Pedang Naga Kemala Jilid 16

Sonny Ogawa

Pedang Naga Kemala Jilid 16 karya Kho Ping Hoo - “Palsu...??” Tee-tok berteriak, sedangkan Siauw-bin-hud juga memandang tajam kepada San-tok.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Tentu saja berita ini merupakan berita yang amat penting sekali. Namanya telah dihebohkan karena pedang pusaka itu, bahkan dia telah mempergunakan waktu bertahun-tahun untuk mencari perampas Giok-liong-kiam yang mempergunakan namanya. Bukan itu saja, seluruh tokoh kang-ouw berebutan dan terjadi perkelahian-perkelahian, korban-korban nyawa, dan semua itu untuk memperebutkan sebuah benda palsu!

“Ya, palsu, Giok-liong-kiam di tangan Koan Jit itu adalah pedang yang palsu, ha-ha!” San-tok tertawa-tawa dengan gembira sekali.

“Aku tidak percaya!” Tee-tok membentak, mukanya merah karena dia mengira rekannya itu mempermainkannya.

“Ha-ha-ha, kalau tidak percaya, pergilah kau mencari Koan Jit untuk memperebutkan pedang palsu dengan dia. Ha-ha, memang orang seperti engkau ini lebih patut kalau memperebutkan sebuah benda palsu dari pada mempercaya seorang seperti aku!”

“Omitohud, pinceng percaya ceritamu itu, San-tok,” kata Siauw-bin-hud dan suaranya terdengar mengandung kekecewaan. Kalau dia bersusah payah selama bertahun-tahun dan namanya dihebohkan hanya untuk urusan pedang palsu, itu bukan merupakan hal yang mengecilkan hatinya sekarang ini.

Akan tetapi yang mendatangkan kecewa adalah kenyataan bahwa kalau pedang itu palsu, berarti harta karun itupun tidak akan bisa ditemukan. Mendengar ucapan tokoh Siauw-lim-pai itu yang mempercayai cerita San-tok, Tee-tok menjadi ragu-ragu dan diapun kini memandang kepada San-tok dengan penuh harapan untuk memperoleh keterangan lebih lanjut.

“Hwesio tua, engkau memang belum pikun dan dapat berpikir secara bijaksana sekali. Aku memang tidak berbohong.”

“Siancai..., kalau begitu, musnahlah cita-cita kita bersama untuk mencari harta karun agar dapat dipergunakan membiayai perjuangan rakyat...”

“Ha-ha-ha, jangan khawatir, Siauw-bin-hud. Akulah yang akan menemukan harta karun itu. Secara kebetulan aku mendapatkan keterangan tentang palsunya Giok-liong-kiam di tangan Koan Jit itu dan bukan hanya itu yang kuketahui. Akupun mengetahui rahasia bagaimana untuk dapat menemukan harta karun itu.”

“Kau membual!” teriak Tee-tok. “Kalau benar demikian, apa maksudmu menceritakan kepada kami tentang kepalsuan Giok-liong-kiam?” Tentu saja Tee-tok merasa curiga karena biasanya, orang-orang seperti mereka, apa lagi Empat Racun Dunia, selalu mempergunakan siasat dan tipu muslihat untuk mengelabui orang lain demi keuntungan diri sendiri. Maka, keterangan San-tok ini tentu tak dapat ditelannya mentah-mentah begitu saja.

“Ha-ha-ha, dasar tolol tetap tolol! Kalau tidak ada sebab-sebabnya, apa kau kira aku begitu bodoh untuk menceritakan ini semua kepada orang seperti engkau, Tee-tok? Sudah kukatakan tadi, rahasia ini tentu saja kusimpan sendiri dan aku bersama muridku akan tertawa geli sampai perut kaku melihat betapa kalian semua orang kang-ouw saling berlumba memperebutkan pusaka yang berada di tangan Koan Jit itu. Tadinya aku memang ingin begitu, melihat kalian seperti anjing-anjing berebutan tulang busuk, sedangkan aku diam-diam akan mengambil dan menikmati harta karun itu.

Akan tetapi, setelah pertemuan di pesta Hai-tok, pendirianku berubah. Kita adalah rekan-rekan seperjuangan dan persatuan demi tanah air ini membuat aku memaksa diri mengesampingkan kepentingan pribadi. Aku sengaja menceritakan agar kalian tidak membuang-buang waktu memperebutkan pusaka palsu itu. Nah, belum juga engkau menghaturkan terima kasih kepadaku, Tee-tok?”

“Terima kasih hidungmu! Engkau masih merahasiakan tempat harta karun dan akan mengambilnya sendiri untuk memiliki Giok-liong-kiam tulen dan mendapatkan sebutan pahlawan dan jagoan nomor satu! Akan tetapi, mengenai perjodohan murid-murid kita, aku tidak mau mengalah kalau engkau hendak memaksa Siauw-bin-hud menyerahkan muridnya!”

Mendengar nada suara menantang itu, San-tok mengerutkan alisnya dan menatap wajah rekannya itu dengan tajam. “Kalau tidak mau mengalah, lalu kau mau apa?”

“Mau apa?” Tee-tok melompat berdiri dan sikapnya menantang sekali. “Hayo majulah, kau kira aku takut padamu?”

“Cacing pita! Akupun tidak takut!” San-tok juga melompat berdiri.

“Omitohud, kalian ini benar-benar seperti anak kecil.” Siauw-bin-hud tahu-tahu sudah berdiri di antara mereka. “Harta karun belum ditemuka, perjuangan belum dilakukan, dan kalian sudah ingin saling genjot dan saling bunuh sendiri? Pejuang-pejuang macam apa kalian ini? Celaka, kalau semua pejuang seperti kalian, belum apa-apa kita sudah kehabisan tenaga.”

Dua orang Kakek yang sudah saling melotot itu sadar dan keduanya duduk kembali dengan muka merah. “Wah, aku memang pelupa dan pemarah. Dia itu yang membikin darah naik!” kata San-tok. “Maaf, Siauw-bin-hud. Menghadapi orang macam dia itu memang bisa bikin orang lupa daratan!”

Watak dan sikap dua orang datuk sesat ini memang menggelikan, seperti anak-anak saja mereka itu. Akan tetapi, bukankah kita semua ini hanyalah anak-anak yang besar tubuhnya saja? Apa bedanya kita dengan anak-anak? Masih selalu memperebutkan sesuatu, masih cengeng, masih suka berkelahi, mesih mengejar-ngejar kesenangan!

Kalau orang yang susah menjadi Kakek berhadapan dengan anak cucunya, mungkin dia bersikap seperti seorang Kakek. Akan tetapi sikap ini sesungguhnya dipaksakan berhubung keadaan, karena malu dan merasa tua.

Akan tetapi, kumpulkanlah Kakek-kakek itu dengan teman-teman sebayanya, maka akan kembali menjadi anak-anak nakal! Hal ini tentu dirasakan oleh kita semua yang mau melihat diri sendiri dan tidak berpura-pura! Kita ini hanya anak-anak besar tubuhnya.

Tubuh kita memang tumbuh menjadi besar, akan tetapi batin kita kadang-kadang bahkan semakin kecil, sarat dengan segala macam kepalsuan dan pamrih-pamrih tersembunyi, sedangkan anak-anak belum mengenal kepalsuan dan pamrih-pamrihnya tidak tersembunyi.


Karena merasa bersalah, Tee-tok lalu memperlihatkan sikap berbaik kembali dengan San-tok. Memang para datuk sesat itu aneh wataknya. Mudah tersinggung dan mudah marah sampai tega membunuh kawan, akan tetapi juga tidak mendendam dan mudah melupakan perselisihan antara mereka.

“Hei, San-tok. Engkau sudah mempunyai seorang murid perempuan yang baik, kenapa engkau mengambil murid perempuan bule itu? Untuk apa punya murid seperti itu?”

“Aih, kau tidak tahu! Siapa sudi mempunyai murid seperti itu? Akan tetapi ini semua gara-gara ulah muridku Hong-Hong. Ialah yang memaksaku menerima Diana sebagai murid, dan aku diakali olehnya, kalah janji. Kalau aku tidak mau menjadi guru Diana, berarti aku menjilat ludah sendiri. Sialan!”

Mereka lalu bercakap-cakap dengan Siauw-bin-hud, membicarakan keadaan tanah air dan berita-berita yang mereka dengar tentang gerakan para pejuang, tentang kedudukan Koan Jit yang kuat dan tentang cita-cita mereka untuk menumbangkan kekuasaan penjajah Mancu dan menghalau kekuasaan asing kulit putih.

Sementara itu, Diana, Ci Kong dan Kui Eng berjalan-jalan di kebun yang luas itu. Mereka lalu duduk di ujung kebun, jauh dari kuil, di bawah pohon yang rindang di mana terdapat bangku-bangku bersih yang seolah-olah tersenyum mempersilahkan mereka duduk.

Tempat itu memang nyaman sekali. Terdapat rumpun bambu yang gemersik tertiup angin, setiap ujung daun bergerak sendiri-sendiri seperti memiliki kehidupan pribadi, padahal merupakan serumpun, dan semua garis, semua lengkung, semua warna, antara cahaya dan bayangan, membentuk pandangan yang mengandung kesenian bernilai tinggi.

Mereka tadi sudah berkenalan sambil berjalan-jalan dan hati Diana girang sekali telah sempat berkenalan dengan penolongnya dan memperoleh sahabat baru yang demikian cantik manis dan gagah perkasa. Diam-diam ia membandingkan Kui Eng dengan Lian Hong dan biarpun hatinya lebih condong kepada sahabat lamanya itu, namun harus diakuinya bahwa teman barunya inipun amat menarik dan mengagumkan.

“Ci Kong, sungguh aku minta maaf kepadamu atas peristiwa tadi. Aku tidak berniat buruk sama sekali dan aku lupa diri.”

Kui Eng tersenyum lebar melihat wajah pemuda itu menjadi merah sekali. “Tentu saja engkau tidak berniat buruk dan perbuatanmu itupun tidak buruk, bahkan manis sekali, Diana! Engkau tidak perlu minta maaf karena Ci Kong tentu senang juga dengan perbuatanmu tadi.” Tentu saja Kui Eng berkata demikian untuk menggoda sehingga wajah pemuda itu menjadi semakin merah.

“Sudahlah, Diana,” Ci Kong berkata dengan halus dan diapun merasa dekat dengan gadis bule ini karena selain pandai sekali berbahasa daerah, juga gadis ini amat akrab, menyebut namanya dan nama Kui Eng begitu saja sehingga mereka segera menjadi akrab dan dapat bercakap-cakap tanpa sungkan-sungkan lagi. “Segala yang dilakukan tanpa unsur kesengajaan untuk mengganggu orang lain adalah tidak salah. Perbuatanmu itu kau lakukan karena kebiasaan cara hidup di negeri dan bangsamu. Akan tetapi di sini, perbuatan itu bisa dianggap tidak sopan, dan amat mengejutkan orang yang melihatnya.”

“Aku tahu, tapi ketika aku melihatmu di sana, sungguh aku menjadi lupa diri dan hanya menurutkan kegembiraan hati saja. Salahmu sih, dahulu itu kenapa engkau pergi begitu saja tanpa pamit? Coba kau bayangkan, Kui Eng, dia baru saja menyelamatkan nyawaku dari ancaman maut, akan tetapi dia terus pergi tanpa pamit. Hati siapa takkan merasa menyesal? Maka begitu bertemu, aku begitu gembira sampai lupa diri.”

