Pendekar Pedang Pelangi Jilid 24 karya Sriwidjono - HENING sejenak. Terdengar suara jengkerik di pojok ruangan. “Ah, tampaknya hari sudah malam. Hong-moi, kau istirahatlah. Kita perlu banyak menyimpan tenaga untuk dapat keluar dari tempat ini.” Pendekar tua itu berkata kepada isterinya.

Chu Bwe Hong beringsut dan duduk kembali di dekat lampu. Chin Tong Sia benar-benar kagum melihatnya. Nenek itu tentu telah berusia lebih dari setengah abad, tapi wajah dan penampilannya masih kelihatan cantik dan anggun. Coba kalau rambutnya yang putih itu dicat kembali dengan warna hitam, niscaya orang akan mengira kalau dia masih muda.
“Kudengar kesaktian suami-isteri ini sangat disegani di dunia persilatan. Bagaimana mungkin mereka dikalahkan oleh Mo Hou dan para pengawalnya itu?” Chin Tong Sia berkata didalam hatinya.
Seperti tahu apa yang dipikirkan Chin Tong Sia, pendekar itu bergumam perlahan. “Sejak mendengarkan penjelasan tentang ilmu silat dari Utusan Pondok Pelangi, aku merasa ilmu silatku sudah jauh lebih baik lagi. Tapi dugaanku meleset. Ternyata ilmu silat orang lainpun dapat bertambah tinggi pula. Buktinya ilmu silat para pengawal Raja Mo Tan itu juga bertambah hebat pula dibandingkan dulu. Dua puluhan tahun yang lalu pernah kukalahkan. Kini ketika ilmuku sudah bertambah, mereka justru dapat mengalahkan aku.”
“Tetapi... Mereka menang karena kau belum pulih dari lukamu. Coba kalau luka dalam akibat sabetan ekor ikan paus itu sudah sembuh, mungkin kau tidak akan dikalahkan oleh mereka.” Chu Bwe Hong menghibur suaminya.
Chin Tong Sia terkesiap. “Apakah yang Lo-cianpwe maksudkan itu... Lok-kui-tin, pengawal Mo Hou?”
“Benar, selain sebagai pengawal keluarga raja, enam hantu itu sebenarnya adalah murid Ulan Kili, Pendeta Agung suku bangsa Hun. Sebelum menjadi Pendeta Agung, Ulan Kili bernama Bok Siang Ki, jago silat nomor dua di seluruh negeri ini. Seperempat abad yang lalu ia kabur keluar Tembok Besar, karena dikalahkan oleh Pangeran Liu Yang Kun. Maka kau jangan kaget kalau melihat murid-muridnya sangat lihai.”
“Lo-cianpwe benar. Kepandaian Lok-kui-tin memang benar-benar hebat. Saya juga tidak berdaya melawan mereka, walaupun dalam perkelahian tadi dapat kurobohkan tiga orang diantaranya!”
Souw Thian Hai terkejut. “Kau dapat merobohkan tiga orang di antara mereka? Benarkah? Wah, ilmu silatmu tentu hebat sekali! Sungguh tidak kusangka Put-ceng-li Lojin dapat mewariskan ilmunya kepadamu.”
Tiba-tiba Chin Tong Sia menundukkan mukanya. Pujian itu justru menyadarkannya. Tidak seharusnya ia mengatakan seperti itu. Bagaimanapun juga robohnya ketiga orang itu lebih disebabkan oleh keberuntungannya, bukan karena ilmu silatnya yang lebih baik. Coba kalau sejak semula lawannya itu tidak memandang rendah kepadanya dan melawannya dengan hati-hati, mungkin kesudahannya akan menjadi lain.
Chin Tong Sia menengadahkan kepalanya kembali. Namun ketika mulutnya hendak mengatakan hal tersebut, di luar kamar terdengar suara langkah orang mendatangi. Souw Thian Hai bergegas mendekati isterinya. Matanya mengawasi pintu yang terbuat dari besi itu dengan penuh kewaspadaan.
“Silakan makan malam...! Baru besok pagi Kongcu dapat menemui kalian.” Terdengar suara penjaga di luar pintu. Lobang kecil di bagian bawah pintu terbuka. Sebuah nampan berisi makanan dan minuman disorongkan masuk.
“Koko, jangan diambil! Makanan itu beracun.” Chu Bwe Hong memperingatkan suaminya.
“Tenanglah...! Kau tidak perlu kuatir. Mereka belum bermaksud membunuh kita, Mereka masih menginginkan sesuatu dari kita. Kalau mereka menghendaki, mereka tidak perlu menggunakan segala macam racun. Tanpa diberi racunpun kita akan mati kelaparan di ruang pengap ini.”
“Lo-cianpwe benar. Kalau mereka menginginkan nyawa kita, mereka tak perlu menyekap kita di sini. Mereka akan segera membunuh lawan yang tidak mereka butuhkan.” Chin Tong Sia sependapat.
“Lalu... apa yang akan kita kerjakan?” Chu Bwe Hong akhirnya dapat menerima alasan Chin Tong Sia dan suaminya.
“Biarlah saya mengambil makanan itu, Nyonya. Saya akan mencobanya lebih dahulu. Mati dan hidup tidak ada bedanya bagiku. Tak seorangpun di dunia ini yang peduli akan kehidupan atau kematianku. Sekarang yang penting adalah memanfaatkan apa saja yang perlu bagi kesehatan tubuh kita. Siapa tahu kita dapat meloloskan diri dari penjara ini?”
Chin Tong Sia bangkit, kemudian menyeret rantai yang mengikat, kedua kakinya. Diambilnya nampan berisi makanan itu dan dia letakkan di atas meja di depan Chu Bwe Hong. Tanpa rasa gamang sedikitpun ia mengambil sebagian dari makanan itu dan menelannya. Kemudian dengan tenang pula ia menyambar cangkir teh dan meminumnya.
“Nah, Nyonya Souw... silakan!” Wanita cantik itu menatap wajah Chin Tong Sia seperti menatap wajah hantu. Matanya yang telah mulai berkeriput itu terbelalak bagaikan mata burung hantu yang menyimpan berbagai macam perasaan. Tak terasa mata itu kembali berair.
“Sudahlah, mari kita makan!” Souw Thian Hai merangkul istrinya dan membagi makanan itu menjadi tiga bagian. Chin Tong Sia juga tidak segan-segan lagi. Pemuda itu menyingsingkan lengan bajunya, sehingga tahi lalat lebar di bawah sikunya terlihat jelas oleh Souw Thian Hai suami-isteri. Tubuh Chu Bwe Hong kembali bergetar. Tak terasa tangannya juga meraba siku kirinya pula.
“Kita memang tidak dapat mengelakkannya, Moi-moi. Thian telah memberikan tanda yang tak bisa dipungkiri lagi. Pertemuan yang tidak diduga-duga inipun merupakan petunjuk dari Thian. Tapi, sudahlah. Kalau kau belum siap menerima, tak perlu memaksa diri. Marilah, kau makanlah...!”
Mereka lalu makan tanpa bicara lagi. Chin Tong Sia yang sejak kecil biasa bersikap acuh tak acuh itu segera makan dengan lahapnya, sementara Souw Thian Hai dan isterinya sebentar-sebentar tampak melirik kepadanya. Malam itu mereka benar-benar istirahat. Mereka duduk bersamadhi sambil berusaha mengumpulkan seluruh tenaga sakti mereka.
Walaupun rantai besi membuat gerakan mereka terganggu, tapi mereka tetap berusaha sekuatnya. Asap tipis berwarna merah dan putih mengepul keluar dari kepala Souw Thian Hai, sementara Chu Bwe Hong duduk tegak di sebelahnya. Butit-butir keringat tampak mengalir membasahi kening dan lehernya.
Chin Tong Sia berada di pojok ruangan. Caranya bersemadhi memang lain dari pada yang lain. Ia berjungkir balik dengan kepala sebagai alas tubuhnya. Kedua kakinya tegak lurus ke atas, sementara kedua lengannya dilipat di depan dada. Rantai yang mengikat kaki dan tangannya seperti tidak mengganggunya.
