Pedang Naga Kemala Jilid 13 karya Kho Ping Hoo - KINI dia menghadapi penawaran yang dianggapnya menarik dari seorang Letnan pasukan kulit putih. Dia mempertimbangkan untung ruginya. Tentu saja dia tidak begitu tertarik tentang harta karena kalau dia mau apa sukarnya mencari harta? Tinggal memasuki rumah orang-orang kaya dan mengambil sesuka hatinya!

Tidak, dia tidak tertarik oleh harta. Akan tetapi, kini setelah dia menjadi pemilik Giok-liong-kiam, semua orang kang-ouw mencarinya dan dia seolah-olah menjadi buruan orang-orang sakti di dunia kang-ouw. Hal ini amatlah berbahaya. Baru mengingat bahwa gurunya dan dua orang sutenya yang memiliki ilmu kepandaian tinggi pula itu tentu mencarinya, sudah membuat dia merasa jerih. Apa lagi diingat bahwa tiga orang dari Empat Racun Dunia, yaitu Tee-tok, San-tok dan Hai-tok bersama murid-murid merekapun mencarinya, dan mereka amat lihai.
Belum lagi orang-orang Siauw-lim-pai yang ingin mencuci bersih nama baik Siauw-bin-hud yang dicemarkan oleh perbuatan Thian-tok. Pendeknya, sebagai pemilik Giok-liong-kiam, hidupnya tidak aman lagi. Dan kini terbukalah kesempatan yang amat baik baginya untuk dapat hidup aman. Kalau dia menjadi pembantu pasukan kulit putih, tentu saja dia hidup aman, hidup terhormat dan menduduki pangkat dan yang terpenting baginya, untuk sementara selagi urusan Giok-liong-kiam masih sedang hangat-hangatnya, dia dapat berlindung pada kekuatan pasukan kulit putih yang menjadi sekutunya.
Koan Jit kini mengangkat mukanya memandang dan Peter merasa betapa tengkuknya menjadi dingin. Orang ini memiliki sinar mata yang mencorong seperti iblis, pikirnya. “Baik, aku suka menerima usulmu. Akan tetapi agar kau ketahui sebelumnya bahwa aku tidak suka menjadi anak buah yang hanya melakukan perintah, aku ingin menjadi pemimpin!”
Peter Dull tertawa. “Ha-ha-ha, aku mengerti maksudmu. Engkau ingin bebas dan mengepalai pasukan, bukankah demikian? Jangan khawatir. Engkau menjadi pembantuku yang utama, Koan Jit. Hanya aku yang akan memberi perintah kepadamu. Akan tetapi engkau akan kuangkat menjadi komandan pasukan yang terdiri dari jagoan-jagoan yang sudah berhasil kami kumpulkan. Jumlah mereka hampir seratus orang. Nah, engkau menjadi pemimpin mereka, menjadi komandan yang membantu tugas-tugasku menjaga keamanan. Bagaimana?”
Koan Jit mengangguk dan diam-diam Peter Dull merasa girang bukan main. Tak disangkanya dia menemukan seorang pembantu yang demikian lihai. Makin kuat sajalah kedudukannya, dengan seorang pembantu seperti Hek-eng-mo Koan Jit ini! Akan tetapi kegirangannya segera lenyap ketika ia teringat kembali kepada Diana. Begitu teringat, dia terkejut sekali dan wajahnya berobah agak pucat.
“Celaka! Di mana Diana...??” Dia memandang wajah Koan Jit. “Koan Jit, katakan di mana gadis itu?”
“Gadis yang mana?”
“Apakah engkau tidak melihat seorang gadis berambut pirang naik kuda membalap lewat sini?” Koan Jit menggeleng kepalanya.
“Aku baru saja datang dan melihatmu, tidak melihat adanya gadis menunggang kuda. Siapakah gadis itu?”
“Gadis itu adalah Diana, puteri komandanku, komandan kita! Hayo kau bantu aku mencarinya, Koan Jit!” Peter lalu membedal kudanya, dan kembali dia kagum bukan main melihat bayangan hitam berkelebat dan ternyata Koan Jit bukan hanya dapat mengimbangi kecepatan kudanya, bahkan dapat mendahuluinya!
Bahkan pembantu barunya itu memberi isyarat agar dia mengikutinya. Agaknya sambil berlari, Koan Jit dapat menemukan dan mengikuti jejak kaki kuda yang membawa Diana. Mereka memasuki sebuah hutan besar dan makin lama hutan itu semakin lebat sehingga diam-diam Peter merasa khawatir dan juga jerih. Bagaimanapun juga, dia belum yakin benar akan kesetiaan orang yang baru saja diangkat menjadi pembantunya itu.
Maka, diam-diam diapun selalu mempersiapkan pistolnya. Tiba-tiba Koan Jit memberi isyarat agar Peter berhenti. Dari depan terdengar bunyi derap kaki kuda. Hati Peter berdebar tegang dan girang, mengharapkan bahwa itulah kuda bersama Diana yang datang kembali. Tak lama kemudian muncullah kuda hitam besar itu tanpa Diana!
“Itu kudanya! Tapi di mana Diana...?” teriaknya penuh kegelisahan.
Koan Jit sudah menangkap kembali kuda itu yang terseret dan kuda itupun berhenti, terengah-engah dan mendengus-dengus seperti yang merasa ketakutan.
“Celaka..., tentu terjadi sesuatu dengan Diana!”Koan Jit mengerutkan alisnya dan mengamati kuda hitam itu. “Kuda ini ketakutan, dan biasanya kuda sebesar ini hanya takut kepada sebangsa harimau yang berkeliaran di tempat ini. Tentu ia ketakutan bertemu dengan seekor harimau kumbang.”
“Apa...? Dan Diana...? Celaka, ia tentu menjadi mangsa harimau kumbang!”
Koan Jit menggeleng kepalanya. “Apakah gadis itu pandai menunggang kuda?”
“Ia seorang ahli. Aku sendiri belum tentu menang.”
“Kalau begitu, ia tidak akan jatuh dari atas pelana kuda kalau kuda ini hanya ketakutan saja. Di atas punggung kuda tidak terdapat tanda-tanda bercak darah, jadi gadis itu tidak diterkam harimau ketika ia menunggang kuda ini. Mungkin kuda ini meronta dan bisa jadi gadis itu terjatuh dan ditinggalkan kuda yang ketakutan. Mari kita cari,” kata Koan Jit yang meloncat ke atas kuda hitam yang kini sudah dapat dijinakkan kembali.
Peter Dull merasa kagum dan girang. Kiranya pembantu ini memang orang yang selain lihai ilmu silatnya, juga cerdik sekali dan memang dapat berdikari, dapat bekerja sendiri tanpa menanti perintah. Buktinya, dalam hal mencari jejak Diana, orang ini segera telah mengambil alih pimpinan dan dia sendiri malah menjadi pengikut!
Mereka terus menyusup ke dalam hutan dan kembali Koan Jit berhenti, bahkan meloncat turun dari kudanya. Peter juga ikut meloncat turun dan menghampiri Koan Jit yang sudah berlutut di dekat seekor harimau kumbang besar yang sudah mati. Bangkai itu menggeletak dengan mulut, hidung dan telinga mengeluarkan darah dan agaknya belum lama sekali binatang itu mati karena darah itu belum kering benar.
“Aduh celaka! Agaknya benar ada harimau kumbang. Tentu Diana telah tewas diterkamnya!” Peter berseru dengan muka berubah pucat.
Akan tetapi kembali Koan Jit menggeleng kepalanya. Dia sudah melakukan penyelidikan dengan cermat, mengamati keadaan bangkai harimau dan keadaan sekeliling. “Ia tidak diterkam harimau ini. Lihat, pada taring dan kuku harimau ini tidak terdapat darah atau robekan kulit daging. Hal ini berarti bahwa harimau ini tidak sempat menerkam orang, dan darah ini hanya darahnya sendiri yang keluar dari mulut, hidung, telinga dan matanya. Dan di sekitar tempat inipun tidak nampak tanda darah. Nona Diana itu tidak diterkam harimau di tempat ini.”
“Kalau begitu, ke mana ia pergi? Dan harimau ini... bagaimana bisa mati di tempat ini?” Peter sudah tidak malu-malu lagi untuk menyerahkan penyelidikan tentang Diana kepada pembantunya yang baru ini karena dia benar-benar gelisah dan tidak dapat menduga apa yang telah terjadi.
“Harimau ini tewas karena pukulan tangan kosong. Mati tanpa luka di luar tubuhnya, berarti bahwa binatang ini tewas di tangan seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dan besar kemungkinan nona Diana dibawa pergi oleh orang yang membunuh harimau itu.”
“Ke mana?” tanya Peter terkejut.
“Harus kita selidiki lebih dulu. Jejak seorang berilmu tidak mudah diikuti, karena langkah-langkahnya tidak menimbulkan bekas. Kita harus teliti dan sabar mencari dan mengikuti sampai kita dapat menemukan mereka.”
Akan tetapi hati Peter sudah terlampau gelisah. Kalau orang yang membawa pergi Diana itu dapat membunuh seekor harimau kumbang besar dengan pukulan tangan, betapa berbahayanya orang itu! Mencari orang itu hanya berdua dengan Koan Jit, selain amat berbahaya, juga akan sedikit kemungkinannya berhasil.
“Tidak, kita harus kembali ke Kanton. Aku akan mengerahkan pasukan untuk mencarinya.”
Koan Jit tersenyum dingin. Tentu saja urusan hilangnya seorang gadis kulit putih tidak ada hubungannya dengan dia dan dianggap urusan kecil saja. “Kalau begitu, mereka sudah akan pergi jauh.”
“Dengan pasukan, aku akan dapat menyusul dan menemukan Diana, di manapun juga ia berada dan aku akan menghukum orang itu!” bantah Peter, “Sekarang mari kita kembali ke Kanton agar dapat cepat mempersiapkan pasukan dan melapor kepada Kapten Charles Elliot paman gadis itu.”
Koan Jit mengangkat kedua pundaknya dan diapun mengikuti letnan itu meloncat kembali ke atas punggung kuda dan merekapun membalapkan kuda mereka keluar dari hutan itu, kembali ke Kanton.
Ke manakah perginya Diana? Apa yang telah terjadi dengan gadis kulit putih berambut pirang yang cantik jelita itu? Dugaan-dugaan yang dilakukan Koan Jit memang tepat sekali. Ketika Diana diajak melancong oleh Peter Dull pada hari yang cerah itu, ia tidak dapat menolak. Sudah terlampau sering ia menolak ajakan Peter.
Ia tidak suka berkencan dengan Peter yang terkenal sebagai penggoda dan perayu wanita itu. Ia tentu saja kenal baik dengan Peter yang menjadi tangan kanan pamannya, yaitu Kapten Charles Elliot. Dan agaknya pamannya juga condong menyetujui kalau sampai ia menerima uluran tangan Peter Dull yang masih bujangan, dan ahliwaris keluarga yang kaya raya di India itu.
Akan tetapi, Diana tidak suka melihat sikap Peter yang demikian sombong, yang seolah-olah memandang rendah dan meremehkan kaum wanita yang dianggap barang permainan belaka yang boleh dibuang dan diganti dengan yang baru setiap waktu dia sudah merasa bosan. Ia sudah mendengar betapa banyaknya wanita yang bertekuk lutut, kemudian disia-siakan oleh Peter, menderita patah hati dan aib.
Pagi yang cerah itu Diana merasa gembira sekali, maka ketika Peter menajaknya berkuda dengan janji akan menunjukkan tempat-tempat yang amat indah di luar kota Kanton, iapun setuju. Dengan berkuda, Diana merasa aman. Sejak kecil ia suka naik kuda dan apa yang akan dapat dilakukan Peter terhadap dirinya kalau ia berada di atas kuda? Bukan berarti bahwa ia takut terhadap Peter. Peter tidak akan mampu mengganggunya, karena Peter tentu takut kepada pamannya, Kapten Charles Elliot.
