Pendekar Pedang Pelangi Jilid 27

Sonny Ogawa

Pendekar Pedang Pelangi Jilid 27 karya Sriwidjono - KEBERINGASAN mereka justru dimanfaatkan oleh pasukan Hun. Para komandan pasukan Hun yang cerdik itu segera mengatur siasat. Mereka menggiring pendekar-pendekar itu ke dalam jebakan, sehingga banyak diantara pendekar yang jatuh ke dalam perangkap.

Cerita silat Mandarin karya Sriwidjono

Mereka terpisah dari kawan-kawannya dan terkurung dalam kepungan. Dan mereka segera dikeroyok dan di cincang seperti binatang buruan. Korban semakin banyak. Baik di pihak para pendekar, maupun di pihak pasukan Hun. Namun karena jumlah pasukan Hun lebih banyak, maka pasukan para pendekar itu semakin terdesak.

Matahari naik semakin tinggi. Panasnya mulai membakar arena. Bau darah dan keringat” bercampur dengan kepulan asap dan debu. Pertempuran sudah berlangsung hampir setengah hari. Diam-diam Liu Wan menjadi khawatir. Walaupun tidak dapat melihat seluruhnya, tapi ia merasa kesulitan berada di pihaknya.

“Eh? Mengapa Souw Hong Lam belum juga muncul? Kemana dia?” Tampaknya kekhawatiran Liu Wan itu dirasakan pula oleh Yap Kim. Bekas panglima yang mahir ilmu perang itu sadar pula bahwa mereka dalam kesulitan. Dari suara terompet dan genderang yang terdengar, sudah dapat ditebak apa yang terjadi. Tapi mereka bertiga tidak dapat berbuat banyak.

Keenam bentuk Mo Hou itu hampir tidak pernah memberi kesempatan untuk berpikir. Mereka benar-benar dalam kesulitan. Bahkan berkali-kali mereka harus jatuh bangun untuk menghindari serangan Mo Hou. Baik Liu Wan maupun si Pelayan Dapur sudah tidak dapat lagi melindungi alat penyamaran mereka. Satu persatu alat penyamaran mereka terlepas.

“Saudara A Liong...!?” Liu Wan mencoba memanggil A Liong yang bertempur dengan barisan Lok-kui-tin.

“Aku di sini, Lo-Cianpwe!” Pemuda itu hanya mampu menjawab, tapi tidak dapat berbuat apa-apa. Dia sendiri sedang berjuang menghadapi barisan Liok-kui-tin. Mereka bertempur di atas tembok dan genting. Mereka bergerak cepat sekali. Berputar-putar bagaikan kelompok hantu yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain.

Begitu kuatnya angin pukulan mereka, sehingga debu dan daun beterbangan ke segala penjuru. Membuat orang-orang pada menyingkir dan menjauhi tempat itu. Sementara itu keenam bayangan Mo Hou sudah dapat menguasai Yap Kim bertiga. Keenam buah kipas baja itu melayang-layang di sekitar lawannya. Pemuda sakti itu masih menunggu saat yang tepat untuk memilih mangsanya. Dan hal itu memang segera ia lakukan.

“Aduuuh!” Kipas Mo Hou menyerempet punggung dan kepala si Pelayan Dapur kemudian menghajar dada Liu Wan. Begitu kuatnya sehingga Liu Wan memuntahkan darah segar. Yap Kim bergegas melepaskan pukulan petirnya untuk menahan serangan berikutnya. Dia benar-benar melepaskan seluruh kemampuannya dan tidak memperhitungkan lagi kesehatannya. Dia tidak peduli lagi kalau kekuatannya akan terkuras habis.

“Dhuuuuar...!” Pukulan itu memang dapat mendorong bayangan Mo Hou ke belakang. Tapi bersamaan dengan itu tubuh Liu Wan dan si Pelayan Dapur juga jatuh ke tanah. Topi dan baju tebal si Pelayan Dapur terkoyak dan terlepas. Begitu pula dengan bantal dan jenggot Liu Wan. Alat penyamaran kedua orang itu sudah tidak berfungsi lagi.

“Heiii???” Mo Hou dan Yap Kim berseru kaget. Otomatis Mo Hou dan kelima kembarannya melompat mundur.

Yap Kim ternganga menyaksikan wajah Liu Wan dan si Pelayan Dapur. Tiba-tiba saja mereka berdua berubah menjadi seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik. Dan wajah pemuda itu segera dikenal oleh Yap Kim. “Pangeran Liu Wan Ti...?”

“Apa? Pangeran?” Seruan Yap Kim itu segera diikuti pula oleh jeritan gadis cantik si Pelayan Dapur yang tidak lain adalah Tio Ciu In itu. Segumpal darah segar tiba-tiba menyembur lagi dari mulut Liu Wan atau Pangeran Liu Wan Ti.

Pangeran Mahkota yang telah menghilang hampir sepuluh tahun itu tampak pucat sekali. Pukulan gagang kipas fcju telah melukai isi dadanya. Meskipun demikian pemuda itu masih bisa tersenyum kepada Tio Ciu In. “Nona Tio...? Aaaah!”

“Liu Toako? Kau benar-benar Pangeran Liu Wan Ti?”

Tak terduga Mo Hou tertawa gembira. Karena kelima kembarannya juga ikut tertawa, maka suaranya menjadi riuh sekali. “Hahaha... aku benar-benar tidak menyangka kalau Pangeran Mahkota yang dicari-cari itu ada di sini! Sungguh kebetulan sekali! Sekali tepuk kudapatkan dua harimau sekaligus!"

Munculnya Pangeran Liu Wan Ti di tempat itu memang mengejutkan semua orang. Lima tahun lamanya pangeran itu dicari dan ditunggu-tunggu kedatangannya. Tak terduga pangeran itu muncul dalam situasi yang sulit seperti itu. Keenam bayangan Mo Hou itu kembali bergabung menjadi satu lagi.

Dengan wajah puas pemuda itu memandang ketiga lawannya. Mereka sudah tak berdaya lagi. Pangeran Liu Wan Ti terluka dalam. Tio Ciu In terluka punggungnya. Sedangkan Yap Kim berdiri lemah di tempatnya. Bekas panglima itu benar-benar kehabisan tenaga setelah melepaskan pukulan petirnya.

“Nah! Kuberi waktu untuk berunding! Siapa diantara kalian yang ingin kupenggal kepalanya lebih dahulu? Panglima Yap Kim? Atau... pangeran Liu Wan Ti?”

