Pedang Naga Kemala Jilid 18

Sonny Ogawa

Pedang Naga Kemala Jilid 18 karya Kho Ping Hoo - AKAN tetapi Siu Coan tidak puas dengan apa yang telah dicapainya. Dia ingin mencapai sesuatu yang lebih tinggi. Apa lagi setelah gurunya berada di situ dan gurunya mengatakan bahwa dia memperoleh “Wahyu,” maka keinginannya untuk mengejar cita-citanya menjadi semakin kuat.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

“Engkau harus dapat merampas kembali Giok-liong-kiam, Siu Coan. Tanpa itu, bagaimana engkau akan dapat berhasil menghimpun balatentara yang besar dan kuat? Balatentara yang besar dan kuat membutuhkan biaya yang tidak sedikit, dan untuk itu, Giok-liong-kiam harus dapat kita rampas!"

“Mengapa Giok-liong-kiam, suhu? Bukankah pusaka itu hanya sebuah pedang yang melambangkan keadaan seseorang yang menjadi jagoan nomor satu di dunia? Kukira itu hanya bualan dari San-tok belaka. Untuk apa? Aku tidak ingin menjadi jagoan nomor satu. Dan kalaupun pusaka itu merupakan benda berharga, berapa bisa kita dapatkan kalau dijualnya?”

“Ha-ha-ha-ha, engkau tahu satu tidak tahu dua. Engkau tidak tahu mengapa dahulu dengan susah payah aku merampas Giok-liong-kiam, dan tidak segan-segan menggunakan nama Siauw-bin-hud. Pedang itu mengandung rahasia penyimpanan harta karun yang tak ternilai harganya, saking banyaknya!”

Ong Siu Coan hanya baru mendengar berita angin saja tentang hal itu dan diapun tidak percaya, yaitu ketika diadakan pertemuan di dalam pesta hari ulang tahun Hai-tok. “Ah, benarkah hal itu, suhu?”

“Bukan bualan... melainkan yang sesungguhnya demikianlah, muridku. Giok-liong-kiam itu mengandung rahasia penyimpanan harta karun yang luar biasa besarnya, cukup untuk membiayai balatentara yang besar.”

“Tapi... tapi bukankah pusaka itu sudah lama berada di tangan suhu? Dengan demikian, tentu harta karun itu sudah berada di tangan suhu!” Siu Coan memandang suhunya dengan sinar mata penuh perhatian dan penuh selidik. Hatinya tertarik sekali mendengar tentang harta karun, karena bagaimanapun juga, gurunya benar. Untuk dapat menghimpun tenaga balatentara yang besar, dia harus memiliki biaya yang amat banyak pula.

Akan tetapi Kakek itu menggeleng kepala, membuat hati Siu Coan yang tadinya penuh harapan menjadi lemas kembali. “Sayang sekali, sudah berbulan-bulan aku melakukan penyelidikan, akan tetapi belum juga dapat kutemukan rahasia itu. Sialan benar! Sudah kuselidiki dengan teliti, sudah kurendam dalam air sampai berbulan-bulan, namun tetap tidak dapat kutemukan rahasianya. Sialan! Dan sebelum aku berhasil, benda itu telah dicuri oleh Koan Jit.”

Siu Coan mengerutkan alisnya. “Aihh, pantas kalau begitu... mengapa si Koan Jit itu mau merendahkan diri dan menjadi pembantu orang-orang bule. Andaikata dia bisa mendapatkan harta itu, tak mungkin dia mau merendahkan diri seperti itu. Aku berani bertaruh bahwa diapun kini kebingungan, tidak tahu bagaimana harus mendapatkan rahasia pedang Giok-liong-kiam itu... dan tidak dapat menemukan petunjuknya.”

“Kupikir demikianlah. Dan hal itu baik sekali, memberi kesempatan yang cukup bagi kita untuk mencoba merampasnya.”

“Merampasnya?”

“Kenapa tidak? Sekaranglah kesempatan kita yang paling baik. Aku sudah kau perkenalkan kepada Admiral dan diapun percaya kepadaku. Kita sudah memperoleh kepercayaan. Kita mempunyai kesempatan untuk menyerbu ke markasnya di Kanton dan merampas pedang itu.”

“Ah, mana begitu mudah suhu? Tentu dia menyembunyikan pedang itu.”

“Kita masuk dan menyelidiki. Mustahil kita berdua tidak akan dapat menemukan benda yang dia sembunyikan di suatu tempat.”

“Akan tetapi, dia adalah komandan dari pasukan Harimau Terbang, dan di sana terjaga dengan ketat dan kuat!”

“Kau takut?”

“Tidak, suhu. Aku tidak takut... akan tetapi, kita berdua mana mungkin dapat menghadapi pasukan yang ratusan orang jumlahnya itu? Aku mempunyai akal, suhu... dan kalau siasatku dijalankan, kurasa lebih besar harapannya untuk berhasil merampas pedang pusaka Giok-liong-kiam itu.”

“Ha-ha-ha-ha... engkau memang selalu banyak akal dan pandai sekali! Akal bagaimana itu yang hendak kau jalankan?”

“Begini suhu. Biarpun Koan Jit sudah menguasai pedang pusaka itu, akan tetapi melihat betapa dia masih saja berada di antara pasukan bule, hal itu menunjukkan bahwa diapun, seperti suhu, belum mampu memecahkan rahasia penyimpanan harta karun. Dia berada di dalam markas bule dan membentuk Pasukan Harimau Terbang, tentu hanya agar kedudukannya kuat dan tidak ada orang yang akan mampu merampas pedang pusaka itu. Nah, untuk dapat merampas pedang itu, kita harus mempergunakan siasat memancing harimau keluar dari sarangnya sambil membawa anaknya.”

“Eh, siasat macam apa itu? Kalau siasat memancing harimau keluar dari sarang... aku sudah tahu, akan tetapi memancing harimau keluar dari sarang sambil membawa anaknya? Bagaimana itu?”

“Begini, kalau seekor harimau merasa terancam keselamatan anaknya, tentu dia akan melarikan diri keluar sarang dan menyelamatkan anaknya, membawa anaknya keluar dari dalam sarang yang terancam...”

“Ha-ha-ha-ha...!” Perut gendut telanjang itu bergoyang-goyang ketika Thian-tok tertawa bergelak-gelak.

“Bgus, bagus! Memang, dengan demikian maka kita tidak perlu repot-repot mencari dimana dia menyimpan pusakanya itu. Coba teruskan, bagaimana siasatmu itu?”

“Untuk menghadapi ratusan orang Harimau Terbang, kita harus menggunakan sejumlah pasukan pula.”

“Kau hendak menggunakan pasukan bule di sini? Mana mungkin?”

“Tidak, suhu. Ketika aku keluar dan Thian-te-pai, masih banyak anak buah yang setia kepadaku, dan mereka itu menantiku. Setiap waktu kalau aku membutuhkan mereka, maka mereka itu semua akan membantuku. Aku sudah mempersiapkan mereka untuk kelak kalau aku sudah kuat, membentuk sebuah pasukan besar. Kalau hanya mengumpulkan dua-tigaratus orang saja, tidak sukar bagiku?”

“Hemm, bagus sekali. Lalu bagaimana?”

“Untuk tidak mencurigakan Koan Jit dan untuk memancing agar dia tidak ragu-ragu membawa keluar Giok-liong-kiam dari tempat persembunyiannya, sebaiknya kalau kita berdua memasuki markasnya secara menggelap, lalu bersembunyi dan melakukan pengintaian atas dirinya. Kemudian, biar pasukan istimewa yang sudah kupersiapkan itu melakukan penyerbuan kepada markas Harimau Terbang itu. Kalau dilakukan di waktu malam, tentu akan berhasil. Kepanikan di sana tentu akan memaksa Koan Jit berusaha untuk menyelamatkan dan menyingkirkan Giok-liong-kiam. Bagaimana pendapat suhu dengan siasat itu?"

“Ha-ha-ha-ha, tadinya kukira bahwa hanya Koan Jit muridku yang paling hebat. Tidak tahunya engkau, malah melebihi dia, Siu Coan. Ah, aku tidak menyesal melihat wahyu itu dan mengambil keputusan untuk membantumu, muridku. Siasat itu bagus sekali dan cepat kerjakan. Aku sudah tidak sabar lagi untuk menanti lebih lama lagi. Aku ingin merampas Giok-liong-kiam dari tangan Koan Jit, juga ingin merampas nyawanya sekali!”

Siu Coan segera mempersiapkan rencananya. Dia menghubungi bekas anak buahnya, dan ternyata memang banyak sekali anak buah Thian-te-pang yang masih setia kepadanya, terutama mereka yang sudah memeluk Agama Kristen baru yang dipropagandakan oleh Siu Coan. Tidak kurang dari duaratus lima puluh orang dapat dia kumpulkan dengan rahasia, dan mereka itu rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan.

Rencana diatur masak-masak, dan setelah dipilih malam yang baik, Siu Coan dan Thian-tok lalu menyelundup ke dalam markas Harimau Terbang. Hal ini tidak begitu sukar dilakukan karena mereka berdua memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Menjelang tengah malam, dua bayangan berkelebat di dalam markas Harimau Terbang yang sama sekali tidak pernah menyangka bahwa di dalam markas itu ada dua orang lihai yang menyelundup.

Juga sama sekali tidak tahu bahwa markas mereka yang tidak berapa besar itu telah dikepung oleh hampir tigaratus orang anak buah Siu Coan. Siu Coan dan Thian-tok sendiri sudah mengetahui letak kamar Koan Jit, akan tetapi mereka tidak berani sembrono memperlihatkan diri, hanya mengintai saja dari tempat gelap untuk nanti melihat reaksi dari gerakan Koan Jit kalau penyerbuan dimulai.

Setelah saat yang ditentukan tiba, guru dan murid itu berpencar dan tak lama kemudian nampak api bernyala besar sekali di ujung barat dan di sebelah timur depan. Tentu saja Siu Coan dan gurunya yang membakar gudang ransum dari gardu itu setelah menyiram tempat itu dengan minyak yang mereka ambil dari lampu-lampu gantung. Nyala api itulah yang menjadi tanda bagi pasukan anak buah Siu Coan untuk menyerang.

“Kebakaran! Kebakaran!”

Orang-orang di dalam markas itu berteriak-teriak dan suasana menjadi panik ketika mereka lari berserabutan untuk membantu memadamkan api. Ada yang masih setengah telanjang karena terbangun dari tidur. Koan Jit sendiri meloncat dan keluar kamar setelah mengenakan sepatu dan pakaiannya. Akan tetapi pada saat itu, orang-orang berteriak karena datang luncuran anak-anak panah dari empat penjuru memasuki markas itu.

“Api... api harus dipadamkan dulu!” Suasana menjadi semakin ribut, apalagi ketika kini pasukan anak buah Siu Coan datang menyerbu. Pintu markas jebol dan banyak pula anak buah Siu Coan yang berlompatan dari atas tembok. Terjadilah pertempuran mati-matian di malam buta itu.

Melihat ini, tentu saja Koan Jit menjadi terkejut bukan main, ia tahu bahwa yang menyerbu tentulah para pejuang. Kalau bukan, siapa lagi yang berani menyerbu markas Harimau Terbang? Dia segera teringat akan pusaka-pusakanya. Musuh menyerang dengan panah-panah berapi, dan ada sebagian bangunan yang sudah menjadi lautan api di samping gudang dan gardu yang kebakaran tadi.

