Pedang Naga Kemala Jilid 07

Sonny Ogawa

Pedang Naga Kemala Jilid 07 karya Kho Ping Hoo - Di sepanjang perjalanan, Kakek dan pemuda itu mendengar betapa pergerakan orang-orang yang menentang pemerintah makin menjadi-jadi, betapa kekacauan timbul di mana-mana, terutama sekali karena ulah orang-orang kulit putih yang menyebarkan candu. Makin terasalah pengaruh racun madat di antara rakyat, dan walaupun yang terkena sebagian besar adalah orang-orang hartawan dan bangsawan.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Namun keguncangan-keguncangan terjadi karena harta benda penduduk dihisap dan ditukar dengan benda yang beracun dan amat berbahaya itu. Diam-diam Siauw-bin-hud merasa prihatin sekali, oleh karena itu setelah tiba di kuil Siauw-lim-si, dia cepat berunding dengan para pimpinan kuil dan juga dengan Ci Kong.

“Ci Kong, pinceng dan para suhu di sini adalah pendeta-pendeta yang tidak mungkin dapat mencampuri urusan pemerintah. Akan tetapi engkau bukan seorang Hwesio dan engkau telah mempelajari banyak ilmu. Kini bangsa kita sedang terancam bahaya besar berupa candu. Karena itu, engkau harus turun gunung dan membantu setiap gerakan rakyat yang hendak menentang diperbolehkannya candu meracuni bangsa kita. Dengan adanya engkau yang mewakili kami, berarti Siauw-lim-pai juga ikut membantu. Kami akan memberi anjuran yang sama kepada semua murid Siauw-lim-pai yang bukan pendeta.” Demikian antara lain Siauw-binhud berkata.

Di sepanjang perjalanan, Ci Kong sudah mendengar banyak sekali tentang candu dan racunnya yang mengakibatkan lemahnya rakyat dari Kakek itu, maka kini tanpa ragu-ragu lagi diapun menerima perintah itu. Dengan membawa bekal pakaian dan sedikit perak, pemuda ini meninggalkan Siauw-lim-si. Karena itu dia tidak tahu betapa beberapa hari kemudian, sesuai dengan janji Siauw-bin-hud, di kuil itu berdatangan tokoh-tokoh besar di dunia persilatan, termasuk Hai-tok dan San-tok yang hendak menagih janji.

Yang datang kini lebih banyak lagi karena banyak tokoh dunia kang-ouw ingin melihat sendiri bagaimana caranya Siauw-bin-hud membersihkan nama dan mengembalikan pusaka Giok-liong-kiam yang menghebohkan itu. Seperti juga enam tahun yang lalu, sekali ini San-tok atau Bu-beng San-kai datang bersama murid tunggalnya, yaitu Siauw Lian Hong. Akan tetapi siapapun akan pangling kalau bertemu dengan murid Racun Gunung itu.

Enam tahun yang lalu masih seorang anak perempuan yang usianya kurang lebih sebelas atau duabelas tahun, dan sekarang ia telah menjadi seorang gadis yang berusia hampir delapanbelas tahun! Kini ia telah menjadi seorang wanita yang cantik jelita walaupun pakaiannya sederhana sekali. Walaupun pakaian itu amat bersih, akan tetapi terbuat dari bahan yang kasar dan murah.

Dengan potongan yang ringkas sederhana, akan tetapi yang tidak mampu menyembunyikan bentuk tubuhnya yang sedang, ramping dan padat, tidak dapat menyembunyikan kulit putih kuning mulus yang nampak pada leher, tangan dan lengan sampai di siku. Sepasang matanya masih lebar seperti enam tahun yang lalu, akan tetapi kalau dulu lebar kekanak-kanakan, kini mata itu lebar dan tajam, dengan sudut-sudut yang tajam menarik, dengan alis yang hitam melengkung seperti dilukis, dengan bulu mata yang panjang lentik.

Sinar matanya dapat menyambar secepat pedang, tajam terbuka. Hanya satu sifat yang masih dimiliki seperti enam tahun yang lalu, yaitu pendiam dan alim. Sebatang kipas lebar yang kedua gagangnya berujung runcing terselip di pinggang, karena kipas ini merupakan senjata ampuhnya yang diberikan oleh suhunya.

Hai-tok Tang Kok Bu kini sudah nampak tua, akan tetapi pakaiannya masih jelas menunjukkan bahwa dia seorang yang hartawan dan berpengaruh, diikuti oleh pengawal-pengawal muda yang tampan dan halus, masih memegang tongkatnya, yaitu Kim-kong-pang! Di samping dua orang di antara Empat Racun Dunia ini, masih ada pula beberapa rombongan orang kang-ouw yang ingin mendengar tentang Giok-liong-kiam.

Ketika Siauw-bin-hud muncul dari dalam kuil, suasana menjadi kacau dan orang pertama yang menyambutnya adalah Bu-beng San-kai atau San-tok. Dengan senyumnya yang khas, sikapnya yang sembarangan dan tanpa sopan santun lagi, Kakek yang usianya sudah tujuhpuluh tahun lebih itu berkata, “Heh-heh, engkau masih hidup, Siauw-bin-hud? Bagus sekali, aku sudah khawatir kalau-kalau engkau mati dalam menunaikan tugas! Dan mana itu Giok-liong-kiam?”

“Ya, di mana Giok-liong-kiam kami, Locianpwe?” tanya Coa Bhok, wakil ketua Thiante-pai yang kini kembali datang mewakili perkumpulannya, dikawani oleh duabelas orang murid. Coa Bhok yang menjadi wakil ketua Thian-te-pai itupun sudah nampak tua, sudah enam puluh tahun usianya.

Siauw-bin-hud tertawa bergelak, seperti orang yang merasa geli. Hal ini membuat Hai-tok menjadi marah. “Hati-hati, Siauw-bin-hud! Jangan kau mempermainkan aku yang jauh-jauh datang menagih janji, atau tongkatku takkan mengampuni tubuhmu yang sudah tua renta itu!”

Mendengar ancaman ini, Siauw-bin-hud menjadi semakin geli dan senyumnya melebar. “Ha-ha-ha, betapa lucunya melihat kalian ini orang-orang tua masih saja dicengkeram setan tamak sehingga begitu haus memperebutkan sebuah benda mati. Giok-liong-kiam tidak ada padaku. Pinceng bahkan belum pernah melihatnya, ha-ha!”

“Aihh, Siauw-bin-hud, apa kau berani mengatakan bahwa engkau akan melanggar janji, menjilat ludah sendiri?” San-tok berkata, kaget karena sukar dia membayangkan Kakek gendut Siauw-lim-pai ini berani melanggar janji, padahal sejak dahulu Siauw-bin-hud terkenal sebagai seorang gagah yang memegang teguh janjinya dan dapat dipercaya sepenuhnya.

“Ha-ha-ha, San-tok, makin tua kau makin kurang sabar saja. Baiklah, dengarkan semua kawan yang sudah melimpahkan kehormatan kepada pinceng sehingga hari ini berkumpul di sini. Selama enam tahun ini, sama sekali pinceng tidak pernah melanggar janji. Pinceng menjelajahi hampir seluruh dunia untuk mencari jejak perampas Giok-liong-kiam yang menyamar sebagai pinceng. Dan pinceng sudah bertemu dengan orangnya!” Kakek itu berhenti sebentar, membiarkan semua orang saling pandang dan keadaan menjadi berisik.

“Ha-ha-ha, kalian berdua, Hai-tok dan San-tok, kiranya tidak akan sukar menduga siapa orangnya. Agaknya kalian hanya pura-pura saja tidak tahu selama ini, bukan?”

Ketika dua orang Kakek itu saling pandang dengan mata dilebarkan, Siauw-bin-hud menyambung, “Ya, siapa lagi pelawak yang membuat lelucon yang tidak lucu itu kalau bukan rekan kalian Thian-tok?”

“Ahhh...!” Coa Bhok, wakil ketua Thian-te-pai berseru. “Apakah buktinya bahwa beliau yang menyamar sebagai Locianpwe?” tanyanya karena menghadapi seorang tokoh yang namanya pernah menjulang ke langit seperti Thian-tok, bukan hal yang boleh dibuat main-main.

“Ha-ha-ha, memang dia tidak pernah mau mengaku bahwa dia telah memalsukan nama pinceng. Dan dia benar, si cerdik itu! Dia hanya mencukur rambut dan menutupi bulu di dadanya dengan jubah kuning, cukuplah. Memang wajahnya mirip pinceng. Dan dia mengaku bahwa Giok-liong-kiam berada di tangannya, sampai pada hari dia bertemu dengan pinceng itu...”

“Ha-ha-ha, jadi si Racun Langit itu mengalah dan mengembalikan pusaka itu kepadamu, Siauw-bin-hud?” San-tok mentertawakan rekannya yang disangkanya mengalah atau takut kepada Hwesio ini sehingga mengembalikan pusaka Giok-liong-kiam.

Kembali semua orang kecewa melihat Siauw-bin-hud tersenyum lebar sambil menggeleng kepalanya menjawab pertanyaan San-tok itu. “Pedang pusaka Giok-liong-kiam itu telah dirampas orang lain, hanya beberapa jam sebelum pinceng tiba di sana.”

Kembali terdengar suara berisik dari semua orang yang hadir, dan Hai-tok memukulkan tongkatnya ke atas tanah. “Kalau bukan Siauw-bin-hud yang bicara, sungguh mati aku tidak akan dapat percaya begitu saja. Siapakah orang yang dapat merampas pusaka itu dari tangan Thian-tok?”

“Perampasnya adalah bekas muridnya sendiri yang bernama Hek-eng-mo Koan Jit. Jangan tanyakan di mana dia tinggal karena pinceng sendiri juga tidak tahu. Nah, selesailah urusan Giok-liong-kiam ini yang mengait nama pinceng. Harap kalian jangan mengganggu pinceng lagi.”

Tentu saja semua tokoh itu merasa kecewa mendengar ini. Tak mereka sangka bahwa pusaka itu telah lenyap lagi begitu mereka ketahui jejaknya. Dan di antara mereka banyak yang sudah mendengar akan nama Koan Jit yang berjuluk Hek-eng-mo. Apa lagi wakil ketua Thian-te-pai Coa Bhok. Wajahnya berobah ketika dia mendengar bahwa pusaka perkumpulannya itu telah terjatuh ke tangan Hek-eng-mo Koan Jit!

Iblis Bayangan Hitam itu bukan orang asing bagi Thian-te-pai, karena merupakan musuh besar! Akan tetapi, keterangan itu mereka dengar dari Siauw-bin-hud yang tidak dapat diragukan lagi kebenarannya. Kakek pendeta Siauw-lim-pai itu tidak mungkin membohong. Maka merekapun bubaran dan kini terjadi lagi perlumbaan yang dipersiapkan, yaitu untuk mencari Hek-eng-mo Koan Jit dan mencoba untuk merampas pusaka Giok-liong-kiam dari tangannya.

Akan tetapi, tentu saja hanya tokoh-tokoh besar yang akan berani melakukan ini, karena semua orang sudah mendengar belaka akan kesaktian Iblis Bayangan Hitam itu yang namanya tidak kalah menakutkan dibandingkan Empat Racun Dunia.

San-tok Bu-beng San-kai mengajak muridnya meninggalkan Siauw-lim-si dan di tengah perjalanan, Kakek ini tiada hentinya senyum-senyum sendiri. “Heh-heh, sungguh lucu sekali! Sejak dahulu aku sudah menduga bahwa tentu Racun Langit itu yang menyamar sebagai Siauw-bin-hud, akan tetapi karena ragu-ragu yang kukejar-kejar adalah Siauw-bin-hud. Sayang baru sekarang aku yakin setelah pusaka itu dirampas oleh si maling cilik Hek-eng-mo.”

“Suhu, siapakah Hek-eng-mo itu?” tanya Lian Hong ketika mereka berhenti di bawah pohon yang rindang di kaki gunung. Setelah dewasa, Lian Hong tidak lagi menyebut Kakek kepada San-tok, melainkan suhu karena ia menganggap sebutan ini lebih patut dan tepat.

