Pedang Naga Kemala Jilid 06

Sonny Ogawa

Pedang Naga Kemala Jilid 06 karya Kho Ping Hoo - KARENA tertutup pakaian, maka di bagian lain jarum-jarum itu tidak nampak, hanya yang amat jelas sebatang jarum yang menancap di tenggorokan itu, telah menancap sampai tinggal seperempatnya saja! Tentu saja ketua Ang-hong-pai menjadi girang bukan main, kegirangan yang dinyatakan dengan senyum lebar.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Akan tetapi, senyum itu segera berobah menjadi melongo dan terbelalak, perasaan girang itu berobah menjadi kekagetan yang membuat wajahnya kembali menjadi pucat sekali. Kakek yang sudah tertusuk tujuh jarum merah beracun yang amat berbahaya itu, masih berdiri biasa saja sambil terkekeh gembira, seolah-olah tujuh jarum itu tidak pernah menyentuhnya! Kemudian dia menarik napas panjang.

“Aihhh, jarum-jarum bernasib malang. Engkau tidak dipergunakan untuk menjahit sehingga berjasa, sebaliknya malah dipergunakan untuk membunuh orang. Sialan! Pai-cu, kukembalikan jarum-jarummu. Terimalah!”

Dan tiba-tiba saja jarum-jarum yang tadinya menancap di tujuh tempat bagian tubuh depan Siauw-bin-hud, meluncur dengan cepat sekali ke depan. Ketua Ang-hong-pai itu bukan seorang lemah, akan tetapi karena ia masih dalam keadaan terpesona dan terkejut, apa lagi jarum-jarum itu meluncur dengan kecepatan dua kali lipat dari pada kecepatan serangannya tadi.

Tahu-tahu tujuh batang jarum itu telah menusuk gelung rambut di atas kepalanya! Ia merasa betapa gelung rambut kepalanya tergetar dan ketika ia meraba, matanya terbelalak mendapat kenyataan bahwa tujuh batang jarumnya telah menghias sanggul rambutnya dengan rapi!

Pada saat itu, Theng Ci yang melihat subonya tidak berhasil, menggunakan pedangnya menyerang Ci Kong. Tusukannya cepat dan kuat sekali ketika dari samping ia menusuk ke arah lambung pemuda yang sedang nonton gurunya menghadapi ketua Ang-hong-pai.

Akan tetapi, pemuda ini telah memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Dia dapat mendengar suara angin serangan, juga matanya yang amat tajam dapat menangkap berkelebatnya pedang. Dengan tenang sekali dia memutar tubuh sehingga pedang itu meluncur lewat dekat pinggangnya, hanya dalam jarak beberapa sentimeter saja.

Dan sebelum Theng Ci sempat menarik kembali pedangnya, tiba-tiba saja jari tangan Ci Kong melayang dan tubuh wanita baju merah itupun terguling dalam keadaan lumpuh tertotok! Totokan yang amat hebat dari Ci Kong itu adalah totokan yang diberi nama It-ci-san, totokan sebuah jari telunjuk yang amat cepat dan tepat. Ketua Ang-hong-pai yang sedang meraba sanggulnya, menoleh ketika mendengar suara gedebrukan.

Ketika ia melihat bahwa murid kepala itu roboh dan tak dapat berkutik, ia cemberut. “Bocah tolol, kau mencari penyakit!” Ia memaki jengkel dan dengan ujung sepatunya ketua Ang-hong-pai ini menendang ke arah tengkuk muridnya dan Theng Ci mengeluh lalu dapat bangun kembali, memungut pedangnya dan mundur, berdiri mepet dinding dengan muka merah, kadang-kadang melirik ke arah Ci Kong yang masih berdiri tenang saja.

Ketua Ang-hong-pai menghela napas dan nampak uring-uringan, lalu memandang kepada Siauw-bin-hud. Suaranya tidak lagi manis, bahkan ketus dan kasar. “Siauw-bin-hud, engkau adalah seorang pendeta yang katanya suci, mengapa engkau dan cucu muridmu ini datang ke sini untuk menghina orang? Patutkah perbuatanmu ini?”

“Omitohud...!” Siauw-bin-hud mengeluh dengan muka masih tertawa cerah. “Maafkanlah pinceng, seribu kali maaf, pai-cu, kalau engkau merasa terhina. Akan tetapi sesungguhnya kami datang bukan untuk mengganggu atau menghina orang, melainkan untuk bertemu dengan muridmu yang bernama Theng Ci dan untuk menanyakan sesuatu. Hanya itulah, sayang bahwa kalian membesar-besarkan urusan sehingga berlarut-larut.”

Karena terdesak dan merasa tidak akan mampu menandingi Kakek ini dan cucu muridnya yang lihai, ketua itu akhirnya mengalah. Ia sendiri bersama murid kepala Ang-hong-pai telah terjebak ke dalam ruangan itu sehingga mengerahkan anak buahnyapun sia-sia belaka, bahkan ia tentu akan menderita lebih banyak malu lagi. “Ia ini muridku yang bernama Theng Ci!” katanya ketus.

Mendengar ucapan subonya, Theng Ci melangkah maju menghadapi Kakek gendut itu. “Aku yang bernama Theng Ci , ada keperluan apakah Locianpwe dengan aku?”

Siauw-bin-hud dan Ci Kong memandang tajam ke arah wanita yang mengaku bernama Theng Ci itu. Seorang wanita yang usianya empat puluhan tahun, masih nampak cantik akan tetapi matanya membayangkan kekerasan, pakaiannya ringkas serba merah dan biarpun mukanya terawat baik-baik, garis-garis duka nampak di ujung mulut dan mata. Seorang wanita yang banyak menderita dan keras hati.

“Omitohud, kiranya engkau yang bernama Theng Ci? Apakah engkau yang hadir sebagai wakil Ang-hong-pai ketika terjadi perebutan Giok-liong-kiam di luar kota Kanton, dan engkau menjadi saksi pula ketika pusaka itu dirampas oleh orang yang mengaku bernama Siauwbin-hud dari Siauw-lim-pai?”

Theng Ci mengerutkan alisnya dan membuang mukanya yang menjadi merah sekali. “Semua orang sudah tahu, kenapa Locianpwe bertanya kepadaku?”

“Begini, nona. Yang ingin pinceng tanyakan, apakah engkau yakin benar bahwa orang itu adalah pinceng sendiri! Ataukah orang lain yang menyamar sebagai pinceng?”

Wanita itu meragu. “Aku... Aku tidak tahu!”

“Nona, sebenarnya pinceng sudah memperoleh banyak keterangan akan tetapi pinceng masih belum yakin benar. Oleh karena itu pinceng sengaja mencarimu untuk minta bantuanmu. Engkau seorang wanita, tentu lebih mudah mengingat keadaan seseorang. Apakah ada sesuatu pada diri orang itu yang merupakan ciri khasnya?”

Tiba-tiba Theng Ci mengangkat muka memandang wajah Siauw-bin-hud itu dan sinar kebencian memenuhi matanya. “Tua bangka tak tahu malu! Masikah engkau berpura-pura lagi seperti tidak mengenal aku? Sungguh biadab!”

Ci Kong terkejut bukan main dan marah. Susiok-couwnya adalah seorang alim, juga seorang terhormat, kini dimaki dengan kata-kata kotor oleh perempuan ini. Akan tetapi, Kakek itu hanya tersenyum lebar seolah-olah makian itu hanya lewat saja tanpa meninggalkan bekas kepadanya, lahir maupun batin.

“Aha, sikapmu ini menarik sekali, nona. Tentu ada terjadi sesuatu antara engkau dan aku, maksudku, orang yang merampas pedang pusaka Giok-liong-kiam itu sehingga engkau kini bersikap begini marah dan penuh kebencian. Mungkin aku sudah terlalu tua untuk mengingat kembali peristiwa lama. Karena itu, nona, maukah engkau menceritakan mengapa engkau begini membenci pinceng? Apakah yang telah terjadi antara kita enam tahun yang lalu itu?”

Dengan muka sebentar pucat sebentar merah, wanita itu melotot ketika memandang kepada Siauw-bin-hud dan suaranya tegas dan nyaring, “Masih berpura-pura lagi! Engkau... Tua bangka binatang jahat, engkau telah memperkosaku!”

Jawaban ini bagaikan halilintar menyambar, membuat wajah Ci Kong berobah merah sekali. Gilakah wanita ini? Dan dia memandang kepada wajah susiok-couwnya dan wajah Kakek itu hanya tersenyum lebar, sama sekali tidak kelihatan kaget walaupun sebenarnya berita inipun tidak kalah hebatnya bagi Kakek itu sendiri.

“Ha-ha-ha, alangkah aneh dan lucunya. Pinceng selama duapuluh tahun tidak pernah meninggalkan ruangan bertapa di Siauw-lim-si dan tahu-tahu kini muncul tuduhan-tuduhan aneh, bukan hanya merampas Giok-liong-kiam, akan tetapi juga memperkosa wanita. Hemm, nona Theng Ci, menurut penuturan mereka yang ikut memperebutkan pusaka itu, setelah pusaka dirampas orang yang seperti pinceng, mereka semua, termasuk engkau menuduh bahwa pinceng... eh, orang itu, melakukan perkosaan?”

“Huh, engkau atau bukan, pokoknya orangnya persis engkau ini, tidak ada bedanya sedikitpun juga! Aku memang pergi seperti yang lain karena tidak berani berbuat sesuatu terhadap Siauw-bin-hud, seorang tokoh besar Siauw-lim-pai, apalagi karena lenyapnya pusaka itu tidak ada buktinya diambil oleh Siauw-bin-hud. Akan tetapi ketika aku pergi, malamnya tiba di hutan. Aku membuat api unggun dan tiba-tiba muncul... engkau yang mempergunakan kepandaian menaklukkan aku dan... semalam itu engkau mempermainkan aku, memperkosa, menghina... uhhhh...”

“Theng Ci, kenapa engkau tidak memberitahukan hal itu kepadaku?” tiba-tiba gurunya membentak.

Theng Ci menjatuhkan dirinya berlutut di depan gurunya sambil menahan tangisnya. “Subo, maafkan aku. Hal yang begitu menghancurkan hatiku, bagaimana mungkin aku menceritakan kepada subo atau kepada siapapun juga? Hanya karena terpaksa dengan munculnya tua bangka ini, terpaksa aku bercerita...”

“Omitohud...!” Siauw-bin-hud mengeluh walaupun mukanya masih penuh senyum. “Tenanglah, nona dan cobalah nona lihat baik-baik kepadaku. Benarkah pinceng yang melakukan perbuatan terkutuk itu terhadap dirimu? Tidak salah lagikah?”

Melalui mata yang basah, Theng Ci memandang wajah Kakek itu, lalu sinar matanya menjelajahi tubuh Kakek itu dari kepalanya yang gundul sampai ke sepatunya yang terbuat dari kain. Dan terbayanglah semua pengalamannya yang membuat hati yang alim. Sama sekali tidak. Entah sudah berapa puluh pria yang digaulinya, yang menjadi kekasihnya. Ia mudah bosan dan tentu saja ia selalu memilih pria yang ganteng dan tampan.

Dengan pengaruhnya, dengan kepandaiannya mudah saja baginya untuk memilih pria yang disukainya. Bahkan dengan kekejamannya, ia seringkali menaklukkan pria dengan paksaan dan ancaman sehingga pria itu karena takut mati terpaksa memenuhi hasrat dan nafsunya. Akan tetapi, pengalamannya ketika ia berada di dalam hutan itu sungguh membuat ia merasa muak, terhina dan sakit hati sekali.

Ketika itu, hatinya sudah dipenuhi kekecewaan mengingat betapa pusaka Giok-liongkiam lepas dari tangannya. Padahal, tadinya ia sudah amat mengharapkan pusaka itu dapat dirampasnya. Pusaka itu sudah berada di tangannya! Akan tetapi, sungguh tak disangkanya akan muncul demikian banyaknya orang pandai yang ikut memperebutkan pusaka itu. Apa lagi setelah muncul Siauw-bin-hud, harapannyapun lenyaplah.