“Jangan sombong! Aku belum. menyerah! Lihat pukulan...!” Tiba-tiba Tio Ciu In melompat sambil menyerang Mo Hou.

Mo Hou berputar sambil melangkahkan kakinya ke belakang. Tubuhnya lalu meliuk ke samping sambil menyambar pinggang gadis itu. Tentu saja Tio Ciu In tidak ingin celaka. Dengan gesit ia menggeliat ke samping. Di lain saat tangannya telah memegang sepasang pedang pendek dan langsung menyerang Mo Hou lagi. Lagi-lagi terasa udara menjadi padat sehingga Mo Hou sulit bernapas.

“Gila! Tampaknya kau mempunyai hubungan perguruan dengan mendiang Bit-bo-ong!” Pemuda itu menggeram marah.

Yah, benar! Gadis itu memang mengunakan ilmu silat Bit-bo-ong! Tadi bocah itu menggunakan Kim-liong Sin-kun, sekarang Pat-hong-sin-ciang! Apakah dia murid iblis itu?” Walaupun dalam keadaan lemah Yap Kim masih juga berpikir tentang Tio Ciu In.

Mo Hou menghentakkan tenaganya. Sekejap tekanan udara itu mengendor. Dan kesempatan itu segera ia gunakan sebaik-baiknya. Ia melompat ke kiri sambil menebaskan kipasnya ke tangan Tio Ciu In. itu nyaris memotong pergelangan tangan Tio Ciu In. Untung dengan sisa-sisa tenaganya gadis itu berhasil mengelak. Gerakannya cepat bukan main.

Tio Cu In tidak mau memberi kesempatan pada lawannya. Walau punggungnya terasa sakit, tapi dia berusaha mati-matian untuk menahannya. Dia tak ingin pemuda itu membunuh Panglima Yap Kim dan Pangeran Liu Wan Ti. Darah mulai merembes membasahi punggung Tio Cu In. Luka akibat goresan kipas itu mulai mengeluarkan darah.

Untunglah dalam penyamarannya tadi dia mengenakan pakaian berlapis-lapis, hingga sabetan kipas lawan lebih banyak mengiris pakaian daripada kulit punggungnya! Selama tinggal di dalam gua Tio Ciu In mendapat banyak pelajaran dari si Pendekar Buta. Pendekar berambut panjang itu benar-benar memiliki ilmu silat yang sangat tinggi. Bahkan menurut Tio Ciu In, ilmu silat Pendekar Buta itu masih berada di atas Toat-beng-jin atau Lojin-Ong!

Kini ilmu silat Tio Ciu In memang sudah melampaui Liu Wan. Tapi ilmu yang dia dapatkan itu ternyata masih jauh dari cukup untuk melawan Mo Hou. Putera Raja Mo Tan itu memang benar-benar hebat sekali. Beberapa kali gadis itu terdorong mundur bila harus beradu tenaga dengan lawannya. Pedang pendeknya selalu bergetar bila beradu dengan kipas Mo Hou. Dan rasanya ia semakin sulit mempertahankan pedang itu.

“Lihatlah! Aku tak perlu memanggil enam orang kembaranku untuk meringkusmu! Bahkan sebenarnya aku juga tidak perlu menggunakan kipas ini untuk me-ngalahkanmu! Satu tangan kosong saja sudah cukup untuk membunuhmu!”

Tio Ciu In diam tak menjawab. Pemuda itu memang sangat sombong. Tapi kenyataannya memang benar. Dalam keadaan terluka seperti sekarang, ia memang tak lebih dari seekor anak ayam yang berusaha keras untuk melawan induknya.

“Aduuuh!” Sekali lagi Tio Ciu In memekik, kipas Mo Hou menyambar lengan kanannya dan hampir saja memutuskan urat nadinya, darah merembes keluar bersamaan dengan terlepasnya pedang yang tergengam di dalam tangan itu. Lengan itu terasa nyeri dan sulit digerakkan, sementara luka di punggungnya juga semakin banyak mengeluarkan darah.

“Berdoalah! Tampaknya... engkaulah yang pertama akan mati oleh kipasku!” Mo Hou menggeram sambil mengangkat kipasnya tinggi-tinggi.

Kipas terbuat dari baja tipis itu berkelebat, terdengan suara mendesing saat kipas itu menyambar leher Tio Ciu In dan kali ini gadis itu memang tidak bisa berbuat banyak, walaupun masih ada pedang di tangan kirinya, tetapi luka di tangan dan punggunya membuat ia tidak leluasa menyalurkan tenaga dalamnya, satu-satunya jalan yang dapat dilakukan oleh Tio Ciu In hanya mengelak, itupun hanya dapat dilakukan dengan cara melemparkan diri ke belakang dan ketika hal itu benar-benar dilakukannya maka sabetan kipas itu memang luput mengenai lehernya.

Namun cara menghindar itu juga membuat posisi Tio Ciu In menjadi semakin sulit, tubuh Tio Ciu In terlentang diatas tanah, dengan demikian pertahanannnya menjadi terbuka dan otomatis dia tak bisa berbuat apa-apa menghadapi serangan Mo Hou berikutnya. “Liu Toako...!” tak terasa bibir gadis itu bergetar.

“Nona Tio!” Liu Wan mencoba bangkit tapi segera jatuh kembali, wajahnya semakin pucat. Mo Hou benar-benar membuktikan ancamannya, sekali lagi kipasnya menyambar ke leher Tio Ciu In.

“Wuuuu!” Dan sekejap saja kipas itu sudah menempel di leher Tio Ciu In, namun pada saat yang sama seleret sinar merah tiba-tiba membentur daun kipas itu. Duk! Demikian kuatnya tenaga yang terkandung dalam sinar merah itu, sehingga kipas itu melenceng dan hampir terlepas dari gengaman Mo Hou!

Mo Hou terkejut sekali. Terkejut dan marah. Dan dalam kemarahannya kekuatan ilmu sihir pemuda itu muncul dengan sendirinya! “Wussss!”Tiba-tiba saja pemuda gagah itu berubah menjadi mahluk yang sangat mengerikan! Tubuh Mo Hou berkembang menjadi dua kali lipat besarnya. Sementara wajahnya yang tampan itu berubah menjadi kasar dan berbulu lebat. Bahkan dari sela-sela giginya yang berubah menjadi tonggos itu menetes darah segar!