Bagaimanapun juga, ia bukan cucu aseli dari Kakek itu, dan yang jelas ia adalah muridnya. Ketika tadi diadakan pertemuan di Siauw-lim-si, gadis inipun diam-diam amat memperhatikan penuturan Kakek gendut Siauw-bin-hud. Ia merasa kagum dan suka kepada Kakek gendut itu, karena bagaimanapun juga, ia telah menerima warisan tenaga singkang dari Kakek itu enam tahun yang lalu.

Gurunya sendiri yang memberi keterangan kepadanya bahwa ia beruntung telah menerima warisan tenaga sinkang itu dari Kakek sakti Siauw-bin-hud, bahkan gurunya pernah mengatakan bahwa melihat betapa ia telah menerima warisan tenaga dari Siauw-bin-hud dan betapa suhunya juga mengoper tenaga sakti kepada anak laki-laki yang menjadi murid Siauw-lim-pai, maka antara ia dan pemuda cilik itu terdapat semacam pertalian saudara seperguruan!

“Hek-eng-mo adalah murid Thian-tok. Dia lihai dan cerdik bukan main, amat mengagumkan betapa dia pernah mencuri harta pusaka gurunya, bahkan kini merampas Giok-liong-kiam dari tangan Thian-tok. Ha-ha, ingin sekali aku melihat muka Thian-tok yang dikibuli oleh muridnya sendiri itu!”

“Suhu, aku jadi tertarik sekali mendengar tentang perebutan Giok-liong-kiam. Ingin sekali aku mencari Hek-eng-mo itu dan merampas pusaka dari tangannya.”

San-tok yang duduk bersila di atas rumput sambil mengipasi badannya dengan kipas bututnya, menghentikan gerakan tangannya dan menatap wajah muridnya yang cantik itu. Setelah melatih gadis ini selama duabelas tahun, San-tok merasa sayang sekali kepada murid ini yang dianggap sebagai satu-satunya orang yang dimilikinya di dunia ini, menjadi seperti anaknya atau cucunya sendiri. Inilah sebabnya maka dia menurunkan seluruh kepandaiannya kepada Lian Hong yang memang berbakat baik sekali.

Mendengar ucapan muridnya, dia benar-benar merasa terkejut dan heran. Biasanya, muridnya ini pendiam dan tidak banyak kehendak, akan tetapi tiba-tiba saja muridnya menyatakan hendak ikut memperebutkan Giok-liong-kiam! “Heh-heh, Hong Hong, cucuku juga muridku yang baik, sungguh mati aku merasa terkejut sekali mendengar ucapanmu tadi. Engkau tiba-tiba saja ingin memperebutkan Giok-liong-kiam! Apa artinya ini?”

“Selama belasan tahun suhu telah melimpahkan budi kepadaku. Aku ingin merampas pusaka itu untuk suhu, sekedar pembalas budi. Bukankah suhu menghendaki pusaka itu sehingga ikut pula datang ke Siauw-lim-si? Selain itu, untuk apa suhu susah-susah melatih ilmu silat kepadaku kalau tidak kupergunakan sekarang?”

Belum pernah muridnya ini bicara sebanyak itu dan San-tok tertawa gembira. Hatinya merasa gembira dan hangat karena muridnya ini dengan terus terang menyatakan ingin membalas budi kepadanya. Dia adalah seorang tua yang cerdik dan banyak pengalaman, maka diapun dapat menjenguk isi hati muridnya.

Muridnya selama duabelas tahun selalu ikut dengannya dan kini muridnya itu, setelah menguasai ilmu yang tinggi, tentu saja ingin bebas seperti burung di udara, melakukan segala yang diinginkannya sendiri. Tentu muridnya akan membalas kematian Ayah bundanya pula. Kembali dia mengipasi badannya.

“Engkau benar, Hong Hong. Memang ilmu yang telah banyak kau pelajari itu perlu dipergunakan dan dimanfaatkan. Akan tetapi ketahuilah, segala macam ilmu yang kau miliki itu masih belum mampu melindungi dirimu dan menjamin keselamatan. Di dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang yang lihai sekali. Hanya kalau engkau berhati-hati dan waspada sajalah maka engkau akan dapat melindungi dirimu sendiri. Apa lagi kalau berhadapan dengan Hek-eng-mo! Berhati-hatilah. Dia itu selain lihai ilmu silatnya, juga amat licik dan suka main-main dengan racun. Sayang, aku sudah terlalu tua dan sudah malas untuk pergi merantau. Maka, biarlah aku akan menanti saja sambil bertapa di puncak yang paling kusenangi.”

“Di puncak Naga Putih di Pegunungan Wu-yi-san itu?” Kakek itu mengangguk. “Aku selalu ingin mengakhiri hidupku di tempat indah itu. Aku akan menanti kembalimu di sana, Hong Hong.”

“Bik, suhu. Berilah waktu dua tahun kepadaku dan berhasil atau tidak dalam mencari Giok-liong-kiam, aku akan datang mengunjungi suhu di puncak Naga Putih.”

Mereka saling berpisah di kaki gunung itu juga. Siauw Lian Hong pergi meninggalkan suhunya sambil membawa buntalan pakaian dan bekal sedikit perak pemberian gurunya, juga tidak ketinggalan membawa kipas yang terselip di pinggangnya. Gadis cantik sederhana ini melangkah dengan tegap dan tanpa ragu-ragu.

Sebaliknya, San-tok yang masih duduk bersila itu mengikuti kepergian muridnya dengan mata sayu. Senyumnya lenyap dan wajahnya membayangkan kesedihan. Berulang kali dia menghela napas panjang, merasa betapa hati dan semangatnya seperti terbang mengikuti gadis itu.

Dua belas tahun dia hidup di samping muridnya dan dia merasa betapa setelah mempunyai murid itu, perobahan besar terjadi pada batinnya. Hidup seperti ada artinya dan hatinya tidak keras lagi seperti dahulu. Kini, melihat gadis itu pergi meninggalkannya, dia merasa kehilangan, kesepian dan berduka sekali, perasaan yang selamanya belum pernah dialaminya!

Kakek yang pernah menjadi seorang di antara Empat Racun Dunia, yang pernah menjadi datuk kaum sesat, yang dianggap jahat seperti iblis, yang tidak segan melakukan segala macam kejahatan dan kekejaman itu, kini duduk termenung dan dia tidak merasa bahwa senyum yang biasanya selalu membayang di mulutnya itu kini sama sekali lenyap, terganti oleh bayangan duka yang membuat kedua matanya menjadi basah!

Duka adalah iba diri. Merasa iba kepada diri sendiri, merasa kehilangan, kecewa. Dan semua ini timbul dari aku yang merasa kehilangan, aku yang merasa kesepian, aku yang merasa menjadi orang paling sengsara di dunia. Aku adalah suatu gambaran yang dibuat oleh batin tentang diri sendiri, dibentuk oleh pengalaman-pengalaman masa lampau.

Aku penuh dengan harapan-harapan memperoleh kesenangan seperti yang pernah dialaminya, atau seperti yang pernah didengarnya, pernah dibacanya dan diketahuinya. Aku penuh denga keinginan akan merasakan dan menikmati kembali segala hal yang menyenangkan, penuh dengan rasa takut kalau-kalau tidak akan memperoleh lagi semua kesenangan itu, takut kalau-kalau ditinggalkan oleh hal-hal yang menyenangkan.

Aku yang selalu haus akan kesenangan ini menciptakan ikatan-ikatan, belenggu-belenggu dan rantai-rantai emas yang dianggapnya membahagiakan namun yang berakhir dengan kedukaan. Ikatan dengan orang lain karena orang lain itu menyenangkan aku, ikatan dengan benda, dengan nama, dengan gagasan-gagasan.

Sekali ikatan ini menguasai aku, maka yang ada hanyalah duka dan sengsara. Ikatan ini sama dengan candu, sekali terikat sukar untuk dilepaskan, karena akan menimbulkan perasaan duka dan sengsara. Semakin besar si aku menonjol, semakin banyak pula ikatan-ikatan terbentuk dan semakin banyak pula duka mengelilingi batin.

Bebasnya batin dari ikatan berarti runtuhnya singgasana sang aku, bersamaan dengan lenyapnya pula duka. Semua ini jelas sekali nampak, akan tetapi betapa sukarnya terbebas dari pada ikatan! Betapa sukarnya meniadakan gambaran tentang diri sendiri dalam bentuk aku yang makin hari makin kita bentuk dan perkuat!


* * *

Kolam air di belakang rumah gedung yang besar megah dan luas itu amat jernih airnya. Kolam buatan itu tentu amat mahal biaya pembuatannya dan hanya orang kaya seperti keluarga Ciu di Tung-kang sajalah yang mampu membuatnya. Di sekitar kolam air yang luas itu terdapat taman bunga yang indah, dan batu-batu alam yang bentuknya aneh dan nyeni terdapat pula di dekat kolam.

Akan tetapi, pada pagi hari yang sunyi itu nampaklah hal-hal yang amat aneh terjadi di situ. Para pelayan sudah dilarang keras untuk tidak memasuki taman sehingga apa yang terjadi tidak nampak oleh orang-orang lain yang tentu akan terheran-heran dan mungkin akan merasa ngeri dan takut.

Seorang Kakek yang bertubuh kecil pendek sedang duduk bersila di atas batu karang di tepi danau buatan, meniup sebuah suling. Kakek ini bukan lain adalah Tee-tok, seorang di antara Empat Racun Dunia. Seperti telah kita ketahui, sejak enam tahun yang lalu, Racun Bumi ini diterima oleh hartawan Ciu Lok Tai sebagai pengawal keluarga, juga guru Ciu Kui Eng. Tentu saja Tee-tok merasa senang sekali tinggal di rumah keluarga kaya raya itu.

Dia sudah tua, sudah capai bertualang. Usianya sekarang sudah tujuhpuluh tahun lebih dan hidup enak-enak di rumah keluarga itu amat menyenangkan hatinya. Apa lagi dia memperoleh murid seperti Kui Eng yang berbakat baik sekali. Selama enam tahun, dia mencurahkan seluruh tenaga dan perhatian untuk memberi pelajaran ilmu-ilmu yang tinggi kepada muridnya, menurunkan semua ilmunya kepada murid tersayang itu.

Dan pagi hari ini muridnya sedang digembleng dengan latihan yang paling sukar, ilmu silat dengan penggunaan ginkang yang amat hebat. Latihan ini merupakan ujian terakhir bagi muridnya itu. Suara suling yang ditiup Kakek itu meliuk-liuk aneh, melengking-lengking dan matanya ditujukan ke tengah danau buatan mengikuti gerak-gerik muridnya.

Dan di tengah danau itu nampak Ciu Kui Eng sedang bersilat! Di atas air danau! Dan kedua kakinya yang kecil itu dengan ringannya berloncatan ke sana-sini, menginjak ular-ular yang berseliweran di purmukaan air danau. Ular-ular air itu sengaja dilepas di danau itu dan mereka itu bergerak-gerak, berenang dipermukaan danau seperti dipimpin oleh lengking suling.

Ular-ular air yang besar-besar dan kini Ciu Kui Eng menggunakan badan ular-ular itu untuk tempat berpijak ketika ia bersilat dengan gerakan yang luar biasa lincahnya. Inilah ilmu silat yang paling aneh dan yang amat hebat, yang diajarkan oleh Kakek itu kepada muridnya, dan ilmu silat ini diberi nama Cui-beng Coa-kun (Silat Ular Pengejar Arwah)!

Ilmu silat dengan latihan seperti ini membutuhkan gingkang yang luar biasa, juga membutuhkan pengerahan sinkang, gerakan yang cepat dan tepat, juga kematangan ilmu silat karena kesalahan sedikit saja dapat membuat tubuh Kui Eng tergelincir dan terjatuh ke dalam air di mana dara ini akan dikeroyok oleh ular-ular itu. Hebatnya, ular-ular yang puluhan banyaknya itu berenang-renang seperti berbaris saja mengikuti irama suara suling yang aneh!