Dan malam itu berlalu tanpa terjadi peristiwa apa-apa. Cuma, pagi harinya Chin Tong Sia sedikit terkejut ketika tiba-tiba Souw Thian Hai dan isterinya telah berada di depannya. Pemuda itu buru-buru melompat dan berdiri kembali di atas kakinya.
“Wah, aku terlambat bangun rupanya.” Chin Tong Sia menyapa mereka.“Anak muda, kita harus berusaha keluar dari tempat ini. Malam tadi aku sempat menguping pembicaraan para penjaga. Mereka mengatakan bahwa pimpinan mereka sedang meninggalkan tempat ini untuk sesuatu urusan. Berarti saat ini kita mempunyai kesempatan untuk melepaskan diri. Hmm, apakah kau punya usul yang baik?” Souw Thian Hai berkata perlahan.
Chin Tong Sia memandang pintu besi yang kokoh kuat itu. Keningnya berkerut. “Entahlah. Saya belum memikirkannya. Bagaimana dengan Lo-cianpwe sendiri?”
“Mungkin gabungan dari kekuatan kita bertiga dapat merobohkan pintu besi itu. Tapi... Kalau gagal, keadaan kita justru akan semakin sulit.”
“Benar, Koko. Aku juga sangsi. Tak mungkin mereka mengumpulkan kita di sini, kalau kekuatan gabungan kita akan dapat merobohkan pintu itu.” Chu Bwe Hong tidak sependapat dengan usul suaminya.
“Kau punya pendapat lain?”
Chu Bwe Hong menggelengkan kepalanya. “Aku juga belum mendapatkannya. Sebentar aku pikirkan...”
Chin Tong Sia menyeret kakinya mendekati pintu. Sambil melangkah ia mencoba mencari akal untuk keluar dari tempat itu. Dia lalu memperhatikan pintu besi itu lekat-lekat, kalau-kalau ada bagian yang dapat dipergunakan untuk meloloskan diri. Pemuda itu berjongkok di depan lubang kecil, tempat menyodorkan makanan kemarin. Lubang itu hanya pas untuk lewat makanan. Kepala manusia pun tak mungkin dapat memasukinya.
“Makanan datang...!” Tiba-tiba terdengar suara penjaga mendatangi. Raut muka Chin Tong Sia menjadi tegang. Apalagi ketika lobang kecil itu terbuka dan makanan disorongkan masuk.
“Ambil makanan ini! Lalu kembalikan bekas tempat makanan kemarin ke sini! Cepat...!” Penjaga itu berteriak dari luar pintu.
Chin Tong Sia mengambil makanan itu, kemudian menyodorkan bekas tempat makanan mereka kemarin. Tapi bersamaan dengan bergesernya nampan tersebut, tangan Chin Tong Sia juga ikut bergeser keluar di bawah nampan. Begitu tangan penjaga itu terulur untuk memungut nampan, cepat bagai kilat tangan Chin Tong Sia menyambar.
“Wuuus... sst!” Pergelangan tangan penjaga itu berhasil dicengkeram. Selanjutnya lengan itu ditarik dengan paksa sehingga penjaga itu terjungkal mencium lantai. Di lain saat jari telunjuk Chin Tong Sia telah menekan urat gagunya.
“Berikan kunci pintu ini atau kau tak ingin melihat isteri dan anakmu lagi?” Pemuda itu mengancam sambil menekan jarinya sehingga menimbulkan sakit yang luar biasa.
“Uh-uh-uh...!” Penjaga itu kesakitan namun tak bisa bersuara karena urat gagunya telah ditotok Chin Tong Sia.
“Cepat! Aku tahu kau tidak bisa menjawab! Tapi aku tak peduli! Sekali lagi kuminta kau tak memberikannya, jariku akan mencoblos tengkorakmu! Nah, berikan!” Sekali lagi pemuda itu menghardik. Suaranya terdengar sungguh-sungguh. Tiba-tiba terdengar suara gemerincing. Tangan kiri penjaga itu melemparkan seuntai kunci melalui lobang tersebut.
“Lo-cianpwe, bukalah...!” Chin Tong Sia memberikan kunci itu kepada Souw Thian Hai, sementara tangannya yang lain tetap mencengkeram lengan lawannya.
Souw Thian Hai mencoba kunci tersebut satu persatu, sehingga akhirnya pintu itu terbuka. Selanjutnya pendekar itu mencoba pula kunci-kunci yang lain untuk membuka rantai di tubuh mereka. Semua itu berlangsung dengan cepat, seolah-olah rencana pembebasan tersebut telah mereka atur secara rapi.
“Bagus...! Benar-benar rencana yang hebat! Tapi... bagaimana kau bisa tahu penjaga itu membawa kunci?” Souw Thian Hai berdesah dengan suara gembira.
Sambil melepaskan tubuh penjaga yang lemas itu Chin Tong Sia mengebut-ngebutkan lengan bajunya. “Rencana itu juga timbul dengan mendadak saat mendengar suara gemericing di antara suara langkahnya. Sebenarnya saya juga tidak yakin kalau dia membawa kunci itu. Semuanya hanya untung-untungan saja...” Chin Tong Sia menjelaskan.
Suara ribut-ribut itu terdengar pula oleh penjaga yang lain. Sebentar saja tempat itu telah dipenuhi para pengawal. Pertempuranpun tidak dapat dielakkan lagi. Tapi mana mungkin para pengawal itu dapat menahan Souw Thian Hai bertiga? Sekejap saja mereka telah bergelimpangan di lantai. Semuanya tertotok lemas tanpa bisa bangun lagi.
Souw Thian Hai mengandeng isterinya untuk menaiki tangga. Sementara Chin Tong Sia mengikut di belakang mereka sambil menyeret rantai yang tadi mengikat lengannya. Beberapa saat kemudian mereka telah sampai di atas tangga. Sekejap mata mereka menjadi silau oleh sinar matahari yang menyorot ke dalam ruangan itu.
“Serang...!” Sekonyong-konyong terdengar aba-aba di sekeliling mereka. Belasan anak panah meluncur ke arah mereka bertiga. Bahkan panah berikutnya telah menyusul pula sebelum yang pertama sampai di tujuan.
“Cepat bertiarap di lantai!” Souw Thian Hai berseru sambil melepaskan baju luarnya. Baju itu diputar-putar di sekeliling tubuhnya dan tubuh isterinya. Chin Tong Sia juga memutar rantai besi di tangannya. Panah berjatuhan di sekitar mereka. Tetapi lawan terus saja melepaskan panah, sehingga Souw Thian Hai dan Chin Tong Sia juga tidak berani pula menghentikan gerakan mereka. Keduanya tetap saja memutar-mutar senjata mereka seperti baling-baling.
Akhirnya Chin Tong Sia menjadi marah. Hujan anak panah itu segera diterjangnya dengan berani. Sambil memutar rantainya dia melepaskan pukulan-pukulan jarak jauhnya. Beberapa anak panah yang lolos dari sabetan rantainya, ternyata juga tidak dapat melukai tubuhnya. Anak panah itu hanya mampu menggores kulit dan merobek pakaiannya.
“Traaaang! Traaaaang...! Braaak! Braaaakk!”
Dalam kemarahannya Chin Tong Sia tidak lagi memilih-milih sasaran. Rantai besi itu menyapu apa saja yang menghalang di depannya. Tembok, jendela dan pintu ruangan itu hancur bertaburan terkena sabetan rantainya. Para pemanah yang bersembunyi di sana segera berlari menyelamatkan diri.
“Awaaaas...! Lari!” Mereka berteriak dan berhamburan seperti kawanan lebah yang dihancurkan sarangnya. Namun demikian beberapa orang diantara mereka tidak sempat meninggalkan tempatnya.
Mereka tewas terkena sambaran rantai Chin Tong Sia. Kesempatan itu dipergunakan pula oleh Souw Thian Hai dan isterinya. Keduanya bangkit berdiri dan mengamuk pula. Ternyata kepalan tangan mereka justru lebih berbahaya daripada senjata tajam. Sesekali tampak sinar putih atau kemerahan melesat dari ujung jari Souw Thian Hai. Dan sinar itu melesat bagaikan mata pedang yang mampu merusak segala macam benda penghalangnya.