Ia tahu diri dan seperti yang lain, tidak berani mengganggu Kakek gendut itu, pertama karena iapun sudah mendengar akan kesaktian Kakek ini yang mengatasi kelihaian Empat Racun Dunia. Ke dua, siapa berani sembarangan mengganggu seorang tokoh besar Siauw-lim-pai? Dan ke tiga, tak seorangpun melihat bahwa Kakek ini yang merampas pusaka yang sedang diperebutkan itu.

Karena hatinya kesal, biarpun tubuhnya lelah sekali dan matanya mengantuk, ia tidak dapat tidur. Padahal, ia telah memilih tempat di bawah pohon di mana terdapat rumput hijau yang tebal dan ia sudah menghamparkan tikar di situ. Ia lalu duduk termenung di depan api unggun besar yang mengusir nyamuk dan hawa dingin.

Tiba-tiba terkejutlah ia ketika mendengar suara terkekeh dan tahu-tahu Siauw-bin-hud telah berdiri di depannya. Kakek gendut itu nampak menyeramkan sekali berdiri di dekat api unggun itu, dan perutnya yang tertutup jubah kuning itu bergerak-gerak ketika dia tertawa.

Melihat munculnya Kakek itu, timbul harapan di hati Theng Ci. Apa maksud kedatangannya? Apakah... Apakah hendak menyerahkan pusaka itu kepadanya? Karena itu, Theng Ci lalu bersikap hormat, bangkit dan memberi hormat kepada Kakek gendut itu sambil tersenyum ramah, hal yang jarang sekali dilakukannya.

“Locianpwe, petunjuk apakah yang akan Locianpwe berikan kepada saya maka Locianpwe datang menemui saya?” tanyanya dengan suara lembut.

“Ha-ha-ha-ha-ha, nona manis. Coba kau terka keperluan apa yang kubawa maka aku mencarimu, ha-ha-ha!”

“Bukankah Locianpwe hendak menganugerahi saya dengan pusaka Giok-liong-kiam itu? Locianpwe, saya merasa berterima kasih sekali dan akan suka mencium kaki Locianpwe kalau saya diberi pusaka itu!” katanya penuh harap.

“Ha-ha-ha, enak saja kau bicara! Pinceng lewat di sini dan kedinginan, lalu melihatmu. Maka pinceng mengambil keputusan untuk mengajakmu menemani pinceng untuk mengusir hawa dingin. Aahhhh, ada tikar di sini? Bagus, enak untuk tidur. Ke sinilah nona...” Kakek gendut itu lalu merebahkan dirinya begitu saja di atas tikar. Tubuhnya yang bulat itu menggelinding seperti bola ke atas tikar, terlentang dan dengan kedua tangan dikembangkan, dia mengapai ke arah Theng Ci!

Tentu saja Theng Ci menjadi marah bukan main. Kakek yang tua bangka itu, dan tubuhnya yang gendut bulat, perutnya yang begitu besar, mengajak ia bermain cinta? Tentu saja ia tidak sudi! Banyak pria muda tampan siap melayani dan memuaskannya kalau ia mau. “Locianpwe, harap jangan main-main!” tegurnya, suaranya mulai ketus.

“Siapa main-main, manis?” Dan tiba-tiba lengan itu dapat memanjang dan tahu-tahu sudah merangkul leher Theng Ci.

Wanita ini terkejut dan meronta, akan tetapi tiba-tiba pundaknya ditekan dan iapun terkulai lemas. Selanjutnya... ah, sukar baginya untuk dapat mengenang peristiwa memalukan itu. Ia diperkosa, dihina, dipermainkan semalam suntuk oleh Kakek gendut itu tanpa mampu menolak atau meronta sedikitpun. Dan pada keesokan harinya, Kakek gendut itu meninggalkannya sambil tertawa-tawa mengejek!

Dengan sepasang mata yang merah dan basah, Theng Ci kini memandang kepada Siauwbin-hud. Memang ada keraguan di dalam hatinya. Memang ia telah merasa curiga pada malam hari sial itu juga. Mungkinkah Siauw-bin-hud, yang terkenal sebagai seorang tokoh besar Siauwlim-pai, sebagai seorang Hwesio Siauw-lim-si yang alim, mau melakukan perbuatan begini biadab?

Dan tingkah laku Kakek gendut itu ketika mempermainkannya, lebih pantas dilakukan oleh seorang manusia liar, manusia hutan atau binatang, sama sekali tidak nampak lagi bekas-bekas seorang Hwesio!

“Aku... Aku tidak tahu... Memang aku meragukan bahwa orang itu adalah Locianpwe Siauw-bin-hud, seorang Hwesio Siauw-lim-pai yang terkenal alim dan sakti... Akan tetapi... bagaimana aku bisa tahu aseli ataukah palsunya? Wajahnya, tubuhnya, pakaiannya, ketawanya, semua memang serupa." Katanya agak bingung.

“Nona Theng Ci, ingatlah baik-baik, apakah tidak ada suatu tanda yang dapat membedakan antara kami? Ingatlah...”

Tiba-tiba sepasang mata Theng Ci mengeluarkan sinar aneh. “Locianpwe, harap kau suka membuka jubahmu!”

Kembali Ci Kong mengerutkan alisnya dan tentu dia sudah marah dan menegur wanita tak tahu malu itu kalau saja dia tidak melihat betapa susiok-couwnya dengan sungguh-sungguh lalu membuka jubahnya yang lebar, bahkan menanggalkan jubah itu, kemudian berdiri dengan tubuh atas telanjang di depan Theng Ci!

Nampaklah perut yang bulat itu, kulitnya yang kuning halus mulus karena tak pernah terkena sinar matahari, kulit yang halus seperti kulit anak bayi! Terdengar Theng Ci mengeluarkan seruan kecil, lalu ia mengelilingi tubuh Kakek itu dan memeriksa dengan teliti.

“Ah, bukan kau..., bukan kau...! Kulitnya tidak sehalus ini, dan dadanya berbulu, dan... dan... di lambung kirinya terdapat tanda hitam sebesar telapak tangan. Bukan kau, Locianpwe, orang itu... ah, sudah kuragukan sejak dulu...!” Dan Theng Ci menangis sesenggukan, menutupi mukanya.

“Diam kau!!” Ketua Ang-hong-pai membentak muridnya yang segera menghentikan tangisnya. Lalu ia menghadapi Siauw-bin-hud. “Apa sudah cukup pertanyaan-pertanyaanmu, Siauw-bin-hud? Kalau sudah, harap segera meninggalkan tempat ini. Sudah cukup kau mendatangkan kekacauan di sini.”

“Omitohud... Cukup, lebih dari cukup. Marilah Ci Kong, kita pergi.” Kakek itu lalu menjura ke arah dua orang wanita itu. “Dan terima kasih atas kebaikan budi kalian yang telah membantu kami.” Siauw-bin-hud diiringkan oleh Ci Kong keluar dari dalam kamar itu, lalu mereka berdua dengan sikap tenang meninggalkan perkampungan Ang-hong-pai tanpa ada seorangpun yang berani coba mengganggu.

Akan tetapi, ketika mereka tiba di pintu gerbang, ketua Ang-hong-pai yang mengikuti mereka lalu bertanya, “Siauw-bin-hud, apakah engkau sudah tahu siapa orang yang memalsu dirimu itu?”

“Ha-ha-ha, mungkin sekali aku tahu, mungkin juga keliru. Selamat tinggal, pai-cu,” kata Kakek itu yang segera melangkah lebar meninggalkan tempat itu tanpa menoleh lagi, diikuti oleh Ci Kong.

Setelah dua orang tamu yang lihai itu pergi, ketua Ang-hong-pai mengomeli Theng Ci, “Sialan kau ini! Dengan kebocoran mulutmu, tentu kini dia telah mengetahui di mana adanya pusaka itu dan akan merampasnya kembali. Sungguh tolol kau ini. Dulu engkau diam saja tidak menceritakan kepadaku tentang perampas pusaka yang memperkosamu, dan sekarang engkau malah bocor mulut sejadi-jadinya!”

“Ah, apakah subo tahu siapa orang itu?”

“Bodoh kau. Kalau dari dulu engkau bercerita, tentu aku dapat menduganya dan kita dapat lebih dulu berusaha merampasnya. Orang itu siapa lagi kalau bukan Thian-tok?”

Sepasang mata Theng Ci terbelalak dan mukanya berobah pucat. “Thian-tok...? Wah, kalau benar dia, siapa akan mampu merampas dari tangannya?” Setelah kini mendengar bahwa yang menghinanya adalah satu di antara datuk-datuk iblis itu, makin habislah semangatnya untuk dapat membalas dendam.

Kini ia tidak merasa heran. Kalau orang itu benar Thian-tok, seorang di antara Empat Racun Dunia, ia masih boleh mengucap syukur karena ia tidak mati konyol, atau tersiksa lebih hebat lagi dan dapat lolos dari maut mengerikan dalam waktu semalam saja! Sungguh aneh sekali wanita ini. Begitu mendengar bahwa pemerkosanuya adalah Thian-tok, lenyaplah rasa penasaran di hatinya, bahkan ada rasa bangga yang luar biasa bahwa ia telah dipilih oleh Thian-tok, datuk iblis itu!

Patut diketahui bahwa Theng Ci adalah seorang wanita yang tergolong kau m sesat. Perkumpulan Ang-hong-pai juga perkumpulan sesat. Oleh karena itu, walaupun Ang-hong-pai tidak dapat dikatakan menjadi anak buah atau pengikut Empat Racun Dunia. Akan tetapi kedudukan Thian-tok yang tinggi membuat dia dipandang dengan rasa takut, kagum dan hormat oleh para anggauta kaum sesat, seperti pandangan seorang tahyul terhadap iblis atau dewa. Maka, mendengar bahwa dirinya dipilih oleh Thian-tok, timbul rasa bangga dalam hati wanita ini.

* * *

Puncak Tai-yun-san merupakan puncak yang indah dan masih liar karena jarang dikunjungi manusia. Memang tidak ada gunanya bagi orang biasa, kecuali hanya untuk melancong, datang ke puncak itu. Selain amat terjal dan sukar dicapai, penuh dengan hutan liar di mana terdapat banyak binatang buas, juga hawanya terlalu dingin.

Akan tetapi semenjak beberapa tahun ini, di puncak itu terdapat tiga orang, yaitu Thian-tok, dan dua orang muridnya yang baru, yaitu Ong Siu Coan dan Gan Seng Bu. Dua orang muda itu digembleng dengan sungguh-sungguh oleh Thian-tok sehingga selama enam tahun mereka telah menerima ilmu-ilmu kesaktian dari datuk iblis itu. Kini mereka berdua sudah mengenal benar watak guru mereka yang luar biasa, aneh, dan kadang-kadang mengerikan.

Di dalam perantauannya, Thian-tok mengajak dua orang muridnya itu bertualang dan dengan terang-terangan dia melakukan pencurian, bahkan penculikan dan pemerkosaan terhadap gadis-gadis cantik. Dua orang muridnya tertegun, cemas dan ngeri, akan tetapi mereka tidak berani mencampuri. Mereka bergidik melihat betapa guru mereka itu sambil tertawa bergelak-gelak memperkosa wanita, dan sambil tersenyum-senyum membunuh wanita itu pada keesokan harinya!

Bahkan pernah Kakek gendut itu merobek dada seorang korbannya, mengeluarkan jantung yang masih berdenyut dan mengganyangnya mentah-mentah. Dua orang pemuda itu hampir muntah menyaksikan hal ini, akan tetapi guru mereka mengatakan bahwa jantung yang hidup itu merupakan obat kuat yang tiada taranya! Kadang-kadang, kalau sedang berdua saja, Seng Bu menyatakan kecewa dan penyesalannya kepada suhengnya, yaitu Siu Coan, tentang watak gurunya.