“Heiiiittt... plakk!” Kini Kui Eng mulai menyerang. Sambil melompat, kakinya menyambar ke bawah dan seekor ular mati dengan kepala remuk. Dara itu berloncatan, mengeluarkan pekik-pekik nyaring dan mulailah ia membantai ular-ular itu, dengan sambaran kaki dan tangan, seperti ular-ular mematuk. Permukaan danau itu mulai merah oleh darah ular dan mulai dipenuhi bangkai-bangkai ular yang mengambang.

Loncatan terakhir dilakukan dari atas bangkai-bangkai ular yang mengambang dan ketika ia berjungkir balik sampai lima kali sebelum hinggap di atas batu di depan suhunya, puluhan ekor ular itu telah mati semua. Bau amis memenuhi tempat itu dan Tee-tok menghentikan tiupan sulingnya.

“Suhu, mari kita duduk di sana, di sini bau amis!” Kui Eng mengernyitkan hidungnya yang kecil sehingga nampak manis dan lucu. Kui Eng sekarang telah menjadi seorang gadis yang manis sekali, berusia delapan belas tahun. Wajahnya manis, terutama sekali sepasang matanya yang lebar dan memiliki pandang mata yang amat tajam seperti kilat menyambar.

Tubuhnya ramping dan padat, rambutnya digulung ke atas dan diikat dengan sutera kuning karena ia sedang berlatih, maka ia memakai pakaian ringkas dan rambut yang digelung itu masih panjang sekali sisanya, bergerak-gerak ketika ia bersilat tadi seperti ekor kuda yang indah. Muka yang putih halus itu kini kemerahan dan agak basah oleh keringat, berseri-seri di dalam cahaya matahari pagi yang memernuhi taman. Tee-tok tersenyum puas. Hebat memang muridnya ini.

“Engkau lulus ujian, Kui Eng, dan mulai sekarang tak perlu aku mengajarmu lagi. Sudah cukup ilmu kepandaianmu dan agaknya takkan mudah orang lain mengalahkanmu.”

Kui Eng menggandeng tangan suhunya dan dengan manja mengajak gurunya itu duduk di ruangan sebuah pondok merah yang berada di tepi taman. “Semua itu berkat budimu, suhu,” katanya dan iapun bertepuk tangan memanggil pelayan.

Tiga orang pelayan wanita datang berlarian dan mereka semua mengembang-kempiskan cuping hidung ketika mencium bau amis itu. “Ih, bau apakah ini?”

“Begini amis, aku ingin muntah...!”

Kui Eng tersenyum geli. “Sudah, jangan cerewet. Suruh tukang kebon bersihkan kolam air.”

Tiga orang pelayan wanita itu berlarian ke dekat kolam dan Kui Eng geli ketika mendengar jeritan-jeritan para wanita itu yang tentu saja menjadi terkejut, takut dan jijik melihat puluhan ekor bangkai ular mengambang di atas air kolam. Kui Eng lalu memerintahkan para pelaya wanita mempersiapkan hidangan makan pagi yang mewah untuk gurunya dan para pekerja kebun disuruh membersihkan danau dari bangkai-bangkai ular itu.

Setelah makan pagi yang mewah dan lezat, dilayani oleh muridnya, Tee-tok lalu minta berjumpa dengan Ciu Lok Tai. Hartawan Ciu ini sudah berusia enam puluh dua tahun, akan tetapi pakaiannya masih mewah dan rambutnya tersisir rapi penuh minyak. Jenggot dan kumisnya juga masih terpelihara dengan baik dan sinar matanya masih seperti dulu, bahkan mungkin lebih mata keranjang lagi.

Semenjak Tee-tok berada di situ sebagai pengawal keluarganya, apa lagi mengingat bahwa puteri tunggalnya kini telah menjadi seorang gadis yang memiliki ilmu silat amat tinggi, yang tidak dapat dilawan oleh semua pengawal dan jagoan di Tung-kang maupun Kanton, hartawan ini menjadi semakin angkuh.

Ciu Wan-gwe yang diberitahu puterinya bahwa Tee-tok ingin bertemu dengannya dan bahwa Kakek itu akan pergi karena puterinya sudah tamat belajar, menjadi kaget dan bergegas datang ke pondokan Tee-tok di dekat taman di belakang gedung itu.

“Berita apakah yang saya dengar dari Kui Eng ini? Locianpwe hendak pergi meninggalkan kami? Ah, kenapa begitu?”

Tee-tok tersenyum dan menggoyang tasbeh hitamnya. Kakek pendek kecil ini memang selalu membawa tasbeh dan tongkatnya, seperti seorang petapa atau seorang pendeta tosu saja. “Muridku, puterimu ini sudah tamat belajar, Ciu Wangwe, pekerjaanku sudah selesai, maka aku harus pergi dari sini. Jangan khawatir, semua kepandaianku telah kuajarkan kepada puterimu dan dengan adanya puterimu di sini, tak seorangpun akan berani mengganggu keluargamu, karena pengganggunya berarti sudah bosan hidup, heh-heh!” Tee-tok memandang kepada muridnya dengan perasaan bangga.

“Biarpun begitu, mengapa Locianpwe akan pergi? Sudah baik-baik tinggal di sini. Biarlah Locianpwe tetap tinggal di sini, biarpun Kui Eng sudah tamat belajar. Kami akan menjamin kehidupan Locianpwe selanjutnya di sini karena kami sudah menganggap Locianpwe seperti keluarga sendiri.”

“Ha-ha, terima kasih, Wangwe. Akan tetapi, seorang perantau seperti aku ini, mana bisa selama hidupnya tinggal di suatu tempat? Betapapun indahnya tempatmu ini, betapapun enaknya hidupku di sini, lama-lama aku menjadi bosan juga. Aku rindu akan keheningan di tempat-tempat sunyi. Kui Eng, kalau sekali waktu engkau perlu bertemu denganku, engkau tahu ke mana harus mencariku. Nah, selamat tinggal, aku akan pergi sekarang juga.”

Ciu Lok Tai terkejut dan berusaha menahan. “Saya... saya harap Locianpwe tunggu sebentar, akan saya suruh ambilkan bekal...”

Akan tetapi Kakek itu melangkah terus dan membalikkan tubuh ketika tiba di pintu lalu berkata, “Bekal? Maksudmu harta? Heh-heh, menjadi beban saja. Kalau aku butuh harta, apa sukarnya bagiku? Tinggal ambil saja di sepanjang perjalanan.” Kemudian dengan sekali menggerakkan kakinya, Kakek itu berkelebat lenyap dari pintu taman!

Ciu Wan-gwe hendak mengejar, akan tetapi tangannya dipegang puterinya. “Ayah, orang luar biasa seperti suhu tidak sama dengan manusia lain. Ayah tidak perlu sungkan-sungkan terhadap suhu.”

Barulah hartawan itu menarik napas panjang. “Aihh, bertahun-tahun dia berada di sini dan kita merasa aman tenteram. Kalau dia pergi, tentu saja hal itu membikin hatiku khawatir sekali. Apa lagi sekarang suasana menjadi semakin keruh, banyak terjadi pemberontakan dan banyak orang jahat membikin kota-kota menjadi tidak aman.”

Puterinya tersenyum manis sekali. “Mengapa Ayah khawatir? Tidak percuma selama enam tahun aku menjadi murid suhu Tee-tok. Dengan adanya aku di sini sama saja seperti kalau suhu berada di sini.”

Akan tetapi hati Ciu Lok Tai masih belum tenang dan percaya benar. Sudah sering dia melihat puterinya berlatih silat, melihat puterinya bergerak dengan lincah sekali, akan tetapi kelincahan dalam bersilat itu belum membuktikan bahwa puterinya memang dapat diandalkan menghadapi serangan-serangan lawan.

Apa lagi melihat puterinya kini menjadi seorang gadis yang demikian cantik manis, seperti ibunya di waktu muda, dan nampak demikian lemah lembut, mana mungkin dapat menandingi musuh yang terdiri dari laki-laki yang kasar dan kuat?

Agaknya Kui Eng dapat menduga apa yang diragukan Ayahnya. Ia seorang anak manja yang biasanya haus akan pujian. Apa lagi sekarang, setelah ia merasa bahwa dirinya memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, maka keraguan Ayahnya akan kemampuannya membikin hatinya terasa panas dan kecewa.

“Ayah, sebaiknya Ayah mengundang para jagoan di kota ini dan juga dari Kanton, dengan alasan apapun, dan aku akan memperlihatkan kepada mereka bahwa tak seorangpun dapat mengganggu kita. Aku akan tantang semua jagoan yang ada, dan akan kuperlihatkan kepada Ayah bahwa tidak ada seorangpun yang akan mampu mengalahkan aku.”

Biarpun di dalam hatinya masih terdapat keraguan, akan tetapi hartawan Ciu menganggap usul ini amat baik. Bukan saja dia akan dapat membuktikan sendiri kehebatan puterinya, akan tetapi juga dapat dia memamerkannya kepada semua kenalannya dan sekaligus nama puterinya akan terangkat dan takkan ada yang berani mengganggu keluarganya.

“Baik, akan kuundang mereka dengan dalih merayakan engkau tamat belajar silat. Akan tetapi yakin benarkah hatimu bahwa engkau akan dapat mengalahkan jagoan dari Kanton? Jangan main-main, di sana terdapat banyak orang pandai.”

Kui Eng tersenyum mengejek. “Ayah panggil saja yang paling pandai dan Ayah lihat saja nanti.”

Demikianlah, untuk membuktikan sendiri kepandaian puterinya, beberapa hari kemudian taman yang luas di belakang gedung Ciu Wan-Gwe itu berobah menjadi tempat pesta. Yang diundangnya adalah para pembesar yang menjadi kenalannya, juga ahli-ahli silat yang kenamaan di Tung-kang.

Bahkan dari Kanton pula, tidak lupa dia mengundang Gan Ki Bin dan Lok Hun, dua orang jagoan yang pernah membantunya duabelas tahun yang lalu. Kedua orang itu kini tinggal di Kanton dan bekerja sebagai pengawal-pengawal dalam rumah seorang pembesar Kanton. Juga hartawan itu mengundang Ma-Ciangkun, komandan Ma Cek Lung yang menjadi perwira pasukan keamanan di Kanton.

Masih banyak lagi guru-guru silat dan kepala-kepala pengawal yang terkenal mempunyai kepandaian tinggi dari Kanton diundangnya. Tidak lupa, untuk mencari muka, Ciu Wan-gwe juga mengundang Wang Taijin, kepala daerah Kanton, seorang pejabat baru di Kanton yang dikirim dari Kota Raja!

Kepala daerah baru ini dikenal sebagai seorang pejabat yang keras, utusan kaisar sendiri, dan kepala daerah ini kabarnya adalah seorang pejabat yang jujur. Tidak sudi menerima sogokan dan terutama sekali yang menggelisahkan hati banyak hartawan adalah bahwa Wang Taijin terkenal anti madat!

Juga wakilnya, yang terkenal sebagai orang yang mudah didekati oleh para hartawan, seorang pejabat lama yang bernama Lai Tek atau terkenal dengan sebutan Lai Taijin, yang bukan hanya sahabat baik Ciu Wangwe akan tetapi juga seorang pecandu madat yang tidak ketulungan lagi, diundang.

Pernah Ciu Wan-gwe dipanggil oleh kepala daerah yang baru itu dan diperingatkan tentang kegiatannya berdagang candu gelap. Dan Lai Taijin itulah yang menolongnya dan melihat muka wakilnya, kepala daerah itu mengampuninya.

Tidak kurang dari lima puluh orang yang rata-rata memiliki kepandaian silat tinggi dan menjadi jagoan-jagoan terkenal di kanton dan sekitarnya hadir di dalam taman yang dirias indah itu. Ciu Wan-gwe terkenal sebagai seorang kaya raya yang royal, maka tentu saja mereka dengan gembira memenuhi undangan hartawan itu, apa lagi karena disebutkan bahwa pesta itu untuk merayakan puteri hartawan itu yang selesai belajar ilmu silat!