Akan tetapi, ia melihat betapa Peter memang amat pandai merayu, pandai membujuk sehingga kadang-kadang Diana merasa khawatir kalau-kalau ia sendiri akan terpeleset. Ia merasa ngeri membayangkan hal ini terjadi pada dirinya. Ketika mereka memasuki hutan, Diana sebenarnya sudah muak karena di sepanjang perjalanan.
Seperti biasa Peter mulai lagi dengan rayuan-rayuan mautnya, memuji-mujinya setinggi langit, menyatakan betapa ia menderita penyakit rindu terhadap dirinya yang amat hebat dan yang mungkin akan mendatangkan maut kepadanya. Lalu membayangkan betapa akan bahagianya kalau mereka dapat menjadi satu, menggambarkan keadaan yang indah-indah dan muluk-muluk.
Diana merasa muak mendengarkan ini semua, maka iapun mengajak berlumba untuk menghentikan bujuk rayu itu. Bahkan, mengandalkan kepandaiannya menunggang kuda, ia sengaja menyimpang dari perjalanan, membelok dengan tiba-tiba dan meninggalkan Peter. Akan tetapi, ketika kudanya sudah jauh meninggalkan Peter dan memasuki hutan, tiba-tiba kuda hitamnya itu meringkik keras, lalu kabur!
Ia terkejut dan berusaha untuk menguasai kuda hitamnya, namun binatang yang nampak ketakutan itu membedal terus seperti gila! Terpaksa Diana hanya mendekam di atas kudanya, menjepit perut kuda sehingga ia tidak sampai terlempar dari atas pelana. Akan tetapi, kuda itu memasuki bagian yang penuh belukar, sehingga tubuh Diana dicambuki ranting-ranting dan tumbuh-tumbuhan menjalar yang malang-melintang ketika kuda itu menerjang tempat itu.
Diana menjerit-jerit kecil ketika gaunnya tersangkut dan terobek, bahkan kulitnya mulai lecet-lecet terkait duri. Kuda itu berlari terus, masih ketakutan seperti dikejar setan, keluar dari hutan lebat itu dan memasuki daerah yang penuh batu-batu sebesar bukit kecil dan pohon-pohon raksasa.
Dan tiba-tiba saja berkelebat bayangan hitam dan kuda itu kembali meringkik, tubuhnya gemetar dan Diana juga mengeluarkan pekik tertahan karena di depan mereka telah berdiri seekor harimau hitam yang matanya mencorong hijau menyeramkan! Harimau kumbang itu besar sekali dan mengeluarkan gerengan-gerengan sambil memperlihatkan taring-taringnya yang runcing.
Diana hampir pingsan saking takut dan kagetnya dan pada saat itu, kuda hitam melakukan gerakan mengangkat kedua kaki depannya ke atas, lalu meloncat ke samping dan melarikan diri, meninggalkan Diana yang terbanting jatuh. Kalau saja Diana dalam keadaan biasa, gadis yang ahli menunggang kuda ini tentu tidak akan terlempar dari pelana.
Akan tetapi pada saat itu, melihat seekor harimau besar menghadang, ia sudah terkejut ketakutan dan hampir pingsan, dan dalam keadaan lemas itu, kuda hitam mengangkat kaki depan keatas lalu meloncat ke samping. Tentu saja Diana tidak lagi mampu mempertahankan dirinya dan ia terlempar jatuh. Dapat dibayangkan betapa ngeri dan takut rasa hati gadis itu melihat kudanya melarikan diri dan kini ia terbelalak memandang ke arah harimau kumbang yang masih berdiri memandang dengan matanya yang hijau mencorong itu.
Anehnya ketika Diana bangkit berlutut, harimau itu lalu mendekam pula dan sama sekali tidak bergerak ketika Diana merangkak menjauhi harimau itu sambil menengok. Kaki tangan yang dipakai merangkak itu menggigil dan beberapa kali Diana terpeleset jatuh. Kemudian ia bangkit berdiri dan tiba-tiba harimau itu menggereng.
Tadi, ketika Diana merangkak, harimau itu hanya memandang, agaknya merasa lucu melihat mahluk yang merangkak demikian lambannya, akan tetapi ketika Diana bangkit harimau itu agaknya maklum bahwa calon mangsanya akan melarikan diri. Diapun bangkit dan mengambil sikap siap menubruk.
Diana merasa seolah-olah kedua kakinya lumpuh. Ia tidak mampu lagi melangkah, saking takutnya. Bibirnya gemetar tidak mampu mengeluarkan suara dan sepasang matanya terbelalak, seperti terpesona oleh sihir yang keluar dari pandang mata harimau itu. Harimau itu kembali menggereng, kini gerengannya kuat sekali dan tiba-tiba tubuhnya meloncat tinggi dengan keempat kakinya membentuk cakar siap mencengkeram mangsanya.
Diana masih terbelalak dan ia hanya dapat pasrah menanti kematian yang mengerikan, maka ia segera memejamkan matanya. Akan tetapi, ia tidak merasakan tubuhnya diterkam, bahkan mendengar harimau itu mengeluarkan gerengan lagi. Cepat ia membuka mata dan kembali matanya terbelalak. Hampir ia tidak dapat percaya akan pandang matanya sendiri karena yang terjadi di depannya itu sungguh sukar untuk dapat dipercaya.
Kiranya ketika harimau kumbang itu menubruk, tiba-tiba saja, entah dari mana datangnya, tahu-tahu di situ sudah muncul seorang gadis manis berpakaian sederhana menghadang terkaman harimau. Ketika tubuh harimau itu datang menerkam dengan dahsyatnya, gadis itu cepat menangkap kaki depan harimau, lalu menggeser kaki kanan ke belakang, tubuhnya direndahkan dan dengan meminjam tenaga terkaman itu, ia membanting tubuh harimau itu ke kanan.
“Brukkk...!” Dengan kepala lebih dulu, tubuh harimau itu menghantam batang pohon! Harimau itu tentu saja memiliki tubuh yang kuat sekali. Biarpun agaknya pening, ia sudah menggereng dan hendak membalik untuk menyerang orang yang menyakitinya. Akan tetapi, gadis itu sekali loncat sudah berada di belakang, dan mengayun kedua tangannya.
“Hyaaaaattt!! Hyaaaattt!!” Dua kali sepasang tangan kecil itu menyambar, yang kanan lebih dulu disusul yang kiri. Dua kali hamtaman dengan telapak tangan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga sinkang sambil mengeluarkan bentakan nyaring itu tepat mengenai kepala di belakang telinga kiri kanan harimau itu.
“Tukkk! Tukkk!!” Menerima pukulan yang amat dahsyat ini, harimau itu terkulai, keempat kakinya berkelojotan, dari mulut, hidung, telinga dan matanya mengalir darah, dan tak lama kemudian binatang itupun mati.
Dengan sepasang mata masih terbelalak Diana memandang ke arah gadis itu, kemudian ke arah harimau, lalu ia menggosok-gosok kedua matanya dengan punggung tangan, memandang lagi. Sukar dipercaya! Memang, ia sudah mendengar banyak dongeng dari mulut para pelayan tentang para pendekar yang amat gagah perkasa.
Bahkan pernah nonton wayang dengan cerita Bu Siong Phak Houw (Pendekar Bu Siong Membunuh Harimau) di mana diceritakan betapa pendekar itu membunuh seekor harimau hanya dengan pukulan tangan saja. Akan tetapi seorang wanita? Seorang gadis yang kelihatannya begitu muda?
“Ya Tuhan...!” Berkali-kali bibirnya bergerak dan akhirnya terdengar keluhan ini.
Gadis itupun memandang kepadanya dengan takjub. Agaknya gadis itu kagum melihat matanya kebiruan, warna rambutnya yang kuning emas, tubuhnya yang tinggi semampai dengan tonjolan-tonjolan yang demikian matang. Apa lagi kini gaun yang menutup tubuh Diana sudah tidak utuh lagi, sudah cabik-cabik tidak keruan sehingga sebagian paha kanan dan perutnya nampak, kulitnya putih mulus kemerahan.
Gadis itu lalu melangkah maju menghampiri, agaknya bimbang dan tidak tahu harus bicara apa karena ia tahu bahwa gadis berambut pirang ini tentu seorang wanita kulit putih, seorang asing yang belum tentu dapat mengerti kalau diajaknya bicara. Akan tetapi Diana sudah mempelajari bahasa daerah, walaupun hanya sedikit-sedikit karena ia datang ke Kanton sesudah dewasa dan hanya beberapa bulan saja mempelajari bahasa itu.
“Terima kasih... terima kasih...” kata Diana mendahului dan ia mengulurkan tangan kepada gadis itu.
Gadis itu menjura dan mengangkat tangannya ke depan dada, sama sekali tidak menyambut uluran tangan Diana karena agaknya ia tidak mengerti bahwa uluran tangan itu mengajak bersalaman. Sambil menjura gadis itu menjawab. “Tidak perlu sungkan. Siapapun melihat engkau terancam bahaya, tentu akan turun tangan menolongmu.”
Diana teringat bahwa orang-orang pribumi saling menyalam dengan caranya sendiri, yaitu dengan mengangkat kedua tangan di depan dada, bukan berjabat tangan, maka iapun cepat menjura. “Terima kasih, kau... kau baik sekali... kau kuat hemm... lihai!”
Gadis itu tersenyum manis. Seorang gadis yang manis, bermata lebar dan biarpun pakaiannya sederhana seperti pakaian petani, nampak jelas bentuk tubuhnya yang ramping dan berisi. “Kita harus cepat pergi dari sini, jangan sampai teman-temannya datang, bisa berbahaya. Kau datang dari mana?”
Karena gadis itu bicara cepat, agak sukar Diana menangkapnya. Ia menggeleng kepalanya. “Aku tidak tahu... Kudaku kabur.”
Gadis itu maklum bahwa gadis asing ini tak tahu jalan pulang. Paling penting menyelamatkannya dan pergi dari tempat berbahaya ini, pikirnya. Kalau sampai ada rombongan harimau kumbang datang, lebih dari dua ekor saja ia sudah akan payah menghadapi keroyokan mereka. “Mari, kita pergi. Di sana ada dusun,” ajaknya sambil menunjuk ke arah belakang.
Diana mengangguk, lalu ia mengikuti gadis itu. Melihat betapa Diana nampak kepayahan, juga kulit tubuhnya lecet-lecet, gadis itu memandang dan merasa kasihan.
“Mari, ikut dengan aku!” Ia lalu menggandeng tangan Diana dan setengah menarik gadis berambut pirang itu, diajaknya lari menyusup-nyusup dengan cepat.
“Siapa namamu?” Diana bertanya sambil ikut berlari-lari kecil di samping penolongnya.
Tanpa berhenti berlari, gadis itu menjawab, “Namaku Siauw Lian Hong, dan kau siapa?”
Tentu saja nama itu tidak ada artinya bagi Diana. Ia tidak tahu bahwa nama ini adalah nama seorang gadis perkasa, murid seorang sakti, datuk persilatan terkenal yang lebih mengerikan dengan julukan San-tok, Racun Gunung, seorang di antara Empat Racun Dunia. Seperti kita ketahui, Lian Hong telah berpisah dari Kui Eng dan kini ia dalam perjalanan hendak melaporkan kepada gurunya tentang Koan Jit yang dijumpainya.
Ketika ia melewati hutan itu dan mendengar suara harimau kumbang menggereng, ia terkejut. Gadis ini sudah banyak merantau dan mengenal keadaan binatang buas di hutan-hutan. Gerengan harimau kumbang itu memberi tahu kepadanya bahwa ada orang yang terancam oleh harimau yang lapar itu. Dan iapun berlari cepat dan pada waktu yang tepat berhasil menyelamatkan Diana!
“Namaku Diana... Diana Mitchell...”