Dia mengatakan bahwa kalau melihat watak suhunya, dia ingin minggat saja, tidak sudi menjadi murid seorang yang demikian jahatnya. Akan tetapi, Siu Coan membantahnya dan mengingatkan bahwa guru mereka adalah seorang yang luar biasa saktinya. Mencari di ujung dunia sekalipun belum tentu akan bisa mendapatkan seorang guru selihai Thian-tok.

“Pula, apa hubungannya semua perbuatannya dengan kita?” demikian Ong Siu Coan berkata, membujuk sutenya. “Dia adalah seorang sakti, dan semua orang sakti di dunia ini memang aneh. Bahkan ada yang mendekati gila. Siapa bisa mengikuti jalan pikirannya? Mungkin saja ada sebab-sebab rahasia yang mendorong semua perbuatannya yang kelihatannya jahat dan mengerikan itu.”

“Hemm, apa yang mendorong kecuali nafsu buruk?” Seng Bu berkata. “Memperkosa gadis, lalu membunuh gadis yang tak berdosa itu! Bayangkan saja! Dia mencuri barang-barang berharga dari dalam gedung orang. Sungguh aku tidak mengerti, mengapa suhu yang sudah setua itu masih mau mengganggu wanita, dan untuk apa pula barang-barang berharga itu.”

Akan tetapi setelah mereka tiba di dalam guha di puncak Pegunungan Tai-yun-san, barulah terjawab pertanyaan kedua dari Seng Bu. Di dalam guha besar itu terdapat terowongan dan kamar-kamar dalam tanah dan di dalam sebuah di antara kamar-kamar itulah disimpannya banyak sekali barang-barang berharga yang langka!

Pusaka-pusaka, emas permata, batu giok dan bertumpuklah barang-barang itu seperti dalam guha harta karun saja! Dan kadang-kadang Thian-tok bermain-main di dalam kamar itu seperti anak kecil, menimang-nimang semua benda-benda itu sambil tertawa-tawa seorang diri!

Kalau Seng Bu merasa tidak cocok dengan watak gurunya dan hanya memaksa diri bertahan untuk menguasai ilmu kesaktian dari Kakek itu, sebaliknya diam-diam Ong-Siu Coan merasa kagum bukan main terhadap gurunya! Bahkan ada perasaan puas di lubuk hatinya melihat betapa gurunya melakukan semua kekejaman yang sadis itu. Hanya anak ini menyadari bahwa perbuatan-perbuatan itu tidak benar, maka diapun memaksa hatinya sendiri untuk memerangi perasaan puas itu sehingga di luarnya, dia nampak halus budi dan pandai menyimpan gejolak hatinya.

Seng Bu sendiripun tidak dapat menyelami batin suhengnya yang baginya dianggap seorang yang cerdik, pandai dan juga tidak pernah melakukan perbuatan tercela. Sikap suhengnya yang pendiam, serius, dan gagah sekali, terutama kalau bicara tentang perjuangan menentang penjajah Mancu, benar-benar amat mengagumkan hati Seng Bu. Dia sendiri berwatak jujur, terbuka dan agak bodoh walaupun dia memiliki jiwa yang gagah perkasa dan berani.

Demikianlah, dalam asuhan orang aneh seperti Thian-tok, dua orang pemuda remaja itu tumbuh menjadi pemuda-pemuda yang gagah perkasa. Dalam usia sembilan belas tahun, Siu Coan merupakan seorang pemuda dewasa yang bertubuh tinggi tegap, berwajah tampan dan gagah sekali, sepasang matanya mencorong, kadang-kadang nampak aneh, sikapnya pendiam dan serius, pandang matanya penuh selidik dan membayangkan kecerdikan.

Gan Seng Bu yang usianya hanya beberapa bulan saja lebih muda dari suhengnya, bertubuh sedang namun bentuknya kokoh dan kuat sekali, dengan otot-otot yang menonjol. Wajahnya tidak begitu tampan, akan tetapi wajahnya jantan dan membayangkan kegagahan. Sinar matanya terbuka dan dari situ berpancar cahaya mata yang jujur dan terang.

Sudah hampir enam tahun mereka menjadi murid Thian-tok dan boleh dibilang hampir semua ilmu-ilmu pilihan dari Kakek itu telah diajarkan kepada mereka. Terutama sekali ilmu-ilmu andalan Thian-tok. Di antaranya adalah Ilmu Sin-houw Ho-kang, yaitu ilmu yang berdasarkan penggunaan tenaga khikang pada suara sehingga kalau ilmu ini dipergunakan, maka auman yang dikeluarkan itu demikian hebatnya sehingga mampu merobohkan lawan tanpa menyentuhnya melainkan menyerang jantung dan isi perut melalui pendengaran dan getaran suara!

Ada lagi ilmu yang diberi nama Kim-ciong-ko. Dengan mengandalkan ilmu ini, kalau dikuasai dengan sempurna dan kalau pelakunya sudah memiliki tenaga singkang yang sempurna, maka tubuh akan menjadi kebal terhadap senjata tajam dan kedua lengan dapat dipergunakan sebagai senjata, kuat menahan senjata tajam sekalipun!

Adapun ilmu silat tangan kosong yang diandalkan oleh Thian-tok adalah Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat, ilmu silat yang berdasarkan gerakan Ngo-heng atau Lima Unsur yang saling berkaitan, saling menolong saling menghidupkan dan membunuh. Kalau dibuat perbandingan antara Siu Coan dan Seng Bu. Maka Siu Coan yang cerdik lebih mahir dalam ilmu silat, akan tetapi dalam hal kekuatan, dia masih tidak mampu menandingi sutenya yang kokoh kuat seperti pagoda besi itu.

Pagi hari itu, dua orang pemuda yang sudah dewasa ini sedang berlatih silat di depan guha kecil di mana terdapat sumber mata airnya. Guha kecil ini letaknya agak jauh dari guha tempat tinggal mereka dan guru mereka, dan mereka setiap pagi kalau hendak mengambil air, mandi atau bercuci muka, tentu berlatih silat di depan guha kecil itu.

Melihat dua orang pemuda itu berlatih silat dengan bertelanjang dada, hanya memakai celana panjang dan sepatu, amat mengagumkan. Sungguh jauh bedanya dengan perkelahian yang mereka lakukan pada enam tahun yang lalu di depan Thian-tok ketika Kakek ini mengadu mereka di kuil tua.

Dulu mereka berkelahi secara liar, pukul-memukul, tendang-menendang dan jambak-menyambak sehingga hujan pukulan mengenai badan masing-masing dan terdengar suara bak-bik-buk ketika pukulan mengenai badan. Akan tetapi sekarang, tidak terdengar sesuatu dalam gerakan mereka. Demikian ringannya kaki mereka bergeser dan kaki tangan itu namun sama sekali tidak mengeluarkan suara.

Hanya kalau pukulan mereka meluncur saja terdengar angin bersiut, dan kadang-kadang terdengar bentakan mereka untuk menambah daya serang dalam pukulan atau tendangan mereka. Akan tetapi sekali ini, tidak ada satu kalipun pukulan atau tendangan yang mengenai tubuh lawan.

Betapapun cepat dan kerasnya mereka menyerang, pihak lawan tentu mampu mengelak atau menangkisnya dengan baik sekali. Mereka sedang melatih ilmu silat tangan kosong Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat, ilmu silat yang menjadi andalan guru mereka.

Selagi mereka asyik berlatih, tiba-tiba terdengar suara orang mendengus dan nampaklah bayangan hitam berkelebat dan terasa oleh dua orang muda itu angin pukulan menyambar dengan dahsyatnya ke arah mereka! Tentu saja mereka terkejut bukan main, karena mereka tahu bahwa mereka diserang secara hebat sekali oleh orang yang berilmu tinggi dan yang memiliki tenaga singkang yang amat kuat.

Orang itu bertubuh tinggi kurus bermuka hitam dengan sepasang mata mencorong kehijauan seperti mata kucing, pakaiannya serba hitam pula dan dengan dua pukulan yang ganas sekali dia telah menyerang Siu Coan dan Seng Bu, dengan tamparan ke arah leher Siu Coan dan tonjokan ke arah dada Seng Bu.

“Haiiiittt...!” Siu Coan berteriak sambil melakukan penangkisan dengan tangan kirinya.

“Heiiiittt...!” Seng Bu yang kaget itupun cepat mengelak dengan miringkan tubuhnya dan menyampok tonjokan itu dengan lengan kanannya.

“Dukk! Dukk!”

Dua orang pemuda itu semakin kaget karena ketika lengan mereka yang menangkis itu terbentur dengan lengan lawan, mereka merasa seolah-olah menangkis besi panas, dan juga tenaga lengan lawan itu sedemikian kuatnya sehingga mereka merasa lengan mereka tergetar hebat!

Siu Coan juga lawan itu memiliki gerakan cepat bukan main. Begitu serangan pertama dapat mereka hindarkan, serangan-serangan selanjutnya menyusul sedemikian cepatnya sehingga tahu-tahu mereka telah diserang secara bergantian dan bertubi-tubi sampai tiga kali!

Namun, mereka kini telah menguasai banyak ilmu silat tinggi dan tubuh mereka sudah mampu bergerak secara otomatis menghadapi ancaman serangan itu, selain itu mereka yang tahu bahwa penyerang mereka ini amat lihai, sudah mengerahkan seluruh tenaga singkang mereka sehingga mereka mampu menangkis dengan baik.

“Siapa kau yang datang-datang menyerang kami!” bentak Siu Coan ketika memperoleh kesempatan. Ketika orang itu tidak menjawab melainkan melanjutkan serangan, Siu Coan mengelak dan balas menyerang, diikuti oleh sutenya.

Kembali orang itu mendengus, dan agaknya orang itupun merasa heran melihat betapa serangannya yang bertubi itu tidak berhasil merobohkan seorang dari mereka, bahkan kini dua orang pemuda itu mulai membalas. Tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking lirih, akan tetapi di dalam suara yang lirih tinggi itu mengandung tenaga serangan yang amat hebat.

Dua orang pemuda itu terkejut. Mereka mengenal Sin-houw Ho-kang yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali. Cepat mereka melangkah mundur dan mengerahkan tenaga khikang untuk melawan suara itu dan melindungi diri. Kembali orang itu kelihatan terkejut dan heran, lalu suara serangannya berhenti dan sekali berkelebat, orang itu telah lenyap di balik semak-semak tebal.

Siu Coan dan Seng Bu tidak mengejar, hanya saling pandang dengan heran. “Orang itu sungguh lihai sekali...!” katanya menarik napas panjang. “Serangannya mendadak dan kalau kita kurang hati-hati, tentu menjadi korban.”

Seng Bu menggeleng-geleng kepala, keheranan. “Mengapa dia menyerang kita membabi-buta tanpa alasan? Siapa dia?”

“Aku dapat menduga siapa dia.” Tiba-tiba Siu Coan berkata.

Seng Bu memandang wajah suhengnya denga heran. “Engkau tahu siapa dia, suheng? Apakah kau sudah mengenalnya?”

Siu Coan menggeleng kepala. “Sute, lupakah engkau akan ucapan suhu ketika dia menerima kita sebagai murid? Suhu pernah mengatakan secara samar-samar bahwa suhu mempunyai seorang murid yang sudah tidak diakuinya lagi. Agaknya orang itulah murid suhu, mengingat bahwa dia mengenal ilmu silat Ngo-heng Lian-hoat kita, juga ketika dia menyerang kita dengan Sin-houw Ho-kang. Siapa lagi orangnya yang mampu melakukan dua ilmu itu kalau bukan murid suhu itu?”

Seng Bu mengangguk-angguk, “Akan tetapi, kalau benar dia, berarti dia itu adalah toa-suheng kita. Mengapa dia menyerang kita mati-matian seperti itu? Kurang cepat sedikit saja kita mengelak atau menangkis, tentu seorang di antara kita akan roboh dan tewas.”