“Ooooh...???” Tidak seorangpun yang tidak kaget menyaksikan pemandangan itu. Tidak terkecuali Souw Hong Lam, orang yang baru saja datang dan menyelamatkan jiwa Tio Ciu In. Pemuda dari keluarga Souw itu sama sekali tidak menduga kalau totokan sinar merahnya membuat Mo Hou berubah menjadi raksasa.

“Souw-heng, awas...! Itu hanya ilmu sihir!” Liu Wan memberi peringatan.

Mo Hou yang telah berubah bentuk menjadi seorang raksasa itu menggeram. Matanya melotot seolah-olah mau keluar dari lobangnya. “Siapakah kau? Sungguh berani sekali kau mengganggu dan melawanku!”

Suara itu terasa menggelegar di telinga Souw Hong Lam. Membuat pemuda itu tiba-tiba tertegun dan merasa ngeri tanpa sebab. Rasanya wajah itu sangat menyeramkan sekali. Demikian menakutkan sehingga Souw Hong Lam tidak ingin melihatnya.

“Kau... Kau...?” Souw Hong Lam terbata-bata. Lehernya bagai tercekik. Sementara itu Mo Hou telah mengangkat kipasnya. Perlahan-lahan kipas itu terayun ke bawah, siap untuk membelah tubuh Souw Hong Lam.

“Saudara Souw...!” A Liong yang masih sibuk dengan keroyokan Lok-hui-tin itu tiba-tiba berteriak. Suaranya bergetar penuh tenaga. Demikian kuatnya sehingga pengaruh sihir yang mencekam hati Souw Hong Lam menjadi goyah.

Kesempatan itu segera dimanfaatkan oleh Souw Hong Lam. Dengan menghentakkan seluruh kekuatannya pemuda itu mengibaskan pengaruh sihir yang mencengkeram pikirannya. Dan begitu pengaruh sihir itu hilang, dia cepat-cepat melompat ke depan untuk menyelamatkan Tio Ciu In dan membawanya ke tempat aman.

Namun bantuan itu justru berakibat buruk terhadap A Liong sendiri. Begitu perhatiannya terpecah, maka pukulan Lok-kui-tin menerobos pertahanannya dan menggempur bertubi-tubi. Keenam Hantu itu memang benar-benar tokoh berkepandaian tinggi.

“Buk! Buk!” A Liong terlempar ke bawah. Demikian cepatnya pukulan Enam Hantu itu sehingga A Liong tak mampu lagi menghindar. Tapi dengan cepat A Liong bangkit kembali. Wajahnya menjadi merah. Pukulan itu sangat menyakitinya, meskipun tidak sampai melukai kulitnya.

“Ah, kalian sungguh pandai menggunakan kesempatan. Kalau begitu aku juga tidak akan segan-segan lagi. Awas, aku akan menggunakan senjata untuk menyelesaikan perkelahian ini.”

Keenam Hantu itu benar-benar kaget. Pukulan mereka ternyata tidak mampu membunuh pemuda itu. Pukulan berganda yang dapat meremukkan seekor gajah itu ternyata tidak berarti apa-apa bagi A Liong. Ternyata pemuda itu hanya terlempar dari tempatnya. Ang-kui yang paling berangasan diantara Lok-kui-tin tampak bengong, sementara saudara-saudaranya yang lain juga saling pandang dengan dahi berkerut.

“Bocah itu mempunyai tenaga tersembunyi yang sangat hebat dalam tubuhnya. Kita... Kita harus berhati-hati menghadapinya,” Hek-kui berdesah perlahan.

Ketika A Liong menghunus pedang anehnya, maka keenam hantu itu melangkah mundur. Pedang atau pisau panjang berbentuk aneh itu memantulkan sinar beraneka warna, seperti pancaran sinar pelangi yang merebak dan membungkus mata pedang itu.

“Hati-hati! Pedang kecil itu memiliki perbawa aneh! Kita tidak boleh melawannya dengan tangan kosong! Kita harus melawan dengan pisau kita pula!” Pek-kui memperingatkan saudara-saudaranya.

A Liong menimang-nimang pedang pemberian gurunya, Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong. Pedang itu memang bukan pedang biasa seperti kebanyakan pedang di daerah Tionggoan. Pedang itu lebih menyerupai pisau panjang yang melengkung setengah lingkaran. Mata pisaunya yang mengkilat bersih itu memantulkan sinar beraneka-warna.

“Kalian memang beruntung! Pedang ini jarang sekali kupergunakan. Hanya dalam keadaan sulit aku memakainya. Kini dia terpaksa kukeluarkan untuk melawan kalian. Nah, berhati-hatilah! Biasanya lawanku tidak ada yang tahan menghadapinya! Ayo...!”

“Sungguh sombong sekali! Tampaknya engkau juga belum pernah mengenal kami, sehingga kau menjadi takabur. Ketahuilah, sekarang kau berhadapan dengan Lok-kui-tin dari Gurun Gobi!” Hek-kui berkata penuh geram.

“Sayang sekali. Aku memang belum mengenal kalian, karena aku hanya seorang pemuda gelandangan bernama A Liong yang tidak mempunyai tempat tinggal dan sanak keluarga. Hehehe...!”

Wajah Ang-kui menjadi merah. “Tutup mulutmu!” Teriaknya keras sambil mendahului menyerang. Pisau lebarnya terayun ganas ke ulu hati A Liong. Dan kelima saudaranya segera mengikuti pula langkahnya. Mereka menyerang dari segala jurusan.

“Siiing! Siiing! Siiing! Trang! Trang!”

Sekilas nampak sinar pelangi berkelebatan di arena itu, kemudian lenyap setelah terjadi benturan beberapa kali. Apa yang terjadi benar-benar mengecutkan hati Lok-kui-tin! Dalam gebrakan pertama itu mereka dikejutkan oleh kehebatan ilmu pedang A Liong. Baru kali ini mereka berenam menyaksikan ilmu pedang sekuat dan sehebat itu.

Memang dapat dimaklumi kalau Lok-kui-tin terkesima melihat ilmu pedang A Liong. Sudah puluhan tahun mereka malang melintang di dunia persilatan, baik di luar maupun di dalam Tembok Besar. Dan selama itu pula mereka menyaksikan berbagai macam ilmu silat yang aneh-aneh. Namun ternyata baru sekarang ini mereka menemukan ilmu pedang seperti kepunyaan A Liong. Ilmu pedang anak muda itu sama sekali tidak mengandalkan ketajaman pedangnya, tapi justru memanfaatkan pengaruh dari kilatan sinar pedang tersebut.