Nama terakhir itu terlalu sukar bagi lidah Lian Hong. Baru diucapkan saja sudah tidak mampu menirukan. Yang teringat hanya Diana saja, karena nama ini mudah diingat, mudah pula diucapkan. “Diana, kau cantik sekali. Mata dan rambutmu indah, seperti bintang dan emas!” Lian Hong memuji.
Diana tersenyum gembira. Biarpun ia baru saja terbebas dari bahaya maut yang mengerikan, namun bertemu dan berkenalan dengan seorang gadis seperti Lian Hong ini sungguh menyenangkan hatinya. Ia lalu merangkul pundak Lian Hong yang tingginya hanya sampai di bawah telinganya.
“Lian Hong, engkau lah yang cantik sekali. Cantik dan menarik, dan engkau sungguh gagah perkasa.” Ucapannya itu dikeluarkan secara tersendat-sendat dan tidak lancar, karena ia harus memilih kata-kata dulu.
Akan tetapi Lian Hong dapat mengerti dan ia tersenyum, keduanya tersenyum. “Engkau yang gagah berani, Diana. Engkau seorang wanita berani sendirian saja di dalam hutan seperti itu. Dan ketika harimau itu mengancammu, engkau tidak berteriak minta tolong.”
“Aku tidak sendirian, tadinya aku bersama seorang teman pria. Dan aku tidak berteriak karena... aku sudah kehilangan suara saking takutku. Hi-hik, aku nyaris terkencing di tempat saking takutku.”
Mendengar ucapan yang begitu jujur dan tanpa disembunyikan, mau tak mau Lian Hong tertawa dan Diana juga tertawa. Keduanya tertawa gembira dan diam-diam Lian Hong kagum. Gadis asing ini ketawa begitu bebas, dan juga termasuk seorang gadis yang tabah, karena baru saja terlepas dari bencana yang begitu mengerikan akan tetapi sekarang sudah dapat tertawatawa! Tiba-tiba ia teringat. “Teman priamu itu? Suamimukah dia?”
Diana terbelalak. “Suamiku? Ah, sama sekali bukan! Hanya teman biasa. Dia seorang Letnan pasukan keamanan, namanya Peter Dull. Kami berdua menunggang kuda, dan ketika tiba di tempat itu, aku tantang dia berlumba. Aku membalap dulu dan akhirnya kudaku ketakutan, agaknya mencium bau harimau dan diapun kabur. Ketika bertemu harimau, dia mengangkat kedua kaki depan tiba-tiba dan aku terlempar! Dan kau sendiri, apakah kau sudah bersuami?”
Ditanya begini saja, Lian Hong sudah merasa malu. Wanita ini bicara tentang suami seperti orang bicara tentang pakaian saja! Lian Hong menggeleng kepala. Diana tertawa.
“Wah, menjadi suamimu harus seorang laki-laki yang kuatnya melebihi harimau kumbang tadi. Kalau tidak, sekali tampar kalau sedang bergurau bisa membuat dia mati!”
Kembali Lian Hong tertawa geli. Gadis kulit putih ini ternyata seorang yang berwatak gembira, jenaka dan suka bergurau walaupun kata-katanya terbatas. Akan tetapi, kata-kata yang sukar keluar dan kadang-kadang terdengar janggal dan tidak keruan susunannya itu malah membuat ucapannya semakin lucu. Sepasang mata yang biru itu demikian hidup, penuh gairah dan senyumnya demikian cerah, penuh kegembiraan. Seorang gadis yang luar biasa, pikir Lian Hong kagum.
Di lain pihak, Diana merasa semakin kagum terhadap Lian Hong. Seorang gadis sederhana dan melihat betapa gadis ini dengan tangan kosong mampu membunuh seekor harimau kumbang, tadinya ia mengira bahwa tentu gadis ini seorang yang bertenaga besar, kasar dan kejantanan. Akan tetapi setelah mereka bercakap-cakap, ia mendapat kenyataan bahwa Lian Hong seorang gadis yang sederhana namun cerdik, halus budi pekertinya, dan halus pula gerak geriknya.
Bahkan gadis itupun bersikap ramah dan sopan. Melihat kelembutan sikapnya, melihat tubuh yang sempurna lekuk lengkungnya, halus polos kulitnya, yang membayangkan kehalusan dan kehangatan, sungguh sukar dapat dipercaya bahwa di balik kelembutan itu terdapat kekuatan yang demikian hebatnya! Timbullah keinginannya untuk dapat menjadi seperti Lian Hong, atau setidaknya mempelajari dan mengetahui bagaimana caranya gadis selembut itu dapat memiliki kekuatan sehebat itu.
Setelah mereka tiba di tempat yang aman, keluar dari hutan itu, Lian Hong yang merasa kasihan melihat betapa Diana nampak kelelahan, mengajaknya untuk beristirahat di bawah sebatang pohon besar. Ia membuka buntalan pakaiannya, mengeluarkan bekal roti kering dan daging dendeng, lalu mengisi tempat airnya yang kosong dengan air sumber yang jernih dari puncak bukit.
“Kita beristirahat dan makan dulu. Makan seadanya saja, Diana.” Akan tetapi, “Makan seadanya” ini merupakan makanan paling lezat yang pernah dirasakan oleh Diana. Roti kering dan daging dendeng itu, dibantu dengan air jernih. “Aku tidak mempunyai rumah. Selama ini numpang di tempat pertapaan guruku, di Pegunungan Wuyi-san.”
“Keluargamu...? Orang tuamu?”
Kembali Lian Hong menggeleng. “Orang tuaku sudah meninggal dunia, aku tidak mempunyai seorangpun keluarga, kecuali guruku seorang.” Lian Hong berhenti sebentar, lalu melanjutkan, “Aku sebatangkara.”
Diana merasa demikian terharu mendengar ini sehingga ia merangkul Lian Hong, maksudnya untuk menghibur. Akan tetapi dengan halus Lian Hong melepaskan rangkulan itu, dan berkata, “Dan engkau sendiri? Di mana rumahmu, Diana?”
“Orang tuaku di Inggris, mereka hidup sebagai petani. Aku ikut dan mondok di rumah pamanku, Kapten Charles Elliot di Kanton.”
Lian Hong mengangguk-angguk. “Akan kuantar kau kembali ke Kanton.”
Akan tetapi Diana menggeleng kepala keras-keras. “Tidak, aku tidak mau pulang ke sana!”
“Eh..., kenapa, Diana?”
Diana teringat akan kehidupannya di Kanton. Hidup di antara orang-orang besar, hidup mewah dan serba kecukupan, enak-enakan akan tetapi ia merasa seperti menjadi burung dalam kurungan. Memang selama ini ia tidak pernah merasa demikian, akan tetapi begitu bertemu dan berkenalan dengan Lian Hong, ia melihat diri Lian Hong seperti seekor burung yang beterbangan di antara pohon-pohon besar dengan bebasnya.
Sedangkan dirinya sendiri seperti seekor burung yang berada dalam sebuah sangkar, walaupun sangkar itu cukup besar dan terbuat dari emas! Dan kini timbul keinginan hatinya untuk merantau dan hidup bebas seperti Lian Hong! Apa lagi kalau ia teringat akan sikap Peter Dull, dan kecondongan paman dan bibinya untuk menjodohkan ia dengan laki-laki itu, hatinya menjadi semakin tawar untuk kembali ke rumah pamannya di Kanton.
Membandingkan kehidupan yang penuh kemunafikan, penuh kepura-puraan dan sopan santun yang tolol dan dibuat-buat, pakaian yang gedombrangan menurutkan mode dan yang membatasi gerakan-gerakannya, dengan kehidupan sederhana tapi bebas seperti Lian Hong, sungguh membuat ia melihat perbedaan-perbedaan yang amat menyolok.
“Aku... sementara ini tidak ingin pulang.”
“Habis kau mau ke mana, Diana?”
“Aku mau merantau. Aku mau ikut denganmu.” Tiba-tiba ia merangkul leher Lian Hong dan mencium pipi gadis itu. Perbuatan Diana ini demikian tiba-tiba dan terbuka, membuat Lian Hong merasa terkejut dan mukanya berubah merah karena jengah. “Lian Hong, sahabatku yang baik, tolonglah, perbolehkan aku pergi bersamamu. Aku ingin hidup seperti engkau, hidup bebas seperti seekor burung di udara!”
“Tapi, mana mungkin itu, Diana? Kehidupan seperti aku adalah kehidupan penuh kesukaran dan kekerasan, penuh bahaya?”
“Aku berani menghadapi segala kesukaran itu, Lian Hong!” jawab Diana tegas.
“Tapi... kau biasa hidup mewah. Lihat, pakaianmu yang indah sekali. kau dari keluarga mewah dan kaya raya. Mana mungkin hidup seperti aku, tidak tentu tempat tinggalnya, kadang-kadang satu dua hari tidak makan, kadang-kadang harus melakukan perjalanan amat jauh dan sukar, kepanasan, kehujanan, kadang-kadang harus tidur di bawah pohon, di dalam kuil-kuil tua...”
“Aku tidak takut! Aku ingin mengecap kebebasan dan untuk kebebasan itu, walaupun hanya untuk beberapa waktu, aku mau menebusnya dengan semua kekurangan dan penderitaan itu.”
Bagaimanapun ia merasa suka dan kasihan kepada gadis kulit putih itu dan ingin menyenangkan hatinya. Namun Lian Hong tetap mengerutkan alisnya dan hatinya melarang ia menerima permintaan Diana. Membawa seorang seperti Diana ini pergi merantau merupakan perbuatan gila. Merantau pada waktu itu sama sekali bukan perjalanan wanita, apa lagi wanita lemah. Di mana-mana menghadang bahaya besar. Di mana-mana tidak aman.
Hanya para wanita kang-ouw saja, itupun yang benar-benar telah memiliki kepandaian tinggi sehingga mampu membela diri dengan baik, yang akan berani melakukan perjalanan merantau seorang diri. Dan Diana adalah seorang wanita lemah, sama sekali tidak mampu membela diri, walaupun ia memiliki ketabahan besar. Apa lagi kalau diingat bahwa ia adalah seorang gadis asing kulit putih. Tentu saja bahaya mengancamnya di mana-mana!
“Diana, dengarlah baik-baik,” katanya halus sambil memegang pundak gadis tinggi semampai itu.
“Sungguh, aku akan senang sekali melakukan perjalanan bersamamu. Akan tetapi terpaksa aku menolak permintaanmu itu, Diana. Tidak mungkin aku mengajakmu menempuh bahaya-bahaya besar yang menghadang di tengah perjalanan. Resikonya terlampau besar dan kalau sampai aku tidak dapat melindungimu dan terjadi apa-apa pada dirimu, aku yang akan merasa menyesal sekali. Maaf, Diana, aku sungguh terpaksa tidak dapat memenuhi permintaanmu itu. Aku hanya akan mengantarmu pulang ke Kanton agar engkau dapat kembali dan hidup aman dengan keluarga atau pamanmu di sana.”
Mendengar keterangan yang panjang lebar ini, wajah Diana nampak layu dan kosong. Kekecewaan membuat ia lemas dan tertunduk kembali setelah tadi dengan penuh semangat ia berdiri, dan kini ia memandang jauh dengan sinar mata kosong, mulut agak terbuka dan ada butiran air mata tergenang di pelupuk matanya. Melihat keadaan gadis ini, Lian Hong merasa terharu dan kasihan sekali. Dengan suara terputus-putus karena ia harus mencari-cari kata-kata yang belum dihafalnya benar itu, ia berkata lirih.
“Hidup dengan aman?”
“Ya, engkau tentu akan disambut dengan gembira oleh mereka dan engkau akan hidup berbahagia lagi di sana, Diana.”
Diana menggeleng kepala dan dua butir air mata menetes turun. “Tidak, aku tidak pernah merasakan apa dan bagaimana yang dinamakan bahagia itu. Lian Hong, tahukah engkau apakah bahagia itu? Apakah engkau berbahagia?”
