Pendekar Pedang Pelangi Jilid 25 karya Sriwidjono - “TING MOI, mari kita padamkan dulu api-api itu!” Tio Siau In dan Yok Ting Ting berusaha memadamkan api yang mulai berkobar di atas geladak. Keduanya bergerak dengan cepat, walaupun mereka selalu dirintangi oleh orang-orang yang menyerang perahu itu. Tapi pukulan dan tendangan mereka membuat orang-orang itu terlempar ke dalam sungai.

Kehebatan Tio Siau In dan Yok Ting Ting segera menarik perhatian lelaki pendek kekar itu. Orang itu bergeser dari tempatnya, kemudian menyerang Yok Ting Ting dari samping. Lengannya yang panjang menyambar ke arah pinggang Yok Ting Ting. Hembusan angin tajam mengejutkan Yok Ting Ting.
Gadis itu sadar akan bahaya. Dengan tangkas dia menarik tubuhnya ke belakang, kemudian meloncat tinggi ke udara. Sambil berjumpalitan gadis itu ganti menyerang dengan sisi tangannya. Gerakannya sungguh lincah dan gesit, seperti seekor tupai meloncat di atas pohon. Sementara dari kedua belah telapak tangannya terhembus angin dingin ke segala penjuru.
Lelaki pendek itu terkejut. Sekejap udara di sekelilingnya terasa berat dan sulit untuk bernapas. Otomatis gerakannya terganggu. Untunglah dengan mengerahkan tenaga sepenuhnya, ia masih mampu menghindar dari pukulan Yok Ting Ting. Namun demikian jjantungnya terasa berdegup dengan keras.
“Siapa kau...? Apa hubunganmu dengan partai Soa-hu-pai?” Lelaki pendek itu berseru kaget.
Yok Ting Ting memang menggunakan ilmu meringankan tubuh ajaran Han Tui Lan, yang bersumber pada ilmu warisan Bit-bo-ong (Raja Kelelawar) almarhum. Ilmu tersebut diberi nama Bu-eng Hwe-teng (Loncat Terbang Tanpa Bayangan), yang merupakan salah satu dari tiga ilmu silat ciptaan Bit-bo-ong. Bit-bo-ong hidup hampir setengah abad yang lalu.
Sebenarnya ia adalah anak murid Soa-hu-pai, yang membelot dan memusuhi perguruannya sendiri. Dia mampu menemukan rahasia ilmu perguruannya, sehingga mampu menciptakan ilmu silat yang tiada taranya. Dengan ilmu ciptaannya itu ia malang-melintang sebagai raja iblis di dunia persilatan. Tak seorangpun mampu menandinginya. Bahkan datuk-datuk persilatan yang hidup pada zaman itu, kewalahan pula menghadapinya. (Baca: Pendekar Penyebar Maut dan Memburu Iblis.)
Ilmu ciptaan Bit-bo-ong yang menggegerkan persilatan itu adalah Pat-hong-sin-ciang (Telapak Sakti Delapan Penjuru), Kim-liong-sin-kun (Pukulan Sakti Naga Emas) dan Bu-eng Hwe-teng (Loncat Terbang Tanpa Bayangan). Karena tokoh itu memang bekas murid Soa-hu-pai maka tidak mengherankan kalau ilmu ciptaannya juga tidak jauh berbeda dengan ilmu silat Soa-hu-pai.
Seperti halnya ilmu silat Soa-hu-pai, maka ilmu ciptaannya juga mengandung kekuatan sihir. Bahkan bisa dikatakan kalau ilmu ciptaannya itu bertumpu pada kekuatan sihirnya. Sehingga makin tinggi dan makin dalam ilmu tersebut dipelajari, maka akan semakin kuat pula cengkeraman ilmu sihirnya.
Dan takdir telah menentukan, bahwa ilmu ciptaan Bit-bo-ong itu secara tidak sengaja jatuh ke tangan Han Tui Lan dan Pangeran Liu yang kun. Keduanya mempelajari ilmu tersebut, walau akhirnya Han Tui Lan tidak berani meneruskannya.
Selain amat dahsyat, ternyata ilmu itu juga dapat mempengaruhi jiwa pemiliknya. Ilmu yang diciptakan dengan semangat dan nafsu tamak, serakah, kejam dan tak mengenal belas kasih itu, ternyata juga menyeret jiwa dan pikiran pemiliknya ke jalan yang kelam.
Hanya Pangeran Liu yang kun yang mampu mempelajari ilmu-ilmu tersebut sampai tuntas. Walaupun semasa mudanya pangeran itu juga pernah menapak di jalan kelam, namun dengan kekuatan tenaga dalamnya yang dahsyat, dia dapat menjinakkan pengaruh buruk dari ilmu tersebut.
Oleh karena itu Han Tui Lan juga tidak berani menurunkan ilmu silat tersebut kepada Yok Ting Ting maupun Tio Siau In. Dia hanya berani mengajarkan ilmu meringankan tubuhnya saja, yakni Bu-eng Hwe-teng. Dan salah satu geraknya telah dilakukan oleh Yok Ting Ting tadi.
Siapa sangka lelaki pendek itu ternyata sangat awas. Sekalipun hanya sekilas, ternyata orang itu dapat menebak asal-usul gerakan Yok Ting Ting. Namun karena selama ini Yok Ting Ting juga tidak pernah diberitahu oleh Han Tui Lan, maka gadis itu juga tidak dapat menjawab pertanyaan lawannya.
“Aku tidak memiliki hubungan sedikitpun dengan Partai Soa-hu-pai. Apabila ilmu silatku hampir sama dengan mereka, hemm... Mungkin cuma kebetulan saja. Sudahlah, kau sendiri siapa? Mengapa kau dan orang-orangmu ini menyerang prajurit-prajurit pemerintah? Apakah kau mau berontak?”
“Hohoho...! Berontak? Kau kira siapa kami ini, heh? Kami bukan orang Han. Kami datang dari utara untuk menaklukkan negeri ini! Dan akulah pemimpin pasukan ini. Namaku yuen Ka, pembantu terpecaya Panglima Yeh Sui.”
Yok Ting Ting tidak kaget mendengar perkataan lawannya. Kabar tentang pasukan Mo Tan yang menyerbu ke selatan, memang sudah banyak ia dengar dalam perjalanan. “Bagus. Kalau begitu biarlah kubunuh kau lebih dulu, agar kawan-kawanmu segera menyerah!”
Begitulah, mereka segera terlibat dalam perkelahian seru. Yok Ting Ting yang kini telah tumbuh menjadi seorang gadis lihai, berhadapan dengan Yuen Ka, seorang pembantu dekat Panglima Yeh Sui. Yuen Ka memiliki ilmu silat dari utara. Turun-temurun keluarganya mengabdi pada keluarga Mo Tan.
Sementara itu panah berapi semakin banyak beterbangan di atas perahu. Chin Tong Sia yang berada di bagian depan juga sibuk menghadapi keroyokan gerombolan penyerang itu. Dan ternyata jumlah mereka semakin lama semakin banyak. Mereka berebut naik ke atas perahu dan menyerang para prajurit Han dengan ganasnya.
Mereka menyerang seperti kawanan lebah yang tidak takut mati. Di beberapa tempat api tidak bisa dipadamkan lagi. Api berkobar dan membakar apa saja di dekatnya, sehingga perahu itu mulai miring. Beberapa orang mulai terjun ke dalam sungai. Mereka tidak ingin terpanggang dalam panasnya api. Suasana menjadi kacau-balau.
“Tidak berapa jauh dari perahu itu Souw Thian Hai masih mencoba menghalangi para penyerang yang lain. Pendekar sakti itu menyongsong kedatangan mereka dan menenggelamkan sampan yang mereka tumpangi. Kekuatan dan kesaktian pendekar itu benar-benar menggiriskan hati.