Ternyata A Liong mampu membuat pedang itu seperti terbakar dan selanjutnya mengeluarkan kilatan sinar beraneka warna. Dan kilatan sinar itu lalu meluncur dan memburu Lok-kui-tin berenam. Anehnya sinar itu mampu melukai kulit daging mereka. Bahkan pisau Lok-kui-tin tidak kuasa menghadapi sinar itu. Pisau mereka menjadi rusak ketika menangkis sinar itu.

“Aaah! Sungguh berbahaya!” Pek-kui menyeringai kecut. “Kita gunakan Barisan Lok-kui-tin!” Hek-kui memberi aba-aba.

“Benar! Sinar itu jangan dilawan dengan kekerasan. Harus kita hindari atau kita pantulkan dengan badan pisau kita! Hanya dengan cara itu kita dapat merendam kekuatannya!” Ui-kui menanggapi ucapan saudaranya.

“Tetapi sinar yang memantul itu masih berbahaya buat kita. Salah-salah bisa mengenai kawan sendiri.” Ang-kui berkata dengan suara bergetar.

“Kalau begitu kita arahkan pantulannya ke atas! Jangan sampai mengarah ke samping atau ke bawah!”

“Baiklah! Mari kita lakukan!” Pek-kui mengangguk.

A Liong membiarkan lawan-lawannya berbicara. Dia tetap tenang saja di tempatnya. Bibirnya justru tersenyum. “Sudah selesai berunding? Ayolah...!”

Sikap pemuda itu benar-benar membakar hati Lok-kui-tin. Mereka segera menyusun barisan dan menyatukan kekuatan mereka. Mereka harus melawan tenaga A Liong secara bersama-sama. Mereka harus melawan pemuda itu sebagai kesatuan, bukan sebagai orang per orang.

“Kalian benar-benar cerdik. Begitu melihat, kalian segera tahu kelemahan dan jalan keluarnya. Bagus sekali. Tampaknya pertempuran ini memang akan berlangsung lama. Tapi akan kita lihat, siapa di antara kita yang lebih dulu membuat kesalahan.” Selesai bicara A Liong menyabetkan pisaunya. Seleret sinar putih melecut seperti cambuk ke arah lawan-lawannya.

“Siiing...!” Lok-kui-tin merunduk berbareng sambil bersama-sama menyilangkan senjata mereka di atas kepala. Gerakan mereka begitu serempak dan indah sehingga senjata itu membentuk deretan tangga yang panjang.

“Traaaaang!” Sinar putih itu mengenai deretan Pisau yang disusun oleh Lok-kui-tin dan memantul ke samping. Celakanya, pantulan sinar itu menyambar dan mengenai beberapa pendekar persilatan di dekat mereka. Orang-orang itu menjerit kesakitan, sebelum akhirnya jatuh dengan kulit terkelupas bagai dibelah senjata tajam.

A Liong terkejut. Dia tak menduga kalau serangannya akan melukai kawan sendiri. “Ah! Mereka memang cerdik sekali.! Aku benar-benar ceroboh! Aku terlalu meremehkan mereka.” A Liong menyesal.

Lok-kui-tin benar-benar puas, mereka dapat menjinakkan ilmu pedang A Liong yang aneh. Bahkan mereka dapat memanfaatkannya pula. Sekarang justru mereka berenam yang balik menguasai arena. Sambil bertahan A Liong mencari jalan untuk menghadapi lawannya. Serangan Lok-kui-tin yang bertubi-tubi hanya ia hindari dan ia punahkan sebelum mengenai tubuhnya.

Namun karena serangan itu datang tanpa henti, maka sekali dua kali terpaksa harus ditahan dengan kekuatan pula. Dan akibatnya memang mengejutkan. Karena tenaga yang dilontarkan oleh Lok-kui-tin itu merupakan tenaga gabungan, maka kekuatannyapun bukan main hebatnya. Berbenturan dengan tenaga A Liong ternyata membuat kedua belah pihak merasakan akibatnya. Masing-masing tergetar mundur ke belakang.

Hek-kui dan Pek-kui terlongong-Iongong di tempatnya. Keduanya hampir tidak percaya melihat hasil benturan itu. “Gila! Tenaga dalam pemuda itu masih selapis lebih tinggi dibandingkan tenaga gabungan kita! Benar-benar tidak masuk akal.” Demikianlah, Lok-kui-tin semakin berhati-hati menghadapi A Liong.

Sebaliknya A Liong sendiri juga tidak berani berlaku ceroboh terhadap mereka. Masing-masing tak ingin mencelakai kawan sendiri. Sementara itu Souw Hong Lam telah meletakkan tubuh Tio Ciu In di dekat Yap Kim dan Liu Wan Ti. Tio Ciu In semakin kelihatan lemah dan menderita. Punggungnya telah basah oleh darah yang terus mengalir dari lukanya.

“Saudara Souw...? Tolong, ambilkan obat luka di dalam bungkusanku! Berikan kepada Nona Tio agar darahnya segera berhenti mengalir.” Tabib Ciok atau Liu Wan atau Pangeran Liu Wan Ti itu berkata kepada Souw Hong Lam.

“Aku? Nona Tio...?” Pemuda ganteng itu mengerutkan dahinya seraya mengawasi Tio Ciu In dan Pangeran Liu Wan Ti berganti-ganti. Wajahnya kelihatan bingung.

Tio Ciu In tersenyum dan mengangguk. “Benar apa yang dikatakan Pangeran Liu Wan Ti. Aku yang rendah bernama Tio Ciu In. Terima kasih atas pertolongan Souw Taihiap.”

“Haaah...? Pangeran Liu Wan Ti? Siapa yang... Lhoh, kau...? Kenapa kumis dan jenggotmu, Ciok Lo... eh!”

Souw Hong Lam kelihatan bingung sekali. Semula dia mengira berhadapan dengan Tabib Ciok, tetapi ternyata bukan. Orang yang berdandan seperti Tabib Ciok itu ternyata tidak memiliki kumis dan jenggot. Wajahnya juga tidak tua dan keriput seperti biasanya. Wajah itu masih kelihatan muda dan tampan.

“Dia memang Pangeran Mahkota Liu Wan Ti yang hilang hampir sepuluh tahun lalu, Anak Muda. Nah, kini lakukan dulu perintahnya! Ambilkan obat yang ada di dalarn bungkusan itu.”