“Akupun tidak tahu mengapa, sute. Hanya, menurut ucapan suhu dahulu, tentu dia tidak berhubungan secara baik dengan suhu. Entah mengapa suhu tidak mengakuinya lagi. Sebaiknya hal ini kita tanyakan kepada suhu.”

Dua orang pemuda itu lalu membersihkan diri di sumber air dan setelah itu mereka berjalan kembali menuju ke guha besar tempat tinggal mereka. Ketika mereka mencari guru mereka, akhirnya mereka menemukan guru mereka duduk bersila di depan kamar harta karun di mana disimpan semua pusaka dan barang-barang berharga milik guru mereka itu. Akan tetapi, mereka terkejut bukan main melihat betapa Thian-tok yang duduk bersila itu berwajah pucat sekali dan jelas kelihatan sedang menghimpun hawa murni dengan tarikan-tarikan napas panjang.

“Suhu...! Ada apakah...?” Siu Coan berseru kaget dan heran, lalu berlutut di depan Kakek yang duduk bersila itu, diikuti oleh Seng Bu.

Kakek itu membuka kedua matanya dan melihat dua orang muridnya, dia tersenyum menyeringai, lalu berkata dengan suara yang agak parau, “Ah, dia datang..., mengambil Giok-liong-kiam... dan aku kena ditipunya, terkena pukulannya, akan tetapi... diapun membawa bekas pukulanku, mungkin terluka parah pula...”

Siu Coan yang cerdik segera dapat menduga. “Suhu, apakah suhu maksudkan murid suhu itu yang datang?”

Thian-tok terbelalak. “Kau... kau sudah mengenal Koan Jit?”

Siu Coan menggeleng kepala. “Tidak, suhu, teecu hanya menduga saja. Tadi ada seorang bertubuh jangkung, bermuka hitam dan berpakaian serba hitam pula, menyerang teecu berdua yang sedang berlatih silat di depan guha sumber air. Melihat gerakan-gerakannya, teecu menduga bahwa tentu dia murid suhu itu. Dan dia lalu melarikan diri setelah tidak berhasil merobohkan kami.”

Kakek itu mengangguk-angguk. “Benar, dialah Koan Jit, murid durhaka itu. Ah, aku terlalu sayang kepadanya... dan dia terlalu durhaka...”

“Suhu, apakah yang telah terjadi?” Seng Bu kini bertanya dengan hati penasaran sekali. Suhunya ini menyatakan merasa sayang terhadap murid yang bernama Koan Jit itu, akan tetapi juga mengatakan bahwa murid itu terlalu durhaka.

“Kalian belum tahu... baiklah kuceritakan agar kalian dapat mengenal siapa dia dan orang macam apa dia itu. Akan tetapi dia memang hebat, dia paling berbakat, dan dia patut menjadi datuk iblis penggantiku, akan tetapi dia durhaka kepadaku, ah, sungguh sayang. Kalau tidak, tanpa dimintapun akan kuberikan Giok-liong-kiam kepadanya...”

Kakek itu lalu bercerita dengan singkat tentang muridnya yang bernama Koan Jit itu. Orang she Koan bernama Jit itu telah menjadi murid Thian-tok, murid tunggal semenjak dia masih kecil. Thian-tok amat sayang kepada muridnya ini, karena bukan saja Koan Jit memiliki bakat yang amat baik sehingga dapat mewarisi hampir seluruh ilmu kepandaiannya akan tetapi juga watak anak itu cocok benar dengan watak Thian-tok.

Anak itu kejam, dapat bersikap jahat dan licik, pendeknya seorang yang patut menjadi calon datuk iblis yang menjagoi di dunia kaum sesat! Dan di waktu kecilnya Koan Jit nampak patuh dan setia sekali kepada gurunya sehingga Thian-tok merasa sayang kepadanya. Thian-tok yang tidak pernah berkeluarga dan tidak mempunyai keturunan itu, bahkan hanya mempunyai seorang saja murid, menganggap Koan Jit seperti anak sendiri.

Akan tetapi setelah Koan Jit tamat belajar, lima belas tahun yang lalu, dalam usia duapuluh lima tahun, watak jahat Koan Jit mencapai puncaknya dan bukan saja dia melakukan segala perbuatan jahat seperti mencuri, merampok, membunuh, memperkosa dan mengkhianati siapa saja, bahkan dia berkhianat pula kepada gurunya sendiri!

Urusannya hanya menyangkut diri seorang wanita yang diculik oleh Thian-tok. Kebiasaan Thian-tok, satu di antara kebiasaan buruknya adalah menculik dan memperkosa wanita mana saja yang menarik hatinya. Dan setelah diperkosanya, biasanya hanya untuk satu dua hari saja, lalu wanita itu dibunuhnya. Perbuatan keji inipun diwarisi pula oleh Koan Jit!

Pada suatu hari, Thian-tok menculik seorang wanita dan dia tergila-gila kepada wanita ini, bahkan dia berniat untuk tidak membunuh wanita itu, dan kalau mungkin malah mengangkatnya menjadi teman hidup atau istrinya. Akan tetapi, beberapa hari kemudian, guru ini mendapatkan wanita pilihannya itu ada dalam pelukan muridnya! Hal ini saja masih belum menyakitkan hati datuk iblis itu kalau saja si wanita tidak terang-terangan menyatakan bahwa ia mencinta Koan Jit dan tidak sudi berdekatan dengan Thian-tok.

Marahlah si datuk iblis dan wanita itupun dibunuhnya. Tak disangkanya sama sekali bahwa Koan Jit mendendam karena peristiwa ini dan pada suatu malam, selagi Thian-tok tidur pulas, murid durhaka itu telah menotoknya, membelenggunya dan menyerahkannya kepada yang berwajib!

Tentu saja alat pemerintah girang melihat penjahat besar itu diserahkan dalam keadaan terbelenggu, karena kalau tidak, mereka tahu tidak akan mungkin dapat memegang Thian-tok yang menjadi iblis jahat dan terkenal sekali di dunia kaum sesat. Setelah siuman dan mendapatkan dirinya dalam tahanan, terbelenggu, Thian-tok menjadi marah. Dia memberontak, melepaskan diri dan melakukan penyelidikan.

Ketika mendengar bahwa Koan Jit yang menyerahkan dirinya dalam keadaan pingsan terbelenggu kepada alat negara, dia marah sekali dan cepat pulang. Setibanya di dalam guha di puncak Tai-yun-san itu, dia mendapat kenyataan bahwa Koan Jit telah kabur dan membawa banyak barang-barang berharga yang dikumpulkannya di dalam kamar dalam guha.

Tentu saja Thian-tok marah sekali, bukan karena Koan Jit mencuri barang-barang, melainkan karena murid itu telah mendurhakainya. Dengan kemarahan meluap-luap, datuk iblis itu lalu mencari muridnya. Dan setahun kemudian, dia dapat menemukan Koan Jit. Mereka bertanding, akan tetapi betapapun lihainya Koan Jit, menghadapi gurunya dia kalah matang dan akhirnya dia roboh.

Akan tetapi, ketika Thian-tok hendak membunuhnya, Kakek ini tidak tega. Dia terlalu sayang kepada murid yang sudah dianggap sebagai anaknya sendiri itu. Apa lagi ketika Koan Jit berkata kepadanya bahwa sepatutnya guru itu bangga mempunyai murid yang dapat melakukan kejahatan yang lebih besar dari pada kejahatan gurunya!

“Suhu hanya merampok, mencuri, menculik, memperkosa dan membunuh. Pernahkah suhu mengkhianati guru sendiri? Nah, aku ingin melakukan kejahatan yang melebihi suhu, dan hal itu sudah kulakukan ketika aku mengkhianati suhu. Kalau aku tidak cinta kepada suhu, tentu suhu telah kubunuh, bukan kuserahkan kepada yang berwajib. Aku tahu bahwa suhu tentu akan mampu melepaskan diri. Kenapa sekarang suhu marah-marah? Pantasnya memujiku, karena bukankah suhu yang mengajarkan semua itu kepadaku?”

Mendengar ucapan muridnya ini, hati Thian-tok menjadi semakin lemah dan diapun mengampuni muridnya itu. Akan tetapi hatinya telah menjadi kecewa dan diapun tidak mau mengakui lagi muridnya, dan mengatakan bahwa kalau sekali lagi saling jumpa, dia tentu akan membunuh murid durhaka itu.

“Demikianlah,” Thian-tok mengakhiri ceritanya. “Selama belasan tahun aku tidak pernah bertemu dengannya, hanya mendengar bahwa dia telah dijuluki orang Hek-eng-mo (Iblis Bayangan Hitam). Dan tadi, dia datang, menyelinap ke dalam kamar harta, mencuri Giok-liong kiam. Aku mendengar suara yang bukan seperti kalian, maka aku datang melihat dan tahu-tahu aku telah diserangnya.

"Dia memperoleh banyak kemajuan dan karena aku tadinya masih mengira bahwa kalian yang berada di dalam, aku lengah dan terkena pukulannya yang beracun. Akan tetapi, sebelum dia melarikan diri, akupun berhasil memukul dan melukainya. Dia lari hanya membawa pedang pusaka Giok-liong-kiam.”

“Kurang ajar! Aku akan mengejar dan mencarinya, suhu!” Siu Coan mengepal tinju.

“Benar, murid durhaka itu perlu dihajar!” kata pula Seng Bu marah.

Kakek itu tersenyum dan menggeleng kepala. “Jangan! Aku bahkan diam-diam merasa bangga bahwa dia menguasai pedang pusaka itu dengan cara yang demikian licik dan berani. Perbuatan itu patut kalian jadikan contoh. Orang harus licin dan cerdik untuk dapat maju di dunia ini, ha-ha-ha! Dan Koan Jit benar-benar membuat aku bangga. Pula, belum tentu kalian dapat menang menghadapinya. Dalam hal ilmu silat, kiranya kalian tidak perlu kalah, hanya mungkin kalah matang dalam latihan. Semua ilmuku telah kuberikan kepada kalian.

"Akan tetapi, dalam hal kelicikan dan kecurangan, kalian kalah jauh, apa lagi Seng Bu. Biarlah, pusaka Giok-liong-kiam itu biar berada di tangannya. Tentu saja kelak, kalau kalian sudah merasa mampu, kalian boleh coba-coba merampas dari tangannya. Ketahuilah, pusaka Giok-liong-kiam itu menjadi semacam ukuran kelihaian seseorang. Pemiliknya boleh mengangkat diri menjadi orang terpandai di dunia persilatan!”

“Omitohud..., kata-kata yang sungguh tidak baik untuk didengar dan ditaati...”

Suara ini halus seolah-olah di dekat mereka ada orang yang berbisik. Hal ini amat mengejutkan hati Thian-tok dan dua orang muridnya. Thian-tok segera maklum bahwa ada orang sakti yang datang, karena orang yang berada di luar guha dapat mendengarkan kata-katanya tadi dan dapat mengirim suara melalui ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh) sedemikian lihainya, tentulah seorang yang memiliki kesaktian luar biasa.

“Awas, di luar ada orang sakti. Mari kita sambut dia!” kata Thian-tok yang segera bangkit dan melangkah keluar dengan sikap tenang, dengan wajah tersenyum mengejek karena Kakek ini belum pernah merasa takut menghadapi lawan siapa saja di dunia ini.

Dua orang muridnya mengikuti dari belakang dengan hati tegang dan penuh pertanyaan dan dugaan. Apakah Koan Jit datang kembali? Mungkin saja murid pertama suhu mereka itu yang datang, karena memang orang itu memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi mengapa ada seruan omitohud yang biasa hanya keluar dari mulut para pendeta atau para umat Buddhis yang beribadat?

Agaknya tidak mungkin kalau toa-suheng mereka yang sudah tidak diakui itu menggunakan seruan seperti itu. Ketika mereka tiba di luar, Siu Coan dan Seng Bu memandang heran. Di depan guha itu telah berdiri seorang pendeta Hwesio yang tubuhnya gendut bulat, segendut da sebulat guru mereka. Bahkan ada persamaan atau kemiripan wajah di antara dua orang Kakek itu, mirip sekali bentuk mata, hidung dan mulut pada muka yang sama-sama bundar itu.