Namun demikian usaha untuk menolong prajurit-prajurit kerajaan itu tetap sia-sia. Begitu banyaknya gerombolan yang menyerang, sehingga prajurit-prajurit itu tidak mampu bertahan lagi. Satu-persatu mereka mati di tangan gerombolan penyerang. Bahkan perahu besar itu akhirnya mulai tenggelam pula.
“Tong Sia! Siau In! Ting Ting! Kita tinggalkan tempat ini! Cepat...!” Tiba-tiba terdengar teriakan Souw Thian Hai, mengatasi suara hiruk-pikuk di atas air tersebut.
Sementara itu Chu Bwe Hong telah membawa perahunya jauh ke hilir. Wanita tua yang masih amat cantik itu tetap mentaati perintah suaminya. Dia menghindar dari arena pertempuran dan membawa perahunya terus ke hilir. Panah dan api yang nyasar ke perahunya, dihalaunya dengan dayung. Yok Ting Ting dan Tio Siau In juga mendengar perintah Souw Thian Hai. Mereka segera bersiap untuk pergi. Sambil menghindari serangan Yuen Ka, Yok Ting Ting berteriak ke arah Tio Siau In.
“Cici! Ayo, kita pergi dari tempat ini!”
Tapi dengan wajah beringas Yuen Ka mencoba menghalang-halanginya. “Hoho, jangan harap bisa lolos...” Yuen Ka mengejek sambil menghadang langkah Yok Ting Ting.Namun belum juga hilang gema suaranya, lelaki pendek kekar itu tiba-tiba menjerit kesakitan! Tio Siau In yang sejak tadi berada di dekatnya, sekonyong-konyong berbalik dan menyerang dengan pedang pendek!
“Cresss...!” Pedang itu menyerempet pinggangnya! Maka tiada ampun lagi dia terdorong mundur dan jatuh keluar perahu! Byuuurr!
“Ayolah, Ting-moi! Kita jangan sampai kehilangan Souw Taihiap! Marilah...!” Tio Siau In dan Yok Ting Ting segera mencari sampan kosong dan bergegas pergi dari tempat itu. Beberapa orang yang berusaha menghalangi mereka langsung saja mereka bereskan.
Sementara itu di bagian depan, Chin Tong Sia masih berkutet dengan para pengeroyoknya. Pemuda itu berusaha menolong perwira kerajaan yang pada akhirnya harus berjuang sendirian melawan gerombolan penyerang itu. Chin Tong Sia tidak ingin ditinggalkan Tio Siau In maupun Souw Thian Hai. Tetapi pemuda itu juga tak ingin meninggalkan perwira tersebut.
Oleh karena itu tiada jalan lain baginya selain mengeluarkan ilmu pamungkasnya, Cuo-mo-ciang! Perwira itu harus segera dibawa pergi! Hanya sesaat saja pemuda itu bersiap, maka seluruh tenaga saktinya telah berkumpul di dalam perutnya. Ketika kemudian ia berteriak dan menerjang kepungan lawan, maka hasilnya benar-benar menggiriskan!
“Wuuuuus!” Tujuh orang penyerang yang mengeroyok perwira itu tiba-tiba terpental pergi, bagai dilanda angin puting-beliung. Tubuh mereka terlempar tinggi ke udara dan jatuh di luar perahu.
“Cian-bu! Tinggalkan saja perahu ini! Tidak ada harapan untuk mempertahankannya lagi! Semua prajuritmu telah habis dan perahu ini juga akan tenggelam! Ayo, ikutlah aku!” Pemuda itu menyambar lengan perwira itu dan mengajaknya turun ke sebuah sampan kecil yang tiada penghuninya lagi. Chin Tong Sia lalu mendayung sampan tersebut ke daratan.
Puluhan anak panah bertaburan bagai hujan ke arah mereka, namun dengan mudah mereka menangkisnya. Beberapa orang yang mencoba menghalang di depan mereka, mereka singkirkan pula. Ilmu silat Chin Tong Sia memang menakutkan. Selain sangat ganas juga aneh luar biasa. Mereka mendarat di tepi sungai hampir berbareng dengan sampan Tio Siau In.
Souw Thian Hai yang telah tiba lebih dahulu, segera mengajak mereka, pergi meninggalkan tempat itu. Mereka berlalu menyusuri sungai ke arah hilir. “Marilah! Isteriku tentu sudah tidak sabar lagi menantikan kita!”
Perahu Chu Bwe Hong memang belum terlalu jauh, sehingga mereka segera dapat bergabung kembali. Souw Thian Hai memerintahkan Tukang Perahu yang telah siuman, untuk memacu perahu mereka. Souw Thian Hai tidak ingin terkejar lawan.
Sementara itu cahaya kemerahan mulai mengintip di balik pepohonan. Dan beberapa saat kemudian gelombang air yang bergulung di sekitar perahu merekapun tampak dengan jelas. Apalagi setelah kehangatan matahari mulai menepis kabut yang ada. Rasa lega tampak di wajah rombongan itu. Perasaan tegang serasa hilang bersamaan dengan hilangnya kabut itu. Kini semuanya dapat saling bertatap muka. Dan semua mata tertuju ke arah perwira itu.
“Cian-bu...! Apa sebenarnya yang telah terjadi? Mengapa pasukanmu sampai bentrok dengan pasukan asing itu?” Souw Thian Hai bertanya pelan.
Perwira itu menarik napas panjang. Rasa sesal tampak sekali di matanya. “Terima kasih atas pertolongan Taihiap. Terus terang aku tidak mengenal Saudara-saudara, tetapi aku percaya bahwa saudara semua adalah pendekar-pendekar yang mencintai negeri ini. Aku Li Ku Si, perwira pada pasukan Jenderal Ciang Kwan Sit. Pasukan kami digempur habis-habisan oleh pasukan Mo Tan yang dipimpin oleh Panglima Yeh Sui. Kami tercerai berai dan berusaha mencari keselamatan sendiri-sendiri. Aku terpaksa membawa sisa pasukanku ke selatan, menyusuri sungai ini. Tapi di sini pasukanku tetap saja dihancurkan lawan. Tak seorangpun lolos dari tangan Mo Tan. Aku benar-benar sangat menyesal...”
“Sudahlah, Li Cian-bu. Tidak seorangpun menyalahkanmu. Mereka memang lebih kuat. Sekarang Li Cian-bu harus cepat-cepat melaporkan keadaan ini. Apabila terlambat, maka negeri ini akan benar-benar dikuasai Mo Tan. Kami akan membantu, meskipun hanya sebatas tenaga saja, karena soal tata cara atau siasat perang kami tidak mengerti.”
Tak terduga wajah Li Kui si semakin kusam. “Justru hal tersebut yang memprihatinkan kami. Sebenarnya dilihat dari jumlah prajurit dan perlengkapannya, kami sama sekali tidak kalah. Keadaan kami malah lebih baik dari mereka. Tapi perang bukan hanya mengandalkan jumlah dan perlengkapan saja. Taktik dan siasat perang justru memegang peranan yang lebih penting. Mereka dipimpin oleh jago-jago perang yang hebat, sementara kami hanya mengandalkan kekuatan dan perlengkapan saja. Bagaimana mungkin bisa menang?”
Souw Thian Hai terbelalak. “Bagaimana hal itu bisa terjadi? Di mana jendral-jendral perang yang dulu kita banggakan?”
Li Ku si berdesah pendek. “Aku tidak berani mengatakannya.”
Souw Thian Hai mengangguk-angguk. Dia memang sudah banyak mendengar tentang keadaan di Kotaraja. Oleh karena itu dia dapat mengerti ucapan Li Ku Si. Tapi tidak demikian dengan Chin Tong Sia. Pemuda itu menjadi marah. Ucapan Li Ku si benar-benar membuatnya penasaran. Serentak dia berdiri dan berseru keras sekali.
“Suasana di Kotaraja sekarang memang tidak sehat. Manusia-manusia tamak dan bodoh, yang cuma mengandalkan mulut manis dan kata-kata busuk, dibiarkan memimpin negara. Sebaliknya pahlawan-pahlawan kebanggaan rakyat justru dibuang dan dijebloskan ke dalam penjara. Mana mungkin negeri ini bisa bertahan?”