“Tentu saja, Diana,” kata Kui Eng. “Engkau tahu siapa Tan Ci Kong? Biarpun namanya saja cucu murid Locianpwe Siauw-bin-hud, akan tetapi dia adalah muridnya, murid tunggal yang memiliki kepandaian tinggi. Dia seorang pendekar Siauw-lim-pai dan seorang pendekar besar memang selalu bertindak tanpa pamrih. Satu-satunya yang mendorong perbuatannya hanyalah menentang kejahatan, melindungi yang lemah, dan membela kebenaran dan keadilan. Setelah menyelamatkanmu, berarti tugasnya selesai dan perlu apa dia menanti balasan atau ucapan terima kasih?”

“Begitukah...?” Diana memandang kepada Ci Kong dan matanya yang biru lebar itu terbelalak penuh kagum.

Mula-mula Ci Kong balas memandang, akan tetapi melihat betapa mata biru amat indah dan lebar bening itu menatapnya seperti itu, dia tidak berani lama-lama memandang. Sekarang dia mulai merasakan keindahan dan kecantikan wajah gadis bule ini!

“Wah, kalau begitu para pendekar di sini lebih hebat dari pada para ksatria dalam dongeng rakyat di negeriku!”

“Bgaimana dengan pahlawan-pahlawan dan ksatria-ksatria di negerimu?”

“Mereka juga pembela kebenaran dan keadilan, akan tetapi mereka masih ingin memperoleh pahala, terutama sekali memperoleh hadiah gelar dari puteri.” Ia kembali memandang wajah pemuda itu. “Jadi para pendekar di sini yang selalu siap menyumbangkan tenaga dengan taruhan nyawa untuk membela kebenaran dan keadilan, selalu tidak pernah menerima balas jasa apapun?”

Kui Eng menggeleng kepala. “Kalau menerima balas jasa itu namanya bukan pendekar, Diana. Seperti Ci Kong ini, bukan hanya tak pernah menerima balas jasa, bahkan sering menerima air tuba sebagai balas air susu yang diberikan.”

“Maksudmu?”

“Dia menolong, akan tetapi yang ditolongnya membalasnya dengan kejahatan.”

“Ah, mana mungkin?”

“Mungkin saja! Pernah dia menyelamatkan seorang gadis yang terancam bahaya maut, akan tetapi gadis yang diselamatkan nyawanya itu, tidak berterima kasih malah menyerangnya dan hampir membunuhnya...”

“Kui Eng...! Ci Kong mencoba untuk mencegah gadis itu melanjutkan.

Akan tetapi Kui Eng tersenyum, dan berkata, “Menceritakan hal yang sebenarnya terjadi, tidak ada salahnya.”

“Ah, aku tidak percaya. Mana ada orang yang begitu jahat, diselamatkan nyawanya malah menyerang dan hampir membunuh penolongnya dan tidak berterima kasih? Tidak mungkin, mana ada orang seperti itu?”

“Inilah orangnya!” kata Kui Eng sambil menunjuk dada sendiri. “Ci Kong ini pernah menolongku ketika aku dikepung pasukan pemerintah. Aku sudah terluka dan kehabisan tenaga dan jatuh pingsan ketika Ci Kong menolongku, membawa aku keluar dari kepungan dan menyelamatkan aku dari ancaman maut. Kalau tidak ada dia yang turun tangan, tentu aku sudah mati. Akan tetapi begitu siuman dari pingsan, aku lalu menyerangnya mati-matian!”

“Ihhh...!” Diana berseru kaget dan mengerutkan alisnya.

“Jangan mudah dibohongi, Diana,” kata Ci Kong sambil tertawa. “Kui Eng melakukan serangan itu tanpa disadarinya. Ia mengira bahwa saya seorang musuh, maka ia menyerang mati-matian. Setelah ia tahu bahwa saya bukan musuh, kami lalu menjadi sahabat baik.”

“Ah, kalau begitu aku mengerti. Aku tidak percaya orang seperti kau ini demikian jahatnya, membalas kebaikan dengan kejahatan, Kui Eng.” Ia lalu memandang kepada Ci Kong dan sebuah pikiran membuat wajah gadis bule ini berseri dan seperti biasa, ia langsung saja mengatakan apa yang dipikirkannya itu.

“Ah, kalian ini sungguh merupakan sepasang pendekar yang amat cocok! Ci Kong seorang pemuda tampan dan gagah perkasa berwatak halus dan budiman, sedangkan Kui Eng adalah seorang gadis yang cantik manis dan lihai pula.”

Mendengar ucapan yang sama sekali tak pernah mereka sangka dilontarkan begitu saja dari mulut Diana, Ci Kong dan Kui Eng saling pandang dan muka mereka mendadak menjadi kemerahan. “Aih, kau ini ada-ada saja, Diana! Mana mungkin aku disamakan dengan pendekar ini? Dia adalah murid dari Locianpwe Siauw-bin-hud, dia seorang pendekar muda yang perkasa dari Siauw-lim-pai, sedangkan aku? Aku keturunan jahat, dan aku murid seorang datuk sesat yang biasa berkecimpung dalam dunia kejahatan. Diana, kau seperti membandingkan aku sebagai seekor burung gagak dan dia sebagai seekor burung Hong.”

“Nona... Kui Eng, jangan engkau berkata demikian.” Ci Kong cepat membantah. “Baik buruknya seseorang nampak dalam sepak terjang kehidupannya, bukan dari keturunan atau perguruannya.”

“Cocok!” Diana berkata sambil tertawa. “Aku sudah mendengar banyak dari suci Lian Hong tentang Empat Racun Dunia. Dan akupun sekarang menjadi murid seorang di antara mereka. Akan tetapi, yang kupelajari adalah ilmu silatnya, bukan perbuatan jahat.”

Tidak lama kemudian, muncul tiga orang Kakek itu, mengajak murid-murid mereka melanjutkan perjalanan. Tiga orang Kakek itu sudah bersepakat. San-tok hendak melanjutkan usahanya mencari harta karun. Tee-tok ingin menyampaikan kepada rekan-rekan seperjuangan agar menghentikan usaha mereka merampas Giok-liong-kiam dari tangan Koan Jit yang ternyata hanya merupakan benda palsu.

Sedangkan Siauw-bin-hud akan mengabarkan kepada para tokoh besar di dunia para pendekar agar segala permusuhan pribadi antara kaum persilatan dihentikan dulu sehingga seluruh kekuatan dapat dipersatukan untuk perjuangan. Mereka berjanji akan saling bertemu kembali kalau San-tok sudah berhasil menemukan harta karun.

Hati Ci Kong merasa berat harus berpisah dari Diana dan Kui Eng, dua orang gadis yang amat menyenangkan hatinya itu. Di dalam perjalanannya mengikuti Siauw-bin-hud kembali ke pusat Siauw-lim-si, Ci Kong membayangkan wajah gadis-gadis yang pernah dijumpainya dan membanding-bandingkan mereka. Dan harus diakuinya bahwa mereka semua itu, Siauw Lian Hong, Ciu Kui Eng, Tang Ki, bahkan juga Diana, merupakan gadis-gadis pilihan yang selain memiliki kecantikan-kecantikan khas, juga mempunyai watak-watak yang aneh dan menarik.

Dia sendiri tidak tahu apakah dia jatuh cinta kepada seorang di antara mereka. Dia tidak tahu bagaimana sih rasanya jatuh cinta itu! Akan tetapi harus diakuinya bahwa dia merasa suka, kagum dan senang bergaul dengan mereka semua dan kalau dia disuruh memilih siapa di antara mereka semua yang paling hebat, sukarlah agaknya bagi dia untuk menentukan.

Siauw Lian Hong seorang gadis yang cantik dengan sepasang matanya yang lebar dan bersinar-sinar bening dan tajam, dengan wajahnya yang bulat, pendiam, sederhana dan nampak cerdik dan gagah sekali. Ciu Kui Eng seorang gadis yang manis sekali, matanya tajam, mukanya lonjong dengan mulut yang manis sekali, galak, manja akan tetapi juga memiliki sikap dan wajah gagah perkasa.

Sukar dikatakan siapa di antara keduanya itu, Lian Hong dan Kui Eng, memiliki bentuk tubuh yang lebih elok. Keduanya bertubuh padat, penuh, langsing dan berkulit mulus. Tang Ki atau Kiki, jelita dan galak lucu, nakal manja, ditambah manis dengan tahi lalat di pipinya, biarpun nampak galak dan nakal, namun hatinya lembut sekali juga gagah perkasa dan pinggangnya ramping bukan main, agaknya dapat dilingkari dengan jari-jari tangannya.

Dan Diana? Wah, gadis ini memiliki kecantikan yang khas dan aneh. Matanya biru laut, rambutnya yang seperti benang emas, kulitnya yang putih kemerahan dengan bulu-bulu halus sekali, tubuhnya yang tinggi ramping, sikapnya yang terbuka, pendeknya, ada daya tarik yang amat kuat keluar dari diri gadis bule itu. Akan tetapi, lamunannya itu dibuyarkan oleh suara gurunya atau juga Kakek gurunya yang berkata dengan nada suara lembut,

“Ci Kong, engkau sudah mendengar sendiri betapa pinceng sudah berjanji untuk membagi tugas pekerjaan dengan para tokoh Empat Racun Dunia. Bagian tugas pinceng adalah membujuk para pendekar di seluruh negara untuk menghentikan permusuhan pribadi dan mau bekerja sama dengan segala golongan, juga golongan sesat, untuk menyatukan tenaga untuk perjuangan.

Pinceng sudah terlalu tua, Ci Kong, dan selain belum tentu pinceng akan kuat untuk melaksanakan tugas berat itu, juga pinceng ingin mengaso dan bertapa lagi. Engkau wakililah pinceng melaksanakan tugas itu, pinceng akan bertapa di dalam guha maut di bukit belakang kuil yang sudah kau ketahui tempatnya. Setelah melaksanakan tugas itu selama satu tahun, engkau boleh datang memberi laporan kepada pinceng.”

“Baik, su-couw, teecu akan mentaati perintah su-couw,” jawab Ci Kong dan Kakek itu lalu meninggalkan dia untuk kembali ke Siauw-lim-si pusat.

Ci Kong sendiri, lalu berangkat meninggalkan kuil kecil itu untuk melaksanakan tugasnya yang baginya amat menyenangkan. Dia akan mengunjungi dan bertemu dengan tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw, bukankah hal itu amat menggembirakan? Dengan penuh semangat, Ci Kong lalu berangkat.

* * *

Kita tinggalkan dulu para tokoh yang sedang berusaha untuk memupuk kekuatan guna perjuangan itu dan mari kita melihat keadaan Gan Seng Bu dan para pejuang yang berkumpul dan tinggal di sebuah dusun sebelah barat Kanton. Mereka itu menyamar sebagai penghuni dusun, bekerja sebagai petani-petani biasa.

Mereka berjuang dengan rahasia, kadang-kadang saja mereka menyelundup ke kota-kota dan menyerang markas-markas pasukan pemerintah penjajah. Gan Seng Bu tinggal pula di antara mereka, bersama isterinya, yaitu Sheila. Suami isteri muda ini, walaupun berlainan bangsa, berbeda kulit, namun ternyata mereka itu saling mencinta dengan murni.

Sheila yang mengagumi suaminya, kini sudah dapat menyelami cara hidup para pejuang dan dianggapnya bahwa suami dan kawan-kawannya itu adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa, yang patut dihormati. Ia merasa kagum dan menghormati perjuangan suaminya dan para pejuang.

Makin nampak olehnya betapa jahatnya politik yang dianut oleh bangsanya sendiri, yang demi mengeduk keuntungan sebanyaknya, tidak segan-segan untuk meracuni sebuah bangsa dengan racun madat. Bahkan kalau perlu menguasai dan menjajah negara dan tanah air bangsa lain. Cinta kasih yang dicurahkan oleh suami isteri ini telah menghasilkan benih dalam kandungan Sheila.