Hanya perbedaannya, kalau kepala Thian-tok botak dan di belakangnya berambut, kepala Hwesio itu gundul plontos tanpa ada sedikitpun rambutnya dan kalau baju Thian-tok tidak pernah tertutup sehingga nampak bulu di dadanya, sebaliknya tubuh Hwesio itu tertutup rapat oleh jubah kuning, juga wajah Thiantok dihias kumis pendek tebal, sedangkan Hwesio itu sedikitpun tidak memelihara kumis.

Sejenak dua orang gendut itu saling pandang dan lucunya, keduanya sama-sama tersenyum lebar. Hanya terdapat perbedaan dalam senyum itu. Kalau senyum Thian-tok menyeringai dan membayangkan ejekan dan kesombongan, senyum Hwesio itu halus dan ramah dibayangi ketulusan hati.

“Ha-ha-ha-ha!” Thian-tok akhirnya tertawa bergelak. “Akhirnya ketemu juga! Akan tetapi kedatanganmu itu terlambat beberapa jam saja, Siauw-bin-hud!”

Hwesio yang disebut Siauw-bin-hud itu tertawa dan menoleh kepada pemuda berpakaian pemuda tani sederhana yang wajahnya membayangkan kesabaran. “Ci Kong, inilah dia yang dujuluki orang Thian-tok, satu diantara empat orang datuk iblis yang dinamakan Empat Racun Dunia.”

Kemudian Siauw-bin-hud menghadapi Thian-tok dengan senyum lebar. “Heh-heh, Thian-tok, engkau pandai sekali menyembunyikan diri. Setelah yakin bahwa engkaulah orangnya yang duabelas tahun yang lalu merampas Giok-liong-kiam dengan mempergunakan nama pinceng, barulah pinceng memaksa diri mendatangi tempat ini. Thian-tok, mengapa engkau melakukan perbuatan itu?”

“Ha-ha-ha, ketika itu aku hanya menggunduli rambut dan kumisku, memakai jubah kuning dan merobah sedikit alisku, mencoba-coba merasakan bagaimana kalau menjadi seorang Hwesio. Aku sama sekali tidak pernah mengaku bahwa aku adalah Siauw-bin-hud. Kalau kemudian orang menyangka aku Siauw-bin-hud, salah siapakah itu? Ha-ha-ha, dan sudah sepatutnya kalau engkau menjadi pusing karenanya. Ingatkah engkau pada empat puluh tahun yang lalu ketika engkau pernah mengalahkan aku dalam pertandingan selama hampir satu malam di puncak Thai-san?”

Siauw-bin-hud tersenyum lebar. “Aihh, perlu apa mengingat-ingat masa lampau, waktu kita masih gila-gilaan dan dikuasai nafsu untuk menang? Pinceng sekarang sudah tidak lagi haus kemenangan, Thian-tok. Akan tetapi karena orang menyangka pusaka itu pinceng rampas, maka pinceng terpaksa datang mengunjungimu dan minta agar engkau suka mengembalikan kepadaku untuk diserahkan kepada mereka yang berhak.”

“Ha-ha, enak saja! Majulah dan kalahkan aku sekali lagi kalau engkau mampu!”

Siauw-bin-hud hanya tersenyum dan menggeleng kepala. “Biarlah pinceng mengaku kalah.”

“Kalau engkau kalah, berarti aku yang menang dan jagoan nomor satu sajalah yang berhak menguasai Giok-liong-kiam. Jadi, akulah yang menguasainya dan akulah yang patut disebut jagoan nomor satu di dunia, ha-ha-ha!”

“Omitohud! Heh-heh, Thian-tok, bagi pinceng sama sekali tidak berkeberatan kalau engkau menjadi jagoan nomor satu di dunia atau di akhirat. Biar kau borong semua gelar dan julukan itu, ha-ha-ha!”

Sementara itu, Ci Kong yang menyaksikan pertemuan antara Kakek gurunya dan Kakek gendut itu, sejak tadi memandang penuh keheranan. Memang mirip sekali dua orang Kakek itu satu sama lain, dengan kebiasaan yang sama pula, yaitu suka tersenyum lebar dan ketawa-ketawa. Hanya bedanya, kalau senyum susiok-couwnya itu ramah dan tulus, sebaliknya senyum Kakek botak itu mengandung ejekan dan sinar matanya mengandung kekejaman.

Akan tetapi, diam-diam dia merasa kagum kepada dua orang pemuda yang muncul keluar bersama Thian-tok itu. Mereka adalah dua orang pemuda yang nampak gagah dan sama sekali tidak membayangkan watak yang jahat.

“Ha-ha-ha, Siauw-bin-hud, kalau kau sudah mengaku kalah, pergilah dan jangan ganggu aku!” Thian-tok berkata dan kini dua orang muridnya yang merasa heran.

Biasanya, tidak mungkin guru mereka itu membiarkan orang yang datang mengganggu pergi begitu saja dan menghabiskan perkara itu sampai di situ! Dari sikap ini saja mereka dapat menduga bahwa suhu mereka itu merasa jerih terhadap Hwesio tua ini. Hal itu membuat mereka merasa penasaran sekali.

“Thian-tok, pinceng tidak mau merebut keunggulan jagoan, akan tetapi pinceng sudah berjanji kepada para orang gagah untuk mencari perampas Giok-liong-kiam yang menyamar pinceng. Kalau engkau tidak mau menyerahkan pusaka itu kepada pinceng untuk dikembalikan kepada yang berhak, marilah kau ikut pinceng ke Siauw-lim-si dan engkau menghadapi sendiri mereka yang menuntut dikembalikannya pusaka itu.”

“Hua-ha-ha, enak saja kau membuang kentut, Hwesio busuk!” Thian-tok tertawa bergelak dan memaki dengan nada mengejek sekali. “Aku merampas pusaka itu menggunakan kepandaian dan kau hendak mengambilnya dariku hanya dengan menggunakan bujukan suara kentut busuk? Kalau engkau mampu mengalahkan aku, baru aku mau bicara tentang Giok-liong-kiam, kalau engkau tidak berani melawanku, pergilah dan jangan perlihatkan lagi kepala gundulmu itu di sini!”

“Ha-ha-ha, Thian-tok, jangan seperti anak kecil yang memperebutkan mainan. Pinceng hanya ingin meluruskan perkara yang bengkok, bukan untuk memperebutkan sesuatu denganmu.” Siauw-bin-hud masih tertawa-tawa gembira, agaknya kata-kata yang menghina dari Thian-tok sama sekali tidak dirasakannya.

Ci Kong mengerutkan alisnya yang tebal. Hatinya sudah terasa panas sekali. Dia seorang pemuda sederhana yang menerima gemblengan lahir batin dari Siauw-bin-hud selama enam tahun, juga wataknya bijaksana, sabar dan serius. Akan tetapi, mendengar betapa susiok-couwnya yang amat dihormatinya itu kini dimaki-maki dengan kata-kata kotor oleh seorang datuk sesat, dia merasa penasaran sekali dan menganggap bahwa sikap susiok-couwnya terlalu lemah. Orang yang begitu jahat seperti Thian-tok ini tidak perlu dikasih hati, pikirnya, karena makin lemah sikap kita, tentu akan makin diinjaknya.

“Heh-heh, Siauw-bin-hud, engkau mengaku kalah tanpa bertanding, mana mungkin itu? Kalau saja engkau mengaku bahwa engkau takut melawan aku, nah, baru aku mau bicara tanpa bertanding. Gundul busuk, kau berlututlah dan mengaku takut!” kata Thian-tok sambil menyeringai dengan sikap merendahkan sekali.

Anehnya, Siauw-bin-hud hanya tersenyum saja, dengan sinar mata penuh kesabaran seperti dewasa melihat tingkah seorang anak kecil yang nakal. Akan tetapi, Ci Kong sudah cepat melangkah maju. “Susiok-couw, segala sesuatu mempunyai batas. Orang ini terlalu menghina dan memandang rendah, biarlah saya yang mencoba-coba menghadapi dan menandingi ilmunya!”

Sebelum Siauw-bin-hud menjawab, tiba-tiba Ong Siu Coan sudah meloncat ke depan dan menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Ci Kong. “Orang sombong, kalau engkau yang maju, tidak perlu suhu menghadapimu, akupun cukuplah. Sambut seranganku!” Ong Siu Coan selain cerdik dan berwatak aneh, juga gagah perkasa dan melihat gurunya ditantang oleh pemuda yang menjadi cucu keponakan seperguruan Siauw-bin-hud, dia menjadi marah.

Juga dengan cerdik dia mendahului maju untuk menyenangkan hati gurunya karena perbuatannya itu tentu saja merupakan suatu kebaktian dan kesetiaan seorang murid yang baik. Begitu mengeluarkan tantangan dan celaan terhadap Ci Kong yang dipandangnya rendah karena bagaimanapun juga, pemuda itu hanyalah cucu murid Siauw-bin-hud, tentu hanya merupakan seorang murid Siauw-lim-pai tingkat rendah saja, Siu Coan sudah mengirim serangan dengan dahsyatnya.

Begitu menyerang, dia telah mempergunakan sebuah jurus yang ampuh dari Ngo-heng Kun-hoat dan tentu saja dia mengerahkan tenaga singkang dalam serangan itu sehingga pukulan tangan kirinya yang menyambar dari samping ke arah lambung lawan itu mengeluarkan angin keras.

“Hemmmm...!” Ci Kong mengeluarkan suara menahan kemarahannya melihat betapa pemuda tinggi besar itu begitu saja menyerang dengan ganas. Sebagai seorang murid terkasih Siauw-bin-hud yang telah mewarisi ilmu-ilmu silat paling tinggi dari Siauw-lim-pai bahkan mewarisi ilmu-ilmu simpanan rahasia yang bahkan jarang ada tokoh Siauw-lim-pai menguasainya.

Ci Kong memiliki ketenangan yang luar biasa. Sekali pandang sekelebatan saja, diapun sudah tahu bahwa serangan lawannya itu mengandung hawa maut dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Juga dia tidak dapat diikat perhatiannya oleh pukulan tangan kiri lawan yang menyambar lambungnya, maka sambil mengelak, dia tetap waspada.

Kewaspadaannya ini ternyata amat berguna karena belum juga pukulan tangan kiri Siu Coan itu terelakkan, tangan kanan Siu Coan sudah menyambar dengan lebih cepat dan lebih ganas dari pada gerakan tangan kiri dan yang diserang adalah pelipis kiri Ci Kong. Kiranya inilah serangan intinya sedangkan sambaran tangan kiri tadi hanyalah pancingan atau gertakan saja. Memang demikian sifat ilmu silat Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang dirangkai oleh Thian-tok.

Serangan susul-menyusul dan sambung-menyambung sehingga sukar diketahui lawan mana serangan pancingan dan mana yang inti, karena kesemuanya nampak berbahaya, makin lama makin cepat. Akan tetapi Ci Kong sudah tahu bahwa pukulan ke arah pelipis itulah serangan inti lawan, maka diapun menggerakkan tangan kirinya, dengan gerakan berputar dari bawah lengan kirinya menangkis.

“Dukkk...!” Keduanya terkejut karena begitu dua lengan bertemu, tubuh mereka tergetar dan tiba-tiba tangan kiri Siu Coan pada detik berikutnya sudah menyambar dengan dorongan ke arah ulu hati lawan. Serangan susulan yang amat berbahaya! Akan tetapi Ci Kong juga memapakinya dengan tangan kirinya. Dua telapak tangan kiri itu saling dorong dan bertemu di udara.

“Plakk!!” Keduanya terdorong ke belakang sampai tiga langkah dan sama-sama memandang dengan sinar mata kagum karena dari pertemuan telapak tangan itu saja mereka dapat mengetahui betapa kuatnya tenaga dari lawan masing-masing.

