan itu kini lebih mengutamakan ilmu silat tangan kosong dan semua murid memperdalam ilmu silat tangan kosong mereka.
Mereka bahkan menciptakan ilmu silat khas mereka yang diberi nama Thian-te-kun, yang sesungguhnya hanya merupakan ilmu silat tangan kosong yang diperbarui dan dikembangkan dari Im-yang-kun, namun dimasuki gerakan-gerakan dan langkah-langkah khas dari ilmu silat Thian-te-pai. Kini, dalam menghadapi Hai-tok, mereka berlima yang mengepung ini juga tidak memegang senjata tajam.
Melihat ini, Hai-tok lalu sengaja menyelipkan tongkat emasnya, senjatanya yang paling ampuh, di pinggangnya dan berdiri tegak dengan kedua tangan bertolak pinggang, sama sekali tidak mengacuhkan pengepungan lima orang itu, sikapnya sama benar dengan sikap San-tok!
Seperti dikomando saja, tiga orang perwira tinggi yang mengeroyok San-tok dan lima orang Thian-te-pai yang mengeroyok Hai-tok itu bergerak dan melakukan penyerangan. Tiga orang perwira tinggi yang dipimpin oleh Pouw Gun itu melakukan penyerangan dengan teratur sekali. Tang Kui dan temannya yang memegang golok menyerang dari kanan kiri, menggunakan golok mereka, yang seorang membacok kepala dan yang kedua membabat pinggang.
Serangan ini disusul dengan selisih beberapa detik saja oleh Pouw Gun yang menusukkan pedangnya ke punggung Kakek kurus itu dan kemudian pedang itu dikelebatkan untuk mencegat semua jalan keluar! Sungguh merupakan serangan gabungan yang susul-menyusul, bahkan saling bersambungan dan berbahaya sekali. Akan tetapi, apa yang terjadi?
Kakek kurus yang memegang kipas itu, yang berdiri seenaknya dengan kipas dikebut-kebutkan mengipasi tubuhnya, sama sekali tidak menggeser kakinya, sama sekali tidak mengelak, hanya kebutan kipasnya yang tadi mengebuti tubuhnya saja yang berobah gerakannya. Kipas itu berkelebatan ke kanan kiri lalu ke belakang dan terdengar suara nyaring tiga kali yang akibatnya membuat tiga orang perwira tinggi itu berloncatan ke belakang dengan muka pucat.
Juga Pouw Gun meloncat ke belakang dan menatap pedangnya sendiri dengan muka pucat karena tadi, tangkisan kipas butut itu membuat lengannya tergetar hebat, bahkan hampir lumpuh! Kiranya, gagang kipas yang hanya terbuat dari bambu itu, ketika menangkis tiga buah senjata itu, menimbulkan suara nyaring seolah-olah senjata mereka bertemu dengan baja, dan yang luar biasa sekali, setiap kali terbentur senjata tajam, gagang kipas itu langsung melesat dan ujung gagang itu menotok pergelangan tangan. Begitu tepat totokannya sehingga lengan itu seketika menjadi hampir lumpuh!
Sementara itu, Hai-tok juga sudah menghadapi pengeroyokan lima orang tokoh Thian-te pai. Karena ilmu silat Thian-te-kun yang mereka pergunakan itu merupakan penggabungan tenaga lemas dan kasar, lima orang itu menyerang dengan berselang-seling, ada yang melakukan pemukulan dengan amat kuat, ada pula yang menampar dengan lembut namun mengandung tenaga singkang yang berbahaya.
Serangan mereka juga bertubi dan saling susul, karena mereka itu memasang bentuk barisan Ngo-heng-tin dan mengepung dari lima jurusan. Akan tetapi, sikap Kakek tinggi besar berpakaian mewah ini tidak kalah anehnya dari sikap San-tok. Dia membuat gerakan seperti menari, kedua lengannya bergerak ke kanan kiri muka belakang dan dari kedua ujung lengan bajunya menyambar angin yang amat kuat dan empat orang sute dari Coa Bhok terpental, sedangkan Coa Bhok sendiri terhuyung ke belakang!
Padahal wakil ketua Thian-te-pai ini memiliki tenaga singkang yang cukup kuat! Sukar untuk dapat dipercaya betapa hanya dengan angin pukulan saja, Hai-tok membuat lima orang lawan yang tangguh itu terpelanting. Tentu saja wajah Coa Bhok berubah merah sekali. Sebagai wakil ketua Thian-te-pai, tentu saja ilmu kepandaiannya sudah amat tinggi, akan tetapi kenapa menghadapi Kakek ini, padahal dibantu empat orang sutenya, mereka berlima dibuat tidak berdaya seperti lima orang anak kecil saja!
Dia menjadi penasaran dan bersama empat orang sutenya mengepung lagi, seperti juga tiga orang perwira tinggi sekarang sudah mengepung tubuh San-tok yang masih berdiri tegak. Tiga orang perwira tinggi itu sudah menyerang lagi dengan senjata mereka, kini secara berbareng karena mereka maklum bahwa lawan terlalu tangguh untuk diserang secara bergantian. Tiga batang senjata tajam itu menyerang dari tiga jurusan dalam detik yang sama.
Akan tetapi, tiba-tiba mata tiga orang itu menjadi gelap ketika kipas itu mengebut dan berkelebatan di depan muka mereka. Hawa dingin dari angin kipas membuat mereka tidak dapat membuka mata dan tahu-tahu dua orang teman Pouw Gun terpukul gagang kipas, perlahan saja di pundak mereka namun cukup membuat mereka terpelanting dengan golok terlepas dari tangan karena tubuh mereka kehilangan tenaga dan pundak terasa nyeri bukan main.
Adapun Pouw Gun yang lebih lihai dan bertindak hati-hati, dapat mengelak dari sambaran kipas dan tahu-tahu pedangnya sudah menusuk dari samping ke arah lambung San-tok. Kakek ini miringkan tubuh, tangan kirinya bergerak ke bawah dan mencengkeram pergelangan tangan Pouw Gun yang terpaksa melepaskan pedangnya karena dia merasa seolah-olah pergelangan tangannya itu patah-patah. Di lain detik, tengkuknya sudah dicengkeram oleh tangan kiri San-tok dan tidak mampu berkutik lagi!
Di lain bagian dengan amat mudahnya Hai-tok juga sudah membuat para pengeroyoknya Kocar kacir. Serangan-serangan lima orang itu yang dilakukan lebih cepat dan kuat disambutnya dengan totokan-totokan kedua ujung lengan bajunya sehingga dalam segebrakan saja, empat orang sute dari Coa Bhok sudah roboh oleh totokan. Coa Bhok dapat menangkis totokan ujung lengan baju, akan tetapi pada saat itu tangan kanan Hai-tok sudah bergerak mencengkeram ke arah ubun-ubun kepalanya.
Coa bhok terkejut sekali dan dengan menarik tubuh atasnya ke belakang, cengkeraman itu tidak mengenai sasaran. Akan tetapi, cengkeraman itu hanya gertak saja, atau berfungsi sebagai gertakan kalau dielakkan, karena secepat ular mematuk, ujung lengan baju dari tangan yang mencengkeram itu telah mencuat ke depan dan tahu-tahu sudah menotok dan mengenai jalan darah di pundak Coa Bhok, seketika tubuh wakil ketua Thian-te-pai ini menjadi lemas dan Hai-tok telah mencengkeram tengkuknya!
“Hai-tok, terimalah ini!” terdengar San-tok berseru sambil melontarkan tubuh Pouw Gun yang dicengkeramnya tadi.
“Nih, untukmu!” Hai-tok juga berteriak. Keduanya sama-sama melontarkan tubuh orang yang dicengkeram tengkuknya, dengan maksud untuk saling menyerang karena setelah kini tidak ada lagi yang menjadi penghalang, dua orang Racun Dunia ini telah teringat kembali akan persaingan mereka! Dua batang tubuh yang sudah tidak mampu bergerak itu melayang ke udara dan saling bertumbukan di udara. Sungguh sial bagi mereka, tubuh mereka yang melayang itu tepat sekali saling hantam muka sama muka.
