Pedang Naga Kemala Jilid 12 karya Kho Ping - PERNAH dia menyelamatkan seorang gadis dari kematian, yaitu ketika dia menolong Ciu Kui Eng, akan tetapi gadis itupun segera menyerangnya mati-matian. Dan sekarang, dia mati-matian menolong gadis ini, hanya untuk menghadapi sikap yang aneh, bukan hanya memusuhinya, bahkan memaksa dia bersumpah segala dengan ancaman kalau dia menolak, dia akan diajak berkelahi sampai seorang di antara mereka mati.

Adakah yang lebih aneh dan gila dari pada ini? Sejenak dia menatap wajah itu, mempelajarinya dan seperti ingin menjenguk isi hati gadis yang berwajah manis ini. Akan tetapi segera pandang matanya melekat pada wajah itu, terutama kemanisan pada mulut yang dihias tahi lalat di pipi itu membuat dia sukar mengalihkan pandang matanya, membuat matanya terus memandang tanpa kedip.
“Heii! Kenapa kau tidak cepat bersumpah malah bengong memandang aku?” bentak Kiki dan Ci Kong terkejut. Wajahnya kembali menjadi kemerahan.
“Baiklah, baiklah...” Dia mengalah agar cepat selesai berurusan dengan gadis luar biasa ini. “Aku Tan Ci Kong...”
“Ah, jadi namamu Ci Kong dan kau she Tan?”
Ci Kong mengangguk dan mengulang sumpahnya. “Aku Tan Ci Kong, bersumpah demi nama suhu Nam San Losu...”
“Gurumu itu bernama Nam San Losu, apakah kedudukannya di tempat perguruanmu?”
Ci Kong mengerutkan alisnya melihat kecerewetan gadis itu, akan tetapi dia menjawab juga. “Suhu Nam San Losu seorang ketua kuil,” lalu dia melanjutkan dengan mengulang kembali sumpahnya, “Aku, Tan Ci Kong, bersumpah demi nama suhu Nam San Losu dan para suhu di Siauw-lim-pai...”
“Aih, jadi engkau murid Siauw-lim-pai? Pantas engkau lihai! Menurut kata Ayah, tokoh Siauw-lim-pai yang paling lihai pada saat ini adalah Siauw-bin-hud. Apamukah Siauw-bin-hud itu?”
Ci Kong menjadi jengkel, akan tetapi ditahannya pula. “Beliau adalah Kakek guruku.”
“Hanya Kakek guru? Jadi engkau hanya cucu muridnya? Ah, kalau begitu, untung engkau tadi tidak jadi berkelahi dengan aku.”
“Kenapa?”
“Kalau dilanjutkan, tentu engkau akan mati di tanganku. Menurut Ayah, kepandaian Siauw-bin-hud itu setingkat dengan Ayahku. Aku puteri Ayah, berarti muridnya, kepandaianku setingkat lebih rendah dari Ayah. Engkau hanya cucu murid Siauw-bin-hud, kepandaianmu tentu dua tingkat lebih rendah, jadi aku setingkat lebih tinggi daripada engkau. Maka, kalau kita berkelahi, engkau tentu akan mati. Eh, kenapa engkau belum juga bersumpah? Apa ingin berkelahi saja?” Agaknya mendengar bahwa pemuda itu hanya cucu murid Siauw-bin-hud, hati Kiki menjadi besar dan memandang rendah.
Ci Kong menjadi gemas bukan main. Ingin rasanya dia membanting topi kalau saja saat itu ada topi di atas kepalanya. “Nona, sampai setahun di sinipun aku tidak akan dapat bersumpah kalau engkau terus memotong-motong omonganku! Kalau memang engkau ingin aku bersumpah, tutup dulu mulutmu!”
Ci Kong sudah merasa menyesal karena kemarahannya membuat dia mengeluarkan kata-kata kasar, dan dia tidak akan heran kalau gadis itu menjadi marah-marah oleh kekerasannya. Akan tetapi kembali dia melongo saking herannya. Gadis itu sama sekali tidak marah oleh kekasarannya, bahkan tersenyum demikian manisnya.
Dia tidak tahu bahwa sejak kecil Kiki hidup di lingkungan yang kasar dan terbiasa oleh kekerasan, maka bahasa kasar yang dikeluarkan Ci Kong bahkan merupakan bahasa yang amat dikenalnya, sebaliknya sikap halus sopan malah membuat ia tak senang dan curiga.“Baik, baik, bersumpahlah, Tan Ci Kong, aku yang salah tadi.” kata Kiki sambil terkekeh. Dengan hati masih mendongkol, Gi Kong terpaksa mengulang kembali sumpahnya.
“Aku, Tan Ci Kong, bersumpah demi nama baik suhu Nam San Losu dan para suhu di Siauw-lim-pai...”
“Termasuk Siauw-bin-hud...!” Kiki memotong lagi dan Ci Kong mengangkat telunjuknya memperingatkan, tidak memperdulikan ucapan Kiki dan melanjutkan saja.
“Aku bersumpah bahwa tadi aku sama sekali tidak mempunyai niat buruk terhadap nona... eh, nona yang berdiri di depanku ini dan aku hanya bermaksud untuk meniupkan napas ke paru-parunya untuk menyelamatkan nyawanya!”
“Apa-apaan itu sumpah tanpa menyebut namaku? Masa hanya nona yang berdiri di depanku?” Kiki mencela.
“Habis aku belum tahu namamu, disuruh menyebut apa?”
“Namaku Kiki!”
“Hemm, nama apa itu?” Ci Kong mengerutkan alisnya, merasa dipermainkan lagi.
“Kau tidak percaya? Namaku Tang Ki dan semua orang memanggilku Kiki.”
“Ah, kau she Tang? Hemm, apakah ada hubunganmu barangkali dengan Tang Kok Bu yang berjuluk Hai-tok?”
Sepasang mata yang indah jeli itu terbelalak. “Ah, kau sudah mengenal nama Ayahku?”
“Ayahmu...?” Ci Kong benar-benar terkejut setengah mati. Dia berhadapan dengan puteri Hai-tok, seorang datuk iblis, seorang di antara Empat Racun Dunia yang amat jahat!
“Ya, kenapa kau kaget?”
“Pantas...!”
“Pantas apa? Jangan bicara seperti teka-teki. Hayo katakan, pantas bagaimana?” Kiki berdiri dengan kedua tangan bertolak pinggang, sikapnya menantang sekali. Bajunya robek sana sini, basah kuyup melekat pada kulit tubuhnya, dan karena ia berdiri menantang dan membusungkan dada seperti itu, tubuhnya nampak indah menggairahkan, tubuh seorang gadis dewasa yang bagaikan bunga sedang mulai mekar, penuh dengan lekuk lengkung yang indah, tubuh yang penuh dan mulai masak.
Ci Kong adalah seorang pemuda yang sejak kecil dididik kesopanan. Biarpun dia terpesona dan sejenak matanya melekat pada tubuh itu, namun dia cepat menundukkan pandang matanya. Namun, pandang mata yang sekilas itu cukup sudah untuk memancing senyum kemenangan pada bibir Kiki.
Sejak peristiwa yang amat mengerikan di perahu semalam, ia telah menjadi dewasa benar dan telah sadar sepenuhnya akan daya tarik pada tubuhnya, sadar bahwa kau m pria kagum kepada wajahnya, kepada tubuhnya. Tadi dalam kagetnya, ingin sekali Ci Kong mengatakan “Pantas engkau sejahat ini!” akan tetapi setelah dia secara tak disengaja mengagumi keindahan tubuh Kiki, ingin dia berkata,
“Pantas engkau begini cantik!” dan kini dia menahan semua keinginan itu dan berkata, “Pantas engkau demikian lihai.”
Menerima pujian ini, Kiki nampak senang. Ia seorang anak manja, maka pujian-pujian amat menyenangkan hatinya, apa lagi pujian itu keluar dari mulut pemuda yang baru dikenalnya dan yang ternyata amat menarik hatinya ini. Tanpa malu-malu kini Kiki memandangi tubuh Ci Kong, tubuh yang nampak tegap dan kuat, sebagian dada yang nampak karena bajunya terbuka dan robek di bagian pundak, juga karena pakaian itu basah kuyup, maka pakaian itu melekat pada kulit tubuh Ci Kong, membuat tubuhnya nampak jelas lekuk lekungnya.
Melihat betapa gadis itu memandanginya, Ci Kong terpaksa memandang juga tubuh gadis itu. Dia merasa tidak enak dipandangi seperti itu dan untuk mengalihkan perhatian, dia berkata, “Pakaianmu basah kuyup, engkau tentu kedinginan, nona.”
“Hemm, sama saja. Engkau juga!”
“Tapi aku tidak kehilangan sepatuku dan kau...” Ci Kong melihat ke arah sepasang kaki yang tidak bersepatu itu, kaki yang mungil, kecil dan putih kemerahan. Jantungnya tergetar dan kembali dia memaksa pandang matanya untuk lari dari kaki itu. Kiki meloncorkan kakinya bergantian.
“Sialan! Dan aku tidak punya sepatu lain, juga semua buntalan pakaianku lenyap. Gara-gara si keparat jahanam itu! Hemm, siapa dia? Tahukah engkau?”
Ci Kong menggeleng kepala. “Aku tidak tahu, nona.”
“Ci Kong, apa maksudmu dengan nona-nonaan? Kau bukan anak buah Ayahku. Kalau anak buah Ayahku harus menyebut Siocia, akan tetapi kau bukan, maka kau tidak boleh menyebut nona-nona segala membuat aku merasa canggung. Namaku Kiki, lupakah kau?”
Ci Kong gelagapan. Belum pernah selamanya dia berdekatan dengan wanita, dan sekali berdekatan, dia bertemu dengan seorang gadis yang begini aneh luar biasa! “Baiklah,... Ki... eh, Tang Ki... ehh...”
“Kiki!”
“Oya, Kiki.”
“Kau tidak mengenal orang itu? Bagaimana rupanya? Engkau tadi berkelahi dengan dia, tentu engkau tahu bagaimana rupa orang itu. Aku hendak mencarinya dan kalau dapat kutemukan, akan kurobek-robek mulutnya sampai hancur lebur, akan kucabut hidungnya dan kuberikan kepada burung gagak, kulumatkan kepalanya..., ku...”
“Aku tidak dapat melihat mukanya, non... eh, Kiki. Cuaca amat gelap,” potong Ci Kong yang merasa ngeri mendengar ancaman-ancaman sadis itu.
“Sayang sekali! Tapi tentu engkau dapat mengenal bagaimana bentuk tubuhnya, apa pakaiannya dan bagaimana ciri-cirinya!” Kembali Ci Kong menggeleng kepalanya.
“Aku tidak tahu. Terlalu gelap dan gerakannya terlalu cepat. Yang kuketahui hanya bahwa dia itu lihai sekali.”
Tiba-tiba gadis itu menghentakkan kakinya ke atas pasir. “Hayaaa, kiranya engkau ini orang bodoh sekali, Ci Kong!”
Ci Kong terkejut lagi, tidak mengerti mengapa gadis itu tiba-tiba memakinya bodoh. “Aku... bodoh...?”
“Ya, bodoh sekali. Engkau hanya bilang tidak tahu, tidak tahu, kau bodoh sekali dan aku paling benci sama orang bodoh!”
Ci Kong menghela napas panjang. “Apa boleh buat, memang aku bodoh. Akan tetapi kalau engkau merasa dingin dan perlu mengganti pakaianmu untuk sementara agar engkau dapat menjahit bagian yang robek dan dapat mencuci bersih lalu menjemurnya, aku masih mempunyai bekal pakaian untuk sementara kau pakai.” Berkata demikian, Ci Kong lalu mengambil buntalan pakaiannya yang disimpan tak jauh dari situ.
Wajah Kiki nampak berseri gembira. “Ah, bagus sekali, Ci Kong. Memang pakaianku ini perlu dicuci, dijemur dan dijahit. Wah, pakaianmu semua begini sederhana, seperti pakaian petani gunung. Pantasnya engkau dahulu menjadi Hwesio Siauw-lim-si saja,” kata Kiki sambil memilih-milih satu stel pakaian.