Lian Hong tertegun dan iapun lalu duduk di dekat Diana, termenung sejenak sebelum menjawab. Pertanyaan itu dirasakannya terlalu tiba-tiba datangnya sehingga membuat ia sendiri menjadi bingung. “Bhagia...?” Akhirnya ia berkata seperti bertanya kepada diri sendiri, matanya merenung jauh. “Aku hanya pernah mendengar kata itu dibicarakan orang. Aku sendiri tidak tahu apakah aku berbahagia, atau aku tidak ingat lagi apakah pernah merasakannya.”
“Tapi engkau hidup begini menyenangkan, begini bebas dan enak seperti burung berterbangan di angkasa, sesuka hatinya, tanpa ada yang menghalangi, tanpa ada ikatan-ikatan munafik, begini dekat dengan alam! kau pasti bahagia!” Lian Hong menarik napas panjang.
“Aku tidak tahu, Diana. Akan tetapi agaknya sudah sepatutnya kalau kita berusaha untuk mencapai kebahagiaan, dengan cara dan jalan masing-masing tentunya. Kebahagiaan orang tentu berbeda-beda, yang dapat mendatangkan kebahagiaan kepadaku belum tentu demikian kepadamu dan sebaliknya. Aku memang hidup merantau dan bebas, akan tetapi aku tidak merasakan bahagia. Kurasa, kita harus mencarinya untuk menemukan kebahagiaan itu.”
Diana termenung, lalu berkata, “Kekayaan dan kedudukan tidak mendatangkan kebahagiaan. Kalau kebebasan seperti engkau inipun tidak mendatangkan kebahagiaan, aku tidak tahu lagi di mana letak kebahagiaan. Pendeta kami pernah berkata bahwa kebahagiaan hanya dapat dicapai melalui Tuhan, melalui Agama. Dan sejak kecil aku sudah dididik dalam Agama, namun belum juga aku pernah merasakan kebahagiaan itu.
Ada pula yang bilang bahwa kebahagiaan adalah Sorga, dan Sorga hanya baru dapat dicapai kalau kita sudah mati. Ah, aku tidak mau bahagia sesudah mati, aku ingin kebahagiaan selagi masih hidup ini!” Dua orang gadis itu kini berdiam diri, seperti berubah menjadi patung, tenggelam ke dalam renungannya sendiri, terpesona oleh kata “Bhagia” yang menjadi bahan percakapan mereka tadi.
Dua orang gadis itu terlalu jauh terseret oleh segala macam teori yang pernah mereka dengar atau baca mengenai kebahagiaan. Kebahagiaan bukanlah sesuatu yang dapat dibicarakan dengan teori, melainkan suatu keadaan batin yang hanya dapat dirasakan oleh diri sendiri. Kebahagiaan adalah suatu keadaan yang tidak mungkin dapat digambarkan, bahkan tidak mungkin dapat dicari. Kalau dicari tidak mungkin akan dapat.
Yang dapat dicari hanyalah kesenangan, dan kesenangan hanyalah pengulangan dari suatu peristiwa yang dianggap menyenangkan dan mengenakkan yang pernah dialami atau pernah didengar dari orang lain. Akan tetapi kesenangan hanya merupakan suatu peristiwa singkat yang akan segera berlalu, seperti juga kesusahan yang menjadi saudara kembarnya. Kita selalu terombang-ambing antara mencari kesenangan dan menghindari kesusahan.
Sehingga dengan demikian, batin kita seperti selalu bergelombang dan penuh dengan ombak-ombak kesenangan dan kesusahan. Padahal, kebahagiaan adalah keheningan dan ketenangan batin yang tidak terlanda oleh sesuatu yang merangsangnya, seperti samudera yang tenang dan sedikitpun tidak dikacau ombak, baik itu ombak kesenangan maupun ombak kesusahan.
Jadi, kebahagiaan, seperti juga kedamaian, seperti juga keheningan, tidak mungkin bisa dicari atau dikejar. Karena, kebahagiaan itu baru ada kalau segala kebisingan telah lenyap, seperti juga samudera kebahagiaan yang tenang itu baru ada kalau semua ombak susah senang sudah tidak mengganggu lagi. Kebahagiaan adalah keadaan hati yang mampu menerima segala sesuatu seperti apa adanya, tidak terpengaruh oleh sesuatu.
Kebahagiaan sudah ada setiap saat, hanya untuk dapat merasakannya, segala macam pengaruh harus meninggalkan batin kita, karena hanya batin yang bebas sajalah, bebas dalam arti kata seluasnya, bebas tidak terikat oleh kesenangan atau kesusahan, tidak terikat oleh apapun juga, yang akan mampu mengerti apa sesungguhnya yang dinamakan kebahagiaan itu. Kebahagiaan adalah seperti sinar matahari yang selalu ada.
Kalau tidak nampak, maka sudah pasti bahwa ada yang menghalangi atau menutupi sinar itu. Kalau penghalang atau penutupnya lenyap, sudah pasti cahaya itu akan bersinar dengan cerahnya. Dalam keadaan gelap karena cahaya itu teraling, percuma sajalah mencari-cari cahaya itu, karena tidak mungkin akan bertemu. Dan segala macam penghalang itu berada di dalam batin kita sendiri!
Orang yang selalu ingin mengejar kesenangan, dan orang yang selalu ingin menghindarkan kesusahan, takkan pernah dapat mengenal apa sebenarnya kebahagiaan. Bukan berarti bahwa kita tidak boleh menikmati kesenangan atau meninggalkan keduniawian lalu bertapa di puncak gunung. Menikmati kesenangan adalah hak kita sebagai manusia hidup, karena kita telah diberi panca indera sebagai alat untuk menikmati kesenangan dalam hidup ini.
Namun, senang susah itu baru timbul apa bila ada perbandingan dalam hati. Kalau kita menerima segala sesuatu sebagai apa adanya, sebagai suatu kewajaran, maka tidak ada lagi sebutan senang susah itu, tidak tercipta ombak-ombak senang susah yang saling bertentangan.
“Aku tidak mau pulang!” Tiba-tiba Diana berkata, mengambil keputusan. “Kalau engkau tidak mau mengajakku pergi merantau, aku akan pergi sendiri, Lian Hong. Aku tidak mau kembali ke Kanton sekarang. Belum mau pulang maksudku. Aku ingin merantau dulu sampai aku puas dapat merasakan bagaimana sesungguhnya kehidupan di dunia luar gedung itu, di luar sangkar itu. Aku ingin terbang bebas dulu sebelum kembali ke sangkar.”
Lian Hong memandang wajah gadis itu penuh selidik. “Diana, kalau kau mau nekat pergi merantau, apa yang akan kau lakukan? Selain banyak bahaya menghadang, apa yang akan kau makan dan pakai? Lihat, pakaianmu saja sudah hampir tak dapat dipakai lagi, sudah cabik-cabik. Dan engkau perlu makan setiap hari. Dan ke mana engkau akan pergi? Engkau tidak mengenal jalan, engkau tidak tahu akan pergi ke mana.”
“Aku tidak perduli, Lian Hong. Pendeknya, aku akan merantau dan tidak mau pulang dulu ke Kanton. Sudah lama aku mempunyai keinginan seperti ini dan sekaranglah kesempatan terbaik, karena tidak ada orang yang dapat melarangku,” kata Diana dengan nekat.
Lian Hong menarik napas panjang. Gadis ini memang tabah dan berkemauan kuat. Ia tidak akan tega membiarkan Diana pergi jauh, tentu akan bertemu bahaya dan gadis kulit putih itu tidak akan mampu membela diri kalau ada bahaya mengancam. Mulai ia memperhatikan diri Diana karena ia tahu bahwa akhirnya ia yang akan menyerah dan akan memenuhi permintaan Diana.
“Diana, apakah yang mendorongmu untuk pergi merantau, meninggalkan semua kemewahan di gedung pamanmu itu?”
Diana mencabut sebatang rumput dan menggigit-gigit batang rumput itu, mengingatngingat. “Aku kagum padamu, Lian Hong. Biarlah kuceritakan semuanya. Ayahku adalah seorang petani di Inggeris, dan sejak kecil aku diberi pendidikan sekolah sampai tinggi. Di sekolah tinggi aku belajar tentang penyelidikan barang-barang kuno. Aku berkenalan dengan seorang pemuda petani di dusun, dan kami saling jatuh cinta.
"Akan tetapi, orang tuaku yang menilai aku terlalu tinggi, menganggap bahwa pemuda itu tidak sepadan untuk menjadi calon suamiku. Karena itu, dengan dalih untuk mempraktekkan pelajaranku, dan kebetulan ada pasukan yang dikirim ke timur, aku oleh Ayah dikirim ke sini dan ditiitipkan kepada pamanku, Kapten Charles Elliot.
"Di Kanton aku hanya diberi tugas menilai barang-barang kuno dan memperbanyak kumpulan benda kuno paman. Dan agaknya paman condong untuk menjodohkan aku dengan pembantunya, yaitu Peter Dull yang menemaniku berkuda. Aku muak dengan itu semua. Aku tidak mau dibelenggu oleh peraturan dan oleh sopan santun, dan oleh ambisi orang-orang tua itu.”
Biarpun Diana bercerita dengan kalimat terpotong-potong dan kadang-kadang sukar mencari kata yang tepat, sehingga ceritanya itu menjadi panjang dan lama, Lian Hong dapat mengertinya juga dan gadis ini merasa heran sekali. Kiranya kehidupan seorang gadis kulit putih tidak banyak bedanya dengan gadis bangsanya. Dalam hal pernikahan, selalu orang-orang tua ingin berkuasa, bukan sekedar mencampuri, melainkan hendak memilihkan calon suami yang baik menurut penilaian mereka.
“Baiklah, Diana. Aku akan membantumu. Akan tetapi aku tidak berani mengajakmu pergi ke tempat tinggal guruku. Ketahuilah bahwa guruku seorang yang sakti akan tetapi aneh sekali tabiatnya. Mungkin saja tiba-tiba dia membunuhmu.”
“Ehhh...?” Melihat kekagetan Diana, Lian Hong tersenyum sedih. “Guruku seorang di antara empat datuk sesat yang terkenal dengan sebutan Empat Racun Dunia, dan guruku berjuluk Racun Gunung. Aku mempunyai urusan penting bersama guruku dan kini aku akan mengunjunginya, dan tak lama kemudian kami akan datang ke daerah ini lagi. Oleh karena itu menurut pendapatku, kalau engkau ingin menyelami kehidupan rakyat kami, kalau engkau ingin hidup penuh kesulitan dan kemiskinan, biar kucarikan seorang keluarga petani yang baik dan yang mau menampungmu. Bagaimana?”
Bukan main girangnya rasa hati Diana. Ia melompat bangun lalu merangkul Lian Hong dengan lengannya yang panjang, kemudian menciumi kedua pipi Lian Hong sampai mengeluarkan bunyi ngak-ngok dan cap-cup. Tentu saja Lian Hong gelagapan. Belum pernah ia melihat, apa lagi merasakan, ciuman-ciuman sepanas itu.
“Terima kasih, Lian Hong. Tadipun aku hampir yakin bahwa engkau tentu akan menolongku. Engkau seorang yang luar biasa. Aku senang sekali tinggal di dusun bersama keluarga petani.”
“Untuk sementara saja, Diana. Kalau aku sudah selesai dengan tugasku yang dibebankan oleh suhu, aku akan datang menjengukmu dan kita bicarakan lagi kelak tentang dirimu.”
“Bik, dan terima kasih.”
“Kalau begitu, mari kita pergi. Sebentar lagi datang malam gelap dan sebelum hari gelap, aku ingin tiba di dalam dusun terpencil itu di mana aku mengenal keluarga petani yang amat baik.” Pergilah dua orang gadis itu sambil saling bergandeng tangan menuruni lereng bukit itu, menuju ke sebuah dusun yang berada di lembah sungai dan jauh terpencil dari keramaian kota.