Ia sudah mengandung tiga bulan dan hal ini bukan hanya menggirangkan suami isteri muda itu, akan tetapi juga mendatangkan kegembiraan kepada para kawan seperjuangan karena mereka itu rata-rata sudah dapat menerima Sheila sebagai seorang kawan, berkat sikap Sheila yang amat baik dan juga setia kawan.

Kebahagiaan hidup sederhana mereka itu agaknya tidak akan mengalami gangguan. Sama sekali Seng Bu dan isterinya tidak sadar bahwa ada bayangan malapetaka semakin mendekati mereka! Bahaya ini datang dari Koan Jit!

Seperti diketahui, Koan Jit merasa marah, kecewa dan penasaran sekali karena dia gagal menangkap Diana. Apa lagi ketika dia mendengar betapa anak buahnya yang hendak menangkap Sheila telah dihajar babak belur oleh Gan Seng Bu, hatinya menjadi semakin panas. Dia tahu bahwa dirinya menjadi incaran para tokoh diseluruh kang-ouw yang ingin merampas Giok-liong-kiam.

Dia sendiri, sekian lamanya memiliki Giok-liong-kiam akan tetapi belum juga mampu menemukan rahasia pusaka itu, rahasia yang sudah didengarnya bahwa pusaka itu menyembunyikan rahasia harta karun yang besar. Sudah dicobanya berbagai macam, namun senjata pusaka itu sama sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda menyimpan rahasia!

Dan dia tahu bahwa dirinya diancam oleh banyak tokoh-tokoh besar yang lihai, yang ingin sekali merampas pusaka itu. Dan dianggapnya berbahaya sekali baginya, di samping Empat Racun Dunia, juga dua orang sutenya yang telah menguasai ilmu-ilmu yang pernah dipelarinya. Ong Siu Coan dan Gan Seng Bu!

Dua orang sute ini merupakan saingan yang cukup berat dan berbahaya, dan kalau mungkin harus segera disingkirkan dari muka bumi! Inilah sebabnya, ketika dia mendengar betapa anak buahnya dihajar oleh seorang pendekar bernama Gan Seng Bu yang telah menikah dengan seorang gadis bule, dia menjadi marah akan tetapi juga girang.

Dia telah menemukan di mana sembunyinya sutenya itu. Untuk menyerang ke dusun itu dia tidak berani. Dia maklum bahwa tentu Gan Seng Bu yang terkenal sebagai seorang pejuang penentang pemerintah penjajah itu tidak sendirian di dusun itu, melainkan dengan kawan-kawan seperjuangan.

Kalau dia menyerbu, selain belum tentu akan dapat menang karena dia belum mengetahui kekuatan musuh, juga tentu Gan Seng Bu akan lebih mudah melarikan diri. Dan dia memerlukan sutenya itu untuk dibunuhnya, dan diapun merasa iri bahwa sutenya itu telah dipilih oleh seorang gadis bule yang katanya cantik sekali. Dia harus membunuh sutenya dan merampas wanita itu!

Maka, Koan Jit yang selain lihai ilmu silatnya, juga benaknya penuh dengan tipu muslihat itu lalu mengatur siasat. Dusun yang ditinggali para pejuang itu dapat dibilang merupakan dusun pejuang. Penduduk dusun yang tadinya bukan pejuang, begitu melihat keadaan para orang gagah itu, merasa tertarik dan bangkit semangat mereka.

Bahkan para mudanya lalu belajar ilmu silat dari para pendekar dan mereka ikut pula berjaga, bahkan banyak yang sudah ikut aktip kalau kelompok itu mengadakan serangan dan gangguan pada kesatuan-kesatuan tentara kerajaan. Mereka bertempur secara gerilya, menyerbu selagi lawan lemah dan melarikan diri berpencar dan lenyap ke hutan-hutan kalau musuh sudah mampu mengumpulkan kekuatan yang jumlahnya jauh lebih besar dari mereka.

Bahkan di antara mereka sudah ada yang membawa-bawa senjata api, yang dapat mereka rampas dari orang-orang kulit putih atau para perwira kerajaan. Dan Sheila berjasa dalam urusan senjata api ini. Ia banyak tahu tentang senjata ini dan ia melatih para pejuang cara mempergunakan senjata api.

Pada suatu hari, para pejuang sedang sibuk menggarap sawah. Kalau tidak berjuang, mereka itu bukan bermalas-malasan, melainkan bersama para petani menggarap sawah karena dari situlah mereka memperoleh ransum. Pagi-pagi itu, terdengar suara derap kaki kuda dan hal ini tidak aneh karena para pejuang itupun mempunyai banyak kuda dan banyak penunggang kuda keluar masuk dusun itu.

Akan tetapi, ketika para penghuni dusun itu melihat bahwa dua orang penunggang kuda yang bertubuh tegap dan bersikap gagah itu merupakan dua orang pria yang tidak mereka kenal, beberapa orang pemuda segera berlompatan dan sudah menghadang lalu mengurung dua orang penunggang kuda itu dengan pandang mata penuh curiga.

Melihat diri mereka dikepung, dua orang laki-laki itu kelihatan gentar juga dan mereka cepat mengangkat tangan dan seorang di antara mereka berkata dengan suara lantang, “Saudara-saudara, kami datang bukan dengan niat buruk. Kami datang sebagai utusan dari komandan pasukan Inggeris di Kanton!”

Mendengar ini, sudah tentu banyak mata melotot dan muka merah. Para patriot itu, walaupun tidak memusuhi orang-orang kulit putih secara langsung, namun di dalam hati mereka tidak suka kepada orang-orang kulit putih yang menyebar racun madat dan yang juga menduduki beberapa kota pelabuhan setelah perang madat yang berakhir dengan kekalahan pihak pemerintah Ceng yang lemah itu.

“Kalian mata-mata orang bule!”

“Tangkap saja!”

“Bunuh saja!”

Dua orang penunggang kuda itu menjadi pucat dan seorang di antara mereka cepat mengeluarkan sebuah sampul panjang dan berteriak. “Kami datang diutus untuk menyerahkan surat ini kepada nona Sheila Hellway...!!”

“Di sini tidak ada nona Sheila Hellway, yang ada ialah nyonya Gan Seng Bu!”

“Jangan dengarkan ocehan mereka!”

“Awas, mereka tentu mata-mata yang membawa pasukan di belakang mereka!”

Untung pada saat itu, saat yang gawat bagi dua orang utusan ini, muncul Sheila yang cepat berseru, “Kawan-kawan tahan dulu! Coba berikan surat itu kepadaku. Akulah Sheila Hellway!”

Dua orang itu nampak lega dan seorang di antara mereka turun, lalu menyerahkan surat bersampul panjang itu kepada Sheila. Orang ke dua masih duduk di atas kudanya, agaknya siap untuk segera melarikan diri kalau ada bahaya mengancam. Para pemuda dusun itu masih mengepung dan semua mata memandang kepada Sheila. Kalau saja pada saat itu Sheila memberi aba-aba untuk menyerang, tentu dua orang utusan itu akan dikeroyok dan dibunuh di saat itu juga.

Sheila tidak mau bertindak sembrono. Dilihatnya dulu sampul itu dengan teliti dan melihat sampul tercetak dengan alamat Kapten Charles Elliot sebagai pengirimnya, diam-diam ia merasa terkejut. Namanya, Sheila Hellway, juga tercetak rapi dan surat itu jelas bukan surat palsu. Dengan hati-hati lalu dibukanya sampul surat dan sebelum membaca isinya, iapun meneliti cap kebesaran Kapten Charles Elliot.

Kembali aseli, apa lagi isi surat dalam bahasa Inggeris yang rapi itu menghapus semua kecurigaannya. Memang jelaslah bahwa surat ini datang dari Kapten itu merupakan surat resmi! Dan begitu ia membaca isinya, wajahnya berseri dan semua pemuda yang sejak tadi mengamati itu, merasa lega.

“Kawan-kawan, dua orang ini memang utusan dari Kapten Charles Elliot dan surat ini benar ditujukan kepadaku.”

Mendengar ucapan itu, semua orang bubaran, hanya ada beberapa orang menjaga dari jauh saja dengan sikap melindungi Sheila dan beberapa orang lagi oleh Sheila dimintai tolong untuk memanggil suaminya yang sedang bekerja di ladang.

Kemudian Sheila mempersilahkan dua orang utusan itu untuk memasuki rumahnya dan dipersilahkan duduk sambil menanti datangnya Gan Seng Bu. Mendengar berita bahwa ada dua orang utusan dari komandan pasukan kulit putih datang mengantarkan surat untuk isterinya, Gan Seng Bu menjadi khawatir bukan main dan cepat dia berlari pulang tanpa mencuci kaki tangannya yang masih berlepotan lumpur.

Dengan ilmu berlari cepat dia langsung saja pulang ke rumahnya dan memandang dengan mata penuh selidik ketika melihat dua orang laki-laki tinggi tegap sudah duduk di dalam rumahnya. Melihat kekhawatiran suaminya, Sheila lalu menyongsong dan menggandeng tangannya, lalu memperlihatkan surat itu.

“Aku menerima surat penting dari Kapten Charles Elliot,” katanya dengan halus dan tersenyum ramah untuk menghilangkan kekhawatiran suaminya.

Melihat sikap isterinya, memang hati Seng Bu menjadi agak lega dan dia membalas penghormatan dua orang utusan itu dengan dingin saja. Pernah dia menghajar sekelompok pasukan Harimau Terbang yang menyamar sebagai orang biasa dan diapun curiga apakah dua orang ini bukan anggauta pasukan itu. Dugaannya memang tepat.

Dua orang itu memang merupakan dua orang anggauta pasukan Harimau Terbang golongan atas yang dipercaya oleh Koan Jit untuk mengantarkan surat dari Kapten Charles Elliot itu dan memang inilah siasat yang diatur Koan Jit! Dua orang anggauta Harimau Terbang itu, walaupun belum pernah merasakan sendiri kelihaian Gan Seng Bu, namun mereka berdua sudah mendengar dari teman-teman mereka, apa lagi mereka mendengar bahwa orang muda yang tinggi besar dan gagah perkasa ini adalah sute dari pimpinan mereka, tentu saja mereka merasa jerih bukan main.

“Apa maksud dia mengirim surat padamu?” tanya Seng Bu. Seperti biasa suaranya ramah dan halus kepada isterinya, akan tetapi alisnya tetap berkerut karena dia merasa tidak enak hatinya.

Isterinya tersenyum, maklum akan kecurigaan suaminya terhadap bangsanya. “Baik kuterjemahkan untukmu.” Ia lalu membaca surat itu, sudah diterjemahkannya dengan baik sekali.

Ternyata isi surat itu hanya pemberitahuan kepada nona Sheila Hellway bahwa pemerintah Inggeris menganggap Mr. Hellway dan isterinya yang gugur dalam keributan perang madat itu sebagai pahlawan-pahlawan dan kini pemerintah mengambil keputusan untuk minta pertimbangan Sheila, apakah kuburan orang Tuanya itu akan dipindahkan ke Inggeris, ataukah dimakamkan kembali secara kehormatan militer. Dan untuk itu, diminta kehadiran Sheila ke markas pasukan Inggeris di kapal, di pantai Kanton.

Dengan alis berkerut Gan Seng Bu bertanya, “Isteriku, setelah engkau menerima surat seperti itu, lalu bagaimana niatmu?”