Tepat seperti yang sudah diduga oleh Siu Coan, Koan Jit tentu saja sayang kepada pusaka-pusakanya, terutama Giok-liong-kiam. Dan tepat pula seperti yang telah diduga oleh Siu Coan, selama ini Koan Jit dengan sia-sia mencoba untuk mencari tahu akan rahasia Giok-liong-kiam, mencari rahasia harta karun yang kabarnya disimpan di dalam pedang pusaka itu. Siu Coan dan Thian-tok sudah waspada. Sejak tadi mereka memang sudah mengintai dan mengamati gerak-gerik Koan Jit.

Ketika melihat Koan Jit tidak cepat mengatur barisannya atau memimpin pemadaman api melainkan lari ke arah belakang markas. Keduanya lalu cepat menyelinap dan membayangi. Ternyata Koan Jit memasuki sebuah gudang bahan bangunan yang agaknya sudah tidak terpakai dan pintunya yang tebal itu digembok. Koan Jit yang memegang kuncinya, dan dia kini membuka pintu gudang itu, lalu menyelinap masuk.

Siu Coan dan Thian-tok sudah siap siaga. Tak lama kemudian, Koan Jit meloncat ke luar dan di punggungnya sudah nampak bungkusan yang cukup besar. Tiba-tiba saja, Siu Coan menyerangnya dengan dahsyat sekali, menghantam ke arah dadanya dengan pukulan maut yang amat kuat. Koan Jit terkejut, maklum bahwa pukulan yang ditujukan kepadanya dengan mendadak itu amat berbahaya. Diapun tidak mempunyai lain jalan kecuali menangkis pukulan yang sudah menyambar dekat itu.

“Desss!!” Akibatnya, tubuh Siu Coan hampir terjengkang, akan tetapi Koan Jit juga merasa betapa tubuhnya terguncang hebat, dan pada saat itu, tiba-tiba saja bungkusan di punggungnya itu terlepas.

“Hehh...!” Dia membalik sambil mengirim tendangan, akan tetapi orang yang merampas buntalannya itu dapat mengelak sambil tertawa bergelak. Koan Jit memandang dengan mata terbelalak dan mukanya pucat, karena perampas buntalannya itu bukan lain adalah Thian-tok, gurunya! Dan penyerangnya tadi adalah Siu Coan, sutenya!

“Kalian manusia-manusia curang!” bentaknya marah sekali.

“Ha-ha-ha-ha... kau masih bisa bicara tentang curang?” Thian-tok berkata sambil membuka buntalan itu dan melongok isinya. Dia melihat Giok-liong-kiam bersama beberapa batang pedang dan juga hiasan dan batu giok dan emas permata lainnya. “Ha-ha-ha, terima kasih... engkau meminjam Giok-liong-kiam dan mengembalikan berikut bunganya, ha-ha-ha...!”

“Kembalikan itu!” Koan Jit menyerang dengan ganasnya, menubruk dan menghantam ke arah gurunya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah buntalan.

“Desss!” Thian-tok menangkis dan guru ini terkejut bukan main. Dia terpelanting dan hampir roboh. Untung pada saat itu, Siu Coan sudah menyerang lagi sehingga Koan Jit tidak mampu mendesak gurunya, dan kini Koan Jit berkelahi dengan mati-matian melawan Siu Coan.

Sementara itu, para anak buah Siu Coan sudah mulai menyerbu ke dalam dan terjadilah pertempuran yang kacau balau karena benteng itu hanya diterangi oleh sinar api yang membakar bangunan-bangunan. Dan tiba-tiba saja terdengar bunyi terompet, tambur dan ledakan-ledakan senapan. Beberapa orang anak buah Siu Coan roboh terjungkal.

Melihat betapa pasukan bule sudah datang dan tentu saja mereka itu membantu pasukan Harimau Terbang, Siu Coan maklum bahwa keadaan mereka amat berbahaya. Juga Thian-tok maklum akan bahaya. Tadipun ketika mengadu tenaga dengan murid pertamanya, dia hampir roboh dan hal ini saja membuktikan bahwa betapapun lihainya, usianya yang sudah amat tua mengurangi banyak tenaganya.

“Siu Coan, mari kita pergi!” Berkata demikian, Kakek ini mengeluarkan suara auman yang amat hebat.

Koan Jit yang hendak mengejar, seketika lemas dan tenaga sin-kangnya banyak berkurang karena dia harus mengerahkan tenaga itu untuk menjaga jantungnya yang tiba-tiba saja terguncang hebat. Gurunya ini memang hebat sekali Ilmu Sin-houw Ho-kangnya, dan kesempatan itu dipergunakan oleh Siu Coan untuk menghantamnya.

“Dukk!!” Koan Jit menggunakan Ilmu Kim-siong-ko (Ilmu Baju Besi), semacam ilmu kekebalan, akan tetapi biarpun dia tidak terluka, tetap saja dia terlempar dan ketika dia meloncat kembali, guru dan murid itu telah lenyap menghilang ke dalam kegelapan malam.

Siu Coan segera memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk mundur. Dan melihat munculnya pasukan bule yang menggunakan lampu senter yang besar dan terang, juga senapan-senapan yang ampuh, anak buah Siu Coan mengundurkan diri dan meninggalkan korban yang tidak kurang dari lima puluh orang banyaknya, walaupun di pihak pasukan Harimau Terbang juga sedikitnya ada tiga puluh orang yang tewas dan beberapa puluh orang yang luka-luka!

Perang, macam apapun juga adanya perang itu, memang kejam dan juga menyedihkan sekali. Lihat saja pertempuran antara anak buah Siu Coan dan pasukan Harimau Terbang, anak buah Koan Jit. Mereka itu berbunuh-bunuhan, sampai puluhan orang banyaknya, bahkan hampir seratus orang yang menjadi korban. Untuk apa? Pasukan Harimau Terbang adalah pasukan bayaran dan hal ini dapat kita maklumi.

Mereka memang bekerja untuk perang, walau betapa keji dan kejampun sifat pekerjaan itu. Mereka akan membunuh siapa saja karena hal itu adalah pekerjaan mereka, dan untuk itu mereka digaji setiap bulan. Akan tetapi, biarpun mereka berperang karena itu memang menjadi pekerjaannya yang dibayar, mereka itu sebetulnya berperang dan mengorbankan nyawa hanya demi kepentingan seorang Koan Jit saja!

Andaikata tidak ada Koan Jit dan Giok-liong-kiam, belum tentu puluhan orang Harimau Terbang itu tewas pada malam hari itu! Dan puluhan orang anak buah Siu Coan itu! Mereka juga tewas dan mati konyol! Untuk apa? Tentu saja merekapun memiliki alasan yang kuat, yang mendorong mereka untuk nekat dan mati-matian berbunuh-bunuhan dengan pihak musuh. Mungkin ada yang berdalih agama seperti yang dipropagandakan oleh Siu Coan.

Memang Siu Coan suka mempergunakan agama untuk mencapai tujuannya. Mungkin perang di malam hari itu dianggap sebagai perang suci atau perang salib seperti yang dipropagandakan oleh Siu Coan, memerangi orang-orang yang jahat. Atau mungkin, juga Siu Coan mempergunakan propaganda kepatriotan. Mereka itu dianjurkan untuk memerangi Harimau Terbang karena itu adalah perbuatan yang patriotik!

Membela bangsa, negara dan tanah air, dan orang-orang yang menghambakan diri kepada bangsa bule! Dan tentu saja ada pula di antara mereka yang berperang karena ambisi, karena mengharapkan kemenangan dan menerima imbalan jasa dari Siu Coan. Apapun alasannya, apapun propaganda yang diajukan orang-orang yang berkepentingan untuk mendorong rakyat untuk berperang, untuk berbunuh-bunuhan, adalah keji?

Dan celakanya, ini merupakan kenyataan pahit sekali yang terpaksa harus kita telan, mereka yang mempropagandakan perang itu dengan dalih agama, politik, bangsa, negara, tanah air, bendera, atau apa saja, mereka yang menjadi pendorong-pendorong perang ini sendiri, tidak pernah ikut berperang! Mereka hanya berkaok-kaok senyaring mungkin untuk mendorong rakyat seperti orang yang menghasut segerombolan serigala.

Dan apabila keadaan membahayakan bagi diri mereka, apabila sudah tidak ada lagi harapan menang bagi mereka, maka beberapa gelintir manusia ini, paling dulu melarikan diri sambil tidak lupa membawa barang berharga, menyelamatkan diri tanpa memperdulikan lagi kepada mereka yang tadinya berperang karena mereka hasut, dan tidak perduli lagi kepada mereka yang sudah mengorbankan nyawa, harta dan keluarga!

Terkutuklah mereka itu! Dan ini bukan dongeng, bukan pula fitnah, melainkan dapat kita lihat setiap waktu, dapat kita pelajari dari sejarah, bahkan pada saat Anda membaca ini, masih terjadi di segala pelosok dunia ini! Menyedihkan, bukan? Kalau begitu, mengapa kita begini bodoh? Karena sesungguhnva, kitalah yang bodoh!

Kitalah yang membiarkan diri kita menjadi kerbau kerbau yang dicocok hidungnya dan dituntun ke “Rumah jagal.” Bagaimana kalau kita semua, seluruh rakyat di dunia ini, tidak lagi mau mengangkat senjata. Tidak mau berbunuh-bunuhan? Kalau ada para pembesar, para kepala negara, dan kepala atau komandan balatentara.

Ingin perang, biarlah mereka sendiri yang maju. Jenderal lawan jenderal, kepala negara lawan kepala negara, menteri lawan menteri. Dan kita, rakyat sedunia, menjadi penonton saja seperti kalau kita nonton pertandingan tinju. Lucu dan menyenangkan sekali, bukan?

Serangan di malam hari itu tidak hanya melenyapkan Giok-liong-kiam dan beberapa benda pusaka dari tangan Koan Jit, akan tetapi bahkan juga melenyapkan Koan Jit dalam benteng! Pasukan Harimau Terbang lalu dibubarkan oleh pasukan lnggeris karena komandannya hilang atau menghilang.

Sebaliknya, Admiral Elliot juga kehilangan Ong Siu Coan yang pergi tanpa pamit sambil membawa sedikitnya dua puluh buah senapan dan pistol yang dicurinya bersama gurunya. Dan mulai saat itu, Ong Siu Coan, dibantu Thian-tok, mulai mengumpulkan para anak buahnya, bekas anak buah Thian-te-pang yang setia kepadanya. Banyak pula menerima pemuda-pemuda dari luar, dan dia mulai membentuk sebuah perkumpulan yang diberi nama Pai-sang-ti-hui (Perkumpulan Pemuja Tuhan).

Perkumpulan ini bentuknya seperti perkumpulan Agama Kristen, dan karena melihat bahwa yang menjadi pemimpin adalah Ong Siu Coan dan semua anggautanya mengaku sebagai orang Kristen, juga karena Pai-sang-ti-hui ini nampaknya tidak memusuhi orang-orang kulit putih. Maka hubungan antara perkumpulan ini dengan orang kulit putih nampak baik. Pai-sang-ti-hui ini hanya bergerak memusuhi pemerintah Ceng saja.

Akan tetapi, karena Ong Siu Coan adalah orang yang sejak kecilnya digembleng ilmu silat dan Agama Buddha, Taoism, dan juga Khong-hu-cu, maka Agama Kristen yang dipimpinnya itu sudah banyak menyeleweng dan aselinya, bahkan berbau mistik! Juga tidak mengharamkan atau melarang perbuatan yang sifatnya penggunaan kekerasan, karena memang semua anggautanya diajar ilmu silat dan ilmu perang.

