Pedang Naga Kemala Jilid 05 karya Kho Ping Hoo - DIAM-DIAM dia mengkhawatirkan keadaan suhengnya, Siu Coan yang agak lebih tua menjadi suheng dan dia menjadi sute, karena suhengnya ini kadang-kadang juga aneh seperti orang gila.

Banyak tempat mereka jelajahi dan kadang-kadang Kakek itu mengajak mereka pulang, yaitu ke sebuah guha besar di puncak Tai-yun-san di mana Thian-tok suka bertapa dan bersembunyi di dunia ramai.
Dan di dalam gua besar yang banyak rahasianya inilah Thian-tok menyimpan barang-barangnya yang ternyata amat banyak dan cukup membuat orang menjadi kaya raya, yaitu benda-benda hasil pengumpulannya ketika dia masih menjadi datuk sesat dan tumpukan benda itu masih terus ditambah dari hasil pencuriannya di gedung-gedung besar milik para hartawan atau bangsawan.
Semenjak terjadi peristiwa antara dia dengan mendiang guru silat Siauw Teng yang kemudian disusul pula dengan peristiwa dengan Tan Siucai, hati hartawan Ciu Lok Tai merasa tidak enak dan selalu terancam. Dia dapat merasakan bahwa sesungguhnya banyak terdapat orang-orang seperti mereka itu, dan bahwa tulisan-tulisan Tan Siucai menghasut orang-orang yang mungkin kini memandang kepadanya dengan penuh kebencian. Orang-orang yang tidak setuju adanya candu yang beredar di kalangan masyarakat.
Oleh karena itu, dia lalu memanggil Jagoan-jagoan dari seluruh Kanton untuk menjadi pengawal-pengawalnya. Akan tetapidia selalu kurang puas dengan mereka ini. Dari hubungan dagangnya dengan orang barat, dia berhasil memperoleh sebuah senjata api yang selalu dibawanya ke manapun dia pergi. Bahkan di waktu tidur sekalipun senjata api itu disimpan di bawah bantalnya.
Saking khawatirnya akan keselamatan diri sendiri dan keluarganya yang timbul dari perasaan banyak dimusuhi orang, Ciu Wangwe atau Ciu Lok Tai selalu merasa tidak puas dengan jagoan-jagoan yang mengawalnya dan setiap ada jagoan baru yang datang untuk bekerja padanya, dia mengujinya dengan pistolnya! Setiap orang calon harus mampu menghadapi serangan pistolnya dalam jarak tiga tombak sebanyak tiga kali tembakan!
Dan sampai beberapa tahun lamanya, hasilnya tidak memuaskan entah sudah berapa banyaknya jagoan yang roboh tertembus peluru, ada yang tewas dan banyak yang luka-luka. Tentu saja mereka tidak diterima, hanya diberi uang sekedar biaya berobat atau mengurus penguburannya saja. Dan makin jarang yang berani datang melamar pekerjaan kepala pengawal itu.
Terpaksa Ciu Wangwe harus mengandalkan keselamatannya pada pengawalan hampir seratus orang pengawal yang selalu mengepung gedungnya, hal yang amat tidak enak dirasakannya. Dia menghendaki satu dua orang saja pengawal yang benar-benar tangguh, yang mampu menghadapi musuh yang datang menyerang dengan senjata api!
Dan sesungguhnya bukan karena ingin mempunyai pengawal yang tangguh saja dia mencari orang yang mampu menandingi pistolnya, akan tetapi selain itu juga dia ingin mencarikan seorang guru untuk putrinya yang terkasih. Ciu Wan-gwe mempunyai banyak istri, akan tetapi hanya dari seorang selirnya yang paling disayangnya sajalah dia memperoleh keturunan, seorang anak perempuan.
Oleh karena itu, tidak mengherankan apa bila dia dan sekeluarganya amat sayang kepada Ciu Kui Eng, puterinya itu. Puterinya itu sejak kecil suka sekali dengan ilmu silat dan sejak kecil telah disuruhnya para pengawal yang memiliki ilmu silat yang lihai untuk memberi gemblengan kepada puterinya. Namun semua usahanya itu sia-sia. Agaknya tidak ada ahli silat yang berani lagi mencoba ujian dengan pistol itu.
Tentu saja, di dunia persilatan banyak yang akan mampu menandingi lawan yang berpistol, akan tetapi para pendekar yang berjiwa patriot mana sudi menghambakan diri kepada seorang hartawan yang membantu penyebaran racun madat kepada rakyat jelata? Itulah sebabnya mengapa sampai lewat enam tahun setelah terjadi peristiwa dengan Tan Siucai, Ciu Wan-gwe belum juga mendapatkan seorang jagoan yang mampu menandingi pistolnya.
Dan selama enam tahun itu, terpaksa pula Kui Eng hanya belajar ilmu silat dari guru-guru biasa yang menjadi pengawal-pengawal Ayahnya. Pada suatu pagi, Kui Eng berlatih ilmu silat di pekarangan depan gedungnya, dipimpin oleh tiga orang guru silat sekaligus. Guru-guru silat ini merupakan kepala-kepala pengawal di gedung Ciu Wan-gwe. Anak ini memang manja, karena dimanja oleh keluarga orang tuanya.
Kalau berlatih kadang-kadang ia minta dilakukan di pekarangan depan. Hal ini adalah karena kemanjaannya, untuk pamer karena kalau ia berlatih di pekarangan itu, orang-orang di luar gedung dapat melihatnya melalui pintu besi terbuka. Ia senang sekali mendengar seruan kagum dari orang-orang yang lewat, dan pandang mata mereka yang penuh kagum.
Ia tidak perduli apakah mereka itu sungguh-sungguh mengagumi kelincahannya bersilat, atau kecantikannya, atau juga hanya sekedar mengeluarkan seruan kagum untuk menyenangkan hatinya sebagai puteri orang terkaya di Tungkang! Ia tidak perduli. Pokoknya, ia ingin dipuji dan disanjung orang. Memang menyenangkan sekali nonton gadis cilik itu bersilat.
Pada waktu itu, Kui Eng telah berusia dua belas tahun, seorang gadis remaja yang sudah mulai nampak kecantikannya walaupun masih kekanak-kanakan. Wajahnya manis sekali, sinar matanya tajam dan pakaiannya indah.
Gerakan-gerakannya juga indah dan manis gemelai, seperti orang menari saja dan tiga orang guru silat yang melatihnya memandang sambil kadang-kadang mengangguk-anggukkan kepala dengan hati bangga. Ketika orang-orang di luar pintu gerbang berkerumun ikut nonton, hati tiga orang guru silat ini semakin besar. Kamilah gurunya, demikian hati mereka bersorak.
“Heiiiittt...!!” Kui Eng mengakhiri gerakan silatnya dengan sebuah pukulan mematikan kepada lawan yang hanya dibayangkannya saja, kemudian ia berdiri tegak ke arah pintu gerbang sambil tersenyum manis, menggerakkan kepala untuk memindahkan kuncir rambutnya yang hitam panjang itu ke belakang.Terdengarlah tepuk tangan dan sorakan memuji dari luar pintu gerbang dan seperti seorang pemain panggung yang menerima pujian para penontonnya, Kui Eng mengangguk-angguk ke arah mereka sambil memperlebar senyumnya. Akan tetapi, dari penonton itu muncul seorang Kakek yang pakaiannya jubah pendeta atau tosu.
Kakek ini sukar ditaksir usianya, tentu sudah lanjut sekali usianya. Tubuhnya pendek kecil, kepalanya botak hampir gundul. Alis, kumis dan jenggotnya panjang dan sudah putih semua, dan tangan kirinya memegang tasbeh hitam, tangan kanannya memegang sebatang tongkat hitam butut.
“Heh-heh, nona cilik. Engkau tadi menari ataukah bersilat? Uhhh, bukan begitulah orang bersilat!”
Wajah gadis cilik yang tadinya berseri-seri itu berubah, sepasang alisnya yang hitam berkerut dan sepasang matanya yang tajam itu memandang marah.
“Kau... Kakek lancang mulut! Siapakah kau?” bentaknya sambil membanting kaki kanannya karena jengkel dicela oleh Kakek itu yang dianggapnya sebagai penghinaan dan mengusir semua rasa bangga dari hatinya.
“Heh-heh, kalau engkau haus pujian seperti itu, sampai kapanpun engkau tidak akan bisa menguasai ilmu silat yang sesungguhnya, kecuali ilmu tari-tarian yang nampak indah saja. Lebih baik belajar menari saja, nona.”
Melihat munculnya Kakek itu yang mencela ilmu silat murid mereka, tentu saja tiga orang guru silat yang juga menjadi kepala pengawal itu menjadi marah sekali. Mereka maju menghadapi Kakek itu dan memandang dengan penuh perhatian, ingin tahu siapa gerangan Kakek yang lancang dan berani mencela murid mereka itu.
Akan tetapi, mereka merasa belum pernah mengenal Kakek ini, juga tidak pernah mendengar adanya seorang tokoh persilatan seperti Kakek ini. Seorang Kakek pendek kecil, ditiup saja rasanya sudah akan terjungkal! Pada saat itu, terdengar suara pertanyaan yang nyaring, “Ada apakah? Kenapa ribut-ribut?”
Melihat munculnya Ayahnya dari dalam, Kui Eng yang manja lalu lari dan merangkul pinggang Ayahnya. “Ayah, Kakek itu kurang ajar sekali, berani mencela ilmu silatku, mengatakan agar aku belajar menari saja karena ilmu silatku seperti orang menari.”
Sementara itu tiga orang guru silat ketika melihat majikan mereka keluar, menjadi semakin galak, seperti anjing-anjing peliharaan yang mengibaskan ekor melihat majikannya dan ingin menjilat dan mencari muka. “Kakek tua bangka tak tahu diri, berani engkau lancang mulut mencela permainan murid kami?” Seorang di antara tiga kepala pengawal itu membentak.
“Kalau tidak melihat engkau sudah tua mau mati, tentu aku sudah menghajarmu!” teriak pula orang ke dua.
“Engkau ini Kakek busuk yang tidak tahu apa-apa tentang ilmu silat, besar mulut sekali berani menilai!” bentak orang ke tiga.
“Tahan dulu!” Ciu Wan-gwe berseru melihat betapa tiga orang kepala pengawalnya mulai bergerak hendak menghajar Kakek itu dan belasan orang pengawal yang tertarik oleh keributan itupun sudah keluar dan siap untuk mengeroyok.
Tiga orang kepala pengawal itu tentu saja menahan gerakan mereka ketika mendengar teriakan majikan mereka. Ciu Wan-gwe lalu duduk di atas sebuah kursi yang diseret datang oleh seorang pengwalnya, kemudian dia memandang Kakek yang masih berada di perkarangan itu.
Sejenak ia memandang keadaan Kakek itu penuh perhatian, mengharapkan akan bertemu dengan seorang aneh yang sakti. Akan tetapi hatinya kecewa. Kakek setua itu, dengan tubuh begitu kerempeng, mana mungkin sakti? jalannya saja sudah dibantu tongkat hitam butut, dan kerjanya tentu hanya berdoa dan menghitung biji tasbeh!
“Ayah, dia kurang ajar, berani menghinaku,” puterinya yang berdiri di sisinya berkata penasaran. Ayahnya mengangguk, lalu berkata kepada Kakek itu,
“Kakek tua, sungguh kami tidak mengerti mengapa engkau begitu usil untuk mencela permainan silat anakku. Anakku ini selama bertahun-tahun dilatih ilmu silat oleh mereka bertiga, bagaimana sekarang engkau berani mencela permainan anakku? Dengan demikian berarti engkau mencela ilmu silat mereka bertiga. Apakah menurut pendapatmu engkau memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi dari pada mereka bertiga itu?”
Kakek itu sambil menyeringai lebar, memperlihatkan mulut yang tidak bergigi lagi, memandang sejenak kepada Ciu Wangwe, kemudian menoleh kepada tiga orang kepala pengawal itu dan berkata, “Mereka bertiga ini seperti anjing-anjing yang pandai menggonggong saja akan tetapi tidak mampu menggigit!”