Ci Kong tersenyum. Dalam keadaan biasa seperti itu, harus diakuinya bahwa Kiki merupakan seorang gadis yang lincah jenaka dan gembira. “Memang aku nyaris menjadi Hwesio , Kiki. Nah, kau ganti pakaianmu, biar aku bersembunyi dulu.” Pemuda itu hendak melangkah pergi.
“Jangan pergi!” tiba-tiba Kiki membentak. “Kau kira aku dapat kau tipu? Nah, berdiri saja di situ, akan tetapi engkau harus membelakangi aku. Awas, jangan berbalik sebelum aku mengatakan selesai!”
Ci Kong tertegun, akan tetapi menahan senyum dan berdiri di tempatnya dan membalikkan punggung membelakangi gadis aneh itu. Kiki lalu menanggalkan semua pakaiannya yang basah kuyup, terus mengintai ke arah Ci Kong tanpa kedip, dan tergesa-gesa mengenakan pakaian Ci Kong yang sederhana itu. Tentu saja terlalu besar dan kedodoran, akan tetapi bagaimanapun juga pakaian itu menutupi seluruh tubuhnya dan ia merasa hangat oleh pakaian kering itu.
“Sudah selesai, kau boleh berbalik.”
Ci Kong berbalik dan sudah menahan diri agar tidak ketawa. Akan tetapi dia memang tidak perlu tertawa. Gadis itu dalam pakaian yang kebesaran tidak nampak menggelikan, bahkan nampak makin manis saja! “Kiki, kenapa tadi kau bilang bahwa aku hendak menipumu?” Ci Kong yang merasa penasaran menuntut keterangan.
“Semua laki-laki sama saja! Genit dan ceriwis! Pernah ada dua orang anak buah Ayah kuhajar sampai hampir mampus karena mereka itu mengintai ketika aku mandi. Laki-laki paling suka mengintai wanita mandi atau tukar pakaian, dan kau pun seorang laki-laki. Kau bilang mau pergi, siapa tahu engkau hanya sembunyi agar dapat mengintai aku selagi aku bertukar pakaian?”
Hampir saja Ci Kong marah oleh tuduhan ini kalau dia tidak ingat bahwa gadis ini memang berwatak aneh, kekanak-kanakan dan kolokan sekali. Maka dia hanya tersenyum. “Aku bukan laki-laki semacam itu, Kiki. Nah, sekarang aku yang mau berganti pakaian.” Tanpa berkata apa-apa lagi dia lalu pergi ke belakang batu-batu karang besar dan di sana dia berganti pakaian kering. Ketika dia kembali, Kiki nampak cemberut. “Eh, kau mengapa?” Ci Kong bertanya.
“Kau memang bodoh. Aku bisa mencuci dan menjemur pakaianku ini, akan tetapi bagaimana dapat menjahit yang robek?”
Ci Kong tersenyum. Disebut bodoh berkali-kali baginya kini tidak terasa seperti penghinaan, bahkan seperti kelakar saja, seperti kelakar sayang antara sahabat! “Mungkin aku bodoh, akan tetapi kalau engkau butuh jarum dan benang, inilah!”
Ci Kong mengeluarkan jarum yang sudah ada benangnya cukup panjang dan menyerahkan benda itu kepada Kiki. Dia memang selalu membawa bekal jarum dan benang dalam buntalan pakaiannya. Kiki menerima benda itu dan agaknya lupa bahwa ia sudah mengatakan bodoh kepada Ci Kong, kini ia asyik mencoba untuk menjahit bagian pakaiannya yang robek.
Akan tetapi Kiki adalah puteri tunggal Hai-tok Tang Kok Bu yang kaya raya. Sejak kecil ia dimanja dan dikelilingi pelayan-pelayan yang mengerjakan segala pekerjaan, mana ia pernah berkenalan dan menjamah jarum dan benang? Baru beberapa tusukan saja, tiba-tiba ia menjerit dan ibu jari tangan kirinya berdarah karena tertusuk jarum.
Diam-diam Ci Kong merasa geli, akan tetapi dia tidak berani mentertawakan, hanya mendekati dan berkata, “Biarkan aku yang menjahitkan bajumu yang robek itu, Kiki. Aku sudah biasa menjahit.”
Tanpa berkata apa-apa Kiki menyerahkan bajunya dan Ci Kong lalu mulai menjahit bagian yang terobek dengan rapinya. Kiki menghisap sedikit darah dari ibu jari yang tertusuk jarum tadi, kemudian nonton pemuda itu menjahit dengan pandang mata kagum. Akan tetapi ia hanya pandai mencela, tidak pandai memuji sama sekali. Setelah bajunya selesai dijahit, gadis itu lalu diajak oleh Ci Kong menuju ke sebuah sumber air yang berada di lereng bukit kecil dekat pantai untuk mencuci pakaiannya.
Sambil menanti pakaiannya kering, mereka duduk bercakap-cakap di bawah pohon sambil berteduh dari serangan panas matahari yang sudah naik tinggi. Kiki tidak menolak ketika Ci Kong menawarkan roti kering dan dendeng, dimakan sedikit-sedikit sambil didorong teh cair yang dibuat Ci Kong pagi tadi.
“Engkau tidak mungkin melanjutkan perjalanan dengan kaki telanjang, Kiki. Kau pakailah sepatuku. Lumayan untuk sementara dapat melindungi kakimu.”
“Sepatumu itu terlalu besar, mana bisa kupakai?”
“Mudah saja, dapat diganjal rumput kering. Nih, cobalah, kucarikan pengganjalnya.” Biarpun nampak lucu karena sepatu itu kebesaran, dapat juga dipakai oleh Kiki dan tak lama kemudian pakaiannya juga sudah kering. Kini ia berganti pakaian di belakang batu-batu karang seperti yang dilakukan Ci Kong tadi tanpa banyak rewel sehingga diam-diam hati Ci Kong merasa girang.
Setelah gadis itu muncul dari balik batu, memakai pakaiannya sendiri dan mengembalikan pakaian Ci Kong, gadis itu tersenyum gembira. Hanya sepatunya yang lucu, akan tetapi ia nampak cantik walaupun mukanya tidak dirias dan rambutnya masih awut-awutan. “Sekarang aku akan pergi,” katanya.
Diam-diam Ci Kong terkejut dan dia merasa heran bukan main mengapa hatinya terasa tiba-tiba kosong dan kesepian mendengar betapa gadis ini mau pergi meninggalkannya. Akan tetapi dia menekan perasaan ini dan mengangguk.
“Harap engkau berhati-hati di dalam perjalanan, Kiki. Banyak orang jahat berkeliaran.” Akan tetapi dia merasa menyesal mengeluarkan ucapan ini tanpa ingat bahwa yang diberi nasihat itu adalah puteri seorang datuk iblis, seorang tokoh kaum sesat!
Kiki terkekeh. “Aku sendiri puteri seorang datuk, masa takut terhadap orang jahat? Yang kutakuti adalah orang-orang yang pura-pura dan yang menyerangku dari dalam gelap.” Ia bergidik teringat penjahat di dalam perahu semalam.
“Kau hendak pergi ke manakah?” Ci Kong tak dapat menahan hatinya bertanya.
“Aku hendak merantau... eh, baru aku ingat. Engkau begini lihai, tentu engkau banyak mengenal tokoh kang-ouw, bukan? Ci Kong, apa engkau mengenal seorang bernama Koan Jit, murid pertama dari Thian-tok?”
Ci Kong terkejut, dan baru dia teringat bahwa gadis ini puteri Hai-tok, tentu saja mengenal Thian-tok dan murid-muridnya. Akan tetapi dia menekan perasaannya yang menegang dan menjawab, “Aku pernah mendengar namanya. Apakah engkau mengenal dia, Kiki? Dan mau apa engkau mencari dia? Kabarnya dia itu lihai dan berbahaya sekali.” Dan kini Ci Kong mendengar jawaban yang membuat dia kembali bengong.
“Aku cari dia karena dia telah melarikan pusaka Giok-liong-kiam. Ayah menyuruh aku mencarinya dan minta pusaka itu dari tangannya.”
“Kalau dia tidak menyerahkan?”
“Hemm, akan kujewer telinganya dan kuhajar dia sampai kapok dan kurampas pusaka itu.”
Hampir saja Ci Kong tertawa. Dia tidak percaya kalau Hai-tok yang menyuruh gadis ini pergi sendiri saja mencari Koan Jit. Seorang gadis yang masih begini mentah, yang seolah-olah seekor burung yang baru belajar terbang, tidak tahu tingginya langit dalamnya lautan luasnya bumi, disuruh mencari Koan Jit dan merampas Giok-liong-kiam? Akan tetapi tentu saja dia tidak mau mengejek.
“Kiki, hati-hatilah. Seluruh tokoh kang-ouw mencari-cari Koan Jit itu dan semua orang pandai siap memperebutkan pusaka Giok-liong-kiam. Engkau baru berjumpa dengan aku saja sudah berani membicarakan urusan pusaka itu. Kalau orang lain yang mendengarnya, engkau bisa celaka.”
“Aihhh, kau kira aku anak kecil? Kalau aku bicara terus terang denganmu, itu karena aku percaya padamu, tahu bahwa engkau seorang baik, apa lagi engkau murid Siauw-lim-pai walaupun murid tingkat rendahan saja. Sudahlah, katakan saja apakah kau tahu di mana dia berada?”
“Hek-eng-mo Koan Jit? Aku tidak tahu, Kiki, sungguh aku sendiri tidak tahu...” Ci Kong termenung karena dia sendiripun tidak pernah berhasil mencari tokoh itu. Dia sendiripun ingin dapat menemukan tokoh itu dan mencoba untuk merampas kembali pusaka Giok-liong-kiam untuk membersihkan nama Siauw-bin-hud.
“Sudahlah, mana kau tahu? Biar aku cari sendiri. Nah, selamat berpisah, Ci Kong, engkau baik sekali, lain waktu kita bertemu kembali,” kata Kiki dan gadis ini sudah membalikkan tubuhnya lalu berjalan pergi. Akan tetapi baru beberapa langkah, ia seperti teringat akan sesuatu dan berhenti, lalu berbalik.
“CI Kong, engkau sudah bersumpah. Jadi benar engkau tidak menciumku, melainkan hendak meniupkan napas ke dalam paru-paruku yang kau kira macet?”
Tentu saja Ci Kong terheran, akan tetapi dia mengangguk. “Benar.”
“Jadi engkau tidak ingin mencium aku, Ci Kong?”
Sepasang mata pemuda itu terbelalak. “Ah, Kiki..., itu... itu... tidak sopan namanya. Kita baru saja bertemu, mana aku berani melakukan perbuatan yang melanggar tata susila itu?”
Kiki tersenyum, akan tetapi sepasang matanya memandang penuh selidik dan Ci Kong merasa seolah-olah sinar mata gadis itu dapat menembus ke dalam ruang dadanya dan melongok, mengintai isi hatinya. “Andaikata kita sudah berkenalan lama, kita sudah menjadi sahabat, apakah engkau tidak ingin mencium aku, Ci Kong?”
Tentu saja pertanyaan ini seolah-olah sebatang pedang yang ditodongkan di depan hidung pemuda itu. Dan dia tidak mau menjawab, bahkan masih bengong saking kaget dan herannya. “Aku... aku... ah, aku tidak tahu...”
Gadis itu mengerutkan alisnya. Jawaban ini mengesalkan hatinya. Entah bagaimana, ia merasa bahwa andaikata Ci Kong menciumnya, seperti yang dilakukan penjahat dalam perahu, mencium dengan lembut bukan paksaan, agaknya... ia tidak akan menolak dan akan merasa senang sekali. Akan tetapi tentu saja, Ci Kong tidak tahu!
“Tentu saja engkau tidak tahu, memang kau bodoh! Sudah kuketahui itu sejak tadi.” Dan gadis itu lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi, hatinya kecewa dan mendongkol, kakinya agak terpincang-pincang karena sepatu yang diganjal itu sungguh tidak enak rasanya, sama tidak enaknya dengan perasaan hatinya.