Di dusun terpencil itu tinggal seorang petani merangkap pandai besi yang sudah berusia hampir enam puluh tahun. Suami isteri ini dahulu mempunyai dua orang anak, yang pertama seorang gadis berusia tujuhbelas tahun, yang ke dua seorang laki-laki berusia tujuh tahun. Akan tetapi pada suatu hari, dusun itu diganggu perampok. Lauw Sek, petani itu pernah belajar silat selama beberapa tahun dan dia bertenaga kuat, maka dia melakukan perlawanan.
Hal ini menimbulkan kemarahan para perampok. Kalau rumah-rumah lainnya hanya dirampok saja, akan tetapi keluarga Lauw ini diserang, dan Lauw Sek membela keluarganya mati-matian. Akan tetapi, jumlah perampok yang belasan orang itu terlalu kuat baginya. Ketika melihat anak gadisnya yang cukup manis, kepala perampok berusaha menggagahi gadis itu. Dalam saat yang kritis itu, muncullah Lian Hong.
Dengan kepandaiannya, ia berhasil membasmi para perampok, membunuh mereka semua. Akan tetapi malang bagi gadis puteri Lauw Sek. Ketika tadi hendak diperkosa, ia melawan dan menerima pukulan-pukulan dari kepala perampok. Gadis itu dapat diselamatkan dari perkosaan, akan tetapi pukulan pada kepalanya membuat ia menderita luka parah di dalam kepala yang tak dapat ditolong lagi. Beberapa hari kemudian gadis itu meninggal dunia.
Bagaimanapun juga, petani Lauw Sek merasa berhutang budi kepada Lian Hong. Kalau tidak ada pendekar wanita ini, tentu puterinya bukan hanya terbunuh, melainkan juga diperkosa dan dia sendiri tentu akan tewas pula, mungkin juga isteri dan puteranya. Maka dia sekeluarga berterima kasih sekali kepada Lian Hong dan sejak hari itu, Lian Hong tentu menjadi sahabat dan juga nona penolong mereka.
Setiap kali lewat di dusun ini, Lian Hong tentu singgah karena gadis ini maklum betapa sedihnya hati mereka kehilangan puteri mereka dan ia dianggap oleh mereka sebagai pengganti puteri mereka! Sebelum senja tiba, cuaca masih terang walaupun matahari sudah condong jauh ke barat, Lian Hong tiba di dusun itu bersama Diana. Dusun yang hanya ditinggali paling banyak duapuluh keluarga itu mempunyai belasan orang anak-anak yang segera menyambut kedatangan Lian Hong sambil bersorak-sorak.
Mereka semua mengenal “Enci Hong.” Semua memanggil Enci karena biarpun ia dianggap penyelamat dusun itu, Lian Hong menolak ketika disebut Lihiap (pendekar wanita) dan minta kepada orang-orang yang lebih tua untuk menyebut namanya saja dan anak-anak menyebutnya Enci Hong.
“Enci Hong datang! Enci Hong datang!” teriak anak-anak itu akan tetapi ketika mereka datang dekat, mereka terbelalak memandang kepada Diana.
Mereka belum pernah melihat seorang wanita kulit putih, maka kemunculan Diana benar-benar mengherankan dan amat mengejutkan, bahkan beberapa orang di antara mereka sudah lari terbirit-birit melihat “setan” berambut kuning itu! Tentu saja teriakan anak-anak itu menarik perhatian semua orang yang berada di dusun itu. Mereka semua, kecuali yang kebetulan bekerja di sawah ladang dan tidak melihat datangnya Lian Hong, keluar menyambut gadis yang mereka kagumi dan hormati, juga sayangi itu.
Melihat sikap para penduduk ini, rasa kagum dalam hati Diana terhadap Lian Hong semakin besar. Kini ia dapat menduga bahwa kawannya ini memang seorang pendekar wanita yang budiman. Tanpa diberitahu sekalipun ia yakin bahwa tentu penduduk itu sudah berhutang budi kepada Lian Hong. Hal ini jelas nampak dalam sikap penyambutan mereka, dan melihat betapa anak-anak berlari menyambut, iapun dapat mengetahui bahwa memang Lian Hong seorang gadis yang baik budi. Hanya orang yang baik budi sajalah yang disukai anak-anak.
Para penghuni dusun itupun terbelalak dan ternganga ketika melihat Diana. Di antara mereka banyak yang masih percaya akan tahyul, maka melihat seorang gadis yang berkulit putih seperti tidak berdarah, berambut seperti benang sutera emas, bermata biru, dengan pakaian yang tidak keruan, compang-camping memperlihatkan kulit bagian tubuh secara tak tahu malu sama sekali, mereka menjadi ngeri dan ada yang mundur-mundur ketakutan. Mahluk seperti ini tentulah iblis, pikir mereka.
Melihat sikap mereka yang ketakutan itu, Lian Hong tersenyum dan cepat berkata, “Harap kalian jangan takut dan sungkan. Ini adalah seorang sahabat baikku, namanya Diana, ia baik sekali.”
Mendengar nama yang aneh itu, semua orang yang sebagian sudah ketakutan, menjadi semakin ngeri. Nama Diana oleh lidah mereka hanya disebut Thiana dan ini berarti sebutan “Tuhan” (Thian), maka mendengar nama ini tentu saja rasa ngeri dan takut mereka bertambah. Melihat ini, tiba-tiba seorang Kakek yang bercaping melangkah maju.
“Kalian jangan takut. Nona ini adalah seorang gadis kulit putih. Aku banyak melihatnya ketika aku pergi menjual daganganku ke Kanton.” Yang bicara ini adalah Lauw Sek yang juga sudah datang bersama isterinya yang bertubuh gemuk berwajah manis bersama putera mereka yang berusia delapan tahun. Mendengar ucapan Lauw Sek, barulah semua orang percaya karena Lauw Sek sering pergi ke kota untuk menjual barang dagangannya, hasil bengkel pandai besinya. Nyonya Lauw Sek lalu merangkul Lian Hong dengan penuh kasih sayang.
“Lian Hong, engkau baru datang?” Semua wanita dan pria yang berada di situ menyalami Lian Hong dengan ramah dan hormat, kemudian mereka mendengarkan dengan penuh perhatian ketika Lian Hong memperkenalkan Diana.
“Sahabat Diana ini sudah merasa bosan tinggal di kota dan kini ia mengambil keputusan untuk tinggal di dusun ini. Kuharap paman Lauw Sek sekeluarga mau menerimanya agar ia hidup bersama paman dan biarlah ia menjadi anak angkat paman. Biarkan ia bekerja di sawah ladang seperti yang lain, makan dan pakaian seperti kalian semua karena ia ingin merasakan kehidupan di sini.”
Diana senang sekali mendengar ini. “Lian Hong, yang manakah paman Lauw Sek?”
Lian Hong menuding ke arah Lauw Sek sedangkan semua orang tersenyum lebar mendengar suara Diana. Kiranya gadis aneh ini dapat pula bicara dalam bahasa mereka dan hal ini sungguh menggembirakan hati mereka, apa lagi mendengar betapa logat bicara gadis kulit putih itu aneh dan lucu walaupun mudah dimengerti. Kini Diana menghampiri Lauw Sek. Tadinya ia hendak menyodorkan tangan untuk mengajak orang itu berjabat tangan, akan tetapi ia teringat akan kebiasaan bangsa ini, maka iapun mengangkat kedua tangan depan dada sambil menjura dan berkata,
“Paman Lauw Sek, saya akan girang sekali kalau paman mau menerima saya.”
Melihat sikap ini dan mendengar ucapan itu, semua orang makin gembira dan merasa suka kepada gadis ini. Lauw Sek merasa agak rikuh melihat tubuh yang hampir telanjang itu, dan dia memperkenalkan isteri dan anaknya. “Nona, pakaianmu robek-robek, apakah memang begitu pakaianmu ataukah memang robek? Kalau robek harus cepat ganti agar tidak jatuh sakit.” kata isteri Lauw Sek dan mendengar ini Diana sudah merasa suka sekali kepada nyonya yang bersikap keibuan itu.
“Sahabatku ini melakukan perjalanan yang berbahaya hampir dimakan harimau dan pakaiannya compang-camping ketika ia dilarikan kudanya. Nah, siapa yang mau berbaik hati untuk memberinya pengganti pakaian?”
Para wanita di situ, terutama yang muda-muda, segera berebut lari pulang untuk mengambil satu stel pakaian mereka. Akan tetapi, sebagian besar dari mereka bertubuh kecil, terlalu kecil dibandingkan dengan bentuk tubuh Diana dan akhirnya, Diana menerima satu stel pakaian dari seorang gadis yang paling tinggi besar di antara mereka. Ketika ia berganti pakaian dalam sebuah pondok dan keluar lagi, semua orang tertawa gembira karena merasa lucu.
Memang Diana nampak lucu sekali dalam pakaian itu. Baju itu melekat di tubuhnya dengan ketat sehingga tidak mampu menyembunyikan tonjolan dadanya dan kerampingan pinggangnya, sedangkan celana itu hanya sampai di betisnya saja, di bawah lutut! Untung ia memakai sepatu yang panjang sampai ke lutut sehingga semua bagian kakinya tertutup. Lian Hong menemani Diana sampai satu minggu di rumah keluarga Lauw Sek itu, membimbing Diana agar mengenal semua orang dan keadaan di situ.
Dan terjadilah perubahan hidup yang selamanya tak pernah diimpikan oleh Diana. Baru pakaiannya saja sudah amat berbeda dan yang dipakainya kini membuat ia merasa santai dan juga leluasa bergerak, walaupun amat sederhana dan tidak dapat dibilang indah, apa lagi mewah.
Baru dua hari setelah ia berada di situ, ia sudah dapat menyesuaikan diri dan dalam hal ini, Lian Hong sungguh kagum kepada gadis ini. Seorang gadis kaya raya yang tadinya hidup mewah, kini tidak segan-segan untuk turun ke sawah dan bekerja apa saja, bahkan mencangkulpun ia pelajari. Seminggu kemudian, pagi-pagi sekali Lian Hong sudah melihat Diana berada di luar rumah keluarga Lauw Sek yang cukup lebar akan tetapi amat sederhana itu.
Diana memakai pakaiannya yang ketat dan jigrang (terlalu pendek) sambil memegang sebatang cangkul, siap untuk bekerja di sawah, membantu Lauw Sek. Lauw Sek sendiri juga sudah siap ke sawah, memakai capingnya yang butut. Isterinya juga siap karena pagi itu akan mulai menanam kacang. Si kecil Lauw Tong, putera mereka juga sudah siap.
“Wah, gadis petani kita yang rajin sudah siap!” kata Lian Hong sambil memegang lengan Diana.
“Diana, kau sungguh nampak cantik dan segar sekali pagi ini!”
“Wah, gadis petani yang rajin sudah siap!” kata Lian Hong sambil memegang lengan Diana. “Diana, kau sungguh nampak cantik dan segar sekali pagi ini!”
Diana tersenyum, gembira. Memang, selama beberapa hari ini ia membantu pekerjaan di sawah. Memang pertama kali telapak tangannya lecet-lecet dan seluruh tubuhnya, terutama pinggangnya, terasa pegal dan lelah sekali. Malamnya, isteri Lauw Sek memaraminya, dan memijatinya sehingga ia merasa nyaman sekali. Setelah bekerja selama seminggu, ia sudah mulai terbiasa, tidak begitu lelah lagi dan pagi hari itu, pagi-pagi sekali ia sudah bangun, tidak mau ketinggalan oleh anggauta keluarga Lauw.
Memang terjadi perubahan besar dalam kehidupan Diana, perubahan lahir batin. Setelah hidup di dusun, bersama keluarga petani miskin, ia bukan hanya dapat mendengar dari cerita orang, melainkan dapat melihat bahkan merasakan sendiri kehidupan yang serba bebas. Ia mulai mengenal dan merasakan arti hidup sebagaimana adanya, jauh lebih aseli dari pada kehidupan di kota.