“Ya, ya, ya, Tai-Ciangkun!” Souw Hong Lam memandang Panglima Yap Kim yang terduduk lemah tak berdaya. Namun sebelum pemuda itu bergerak, Mo Hou sudah berdiri di depannya.

“Tak perlu bersusah-susah lagi! Bersiap sajalah untuk mati!” Hardik pemuda itu sambil mengayunkan kipasnya. Souw Hong Lam terbelalak. Namun dia tidak segera menghindar. Dia hanya memutar atau membalikkan tubuhnya saja, sehingga kipas itu menghunjam telak ke arah punggungnya.

“Mampus... Kau!” Mo Hou menggeram.

“Souw-heng...!” Pangeran Liu Wan Ti berdesah khawatir.

Duuk! Ujung kipas itu menghantam punggung Souw Hong Lam dan melemparkannya ke tanah. Kebetulan pemuda itu jatuh di dekat bungkusan Liu Wan Ti, sehingga kesempatan tersebut dia pergunakan sebaik-baiknya. Obat yang dimaksud segera ia keluarkan dan ia lemparkan kepada Tio Ciu In. Mo Hou terkesiap. Ujung kipasnya seperti menggores benda keras. Dan lawannya sama sekali tidak mati atau terluka seperti kehendaknya. Pemuda ganteng itu hanya tersungkur. Bahkan masih dapat bergerak dengan lincah seolah- olah tidak terjadi sesuatu.

“Hmm, kau...? Kau dapat menahan tajamnya kipasku?”

“Kenapa tidak? Kukira kipasmu tidak setajam mata pedang!” Souw Hong Lam menjawab sambil mengebutkan debu yang mengotori jubah panjangnya.

Tiba-tiba Mo Hou menyeringai. “Ah, aku tahu. Kau keturunan Keluarga Souw dan kini mengenakan mantel hitam panjang... kau tentu mengenakan mantel pusaka warisan Bit-bo-ong itu, bukan?”

Souw Hong Lam tidak menjawab. Kedua tangannya bersilang di depan dada, siap untuk menyerang Mo Hou. Asap putih dan merah tampak mengepul di atas kepalanya. Mo Hou tersenyum. Sama sekali tidak ada kesan khawatir atau takut di wajahnya. Baginya, Souw Hong Lam bukan lawan yang perlu diperhitungkan. Dari rumah ia telah dibekali berbagai macam kiat untuk mengalahkan ilmu silat Tionggoan. Termasuk juga ilmu silat Keluarga Souw.

Jangankan cuma Souw Hong Lam, melawan Hong-gi-hiap Souw Thian Haipun dia tidak takut. Ketika asap di atas kepala Souw Hong Lam itu semakin tebal, Mo Hou tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Kipas itu justru ia masukkan ke dalam saku, kemudian dengan tangan kosong dia menerjang ke depan. Kedua tangannya mencakar wajah Souw Hong Lam.

Souw Hong Lam tidak berani beradu tangan. Dia sadar bahwa Iweekangnya masih kalah jauh dibandingkan lawannya. Dari pukulan kipas di punggungnya tadi dia sudah dapat menyelami kekuatan lawan. Dia memilih jalan lain, yaitu mengelak ke samping sambil memukul pinggang Mo Hou. Dan pukulan tersebut hanya pancingan saja, karena pukulan sebenarnya akan ia susulkan kemudian.

Tapi Mo Hou adalah seorang jago silat yang cerdik dan berbakat sekali. Dalam hal tipu muslihat dan kelicikan, rasanya tidak ada orang lain yang mampu melebihi dia. Pukulan pancingan itu ternyata ia biarkan saja mengenai pinggangnya, sehingga Souw Hong Lam justru menjadi bingung sendiri.

“Anak Muda, awas...!” Yap Kim yang sudah tidak berdaya itu berteriak lemah.

Souw Hong Lam berusaha menarik kembali pukulannya. Kakinya melangkah ke samping, lalu berputar menjauhi lawannya. Sambil bergerak jari telunjuk kirinya terayun ke depan! Cus! Seleret sinar merah menusuk ke arah punggung Mo Hou!

“Bless!” Sinar itu menghunjam telak ke punggung Mo Hou! Begitu kuatnya sehingga sinar itu tembus melewati dada. Tapi sungguh mengherankan. Luka itu sama sekali tidak mengeluarkan darah. Bahkan tubuh itu sama sekali tidak ambruk atau kesakitan. Sebaliknya putera Raja Mo Tan itu justru tertawa gembira. Suaranya terdengar dimana-mana, karena suara itu tidak cuma keluar dari mulutnya, tapi juga keluar dari mulut tujuh Mo Hou yang lain, yang tiba-tiba telah berdiri di sekitar arena.

Yap Kim, Lu Wan Ti dan Tio Ciu In mengeluh. Mereka tidak mempunyai harapan lagi. Melawan satu orang Mo Hou saja sudah sulit, apalagi harus melawan delapan orang sekaligus. Benar juga. Baru beberapa jurus saja Souw Hong Lam sudah kebingungan menghadapi lawannya. Totokan Tai-kek Sin-ciangnya benar-benar tidak berguna menghadapi bayangan-bayangan semu itu. Beberapa kali totokan jarinya mengenai bayangan Mo Hou palsu, sehingga tenaganya banyak terbuang sia-sia.

“Hmmm, sebentar lagi tenagamu habis. kau tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi kepadaku.” Mo Hou mengejek.

Beberapa buah pukulan mendarat di tubuh Souw Hong Lam, membuat pemuda itu jatuh bangun di atas tanah. Membuat pakaian pemuda ganteng itu menjadi lepas dan kedodoran. Bahkan debu dan tanah membuat wajahnya yang ganteng itu berlepotan tidak keruan. Akhirnya ketika topi yang melekat di kepala Souw Hong Lam itu copot diterjang angin pukulan Mo Hou, semua orang yang melihatnya terkejut. Rambut yang hitam panjang tiba-tiba terurai lepas menutupi sebagian pundak dan punggung pemuda ganteng itu.

“Eh, saudara Souw... jadi kau ini?” Liu Wan Ti berdesah perlahan. Matanya terbelalak.

Souw Hong Lam palsu yang tidak lain adalah Souw Giok Hong, puteri Hong-gi-hiap Souw Thian Hai, menjadi merah mukanya. Sambil tersenyum malu gadis itu membersihkan alis buatan dan semua kotoran yang menempel di wajahnya. Dan beberapa saat kemudian wajahnya yang cantik bak bidadari itu membuat terpesona semua orang.