Tembok, kayu, perabotan rumah, semuanya hancur terkena kilatan sinar tersebut. Bahkan barang-barang yang terbuat dari besipun menjadi rusak terkena sambaran sinar yang keluar dari ujung jari pendekar itu. Pertunjukan kesaktian itu benar-benar mengecutkan hati para pengawal Mo Hou. Mereka segera lari berserabut-an meninggalkan tempat itu.
“Gila! Mengapa. kalian lari! Lawan terus!” Ho Bing dan kawan-kawannya tiba-tiba muncul dari ruang dalam. Pengemis berpakaian rapi itu berteriak marah.
“Bagus, kita ketemu lagi!” Chin Tong Sia berseru gembira. Sesaat pertempuran itu berhenti. Mereka saling berhadapan. Ho Bing dibantu Tiat-tou dan Siang-kiam-eng, berhadapan dengan Chin Tong Sia beserta Souw Thian Hai suami-isteri. Sementara itu para pengawal rumah itu menjadi besar lagi hatinya menyaksikan Ho Bing telah berada diantara mereka. Mereka segera bersiap lagi mengepung tempat tersebut.
“Kalian bertiga... Menyerahlah! Tempat ini penuh dengan jebakan! Kalian tidak mungkin dapat meninggalkan tempat ini! Sekali aku memberi perintah, maka jebakan demi jebakan akan menghalangi langkah kalian!” Ho Bing berseru dengan penuh keyakinan.
Souw Thian Hai, Chu Bwee Hong dan Chin Tong Sia saling memandang satu sama lain. Ancaman itu membuat mereka menjadi was-was juga. “Sudahlah! Apapun yang terjadi kita wajib berusaha. Kita tidak boleh menyerah begitu saja. Siapa tahu Thian memberi jalan kepada kita?” Souw Thian Hai berbisik kepada Chin Tong Sia.
Chin Tong Sia tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Di dalam benaknya juga tidak ada kata-kata untuk menyerah. Sambil menggeram rantai di tangannya kembali berkelebat menyerang lawannya. “Jangan banyak bicara! Lakukanlah kalau kau mampu!”
“Siiiiing!” Rantai itu melesat ke depan dengan cepatnya. Ujungnya mematuk ke arah dada Ho Bing.
“Baiklah. Kau memang perlu diberi pelajaran! Pengawal, semprotkan bubuk pelemas...!” Ho Bing mengelak sambil berseru memberi perintah. Tiba-tiba dari langit-langit ruangan itu bertaburan bubuk putih ke bawah. Dalam sekejap ruangan itu bagaikan dilanda hujan abu.
“Hong-moi, awaaaas...! Tahan napasmu! Cepat keluar dari tempat ini!” Souw Thian Hai memperingatkan isterinya. Ruangan itu menjadi gelap, penuh dengan taburan bubuk putih yang berhamburan dari atap ruangan tersebut. Meskipun tidak berani membuka mata, tapi Souw Thian Hai dapat mengenali gerakan lawannya.
“Ha-ha-ha, jangan harap bisa lolos! Pengawal, siapkan jaring-jaring perangkap!” Terdengar suara teriakan Ho Bing diantara kelamnya kabut putih itu. Chin Tong Sia terpaksa kembali untuk menolong Souw Thian Hai dan isterinya. Pemuda itu telah menutupi wajah dan seluruh kepalanya dengan sobekan kain bajunya.
“Lo-Cianpwe, tutuplah kepala dengan sobekan kain apa saja! Walau tidak dapat menangkal sepenuhnya, tetapi paling tidak dapat mengurangi pengaruh racun bubuk putih ini!” Pemuda itu berbisik di telinga Souw Thian Hai.
“Benar. Tapi kita tidak dapat melihat jaring yang mereka siapkan! Apa yang harus kita perbuat?”
“Kita terjang saja jaring-jaring itu! Lo-cianpwe dapat merusaknya dengan Tai-kek-sin-ciang tadi!” Chin Tong Sia berdesah dengan nada geram.
“Wah, sayang sekali! Tai-kek-sin-ciang justru tidak berguna bila berhadapan dengan benda lentur. Kekuatannya akan hilang, bahkan bisa memantul balik.” Pendekar itu menerangkan.
“Lepaskan jaring perangkap...!” Ruangan itu kembali bergema oleh suara perintah Ho Bing.
Souw Thian Hai dan Chin Tong Sia benar-benar kaget ketika melihat jaring besar jatuh dari atap ruangan. Otomatis tangan mereka bergerak. Souw Thian Hai melepaskan totokan ujung jarinya, sedangkan Chin Tong Sia segera mengayunkan rantainya. Masing-masing berusaha merusakkan perangkap itu.
“Wuuut! Wuut! Dhugg!”
Benar juga. Tai-kek-sin-ciang yang ampuh itu sama sekali tidak berdaya menghadapi kelenturan jaring perangkap. Tali jaring terbuat dari kulit kerbau itu hanya mental terkena sambaran Tai-kek-sin-ciang. Bahkan rantai di tangan Chin Tong Sia pun tak mampu merusakkannya.
“Celaka! Lo-Cianpwe, apa yang harus kita perbuat?” Pemuda itu berteriak cemas.
“Kita kembali ke ruang bawah tanah! Cepat! Hong-moi, ikut aku!” Souw Thian Hai berseru pula. Hampir saja jaring itu menggulung mereka. Untunglah dengan lincah mereka lebih dulu masuk ke lubang tangga ruang bawah tanah.
“Nah, apa kataku? Kalian tidak akan dapat. keluar dari tempat ini! Akhirnya kalian kembali juga ke dalam penjara! Ha-ha-ha-ha! Hei Penjaga...! Tutup pintunya!” Pintu rahasia ke ruang bawah tanah itu segera ditutup dan lorong sempit menuju ke bawah itu menjadi gelap. Hanya ada satu lampu minyak di tempat itu.
“Hai-ko, kita benar-benar terperangkap sekarang.” Chu Bwe Hong berdesah.
“Sssst, dengar...! Ada keributan di luar! Seperti suara perkelahian...” Tiba-tiba Souw Thian Hai meletakkan jarinya di atas bibir.
“Benar. Rasanya aku mendengar suara Ho Bing mengumpat dan memaki-maki!” Chin Tong Sia berkata pula. Chin Tong Sia lalu menempelkan telinganya di atas pintu. Lapat-lapat terdengar jeritan perempuan di antara umpatan Ho Bing.
“Tiau Hek Hoa...?” Chin Tong Sia menduga-duga.
“Bagaimana...?” Souw Thian Hai bertanya pelan. Chin Tong Sia menggeleng kepalanya.
“Benar. Memang ada suara pertempuran di luar. Tapi... Kita tak mungkin dapat keluar dari sini. Pintu ini terbuat dari besi tebal.”
“Ho Bing? Siapa itu... Ho Bing?”
“Pengemis bermuka kelimis yang berada di antara penjaga tadi. Dia telah berkhianat dan menjadi kaki tangan Raja Mo Tan. Beberapa hari yang lalu, dia berusaha membunuh utusan Kong-sun Goanswe di kota Lu-feng! Untung aku dapat menggagalkan rencananya dan menyelamatkan utusan itu.” Chin Tong Sia menjelaskan.
“Ooh...?!” Souw Thian Hai mengangguk-angguk.
“Kalau begitu... Kita cari jalan keluar! Air...!” Chu Bwe Hong yang sudah berada di bawah tangga itu tiba-tiba menjerit. Souw Thian Hai melompat turun dengan tergesa-gesa. Dan kakinya segera menginjak genangan air yang entah dari mana datangnya. Ternyata tempat itu telah dibanjiri air setinggi mata kaki.
“Wah, tampaknya mereka ingin membenamkan kita di sini!” Pendekar tua itu menggeram.
“Ular! Hai-ko, ulaaaar...! Lihat! Banyak sekali!” Sekali lagi Chu Bwe Hong menjerit keras sekali.