“Saudara Chin...!” Souw Thian Hai berbisik.
“Biarlah, Taihiap. Kesal rasanya kalau perasaanku ini tidak aku keluarkan. Biarlah semua orang tahu. Biarlah mereka mengerti. Negeri ini dalam bahaya. Kita harus bangkit. Kita harus menyelamatkannya. Kalau perlu kita singkirkan orang-orang bodoh dan tamak itu! Kita kembalikan pahlawan-pahlawan yang masih ada. Mumpung musuh belum menduduki negeri ini!” Suara Chin Tong Sia makin bersemangat.
“Saudara Chin, tenanglah...! Dinginkan hatimu! Kau berbicara di depan petugas kerajaan. Apakah kau tidak takut dituduh sebagai pemberontak?” Souw Thian Hai membujuk.
“Biarlah, Souw Taihiap. Aku tidak takut. Biarlah Au-yang Goanswe dan para begundalnya memburu aku. Yang penting, negeri ini harus diselamatkan!”
Li Ku si menatap Souw Thian Hai dengan mata terbelalak. “Jadi Tuan ini... Hong-gi-hiap Souw Thian Hai yang terkenal itu?”
“Benar, Cian-bu. Perkenalkan ini... Isteriku. Dan anak-anak muda ini adalah teman puteriku. Maafkanlah mereka. Usia mereka masih terlalu muda untuk mengerti urusan negara.”
“Ah, tidak apa... souw Taihiap. Apa yang diucapkan anak muda ini memang benar. Kalau boleh memilih, sungguh menyenangkan sekali di bawah pimpinan Yap Tai-Ciangkun dulu. Sayang beliau dianggap bersalah terhadap negara, sehingga harus menjalani hukuman di Benteng Langit. Coba kalau beliau masih berkuasa, hem... tidak mungkin Mo Tan berani menyerang negeri ini!”
“Bagus. Ternyata Cian-bu masih memiliki kecintaan terhadap tanah ini. Namun demikian kecintaan itu tidaklah lengkap tanpa diikuti dengan semangat berkorban.” Chin Tong Sia kembali berseru.
“Anak muda, apa maksudmu?” Li Ku si mengerutkan keningnya.
“Melihat dan menyadari kekeliruan, tetapi tidak berani bertindak, sama saja dengan pengecut. Nah, kalau keadaan negeri sudah begini, mengapa kita tidak berusaha menyelamatkannya...?"
“Saudara Chin, katakan yang jelas! Apa maksudmu? Kami belum bisa mencerna kata-katamu...” Souw Thian Hai berdesah.
Chin Tong Sia menatap semua orang yang ada di perahu itu. Tatapan matanya yang dingin dan keras itu menggetarkan juga hati Li Ku si maupun yang lain. “Li Cian-bu, Souw-Taihiap...! Hanya seorang saja di negeri ini yang sangat disegani Mo Tan! Dia adalah panglima Yap Kim! Nah, mengapa tidak kita keluarkan saja panglima itu dari penjara? Kita minta beliau untuk memimpin para pejuang!”
Kata-kata yang keluar dari mulut Chin Tong Sia itu benar-benar mengejutkan mereka. Ucapan itu terlalu berani, karena ucapan seperti itu sudah cukup untuk menuduhnya sebagai pemberontak. Akhirnya Souw Thian Hai maju ke depan. Dengan sareh ia berkata.
“Saudara Chin, sadarlah. Kami paham perasaanmu. Tapi hati-hatilah berbicara. Ucapan itu sangat membahayakan jiwamu. Kau... Hem... Lebih baik kau segera meminta maaf kepada Li Cian-bu.” Souw Thian Hai berkata tegas.
Tidak terduga Li Ku si maju ke depan dan memegang lengan Souw Thian Hai. Ucapan yang keluar dari mulutnya justru lebih mengagetkan dari pada perkataan Chin Tong Sia.
“Souw Taihiap, biarlah. Kurasa apa yang dikatakan anak muda ini memang benar semua. Dalam situasi seperti ini pikiranku justru terbuka. Kita memang harus berani berkorban demi negeri ini. Berapalah harganya jiwa ini kalau dibandingkan dengan kepentingan negara? Mengapa kita harus takut mati? Mengapa kita harus takut sengsara dan menderita? Hmm... aku setuju untuk mengeluarkan Yap Tai-Ciangkun dari Benteng Langit!”
Semuanya terdiam. Ucapan perwira kerajaan itu bagaikan petir yang menyambar lubuk hati mereka. Kesadaran mereka timbul. Terutama Hong-gi-hiap Souw Thian Hai. Di waktu muda pendekar itu pernah berjuang bersama Panglima Yap Kim menegakkan negeri ini. Sekarang setelah semuanya menjadi baik, seorang pengkhianat justru menjebloskan pahlawan itu ke dalam penjara.
“Baik! Aku juga setuju! Mari kita buat rencana untuk membebaskan dia!” Tiba-tiba pendekar tua itu berkata tegas.
“Hai-ko...?” Chu Bwe Hong menyentuh lengan suaminya.
Souw Thian Hai merangkul pundak isterinya. “Aku tahu bahwa usiaku sudah tua, Hong-moi. Tapi bila kuingat saat-saat kita berjuang bersama saudara Yap, hatiku kembali terbakar. Sungguh tidak adil. Seorang pahlawan dan pejuang besar, yang ikut menegakkan negeri ini malah dikurung di dalam penjara! Sungguh tidak adil! Almarhum Kaisar Liu Pang tentu tidak akan menerima perlakuan ini. Kita harus berbuat sesuatu!”
“Jadi...?” Chu Bwe Hong menatap wajah suaminya.
“Benar apa yang dikatakan saudara Chin. Kita harus berani berkorban. Kalau anak muda seusia dia saja berani mengorbankan nyawanya, apalagi kita yang sudah mau masuk liang kubur ini!”
“Baiklah, Hai-ko. Aku juga setuju pada niatmu. Kita berangkat bersama! Kita tunda dulu urusan anak kita.”
Wajah Chin Tong Sia yang dingin itu menjadi lega dan gembira sekali. Tanpa harus membujuk atau memberi alasan macam-macam, mereka telah memutuskan sendiri untuk pergi ke Benteng Langit! Kini tinggal Tio Siau In dan Yok Ting Ting yang belum bicara. “Bagaimana dengan jiwi Lihiap?” Pemuda itu bertanya dengan suara kaku.
Tio Siau In dan Yok Ting Ting saling pandang. Keduanya memang belum mengenal Panglima Yap Kim. Tapi melihat Souw Thian Hai yang terkenal itu ingin pergi ke Benteng Langit, mereka merasa tertarik pula. Tak terasa keduanya mengangguk.
“Bagus. Kalau begitu sekarang juga kita ke sana...!” Chin Tong Sia berseru lega. Lalu sambil berjalan pemuda itu menjelaskan apa yang hendak dia kerjakan di Benteng itu bersama teman-temannya.
“Jadi... Itukah yang hendak kau kerjakan bersama teman-temanmu? Ah, Lohu semakin menjadi tidak sabar untuk melihat Souw Hong Lam. Siapa sebenarnya anak itu?” Souw Thian Hai berdesah dengan suara gemetar.
“Taihiap dapat menemuinya nanti. Tapi yang jelas kita harus segera menemui mereka. Kita harus memberitahu bahwa salah seorang dari mereka adalah penyelundup.”
“Benar. Sementara itu aku bisa mengumpulkan sisa-sisa pasukan Jendral Ciang Kwan Sit yang kita temui. Siapa tahu mereka dapat membantu rencana ini?” Li Ku si berseru pula dengan wajah gembira.
Demikianlah mereka lalu mempercepat jalan perahu mereka. Benteng Langit tinggal setengah hari perjalanan lagi. Sambil melaju mereka juga melihat-lihat, kalau ada sisa-sisa prajurit Jendral Ciang Kwan Sit yang dapat mereka kumpulkan. Sekarang kita ikuti kembali rombongan Liu Wan yang telah tiba lebih dulu di Benteng Langit. Rombongan itu tiba tepat pada waktu tengah malam, di saat rombongan Chin Tong Sia bertempur melawan pasukan Yuen Ka.