Sheila tersenyum, masih maklum bahwa suaminya tetap saja berkuatir. “Tentu saja aku harus datang dan menghadiri upacara itu. Aku akan minta agar makam orang tuaku dikubur di sini saja agar mudah bagiku untuk sewaktu-waktu berziarah.”

“Perlu benarkah engkau menghadiri? Bagaimana kalau engkau membalas surat saja menyatakan keinginanmu itu?”

Sheila merangkul suaminya, tidak perduli di situ ada dua orang utusan yang memandang mereka dan mencium lembut pipi suaminya. Seng Bu tidak merasa canggung karena memang sudah biasa memperoleh perlakuan seperti itu dari isterinya yang amat bebas memperlihatkan kasih sayangnya.

“Seng Bu, pemindahan kerangka orang tuaku amatlah penting, Bukan? Aku harus menghadirinya sendiri, kalau tidak aku akan selalu merasa menyesal kelak. Jangan khawatir, Kapten Charles Elliot tidak akan berani menggangguku. Aku adalah warga negara Inggeris dan berhak penuh untuk menentukan kemauanku sendiri. Harap jangan khawatir, tidak ada yang akan berani mengganggu diriku.”

Seng Bu masih mengeritkan alisnya, menoleh kepada dua orang utusan itu dengan sinar mata mencorong sehingga dua orang itu menundukkan muka dengan sikap jerih. Mereka merasa gentar melihat sinar mata yang mencorong dari pendekar itu.

“Kapan engkau akan pergi ke Kanton?” akhirnya Seng Bu bertanya, tidak mempunyai alasan lagi untuk mencegah kepergian isterinya.

“Kurasa sekarang juga, Seng Bu. Hari masih pagi dan aku akan pergi bersama mereka ini. Engkau tidak keberatan, bukan?”

Seng Bu memandang ragu, kemudian berkata dengan suara penuh kepastian, “Sheila, aku tidak keberatan karena memang perlu sekali engkau menghadiri urusan itu, akan tetapi aku akan mengawalmu kesana.”

“Seng Bu...!” Sheila membelalakkan matanya. Suaminya adalah seorang pejuang dan tentu saja amat berbahaya bagi Seng Bu untuk muncul di dalam kota Kanton di mana selain banyak terdapat pasukan kulit putih, juga terdapat pasukan pemerintah yang tentu akan menangkapnya karena nama Seng Bu sudah dikenal sebagai pemberontak.

Seng Bu tersenyum dan merangkul isterinya, mencubit dagunya dengan mesra sambil berkata, “Jangan khawatir. Kalau mereka tidak mengganggumu, tentu mereka tidak akan menggangguku pula. Selain itu, apakah engkau tidak percaya kepadaku bahwa aku dapat membela dan melindungi diriku sendiri, termasuk dirimu?”

“Tapi itu berbahaya sekali, Seng Bu!”

“Tidak kalah besarnya dengan bahaya yang mengancammu, Sheila. Kita pergi berdua atau kita tidak pergi sama sekali.”

Sheila mengenal kekerasan hati suaminya. Ia berpikir bahwa di markas Inggeris, ia akan mampu melindungi suaminya. Tak seorangpun di sana akan berani mengganggu Seng Bu yang sudah menjadi suaminya, Ayah dari calon anak mereka. Kapten Charles Elliot adalah seorang gentleman tulen, tidak mungkin mau bertindak curang. Maka iapun mengangguk.

“Baiklah, mari kita pergi bersama.” Mereka lalu berkemas.

Kawan-kawan seperjuangan Seng Bu banyak yang merasa cemas, mengkhawatirkan keselamatan mereka yang akan pergi ke Kanton. Akan tetapi setelah Sheila mengemukakan pendapatnya, merekapun merasa lega dan hanya memesan kepada Seng Bu agar berhati-hati. Suami isteri ini menunggang kuda dan diiringkan oleh dua orang utusan itu, menuju ke Kanton. Perjalanan itu berlangsung dengan selamat dan menjelang senja, mereka memasuki Kanton.

Benar saja, tidak ada gangguan dan merekapun langsung menuju ke pantai di mana terdapat beberapa buah kapal Inggeris yang besar dan diperlengkapi meriam-meriam besar. Banyak nampak serdadu-serdadu Inggeris di pantai hilir mudik, dan banyak pula mata yang menatap ke arah Sheila dengan sikap kurang ajar.

Akan tetapi hal seperti ini sudah biasa dihadapi Sheila maka iapun pura-pura tidak melihat saja dan bersama suaminya lalu dibawa ke atas sebuah perahu yang membawa mereka langsung ke sebuah kapal besar yang tidak dapat menepi dan melepas jangkar agak jauh di tengah lautan.

Kapten Charles Elliot sendiri setelah diberitahu, lalu keluar menyambut kedatangan Sheila dan Seng Bu. Kapten ini menyambut Sheila dengan wajah berseri, menjabat tangan Sheila dengan erat dan berkata dengan girang,

“Sungguh bahagia sekali melihat engkau dalam keadaan sehat dan selamat, nona Sheila Hellway. Berbulan-bulan lamanya kami dibuat gelisah oleh berita tentang dirimu. Selamat datang di kapal kami!”

Sheila menyambut uluran tangan itu dan berkata dengan lembut dan ramah namun suaranya tegas. “Kapten, saya bukan lagi nona Sheila Hellway melainkan nyonya Gan Seng Bu, dan inilah suami saya.” Sheila memperkenalkan suaminya dengan maksud agar kapten itu menyambut suaminya sebagaimana mestinya.

Akan tetapi, kapten itu hanya menoleh dan memandang kepada Gan Seng Bu sejenak. Seorang pemuda bertubuh tegap, berpakaian seperti petani sederhana, masih lebih sederhana dari pada kuli-kuli pelabuhan, bagaimana dia sudi menyambutnya seperti seorang tamu? Dia diam saja dan kembali memandang kepada Sheila.

“Nona Hellway, mari kita bicara di kantorku. Kita harus merundingkan urusan pemindahan makam orang tuamu itu dengan para pejabat lain. Mari, silahkan!” Dan dengan sopan sekali kapten itu memberikan lengannya untuk digandeng Sheila.

Tentu saja Sheila memandang ragu. “Kapten, saya hanya mau bicara kalau disertai suamiku.”

“Ahh, mana mungkin itu, nona? Urusan ini adalah urusan intern, urusan dalam di antara bangsa kita sendiri dan amat penting. Biarlah dia menanti di sini dulu, nanti kalau rapat yang kita adakan sudah selesai, engkau boleh datang kembali menjemputnya di sini. Aku akan merasa canggung, tidak enak dan akan menjadi buah tertawaan kalau dia diajak memasuki ruangan perundingan.”

Sheila masih ragu-ragu, akan tetapi Seng Bu merasa tidak enak sendiri. Dia dapat mengerti alasan-alasan yang diajukan oleh kapten itu, maka diapun berkata, “Sheila, pergilah, biar aku menanti di sini.”

Terpaksa Sheila menggandeng lengan Kapten Charles Elliot yang mengajaknya menuju ke ruangan luas di ujung kapal di mana telah menanti beberapa orang yang pakaiannya gemerlapan, yaitu orang-orang berpangkat dari pasukan armada Inggeris yang berada di situ.

Semua orang bangkit berdiri dan memberi hormat ketika Sheila masuk dan wanita ini yang sudah hampir satu tahun hidup di antara orang-orang dusun sederhana, merasa betapa ganjil dan anehnya sikap sopan santun dan hormat seperti itu yang kini nampak seolah-olah merupakan sikap dibuat-buat saja.

Mereka lalu mengambil tempat duduk dan mulailah mereka merundingkan urusan pemakaman kembali jenazah keluarga Hellway yang dianngap gugur sebagai pahlawan!

Pahlawan! Sungguh merupakan suatu sebutan yang muluk dan terhormat, bahkan mungkin diidamkan oleh semua orang. Siapa yang tidak ingin menjadi orang yang disebut pahlawan, atau setidaknya menjadi keluarga pahlawan? Seorang pahlawan adalah seorang yang sudah dianggap berjasa untuk negara dan bangsa, seorang yang perbuatannya patut dijadikan teladan dan dihormati semua orang, dari pembesar yang paling tinggi sampai rakyat yang paling rendah.

Akan tetapi, apa dan siapakah sesungguhnya pahlawan? Pahlawan hanyalah seorang yang dianggap menonjol dan berjasa bagi suatu pihak, suatu golongan, suatu kelompok, atau suatu bangsa. Seorang yang dianggap pahlawan besar bagi suatu bangsa, belum tentu dianggap pahlawan pula oleh bangsa lain, apa lagi kalau bangsa lain ini kebetulan menjadi lawan bangsa yang pertama.

Pahlawan dari suatu bangsa mungkin akan dianggap penjahat besar oleh bangsa yang menjadi musuhnya. Dan bukankah pahlawan itu hanya merupakan suatu sebutan saja, yang diberikan untuk merangsang semangat semua orang yang tenaganya dibutuhkan untuk suatu perjuangan? Setelah meninggal dunia, makamnya lalu dibikin bagus, dihormati setahun sekali hanya untuk waktu beberapa menit saja, kemudian ditinggalkan dan dilupakan lagi, bersunyi sepi terlupakan di antara kuburan-kuburan lain.

Atau keluarganya mungkin akan menerima sekedar sumbangan. Bukankah semua ini hanya merupakan semacam piala atau medali saja bagi orang untuk merangsang orang-orang lain? Dan orang yang berjuang demi mencari sebutan pahlawan atau keuntungan lain, baik keuntungan benda atau batin, kiranya hanya orang-orang pengejar keuntungan saja namanya.

Seorang pahlawan yang sesungguhnya pahlawan adalah orang yang melakukan sesuatu demi pengabdiannya akan sesuatu yang diagungkan, dimuliakan, tanpa mengharapkan jasa. Berjuta pahlawan di dunia ini, yaitu mereka yang meninggalkan harta benda, keluarga, untuk berjuang membela negara dan bangsa, tanpa pamrih, kemudian gugur tanpa ada yang mengenalnya.

Mati begitu saja, tidak diberi cap pahlawan, tidak dihormati setiap tahun beberapa menit lamanya, tidak memperoleh tunjangan terhadap keluarganya yang ditinggalkan. Mereka itulah pahlawan dalam arti yang seluas-luasnya. Semoga damai abadilah bagi mereka itu!


Setelah mengikuti kepergian isterinya bersama Kapten Charles Elliot sampai mereka lenyap di dalam ruangan kamar di ujung kapal, barulah Seng Bu sadar bahwa dia tidak berdiri sendiri saja. Di sekelilingnya telah berkerumun banyak orang dan ketika dia menoleh karena ada sesuatu di belakangnya yang menarik perhatiannya, dia tertegun karena dia telah berhadapan dengan Koan Jit!

Dia masih ingat benar wajah orang ini, orang tinggi kurus memakai jubah kebesaran berwarna hitam, dengan sepasang matanya yang seperti mata kucing, dengan wajahnya yang membayangkan kekejaman dan kelicikan. Hanya kini, orang yang pernah dijumpainya satu kali ketika orang ini datang di puncak Tai-yun-san dan mencoba kepandaiannya dan kepandaian Ong Siu Coan, kemudian orang ini mencuri pusaka Giok-liong-kiam, telah berubah pakaiannya.

Mengenakan jubah seorang pembesar, dan kepalanya juga memakai kopyah atau topi batok seperti topi yang biasa dipakai oleh seorang pembesar Mancu, rambutnya dikuncir tebal dan ujungnya diikat pita kuning, sikapnya congkak sekali. Dan beberapa orang yang berada di dekatnya adalah beberapa orang opsir dan perajurit bule dan juga beberapa orang yang mengenakan pakaian pasukan Harimau Terbang!