Apa lagi kehidupan bangsanya yang sudah tidak aseli lagi, sudah terselubung segala-galanya, demi gengsi, demi kehormatan, demi pujian, sehingga hampir seluruh tindakan merupakan suatu kepalsuan. Di dusun ini merasa bebas dan polos, tidak perlu menyembunyikan sesuatu. Di sini ia dapat mengenal perjuangan manusia untuk memenuhi tuntutan atau kebutuhan jasmaninya, bekerja di ladang dan melihat hasil jerih payah itu bersemi dan tumbuh.
Di sini ia dapat menikmati kekayaan alam, keindahan alam seperti yang terbentang luas di depannya, bukannya meneropong dari balik jendela bertirai sutera. Dengan cangkul di tangan, ia seakan-akan bercanda dengan tanah, dengan lumpur, dan merasakan kenikmatan semua ini. Bahkan ia mulai mengenal apa artinya lapar dan haus, belajar menahannya, dan dapat menikmati kalau tiba waktunya makan atau minum.
Dulu, biarpun belum lapar, kalau waktu “dinner” sudah tiba misalnya, ia harus pergi menghadapi meja makan bersama keluarga pamannya, dengan pakaian yang khas dan pantas, mendapatkan pelayanan manis dan penuh hormat dan aturan-aturan dari para pelayan.
Makanpun harus sesuai dengan aturan-aturan tertentu, cara menggunakan garpu dan pisau, cara mengunyah makanan, cara membersihkan bibir dengan kain, dan sebagainya lagi. Semua ini membuat semua hidangan yang serba mahal kadang-kadang menjadi amat hambar rasanya.
Sebaliknya, betapa enaknya makan di pematang sawah! Perut sudah amat lapar, badan amat lelah, tenggorokan amat haus. Lalu datang nasi dengan sayuran murah, datang air teh hangat-hangat atau sejuk dingin. Amboi... bukan main lezat rasanya, melebihi segala macam makanan termahal yang pernah dimakannya!
Dan malamnya! Badan lelah perut kenyang, biar tidur menggeletak di atas dipan bambu yang berteriak-teriak marah kalau tertindih tubuhnya, rasanya begitu nikmat. Sekali rebahpun pulas dan baru terbangun pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ketika ayam jantan berkokok, dengan tubuh terasa segar seperti baru hidup kembali. Maka, pagi hari itupun ia lupa bahwa temannya akan pergi hari itu.
Sudah tiba saat kepergian Lian Hong seperti yang sudah dijanjikan sebelumnya. Maka, ketika Diana ditegur oleh Lian Hong dan ia melihat Lian Hong sudah berdandan dan berganti baju bersih, dengan rambutnya yang hitam mengkilap itu dikepang dua dan diikat dengan saputangan sutera merah yang menjadi pita, ia bertanya,
“Eih, Lian Hong. Masa ke sawah sebersih itu?” Dan tiba-tiba saja Diana teringat dan ia mengerutkan alisnya.
“Ah, hari inikah engkau akan melanjutkan perjalananmu?” Di dalam suaranya ada sedikit kekecewaan. Lian Hong merangkulnya dan mencium kedua pipi Diana. Ia kini mampu melakukan ini menirukan Diana dan dalam perbuatan ini ia merasakan suatu kemesraan dan keakraban yang mengharukan hatinya.
“Diana, engkau senang di sini, bukan? Teruskanlah. Nikmati kehidupan sederhana di sini. Aku melanjutkan perjalanan, menghadap suhu dan ingat, aku pasti akan datang ke sini menjengukmu dan siapa tahu, kelak kita akan dapat melakukan perjalanan bersama. Kau boleh belajar hidup dan juga mempelajari sedikit ilmu silat untuk membela diri dari paman Lauw Sek.”
Diana balas merangkul dan menciumi Lian Hong. “Baiklah, Lian Hong. Aku akan menantimu dengan sabar, karena akupun mulai suka akan kehidupan di sini. Paman dan bibi amat baik hati, juga adik Tong ini lucu dan menyenangkan. Bahkan semua tetangga di sini baik-baik, rukun dan saling menolong.”
“Akan tetapi ingat baik-baik, Diana. Jangan engkau pergi meninggalkan tempat ini seorang diri saja. Tunggu sampai aku datang. Maukah?”
“Tentu saja. Aku berjanji.” Mereka saling berpisah dan Lian Hong meninggalkan dusun itu diantar oleh hampir semua penduduknya sampai ke pagar dusun.
Diana merasa kehilangan, akan tetapi tidak kesepian karena ia merasa mempunyai keluarga besar, bukan sekedar sahabat, di dalam dusun itu. Bahkan ia merasa menemukan dunianya yang disukainya. Ketika ia masih sekolah, ia banyak mempelajari kehidupan jaman dahulu yang masih terbelakang.
Maka kini, setelah ia sendiri hidup di dusun yang masih amat sederhana, ia menemukan banyak hal yang memiliki persamaan dengan apa yang pernah dibacanya sehingga ia merasa seolah-olah memasuki sebuah dongeng yang pernah menarik hatinya.
Apa lagi ketika Lauw Sek mulai mengajarkan ilmu silat, ia mempelajarinya dengan tekun, juga memperdalam pengetahuannya tentang bahasa dan kebudayaan pribumi. Diana menemukan kelanjutan sekolah yang takkan bisa ditemukan di kota-kota besar dan ia merasa gembira sekali.
Orang-orang kulit putih yang berada di Kanton menjadi geger ketika mendengar bahwa Diana keponakan Kapten Charles Elliot hilang di dalam hutan ketika berkuda bersama Letnan Peter Dull. Tentu saja yang merasa paling gelisah adalah Kapten Charles Elliot. Letnan Peter Dull sendiri mendapat teguran keras, bahkan menerima tugas untuk mencari nona itu sampai dapat. Peter Dull berunding engan pembantunya yang baru, yaitu Koan Jit.
Orang ini dapat menduga bahwa nona kulit putih itu tentu telah ditolong oleh seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Hanya dia tidak tahu siapa penolong itu, dan dari golongan apa, seorang pendekar yang memang hendak menolong ataukah seorang penolong dengan pamrih lain. Dan mengingat bahwa Diana tidak diantarkan kembali ke Kanton, dia mengambil kesimpulan bahwa tentu orang yang menolong nona itu berpamrih, sengaja melarikan gadis itu dengan niat buruk lainnya.
Maka Koan Jit yang sudah diterima sebagai pimpinan oleh para jagoan yang dikumpulkan Peter Dull karena mereka semua sudah mengenal nama Hek-eng-mo, lalu memerintahkan para jagoan yang terhimpun dalam suatu pasukan istimewa untuk berpencaran dan mencari berita di antara kau m sesat untuk mencari jejak Diana.
Sedangkan Peter Dull lalu memimpin sendiri pasukannya untuk melakukan pencarian ke dusun-dusun dan kampung-kampung sehingga daerah di sekitar itu menjadi gempar karena sikap pasukan kulit putih dan raksasa India itu merajalela di dusun-dusun dengan kasar. Hilangnya Diana belum ditemukan, sudah muncul masalah lain bagi orang kulit putih di Kanton.
Kelompok-kelompok anti kulit putih menjadi semakin marah dengan adanya aksi pembersihan yang dilakukan Peter Dull dengan pasukannya ke dusun-dusun. Mereka lalu mulai melancarkan aksinya lagi, kadang-kadang menyerang pos-pos penjagaan pasukan kulit putih dan beberapa kali terlibat ke dalam pertempuran dengan pasukan Peter Dull.
Juga rakyat mulai tidak suka melihat sikap pasukan kulit putih itu. kau m buruh di pelabuhan yang banyak jumlahnya karena orang-orang kulit putih membutuhkan buruh-buruh kasar untuk mengangkut barang-barang turun naik kapal, juga memperlihatkan sikap membantah dan tidak taat.
Pada suatu hari, pagi-pagi saja sudah terjadi keributan di pelabuhan, ketika para kuli angkut barang sibuk menurunkan barang dari sebuah kapal dan mengangkut barang ke kapal yang lain. Seorang kuli muda yang bertubuh kokoh kekar, ketika sedang mengangkut sebuah peti, terpeleset pada anak tangga yang basah dan petinya terlepas, menimpa kaki seorang mandor kulit putih yang bertubuh gendut. Biarpun kaki itu sudah terlindung sepatu kulit, akan tetapi karena peti itu berat, maka tentu saja kaki itu terasa nyeri bukan main.
Mandor itu berteriak kesakitan, lalu menyumpah-nyumpah dan menghajar kuli itu dengan pukulan-pukulan kanan kiri membuat kuli itu roboh sampai beberapa kali. Tiap kali dia hendak bangkit, sepatu kiri yang tidak tertimpa peti tadi menyambar dan menendang kepalanya, dagunya, dadanya, membuat dia terjerembab kembali. Kuli-kuli lain hanya memandang tanpa bergerak, seolah-olah semua kuli yang tadi sibuk bekerja itu tiba-tiba saja berubah menjadi patung.
Ada yang mukanya membayangkan kengerian, ketakutan, akan tetapi ada beberapa puluh orang kuli yang memandang dengan alis berkerut. Mereka ini adalah sekelompok kuli yang memang mempunyai perasaan tidak suka dan hampir anti kepada orang-orang kulit putih. Mereka itu bekerja sebagai kuli karena memang penghasilannya jauh lebih besar dari pada kalau menjadi petani atau nelayan.
Akan tetapi juga karena mereka ingin mengintai apa yang dilakukan oleh bangsa yang tidak disukainya. Jumlah mereka ada hampir tiga puluh orang dan kebetulan sekali yang menjadi pemimpin mereka adalah pemuda yang kini dijadikan bulan-bulan kemarahan mandor itu! Tentu saja suasana menjadi tegang. Setiap orang anggauta kelompok itu berhenti bekerja dan memandang dengan urat syaraf tegang dan siap siaga.
Akan tetapi, karena pemimpin mereka, pemuda yang bertubuh kokoh itu dipukuli dan ditendangi tanpa melawan, merekapun hanya merasa penasaran saja dan tidak bergerak. Beberapa orang mador melerai dan menyabarkan kawan mereka. Akan tetapi, mandor gendut yang mukanya merah seperti orang mabok itu sudah marah sekali.
“Tidak bisa! Tidak bisa kubiarkan saja dia meremukkan kakiku! Tangan yang melakukannya harus kupotong!”
Dan dia mencabut sebatang pisau belati, kemudian, tanpa dapat dicegah oleh kawan-kawannya, dia menubruk ke depan, pisaunya menyambar ke arah tangan kuli muda itu. Tiba-tiba kuli muda yang tadinya hanya mandah saja dihujani pukulan dan tendangan sehingga mukanya matang biru dan benjol-benjol, kini melihat luncuran pisau belati berkilat yang mengancam tangannya, cepat menarik tangannya.
Hal ini membikin marah si mandor gendut, dan sambil memaki-maki dia menyerangkan pisaunya lagi, sekali ini malah ke arah perut kuli itu. Marahlah orang yang diserang. Serangan itu mengarah maut, maka dia harus mempertahankan dan membela diri. Dengan sigap dia mengelak ke samping, lalu kakinya meluncur ke depan, tepat menendang selangkang mandor gendut itu.
“Aughhh... adduuhhhh...!” Si mandor gendut mengaduh-aduh dan berloncatan sambil menggunakan kedua tangan mendekap selangkangnya yang kena tendang. Kiut miut rasanya, nyeri itu menusuk-nusuk dari selangkang sampai jantung.
Pada waktu itu, Kapten Charles Elliot yang ditemani oleh Peter Dull yang dikawal oleh Koan Jit bersama beberapa orang jagoan berada pula di pelabuhan. Kapten Charles Elliot ingin melihat sendiri pembongkaran peti-peti candu agar dapat diturunkan dengan selamat. Walaupun antara pemerintah Ceng dan Pemerintah Inggeris telah terdapat persetujuan dan perdamaian, di mana disebutkan bahwa pemerintah Ceng memperbolehkan orang-orang kulit putih melakukan perdagangan dan berdiam di Kanton, namun perdagangan candu secara terang-terangan tetap dilarang.