“Aah!” Tak terasa Pangeran Liu Wan Ti menelan ludahnya.

“Bukan main! Sungguh tak kusangka hari ini aku dapat bertemu dengan banyak anak muda berkepandaian tinggi! Aku benar-benar sudah ketinggalan zaman.” Panglima Yap Kim berdesah panjang.

Orang yang tidak peduli akan perubahan itu hanya Mo Hou. Delapan sosok bayangan kembarnya masih tetap bersiaga penuh di sekitar mereka. Wajahnya tampak puas dan berseri ketika melihat pasukan Hun dapat menguasai seluruh arena.

“Nona! Kalau kau benar-benar dari keluarga Souw, kau tentu puteri kedua Hong-gi-hiap Souw Thian Hai.” Yap Kim berkata.

“Benar, Yap Tai-Ciangkun. Aku memang Souw Giok Hong, puteri kedua Souw Thian Hai.”

“Dimana ayahmu sekarang? Apakah dia juga datang kemari?”

Wajah cantik itu tertunduk sebentar. Ketika kemudian wajah itu terangkat kembali dan siap untuk menjawab, tiba-tiba terdengar suara Mo Hou membentak,

“Diam! Kubunuh kalian semua...!” Dua diantara delapan bayangan kembar itu segera meloncat dan menyerang Souw Giok Hong.

Sementara empat bayangan lainnya mendekati Pangeran Liu Wan Ti, Tio Cu In dan Panglima Yap Kim. Sisanya, dua bayangan, masih tetap berdiri tegak mengawasi keadaan. Situasi memang sangat gawat bagi pasukan para pendekar dan bekas Panglima Yap Kim. Lawan mereka kali ini memang sangat kuat. Selain kalah banyak, pasukan asing yang dipimpin oleh Mo Hou itu memang lebih berpengalaman dalam perang besar.

Tampaknya keinginan para pendekar untuk membebaskan Panglima Yap Kim gagal total. Bahkan mereka sendiri sekarang berada dalam kesulitan besar. Ternyata ilmu silat tinggi saja tidak dapat menjamin untuk menang perang. Rombongan Kwe Tek Hun dengan para pengemis Tiat-tung Kai-pang, sudah tercerai-berai. Korban sudah tidak terhitung lagi. Para pendekar persilatan yang lain juga sama saja keadaannya.

Bersama-sama dengan para prajurit penjaga benteng yang membelot, mereka mencoba bertahan sedapat mungkin. Mereka memanfaatkan lorong-lorong bangunan yang lebih mereka kenal untuk main petak-umpet. Api berkobar dimana-mana. Pasukan Hun telah membakar apa saja untuk memburu lawannya. Mereka benar-benar menjadi brutal setelah merasa menang. Watak asli mereka sebagai bangsa barbar tak dapat dikendalikan lagi. Benteng itu benar-benar menjadi tempat pembantaian sadis.

Rombongan Souw Thian Hai, Kwe Tiong Li, serta para jago silat ternama lainnya, masih tetap mengamuk di arena masing-masing. Kesaktian mereka memang membuat pasukan Hun kewalahan. Tetapi dalam perang besar seperti itu mereka tetap tidak bisa berbuat apa-apa untuk memenangkan pertempuran. Mereka hanyalah beberapa tetes air diantara api yang berkobar di medan pertempuran.

Matahari mulai membakar atap benteng itu. Panasnya menambah, gerah hati manusia-manusia haus darah, yang kini saling bunuh diantara mereka sendiri. Perang memang membuat manusia kehilangan harkat hidupnya sebagai manusia. Perang menghilangkan peradaban manusia sendiri.

Sementara itu Panglima Yap Kim dan rombongannya tinggal menantikan saat-saat kematian mereka pula. Mereka tidak mungkin lagi menyelamatkan diri. Apalagi sekarang tinggal Souw Giok Hong sendiri yang mampu melawan. Tapi mana mungkin Souw Giok Hong melawan ilmu sihir Mo Hou? Tai-kek Sin-ciang dan Tai-lek Pek-kong-ciang andalan keluarga Souw, hampir tak ada gunanya melawan bentuk-bentuk semu itu. Bayangan itu sama sekali tidak dapat disentuh, apalagi diserang. Tapi sebaliknya bayangan itu mampu menyerang dan melukai Souw Giok Hong.

“Rahasianya hanya pada bentuk asli orang ini. Kalau aku bisa menyerang yang asli, dia pasti dapat kukalahkan. Tapi bagaimana aku dapat memilih, mana diantara mereka yang asli? Semuanya tampak sama, bahkan seperti hidup sendiri-sendiri.” Souw Giok Hong berkata hampir putus asa.

Mo Hou memang pemuda pilihan. Bertulang baik. Dalam usia yang masih amat muda ia telah memiliki ilmu silat sangat tinggi. Bakat dan kemampuannya lebih baik daripada kebanyakan orang. Bahkan lebih baik dari Pangeran Liu Wan Ti, Kwe Tek Hun, Souw Giok Hong, Tio Ciu In atau lainnya. Selain itu ia masih juga beruntung mendapatkan guru yang baik. Kalau diperbandingkan, mungkin cuma A Liong atau Chin Tong Sia yang setara dengan bakat Mo Hou.

Hanya saja, karena ilmu yang mereka pelajari tidak sama, maka hasil yang mereka dapatkan juga tidak sama pula. Mereka memiliki kelebihan dan keistimewaan sendiri. Selain itu, dalam perjalanan hidup mereka, masing-masing juga memiliki suratan nasib serta keberuntungan yang berbeda pula, sehingga akhirnya ilmu yang mereka miliki juga tidak sama pula tingginya.

A Liong sejak kecil mempunyai benjolan aneh di bawah pusarnya. Benjolan yang entah berisi apa dan dari mana datangnya, namun yang jelas benjolan sebesar telor ayam itu mempunyai khasiat menguatkan tubuh dan melipat gandakan tenaga dalam. Dan keberuntungan seperti itu jelas tidak diperoleh Mo Hou maupun Chin Tong Sia.

Sedangkan Mo Hou, meskipun tidak seberuntung A Liong, tapi dia mendapatkan seorang guru yang memiliki ilmu silat sangat langka. Selain perguruan Soa-hu-pai itu sudah berusia ribuan tahun, ilmu silatnya juga berakar pada ilmu sihir. Oleh karena itu dapat dimaklumi kalau Soa-hu-pai memiliki beberapa kelebihan dibandingkan Beng-kauw atau aliran silat lainnya.