“Dukkk...!” Darah muncrat dari hidung dua orang itu yang sama sekali tidak berdaya untuk mengelakkan tubrukan antar hidung itu dan tubuh mereka terbanting ke atas tanah dalam keadaan pingsan!
Dua orang perwira yang maklum bahwa mereka tidak mampu menang menghadapi San-tok, segera menolong Pouw-Gun, memanggulnya dan membawanya pergi tanpa pamit. Juga empat orang tokoh Thian-te-pai menolong wakil ketua mereka dan menggotongnya pergi tanpa pamit. Terlalu hebat peristiwa yang menimpa dua golongan ini. Pouw Gun adalah jagoan pengawal istana yang biasanya amat ditakuti, juga Coa Bhok adalah wakil ketua Thian-te-pai yang berkedudukan dan berkepandaian tinggi.
Akan tetapi sekali ini, dua orang itu hanya menjadi barang permainan yang sama sekali tidak berdaya di tangan dua orang Racun Dunia. Kini dua orang Kakek itu sudah saling berhadapan lagi, seperti lupa akan perkelahian yang baru saja terjadi. Dalam perkelahian tadipun mereka bersaing, tidak mau kalah dan memang mereka menyelesaikan perkelahian itu dalam dua gebrakan saja!
“San-tok, kalau aku dapat mengantarmu ke alam baka sekarang, matipun aku akan dapat terpejam!” kata Hai-tok.
“Ha-ha-ha, aku yang akan membuat engkau mampus dengan mata melek, Racun Lautan!” balas Bu-beng San-kai.
Belum habis ucapan ini Hai-tok sudah menerjang maju didahului oleh sinar kuning emas karena menghadapi lawan berat ini, Si Racun Lautan sudah mencabut tongkat emasnya dan menyerang dengan dahsyat. Tongkat emas itu berobah menjadi sinar berkeredepan menyambar bagaikan kilat cepatnya. Si Racun Gunung tidak mau kalah. Kipas bututnya mengebut dengan tangkisan yang amat kuat.
“Cringgg...!” Bunga api berpijar dan keduanya menarik kembali senjata mereka, lalu saling serang lagi dengan cepat dan bertenaga kuat. Angin sambaran senjata mereka bersiutan, kadang-kadang berdesing saking cepat dan kuatnya. Makin cepat gerakan mereka, makin kabur lagi pandang mata mereka yang nonton perkelahian itu. Bayangan tubuh mereka segera diselubungi gulungan dua sinar, putih dan kuning emas.
Para Hwesio Siauw-lim-pai memandang dengan sinar mata penuh kagum, bahkan mereka yang belum begitu tinggi tingkatnya, tak dapat mengikuti gerakan dua orang tokoh sakti itu dengan jelas. Kini hampir seluruh Hwesio Siauw-lim-pai berada di luar dan sejak tadi nonton peristiwa hebat yang terjadi di luar pintu gerbang kuil mereka. Yang dapat mengikuti perkelahian antara dua orang itu dengan jelas hanyalah Siauw-bin-hud seorang.
Kakek ini juga merasa kagum dan maklum bahwa dua orang itu memang memiliki ilmu silat yang kiranya sukar dicari bandingannya pada jaman itu. Betapa sukarnya kedua orang itu mengumpulkan semua ilmu kepandaian itu, betapa lamanya mereka melatih dan mencari ilmu-ilmu itu. Timbullah rasa sayang dalam hati Hwesio gendut ini.
Dua orang itu sudah tua, tidak perlu bertanding untuk saling membunuhpun akan berapa lama lagi mereka dapat mempertahankan hidup masing-masing? ia tahu bahwa kalau dilanjutkan perkelahian itu, biarpun akan makan waktu yang lama, tentu seorang di antara mereka akan tewas, atau setidaknya keduanya akan menderita luka yang amat parah.
Usia mereka sudah terlalu tua untuk dapat bertahan dalam perkelahian seperti itu. Dia dapat melihat dengan jelas betapa Hai-tok menang kuat dan tongkatnya itu lihai bukan main, akan tetapi di lain pihak, San-tok menang cepat dan agaknya menang daya tahannya, menang kuat napasnya.
“Omitohud, belum cukupkah main-main ini? Ha-ha, kalian seperti dua orang anak kecil berebut kembang gula saja!” Sambil berkata demikian, tiba-tiba nampak tubuh yang gendut itu bergerak maju seperti sebuah bola besar dan tahu-tahu Kakek tua renta gendut itu sudah masuk di antara dua gulungan sinar.
Terdengar dua orang Racun Dunia itu berseru kaget dan dua gulungan sinar itupun lenyap. San-tok dan Hai-tok masing-masing meloncat ke belakang dan mereka memandang kepada Siauw-bin-hud dengan mata terbelalak penuh kagum. Ketika mereka sedang berkelahi dengan penuh semangat tadi, tentu saja mereka melihat masuknya Hwesio tua ini.
Mereka menganggap kebetulan karena mereka memperoleh kesempatan untuk menguji Hwesio ini yang sejak dahulu memang belum pernah dapat mereka kalahkan. Dengan menambah kecepatan gerakan dan besarnya tenaga, mereka mengharapkan untuk dapat membuat Siauw-bin-hud tidak mampu memisahkan mereka, bahkan membahayakan keadaan Hwesio tua itu sendiri.
Akan tetapi, begitu tubuh gendut itu masuk dan kedua tangannya mendorong, ada hawa pukulan yang demikian kuatnya sehingga keduanya tidak sanggup bertahan lagi, masing-masing terdorong ke belakang dan tentu akan terhuyung kalau saja mereka tidak cepat melompat ke belakang untuk melenyapkan tenaga dorong yang amat hebat itu! San-tok lebih dulu dapat menguasai dirinya.
“Ha-ha, memang hanya Siauw-bin-hud yang kiranya mampu menguasai Giok-liong-kiam pada enam tahun yang lalu dan Siauw-bin-hud pula yang kini akan dapat membongkar rahasia ini dan menemukan kembali Giok-liong-kiam.”
Dia lalu melangkah mundur sambil mengipasi tubuhnya yang berkeringat. Perkelahian melawan Hai-tok tadi menyadarkannya bahwa dia sudah tua dan bahwa Hai-tok merupakan lawan yang masih seperti dulu, tangguh dan sukar dikalahkan. Diam-diam Hai-tok masih merasa penasaran terhadap San-tok. Akan tetapi, melihat munculnya Siauw-bin-hud, diapun merasa tidak enak untuk mendesak.
Perbuatan Siauw-bin-hud yang melerai tadi saja sudah membayangkan bahwa Hwesio tua ini merupakan lawan yang lebih berat dibandingkan San-tok, padahal Racun Gunung itupun masih cukup berat baginya dan dia tidak terlalu yakin akan dapat mengalahkan Kakek kurus itu. Maka diapun menyimpan tongkatnya, menarik napas panjang.
“Sudahlah, akupun harus tahu diri. Enam tahun lagi, kalau aku masih hidup, aku ingin melihat engkau memenuhi janjimu, Siauw-bin-hud. Atau kalau tidak, tentu ada yang mewakili aku!”
Setelah berkata demikian, dia mendengus dan memberi isyarat kepada tujuh orang pemuda yang mengiringkannya. Tujuh orang pemuda itu adalah anak buahnya, atau lebih tepat lagi pelayan-pelayan dan juga kekasih-kekasihnya, karena Kakek majikan Pulau Layar ini memang suka sekali dengan pemuda-pemuda remaja yang tampan halus.