* * *

Seperti telah disangka semula, pasukan Ceng yang marah karena kegagalan mereka membasmi para pemberontak di dalam guha tepi pantai lautan dimana diadakan pesta hari ulang tahun Hai-tok, mereka lalu mengerahkan perahu-perahu dipenuhi pasukan dan berlayarlah mereka menuju ke Pulau Layar, tempat tinggal Hai-tok dan keluarganya.

Diserbulah pulau itu, akan tetapi ketika mereka tiba di pulau itu, Hai-tok dan keluarganya telah lama meninggalkan pulau. Karena itu, para tentara Mancu menjadi marah dan mereka menghancurkan segala yang berada di pulau itu setelah merampasi semua benda berharga, bahkan lalu membakar semua bangunan yang berada di pulau.

Tak seorangpun anak buah Hai-tok yang tinggal di situ dan tidak jatuh korban. Dengan kecewa, akan tetapi mengangkut barang-barang perabot rumah tangga yang lumayan karena Hai-tok yang menjadi majikan pulau itu merupakan seorang kaya, pasukan Ceng itu pulang ke daratan membawa barang-barang rampasan mereka. Kemana perginya Hai-tok, keluarganya dan anak buahnya?

Kakek yang cerdik ini sudah dapat menduga akan datangnya serbuan, maka sebelum serbuan datang, dia mengajak anak buahnya untuk meninggalkan Pulau Layar dan mereka bersembunyi di sebuah pulau yang lebih jauh dan terpencil lagi, pula pulau ini amat berbahaya karena di situ terdapat banyak sekali ular-ular berbisa.

Namun, Hai-tok adalah seorang sakti dan bersama anak buahnya, dia membasmi dan mengusir ular-ular ini dan tinggal di pulau yang bentuknya memanjang seperti tubuh ular, melingkar dan karena bentuknya itu, maka pulau ini disebut Pulau Naga. Memang bukan pulau yang terlalu subur, kalah baik dengan Pulau Layar.

Akan tetapi untuk tempat persembunyian, lebih menguntungkan karena pulau ini dilindungi ombak-ombak yang besar dan berbahaya sehingga sukarlah bagi musuh untuk menyerangnya. Dan pula, Hai-tok membawa pula harta bendanya, dan sebagai orang kaya raya, dia tidak begitu membutuhkan tanah subur. Semua keperluan makan mudah dibeli dan karena kini mereka kehilangan rumah dan perabot-perabot sehingga harus mengeluarkan banyak uang.

Maka Hai-tok dan anak buahnyapun kembali kepada pekerjaannya yang dahulu, yaitu menjadi bajak laut! Pada suatu hari, di waktu lautan amat tenang dan matahari amat cerah, nampak sebuah perahu layar yang cukup besar dan penuh dengan anak buah. Perahu itu panjang dan bentuknya seperti seekor naga, bahkan kepalanya juga diukir dengan amat indahnya, merupakan kepala seekor naga yang selain indah juga nampak seperti hidup saja.

Juga bendera besar hitam yang berkibar di ujung tiang layar itu disulam gambar seekor naga laut yang amat mengerikan, moncongnya terbuka lebar, matanya mencorong dan cakarnya siap untuk menerjang. Layarnya sendiripun digambar dengan garis-garis berwarna putih, hijau dan hitam, lorek-lorek seperti perut naga.

Anak buahnya memakai pakaian seragam pula, gagah-gagah dan bersenjata lengkap. Layarnya berkembang sampai menggembung ditiup angin laut dan kapal itu meluncur cepat sekali. Seorang yang bertubuh ramping berdiri sambil memandang jauh ke depan, tangan kirinya memegang sebatang tongkat putih yang runcing. Itulah tulang binatang laut yang amat kuat dan keras seperti baja dan mengerikan.

Akan tetapi, orang yang jelas merupakan pimpinan dan anak buah di perahu naga itu ternyata adalah seorang wanita. Masih amat muda lagi, dan amat cantik jelita. Usianya tidak akan melebihi delapanbelas atau sembilanbelas tahun, namun sikapnya amat berwibawa. Pakaiannya ringkas, dan bajunya yang berlengan panjang itu ditutup rompi yang terbuat dari kulit buaya laut yang melindungi tubuhnya dari pundak sampai ke lutut.

Pinggangnya yang kecil ramping memakai sabuk yang lebar berwarna kuning dan biarpun tubuhnya memakai rompi, namun pakaian rangkap itu tidak mampu menyembunyikan tonjolan dadanya yang menggembung keras dan padat. Rambutnya dibiarkan terurai, hanya kepalanya di atas telinga diikat dengan sehelai kain putih. Tidak ada hiasan menaburi dirinya, kecuali setangkai bunga dan emas yang menempel di ikat kepalanya, diatas telinga kiri.

Itulah Kiki, puteri tunggal Hai-tok yang kini menjadi pemimpin bajak laut di atas perahu besarnya yang berbentuk naga laut! Sejak beberapa bulan, ia malang-melintang di atas lautan, tak pernah melepaskan perahu-perahu atau kapal-kapal pemerintah Ceng terutama, walaupun ada pula perahu saudagar dirampas barang-barangnya.

Kalau perahu-perahu saudagar, hanya dirampas barang-barangnya saja. Akan tetapi jangan harap perahu pemerintah Mancu akan diampuni. Bukan hanya dibajak, akan tetapi semua orangnya dibunuh dan juga kapalnya dibakar! Bahkan kadang-kadang, pemimpin bajak yang luar biasa beraninya ini berani menyerang kapal asing, kapal orang-orang kulit putih sehingga beberapa kali hampir saja perahunya celaka terkena serangan meriam-meriam orang kulit putih.

Para anak buah perahu layar besar Naga Laut inipun bukan orang-orang biasa, melainkan anak buah Hai-tok yang pilihan. Mereka itu rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, dan terutama sekali, setiap dari mereka itu pandai sekali berenang dan menyelam, mahir ilmu di dalam air seperti ikan-ikan saja. Walaupun tentu saja kalau dibandingkan dengan Kiki, kepandaian mereka itu belum ada artinya.

Biarpun baru beberapa bulan saja beroperasi sejak pindah ke Pulau Naga, karena banyaknya korban yang sudah jatuh ke tangan para bajak ini, maka terkenallah nama bajak laut Naga Laut ini, yang mudah dikenal dari bentuk perahunya dan bentuk benderanya. Para anak buahnya bersenjata lengkap, ada regu bertombak, regu berpedang, dan ada pula regu golok dan perisai.

Jumlah mereka yang menjadi anak buah Kiki itu tidak kurang dari lima puluh orang, kesemuanya ahli-ahli silat dan ahli renang yang sudah biasa berkelahi seperti ikan-ikan hiu yang haus darah. Tiba-tiba seorang anak buah perahu itu yang tadi memanjat tambang ke atas puncak layar, berseru.

“Ahoooiiii... perahu besar di depan, samping kanan!”

Mendengar ini, Kiki cepat menoleh ke sana. Memang belum nampak karena terhalang oleh alunan gelombang, akan tetapi ia cepat memerintahkan agar perahunya memutar haluan ke kanan. Tak lama kemudian, benar saja nampak sebuah perahu besar sekali, hampir dua kali lebih besar daripada perahunya sendiri, sedang berlayar ke arah barat, ke daratan.

Dan dari keadaan serta bendera kapal itu, mudah diduga bahwa kapal atau perahu besar itu milik pemerintah. Bukan main girangnya hati Kiki. Ia amat membenci pemerintah Mancu. Bukan hanya membenci karena Bangsa Mancu sudah menjajah sampai ratusan tahun, bukan pula hanya karena pemerintah Mancu bersikap lemah dan pengecut terhadap orang-orang barat, melainkan pertama karena pemerintah Ceng membakar Pulau Layar.

Dan kedua karena ia sudah mendengar bahwa suhengnya, Lee Song Kim, kini menjadi kaki tangan pemerintah penjajah. Bahkan ada kabar bahwa Lee Song Kim yang mengkhianati guru sendiri, dan dialah pelapor kepada pasukan Ceng ketika diadakan ulang tahun Ayahnya sehingga pesta itu digempur dan diserang oleh pemerintah Ceng. Ia benci pemerintah Ceng. Ia benci suhengnya!

“Tambah kecepatan, dan potong jalan, jangan membiarkan perahu anjing-anjing Mancu itu mencapai daratan lebih dulu dan kita!” teriak Kiki dengan gembira dan seluruh urat di tubuhnya sudah menegang dalam gairahnya untuk segera turun tangan menyerang perahu musuh itu.

Kiki sama sekali tidak perduli melihat besarnya kapal, walaupun ia dapat menduga bahwa pasukan yang berada di kapal itu menurut ukuran kapal, tentu kurang lebih dua kali lebih besar dari pada jumlah pasukannya sendiri. Perahu Naga itu bentuknya memang dibuat istimewa sehingga dapat berlayar dengan luar biasa cepatnya. Mereka memotong jalan dari kiri dengan kecepatan yang membuat perahu itu meluncur seperti terbang.

Mereka sudah mendekati perahu besar berbendera pangkat seorang pejabat tinggi. Dan tentu saja pasukan yang berada di perahu besar itu sudah melihat munculnya perahu itu, bahkan sudah mengenalnya sebagai perahu bajak. Terdengar teriakan-teriakan menyambut Bajak Naga Laut, dan para prajurit dengan tombak di tangan siap berjajar di tepi perahu. Betapapun ganasnya bajak itu dikabarkan orang, para prajurit yang merasa lebih banyak itu tidak takut.

Apalagi mereka kini sedang mengawal seorang pembesar istana yang berpangkat Pangeran. Sang Pangeran yang sudah tua itu, di kamarnya mendengar akan adanya bajak laut dan dengan tenang dia mengatakan bahwa kalau bisa agar dihindarkan bentrokan, kecuali kalau tidak ada jalan lain. Pangeran itu bernama Ceng Tiu Ong, seorang pangeran tua yang di Kota Raja terkenal sebagai seorang pejabat yang menjadi penasihat kaisar.

Pangeran ini disegani orang karena adil dan berani, akan tetapi karena adil dan beraninya itu, diapun dibenci banyak pembesar yang korup, dan karena kaisar mengalami hasutan-hasutan mereka. Pangeran Ceng Tiu Ong ini agak disingkirkan atau dijauhi sehingga kedudukannya kini tidak penting lagi, hanya pengurus perpustakaan istana saja, karena dia memang seorang ahli sastera.

Pangeran Ceng Tiu Ong ini seorang peranakan Mancu, Ayahnya seorang pangeran Mancu dan ibunya dari selir, seorang perempuan hari dari utara. Pada hari itu, dia bertugas mengambil kitab-kitab kuno dari sebuah kuil tua di Mukden, dan karena perjalanan darat selain jauh melelahkan juga berbahaya dengan adanya pemberontakan-pemberontakan, maka dari Mukden dia dikawal sampai ke tepi laut dan kini hendak kembali ke Kota Raja melalui lautan, dikawal oleh seratus orang prajurit.

Selama dalam pelayaran siang malam, dia berada di dalam kamar kapal saja mempelajari kitab-kitab kuno yang amat banyak jumlahnya dan merupakan benda-benda kuno yang amat besar harganya dan nilainya itu. Ketika dia menerima kabar akan munculnya perahu Bajak Naga Laut, dia tenang-tenang saja dan masih melanjutkan, memeriksa buku, hanya memesan kepada anak buahnya agar jangan menyerang mereka, bahkan kalau mungkin menghindarkan bentrokan-bentrokan.