“Heh-heh, Ci Kong, apa gunanya bersitegang dan berkelahi seperti anak kecil? Mundurlah.” Tiba-tiba terdengar suara halus Siauw-bin-hud dan mendengar suara susiok couwnya ini, Ci Kong mundur walaupun pada saat itu, Siu Coan sudah menyerangnya lagi!

Melihat betapa lawannya mundur dan Kakek gendut dari Siauw-lim-pai itu kini melangkah maju, Siu Coan yang sudah menyerang lagi tidak mau menarik kembali pukulannya. Bahkan pemuda yang cerdik ini memperoleh kesempatan untuk menguji kepandaian Siuw-bin-hud, Kakek yang menjadi tokoh penuh rahasia dari Siauw-lim-pai itu, yang menurut gurunya merupakan seorang tokoh sakti yang sukar dicari tandingannya.

Dia merasa penasaran dan ingin menguji sendiri Siauw-bin-hud. Akan tetapi, kalau tidak ada kesempatan yang baik, tentu dia tidak berani. Sekarang, dia sedang melakukan serangan yang tadinya ditujukan kepada pemuda cucu murid pendeta itu. Kalau pemuda yang diserangnya itu menyingkir dan mundur, sedangkan Kakek gendut itu maju.

Maka serangannya yang dilanjutkan akan mengarah si pendeta dan hal ini tidak dapat dikatakan bahwa dia berani lancang menyerang tokoh Siauw-lim-pai itu! Maka, dia tidak menahan atau menarik kembali serangannya, bahkan mengerahkan seluruh tenaganya dan serangannya itu diluncurkan dengan persiapan menyambungnya dengan pukulan-pukulan lain yang paling hebat dari Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat!

Kombinasi pukulan tiga kali berturut-turut secara cepat lagi dilancarkan oleh Siu Coan ke arah tubuh gendut itu. Pertama ke arah leher, ke dua ke arah lambung dan ke tiga kalinya ke arah dada. Cepat sekali dan mengandung tenaga sepenuhnya. Demikian cepatnya tiga pukulan berantai itu sehingga jatuhnya hampir berbareng, sekali dengan tangan kiri dan dua kali dengan tangan kanan.

“Buk! Buk! Buk!” Tiga kali pukulan itu mengenai sasaran dengan tepatnya, akan tetapi akibatnya sungguh aneh.

Ong Siu Coan terkulai dan tentu sudah roboh kalau lengannya tidak cepat disambar oleh sutenya, Gan Seng Bu. Ketika tiga kali pukulan tadi mengenai leher, lambung dan dada Kakek gendut itu, Siauw-bin-hud sama sekali tidak mengelak dan Siu Coan merasa betapa pukulan-pukulannya seperti mengenai benda yang amat lunak, dingin dan yang mengandung daya serap, menyedot semua tenaga singkang yang terkandung dalam semua pukulannya.

Dan seketika kaki tangannya terasa lemas dan lumpuh sehingga dia hampir terguling roboh kalau tidak disambar oleh sutenya. Dia cepat melangkah mundur dan memandang kepada Kakek pendeta Siauw-lim-pai itu dengan mata terbelalak.

“Ha-ha-ha, Thian-tok, engkau mempunyai murid-murid yang amat lihai.” Siauw-bin-hud berkata, ucapannya itu sama sekali bukan merupakan ejekan karena Kakek ini tahu benar betapa lihainya pemuda tinggi besar yang menyerangnya tadi. Dia bisa menderita malu kalau menghadapi pemuda itu dengan kekerasan pula.

Dan diapun tahu bahwa biarpun cucu muridnya mungkin tidak kalah, akan tetapi untuk dapat memenangkan pemuda murid Thian-tok itupun bukan merupakan hal yang mudah. Yang paling mengagumkan hatinya adalah sinar mata Siu Coan, begitu mengandung kecerdikan dan keanehan sehingga pemuda itu memang patut menjadi murid seorang sakti aneh seperti seorang di antara Empat Racun Dunia itu.

“Ha-ha-ha-ha, Siauw-bin-hud, tak perlu kau mengejek. Tentu saja murid-muridku masih belum cukup matang untuk melawan tua bangka bangkotan seperti engkau, akan tetapi mari kita yang tua sama tua mencoba kepandaian masing-masing. Kalau engkau tidak mampu menang dariku, bukan saja engkau tidak akan mendengar dariku tentang pusaka Giok-liong-kiam, bahkan aku akan membunuhmu dan membunuh muridmu ini! Akan tetapi kalau aku kalah, aku mau bicara tentang Giok-liong-kiam!”

Tentu saja Ci Kong semakin marah mendengar ucapan dan melihat sikap Thian-tok. Di mana ada orang menggunakan aturan yang demikian boceng-li, mau menang sendiri dan mau enaknya sendiri saja? Terhadap orang macam ini, yang lebih mendekati gila dari pada sekedar jahat, perlu dipergunakan kekerasan untuk menghajarnya. Akan tetapi, pemuda itu tentu saja tidak berani berbuat atau berkata dengan lancang tanpa ijin dari susiok-couwnya yang kini hanya tersenyum lebar saja menghadapi tantangan Thian-tok.

“Omitohud... Thian-tok, sejak puluhan tahun engkau selalu haus kemenangan, haus darah. Apakah sampai mati engkau akan selalu kehausan seperti ini? Sungguh kasihan sekali!” Siauw-bin-hud berkata sambil menggeleng-geleng kepala dan senyumnya amat ramah, mengandung bayangan iba.

Ucapan ini oleh Thian-tok yang selalu berprasangka buruk itu dianggap sebagai penghinaan dan memandang rendah. Mukanya menjadi merah walaupun senyumnya masih lebar, senyum menyeringai dan tiba-tiba dia mengeluarkan mangkok dan guci araknya. Dituangkannya arak ke dalam mangkok sampai penuh, lalu diminumnya dengan sepasang matanya masih terus menatap wajah Siauw-bin-hud.

Dua orang muridnya yang sudah mengenal Kakek ini diam-diam menjadi tegang. Kalau gurunya sudah bersikap seperti itu, minum arak seperti itu, maka hanya ada dua hal terjadi dalam batin gurunya. Terlalu gembira atau terlalu marah, dan agaknya kini gurunya itu telah marah sekali. Setelah menghabiskan tiga mangkok arak, Thian-tok menggantungkan kembali mangkok dan ciu-ouw di pinggangnya, lalu terkekeh.

Suara ketawanya tadinya terdengar ketawa biasa saja, akan tetapi makin lama suara itu makin meninggi sampai seperti ringkik kuda, dan makin tinggi lagi melengking-lengking. Tentu saja Ci Kong menjadi terkejut bukan main, apa lagi ketika suara itu jelas mengandung tenaga khikang kuat yang menyerang dia dan susiok-couwnya.

Dia melihat betapa Siauw-bin-hud masih tersenyum saja. Akan tetapi dia sendiri cepat-cepat mengerahkan singkang untuk menjaga diri, karena dia tahu bahwa kalau dia tidak membela diri, mungkin dia akan terkena serangan melalui suara itu dan terluka. Suara itu adalah ilmu Sin-houw Ho-kang yang amat berbahaya. Diciptakan oleh Thian-tok meniru suara harimau.

Seekor binatang harimau yang menjadi raja hutan, menundukkan lawan atau korbannya cukup dengan suaranya saja. Harimau yang mengeluarkan suara gerengan itu mengandung tenaga yang menggetarkan jantung, dapat membuat lawannya lumpuh dan ketakutan sehingga tanpa dikejar sekalipun sudah akan roboh di depan kakinya.

Suara inilah, dengan kekuatan getarannya, yang ditiru oleh Thian-tok. Disesuaikan dengan suara yang dapat keluar dari perutnya melalui tenggorokannya, dan dibandingkan dengan suara harimau aseli, maka Sin-houw Ho-kang ini jauh lebih hebat dan lebih berbahaya lagi.

Hanya dengan pengerahan sinkangnya, Ci Kong dapat menghadapi serangan suara itu sambil berdiri tegak dan mengatur pernapasan. Akan tetapi, Siauw-bin-hud masih tersenyum enak-enak saja, seolah-olah suara itu tidak mempengaruhinya sama sekali. Hanya kedua matanya saja yang bersinar lembut itu menentang pandang mata Thian-tok yang melotot.

Melihat sikap Siauw-bin-hud yang seolah-olah sama sekali tidak terpengaruh oleh serangannya, tentu saja Thian-tok menjadi penasaran. Di antara Empat Racun Dunia, dia terkenal sekali dengan Sinhouw Ho-kangnya, bahkan datuk iblis yang lain tidak berani memandang rendah.

Pemuda Siauw-lim-pai itupun sudah harus mengerahkan sinkang untuk melawan suaranya. Akan tetapi kenapa Siauw-bin-hud enak-enak saja? Sikap enak-enakan itu merupakan tamparan baginya, seolah-olah menunjukkan bahwa Sin-houw Ho-kang yang dipergunakannya untuk menyerang itu bagi Siauw-bin-hud hanya nyanyian yang merdu saja. Dia lalu mengerahkan tenaga khikang lebih kuat lagi sehingga suaranya itu kini melengking semakin tinggi sampai seperti suara nyamuk-nyamuk berterbangan.

Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, daya serangan menjadi semakin kuat sehingga Ci Kong yang lihai itupun terpaksa harus mengerahkan seluruh tenaga dan bahkan memejamkan mata untuk memusatkan tenaga. Akan tetapi, Siauw-bin-hud tetap saja tersenyum lebar, bahkan kadang-kadang terkekeh lirih. Justeru dalam suara kekehnya inilah terletak kekuatan yang dapat menolak serangan suara Sin-houw Ho-kang itu!

Agaknya bukan hanya Thian-tok yang menjadi penasaran, juga Siu Coan mengerutkan alisnya. Dia biasanya amat menyombongkan Ilmu Sin-houw Ho-kang ini dan sekarang suhunya sudah mengerahkan tenaga sekuatnya, belum juga mampu mengalahkan atau setidaknya membuat Siauw-bin-hud kerepotan. Maka tiba-tiba diapun mengeluarkan suara melengking yang disusul pula oleh Seng Bu dalam usaha dua orang murid itu untuk membantu guru mereka!

Kini ada tiga suara yang mengandung Sin-houw Ho-kang yang menyerang ke arah Siauw-bin-hud dan Ci Kong! Ci Kong merasa terkejut bukan main. Serangan tambahan dari dua orang pemuda itu sungguh tidak boleh dibuat main-main. Kekuatan yang terkandung dalam lengkingan suara mereka itu tidak selisih banyak dengan kekuatan suara Thian-tok, dan karena dua orang pemuda itu menggabungkan suara mereka.

Maka kekuatan suara gabungan itu bahkan lebih kuat lagi dari pada suara Thian-tok. Ci Kong merasa betapa tubuhnya menggigil dan cepat dia lalu duduk bersila dan mengerahkan semua tenaganya. Baru setelah dia duduk bersila dan mengerahkan tenaga dalamnya, dia mampu menahan serangan getaran tiga suara yang bergabung itu!

Dan kini, senyum Siauw-bin-hud makin melebar dan mulai terdengar suara terkekeh-kekeh dari mulutnya. Suara ini demikian kuatnya sehingga tiga orang penyerang itu merasa betapa suara mereka terpukul membalik, membuat mereka terkejut sekali. Akan tetapi Thian-tok masih berkeras mengerahkan tenaganya.

“Thian-tok, engkau sedang menderita luka, apakah engkau mau bunuh diri?” tiba-tiba terdengar Siauw-bin-hud berkata, suaranya lembut, akan tetapi aneh karena dalam kelembutan itu terkandung kekuatan dahsyat sekali yang serentak membuyarkan kekuatan Sin-houw Ho-kang dari tiga orang penyerang itu!