Mereka sudah membayangkan bahwa mereka akan melihat seorang gadis jelita bermain silat, dan walaupun para jagoan itu memandang rendah, setidaknya mereka akan melihat seorang gadis cantik menari-nari dengan senjata yang tentu akan menarik sekali, apa lagi kalau hidangannya serba lezat dan mewah!

Semua hartawan dan bangsawan datang bersama pengawal, sedikitnya dua orang kepala pengawal yang boleh diandalkan. Para pembesar datang bersama pasukan pengawal, akan tetapi pasukan itu dijamu di tempat lain, dan yang menemani para pembesar itu hanya kepala pengawal saja.

Wan Taijin tidak ketinggalan dikawal oleh kepala pengawalnya yang gagah perkasa. Juga Gan Ki Bin dan Lok Hun, dua orang bekas kepala pengawal Ciu Wan-gwe, yang sudah mengenal Kui Eng ketika anak itu masih kecil, datang dalam pakaian mereka yang mentereng. Di taman itu sudah dibangun sebuah panggung dan para tamu sudah berkumpul dengan digembirakan oleh musik yang dimainkan oleh serombongan pemusik kenamaan yang didatangkan dari Kanton.

Setelah menghaturkan selamat datang kepada para tamu dengan suguhan arak, Ciu Wan-gwe lalu memperkenalkan puterinya. Kui Eng keluar dalam pakaian serba merah muda, dengan ikat pinggang berwarna biru dan rambutnya digelung ke atas, diikat dengan sutera kuning. Ia nampak manis sekali, sehingga semua mata para tamu yang terdiri dari pria semua itu seperti hendak melahapnya.

“Kami merayakan tamat belajarnya puteri kami dan maafkanlah puteri kami yang hendak memperlihatkan hasil ilmu yang selama ini dipelajarinya. Karena cuwi yang hadir adalah ahli-ahli silat kenamaan, maka diharap agar sudi memberi petunjuk kalau permainan puteri kami masih dangkal,” kata Ciu Wan-gwe dan ketika Kui Eng naik ke atas panggung, ia disambut dengan tepuk tepuk tangan memuji, tentu saja memuji kecantikannya.

Akan tetapi, hampir semua tamu berasal dari Tung-kang, tidak ada yang berani memandang rendah. Semua orang di Tung-kang sudah tahu bahwa gadis cantik ini adalah murid seorang Kakek sakti yang demikian pandainya sehingga berhasil menghadapi ujian senjata api dari Ciu Wan-gwe! Biarpun mereka sendiri belum pernah membuktikan kelihaian Kui Eng.

Namun mereka dapat menduga bahwa tentu gadis itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Sudah banyak para pelayan dan pengawal keluarga Ciu membocorkan berita bahwa gadis itu benar-benar lihai sekali, seringkali bersama gurunya yang aneh bermain-main dengan ular-ular besar dan ular-ular beracun!

Setelah menjura ke empat penjuru dengan sikap gagah dan senyum manis sekali tak pernah meninggalkan bibirnya, Kui Eng lalu mulai bersilat. Tentu saja ia tidak mau mempertontonkan jurus-jurus simpanannya, melainkan hanya bersilat dengan landasan ilmu ginkang yang hebat sehingga tubuhnya berkelebatan dengan amat cepatnya di atas papan panggung. Kedua kakinya tidak mengeluarkan suara, dan panggung itu sedikitpun tidak terguncang biarpun ia bermain silat dengan berloncatan cepat.

Bagi para penonton yang belum tinggi ilmu silatnya, mereka akan tersenyum mengejek karena mengira bahwa gadis itu tidak memiliki tenaga sakti sehingga gerakannya kosong dan ringan. Sebaliknya, mereka yang lebih ahli, diam-diam terkejut dan kagum karena mengenal pertunjukan ilmu meringankan tubuh yang hebat!

Setelah Kui Eng menghentikan permainan silatnya, semua orang bertepuk tangan gemuruh, bahkan ada yang bersuit-suit, yaitu dari para muda yang lebih mengagumi kecantikan dan keindahan gerak tubuh Kui Eng dari pada ilmu silatnya sendiri. Kui Eng menjura ke empat penjuru, lalu dengan nyaring ia berkata, suaranya lantang dan sama sekali tidak canggung atau malu-malu. Ia memang seorang gadis yang tabah, gagah dan juga galak, kegalakan yang lebih terdorong oleh kemanjaan dari pada oleh watak yang jahat.

“Cu-wi yang mulia. Ilmu silat hanya nampak indah saja kalau dimainkan sendirian, akan tetapi tidak ada artinya dan tidak kelihatan kelihaiannya kalau tidak dimainkan dalam suatu pertandingan antara dua orang. Maka, saya menantang kepada cu-wi yang memiliki kepandaian untuk mengadakan pertandingan silat persahabatan, untuk saling berkenalan dan saling memberi petunjuk dalam ilmu silat. Dengan demikian, barulah yang menonton dapat menikmatinya. Tidak tahu apakah di antara cu-wi ada yang berani untuk maju melayani saya barang sepuluh jurus?”

Di dalam ucapan ini terkandung kesombongan dan pandangan rendah terhadap para tamu, dan hal ini memang disengaja oleh Kui Eng untuk memanaskan hati mereka agar ada yang berani menyambut tantangannya.

“Oho, biarlah aku yang mencoba kelihaian nona Ciu!” terdengar suara nyaring dan sesosok tubuh tinggi besar sudah meloncat naik ke atas panggung. Panggung itu tergetar dan bergoyang-goyang ketika kedua kakinya hinggap di atas papan panggung. Laki-laki ini berusia tiga puluh tahun lebih, tinggi besar dengan muka merah, agaknya terlalu banyak minum arak.

Akan tetapi semua orang dari Kanton mengenal siapa dia. Seorang guru silat muda yang memiliki tenaga gajah! Dan orang yang masih belum berkeluarga ini, ketika melihat Kui Eng, diam-diam sudah tergila-gila, maka melihat kesempatan untuk memamerkan ilmunya dan kesempatan bertanding, beradu tangan, berdekatan dengan nona cantik itu, terus saja dia menyambutnya.

Untuk mendatangkan kesan dan untuk pamer, begitu kedua kakinya menginjak papan panggung, terus saja guru silat itu bersilat. Gerakannya mantap dan pukulannya mendatangkan angin, bahkan panggung itu terus bergoyang-goyang seperti akan ambruk. Memang kelihatan hebat dan gagah sekali dia, terdengar bunyi otot dan tulang berkerotokan dan angin menyambar-nyambar kalau dia menendang dan memukul.

Setelah mainkan beberapa jurus ilmu silatnya, para penonton, terutama yang muda-muda, sudah menyambutnya dengan tepuk tangan memuji. Dia berhenti dan tersenyum, senyum yang tidak menolong mukanya yang burik kasar kemerahan itu lalu menghadapi Kui Eng dan menjura dengan sikap hormat dibuat-buat.

“Nona Ciu, ilmu silatmu sungguh hebat sekali. Tidak tahu apakah ilmu silatku tadi cukup baik untuk melayani ilmu silatmu?”

Kui Eng mamandang tajam dan alisnya berkerut ketika ia melihat sinar mata laki-laki itu mengandung kekurangajaran. Ia balas menjura dan suaranya lantang terdengar semua orang yang berada di situ, “Ilmu silatmu menunjukkan tenaga besar, cukup baik untuk manakut-nakuti orang, akan tetapi aku sangsi apakah cukup tangguh untuk bertahan selama lima jurus melawan ilmu silatku!”

Tentu saja semua orang terkejut, bahkan para ahli sekalipun terkejut. Biarpun guru silat muda itu lebih mengandalkan tenaga besar, namun dia memiliki ilmu silat yang tidak boleh dibilang lemah. Mana mungkin mengalahkannya dalam lima jurus saja? Gadis itu terlalu membual atau memang sombong.

Ciu Wan-gwe sendiri berobah wajahnya, merasa khawatir karena puterinya bicara terlalu besar. Bagaimana kalau puterinya kalah? Berarti sekali keluar namanya terbanting keras dan hanya mendatangkan malu dan menjadi buah tertawaan saja.

Wajah guru silat muda itu menjadi semakin merah, akan tetapi sekali ini bukan merah karena hawa arak, melainkan karena penasaran dan marah. Gadis cantik ini ternyata telah membikin malu padanya di depan umum. Tunggu saja, manis, pikirnya gemas. Dalam pertandingan ini aku akan membalas padamu, cukup dengan sekali raba dadamu saja sudah dapat membalas.

Kemarahan ini saja sudah menunjukkan bahwa guru silat muda itu kurang luas pandangannya dan kurang matang ilmunya. Bagi orang yang sudah matang, melihat sikap gadis itu yang berani memandang rendah saja tentu sudah menjadi waspada, curiga dan berhati-hati sekali. Sebaliiknya, guru silat yang terlalu membanggakan kepandaian sendiri ini dikuasai emosi dan bernafsu sekali untuk membalas dendam.

“Nona Ciu, benarkah bahwa engkau akan mampu mengalahkan aku dalam lima jurus? Hati-hati, kaki tangan tidak bermata, aku khawatir kalau-kalau nona akan terluka kalau kita harus mengadu ilmu silat.”

Kui Eng tersenyum mengejek. “Kalau takut terkena pukulan, lebih baik tidak belajar ilmu silat saja, pulang ke kampung bercocok tanam lebih aman!”

Tentu saja ucapan ini disambut dengan suara ketawa di sana-sini dan guru silat muda itu menjadi marah sekali. “Nona Ciu, bersiaplah menyambut seranganku!” Teriaknya dan iapun memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang sampai panggung yang diinjaknya mengeluarkan bunyi “krek-krek!”

“Kau ini mau adu silat ataukah adu suara? Majulah dan jangan omong saja!”

Kembali ucapan Kui Eng disambut suara ketawa dan tiba-tiba guru silat itu mengeluarkan suara seperti harimau menggereng dan tubuhnya sudah menubruk ke depan. Kedua lengannya dipentang lebar, dari kanan kiri mengurung dan hendak menerkam, seperti seekor biruang besar hendak menerkam kelinci.

Mata para tamu kini memandang penuh perhatian dan dengan hati tegang karena mereka maklum bahwa guru silat muda itu agaknya sudah marah sekali dan menyerang dengan sungguh-sungguh, walaupun serangannya bukan merupakan tendangan atau pukulan melainkan tubrukan untuk menerkam dan memeluk gadis itu!

Akan tetapi, dengan gerakan yang amat lincah, tahu-tahu tubuh gadis itu sudah menyelinap ke bawah kiri dan tubrukan itu luput. Guru silat itu tadi sudah melihat bayangan tubuh itu menyelinap ke kiri, tubrukannya dirobah menjadi terkaman ke samping dan kini dua lengannya itu menerkam dari atas dan bawah, kedua kakinya siap menyusulkan tendangan andaikata nona itu mengelak lagi.

Akan tetapi sekali ini Kui Eng tidak mengelak, bahkan menghadapi serangan itu sambil membalikkan tubuhnya dan dua pasang kaki tangan itu bergerak cepat. Seperti ada empat ekor ular menotok ke depan dan tiba-tiba saja guru silat muda itu mengeluarkan teriakan aneh dan tubuhnyapun roboh berlutut di depan Kui Eng!

Tentu saja semua orang menjadi heran dan terkejut sekali. Dalam dua kali serangan saja guru silat itu telah roboh berlutut dan mereka tidak melihat bagaimana caranya sampai guru silat itu roboh. Guru silat itu sendiri menjadi pucat wajahnya. Tadi, ketika dia menerkam, tiba-tiba saja kedua siku dan lututnya terpukul dan seketika kedua lengan dan kakinya menjadi lumpuh sehingga dia tidak mampu berdiri lagi dan terpaksa jatuh berlutut.