Semenjak istrinya meninggal dunia, meninggalkan seorang anak perempuan yang kini sudah berusia kurang lebih sebelas tahun, Kakek ini mulai dengan pemuda-pemuda tampan! Kesukaan memelihara pemuda-pemuda tampan sebagai pengganti selir-selir wanita ini memang banyak dimiliki oleh hartawan-hartawan atau bahkan pejabat-pejabat tinggi di jaman itu.
Setelah rombongan dari Pulau Layar ini pergi, San-tok lalu berlutut dekat murid atau cucu angkatnya yang masih pingsan. Kini wajah Lian Hong tidak begitu kebiruan lagi, mulai putih, dan pernapasannya juga mulai longgar. Beberapa kali dia mengurut leher dan punggung gadis cilik itu dan akhirnya Lian Hong siuman. Ketika Kakek ini mengangkat muka, dia melihat betapa Siauw-bin-hud melakukan hal yang sama terhadap diri Ci Kong dan pemuda cilik itu siuman lebih dahulu.
“Ha-ha-ha, anak baik, sungguh engkau menerima keuntungan besar sekali. Hayo cepat menghaturkan terima kasih kepada Bu-beng San-kai!” kata Siauw-bin-hud kepada Ci Kong.
Tentu saja anak ini mengerutkan alisnya dengan penasaran. Jelas bahwa Kakek itu tadi mencelakakannya melalui penyaluran tenaga dalam, bagaimana sekarang Susiok-Couwnya bahkan menyuruh dia menghaturkan terima kasih?
“Hong Hong, cepat kau haturkan terima kasih kepada Siauw-bin-hud yang telah memberi petunjuk padamu!”
Mendengar ini, Lian Hong cemberut, akan tetapi ia tahu bahwa Kakeknya yang suka senyum-senyum itu berwatak aneh dan tidak mau dibantah, maka biarpun dengan hati panas, terpaksa iapun melangkah maju dan hampir saja ia bertabrakan dengan Ci Kong yang juga melangkah maju untuk memenuhi perintah Susiok-Couwnya. Lian Hong tidak mau minggir, dan Ci Kong yang mengalah dan mengelak ke pinggir. Gadis cilik itu agaknya menanti dan sengaja bersikap lambat.
“Locianpwe, saya menghaturkan terima kasih kepada Locianpwe dan maafkan kelancangan saya tadi.” Ci Kong menambah kalimatnya karena anak yang cerdik ini maklum bahwa Susiok-Couwnya tidak mungkin menyuruhnya berterima kasih kalau tidak ada sesuatu yang menguntungkan dirinya. Karena itulah, di samping menghaturkan terima kasih, sekalian dia minta maaf mengingat betapa tadi dia bersikap lancang dan berani memukul perut Kakek itu.
Melihat betapa pemuda cilik itu telah memberi hormat sambil berterima kasih kepada Kakek angkatnya, Lian Hong juga memaksa dirinya menjura kepada Siauw-bin-hud, akan tetapi suaranya masih terdengar ketus ketika berkata, “Locianpwe, saya menghaturkan terima kasih.”
Hanya dua orang Kakek itu yang tahu akan perbuatan masing-masing. Siauw-bin-hud tadi dengan cepat mengetahui bahwa biarpun kulit tubuh cucu muridnya kehijauan, namun keracunan itu bukan membahayakan. Sebaliknya malah, Kakek kurus yang dijuluki Racun Gunung itu telah mengoperkan tenaga singkang yang hebat kepada Ci Kong, melalui tangan pemuda itu yang tadi menempel di perutnya. Tahulah dia bahwa San-tok juga merasa kagum kepada Ci Kong dan telah berkenan menghadiahi anak itu.
Hal ini saja membuktikan bahwa San-tok kini telah memiliki kasih sayang di dalam hatinya, dan juga perbuatan itu menunjukkan iktikad baik terhadap Siauw-lim-pai. Oleh karena itulah, begitu melihat kesempatan terbuka ketika Lian Hong memukulnya, diapun membalas dengan mengoperkan tenaga sakti ke dalam tubuh anak perempuan itu yang dia tahu juga memiliki bakat yang baik sekali.
“Bagus begitu, Hong Hong. Mari kita pergi dari sini. Siauw-bin-hud, enam tahun lagi aku datang menagih janji!” kata San-tok sambil menggandeng tangan Lian Hong dan merekapun pergi dari tempat itu tanpa menoleh lagi.
Sunyi kembali depan kuil itu setelah semua tamu yang aneh itu pergi. Seperti tidak pernah terjadi sesuatu, para Hwesio lalu kembali melakukan tugas harian mereka masing-masing, akan tetapi semua peristiwa yang terjadi pagi tadi sungguh akan melekat di dalam hati mereka dan sampai lama akan menjadi bahan percakapan mereka di waktu sebelum tidur.
Siauw-bin-hud lalu mengumpulkan keempat orang pimpinan Siauw-lim-si, juga Nam San Lo-su, Nam Thi Hwesio, dan Ci Kong diajak masuk ke dalam ruangan belakang di mana Kakek gendut itu bicara dengan suara sungguh-sungguh walaupun sikapnya masih ramah dan senyumnya tak pernah meninggalkan wajahnya yang bulat.
“Kalian semua tentu tahu bahwa munculnya urusan Giok-liong-kiam ini mengikatkan pinceng pada sebuah tugas, hal yang sama sekali tak pernah pinceng duga-duga. Akan tetapi, segala sesuatu memang sudah digariskan dan kita hanya tinggal melaksanakannya saja. Ada orang mempergunakan nama pinceng untuk merampas pusaka itu. Jelaslah bahwa maksudnya, selain mengalihkan perhatian agar dia dapat menyimpan pusaka itu dengan aman, juga dia meminjam nama Siauw-lim-pai dengan maksud mencari keamanan dan juga mungkin saja untuk mengadu domba. Nah, tidak ada lain pilihan lagi, pinceng sendiri harus pergi mencari benda yang menimbulkan keributan itu.”
“Maaf, susiok. Apakah tidak lebih baik kalau susiok mengutus murid-murid saja untuk melakukan penyelidikan, mencari dan merampas kembali pusaka itu?”
Siauw-bin-hud tersenyum akan tetapi menggelengkan kepalanya. “Pinceng dapat menduga bahwa orang yang merampas pedang itu tentu seorang yang lihai sekali. Buktinya, orang-orang pandai seperti San-tok dan Hai-tok saja tidak mampu mencarinya dan dapat ditipu sehingga mereka mencari ke sini. Tidak, harus pinceng sendiri yang mencarinya. Bukankah dia memakai nama pinceng untuk perbuatannya itu? Pinceng sendiri yang akan pergi dan pinceng hanya minta ditemani oleh Ci Kong ini saja.”
Nam San Losu terkejut, akan tetapi juga girang. Hal itu berarti bahwa muridnya itu akan memperoleh kemajuan yang luar biasa. Di bawah bimbingan susioknya sendiri yang demikian sakti! “Akan tetapi, dia masih kanak-kanak, apakah tidak hanya akan menjadi beban dan gangguan bagi susiok?” katanya.
“Justru karena dia masih kanak-kanak maka akan cocok untuk pergi menemani pinceng. Ci Kong, maukah engkau menemani pinceng untuk mencari pusaka yang diperebutkan itu?”
Tentu saja Ci Kong merasa girang bukan main. Dia sudah maklum bahwa Susiok-Couwnya ini memiliki kesaktian luar biasa, maka kalau dia boleh menemani Kakek itu berarti dia akan dapat memperoleh banyak petunjuk dalam ilmu silat tinggi. Dia cepat berlutut di depan Kakek itu. “Teecu akan merasa girang dapat melayani Susiok-Couw.”
“Ha-ha-ha, anak cerdik. Kalau begitu bersiaplah, sekarang juga kita berangkat.”
Semua orang terkejut mendengar rencana pemberangkatannya yang tiba-tiba ini, akan tetapi karena mereka semua sudah tahu akan watak yang luar biasa anehnya dari Siauw-bin-hud, mereka tidak berani membantah. Dan tak lama kemudian Siauw-bin-hud nampak berjalan keluar dari kuil Siauw-lim-si, menggandeng tangan Ci Kong yang menggendong buntalan besar berisi pakaiannya sendiri dan pakaian Hwesio itu, diantar oleh para Hwesio sampai di lereng bukit.