Seng Bu sudah dikurung! Menghadapi ancaman ini, Seng Bu sudah siap siaga dan melihat pemuda itu memasang kuda-kuda, Koan Jit menyeringai. “Huh, bocah sombong, apakah engkau masih ingat padaku?”

Seng Bu marah sekali. “Siapa tidak ingat padamu? Sekali saja melihat seorang murid murtad, seorang maling dan seorang pengkhianat yang curang, selamanya aku takkan lupa!”

Tentu saja Koan Jit marah sekali mendengar dirinya dimaki di depan banyak orang. Dia segera meneriakkan aba-aba kepada para perajurit kulit putih, “Tangkap orang ini!”

Seng Bu hendak memberontak, akan tetapi beberapa orang perajurit kulit putih sudah mendorongkan pistol ke dadanya. Seng Bu maklum bahwa kalau dia melawan dengan nekat, selain dia harus menghadapi Koan Jit yang lihai, juga harus menghadapi senjata api yang tak boleh dipandang ringan.

Apa lagi isterinya masih berada di situ, maka dia tidak melawan. Bahkan dia tidak melawan ketika seorang serdadu Inggeris yang bertubuh tegap dan berkumis menelikung kedua lengannya ke belakang dan memasang belenggu. Dia hanya memandang kepada Koan Jit dengan mata berapi.

“Koan Jit, dengan alasan apa engkau menangkapku? Aku datang mengantar isteriku yang diundang sebagai tamu oleh Kapten Elliot!” Koan Jit tertawa menyeringai dan menekan tangan kirinya di atas langkan besi di tengah kapal itu.

“Heh-heh, tentu saja. Nona Sheila Hellway memang menjadi seorang tamu terhormat, akan tetapi engkau ini siapa? Engkau seorang pemberontak, engkau seorang penjahat yang suka memusuhi golongan dan pasukan Inggeris!”

“Bohong! Fitnah! Aku datang mengantar isteriku, Sheila!”

“Engkau memata-matai kapal ini! Hayo jebloskan dia ke dalam kamar tahananku di bawah!”

Seng Bu maklum akan datangnya bahaya maka diapun cepat menggerakkan khikangnya dan berteriak, “Sheilaaaa...!!”

Akan tetapi pada saat itu, Koan Jit sudah menotoknya sehingga pendekar itu menjadi lemas tak berdaya lagi, tak mampu melawan ketika dia diseret masuk ke tampat tahanan di bagian bawah kapal. Biarpun demikian, teriakan yang mengandung khikang amat kuatnya itu telah menembus dinding tebal dan terdengar oleh Sheila.

Tentu saja wanita ini terkejut dan bangkit dari kursinya. Tadi ia asyik membicarakan tentang pemindahan kerangka Ayah ibunya dan ia mengajukan permohonan agar kerangka itu dikubur di daerah Kanton saja, jangan dibawa pulang ke Inggeris. Juga Kapten Charles Elliot dan yang lain-lain bangkit berdiri ketika mendengar pekik yang nyaring memanggil nama Sheila itu.

Tentu saja Kapten itu sudah dapat menduga apa yang terjadi, akan tetapi dia pura-pura berkata kepada Sheila, “Akan kulihat apa yang terjadi di sana.”

“Yang berteriak tadi suamiku!” kata Sheila, juga mengikuti kapten yang sudah berlari keluar.

Kapten Elliot dan Sheila, juga beberapa orang pejabat yang tadi ikut rapat, mendengar keterangan dari beberapa orang penjaga bahwa teriakan tadi memang teriakan Gan Seng Bu yang ditangkap dengan tuduhan sebagai penjahat dan pemberontak.

“Suamiku ditangkap? Kurang ajar! Siapa yang menangkapnya? Kapten, apa artinya semua ini!” bentak Sheila dengan mata terbelalak lebar dan marah sekali. Kapten itu memegang lengan wanita itu.

“Tenang dan bersabarlah, nona Sheila. Yang menangkap adalah perwira Koan, kepala dari pasukan Harimau Terbang. Memang dia bertugas menjaga keamanan dan melakukan pembersihan terhadap penjahat-penjahat dan pemberontak-pemberontak dan agaknya dia mengenal suamimu sebagai seorang di antara pemberontak, maka lalu ditangkapnya.”

“Akan tetapi, suamiku hanya melawan pemerintah Mancu! Dia bukan penjahat dan harus diingat pula bahwa dia datang untuk mengantar aku. Dia seorang tamu yang harus dihormati, bukan ditangkap! Kapten, aku protes! Suamiku harus dibebaskan sekarang juga!”

“Tenanglah, tenanglah. Aku yang menanggung bahwa kalau memang suamimu tidak bersalah, dia akan segera dibebaskan. Sekarang, biarlah dia mengalami pemeriksaan dari komandan Koan. Dia tidak akan diapa-apakan, hanya ditanyai tentang penjahat-penjahat yang sudah banyak membunuh orang-orang kita, dan yang sudah banyak membajak kapal-kapal kita pula. Tidak patutkah dia ditanyai kalau memang dia dicurigai?”

“Tapi dia suamiku!”

“Benar, akan tetapi dalam urusan ini tidak dipandang siapa saja, nona Hellway. Bahkan aku sendiri, kalau mencurigakan, bisa saja ditangkap dan diinterogasi. Sabarlah dan tinggallah di sini selama satu dua hari sampai selesai pemeriksaan terhadap Gan Seng Bu.”

Karena dibujuk dan tidak berdaya membantah lagi, terpaksa Sheila bersabar dan menanti, walaupun hatinya tidak karuan rasanya. Tak seorangpun di antara mereka itu berani mengganggunya atau kurang ajar kepadanya. Akan tetapi hatinya penuh kekhawatiran terhadap suaminya. Ia sama sekali tidak tahu bahwa semua itu adalah hasil siasat yang sudah diatur sebelumnya oleh Koan Jit.

Koan Jit tidak berani menyerbu ke dusun di mana Seng Bu tinggal karena maklum betapa kuatnya dusun yang penuh dengan para patriot itu. Dia menghendaki Seng Bu, sutenya itu yang tahu akan Giok-liong-kiam dan tahu pula akan pengkhianatannya terhadap Thian-tok, guru mereka. Dia harus mampu menundukkan Seng Bu, kalau mungkin harus dibujuk atau dipaksa untuk membantunya agar kedudukannya menjadi semakin kuat.

Akan tetapi kalau tidak mau dan pemuda itu berkeras, dia akan membunuhnya! Dan ternyata siasatnya itu berjalan sesuai dengan rencananya. Sheila dan Seng Bu datang seperti dua ekor kambing yang dituntun ke dalam rumah jagal! Tentu saja siasatnya ini tidak diketahui pula oleh Kapten Charles Elliot. Kapten itu menganggap bahwa usul Koan Jit untuk mengundang Sheila untuk membicarakan tentang pemakaman kembali keluarga Hellway itu sebagai hal yang sudah sepatutnya.

Dia sama sekali tidak mengira bahwa di balik usul yang kelihatan baik sekali itu tersembunyi pamrih demi kepentingan pribadi Koan Jit. Kapten Charles Elliot merasa serba salah setelah mendengar tentang ditawannya Seng Bu oleh Koan Jit. Dia lalu memanggil Koan Jit dan diajak bicara empat mata dalam kabinnya. Setelah Koan Jit menghadap, dia segera bertanya apa sebabnya Koan Jit menangkap Gan Seng Bu.

“Dia itu, bagaimana juga, adalah suami yang syah dari nona Sheila Hellway, dan dia datang untuk mengantarkan isterinya memenuhi panggilan kami. Kenapa engkau menangkapnya begitu saja? Kami menjadi merasa sangat tidak enak terhadap nona Hellway,” kata Kapten Charles Elliot.

Koan Jit tersenyum menyeringai. Dia tidak pernah benar-benar menaruh hormat kepada atasan ini, karena di lubuk hatinya, dia tidak suka kepada orang- orang bule, hanya mempergunakan mereka untuk mencapai cita-citanya saja. “Kapten, maafkan kalau aku menangkapnya tanpa lebih dulu melaporkan kepada kapten. Akan tetapi, Gan Seng Bu itu berbahaya bukan main. Dia lihai dan kalau tidak didahului ditangkap, aku khawatir dia akan menimbulkan bencana. Bencana besar sekali di sini.”

“Bencana apa misalnya...?”

“Apa saja mungkin dia lakukan. Membunuh kapten misalnya, atau melakukan hal hebat lainnya.”

“Kau gila!” Kapten itu berseru marah dan tidak percaya.

“Tidak, kapten. Dia itu lihai bukan main, memiliki ilmu kepandaian silat yang amat tinggi, dan hanya aku seoranglah yang dapat mengatasinya. Dia seorang pemberontak besar, dengan kawan-kawannya dia membuat persekutuan untuk memberontak terhadap pemerintah dan tentu saja kadang-kadang juga melakukan gerilya terhadap pasukan-pasukan kita. Beberapa pekan yang lalu, ketika anak buahku menyerbu ke dusunnya karena salah kira, mengira isterinya itu nona Diana, anak buahku dihajarnya habis-habisan. Bukankah berbahaya sekali orang seperti itu? Aku ingin meriksanya dan melihat sampai dimana keterlibatannya dengan para penjahat yang Suka mengacau di pelabuhan.”

“Tapi... tapi… dia suami nona Sheila Hellway. Mau kau apakan dia? Jangan kau membunuhnya.”

“Tidak dan belum lagi, kapten. Aku hendak menguras keterangan dari dia, dan kalau mungkin, hendak membujuknya agar dia membantu kita. Bukankah dengan demikian jauh lebih baik, bagi dia dan bagi nona Hellway. Coba kapten bayangkan. Nona Hellway sebagai isterinya, tinggal di antara pemberontak dan pembunuh-pembunuh itu. Kalau Gan Seng Bu mau bekerja sama dengan kita, bukankah tepat sekali.”

Kapten Charles Elliot sudah percaya penuh kepada Koan Jit yang lihai dan cerdik, dan dia memang melihat kebenaran ucapan itu. Dia mengangguk-angguk. “Akan tetapi jangan kau berbuat yang bukan-bukan. Jangan membunuhnya. Kalau nona Hellway marah dan memprotes ke atasan, aku sendiri bisa celaka.”

“Aku tidak sebodoh itu, kapten. Dia akan kuperiksa dan kupaksa memberi keterangan dimana kita bisa menemukan nona Diana Mitchell.”

Kembali kapten itu mengangguk-angguk. “Hemm… kalau begitu baiklah. Asal engkau tahu batas dan jangan siksa dia. Dan bagaimana engkau begitu yakin bahwa Gan Seng Bu itu orang yang memiliki kepandaian hebat sekali? Kulihat dia orang biasa saja.”

Koan Jit tersenyum cerdik. “Akulah orang yang paling tahu, kapten… karena dia itu adalah adik seperguruanku sendiri.”

“Ahhh...!!”

Koan Jit tersenyum melihat betapa kapten itu terkejut dan kini kapten itu tidak membatah lagi. Kalau orang yang ditawan itu adik seperguruan Koan Jit, tentu lihai bukan main dan kalau begitu, urusan itu lebih bersifat intern kekeluargaan antara saudara-saudara seperguruan.

“Baiklah, aku memberi waktu sampai besok sore. Harus selesai dan dia harus dapat dibebaskan, karena aku sudah berjanji kepada nona Sheila Hellway.”

“Baik, kapten.”