Seperti yang pernah mereka dengar sebelumnya, benteng itu didirikan Kaisar Chin di atas tanah karang luas, di tengah-tengah pertemuan dua aliran sungai besar, yaitu Sungai Huang-ho dan Sungai Huai. Tanah berkarang terjal itu menjulang tinggi di atas permukaan air, sehingga sulit dijangkau dari daratan. Dan tempat itu sangat berbahaya bagi perahu-perahu yang lewat.
Selain gelombangnya besar, di tempat itu juga banyak pusaran air akibat pertemuan dua aliran sungai. Untuk memasuki benteng juga hanya satu jalan, yaitu dari pintu gerbang depan. Di bagian ini dibangun anak tangga menuju gerbang. Sementara bagian samping dan belakang hanya terdiri dari bangunan tembok tinggi di atas karang terjal.
Meskipun demikian tadi malam Liu Wan dan rombongannya telah berhasil memasuki benteng. Mereka merayap seperti cecak di atas dinding terjal itu. Kenyataan di mana selama ini tidak pernah seorangpun berani memasuki benteng itu, membuat penjaganya lengah, tidak seorangpun menyadari bahwa benteng mereka dimasuki orang.
Akan tetapi Liu Wan dan kawan-kawannya menjadi bingung setelah berada di dalam benteng. Tempat itu demikian luas dan rumit. Puluhan gedung atau bangunan tersebar di mana-mana. Ratusan kamar dan ruangan terdapat di dalamnya. Mereka tidak tahu, di mana Panglima Yap Kim disekap.
Semalam mereka mondar-mandir. Dengan kesaktian mereka, tidak seorang penjagapun mampu melihat mereka. Namun demikian mereka tetap tidak dapat menemukan Panglima Yap Kim. Sampai matahari terbit usaha mereka belum membawa hasil. Terpaksa mereka mencari tempat bersembunyi. Akhirnya mereka menyelinap di gudang bawah tanah.
“Wah! Sama sekali tidak terbayangkan olehku, bahwa benteng ini demikian luasnya. Bagaimana kita dapat menemukan ruang itu, tanpa petunjuk dari orang-orang dalam benteng ini sendiri...?” A Liong yang belum pernah melihat benteng itu bersungut-sungut.
“Kau benar. Kita memang harus menangkap seorang dari penjaga itu. Kita paksa dia menunjukkan tempatnya. Benar, cuma itu yang dapat kita tempuh!” Tiau Hek Hoa tersentak lega, seakan dapat menemukan sebuah benda berharga.
Liu Wan mengangguk-angguk. “Baik. Kita coba setelah hari menjadi gelap nanti. Sekarang sangat berbahaya. Lebih baik kita beristirahat dan menyusun tenaga. Rencana kita ini harus berhasil. Apabila gagal, maka Panglima Yap Kim akan mereka sembunyikan di tempat yang lebih sulit lagi!”
Mereka lalu mencari tempat sendiri-sendiri yang mereka anggap nyaman untuk beristirahat. Gudang itu sangat luas dan kurang terawat. Rongsokan senjata atau bekas peralatan. bangunan banyak berserakan di tempat itu. A Liong mendapatkan tempat tersembunyi di bawah tangga. Badannya yang besar seperti kerbau jantan itu segera tergeletak di atas papan kayu.
“Awas! Kalau sampai mendengkur, kubunuh kau!” Terdengar suara ancaman Tiau Hek Hoa di belakangnya.
A Liong menoleh. Dilihatnya gadis berkulit hitam itu melotot di pojok ruangan, tidak jauh dari tempatnya. Tidak terasa bibir A Liong tersenyum. “Apakah kau tega membunuh aku? Lihatlah baik-baik! Betapa tampannya aku! Sayang, bukan?” Pemuda itu meledek dengan suara tertahan.
“Srettt!” Gadis bermuka hitam itu tiba-tiba melompat dan menyerang A Liong! Tangannya telah menggenggam kipas baja! “Kerbau jelek! Lebih baik kubunuh saja kau sekarang!”
A Liong mengelak. Pemuda itu telah bersiap sejak tadi. Dua kali dibokong Tiau Hek Hoa, membuat A Liong selalu waspada terhadap gadis itu. Ternyata benar juga kekhawatirannya, gadis berkulit hitam itu telah membokongnya lagi.
“Ssst! Jangan berisik, atau kita akan menggagalkan tugas kita, A Liong menggeram. Kali ini suaranya berubah tegas dan bersungguh-sungguh.
Tiau Hek Hoa menahan tangannya. Matanya melirik. Sekilas ia melihat rasa kesal dan marah di wajah Tabib Ciok dan Souw Hong Lam. Otomatis tangannya menurun. “Baik. Kita tunda dulu urusan kita. Tapi setelah tugas ini selesai, hemm... jangan harap bisa lolos dari tanganku!” Tiau Hek Hoa tetap mengancam.
A Liong tersenyum geli. Sambil merebahkan tubuhnya kembali, ia menjawab seenaknya. “Ah, peduli amat! Kalau nasibku memang akan mati, orang lainpun bisa membunuhku. Tidak perlu harus menggunakan tanganmu. Hehehehe...! Apa bedanya mati di tangan gadis ayu atau nenek-nenek jelek?”
“Apa katamu...?” Tiau Hek Hoa hampir kehilangan kendali lagi.
“Tiau Lihiap...! saudara A Liong!” Liu Wan berdesah pendek. “Kuharap kalian dapat saling menahan diri.”
Souw Hong Lam menggeleng-gelengkan kepalanya. “Seperti anjing dan kucing saja...”
Hari itu terasa panjang sekali. Tiau Hek Hoa selalu bersungut-sungut dan mondar-mandir mengelilingi ruangan itu. Gadis yang biasanya bergerak bebas dan berbuat apa saja itu benar-benar merasa tersiksa harus menunggu. Ingin benar rasanya dia mendobrak pintu ruangan dan mengamuk di luar sana. Untunglah Liu Wan selalu membujuknya. Sambil bermain “petak kerikil,” pemuda itu berusaha mendinginkan hati Tiau Hek Hoa.
“Waduh, perutku mulai lapar...! Sialan!” Tiba-tiba A Liong bangkit dari tidurnya dan menggerutu.
Liu Wan dan Souw Hong Lam tersenyum. “Badanmu terlalu besar sehingga cepat lelah dan lapar.” Liu Wan menggoda.
Pemuda itu tidak meladeni kelakar Liu Wan. Perlahan-lahan dia melangkah ke pintu samping. “Hai, saudara A Liong... Mau kemana kau? Di luar banyak prajurit berjaga.”
“Ciok Sinshe, jangan khawatir. Aku cuma ingin mengintip saja. Siapa tahu di luar ada makanan. Bisa melihatpun sudah cukup bagiku...”
“Silakan saja, asal tidak keluar!”
“Beres, deh!” A Liong menjawab santai sambil tetap melangkah melintasi ruangan itu. Mula-mula pemuda itu memang hanya mengintip saja dari celah-celah daun pintu. Tapi begitu melihat di luar kelihatan sepi dan kosong, dia segera menyelinap keluar dengan mengendap-endap. Seluruh uratnya menegang, suatu tanda bahwa dia dalam keadaan siap-siaga penuh. Ternyata lorong di luar pintu itu menembus ke bangunan belakang. Bau asap yang terbawa oleh angin menunjukkan bahwa bangunan tersebut adalah dapur.
Diam-diam A Liong gembira. Sungguh sangat kebetulan baginya. Beberapa saat lamanya A Liong berdiam diri di mulut lorong. Matanya beredar ke segala penjuru. Setelah yakin tidak ada orang, baru dia menyelinap ke luar. Dalam sekejap tubuhnya telah melesat ke atas bangunan. Dari atas A Liong dapat melihat beberapa orang petugas sedang menanak nasi dan membuat bubur panas.