Kota Kan-cou di Propinsi Kiang-si merupakan kota yang cukup besar dan ramai karena kota itu juga menjadi kota pelabuhan perahu-perahu yang melayari Sungai Kan-kiang. Karena Sungai Kan-kiang itu mengalir ke utara, maka banyaklah tukang perahu sibuk melayarkan para pedagang yang mengirim barang-barang ke daerah pedalaman, ke kota-kota besar di bagian utara. Memang pada waktu itu, sarana pengangkutan barang maupun orang yang paling cepat, praktis dan murah adalah melalui sungai.
Juga kota Kan-cou menjadi semakin ramai dan penuh manusia karena kebanjiran pengungsi dari barat ketika terjadi pemberontakan-pemberontakan di Hunan, baik pengungsi orang-orang kaya yang menyelamatkan harta benda mereka maupun pengungsi-pengungsi miskin yang menyelamatkan nyawa mereka. Bertambahnya toko-toko yang dibuka oleh para pengungsi kaya, makin meramaikan kota itu, akan tetapi, bertambah pula pengemis dan gelandangan yang tidak mempunyai rumah dan tidak mempunyai pekerjaan pula.
Orang-orang berebutan mencari pekerjaan, dan karena banyaknya pengangguran, tak dapat dihindarkan lagi banyak pula terjadi kejahatan-kejahatan. Tak dapat disangkal pula bahwa segala macam perbuatan jahat seperti pencurian, penjambretan, pencopetan, bahkan perampokan, timbul dari keadaan yang dicengkeram kemiskinan.
Orang-orang yang sudah tersudut karena tidak memiliki pekerjaan, atau orang-orang pemalas yang tidak suka bekerja dan ingin mencari uang mudah, atau orang-orang yang tidak merasa puas dengan keadaannya, condong untruk mudah terbujuk dan menjadi pelaku-pelaku kejahatan. Hal ini bukan berarti bahwa orang kaya raya tidak mau melakukan kejahatan. Setidaknya, tidak mau melakukan pencurian.
Akan tetapi orang kaya raya sekalipun, kalau batinnya memang tamak dan tidak puas dengan keadaannya dan selalu ingin lebih dari pada yang dimilikinya, condong pula untuk melakukan kejahatan yang lain bentuknya akan tetapi sama saja sifatnya, yaitu demi kesenangan sendiri tanpa memperdulikan bahwa perbuatannya itu merugikan orang lain. Mereka itu melepas uang panas dengan bunga tinggi, menindas para petani dan buruh, mempermainkan perdagangan demi keuntungan mereka, bermanipulasi dan korupsi, dan sebagainya.
Uang atau harta benda memang merupakan sarana hidup, satu di antara persyaratan untuk hidup bahagia dan mencari uang bahkan merupakan suatu kaharusan yang mutlak kalau kita ingin mempunyai sandang pangan dan papan yang cukup. Akan tetapi pengejarannya terhadap uang itulah yang amat berbahaya.
Pengejaran yang dilakukan karena kebutuhan masih tidak begitu berbahaya, akan tetapi pengejaran yang didorong oleh kelobaan, oleh nafsu ingin meraih keadaan yang dianggap lebih baik dari pada keadaan yang ada sekarang, amat berbahaya dan condong untuk menjerumuskan kita ke dalam perbuatan jahat, merugikan orang lain.
Seperti orang yang mengejar-ngejar sesuatu di depan sana, matanya hanya tertuju kepada yang dikejarnya sehingga kalau ada orang lain berada di depannya, dianggap penghalang dan dilompati, bahkan mungkin ditendangnya untuk dapat mencapai apa yang dikejarnya. Pengejaran inilah yang perlu kita amati pada diri sendiri, pengejaran uang menimbulkan pencurian, penipuan, korupsi dan sebagainya.
Pengejaran kedudukan menimbulkan jegal-jegalan, perkelahian bahkan perang. Pengejaran kesenangan sex menimbulkan pelacuran, perjinahan. Kesenangan apapun juga bentuknya di dunia ini kalau sudah menguasai kita, dapat saja menjadi pendorong agar kita mengejar-ngejar, menjadi suatu tujuan dan biasanya, tujuan menghalalkan segala cara bagi orang-orang yang sudah buta akan kesadaran.
Kita hidup berhak untuk menikmati kesenangan, akan tetapi justeru pengejaran akan keadaan yang lebih dari pada sekarang itulah yang melenyapkan kesenangan yang ada pada saat ini. Mata kita selalu tertuju ke depan, kepada kesenangan-kesenangan yang belum ada, kepada bayangan-bayangan sehingga kita tidak melihat lagi keindahan apa yang ada pada kita.
Pada hari itu sudah ramai di pusat kota Kan-cou. Apa lagi di pasar-pasar, para pedagang sudah memamerkan dagangannya dan para pembelanja sudah hilir-mudik mencari-cari barang-barang yang dibutuhkan. Ramai suara para pedagang menawarkan dagangannya, memuji barang-barang dagangannya dan berusaha menarik orang-orang yang berlalu lalang agar berbelanja di tempatnya.
Ada pula pengemis-pengemis tua muda yang berjalan-jalan, menggunakan segala cara untuk menarik perhatian dan kasihan orang, minta-minta dengan tangan diulurkan, dengan suara yang memelas. Lucunya, ada pula yang pura-pura timpang, pura-pura buta. Ada pula anak-anak, dari usia lima tahun sampai yang remaja berusia belasan tahun, berkeliaran, minta-minta atau mencari barang-barang yang dapat dimakan, di tempat-tempat sampah, kadang-kadang berebutan dengan anjing-anjing yang banyak pula berkeliaran di situ.
Bau sayur busuk, ikan dan tanah lumpur menyesakkan hidung, akan tetapi agaknya bau campur aduk seperti ini terasa sedap oleh mereka yang sudah terbiasa. Seorang anak laki-laki remaja, berusia kurang lebih tigabelas tahun, dengan baju tambal-tambalan, berdiri di depan seorang penjual bakpao. Anak itu bertubuh sedang dan melihat betapa urat-urat tubuhnya menonjol, dapat diduga bahwa anak ini sejak kecil biasa dengan pekerjaan kasar dan keras.
Mukanya agak pucat dan muka itu tampan gagah, juga menunjukkan kekerasan. Sepasang matanya tajam dan berani, akan tetapi pada saat itu matanya memandang ke arah tumpukan bakpao mengepul panas dengan gairah besar. Beberapa kali dia menelan ludah sendiri dan perutnya yang sejak kemarin tidak diisi itu terasa semakin perih. Sudah sebulan dia terseret arus pengungsi memasuki kota Kan-cou dan biarpun setiap hari dia mencari dan melamar pekerjaan.
Namun tidak ada yang dapat menerimanya. Pekerjaan terlalu sedikit dan yang membutuhkan terlalu banyak. Anak seusia dia itu dianggap masih kepalang tanggung, disebut anak-anak bukan, dewasapun belum. Anak ini bernama Gan Seng Bu, berusia tigabelas tahun. Sejak kecil dia ikut Ayah bundanya yang bekerja sebagai pemburu dan selalu berpindah-pindah.
Akan tetapi, ketika terjadi pemberontakan di barat, Ayah bundanya menjadi korban dan tewas di tangan gerombolan pemberontak. Dia sendiri berhasil melarikan diri dan demikianlah, dia hidup seorang diri sebagai gelandangan, tak bersanak kadang tanpa pekerjaan dan satu-satunya miliknya hanyalah pakaian dan sepatu yang menempel di tubuhnya, yang kini sudah menjadi penuh tambalan dan butut.