Sejenak Ci Kong bengong mengikuti tubuh Kiki dengan pandang matanya, lalu dia menjatuhkan diri duduk di atas rumput, memegangi kepala dengan kedua tangan. “Memang aku bodoh...!” Dan ini bukan pura-pura. Dia merasa benar-benar bodoh dan tidak mengerti sama sekali akan sikap Kiki! Setelah gadis itu tidak nampak bayangannya lagi, Ci Kong membayangkan wajah Kiki dan juga wajah Kui Eng.
Ketika dia berjumpa dengan Kui Eng, diapun dibikin bingung dan tidak mengerti akan sikap gadis itu. Kini, bertemu dengan Kiki, dia menjadi semakin bingung. Betapa anehnya dan luar biasanya mahluk yang disebut wanita itu. Aneh, luar biasa, berbahaya, dan amat menarik hati!
Dulu diapun tertarik sekali kepada Kui Eng, dan sekarang dia lebih tertarik lagi kepada Kiki, dengan wataknya yang angin-anginan, kekanak-kanakan, keminter, dan... mengguncangkan kalbu itu. Ci Kong lalu menggeleng kepala dan menjambak rambut sendiri.
“Ihh, mengapa engkau menjadi begini mata keranjang, heh?” Dan dengan kekuatan batinnya, diguncangnya dua bayangan wajah gadis itu sehingga buyar dan tak lama kemudian diapun meninggalkan tempat itu dengan kaki telanjang!
Sesuai dengan petunjuk yang diterima suhunya, Lian Hong menyelidiki jejak Koan Jit di selatan, karena perjalanannya itu membawanya ke daerah Kanton, maka timbul keinginan hatinya untuk menjenguk makam Ayah ibunya di luar kota Tung-kang, di sebuah tanah kuburan umum untuk orang-orang dusun yang sederhana.
Kuburan ini memang berada di tempat sunyi di luar kota, di mana terdapat daerah perbukitan batu yang tandus dan banyak terdapat guha-guha di situ, disebut guha kelelawar karena di situ terdapat banyak kelelawar sehingga tempatnya menjadi kotor menyeramkan. Jarang ada orang suka mendatangi tempat ini, kecuali mereka yang mengunjungi kuburan nenek moyang pada waktu-waktu tertentu.
Perbukitan tandus itupun jarang didatangi orang karena tidak ada pohon, tidak ada kayu, yang ada hanya batu-batu besar. Daerah yang amat tandus dan mati. Dalam perjalanannya yang lalu ketika ia mencari jejak Koan Jit, ia pernah datang ke makam orang tuanya dan telah ditemukannya makam itu menurut petunjuk penduduk Tung-kang. Oleh karena itu, kini ia langsung saja pergi ke tanah kuburan itu walaupun hari telah menjelang senja.
Bahkan ia mengambil keputusan untuk bermalam di kuburan orang tuanya malam itu. Akan tetapi, baru saja ia tiba di luar pagar tanah kuburan, ia berhenti melangkah, bahkan cepat menyelinap di antara nisan-nisan yang di tembok tinggi itu, karena ia melihat ada seorang gadis sendirian sedang berlutut di depan makam Ayah ibunya!
Tentu saja ia merasa terkejut dan heran sekali. Setahunya, Ayah ibunya tidak mempunyai sanak keluarga kecuali dirinya. Siapakah gadis itu? Dan mengapa pula gadis itu memberi penghormatan kepada makam Ayah bundanya? Karena merasa curiga, Lian Hong segera menyelinap dan menyusup-nyusup mendekat sambil bersembunyi, lalu mengintai dan mendengarkan dengan penuh perhatian.
Gadis itu cantik sekali dan sebaya dengan ia sendiri. Wajahnya manis sekali dengan sepasang mata yang tajam dan jeli seperti bintang kejora. Akan tetapi melihat sikapnya Lian Hong dapat menduga bahwa agaknya gadis ini bukan seorang gadis yang lemah. Yang membuat ia keheranan adalah ketika ia mendengar kata-kata bisikan yang keluar dari mulut gadis itu.
“Ji-wi tentu tidak mengenal aku,” demikian gadis cantik itu berbisik, seolah-olah sedang bicara kepada Ayah bunda Lian Hong yang terus mengintai, “Akan tetapi aku tahu bahwa ji-wi adalah guru silat Siauw Teng dan isterinya yang dulu tinggal di Tung-kang dan yang tewas karena perbuatan jahat mendiang Ayahku Ciu Lok Tai. Ayah dan seluruh keluarganya telah binasa, oleh karena itu aku, Ciu Kui Eng, sebagai anak tunggalnya, sengaja mendatangi kuburan para korbannya untuk mintakan ampun bagi Ayah agar arwahnya tidak terlalu tersiksa di alam baka.”
Mendengar bisikan ini, hati Lian Hong merasa terharu. Ah, kiranya inilah puteri Ciu Lok Tai hartawan yang dulu menjadi penyebab kematian Ayah bundanya! Puterinya yang kabarnya memiliki kepandaian tinggi itu. Dan kini, puteri hartawan itu mintakan ampun untuk dosa-dosa mendiang Ayahnya kepada para korban Ayahnya. Melihat ini saja sudah mendatangkan perasaan suka dan kasihan dalam hati Lian Hong.
Tidak, ia tidak akan memusuhi gadis ini, biarpun tadinya memang ia mengandung maksud untuk menegur dan meminta pertanggungan jawab puteri keluarga Ciu atas dosa yang dilakukan Ciu Lok Tai terhadap orang tuanya. Gadis ini tidak tahu apa-apa dan ketika perbuatan keji Ayahnya berlangsung, tentu gadis ini masih kecil, sama dengan ia.
Gadis ini tidak tahu apa-apa dan tidak adillah kalau gadis ini harus mempertanggungjawabkan perbuatan jahat Ayahnya. Melihat kini Kui Eng minta ampun untuk Ayahnya di depan kuburan itu, terhapuslah sudah semua ganjalan hati Lian Hong.
Ia tidak lagi menganggap keluarga yang tinggal satu-satunya ini sebagai musuh dan musuhnya hanya tinggal dua nama lagi, yaitu Gan Ki Bin dan Lok Hun! Sudah timbul keinginan hatinya untuk keluar dari tempat persembunyiannya, untuk memperkenalkan diri dan mengikat persahabatan dengan gadis cantik itu ketika tiba-tiba ia tertarik melihat berkelebatnya bayangan orang di seberang.
Kemudian terdengar suara ketawa dan tahu-tahu telah meloncat seorang laki-laki di dekat Ciu Kui Eng yang juga terkejut dan gadis itu sudah meloncat bangun menghadapi laki-laki itu. Lian Hong tetap bersembunyi dan menonton dengan hati tegang. Melihat kemunculan laki-laki itu, Lian Hong dapat menduga bahwa laki-laki itu tentu seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.
Ia tadi hanya melihat bayangan saja berkelebat dan tahu-tahu laki-laki itu telah berada di dekat Kui Eng. Laki-laki itu bertubuh tinggi kurus, mukanya yang berkulit kehitaman itu jelas membayangkan kekejaman, matanya yang mencorong hijau itu dan senyumnya yang sinis membayangkan kelicikan. Kepalanya mengenakan sebuah topi batok dan rambutnya yang gemuk hitam dikuncir, keluar dari belakang topinya dan melilit lehernya.
Matanya yang mencorong seperti mata kucing atau mata burung hantu di waktu malam itu memandang ke arah Kui Eng dengan penuh kagum dan senyumnya makin menyeringai sadis. Melihat munculnya orang yang tak dikenalnya ini, yang memandangnya seperti itu dengan mulut menyeringai, Kui Eng menjadi marah.
“Bngsat dari manakah berani mengangguku!” bentaknya, siap untuk menyerang.
Akan tetapi laki-laki itu malah terkekeh, suara ketawanya seperti burung hantu dan hal ini tentu saja membuat Kui Eng merasa ngeri dan memandang tajam dan penuh keheranan, menduga-duga apakah yang dihadapinya ini bukan orang gila! Akan tetapi, tiba-tiba pria itu mengeluarkan suara gerengan yang menggetarkan tempat itu.
Lian Hong yang berada dalam tempat persembunyiannya, terkejut bukan main ketika merasa betapa jantungnya terguncang keras. Tahulah ia bahwa pria itu telah mempergunakan tenaga khikang dalam suaranya dan suara itu merupakan serangan yang ganas dan berbahaya sekali. Maka iapun cepat menahan napas mengerahkan sinkang untuk melindungi jantung dan telinganya.
Kui Eng juga terkejut bukan main karena ia merasa betapa jantungnya terguncang. Ia yang berdiri dekat pria itu dan yang menjadi sasaran serangan lengkingan itu, hampir saja roboh. Akan tetapi, sebagai murid Tee-tok yang sakti, tentu saja ia tahu apa yang harus dilakukannya menghadapi serangan tiba-tiba itu. Serangan suara itu datangnya terlalu mendadak sehingga ia kedahuluan atau kecurian, cepat ia mengerahkan sinkang dan memejamkan mata untuk beberapa detik.
Inilah yang mencelakakannya. Dan agaknya ini pula yang telah diperhitungkan dengan masak oleh pria yang nampaknya amat cerdik itu. Begitu Kui Eng memejamkan mata, pria itu sudah mengeluarkan sehelai saputangan merah yang sudah dipersiapkannya dan sekali mengebutkan saputangan di depan muka Kui Eng, ada bubuk merah yang baunya harum keras memasuki hidung gadis itu. Kui Eng terkejut, maklum apa artinya itu ketika hidungnya menyedot bau harum keras.
Ia mengeluarkan teriakan dan meloncat ke belakang, akan tetapi ia terhuyung karena mulai dipengaruhi bubuk racun pembius. Ia seorang gadis yang lihai dan kuat, maka racun bubuk itu tidak membuatnya roboh, hanya terhuyung dengan kepala pening. Dan agaknya inipun sudah diperhitungkan oleh pria itu, karena dengan langkahnya yang lebar dia telah mengejar dan menyerang dengan kedua tangannya yang besar.
Dua lengan yang panjang itu bagaikan ular-ular hitam meluncur. Andaikata ia tidak berada dalam keadaan pening, tentu Kui Eng tidak akan mudah dirobohkan. Akan tetapi gadis ini telah kecurian, telah menyedot bubuk racun pembius sehingga menghadapi serangan dua tangan itu, ia tidak mampu mempertahankan diri. Sebuah totokan pada pundaknya membuat ia terkulai lemas.
“Heh-heh-heh!” Pria itu lalu menyambar tubuh Kui Eng, dipanggulnya dan dibawanya lari pergi dari kuburan itu.
Lian Hong terkejut bukan main. Ia sendiripun tadi mengerahkan tenaga melindungi dirinya dari serangan suara maut itu. Dan melihat betapa Kui Eng ditawan, tentu saja timbul niat hatinya untuk membantu gadis itu. Akan tetapi ia teringat. Bagaimanapun juga, Kui Eng adalah puteri seorang yang amat kejam. Ia tidak mengenal Kui Eng dan belum tahu bagaimana watak gadis itu. Ia pun tidak mengenal pria itu dan tidak tahu apa yang telah terjadi di antara mereka.
Ia tidak tahu siapa yang bersalah di antara keduanya maka kini timbul perbuatan itu. Siapa tahu kalau-kalau Kui Eng yang telah melakukan kesalahan dan pria itu datang untuk menangkapnya atau membalas dendam? Ia harus berhati-hati dan tidak boleh sembrono dalam mencampuri urusan dua orang yang belum dikenalnya.
Maka iapun cepat membayangi tubuh pria yang melarikan Kui Eng. Orang itu, biarpun memanggul tubuh seorang gadis, dapat bergerak cepat bukan main, berloncatan di antara batu-batu yang besar seperti seekor kera saja. Akan tetapi Lian Hong juga seorang gadis yang memiliki ginkang yang tinggi sehingga tidak terlalu sukar baginya untuk membayangi terus. Tiba-tiba saja ia kehilangan orang yang dibayanginya. Lian Hong terkejut.