“Nasi itu tentu untuk para penjaga, sedangkan buburnya untuk para tawanan.” A Liong berkata dalam hati. Ilmu meringankan tubuh A Liong sungguh hebat sekali. Meskipun bertubuh besar, namun A Liong mampu bergerak cepat dan lincah. Pemuda itu berloncatan di atas penglari rumah, seperti seekor tupai berkejaran. Demikian ringan dan gesit gerakannya, sehingga petugas dapur itu tidak ada yang tahu. A Liong cepat berlindung di balik kayu ketika seorang prajurit masuk ke dalam ruangan. Prajurit itu duduk di atas bangku sambil mengeluh.
“Uh, gila! Semalaman aku tak bisa tidur! Kini harus berkumpul pula! Huh! A-sam, berilah aku semangkuk bubur aku lapar sekali.”
“Berkumpul? Bukankah sekarang belum waktunya untuk berganti pasukan?” Seorang tukang masak mendekat sambil membawakan bubur panas. Demikian gemuk badannya, sehingga langkahnya terasa berat sekali.
“Bukan itu sebabnya, katanya tadi malam ada utusan dari Kotaraja masuk ke dalam benteng ini. Utusan itu memperingatkan kita, agar bersiap-siaga menerima kedatangan musuh.”
“Hei...???” Semua orang yang berada di dalam ruangan itu tersentak kaget. Prajurit itu tidak peduli. Sambil menikmati buburnya, dia melanjutkan ceritanya.
“Katanya... pasukan Raja Mo Tan telah merembes ke selatan. Kemarin telah terjadi pertempuran di hulu sungai, antara sisa-sisa pasukan Jendral Ciang Kwan Sit melawan pasukan Mo Tan. Dan sisa-sisa pasukan itu dibabat habis oleh mereka. Sekarang pasukan Mo Tan dalam perjalanan ke daerah ini. Diperkirakan mereka akan sampai di sini besok lusa.”
“Aduh! Celaka, bagiamana mereka dapat menyeberangi tembok besar bukankah di sana ada bala tentara Jendral Kongsun yang kuat dan besar jumlahnya?”
“Ah, piciknya pengetahuanmu! Pasukan Raja Mo Tan juga banyak sekali jumlahnya. Panglima-panglima mereka juga terkenal gagah berani. Kau pernah mendengar nama panglima Solinga? Panglima Yeh Sui? Atau panglima Huang Yin? Huh, mereka itu tidak kalah hebatnya dengan bekas Panglima Yap Kim!”
A Liong kaget juga mendengar cerita itu. Ternyata keadaan telah berubah dengan cepat. Pasukan Mo Tan benar-benar bergerak sangat cepat. Belum ada sepekan kabar tentang gerakan pasukan itu, kini sebagian dari mereka telah menyeberangi Propinsi Syan-si.
“Panglima Solinga yang terkenal kejam itu? Tentu saja semua orang mengenalnya. Memang hanya Panglima Yap Kim yang dapat menandingi dia!” Salah seorang dari tukang masak itu kelepasan bicara.
“Sssst! Berani benar kau omong seperti itu?” Kawannya cepat menyodok pinggangnya.
“Tapi... tapi aku hanya mengikuti omongan dia!” Tukang Masak itu menunjuk ke arah prajurit yang sedang makan bubur.
“Sudahlah. Tidak apa-apa. Kita cuma berbicara tentang kehebatan bekas panglima itu. Kita tidak berbuat hal-hal yang menyalahi aturan. Bekas panglima itu memang hebat dan sangat pandai ilmu perang. Tidak salah, bukan?” Prajurit itu tersenyum santai.
Tukang Masak itu menjadi lega. Sambil mengambilkan semangkuk bubur lagi, dia duduk di sebelah prajurit itu. “Eh! Omong-omong tentang bekas panglima itu, emm... bagaimana khabarnya sekarang? Apakah dia baik-baik saja?”
Sambil menyambar bubur yang disodorkan kepadanya, prajurit itu mendengus. “Tentu saja keadaannya tetap baik. Sebagai bekas panglima, ia tetap diperlakukan secara khusus. Ruangannya selalu bersih. Makanannyapun selalu teratur.”
“Ah! Baik sekali kalau begitu. Bagaimanapun juga dia pernah ikut berjasa mendirikan negeri ini. Ehm, lalu apakah ruangnya masih tetap di atas Ruang Penyiksaan itu? Tidak dipindah-pindahkan lagi?” Tukang Masak yang gemuk itu bertanya lagi dengan suaranya yang nyaring.
“Dulu memang harus selalu dipindah-pindah untuk mengelabuhi kawan dan para pendukungnya. Tapi sekarang? Sudah bertahun-tahun tidak ada orang yang datang kemari. Mereka telah bosan. Kekuatan mereka telah habis. Sekarang kita tak perlu khawatir lagi.”
A Liong beringsut. Tiba-tiba muncul sebuah rencana di idalam benaknya. Prajurit itu dapat dipergunakan sebagai penunjuk jalan menuju ruang penjara. Selesai menghabiskan dua mangkuk bubur, prajurit itu menguap. Sambil mengelus-elus perutnya, ia melangkah ke luar menuju baraknya. Di luar pintu ia berpapasan dengan petugas pengambil air, seorang lelaki tua berambut putih. Orang tua itu memikul dua gentong besar tanpa kesulitan.
“Persediaan air di sini masih cukup banyak, Lo Liu. Kau tidak perlu menambahnya lagi.” Prajurit itu menegur sambil menghadang di depan Tukang Air.
Tukang Air itu berhenti. Tanpa meletakkan pikulannya dia memasang teli nga, sementara matanya justru terpejam. “Ah, Prajurit Go rupanya. Maaf. Air di dapur ini memang masih banyak. Tapi aku ingin menambahnya lagi barang sepikul...”
“Hohoho, ternyata ingatan dan pendengaranmu hebat sekali. Hanya dengan mendengar suaraku, kau langsung bisa menebak namaku.”
“Prajurit Go, orang buta seperti aku harus dapat menggunakan panca indera yang lain sebaik-baiknya.”
“Baiklah, silakan...”
A Liong tertegun. Tukang air itu ternyata buta. Namun demikian langkahnya amat mantap dan tegas. Sama sekali tidak canggung atau ragu. Gerakannya seperti orang waras saja. Ketika lewat di bawah penglari di mana A Liong bertengger, tukang air bernama Lo Liu itu berhenti sebentar. Mulutnya terbatuk-batuk, kemudian berjalan lagi. A Liong berdebar-debar. Dia merasa orang itu tahu akan kehadirannya.
“Wah, kalau orang itu benar-benar pekerja benteng ini, aku harus berhati-hati. Firasatku mengatakan kalau dia memiliki kepandaian sangat tinggi.”
Ketika orang-orang itu mulai bekerja lagi, A Liong lalu beringsut keluar. Dilihatnya prajurit Go itu masih berjalan santai menuju baraknya. Sebuah barak panjang di dekat kandang kuda. Dan di depan barak itu berkumpul belasan prajurit lainnya. A Liong melihat seorang Tukang Kuda melintas di dekat gudang penyimpan jerami. Dan kesempatan itu tidak disia-siakannya. Sekejap saja ia telah berada di belakang orang itu.
“Tukk! Tukk!” Tukang Kuda itu roboh pingsan terkena totokannya. Sebelum ada yang tahu, orang itu telah diseret A Liong ke dalam gudang jerami. Bergegas celana dan bajunya dia ambil dan dipakai. A Liong tidak peduli meskipun agak kekecilan. Setelah menyembunyikan tubuh Tukang Kuda itu di balik tumpukan jerami, A Liong keluar sambil menggendong seikat jerami.
“Prajurit Go...!” A Liong memanggil prajurit yang sedang melangkah ke barak itu.