Seng Bu merasa betapa perutnya lapar bukan main. Kalau saja dia bisa memperoleh bakpao itu, sebuah saja! Akan tetapi dia tidak mempunyai uang dan tadi dia sudah memberanikan diri minta dari pedagang bakpao. Yang diterimanya hanya makian sehingga dia terpaksa menjauhkan diri dan memandang ke arah tumpukan bakpao itu seperti seekor harimau kelaparan memandang seekor kelinci gemuk yang diintainya.
Tidak, dia tidak mau mencuri, atau melakukan kekerasan mengambil bakpao lalu melarikan diri. Dia sudah melihat betapa ada pencuri disiksa orang banyak sampai mati, pernah pula melihat pencuri disiksa oleh petugas keamanan sampai lumpuh kaki tangannya. Dia tidak akan senekad itu. Pula, sejak kecil dia digembleng oleh Ayahnya yang keras untuk menjadi orang gagah yang pantang mencuri, demikian satu di antara pelajaran yang diterima dari Ayahnya.
Tiba-tiba matanya tertarik oleh gerakan seorang pemuda remaja lain. Pemuda remaja itu bertubuh jangkung, dan usianya sebaya dengan dia, mukanya kurus pula akan tetapi matanya jelilatan. Seperti dia pula, pemuda itu pakaiannya penuh tambalan dan pemuda itu mendekati tempat penjualan bakpao dari belakang. Pada saat si pedagang bakpao sibuk melayani beberapa orang pembeli yang merubungnya, tiba-tiba saja pemuda jangkung itu menyambar dua buah bakpao dari tumpukan di belakang tanpa diketahui oleh si pedagang atau para pembelinya.
Akan tetapi Seng Bu melihatnya! Engkau harus selalu menentang kejahatan, demikian pelajaran yang diterima dari Ayahnya. Biarpun si pedagang bakpao tadi menghardiknya, akan tetapi kini bakpaonya dicuri orang dan dia melihatnya. Dia harus mencegahnya, kalau tidak berarti dia menjadi pembantu pencuri, demikian pelajaran yang diingatnya.
Tanpa ragu lagi diapun lalu lari mengejar pemuda remaja yang melarikan dua buah bakpao itu. Setelah tiba di luar pasar, barulah Seng Bu berhasil menyusul pencuri itu dan dia segera mencengkeram pundak pemuda remaja tinggi kurus itu dari belakang.
“Eh, mau apa kau?” bentak pemuda itu dengan marah sambil membalikkan tubuhnya menghadapi Seng Bu, matanya yang tajam itu memancarkan kemarahan.
“Kau telah mencuri bakpao!” bentak Seng Bu marah, apa lagi melihat bahwa bakpao yang sebuah tinggal separo, agaknya telah dimakan oleh pencuri itu sambil lari tadi.
Pemuda jangkung itu memandang dengan senyum mengejek. “Apakah engkau pemilik bakpao itu? Jelas bukan, engkau tentu seorang pemuda gelandangan. Habis kau mau apa?”
“Kembalikan bakpao itu kepada pemiliknya!”
“Aha, engkau seperti petugas keamanan saja. Engkau kurus dan pucat. Nih, kuberi separuh. Makanlah!”
Seng Bu memandang kepada bakpao yang tinggal separuh itu. Nampak daging di dalamnya dan kembali perutnya merintih. Akan tetapi dia teringat akan pelajaran Ayahnya dan betapa hinanya menerima sogokan seorang pencuri! “Aku tidak sudi makan barang curian. Hayo kembalikan atau aku akan menyeretmu ke sana!”
Sepasang mata yang tadi memandang dengan ejekan itu menjadi tajam karena kemarahan. “Kau mau menyeretku? Setan buruk, kau kira aku takut kepadamu?” Pemuda jangkung itu menantang sambil mengantongi bakpaonya.
“Kau pencuri yang perlu dihajar!” Seng Bu berseru dan diapun lalu menyerang dengan pukulan tangannya.
Pemuda remaja jangkung itu menangkis dan balas memukul. Terjadilah perkelahian dan terdengar suara bak-bik-buk ketika keduanya saling pukul. Dari gerakan mereka dapat diketahui bahwa keduanya tidak mempergunakan ilmu silat melainkan berkelahi dengan kasar dan liar. Akan tetapi keduanya memiliki tenaga besar dan tubuh yang kuat sehingga beberapa pukulan yang mereka terima tidak membuat mereka roboh atau mengaku kalah.
Perkelahian ini segera menarik perhatian orang dan mereka dirubung banyak orang yang menjadi gembira nonton perkelahian yang seruini. Tak seorangpun melerai, bahkan ada suara-suara berpihak, memilih jago masing-masing. Perkerlahian antara dua orang remaja yang tidak paham ilmu silat tentu saja lebih ramai dan menegangkan dari pada perkelahian antara ahli-ahli silat. Seorang ahli silat pantang terkena pukulan dan memiliki kepandaian untuk menghindarkan diri. Akan tetapi dua orang pemuda remaja itu membagi-bagi pukulan yang diterima oleh badan mereka sehingga nampaknya lebih ramai.
Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa. Suara ketawanya bebas lepas dan terbahak-bahak, dan nampaklah seorang Kakek gendut bulat memasuki tempat perkelahian itu. Kakek itu nampak sekali. Melihat kepalanya yang botak hampir gundul, dengan rambut di bagian belakangnya dikuncir pendek dan tebal, jelas bahwa dia bukan seorang Hwesio.
Akan tetapi tubuh dan kesederhanaannya itu membayangkan dia seorang pendeta. Kepalanya seperti bola bulat, telinga, mata, mulut dan hidungnya juga serba bulat. Dia tidak berjenggot, alis dan kumisnya pendek akan tetapi tebal dan berdiri seperti sikat kaku. Bajunya longgar akan tetapi kancingnya tidak dapat ditutup karena perutnya yang amat besar itu mengganjal.
Baju itu terbuka sehingga nampak dada dan perut, dihiasi bulu sepanjang tengah dada menurun sampai ke pusarnya yang besar. Celananya dari kain tebal dan kuat, sedangkan sepatunya juga masih baru. Di pinggaangnya tergantung sebuah ciu-ouw (tempat arak) dan sebuah mangkok butut tersembul dari kantongnya.
“Ha-ha-ha-ha, kalian dua jagoan kecil. Bukan di sini tempat berkelahi. Mari ikut aku ke tempat yang lebih enak!” Berkata demikian, Kakek itu melangkah maju melerai dan menyentuh pundak dekat tengkuk kedua orang anak remaja yang sedang berkelahi itu.
Tiba-tiba saja keduanya menghentikan perkelahian, memandang kepada Kakek gendut itu dan tanpa bersuara lagi, seperti dua ekor anak kerbau, mereka mengikuti Kakek itu yang meninggalkan tempat itu.
Penonton juga bubaran, melanjutkan pekerjaan masing-masing dan sebentar saja perkelahian antara dua orang anak gelandangan itupun dilupakan orang. Tak seorangpun tahu mengapa dua orang anak yang sedang berkelahi itu tiba-tiba saja menurut dan taat kepada Kakek yang melerai dan mengajak pergi mereka. Padahal, keduanya belum mengenal siapa Kakek itu.
Hanya dua orang anak itu yang tahu. Ketika Kakek itu melerai dan menyentuh pundak mereka, tiba-tiba saja kedua lengan mereka menjadi lemas dan seperti lumpuh! Tentu saja mereka berdua menjadi kaget bukan main, dan ketika Kakek itu mengajak mereka, keduanya tidak berani membantah. Kedua lengan mereka tidak dapat mereka gerakkan, tergantung lepas dan lumpuh, hal ini saja sudah membuat mereka menjadi takut dan khawatir.
Hanya Kakek itu yang akan dapat memulihkan kedua lengan mereka, maka merekapun menurut saja ketika diajak pergi. Seng Bu sendiri dapat menduga bahwa Kakek ini tentu seorang sakti. Biarpun Ayahnya tidak pandai silat, hanya memiliki tubuh kekar sebagai seorang pemburu, namun Ayahnya banyak bercerita tentang pendekar-pendekar dan orang-orang sakti.