Diam-diam di lubuk hatinya, pangeran ini tidak menaruh kebencian, sebaliknya malah mengagumi para patriot yang berjuang untuk membebaskan tanah airnya dari penjajah Bangsa Mancu. Pangeran ini, biarpun peranakan Mancu, namun dari banyak membaca sejarah dan kitab-kitab kuno, tahu betapa busuknya penjajahan dan betapa menderitanya rakyat yang terjajah.

Juga dia banyak membaca, bahkan berkenalan dengan para pendekar dan patriot walaupun dia tidak mau mengotori tangannya dengan mencampuri urusan pemberontakan, apa lagi persekongkolan. Pada waktu melaksanakan tugas mengambil kitab-kitab dari kuil kuno di Mukden ini, dia pergi sendirian saja, tidak mengajak keluarganya. Kiki telah memerintahkan orang-orangnya untuk menurunkan perahu-perahu kecil dan setiap perahu ditumpangi lima orang anak buahnya.

Kemudian perahu-perahu kecil yang amat lincah itu didayung cepat-cepat membentuk formasi yang mengepung perahu besar yang hendak dibajak. Sebelumnya ia telah mengatur siasat dan kini para anak buahnya, dengan menumpang delapan perahu, berjumlah empat puluh orang, sudah berluncuran mengepung perahu besar.

Para prajurit di geladak perahu besar itu sudah siap dengan tombak mereka dan berteriak-teriak memaki, karena mereka sama sekali tidak takut melihat jumlah bajak yang hanya setengah jumlah mereka itu. Akan tetapi Kiki mengeluarkan seruan nyaring disusul oleh tiupan tanduk yang mengeluarkan suara berdengung dalam dan sampai terdengar jauh, dan itulah tanda penyerangan bagi dua buah perahu kecil yang berada di depan kapal lawan.

Sepuluh, orang anak buahnya berloncatan dan memanjat tali kapal itu, menyerang ke atas. Mula-mula ketika mendekati kapal, mereka berlindung di balik perisai untuk menghindarkan diri dari serangan anak panah, kemudian setelah memanjat mereka berlindung pada tubuh perahu lawan. Tentu saja para prajurit yang berada di atas dek berusaha untuk mencegah mereka naik dengan penyerangan tombak-tombak mereka.

“Sayap kiri maju!” Kiki membentak sambil menudingkan telunjuk tangan kanannya ke arah bagian kiri dan tangan kirinya memegangi tombak tulang ikan yang menggiriskan itu. Pembantunya meniupkan aba-aba itu, dan sepuluh orang anak buah dan dua perahu lainnya mulai memanjat dan berloncatan ke atas, disusul pula oleh aba-aba yang dikeluarkan Kiki, sehingga kini empat puluh orang anak bahnya secara bertubi-tubi telah mulai menyerang ke atas.

Serangan yang dilakukan dari empat penjuru itu sempat mengacaukan pertahanan para prajurit yang berlarian ke sana ke mari. Apalagi ketika Kiki kembali memberi aba-aba, dan se puluh orang sisa anak buahnya, setelah perahu naga mendekat, lalu melayangkan anak panah berapi yang tentu saja membuat suasana di kapal menjadi semakin panik karena ada panah api yang mengenal layar dan membakar perahu itu!

Tang Ki atau Kiki memang hebat. Ia bukan saja mempelajari ilmu silat tinggi dan ilmu dalam air dari Ayahnya, akan tetapi juga mempelajari siasat pertempuran dengan kapal, dan dalam kecerdikannya dan kelincahannya, ia malah tidak kalah oleh Ayahnya sendiri. Kini empat puluh orang anak buahnya itu telah berhasil naik ke atas perahu lawan dan sudah terjadi pertempuran yang mati-matian.

Iapun cepat menyuruh anak buahnya mendekatkan perahu dan dalam jarak dua puluh lima meter, ia sendiri yang memegang tombak itu yang ujungnya berkait dan dipasangi tali panjang, dan dilontarkannya tombak itu yang tepat mengenai tubuh kapal dan mengait! Dua perahu itu sudah bergandeng kini dan dengan cara yang demonstratip sekali, setelah anak buahnya menjaga agar tali itu tetap menegang, Kiki sambil membawa senjatanya lalu meloncat ke atas tambang menuju ke kapal musuh!

Melihat ini, semua anak buahnya kagum, dan pihak musuh terbelalak dan merasa jerih sekali. Apalagi setelah dengan teriakan panjang yang melengking nyaring, Kiki meloncat ke atas geladak perahu musuh, dan begitu disambut oleh empat orang prajurit, sekali ia menggerakkan tombaknya dengan putaran cepat, empat orang prajurit itu mengaduh dan terjungkal tewas!

Makin serulah kini perkelahian di atas geladak kapal musuh itu, antara empat puluh anak buah bajak melawan seratus orang prajurit di atas perahu Ceng itu. Akan tetapi amukan Kiki memang hebat. Senjata-senjata tajam yang menuju ke arah tubuhnya yang terbungkus kulit buaya laut itu dibiarkannya saja dan bacokan pedang atau golok, tusukan tombak, semua meleset ketika hinggap di kulit buaya yang melindungi tubuhnya yang ramping.

Akan tetapi setiap tusukan atau pukulan tombak tulang ikan di tangannya itu pasti merobohkan lawan, karena senjata ini mengandung bisa yang ampuh! Teriakan-teriakan dan guncangan-guncangan yang terjadi itu mengejutkan Pangeran Ceng Tiu Ong yang sedang tenggelam di dalam sebuah kitab kuno yang dipelajari isinya.

Dia bukan ahli silat, akan tetapi dari kepandaiannya membaca huruf-huruf kuno sekali, tahulah dia bahwa kitab yang dibacanya itu merupakan sebuah kitab rahasia peninggalan pendeta Buddhis Tat Mo Couwsu yang entah bagaimana dapat terselip di dalam kumpulan kitab-kitab kuno di kuil Mukden itu!

Hatinya merasa girang sekali. Biarpun dia sendiri lebih suka “Bersilat” dalam kitab-kitab kuno, akan tetapi puteri tunggalnya, yang pada waktu itu berusia sembilanbelas tahun, merupakan seorang ahli silat tingkat tinggi yang amat disegani orang di Kota Raja.

Bahkan dengan adanya puterinya itulah, maka sampai sekarang dia selamat karena musuh-musuhnya tidak ada yang berani sembarangan turun tangan. Hal ini tidak mengherankan, karena puterinya itu adalah seorang murid dari keturunan keluarga Pulau Es yang terkenal memiliki ilmu kepandaian silat yang amat tinggi!

“Wah, ini kitab untuk anakku. Tentu ia senang sekali kalau sudah kuterjemahkan untuknya,” pikirnya, dan pada saat itulah dia diganggu kegaduhan di atas dek. Pangeran Ceng Tiu Ong menyimpan kembali kitab itu dan diapun melangkah ke luar dari dalam kamarnya. Dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat pertempuran di atas dek itu, lebih kaget lagi melihat mayat-mayat bergelimpangan dan darah membanjiri dek kapalnya!

“Berhenti! Tahan senjata dan berhentilah berkelahi!” teriaknya.

Para prajurit yang sudah kehilangan seperempat jumlah pasukannya segera menahan senjata dan mundur. Melihat munculnya seorang laki-laki yang meneriakkan agar pertempuran dihentikan, Kiki juga berseru agar orang-orangnya mundur dan menahan senjata mereka. Biarpun di antara orang-orangnya ada yang tewas dan terluka, namun jumlahnya kurang dari sepuluh orang, berarti bahwa pihaknya sedang mendesak dan memperoleh kemenangan.

Melihat laki-laki itu yang ditaati para prajurit, ia dapat menduga bahwa tentu itulah pemimpinnya, maka dengan langkah tegap dan gagah, iapun maju menghampiri dan menghadapi Pangeran Ceng Tiu Ong. Pangeran ini sejenak memandang dengan heran, kagum dan juga penasaran. Inikah pemimpin para bajak yang liar dan ganas ini? Sungguh sukar dipercaya.

“Siapakah engkau dan mengapa kalian menyerang perahu kami?” tanyanya, suaranya halus, akan tetapi Kiki merasakan kewibawaan pada diri Kakek yang nampaknya halus dan sabar.

“Kami adalah bajak laut yang terkenal di sini... Bajak Naga Laut, dan akulah pemimpinnya. Apakah engkau pemimpin pasukan pemerintah Mancu ini? Kalau begitu, majulah dan lawanlah aku!” Berkata demikian, Kiki melintangkan senjatanya yang istimewa itu.

Kakek itu tersenyum pahit dan memandang ke sekeliling, ke arah mayat mayat malang melintang itu dengan pandang mata sedih. “Siancai... orang-orang berbunuh-bunuhan hanya untuk harta. Betapa rendah dan kotornya! Kalian bajak laut tentu ingin membajak kami dan mengambil barang-barang berharga kami, bukan? Nah, lakukanlah. Ambillah semua yang kalian kehendaki, asal seperti buku-buku tua itu jangan kalian ambil. Ambillah dan jangan melakukan pembunuhan-pembunuhan lagi.”

Kiki melongo. Belum pernah selama menjadi pemimpin bajak, ia bertemu dengan seorang pembesar seperti ini. Menyerahkan saja barangnya untuk diambil begitu saja. Betapa pengecutnya! Tentu ini seorang pengecut, seorang penakut yang mungkin sudah terkencing di celananya.

“Huh, tak tahu malu! Engkau takut mati?” bentaknya. Dan senjata Kiki berkelebat, tahu-tahu ujung senjata yang runcing itu telah menempel di leher orang tua itu.

Pangeran Ceng Tiu Ong merasa betapa benda itu amat dingin, namun berkedippun dia tidak! “Nona, engkau masih muda... tidak pandai mengenal orang. Bagaimana aku yang sudah hidup puluhan tahun ini takut mati? Tidak, kalau engkau hendak membunuh, bunuhlah. Aku tidak takut mati. Aku hanya merasa kasihan kepadamu.”

Senjata itu turun lagi. “Kasihan kepadaku? Maksudmu?”

“Engkau ini seorang gadis yang masih muda belia, akan tetapi melumuri kedua tanganmu dengan dosa, mengerahkan anak buahmu untuk membunuhi banyak orang, bahkan mengorbankan nyawa anak buahmu hanya untuk merampas harta. Nah, aku ingin menghindarkan engkau berbuat dosa lebih banyak. Kalau ingin harta, ambillah saja.”

Wah, kembali Kiki menjadi bengong. Orang ini memang sama sekali tidak takut dan hampir saja ia menduga bahwa orang ini agaknya memiliki kesaktian. Kalau tidak, bagaimana nyawanya sudah berada di ujung senjatanya masih bersikap demikian beraninya? “Orang tua, siapakah engkau?”

“Aku Pangeran Ceng Tiu Ong dari Kota Raja,” jawab yang ditanya dengan nada suara datar, sama sekali tidak memperlihatkan kesombongan atau ingin memperoleh keuntungan dari namanya.

Mendengar ini, anak buah bajak berteriak-teriak. “Bunuh dia! Bunuh pangeran Mancu!”

“Hemm, kau dengar sendiri, pangeran. Kami bukan hanya bajak biasa. Kami bajak yang berjiwa pahlawan. Kami memusuhi pemerintah penjajah Mancu dan orang-orang kulit putih!”

“Ahhh!” Pangeran itu tekejut dan sepasang matanya kini memandang kagum kepada Kiki. “Kiranya engkau seorang patriot wanita? Wah, kalau begitu, aku tidak dapat banyak bicara lagi. Terserah kepadamu... akan tetapi, pintaku, kalau aku mati, peti berisi buku di dalam kamarku itu harap jangan dibakar atau dibuang, akan tetapi kirimkan kepada seorang puteriku di Kota Raja. Kitab-kitab kuno itu penting sekali untuknya. Namanya Ceng Hiang.”