Tentu saja tiga orang kepala pengawal itu menjadi marah bukan main, apa lagi ketika mereka melihat betapa pandang mata semua orang berseri seolah-olah mentertawakan mereka, walaupun tidak ada suara ketawa yang terdengar. Akan tetapi, di depan majikan mereka, tidak berani mereka bertindak lancang.
“Taiya (tuan besar), Kakek tua bangka ini terlalu menghina kami, bolehkah kami menghajarnya?” seorang di antara mereka minta perkenan.
Ciu Wan-gwe kembali memandang Kakek itu. “Kakek tua, beranikah engkau melawan tiga orang kepala pengawal kami ini?” Lalu disambungnya, “Kalau kau tidak berani, cepat berlutut dan minta ampun kepada puteriku, juga kepada tiga orang kepala pengawalku!”
“Ho-ho, jangankan baru tiga ekor anjing penjilat ini, biar ditambah tiga puluh lagi, tongkatku masih sanggup mengusir mereka!” Kakek itu mengacung-acungkan tongkat hitamnya seolah-olah bersikap hendak mengusir anjing-anjing yang berani mengganggunya.
Tentu saja ucapan dan sikapnya ini dianggap keterlaluan dan mulailah orang-orang menganggap bahwa Kakek itu tentu seorang yang miring otaknya. Ciu Wangwe juga menduga demikian, maka diapun merasa tidak enak kalau tiga orang kepala pengawalnya sampai mengeroyok seorang Kakek tua renta yang gila.
“Seret orang tua gila ini keluar pintu dan lemparkan dia di jalanan!” bentak Ciu Wan-gwe kepada tiga orang kepala pengawalnya.
Tiga orang kepala pengawal yang tadinya marah sekali itu kinipun saling pandang. Mereka juga menduga bahwa Kakek ini tentu orang gila, maka tidak enaklah hati mereka kalau harus menghajar, apa lagi mengeroyok seorang Kakek gila yang sekali dorong saja akan roboh dan mungkin tewas. Mereka tidak mau mencari perkara dan biarlah mereka akan menyeret saja Kakek itu dan melemparnya keluar pintu seperti yang diperintahkan majikan mereka.
“Kakek gila, minggatlah dari sini!” teriak mereka dan tiga orang kuat itu lalu mencengkeram tubuh si Kakek. Seorang memegang lengan kiri, seorang memegang lengan kiri, seorang lengan kanan dan orang ke tiga mencengkeram tengkuk Kakek itu.
Mereka bermaksud untuk menyeretnya dan melemparkannya keluar. Akan tetapi kini terjadi keanehan yang membuat semua orang terbelalak. Tiga orang kepala pengawal itu tentu saja adalah orang-orang yang bertenaga besar, berusia kurang dari lima puluh tahun dan memiliki ilmu silat yang cukup lihai. Akan tetapi kini mereka bertiga itu nampak terkejut karena ternyata mereka tidak kuat dan tidak mampu menarik tubuh si Kakek tua!
Biarpun mereka telah mengerahkan tenaga membetot-betot, namun sedikitpun tubuh Kakek itu tidak bergeming! Kakek itu berdiri tegak dan hanya tersenyum menyeringai, akan tetapi tiga orang kepala pengawal itu seperti tiga ekor monyet yang berusaha mencabut sebatang pohon yang akarnya mencengkeram tanah amat kuatnya! Tiga orang itu tentu saja bukan hanya terkejut dan heran, akan tetapi juga penasaran sekali.
“Uhhh! Hehhh! Uhhh!” Mereka mengerahkan tenaga sekuatnya, tidak percaya bahwa mereka tidak akan mampu menyeret tubuh tua yang ringkih itu.
“Prooott...!” Tanpa disangka-sangka, dan tidak dapat ditahan-tahan, seorang di antara tiga kepala pengawal itu yang pagi tadi terlalu banyak makan bubur gandum, mengeluarkan gas yang memberobot dari belakang. Agaknya pengerahan tenaga sekuatnya itu membuat bendungan belakangnya jebol.
“Uwahhhh... bau kentut busuk...!” Kakek itu menutupi hidungnya dengan sikap jijik dan memandang kepada Ciu Wan-gwe. “Wan-gwe lihat, betapa sia-sianya memberi makan enak kepada mereka ini, hanya menjadi kentut busuk saja!”
Terdengar suara ketawa karena mereka yang nonton di luar pintu gerbang tak dapat menahan rasa geli di dalam hati mereka melihat peristiwa lucu itu. Tentu saja tiga orang kepala pengawal itu selain terkejut dan heran, juga marah dan penasaran sekali. Kini merekapun dapat menduga bahwa Kakek ini seorang pandai, akan tetapi karena Kakek itu mereka anggap terlalu menghina dan juga merendahkan mereka dalam pandangan Ciu Wan-gwe, berarti membahayakan kedudukan mereka, maka merekapun menjadi nekat.
“Tua bangka, engkau menggunakan ilmu siluman!” teriak mereka dan kini mereka tidak hanya berusaha menyeret, melainkan menggerakkan tangan untuk memukul tubuh Kakek kecil kurus itu dengan pengerahan tenaga yang kuat. Tiga buah tangan yang dikepal kuat menghantam ke arah punggung, dada dan kepala Kakek itu yang agaknya sama sekali tidak mau mengelak atau menangkis. Melihat ini, semua orang merasa khawatir, bahkan Ciu Wan-gwe sendiri mengerutkan alisnya.
Kakek itu tentu akan tewas dan dia tidak suka melihat tiga orang kepala pengawal itu membunuh orang di rumahnya tanpa perintah darinya. Terdengar suara bak-bik-buk ketika tiga kepalan tangan itu menimpa sasarannya. Akan tetapi terjadilah keajaiban. Bukan tubuh kecil kurus itu yang ringsek, melainkan tubuh tiga orang kepala pengawal itulah yang terpental, terjengkang dan terbanting keras ke atas tanah!
Tiga orang kepala pengawal itu tidak terluka parah, hanya benjut-benjut saja karena terbanting. Mereka terpental oleh tenaga sendiri yang membalik secara aneh. Andaikata mereka tadi memukul dengan tenaga kecil, tentu mereka tidak akan menderita apa-apa, dan mungkin hanya pukulan itu membalik. Akan tetapi mereka menggunakan tenaga besar dan ketika tenaga mereka membalik, mereka seperti terpukul oleh tenaga sendiri yang membuat mereka terpental dan terjengkang.
“Kakek iblis!” Teriak mereka dan kini mereka sudah menyambar golok mereka. Tiga orang ini adalah kepala pengawal Ciu Wan-gwe yang berpengaruh di antara para pejabat daerah, oleh karena itu mereka berani mempergunakan senjata tajam walaupun ada peraturan resmi dari pemerintah yang melarang orang memiliki dan membawa senjata tajam. Dengan kemarahan meluap, tiga orang itu sudah menerjang Kakek kecil kurus dan pendek itu tanpa banyak cakap lagi.
Ciu Wan-gwe hendak mencegah, akan tetapi tiba-tiba diapun tertarik sekali. Siapa tahu Kakek pendek kecil ini seorang yang sakti dan dia amat membutuhkan orang sakti, terutama sekali yang akan mampu menandingi pistolnya! Dia membutuhkan seorang pengawal sakti, bukan hanya untuk menjaga keselamatan keluarganya, juga terutama sekali untuk dapat menjadi guru Kui Eng. Maka, dia membiarkan tiga orang kepala pengawalnya itu untuk menyerang Kakek itu untuk mengujinya.
Semua orang memandang dengan mata terpentang lebar-lebar untuk mengikuti gerakan mereka yang berkelahi. Tiga orang kepala pengawal itu menyerang si Kakek kecil dari tiga jurusan dan Kakek itu agaknya tidak akan berpindah dari tempat dia berdiri. Akan tetapi sungguh aneh sekali. Ketika tiga orang penyerang itu telah tiba dekat dan golok mereka itu sudah menyambar, hanya tinggal beberapa sentimeter saja dari tubuh Kakek itu.
Tiba-tiba mereka bertiga mengeluarkan teriakan kaget dan tubuh mereka terlempar ke kanan kiri, padahal Kakek itu hanya memutar tasbehnya satu kali saja dan tidak kelihatan tasbeh itu mengenai tubuh mereka. Sekali ini, tiga orang Kakek itu terbanting keras sekali dan golok mereka terlepas, dan sekali ini tidak mudah bagi mereka untuk meloncat bangun, melainkan mengaduh-aduh dan mencoba untuk merangkak bangun.
Kini mereka telah sampai di batas yang tidak mungkin untuk mundur lagi. Mereka jelas telah mendapat malu dari Kakek itu, bukan hanya di depan majikan mereka, bahkan di depan banyak orang yang berkerumun di depan pintu. Mereka akan menjadi bahan ejekan, nama mereka akan merosot dan jatuh. Tidak ada lain jalan kecuali nekat mengadu nyawa dengan orang yang mendatangkan malapetaka bagi mereka itu.
Biarpun tubuh mereka terasa sakit-sakit, dan biarpun mereka kini sudah tahu bahwa Kakek itu sungguh seorang yang amat lihai, mereka yang sudah nekat itu lalu berhasil bangkit kembali, mengambil golok mereka dan dengan sikap mengancam kini mengurung Kakek itu yang hanya tersenyum menyeringai dengan sikap mengejek dan memandang rendah.
“Tahan...!” Tiba-tiba terdengar bentakan Ciu Wan-gwe kepada tiga orang kepala pengawalnya. “Mundurlah kalian dan biarkan aku bicara dengan Kakek itu!”
Mendengar perintah majikan mereka, tiga orang itu menyimpan golok dan mundur, dengan hati yang agak lega karena mereka kini dapat menghentikan perkelahian itu bukan karena kalah, melainkan karena dilerai dan dilarang oleh majikan mereka. Semua orang dapat melihat bahwa walaupun sudah dua kali roboh, mereka masih belum menyerah dan akan menyerang lagi, berarti mereka belum kalah! Mereka kini berani mengangkat dada sambil mundur mendekati nona majikan, juga murid mereka yang kini bersama Ayahnya sudah turun dari atas undak-undakan.
“Orang tua yang gagah,” kata Ciu Wan-gwe ketika berhadapan dengan Kakek itu. “Sudah lama sekali kami mencari seorang pengawal yang memiliki kesaktian. Akan tetapi usaha kami itu selalu gagal karena semua pelamar tidak mampu lulus dalam ujian yang kami adakan. Melihat kehebatanmu yang mampu melawan tiga orang kepala pengawalku, agaknya engkau memiliki kepandaian yang tinggi. Maukah engkau menjadi pengawal keluarga kami? Berapa saja upah yang kau minta, tentu akan kami penuhi!”
Sejenak mata Kakek itu memandang Ciu Wangwe dengan sinar mata penuh selidik, kemudian dia tertawa. “Heh-heh, semua orang di dunia ini gila akan uang, dari kecil sampai tua dan mati. Akan tetapi apakah artinya uang bagi seorang tua renta macam aku ini? Tidak, Wangwe, aku tidak gila harta. Aku mau tinggal di sini dan menjadi pengawal keluargamu, bukan untuk uang, melainkan untuk anak itu!”
Kakek kecil pendek itu menudingkan tongkat hitamnya ke arah Kui Eng yang sejak tadi berdiri nonton dengan sepasang mata bersinar-sinar. Mendengar ucapan itu, Ciu Wan-gwe mengerutkan alisnya dan sudah siap mengerahkan seluruh pengawalnya kalau Kakek kecil itu hendak berbuat yang tidak sepatutnya.
“Orang tua yang aneh, apa artinya kata-katamu yang menyangkut puteri kami ini?” tanyanya dengan suara setengah membentak karena dia menyangka bahwa Kakek itu mempunyai niat yang tidak baik.
“Heh-heh, kalau bukan karena puterimu itu, perlu apa aku datang ke tempat ini? Kakek itu balas bertanya. “Tadi aku telah melihat gerak-geriknya dan aku berpendapat bahwa baru sekaranglah aku menemukan calon murid yang sudah lama kucari-cari.”
Mendengar ini, bukan main girangnya rasa hati Ciu Wan-gwe. “Kakek yang sakti, tidak mudah menjadi guru puteriku dan pengawal pribadi keluargaku. Engkau harus melalui sebuah ujian dariku...”