Prajurit itu menoleh. “Ada apa...? Hmm, kau Tukang Kuda baru, ya?” Kata prajurit itu kemudian sambil melangkah kembali mendekati A Liong.
A Liong melirik ke sekelilingnya. Perasaannya menjadi lega ketika para prajurit di depan barak itu tidak melihat ke arahnya. “Prajurit Go, di dalam gudang jerami ada kantung emas. Lihatlah!” Setelah berhadapan A Liong berbisik.
Mendengar perkataan “emas,” prajurit itu segera kehilangan kewaspadaannya. Dengan wajah kaget prajurit itu segera masuk ke dalam gudang. “Mana...?” Tapi belum juga habis perkataannya, jari A Liong telah menotok pangkal lehernya.
“Bruuug!” Prajurit itu terpuruk di atas jerami. “Bagus. Sekarang tinggal memikirkan, bagaimana caranya membawa dia ke gudang bawah tanah.” A Liong berpikir.
Belasan orang petugas telah mulai membawa nasi dan bubur dari dapur ke beberapa tempat. Dalam kesibukan seperti itu A Liong menyelinap keluar dengan sebongkok besar jerami di atas kepalanya. Dia sengaja mengambil jalan memutar, melewati semak-semak perdu yang banyak terdapat di antara kandang kuda dan dapur. Seorang petugas dapur melihatnya, tetapi dia menyangka A Liong sedang memindahkan jerami ke bangunan belakang.
“Hei, apakah gudang jeramimu sudah penuh?”
Tanpa mengendorkan langkahnya A Liong mengiyakan. Tapi demikian lolos dari penglihatan semua orang, pemuda itu segera masuk ke dalam lorong bawah tanah. Dan tentu saja kedatangannya sangat mengagetkan kawan-kawannya. Apalagi setelah dari gulungan jerami yang dibawanya itu muncul tubuh Prajurit Go tadi.
“Saudara A liong dari mana kau dapatkan orang ini...?” Liu Wan bertanya dengan suara tegang.
“Benar, kemana saja kau ini...?” Souw Hong Lam mendesak pula.
“Dia seorang prajurit penjaga benteng ini. Aku membawanya kemari karena dia mengetahui tempat Panglima Yap Kim disembunyikan. Dia dapat menunjukkan tempat itu.” Dengan tenang A Liong menjelaskan.
Begitu siuman, prajurit itu terkejut sekali. Dia segera bangkit, namun segera jatuh kembali di atas lantai. Tiau Hek Hoa menghantam tengkuknya dengan gagang kipasnya. “Kau tidak boleh pergi. kau harus menunjukkan tempat di mana Panglima Yap Kim dikurung.” Gadis itu mengancam.
“Kalian siapa? Kalian mau menyerang benteng ini?” Dalam keadaan terdesak prajurit itu mencoba menggertak.
“Jangan banyak bicara! Pilih saja salah satu! Mengantar kami ke tempat Panglima Yap Kim nanti malam, atau kubunuh saja kau sekarang!” Tiau Hek Hoa yang kejam itu menghardik.
“Nona Tiau, jangan terlalu keras...!” Liu Wan berdesah pendek.
Prajurit itu melirik Liu Wan, lalu ia menggeram. “Bagaimana kalau aku tidak bersedia?”
Tiba-tiba tangan kiri Tiau Hek Hoa mencengkeram rambut prajurit itu, sementara tangan kanannya mengeluarkan sebutir pel merah dari kantungnya. Sebelum yang lain dapat mencegah, pel itu telah dijejalkan ke mulut Prajurit Go.
“Nah! Dengarlah...! Tanpa obat pemunah dari aku, jangan harap kau bisa hidup! Lihatlah...!” Sekali lagi gadis itu bergerak. Kali ini dia menyambar cecak yang sedang merayap di atas dinding. Binatang itu lalu diletakkan di depan Prajurit Go. Cecak itu lalu dijejali dengan pel yang sama. Hanya kali ini tidak diberikan seluruhnya, tapi hanya sepotong kecil saja.
“Nih, lihatlah...!” Gadis itu lalu meletakkan binatang tersebut di atas lantai. Baik A Liong maupun Liu Wan hanya saling pandang sambil mengerutkan dahi mereka. Seperti halnya Souw Hong Lam, mereka juga belum memahami maksud Tiau Hek Hoa.
“Nona Tiau, kasihan cecak ini. Kembalikan dia ke...” Belum habis kata-katanya, mata Liu Wan terbelalak. Tubuh cecak yang menggeliat-geliat di atas lantai itu tiba-tiba mencair. Mula-mula dari kepalanya, kemudian merata ke seluruh badannya. Sebentar saja binatang itu telah berubah menjadi cairan kuning kehijauan!
“Oooh...!” Prajurit Go memekik ketakutan. Tapi bukan hanya prajurit itu yang merasa ngeri melihat keganasan pel Tiau Hek Hoa. Ternyata A Liong, Liu Wan dan Souw Hong Lampun diam-diam merasa ngeri juga.
“Gadis ini sungguh berbahaya...” Masing-masing berkata di dalam hati.
Sekarang Prajurit Go benar-benar ketakutan setengah mati. Dia tak ingin dagingnya mencair seperti cecak itu. “Lihiap, to-tolonglah...! Jangan bunuh aku! Akan aku tunjukkan tempat itu! Percayalah! Tapi... tapi... berilah aku obat pemunahnya dulu! Tolonglah!”
Tiau Hek Hoa mencibirkan bibirnya. “Huh, aku tidak sebodoh yang kau kira. Obat pemunah itu baru akan kuberikan kepadamu setelah kau menunjukkan tempat Panglima Yap Kim. Untuk sementara kamu tak usah takut pada Pel Pemusnah Dagingku. Aku hanya memberimu sebutir pel saja. Berarti tubuhmu masih dapat bertahan sampai besok pagi. Percayalah!”
“Jadi... jadi...??”
“Sudahlah. Kita tunggu saja sampai matahari terbenam. Setelah kau tunjukkan ruang Panglima Yap Kim, pel pemunahnya akan kuberikan padamu.” Gadis itu sekali lagi mencibirkan bibirnya.
Liu Wan menggeleng-gelengkan kepalanya. Meskipun gertakan itu sangat jitu, namun rasanya terlalu keji dan semena-mena. “Tapi... Lihiap, bagaimana kalau racun pel itu terlanjur merusak isi perutku? Lihiap, kumohon... berikan obat pemunahnya sekarang! Aku bersumpah tidak akan ingkar janji! Kasihanilah aku...” Prajurit itu merintih dan mengiba-iba di depan Tiau Hek Hoa.
“Diam kau! Sekali kukatakan nanti... ya nanti! Keputusanku tidak dapat diubah-ubah lagi!” Tiau Hek Hoa membentak.
A Liong merasa kasihan. Bagaimanapun juga dialah yang membawa prajurit itu ke sini. “Ah! Mengapa kita harus takut padanya? Berikan saja pel pemunahmu itu! Aku tanggung dia takkan berani melarikan diri!”
Mata Tiau Hek Hoa mendelik. Suaranya terdengar kaku dan ketus ketika menjawab perkataan A Liong. “Huh! Tampaknya kau memang tidak tahan lagi! Kau ingin bertarung dengan aku sekarang juga! Baik! Akan kulayani sampai salah seorang diantara kita mampus di tempat ini!”
A Liong berdiri tegak. Tampaknya pemuda itu juga tidak mau mengalah lagi. Wajahnya tampak keruh dan kesal, sorot matanya juga kelihatan seram dan menakutkan. Dari kedua belah tangannya yang terkepal terdengar suara berkerotokan. “Kau memang perempuan tak tahu diri. Orang sudah mau mengalah, kau tetap saja menindas dan memojokkan! Hmh, kau kira orang lain juga tidak dapat berbuat gila sepertimu? Baik! Kalau kau memang ingin bermain gila-gilaan, bermain menang-menangan, kau akan mendapatkannya! Kau akan mendapat lawan main yang cocok! Aku dapat berbuat lebih edan dan lebih menyeramkan dari pada kau!”