Pada saat-itu, para bajak laut sudah menerjang dan menyerang lagi pasukan itu, dan perkelahian sudah berlangsung lagi, lebih seru dari pada tadi. Kiki tidak menyerang Kakek itu. Entah bagaimana, ia merasa sungkan untuk menyerang Kakek itu dan ia lalu mengamuk di antara pasukan Mancu. Bukan main hebatnya sepak terjang Kiki, dan mayat-mayat para pasukan Mancu bergelimpangan.

Karena mereka itu semakin terdesak, akhirnya sisa pasukan itu lari dan berloncatan keluar dari perahu mereka untuk berenang dan menyelamatkan diri. Anak buah bajak bersorak-sorai karena merasa memperoleh kemenangan, sama sekali tidak perduli lagi bahwa banyak pula teman mereka yang tewas atau terluka.

Akhirnya hanya tinggal Kakek itu sendiri yang masih berdiri dengan muka membayangkan kengerian melihat pembantaian antara manusia itu. Dan para bajak itu lalu melempar-lemparkan mayat-mayat dan orang-orang yang terluka pihak lawan ke dalam lautan. Ada pula yang mulai merampoki barang-barang berharga di perahu itu.

“Kau pergilah!” kata seorang bajak dan tiba-tiba dia menyeret Pangeran Ceng Tiu Ong dan melemparkannya ke luar perahu.

“Byuurrr!” Tubuh Kakek itu terbanting ke air, dan pada saat itu, sinar bayangan orang yang kehijauan telah meloncat dan terjun ke air. Orang itu adalah Kiki! Entah apa yang mendorongnya, melihat Kakek ini dilempar ke air, iapun lalu terjun dan sekali menyelam ia berhasil menarik Kakek itu ke atas permukaan air. Ia lalu menaruh tubuh Kakek yang lemas itu ke atas sebuah di antara perahu kecil bajak.

“Kami tidak akan membunuhmu, kau pergilah dengan baik-baik dari sini,” katanya.

Dua orang prajurit juga naik ke perahu itu dan mendayung perahu itu menjauhi perahu mereka yang dibajak, sedangkan Kiki cepat naik kembali ke atas perahu dengan pakaian basah kuyup. Ketika ia melihat anak buahnya ada yang membawa sebuah peti hitam penuh kitab, ia menghardik. “Berikan itu kepadaku! Itu bagianku!”

Anak buahnya terkejut dan memberikan peti hitam itu kepada Kiki. Setelah meneliti sejenak. Kiki mendapatkan bahwa peti itu memang berisi kitab-kitab kuno yang tulisannya tak dapat ia membacanya. Akan tetapi ia tidak membuang peti itu dan memerintahkan anak buahnya untuk membawa peti berisi kitab-kitab itu pulang ke Pulau Naga.

Setelah perahu besar itu dirampok habis, lalu perahu itu dibakar di bawah sorak-sorai para penjahat itu sampai akhirnya tenggelam. Para bajak banyak yang merasa kecewa. Perahu besar yang ditumpangi seorang pangeran itu ternyata tidak membawa banyak barang berharga.

“Pangeran pailit! Pangeran miskin! Hanya kutu buku!”

Mereka mengomel, akan tetapi diam-diam Kiki kagum sekali kepada Kakek itu. Kalau seorang Kakek macam Ayahnya bersikap gagah berani dan tidak mengenal takut, hal itu tidaklah aneh karena Ayahnya seorang pria yang berilmu tinggi. Akan tetapi Kakek pangeran tadi hanya seorang kutu buku yang lemah.

Akan tetapi, sikapnya demikian gagah berani, penuh wibawa menimbulkan kekaguman hatinya. Diapun merasa gembira dan lega hatinya bahwa ia telah menyelamatkah Kakek pangeran itu dan kematian tenggelam di lautan.

Kalau sampai Kakek itu terbunuh, tentu kata-kata Kakek itu akan selalu terngiang di hatinya dan akan selalu mendatangkan perasaan tidak enak. Bahkan peti terisi kitab-kitab kuno itupun kini mulai mengganggu hatinya. Bukankah pangeran itu mengatakan bahwa kitab-kitab kuno itu amat penting bagi puterinya yang bernama Ceng Hiang? Kalau ia bisa mengirimkannya kepada gadis itu, alangkah akan lega dan senang hatinya!

Banyak ahli filsafat dan para bijaksana yang mengatakan bahwa pada dasarnya, semua orang itu mempunyai sifat atau watak yang baik. Bagaikan kertas putih yang masih kosong, maka sejak anak-anak, orang telah dibentuk oleh yang mengisi kertas putih. Namun, betapapun kotornya kertas itu dicorat-coret, pada dasamya masih ada putihnya dan kadang kadang sifat kebaikan dan kebersihan ini muncul.

Benar tidaknya pendapat para ahli filsafat ini terserah kepada penilaian kita sendiri. Yang jelas saja, semua orang ini, kita semua, condong untuk melakukan kebaikan kepada orang yang mendatangkan kesan baik kepada kita. Kebanyakan dari kita bersikap dan berbuat baik kepada orang yang menyenangkan kita, dan yang menyenangkan ini berarti yang menguntungkan, baik batiniah maupun lahiriah.

Dengan demikian, maka segala kebaikan seperti itu adalah perbuatan munafik belaka, yang pada bakekatnya hanya untuk menyenangkan diri sendiri saja melalui lain orang. Bukankah demikian? Untuk dapat melihat ini, kita harus berani menghancurkan lebih dulu bayangan tentang diri kita sendiri yang kita bentuk dan bangun sejak kecil, bayangan yang nampak demikian baiknya.

Bahkan yang terbaik dan terbersih, dan entah “Ter” apalagi. Barulah akan nampak betapa munafiknya kita, betapa kotornya batin kita selama ini. Dan hanya kita sendirilah yang mampu mengubahnya. Bagaimana caranya? Tidak ada caranya, yang terpenting, kalau kita waspada dan melihat kekotoran menempel pada diri kita, apa yang akan kita lakukan? Kecerdasan akal budi tentu akan menggerakkan tangan untuk membersihkannya dan menghentikan segala kegiatan yang menimbulkan kekotoran itu.


Kiki membawa peti berisi kitab-kitab kuno itu ke Pulau Naga. Ayahnya, Hai-tok Tang Kok Bu yang sekarang tidak begitu kaya raya lagi, memandang dengan alis berkerut. Dia sendiri tidak mengenal huruf-huruf kuno itu, hanya mengenal beberapa buah saja yang kalau dirangkai tidak ada artinya.

“Kiki, apakah kau sudah gila? Buku-buku macam itu kau bawa, apakah hanya untuk dijadikan umpan rayap? Pula, aku mendengar engkau menyelamatkan seorang pangeran Mancu dari lautan. Apa-apaan pula ini? Kau malah hendak melindungi bangsawan musuh!”

“Ayah, yang kutolong itu adalah seorang laki-laki tua yang gagah perkasa! Dia seperti sasterawan yang lemah, akan tetapi kegagahannya tidak kalah oleh kita. Ketika senjataku menempel di lehernya, dia berkedippun tidak! Dan tidak pernah marah, bahkan menawarkan seluruh barangnya untuk diambil asal jangan ada perkelahian bunuh-membunuh. Dia menitip pesan agar kalau dia dibunuh, peti kitab kitab kuno ini diserahkan kepada puterinya di Kota Raja yang bernama Ceng Hiang. Aku tertarik dan kagum sekali kepada orang tua gagah itu, Ayah... dan pada saat itu, aku hanya tahu dia seorang mengagumkan, bukan pangeran atau bangsawan apapun.”

“Huh, kau sudah menjadi lemah hati, ahh... tapi ini merupakan kesempatan baik sekali!” Tiba-tiba Hai-tok memukul telapak tangannya sendiri. “Kau bisa mengantarkan peti ini ke Kota Raja, mencari pangeran itu dan menyerahkan peti ini!”

“Ayah... aku tidak butuh ganjaran!”

“Hushh, bukan itu, anak bodoh. Tapi engkau bisa menyelidiki keadaan Song Kim, murid murtad itu. Kalau sudah tahu dimana kedudukannya dan dimana dia, aku sendiri yang akan menghajar dan membunuh dia!” kata Kakek itu penuh geram.

Hati Kiki mulai merasa tertarik. Ketika masih kecil, Ayahnya pernah mengajaknya pesiar ke Kota Raja dan dia samar-samar masih teringat betapa hebat dan besarnya Kota Raja. Besar dan indah sekali. Dan kalau ditemukannya Pangeran Ceng Tiu Ong, tentu dia akan dapat sementara tinggal di dalam istana pangeran itu. Dan hal inipun akan menambah banyak pengalaman hidup dan pengetahuannya.

“Engkau benar, Ayah. Baiklah, nanti kalau sudah ada saat dan kesempatan yang baik, aku akan mencarinya dan mengantarkan peti ini.”

“Kenapa tidak sekarang?”

“Ayah, baru saja aku melakukan pukulan berat kepada pemerintah dengan membakar sebuah perahunya dan membajak pangeran itu. Di antara anak buah pasukan, tentu ada yang berhasil meloloskan diri dengan berenang. Kalau sekarang aku berkeliaran di Kota Raja dan ketahuan oleh mereka, apakah hal itu tidak amat berbahaya?”

Hai-tok mengangguk-angguk membenarkan pendapat puterinya. Memang, Kota Raja tidak boleh dibuat main-main. Di sana banyak sekali terdapat tokoh yang amat sakti, bahkan dia sendiri tidak berani sembarangan merajalela di Kota Raja.

* * *

Pihak orang kulit putih merasa marah juga ketika beberapa di antara perahu-perahu mereka juga tidak luput dari gangguan Bajak Naga Laut. Sudah ada empat buah perahu mereka dibajak dan dibakar. Admiral Elliot tersinggung kehormatannya. Walaupun empat buah perahu yang dibajak dan dibakar itu hanya perahu-perahu kecil dan dia hanya kehilangan beberapa orang prajuritnya, namun hal itu merupakan pukulan baginya.

Kekuatan pasukannya terletak pada armadanya, dan kini ada perahu-perahunya yang dibakar oleh hanya bajak-bajak laut saja. Dia sudah menyuruh orang untuk melakukan penyelidikan dimana sarang Bajak laut itu. Orang-orangnya, terutama sekali orang-orang Harimau Terbang, hanya tahu bahwa sarang bajak laut itu adalah Pulau Layar, dikepalai oleh Hai-tok Tang Kok Bu. Akan tetapi, ketika mereka ke sana, pulau itu sudah dibumi hanguskan dan tak seorangpun tahu dimana sarang baru dari para bajak laut yang berani itu.

Tentu saja sisa-sisa pasukan Harimau Terbang yang sudah ditinggalkan Koan Jit itu, dan masih dipergunakan oleh Kapten Elliot atas persetujuan Admiral Elliot, kini dikerahkan untuk melakukan penyelidikan. Mereka dianggap lebih paham dan mengenal daerah perairan di lautan itu, juga mengenal para bajak laut. Dan pasukan Harimau Terbang yang kini sisanya tinggal kurang lebih lima puluh orang itu dibagi menjadi lima kelompok.

Masing-masing sepuluh orang menunggang sebuah perahu yang diperlengkapi meriam untuk mencari bajak laut dan membasminya, atau kalau mereka merasa tidak kuat, melaporkannya kepada Kapten Elliot yang akan mengirim kapal untuk menghancurkannya. Demikianlah, kini mulai nampak perahu-perahu yang memakai hiasan meriam itu berkeliaran di sepanjang pantai lautan timur.