Pemuda jangkung itupun memiliki nasib yang tidak jauh bedanya dengan Seng Bu. Pemuda itu bernama Ong Siu Coan, berusia tigabelas tahun dan dari keluarga petani. Ayahnya pernah menjadi seorang petani yang cukup keadaannya sehingga Ong Siu Coan sempat pula bersekolah. Akan tetapi ketika terjadi pemberontakan, Ayahnya ikut pula memberontak karena Ayahnya membenci pemerintah penjajah Mancu.
Pemberontakan itu dapat dipadamkan dan seluruh keluarga Ong Siu Coan binasa, harta bendanya ludas dirampok pasukan pemerintah. Untung baginya bahwa dia sendiri masih dapat menyelamatkan dirinya dan arus pengungsi membawanya sampai ke kota Kan-cou. Dia melakukan perjalanan dari utara sampai berbulan-bulan sebelum tiba di Kan-cou. Seperti juga Seng Bu, sukar sekali baginya untuk mendapatkan pekerjaan.
Baginya lebih sukar lagi karena ada sedikit keangkuhan dalam dirinya, merasa bahwa dia pernah menjadi anak sekolah sehingga dia enggan bekerja kasar. Akan tetapi, berbeda dengan Seng Bu, agaknya dia tidak mengharamkan mencuri makanan kalau perutnya sudah tidak tahan lagi. Betapapun juga, di dalam dadanya bernyala api perjuangan menentang pemerintah penjajah. Pemuda remaja ini memiliki kegagahan, patriot, juga cerdik sekali, selain itu juga ada keanehan-keanehan pada wataknya.
Siapakah Kakek gendut itu? Orang-orang kang-ouw biasa saja tidak akan mengenalnya, akan tetapi kaum tua di dunia kang-ouw tentu akan terkejut melihat munculnya orang yang sudah belasan tahun lamanya tidak pernah lagi nampak di dunia ramai itu. Orang ini terkenal sekali puluhan tahun yang lalu karena dia adalah seorang diantara Empat Racun Dunia! Inilah yang dijuluki orang Thian-tok (Racun Langit) yang memiliki kesaktian setingkat dengan San-tok atau Hai-tok!
Seperti juga San-tok, dia selama belasan tahun bertapa di gunung-gunung dan baru sekarang nampak muncul di dunia ramai, dan dalam keadaan sederhana, tidak seperti Hai-tok yang menjadi seorang kaya raya. Ketika Kakek ini dalam perantauannya tiba di luar pasar dan melihat dua orang pemuda remaja saling gebuk dengan ramainya, diam-diam dia memperhatikan dari jauh. Dan giranglah hatinya.
Dia melihat bakat yang amat baik pada diri dua orang muda itu maka dia sengaja membawa dua orang muda itu ke tempat sunyi setelah membuat mereka tidak berdaya dengan semacam ilmu totok jalan darah yang amat halus. Thian-tok membawa mereka berdua ke sebuah kuil tua yang sudah tidak dipergunakan lagi, sebuah kuil kosong yang kotor dan rusak. Tempat inilah yang menjadi tempat tinggalnya selama beberapa hari ini dan dia berjalan terus memasuki kuil tua sampai tiba di sebuah ruangan dalam yang cukup luas.
“Nah, di sini kalian boleh melanjutkan perkelahian sampai ada yang kalah atau menang!” katanya sambil menepuk pundak kedua orang anak itu yang seketika merasa betapa mereka mampu menggerakkan lagi kedua lengan mereka.
Dua orang anak ini saling pandang. Kemarahan sudah lenyap dari mereka, terganti rasa heran dan kagum akan kesaktian Kakek itu. Dan tiba-tiba ada suatu pikiran menyelinap di dalam benak mereka. Jelaslah bahwa Kakek ini hendak menguji mereka! Dan siapa tahu, yang menang akan diambil murid! Betapa akan gembiranya kalau sampai bisa menjadi murid orang sakti ini, pikir mereka dan kini mereka sudah saling pandang lagi dengan sikap bermusuh karena mereka hendak bersaing dan berebutan menjadi murid Kakek sakti.
“Ha-ha, nanti dulu!” kata Thian-tok melihat sinar mata mereka. “Sebelum dimulai, aku ingin mengetahui dulu siapa kalian.”
“Namaku Ong Siu Coan,” kata pemuda jangkung.
“Namaku Gan Seng Bu,” kata pula pemuda tegap.
“Bagus, bagus! Nama-nama yang bagus dan gagah. Nah, Siu Coan dan Seng Bu, sekarang buka baju kalian. Baju kalian sudah robek-robek dan akan menjadi hancur kalau tidak dibuka. Apa lagi kalau kalian tidak mempunyai pengganti.”
Baru teringatlah dua orang muda remaja itu akan pakaian mereka dan masing-masing menunduk dan memandang baju mereka yang robek-robek dengan muka sedih. Lalu merekapun menanggalkan baju mereka, menaruh di sudut ruangan itu. Kini mereka hanya memakai celana dan sepatu saja, tanpa baju. Mengingat akan baju mereka yang robek-robek, kemarahan kembali memenuhi dada mereka ketika mereka berdiri saling berhadapan.
“Ha-ha-ha, bagus, sekarang kalian mulailah saling hantam. Ingin aku melihat siapa yang menang,” kata Kakek itu dambil naik ke atas tembok rendah. Bersila dan menurunkan tempat arak dari pinggang, juga mengambil mangkoknya.
Ucapan itu merupakan komando bagi kedua orang pemuda remaja itu. Keduanya sudah saling terjang dan saling pukul, melanjutkan perkelahian mereka di depan pasar tadi. Hanya sekarang mereka bukan sekedar melampiaskan kemarahan, melainkan berusaha untuk menang karena mereka menduga bahwa pemenangnya tentu akan diberi pelajaran silat dan diambil murid oleh Kakek gendut yang sakti ini.
Terdengar lagi suara bak-bik-buk ketika mereka saling pukul sekenanya, dan Kakek itu menjadi kegirangan. Sambil menuangkan arak ke dalam mangkok dan diminumnya perlahan-lahan, dia menonton perkelahian sambil tertawa-tawa memang amat kuat dan keduanya tahan uji benar-benar. Muka mereka sudah matang biru oleh pukulan, hidung mereka sudah mengeluarkan darah terkena pukulan, akan tetapi keduanya tidak mau undur selangkahpun.
Melihat ini, Kakek itu menjadi semakin girang dan tertawa-tawa senang. “Bgus! Siu Coan, pukul saja dia! Seng bu, jangan mau kalah kau!” Teriaknya berulang-ulang, memberi hati kepada keduanya sehingga dua orang anak itu menjadi semakin sengit untuk saling mengalahkan.
Akan tetapi agaknya Siu Coan lebih cerdik dari pada Seng Bu, walaupun dalam hal tenaga dan keuletan mereka seimbang. Karena dia lebih jangkung, Siu Coan mulai dengan gencar menyerang kepala Seng Bu dari atas. Hal ini membuat Seng Bu kewalahan, apa lagi setiap kali ada pukulan mengenai ubun-ubun kepalanya, dia merasa pening.
“Ho-ho... Seng Bu, jegal kakinya dan hantam lehernya!” Tiba-tiba Kakek itu memberi nasihat ketika melihat Seng Bu mulai terdesak. Seng Bu mentaati pesan ini dengan otomatis, kakinya menyapu ke arah kaki Siu Coan dan tangannya menghantam leher.
“Plak... Dukkk...!” Tubuh Siu Coan terpelanting karena dia selalu memperhatikan atas dan ketika kakinya ditendang dan lehernya dihantam, diapun tidak mampu bertahan dan terguling.