Cepat ia menghampiri tempat di mana bayangan tinggi kurus itu melenyapkan diri. Ia hanya melihat sekumpulan batu-batu yang besar. Sama sekali tidak ada tempat untuk menyembunyikan diri, akan tetapi tiba-tiba saja orang itu telah lenyap. Lian Hong merasa penasaran dan ia mencaricari, menjenguk ke belakang setiap batu besar. Namun orang itu bersama tubuh Kui Eng lenyap seperti pandai menghilang saja!
Lian Hong yang merasa penasaran dan khawatir akan keselamatan Kui Eng, tidak mau meninggalkan bukit itu, terus berkeliaran mencari-cari. Sampai lama ia mencari, sampai senja mulai membawa kegelapan menyelimuti bukit, tetap saja ia tidak berhasil menemukan pria yang melarikan Kui Eng. Ia mulai putus harapan dan mulai mengira bahwa tentu laki-laki itu memiliki jalan rahasia dan kini tentu sudah jauh meninggalkan tempat itu.
Ia mulai melihat-lihat ke sekeliling bawah bukit, berniat untuk meninggalkan tempat itu, kembali ke kuburan orang tuanya ketika tiba-tiba ia mendengar jerit suara wanita yang keluar dari dalam bukit, dari bawah tanah yang dipijaknya! Lian Hong meloncat dengan kaget. Bayangan itu tadi lenyap seperti ditelan bumi dan kini ada suara jeritan wanita dari bawah bumi. Ditelan bumi!
Ah, tentu saja! Kenapa ia begitu bodoh? Satu-satunya tempat di mana orang tadi melenyapkan diri, tentu di dalam bukit di bawah bumi, di bawah batu-batu itu. Tentu ada jalan rahasia ke situ. Terdorong oleh jeritan tadi yang ia duga tentu suara Kui Eng, Lian Hong mulai mencari-cari, mengguncang setiap potong batu, meraba-raba di dalam cuaca yang mulai gelap. Ia hampir putus asa karena batu-batu itu tidak ada yang menyembunyikan rahasia ketika tiba-tiba ada sinar mencorong dari celah-celah antara batu.
Ia merasa girang sekali dan cepat ia meloncat mendekati batu-batu itu. Tak salah lagi. Ada sinar terang menyorot keluar melalui celah-celah batu, sinar yang datangnya dari bawah! Dengan hati-hati iapun mempergunakan tangannya yang dialiri tenaga sinkang untuk menggeser batu besar dan ia berhasil!
Di balik batu besar itu terdapat sebuah lubang terowongan ke bawah tanah! Dengan hati-hati sekali Lian Hong lalu menuruni lubang itu dan ternyata terdapat tangga batu menuju ke bawah dan ia dapat merayap ke bawah dituntun oleh sinar terang yang menyorot dari bawah. Akhirnya, tangga batu itu membawanya ke sebuah ruangan yang garis tengahnya tidak kurang dari enam meter dan ketika ia mengintai, hampir saja ia mengeluarkan seruan keras karena kaget, ngeri dan marah.
Lian Hong mengintai dari balik pintu batu, dengan alis berkerut dan mata mencorong marah memandang ke dalam. Di tengah ruangan itu nampak Kui Eng berdiri dengan kedua lengan tergantung. Kedua pergelangan tangannya terikat ke atas dan tergantung, demikian pula kedua pergelangan kakinya. Dan pakaian gadis itu sudah robek-robek membuatnya hampir telanjang.
Bagian-bagian tubuh gadis itu nampak jelas di antara robekan-robekan yang membuat pakaian itu cabik-cabik dan hampir tanggal dari tubuhnya. Wajah gadis itu pucat sekali dan nampak titik-titik air mata membasahi mata dan kedua pipinya. Dan kini gadis itu memandang dengan mata terbelalak dan mulut menggigil ketika laki-laki tinggi kurus itu mengeluarkan seekor tikus yang dipegang pada ekornya sehingga tikus itu menggeliat-geliat ingin lepas.
Pria itu berdiri sambil bersandar dinding batu. Sepasang matanya makin mencorong mengerikan, seperti mata setan ketika tertimpa sinar obor yang bernyala di atasnya. Mulutnya tersenyum sinis penuh kekejaman. Lebih mengerikan lagi, seekor ular besar melingkar di lehernya, dan kepala ular itupun terjulur ke depan, lidahnya keluar masuk seolah-olah ular itupun menggoda Kui Eng, hendak menjilati atau mematuk.
“Heh-heh-heh, Ciu Kui Eng, engkau masih berkeras kepala? Menyerahlah dengan baik-baik, dan aku akan menjadikan engkau isteri atau sekutu yang akan hidup penuh dengan kesenangan dan kemuliaan. Mari kita bina bersama, kita kejar kedudukan yang tinggi di dunia ini. Aku murid Thian-tok dan engkau murid Tee-tok, bukankah kalau kita berjodoh sudah tepat sekali? Untuk apa engkau ingin merebut Giok-liong-kiam dariku? Engkau takkan menang. Bukankah lebih baik kalau kita menjaganya bersama? Marilah, sayang, marilah manis, aku cinta padamu.”
“Koan Jit, manusia iblis! Aku tidak sudi! Lebih baik bunuh saja aku. Aku tidak takut mati. Aku tidak sudi menjadi isterimu, aku tidak sudi kau sentuh!”
Pria itu ternyata adalah Koan Jit! Mendengar ini, berdebar rasa jantung dalam dada Lian Hong. Kenyataan-kenyataan yang amat mengejutkan hatinya. Kiranya pria ini adalah Koan Jit, orang yang selama ini dicarinya! Dan lebih mengejutkan lagi, kiranya Kui Eng adalah murid Tee-tok, seorang di antara Empat Racun Dunia! Akan tetapi iapun melihat sikap Kui Eng yang menolak ajakan keji dari Koan Jit.
“Heh-heh-heh, nona manis. Aku sudah menyentuhmu sejak tadi, heh-heh. Kalau aku mau, sejak tadi aku sudah dapat memilikimu secara paksa. Akan tetapi aku tidak senang memaksa. Aku tidak ingin membunuhmu. Engkau merupakan pembantu yang amat baik. Kalau aku memperkosamu, tentu engkau akan kubunuh kemudian. Tiada gunanya. Sayang memperkosa seorang lihai sepertimu. Kalau aku butuh wanita, dengan mudah sekarang juga aku akan dapat memilih di antara mereka di mana saja. Akan tetapi aku butuh pembantu, butuh sekutu dan isteri. Dan kau lah yang tepat menjadi orang itu.”
“Aku tidak sudi! Lebih baik mati!”
“Lihat ini!” Koan Jit mendekatkan tikus ke leher Kui Eng sehingga gadis itu mengeluarkan rintihan geli dan takut. “Kau boleh pilih. Kusiksa dengan tikus dan ular ini sampai engkau hidup tidak matipun tidak dan pikiranmu akan berobah, membuatmu menjadi gila lalu kau kubebaskan sebagai orang gila yang telanjang bulat? Ataukah kuperkosa engkau dengan cara yang paling keji sehingga akhirnya engkau pun akan menjadi gila?
"Atau kupergunakan obat racun perangsang sehingga akhirnya engkau pun akan menyerahkan dirimu dalam keadaan tidak sadar dan terus setiap hari kujejali obat perangsang yang akhirnya akan meracuni dirimu dan membuat engkau menjadi gila lelaki?
"Atau kuserahkan engkau kepada anak buahku, orang-orang buas dan kasar, agar engkau dikeroyok oleh puluhan orang dari mereka dan akhirnya mampus dalam keadaan yang amat terhina? Nah, kau pilih antara semua itu, ataukah engkau mau menyerahkan diri dengan suka rela kepadaku, menjadi isteri, sekutu dan pembantuku yang terhormat? Nah, pilihlah sebelum terlambat.”
Setelah berkata demikian, untuk menambah pengaruh ucapannya tadi, Koan Jit menggeser-geserkan tikus hidup itu di leher, dada dan perut Kui Eng. Tentu saja Kui Eng merasa jijik bukan main, jijik, geli dan ngeri sampai ia menggelinjang-gelinjang kegelian. Melihat gadis ini menggelinjang dan menggeliat, sepasang mata Koan Jit makin mencorong penuh nafsu yang mendidih. Tadi dia kurang berhasil ketika menggunakan ular.
Ternyata Kui Eng, yang sudah biasa dahulu dilatih oleh gurunya mempergunakan banyak ular, tidak takut dan tidak ngeri melihat ular. Akan tetapi begitu dia mempergunakan seekor tikus, gadis yang gagah perkasa dan tidak takut mati ini menggelinjang-gelinjang penuh kengerian.
“Heh-heh-heh, pilihlah, manis, heh-heh-heh!” Koan Jit girang sekali melihat usahanya memaksa Kui Eng hampir berhasil dan makin giat dia menggeser-geserkan tikus hidup itu ke bagian-bagian tubuh yang paling peka.
Sudah cukup bagi Lian Hong menonton semua itu. Ia kini yakin benar bahwa laki-laki tinggi kurus itu adalah Koan Jit, pencuri Giok-liong-kiam dari tangan Thian-tok dan orang yang selama ini dicari-carinya. Dan iapun sudah melihat betapa Kui Eng, walaupun puteri seorang hartawan jahat, walaupun murid Tee-tok, ternyata merupakan seorang gadis yang cukup baik.
Gadis itu telah menyadari kesalahan-kesalahan yang dilakukan Ayahnya dan telah memperlihatkan kebaikan hatinya dengan mintakan ampun untuk arwah Ayahnya di depan kuburan korban-korban Ayahnya. Dan kini, setelah tertawan oleh Koan Jit, gadis itu menolak semua bujuk rayu Koan Jit untuk membantunya, bahkan memilih mati dari pada dijamah oleh penjahat berwatak iblis itu.
Dua syarat ini cukup untuk menganggap Kui Eng seorang gadis yang baik dan patut diselamatkan dari ancaman yang lebih mengerikan dari pada maut bagi seorang gadis terhormat. Lian Hong bukan seorang gadis yang sembrono. Tidak, biarpun ia pendiam dan sederhana, namun ia seorang yang amat cerdik.
San-tok, gurunya yang pernah menjadi datuk iblis itu, telah mendidiknya dengan tekun, bukan hanya dalam ilmu-ilmu silat tinggi, akan tetapi juga telah memberi tahu tentang segala kecurangan dan akal busuk didunia persilatan kau m sesat. Ia sudah memperhitungkan masak-masak lebih dahulu sebelum bergerak.
Ia dapat melihat tadi cara Koan Jit merobohkan Kui Eng dan tahulah ia bahwa Koan Jit adalah seorang yang selain lihai ilmu silatnya, juga amat curang dan penuh muslihat. Oleh karena itu, kalau ia maju begitu saja menyerang Koan Jit dengan kekerasan, banyak sekali bahayanya dan mungkin saja ia tidak akan berhasil menolong Kui Eng, malah ia bisa tertawan pula. Dan ia harus berhasil menolong Kui Eng. Kalau gadis murid Tee-tok itu dapat ia bebaskan dari belenggu, maka mereka berdua tentu akan dapat mengalahkan Koan Jit.
Maka iapun cepat menyelinap meninggalkan tempat pengintaiannya. Tak lama kemudian, selagi Koan Jit terkekeh gembira dan Kui Eng menggeliat-geliat saking gelinya ketika tikus itu meronta-ronta di dadanya, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring sekali dari arah terowongan.
“Heii, tikus Koan Jit! Kalau memang gagah, jangan hanya mengganggu wanita, hayo keluar dan terima binasa!”
Tentu saja Koam Jit kaget dan marah mendengar suara pria yang berat ini, yang datangnya dari atas dan suaranya menerobos memasuki terowongan. Dimaki dan ditantang begitu, dia kehilangan nafsu berahinya yang berubah menjadi nafsu amarah.