Sementara itu ilmu silat Beng-kauw adalah ilmu silat murni dan usianya belum setua Soa-hu-pai. Kelebihan Soa-hu-pai hanya terletak pada ilmu sihirnya. Oleh karena itu untuk menghadapi ilmu silat Soa-hu-pai, orang harus bisa mengatasi ilmu sihirnya dulu. Sebelum kekuatan sihir itu hilang, maka pertempuran dengan orang Soa-hu-pai boleh dikatakan berat sebelah.

Maka dapat dimaklumi kalau akhirnya pertempuran antara Souw Giok Hong melawan Mo Hou itu dimenangkan oleh Mo Hou. Seperti halnya ilmu silat aliran Beng-kauw, ilmu silat keluarga Souw adalah ilmu silat murni. Dan celakanya, tingkat kepandaian Souw Giok Hong sekarang juga belum mencapai tingkat yang tertinggi, sehingga dia juga belum tahu cara yang baik untuk mengatasi ilmu sihir tersebut.

Dua sosok bayangan Mo Hou itu mengurung dan mendesak Souw Giok Hong. Karena bayangan itu hanya bentuk semu, maka tidak dapat disentuh maupun dilukai. Sebaliknya, dengan kehebatan tenaga dalam pemiliknya, dua sosok bayangan itu dapat menyerang dan melukai Souw Giok Hong. Sementara itu empat bayangan Mo Hou lainnya, terus melangkah mendekati Yap Kim bertiga. Bentuk-bentuk semu itu siap menghabisi mereka.

“Pangeran...! Tampaknya kita tidak dapat mengelak lagi! Sebaiknya kita gabungkan kekuatan kita untuk menyongsong mereka. Lebih baik mati sebagai kesatria, daripada mati seperti binatang yang akan disembelih!” Yap Kim berbisik.

“Benar, Ciangkun...” Keempat bayangan itu mengangkat tangannya. Terdengar suara gemeretak tulang dan otot mereka. Namun sebelum tangan itu melayang, tiba-tiba terdengar suara teriakan Chin Tong Sia.

“Tunggu...!” Pemuda itu melenting dan berjungkir balik di atas kepala para prajurit, kemudian berdiri di depan mereka. Dan air muka pemuda itu segera berubah melihat lawan yang ada di depannya. Selain sudah mengenal wajahnya, dia melihat wajah itu tidak hanya satu, tapi empat sekaligus. “Gila...!” Chin Tong Sia mengumpat.

“Saudara Chin, awas... dia itu putera Raja Mo Tan. Dia mahir ilmu sihir.” Pangeran Liu Wan Ti memberi peringatan.

Chin Tong Sia menoleh. Air mukanya semakin keruh menyaksikan dandanan Pangeran Liu Wan Ti. Dia mengenal suara dan dandanan itu, tapi tidak mengenal orangnya. Pangeran Liu Wan Ti menyeringai menahan sakit.

“Ah, saudara Chin, maafkan aku. Aku... tabib Ciok. Maksudku, aku menyamar sebagai tabib. Aku menyamar untuk mencari Panglima Yap Kim! Dan aku... aku telah menemukan orang yang kucari itu. Lihat, dia ada di sini!”

Chin Tong Sia tertegun, kemudian memandang bekas panglima yang sangat ia hormati itu. Kepalanya mengangguk, namun mulutnya masih terkunci. Tiba-tiba Panglima Yap Kim beringsut ke depan. Tubuhnya masih sangat lemah. Sambil menunjuk Liu Wan Ti ia berbisik,

“Anak muda, ketahuilah...! Dia ini sebenarnya adalah Pangeran Mahkota Liu Wan Ti!”

Sekali lagi Chin Tong Sia terkejut. “Pangeran Liu Wan Ti? Tapi kata orang Pangeran Liu Wan Ti berada di perbatasan? Beliau berada di Benteng Kongsun Goanswe. Kurasa... ciok Locianpwe sendiri yang mengatakan hal itu.”

Liu Wan Ti menghela napas. “Saudara Chin, panjang ceritanya. Akan kuceritakan nanti.”

Pembicaraan mereka terhenti, karena empat sosok Mo Hou itu tiba-tiba membentak Chin Tong Sia, “Jadi kau dapat meloloskan diri dari penjara bawah tanah itu, heh? Siapa yang menolongmu-? Hong-gi-hiap Souw Thian Hai...?”

“Benar. Tunggulah sebentar lagi. Pendekar itu akan sampai di sini. Dia sedang membersihkan orang-orangmu yang berusaha merintangi jalannya.”

“Bagus. Kalau begitu aku tidak perlu mencarinya!” Keempat bayangan Mo Hou itu lalu menerjang Chin Tong Sia. Masing-masing menyerang dari arah berbeda, seakan-akan mereka itu memang hidup sendiri-sendiri.

Dan seperti dugaan Chin Tong Sia, tenaga dalam Mo Hou memang selapis lebih tinggi daripada tenaga dalamnya, sehingga dia harus berhati-hati. Chin Tong Sia lalu melompat ke samping. Dari tempatnya berdiri ia melihat pertempuran lain di dekatnya. Dan ia benar-benar kaget ketika melihat beberapa orang Mo Hou lain di arena itu. Beberapa orang Mo Hou lain itu sedang mendesak gadis berwajah ayu.

Otak cerdas Chin Tong Sia segera melihat dan meyimpulkan keanehan itu. Untuk mengalahkan semua bentuk semu itu, dia harus tahu dulu mana yang asli. Dan untuk mencari yang asli, semua bentuk semu itu harus dikumpulkan dan tidak boleh ada yang bersembunyi. Demikianlah, karena ingin memilih sosok Mo Hou yang asli, maka Chin Tong Sia segera bergeser mendekati arena pertempuran gadis ayu itu.

Dan seperti yang ia inginkan, empat bayangan itu terus memburunya pula. Maka di lain saat mereka telah berbaur dalam arena pertempuran Souw Giok Hong. Chin Tong Sia berdiri di sebelah Souw Giok Hong, sementara delapan sosok bayangan Mo Hou itu menebar di sekeliling mereka.

“Hei, saudara Chin! Akhirnya kau datang juga...!” Souw Giok Hong menyapa dengan lega begitu melihat Chin Tong Sia.