Sebagai manusia yang sudah kenyang dengan segala macam pengalaman buruk, maka A Liong memang dapat berbuat apa saja. Dia pernah diperlakukan orang seperti anjing, seperti benda mati, seperti kotoran! Sebagai pengemis hidupnya memang penuh penghinaan dan kesengsaraan! Ternyata sikap pemuda itu cukup menggetarkan hati Tiau Hek Hoa. Wajahnya yang galak sedikit meredup. Namun sebelum mereka benar-benar bertarung, Liu Wan sudah lebih dulu melerainya.
“Hentikan! Kalian mau berhenti atau tidak?” Pemuda yang sedang menyamar sebagai tabib tua itu berteriak tertahan. Dua orang yang siap berlaga itu menggeram. Keduanya tampak marah dan penasaran.
“Baiklah, Ciok Sinshe. Maafkanlah aku.” Akhirnya A Liong mengendorkan tangannya.
“Terima kasih, saudara A Liong. Dan kau, Lihiap! Kuharap kaupun dapat menahan diri. Kita semua sedang melaksanakan tugas berat. Kita harus menggalang kekuatan kita. Singkirkan dulu segala macam pertengkaran dan perbedaan kita! Bagaimana...? Emm, baiklah... sekarang kuminta Tiau Lihiap mau memberikan obat pemunah racunnya! Berikan kepada orang ini supaya dia dapat menunjukkan tempat itu dengan hati tenang!”
Mata yang menyala itu perlahan-lahan meredup. “Baiklah, aku turuti katamu. kau yang paling tua. Dan kau pula yang memimpin tugas ini. Tapi setelah tugas ini selesai, jangan harap kau dapat melarangku lagi. Kerbau dungu ini tetap akan kubunuh!”
“Terserah...! Lohu memang tidak berhak untuk mencampuri urusan kalian.”
A Liong tidak mau berbicara lagi. Setelah gadis itu memberikan pel pemunah racunnya, dia segera kembali pula ke tempatnya. Souw Hong Lam yang jarang berbicara itu datang mendekatinya.
“Saudara A Liong, bersabarlah! Kami tahu bahwa kau sudah banyak mengalah kepadanya. Tapi demi keberhasilan tugas kita, kuharap kau lebih banyak mengalah lagi. Rasanya kau lebih dapat berpikir jernih daripada dia. Nah, sekarang beristirahatlah...!”
A Liong tersenyum. “Jangan khawatir, saudara Souw. Aku bukan macam orang suka berkelahi. Bahkan sejak kecil aku sudah terbiasa hidup bergotong-royong dengan orang lain. Aku bekas gelandangan, yang tumbuh diantara kawanan pengemis. Rasanya aku lebih banyak memiliki rasa perdamaian daripada permusuhan.”
“Gelandangan...? Kau bekas gelandangan? Ah, aku tidak percaya. Tubuhmu besar dan kuat!”
Sekali lagi A Liong tersenyum. “Saudara Souw! Aku berkata sebenarnya. Aku benar-benar tidak mempunyai sanak-keluarga seperti engkau. Sejak kecil aku selalu berkelana dari kota ke kota. Kawanku banyak sekali. Kalau akhirnya badanku bisa tumbuh seperti ini, aku sendiri juga tidak tahu. Mungkin karena nafsu makanku besar sekali. Sekali makan aku bisa menghabiskan sebakul nasi.”
“Ah, kau bisa saja...!”
Ternyata pada saat yang sama, Tiau Hek Hoa juga sedang mendekati Prajurit Go. Dengan suara geram bibir tipis itu berbisik di telinga prajurit itu. Perlahan saja, tapi sangat mengejutkan pendengarnya!
“Awas! Jangan macam-macam kau! Obat yang kuberikan itu obat palsu, bukan obat pemunah racunku! Obat pemunah yang asli baru akan kuberikan setelah tugasmu selesai! Tahu...?”
Demikianlah, malam itu mereka mulai bergerak setelah lonceng berdentang sembilan kali. Prajurit Go yang tidak mau mati konyol membawa mereka menyelinap melalui tempat-tempat yang aman. Mereka melewati lorong-lorong rahasia, yang tidak mungkin mereka ketahui tanpa bantuan Prajurit Go. Setelah naik-turun tangga dan berputar-putar melewati puluhan lorong rahasia, mereka muncul di tempat terbuka. Prajurit Go berhenti. Kulit mukanya tampak pucat.
“Nah! Mulai dari tempat ini kita tidak dapat melalui jalan rahasia lagi. Kita harus menyeberang halaman ini dan masuk ke pintu gerbang di tengah-tengah bangunan itu. Tapi hal itu tidak mungkin kita lakukan tanpa diketahui penjaga. Di sekeliling halaman ini banyak pos-pos penjagaan yang dihuni oleh pasukan prajurit pilinan. Lihatlah lampu-lampu minyak itu...! Itulah pos-pos penjagaan!”
Liu Wan termangu-mangu. Prajurit itu tentu tidak berbohong. Memang sulit melintas di halaman luas itu tanpa terlihat oleh penjaga. Apalagi bulan bersinar dengan cerahnya. “Bagaimana pendapatmu, saudara Souw? Kau jarang sekali berbicara. Mungkin kau dapat menemukan jalan yang terbaik?”
Pemuda ganteng itu tidak segera menjawab. Matanya menatap ke ujung halaman tanpa berkedip. Tiba-tiba ia melihat kesibukan di setiap pos penjagaan itu. “Ciok Sinshe, lihat...! Prajurit-prajurit itu keluar dari pos masing-masing! Mereka menyusun barisan dengan tergesa-gesa! Tampaknya telah terjadi sesuatu dalam benteng ini...!”
Tangan Tiau Hek Hoa dengan cepat menyambar lengan Prajurit Go. “Cepat katakan! Apakah mereka tahu kedatangan kita?” Gadis itu menggeram marah.
“Aku... aku tidak tahu! Benar! Aku tidak tahu! Bukankah seharian penuh aku bersama kalian? Mana sempat aku berbuat yang bukan-bukan?” Prajurit itu mendesis kesakitan.
“Kalau begitu... Mengapa mereka bersiap-siaga seperti itu?” A Liong cepat-cepat menengahi.
“Sungguh! Aku tidak tahu! Oh, ya... Mungkin... Mungkin pasukan Mo Tan itu benar-benar sudah datang! Jadi... jadi mereka bersiap untuk mempertahankan benteng ini. Pertempuran besar akan segera berlangsung...!”
“Pasukan Mo Tan? Oh? Begitu cepatnya mereka datang?”
Sekejap kemudian suasana di dalam benteng itu menjadi sibuk luar biasa. Ratusan prajurit yang sedang berada di dalam benteng itu segera menyebar ke segala penjuru. Mereka menempati pos masing-masing. Segala macam perlengkapan tempur mereka siapkan. Mereka mengeluarkan gerobag-gerobag senjata, kereta berisi batu-batu peluncur dan segala macam peralatan perang lainnya. Semua itu mereka lakukan tanpa banyak menimbulkan suara. Mereka bekerja seperti kawanan hantu.
“Bagus! Keributan ini justru membantu kita! Ayo, sekarang kita menyeberang ke pintu gerbang itu!” Liu Wan berbisik sambil mencengkeram lengan Prajurit Go.
“Nanti dulu! Bagaimana kalau ada yang melihat kita...?” Souw Hong Lam mencegah niat itu.
Semuanya tertegun. Ucapan itu memang mengandung kebenaran. Walaupun suasana sedang ribut, tapi hanya mereka sendiri yang tidak mengenakan seragam.
“Hei, dimana Kerbau Dungu itu?” Tiba-tiba Tiau Hek Hoa berseru lirih ketika matanya tidak melihat A Liong.
Liu Wan dan Souw Hong Lam terkejut. Tapi mereka segera menghela napas lega. Pemuda tinggi besar itu melangkah dari tempat gelap. Kedua tangannya memeluk tumpukan seragam prajurit.