“Siu Coan, pegang kuncirnya! Ha-ha-ha!” Kembali si gendut memberi nasihat dan Siu Coan yang sedang terpelanting itu cepat menggunakan tangan kiri mencengkeram kuncir Seng Bu sehingga pemuda remaja inipun ikut pula tertarik dan mereka berdua terbanting jatuh bergulingan.
Dan mereka lalu melanjutkan perkelahian dengan bergulat di atas lantai. Thian-tok yang berwatak aneh itu menjadi semakin gembira. Dia selalu memberi nasihat kepada yang terdesak sehingga dari keadaan terdesak, berbalik menjadi menang, akan tetapi hanya sebentar karena si gendut itu berbalik pula memberi nasihat kepada yang kalah sehingga keadaan kembali berobah.
Sampai hampir dua jam mereka berhantam, bergulat dan akhirnya keduanya menggeletak kelelahan, terengah-engah hampir putus napasnya dan tidak mampu melanjutkan, hanya mendeprok di atas lantai dan saling pandang melalui mata yang bengkakbengkak membiru!
“Ha-ha-ha, istirahatlah sebentar. Nih, kuberi arak biar segar!” Kakek itu lalu menyemburkan arak dari mulutnya dan dua orang pemuda remaja itupun kehujanan arak yang amat halus dan mereka merasa terkejut bukan main karena arak itu seperti ratusan buah jarum yang menusuk-nusuk kulit mereka! Akan tetapi rasanya memang segar mengenai kulit dan biarpun begitu terkena arak bekas-bekas pukulan lawan itu terasa perih, akan tetapi lambat laun rasa linu dan nyeri berkurang banyak.
“Nah, sekarang mulailah lagi, atau seorang di antara kalian harus mengaku kalah!”
Tentu saja dua orang remaja ini tidak mau mengaku kalah dan biarpun semua tulang dalam tubuh terasa patah-patah saking lelahnya, mereka bangkit berdiri lagi dan mulailah mereka berkelahi lagi. Ong Siu Coan mulai menyerang, akan tetapi karena dia mempergunakan semua sisa tenaganya dan pukulan itu luput, tubuhnya terhuyung ke depan dan hampir jatuh. Akan tetapi Gan Seng Bu tidak mempergunakan kesempatan ini, hanya berdiri memandang lawannya yang terhuyung.
“Heh-heh, Siu Coan, salahmu sendiri. Bukan begitu caranya menyerang lawan. Nih, begini, tirulah gerakan ini!” Kakek gendut itu sudah bangkit berdiri di atas tembokan rendah dan dengan lambat namun jelas memberi contoh sejurus pukulan kepada Siu Coan.
Pemuda ini cerdik sekali, memperhatikan kedudukan kaki dan gerakan tangan ketika Kakek itu memberi contoh. Setelah merasa paham betul, dia lalu menghampiri Seng Bu dan segera menyerang dengan gerakan seperti yang diajarkan oleh Kakek gendut. Seng Bu juga melihat gerakan seperti yang diajarkan oleh Kakek itu, akan tetapi dia tidak tahu bagaimana cara menghadapinya, maka dengan ngawur saja diapun mencoba untuk menangkis.
“Dess...!” Akibatnya, tubuhnya tiba-tiba terpelanting dan jatuh terbanting cukup keras, membuat kepalanya menjadi pening.
“Ha-ha-ha, diserang orang bukan melawannya dengan jatuh bangun dan membiarkan diri dipukul!” Tiba-tiba Kakek itu berseru lagi. “Seng Bu, beginilah kalau engkau menghadapi serangan jurus Burung Bangau Menyambar Katak tadi, perhatikan baik-baik.” Kakek itu memberi contoh, kedua tangannya membentuk cakar dan lengannya bergerak seperti gerakan dua kaki depan harimau, kedua kakinya membuat kuda-kuda yang kokoh kuat. Seng Bu mencontohnya dan merasa dapat memahaminya.
“Nah, kalian lanjutkan sekarang!” kata si Kakek gendut. Siu Coan yang merasa bangga dengan jurusnya yang berhasil baik tadi menjadi penasaran. Tak mungkin Seng Bu dapat menahan serangannya seperti tadi, pikirnya. Dia pun maju lagi dan menyerang dengan jurus tadi, yang oleh si Kakek gendut dinamakan Burung Bangau Menyambar Katak. Seng Bu menyambutnya dengan jurus seperti yang diajarkan si Kakek.
Tangan kanannya berhasil menangkis patukan burung yang dilakukan oleh tangan lawan, kemudian dengan cepat tangan kirinya yang membentuk cakar itu menyambar muka lawan. Siu Coan terkejut dan menarik muka ke belakang, akan tetapi cakaran tangan kanan menyusul dan diapun terjengkang ke belakang dan terbanting jatuh!
“Ha-ha-ha! Itulah jurus Harimau Mencakar Batang Pohon! Engkau harus berhatihati, Siu Coan dan jangan terlalu mengandalkan sebuah seranganmu, melainkan membagi perhatian untuk berjaga diri.”
Dengan gembira sekali Kakek itu lalu memberi petunjuk kepada kedua orang muda remaja itu, mengajarkan jurus baru kepada yang kalah sehingga yang kalah berbalik menang, dan yang menang itu berbalik kalah. Persis seperti tadi, akan tetapi kalau tadi dia hanya memberi petunjuk-petunjuk gerakan tertentu, kini dia memberi petunjuk jurus-jurus silat sehingga dua orang muda itu berkelahi dengan menggunakan jurus-jurus ilmu silat.
Dua orang pemuda remaja itupun makin lama makin genbira mempelajari jurus-jurus itu. Lenyaplah semua permusuhan di antara mereka dan kini mereka menganggap lawan menjadi teman berlatih silat! Akan tetapi tenaga mereka terbatas dan akhirnya kembali mereka mendeprok di atas lantai. Mereka saling pandang dan jantung mereka berdebar keras karena dalam sinar mata mereka ketika saling pandang itu.
Keduanya merasa seolah-olah mereka saling memberi isyarat yang mereka mengerti, yaitu bahwa keduanya merasa girang dapat saling berkenalan, bahwa terdapat kecocokan yang hangat karena mereka saling serang dan sama-sama berlatih silat tadi, dan bahwa mereka berdua sama-sama ingin menjadi murid Kakek gendut sakti itu!
Ong Siu Coan berkedip memberi isyarat, lalu dia bangkit duduk, berlutut menghadap Kakek gendut. “Kakek yang baik, kami berdua mohon agar dapat menjadi muridmu.”
Kakek itu membuka matanya dan sinar mencorong menyambar ke arah Siu Coan. “Heh-heh-heh!” Dia hanya tertawa.
Akan tetapi Seng Bu juga sudah bangkit duduk, lalu berlutut di samping kiri Siu Coan sambil berkata, “Benar, Locianpwe, kami berdua mohon dapat menjadi murid Locianpwe.”
“Ha-ha-ha-ha, bukankah kalian tadi berkelahi dan saling bermusuhan?”
Siu Coan dan Seng Bu menoleh dan saling pandang. Tidak ada sedikitpun rasa permusuhan dalam hati mereka terhadap satu sama lain, dan keduanya tersenyum. “Sekarang kami tidak lagi bermusuhan,” kata Siu Coan.
“Kami malah merasa cocok dan suka, Locianpwe,” kata Seng Bu.
“Ha-ha-ha, sungguh lucu. Ong Siu Coan, coba jawab terus terang, mengapa engkau ingin menjadi muridku?”
Tanpa ragu-ragu Siu Coan menjawab lantang, “Saya ingin dapat menjadi seorang pandai yang dapat berjuang untuk bangsa, menjadi seorang pahlawan yang mengusir penjajah dari tanah air!”
Sepasang mata Kakek gendut itu terbelalak. Memang aneh sekali mendengar ucapan seperti itu keluar dari mulut seorang anak jembel yang tadi mati-matian berkelahi memperebutkan sepotong roti! Dan dia tertawa bergelak. Agaknya Kakek ini memang suka sekali tertawa, suara ketawa yang bebas dan lepas akan tetapi nadanya selalu mengejek.