Chin Tong Sia melongok ke bawah. Di antara kelap-kelipnya lampu minyak, terlihat banyak sekali ular berenang di dalam air itu. Sungguh menjijikkan dan sekaligus juga menakutkan! “Lo-Cianpwe! Naiklah ke atas tangga!”
Akan tetapi permukaan air itu juga bertambah naik pula. Dan beberapa ekor ular mulai menaiki tangga. Souw Thian Hai segera menghalaunya. “Wah kita terpaksa harus menjebol pintu! Mari kita coba!” Souw Thian Hai berkata agak cemas. Tapi bukan mencemaskan keselamatannya sendiri. Dia lebih memikirkan keselamatan isterinya.
Mereka lalu menghimpun tenaga bersama-sama, kemudian mendorong pintu itu. Sekejap lempengan besi tebal itu bergetar dengan hebat. Namun sampai di puncak kekuatan mereka, ternyata pintu itu tetap tak bergeming.
“Pintu ini kuat bukan main!” Chin Tong Sia terengah-engah.
“Oh! Air sudah mencapai tangga! Hai-ko, lihat! Ular-ular itu juga berebut naik pula!” Chu Bwe Hong berseru tertahan.
“Cuuus! Cuuuus! Cus...!” Cahaya putih kemerahan meluncur dari ujung jari Souw Thian Hai, menerjang gerombolan ular yang sedang berebut naik tangga. Binatang melata itu terpental kembali ke dalam air. Tubuh mereka terpotong menjadi beberapa bagian, bagai direjam oleh pisau tajam.
Diam-diam Chin Tong Sia tergetar juga. Pendekar itu benar-benar hebat sekali. Tampaknya sulit sekali bagi orang lain untuk menghindar dari sinar berbahaya itu. “Tapi setinggi apapun ilmu silat seseorang tentu ada titik kelemahannya. Tak terkecuali Tai-kek-sin-ciang ini, tentu ada titik kelemahan juga. Hmm, bila suheng Put-pai-siu Hong-jin ada di sini, tentu dia dapat menemukan titik kelemahan itu.” Semakin lama air di dalam lorong itu semakin naik pula.
Souw Thian Hai dan Chin Tong Sia semakin sibuk melayani ular-ular yang naik ke atas tangga. Darah ular yang terbunuh membuat ruangan itu menjadi amis sekali.
“Hai-ko, bagaimana ini...?” Chu Bwe Hong berdesah cemas. Wajahnya pucat.
Akhirnya permukaan air mulai menyentuh sepatu. Dan mereka tidak mungkin dapat naik lagi. Punggung mereka sudah menempel pada pintu besi. Ular-ular itu seperti tidak mati pula. Meski banyak yang mati, namun mereka tetap saja menyerang. Justru Chu Bwe Hong yang akhirnya menjadi ketakutan. Wanita tua yang masih tetap cantik itu hampir pingsan menyaksikan kenekatan binatang-binatang menjijikkan tersebut. Sambil menjerit-jerit tangannya memukuli pintu.
“Naiklah ke punggungku, Hong-moi!” Souw Thian Hai berseru.
“Lo-Cianpwe, mari kita coba mendorong pintu ini sekali lagi. Mumpung air belum menenggelamkan tubuh kita!” Chin Tong Sia berteriak pula. Mereka lalu mengerahkan tenaga dalam lagi. Bahkan semua yang ada pada mereka. Kemudian mendorong pintu besi itu sekali lagi!
“Hup!” Pintu besi itu kembali tergetar dengan hebat, sehingga debu dan pasir berjatuhan mengotori tubuh mereka. Namun pintu tetap tak tergoyahkan. Kekuatan gabungan mereka sama sekali tak berdaya untuk menggerakkannya.
“Aduh...!” Tiba-tiba Souw Thian Hai menjerit kecil. Tangannya menyambar ke bawah dan dua ekor ular loreng terpental remuk menghajar diding.
Chu Bwe Hong berdesah kaget. “Hai-ko? Ular itu mematuk kakimu...?”
Pendekar tua itu mengangguk sambil menotok beberapa jalan darah di kakinya. Dalam keadaan terpojok seperti itu Souw Thian Hai masih tetap berusaha bersikap tenang
“Lo-Cianpwe, aku punya obat! Silakan makan! Jangan sampai terlambat!” Chin Tong Sia merogoh sakunya dan memberikan sebotol obat kepada pendekar tua itu. Air semakin tinggi. Kaki dan perut mereka mulai tenggelam pula.
Diam-diam Chu Bwe Hong mulai putus asa. Meski tidak bersuara, tapi air matanya mengucur semakin lama menjadi semakin deras. “Hai-ko...!” Ia berbisik pelan sambil memeluk suaminya.
Souw Thian Hai tidak tahan pula. Pendekar tua yang sudah kenyang menikmati asam garam kehidupan itu balas memeluk isterinya. Keduanya berpelukan seolah tak ingin berpisah lagi. Hanya Chin Tong Sia yang masih kelihatan tenang. Pemuda itu benar-benar seperti tidak peduli akan hidupnya. Pemuda itu tetap waspada terhadap ular-ular yang berseliweran di sekitar mereka.
“Lihatlah, Hong-moi! Apakah dalam keadaan seperti ini, kau masih belum mau berterus terang juga kepadanya? Apakah akan kita pendam terus rahasia ini sampai mati?” Souw Thian Hai berbisik di telinga Chu Bwe Hong seraya melirik Chin Tong Sia.
Chu Bwe Hong menangis tersedu-sedu. Air mulai membasahi dagunya dan sekejap lagi dia tidak akan dapat berna- pas lagi. “Hai-ko, aku... aku...”
“Braaaaak!” Tiba-tiba pintu besi itu terbuka dengan keras. Sinar matahari menerobos masuk dan menyilaukan pandangan mereka.
“Pintu terbuka! Lo-Cianpwe, kita keluar!” Chin Tong Sia berteriak gembira, lalu melompat keluar. Sambil memeluk pinggang isterinya Souw Thian Hai meloncat keluar pula. Mereka bertiga segera bersiap-siaga menghadapi segala kemungkinan.
Ho Bing dan kawan-kawannya tidak terlihat lagi di tempat itu. Sebaliknya mereka melihat. seorang gadis cantik bertubuh kecil bertolak pinggang di depan mereka. Kedua tangannya memegang sepasang pedang pendek. Gadis itu sedang mengawasi para penjaga yang tergeletak di sekitarnya. Chin Tong Sia mengusap-usap matanya. Dia seperti tak percaya akan penglihatannya sendiri. Beberapa kali ia mengawasi gadis cantik itu.
“Kau... Kau...? Ah!” Pemuda itu berdesah gugup seperti layaknya jejaka yang tiba-tiba bertemu dengan gadisnya. Ternyata tidak hanya Chin Tong Sia yang kaget.
Gadis itu bahkan lebih kaget daripada Chin Tong Sia. “Kau...?” Gadis yang tidak lain adalah Tio Siau In itu menjerit. Kulit mukanya berubah merah seketika. Peristiwa memalukan yang terjadi di pinggiran kota Hang-ciu lima tahun lalu, kembali terbayang di matanya.
“Bagus! Ternyata... Kuu yang berada di ruang bawah tanah itu! Hmmh! Lihat pedangku...!” Tio Siau in memekik sambil mengayunkan pedangnya.
Souw Thian Hai dan Chu Bwe Hong terkejut. Tusukan pedang itu sangat cepat dan mematikan. Namun demikian Chin Tong Sia sama sekali tak bereaksi! Tiba-tiba saja pemuda itu seperti orang kehilangan akal.
“Criiiiiing!” Ujung pedang Siau In tiba-tiba tergetar ke samping! Dalam situasi yang sangat gawat itu, ternyata Souw Thian Hai tidak dapat tinggal diam! Seleret sinar putih terlepas dari ujung jarinya dan menghantam pedang Siau In! Demikian kuatnya sehingga pedang itu hampir terlepas dari tangan Siau In.