Thian-tok menghentikan serangan suaranya dan mukanya menjadi agak pucat. Dua orang muridnya terpaksa menghentikan pula suara mereka dan didahi dan leher mereka nampak butiran-butiran keringat yang besar-besar dan dingin. Kalau dilanjutkan melawan suara Kakek Siauw-lim-pai itu, yang membuat suara mereka sendiri membalik, mereka akan dapat menderita luka parah sekali oleh tenaga khikang mereka sendiri yang memukul balik!

“Hemm, aku masih belum kalah, Siauw-bin-hud. Coba kau sambut seranganku dan kau kalahkan aku kalau bisa!” Berkata demikian, Kakek gendut itu kini sudah menerjang ke depan, menyerang Siauw-bin-hud kalang kabut. Angin pukulan dahsyat menyambar-nyambar dengan hebatnya dan Siauw-bin-hud mengeluh.

“Omitohud, engkau menderita masih nekat, Thian-tok?” Siauw-bin-hud juga menggerakkan tubuhnya, mengelak sambil mengebut-ngebutkan ujung lengan bajunya untuk menangkis. Kakek ini tidak pernah membalas, akan tetapi semua serangan Thian-tok yang amat hebat itu dielakkannya saja sambil kadang-kadang ditangkis dengan ujung lengan baju.

Thian-tok adalah seorang tokoh besar, seorang datuk iblis yang sudah mematangkan ilmunya selama puluhan tahun ini, semenjak kalah oleh Siauw-bin-hud, maka ilmu kepandaiannya meningkat banyak sekali. Siauw-bin-hud maklum akan hal ini, akan tetapi Kakek yang batinnya penuh dengan welas asih ini, selain tidak suka memukul orang, juga merasa amat kasihan kepada Thian-tok yang dia tahu sedang menderita luka cukup parah di sebelah dalam tubuhnya.

Dan memang benarlah. Pertemuannya dengan bekas muridnya yang murtad, yaitu Koan Jit, yang memukulnya dengan tiba-tiba sehingga Kakek itu terluka, membuat tenaganya banyak berkurang, bahkan kalau dia terlalu mengerahkan tenaga dalam, amat membahayakan diri sendiri. Karena merasa kasihan inilah.

Maka Siauw-bin-hud hanya mengelak dan menangkis saja atas semua desakan Thian-tok yang mempergunakan Ilmu Silat Ngo-heng Lian-hong Kun-hoat yang amat diandalkannya itu. Selama puluhan tahun dia menyempurnakan ilmu ini dan selama ini belum pernah menemui tandingan.

Ci Kong memandang penuh kekhawatiran karena pemuda inipun dapat melihat betapa hebatnya serangan-serangan Thian-tok dan betapa susiok couwnya hanya mengelak dan menangkis saja dengan sikap amat mengalah.

Kakek gurunya itu sudah amat tua, dan betapapun sakti dan tinggi ilmunya, usia tua membuat tubuh itu tentu saja ringkih. Mana mungkin Kakek itu dapat bertahan terus menghadapi serangan dengan ilmu sedahsyat itu kalau hanya mengelak dan menangkis saja tanpa membalas sama sekali?

Siu Coan dan Seng Bu juga menjadi penonton yang memandang penuh kagum. Mereka berdua maklum bahwa biarpun mereka sudah berlatih dengan amat tekun, mereka masih belum mampu menandingi suhu mereka dalam Ilmu Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat. Dimainkan oleh Thian-tok, ilmu silat itu benar-benar amat berbahaya dan lihai sekali.

Akan tetapi, yang membuat mereka melongo penuh kekaguman adalah ketika mereka melihat betapa Kakek gendut dari Siauw-lim-pai itu selalu dapat menghindarkan diri dari setiap jurus serangan Thian-tok, hanya dengan mengelak dan mengebut menggunakan ujung lengan baju, sama sekali tidak pernah membalas padahal kalau Kakek Siauw-lim-pai itu menghendaki, dua orang pemuda ini maklum bahwa Kakek itu sanggup dan tentu balasannya akan lebih hebat lagi.

Diam-diam Gan Seng Bu merasa penasaran. Pemuda ini berjiwa gagah dan berwatak adil. Dia merasa tidak senang melihat gurunya terus-terusan menyerang sedangkan lawannya yang sama sekali tidak kalah lihai itu sama sekali tidak pernah membalas. Ini merupakan perkelahian yang dalam anggapannya sama sekali tidak adil. Dan Siu Coan yang tidak memikirkan lain kecuali kemenangan untuk suhunya, juga kagum terhadap Kakek Siauw-lim-pai itu.

Akan tetapi diapun tidak berani turun tangan membantu suhunya tanpa perintah suhunya itu. Dia cukup mengenal watak Thian-tok yang aneh. Biarpun Thian-tok seorang yang tidak segan melakukan segala macam kekejaman, kecurangan dan kejahatan, namun sebagai seorang datuk iblis tingkat atas, Kakek itu memiliki keangkuhan dan tentu akan merasa terhina dan marah besar kalau muridnya membantunya dalam suatu perkelahian tanpa perintahnya.

Pengeroyokan merupakan hal yang amat merendahkan bagi seorang datuk besar seperti Thian-tok. Oleh karena itu, biarpun suhunya belum juga mampu mengalahkan Kakek yang sama sekali tidak pernah membalas itu, Siu Coan juga hanya menonton saja. Diam-diam dia menyayangkan, karena kalau sekali saja suhunya memberi perintah, dan dia maju bersama sutenya, tentu Kakek Siauw-lim-pai dan cucu muridnya itu akan dapat dibunuh dengan mudah.

Sementara itu, Thian-tok merasa makin penasaran. Siauw-bin-hud sekarang, tidak seperti empat puluh tahun yang lalu, menghadapinya tanpa membalas dan sudah lewat lima puluh jurus, belum juga dia mampu menyentuh tubuh Kakek itu, apa lagi merobohkan! Padahal, Siauw-bin-hud sama sekali tidak pernah membalasnya.

Empat puluh tahun yang lalu, setelah melalui perkelahian mati-matian selama belasan jam, baru Siauw-bin-hud mampu mengalahkannya, akan tetapi Siauw-bin-hud ketika itu balas menyerang, tidak seperti sekarang ini, sama sekali tidak membalas dan hanya mengelak dan menangkis saja. Sungguh tak mungkin dia dapat menerimanya, bahkan sukar mempercayanya.

Maka, tanpa memperdulikan luka yang dideritanya akibat pukulan bekas muridnya, Kakek gendut ini menyerang terus mati-matian. Dia tahu bahwa dengan lukanya, dia sama sekali tidak boleh terlalu banyak mengeluarkan tenaga. Hal ini akan membuat luka pukulan beracun bekas muridnya itu menjadi semakin parah. Akan tetapi, Thian-tok memiliki watak yang angkuh dan kepala batu.

Maka dia tidak memperdulikan diri sendiri dan terus menyerang dengan maksud mengalahkan, kalau mungkin membunuh. Sepasang matanya sudah merah, mulutnya masih tersenyum, menyeringai menyeramkan karena dalam senyum ini terbayang nafsu membunuh!

Dia tidak perduli bahwa lawannya tidak pernah membalas, dan hal ini malah dianggap amat menguntungkan, memberi kesempatan sebanyaknya kepadanya untuk menang. Sikap Siauw-bin-hud yang mengalah itu dianggap suatu kebodohan, ketololan lawan yang menguntungkan dirinya!

“Aagghhhh...!” Tiba-tiba dia mengeluarkan suara gerangan rendah yang menggetarkan tanah sekitar tempat itu, seperti seekor raja hutan menggereng dengan dahsyatnya dan sambil mengeluarkan suara gerengan itu, Thian-tok menubruk ke depan, kedua tangannya mendorong ke arah dada Siauw-bin-hud sambil mengerahkan seluruh tenaga yang ada pada dirinya. Agaknya Thian-tok sekali ini mengeluarkan segalanya untuk merobohkan lawan.

“Omitohud... kau menyiksa dirimu sendiri” Siauw-bin-hud berseru dan Hwesio gendut ini tidak sempat mengelak lagi, terpaksa mengulur kedua tangannya menyambut. Siauw bin-hud yang berhati penuh welas asih itu tidak mengerahkan tenaga keras, melainkan menggunakan kelembutan menerima serangan dahsyat dari lawan.

“Plakkk...!” Tubuh Siauw-bin-hud terlempar ke belakang dan diterima oleh Ci Kong dengan lembut. Tubuh Thian-tok tetap berdiri tegak, dengan kedua kaki terpentang lebar, dan dia tertawa bergelak, akan tetapi tiba-tiba suara ketawanya berganti suara muntah-muntah dan dari mulutnya tersembur keluar darah segar, lalu diapun terjungkal!

Dua orang muridnya cepat melompat dan membantunya bangkit duduk, kemudian Thian-tok cepat bersila dan mengatur pernapasannya yang memburu. Dia terluka semakin hebat oleh tenaganya sendiri yang membalik. Sementara itu, Siauw-bin-hud ternyata tidak apa-apa, hanya mukanya saja berobah agak pucat dan nampak Kakek ini lelah sekali. Seperti juga Thian-tok, dia duduk bersila memejamkan mata dan pernapasannya berjalan dengan lembut dan panjang.

Ong Siu Coan merasa penasaran dan tersinggung sekali karena gurunya jelas mengalami kerugian atau kekalahan dari Kakek Siauw-lim-pai. Dia memang licik. Melihat betapa Kakek yang sakti dari Siauw-lim-pai itu agaknya juga terluka atau setidaknya kehabisan tenaga, diapun meloncat ke depan menantang.

“Orang-orang Siauw-lim-pai yang sombong! Kalian datang untuk mengganggu kami, majulah dan mari kita bertanding sampai seribu jurus!”

Mendengar tantangan murid Thian-tok ini, Ci Kong bangkit berdiri dari samping suhunya. Ingin dia menyambut tantangan itu, dan biarpun dia tahu bahwa kaum sesat tidak segan untuk berbuat curang dan mengeroyok, namun pemuda perkasa ini tidak merasa gentar. Yang membuat dia tidak enak adalah susiok-couwnya. Tanpa ijin Kakek itu, tentu saja dia tidak berani sembarangan turun tangan.

Maka, biarpun dia sudah berdiri menghadapi Siu Coan, dia menoleh kepada Kakek gurunya yang masih duduk bersila sambil memejamkan matanya. Agaknya, tanpa membuka matanya, Siauw-bin-hud maklum akan keraguan cucu murid itu. Diapun menggerakkan bibirnya dan biarpun tidak ada suara keluar dari mulutnya, namun Ci Kong mendengar bisikan di dekat telinganya.

“Ingat, kita datang bukan untuk mencari permusuhan. Serahkan saja kepada pinceng dan jangan ikut mencampuri urusan ini.”

Mendengar bisikan ini, Ci Kong menarik napas panjang untuk mencairkan kebekuan di dalam batinnya karena penasaran tadi, dan diapun duduk kembali bersila di belakang susiok-couwnya.

Melihat ini, Siu Coan tertawa bergelak dengan sikap menghina. “Ha-ha-ha, setelah tua bangka itu luka dan lelah, engkau kehilangan nyali?” Itulah penghinaan yang hebat bagi seorang gagah.

Setiap orang pendekar pantang untuk merasa takut, dan makian bahwa dia kehilangan nyali merupakan penghinaan yang sukar dapat ditahan. Dan ini merupakan ujian berat bagi Ci Kong. Pemuda ini hanya menundukkan mukanya yang sebentar merah dan sebentar pucat menahan kemarahan yang berkobar di dalam dada.

“Hemm, kalau kalian diam saja, biarlah aku yang turun tangan, menyelesaikan pekerjaan suhu yang kepalang tanggung tadi. Aku akan bunuh kalian!” Su Coan berkata lagi.