Namun, karena benda ini amat menguntungkan, maka secara sembunyi-sembunyi, dengan peti-peti yang bercampur dengan barang-barang lain, dan dengan tanda-tanda bahwa peti-peti itu berisi barang lain, candu tetap dapat diselundupkan dan didaratkan dalam jumlah besar. Hari itu, perusahaan Inggeris yang bergabung dalam East Indian Company mendaratkan sejumlah besar candu dalam peti-peti yang tulisan dan gambarnya menunjukkan bahwa peti-peti itu terisi barang dagangan.
Ketika para penjaga keamanan melihat mandor itu mengaduh-aduh, mereka menjadi marah. Beberapa orang penjaga kulit putih lalu menghampiri dengan pistol di tangan. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan Letnan Peter Dull. “Tahan! Mundur semua dan jangan tangkap kuli itu!”
Semua orang memandang heran dan tentu saja tidak ada yang berani membantah perintah letnan ini. Peter berbisik kepada Kapten Charles Elliot yang menjadi atasannya. “Ini kesempatan baik untuk menguji kepandaian para pembantu kita.”
Mendengar ini, Charles Elliot mengangguk dan melirik kepada Koan Jit. Bagaimanapun Peter memuji-muji orang ini, kapten itu masih belum yakin benar, bahkan menaruh curiga terhadap laki-laki yang matanya seperti mata kucing itu. Pada saat itu, di samping kuli muda tadi sudah berdiri empat orang lain yang merupakan tokoh-tokoh dalam kelompok mereka, dan bersama si pemuda, mereka pernah dikenal sebagai ahli-ahli silat yang cukup terkenal.
Mereka berdiri tegak, akan tetapi sikap mereka jelas menantang. Empat orang itu adalah teman-teman si pemuda yang memimpin kelompok mereka dan mereka maju ketika tadi melihat betapa pemimpin mereka akan ditangkap, dan melihat lima orang yang merupakan tokoh-tokoh utama dari kelompok mereka sudah maju, dua puluh lebih anggauta kelompok itupun sudah siap siaga untuk bertempur!
Tujuh orang jagoan yang mengawal Peter dan Charles Elliot yang maklum bahwa mereka diharapkan untuk menumpas pengacau itu tanpa mempergunakan senjata api, karena hal itu akan memancing keributan antara orang kulit putih dengan pemerintah daerah, lalu maju menghampiri lima orang itu. Peter mengedipkan matanya kepada Charles Elliot. Kapten ini maklum.
Memang, dia dan pembantunya sudah mengambil keputusan untuk mempergunakan kebijaksanaan dalam menghadapi pribumi yang anti kulit putih, yakin dengan cara mengadu domba antara mereka dengan jagoan-jagoan bayaran mereka. Tentu saja pasukan mereka akan mampu membereskan perusuh-perusuh itu, akan tetapi kalau senjata api dipergunakan, tentu pihak pemerintah akan mencampuri dan perdamaian akan terganggu lagi.
Hal ini hanya memancing keributan dan keresahan. Biarkan orang-orang itu saling hantam, dan sedapat mungkin Charles Elliot akan membasmi mereka yang anti kulit putih dengan menggunakan tenaga-tenaga bayaran dari orang pribumi. Tujuh orang jagoan itu tanpa banyak cakap lagi lalu menerjang lima orang yang sudah siap untuk membela diri. Terjadilah perkelahian seru antara seru antara lima orang perusuh itu dengan tujuh orang jagoan.
Akan tetapi, Peter mengerutkan alisnya melihat betapa tujuh orang jagoannya itu jelas kalah kuat. Mereka dihajar habis-habisan, jatuh bangun dan sama sekali tidak mampu menandingi lima orang yang ternyata pandai ilmu silat itu, jauh lebih pandai dibandingkan tujuh orang jagoannya yang hanya menang lagak saja. Charles Elliot juga marah dan kecewa.
“Suruh para pengawal kita maju!” katanya ke pada Peter.
“Nanti dulu, Kapten!” Peter membantah. “Inilah kesempatan untuk menguji kelihaian pembantu baru ini.”
Karena dia bicara dalam bahasanya sendiri, Koan Jit tidak dapat menangkap artinya, namun dia mengerti ketika dua orang itu bicara sambil memandang kepadanya. “Tuan Letnan, biar aku yang akan menghajar mereka!” katanya. Peter mengangguk dan dengan langkah lebar Koan Jit lalu maju ke dalam arena perkelahian yang ditonton banyak sekali orang itu, baik dari pihak para kuli maupun dari pihak orang kulit putih yang menjadi mandor dan lain-lain. “Mundurlah kalian!” bentak Koan Jit kepada tujuh orang jagoan yang ternyata tidak mampu menandingi lima orang itu.
Dengan lagak yang masih gagah-gagahan, walaupun muka mereka bengkak-bengkak dan ada pula yang terpincang-pincang, tujuh orang itu mundur dan menonton dengan dada terangkat dan tangan terkepal, seolah-olah mereka itu terpaksa mundur karena perintah atasan. Hanya mereka sendiri yang tahu betapa lega hati mereka, karena kalau tidak disuruh mundur, akhirnya mereka akan roboh semua.
Lima orang kuli itu ternyata amat lihai, terutama sekali pemuda yang tadi menendang selangkang mandor gendut. Kini semua mata ditujukan kepada Koan Jit. Tubuhnya yang tinggi kurus dengan muka hitam dan pakaian serba hitam itu tidak terlalu mengesankan memang, akan tetapi lima orang itu merasa ngeri ketika mereka bertemu pandang dengan sepasang mata yang mencorong kehijauan seperti mata kucing itu. Tiba-tiba terdengar suara Peter Dull berteriak,
“Koan Jit, jangan bunuh mereka akan tetapi beri hajaran agar mereka kapok!”
Koan Jit mengerutkan alisnya. Kalau menurut keinginannya, lebih mudah membunuh mereka. Akan tetapi diapun sedang mencari muka agar diperhatikan oleh Kapten Charles Elliot karena dia tahu bahwa kapten inilah yang berkuasa di antara pasukan kulit putih, bukan Peter Dull. Koan Jit memasuki benteng pasukan kulit putih sebagai sekutu atau pembantu bukan sekedar iseng.
Dia sudah memiliki perhitungan masak-masak. Dia melihat kekuatan yang amat besar di dalam pasukan itu, dengan senjata-senjata apinya besar kecil yang amat sukar dilawan dengan ilmu silat saja. Maka, selain mencari tempat yang aman untuk berlindung, juga dia dapat mempergunakan kekuatan pasukan kulit putih untuk mencapai kedudukan, baik sebagi pimpinan kau m sesat, juga kedudukan tinggi di dalam pasukan itu sendiri.
Dia sengaja membiarkan Peter Dull dan pasukannya mencari-cari Diana, pura-pura membantu namun tidak sungguh-sungguh membantu. Dia ingin melihat Peter Dull gagal dalam usahanya, dan kelak setelah keluarga Charles Elliot benar-benar kebingungan, barulah dia akan tampil sebagai bintang penolong!
Tentu jasanya akan besar sekali. Kedudukan Peter Dull sebagai tangan kanan kapten itu harus diraihnya. Dia memiliki cita-cita yang lebih besar lagi. Bahkan pernah dia bermimpi betapa bersama pasukan kulit putih dia menyerbu dan merampas tahta Kerajaan Mancu dan karena jasajasanya, maka orang-orang kulit putih mengengkat dia sebagai kaisar baru!
Karena itu, mendengar perintah yang dikeluarkan oleh mulut Peter Dull tadi, Koan Jit menoleh kepada Kapten Charles Elliot. Dia tahu bahwa kapten itu belum percaya benar kepadanya, baik kelihaiannya maupun kesetiaannya. Dengan pandang matanya dia bertanya dan menanti keputusan kapten itu sebagai orang atasan yang paling berkuasa.
Agaknya kapten inipun maklum bahwa orang tinggi kurus ini mengharapkan pendapatnya, maka diapun mengangkat tangan berkata, “Hajar saja mereka semua, jangan membunuh karena hal itu akan menimbulkan keributan.”
Ucapan ini melegakan hati Koan Jit. Dia lalu berkata, “Bik, aku akan menghajar mereka semua sampai kapok!” Setelah berkata demikian, Koan Jit melangkah lebar ke arah lima orang yang masih bersiap siaga itu.
Melihat munculnya orang tinggi kurus berpakaian hitam ini seorang diri saja, tanpa senjata, lima orang itu tentu saja memandang rendah. “Kalian berlima berlututlah dan menerima hukuman cambuk dengan suka rela, atau aku akan menghajarmu lebih parah lagi,” kata Koan Jit, sengaja berkata demikian untuk memperlihatkan kebesarannya.
Tentu saja lima orang yang anti kulit putih itu tidak sudi menyerah, dan mereka semua memandang Koan Jit yang dianggap sebagai antek dan kaki tangan kulit putih itu penuh kebencian. “Cuhhh!” Pemimpin kelompok yang masih muda dan bertubuh kokoh itu meludah ke arah Koan Jit, lalu dia berkata kepada teman-temannya, “Biar aku sendiri yang mematahkan kaki tangan anjing penjilat iblis-iblis putih ini!”
Dan diapun menerjang dengan dahsyatnya, mengirim pukulan ke arah kepala Koan Jit. Koan Jit miringkan kepalanya sehingga pukulan itu lewat. Akan tetapi kuli muda itu memukul lagi dengan tangan kiri, menonjok dada. Sekali ini Koan Jit tidak mengelak, juga tidak menangkis.
“Dukkk!!” Pukulan itu kuat sekali datangnya dan tepat mengenai dada Koan Jit. Akan tetapi tubuh yang jangkung kurus itu sama sekali tidak tergoyahkan, dan sebaliknya, si pemukul yang merasa tangannya seolah-olah bertemu dengan dinding baja dan nyeri sekali, seperti remuk-remuk semua tulangnya. Dan pada saat itu, Koan Jit mengayun tangannya menampar.
“Plakkk!” Tubuh orang muda itu terpelanting seperti disambar petir dan dia tak dapat berkutik lagi, dari mulut dan hidungnya keluar darah segar! Melihat ini, empat orang pembantunya tadi terkejut dan marah. Mereka langsung menyerbu dan menyerang Koan Jit dengan marah sekali.
Kembali pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan menghujani tubuh Koan Jit yang memang hendak memperlihatkan kekebalannya kepada semua orang, terutama kepada Kapten Charles Elliot. Terdengar suara bak-bik-buk, akan tetapi anehnya, bukan tubuh orang yang menjadi sasaran pukulan-pukulan itu yang roboh, melainkan empat orang pemukul dan penendang itu yang mengeluarkan seruan-seruan kaget dan kesakitan ketika kaki dan tangan mereka kesakitan karena rasanya seperti membentur dinding baja.
Dan sebelum mereka sempat menyerang lagi, Koan Jit sudah menggerakkan kedua tangan, membagi-bagi tamparan dan empat orang itupun berpelantingan dan roboh pingsan! Menyaksikan kehebatan ini, Kapten Charles Elliot sendiri terkejut dan kagum bukan main, akan tetapi juga khawatir.
“Jangan membunuh...!”
“Harap Kapten jangan khawatir. Koan Jit akan mentaati perintah dan orang-orang itu tidak dibunuh, hanya dipukul pingsan saja,” kata Peter Dull dengan suara mengandung kebanggaan karena bagaimanapun juga, dialah yang telah menemukan Koan Jit dan berhasil membujuknya menjadi sekutu. Kini, duapuluh lebih orang kuli yang menjadi kawan-kawan lima orang itu sudah menyerbu dan mengeroyok Koan Jit, bahkan di antara mereka ada yang membawa senjata sepotong besi dan lain-lain alat pengangkut yang terdapat di tempat itu.