Bagaimanapun juga, kini tahulah dia bahwa gadis itu memang sungguh seorang yang memiliki kesaktian dan sama sekali bukan lawannya. “Maafkan saya, nona... saya... mengaku kalah...!” katanya lirih dan ketakutan karena dia belum mampu menggerakkan kaki tangannya.

“Hemm, belajarlah silat dengan baik, bukan memamerkan tenaga gajah,” kata Kui Eng dan seperti orang menyuruh pergi, tangannya bergerak cepat sekali mrenyentuh ke pundak dan ujung sepatunya menyentuh pinggang.

Seketika tubuh yang lumpuh itu dapat bangkit lagi dan dengan muka yang kini berobah merah sekali, guru silat itu memberi hormat kepada Kui Eng lalu melompat turun dan kembali ke tempat duduknya tanpa banyak cakap lagi. Tepuk tangan riuh menyambut kemenangan ini, akan tetapi beberapa orang mengerutkan alisnya. Benarkah guru silat itu kalah sedemikian mudahnya? Ataukah guru silat itu memang sengaja “dibeli” untuk berperan sebagai orang yang dikalahkan?

Ciu Wan-gwe adalah seorang yang kaya raya, mampu membayar apa saja dan guru silat itu merupakan orang baru di Kanton, siapa tahu dia memang sengaja bermain sandiwara agar dikalahkan dalam dua gebrakan saja! Akan tetapi, mereka yang memiliki kepandaian lebih tinggi berpendapat lain.

Mereka melihat bahwa selain guru silat itu memang tidak begitu pandai, ternyata bahwa gadis hartawan ini benar-benar lihai sehingga mereka memandang kagum dan ketika Kui Eng mempersilahkan jagoan lain untuk naik, tidak ada seorangpun berani menyambutnya.

Yang paling gembira adalah Ciu Wan-gwe. Ternyata puterinya mampu membuktikan omongannya. Guru silat yang hebat tadi dirobohkan hanya dalam waktu sebentar saja! Makin percayalah dia bahwa Kakek sakti itu memang benar telah mewariskan kepandaiannya kepada Kui Eng.

“Cu-wi yang mulia! Benarkah tidak ada lagi jagoan yang mau memberi petunjuk kepadaku? Ah, dan aku mendengar bahwa Kanton adalah gudangnya jago silat yang tinggi ilmunya. Apakah cu-wi ingin mengecewakan hatiku?” Kui Eng berkata karena memang ia kecewa sekali. Ia ingin memamerkan kepandaiannya dan juga mendatangkan kesan agar keluarganya ditakuti orang dan hati Ayahnya menjadi tenteram.

Kiranya di antara para jagoan itu yang maju hanyalah seorang guru silat mentah! Wang Taijin, kepala daerah Kanton, merasa tersinggung mendengar ucapan gadis itu. Seorang gadis yang sombong, pikirnya. Memang di sudut hatinya, Wang Taijin merasa tidak suka kepada hartawan ini, karena dia mendengar bahwa orang she Ciu ini merupakan pedagang dan penyelundup candu terbesar di Kanton dan Tung-kang, seorang yang bersekongkol dengan orang-orang kulit putih.

Juga dia mendengar bahwa hartawan ini seolah-olah sudah menguasai semua pembesar di Kanton dengan suapan-suapannya. Kalau saja tidak dibujuk oleh Lai Taijin, tentu dia sudah menyuruh orang-orangnya menuntut hartawan ini di pengadilan atau setidaknya melakukan penyitaan atas candu-candu simpanannya.

Kini, melihat sikap anak hartawan Ciu itu, yang seolah-olah menantang dan menghina orang-orang gagah di Kanton, dia mendongkol sekali. Dengan isyarat tangan dan mata, diapun lalu menyuruh kepala pengawal yang menemaninya untuk maju dan menandingi gadis yang dianggapnya amat sombong itu.

Kepala pengawal ini adalah pengawal bawaan Wang Taijin dari Kota Raja, seorang laki-laki berusia lima puluh tahun yang tubuhnya jangkung, matanya tajam dan kumis jenggotnya panjang terpelihara rapi. Dalam mengawal Wang Taijin, dia selalu berpakaian preman. Orangnya pendiam dan sikapnya halus. Melihat betapa majikannya memberi isyarat agar dia maju, pengawal yang jangkung ini mengangguk, akan tetapi alisnya berkerut.

Dia adalah seorang kepala pengawal daerah Kanton, seorang yang memiliki kedudukan tinggi dan kini dia disuruh maju melayani dan melawan seorang gadis yang usianya belum duapuluh tahun! Memang, diapun tadi melihat bahwa gadis itu bukan orang sembarangan, akan tetapi maju melawan seorang gadis semuda itu saja sudah menurunkan martabatnya. Akan tetapi, karena yang memerintah adalah majikannya.

Tanpa banyak cakap diapun bangkit berdiri, dan sekali menggerakkan tubuhnya, dia sudah melayang naik ke atas panggung. Kedua kakinya tidak mengeluarkan suara apapun ketika hinggap di atas panggung, berhadapan dengan Kui Eng dan menjura dengan hormat. Diam-diam Kui Eng terkejut. Ini baru orang pandai, pikirnya, aku harus berhati-hati menghadapinya.

“Nona Ciu, maafkan kalau saya orang yang tua memenuhi undangan nona untuk bermain-main sebentar menghibur para tamu dan menggembirakan suasana. Harap nona suka mengalah kepada saya.”

Kui Eng makin berhati-hati. Orang ini pandai merendahkan diri, akan tetapi sinar matanya begitu tajam. Tentu lawan yang berbahaya, pikirnya. “Ah, paman terlalu sungkan. Kuharap pamanlah yang suka mengalah terhadap orang muda yang belum berpengalaman.” katanya sambil balas menjura.

“Saya sudah siap, harap nona suka mulai,” kata kepala pengawal Wang Taijin itu.

“Paman adalah tamu, silahkan mulai.”

Akan tetapi, kepala pengawal itu tentu saja rikuh sekali kalau harus menyerang lebih dulu. Dia adalah seorang tua yang menang segala-galanya, mana mungkin harus menyerang dulu? Maka diapun diam saja, hanya berdiri tegak, sama sekali tidak berlagak dengan kuda-kuda kokoh seperti yang dilakukan guru silat muda tadi. Melihat orang ragu-ragu, Kui Eng tersenyum dan ia semakin hati-hati.

“Baiklah kalau begitu, lihat seranganku, paman!” Kui Eng menyerang dengan biasa saja, dengan pukulan ke arah dada orang. Melihat cara gadis itu menyerang, si kepala pengawal semakin memandang rendah. Kiranya gadis itu hanya memiliki kecepatan saja dan tidak memiliki kepandaian yang berarti, demikian pikirnya. Maka diapun cepat menangkis dengan mengerahkan sedikit tenaga saja, dengan harapan sedikit tenaga itu sudah cukup untuk memberi peringatan kepada gadis yang dianggapnya sombong itu.

“Dukk...!” Ketika dua lengan bertemu, kepala pengawal itu terkejut bukan main. Lengan gadis itu lunak hangat, seperti tidak bertenaga, akan tetapi membuat lengannya tergetar hebat seperti diguncang! Maka, diapun cepat membalas dengan serangan kilat ke arah pundak kiri Kui Eng yang ditamparnya, dan sekali ini, tamparannya dilakukan dengan pengerahan tenaga sinkang.

Ketika tadi bertemu lengan, Kui Eng tersenyum mengejek. Kiranya hanya sekian saja tenaga orang jangkung ini, pikirnya. Maka, begitu melihat lawan menampar pundaknya, suatu serangan yang dilakukan dengan sungkan-sungkan, dara inipun menangkis dengan mengerahkan sebagian sinkangnya. Tidak sekuatnya, melainkan sedikit saja karena iapun tidak ingin mencelakai orang ini yang bersikap baik, tidak seperti guru silat tadi.

“Dukk...!” Sekali ini Kui Eng yang terkejut ketika lengannya terpental. Barulah ia tahu bahwa dalam pertemuan lengan pertama tadi, lawannya tidak sungguh-sungguh mengeluarkan tenaga dan baru sekarang lawannya itu memperlihatkan tenaganya, membuat lengannya terpental. Iapun memandang tajam dan bangkit semangatnya, hatinya gembira. Inilah lawan yang tangguh, pikirnya.

“Paman, siaplah menghadapi seranganku!” teriaknya dan iapun kini menyerang dengan sungguh-sungguh, kedua tangannya membentuk kepala ular yang mematuk-matuk dan gerakannya itu didasari tenaga sinkang yang amat kuat.

Kepala pengawal itu terkejut bukan main. Dia melihat betapa kedua tangan lawannya seperti berobah menjadi banyak, sukar sekali diikuti dengan pandang mata. Dia berusaha sekuatnya untuk menangkis dengan kedua lengannya, akan tetapi gerakan gadis itu terlalu cepat, ilmu silatnya terlalu aneh.

Kui Eng belum mengenal kehebatan ilmunya sendiri karena ia belum pernah berkelahi dengan orang lain dan ia tadi salah kira, menganggap bahwa lawannya itu tangguh sekali. Kini, serangkaian serangannya tidak dapat dihindarkan lagi mengenai sasaran dan pundak kanan lawan itu terkena patukan tangan kirinya dengan keras sekali.

“Krekkk...!” Kepala pengawal itu mengeluh dan roboh terkulai dalam keadaan pingsan! Patukan tangan kiri Kui Eng itu bukan saja mematahkan tulang pundaknya, akan tetapi juga menembus lebih dalam lagi, menggetarkan isi dada dan membuatnya roboh pingsan!

Kui Eng terkejut bukan main. “Ohh... maaf, paman...!” katanya, akan tetapi dara itu berdiri bingung karena melihat bahwa lawannya itu telah pingsan. Tak disangkanya sedemikian mudahnya ia merobohkan lawan yang disangkanya amat tangguh itu.

Memang tangguh lawan itu, akan tetapi ia tidak dapat membayangkan bahwa kepandaiannya jauh lebih tinggi dan ia jauh lebih tangguh lagi. Peristiwa ini tentu saja mendatangkan perasaan makin tidak senang di hati Wang Taijin. Dia tadi menyuruh kepala pengawalnya untuk memberi pengajaran kepada gadis Ciu yang sombong itu, akan tetapi siapa kira bahwa dalam beberapa gebrakan saja jagoannya tidak hanya kalah, bahkan pingsan dan agaknya menderita luka parah!

Dengan alis berkerut kepala daerah Kanton ini melihat betapa jagoannya diusung turun dari atas panggung di bawah tepuk tangan para tamu yang memuji tuan rumah. Kini semua orang memandang kagum karena secara berturut-turut, dua orang jagoan telah dirobohkan dalam waktu cepat sekali oleh gadis cantik itu.

“Aha, benar hebat nona Ciu Kui Eng!” tiba-tiba terdengar suara parau dan seorang laki-laki tinggi besar berperut gendut sudah meloncat naik ke atas panggung.

Melihat laki-laki berusia lima puluh tahun lebih dan berpakaian sebagai seorang perwira tinggi ini, Kui Eng cepat memberi hormat dengan ramah, merendah. Tentu saja ia mengenal Ma Cek Lung, komandan pasukan keamanan di Kanton yang sudah lama menjadi sahabat baik Ayahnya, dan yang dikenalnya sejak ia masih kecil. Memang pada akhir-akhir ini Ma-Ciangkun jarang datang berkunjung ke Tung-kang, akan tetapi hubungan antara perwira itu dan Ayahnya masih tetap baik.

Sejak tadi Ma Cek Lung melihat betapa gadis itu mengalahkan dua orang lawannya. Dia mengenal Kui Eng sebagai seorang anak yang manis dan ramah, dan diapun tahu bahwa gadis itu sejak kecil suka mempelajari ilmu silat dari para pengawal Ciu Wan-gwe. Dia juga sudah mendengar bahwa gadis itu memperoleh seorang guru yang pandai, yang juga menjadi pengawal keluarga Ciu itu.