“Hong-gi-hiap...? Benarkah Lo-cianpwe ini...?” Tio Siau In tergagap. Pedangnya cepat ia sarungkan kembali. Ilmu dahsyat yang baru saja menghantam pedangnya itu hanya dimiliki keluarga Souw, keluarga gurunya.
“Nona, bersabarlah...! Kita bicarakan dulu segala sesuatunya dengan baik. Engkau telah menyelamatkan jiwa kami. Tentu saja kami bertiga sangat berterima kasih sekali. Lohu, Souw Thian Hai, mewakili isteriku dan temanku ini, mengucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepadamu.”
“Oh, Souw Lo-Cianpwe... terimalah hormatku! Siauwte... tidak bermaksud kurang ajar dihadapanmu. siauwte sebenarnya... ehm... sudahlah. Biarlah lain kali saja aku menagih hutang kepada bocah ini!”
Tio Siau In yang biasanya bersikap liar dan berani itu, tiba-tiba menjadi kikuk dan salah tingkah. Dia telah diberi tahu oleh Souw Lian Cu dan Han Tui Lan, siapakah sebenarnya Hong-gi-hiap Souw Thian Hai itu. Selama ini Siau In, Yok Ting Ting dan Souw Giok Hong, tinggal bersama Souw Lian Cu dan Han Tui Lan. Mereka belajar silat dengan tekun, sehingga kepandaian Giok Hong, Siau In dan Ting Ting maju dengan pesat.
Masing-masing belajar menurut alirannya sendiri. Sebagai bekas murid pendeta Im-yang-kauw, Han Tui Lan menurunkan semua ilmu Aliran Im-yang-kauw kepada Tio Siau In. Bahkan wanita sakti itu juga menurunkan ilmunya yang lain, yang dulu pernah ia pelajari bersama Liu Yang Kun. Sedang Yok Ting Ting, karena bukan anak murid Im-yang-kauw, hanya diberikan ilmu-ilmu Han Tui Lan yang lain.
“Cici In, orang-orang itu sudah pergi semua!” tiba-tiba seorang gadis cantik, berkulit pucat dan agak kurus, berlari masuk ke dalam ruangan itu.
“Ting Ting, jangan kurang ajar di depan Souw Lo-Cianpwe!” Tio Siau In menegur.
Gadis kurus itu terbelalak mengawasi Souw Thian Hai dan isterinya. Dia baru tergagap dan memberi hormat kepada Souw Thian Hai ketika Tio Siau In menepuk pundaknya. Souw Thian Hai dan Chu Bwe Hong telah terbiasa menerima perlakuan seperti itu. Sebagai tokoh persilatan ternama, mereka berdua sangat dikenal dan selalu dihormati orang. Namun demikian melihat gadis-gadis ini, Souw Thian Hai seperti merasakan sesuatu yang aneh. Tidak terasa kakinya melangkah ke depan.
“Siapakah kalian berdua ini? Tampaknya kalian telah mengenal kami dengan baik...”
Sekonyong-konyong Tio Siau In dan Yok Ting Ting saling berpelukan dengan wajah gembira sekali. Dengan berdiri berendeng mereka sekali lagi memberi hormat. “Souw Lo-Cianpwe, terimalah hormat kami berdua...!”
Souw Thian Hai dan Chu Bwe Hong tertegun. Jantung mereka berdebar dengan cepat. Jelas kedua gadis itu mempunyai maksud tertentu kepadanya. Siapa sebenarnya mereka?
“Kalian...?” Chu Bwe Hong berdesah bingung.
Tio Siau In biasanya memang berwatak liar dan suka mengganggu orang. Namun sekali ini ia tak berani kurang ajar. Souw Thian Hai adalah ayah Souw Lian Cu, wanita yang selama ini dia anggap sebagai pengganti gurunya. Oleh karena itu dengan jujur dia bercerita apa adanya. Betapa mereka selama ini mencari Souw Thian Hai.
Bukan main gembiranya hati pendekar itu. Bahkan kegembiraan itu benar-benar terasa lengkap dan utuh. Sudah lama mereka berusaha menemukan Souw Lian Cu. Malahan ketika pulang dari Laut Utara, mereka tidak terus pulang ke rumah, tapi tetap meneruskan pe-ngembaraan mereka, mencari puteri mereka itu. Chu Bwe Hong menangis di dada suaminya. Berita itu sangat membahagiakan hatinya pula.
Walaupun Souw Lian Cu bukan puteri kandungnya, tapi ia telah menganggapnya sebagai puteri sendiri. Apalagi ternyata Souw Giok Hong, puteri kandungnya, juga dalam keadaan baik-baik bersama Souw Lian Cu. Souw Thian Hai menarik napas panjang. Diam-diam ia bersyukur di dalam hati. Ternyata semua yang ia yakini selama ini benar-benar membuahkan hasil. Souw Lian Cu masih hidup.
Di dalam keharuannya itu tak terasa mata Souw Thian Hai melirik ke arah Chin Tong Sia. Pemuda itu masih tampak bingung menyaksikan pertemuan tersebut. Sebenarnya, kebahagiaan itu benar-benar lengkap bagi Chu Bwe Hong. Selain dapat menemukan kembali Souw Lian Cu dan Souw Giok Hong, sebenarnya Chu Bwe Hong juga menemukan seorang anaknya yang lain, yang selama ini tak pernah dipikirkannya.
Chin Tong Sia yang sejak kecil dipelihara dan diasuh oleh Put-ceng-li Lojin, sesungguhnya adalah puteranya pula. Namun karena anak itu lahir dari seorang penjahat yang amat dibencinya, maka Chu Bwe Hong tak pernah mengakuinya. Dahulu, sebelum menjadi isteri Souw Thian Hai, Chu Bwe Hong mendapat musibah yang amat mengerikan.
Dia diculik dan dibawa lari Hek-eng-cu, seorang Datuk Kejahatan, sehingga dia hamil dan melahirkan Chin Tong Sia. Karena sangat membenci penjahat itu, maka Chu Bwe Hong tidak mau mengurusi bocah itu. Anak tak berdosa itu diasuh oleh Put-ceng-li Lojin dan diakui sebagai anaknya. (Baca : Memburu Iblis).
Kini secara tak terduga anak itu muncul di depan mereka. Maka tidak mengherankan bila terjadi perang batin di hati Chu Bwe Hong. Dia sama sekali tidak menginginkan anak itu. Namun di sisi lain, dia juga tidak dapat mengingkari pula bahwa anak itu adalah darah dagingnya.
“Biarlah Chu Bwe Hong sendiri yang memutuskan. Tampaknya rahasia itu benar-benar dijaga oleh Beng-kauw, sehingga anak ini juga tidak mengetahui tentang dirinya.” Souw Thian Hai berkata di dalam hatinya.
Demikianlah mereka lalu keluar dari rumah itu. Ternyata matahari mulai naik ke atas kepala. Entah mengapa, Chin Tong Sia masih merasa takut berdekatan dengan Siau In. Peristiwa lima tahun lalu masih membekas di hatinya. Bahkan kenangan itu tak pernah lepas dari pikirannya. Sebenarnya Chin Tong Sia tak pernah melupakan wajah Siau In. Selama ini wajah gadis itu selalu mengganggu hatinya.
Entah sudah berapa ratus kali dalam lima tahun ini Chin Tong Sia berkeliaran di daerah pantai timur Tiongkok, dengan harapan dapat berjumpa kembali dengan Siau In. Tetapi secara tak terduga gadis itu justru ia temukan di tempat ini, jauh dari daerah wilayah kekuasaan Giam Pit Seng. Maka tidak mengherankan bila ia sampai bingung begitu melihat Siau In. Bahkan ia sama sekali tak mau mengelak ketika pedang gadis itu menyambarnya. Untunglah Souw Thian Hai menyelamatkannya.
“Saudara Chin, bagaimana sekarang? Lohu hendak mencari puteriku bersama gadis-gadis ini. Mau kemana kau sekarang?” Mendadak terdengar suara Souw Thian Hai bertanya.