Koan Jit begitu yakin akan hasil baik siasatnya. Akan tetapi di dunia ini, harapan lebih banyak menelurkan kekecewaan daripada kepuasan. Dia menghadapi watak yang keras seperti baja dan semangat yang pantang mundur dalam diri Gan Seng Bu, sutenya itu. Dia memang belum pernah berkenalan dengan Seng Bu dan tidak tahu bahwa watak dari murid gurunya yang satu ini berbeda dengan yang lain. Seng Bu yang baru satu kali dijumpainya memiliki watak yang sama sekali tidak pantas menjadi murid seorang datuk sesat seperti Thian-tok!

Seperti lajimnya pada tokoh-tokoh sesat atau semua anggauta golongan hitam, kehidupan mereka hanya menjadi hamba dari pada nafsu-nafsu mereka. Hidup mereka hanya untuk bersenang-senang, mengejar kesenangan dan memenuhi semua keinginan dan kepentingan diri sendiri, tanpa memperdulikan orang lain, bahkan kalau perlu menghancurkan orang-orang lain yang dianggap sebagai penghalang dari tujuannya untuk menyenangkan diri.

Karena itulah, mereka itu suka melakukan segala macam pelanggaran, tanpa memperdulikan kesopanan, kesusilaan, kehormatan, perikemanusiaan ataupun dalam mengejar segala macam hal yang dikehendakinya. Dan karena ini, mereka banyak melakukan kejahatan-kejahatan dan disebut golongan hitam atau kau m sesat. Thian-tok sendiri adalah seorang di antara Empat Racun.

Tentu saja dapat dibayangkan betapa kejam dan jahatnya, betapa besar ambisi hidupnya dan entah berapa banyak perbuatan keji yang pernah dilakukannya. Tentu saja murid-muridnya juga demikian, termasuk Koan Jit, yang merasa paling tepat menjadi murid Si Racun Langit itu. Dan tadinya dia mengira bahwa sebagai murid Thian-tok, tentu Gan Seng Bu juga sama saja. Tentu mudah diajak berunding dan bersekutu kalau dipameri kedudukan yang baik dan keuntungan besar bagi dirinya.

Akan tetapi, kiranya Koan Jit sama sekali salah terka! Gan Seng Bu begitu keras dan kuat dalam pendiriannya, membela kebenaran dan keadilan, menentang penjajahan bukan untuk mencari kedudukan, melainkan bangkit dari rasa patriotnya. Dan juga tidak sudi bersekutu dengan orang kulit putih yang dianggap meracuni bangsanya. Bermacam akal dipergunakan Koan Jit untuk membujuk, namun sia-sia belaka!

“Gan Seng Bu,” katanya kehabisan akal. “Bukankah engkau ini murid suhu Thian-tok? Dengan demikian, bukankah engkau ini seorang suteku sendiri? Kenapa seorang sute tidak mau menurut kata-kata seorang toa-suheng?”

Seng Bu yang dibelenggu pada sebuah pilar itu diikat lehernya, tubuhnya, kaki dan tanggannya, sehingga dia tidak mampu bergerak, mencibirkan bibirnya. “Koan Jit, engkau sendiri menyerang suhu dengan curang, mencuri Giok-liong-kiam dan pernah menyerang aku dan suheng Ong Siu Coan, hampir membunuh kami. Apa anehnya kalau sekarang aku melawanmu?”

“Goblok! Kalau engkau mau membantuku, engkau akan hidup mulia. Kelak mungkin aku akan menjadi kaisar, tahukah kau? Dan engkau kelak dapat menjadi menteri! Giok-liong-kiam berada di tanganku. Kalau kau membantuku menghadapi mereka yang hendak merampasnya, dan kelak kita memperoleh hasilnya, bukankah kita akan hidup makmur? Kenapa kau begini tolol dan pura-pura bersikap seperti seorang pendekar sejati? Engkau hanya murid Thian-tok, seorang di antara Empat Racun Dunia. Jangan Sok aksi dan berlagak menjadi pendekar!”

“Sudahlah, Koan jit. Bebaskan aku, atau kalau memang engkau gagah, mari kita bertanding secara gagah. Aku tidak takut kepadamu! Jangan kau menggunakan kedudukanmu di sini menjadi anjing penjilat orang kulit putih, untuk berbuat curang!”

“Plakkk…!” Koan Jit menampar muka Seng Bu, akan tetapi yang ditampar sama sekali tidak berkedip walaupun tamparan itu membuat pipinya menjadi merah. Pada Saat itu, pintu kamar itu diketuk orang dari luar, Koan Jit menyumpah dan membuka daun pintu. Kiranya seorang serdadu kulit putih yang muncul. Dia memberi hormat secara militer kepada Koan Jit dan melaporkan bahwa nona Sheila Hellway datang hendak bicara dengan dia.

Wajah keruh Koan Kit seketika menjadi berseri. “Ah, ia datang ? Baik, baik, silahkan ia masuk ke sini.”

Serdadu itu melirik ke arah Seng Bu yang terbelenggu, lalu memberi hormat dan membalikkan tubuhnya. Tak lama kemudian dia datang lagi mengiringkan Sheila yang wajahnya agak pucat dan sinar matanya menunjukkan kekhawatiran dan juga kemarahan.

Sheila nampak cantik sekali pagi hari itu. Rambatnya tersisir rapi, mukanya diberi bedak tipis dan kedua matanya seperti bintang pagi. Gaunnya juga baru dan terbuka di kedua pundaknya, memperlihatkan lekuk buah dadanya yang menggembung karena ia berada dalam keadaan mengandung. Cantik dan segar berseri, membuat Koan Jit diam-diam menelan ludahnya.

“Ah, nona Hellway. Silahkan masuk, silahkan…” Koan Jit menyambut dengan sikap hormat dan ramah sekali. Akan tetapi karena memang dia tidak memiliki wajah yang ramah ketika dia tersenyum, senyum itu nampak dingin dan menyeringai aneh.

Akan tetapi Sheila tidak memperhatikan dan tidak memperdulikan sikap aneh itu, karena matanya sudah mencari-cari ketika kakinya melangkah masuk. Iapun tidak sadar betapa daun pintu sudah ditutup kembali oleh Koan Jit tanpa memperdulikan serdadu bule yang tadi mengantar Sheila. Serdadu itu mengerutkan alisnya dan tetap berdiri di luar pintu kamar itu.

Begitu memasuki ruangan yang agak luas itu dan melihat suaminya berdiri dan terbelenggu di pilar, Sheila mengeluarkan jerit tertahan dan cepat ia lari menghampiri Suaminya, lalu membalikkan tubuhnya dan memandang kepada Koan Jit dengan mata terbelalak penuh kemarahan.

“Kenapa suamiku dibelenggu seperti ini? Hayo lepaskan belenggunya!” bentaknya marah sekali.

Koan Jit memperlebar senyumnya dan dengan sikap kurang ajar sekali dia mengangkat kaki kanannya di atas kursi, menunjang dagu dan memandang kepada wanita itu dengan sinar mata cabul. “Kalau kau dapat, lepaskan sendiri, nona manis.”

Baru ucapan itu saja sudah mengandung kekurang-ajaran, dan hal ini dirasakan oleh Seng Bu. Pemuda ini dapat membayangkan bagaimana jahatnya watak seorang seperti Koan Jit, maka diapun membentak. “Koan Jit! Urusan antara kita jangan kau libatkan dengan isteriku! Kalau memang kau jantan, biarpun engkau masih kakak seperguruanku sendiri, lepaskan aku dan mari kita bertanding sampai seribu jurus. Jangan bersikap curang, menangkap aku dengan bantuan serdadu Inggeris, kemudian hendak melibatkan isteriku. Sheila, kau keluarlah dan jangan mencampuri urusan ini!” Seng Bu sengaja bicara panjang lebar untuk memberi tahu isterinya akan duduknya perkara mengapa dia sampai terbelenggu di tempat itu.

“Tidak!” Sheila berteriak dan marah sekali, maju menghampiri Koan Jit. “Aku sudah mendengar tentang penjahat yang bernama Koan Jit ini! Engkau murid durhaka, mengkhianati guru sendiri dan sekarang engkau dengan curang menangkap adik seperguruanmu sendiri. Hayo bebaskan dia atau aku akan melaporkan kepada Kapten Elliot!”

“Ha-ha-ha, mau lapor? Laporlah, nona manis, karena diapun sudah tahu bahwa aku menangkap, suamimu.”

“Bohong! Dia tidak akan menangkap suamiku! Koan Jit, hayo cepat bebaskan dia. Tidak ada alasan bagimu untuk menangkapnya!”

“Tidak ada alasan? Dia pemberontak, dia memimpin kawan-kawannya untuk menentang dan memusuhi orang kulit putih. Nona Sheila Hellway, engkau sungguh tidak tahu malu. Engkau telah mengkhianati bangsamu sendiri dengan menjadi isteri seorang musuh bangsamu. Seharusnya engkau bersyukur bahwa engkau telah bebas dari orang ini dan berterima kasih kepadaku!”

“Tutup mulutmu yang busuk!” Sheila membentak, semakin marah mendengar ucapan orang yang semakin kurang ajar itu. Bagaimana ada seorang bawahan Kapten Elliot berani berkata itu kepada dirinya. “Lekas bebaskan suamiku. Dia tidak berdosa, dia adalah seorang pendekar besar, penentang penjajah.”

“Heh-heh, murid guru kami Thian-tok, seorang datuk kaum sesat, mana bisa menjadi pendekar? Dia tawananku, akan kubunuh, kusiksa atau kuapakan saja adalah hakku. Engkau tidak bisa memaksaku membebaskannya, nona.”

Wajah Sheila menjadi semakin pucat. Ia lari menghampiri suaminya dan berusaha melepaskan belenggu-belenggu itu, akan tetapi mana mungkin tangannya yang lemah itu dapat melepaskan belenggu yang demikian kuatnya? Apalagi kedua tangan dan kaki itu dipasangi belenggu besi. Setelah usahanya sia-sia belaka, Sheila lalu lari menghampiri Koan Jit seperti seekor Singa betina yang marah karena anaknya diganggu.

“Jahanam! Bebaskan dia! Bebaskan suamiku!” Dicobanya untuk memukuli dada dan muka Koan Jit.

Akan tetapi laki-laki ini hanya tersenyum saja, membiarkan dadanya dipukuli. Merasakan kehangatan dan kelembutan tangan wanita itu, melihat betapa dada yang nampak menonjol bersar itu naik turun, mencium kehangatan yang harum, tiba-tiba saja timbul nafsu berahi Koan Jit. Kenapa tidak? Dia benci sekali kepada Seng Bu. Kalau Seng Bu tidak mau membantunya, dia tentu akan membunuh sute itu, dan sebelum dibunuh, apa salahnya kalau disiksa dulu, disuruh menyaksikan isterinya yang hamil tiga bulan itu dia perkosa di depan, matanya?

Membayangkan kejahatan yang istimewa ini, sepasang mata Koan Jit bersinar-sinar penuh kegirangan. Akan tetapi, dia masih ingat akan keuntungan yang lebih besar lagi, maka ditangkapnya kedua tangan wanita itu dengan tangan kanannya, ditelikungnya ke belakang sambil tersenyum.

“Lepaskan aku! Jahanam busuk, lepaskan aku!” Sheila meronta-ronta, tanpa hasil dalam cengkeraman tangan kanan Koan Jit yang kuat.

“Koan Jit, lepaskan isteriku, jangan ganggu dia! Demi Tuhan, akan kubunuh kau kalau kau mengganggunya!” Seng Bu juga berteriak dan meronta-ronta, akan tetapi betapapun lihainya, dia tidak dapat melepaskan belenggu besi pada pergelangan kedua tangan yang ditelikung ke belakang dan kedua pergelangan kakinya.