“Ha-ha-ha, cita-cita yang terlalu tinggi, lebih tinggi dari pada cita-citaku, Ha-ha-ha! Dan kau, Gan Seng Bu, kenapa engkau ingin menjadi muridku?”
“Saya melihat Locianpwe seorang sakti, maka saya ingin menjadi murid Locianpwe agar memiliki kepandaian untuk menolong orang-orang lemah. Dunia begini kejam dan banyak orang menderita sengsara, saya mau mempergunakan kepandaian untuk menentang gerombolan yang mengganggu rakyat!”
Tentu saja jawaban Seng Bu ini terdorong oleh pengalaman keluarganya yang binasa oleh gerombolan pemberontak yang di samping memberontak terhadap pemerintah, sebagian besar juga melakukan perampokan-perampokan dan mengganggu rakyat jelata yang tidak tahu apa-apa.
“Ha-ha-ha, maksudmu gerombolan pemberontak?” Seng Bu teringat akan gerombolan yang membasmi keluarganya dan dia mengangguk.
“Wah, kalau begitu kelak kalian tentu akan bermusuhan lagi. Siu Coan ingin menjadi pemimpin pemberontak dan engkau akan menjadi penentang pemberontak. Bagaimana ini?”
“Locianpwe, saya ingin memberontak terhadap penjajah Mancu, bukan pengganggu rakyat jelata!” Siu Coan berkata dengan tegas dan penuh semangat kegagahan.
“Dan saya tidak membela pemerintah, melainkan membela rakyat yang tertindas!” kata pula Seng Bu.
“Ha-ha-ha, bagus, bagus. Aku suka menjadi guru kalian...”
“Suhu...!” kata Siu Coan dan Seng Bu hampir berbareng, berlutut di depan kaki Kakek gendut itu.
Si Kakek gendut tertawa bergelak beberapa lamanya, lalu tiba-tiba dia berhenti ketawa dan bersikap sungguh-sungguh. “Kalian gigit lengan kiri sendiri sampai keluar darah!” Tiba-tiba dia berkata, sekali ini tidak tertawa lagi, bahkan suaranya terdengar galak.
Dua orang anak itu hanya sebentar saja kelihatan kaget, akan tetapi tanpa menoleh ke sana-sini, Siu Coan lalu membawa lengan kirinya ke mulut dan menggigit lengan dekat pergelangan sampai kulit terobek dan darah mengalir keluar. Seng Bu juga melakukan hal yang sama walaupun tidak secepat Siu Coan.
“Mendekatlah!” Siu Coan san Seng Bu merangkak dekat, dan Kakek itu lalu menarik lengan mereka, menekan dan beberapa tetes darah keluar dari luka itu, ditadahnya dengan mangkok. Setelah menadahi beberapa tetes darah dari kedua orang pemuda remaja itu di dalam mangkok, dia lalu menuangkan arak ke dalam mangkok.
“Kalian benar-benar ingin menjadi muridku?” Dua orang anak laki-laki itu mengangguk. “Kalau begitu bersumpahlah kepada darahmu sendiri bahwa kalian berdua sejak sekarang menjadi saudara seperguruan dan tidak boleh bermusuhan satu sama lain, dan ke dua, kalian harus mentaati apa saja yang kuperintahkan tanpa ragu-ragu dan tanpa bertanya-tanya.”
“Baik, Suhu.” Atas petunjuk Thian-tok, kedua orang anak itu lalu berlutut delapan kali dan mengucapkan sumpah itu, dan atas permintaan Thian-tok menambahkan bahwa kalau mereka melanggar sumpah, mereka akan mati mandi darah. Kakek itu lalu minum sedikit arak bercampur darah itu, kemudian minta kepada Siu Coan dan Seng Bu untuk minum pula, seorang separuh. Dua orang pemuda remaja itu tanpa ragu-ragu minum arak bercampur darah mereka dan barulah Kakek itu tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha-ha, selama hidupku baru satu kali aku mempunyai murid, akan tetapi dia sudah mengecewakan hatiku. Sekarang tiba-tiba aku mendapatkan dua orang murid yang menyenangkan. Eh, Siu Coan dan Seng Bu, tahukah kalian siapa yang menjadi guru kalian ini?”
Dua orang anak itu mengangkat muka memandang wajah gurunya dan baru sekarang mereka teringat bahwa mereka itu sama sekali tidak mengenal Kakek yang telah menjadi guru mereka ini, dan betapa aneh pertemuan antara mereka dengan guru mereka itu. Mereka menggeleng kepala dan memandang dengan sinar mata penuh pertanyaan.
Kakek gendut itu tertawa. Perutnya yang besar itu bergerak-gerak seperti ada apa-apanya yang hidup di sebelah dalamnya dan matanya mengeluarkan sinar mencorong yang membuat kedua orang anak itu merasa serem dan takut. Ada sesuatu pada diri Kakek peramah ini yang amat menyeramkan dan menakutkan.
“Ha-ha-ha, ketahuilah bahwa gurumu ini bukan orang sembarangan, bahkan pada waktu ini dapat dibilang menduduki tempat nomor satu dan paling tinggi di dunia persilatan!”
Tentu saja dua orang pemuda remaja itu terkejut dan girang, akan tetapi juga merasa ragu-ragu. Apakah Kakek yang menjadi guru mereka ini tidak terlalu sombong, pikir mereka.
“Orang menjuluki aku Thian-tok, Racun Langit! Ha-ha-ha, Racun Langit, seorang di antara empat Racun Dunia, akan tetapi jelas bahwa akulah yang paling hebat, ha-ha!”
Dua orang pemuda remaja itu menoleh dan saling pandang. Jangan-jangan Kakek gendut ini telah miring otaknya, pikir mereka. Mereka berdua sama sekali tidak pernah mendengar julukan dengan segala Racun itu.
“Heh-heh, tentu saja kalian tidak pernah mendengar nama itu. Kalian bukan dari keluarga kang-ouw, bahkan orang-orang kang-ouw yang kepalang tanggung saja tidak akan mengenalku. Akan tetapi, ketahuilah bahwa kalian akan kujadikan jagoan-jagoan yang paling unggul di dunia ini.”
“Terima kasih, Suhu,” kata dua orang anak itu, masih agak ragu-ragu walaupun girang.
Demikianlah, mulai hari itu, Ong Siu Coan dan Gan Seng Bu menjadi murid-murid Thian-tok dan dua orang pemuda remaja ini mengikuti Kakek itu merantau. Makin lama mereka menjadi murid Kakek itu, mereka menjadi semakin kaget, heran dan takut di samping perasaan girang karena Kakek itu memang benar sakti sekali dan mengajarkan ilmu-ilmu yang amat tinggi kepada mereka. Yang membuat mereka merasa serem adalah setelah makin lama mereka makin mengenal watak Kakek itu.
Watak yang aneh, mendekati gila, dan kadang-kadang dapat bersikap kejam bukan main, membunuh orang sambil tertawa-tawa saja, tidak pantang pula mencuri dan melakukan perbuatan-perbuatan jahat lainnya. Akan tetapi semua perbuatan itu dilakukan sambil tertawa dan dengan mempergunakan ilmu yang mengagumkan hati dua orang pemuda remaja itu.
Ong Siu Coan yang juga memiliki watak ugal-ugalan dan aneh, di samping kecerdikan luar biasa, agaknya suka dan cocok sekali dengan watak gurunya yang aneh itu, bahkan dia dapat ikut tertawa-tawa kalau gurunya menyiksa atau membunuh orang. Adapun Gan Seng Bu yang melihat semua ini, diam-diam merasa tidak suka. Akan tetapi karena Kakek itu sayang kepadanya dan menurunkan pelajaran ilmu-ilmu yang tinggi, diapun menahan diri dan berlatih dengan giatnya....