Chin Tong Sia menjadi gugup. Dia tak ingin kehilangan Siau In lagi. Tapi, bagaimana caranya? Tiba-tiba Chin Tong Sia menepuk jidatnya. “Ah, Lo-Cianpwe. Bagaimana dengan temanku yang bernama Souw Hong Lam itu? Apakah Lo-Cianpwe tak ingin melihatnya? Siapa tahu dia dapat menunjukkan tempat puteri Lo-Cianpwe itu?”
“Ah, benar. Di mana sekarang dia berada?”
Chin Tong Sia mengajak rombongan itu ke rumah makan, tempat pemuda itu bersama rombongannya kemarin berhenti. Tapi pemilik rumah makan itu mengatakan bahwa rombongan Chin Tong Sia sudah berangkat lebih dahulu dengan naik kuda.
“Lo-Cianpwe, bagaimana sebaiknya? Pemuda yang bernama Souw Hong Lam itu telah berangkat ke Sungai Huang-ho. Apakah Lo-Cianpwe akan mengejar dia? Kalau memang demikian, kita dapat bersama-sama mengejarnya.”
Souw Thian Hai memandang Tio Siau In. “Eh, Siau In... apakah kau mengenal pemuda bernama Souw Hong Lam? Mungkin dia pernah mengunjungi Souw Lian Cu?”
“Souw Hong Lam? Maaf, kami belum mengenalnya, Lo-Cianpwe.”
“Baik kita kejar saja mereka. Ehm, apakah ada sesuatu yang akan dikerjakan oleh teman-temanmu di perairan Sungai Huang-ho itu?” Pendekar tua itu bertanya kepada Chin Tong Sia.
Chin Tong Sia mengangguk, tapi tak mau mengatakan tujuannya.
“Baiklah. Lohu takkan ikut campur urusan kalian. Lohu hanya ingin melihat wajah Souw Hong Lam, yang mengaku keluarga kami dan sedang mencari aku itu.”
Siang itu juga mereka berlima mencari kuda dan berangkat menuju ke Sungai Huang-ho. Seperti halnya rombongan Liu Wan, mereka menerobos hutan dan perkampungan penduduk. Disepanjang jalan mereka juga melihat banyak desa yang telah ditinggalkan penduduknya.
“Ah... perang lagi! Mengapa orang tak bosan-bosannya berperang?” Pendekar tua itu berdesah sedih.
Karena bulan bersinar dengan terang, maka mereka berjalan terus tanpa berhenti. Menjelang tengah malam mereka pinggir Sungai Huang-ho. Chin Tong Sia segera mencari tahu tentang teman-temannya di tempat persewaan perahu. Dia mendapatkan berita tentang mereka.
“Mereka itu temanmu? Wah, mereka telah berangkat pagi tadi. Mungkin mereka sudah sampai di tujuan.” Pemilik perahu itu menerangkan.
“Lo-Cianpwe, mereka telah berangkat ke selatan dengan perahu. Apakah Lo-Cianpwe tetap ingin melanjutkan juga perjalanan ini?”
Souw Thian Hai terdiam... Hari telah larut malam, namun pinggiran sungai itu masih banyak terlihat kesibukan. “Bagaimana Hong-moi? Rasanya aku sangat penasaran dengan pemuda bernama Hong Lam ini. Kita teruskan perjalanan ini?”
Chu Bwe Hong tersenyum, lalu mengangguk. Walaupun lelah wanita tua itu masih tampak cantik dan anggun. “Bagaimana dengan gadis-gadis ini? Apakah mereka tidak kelelahan?” Chu Bwe Hong balik bertanya pula.
“Ah, kami juga sudah terbiasa berjalan jauh. Apalagi di atas perahu kami dapat beritirahat.” Yok Ting Ting menyahut dengan cepat.
Demikianlah, Souw Thian Hai lalu menyewa perahu yang agak besar. Karena tak seorangpun di antara mereka yang dapat mengemudikan perahu, maka pendekar tua itu minta kepada pemilik perahu untuk memberinya seorang tukang perahu.
“Cuwi mau berangkat malam ini juga?”
“Benar. Tidak bisa?” Chin Tong Sia memotong dengan tergesa-gesa.
“Bukan itu maksudku. Justru kebetulan sekali, karena ada seorang anak buahku yang ingin lekas-lekas kembali ke hilir.”
“Bagus sekali...!” Souw Thian Hai berseru gembira.
Setelah mengisi perut dan menyiapkan bekal secukupnya, malam itu juga mereka berangkat. Tukang perahu yang kebetulan hendak pulang ke hilir itu masih tampak muda, walau usianya telah mencapai empat puluhan tahun. Badannya masih kekar dan kuat. Souw Thian Hai dan Chu Bwe Hong duduk di belakang bersama tukang perahu.
Sementara Tio Siau In dan Yok Ting Ting menikmati cerahnya sinar rembulan di ujung depan. Semuanya kelihatan gembira dan bersemangat, kecuali Chin Tong Sia. Pemuda itu duduk lesu di bawah atap perahu. Matanya menatap jauh ke langit, di antara gemerlapnya sinar bintang di angkasa.
Sesekali matanya yang redup itu mencuri pandang ke arah Siau In. Tak jarang bibirnya berdesah panjang sekali. Sesungguhnya bahwa hati Chin Tong Sia sedang gundah. Kemunculan Tio Siau In yang tak terduga itu benar-benar seperti mengoyakkan luka lama. Sejak pertemuan mereka yang pertama di Hang-ciu lima tahun lalu, Chin Tong Sia tak pernah, melupakan gadis itu.
Bagi Chin Tong Sia, awal pertemuan mereka benar-benar seperti impian. Impian yang belum pernah dia rasakan selama hidupnya, Kemulusan tubuhnya pada saat berganti pakaian di tengah semak belukar itu, benar-benar membuat Chin Tong Sia terpesona. Baru sekali itulah Chin Tong Sia melihat bentuk seorang wanita. Sungguh suatu pemandangan yang mendebarkan. Begitu hebatnya pengaruh impian itu di hati Chin Tong Sia, sehingga pemuda itu bagaikan jatuh cinta pada pandangan pertama.
Beberapa waktu lamanya pemuda itu tidak dapat melupakan peristiwa tersebut sampai akhirnya seperti orang sinting, Chin Tong Sia berkeliaran mengelilingi Propinsi Tse-kiang dan Kiang-su, hanya untuk mencari Tio Siau In. Tapi sampai berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, Chin Tong Sia tidak pernah dapat menemukan Tio Siau In. Malah sekarang, setelah pemuda itu putus asa dan tidak punya pengharapan lagi, tiba-tiba Tio Siau In muncul di depannya.
Begitulah, sementara Chin Tong Sia duduk melamun memikirkan Tio Siau In, ternyata di ujung perahu, gadis itu justru sedang terlibat dalam percakapan yang menggembirakan dengan Yok Ting Ting. Mereka sangat senang sekali dapat bertemu Sbuw Thian Hai. Kini mereka berharap dapat segera mempertemukan pendekar tua itu dengan Souw Lian Cu dan Souw Giok Hong.
“Sayang sekali Cici Giok Hong memisahkan diri. Kalau tidak, dia sudah dapat bertemu orang tuanya.” Yok Ting Ting menyesali kepergian Souw Giok Hong. Setelah lima tahun tinggal bersama di balik air terjun itu, ternyata hubungan mereka bertiga seperti layaknya saudara kandung.
Bagi Tio Siau In, keberadaan Souw Giok Hong bagaikan pengganti kakaknya. Sementara bagi Souw Giok Hong dan Yok Ting Ting sendiri, keberadaan yang lain merupakan tambahan kebahagiaan bagi diri mereka yang selama ini selalu sendiri. Dan ternyata kebahagiaan mereka itu juga membuat cerah pula suasana di tempat tersebut. Suasana gua yang semula terasa sedih dan dingin, akhirnya berubah menjadi ceria dan bersemangat.
Kebahagiaan itu pula yang akhirnya membuat hati Souw Lian Cu dan Han Tui Lan mencair. Kedua wanita sakti itu kembali menemukan semangat untuk mengarungi kehidupan mereka. Mula-mula Souw Giok Hong membujuk Souw Lian Cu untuk mencari ayah mereka. Gadis itu mengatakan bahwa ayah-ibunya belum kembali semenjak pergi dengan Utusan Pondok Pelangi.