“Heh-heh, kau terlalu mengandalkan dan membanggakan senjata apimu itu, Wangwe. Orang lain boleh jadi takut menghadapinya, akan tetapi aku tidak!”
Mendengar jawaban ini, hati Ciu Wan-gwe menjadi semakin girang. Baru sekaranglah timbul harapan di dalam hatinya yang ingin menemukan seorang yang demikian saktinya sehingga bukan saja berilmu tinggi, akan tetapi juga mampu mengalahkan lawan yang mempergunakan senjata api.
Ketika dia melihat bahwa banyak orang berkerumun di depan pintu gerbang, Ciu Wan-gwe lalu menyuruh para pengawal mengusir orang-orang itu dan menutupkan daun pintu gerbang, kemudian dia mempersilahkan Kakek itu dengan sikap hormat.
“Orang tua yang gagah, sebelum kita bicara tentang pengangkatanmu sebagai pengawal keluarga dan guru puteriku, marilah lebih dahulu buktikan bahwa engkau mampu menandingi orang yang mempergunakan senjata api. Bagaimana?”
Berkata demikian, hartawan itu lalu mengeluarkan sebuah pistolnya, senjata yang amat diandalkan, dan yang ditakuti oleh semua orang, termasuk para pengawalnya. Entah sudah berapa banyak orang berkepandaian tewas atau luka-luka oleh senjata ini ketika mereka diuji untuk menjadi pengawal keluarga Ciu.
Kakek itu terkekeh. “Heh-heh, boleh saja, boleh sekali. Bagaimana caranya, Wan-gwe?”
“Seperti yang pernah saya lakukan kepada para pelamar pekerjaan pengawal keluarga kami. Engkau berdiri dalam jarak tiga tombak dan menghadapi serangan pistolku sebanyak tiga kali. Kalau engkau tidak roboh oleh tiga kali tembakan, berarti kau lulus. Akan tetapi kalau merasa gentar, sebaliknya batalkan saja karena sudah banyak orang yang terluka bahkan tewas oleh peluru-peluru pistol ini.” Berkata demikian, Ciu Wan-gwe mengelus pistolnya yang dipelihara baik-baik sampai mengkilap.
Kakek itu terkekeh. “Heh-Heh-heh, jarak tiga tombak cukup dekat bagiku untuk merobohkan orang yang akan menembakku. Mungkin sebelum menembak dia sudah jatuh olehku. Akan tetapi kalau engkau hendak mengujiku dengan tiga tembakan, silahkan, Wan-gwe. Tembakan pertama akan kutangkis. Tembakan ke dua akan kuelakkan dan tembakan ke tiga sebelum meletus, pistol itu sudah akan pindah ke tanganku!”
Semua orang terbelalak dan menganggap Kakek itu benar-benar sudah gila, atau memang orangnya sombong setengah mati. Mana ada orang mampu menangkis peluru? Mengelakkan mungkin bisa walaupun hal ini amat sukar dan berbahaya. Dan merampas peluru sebelum ditembakkan juga rasanya tidak mungkin. Akan tetapi Ciu Wan-gwe mempunyai penilaian tinggi terhadap Kakek kecil pendek ini dan diapun mengajak Kakek itu untuk pergi ke ruangan belakang.
“Kami mempunyai ruangan yang khusus untuk ujian itu, agar peluru tidak sampai nyasar membahayakan orang lain.”
Sambil tersenyum-senyum Kakek itu lalu mengikuti Ciu Wan-gwe dan para pengawal yang semua segera tertarik untuk menyaksikan kelihaian Kakek ini. Kui Eng sendiri sejak tadi sudah merasa kagum kepada Kakek yang mampu mengalahkan tiga orang gurunya hanya dalam dua gebrakan saja, maka iapun tidak mau ketinggalan dan ikut ke ruangan itu dengan wajah berseri dan pandang mata bersinar-sinar.
Suasana amat menegangkan ketika Kakek itu dengan kedua tangan masih memegang tongkat dan tasbeh, berdiri dengan sikap amat tenangnya di depan Ciu Wan-gwe, hanya dalam jarak tiga tombak saja, kurang lebih lima meter!
“Sebelum aku menembakkan pistolku, aku ingin mengetahui siapakah sebetulnya Locianpwe ini, datang dari mana dan mengapa tiba-tiba saja mengunjungi kami?” Ciu Wan-gwe bertanya sambil menimang-nimang pistolnya yang sudah diisi enam peluru baru.
Karena dia sendiri tidak pandai ilmu silat dan untuk mempelajarinya memakan waktu lama dan dia tidak tekun, maka dia mempelajari ilmu menembakkan pistol itu dan dalam hal ini Ciu Wan-gwe dapat dibilang mahir juga. Tidak enak rasanya menembak orang yang belum diketahuinya siapa karena mungkin saja Kakek ini akan tewas oleh peluru pistolnya.
“Ciu Wan-gwe, begitu memasuki Tung-kang, aku sudah mendengar bahwa engkau mencari seorang pengawal keluarga dengan ujian pistol. Kau ingin mengetahui namaku? Heh-heh, aku tidak punya nama, akan tetapi aku pernah dikenal orang dengan julukan Tee-tok (Racun Bumi), heh-heh! Dan tempat tinggalku adalah di dunia ini, di mana saja aku berada di situlah tempat tinggalku. Nah, aku sudah siap, Ciu Wan-gwe.”
Nama ini sama sekali tidak dikenal oleh Ciu Wan-gwe maupun para pengawalnya yang saling pandang. Akan tetapi sikap Kakek itu sungguh mengesankan hati semua orang dan kini timbul kepercayaan di hati hartawan itu bahwa Kakek inilah yang kiranya akan mampu lulus ujian pistolnya.
“Baik, Locianpwe, aku akan menghitung sampai tiga baru akan kutembakkan peluru pertama yang disusul peluru ke dua dan ke tiga tanpa hitungan lagi. Awas, tembakanku cepat dan tepat, Locianpwe.”
“Ha-ha-ha, aku sudah siap sejak tadi, mulailah!”
“Satu... dua... tiga... Dorrr...! Tringgg...!”
Ketika Ciu Wan-gwe tadi menghitung sampai tiga, Kakek itu tiba-tiba memutar tongkatnya dan nampaklah gulungan sinar hitam lebar menutupi tubuhnya di bagian depan seperti sebuah perisai lebar sehingga ketika tembakan pertama dilakukan, peluru itu tertangkis perisai istimewa itu dan pelurunya terpental entah kemana. Ciu Wan-gwe terkejut dan sudah siap menembakkan peluru ke dua.
Pada jaman itu, pistol yang dipergunakan besar dan berat, memiliki daya tendang yang kuat sehingga untuk menembakkannya orang harus mengerahkan tenaga dan membanting ke depan. Hal ini tentu saja memperlambat gerakan menembak dan begitu pistol itu meledak dan asap mengepul sebagai tembakan ke dua, tubuh Kakek kecil pendek itu sudah lenyap karena dia sudah melempar tubuh ke atas tanah, beberapa detik saja dari lewatnya peluru yang mengenai dinding tebal di belakangnya!
Ternyata Kakek itu mampu menghindarkan diri dari peluru ke dua dengan cara mengelak seperti yang dijanjikannya tadi. Ciu Wan-gwe melihat tubuh kecil itu bergulingan. Dia teringat bahwa Kakek tadi berjanji akan merampas pistol sebelum tembakan ke tiga kalinya dilakukan. Biarpun dia kagum terhadap Kakek yang mampu menghindarkan diri dari dua kali tembakan.
Namun rasa harga dirinya dan kebanggaannya tersinggung kalau dia dikalahkan, maka dia sengaja memegang pistolnya erat-erat dan cepat-cepat hendak menembakkan peluru ke tiga ke arah tubuh yang bergulingan sebelum pistolnya terampas sehingga andaikata dia luput menembak juga, tetap saja pistol itu berada di tangannya dan tidak terampas. Dengan demikian, walaupun si Kakek lulus, akan tetapi tidak mampu merampas pistolnya!
Akan tetapi tubuh itu bergulingan dengan amat cepatnya sehingga sukarlah dia menentukan bidikannya. Sasaran yang bergerak demikian cepatnya memang sukar ditembak. Tiba-tiba nampak sinar hitam kecil berkelebat, disusul teriakan Ciu Wan-gwe dan pistol itu tiba-tiba saja terlepas dari tangannya yang mendadak menjadi lumpuh karena pergelangan tangannya tadi disambar sebutir biji tasbeh yang tepat mengenai jalan darahnya!
Sebelum dia mampu berbuat sesuatu, tiba-tiba saja tubuh yang bergulingan itu berkelebat dan pistol yang jatuh ke atas tanah itu telah disambar oleh tangan si Kakek kecil yang kini sudah berdiri lagi sambil memegang pistol yang masih mengepulkan asap itu, menimangnya dengan alis mata berkerut dan hidung diangkat mencemoohkan!
“Bagus..., bagus...!” Kui Eng bersorak dan bertepuk tangan dan perbuatan ini segera diturut oleh para pengawal yang merasa kagum bukan main. Kalau tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri tentu mereka tidak akan percaya bahwa ada orang bukan hanya berhasil menghadapi serangan tiga kali tembakan dari jarak dekat, bahkan sebelumnya telah menentukan cara penghindaran diri dengan menangkis, mengelak lalu merampas pistol!
Setelah kehilangan rasa kagetnya, Ciu Wan-gwe yang ternyata tidak mengalami cedera, hanya kaget karena tangannya tiba-tiba lumpuh, kini ikut pula bertepuk tangan memuji. Dia tersenyum girang ketika Kakek itu tanpa berkata-kata mengembalikan pistolnya yang cepat disimpannya. Sebagai orang yang pandai mengambil hati pembantu yang berguna, Ciu Wan-gwe lalu menjura ke arah Tee-tok dan berkata,
“Ah, sungguh Thian telah mengirimkan seorang sahabat dan seorang pandai yang sakti kepada keluarga kami. Locianpwe, mulai hari ini, Locianpwe adalah penyelamat keluarga kami dan murid anak tunggal kami. Kui Eng, cepat beri hormat kepada Suhumu!”
Kui Eng adalah seorang anak perempuan yang cerdik sekali. Biarpun ia pernah dilatih oleh para pengawal Ayahnya, akan tetapi ia tidak pernah menganggap mereka itu guru-gurunya apa lagi karena merupakan nona majikan mereka. Kini, berhadapan dengan seorang Kakek yang begitu sakti, tanpa ragu-ragu lagi iapun menjatuhkan diri berlutut memberi hormat delapan kali kepadanya. “Suhu, terimalah hormat teecu Ciu Kui Eng!”
“Ha-ha-ha, namamu Ciu Kui Eng? Bagus, mulai sekarang engkau menjadi muridku. Kui Eng, engkau tidak tahu bahwa mulai detik ini, engkau telah mengangkat dirimu sendiri menjadi calon wanita paling lihai di dunia ini!”
Semua orang yang mendengar ucapan ini menganggap bahwa Kakek itu memang sombong sekali. Akan tetapi Kui Eng tidak berpendapat demikian. Ia percaya penuh akan ucapan Suhunya dan ia menganggap bahwa Suhunya adalah orang yang paling pandai di dunia persilatan. Dugaannya memang tidak meleset jauh karena pada jaman itu, orang yang dapat manandingi Tee-tok memang hanya dapat dihitung dengan jari tangan saja.
Mulai hari itu, Tee-tok tinggal bersama keluarga hartawan Ciu Lok Tai. Biarpun dianggap pengawal pribadi keluarga Ciu, namun dia tidak pernah bekerja sebagai pengawal dan semenjak dia berada di situ, tidak pernah ada orang seperti mendiang Tan Siucai yang berani mati, apa lagi sekarang setelah tersiar berita bahwa pengawal keluarga itu adalah seorang yang demikian saktinya sehingga mampu melawan musuh yang mempergunakan senjata api!