Ketika tadi Kui Eng keluar dan memperlihatkan kepandaiannya, dia merasa kagum juga, senang melihat anak perempuan yang dikenalnya di waktu kecil itu kini telah menjadi seorang gadis yang cantik dan lihai. Akan tetapi ketika melihat betapa gadis itu merobohkan dua orang lawan, dia merasa tertarik sekali, lebih lagi ketika dia melihat Kui Eng mengalahkan kepala pengawal Wang Taijin yang diketahuinya adalah seorang yang memiliki ilmu silat tinggi.

Karena dia sendiripun seorang yang lihai ilmu silatnya, hatinya tertarik dan tak dapat ditahannya lagi dia lalu meloncat naik ke atas panggung sambil mengeluarkan kata-kata pujian. Kini Ma Cek Lung sudah berhadapan dengan Kui Eng dan perwira bertubuh tinggi besar berperut gendut ini menyeringai dan matanya menjelajahi tubuh dan wajah Kui Eng penuh kagum. Mukanya yang licin itu seperti berminyak dan matanya yang sipit sekali menjadi semakin sipit.

“Nona Ciu, akupun ingin main-main sebentar dengan engkau yang amat lihai!”

“Ah, Ma-Ciangkun harap jangan main-main. Mana aku berani melawanmu?”

Ma Cek Lung ini memang mempunyai watak mata keranjang. Kecantikan Kui Eng yang sejak kecil dikenalnya itu telah membuat penyakitnya kumat, yaitu berlagak setiap kali bertemu wanita cantik. Apa lagi sikap Kui Eng yang seolah-olah merasa sungkan kepadanya, yang dianggapnya sebagai sikap takut melawannya!

Maka diapun tertawa bergelak sambil membusungkan dadanya dan akibatnya yang busung adalah perutnya. Dia sendiri menganggap sikapnya gagah, akan tetapi sebenarnya bagi orang lain hanya melihat perwira itu berkakakan dengan perut besar menonjol ke depan dan terguncang-guncang.

“Ha-ha-ha, nona Ciu, ilmu silatmu begitu lihai, jangan merendahkan diri. Melihat betapa sekarang engkau telah memperoleh kemajuan hebat, aku ingin sekali mencoba-coba. Mari, jangan bersikap sungkan, bukankah kita hanya mengadakan permainan bersama seperti latihan saja?” Dia tertawa-tawa dengan sikap sombong sekali, seolah-olah sia seorang guru besar yang hendak memberi petunjuk dan latihan kepada seorang murid.

“Baiklah, Ma-Ciangkun,” kata Kui Eng.

“Ma-Ciangkun, harap jangan bersikap keras kepada puteriku!” tiba-tiba terdengar Ciu Wan-gwe berteriak kepada perwira yang menjadi sahabat baiknya itu.

Perwira Ma itu menoleh ke arah tuan rumah dan tertawa lebar. “Heh-heh, jangan khawatir, aku akan bersikap lunak sekali terhadap puterimu!” Dengan lagak yang gagah, Ma Cek Lung lalu memasang kuda-kuda di depan gadis itu sambil berkata, “Nona Ciu, mari kita mulai. kau sambutlah seranganku yang pertama.”

Dengan sikap gagah dan pengerahan tenaga yang kuat, Ma Cek Lung membuka serangannya dengan pukulan tangan kanan ke arah pundak gadis itu. Memang perwira ini memiliki tenaga besar dan juga ilmu silatnya sudah termasuk lumayan. Akan tetapi dasar perwira mata keranjang yang sudah tergila-gila melihat wajah cantik dan bentuk tubuh yang menggairahkan dari Kui Eng, pukulannya itu berobah menjadi colekan ke arah bawah pundak, jadi ke arah dada gadis itu!

Tentu saja Kui Eng menjadi terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa perwira itu akan menyerang seperti itu. “Ihhh...!” Ia berseru lirih sambil cepat-cepat mengelak sehingga colekan itu mengenai tempat kosong.

“Heh-heh!” Ma Cek Lung sudah menyusulkan serangan tangan kirinya yang kembali melakukan colekan ke arah perut bawah!

Ini sudah keterlaluan sekali dan Kui Eng menjadi marah bukan main. Jelaslah bahwa perwira yang menjadi sahabat Ayahnya ini hendak kurang ajar, apa lagi melihat mulutnya menyeringai genit lalu terdengar desisnya berbisik, “Kau manis sekali...!” dan susulan tangan kanannya yang kembali mencolek ke arah dada.

“keparat!” Kui Eng mendesis di antara giginya dan dengan cepatnya tubuhnya mengelak dan kedua tangannya bergerak cepat seperti dua ekor kepala ular mematuk.

Ma Cek Lung tidak tahu apa yang terjadi, akan tetapi tiba-tiba saja tubuhnya menjadi kaku dan tidak dapat digerakkan lagi. Seperti sebuah arca batu, perwira Ma itu berdiri dengan tubuh agak merendah, tangan kanan dengan jari-jari seperti akan mencengkeram dan tangan kiri mencengkeram ke bawah, yaitu posisinya ketika hendak mencolek bawah perut dan dada tadi!

Melihat betapa perwira tinggi besar itu kini diam seperti arca dalam keadaan kaku, semua orang terkejut! Para ahli maklum bahwa perwira itu telah menjadi korban totokan jalan darah yang amat hebat. Dan perwira itu tertotok dalam waktu baru dua tiga jurus saja! Sungguh sukar dipercaya ini, karena semua orang tahu bahwa Ma Ciangkun adalah seorang perwira tinggi, kepala pasukan keamanan Kanton yang tentu saja memiliki ilmu silat tinggi!

Kui Eng juga sadar bahwa ia tadi terlalu menurutkan hati yang marah karena sikap ceriwis dan kurang ajar dari komandan itu, maka kini melihat betapa perwira itu kaku oleh totokannya, iapun sadar bahwa tidak baik membikin malu perwira tinggi yang menjadi sahabat Ayahnya ini. Maka iapun cepat menggerakkan kedua tangannya membebaskan totokan itu. “Ma-Ciangkun, maafkan aku...!” katanya lirih.

Ma Cek Lung dapat bergerak kembali. Mukanya menjadi merah sekali dan dia menjadi marah bukan main. Dia, kepala pasukan keamanan Kanton, yang biasanya ditakuti orang, kini dihina oleh seorang gadis muda di depan begitu banyak orang bahkan di depan para pembesar. Dia memang mata keranjang, akan tetapi kini dia dikuasai kemarahan yang memuncak sehingga dia lupa segala.

“Singgg...!” Perwira ini sudah mencabut pedangnya dan mengancam dengan mengamangkan pedangnya di atas kepala. “Bocah sombong, berani kau menghinaku?”

Dan tanpa banyak cakap lagi perwira yang marah ini sudah menyerang Kui Eng dengan pedangnya. Hebat sekali serangan itu dan semua orang terbelalak karena merasa khawatir dan tegang, sama sekali tidak mengira bahwa pi-bu persahabatan itu berobah menjadi kemarahan sang perwira yang kini menggunakan pedang menyerang dengan sungguh-sungguh.

Ciu Wan-gwe sendiri memandang dengan muka pucat, tidak tahu harus berbuat apa menghadapi peristiwa itu dan tentu saja dia khawatir sekali akan keselamatan puterinya. Pedang itu menyambar dahsyat ke arah leher Kui Eng. Agaknya, di dalam kemarahannya karena merasa terhina, Ma-Ciangkun hendak memancung leher Kui Eng! Akan tetapi, pedang itu hanya mengenai angin saja karena dengan cepat sekali Kui Eng telah mengelak dengan langkah ke belakang.

“Ciangkun, ingatlah...!” Ia berkata, kaget dan juga penasaran melihat betapa perwira itu kini menyerang dengan senjata pedang, dengan sungguh-sungguh lagi, bukan sekedar pi-bu persahabatan lagi.

Akan tetapi, luputnya serangan pertama ini seperti minyak disiramkan pada api, membuat kemarahan Ma Cek Lung makin berkobar. Pedangnya mengeluarkan suara berdesing ketika diputarnya dan dia sudah menyerang kalang kabut. Pedangnya berobah menjadi sinar bergulung-gulung dan menyambar-nyambar ke arah tubuh Kui Eng.

Gadis ini terus mengelak, dengan kecepatan yang luar biasa dan sekali lagi ia mengingatkan Ma Cek Lung. “Ma-Ciangkun, hentikan seranganmu atau terpaksa aku membalas!”

Dalam keadaan marah seperti itu, tentu saja Ma Cek Lung tidak mau menghentikan serangannya sebelum berhasil. Pedangnya menyambar semakin ganas seolah-olah perwira itu menghadapi dan menyerang seorang musuh besar yang harus dibunuhnya! Menghadapi serangan seperti ini, Kui Eng yang mempunyai watak galak dan keras itu menjadi penasaran dan marah sekali.

“Kau kira aku takut padamu!” bentaknya dan tiba-tiba tubuhnya yang tadi hanya mengelak saja dengan loncatan-loncatan lincah, kini menerjang ke depan.

“Plak...! Tranggg...!”

Pedang itu terlempar ke atas papan panggung dan tubuh perwira itupun terpelanting dengan keras. Semua orang ternganga dan terbelalak memandang ke atas panggung. Sekali ini, tidak ada seorangpun berani bertepuk tangan atas kemenangan Kui Eng, walaupun mereka terkejut, kaget dan juga kagum bukan main.

Kini tidak ada yang menyangsikan lagi akan kehebatan ilmu kepandaian Ciu Kui Eng. Ma Cek Lung tidak terluka parah karena Kui Eng yang masih ingat bahwa ia berhadapan dengan seorang komandan, hanya menotok pergelangan tangan yang memegang pedang sehingga pedang itu terlepas, kemudian sebuah tendangan ke arah lutut kaki membuat perwira itu terpelanting.

Akan tetapi karena pantatnya terbanting keras ke atas papan, rasa nyeri membuat dia meringis ketika bangkit dan mengambil pedangnya. Dia mengeluarkan suara makian yang diguman saja, matanya mendelik ke arah Kui Eng. Kemudian dia bangkit berdiri dan memandang ke arah Ciu Wan-gwe dengan mata melotot.

Hartawan ini cepat lari naik ke panggung dan menjura kepada perwira itu. “Ciangkun, harap maafkan kelancangan anakku...” Suaranya penuh permohonan.

Akan tetapi Ma Cek Lung hanya mendelik, kemudian tiba-tiba membalikkan tubuhnya dan meloncat turun dari atas panggung, kemudian dengan langkah lebar tanpa pamit dia keluar dari situ untuk meninggalkan rumah keluarga Ciu dan langsung keluar.

Wang-taijin yang tadi sudah merasa tidak suka karena kepala pengawalnya terluka, apa lagi ketika mendengar bahwa tulang pundak pengawalnya itu patah-patah, melihat perginya Ma Cek Lung, dia juga bangun berdiri dan pergi dari situ tanpa pamit! Ciu Wan-gwe cepat menghampiri dan memberi hormat, mencoba untuk menahan sang pembesar.

Akan tetapi Wang-taijin hanya mendengus, kemudian pergi dan langsung kembali ke Kanton. Para tamu juga merasa tidak enak dan seorang demi seorang lalu berpamit meninggalkan tempat itu walaupun hidangan belum sempat disuguhkan semua. Hanya tinggal Lai-taijin yang masih berada di situ karena ditahan-tahan oleh Ciu Wangwe.

“Harap taijin sudi memaafkan kami dan tolonglah keluarga kami dari kemarahan Wang-taijin dan Ma-Ciangkun. Saya tidak akan melupakan budi kebaikan taijin.” Berkali-kali Ciu Lok Tai memohon kepada wakil kepala daerah Kanton itu yang mengangguk-angguk sambil tersenyum-senyum, apa lagi ketika hartawan itu menyerahkan sebuah kantong terisi potongan-potongan emas

“Ah, tak perlu sungkan-sungkan, saudara Ciu,” katanya meringis malu-malu kucing. “Akan kuusahakan agar kemarahan mereka mereda. Mereka tadi tentu hanya dikuasai oleh perasaan marah saja. Jangan khawatir. Biar aku pulang dulu dan eh... anu... persediaanku tinggal sedikit...”