Tak terduga permintaan itu diluluskan oleh Souw Lian Cu, karena wanita itu ternyata telah berembug dengan Han Tui Lan dan sudah memutuskan untuk kembali lagi ke dunia ramai. Agar tidak terlalu menyolok, serta lebih cepat dapat menemukan Souw Thian Hai, mereka lalu berpencar menjadi dua rombongan. Rombongan pertama, Souw Lian Cu dan Han Tui Lan, menuju ke arah utara. Sementara rombongan ke dua, Souw Giok Hong bersama Tio Siau In dan Yok Ting Ting, berangkat ke arah barat.
Sayang sekali di tengah jalan Souw Giok Hong memisahkan diri, karena gadis ayu itu hendak berkunjung dulu ke Gunung Hoa-san. Jadilah Tio Siau In mengembara berdua saja dengan Yok Ting Ting. Mereka berjalan terus ke arah barat sambil selalu mencari berita tentang Souw Thian Hai. Dan ternyata jerih payah mereka memperoleh hasil.
Secara tidak sengaja Tio Siau In melihat Lok-kui-tin membawa kereta tawanan. Tio Siau In masih ingat akan peristiwa di tepi pantai Hang-ciu lima tahun lalu. Enam hantu dari luar Tembok besar itu telah membantai prajurit-prajurit Han. Bahkan hampir membunuh gurunya, Giam Pit Seng. Tio Siau In tidak tahu siapa tawanan itu, tetapi ia telah berketetapan hati untuk menolongnya.
Namun demikian ia harus berhati-hati, karena Lok-kui-tin sangat lihai. Demikianlah setelah seharian mengikuti kereta itu, akhirnya mereka sampai di rumah besar itu. Tio Siau In dan Yok Ting Ting semakin waspada ketika melihat Mo Tan bersama gadis berkulit hitam di tempat itu. Mereka bersembunyi di halaman belakang. Tio Siau In maupun Yok Ting Ting tidak melihat kedatangan Chin Tong Sia. Mereka tetap bersembunyi dan menanti kesempatan untuk membuka pintu ruang bawah tanah itu.
Mereka juga tidak tahu kalau Chin Tong Sia dikeroyok dan dijebloskan ke dalam penjara tersebut. Bahkan keduanya menunggu kesempatan itu semalam penuh. Keesokan harinya Tio Siau In dan Yok Ting Ting baru berani bergerak ketika melihat Mo Hou dan seluruh anak buahnya meninggalkan tempat tersebut. Tapi di ruang belakang mereka dihadang oleh anak buah Ho Bing. Dan perkelahianpun berlangsung dengan seru.
Sementara itu Chin Tong Sia dan Souw Thian Hai suami-isteri juga dapat meloloskan diri mereka dari penjara. Di ruang tengah mereka dihadang pula oleh anak buah Ho Bing. Maka terjadilah pertarungan hebat di seluruh rumah itu. Selanjutnya, seperti telah diceritakan di bagian depan, Souw Thian Hai dan Chin Tong Sia kembali terkurung di Ruang Bawah Tanah. Untunglah Tio Siau In dan Yok Ting Ting dapat mengalahkan Ho Bing dan anak buahnya.
“Cici, ternyata justru kita berdua yang dapat menemukan Souw Lo-Cianpwe. Ah, betapa senangnya mereka nanti.” Yok Ting Ting meremas tangan Tio Siau In.
“Benar. Tapi... di mana kita harus-mencari Bibi Lian Cu?” Yok Ting Ting terdiam...”Bagaimana kalau Souw Lo-Cianpwe itu kita ajak saja ke gua kita?” Ucapnya kemudian dengan ragu.
Tio Siau In menoleh ke belakang. Tetapi matanya justru bentrok dengan mata Chin Tong Sia. Otomatis kulit mukanya menjadi merah.
“Cici, eh... omong-omong, pemuda itukah yang kau ceritakan dulu?” Yok Ting Ting yang melihat keadaan itu berbisik sambil mengedipkan matanya.
Siau In mengangguk. Wajahnya berubah menjadi kerun. “Benar. Suatu saat akan kubunuh dia. Sekarang biar saja dia bersenang-senang di depan Souw Taihiap.”
“Ah, sayang sekali. Wajahnya cukup tampan.” Ting Ting tersenyum menggoda.
Siau In melotot. “Ngaco! Kubunuh kau...!”
“Tapi kau pernah mengatakan bahwa ilmu silatnya sangat tinggi. Bagaimana Cici dapat mengalahkan dia nanti? Jangan-jangan Cici akan kalah lagi.”
“Apa katamu? kau menyangsikan kemampuanku?”
“Sabar, Cici. Bukan itu maksudku. Aku hanya ingin mengingatkan agar kau berhati-hati. Tentu saja aku tidak akan tinggal diam. Aku akan membantumu.”
“Huh, lihat saja nanti. Selesai mempertemukan Souw Taihiap dengan Bibi Lian Cu, aku akan menantang dia!” Tio Siau In menggeram.
Ketika melewati tikungan berbahaya, tukang perahu memperingatkan mereka untuk berpegangan dengan kuat. Orang itu sama sekaji tidak menyadari bahwa penumpangnya adalah jago-jago silat berkepandaian tinggi. Perahu besar itu berkelak-kelok mengikuti arus air.
Demikian besarnya ombak yang menghempas dinding perahu itu, sehinga mereka berlima seperti sedang berlayar di lautan lepas. Beruntung sekali perahu itu di bawah tangan seorang ahli. Demikian lihainya tukang perahu itu membawa kemudinya sehingga perahu tersebut selalu terhindar dari kesulitan.
“Untunglah kita membawa dia. Heemm, coba kalau kita berangkat sendiri. Mungkin perahu ini sudah kandas menghantam batu.” Souw Thian Hai berkata kepada isterinya.
“Ah, paling-paling kita berenang lagi seperti di Laut Utara itu.” Chu Bwe Hong menyahut.
Souw Thian Hai tersenyum dan merangkul pundak isterinya. Pengalaman mereka di laut ganas itu memang jauh lebih mengerikan. “Benar. Tapi kalau kita tidak berjumpa dengan pemuda perkasa itu hmmm... Mungkin kita sudah dimakan hiu dan takkan bertemu dengan anakmu!”
“Benar, suamiku. Aku juga kagum sekali kepada bocah itu. Umurnya masih sangat muda, jauh lebih muda dari Giok Hong, tapi kepandaiannya benar-benar mentakjubkan. Dan bicara sejujurnya, eh... rasanya kepandaian kita belum dapat menyamainya, bukan?” Souw Thian Hai menganggukkan kepalanya.
“Kau benar isteriku. Rasanya tokoh semacam Bok Siang Ki pun belum tentu dapat menandinginya. Tenaga dalamnya benar-benar tidak terbatas. Hem, mungkin hanya Pangeran Liu Yang Kun yang mampu menandingi dia.”
“Ah, kau teringat lagi pada menantu kita.” Pendekar tua itu menghela napas panjang. Sinar matanya meredup. Setiap kali teringat Pangeran Liu Yang Kun, perasaannya sangat sedih. Dia langsung ingat akan cucu-cucunya yang telah tiada.
“Aaaaah... di mana dia sekarang berada? Dua puluh tahun lamanya dia menghilang. Mungkinkah dia sudah benar-benar tiada? Aaaah...!”
“Yah, mungkin memang sudah tiada.”
Malam semakin larut. Embun mulai turun membasahi pakaian mereka. Demikian dinginnya sehingga mereka tidak merasa bahwa aliran sungai mulai berbelok ke arah selatan. Sungai besar itu mulai lewat di tengah-tengah tanah perkampungan penduduk yang padat. Namun yang sangat mengherankan mereka, perumahan padat di tepian sungai itu tampak lengang dan sepi. Tidak secercahah sinar lampupun yang menyorot keluar dari lubang dinding mereka. Kampung itu seperti tak berpenghuni lagi. Satu-satunya suara yang terdengar cuma lolongan anjing lapar di kejauhan.