Dan biasanya, berita itu selalu dibesar-besarkan, semut menjadi gajah, sehingga nama Tee-tok menjadi semakin terkenal dan ditakuti orang. Yang merasa beruntung adalah Kui Eng. Anak perempuan ini memang sejak kecil amat suka mempelajari ilmu silat dan ia memiliki bakat yang amat baik. Kini, di bawah bimbingan seorang guru yang amat pandai, tentu saja ia memperoleh kemajuan pesat sekali sehingga gurunya sendiripun merasa senang kepadanya.
Ia berkemauan keras dan tidak mengenal lelah, berlatih dengan tekunnya di samping kecerdikannya sehingga setiap jurus ilmu silat yang diajarkan gurunya, betapapun sukarnya, dipelajari dan dilatihnya sampai sempurna benar baru ia mau berhenti latihan. Setelah menjadi murid Tee-tok yang berwatak aneh dan tidak perdulian, watak Kui Eng menjadi semakin keras, angkuh dan manja, akan tetapi iapun amat menghargai kegagahan dan tidak mau bersikap rendah.
Sang Waktu melesat dengan kecepatan kilat, dan hal ini terbukti apa bila kita mengenang kembali masa lampau. Demikian cepatnya sang waktu berkelebat sehingga tahun-tahun beterbangan seperti detik-detik saja. Seorang Kakek-kakek akan teringat masa kanak-kanaknya seperti baru kemarin saja dan agaknya sukar untuk percaya bahwa waktu kanak-kanak itu telah ditinggalkannya selama puluhan tahun lamanya!
Sebaliknya, kalau kita mengamati dan memperhatikan, waktu merayap seperti siput, perlahan-lahan dan seperti tidak pernah maju. Sang Waktu nampak diam namun bergerak, dan memiliki kekuasaan yang tak terbatas, seperti juga Tanah. Waktu menelan dan melahap semuanya, apa saja yang nampak, apa saja yang hidup. Bahkan segala macam perasaanpun ditelannya habis-habis. Kesenangan, kedukaan, apa saja, akan lenyap ditelan waktu, seperti juga Tanah yang akhirnya menelan segala sesuatu di dalam perutnya.
Waktu melesat dengan cepat dan hampir enam tahun lewat semenjak Siauw-bin-hud berjanji kepada para tokoh yang memperebutkan pedang pusaka Giok-liong-kiam, untuk mencari pusaka itu. Selama waktu itu, Siauw-bin-hud mengajak Ci Kong merantau sambil melakukan penyelidikan. Anak itu sendiri tidak tahu bagaimana cara Kakek itu melakukan penyelidikan, akan tetapi sering kali di waktu malam, Kakek itu lenyap.
Pada suatu pagi, nampak seorang Kakek gendut berjalan memasuki kota Nan-ping di Propinsi Hokkian, ditemani seorang pemuda yang berpakaian sederhana, bertubuh tegap dan nampaknya seperti seorang pemuda petani biasa. Wajah pemuda ini tampan dan sikapnya gagah walaupun dari gerak-geriknya terbayang kesederhanaan dan kerendahan hati. Usianya kurang lebih sembilanbelas tahun.
Kakek gendut itu kepalanya gundul bulat seperti juga perutnya. Wajahnya periang, matanya berseri lembut dan mulutnya tersenyum-senyum, usianya sukar ditaksir karena wajahnya yang berseri itu masih nampak segar. Dia bisa saja berusia delapanpuluh tahun, akan tetapi mungkin juga kurang dari enam puluh tahun. Jubahnya dan kepalanya gundul menandakan bahwa Kakek itu seorang Hwesio. Jubahnya berwarna kuning longgar.
Kakek itu bukan lain adalah Siauw-bin-hud, tokoh Siauw-lim-pai yang hampir enam tahun yang lalu keluar dari ruangan pertapaannya, hanya untuk dihadapkan sebuah tugas yang amat sulit, yaitu mencari sebuah pusaka yang dirampas oleh seorang yang agaknya menyamar sebagai dirinya. Tanpa mengetahui siapa orang itu, di mana tempat tinggalnya, bahkan selamanya belum pernah dia melihat Giok-liong-kiam, tentu saja mencari perampas itu tidaklah mudah.
Dia sudah melakukan penyelidikan dengan cermat selama hampir enam tahun dan barulah dia menduga-duga siapa adanya orang yang telah memalsukan dirinya itu. Namun, dia masih belum yakin benar dan karena itu, pada pagi hari ini dia bersama cucu muridnya, Tan Ci Kong, berada di kota Nan-ping. Selama itu, sambil merantau melakukan penyelidikan mencari jejak perampas Giok-liong-kiam, Kakek ini setiap hari melakukan penggemblengan atas diri cucu muridnya.
Tan Ci Kong adalah seorang pemuda yang berbakat baik sekali dan berkemauan keras. Kini, menerima gemblengan seorang sakti seperti Siauw-bin-hud, tentu saja dia memperoleh kemajuan yang hebat! Kakek itu hanya menurunkan ilmu-ilmu yang amat tinggi dan lewat hampir enam tahun itu, kini Ci Kong telah menjadi seorang pemuda berusia sembilanbelas tahun yang sakti!
Kalau melihat orangnya, begitu pendiam dan sederhana, seperti seorang pemuda tani saja. Takkan ada orang dapat menyangka bahwa di dalam tubuh pemuda ini tersembunyi ilmu kepandaian dan tenaga yang sukar ditandingi.
Setelah memasuki kota Nan-ping, Siauw-bin-hud mengajak cucu muridnya terus keluar lagi dari kota itu melaui pintu gerbang utara, kemudian berjalan mendaki sebuah bukit yang nampak hitam kehijauan. Dari bawah, nampak tembok bangunan di puncak bukit, samar-samar nampak di antara pohon-pohon di hutan puncak. Ci Kong yang selalu mengikuti paman Kakek gurunya itu, diam-diam merasa prihatin karena walaupun Kakek itu tidak pernah mengeluh, dia tahu betapa Kakeknya belum juga berhasil menemukan perampas Giok-liong-kiam yang dicarinya selama ini.
Kini, melihat bahwa Kakek itu jelas menuju ke puncak bukit, hatinya yang merasa kasihan kepada Kakek yang telah menjadi gurunya itu dan dia tidak dapat menahan lagi keinginan tahunya. “Susiok-Couw, tempat apakah yang akan kita kunjungi di puncak bukit itu?”
Seperti biasa kalau bicara, Siauw-bin-hud mendahuluinya dengan senyum cerah, lalu dia berkata, “Yang di puncak bukit itu adalah pusat dari perkumpulan Ang-hong-pai.”
Biarpun dia sendiri tidak pernah dimintai bantuan atau disuruh melakukan sesuatu oleh Kakek itu dalam urusan mencari jejak pembawa Giok-liong-kiam, Akan tetapi Ci Kong sudah mendengar akan semua hal mengenai Giok-liong-kiam, semenjak dicuri orang dari Thian-te-pai sampai menjadi perebutan dan akhirnya terampas oleh orang yang memalsukan nama Siauw-bin-hud.
Oleh karena itu, diapun sudah mendengar akan nama Ang-hong-pai, bahkan ketika terjadi keributan di depan kuil Siauw-lim-si, diapun melihat sendiri sepak terjang orang-orang yang hendak memperebutkan Giok-liong-kiam. Dari gurunya, Nam Sam Losu, diapun mendengar banyak tentang Ang-hong-pai sebagai satu di antara pihak yang ingin memiliki pusaka yang diperebutkan itu.
Dia teringat akan cerita bahwa dalam perebutan pertama, muncul seorang tokoh Ang-hong-pai yang tidak berhasil pula merampas pusaka itu. Sejak itu, tidak terdengar lagi tentang orang-orang Ang-hong-pai, juga mereka tidak datang mengganggu Siauw-lim-si.
“Tentu Susiok-Couw hendak mencari tokoh Ang-hong-pai yang pernah bertemu dengan perampas Giok-liong-kiam itu, bukan?” tanyanya hati-hati.
Kakek itu tersenyum dan mengangguk. “Sudah banyak keterangan kuperoleh, akan tetapi hatiku masih belum puas dan belum yakin benar. Keterangan terakhir yang akan meyakinkan hatiku kuharapkan dapat diberikan oleh tokoh Ang-hong-pai itu.”
“Akan tetapi mereka itu tidak pernah muncul lagi.”
“Itulah yang menarik,” kata Siauw-bin-hud. “Ketika terjadi perampasan pusaka itu oleh orang yang memalsukan diriku, terdapat lima orang tokoh kang-ouw, yaitu Tang Kui si perwira istana, Lui Siok Ek tokoh Thian-te-pai, Kam Hong Tek seorang pendekar selatan, Pek-bin Tiat-ciang seorang tokoh sesat dan Theng Ci tokoh Ang-hong-pai. Dari kelima orang itu, yang muncul pada enam tahun yang lalu hanya Tang Kui dan Lui Siok Ek.
"Pendekar Kam Hong Tek tidak muncul, hal ini tidaklah mengherankan karena bagaimanapun juga, dia pernah menjadi murid Siauw-lim-pai sehingga tentu tidak berani mengganggu Siauw-lim-si. Tinggal dua orang lagi, yaitu Theng Ci dan Pek-bin Tiat-ciang, keduanya adalah golongan sesat. Mengapa mereka tidak muncul di Siauw-lim-si?
Kiranya dari kedua orang inilah dapat diharapkan keterangan-keterangan yang menarik dan pinceng sengaja mendatangi Ang-hong-pai karena lebih mudah dikunjungi dari pada mencari Pek-bin Tiat-ciang yang tidak keruan tempat tinggalnya itu. Pula, biasanya kau m wanita lebih tajam pandangannya dan lebih kuat ingatannya mengenal seseorang.”
“Teecu harap mudah-mudahan Susiok-Couw berhasil.”
Kakek itu tertawa, menghentikan langkahnya dan menatap wajah pemuda itu penuh perhatian. “Mengapa, Ci Kong? Mengapa engkau mengharapkan aku berhasil?”
Kini pemuda itu yang balas memandang dengan heran. “Bukankah... Bukankah Susiok-Couw mengharapkan berhasil dalam penyelidikan selama enam tahun ini?”
“Pinceng? Ha-ha-ha, pinceng tidak mengharapkan apa-apa, Ci Kong!”
Pemuda itu semakin heran. Kakek ini memang seringkali bicara yang aneh-aneh dan tidak sama bahkan kadang-kadang bertentangan dengan pendapat umum. Dan kalau sudah demikian, dia akan mendengarkan banyak kenyataan-kenyataan hidup yang tadinya belum pernah didengarnya dan banyak sudah ucapan Kakek ini yang membuka batinnya dan membuat dia dapat memandang dengan waspada dan bijaksana. Akan tetapi sekali ini dia merasa heran sekali.
“Maaf, Susiok-Couw, akan tetapi bukankah dalam setiap pekerjaan, setiap perbuatan terkandung harapan untuk berhasil?”
Kembali Kakek itu tertawa dan aneh sekali, begitu timbul kegembiraannya untuk bicara, dia lalu duduk di tepi jalan, bersila di atas rumput-rumput hijau. Ci Kong yang tahu akan kesukaan gurunya, yaitu bicara dengan santai dan seenaknya, lalu duduk pula di depan gurunya. Jalan liar ke puncak bukit itu memang sunyi sekali, tidak nampak orang lain kecuali mereka dan hawa udara amat sejuk, sinar matahari pagi amat cerah.
“Ci Kong, karena adanya harapan untuk mencapai hasil inilah maka timbul segala macam konflik di dalam batin. Adanya harapan untuk mencapai hasil ini membuat gerak perbuatan itu sendiri menjadi palsu, setengah-setengah, tidak sepenuhnya dan membuat perbuatan itu kehilangan gairahnya, kehilangan mutu dan nikmatnya. Sebaliknya, kalau setiap perbuatan itu hidup, barulah kita dapat menikmati setiap perbuatan kita, barulah perbuatan itu benar dan bersih.”
Ci Kong mengangguk-angguk. Sebagai seorang yang cerdik, diapun maklum apa yang dimaksudkan oleh Kakek itu. Memang, pengejaran akan hasil baik, dan biasanya hasil baik ini berlandaskan kepentingan dan kesenangan diri pribadi, membuat apa yang dilakukan itu seringkali menjadi berobah sifatnya, dapat menimbulkan penyelewengan-penyelewengan dan kejahatan dalam pelaksanaannya.