Ciu Lok Tai tersenyum lega. “Ah, jangan khawatir, taijin, akan saya kirim besok. Akan saya pilihkan yang murni dan paling baik.”

“Terima kasih, terima kasih...” sambil tersenyum ramah pembesar itu lalu meninggalkan rumah keluarga Ciu dengan keretanya yang sudah menanti di luar.

Ciu Lok Tai lalu memanggil Gan Ki Bin dan Lok Hun, dua orang tamu bekas jagoan-jagoannya yang masih berada di situ. Dua orang ini juga merasa khawatir sekali dan segera mengikuti Ciu Wan-gwe bersama puterinya yang masuk ke dalam ruangan belakang. Setelah tiba di situ, Ciu Wan-gwe menegur puterinya.

“Semua ini gara-gara engkau, Kui Eng. Kenapa engkau tidak dapat menahan diri dan sampai melukai pengawal Wang-taijin, bahkan membikin malu Ma-Ciangkun yang menjadi sahabat baikku? Mereka adalah orang-orang yang berkedudukan tinggi di Kanton! Engkau mencari perkara saja!”

Kui Eng mengerutkan alisnya, tidak senang disalahkan oleh Ayahnya. “Ayah, apakah aku harus membiarkan saja orang menghinaku dan kurang ajar kepadaku? Jangankan baru para pembesar Kanton, biar dia dari istana sekalipun, kalau kurang ajar tentu akan kuhajar dia!”

“Ssttt, tahan tuh mulutmu!” Ayahnya membentak, akan tetapi tidak melayani anaknya yang sudah pergi meninggalkan ruangan itu dengan marah. Dia tahu akan kekerasan hati puterinya dan melihat betapa lihainya anak itu sekarang, diapun tidak mau membikin ribut. Bagaimanapun juga, setelah Tee-tok pergi, dia harus mengandalkan kepandaian puterinya itu untuk keselamatan dirinya dan keluarganya.

“Harap kalian suka bermalam di sini, dan besok tolong kirimkan candu yang pilihan kepada Lai-taijin. Hatiku masih tegang dan khawatir, harap kalian temani aku malam ini.”

* * *

Pada sore hari itu, seorang pemuda memasuki sebuah rumah makan di kota Tung-kang. Pemuda ini berpakaian sederhana sekali, membawa sebuah buntalan pakaian, tubuhnya sedang tegap, dadanya bidang dan wajahnya yang tampan membayangkan kesabaran dan kebijaksanaan. Pakaiannya seperti pakaian seorang petani.

Akan tetapi melihat gerak-geriknya, dia seperti bukan petani dusun dan cara dia menerima sambutan pelayan dan duduk di kursinya menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang sopan. Pemuda ini memang bukan orang sembarangan walaupun nampak sederhana sekali karena dia adalah Tan Ci Kong!

Baru saja Ci Kong memasuki kota Tung-kang, tempat kelahirannya dan begitu memasuki pintu gerbang kota itu, hatinya dicekam rasa haru. Dia langsung mengunjungi makam Ayahnya. Akan tetapi dia tidak menangis ketika bersembahyang di depan kuburan Ayahnya yang sederhana. Juga dia tidak berjanji apa-apa karena bimbingan yang bijaksana dari manusia sakti Siauw-bin-hud membuat batin Ci Kong bersih dari pada benci dan dendam.

Dia tahu bahwa Ayahnya tewas dalam tahanan karena berani menentang pemerintah, dan dia masih ingat betapa Ayahnya disiksa oleh seorang perwira gendut di rumah hartawan Ciu di kota Tung-kang. Akan tetapi dia tidak menaruh hati dendam. Berulang kali Siauw-bin-hud memberi wejangan kepadanya, meyakinkan hatinya bahwa dendam dan benci adalah penyakit yang meracuni badan dan batin sendiri.

Sebagai seorang pendekar tentu saja dia boleh bertindak mempergunakan kepandaiannya untuk menentang yang jahat dan membela yang benar, akan tetapi semua tindakan itu sama sekali salah kalau dilandasi kebencian dan dendam. Setelah duduk bersila sampai berjam-jam lamanya di depan kuburan Ayahnya, dan tahu-tahu siang telah berganti senja, diapun meninggalkan makam itu dan karena perutnya terasa lapar, dia lalu memasuki sebuah rumah makan di ujung jalan.

Tidak ada seorangpun di kota itu yang mengenalnya. Dia dahulu baru berusia tujuh tahun ketika pergi meninggalkan kota itu, dan kini dia telah berusia hampir duapuluh tahun. Tentu saja tidak ada yang tahu bahwa pemuda sederhana ini adalah putera tunggal Tan Siucai atau Tan Seng yang namanya dikenal oleh seluruh penduduk Tung-kang.

Bahkan terkenal pula sampai ke Kan-ton sebagai seorang sasterawan miskin yang gagah berani dan patriotik. Terutama sekali kau m patriot dan orang-orang gagah, amat menghormati nama Tan Siucai itu. Restoran itu tidak begitu ramai. Ketika Ci Kong masuk dan duduk di sudut, di situ hanya ada empat orang yang sedang makan minum di meja tengah.

Akan tetapi ketika mereka menyebut-nyebut nama Ciu Wan-gwe mengingatkan dia akan hartawan yang pernah memukuli Ayahnya bersama seorang perwira gendut, dan nama Ciu Wan-gwe memang dikenal di seluruh penduduk Tung-kang, termasuk dia sendiri. Sambil diam-diam makan pesanan nasi dan sayur, tanpa menoleh, Ci Kong memasang telinga mendengarkan.

“Luar biasa sekali puteri Ciu Wan-gwe itu. Betapa mudahnya ia mengalahkan pria-pria yang lihai itu!”

“Benar, ia memang cantik jelita, lihai dan kaya raya. Akan tetapi aku berani tanggung ia tidak akan mudah memperoleh jodohnya.”

“Eh, kenapa kau bilang begitu, A-kao?”

“Byangkan saja. Siapa berani sembarangan melamar anak orang yang paling kaya di Tung-kang? Pula, kepandaiannya demikian hebat, salah-salah yang menjadi suaminya bisa dibunuhnya!”

Terdengar empat orang itu tertawa lirih. “Dan Ayahnya tentu tidak mengijinkan ia menikah.”

“Lho! Kenapa begitu?”

“Masa kau tidak tahu, A-piu! Ayahnya masih gila perempuan, tentu memikirkan diri sendiri, mana mau memikirkan jodoh anaknya?”

“Kabarnya banyak korban gadis-gadis dan istri-istri muda di tangan Ciu Wan-gwe,” terdengar suara lirih akan tetapi masih dapat ditangkap oleh telinga Ci Kong. “Bhkan Enci adik Phoa yang menjadi kembang di kampung belakang pasar itupun kini menjadi miliknya.”

“Memang benar, baru beberapa hari yang lalu. Habis, Ayahnya menjadi setan candu sih, maka anak-anaknya ditukar dengan candu.”

“Menjijikkan benar! Kaki tangan Ciu Wan-gwe itu selalu mengincar keluarga yang ada wanita-wanita cantiknya, lalu kepala keluarga dilolohi candu sampai menjadi ketagihan dan kalau sudah begitu, anak atau bininya sendiri akan dijual untuk memperoleh candu.”

“Bnyak orang bunuh diri setelah dipaksa melayani hartawan itu, yang oleh suaminya ditukar dengan candu.”

“Ssttt, sudahlah. Untuk apa membicarakan hal itu? Kalau terdengar anaknya, hiiiih, sekali tangan yang kecil mungil itu bergerak, nyawa kita akan melayang!”

Mendengar percakapan ini, timbul kemarahan dalam hati Ci Kong. Kiranya hartawan Ciu itu masih saja mengedarkan candu yan dulu amat ditentang Ayahnya. Dan di sepanjang perjalanan bersama susiok-couwnya, diapun mendengar betapa candu makin mencengkeram kehidupan rakyat jelata. Ayahnya juga tewas akibat menentang candu yang merusak rakyat. Diam-diam dia mengepal tinju. Aku harus memperingatkan Ciu Wan-gwe itu, pikirnya.

Bukan untuk membalas dendam Ayahnya. Sama sekali tidak. Hanya untuk memperingatkan hartawan itu agar jangan mengedarkan candu di antara rakyat jelata, dan membuka mata hartawan itu betapa buruk akibatnya bagi rakyat. Kalau hartawan itu tidak mengindahkan peringatannya, baru dia akan turun tangan menghajarnya agar jera dan menurut.

Akan tetapi, Ci Kong tidak mau bertindak sembrono. Sebelum melaksanakan niatnya, malam itu dia melakukan penyelidikan, bertanya-tanya pada penduduk diperkampungan. Dan apa yang didengarnya dari keterangan orang-orang kampung bahkan melampaui apa yang didengarnya di restoran itu.

Ciu Wan-gwe memang menjadi semacam raja kecil di Tung-kang, mengandalkan hartanya, mengandalkan jagoan-jagoan dan tukang pukulnya, dan mengandalkan pengaruhnya terhadap semua pembesar setempat, bahkan para pembesar di kanton. Hampir semua penduduk membencinya, tentu saja kecuali mereka yang memperoleh keuntungan dari hartawan ini.

Dan makin sedih hati Ci Kong mendengar dan melihat kenyataan bahwa sebagian besar penduduk Tung-kang telah tercengkeram candu! Dan tempat pemadatan tersebar di seluruh kota. Bahkan ketika dia berjalan-jalan, bau madat terbakar menyambut hidungnya di mana-mana, bau yang memuakkan sekali.

Banyak pula dilihatnya orang-orang yang kurus kering, dengan pandang mata sayu, dengan senyum aneh di bibir, berjalan seperti mayat hidup tanpa semangat. Mereka itulah pecandu-pecandu yang sudah berat keadaannya, karena racun candu sudah memenuhi tubuh sampai ke darahnya.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ci Kong sudah keluar dari rumah penginapan di mana dia bermalam. Buntalan pakaiannya dia tinggalkan di kamar penginapan itu dan dia lalu berjalan kaki menuju ke rumah gedung megah milik Ciu Wan-gwe. Pernah satu kali dia memasuki gedung itu, duabelas tahun yang lalu, ketika dia mohon ampun untuk Ayahnya yang disiksa di situ. Dia mengepal tinju dan menekan hatinya.

“Tidak, bukan untuk itu aku datang ke sana!” bantahnya sendiri. Ketika dia tiba di depan pintu gerbang gedung itu, ternyata pintu gerbang itu telah terbuka. Dengan tabah dia lalu masuk begitu saja karena tidak nampak ada orang. Dia akan berterus terang minta bertemu dengan Ciu Lok Tai dan langsung saja memberi peringatan kepada hartawan itu untuk menyadarkannya.

“Heii! Siapa kamu dan mau apa kamu masuk kesini?” Tiba-tiba terdengar teguran suara yang bengis.

Ci Kong mengangkat muka dan melihat dua orang laki-laki baru saja keluar dari dalam gedung. Seorang yang bertubuh tinggi besar, di pinggangnya tergantung sebatang pedang, sikapnya angkuh dan galak. Orang ke dua bertubuh gendut, menyeringai dengan penuh ejekan dan di pinggang orang ini tergantung sebatang payung sehingga nampak lucu sekali.

Mereka ini berusia kurang lebih lima puluh tiga tahun dan melihat pakaian mereka yang rapi, dengan topi batok hitam, mudah diduga bahwa mereka tentu orang-orang yang memiliki kedudukan. Yang gendut itu membawa sebuah peti kecil yang berukir indah, dan yang menegurnya adalah si tinggi besar yang galak.