Para anak buah Harimau Terbang adalah orang-orang yang berilmu silat didikan Koan Jit. Mereka itu orang-orang kasar yang sudah biasa mengandalkan kekuatan dan kekerasan, maka tentu saja mereka seringkali bersikap sewenang-wenang terhadap para nelayan. Kalau tidak merampas ikan-ikan hasil jerih payah semalam, tentu suka mengganggu wanita-wanita pelayan yang muda dan cantik.

Dengan demikian, nama Harimau Terbang terkenal sebagai pengganggu keamanan, bahkan mereka itu lebih dibenci oleh kaum nelayan dari pada para bajak laut sendiri, karena bajak-bajak laut itu tidak pernah mau mengganggu para nelayan.

Pada suatu pagi yang cerah dan air laut amat tenangnya, hanya berkeriput-keriput kecil, nampak sebuah perahu layar kecil yang hanya ditumpangi tiga orang hilir-mudik di tengah laut, tak jauh dari pantai. Para penumpang perahu itu agaknya tidak melihat bahwa tak jauh dan pantai, ada sebuah perahu bermeriam yang mengintai.

Itulah perahu yang amat ditakuti para nelayan, perahu Harimau Terbang. Pada layarnya saja terlukis harimau terbang yang menyeramkan, dan di atas perahu itu nampak se puluh orang laki-laki tinggi besar yang kesemuanya memakai rompi kulit harimau. Sejak tadi, perahu-perahu nelayan sudah berpencaran melarikan diri karena ketakutan.

Akan tetapi perahu kecil yang ditumpangi tiga orang itu agaknya tidak mengenal kegalakan perahu Harimau Terbang, atau mungkin juga tidak memperdulikannya. Sungguh mengherankan, mana ada orang, apalagi hanya tiga orang, berani tidak memperdulikan pasukan Harimau Terbang yang terkenal galak, baik di lautan maupun di daratan itu?

Akan tetapi kalau orang mengenal siapa orang yang berada di dalam perahu layar kecil itu, orang takkan merasa heran lagi. Pemuda tampan yang berada di perahu itu, yang pakaiannya indah pesolek, menyembunyikan pedang di punggung dan sepasang pisau belati di balik pinggang, bukan lain adalah Lee Song Kim, murid tersayang dan Hai-tok!

Seperti diketahui, pemuda yang murtad terhadap gurunya sendiri itu, kini telah menjadi seorang petugas pemerintah Ceng, memiliki kedudukan yang lumayan sebagai seorang opsir. Baru-baru ini, dialah yang mengkhianati gurunya sendiri, memberi tahu kepada komandannya akan adanya rapat gelap para tokoh kang-ouw yang anti pemerintah Ceng, dan untuk laporan ini, diapun memperoleh kenaikan pangkat.

Kini, dia ditugaskan melakukan penyelidikan siapa adanya bajak laut yang baru-baru ini membajak perahu besar yang bertugas mengambil kitab-kitab di kuil Mukden. Tentu saja, Lee Song Kim sudah dapat menduga siapa pembajaknya. Siapa lagi bajak yang menggunakan perahu Naga Laut kalau bukan anak buah gurunya? Dan siapa lagi gadis cantik yang memimpin pembajakan itu kalau bukan sumoinya, Tang Ki?

Setelah Pulau Layar dibakar, bukan tidak mungkin kalau gurunya itu melakukan pekerjaan lamanya, yaitu membajak. Dia dapat menduga dengan tepat dan bahkan yakin, akan tetapi tentu saja dia tidak berterus terang kepada komandannya, karena kalau ketahuan bahwa dia murid kepala bajak itu sendiri, dia tentu akan dicurigai.

Dua orang lainnya juga opsir-opsir rendahan yang menjadi pembantu Song Kim. Mereka berpakaian seperti orang biasa, bukan seperti prajurit atau opsir, jadi bukan pula seperti nelayan yang pakaiannya kotor, melainkan sebagai tiga orang pelancong yang sedang bersenang-senang naik perahu layar. Dua orang pembantu Song Kim itu berusia kurang lebih empat puluh tahun dan merupakan dua orang opsir yang pandai ilmu silat dan juga sudah banyak mengenal daerah itu.

“Di utara sana itu, yang nampak kecil hitam dari sini, adalah Pulau Layar,” kata seorang di antara dua opsir itu kepada Song Kim.

“Di sana yang menjadi majikan adalah seorang kaya raya she Tang, yang kabarnya dulupun pernah menjadi bajak laut, dan dia terkenal pula dengan julukan Hai-tok.”

“Apa? Hai-tok, seorang di antara Empat Racun Dunia?” tanya Song Kim pura-pura.

“Benar, Lee-Ciangkun. Akan tetapi sudah bertahun-tahun dia tidak lagi melakukan pekerjaan membajak karena sudah kaya raya. Dan kabarnya pulau yang sudah dibakar oleh pasukan kita itu, kini ditinggalkan dan mereka lari entah kemana, sejak terjadi penyerbuan ketika Hai-tok mengadakan pesta ulang tahun itu.”

Song Kim mengangguk-angguk. Tentu saja dia tahu semua itu. Akan tetapi dia sendiripun tidak tahu ke pulau mana gurunya itu pindah. Terlalu banyak pulau kosong di tengah lautan sana, pulau-pulau kosong yang amat berbahaya. Tiba-tiba terdengar suara rumah keong besar ditiup, suaranya dari jauh terdengar seperti suara seekor lembu menguak.

Song Kim dan dua orang temannya menengok dan Song Kim berkata. “Menjemukan benar tingkah mereka itu.” Mereka melihat betapa beberapa orang dan perahu bermeriam itu memberi tanda agar mereka datang mendekat.

“Lee-Ciangkun, melihat dan pakaiannya, mereka itu tentulah orang-orang dari pasukan Harimau Terbang. Lihat itu benderanya.”

“Hemm, kau maksudkan Pasukan Harimau Terbang yang menjadi anjing-anjing peliharaan orang kulit, putih?”

“Benar, Lee-Ciangkun. Kabarnya terjadi bentrokan hebat antara para anjing penjilat orang kulit putih yang menyebabkan banyak anggauta Harimau Terbang tewas, bahkan pemimpinnya yang bernama Koan Jit kini juga telah melarikan diri. Mungkin mereka itu hanya sisa-sisanya saja yang masih dipergunakan oleh pasukan Inggeris.”

Kini perahu Harimau Terbang itu mendekat, dan seorang di antara mereka yang berkumis dan berwajah bengis membentak. “Heii... apakah kalian tuli atau buta? Dipanggil tidak mau mendekat? Hayo kalian dayung ke sini, kami harus memeriksa apa isi perahu kalian!”

Song Kim merasa mendongkol sekali. “Kami hanya pelancong-pelancong yang tidak membawa apa-apa. Dari situpun nampak bahwa perahu kami ini kosong. Mau diperiksa apanya?”

Mendengar jawaban yang berani dan tidak halus itu, pimpinan Harimau Terbang menjadi semakin marah. Matanya melotot. Belum pernah ada orang di sepanjang pantai ini berani bersikap kasar kepadanya. “Apakah kau gila? Kau tahu dengan siapa kalian berhadapan? Hayo ke sini kalau kalian tidak ingin kupenggal kepala kalian dan kuberikan kepada ikan hiu!”

Song Kim tak dapat menahan lagi kesabarannya. “Aku tahu berhadapan dengan Pasukan Harimau Terbang, anjing-anjing kelaparan yang menjilat-jilat sepatu orang-orang bule, bukan?”

“Keparat! Mereka itu pemberontak-pemberontak! Kejar!” Teriak si muka bengis itu, dan kini perahu Harimau Terbang mengejar perahu layar kecil itu.

Akan tetapi, Song Kim dan dua orang kawannya sengaja mempermainkan mereka. Mereka bertiga itu memiliki perahu yang lincah dan lebih dari itu, Lee Song Kim adalah murid Hai-tok dan kepandaiannya di atas maupun di dalam air luar biasa, maka dia dapat melarikan perahunya ke kanan kiri melepaskan diri dan pengejaran lawan, bahkan mempermainkannya dengan mengelilingi perahu yang jauh lebih besar itu.

Setelah berkejaran sampai setengah jam lebih tanpa hasil, akhirnya komandan perahu Harimau Terbang menjadi marah. “Siapkan meriam! Tembak mereka!”

Lee Song Kim sama sekali tidak mengira bahwa perahu Harimau Terbang itu akan melepaskan tembakan meriam terhadap perahu yang sama sekali tidak bersalah. Maka ketika tiba-tiba terdengar ledakan keras dan perahunya kena hantaman peluru sehingga dia sendiri terlempar jauh ke laut, dia terkejut bukan main. Cepat dia mencari kedua kawannya di antara perahunya yang terbakar.

Namun dia hanya menemukan dua kawan itu sudah mengambang menjadi mayat di antara kepingan-kepingan kayu dan perahunya yang terbakar dan hancur. “Keparat busuk!”

Song Kim memaki marah sekali dan tubuhnya segera lenyap ketika dia menyelam. Tak lama kemudian dia sudah berada di dekat perahu lawan, muncul di bawah perahu tanpa terlihat oleh seorangpun. Dia mendengar betapa sepuluh orang di atas perahu itu tertawa bergelak-gelak, mentertawakan perahunya yang terbakar dan hancur, dan tentu juga mentertawakan kematian dua orang kawannya dan dia sendiri yang oleh mereka tentu dianggap sudah mati.

Kemarahan membuat wajah pemuda ini menjadi beringas sekali. “Jahanam busuk!” kembali dia membentak, dan tiba-tiba tubuhnya meloncat ke atas, ke perahu pasukan Harimau Terbang itu.

Tentu saja semua orang terkejut setengah mati ketika tiba-tiba melihat seorang pemuda tampan berada di perahu mereka. Si muka bengis, pemimpin mereka, yang sudah memegang sebatang golok, tahu bahwa yang muncul ini tentu pihak musuh, maka dia pun cepat membacokkan goloknya yang amat tajam itu ke arah Song Kim.

Pemuda ini tidak mengelak, melainkan cepat menotok siku kanan pemegang golok, dan tiba-tiba saja tangan kanan itu menjadi lumpuh. Sebelum si muka bengis itu tahu apa yang terjadi, nampak sinar goloknya yang sudah pindah tangan itu berkelebat dan tersemburlah darah muncrat-muncrat dari leher yang sudah buntung itu!

Song Kim menyambar kepala yang mencelat itu, menjambak pada rambutnya. Muka yang sudah tidak berbadan lagi itu masih nampak bengis, matanya melotot, alis berkerut dan mulutnya membentuk kebengisan setengah terbuka, amat mengerikan!

Melihat betapa kepala pasukan itu tewas dengan leher putus dan kini kepalanya dijambak tangan kiri pemuda itu, para anak buahnya terkejut, ngeri akan tetapi juga marah. Mereka lalu mencabut golok masing-masing dan maju mengeroyok. Terjadilah perkelahian di atas perahu itu. Akan tetapi mana mungkin prajurit-prajurit Harimau Terbang itu mampu melawan Lee Song Kim?

Sekali saja golok itu berkelebat, seorang prajurit robek perutnya dan yang kedua hampir putus lehernya, sedangkan yang ketiga menjerit karena melihat betapa muka pemimpinnya itu tiba-tiba mencium mukanya dengan keras! Sempat dia menjerit ngeri, akan tetapi dadanya segera ditembus golok di tangan Song Kim!