Perbuatan yang ditunggangi pamrih mencapai sesuatu selalu condong untuk menyeleweng, terdorong oleh keinginan mencapai hasil yang menyenangkan diri sendiri itu, kalau perlu boleh saja menyusahkan orang lain. Akan tetapi Ci Kong masih merasa penasaran.
“Maaf, Susiok-Couw. Kalau dalam setiap perbuatan tidak membutuhkan harapan akan hasil yang menjadi pendorong perbuatan itu, lalu apakah yang mendorong Susiok-Couw bersusah payah, selama enam tahun menyelidiki dan mencari pusaka yang hilang itu?”
Kembali Kakek itu tersenyum lebar dan mengangguk-angguk, senang mendengar pertanyaan yang mengandung kecerdikan itu. “Pinceng melihat bahwa perampasan mempergunakan nama pinceng itu harus dibikin terang karena kalau tidak, hal itu akan menimbulkan banyak sekali kekacauan, bahkan mungkin permusuhan. Karena melihat pentingnya pencarian itu, maka pinceng pun keluar dan mengerjakannya. Dalam minat karena melihat kepentingannya inilah timbul gairah dan pinceng sepenuhnya dapat menikmati pekerjaan ini karena tidak dirongrong oleh keinginan mencapai hasil.”
“Kalau begitu, apakah artinya hasil bagi Susiok-Couw? Apakah artinya bagi Susiok-Couw berhasil atau tidaknya usaha Susiok-Couw mencari pusaka itu?”
Kakek itu tersenyum dan menggeleng kepala perlahan. “Jelas tidak ada bedanya bagiku pribadi, Ci Kong. Bagi orang yang tidak menyembunyikan pamrih dalam setiap perbuatannya, maka hasil hanya merupakan suatu akibat saja dari pada suatu pekerjaan yang dilakukan. Berhasil ataukah tidak, sama saja dan tentu kita bertindak selanjutnya sesuai dengan akibat itu yang berupa berhasil ataukah gagal. Maksud pinceng, kata gagal itu hanyalah kata yang dipakai oleh umum untuk menyatakan kekecewaannya bahwa harapannya tidak terpenuhi.
"Akan tetapi bagi pinceng sendiri, tidak ada kata gagal itu. Yang ada hanyalah akibat dari suatu perbuatan, dan akibat ini berkaitan dengan perbuatannya, dan tidak mungkin dapat dirobah lagi kalau sudah tiba, seperti buah tidak terpisah dari keadaan pohonnya, dan keadaan buah itu tidak dapat dirobah kalau sudah terjadi. Hanya dengan merobah perbuatan saja, yang bersumber dari batin sendiri, maka buah itupun akan berubah. Mengertikah engkau, Ci Kong?”
Pemuda itu mengangguk. Banyak yang harus direnungkan dari hasil percakapan singkat itu.
“Nah, marilah kita lanjutkan pendakian kita. Lihat, kedatangan kita sudah diketahui orang,” kata Kakek itu sambil bangkit berdiri.
Ci Kong juga bangkit dan melihat ke arah puncak. Dan dia tertegun penuh kagum. Dari atas puncak nampak pasukan berpakaian merah dan belasan orang yang berbaris rapi itu berlari-larian turun dengan ringan dan cepat sekali, juga selalu berbareng dan amat indah dilihat dari bawah. Karena Kakek itu melanjutkan langkahnya, kini dengan cepat mendaki ke atas.
Diapun mengikuti dari belakang, diam-diam jantungnya berdebar tegang karena dia sudah mendengar bahwa Ang-hong-pai adalah sebuah perkumpulan yang para anggautanya terdiri dari wanita-wanita yang lihai, dan perkumpulan itu termasuk perkumpulan kaum sesat yang amat ditakuti di dunia kang-ouw.
Setelah mereka tiba di tanah datar yang ditumbuhi rumput tebal, barulah Ci Kong mengerti mengapa Kakek itu tadi mengerahkan kepandaian untuk berlari cepat ke atas menyambut turunnya pasukan merah itu. Kiranya Suhunya memilih tempat yang lapang ini untuk menghadapi mereka. Kakek itu berhenti menanti dengan sikap tenang dan wajah berseri, didampingi Ci Kong yang juga berdiri dengan sikap tenang namun penuh kewaspadaan.
Selama ini dia sudah mengikuti Kakek itu mengunjungi Thian-te-pai, bahkan menemui perwira Tang Kui di Kota Raja. Dan selama ini, belum pernah Kakek itu bentrok atau terlibat dalam sebuah perkelahian. Jangan memancing perkelahian, demikian antara lain Kakek itu memberi nasihat kepadanya, dan bersikaplah sabar dan mengalah. Ilmu silat hanya untuk berjaga diri, bukan untuk mencelakai orang.
Akan tetapi karena kini menghadapi perkumpulan kau m sesat yang kabarnya amat lihai dan jahat, agaknya Kakek itupun bersikap hati-hati. Tak lama kemudian muncullah dua belas orang wanita berpakaian serba merah, kemunculan merekapun rapi, dengan teratur mereka berloncatan dan tahu-tahu mereka telah membuat gerakan melingkar di depan Kakek dan pemuda itu.
Usia mereka antara dua puluh lima sampai tiga puluh tahun dan rata-rata berwajah manis, dengan wajah terpelihara dan pakaian rapi bersih seperti serombongan penari karena pakaian itu seragam. Seorang di antara mereka, seorang wanita cantik yang mempunyai tahi lalat di dahi, tepat di tengah-tengah, berkata dengan suara lantang.
“Pai-cu kami mengutus kami untuk menyambut Locianpwe Siauw-bin-hud!”
Kakek iyu terkekeh dan Ci Kong kagum akan ketajaman penglihatan orang-orang Ang-hong-pai ini. Baru saja tiba di lereng, mereka sudah tahu akan kedatangan Susiok-Couwnya!
“Omitohud...! Terima kasih, nona. Pai-cu kalian sungguh baik sekali,” kata Siauw-bin-hud dan merangkapkan kedua tangan di depan dada.
“Pai-cu menghaturkan hormat, kemudian Pai-cu mengutus kami agar minta kepada Locianpwe, berdua dengan enghiong ini, untuk segera turun bukit kembali meninggalkan wilayah kami.”
Siauw-bin-hud hanya tersenyum lebar. “Pinceng datang bukan untuk mengunjungi Ang-hong-pai atau berurusan dengan Pai-cu kalian, melainkan ingin bertemu sebentar dengan seorang anggauta atau murid Ang-hong-pai yang bernama Theng Ci.”
“Tidak bisa,” kata wanita itu. “Toa-suci sedang berlatih dengan ketua kami dan mereka tidak mau diganggu. Harap ji-wi segera pergi saja.”
Ci Kong merasa penasaran dan diapun cepat berkata, “Susiok-Couw hanya ingin bicara sebentar dengan orang yang bernama Theng Ci, setelah bicara kami akan segera pergi tidak akan mengganggu Ang-hong-pai. Kami datang bukan dengan niat jahat, mengapa Ang-hong-pai menyambut tidak semestinya dan dengan sikap bermusuh?”
Wanita itu melirik kepada Ci Kong, akan tetapi lalu menghadapi Siauw-bin-hud lagi ketika bicara, seolah-olah merasa tidak ada gunanya bicara dengan pemuda itu. “Selama ini, Ang-hong-pai tidak pernah mengganggu Siauw-lim-pai, bahkan ketika banyak orang ramai-ramai mendatangi Siauw-lim-pai enam tahun yang lalu, Ang-hong-pai juga tidak ikut-ikut. Oleh karena itu, tidak ada urusan apa-apa lagi antara kedua perkumpulan, maka Pai-cu kini tidak bermaksud menerima kunjungan Locianpwe untuk mengadakan urusan apapun.”
“Pai-cu kalian sungguh tidak adil!” Ci Kong berkata. “Kunjungan orang-orang ke Siauw-lim-pai mempunyai pamrih buruk, sedangkan sebaliknya, Susiok-Couw mengunjungi Ang-hong-pai dengan hati bersih dan penuh persahabatan. Mengapa Pai-cu kalian menolak? Kalau begitu, harap saudari Theng-Ci yang datang ke sini menemui kami agar Susiok-Couw bisa bicara dengannya!”
Kini wanita itu menghadapi Ci Kong dengan alis berkerut. “Pai-cu kami berpesan bahwa siapa saja yang hendak naik ke puncak, harus dapat melalui Cap-ji-kiam (Dua belas Pedang)!”
Ci Kong tertegun. “Cap-ji-kiam...?”
“Sing-sing-sing...!” Nampak sinar berkilauan susul-menyusul dan ketika Ci Kong memandang, ternyata dua belas orang wanita berpakaian merah itu telah mencabut keluar sebatang pedang dan berdiri dengan berbaris rapi! Mengertilah dia bahwa yang dimaksud adalah barisan terdiri dari dua belas orang berpedang! Dia menoleh kepada Susiok-Couwnya.
Kakek ini mengangguk sambil tersenyum dan berkata lirih, “Hati-hatilah terhadap racun mereka, Ci Kong!”
Ucapan ini merupakan isyarat bagi Ci Kong bahwa Susiok-Couwnya memperbolehkan dia menghadapi dua belas orang wanita itu. Akan tetapi dia merasa heran mengapa Kakek itu memperingatkan dia agar berhati-hati terhadap racun mereka. Apakah pedang mereka itu mengandung racun? Mungkin saja. Dan pandang matanya yang tajam akhirnya dapat menangkap kantong-kantong kecil yang tergantung di pinggang dua belas orang wanita itu.
Mengertilah dia. Agaknya para anggauta Ang-hong-pai ini memang ahli mempergunakan racun-racun dan tentu mereka biasa mempergunakan senjata gelap beracun. Diapun mengangguk kepada Susiok-Couwnya yang sudah mundur dan duduk bersila di atas rumput, lalu dia melangkah maju menghampiri dua belas orang wanita itu.
“Saudara adalah murid Siauw-lim-pai, dan adalah saudara sendiri yang hendak melawan kami, bukan kami yang memaksa saudara mati dibawah ujung senjata Cap-ji-kiam. Hal ini disaksikan sendiri oleh Locianpwe Siauw-bin-hud!” kata wanita bertahi lalat di dahi itu dengan sikap tegas.
Jelaslah bahwa ia dan teman-temannya memandang rendah kepada pemuda itu. Kalau pemuda itu hanya cucu murid Siauw-bin-hud, apa yang harus ditakuti? Mereka lebih merasa sungkan kalau sampai membunuh seorang murid Siauw-lim-pai, maka sebelum hal itu terjadi, mereka ingin Kakek itu menjadi saksi bahwa pemuda itulah yang mendahului perkelahian itu.
“Cici yang gagah tak usah khawatir. Kalau sampai aku mati di dalam pertandingan ini, biarlah aku sendiri yang tanggung, tidak ada sangkut-pautnya dengan Siauw-lim-pai atau Susiok-Couw,” kata Ci Kong dengan sikap tenang.
Sementara itu, dua belas orang wanita itu sudah bergerak mengepungnya. Mereka melangkah mengitari pemuda itu, dengan pedang di depan dada dan tangan kanan diangkat ke atas kepala. Melihat langkah-langkah mereka yang teratur rapi itu, mengertilah Ci Kong bahwa dia berhadapan dengan semacam kiam-tin (barisan pedang) yang tidak boleh dipandang ringan, karena berbeda dengan pengeroyokan yang liar dan kacau, barisan merupakan gerakan teratur dari banyak orang sehingga kini dia seperti juga menghadapi seorang lawan dengan satu pikiran akan tetapi dengan dua belas badan!
“Silahkan!” katanya sambil berdiri tegak dan memasang semua kepekaan mata dan telinga untuk mengikuti gerak-gerik para pengepungnya dengan teliti.
“Si-cu, ingat, engkau yang menentang, bukan kami. Silahkan!” terdengar wanita yang memimpin barisan pedang itu memperingatkan dari belakangnya.