Dan terjadilah perkelahian yang makin mengagumkan hati Kapten Charles Elliot dan juga mengagumkan hati semua mandor dan orang kulit putih yang berada di situ. Seorang diri saja, Koan Jit melayani pengeroyokan demikian banyaknya orang-orang yang buas karena kemarahan dan dia bergerak seenaknya saja.
Akan tetapi, ke manapun juga tangannya melayang, tentu seorang pengeroyok terlempar dan kesakitan, pingsan atau merangkak-rangkak tak dapat bangkit kembali karena mengalami patah tulang. Dan dalam waktu yang amat singkat, hampir tiga puluh orang perusuh itu kini semua menggeletak malang melintang, tubuh mereka berserakan, ada yang pingsan dan ada yang merintih-rintih karena patah tulang dan kesakitan.
“Orang ini berbahaya sekali...” kata kapten itu kepada pembantunya, akan tetapi Peter Dull tersenyum kegirangan karena makin yakinlah hatinya bahwa Koan Jit benar-benar merupakan tenaga bantuan yang amat berharga bagi kesatuannya.
Peristiwa ini membawa perubahan semakin besar kepada Koan Jit. Kini Kapten Charles Elliot sendiri yakin akan kehebatan orang ini, dan karena jasanya, juga disesuaikan dengan kemampuannya, kini Koan Jit diangkat menjadi komandan pasukan pribumi yang dibentuk tidak lama kemudian. Pasukan ini terdiri dari jagoan-jagoan yang berhasil dikumpulkan Peter Dull dan kemudian diperkembangkan oleh Koan Jit. Dia menaklukkan tokoh-tokoh sesat dan memaksa mereka itu masuk menjadi anggauta pasukannya.
Pasukan yang terdiri dari pribumi ini mempunyai bendera sendiri, akan tetapi berada di bawah armada Inggeris dan mendapatkan tempat di perbentengan yang dibangun di tepi pantai. Koan Jit amat disegani, dan menduduki tempat penting karena sebagai komandan pasukan itu, dia dianggap seorang perwira tinggi yang kedudukannya hampir setingkat dengan Peter Dull. Bukan Kapten Charles Elliot lagi yang membawahinya, melainkan komandan armada yang pangkatnya jauh lebih tinggi dari pada kapten itu!
Pasukan yang dipimpin Koan Jit kini terdiri dari tigaratus orang lebih dan diberi nama Pasukan Harimau Terbang! Semua anggauta pasukan ini mengenakan topi yang terbuat dari kulit harimau! Karena rata-rata memiliki ilmu silat lumayan dan gerakan mereka cepat, maka diberi nama Harimau Terbang.
Sementara itu, Kapten Charles Elliot merasa semakin gelisah karena usaha Peter Dull untuk mencari keponakannyabelum berhasil, pada hal lenyapnya Diana sudah berjalan selama hampir tiga bulan! Dia merasa khawatir sekali kalau-kalau keponakannya itu melakukan penyelewengan seperti yang dilakukan Sheila, puteri mendiang Hellway yang lenyap itu kabarnya telah menjadi isteri seorang di antara para pemberontak!
Hal ini merupakan sebuah tamparan yang amat hebat bagi orang-orang kulit putih. Dan dia merasa khawatir sekali kalau-kalau Diana juga mengalami nasib buruk seperti yang dialami Sheila. Dia yang akan menderita aib kalau sampai terjadi hal yang amat memalukan itu. Pada pagi itu, Kapten Elliot membicarakan soal Diana dengan Peter Dull. Untuk kesekian kalinya, dia menegur pembantunya itu.
“Peter, mengapa sampai kini engkau belum juga berhasil menemukan Diana? Ah, apa yang terjadi dengan anak yang malang itu? Apakah engkau tidak mengerahkan seluruh tenaga untuk mencarinya? Ingat, Peter, engkau lah yang bertanggung jawab karena Diana lenyap ketika berjalan-jalan denganmu!” Peter Dull menarik napas panjang. Hal ini memang selalu mengganggunya, bahkan membuat gelisah tak dapat tidur setiap malam.
“Kapten, saya mencinta Diana. Sayalah di samping Kapten yang merupakan orang yang merasa paling kehilangan dan gelisah. Rasanya, saya mau mempertaruhkan nyawa untuk mendapatkan kembali. Tentang kehilangan itu... saya kira Kapten sudah mengenal watak Diana yang keras. Diana yang memaksa saya melakukan perjalanan sejauh itu, bahkan ia juga membalapkan kudanya sampai tak dapat saya susul. Hal ini sudah saya ceritakan berkali-kali...!”
“Aku tidak perduli semua itu! Yang penting, Diana harus dapat kita temukan kembali! Harus!! Dan siapa lagi kalau bukan engkau yang dapat kuharapkan dan kupercaya untuk melakukan tugas itu sampai berhasil?”
“Selama ini saya tidak pernah berhenti berusaha menyebar orang-orang kita, bahkan juga pasukan Harimau Terbang sudah membantu, akan tetapi hasilnya kosong. Dengan sedih saya terpaksa berterus terang dengan dugaan saya bahwa Diana terjatuh ke tangan para pemberontak yang anti kepada kita, sehingga mereka itu merahasiakan di mana adanya Diana.”
“Kita harus dapat menemukan Diana!” Kapten itu marah sekali dan juga gelisah. “Panggil Koan Jit ke sini!”
Koan Jit dipanggil menghadap dan diam-diam orang ini merasa gembira sekali. Inilah saat yang dinanti-nantinya. Ketika Kapten itu menyatakan keinginannya agar Koan Jit turun tangan dan membantu sungguh-sungguh agar Diana dapat ditemukan kembali, sengaja Koan Jit menoleh kepada Peter Dull dan berkata. “Harap Kapten suka memaafkan saya. Selama ini, saya hanya melakukan perintah-perintah Letnan Peter Dull dalam usaha mencari keponakan tuan.”
“Cukup! Sekarang engkau menerima perintah langsung dariku dan kau boleh melakukan pencarian dengan caramu sendiri!” kata Kapten itu tak sabar.
“Baiklah, Kapten. Mulai hari ini, saya akan berusaha mati-matian untuk menemukan keponakan tuan, dan akan saya kerahkan anak buah saya dengan menyamar sebagai rakyat biasa. Saya yakin bahwa dalam waktu singkat tentu akan dapat diperoleh kabar tentang keponakan tuan itu.” Dia berhenti sebentar dan berkata kepada Letnan Peter Dull, “Apakah Letnan sudah menyampaikan permintaan saya kepada Kapten?”
Peter Dull sedang pusing karena dimarahi atasannya. “Permintaanmu itu sedang kupertimbangkan dan tidak ada sangkut pautnya dengan usaha mencari Diana!”
“Apa permintaanmu itu, Koan Jit?”
Mendengar pertanyaan itu, Koan Jit tersenyum. “Saya ingin sekali melihat kemajuan kekuasaan pasukan Inggeris dan satu-satunya hal yang menjadi penghalang besar adalah kelompok-kelompok yang anti kepada bangsa kulit putih. Saya ingin mengundang semua tokoh persilatan, terutama dari golongan hitam untuk kita ajak bersama menghadapi pemerintah Mancu. Kalau mereka semua sudah berpihak kepada kita, tentu golongan yang anti kepada kita itu akan mundur. Dan saya minta agar pasukan Inggeris membantu saya dalam hal ini, yaitu setelah mereka datang berkumpul, kita basmi mereka yang tidak mau bersekutu. Dan agar pasukan membantu saya supaya dapat menjadi beng-cu di antara mereka.”
Bagi Kapten Charles Elliot, semua usul Koan Jit itu dianggap hanya ambisi seorang yang ingin menjadi pemimpin para jagoan. Dia sedang pusing memikirkan Diana, maka permintaan itu dianggap sepele saja. “Baiklah, kami akan membantumu kelak. Sekarang yang penting adalah mencari Diana sampai dapat. Tentang usul-usulmu, akan kubicarakan dengan Admiral Elliot, dan aku yakin dia akan setuju karena usahamu itu untuk memperkuat kedudukan kami pula.”
Bukan main girang hati Koan Jit mendengar ini. Admiral Elliot adalah komandan tertinggi dari armada Inggris yang datang dan memberi hajaran kepada pemerintah Mancu karena membakar candu sehingga timbul perang candu. Pasukan Harimau Terbang memang juga direstui oleh Admiral, akan tetapi dia, sebagai komandan pasukan itu yang dianggap kecil, mana mungkin bertemu dan bicara dengan Admiral Elliot yang kedudukannya demikian tinggi, sebagai wakil dari Kerajaan Inggris?
Akan tetapi, melalui kapten ini yang masih keponakan dari admiral itu, tentu usul-usulnya akan dapat disampaikan langsung dan kalau sampai dia dapat menjadi beng-cu, kalau sampai dia dapat memperoleh kedudukan tinggi di dalam pasukan Inggeris dan menguasai dunia hitam, tentu akan mudah mencapai puncak cita-citanya, yaitu merebut tahta Kerajaan Ceng!
Memang sebetulnya, mencari Diana sampai dapat, baik orangnya kalau masih hidup atau keterangan tentang dirinya kalau sudah mati, tidak terlalu sukar bagi Koan Jit kalau memang hal itu dikehendakinya. Sekarang, setelah dia mendapatkan tugas langsung dari Kapten Charles Elliot, Koan Jit lalu mengerahkan anak buahnya, menyuruh mereka menanggalkan pakaian seragam, mengenakan pakaian biasa dan membagi-bagi kelompok pergi mencari keterangan tentang seorang gadis kulit putih yang mungkin tinggal di daerah padalaman.
Dengan berkelompok antara lima sampai sepuluh orang, ratusan orang anggauta Harimau Terbang itu dalam pakaian preman mulai melakukan penyelidikan. Mereka menyusup-nyusup ke dalam hutan-hutan, naik turun bukit, menyusuri sepanjang sungai sampai mereka tiba di daerah-daerah terpencil.
Akhirnya, beberapa hari kemudian saja, sekelompok yang terdiri dari sepuluh orang dapat menemukan jejak, yaitu ketika mereka mendengar bahwa di suatu dusun terpencil terdapat seorang wanita kulit putih yang hidup seperti penduduk dusun.
Tentu saja mereka merasa girang sekali dan dengan cepat mereka mendatangi dusun itu. Memang berita itu tidak bohong. Di dusun itulah hidup Diana! Selama lebih dari tiga bulan Diana hidup sebagai seorang gadis dusun. Kini kulitnya yang biasanya putih mulus itu menjadi kemerahan dan wajahnya kini nampak berseri penuh gairah hidup. Ia sudah terbiasa dengan kehidupan miskin sederhana, bahkan mulai dapat menikmati kehidupan ini dan mulai mengerti akan makna kebahagiaan hidup.
Berkat pendidikannya, ia bahkan mulai mengajarkan segala macam pengetahuan praktis kepada penduduk, tentang pemeliharaan kesehatan, tentang pengolahan tanah yang diketahuinya dari buku-buku, tentang kebersihan dan lain-lain. Di samping itu, iapun menerima pelajaran yang langsung didapatnya dari praktek. Bahkan ia sempat pula belajar ilmu silat dari Lauw Sek yang sudah menganggapnya sebagai anak atau keponakan sendiri.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Diana sudah pergi ke sawah ladang bersama keluarga Lauw. Pagi itu mereka akan menuai padi yang sudah menguning tua. Juga para penduduk dusun itu, pagi-pagi sekali sudah meninggalkan rumah, pergi ke sawah. Karena sawah mereka menghasilkan padi yang gemuk dan subur, semua orang bergembira dan bahkan ada yang bernyanyi-nyanyi dengan suara lantang ketika mereka menuai padi.
Seorang di antara kaum wanita yang sedang menuai padi itu tiba-tiba minta agar Diana suka bernyanyi. Permintaan ini segera didukung oleh semua orang dan sambil tersenyum gembira akhirnya Diana memenuhi permintaan mereka dan sambil menuai padi, iapun bernyanyi...