“Sute, sekarang kau pertimbangkan baik-baik. Engkau menerima usulku agar membantuku, atau aku akan memperkosa isterimu di depan matamu.”

Bukan main hebatnya ancaman ini bagi Seng Bu. Isterinya akan diperkosa di depan matanya! Isterinya yang mengandung tiga bulan! “Koan Jit… kau keparat jahanam...!!” Dia terengah-engah memaki dan keringatnya keluar satu-satu, matanya terbelalak melotot seolah-olah hendak ditelannya bulat-bulat orang yang dibencinya itu.

Sheila sendiri juga kaget setengah mati mendengar ancaman itu. “Apa... usul bantuan apa itu...?” tanyanya gagap karena panik mendengar dirinya akan diperkosa.

Koan Jit tersenyum dan mendekatkan mukanya dengan wajah yang cantik itu. Muak rasanya perut Sheila mencium bau mulut yang busuk dari Koan Jit, agaknya keluar dari giginya yang rusak. “Nona, suamimu kuminta untuk membantu pemerintah Ceng dan juga menentang para pemberontak dan membantu bangsamu, juga membebaskanmu. Dia akan memperoleh kedudukan tinggi, dihormati, apalagi dia sudah menikah denganmu. Bukankah usul itu baik sekali? Bujuklah agar dia mau, dan aku akan membebaskan suamimu dan membebaskanmu.”

Hebat benar penekanan batin dari Koan Jit itu. Agaknya tidak ada pilihan lain bagi Sheila dan suaminya kecuali menurut. Sheila memandang suaminya, akan tetapi melihat wajah suaminya yang gagah perkasa dan membayangkan semangat perjuangan yang meluap-luap, hati Sheila menjadi kuncup dan ia tidak berani membujuk suaminya untuk menerima usul itu.

Ia sendiri tidak setuju kalau suaminya harus menjadi kaki tangan bangsanya yang jelas-jelas mempunyai niat kotor terhadap Bangsa Cina itu, akan tetapi melihat betapa mereka berdua terancam bahaya yang lebih hebat dari pada maut, ia diperkosa di depan suaminya kemudian suaminya disiksa dan dibunuh, rasanya mau ia berkorban dan menerima usul Koan Jit.

“Koan Jit, manusia berwatak iblis! Kalau memang kau gagah perkasa, jangan mengganggu wanita. Lepaskan aku dan mari kita bertanding sampai seorang di antara kita mati tak bernyawa lagi. Dengan begitu barulah engkau seorang gagah, bukan seorang pengecut hina yang namanya akan dikutuk selama hidup.” Seng Bu kembali memaki dengan marah.

“Benar, kami takkan menyerah. Bunuhlah kami, kami adalah orang-orang gagah yang tidak takut mati, tidak seperti engkau ini, berjiwa tikus yang curang!” Sheila juga memaki, terbawa semangatnya oleh sikap suaminya yang gagah perkasa.

Koan Jit bukan orang bodoh. Tadi dia melihat keraguan di wajah Sheila, tanda bahwa wanita itu sudah mau tunduk dan menurut demi menyelamatkan nyawa suaminya dan menyelamatkan diri sendiri. Mungkin gertakannya kurang meyakinkan, pikirnya. Harus mereka ini diberi bukti bahwa ancamannya bukan main main, dan pula melihat mulut yang bibirnya merah basah dan lidahnya yang nampak ketika bicara tadi demikian merah, juga rongga mulut yang segar dengan gigi yang putih seperti mutiara, sudah timbul berahinya.

“Seng Bu, bagaimana kalau isterimu yang cantik ini kucium? Aku ingin sekali menciumnya!” Berkata demikian, Koan Jit menundukkan mukanya.

Sheila terbelalak dan berusaha mengelak dengan membuang mukanya ke kanan kiri, akan tetapi akhirnya mulut Koan Jit dapat menangkap mulutnya dalam sebuah ciuman yang penuh nafsu berahi. Seng Bu mengerahkan tenaga untuk melepaskan belenggu, sampai pergelangan tangan dan kakinya berdarah karena kulitnya terluka, namun hasilnya sia-sia. Sampai lama Koan Jit mencium dan ketika dia melepaskan ciumannya sambil tersenyum, Sheila terengah-engah dengan muka pucat.

“Bngsat kau, keparat jahanam terkutuk kau...!” ia memaki-maki dan meronta-ronta.

“Bagaimana, Seng Bu, engkau masih tidak mau menyerah dan ingin aku memperkosanya di depan matamu?” Koan Jit mengancam lagi.

Sebelum Seng Bu sempat menjawab, tiba-tiba pintu depan terbuka dan serdadu kulit putih yang tadi mengantar Sheila melangkah masuk. Dari luar dia mendengar suara ribut-ribut dan mendengar pula teriakan Sheila. Ketika dia masuk dan melihat betapa Sheila ditelikung kedua tangannya ke belakang dan dipeluk oleh Koan jit, serdadu itu menjadi marah bukan main.

Dia tahu bahwa Koan Jit adalah orang yang sudah dipercaya oleh Kapten Elliot, bahkan memperoleh pangkat perwira. Akan tetapi melihat seorang wanita kulit putih dihina oleh Koan Jit, kemarahannya memuncak. Dengan geram, dia melangkah menghampiri Koan Jit dan membentak.

“Lepaskan nona Hellway!” Dan diapun menggunakan tangannya untuk menarik lengan Koan Jit yang merangkul pinggang Sheila.

Akan tetapi, sambil terkekeh, Koan Jit menggerakkan kakinya menendang dan serdadu itupun terpelanting roboh! Dalam keadaan marah dan penasaran karena Seng Bu belum juga mau tunduk, Koan Jit menjadi pemarah dan dia tidak perduli lagi bahwa yang menentangnya itu adalah seorang kulit putih.

Serdadu itupun semakin marah dan diapun meloncat bangun, lalu menerjang dan menerkam Koan Jit. Koan Jit masih merangkul Sheila sambil mencengkeram kedua pergelangan tangan wanita itu dengan tangan kanan. Akan tetapi untuk menghadapi serdadu itu, dia cukup menggunakan tangan kirinya dan kedua kakinya. Kini tangan kirinya menyambar ke depan ketika serdadu itu menubruk dan sekali mencengkeram, dia telah merobek baju seragam si serdadu itu.

“Bretttt!” Baju itu robek dari leher sampai ke perut. Serdadu itu masih terus memukul, akan tetapi kembali dia terpelanting karena tangan Koan Jit sudah menamparnya. Berkali-kali serdadu yang masih penasaran itu menyerang dengan nekat, akan tetapi hasilnya hanyalah tubuhnya jatuh bangun dan pakaiannya robek-robek, babak belur dan benjot-benjol.

Ketika dia masih menyerang lagi, sebuah tendangan membuat dia knocked-out! Dia roboh pingsan tak mampu bangkit kembali. Kalau Koan Jit menghendaki, tadipun dengan sekali pukul dia sudah akan mampu merobohkan serdadu itu untuk tidak dapat bangkit lagi. Akan tetapi dia tidak bodoh dan tidak mau membunuh seorang serdadu kulit putih, karena hal itu berarti dia mengundang bencana atas dirinya sendiri.

Akan tetapi keributan itu memancing perhatian para serdadu lain dan cepat Kapten Charles Elliot diberitahu. Kapten itu terkejut dan marah, cepat berlari memasuki kamar itu dan mencabut pistolnya ketika dia melihat seorang serdadu kulit putih roboh pingsan dan Koan Jit masih mencengkeram Sheila.

“Koan Ciangkun… bebaskan nona Hellway!” Kapten Charles Elliot membentak dengan marah sambil menodongkan pistolnya ke arah dada Koan Jit.

Tentu saja dengan kepandaiannya yang tinggi, Koan Jit tidak gentar menghadapi ancaman pistol itu. Akan tetapi dia tidak bodoh, tidak mau melawan atasannya. Maka sambil menyeringai dengan senyum mengejek, dia mendorong tubuh Sheila sehingga wanita itu terhuyung ke belakang. Sheila lalu berlari menghampiri suaminya dan merangkul suaminya yang masih dibelenggu sambil menangis.

“Kapten,” kata Koan Jit membela diri. “Kenapa kapten menghalangi aku yang sedang memeriksa tawanan?”

“Perwira Koan! Engkau memeriksa tawanan tentu saja boleh, akan tetapi mengapa engkau memukuli seorang perajurit dan engkau menghina nona Hellway?” bentak komandan itu dengan alis berkerut dan pistolnya masih berada di tangannya, walaupun kini tidak lagi ditodongkan ke arah Koan Jit.

“Kapten, aku sedang memeriksa Seng Bu ketika nona ini datang, dan aku sengaja menangkapnya untuk memaksa Seng Bu agar dia suka membantu dan memperkuat kedudukan kita. Akan tetapi mereka ini malah mengeluarkan kata-kata menghina. Dan sebelum aku selesai dengan pemeriksaanku, datang pula prajurit ini yang menyerangku. Terpaksa aku merobohkannya tanpa melukai berat atau membunuhnya. Harap kapten ketahui bahwa aku melakukan semua ini demi keuntungan kita."

“Bohong!” Tiba-tiba Sheila menjerit dalam Bahasa lnggeris kepada kapten itu. “Dia hendak membunuh suamiku dan hendak memperkosa aku!”

Mendengar teriakan Sheila ini, kapten itu terkejut. Kalau begini, urusannya menjadi repot dan gawat. Koan Jit merupakan tenaga yang amat baik, dan Gan Seng Bu memang perlu diperiksa. Dia sudah mendengar bahwa suami Sheila itu adalah seorang pemberontak dan pejuang. Akan tetapi sama sekali dia tidak suka mendengar bahwa untuk memaksa tawanannya, Koan Jit sampai mengancam hendak memperkosa Sheila, seorang wanita kulit putih! Kapten Charles Elliot lalu menghampiri Seng Bu dan bertanya.

“Orang muda, bukankah perwira Koan mengajukan usul yang amat baik padamu? Engkau membantu kami di sini dan hidup bahagia bersama isterimu di sini. Kenapa menolak?”

“Maaf, kapten. Aku datang hanya mengantar isteriku saja, dan aku mempunyai pendirian sendiri tentang perjuangan. Akan tetapi Koan Jit menangkapku secara curang sekali.”

Kapten Elliot lalu teringat akan satu cara untuk menyelesaikan urusan itu. “Kalau dia tidak menangkap secara curang, akan tetapi kalian bertanding satu lawan satu, bagaimana?” tanya kapten itu.

“Baik sekali! Aku akan menghadapinya, kapten. Bagi seorang gagah, mati di dalam suatu perkelahian adalah suatu kehormatan! Aku akan melawannya dan biarlah antara kami menentukan siapa yang akan mati dan siapa yang akan hidup.”

“Seng Bu!” Sheila merangkul suaminya dan menangis. Wanita ini sudah banyak mendengar dari suaminya tentang kelihaian Koan Jit dan tentang kecurangannya, maka tentu saja ia sangat khawatir sekali mendengar bahwa suaminya akan diadu dengan manusia iblis itu.

“Sheila, jangan khawatir. Engkau tahu bahwa suamimu ini hidup di dekat bahaya selalu, setiap saat bisa saja tewas dalam pertempuran. Akan tetapi mati dalam perkelahian bagiku merupakan suatu hal yang menggembirakan. Biarlah aku akan berusaha membalas penghinaan atas dirimu tadi, isteriku. Dan andaikata aku kalah dan tewas, engkau sudah tahu apa yang harus kau lakukan, bukan? Kita sudah seririg bicara tentang kemungkinan itu.”