“Gila! Tampaknya Mo Tan telah sampai di daerah ini.” Souw Thian Hai tiba-tiba menggeram sambil mengepalkan tangannya.
“Benar, Tuan. Pasukan Hun memang sudah menyusup sampai di kota Sing-yun. Itulah sebabnya aku ingin segera pulang, karena kota itu hanya seratus lie dari kampungku. Aku harus cepat-cepat mengungsikan anak isteriku.” Tukang perahu itu memotong perkataan Souw Thian Hai.
“Benarkah? Cepat sekali...! Setengah bulan yang lalu kota itu masih aman dan tenang. Bahkan Lohu sempat menyaksikan pesta perkawinan di sana.”
“Pasukan Hun memang seperti siluman. Pasukan perbatasan dibawah pimpinan Kong-sun Goanswe tidak berdaya menahan mereka. Pasukan Jendral Ciang Kwan Sit, yang dikirim dari Kotaraja juga mereka hancurkan dengan mudah. Bahkan Jendral Ciang Kwan Sit sendiri juga terbunuh dalam pertempuran itu.”
Souw Thian Hai mengerutkan keningnya. Tukang perahu itu tahu banyak sekali tentang medan pertempuran. “Oh, lihat...! Ada pertempuran di sana!” Sekonyong-konyong Yok Ting Ting berseru sambil mengangkat jari telunjuknya ke depan.
Dua buah perahu besar penuh prajurit kerajaan tampak dikepung oleh pasukan asing yang menggunakan sampan-sampan kecil. Anak panah beterbangan di udara, sementara beberapa buah sampan kecil berusaha mendekati perahu besar itu. Balasan orang tak berseragam berebut naik ke atas, sehingga pertempuran sengit segera berlangsung dengan hebatnya. Suara pedang dan tombak berdentang memecah kesunyian.
“Traaaang! Trang! Traaaaang...!”
Souw Thian Hai dan Chu Bwe Hong melompat ke depan, diikuti pula oleh Chin Tong Sia. Mereka menyaksikan pertempuran itu dengan perasaan tegang. Demikian tegangnya hingga Tio Siau In-lupa bahwa di tempat itu dia terpaksa berdesakan dengan Chin Tong Sia.
“Melihat seragamnya... Mereka seperti pasukan kerajaan! Tapi siapa lawan mereka?” Souw Thian Hai bergumam pelan.
“Marilah kita mendekat!” Chu Bwe Hong berseru.
“Tapi... tapi aku tidak berani, Tuan. Kita kembali saja.” Tukang perahu itu berseru gemetar.
“Tidak apa-apa. Berbaringlah di bilik perahu.” Souw Thian Hai memberi perintah. Perahu itu mereka bawa ke tempat pertempuran. Chin Tong Sia terpaksa mengemudikannya. Dan kedatangan mereka segera menarik perhatian orang-orang itu. Tampaknya masing-masing mencurigai mereka.
“Benar, Lo-Cianpwe. Mereka memang prajurit Han. Dan segerombolan orang tak berseragam itu adalah kaki tangan Raja Mo Tan. Lihat, mereka mengenali kan rompi dari kulit binatang!” Chin Tong Sia berseru lantang.
Pertempuran di atas perahu besar itu semakin tampak brutal dan mengerikan. Masing-masing berusaha untuk membunuh lawan sebanyak-banyaknya. Namun karena jumlah pasukan berseragam itu lebih kecil maka lambat laun mereka terdesak. Apalagi ketika orang-orang di atas perahu kecil itu memanggil bala bantuan dengan panah apinya.
Sekonyong-konyong dari dalam perkampungan sepi di pinggir sungai itu muncul ratusan obor menyambut kilatan panah berapi tadi. Terdengar jerit penyerbuan ketika para pembawa obor itu berlari ke sungai dan menyiapkan sampan-sampan mereka. Tukang perahu yang ditumpangi Souw Thian Hai menjadi pucat pasi wajahnya. Seluruh badannya gemetar dan akhirnya jatuh pingsan di bawah bangku.
“Bagaimana, Lo-Cianpwe? Kita menolong para prajurit itu?” Chin Tong Sia meminta pendapat Souw Thian Hai.
“Benar, anak muda. Pergilah bersama nona-nona ini ke perahu besar itu dan selamatkan prajurit yang tersisa! Aku akan mencegah bala bantuan yang datang itu!” Bagai panglima perang pendekar itu membagi tugas. Aku bagaimana, Hai-ko?” Chu Bwe Hong mengerutkan dahinya.
“Kau tetap di perahu ini! Dan... jangan terlampau dekat dengan pertempuran! Perahu ini akan sangat penting bila kebakaran terjadi! Lihat mereka mulai melepaskan panah-panah api!”
“Tapi...?”
“Sudahlah, Hong-moi, Ikutilah, kata-kataku!” Selesai berkata pendekar sakti itu mencabut dua potong kayu penahan atap, kemudian mengikatnya di bawah sepatu. Kemudian tanpa membuang waktu lagi pendekar tua itu telah meloncat ke dalam air. Bagaikan seekor capung orang tua itu meluncur di atas permukaan sungai.
Chin Tong Sia juga tidak mau kalah. Dia mengambil bangku tempat duduk, lalu mematahkannya menjadi beberapa bagian. Ia mengambil dua potong dan sisanya ia berikan kepada Yok Ting Ting.
“Hati-hati...!” Tak terasa bibir Chu Bwe Hong berdesah pelan.
Demikianlah anak-anak muda itu seperti berlomba dengan ilmu meringankan tubuh mereka. Siau In dan Ting Ting yang mendapatkan pelajaran ilmu meringankan tubuh Bu-eng Hwe-teng (Loncat Terbang Tanpa Bayangan) dari Tui Lian, berloncatan di atas permukaan air seper ti burung camar yang beterbangan mencari ikan. Potongan kayu yang mereka ikat di bawah sepatu merupakan landasan untuk tidak tenggelam ke dalam sungai.
Gerakan Chin Tong Sia memang tidak sebagus gadis-gadis itu. Ilmu meringankan tubuh Aliran Beng-kauw lebih bertumpu pada kekuatan tenaga dalamnya. Dengan perhitungan yang tepat, antara kelincahan gerak dan pengerahan tenaga dalam, maka Ilmu Meringankan Tubuh dari Aliran Beng-kauw sangat sulit dicari tandingannya. Mereka hampir berbareng tiba di perahu besar itu. Mereka segera berhadapan dengan pasukan Mo Tan yang menyamar seperti rakyat biasa. Mereka kelihatan beringas sekali.
Senjata mereka telah berlepotan darah para prajurit Han, yang di atas perahu itu kini tinggal beberapa orang saja lagi. Seorang perajurit Han berpangkat Cian-bu masih tampak tegar memimpin kawan-kawannya. Dia sendiri sedang berhadapan dengan empat orang pengeroyok. Goloknya terayun kesana-kemari Mencari mangsa. Dan beberapa orang lawan segera tergores kulitnya. Karena tidak ingin dekat dengan Chin Tong Sia, maka Tio Siau In mengajak Yok Ting Ting ke bagian belakang.
Di sana mereka menyaksikan pertempuran yang lain. Sepuluh orang perajurit Han berhadapan dengan belasan anak buah Mo Tan. Mereka bertempur dengan kacau. Mereka tidak memilih lawan lagi. Musuh yang berada di dekat mereka adalah lawan yang harus dibunuh. Tio Siau In melihat seorang lelaki pendek kekar, bersandar di pagar perahu. Lengannya panjang sekali. Lebih panjang dari kebanyakan orang.
“Hati-hati, Ting-moi. Orang yang berdiri di pagar perahu itu tentu sangat berbahaya.” Tio Siau In berbisik. Sementara itu para penyerbu mulai melepaskan panah api dari sampan mer-ka. Beberapa anak panah menancap di geladak dan mulai membakar kayu-kayu kering.
“Ting-moi, mari kita padamkan dulu api-api itu...!”