Kini pemuda itu mengamuk dan tak seorangpun di antara se puluh orang itu yang sempat melarikan diri, semua habis dibabat golok rampasannya dan tubuh mereka kini malang melintang di atas dek perahu, yang sudah kebanjiran darah. Bau amis amat memuakkan.

Song Kim lalu membuang golok rampasannya dan meloncat ke air, menyelam dan lenyap dan situ. Biarpun Song Kim telah berhasil membunuh sepuluh orang anggauta Harimau Terbang itu, namun dia kehilangan dua orang pembantunya, dan hal ini membuat hatinya menjadi marah sekali.

Dia cepat pulang ke Kota Raja, membuat laporan kepada komandannya bahwa sebelum dia sempat menemukan tempat persembunyian Bajak Naga Laut, dia bentrok dengan orang-orang Harimau Terbang yang mengakibatkan dua orang kawannya tewas. Komandannya juga penasaran dan marah.

Maka Lee Song Kim lalu diutus mengepalai sebuah perahu besar dengan anak buah sebanyak seratus orang tentara pilihan, bukan hanya untuk mencari dan menumpas bajak laut, akan tetapi juga untuk menumpas pasukan Harimau Terbang kalau berani mengganggu perahu pemerintah Ceng.

Perahu besar itu memang nampaknya saja mempunyai anggauta seratus orang pasukan, akan tetapi Song Kim tidak sebodoh itu, membiarkan perahunya hanya dijaga seratus orang. Bukankah perahu Pangeran Ceng Tiu Ong juga dikawal seratus orang prajurit dan apa jadinya?

Sebagian besar prajurit itu tewas dan perahunya dibakar! Dan diapun tidak mungkin hanya mengandalkan kepandaiannya sendiri, karena selain pihak bajak itu banyak, juga dipimpin oleh orang pandai pula. Kalau benar sumoinya, Kiki, yang memimpin bajak itu, tentu dia sendiri sudah akan repot menandingi sumoinya dan tidak akan dapat melindungi anak buahnya dengan baik dari serbuan para bajak.

Apalagi kalau yang memimpin bajak itu Hai-tok, bekas gurunya sendiri. Akan tetapi diapun tidak takut terhadap Hai-tok. Semua ilmu silat dan Kakek itu sudah dikuasainya, dan Kakek yang kaya raya itu mana akan mampu menandingi kekuatannya yang masih muda? Karena cerdiknya, opsir muda ini lalu menyembunyikan seratus orang lagi pasukan di bagian bawah perahunya.

Jadi, kekuatannya hanya nampaknya saja seratus orang, padahal sebenarnya duaratus orang. Dan perahunya juga bukan perahu biasa, melainkan perahu besar yang sudah diperlengkapi dengan meriam! Benderanya besar, bendera tanda milik pemerintah Ceng-tiauw, dapat nampak dari jauh.

Dan pasukannya juga dipilih pasukan yang jagoan dan yang sudah berpengalaman bertempur di atas perahu. Pendeknya, Lee Song Kim sudah membuat persiapan yang cermat untuk menghadapi segala kemungkinan, baik melawan pasukan Harimau Terbang maupun pasukan Bajak Naga Laut.

Sementara itu, peristiwa yang terjadi atas diri sepuluh orang anggauta Harimau Terbang yang dibantai oleh Song Kim itu, segera diketahui oleh Kapten Elliot. Bukan main marahnya kapten ini. Dia segera memanggil Peter Dull, letnan yang gagah perkasa, bekas sahabat baik Koan Jit itu.

Setelah Koan Jit melarikan diri tanpa pamit setelah markasnya diserang oleh Ong Siu Coan dan anak buahnya dibantu Thian-tok, lalu sisa pasukan Harimau Terbang diserahkan kepada Letnan Peter Dull. Jumlahnya masih ada kurang lebih tujuh puluh orang bersama dengan para mata-matanya sendiri.

Mendengar betapa anak buahnya dibantai orang, marahlah Peter Dull. Karena tidak terdapat saksi hidup, dia tidak tahu siapa orangnya yang telah membunuh sepuluh orang anak buahnya itu secara demikian kejamnya. “Damn!” kutuknya penuh kegeraman. “Mereka bukan manusia, melainkan iblis-iblis jahat, membunuh orang seperti itu!”

Letnan ini yang menyaksikan sendiri mayat-mayat bergelimpangan di atas perahu itu dengan leher putus, atau hampir putus, dengan dada berlubang tembus, dengan perut pecah sehingga ususnya berceceran. Dek perahu yang banjir darah, bau amis, membuat dia muak dan menganggap pihak musuh membunuhi sepuluh orang anak buahnya itu seperti iblis.

Demikianlah kita pada umumnya. Mudah saja kita menudingkan telunjuk kepada orang lain dengan tuduhan kejam, curang, jahat dan sebagainya. Peter Dull marah-marah dan menganggap perbuatan orang yang membunuh se puluh orang anak buahnya itu kejam seperti iblis. Dia sama sekali tidak ingat kalau dia dan orangnya, entah sudah membunuh beratus atau berapa ribu orang!

Dan dia mengangap bahwa membunuh dengan pistol atau bedil atau meriam itu tidaklah sekejam membunuh dengan senjata tajam. Dia sama sekali tidak dapat membayangkan bahwa menyebarkan candu kepada rakyat yang jutaan banyaknya itu merupakan pembunuhan yang lebih kejam lagi, membunuh sedikit demi sedikit dengan penyiksaan lahir batin yang luar biasa kejamnya!

Inilah yang menjadi kesalahan kita semua. Kita terlalu memperhatikan orang-orang lain, terlalu menilai perbuatan-perbuatan orang lain. Pikiran kita setiap detik sibuk untuk menilai perbuatan orang lain, untuk membela diri, membenarkan diri, mencari segala alasan untuk membenarkan diri sendiri, mencari segala daya upaya untuk menguntungkan diri lahir batin, sehingga kita lupa akan suatu yang teramat penting dalam kehidupan kita, yaitu: MENGAMATI DIRI SENDIRI!

Kalau saja kita selalu sadar, selalu waspada untuk mengadakan pengamatan terhadap diri sendiri, BUKAN AKU mengamati AKU, melainkan ada kewaspadaan, ada kesadaran dan pengamatan yang selalu melakukan pengamatan lahir batin dan diri kita detik demi detik. Waspada kalau kita sedang melamun, kalau sedang bicara, kalau sedang bekerja, mencurahkan segala tenaga dan perhatian terhadap diri sendiri, apa yang kita lakukan baik yang terjadi di dalam maupun di luar diri.

Kalau sudah begitu, kita tentu tidak akan lagi menilai orang lain. Juga tidak lagi menilai diri sendiri, karena segalanya akan sudah nampak dan dimengerti benar! Hanya pengamatan ini sajalah yang akan mampu mengubah batin kita secara menyeluruh dan secara seketika. Perubahan lahir tidak banyak artinya. Perubahan batiniah yang penting bagi hidup, karena apa yang suka dinamakan kebahagiaan adalah urusan batin, bukan urusan lahir.

Urusan badan adalah kesenangan, dan dimana ada kesenangan tentu ada kesusahan. Badan bisa merasakan enak dan tidak enak, panas atau dingin, senang atau susah. Akan tetapi, pengamatan akan membebaskan batin dan semua pengalaman badan, sehingga batin akan tetap bebas, tidak bersandar, tidak bergantung, tidak susah atau senang, tak pernah mengeluh dan tak pernah bersorak-sorai.

Hanya batin yang seperti inilah yang benar-benar dapat merasakan dan mengerti apa yang sesungguhnya dinamakan bahagia itu. Hanya yang beginilah yang mengerti apa yang dinamakan cinta kasih itu. Kebahagiaan adalah urusan batin, bukan urusan badan. Cinta kasih adalah urusan batin bukan urusan badan. Kesenangan dan nafsu berahi, itulah urusan badan, tetapi kesenangan bisa berubah menjadi kesusahan dan cinta berahi bisa berubah menjadi kebencian!


Letnan Peter Dull, perwira berusia tiga puluh lima tahun yang ganteng itu, dengan marah lalu mempersiapkan kapal yang lengkap dengan meriam-meriam besar dan membawa serdadu sejumlah tidak kurang dari duaratus orang, semua bersenjata lengkap, lalu menjelajahi lautan timur untuk mencari bajak laut. Dia mendengar tentang bajak laut yang tersohor dengan nama Bajak Naga Laut, dan dia merasa yakin bahwa tentu bajak laut itulah yang membunuh orang-orangnya.

Dia bersumpah untuk membasmi Bajak Naga Laut itu. Peter Dull amat membenci para pejuang yang dinamakannya pemberontak, bukan hanya karena mereka banyak mengganggu bangsa kulit putih, akan tetapi terutama sekali karena dia kehilangan Diana yang dicintanya. Beberapa hari lamanya kapalnya mencari-cari di antara pulau-pulau kosong, akan tetapi belum juga berhasil menemukan pulau yang menjadi sarang Bajak Naga Laut.

Dia tidak tahu bahwa pada hari itu juga, sebuah perahu lain yang ukurannya lebih kecil dari kapalnya, juga berputar-putar mencari sarang bajak laut, dan perahu itu bukan lain perahu Kerajaan Ceng yang dipimpin oleh Lee Song Kim. Sebetulnya, kapal yang dipimpin oleh Peter Dull itu sudah melalui sebuah pulau bukit karang dimana terdapat kapal Naga Laut, akan tetapi pemimpin kapal itu, Kiki, amatlah cerdiknya.

Ia melihat kapal asing itu dan maklum bahwa untuk melawan kapal itu, amatlah berbahaya. Moncong-moncong meriam yang begitu besar dan banyak jumlahnya, serdadu-serdadu yang semua menyandang bedil di pundak dalam jumlah yang amat banyak, merupakan lawan yang terlampau berat bagi seratus orang anak buahnya. Sebelum mereka sempat menyerbu, tentu perahu naga itu akan ditenggelamkan oleh peluru-peluru meriam.

Oleh karena itulah, biarpun anak buahnya menganjurkan, ia memerintahkan agar perahunya memutar haluan dan bersembunyi di balik bukit karang itu. Setelah kapal asing itu lewat dan tidak nampak lagi, barulah Kiki memerintahkan orang-orangnya untuk mengembangkan layar dan melakukan pengejaran ke arah utara.

Arah yang berlawanan dengan kapal asing yang tadi menuju ke selatan, karena tadipun ia melihat dengan teropongnya dari jauh bahwa ada sebuah perahu berbendera Ceng yang menuju ke utara. Perahu pemerintah Ceng itulah yang akan dibajak, bukan kapal orang kulit putih yang terlalu kuat itu. Pula, ia tidak melihat harapan untuk memperoleh banyak hasil bajakan dan kapal asing itu.

Melihat betapa kapal itu dipersenjatai dengan kuat dan berhilir mudik, ia dapat menduga bahwa kapal itu tidak memuat dagangan-dagangan yang berharga melainkan sedang melakukan patroli. Dan menyerang kapal patroli, andaikata menang juga, apa hasilnya? Yang dikejarnya itu adalah perahu yang dipimpin oleh Lee Song Kim. Tentu saja Kiki tidak pernah menduga bahwa bekas suhengnya yang berada di perahu itu.

Dan karena Song Kim melayarkan perahunya perlahan-lahan sambil mencari-cari, sedangkan perahu naga itu berlayar kencang melakukan pengejaran, tak lama kemudian perahu pemerintah Ceng itupun tersusul. Dengan teropongnya, Kiki mempelajari keadaan perahu musuh dan hatinya merasa girang. Jumlah pasukan Ceng yang berada di atas perahu itu hanya kurang lebih seratus orang, dan jumlah itu sama sekali tidak ada artinya bagi anak buahnya yang juga berjumlah seratus orang.