Ci Kong maklum bahwa barisan itu berlaku hati-hati. Bagaimanapun juga, Susiok-Couwnya tentu tidak setuju kalau dia sampai melukai seorang di antara para pengeroyoknya. Tidak ada permusuhan apapun antara mereka, dan wanita-wanita itupun hanya melaksanakan tugasnya saja mentaati perintah ketuanya. Maka, dia akan mencoba untuk merampas pedang mereka, satu demi satu dengan menggunakan penyerangan yang sukar dielakkan lawan.
“Baiklah, lihat serangan!” bentaknya dan tiba-tiba dia membuat gerakan, bukan ke depan melainkan ke belakang, ke arah suara wanita bertahi lalat yang memimpin barisan itu.
Akan tetapi, barisan itu masih terus bergerak sehingga kedudukan wanita pemimpin itu sudah berobah dan dengan demikian, yang diserang oleh Ci Kong adalah seorang wanita lain. Serangannya cepat dan tangannya sudah hampir dapat mencengkeram pergelangan tangan wanita yang memegang pedang dalam usahanya merampas pedang.
Akan tetapi terdengar aba-aba pemimpin itu dan kini pedang datang bertubi-tubi menyerangnya dari belakang, kanan dan kiri. Walaupun kalau dilanjutkan dia akan berhasil merampas pedang dari wanita yang diserangnya, namun sebaliknya dia terancam oleh tusukan-tusukan dan bacokan-bacokan pedang yang lain!
Terpaksa Ci Kong membatalkan niatnya merampas pedang dan dia segera mempergunakan kegesitan tubuhnya untuk mengelak. Akan tetapi, barisan Cap-ji-kiam itu memang hebat sekali. Dengan gerakan susul-menyusul, serangan itu terus dilakukan tak pernah berhenti, sambung-menyambung sehingga ke manapun dia mengelak, Ci Kong sudah disambut oleh serangan pedang berikutnya.
Dia meloncat keluar dari kepungan, akan tetapi wanita bertahi lalat itu terus-menerus mengeluarkan aba-aba dan kembali dia sudah terkepung. Gerakan mereka cepat dan teratur. Diam-diam Ci Kong mengatur siasat sambil terus mengelak, mengandalkan gingkang (ilmu meringankan tubuh) yang sudah dipelajarinya secara sempurna dari susiol-couwnya.
Tubuhnya berkelebatan di antara gulungan sinar pedang berkilauan dan betapapun cepatnya para wanita itu menggerakkan pedang, atau kadang-kadang dengan kebutan telapak tangannya, dia bahkan mampu menangkis pedang yang tajam itu. Pemuda ini amat berhati-hati karena dia menduga bahwa tentu pedang-pedang itu beracun. Sekali saja tergores dan terluka, mungkin dia akan keracunan.
Setelah memutar otaknya, tiba-tiba dia mendapat gagasan yang baik sekali. Cap-ji-kiam ini bergerak secara otomatis, teratur seolah-olah dua belas orang itu merupakan alat-alat yang digerakkan oleh satu pusat. Dan diapun kini teringat bahwa pusatnya ada pada wanita bertahi lalat di dahinya itu. Pusat inilah yang harus dilumpuhkannya terlebih dahulu agar kerja sama mereka menjadi kacau.
“Heeeehhhh...!” Tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking nyaring, suara yang dikeluarkan mengandung kekuatan khikang yang menyerang lawan. Rencananya berhasil karena lengkingan itu mengejutkan para pengepungnya, membuat mereka selama dua tiga detik tertegun dan kesempatan ini cukuplah bagi Ci Kong.
Begitu mereka berhenti bergerak, dia dapat mencurahkan perhatian kepada wanita pemimpin barisan dan tiba-tiba dia menyuruk ke arah wanita itu, tangan kirinya menotok dan tangan kanannya merampas pedang. Sebelum wanita itu tahu apa yang terjadi, pedangnya telah terampas! Ia menjerit dan memperingatkan teman-temannya. Akan tetapi Ci Kong tidak menghentikan gerakan-gerakannya. Dengan pedang rampasan di tangan dia mengamuk.
Setiap serangan lawan ditangkisnya dan begitu terkena tangkisannya yang dilakukan denga pengerahan tenaga singkang, pedang lawan terlempar dan terlepas dari pegangan, bahkan ada yang patah! Terdengar suara berdencing dan berkerontangan dan dalam waktu beberapa menit saja, akhirnya Ci Kong meloncat jauh ke belakang dengan dua pedang rampasan di kedua tangan sedangkan dua belas orang wanita itu kehilangan semua senjata mereka!
Mereka sama sekali tidak pernah menduga bahwa pemuda itu demikian lihainya, menyerang mereka bertubi-tubi tak pernah berhenti dan setiap kali beradu pedang, pedang mereka patah atau terlepas karena pemuda itu mempergunakan tenaga yang luar biasa kuatnya. Yang membuat mereka kagum dan heran, betapa dalam waktu singkat pemuda itu mampu melucuti senjata mereka tanpa melukai mereka sedikitpun juga!
Bahkan totokan yang dipergunakan juga hanya membuat lengan kanan lumpuh selama beberapa detik saja, cukup untuk membuat pedang mereka terlepas, terlempar atau terampas. Tiba-tiba wanita bertahi lalat itu mengeluarkan aba-aba, suaranya nyaring melengking dan mereka semua menggerakkan tangan dengan cepat.
Bintik-bintik merah beterbangan menyambar ke arah Ci Kong! Akan tetapi pemuda ini memang sudah waspada dan siap siaga. Begitu melihat wanita-wanita itu menggerakkan tangan diapun cepat memutar dua batang pedang yang dirampasnya. Puluhan batang jarum halus berwarna merah yang mengandung racun itu terpental dan runtuh semua ketika menerjang gulungan sinar yang dibuat oleh pedang yang diputar cepat.
Kiam-tin atau barisan pedang itu walaupun sudah kehilangan pedang, agaknya memiliki cadangan karena kini mereka sudah mencabut sebatang pisau belati dari pinggang mereka! Dan mereka agaknya hendak nekat melanjutkan perkelahian. Akan tetapi sebelum mereka bergerak, terdengar bentakan halus yang datangnya dari jauh, “Kalian mundurlah!”
Mendengar bentakan halus yang datang dari jauh ini, dua belas orang wanita berpakaian merah lalu berloncatan pergi tanpa menghiraukan lagi pedang mereka yang berserakan di atas tanah. Ci Kong tersenyum lega dan diapun membuang sepasang pedang rampasan itu. Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara bisikan Susiok-Couwnya.
“Lebah-lebah itu berbahaya sekali, sengatannya beracun mematikan!” Ci Kong juga mendengar suara berdengung itu, makin lama semakin kuat dan tak lama kemudian diapun melihat serombongan lebah berwarna merah yang terbang berkelompok ke arah dia berdiri! Dia merasa heran dan kagum sekali. Binatang itu warnanya sungguh merah cerah, seperti warna pakaian para wanita tadi!
Dan kalau saja tidak mendapat peringatan Susiok-Couwnya, dia tidak akan percaya bahwa binatang kecil mungil yang indah warnanya itu dapat membunuh manusia dengan sengatannya. Kini lebah-lebah itu sudah datang dekat dan tiba-tiba, seperti dikomando saja, mereka menyerbu ke arah Ci Kong! Pemuda itu melompat jauh menghindarkan diri, akan tetapi betapapun cepatnya gerakan tubuh pemuda itu, mana mungkin dia dapat mengalahkan lebah-lebah itu dalam hal kecepatan gerakan?
Ci Kong mulai kewalahan karena ke manapun dia melompat, lebah-lebah itupun mengejarnya dengan kecepatan yang mengerikan dan suara mereka berdengung itu, ditambah lagi dengan pengetahuan bahwa sengatan mereka mematikan, makin membuat hatinya merasa serem dan ngeri. Dia mengerahkan tenaga pada kedua tangannya dan mulailah dia mengebut ke sana-sini, ke arah lebah-lebah yang menyerangnya.
Memang hebat kebutan kedua tangan Ci Kong. Gerakan tangannya mengandung tenaga pukulan yang mematikan dan lebah-lebah yang terkena sambaran angin pukulan telapak tangannya, terlempar atau terbanting dan tewas seketika. Akan tetapi, lebah-lebah itu terlalu banyak dan menyerangnya dari atas kepala sampai ke kaki, mana mungkin dia dapat menyambut mereka semua dengan kedua tangannya.
Dia bergidik ketika merasa ada benda menyentuh leher bagian tengkuk dan cepat tangannya bergerak menangkis. Lebah yang berhasil menyusup itu tidak keburu menyengatnya, sudah mati terpukul tangan Ci Kong. Akan tetapi pengalaman ini membuat Ci Kong maklum bahwa hanya dengan kedua tangannya saja, dia tidak akan mampu menyelamatkan diri.
Maka dia lalu menanggalkan bajunya dan memutar bajunya itu. Lebah-lebah itu tentu saja terdorong oleh angin yang ditimbulkan oleh pemutaran baju itu dan mereka menjadi kacau balau. Akan tetapi, hal ini agaknya tidak membuat mereka menjadi jerih, bahkan mereka menjadi marah, menyerang makin liar. Begitu hebatnya serangan mereka sampai ada beberapa bagian baju Ci Kong berlubang ketika mereka terjang!
Ci Kong melihat betapa hanya angin kebutan baju itu yang mampu mendorong lebahl-ebah itu, maka ia menggunakan akal. Dia tidak memukul dengan bajunya, melainkan memutar bajunya sedemikian rupa sehingga timbullah angin berputar yang menggulung lebah-lebah itu. Sekali masuk ke dalam putaran angin yang ditimbulkan oleh putaran baju, lebah-lebah itu tidak lagi mampu menguasai diri sendiri dan tergulung atau terlibat ke dalam putaran angin hanya terbang berputaran dengan kacau.
Ci Kong bermaksud menggulung mereka sedemikian rupa, lalu membungkus dengan bajunya. Usahanya berhasil. Makin cepat dia memutar bajunya, angin putaran itu semakin kuat dan lebah-lebah itu semakin cepat pula terputar dan akhirnya, begitu Ci Kong menggerakkan baju menelungkup ke arah kelompok lebah, binatang-binatang itu kena ditangkapnya di dalam gulungan bajunya!
Beberapa ekor lebah yang luput dan berada di luar gulungan baju, karena tiba-tiba kehilangan semua kawannya, menjadi bingung dan ketakutan, lalu terbang pergi. Suara berdengung di dalam gulungan baju itu nyaring sekali, dan Ci Kong sudah tersenyum. Kini sekali banting saja bajunya ke atas tanah, lebah-lebah di dalamnya akan mati semua.
“Tahan...!” Tiba-tiba terdengar bentakan halus ketika dia sudah mengangkat bajunya yang berisi lebah-lebah itu ke atas.
Ci Kong menahan gerakannya, menoleh dan melihat seorang wanita yang diikuti oleh dua belas orang wanita Cap-ji-kiam tadi. “Si-cu, Pai-cu kami minta agar engkau suka mengampuni lebah-lebah itu,” kata wanita bertahi lalat di dahinya.
“Hemm, bagaimana aku dapat melepaskan lebah-lebah jahat ini? Begitu dilepas dia akan menyerangku dan mungkin mencelakai orang lain.”
Wanita cantik itu juga memakai pakaian serba merah akan tetapi berbeda dengan yang lain, pakaiannya lebih indah, terbuat dari sutera mahal dan nampak ia anggun dan berwibawa sekali. “Lepaskan dan aku tanggung mereka tidak akan menyerang siapapun juga,” katanya. Diapun mengeluarkan sebuah bumbung bambu dan mengangkatnya ke atas.
Ci Kong yang mendengar bahwa wanita ini adalah ketua Ang-hong-pai, mempercaya kata-katanya dan diapun mengebutkan bajunya. Baju terbuka dan lebah-lebah merah itupun terpental keluar. Sejenak mereka beterbangan kacau, lalu berkumpul lagi di udara dan tiba-tiba mereka terbang cepat ke arah bumbung bambu yang dipegang oleh ketua Ang-hong-pai. Seperti sekelompok kanak-kanak yang pulang sehabis bermain-main, mereka berebutan memasuki lubang di bumbung itu.