Sheila menahan kesedihan hatinya. Memang, ia tahu hahwa ia telah menikah dengan seorang pejuang yang setiap saat bisa saja menjadi korban perjuangan dan gugur. Dan mereka sudah seringkali bicara di waktu tidur mengenai kemungkinan ini. Kalau suaminya gugur, ia akan merawat kandungannya sampai terlahir, dan mereka sudah sepakat bahwa anak yang akan terlahir itu tidak akan dibawa ke inggeris.

Bahkan andaikata ia terpaksa pulang ke inggeris, anak itu akan ditinggalkan di tanah airnya, di negeri Cina dan akan diserahkan kepada kawan-kawan seperjuangan untuk mengasuhnya. Suatu keputusan yang amat berat baginya, namun ia sudah berjanji akan mentaati permintaan suaminya itu.

Sementara itu, Kapten Charles Elliot lalu berpaling kepada Koan Jit. “Bagaimana, perwira Koan? Maukah engkau bertanding melawan dia? Dari pada ribut-ribut memperebutkan kebenaran, lebih baik diselesaikan melalui kepalan, bukan? Kurasa demikian pendirian para orang gagah di sini.”

Kapten itu memang sudah mengambil keputusan tetap. Koan Jit merupakan seorang tenaga yang amat penting. Sebaliknya, Seng Bu, biarpun seorang pejuang, adalah suami yang syah dan Sheila Hellway yang bahkan sudah mengandung. Jadi, seorang di antara mereka harus lenyap kalau keduanya tidak dapat bekerja sama.

Koan Jit terkekeh dengan nada suara yang merendahkan sekali. Manusia ini memang amat sombong dan terlalu percaya diri sendiri, apalagi dia memang memiliki keyakinan bahwa bagaimanapun juga, tingkat ilmu kepandaiannya masih lebih tinggi dibandingkan Ong Siu Coan atau Gan Seng Bu. Dengan aksinya, dia lalu memberi hormat secara militer dengan mengangkat tangan kanannya ke tepi topi batoknya, hal yang tentu saja lucu karena topinya bukan topi tentara.

“Siap, kapten. Dengan segala senang hati, aku akan menghajar tikus ini sampai mampus!”

“Baik, kita adakan pertandingan ini dengan seadil-adilnya dan disaksikan oleh pasukan. Diadakan di darat. Pengawal, lepaskan belenggu dari tubuh Gan Seng Bu itu,” perintah Kapten Charles Elliot.

Sheila lari menghampiri kapten itu dan membujuk agar suaminya dibebaskan saja dan tidak perlu disuruh berkelahi. Akan tetapi kapten itu menggeleng kepala dan berkata dengan alis berkerut.

“Nona Hellway, engkau tahu sendiri bahwa suamimu dijatuhi tuduhan yang amat berat. Selain menjadi pemberontak pemerintah, juga dia dan kawan-kawannya dituduh menentang bangsa kita. Kalau tidak melihat engkau yang menjadi isterinya, tentu aku tidak perduli lagi dan menyerahkan dia kepada perwira Koan. Akan tetapi mengingat bahwa engkau adalah isterinya, maka aku memberi kesempatan dan kehormatan kepadanya untuk membela diri. Bukankah lebih baik begitu?”

Dengan air mata berlinang, Sheila berkata, “Suamiku adalah seorang patriot, mati baginya bukan apa-apa kalau hal itu terjadi di waktu dia membela bangsa dan tanah air. Akan tetapi, kalau dia mati... aku… aku…”

Kapten itu dengan simpatik memegang tangan wanita itu. “Tenanglah. Mati hidup di tangan Tuhan, bukan? Dan kalau memang suamimu sudah menghendaki demikian, ada pilihan apa lagi?”

Sheila merasa tiada gunanya mohon kepada kapten itu, maka iapun lalu menghampiri suaminya yang kini sudah dibebaskan dan belenggu. Mereka saling rangkul dan saling berciuman, seolah-olah hal itu terjadi untuk terakhir kali dan mereka seperti tidak mau saling melepaskan. Melihat adegan ini, Koan Jit menjadi ini dan mendongkol.

“Hei, Gan Seng Bu, engkau ini jantan ataukah banci? Mau bertanding ataukah mau bermain cinta saja? Kalau memang berani, hayo keluar!” Setelah berkata demikian, dengan langkah lebar, Koan Jit menuruni tangga kapal dan memasuki sebuah perahu kecil yang membawanya ke daratan.

Mendengar seruan itu, Seng Bu menggandeng tangan isterinya dan juga menuruni tangga kapal, menuju ke sekoci dimana telah menanti selosin orang perajurit bule dengan senapan di tangan. Dia dikawal ke daratan, lalu disusul oleh Kapten Charles Elliot. Ternyata berita tentang perkelahian itu sudah tersiar sejak tadi.

Di daratan sudah berkumpul para serdadu bule juga para pasukan Harimau Terbang yang sudah membuat lingkaran luas, dan tempat itu dikepung oleh pasukan yang juga menjadi penonton. Bahkan kuli-kuli pelabuhan juga berhenti bekerja untuk menonton perkelahian itu. Di antara mereka ada yaag sudah mengenal Gan Seng Bu sebagai seorang pejuang yang gagah perkasa, maka mereka megharapkan agar pendekar ini akan mampu merobohkan Koan Jit yang mereka benci.

“Nona Hellway, apakah tidak lebih baik kalau engkau tinggal saja di kamar dan tidak menyaksikan pertandingan ini?” Kapten Charles Elliot yang merasa kasihan kepada wanita itu berkata lirih.

Akan tetapi Sheila mempererat pegangan tangannya pada lengan suaminya. “Tidak! Kalah atau menang, aku harus menjadi saksi. Aku ingin melihat suamiku berjuang sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa!” katanya dengan nada suara bangga.

“Tenangkan hatimu, Sheila… dan ingat semua perjanjian kita,” kata Seng Bu dan diapun mencium bibir isterinya untuk yang terakhir kali.

“Tuhan menyertaimu, suamiku.” Bisik Sheila dengan air mata berlinang. Akan tetapi dengan tabah wanita ini lalu duduk di atas kursi yang disediakan untuknya, di pinggir dan berusaha menekan jantungnya yang berdebar karena tegang. Apalagi ia sebagai isteri orang yang hendak berjuang mati-matian, bahkan di dalam dada semua orang yang nonton pertandingan itupun diliputi ketegangan. Mereka semua sudah tahu betapa lihai dan kejamnya Koan Jit, dan tahu bahwa di dalam perkelahian ini, tentu salah seorang di antara keduanya akan tewas!

Kapten Charles Elliot hendak bertindak adil dalam perkelahian itu, maka melihat betapa Gan Seng Bu sama sekali tidak bersenjata, sebaliknya tadi Koan Jit mengenakan pedang pangkatnya di pinggangnya, diapun berkata. “Komandan Koan, harap tanggalkan pedangmu itu, karena lawanmu juga tidak membawa pedang.” Koan Jit tersenyum.

“Kapten, aku memakai pedang ini bukan untuk melawannya, melainkan hanya sebagai tanda pangkat saja. Untuk memukul seekor anjing kecil perlu apa menggunakan pedang?”

Setelah berkata demikian, tangannya bergerak cepat dan tahu-tahu pedang yang tadi bergantung di pinggang, bersama sarungnya telah terlempar ke udara, berputaran seperti terbang kemudian meluncur ke bawah dan menancap bersama sarungnya sampai amblas dalam sekali di pinggiran tempat lingkaran yang menjadi arena perkelahian itu.

Melihat demonstrasi kelihaian yang seperti permainan sulap saja ini, beberapa orang bertepuk tangan memuji, tentu saja terutama sekali para anggauta Harimau Terbang yang semua berpihak kepada Koan Jit, komandan mereka. Koan Jit lalu melangkah maju memasuki lingkaran orang-orang yang duduk di sekeliling tempat itu, dan kembali munculnya ini disambut tempik sorak oleh para anggauta Harimau Terbang.

“Semoga damai dan bahagia selalu menyertaimu, isteriku.” Bisik Seng Bu.

“Semoga Tuhan melindungimu, suamiku,” bisik Sheila ketika Gan Seng Bu minta diri, dan orang muda inipun lalu memasuki lingkaran.

Ternyata banyak pula yang menyambutnya dengan sorakan. Bukan hanya dari para kuli pelabuhan yang semua berpihak kepadanya, akan tetapi juga ada beberapa perajurit bule yang berpihak kepadanya. Mungkin karena pendekar ini adalah suami Sheila, atau mungkin karena mereka memang merasa tidak suka kepada Koan Jit. Kemunculan Seng Bu sama sekali tidak mengesankan, seorang pemuda bertubuh tegap yang amat sederhana, seperti seorang petani saja, berbeda dengan Koan Jit yang berpakaian indah.

Dua orang jagoan itu kini saling berhadapan. Lingkaran itu cukup luas, garis tengahnya tidak kurang dan limabelas meter, cukup untuk suatu perkelahian yang bagaimana dasyatpun. Karena maklum bahwa lawannya adalah seorang ahli silat dan satu sumber, maka diapun tahu bahwa ilmu-ilmu silat yang dipelajaninya dari Thian-tok, tentu semua dikenal baik oleh Koan Jit, bahkan mungkin dia masih kalah matang dalam latihan, mengingat bahwa usia Koan jit dua kali usianya.

Akan tetapi dia memiliki ilmu silat andalan yang dilatihnya dengan baik dari gurunya, yaitu Ilmu Silat Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat. Ilmu silat yang berdasarkan Ngo-heng (Lima Unsur) ini memang lihai sekali dan memiliki banyak sekali perubahan-perubahan sesuai dengan kedudukan lima unsur. Bisa panas dasyat seperti api, bisa juga lunak dan dalam seperti air, bisa pula keras dan kuat seperti logam, atau bisa lentur seperti kayu, juga dapat cepat dan halus seperti angin.

Karena maklum akan kelihaian lawan, maka Seng Bu segera memasang kuda-kuda dengan kedua kaki berdiri tegak, tangan kiri ke atas dan tangan kanan ke kawah, lutut agak ditekuk. Kuda-kuda ini mengandung dua unsur Angin dan Logam, dapat bergerak cepat sekali dan juga dapat melancarkan pukulan dahsyat dan bawah. Tentu saja dalam pemasangan kuda-kuda ini, dia sudah mengumpulkan tenaga sinkang di seluruh tubuh, terutama di kedua lengannya.

Melihat pemasangan kuda-kuda ini, Koan Jit yang sombong tersenyum mengejek. Dia dapat menduga bahwa tentu lawannya memainkan ilmu yang baru dari suhunya yang belum sempat dipelajarinya, akan tetapi karena sejak kecil dia murid Thian-tok, tentu saja dia mengenal sumbernya yang khas dari Thian-tok.

Dia sendiri, selain ilmu-ilmu dan Thian-tok, juga sudah mempelajari banyak sekali ilmu silat yang aneh-aneh, yang membuatnya menjadi lihai bukan main, terutama sekali dia amat hebat dalam ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang membuat tubuhnya seperti dapat terbang saja. Maka, diapun ingin merobohkan lawan mengandalkan ginkangnya.

“Hyaaaattt!” Tiba-tiba Koan Jit mengeluarkan seruan melengking nyaring. Inilah semacam Sin-houw Ho-kang (Auman Harimau Sakti).

Getaran suara ini membuat banyak orang menjadi pening dan cepat menutupi telinga dengan tangan. Akan tatapi karena gerengan itu ditujukan kepada Seng Bu, tentu saja yang paling merasakan daya serangannya adalah orang muda ini. Akan tetapi, diapun sudah mempelajari Sin-houw Ho-kang ini dari Thian-tok,..

Jilid selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.