Makanan empuk! Dan perahu Ceng itu hanya memiliki meriam di kanan kiri perahu, dua buah saja. Maka cepat ia lalu memerintahkan menurunkan dua buah sampan kecil yang dimuat masing-masing se puluh orang dan memberi perintah kepada mereka untuk lebih dulu melakukan penyerangan untuk mengacaukan pihak lawan dan membungkam kedua buah meriam itu.

Dua puluh orang ini memiliki kepandaian yang tinggi dalam hal ilmu di dalam air dan merekapun dengan cepatnya mendahului perahu Ceng. Kiki sendiri yang menganggap ringan pihak lawan, ikut di dalam sebuah di antara perahu-perahu itu dan hanya menyelinapkan sebatang tongkat pendek seperti pedang yang terbuat dan pada tulang ikan yang amat kuat.

Sementara itu, Song Kim juga sudah melihat datangnya perahu naga dari jauh. Jantungnya berdebar tegang. Itulah perahu Bajak Naga Laut. Dia tidak akan keliru lagi dan tentu orang-orang itu adalah anak buah bekas gurunya. Hanya teropongnya tidak melihat adanya Kiki yang sudah ikut dengan sebuah di antara sampan-sampan itu.

Akan kuhajar kalian, pikir Song Kim dengan penuh geram. Walaupun mereka itu adalah bekas teman-temannya, anak buahnya, akan tetapi kini mereka dianggap musuh yang harus dibasmi karena mereka mulai berani menyerang perahu-perahu pemerintah, bahkan belum lama ini membakar perahu yang ditumpangi oleh Pangeran Ceng Tiu Ong yang mengambil kitab-kitab kuno dari Mukden. Dia tidak dapat menduga siapa yang memimpin bajak itu, akan tetapi dia tidak takut.

Biar bekas gurunya sendiri sekalipun, akan dapat berbuat apa terhadap dua meriamnya dan juga duaratus orangnya, termasuk seratus yang disembunyikan di bawah? Biarkan bajak-bajak itu memandang rendah pasukannya dan mengira hanya seratus orang, padahal ada dua ratus orang, dua kali lipat jumlah anak buah perahu Bajak Naga Laut itu sendiri.

Makin dekatlah perahu bajak itu yang nampak menyeramkan, seperti seekor naga laut berenang karena kepala perahu berbentuk naga itu memang amat indah buatannya sehingga nampak dan jauh seperti seekor naga aseli. Song Kim tidak memerintahkan menembak perahu musuh itu. Dia tidak ingin kalau perahu itu kemudian ketakutan dan melarikan diri. Biarkan mereka dekat sekali dan baru diserbu, karena dia ingin membasmi habis semua anak buah bajak laut itu.

Dia sendiri sudah menghunus sebatang golok. Biarpun dia biasanya suka memakai pedang, akan tetapi sejak menjadi perwira dan menerima sebuah golok yang bagus dari atasannya sebagai tanda pangkat, dia merubah senjatanya dari pedang menjadi golok, dan dia memang ahli dalam permainan pedang atau golok.

Dengan wajah berseri dan sepasang mata bersinar-sinar, Song Kim menanti datangnya perahu bajak itu dan sudah terdengar suara tanduk ditiup dan sorak-sorai kau m bajak yang kasar itu. Pasukannya yang seratus orang masih tetap bersembunyi di bawah, tidak diperbolehkan keluar sebelum terjadi pertempuran. Dua buah sampan itu dengan kecepatan luar biasa meluncur mendekati perahu Ceng, dan perahu naga itupun semakin mendekat.

Dan kedua pihak sudah terdengar sorakan-sorakan dan makian-makian saling menantang. Tiba-tiba saja, sebelum Song Kim memerintahkan meriam yang menghadapi perahu lawan itu ditembakkan, nampak sesosok bayangan hijau meloncat dari bawah, dan tahu-tahu dia sudah berhadapan dengan seorang gadis cantik yang bukan lain adalah Kiki!

“Wah, kau sendiri, sumoi?” teriak Song Kim girang bukan main melihat betapa yang memimpin pembajakan itu adalah sumoinya yang pernah membuatnya tergila-gila.

Kesempatan baik untuk menangkap sumoinya yang sejak dulu sudah dirindukannya itu. Dan dia yakin benar bahwa sumoinya masih belum tahu akan perbuatannya di malam badai itu dimana hampir saja dia berhasil memperkosa sumoinya di atas perahu, kalau tidak keburu datang badai hebat melanda perahu mereka, bahkan kemudian diapun sudah hampir memperkosa sumoinya di daratan di pantai itu kalau saja tidak muncul seorang pemuda perkasa yang telah menyerang dan menghalangi perbuatannya.

Kalau teringat akan semua itu, kini begitu melihat sumoinya, nafsu berahinya timbul kembali dan ingin sekali dia dapat menangkap dan mendekap sumoinya yang cantik jelita ini. Akan tetapi Kiki tidak segembira dia bertemu dengan suhengnya di situ. Ia malah nampak marah sekali, mukanya menjadi merah dan sinar matanya berapi-api.

“Engkau pengkhianat besar! Dulu engkaulah yang melaporkan kepada pemerintah! Engkau penjadi anjing Mancu!”

“Eh, sumoi... kenapa menjadi pemberontak? Lebih baik kita mengabdi kepada pemerintah yang syah dan mencari pahala.”

“Jahanam!” Bentak Kiki, dan gadis ini sudah menyerang dengan senjatanya yang istimewa, menusukkannya ke arah dada Song Kim dengan amat cepatnya.

“Tranggg!” Golok di tangan Song Kim menangkis. Akan tetapi Kiki yang menyerang dengan marah itu sudah menggerakkan lagi senjatanya dan menyerang bertubi-tubi dengan amat ganasnya. Mula-mula Song Kim hanya menangkis saja, akan tetapi dia tahu bahwa kalau dia terus mengalah, dia bisa terancam maut di ujung senjata aneh yang ternyata berat dan kuat sekali itu. Maka diapun mulai membalas dengan serangan goloknya, dan berkelahilah dua orang kakak beradik seperguruan itu dengan serunya.

Tingkat kepandaian mereka memang berimbang dan keduanya amat mahir, sama-sama memiliki gin-kang yang luar biasa sehingga tubuh mereka berkelebatan mengaburkan pandang mata para anak buah tentara Ceng, sehingga merekapun tidak berani mendekat. Membantu komandan mereka berbahaya, salah-salah bisa mengenai tubuh komandan itu sendiri, karena gerakan kedua orang itu sukar diikuti pandang mata.

Juga sinar senjata mereka mencuat kemana-mana, dan amatlah berbahaya. Terkena sambaran angin senjata atau terkena sinar senjata itu saja sudah akan dapat mencelakai mereka. Sementara itu, orang-orang dari kedua sampan sudah berloncatan naik dan menyerang para penjaga meriam sehingga meriam itu tidak sempat ditembakkan dan terjadilah perkelahian di atas dek.

Kini perahu naga sudah dekat dan seperti biasa, mereka melemparkan kaitan bertali sehingga kedua perahu itu bergandengan. Dan mereka semua sambil bersorak-sorak berlompatan menyerang perahu Ceng. Akan tetapi, sekali ini para bajak itu kecelik. Terdengar tembakan-tembakan senapan dan beberapa orang bajak terjungkal.

Dan ketika mereka semua sudah menyerang ke atas perahu Ceng, bermunculanlah prajurit yang tadinya bersembunyi di bawah sehingga jumlah mereka dua kali lebih banyak dari pada jumlah para penyerbu. Melihat banyaknya prajurit pemerintah, Kiki terkejut bukan main. Diserangnya bekas suhengnya itu mati-matian dan ketika suhengnya itu mundur, iapun dengan cekatan seperti seekor burung walet, tubuhnya mencelat ke atas tiang layar.

Maksudnya hendak cepat kembali ke perahunya untuk memperingatkan anak buahnya agar cepat mundur, karena pihak lawan terlampau kuat. Akan tetapi, Song Kim tidak ingin melihat sumoinya lari. Diapun berseru nyaring dan tubuhnya melayang pula ke atas, mengejar sumoinya. Kiki menyambut dengan serangan, dan kini kedua orang yang amat cekatan itu berkelahi di atas tiang layar.

Karena tempat itu hanya kecil dan berdiri saja sukar, maka dapat dibayangkan hebatnya perkelahian itu. Mereka bergantungan pada tali-temali layar, menginjak bambu melintang dan seperti sepasang akrobat sedang beraksi di sirkus, keduanya berlompatan, berjungkir balik dan saling serang di tempat yang tinggi itu. Bukan hanya dari senjata lawan datangnya bahaya, akan tetapi sekali kaki tergelincir dan tubuh jatuh ke bawah, bisa celaka!

“Ha-ha-ha, sumoi, lebih baik engkau menyerah saja dan aku akan mengampuni semua anak buahmu. Kau tahu, aku menyembunyikan seratus orang prajurit, dan kini seratus orangmu itu melawan duaratus orang prajuritku. Dan kau sendiri, mana bisa menangkan aku? Lebih baik kau menyerah dan ikut bersamaku ke Kota Raja mencari kemuliaan. Marilah, sumoi yang manis!”

“Tidak sudi!” bentak Kiki. Akan tetapi pada saat itu, Song Kim sudah mendesaknya dan ketika ia mundur-mundur, Kiki terjebak. Ia mundur sampai hampir ke ujung bambu yang makin mengecil dan kalau ia mundur terus, akhirnya tentu akan tergelincir dan ujung bambu. Sedangkan Song Kim masih berdiri di atas bambu yang besar, bahkan di belakangnya ada tiang layar besar yang akan dapat dipakai berpegang kalau dia tergelincir.

“Menyerahlah, atau kau ingin mati?” bentak Song Kim sambil tetap menodongkan goloknya dengan sikap mengancam.

“Tidak sudi... lebih baik mati!” bentak Kiki, akan tetapi ini bukan bentakan putus asa karena sepasang matanya yang indah itu mengukur jarak dan melihat keadaan bambu yang diinjaknya.

“Kalau begitu mampuslah!” Song Kim menjadi marah dan menyerang.

Akan tetapi tiba-tiba, dengan menggeluarkan pekik yang melengking, tubuh Kiki yang mundur-mundur itu terpeleset dan tubuhnya mencelat! Ternyata dara perkasa ini membuat poksai (jungkir balik) ke belakang, tangan kirinya menangkap ujung bambu, tangan kanan yang memegang senjata itu menyerang ke arah kaki lawan, sedangkan kaki kanannya dengan gerakan yang amat cepat telah menendang ke arah dada Song Kim! Gerakan ini sungguh sama sekali tidak tersangka oleh Song Kim sehingga dadanya kena ditendang.

“Bukkk!!” Untung di belakangnya ada tambang dimana tangan kanannya cepat menyambar tambang, sedangkan tangan kiri yang memegang golok itu diayun ke bawah menangkis senjata Kiki. Gadis itu maklum bahwa ia berada dalam bahaya, maka sambil kembali mengeluarkan suara melengking nyaring, tubuhnya melayang ke bawah sambil membuat gerakan salto sampai lima kali.

“Byurrrr!” Tubuhnya jatuh ke air di luar perahu musuh. Ia cepat menyembul kembali dan memberi aba-aba kepada para anak buahnya untuk mundur. Semua bajak cepat kembali ke perahu mereka dan melarikan diri setelah meninggalkan korban hampir setengah jumlah mereka...

Jilid selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.