Dan Seng Bu hanya memandang bingung. Di dalam hatinya dia tidak setuju dengan sikap suhengnya itu. Akan tetapi dia juga merasa tidak enak kalau harus memperlihatkan sikap membela musuh! Maka, pemuda ini hanya diam saja dan memandang dengan mata terbelalak penuh ketegangan. Ong Siu Coan sudah melangkah maju, siap untuk menyerang Kakek gendut itu. Diapun dapat menduga bahwa Kakek itu sakti sekali, biarpun nampak lelah akan tetapi harus dihadapi dengan amat hati-hati.

“Siu Coan, mundurlah!” Tiba-tiba terdengar suara Thian-tok. Siu Coan terkejut sekali dan diapun mundur lagi, tidak berani menentang perintah gurunya. Lalu terdengar Thian-tok tertawa. “Heh-heh-heh, anak bodoh. Aku sendiri saja tidak mampu menandinginya, apa engkau kepingin mampus, berani mencoba untuk menyerangnya?”

“Suhu, untuk membela suhu, aku berani menghadapi kematian!” kata Siu Coan dengan sikap gagah.

Kembali Thian-tok tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, gagah-gagahan apa untungnya? Mundur dan jangan mencampuri urusanku dengan Siauw-bin-hud. Eh, Siauw-bin-hud, aku tidak perlu malu mengatakan bahwa sekali inipun aku belum mampu menandingimu. Nah, aku memenuhi janjiku tadi. Mari kita bicara tentang Giok-liong-kiam. Apa kehendakmu mengenai pusaka itu?”

“Ha-ha, engkau bersikap baik sekali, Thian-tok. Pinceng tidak tamak dan tidak butuh pusaka. Akan tetapi karena engkau merampas pusaka itu mempergunakan nama pinceng, atau setidaknya semua orang menyangka pinceng yang merampasnya, maka pinceng ingin membersihkan suasana. Serahkan pusaka itu kepada pinceng agar dapat pinceng kembalikan kepada yang berhak.”

“Siapa yang berhak?”

“Karena pusaka itu dicuri orang dari pusat Thian-te-pai, maka tentu saja akan pinceng kembalikan kepada mereka.”

“Uhh, tolol kalau kau kembalikan kepada mereka! Yang berhak memiliki pusaka itu adalah orang yang paling sakti di dunia ini. Siapa yang mampu memilikinya, dialah yang berhak menjadi pemiliknya.”

“Ha-ha-ha, tidak ada gunanya berdebat tentang pendapat, Thian-tok. Serahkan pusaka itu dan pinceng akan pergi.”

“Heh-heh, tak kusangka engkau sebodoh ini, Siauw-bin-hud. Ketika engkau baru datang tadi, sudah kukatakan bahwa kedatanganmu terlambat. Baru pagi tadi pusaka itu hilang dari tanganku.”

“Omitohud...! Hilang lagi?”

“Bekas muridku yang amat pandai, mungkin lebih pandai dari pada aku sendiri, bernama Koan Jit, tadi datang dan mengambil pusaka itu. Kalau saja dia tidak lebih dulu datang dan melukai aku dengan pukulannya yang beracun, belum tentu sekarang aku sudah menyerah kalah padamu!”

“Omitohud...! Muridmu sendiri yang merampasnya dan memukulmu? Hemm, dia bernama Koan Jit? Dimanakah tempat tinggalnya?”

“Ha-ha-ha-ha, Siauw-bin-hud. Engkau seperti nenek-nenek bawel saja dalam bertanya. Dimana dia? Mana aku tahu? Cari saja sendiri, nama Hek-eng-mo tidak sukar untuk dikenal.”

Siauw-bin-hud mengangguk-angguk. “Hek-eng-mo...hemmm, terima kasih, Thian-tok, selamat tinggal.” Kakek gendut itu sambil tersenyum lalu menjura ke arah Kakek gendut lainnya yang masih duduk bersila, kemudian memberi isyarat kepada Ci Kong untuk pergi meninggalkan tempat itu.

Dua orang murid Thian-tok tidak berani mengganggu dan hanya mengikuti gerakan dua orang itu dengan pandang mata sampai mereka lenyap di sebuah tikungan. Setelah dua orang itu pergi, Thian-tok memandang kepada dua orang muridnya. Mulutnya masih menyeringai, akan tetapi sekarang nampak bahwa Kakek ini menderita kesakitan yang ditahan-tahan sejak tadi.

“Siu Coan dan Seng Bu, mulai hari ini kalian boleh turun gunung dan berpencar. Kalian kuberi tugas untuk mewakili aku, mencari Koan Jit dan berusaha merampas kembali Giok-liong-kiam sebelum keduluan orang lain. Hati-hati, setelah kini Siauw-bin-hud tahu, tentu tugas kalian akan menjadi semakin berat karena akan terdapat banyak saingan. Siapa di antara kalian yang berhasil membawa Giok-liong-kiam kepadaku, akan kuwarisi ilmu pedang yang cocok untuk dimainkan dengan Giok-liong-kiam dan dia yang akan menjadi pemilik Giok-liong-kiam. Nah, pergilah kalian, aku harus mengaso dan bertapa lagi untuk mengobati lukaku.”

“Tapi, suhu. Ke manakah aku harus mencari suheng Koan Jit itu?” Siu Coan bertanya.

“Ha-ha, kalau engkau pintar, tidak akan sukar mencari murid murtad itu. Julukannya Hek-eng-mo, dia haus akan kedudukan, ingin menjadi jago nomor satu di dunia, dan aku sendiri tidak tahu di mana tempat tinggalnya. Akan tetapi ada dua hal yang patut kau ingat dan selidiki. Dia sahabat baik pai-cu (ketua) dari perkumpulan wanita Ang-hong-pai, dan dia musuh besar perkumpulan Thian-te-pai. Agaknya karena permusuhannya itulah yang membuat dia ingin memiliki Giok-liong-kiam yang pernah menjadi pusaka Thian-te-pai. Sudahlah, aku tidak tahu apa-apa lagi. Kalian pergi dan selidiki sendiri.”

Dua orang pemuda itu saling pandang ketika guru mereka sudah kembali lagi ke dalam guha dan tidak mau keluar lagi. Mereka berpamit dari luar kamar dalam guha tanpa dijawab oleh Thian-tok dan akhirnya keduanya meninggalkan guha di sebuah puncak Pegunungan Thai-san itu. Mereka menuruni puncak bersama. Seng Bu menggendong sebuah buntalan pakaian yang kecil, hanya terisi beberapa potong pakaiannya.

Sebaliknya, Siu Coan membawa bungkusan yang agak besar karena selain pakaiannya, juga diam-diam pemuda ini mengambil beberapa barang berharga dari dalam guha untuk bekal. Pemuda yang cerdik ini tahu bahwa perjalanan jauh membutuhkan banyak biaya, maka diam-diam dia mengambil beberapa puluh tail emas dari simpanan gurunya. Hal ini tanpa setahu gurunya. Karena andaikata Thian-tok tahu sekalipun, dia tidak akan marah, bahkan merasa bangga kalau muridnya itu pandai mencuri, satu di antara ciri kejahatan orang sesat.

Setelah tiba di jalan simpangan, Siu Coan berkata, “Sute, kita berpisah, karena kalau berpisah akan lebih mudah bagi kita untuk mencari jejak suheng Koan Jit. Apakah engkau telah membawa bekal, sute?” tanya Siu Coan sambil memandang buntalan di punggung sutenya, buntalan yang kecil itu.

Seng Bu mengangguk. “Semua pakaianku sudah kubawa, suheng.”

“Bukan itu maksudku. Apa kau kira pakaian saja sudah cukup? Engkau butuh makan, dan mungkin butuh perahu atau kuda, semua itu membutuhkan uang. Apa engkau sudah membawa uang?”

“Uang...?” Seng Bu bertanya dengan muka bodoh. Maklumlah, sejak kecil Seng Bu menjadi yatim piatu dan gelandangan sampai bertemu dengan Thian-tok dan diambil murid dan sampai sudah dewasa itu dia tidak pernah mempergunakan uang, tidak pernah membeli apa-apa dan juga tidak memperhatikan soal harta benda, berbeda dengan Siu Coan yang banyak bertanya dan banyak melihat. Bahkan dalam hal ilmu baca-tulis, Seng Bu kalah jauh dibandingkan dengan Siu Coan.

Siu Coan tertawa melihat kebodohan sutenya. “Aih, sute. Tentu saja uang, atau barang berharga yang dapat dipakai untuk membeli kebutuhan dalam perjalananmu. Nih, aku sudah menduga bahwa engkau tentu tidak membawa bekal, terimalah ini untuk bekal.”

Seng Bu menerima belasan tail emas dari suhengnya dengan perasaan berterima kasih. Baru dia teringat bahwa kehidupan di tempat ramai membutuhkan uang dan diapun teringat akan keadaannya di waktu dahulu, sampai seringkali kelaparan karena tidak mempunyai uang untuk membeli makanan. “Terima kasih, suheng. Engkau baik sekali.”

Kembali Siu Coan tersenyum. “Sute, setelah kita berpisah di sini, ke manakah engkau akan pergi dan apa tujuanmu? Ke mana engkau hendak mencari Koan Jit?”

Seng Bu menggeleng kepala. “Entahlah, suheng. Terus terang saja, aku tidak tertarik untuk mencarinya dan merampas pedang pusaka itu. Aku akan merantau dan mungkin mencari pekerjaan, dan tentu saja aku akan mencoba melanjutkan pekerjaan orang tua dahulu, yaitu berburu.”

Siu Coan tertawa bergelak. Setelah kini bebas bersama sutenya, watak guru mereka yang suka tertawa agaknya menurun kepadanya. “Aihh, sute. Berburu binatang? Lalu apa artinya sampai bertahun-tahun dengan susah payah engkau mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi dari Suhu?”

“Tentu saja kalau ada orang jahat menindas yang lemah, aku akan bangkit melindungi dan membela yang lemah, menentang si jahat yang sewenang-wenang! Bagaimana dengan engkau, suheng?”

Kembali Siu Coan tertawa geli. “Aihh, engkau dengan cita-citamu yang muluk. Ingin menjadi pendekar, ya? Pendekar murid Thian-tok, seorang di antara Empat Racun Dunia yang justeru menjadi datuk-datuk kaum sesat. Alangkah lucunya dan siapa mau percaya padamu, Sute?”

“Suheng,” kata Seng Bu dengan wajah serius. “Aku belajar dari suhu Thian-tok adalah untuk belajar ilmu silat, bukan untuk mempelajari perbuatan jahat. Dan kalau aku dapat melakukan kebaikan dan kegagahan, sedikitnya nama suhu akan terangkat dan siapa tahu dapat mencuci dan membersihkan namanya. Hanya itulah yang dapat kulakukan untuk membalas budi suhu. Dan engkau sendiri, suheng?”

“Aku tentu saja akan mencari Koan Jit dan merampas pusaka itu. Pula, aku tetap akan melanjutkan cita-cita para patriot. Aku akan mencari kawan-kawan, aku akan berjuang menentang pemerintah penjajah asing!” Dengan sikap gagah dan sungguh-sungguh Siu Coan berdiri tegak dengan muka menengadah dan kedua tangan dikepal.

Sutenya memandang kagum dan mengangguk-angguk. “Kelak kalau engkau sudah berjuang dengan pasukanmu, aku akan membantumu, suheng. Aku juga menghargai perjuangan para patriot menentang penindasan orang-orang Mancu.”

"Baik, sute, dan selamat berpisah. Kita mengambil jalan sendiri-sendiri dan mudah-mudahan kita akan dapat berjumpa kembali dalam keadaan yang lebih baik, sute.”

Dua orang pemuda itupun saling pegang pundak, lalu saling memberi hormat dan melangkah pergi tanpa menoleh lagi.

* * *

Sementara itu, Siauw-bin-hud serta Ci Kong kembali ke Siauw-lim-si karena waktunya telah tiba bagi para tokoh yang datang enam tahun yang lalu untuk berkumpul di Siauw-lim-si seperti yang telah dijanjikan oleh Kakek gendut itu...

Jilid selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.