Dengan geram dia membanting binatang tikus yang tadi dipergunakannya untuk menggoda Kui Eng ke atas lantai sehingga tubuh binatang itu hancur berantakan dan darahnya muncrat ke mana-mana, kemudian dia meloncat keluar dari ruangan itu menerobos jalan terowongan untuk menghadapi musuh yang berada di atas.
Tentu saja suara tadi keluar dari mulut Lian Hong yang merendahkan suaranya seperti suara pria dan dengan kekuatan khikang ia memindahkan suaranya sehingga seperti terdengar datang dari luar. Sebetulnya ia masih berada di terowongan itu, di luar ruangan di mana Koan Jit menyiksa Kui Eng dan ia bersembunyi di balik batu.
Pada saat Koan Jit berkelebat keluar, cepat sekali Lian Hong keluar dari tempat persembunyiannya, dengan beberapa loncatan saja ia sudah berada di dekat Kui Eng dan tanpa banyak cakap ia lalu menggunakan ujung gagang kipasnya menotok tiga jalan darah di punggung dan kedua pundak Kui Eng untuk membebaskan totokan yang membuat tubuh Kui Eng lemas. Kemudian, ia membantu Kui Eng melepaskan belenggu kaki tangannya, hal yang mudah saja dilakukan Kui Eng setelah ia terbebas dari totokan.
Dapat dibayangkan betapa girang dan lega rasa hati Kui Eng ketika mendapatkan pertolongan ini. Iapun memandang kagum kepada gadis cantik yang menolongnya, karena orang yang berani menolongnya berani menentang Koan Jit dan tidak sembarang orang berani menentang seorang penjahat lihai seperti Koan Jit.
“Terima kasih,” bisiknya. “Siapa engkau?”
Lian Hong tersenyum. “Nanti saja kita bicara. Sekarang mari kita keluar dan kita hajar tikus busuk tadi.”
Teringat akan Koan Jit, Kui Eng mengepal tinjunya. “Baik, mari kita bunuh jahanam Itu!”
Dua orang gadis perkasa itu berloncatan keluar dari ruangan itu. Di lubang masuk menuju terowongan, hampir mereka bertumbukan dengan Koan Jit yang hendak masuk lagi.
Tadi Koan Jit cepat keluar untuk mencari orang yang menantangnya, akan tetapi di luar sunyi saja, bahkan cuaca yang agak gelap karena malam sudah mulai tiba dan tidak nampak ada bayangan seorangpun manusia. Dia merasa heran, penasaran dan marah. Lalu dia teringat akan tawanannya yang ditinggalkan di dalam ruangan bawah tanah.
Timbul kekhawatirannya kalau-kalau tawanan itu akan ditolong orang yang tadi mengeluarkan suara, maka diapun cepat masuk lagi. Akan tetapi tiba-tiba ada dua bayangan orang berkelebat dari dalam dan seorang di antara mereka menyerangnya dengan tendangan berantai yang amat cepat dan dahsyat.
Bukan serangan itu yang mengejutkan karena Koan Jit mampu meloncat ke belakang dan keluar lagi dari lubang itu untuk menghindarkan diri, akan tetapi yang membuatnya bengong dan marah sekali adalah ketika mengenal orang yang menendangnya adalah gadis yang pakaiannya compang-camping setengah telanjang, bukan lain adalah tawanannya tadi, Ciu Kui Eng!
Dan kini Kui Eng sudah meloncat keluar, diikuti seorang gadis lain yang memiliki sepasang mata yang lebar, indah dan sinar matanya tajam sekali. Dengan hati penuh kegeraman dia dapat menduga bahwa tentu gadis bermata lebar ini yang telah membebaskan Kui Eng.
“Keparat, siapa kau berani menantangku!” bentaknya.
Akan tetapi Kui Eng yang sudah tidak dapat menahan lagi kemarahan hatinya, tanpa banyak cakap lagi tidak memberi kesempatan kepada Koan Jit untuk bicara, Ia sudah menyambar sepotong kayu yang terletak di atas tanah dan dengan tongkat ini iapun lalu menyerang dengan ilmu yang paling diandalkan oleh Tee-tok gurunya, yaitu Cui-beng Hek-pang (Tongkat Hitam Pengejar Nyawa)!
Dan Lian Hong memang juga tidak ingin banyak bicara dengan Koan Jit, maka iapun cepat membantu Kui Eng dengan serangan senjata kipasnya. Dengan gerakan aneh gagang kipasnya menyambar-nyambar dahsyat menghujankan totokan-totokan maut ke arah jalan darah di tubuh bagian depan lawan.
Menghadapi serangan dua orang gadis itu, Koan Jit terkejut bukan main. Melihat betapa tongkat di tangan Kui Eng itu hanya sebatang cabang pohon akan tetapi dapat berubah menjadi senjata yang luar biasa ampuh dan berbahayanya, dia tidak merasa heran karena maklum betapa lihainya guru gadis itu.
Akan tetapi melihat betapa kipas di tangan gadis bermata lebar itu tidak kalah hebatnya dari tongkat Kui Eng, ia benar-benar terkejut dan terpaksa dia mengerdahkan seluruh kecepatan gerakannya untuk menghindarkan diri dari cengkeraman maut. Dia mengelak dan berloncatan ke sana-sini, sedikitpun tidak mempunyai kesempatan untuk balas menyerang. Demikian hebatnya dua orang gadis itu menyerang!
Koan Jit mengenal lawan tangguh. Memang ada rasa penasaran di dalam hatinya bahwa dia kehilangan Kui Eng yang sudah berada dalam cengkeramannya, dan merasa penasaran pula dia bahwa dia tidak mampu mengalahkan dua orang gadis muda. Akan tetapi karena dia tahu bahwa kalau dia terlalu lama menghadapi dua orang gadis ini, mungkin saja dia akan celaka di tangan mereka, maka diapun mengeluarkan suara gerengan yang menggetarkan itu.
Akan tetapi sekali ini, Kui Eng dan Lian Hong sudah siap. Mereka tahu bahwa lawan ini memiliki ilmu semacam gerengan harimau yang berbahaya, maka merekapun cepat mengerahkan sinkang untuk melindungi diri masing-masing sehingga tidak sampai didahului daya serangan suara itu. Sambil melindungi diri dengan pengerahan sinkang, tongkat dan kipas di tangan dua orang gadis itu masih terus menyambar-nyambar dahsyat menghujankan totokan dan pukulan maut ke arah tubuh Koan Jit.
Koan Jit mengeluarkan saputangan merahnya. Akan tetapi juga untuk menghadapi itu, Lian Hong dan Kui Eng sudah siap siaga. Maka ketika Koan Jit mengebutkan saputangannya, dua orang gadis itu sudah menahan napas dan kini tongkat di tangan Kui Eng menyambar ke arah saputangan itu pada saat kipas Lian Hong menotok pinggang.
“Brettt...!” Sapu tangan merah itupun terobek oleh ujung tongkat! Koan Jit mengeluarkan seruan kaget dan sekali meloncat dia telah pergi jauh dan tanpa menoleh atau merasa malu-malu lagi, Koan Jit yang merasa betapa dua orang gadis itu merupakan lawan yang terlalu berat, dan selain itu juga dia khawatir kalau-kalau Tee-tok, guru Kui Eng muncul, segera melarikan diri.
“Jahanam busuk, hendak lari ke mana kau ?” Kui Eng membentak dan mengejar, diikuti Lian Hong.
Akan tetapi Koan Jit memang memiliki ginkang yang luar biasa. Tubuhnya berkelebat cepat dan walaupun dua orang gadis itupun memiliki ginkang yang hebat pula, namun tidak mampu menyusul Koan Jit yang menghilang di antara pohon-pohon yang gelap. Apa lagi Koan Jit mengenakan pakaian serba hitam, maka sukarlah untuk mengejarnya setelah dia masuk hutan.
Dua orang gadis itupun maklum betapa berbahayanya mengejar seorang licik macam Koan Jit itu di dalam gelap, apa lagi pakaian orang itu hitam. Terpaksa mereka menghentikan pengejaran mereka di luar hutan. Baru sekarang dua orang gadis itu memperoleh kesempatan untuk saling berkenalan dan bicara. Mereka berdiri saling pandang.
Keduanya sebaya dan memiliki bentuk tubuh yang hampir sama. Keduanya memang cantik dan manis, akan tetapi memiliki daya tarik yang berbeda. Lian Hong adalah seorang gadis yang amat sederhana, baik pakaiannya maupun gerak geriknya, dan daya tariknya yang paling kuat terletak pada sepasang matanya yang lebar.
Mukanya berbentuk bundar dan kulitnya halus putih dengan sepasang alisnya yang hitam nampak menyolok di wajah yang putih itu. Sedangkan Kui Eng berwajah bulat telur, sepasang matanya tajam dan mengandung keangkuhan, dan agaknya daya tarik yang paling kuat terletak pada mulutnya yang amat manis itu, manis menggairahkan.
“Adik yang manis, engkau telah menyelamatkan aku dari cengkeraman bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut. Aku berterima kasih sekali,” kata Kui Eng.
“Sudahlah, Enci. Wanita manapun melihat kekejian Koan Jit itu terhadap dirimu, tentu akan berusaha untuk menolongmu. Jahanam itu memang pantas dilenyapkan dari permukaan bumi.”
“Siapakah namamu?”
“Aku bernama Lian Hong.”
“Adik Hong, namaku Ciu Kui Eng. Mudah-mudahan di lain kesempatan aku akan dapat membalas budimu...”
“Sudahlah, Enci Kui Eng. Sudah kukatakan tadi, hal itu tidak perlu dibicarakan lagi. Maaf, sekarang aku harus pergi. Sampai jumpa lagi.”
“Eh, nanti dulu, adik Hong!” Kui Eng menahan dan memegang lengan Lian Hong yang tentu saja tidak jadi meloncat pergi. “Engkau hendak kemana?”
“Aku... aku mau mengunjungi makam orang tuaku.”
“Eh? Malam-malam begini mengunjungi makam?” Kui Eng bertanya heran.
Lian Hong mengangguk, lalu melanjutkan lirih, “Aku malah mau bermalam di sana. Nah, selamat tinggal, Enci Kui Eng.” Dan kini iapun meloncat pergi dengan cepat sebelum Kui Eng sempat mencegahnya.
Sejenak Kui Eng termangu, kemudian iapun cepat berkelebat melakukan pengejaran. Hatinya masih belum puas. Ia ingin mengenal gadis penolongnya itu lebih dekat lagi, mengetahui segala hal tentang gadis itu, murid siapa dan bagaimana tadi dapat menolongnya dan datang pada saat yang demikian tepatnya. Bahkan ia ingin sekali menguji kepandaiannya sendiri dengan gadis itu, menguji secara persahabatan untuk menambah pengalaman dan pengetahuan.
Lian Hong tiba di depan makam Ayah ibunya. Bulan sepotong sudah mulai memuntahkan sinarnya yang lembut sehingga cuaca malam itu remang-remang kuning kehijauan dan romantis. Gadis itu lalu berlutut di depan makam, memberi hormat di dalam batin. Sampai lama ia berlutut tanpa bergerak sampai ia mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Ia waspada dan cepat menengok, tubuhnya siap menghadapi segala kemungkinan. Kiranya Kui Eng yang berdiri di belakangnya.
Sepasang mata Kui Eng terbelalak dan mukanya yang tertimpa sinar bulan itu nampak pucat. “Ini... ini bukan orang tuamu...? Kau... kau puteri mendiang guru silat Siauw Teng dari Tung-kang?”
Lian Hong menarik napas panjang. Sebetulnya ia tidak menghendaki Kui Eng mengenalnya, akan tetapi apa boleh buat. Ia tidak mengira bahwa gadis itu akan membayanginya dan menyusul ke situ. “Benar, ini kuburan Ayah ibuku.”
“Tapi... tapi... kau tahu mengapa mereka tewas?”
“Aku tahu. Mendiang Ayahmu yang menyebabkan mereka tewas, dan Ayah tewas di tangan Gan Ki Bin dan Lok Hun.”