“Maaf, aku baru saja mencari seragam prajurit! Nih! Silakan pakai! Pilihlah yang cocok! Kita pergunakan untuk menyamar seperti mereka!”
Liu Wan saling pandang dengan Souw Hong Lam. Mereka benar-benar kagum atas kecekatan pemuda itu. Hanya Tiau Hek Hoa yang semakin masam mukanya. Hampir saja ia tak mau memakainya. Dalam situasi kalut seperti itu, maka seragam mereka benar-benar membantu. Apalagi disamping mereka ada Prajurit Go yang mengenal baik isyarat atau kode-kode di dalam benteng itu.
Namun demikian ketika hendak masuk ke dalam pintu gerbang, Prajurit Go sempat gemetar juga. Pintu gerbang itu dijaga ketat oleh pasukan khusus, yang terdiri dari tiga puluh enam orang. Pasukan itu dibagi menjadi empat kelompok, yang bergantian menjaganya. Tapi A Liong tidak takut.
Pemuda itu tetap melangkah dengan tenang, seperti layaknya seorang prajurit jaga. Di tengah pintu dia berhenti. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia tak melihat seorang penjagapun di tempat itu. A Liong justru menjadi curiga. Jangan-jangan para penjaga itu telah mengetahui kedatangan mereka dan memasang jebakan.
“Tidak ada penjaga di sini. Hei, Prajurit Go... benarkah pintu ini tidak ada penjaganya?” Katanya perlahan.
“Hemm! Ada yang tidak beres di sini! Biasanya tempat ini dijaga ketat, karena gerbang ini merupakan pintu penghubung menuju ke benteng dalam. Di sanalah tempat Panglima Yap Kim dipenjara!” Prajurit Go menerangkan.
“Ssssst!” Tiba-tiba Souw Hong Lam memperingatkan. Sesosok bayangan tampak berkelebat dalam gelap. Bayangan itu melesat ke atas genting dan hilang di balik bubungan.
“Benar! Memang ada orang yang mendahului kita!” Liu Wan berdesis pendek.
“Inilah mereka! Penjaga-penjaga itu dibuang ke sini!” Tiba-tiba Tiau Hek Hoa berseru pula. Kepalanya melongok ke balik gardu jaga. Liu Wan menghela napas panjang. Hatinya berdebar. Siapa orang itu? Kawan atau lawan?
“Sudahlah! Kita masuk saja! Kita hadapi bersama semua rintangan! Nah, Prajurit Go...! Di mana... ruang Panglima Yap Kim?” A Liong bertanya kepada Prajurit Go.
“Di dalam bangunan itu! Di ruang belakang! Tapi... Hati-hatilah! Tempat ini penuh dengan jebakan! Setiap lorong pasti ada jebakannya! Aku... Hei!!” Belum juga habis dia berkata, sekonyong-konyong terdengar suara ledakan keras di bagian belakang bangungan itu. Bahkan berbareng dengan itu, di luar benteng juga terdengar suara terompet dan genderang memecah kesunyian malam!
“Ada musuh menyerang benteng ini...!” Prajurit Go berkata dengan suara gemetar.
“Tapi... Ledakan di dalam bangunan itu?” A Liong berkata pula dengan suara ragu.
“Jebakan...! Orang yang masuk tadi telah melanggar salah satu dari jebakan itu!” Prajurit Go menjelaskan.
Sekejap kemudian halaman kecil itu menjadi ramai sekali! Penjaga berlarian keluar. Mereka berlari ke tempat di mana telah terjadi ledakan tadi. Beberapa orang membawa obor sambil berteriak-teriak. “Musuh menyerang benteng!”
“Awas! Ada penyelundup yang masuk ke dalam bangunan ini! Kita cari dia...!”
“Musuh datang menggempur benteng...!”
“Tutup semua pintu! Cepat...!”
Liu Wan menarik tangan Prajurit Go ke jurusan lain. Tiau Hek Hoa, Souw Hong Lam dan A Liong mengikuti di belakangnya. Mereka langsung masuk ke dalam gedung dan menyelinap ke pintu belakang. Setiap kali bertemu penjaga mereka menghindar. Tapi dalam keadaan terpojok, Tiau Hek Hoa tidak segan-segan menggunakan senjatanya!
“Lihiap, hindari pembunuhan!” Liu Wan memperingatkan. Mereka tiba di ruang tengah.
Belasan prajurit tampak berjaga di sana. Mereka seperti tidak terpengaruh oleh keadaan di sekeliling mereka. Demikian berhadapan dengan Liu Wan dan Prajurit Go, salah seorang diantara mereka segera menggertak sambil mengacungkan tombaknya.
“Berhenti! Prajurit dari kesatuan mana kalian ini, heh? Mengapa datang ke mari? Jawab!” Liu Wan menekan tangan Prajurit Go agar menjawab pertanyaan itu. Tapi terlambat. Samaran mereka segera terbaca oleh penjaga-penjaga itu! Rambut Tiau Hek Hoa yang panjang itu terjulur keluar dari seragamnya!
“Awaaaas, penyelundup! Ringkus mereka!” Belasan penjaga itu segera menghambur datang. Mereka menyerang tanpa memberi kesempatan lagi. Tombak dan panah segera beterbangan ke arah Liu Wan dan kawan-kawannya.
Dalam keadaan gawat seperti itu semuanya tidak dapat mengekang diri lagi. Masing-masing segera mengeluarkan kesaktiannya. Apalagi mendengar keributan itu, penjaga yang berada di bagian lain segera datang mengalir ke tempat itu.
“Perajurit Go! Di mana kamar itu? Lekas katakan!” Sambil menangkis panah-panah itu Liu Wan berteriak.
“Ttapi... bagaimana dengan obat pemunah itu?” Prajurit itu berseru ketakutan.
“Apa... Maksudmu? Obat apa?” Liu Wan bertanya heran.
“Nona itu... belum memberikan obatnya! Sebentar lagi dagingku akan mencair...!” Prajurit itu menjerit dengan air mata bercucuran.
Mata Liu Wan bagaikan menyala saking marahnya. Dengan suara kasar ia berteriak kepada Tiau Hek Hoa. “Mengapa tidak kau berikan juga obat itu? Di pihak mana sebenarnya kau ini...? Tugas ini tinggal selangkah saja lagi! Lihat! Apakah kau benar-benar ingin menggagalkannya?”
Belasan orang penjaga kembali menyerang dengan tombaknya. Semuanya menyerang Liu Wan dan Prajurit Go. Karena sedang marah Liu Wan tidak dapat mengendalikan diri lagi. Pemuda itu dengan cepat menggeser ke depan. Kedua tangannya terayun tanpa disadari.
“Thuuaaaas...!” Terdengar suara letupan kecil seperti tepukan tangan! Tapi akibatnya sungguh hebat! Separuh dari prajurit itu terpental jatuh tanpa dapat bangun kembali! Sekejap Mo Goat yang menyamar sebagai Tiau Hek Hoa itu terkejut. Rasanya dia pernah melihat pukulan itu!
“Kau... Kau, eh... baik! Baik! Inilah obatnya!” Dalam keadaan gugup gadis itu menyerahkan obatnya.
Sementara itu beberapa langkah di dekat mereka, Souw Hong Lam dan A Liong juga dipaksa untuk bertempur pula. Kehebatan pukulan Liu Wan sama sekali tidak mempengaruhi daya tempur prajurit-prajurit pilihan itu. Tanpa ragu-ragu mereka menerjang Souw Hong Lam dan A Liong, sehingga keduanya terpaksa harus bekerja keras untuk menahan mereka.
Souw Hong Lam mengerahkan ginkangnya dan berloncatan di antara kepala lawan-lawannya. Badannya yang jangkung itu melayang-layang seperti burung rajawali di antara kawanan serigala. Sementara tangannya menyambar kesana-kemari, bagaikan tangan malaikat mencabut nyawa! Setiap kali tangan itu menyambar, seorang prajurit pasti terpelanting tak berdaya...