Wanita baju merah itu lalu menutup bumbung dengan kayu berlubanglubang kecil dan menyerahkan bumbung itu kepada wanita bertahi lalat di dahi. Kemudian ia menoleh dan menghadapi Ci Kong sambil berkata, “Murid Siauw-lim-pai, biarpun masih muda akan tetapi sungguh lihai.”
Kemudian ia melangkah ke arah Siauw-bin-hud dan memberi hormat dengan sikap sopan. “Locianpwe, maafkan kelancangan kami tadi.”
Sejak tadi, Siauw-bin-hud hanya menonton saja cucu muridnya berjuang melawan Cap-ji-kiam, kemudian melawan rombongan lebah merah, sambil tersenyum girang karena dia melihat kegagahan dan kecerdikan pemuda itu. Ketika muncul ketua Ang-hong-pai, dia sudah siap untuk menjaga keselamatan cucu muridnya. Dia sudah mengenal ketua ini, seorang wanita yang amat lihai dan berbahaya. Akan tetapi agaknya wanita itu tidak bermaksud buruk. Sambil tertawa diapun bangkit berdiri dan membalas penghormatan ketua Ang-hong-pai itu.
“Aha, ketua dari Ang-hong-pai sungguh lihai, dapat mengalahkan usia agaknya! Sudah lewat puluhan tahun masih nampak muda saja,” kata Siauw-bin-hud.
Memang mengagumkan sekali ketua Ang-hong-pai itu. Usianya kini ada enam puluhan tahun, akan tetapi masih tetap cantik, ramping dan orang akan menyangka bahwa usianya paling banyak tiga puluh tahun saja! Pai-cu itu tersenyum manis.
“Dan Siauw-bin-hud tetap seorang Locianpwe yang tidak pernah susah agaknya. Dibandingkan dengan aku, Siauw-bin-hud jauh lebih muda dan selalu bergembira lahir batin, sedangkan aku... ah, hanya lahirnya saja nampak muda, akan tetapi batinnya sudah tua sekali!”
Siauw-bin-hud tertawa dan lebih berhati-hati. Wanita ini, setelah kurang lebih tiga puluh tahun tidak dijumpainya, ternyata semakin cerdik dan berbahaya saja. Kata-katanya sudah matang dan siapa yang dapat menduga isi hati wanita ini? “Pai-cu, engkau pun maafkanlah cucu muridku yang telah berani menentang hadangan Cap-ji-kiam dan tawon-tawon merahmu.”
“Sudahlah,” wanita itu menarik napas panjang dan memandang kepada Ci Kong. “Orang-orang macam kita yang sudah berkecimpung di dalam dunia persilatan, kalau tidak bertanding dulu mana dapat saling mengenal? Karena tadi yang maju pemuda ini, maka murid-muridku dan lebah-lebahku berani keluar mencoba-coba. Kalau engkau yang keluar, Locianpwe, siapa sih yang akan berani kurang ajar? Sesungguhnya, apakah maksud kedatangan Locianpwe ke tempat kami yang buruk?”
“Omitohud... tempat ini indah, semua tempat di seluruh pelosok dunia ini indah sekali, sayang dibikin buruk oleh perbuatan-perbuatan manusia. Pai-cu, seperti sudah kami katakan kepada murid-muridmu tadi, pinceng berkunjung bukan bermaksud buruk, melainkan ingin sekali bertemu dengan muridmu yang bernama Theng Ci, karena pinceng ingin menanyakan sesuatu darinya.”
“Theng Ci...? Murid kepala disini?” Wanita itu mengangguk-angguk. “Ia sedang berlatih dan mungkin dalam waktu dua atau tiga jam lagi selesai. Mari, Locianpwe, dan engkau orang muda silahkan naik dan menanti di tempat kami. Ji-wi (kalian berdua) menjadi tamu-tamu Ang-hong-pai yang terhormat.”
“Omitohud..., engkau terlalu baik, Pai-cu, kami sama sekali tidak menduga akan hal ini. Bagaimana kalau kami menanti saja di sini sampai murid kepala Ang-hong-pai itu selesai latihan dan keluar menemui kami di sini?”
“Aihh, Locianpwe, apa akan kata orang di dunia kang-ouw kalau mendengar bahwa Ang-hong-pai menyambut tokoh besar Siauw-lim-pai di lapangan rumput saja? Ke mana mukaku yang buruk ini akan kusembunyikan? Marilah, mari, tamu-tamuku yang terhormat, mari ikut dengan kami.”
Ci Kong memandang kepada Susiok-Couwnya yang mengangguk-angguk sambil tersenyum lebar, akan tetapi Ci Kong melihat betapa sepasang mata yang lembut dari Susiok-Couwnya itu tiba-tiba mengeluarkan cahaya aneh. Diapun dapat menduga bahwa tentu ada sesuatu yang menarik, akan tetapi karena dia melihat Kakek itu sudah melangkah mengikuti rombongan orang Ang-hong-pai, diapun terpaksa mengikuti Kakek itu dari belakang.
Ketika memasuki pintu gerbang tembok yang mengelilingi perkampungan Ang-hong-pai, kemudian diajak masuk ke dalam ruangan dari bangunan terbesar, Ci Kong merasa kagum bukan main. Tak disangkanya bahwa di puncak bukit sunyi itu, terdapat perkampungan yang amat indah, penuh dengan bangunan-bangunan mungil dan taman-taman bunga yang amat indah teratur.
Dan terutama sekali setelah memasuki ruangan gedung tempat tinggal ketua Ang-hong-pai, dia menjadi bengong karena ruangan itu amat hebat. Layaknya menjadi ruangan di dalam istana puteri-puteri dalam dongeng saja. Jelaslah bahwa Ang-hong-pai amat kaya raya. Lantainya licin seperti kaca, ruangannya terhias perabot yang serba mahal dan indah, sutera-sutera halus bergantungan, periuk-periuk kuno yang serba aneh dan indah, hiasan-hiasan batu giok yang mahal, lukisan-lukisan yang pilihan.
Akan tetapi dia melihat betapa Susiok-Couwnya memasuki ruangan itu seperti memasuki sebuah ruangan kuil atau sebuah guha belaka, sama sekali tidak nampak heran atau kagum, masih tetap tersenyum-senyum seperti biasa.
“Silahkan duduk, silahkan...!” kata wanita itu dengan ramah. “Sambil menanti selesainya Theng Ci, kita ngobrol sambil menikmati hidangan sekedarnya.”
“Omitohud, engkau terlalu sungkan, terlalu menghormat, sehingga kami merasa tidak enak hati dan mengganggu saja, Pai-cu.” Siauw-bin-hud berkata sambil tersenum lebar.
“Ah, tidak, Locianpwe, dan jangan khawatir, aku tahu bahwa Locianpwe dan cucu muridmu ini tentu tidak makan barang berjiwa, juga tidak minum arak. Kami akan menghidangkan makanan dan minuman yang bersih.”
Tanpa menanti jawaban tamu-tamunya, ketua ini lalu menyembunyikan sebuah genta yang terbuat dari pada emas sehingga terdengar amat gemercing nyaring. Bukan main, pikir Ci Kong. Genta kecil itu saja sudah merupakan benda yang luar biasa mahalnya! Tak lama kemudian, beriringan datanglah lima orang wanita berpakaian merah yang membawa baki-baki terisi masakan masakan.
Bau gurih sedap memenuhi ruangan itu. Seorang di antara mereka membawa baki terisi guci-guci kecil terbuat dari pada batu giok! Mangkok-mangkok besar terisi masakan sayuran-sayuran yang beraneka warna memenuhi meja di hadapan mereka.
“Lihat, Locianpwe, semua masakan sayur-sayuran, daun-daunan, akar-akaran dan buah-buahan. Sedikitpun tidak ada barang berjiwa, tidak ada secuwil pun daging, tidak ada setetespun gajih. Semua bersih dan dimasak oleh ahli-ahli masak kami yang berpengalaman!”
Nyonya rumah itu dengan ramah sekali mempersilahkan dua orang tamunya makan, menemani mereka makan. Agaknya ia sengaja meyakinkan hati dua orang tamunya bahwa masakan-masakan itu tidak mengandung barang berbahaya, karena semua masakan dicicipinya dengan sepasang sumpit gadingnya!
Siauw-bin-hud tertawa-tawa dan makan dengan lahapnya, sedikitpun tidak menaruh curiga. Melihat ini, Ci Kong yang sudah lapar pula perutnya, juga makan dengan lahap. Memang enak bukan main masakan-masakan itu, walaupun hanya dari barang-barang tak berjiwa. Ci Kong tidak pantang barang berjiwa, tidak seperti Siauw-bin-hud, karena dia bukanlah seorang calon pendeta. Akan tetapi belum pernah dia makan masakan selezat ini.
Ketua Ang-hong-pai membuka tutup guci yang terbuat dari batu giok itu. “Dan ini bukan minum-minuman keras melainkan madu! Bukan madu lebah, melainkan madu bunga, sari bunga yang rasanya manis dan harum. Jangan khawatir, Locianpwe, saya tidak berani menghidangkan makanan atau minuman yang kotor terhadap seorang suci, seperti Locianpwe.”
“Ha-ha-ha, kalau orang seperti pinceng ini kau namakan suci, aha, alangkah mudahnya menjadi orang suci,” kata Siauw-bin-hud sambil melihat wanita itu menuangkan madu yang berwarna kuning kemerahan ke dalam cawannya, cawan Ci Kong dan cawan wanita itu sendiri. Semua terjadi dengan wajar, dan tidak ada yang mencurigakan.
“Nah, terimalah hormatku, Locianpwe, dan engkau juga, orang muda perkasa!” kata nyonya itu yang membawa cawan ke bibirnya. Melihat Susiok-Couwnya juga siap minum madu itu, Ci Kong juga mengikutinya. Madu itu memang madu manis dan harum, enak sekali.
Tiga kali nyonya itu mengisi cawan dan tiga kali ia mengajak tamu-tamunya minum, yang pertama sebagai penghormatan, yang ke dua sebagai permintaan maaf atas penyambutan tadi, dan ke tiga sebagai ucapan terima kasih atas kunjungan Siauw-bin-hud.
Ci Kong sudah banyak mendengar, baik dari Nam San Losu maupun para Hwesio lain penghuni kuil di puncak bukit mata air Si-kiang bahwa di dalam dunia kang-ouw terdapat banyak kaum sesat yang berwatak curang, tidak segan-segan mempergunakan siasat yang licik untuk menjatuhkan lawan.
Juga dia sudah mendengar banyak tentang penggunaan racun. Dia sudah tahu bahwa saat itu dia berada di dalam sarang golongan hitam atau kau m sesat dan andaikata dia hanya sendirian saja di situ, tentu dia tidak akan berani menerima hidangan-hidangan dari seorang seperti ketua Ang-hong-pai.
Akan tetapi dia datang bersama Susiok-Couwnya dan tentu saja dia percaya penuh akan kesaktian Susiok-Couwnya itu, maka, melihat betapa Kakek itu menerima hidangan, baik masakan maupun minuman madu, diapun tidak ragu-ragu lagi untuk menerima hidangan madu sampai tiga cawan.
Setelah kedua orang tamunya minum cawan madu yang ke tiga, ketua Ang-hong-pai itu tersenyum manis dan sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong yang mengejutkan hati Ci Kong. Tiba-tiba ada rasa curiga yang amat besar menyelinap di dalam hati pemuda itu, dan dia hendak berdiri untuk memberi peringatan kepada Susiok-Couwnya, akan tetapi tiba-tiba kepalanya terasa pening dan matanya menjadi gelap.
“Susiok-Couw... Celaka...!” keluhnya dan dia mencoba untuk menahan napas dan mengerahkan sinkangnya, akan tetapi ketika dia melihat dengan remang-remang betapa tubuh Kakek itupun menjadi lemas dan Kakek itu meletakkan kepala di atas meja, kekhawatiran membuat peningnya datang kembali dan diapun tidak mampu mempertahankan lagi. Ci Kong seperti juga Siauw-bin-hud, telah pulas atau pingsan di atas kursinya, dengan kepala di atas meja!