“Ahhh... engkau tahu bahwa pembunuh orang tuamu adalah Ayahku... dan engkau telah menolongku, menyelamatkan aku. Aih, adik Hong... aku... aku sungguh menyesal sekali atas perbuatan Ayah terhadap orang tuamu...”
“Aku tahu, Enci Kui Eng. Aku melihatmu tadi ketika engkau memintakan ampun kepada orang tuaku atas perbuatan Ayahmu, sampai kau ditawan Koan Jit.”
“Ahhh... dan engkau pergi membayangi kemudian menyelamatkan aku? Padahal Ayahku dahulu menghancurkan dan membinasakan keluarga Ayahmu? Betapa mulia hatimu, adik Lian Hong.”
“Sudahlah, Enci Eng, hal itu tidak perlu dibicarakan lagi,” kembali Lian Hong mencegah. Ia tidak senang kalau dipuji-puji.
Akan tetapi, Kui Eng kini malah duduk di dekatnya, di depan makam. “Bgaimana tidak akan dibicarakan? Engkau begini baik. Orang tuamu dahulu juga orang gagah. Tidak seperti aku. Biarpun kami hidup kaya raya, akan tetapi Ayah telah melakukan banyak hal yang buruk. Dan sekarang kami sekeluarga tertumpas habis. Aku kehilangan Ayah ibuku, bahkan kehilangan segala milik keluargaku. Aku juga menjadi seorang yang tidak mempunyai apa-apa lagi. Engkau masih mempunyai nama baik, nama terhormat. Sebaliknya aku mempunyai apa lagi? Nama keluargaku busuk, dan aku bahkan menjadi murid seorang datuk sesat.”
“Aku tahu, engkau murid Tee-tok. Kudengar itu dari kata-kata Koan Jit tadi. Akan tetapi, gurumu agaknya tidak lebih buruk dari pada guruku, karena guruku juga seorang di antara Empat Racun Dunia.”
Hampir Kui Eng melompat. Dipegangnya pundak Lian Hong dan wajah yang tadinya sedih itu kini berseri. “Aih, engkau murid San-tok! Aku tahu. Ilmu silatmu dengan kipas tadi! Siapa lagi gurumu kalau bukan Si Racun Gunung? Pantas engkau begini gagah perkasa, adik Hong. Wah, kalau begini kita ini segolongan!”
Akan tetapi Lian Hong tidak segembira Kui Eng walaupun ia tersenyum melihat kegembiraan yang mengubah wajah Kui Eng yang tadinya berduka itu. “Golongan apakah maksudmu, Enci Kui Eng?”
“Golongan... eh, maksudku, bukankah guru-guru kita segolongan?”
“Golongan sesat? Golongan hitam? Golongan penjahat?”
“Ehh... ohhh... Bukan begitu, tapi... Yaah, perlukah kita menutupi kenyataan bahwa kita adalah murid-murid mereka lalu kita juga harus menjadi orang-orang sesat? Maukah engkau menjadi segolongan dengan orang-orang seperti Koan Jit tadi?”
“Tidak sudi!”
“Akan tetapi diapun murid seorang di antara Empat Racun Dunia. Dia murid pertama dari Thian-tok.”
“Akan tetapi aku tidak sudi menjadi segolongan dengan jahanam itu. Lain kali, kalau bertemu dengan dia, aku pasti akan mati-matian menyerangnya, dia atau aku yang akan mati!”
Lian Hong tersenyum dan dalam percakapan ini, ia merasa cocok dengan Kui Eng. Bagaimanapun, ia sudah membuktikan bahwa murid Tee-tok ini ternyata tidak menyukai pula kejahatan. Kebaikan pertama dari Kui Eng adalah ketika gadis itu memintakan ampun atas dosa Ayahnya kepada makam Ayah ibunya, dan kedua kalinya ia melihat sendiri betapa Kui Eng mati-matian mempertahankan kehormatannya, rela mati dari pada harus tunduk atas bujuk rayu Koan Jit. Dua hal ini saja sudah membuat ia merasa suka kepada Kui Eng.
“Enci Kui Eng, menurut pendengaranku ketika Koan Jit bicara kepadamu tadi, engkau hendak merampas pusaka Giok-liong-kiam darinya. Benarkah itu?”
Kui Eng mengerutkan alisnya. “Aku sendiri tidak ingin memiliki pusaka itu. Sejak kecil aku hidup dalam keluarga Ayah yang kaya raya sehingga aku tidak ingin lagi memperebutkan segala macam benda-benda berharga walaupun kini aku sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Akan tetapi, keluargaku sudah terbasmi, dan aku teringat akan pesan suhu tentang Giok-liong-kiam.
“Suhu yang menghanjurkan agar aku ikut memperebutkan pusaka itu karena siapa yang memiliki pusaka itu dapat dianggap sebagai orang yang paling lihai. Nah, karena itu akupun mulai melakukan penyelidikan dan mencari jejak Koan Jit. Siapa tahu, kiranya dia malah yang menawanku lebih dulu secara curang dan dia tahu bahwa akupun ingin merampas pusaka itu dari tangannya. Dan bagaimana denganmu, adik Hong? Sebagai murid San-tok, kiranya engkau pun tentu ada kepentingan dengan pusaka itu.”
Lian Hong menarik napas panjang. “Semua orang di dunia persilatan agaknya memperebutkan pusaka itu dan terus terang saja, guruku juga menghendakinya. Akupun sedang mencari jejak Koan Jit, dan sungguh tak kusangka akan dapat bertemu dengannya. Ketika dia menawanmu, aku ragu-ragu tidak tahu siapa dia dan apa urusan antara dia dan engkau maka dia menawanmu. Karena ragu-ragu inilah maka aku tidak turun tangan di sini, melainkan membayanginya. Baru setelah aku mendengar ucapannya bahwa dia adalah Koan Jit dan bahwa dia hendak memaksamu, aku lalu turun tangan.”
“Caramu menolongku cerdik bukan main, adik Hong. Tentu engkau yang mengeluarkan suara tantangan mirip suara pria itu, bukan?”
“Benar, aku melihat cara dia merobohkanmu dengan saputangan merah itu dan tahu bahwa dia berbahaya sekali. Maka aku lalu mempergunakan siasat memancing harimau keluar dari sarangnya. Begitu dia tertarik oleh suara tantanganku dan saking marahnya dia langsung keluar sehingga tidak melihat aku yang bersembunyi di luar ruangan bawah tanah itu, aku lalu membebaskanmu. Aku yakin, kalau kau bebas, kita berdua pasti akan mampu mengalahkannya.”
“Pasti! Sayang dia licik sekali, menggunakan pakaian hitamnya dan kegelapan malam untuk menghilang ke dalam hutan. Kalau tidak, tentu aku berhasil meremukkan kepalanya, akan kuinjak-injak kepalanya sampai hancur berantakan!” Kui Eng mengepal tinju dengan hati panas sekali, teringat kembali akan penghinaan Koan Jit terhadap dirinya.
“Engkau harus berhati-hati terhadap lawan seperti itu, Enci. Enci Kui Eng, bagaimana engkau tahu bahwa aku lebih muda darimu? Begitu bicara, engkau menyebut adik kepadaku. Siapa tahu aku lebih tua.”
“Aku dapat menduga bahwa engkau tentu lebih muda dariku. Berapa usiamu sekarang?”
“Aku sudah delapanbelas tahun.”
“Dan aku sudah sembilanbelas. kau lihat, bukankah aku yang lebih tua?”
“Enci Kui Eng, ada satu hal yang ingin kutanyakan kepadamu dan mudah-mudahan kau dapat membantuku dalam hal ini.”
“Ah, aku akan senang sekali kalau dapat membantumu, adik Hong. Tanyakanlah, apa yang ingin kau ketahui itu?”
“Alamat dua orang bekas pembantu Ayahmu. Gan Kin Bin dan Lok Hun.”
Wajah Kui Eng menyuram karena pertanyaan ini mengingatkan akan semua perbuatan Ayahnya yang jahat dan kotor. “Hemm, dua ekor anjing penjilat itu sudah lama tidak lagi membantu Ayah. Mereka kini tinggal di Kanton dan kabarnya menjadi pengawal pembesar di sana.”
“Terima kasih, besok aku akan mencari mereka di Kanton.”
“Aku ikut, aku akan membantumu menghadapi dua ekor anjing penjilat itu, adik Hong.”
Akan tetapi Lian Hong menggeleng kepala. “Ini adalah urusan pribadi, Enci, tidak usah engkau mencampuri.” Ketika Kui Eng hendak membantah, Lian Hong membuka buntalan pakaiannya.
“Sudahlah, kau pakai pakaian ini untuk mengganti pakaianmu yang sudah hancur itu.” Dan ia menyerahkan satu stel pakaian luar dalam kepada Kui Eng dan ia sendiri pergi mencari kayu dan daun untuk membuat api unggun karena selain malam agak dingin, juga ditempat itu terdapat banyak nyamuk.
Mereka duduk menghadapi api unggun, saling pandang di bawah sinar api unggun yang terang kemerahan. Melihat Kui Eng memakai pakaiannya, ada perasaan akrab dalam hati Lian Hong terhadap gadis itu, sebaliknya Kui Eng juga merasa akrab terhadap Lian Hong setelah mengenakan pakaian kawan baru itu. Mereka saling pandang sejenak, kemudian terdengar Lian Hong menarik napas panjang.
“Betapa anehnya hidup ini. Lihat diri kita berdua ini. Kita datang dari dua keluarga yang jauh berbeda...”
“Ya, aku dari keluarga kaya raya yang jahat, engkau dari keluarga miskin yang menjadi korban kejahatan keluargaku,” sambung Kui Eng dengan suara penuh sesal.
“Sudahlah, Enci Eng. Luka tidak perlu digosok dan digosok lagi sampai berdarah kembali. Maksudku bukan demikian. Kita datang dari keluarga yang jauh berlainan, akan tetapi lihat. Kita berdua kehilangan keluarga, kehilangan segala-galanya, dan kini duduk menghadapi api unggun dalam keadaan yang sama. Tidak mempunyai apa-apa. Tidak mempunyai masa depan yang cerah. Belum tahu harus kemana dan bagaimana macamnya jalan hidup kita yang terbentang di depan.”
“Ya... ya, kita berdua ini adalah korban-korban. Siapakah yang bersalah?”
“Siapa lagi kalau bukan candu? Ini kesalahan orang-orang kulit putih yang celaka itu! Merekalah yang memasukkan candu dan menyebar racun. Racun candu yang merusakkan rakyat pecandu secara lahir batin, racun korupsi di antara pejabat.”
“Kukira tidak demikian. Andaikata orang kulit putih tidak memasukkan candu, akhirnya para pecandu akan mencari sendiri dengan segala caranya. Yang salah adalah pemerintah, yang lemah dan para pembesarnya hanya mementingkan diri sendiri saja, sama sekali tidak memperdulikan keadaan rakyat.”
Kui Eng mengangguk-angguk. “Akupun sudah mengambil keputusan untuk membantu para pendekar yang hendak mengusir pemerintah penjajah Mancu!”
“Ssttt, ucapan itu kalau terdengar pemerintah sama saja dengan keputusan mati untuk kita. Akan tetapi akupun diam-diam menaruh rasa kagum terhadap mereka dan kalau terdapat kesempatan, akupun tentu akan membantu.”
Malam itu mereka bercakap-cakap secara akrab dan karena mereka khawatir kalau-kalau Koan Jit datang lagi, mereka tidak berani tidur berdua. Mereka berjaga dengan bergilir, akan tetapi malam itu tidak terjadi sesuatu. Agaknya Koan Jit merasa tidak ada harapan lagi untuk mengalahkan dua orang gadis perkasa itu. Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali, Lian Hong dan Kui Eng saling berpisah sebagai dua orang sahabat yang baik sekali.
Derap kaki dua ekor kuda besar yang berlari congklang itu, diseling suara ketawa seorang laki-laki dan wanita di atas kuda, memecah kesunyian lembah Sungai Mutiara itu. Mendengar suara ketawa tanpa melihat rupanya, orang hanya akan dapat membedakan antara suara pria dan wanita saja.