Ci Kong tidak tahu bahwa dua orang ini adalah jagoan-jagoan yang pernah bekerja sebagai pengawal-pengawal Ciu Wan-gwe dan yang kini sudah menjadi pengawal di kota Kanton. Mereka adalah Gan Ki Bin, yang tinggi besar, dan Lok Hun, yaitu yang berperut gendut. Dengan sikap tenang Ci Kong menjura kepada dua orang itu dan menjawab dengan suara tenang pula,

“Maaf, karena tidak ada orang maka saya masuk ke dalam pintu gerbang. Saya datang untuk bertemu dengan Ciu Lok Tai, harap ji-wi suka membantu saya dan memberi tahu kepada Ciu Wan-gwe.”

“Kau datang mau pinjam uang?” tanya Lok Hun yang gendut perutnya. Pandang matanya menghina sekali.

Tentu saja Ci Kong merasa marah, akan tetapi dia tetap tenang. Sebagai murid Siauw-bin-hud, tidak mudah kemarahan menguasai batin pemuda ini. Dia menggeleng kepalanya tanpa menjawab.

“Kalau tidak mau hutang, apakah mengemis?” kini Gan Ki Bin yang membentak setelah mengamati pakaian pemuda itu. Seorang petani saja mau apa minta bertemu dengan Ciu Wangwe kalau bukan mau hutang atau mengemis?

Pertanyaan ini lebih menyakitkan hati lagi, akan tetapi sungguh luar biasa pemuda itu. Dia tetap tenang dan sama sekali tidak kelihatan marah. Akan tetapi, seperti juga tadi, dia menggeleng kepala.

“Bocah dusun! Kalau bukan hutang atau mengemis, habis mau apa orang macam engkau ini berani pagi-pagi datang mengganggu Ciu Wan-gwe? Agaknya engkau mempunyai niat busuk. Mau mencuri, ya?”

“Urusan saya tidak ada sankut pautnya dengan ji-wi. Harap tolong panggilkan Ciu Wangwe, biar saya bicara sendiri dengan dia.”

“Aku tidak sudi memanggilkan!” bentak Gan Ki Bin.

“Dan aku tidak memperbolehkan kau masuk!” bentak Lok Hun, keduanya siap untuk memukul pemuda dusun yang berani mengganggu sepagi itu. Mereka baru saja keluar dari dalam gedung Ciu Wan-gwe sambil membawa peti berisi candu murni untuk diserahkan kepada Lai-taijin, wakil kepala daerah Kanton. Karena pintu gerbang itu terbuka lebar-lebar, maka keributan yang terjadi itu menarik perhatian orang-orang yang lewat dan sebentar saja sudah banyak orang berdiri di luar pintu dan nonton keributan itu.

Di antara mereka terdapat seorang pemuda yang bertubuh tinggi besar dan berpakaian seperti seorang ahli silat. Pemuda ini berusia kurang lebih duapuluh tahun, tubuhnya tinggi besar, sepasang matanya mencorong penuh wibawa dan dia tersenyum-senyum melihat keributan yang terjadi di sebelah dalam pintu gerbang itu.

Pemuda itu bukan lain adalah Ong Siu Coan! Seperti kita ketahui, Ong Siu Coan diijinkan turun gunung oleh Thian-tok dan bersama sutenya, Gan Seng Bu, dia turun gunung dan melakukan perjalanan berpisah. Dia hendak mencari Koan Jit, suhengnya yang melarikan Giok-liong-kiam. Akan tetapi di sepanjang perjalanan, Ong Siu Coan mendengar tentang pemberontakan yang terjadi dimana-mana. Juga dia banyak mendengar tentang orang-orang kulit putih yang menyelundupkan candu dan meracuni rakyat dengan benda itu.

Sejak kecil dia terlahir di antara orang-orang yang berjiwa patriot, yang menentang pemerintah Mancu yang dianggap sebagai penjajah. Maka, melihat kelakuan orang-orang kulit putih itu, dia menjadi marah sekali. Apa lagi melihat betapa madat telah mendatangkan kesengsaraan yang amat hebat bagi rakyat jelata.

Dia yang sejak kecil bercita-cita menjadi patriot, merasa tidak senang dan terutama hal ini ditujukan kepada pemerintah Mancu yang dianggapnya bersekongkol dengan orang-orang kulit putih untuk meracuni dan merusak rakyat demi untuk keuntungan mereka sendiri.

Ketika dia tiba di kota Tung-kang, dia melakukan penyelidikan dan mendengar bahwa Ciu Wan-gwe menjadi orang terpenting dan terkaya, orang yang menjadi pedagang candu dan suka berhubungan dengan para pejabat dan orang-orang kulit putih. Dia menjadi tertarik dan ingin menyelidiki.

Kebetulan sekali, pada pagi hari itu dia melihat ribut-ribut ketika lewat didepan gedung Ciu Wan-gwe dan ketika dia menyelinap di antara rombongan orang yang berkerumun di luar pintu gerbang, dia melihat pula keributan yang terjadi di antara seorang pemuda gagah dengan dua orang yang agaknya merupakan petugas-petugas keamanan di gedung itu.

Maka dengan hati tertarik sekali dia mengikuti peristiwa keributan itu, di mana si pemuda gagah ingin bertemu dengan Ciu Wan-gwe dan disambut dengan ucapan-ucapan bernada menghina oleh dua orang petugas itu. Melihat peristiwa itu, segera timbul kecondongan di hati Siu Coan untuk membantu pemuda gagah itu.

Akan tetapi dia hanya nonton sambil tersenyum karena dia dapat menduga bahwa pemuda yang nampak tenang dan berani itu tentu bukan orang sembarangan. Bukan orang sembarangan kalau sudah berani menentang Ciu Wan-gwe yang amat ditakuti oleh penduduk kota itu. Maka diapun hanya menyelinap ke depan saja untuk dapat nonton lebih jelas.

Sementara itu, melihat sikap dua orang yang kasar dan menghinanya, Ci Kong mengerutkan alisnya akan tetapi dia tetap tenang dan sama sekali tidak memperlihatkan rasa tidak senangnya. “Bukankah ji-wi hanya merupakan orang-orangnya Ciu Wan-gwe saja? Kenapa ji-wi bersikap begini kasar? Aku ingin berjumpa dan bicara dengan Ciu Wan-gwe sendiri, tidak ada sangkut pautnya dengan ji-wi. Kalau ji-wi tak mau memanggilkan juga tidak mengapa, aku bisa masuk dan mencarinya sendiri.”

“Apa? kau berani memaksa masuk?” bentak Gan Ki Bin yang bertubuh tinggi besar. “Apa kau sudah kepingin mampus?”

“Hayaaaa, bocah petani busuk ini perlu apa dilayani?” Lok Hun menyeringai. “Pukul saja biar dia tahu rasa. Anjing kalau tidak cepat dipukul tentu akan menggonggong terus, pukul dia biar dia lari sambil mengempit buntutnya, ha-ha! Gan Ki Bin yang memang wataknya berangasan, mendengar kata-kata kawannya itu mengayun tangan kirinya yang besar dan berat, menampar ke arah muka Ci Kong sambil berkata, “Pergilah, kau menjemukan kami!”

Tamparan itu kuat sekali dan kalau mengenai pipi orang tentu akan membuat pipi itu bengkak, bahkan mungkin giginya akan rontok. Memang Gan Ki Bin ini memiliki tenaga yang besar, sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar, dan karena dia memiliki ilmu silat lumayan, maka gerakannya itu selain kuat, juga amat cepat.

“Wuuuttt...!” Akan tetapi pukulan itu lewat di samping muka Ci Kong karena pemuda ini dengan sedikit miringkan kepala saja sudah dapat mengelak. Karena tamparannya luput, Gan Ki Bin menjadi marah sekali. Dia tahu bahwa di luar pintu gerbang banyak orang nonton dan memang dia dan kawannya sengaja membiarkan orang-orang itu nonton agar mereka melihat betapa dia dan kawannya menghajar pemuda lancang ini. Akan tetapi, tamparannya luput dan hal ini dianggap memalukan dirinya.

“Bocah kampungan, berani engkau melawanku!” Bentaknya dengan berang.

Demikianlah watak orang yang mengandalkan kekuasaan untuk menekan yang bawah. Orang dupukul mengelak dianggap melawan. Maunya sih orang-orang macam Gan Ki Bin dan Lok Hun ini, kalau memukul orang lain supaya orang itu menerima saja, jangan sekali-kali mengelak atau membakang!

Karena tamparannya luput, Gan Ki Bin menjadi semakin marah dan kini tangan kanannya yang dikepal besar dan kuat itu menonjok! Jotosan yang amat keras meluncur ke arah dagu Ci Kong yang kalau tepat mengenai sasaran dapat membuat orang seketika roboh pingsan dengan tulang rahang retak atau patah-patah!

“Wuuuttt...!” Untuk kedua kalinya, pukulan itu luput karena dapat dielakkan dengan amat mudahnya oleh Ci Kong.

Hal ini membuat Gan Ki Bin menjadi semakin marah. “Hemm, engkau manusia yang tidak patut dikasihani lagi!” bentaknya dan majulah dia dengan berangnya, menghujankan serangan pukulan dan tendangan.

Mengalah ada batasnya, demikian pikiran Ci Kong dan melihat sebuah pukulan keras menuju ke arah dadanya, dia menyambutnya dengan sentilan jari telunjuk. “Tukk...!” Telunjuk itu menyentil ke arah kepalan tangan dan tiba-tiba orang tinggi besar itu memekik kesakitan.

“Aduh-duh-duhh...!” Dengan tangan kirinya dia memegang dan menggosok-gosok kepalan tangan kanan yang kena disentil jari telunjuk pemuda itu karena terasa nyeri bukan main, rasa nyeri yang menjalar melalui lengan itu dan seperti menusuk-nusuk jantung.

“Aku tidak ingin ribut dengan ji-wi, melainkan hendak bertemu dengan Ciu Wangwe.” Ci Kong masih mencoba mengendurkan mereka dengan kata-kata.

Akan tetapi kini Lok Hun yang gendut itupun sudah menjadi marah sekali melihat betapa kawannya tidak berhasil malah kesakitan dan melihat betapa wajah orang-orang yang berada di luar pintu gerbang berseri dan senyum-senyum bermunculan di antara mereka!

“Anjing ini tidak boleh diberi ampun!” Bentaknya dan tangan kanannya sudah melolos senjata payungnya yang aneh! Juga Gan Ki Bin sudah mencabut pedangnya! Kini dua orang itu menghadapi Ci Kong dengan senjata di tangan dan sikap mereka mengancam sekali!

Melihat betapa keributan itu kini memuncak dan dua orang yang mereka kenal amat galak dan kejam itu kini mencabut senjata, semua penonton merasa khawatir akan keselamatan pemuda itu. Hanya Siu Coan yang masih nonton sambil tersenyum karena dia mengenal orang pandai dan yakin bahwa biarpun bersenjata, dua orang galak itu tidak akan mampu manandingi pemuda tenang itu.

Yang menarik perhatian Siu Coan adalah peti kecil yang dikempit di tangan kiri si gendut. Dia dapat menduga bahwa peti kecil itu tentu berisi benda yang amat berharga dan timbul niatnya untuk memiliki peti kecil itu. Dia mulai sekarang harus mengumpulkan harta kekayaan karena dia maklum bahwa perjuangan yang dicita-citakannya melawan penjajah membutuhkan banyak tenaga pasukan dan untuk itu diperlukan sekali harta untuk pembiayaannya.

“Hemm, kalian mencari penyakit sendiri,” kata Ci Kong, kini maklum bahwa sikap lembut dan damai tidak mungkin dapat mempengaruhi dua orang galak ini. Diapun bersiap untuk menghajar dua orang ini agar jera, agar lain kali tidak lagi bersikap sewenang-wenang menghina orang lain.

Dua orang pengawal itu tadinya mengharapkan pemuda itu ketakutan agar mereka dapat menghinanya untuk menebus kekalahan tadi. Akan tetapi melihat sikap Ci Kong malah menantang, keduanya segera menggerakkan senjata dengan niat membunuh...!

Jilid selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.