“Hi-hi-hi-hik! Orang-orang Siauw-lim-pai! Kalian manusia-manusia sombong, sekarang baru tahu kelihaian Ang-hong-pai!” Ia bangkit berdiri dan bertepuk tangan tiga kali. Dari segala penjuru berloncatan wanita-wanita berpakaian merah, dipimpin oleh Theng Ci, murid kepala yang tadi dikatakan sedang berlatih itu.
“Jebloskan mereka dalam tahanan, belenggu kaki tangan mereka dan masukkan dalam kamar tahanan yang paling kuat, dan di luar kamar perketat penjagaan, jangan biarkan mereka lolos. Hati-hati, mereka ini lihai sekali, terutama Kakek ini. Selama tiga jam mereka tidak akan siuman dan sebelum tiga jam, aku akan memberi mereka pembius lagi,” kata ketua itu dengan senyum mengejek memandang ke arah dua orang tamunya yang masih pulas di atas meja.
“Akan tetapi, subo. Apakah tidak sebaiknya kalau kita bunuh saja mereka sekarang? Mereka terlalu berbahaya kalau dibiarkan hidup!” kata Theng Ci dengan sinar mata kejam.
“Aih, betapa bodohnya engkau! Mereka ini, terutama Siauw-bin-hud, adalah tokoh penting Siauw-lim-pai dan kalau kita memberi kabar ke Siauw-lim-pai bahwa mereka berada di tangan kita minta tukar dengan Giok-liong-kiam, bukankah hal itu menguntungkan kita?”
“Akan tetapi, bagaimana kalau kelak mereka datang membuat perhitungan? Apakah subo merasa mampu menghadapi Siauw-lim-pai?”
“Anak bodoh kau ini,” kata si ketua sambil terkekeh. Karena Theng Ci itu muridnya, maka wanita ini terbiasa menyebutnya anak, padahal murid kepala itu usianya sudah empat puluh tahun lebih.
“Coba kau pertimbangkan baik-baik. Kalau kita membunuh mereka, apa untungnya bagi kita? Yang jelas saja, kerugian ada karena siapa tahu Siauw-lim-pai akhirnya akan tahu dan kalau mereka memusuhi kita, akan celakalah kita. Mereka begitu lihai dan mungkin saja mereka dapat mengetahuinya. Sekarang sebaliknya, kalau kita membiarkan mereka hidup dan minta tukar nyawa mereka dengan Giok-liong-kiam...”
“Akan tetapi Giok-liong-kiam tidak berada pada mereka...!”
“Karena itulah! Selain Siauw-lim-pai, siapa lagi yang akan mampu mencari dan mendapatkan pusaka itu? Dan dengan tertawannya Siauw-bin-hud, tentu mereka akan terpaksa pergi mencari pusaka itu sampai dapat.”
“Akan tetapi bagaimana kalau kelak mereka membuat perhitungan dan merampas kembali pusaka?”
“Heh-heh, Theng Ci, apakah engkau tidak tahu siapa Siauw-lim-pai? Sekali berjanji, orang-orang yang terikat oleh janji itu tidak akan mau mengganggu kita. Sudahlah, jebloskan mereka dalam tahanan!”
Para murid Ang-hong-pai itu mentaati perintah guru mereka dan tak lama kemudian, Siauw-bin-hud dan Ci Kong sudah berada di dalam sebuah kamar tahanan yang amat kuat. Sebuah kamar di bawah tanah yang dindingnya berlapis baja, pintunya juga dari baja kuat sekali, dengan hanya ada jeruji-jeruji besi. Tangan kaki mereka terbelenggu rantai baja yang panjang, dan di luar pintu kamar tahanan itu, dua belas orang Cap-ji-kiam berjaga dengan ketat!
Akan tetapi, baru saja mereka meninggalkan kamar tahanan dan menutupkan pintunya, Kakek itu sudah bergerak dan membuka mata sambil tersenyum lebar. Bagaikan tukang sulap saja, Kakek itu dengan mudah menarik dan meloloskan kedua tangan kakinya dari belenggu. Kaki tangan itu seperti berobah menjadi belut yang amat licin dan tak mungkin dapat ditahan dengan belenggu-belenggu itu. Kemudian, setelah melihat bahwa tidak ada orang melihatnya, dia menghampiri Ci Kong yang menggeletak terlentang di atas lantai.
Dia menempelkan telapak tangannya di kepala dan dada pemuda itu dan tak lama kemudian pemuda itupun membuka mata dan menggerakkan bibirnya. Siauw-bin-hud cepat menutup mulut pemuda itu dengan telapak tangannya dan memberi isyarat dengan kedipan mata agar pemuda itu tidak mengeluarkan suara.
Ci Kong segera teringat akan peristiwa tadi dan dia mengangguk, tanda bahwa dia sudah mengerti. Dengan isyarat, Kakek itu minta kepada Ci Kong agar membebaskan diri dengan ilmu Sia-kut-hoat seperti yang pernah dipelajarinya. Ci Kong segera mengumpulkan hawa murni, mengerahkan singkangnya dan dengan perlahan dia menarik lengan tangannya lolos dari belenggu, seperti yang dilakukan Kakek tadi. Ilmu Sia-kut-hoat adalah ilmu melepaskan tulang melemaskan diri. Dengan ilmu ini tubuh dapat ditekuk-tekuk dan kaki lengan bisa lemas seperti belut.
“Mari kita duduk bersandar dan biarkan belenggu-belenggu itu menempel di kaki tangan seolah-olah kita masih terbelenggu. Nanti kalau pintu dibuka, kita bergerak dan keluar,” Kakek itu berbisik dengan suara mengandung khikang sehingga yang terdengar suaranya hanyalah pemuda itu saja, seolah-olah dia berbisik di dekat telinga Ci Kong.
Ci Kong mengangguk dan keduanya lalu duduk bersandar dinding, dengan rantai belenggu masih menempel di kaki tangan mereka. Ci Kong melirik ke arah susiok-couwnya dan melihat Kakek itu tersenyum-senyum, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu, dia mengerutkan alisnya dan tidak dapat menahan hatinya lagi untuk tidak bertanya. Diapun mengerahkan khikang sehingga suaranya hanya terdengar sebagai bisikan di dekat telinga Kakek itu. “Susiok-couw tadi tidak terpengaruh oleh madu itu?”
Kakek itu tersenyum lebar tanpa suara, lalu menggeleng kepala. “Pinceng tidak minum madu, bagaimana bisa terpengaruh? Sebagai orang yang sudah puluhan tahun tidak pernah makan daging, sekali cium saja pinceng tahu bahwa madu itu bukanlah madu kembang yang murni, melainkan ada bau amis yang menunjukkan bahwa ada sesuatu pada madu itu. Maka, pinceng hanya pura-pura minum, akan tetapi membuang madu itu.”
“Akan tetapi mengapa susiok-couw membiarkan teecu meminumnya dan bahkan pura-pura pingsan?”
“Pinceng ingin melihat apa maksud mereka membius kita. Bukankah kita sedang melakukan penyelidikan? Dalam keadaan pingsan tentu mereka akan bicara dengan leluasa.”
Diam-diam Ci Kong merasa kagum. Kakek ini cerdik dan juga amat tabah, berani mengambil resiko terjatuh ke tangan iblis-iblis itu. “Dan bagaimana hasilnya, susiok-couw?”
Kakek itu menggeleng kepala. “Mereka agaknya tidak tahu di mana adanya pusaka itu, malah menawan kita untuk memaksa Siauw-lim-pai mencari pusaka itu dan ditukar dengan nyawa kita.”
Mereka menghentikan percakapan bisik-bisik yang hanya dapat mereka dengar sendiri itu ketika terdengar suara orang di luar kamar tahanan mereka. Suara ketua Ang-hong-pai dan Theng Ci! “Untuk apa racun itu, subo?” terdengar suara Theng Ci.
Jawaban ketua Ang-hong-pai didahului dengan suara ketawanya yang halus akan tetapi mengandung kekejaman. “Hi-hik, pembius di dalam madu itu mana kuat mempengaruhi Siauw-bin-hud untuk waktu lama? Orang biasa akan terbius selama tiga jam, akan tetapi aku khawatir Kakek gendut itu akan cepat sadar. Maka, aku akan memaksakan racun ini agar mereka lumpuh selama tiga hari tiga malam. Dengan demikian, selain lebih aman, kalian tidak akan diperlukan menjaga terlampau ketat. Buka pintunya.”
Nampak kepala dua orang wanita itu di luar jeruji pintu. Mereka menjenguk ke dalam dan melihat betapa dua orang tawanannya masih pulas atau pingsan. Kakek itu bersandar didinding seperti tadi dan Ci Kong menggeletak terlentang. Pemuda yang cerdik ini cepat sudah merobah kedudukannya.
Dia teringat bahwa ketika pertama kali sadar, dia berada dalam keadaan rebah terlentang, maka kalau kini dia duduk seperti susiok couwnya, tentu akan menimbulkan kecurigaan. Hal yang kecil tapi penting ini agaknya tidak teringat oleh susiok-couwnya tadi!
Daun pintu terbuka dan masuklah ketua Ang-hong-pai yang membawa sebuah guci kecil, sedangkan Theng Ci mengawal di belakang gurunya sambil memegang sebatang pedang, agaknya kesaktian Kakek itu membuat orang-orang Ang-hong-pai ini berhati-hati sekali.
Begitu ketua Ang-hong-pai itu menghampiri Kakek Siauw-bin-hud, tiba-tiba saja Kakek itu membuka matanya dan tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha-ha!”
Wajah ketua Ang-hong-pai seketika menjadi pucat sekali. Baru pertama kali itulah iblis betina ini mengalami guncangan batin yang hebat, bukan hanya karena peristiwa ini sama sekali tidak pernah disangkanya, seperti melihat orang mati hidup kembali secara mendadak, akan tetapi juga suara ketawa Kakek itu membuat tubuhnya menggigil dan guci itupun terlepas dari tangannya.
“Prakkk...!” Guci itu pecah dan tercium bau yang harum-harum amis memuakkan. Selagi guru dan murid ini terbelalak dengan muka pucat, tiba-tiba tubuh Ci Kong melesat ke daun pintu dan diapun sudah menutupkan daun pintu itu dan menguncinya dari dalam! Setelah itu, dia berdiri dengan keadaan siap siaga, menanti tindakan susiok-couwnya. Tanpa perintah Kakek itu, dia tentu saja tidak berani sembarangan bergerak. Sementara itu, Kakek Siauw-bin-hud sudah bangkit berdiri dan wajahnya tetap cerah dan ramah penuh senyum lebar.
“Pang-cu, engkau sungguh sungkan sekali. Sudah menjamu kami sampai kekenyangan dan tertidur, kini masih hendak kau tambah lagi? Apakah itu? Madu pelumpuh badan?”
“Siauw-bin-hud...!” kini ketua Ang-hong-pai itu nampak bulunya yang aseli dan sikapnya tidak manis dan menghormat lagi seperti tadi. “Bgaimana... bagaimana kalian...” Ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya saking herannya melihat ada orang mampu sadar dari pengaruh obat biusnya sedemikian cepatnya.
“Iktikad baik, pai-cu, iktikad baik, batin bersih dan hidup bersih. Pinceng datang dengan maksud baik, hanya ingin menanyakan sesuatu kepada muridmu Theng Ci, setelah itu kami akan pergi dengan aman...”
Tiba-tiba ketua Ang-hong-pai itu tersenyum. “Aih, kalau begitu aku telah membuat kesalahan terhadap Siauw-bin-hud, harap suka memaafkan aku...” Berkata demikian, wanita ini menjura dengan hormat, akan tetapi tiba-tiba saja dari kedua tangannya yang memberi hormat itu menyambar sinar-sinar merah ke arah tujuh jalan darah terpenting di bagian depan tubuh Siauw-bin-hud!
Penyerangan itu dilakukan dalam jarak yang amat dekat, hanya dua meter jaraknya, begitu tiba-tiba dan tidak terduga-duga, apa lagi jarum-jarum itu meluncur dengan kecepatan kilat. Agaknya Kakek gendut itu sudah tidak memiliki kesempatan lagi untuk mengelak atau menangkis, maka tujuh batang jarum merah beracun itu tahu-tahu sudah menancap, dua di pundak kanan kiri, satu di tenggorokan, satu di ulu hati, satu di pusar, dan dua lagi di kedua selangkangan...!