Suara ketawa tidak memisahkan manusia diseluruh dunia ini, seperti bahasa. Bangsa apapun juga memiliki suara ketawa yang sama. Seperti juga tangis. Tawa dan tangis merupakan suara suci yang keluar dari hati, suara aseli bawaan manusia, tidak seperti bahasa yang muncul sebagai hasil buatan manusia.
Setelah melihat orang-orang yang menunggang kuda itu, barulah kita tahu bahwa mereka itu adalah dua orang kulit putih. Seorang pria dan seorang wanita. Dari pakaian mereka, dari warna kulit dan rambut dan mata, kemudian dari suara percakapan mereka, mudah diketahui bahwa mereka adalah dua orang Inggeris. Memang suatu hal yang amat mengherankan melihat mereka berada di luar kota, begitu jauh dari kota.
Biasanya, orang-orang kulit putih hanya berani berkeliaran di dalam kota saja. Kalau mereka terpaksa memiliki urusan dan keperluan ke luar kota, mereka tentu pergi dengan pengawalan ketat. Akan tetapi dua orang ini menunggang kuda tanpa pengawal dan kelihatan mereka itu demikian gembira dan sama sekali tidak takut. Padahal, di waktu itu, banyak terdapat perkumpulan-perkumpulan ahli silat yang bersikap anti kulit putih.
Akan tetapi mereka berdua ini bukan orang-orang biasa. Perempuan kulit putih yang usianya sembilanbelas tahun itu adalah Diana, seorang keponakan terkasih dari Kapten Charles Elliot. Sebagai keponakan kapten yang mengepalai semua orang kulit putih di Kanton, yang dianggap sebagai anak sendiri, tentu saja Diana dihormati semua orang kulit putih. Dara ini pemberani, lincah jenaka, dan mengetahui banyak tentang pergolakan di tempat di mana ia bekerja sebagai sekretaris pamannya sendiri.
Diana sangat cantik jelita, dengan rambut kuning keemasan, ikal mayang dan lebat sekali, seolah-olah kepalanya dihias benang-benang sutera kemerahan dan bentuk tubuhnya amatlah indah. Apa lagi karena pakaiannya ketat, bentuk tubuh itu menonjol sekali. Gaunnya panjang sampai ke mata kaki, dengan lengan gaun sampai di bawah siku.
Wajahnya berbentuk bulat telur, dengan mata biru laut, bulu mata lentik panjang, alis yang agak kehitaman melengkung panjang, hidungnya mancung dan mulutnya selalu tersenyum dengan bibir yang selalu merah basah dan kadang-kadang nampak kilatan gigi putih seperti mutiara berjajar. Perhiasan yang menempel di tubuhnya hanyalah gelang emas di kedua tangan dan sepasang anting-anting. Kedua kakinya memakai sepatu panjang sampai ke bawah lutut.
Adapun pria yang menunggang kuda disampingnya, juga bukan orang sembarangan. Dia adalah seorang berpangkat letnan, namanya Peter Dull dan di kalangan pasukan Inggris yang berada di Kanton, Peter Dull ini terkenal sebagai seorang jagoan dalam perang. Seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun, masih bujangan, dan seorang ahli tinju, Ahli tembak dan terkenal tampan dan dikagumi semua wanita, baik yang sudah bersuami ataupun belum, di kalangan orang kulit putih di kota itu.
Letnan Peter Dull ini berwajah jagoan, dengan sepasang mata tajam, alis tebal, hidung mancung dan mulut yang seperti selalu tersenyum sinis. Dagunya terhias jenggot pendek terpelihara rapi. Rambutnya berwarna coklat, demikian pula jenggotnya. Dia memakai pakaian pasukan, dengan topi letnan, sepatunya juga tinggi sampai ke lutut, dan sehelai mantel merah yang lebar berkibar di belakang tubuhnya.
Di pinggangnya tergantung sebuah pistol yang membuat dia nampak keren dan gagah sekali. Di pinggang kiri tergantung sebatang pedang. Letnan Peter Dull ini selain mahir menggunakan pistol, juga merupakan seorang ahli pedang yang kenamaan di dalam pasukannya.
“Heii, Diana! Sudah, sampai di sini saja. Kita harus kembali!” Terdengar letnan itu berteriak.
Diana menoleh dan tertawa. “Hi-hi, engkau takut berjumpa dengan gerombolan?”
Seruan itu menyinggung harga diri letnan itu. “Aku? Takut? Aku mengkhawatirkan kamu, Diana!” katanya dan diapun membalapkan kudanya.
Mereka tertawa-tawa sambil membalapkan kuda dan akhirnya, di sebuah tikungan, mereka berpisah karena secara tiba-tiba Diana membelokkan kudanya ke kiri sedangkan kuda yang ditunggangi Peter Dull sudah mendahuluinya dan terus membalap ke depan. Letnan itu baru tahu kalau Diana membelokkan kudanya karena tidak lagi mendengar derap kaki kuda kawannya itu.
“Heiii! Diana, kau ke mana...?”
“Ha-ha, Peter. Sekarang engkau kalah. Kalau bisa, kejarlah aku!” terdengar teriakan Diana jauh di depan ketika Peter memutar kembali kudanya.
“Diana...!” teriaknya, akan tetapi Diana dan kudanya sudah lenyap tertutup debu dan ketika Peter mulai mengejar, gadis itu bahkan sudah jauh sekali dan tidak nampak lagi karena memasuki hutan kebat.
“Diana, tunggu...” Hati perwira itu mulai khawatir. Mengapa Diana mengambil jalan liar, memasuki hutan? Itu berbahaya sekali, dan ia mulai merasa menyesal mengapa tadi membiarkan saja gadis itu mengajaknya pergi sejauh ini.
Dia tergila-gila kepada Diana, bukan hanya karena gadis itu memang cantik jelita dan menggairahkan, akan tetapi terutama sekali karena Diana jinak-jinak merpati. Nampaknya mudah didekati dan mudah ditundukkan, akan tetapi setelah dekat tinggal mengulur tangan, gadis itu selalu menghindar dan menjauh!
Padahal, wanita mana saja kalau dia menghendaki, akan menyambutnya dengan hati dan kedua lengan terbuka, bahkan dengan pakaian terbuka. Dia terkenal sebagai seorang penakluk wanita yang tidak bandingnya. Akan tetapi, betapapun dia telah berusaha, dia tidak berhasil menaklukkan Diana. Apa lagi menaklukkan, mencium satu kalipun dia tidak pernah berhasil! Dan seorang keponakan Kapten Charles Elliot, tentu saja tidak boleh dibuat main-main dan sama sekali tidak mungkin didapatkan melalui kekerasan!
Pada pagi hari itu, seperti biasa Diana kelihatan begitu ramah dan baik, begitu akrab seolah-olah sudah siap untuk menerima cintanya. Karena itulah dia tidak membantah ketika Diana mengajaknya ke tempat sejauh itu, dengan harapan di tempat sunyi itu akhirnya Diana akan menyerahkan diri.
Setidaknya untuk dibelai dan diciuminya. Sudah terbayang dia tadi betapa akan nikmat dan senangnya kalau dia berhasil meraih gadis ini sebagai pacar barunya. Seorang gadis tulen, seorang perawan, ini dia yakin benar karena belum pernah Diana mempunyai seorang kawan pria yang akrab, seakrab dia.
Akan tetapi, kembali Diana memperlihatkan watak berandalnya. Secara tiba-tiba saja kudanya dibelokkan ke dalam hutan lebat dan hal ini amat berbahaya sekali. Akan tetapi, kegagahannya ditantang dan dia tentu saja bertanggung jawab atas keselamatan gadis itu. Celakanya, Diana adalah seorang gadis yang mahir sekali menunggang kuda, dan tadi ketika berangkat, dara itu sengaja meminjam kuda kesayangan pamannya sendiri.
Kuda hitam yang ditunggangi Diana dapat berlari cepat seperti setan, dan Diana juga seorang penunggang yang mahir, maka kini, setelah gadis itu membalap, dan sudah jauh lebih dulu meninggalkannya, Peter tidak dapat menyusul. Dapat dibayangkan betapa besar kegelisahan hati letnan yang gagah ini ketika dia tidak lagi melihat bayangan Diana dengan kudanya.
Apa lagi ketika dia kehilangan jejak kaki kuda yang ditunggangi Diana karena kini tanah tertutup batu-batu yang tidak meninggalkan bekas jejak kaki yang dapat dilihat begitu saja. Terpaksa dia harus meloncat turun dari atas kudanya dan meneliti dari dekat. Setelah bertemu jejak kaki kuda, baru dia melanjutkan pengejaran dan pencariannya. Tentu saja hal ini memakan waktu.
Ketika ia tiba di tempat terbuka, di mana terdapat batu-batu besar dan pohon-pohon raksasa, kembali dia bingung dan terpaksa meloncat turun dari kuda. Pada saat itu dia merasa seperti dipandang orang dan cepat dia bangkit memutar tubuhnya. Benar saja, tidak jauh dari tempat dia berdiri, di atas sebuah batu gunung, berdiri seorang laki-laki berpakaian serba hitam.
Laki-laki itu berusia empat puluh tahun lebih, pakaiannya serba hitam, badannya tinggi kurus dan mukanya juga agak kehitaman, dengan sepasang mata mencorong kehijauan seperti mata kucing. Kepalanya ditutup topi batok, dengan kuncir rambut yang tebal panjang berjuntai ke depan dadanya. Laki-laki ini memandang dengan senyum sinis penuh ejekan.
Melihat laki-laki ini, Letnan Peter Dull yang sudah pandai bicara dengan bahasa daerah, segera bertanya, “Hei, apa kamu melihat seorang nona menunggang kuda lewat di sini?
Semenjak kunjungannya pertama kali di negara yang penduduknya bukan kulit putih, orang kulit putih selalu memandang rendah kepada pribumi yang dianggap sebagai bangsa yang masih terbelakang, bodoh dan rendah derajatnya. Oleh karena itu, sikap seorang kulit putih terhadap kulit berwarna memang selalu angkuh dan tinggi hati. Apa lagi seorang perwira seperti Letnan Peter Dull ini, sikapnya terhadap pribumi memang congkak, terutama semenjak pecahnya Perang Madat.
Laki-laki yang nampaknya hanya seorang petani atau seorang penghuni gunung biasa itu, masih memandang dengan senyum sinis, dan mata yang mencorong hijau itu makin berkilat ketika mendengar pertanyaan itu. Akan tetapi akhirnya dia menjawab juga, menjawab dengan pertanyaan. “Kalau aku melihatnya bagaimana, kalau tidak bagaimana?”
Peter mengerutkan alisnya dengan marah. Jawaban seperti ini sungguh sama sekali tak pernah disangkanya. Orang ini terlalu kurang ajar, pikirnya. Akan tetapi karena dia membutuhkan keterangannya tentang diri Diana, dia menahan sabar dan maju menghampiri batu gunung itu, meninggalkan kudanya yang asyik makan rumput. “Kalau engkau melihatnya, katakan padaku ke arah mana ia pergi dan bagaimana keadaannya tadi. Kalau engkau tidak melihatnya, pergilah ke neraka!”
Tiba-tiba orang itu tertawa dan tubuhnya melompat turun dari atas batu itu, berdiri di depan Peter dalam jarak hanya dua meter saja. Sepasang matanya mencorong hijau dan dia menjawab dengan suara lantang, “Kalau aku melihatnya, aku tidak akan memberi tahu kepadamu, kalau aku tidak melihatnya, engkaulah yang pergi ke neraka!”
“Bngsat kurang ajar, kamu bosan hidup, ya?” Dan saking kesal dan marahnya, Peter lalu menerjang ke depan dengan kedua tangan terkepal. Sudah beberapa lama letnan ini menghimpun pribumi yang dianggap kuat, untuk bersekutu dengan pasukannya dan terhadap para pembantunya yang rata-rata ahli ilmu silat itupun dia bersikap tegas dan selalu dipatuhi.
Maka kini melihat sikap orang yang dipandang rendah begini angkuh terhadap dirinya, Peter kehilangan kesabaran. Begitu dia menerjang maju, kedua kepalannya sudah diayun dengan tenaga sepenuhnya, dari kiri kanan menyambar ke arah dagu dan dada orang berpakaian hitam itu. Pukulan kombinasi ini amat cepat dan biasanya, jarang ada lawan yang mampu menghindarkan diri. Kecepatan dan kekuatannya sudah terkenal sehingga di dalam pasukannya dia dijuluki “The Iron Fist” (Si Kepalan Besi)!
“Wuuutt... wuuuuttt...!” Peter terkejut. Pukulannya sama sekali tidak mengenai sasaran! Padahal, orang di depannya itu tidak meloncat terlalu jauh, hanya menggerakkan sedikit saja tubuhnya dan dua pukulannya yang diayun dari belakang kanan kiri itu mengenai tempat kosong! Akan tetapi dia menerjang terus, kedua kepalan tangannya menyambar-nyambar dengan berbagai bentuk serangan, dari samping, langsung dari depan, dari bawah menghantam dagu.
Sampai belasan kali pukulannya mengenai tempat kosong, dan ketika tangan kanannya mengirim sebuah pukulan langsung, orang berpakaian hitam itu menggerakkan lengan kirinya menangkis. Tangkisan pertama sejak Peter menghujankan pukulan tadi. Dengan tangan kiri yang dimiringkan, orang itu menangkis dan tepat mengenai pergelangan tangan kanan Peter.
“Dukkk...!” Peter terhuyung ke belakang dan dia harus menggigit bibirnya untuk menahan teriakannya. Lengan kanannya yang tertangkis itu tergetar hebat dan tulang lengan yang tertangkis tangan miring itu seperti ditangkis dengan linggis besi saja rasanya. Kiut-miut rasanya, nyeri bukan main, sampai menyusup ke tulang sumsum.
Dia merasa heran dan penasaran sekali. Semua pembantunya, orang-orang pribumi yang katanya pandai silat, sudah dicobanya. Memang di antara mereka ada yang cekatan, akan tetapi tidak begitu hebat dan belum pernah ada yang mampu menangkis pukulannya seperti orang ini, sekali tangkis membuat ia hampir menjerit kesakitan!
Dia tidak tahu bahwa orang-orang yang ditarik menjadi sekutunya itu hanyalah ahli-ahli silat kampungan saja yang menjual kepandaian yang tidak seberapa itu untuk mencari uang mudah. Dan dia tidak tahu sama sekali bahwa kini dia berhadapan dengan seorang ahli dalam arti kata yang paling dalam. Seorang ahli silat kelas satu!
“Keparat kamu!” bentaknya dan diapun menerjang lagi dengan mata mendelik.
Akan tetapi orang itu agaknya memang hendak mempermainkannya. Tubrukan dengan pukulan-pukulan ganda itu dielakkan secara tiba-tiba setelah kepalan tangan Peter hampir menyentuh dada. Hal ini membuat tubuh Peter terdorong ke depan dan tiba-tiba saja, belakang lutut Peter didorong ujung sepatu orang itu dan tak dapat dipertahankan lagi, tubuh Peter terdorong dan dia jatuh berlutut!
Baru sekarang Peter menduga bahwa orang ini tidak dapat dipersamakan dengan orang-orang yang telah menjadi sekutunya. Orang ini agaknya memiliki ilmu silat yang hebat. Pernah dia mendengar akan pendekar-pendekar yang katanya sedemikian tinggi ilmu silatnya sehingga seperti iblis saja, bahkan ada kabar desas-desus tentang adanya pendekar-pendekar yang mampu mengelak dari sambaran peluru pistol atau bedil.
Tentu saja dia tidak percaya dan menganggap semua itu kabar bohong dan nonsens belaka. Kini, melihat betapa serangan-serangan tangan kosongnya tidak mampu menandingi kegesitan lawan ini, tiba-tiba dia mencabut pedangnya! Dia melihat reaksi orang itu. Akan tetapi sungguh luar biasa. Orang itu tidak nampak takut, bahkan berdiri tegak dan bertolak pinggang, seolah-olah menanti datangnya serangan pedang dari Peter!
Peter berhati-hati. Diapun bukan orang bodoh. Sama sekali bukan. Peter seorang yang amat cerdik, dan kecerdikkannya itulah yang membuat dia mengumpulkan ahli-ahli silat untuk membantunya. Kini dia mulai tertarik. Dia akan menguji orang ini. Siapa tahu orang ini benar-benar pandai dan kalau ada orang yang dengan tangan kosong mampu mengalahkan dia dan pedangnya, orang itu berharga dan berguna sekali!
“Kamu berani melawan pedangku? Nah, terimalah ini!” bentaknya dan Peter mulai menyerang dengan pedangnya.
Gerakannya cepat sekali dan dia memegang pedang dengan tangan kanannya yang di julurkan ke depan sehingga pedang itu disambung lengan menjadi panjang. Tubuhnya membuat gerakan-gerakan cepat ke depan, tangan kiri diangkat tinggi di atas kepala untuk keseimbangan, dan pedang di tangannya itu mengeluarkan bunyi berdesing saking cepat dan kuatnya dia menggerakkan pedang itu.
Pedang membuat gerakan menusuk ke arah leher lawan berbaju hitam. Ketika orang itu mengelak sambil menggeser kaki sehingga tubuhnya miring dan pedang itu meluncur lewat. Tiba-tiba Peter menggerakkan pergelangan tangannya dan pedang itu menyambar dari samping dengan amat cepat, kini menyambar ke arah leher juga.
Akan tetapi, gerak cepat Peter masih kalah oleh kecepatan orang itu karena kembali bacokan ke arah leher itu luput! Demikian cepatnya orang itu bergerak sehingga Peter tidak tahu bagaimana cara orang itu mengelak, tahu-tahu orang itu sudah tidak lagi berada di tempat sasaran dan serangannya luput!
Tidak kurang dari duapuluh kali serangan dilakukan oleh Peter, namun semua serangan itu dapat dielakkan secara mudah saja oleh orang berpakaian hitam itu. Kemudian, ketika Peter melanjutkan serangannya, dengan kaget dan heran dia melihat betapa orang itu tidak mengelak lagi melainkan menangkis pedangnya dengan kedua tangan yang bergerak cepat.
“Tak-tak-tinggg...!” Bukan main kagetnya hati Peter, kedua tangan telanjang orang itu mampu menangkis pedangnya seperti sepasang tangan baja saja! Bukan saja tidak terluka sama sekali, bahkan ketika kedua tangan menangkis pedang, dia merasa lengannya tergetar hebat dan hampir saja pedangnya terpental lepas. Dia merasa semakin penasaran, akan tetapi juga kagum bukan main.
Jelas bahwa dalam hal pukulan tangan kosong, dia kalah jauh oleh orang ini dan sekarang, mungkinkah pedangnya dikalahkan oleh dua tangan kosong saja? Dia menyerang lagi dan tiba-tiba saja, entah dengan gerakan bagaimana, tahu-tahu pergelangan tangannya disentuh jari orang itu dan tanpa dapat dielakkannya lagi karena tiba-tiba tangan kanannya menjadi lumpuh, pedang itu telah berpindah tangan!
Orang berpakaian hitam itu mengeluarkan suara ketawa aneh, lalu kedua tangannya menekuk pedang itu! “Krekkk!” Pedang itu patah menjadi tiga potong lalu dibuang dengan sikap mengejek ke atas tanah. Melihat ini, wajah Peter berobah. Bukan main orang ini, pikirnya. Selain kagum, dia juga merasa marah dan terhina. Dengan cekatan, dia lalu lari ke arah kudanya dan sekali meloncat, dia telah berada di punggung kuda dan tangan kanannya sudah mencabut pistolnya.
Dia adalah seorang ahli tembak dari atas kuda. Dia merasa lebih yakin dan tenang kalau memainkan pistol dari atas kuda, dari pada di atas tanah. Kini dia mengambil keputusan untuk memilih satu antara dua. Membunuh orang ini karena berbahaya, atau mengujinya dan kalau mungkin menariknya menjadi pembantu. Akan tetapi, karena pedangnya dipatahkan, dia akan menguji sampai akhir, yaitu kini hendak mengujinya dengan menggunakan pistol.
Ingin dia melihat apakah orang ini benar-benar mampu menghindarkan diri dari bidikan pistolnya, seperti yang dikabarkan sebagai dongeng tentang para pendekar sakti. Dia mengangkat pistol, membidik ke arah orang itu, siap menembakkan pistolnya. Akan tetapi, begitu pistolnya meledak, orang itu lenyap. Yang nampak hanya bayangan hitam berkelebat cepat sekali dan tahu-tahu orang itu telah berdiri di atas sebuah batu besar!
Peter cepat memutar kudanya dan menembak ke arah orang diatas batu itu, akan tetapi kembali tembakannya luput karena orang itu sudah meloncat ke atas, seperti seekor burung saja cepatnya, dan telah turun kembali jauh di sebelah belakangnya! Peter terbelalak. Benar saja orang ini mampu mengelak dari serangan pistolnya. Sampai dua kali tembakannya, yang dibidikkan dengan cermat tadi, sama sekali tidak mengenai sasarannya.
Orang seperti ini amatlah berguna baginya, dan sayang kalau dibunuh. Lebih baik ditarik menjadi kawan dari pada menjadi lawan, dan kalau orang ini menolaknya, masih belum terlambat baginya untuk membunuhnya dengan peluru-peluru pistolnya yang masih siap di dalam senjata api itu.
“Tahan...!” Teriaknya dan dari atas kudanya dia menghadapi orang berpakaian serba hitam itu, pistolnya tidak lagi dibidikkan, melainkan dipegang dengan laras menunduk. Peter cepat memutar kudanya dan menembak ke arah orang di atas batu itu, akan tetapi kembali tembakannya luput karena orang itu sudah meloncat ke atas, seperti seekor burung saja cepatnya, dan telah turun kembali jauh di sebelah belakangnya! Orang berpakaian hitam itu tersenyum sinis,
“Hemm, hanya begitu saja lihainya senjata apimu?”
Ejekan ini tidak memarahkan Peter karena dia mempunyai tujuan lain dengan orang ini. “Nanti dulu, aku ingin berdamai dan bicara denganmu. Aku adalah Letnan Peter Dull, amat terkenal dalam pasukan kami. Siapakah namamu?”
Dengan suara dingin orang itu menjawab, “Namaku Koan Jit, akan tetapi orang lebih mengenalku dengan sebutan Hek-eng-mo!”
“Hek-eng-mo (Bayangan Iblis Hitam)? Sungguh sebutan yang hebat dan cocok sekali. Kami amat membutuhkan orang-orang seperti kamu ini, Koan Jit. Kalau kamu suka ikut dengan kami, suka membantu kami untuk menghadapi para perusuh dan penjahat, kamu akan diberi pangkat, memimpin para jagoan yang membantu kami, dan kamu akan diberi hadiah besar, tempat tinggal yang mewah, dan kamu akan menjadi kaya raya dan terpandang. Ketahuilah bahwa aku adalah seorang perwira dari pasukan yang telah mengalahkan pasukan-pasukan pemerintah, kami adalah pasukan pemenang, maka tidak keliru kalau seorang dengan kepandaian seperti kamu ini menjadi pembantu kami.”
Koan Jit mendengarkan ucapan ini dan menundukkan muka dengan alis berkerut. Otaknya bekerja dengan cepat dan cermat. Seperti kita ketahui, Koan Jit gagal membujuk atau memaksa Kui Eng menjadi sekutunya, bahkan dia hampir celaka karena dihadapi Kui Eng yang dibantu Lian Hong, dua orang gadis yang kalau bergabung menjadi satu dapat merupakan lawan yang amat berbahaya baginya.
Koan Jit bukan termasuk orang yang suka dengan orang kulit putih. Walaupun dia tidak berjiwa patriot, bahkan tidak perduli akan semua urusan pemerintah atau orang lain, yang dipikirkan hanyalah kepentingan dia sendiri saja....