Tentu saja Chin Tong Sia bingung. Dia tak mengenal wajah Souw Giok Hong. Dia tak tahu kalau Souw Giok Hong adalah Souw Hong Lam. Souw Giok Hong segera menyadari kekeliruannya. Sambil bertempur dia lalu bercerita tentang dirinya.

“Ah, jadi kau ini puteri Souw Taihiap. Kalau begitu malah kebetulan sekali. Sebentar lagi Souw Taihiap dan isterinya akan datang. Dia ingin berjumpa dengan Souw Hong Lam.”

“Ayah-ibuku juga datang?” Gadis itu tidak dapat menyembunyikan kegembiraannya. Demikianlah, Souw Giok Hong lalu bertempur berpasangan dengan Chin Tong Sia, sehingga delapan bayangan Mo Hou itu harus bekerja keras menghadapi mereka.

Chin Tong Sia bergeser mendekati Giok Hong, lalu berbisik, “Nona Souw, suhengku pernah mengatakan bahwa manusia-manusia tiruan ini dikendalikan oleh yang asli. Semakin tinggi tenaga dalam pemiliknya, maka semakin dahsyat pula kekuatan mereka. Untuk mengalahkan mereka, kita harus dapat mengetahui yang asli.”

Souw Giok Hong memandang Chin Tong Sia, lalu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menjawab dengan suara lirih pula, “Aku tahu. Tapi bagaimana caranya?”

“Sebenarnya mudah, tapi sulit melakukannya. Pertama-tama kita harus dapat melacak sumber tenaga yang menggerakkan boneka-boneka ini. Caranya, setiap kali mereka bergerak dan menyalurkan tenaga, kita lihat dan kita rasakan. Kita lihat, siapa diantara mereka itu yang menjadi sumbernya, yang menyalurkan tenaganya kepada yang lain. Getaran tenaga itu yang harus kita lacak. Memang sulit, karena orang itu akan selalu berusaha mengacaukan indera kita.”

“Suhengmu benar. Memang sulit melakukannya. Apalagi mereka berjumlah delapan, sementara kita hanya berdua. Kita bertahan saja sudah sulit, apalagi harus melacak sumber tenaga mereka. Belum sampai ketemu, kita sudah mati duluan.”

“Ah, jangan patah semangat dulu. Kita belum mencobanya. Ayo, sekarang lindungi saja aku. Akulah yang akan melacak sumbernya.”

“Baiklah,” Souw Giok Hong menarik napas panjang. Keduanya lalu berdiri berendeng. Ketika salah satu dari Mo Hou itu menyerang, Souw Giok Hong cepat melangkah ke depan melindungi Chin Tong Sia. Dibiarkannya pemuda itu mencari Mo Hou asli.

Tapi delapan orang Mo Hou itu terus saja bergerak ke sana kemari. Bagai kawanan burung elang yang mengincar anak ayam, mereka menyambar-nyambar dari segala jurusan. Souw Giok Hong terpaksa jatuh bangun melindungi Chin Tong Sia.

“Bagaimana, saudara Chin? Belum kau dapatkan?”

“Wah, sulit sekali! Setiap kali kutemukan, mereka cepat bergeser dan berbaur lagi.”

Ternyata Mo Hou mengetahui maksud Chin Tong Sia dan Souw Giok Hong. Buktinya pemuda itu. lalu meningkatkan serangannya. Delapan sosok bayangannya menyerang habis-habisan, sehingga Chin Tong Sia dan Souw Giok Hong menjadi kalang-kabut mempertahankan diri. Keinginan Chin Tong Sia untuk mencari Mo Hou asli, tidak dapat terlaksana.

Pat-sian ih-hoat memang terlalu sulit untuk dilawan. Ilmu silat bercampur ilmu sihir itu tidak mungkin dihadapi dengan ilmu silat biasa. Untunglah Souw Giok Hong mengenakan mantel pusaka dan Chin Tong Sia mahir Cuo-mo-ciang. Walaupun kalah, tapi setiap kali terjepit masih dapat meloloskan diri.

“Sayang sekali suhengku tidak ada di sini. Kalau ada dia... Hm, orang ini sudah lari terbirit-birit sejak tadi.” Chin Tong Sia bergumam dengan suara dongkol. Begitu ingat suhengnya, gerak-gerik Chin Tong Sia tiba-tiba berubah linglung. Mulutnya melantunkan pantun sekenanya. Suaranya sumbang dan sama sekali tidak enak untuk didengar. "Kalau saja burung gagak itu datang padaku, Matahari pun terpaksa sembunyi."

“Saudara Chin, kau...?” Souw Giok Hong kaget.

Tapi Chin Tong Sia tidak peduli. Sambil bergumam tak jelas pemuda itu menyerang lawan yang berada di depannya. Wajahnya kelihatan keras dan kaku. Pukulannya juga kuat mengejutkan! Demikianlah, walau terdesak dan tak bisa berbuat apa-apa lagi, tapi Chin Tong Sia dan Souw Giok Hong tetap melawan dengan gigih. Mereka mencoba bertahan dengan berpasangan. Masing-masing saling membantu dan saling melindungi.

Tapi bagaimanapun juga delapan bayangan Mo Hou itu terlalu berat bagi mereka. Seorang Mo Hou saja sudah sulit dilawan, apalagi sampai delapan orang. Maka dapat dimaklumi kalau akhirnya mereka menjadi bulan-bulanan serangan Mo Hou. Karena marah dan kesal Chin Tong Sia mengumpat dan memaki sambil bernyanyi. Gerakannya juga semakin ngawur ternyata pemuda itu justru semakin berbahaya. Tampaknya saja ngawur, tapi ternyata gerakannya semakin sulit diduga. Seringkali pertahanannya juga terbuka dan tak terjaga. Namun anehnya, pukulan lawan justru sulit sekali mengenainya.

"Babi, monyet,... kerbau sialan. Tahu ada ekor, tetap saja mencari. Dasar binatang bodoh!"

Tentu saja Souw Giok Hong yang belum tahu adat kebiasaan Chin Tong Sia menjadi bingung dan risih. Bingung karena mendadak Chin Tong Sia berlagak seperti orang tidak waras. Risih, karena pemuda itu mengucapkan kata-kata kasar di depannya. Tapi seperti halnya Chin Tong Sia, Souw. Giok Hong tidak punya banyak waktu untuk berpikir.

Gempuran Mo Hou benar-benar membuatnya putus asa. Beberapa kali pukulan dan tendangan Mo Hou mengenai tubuhnya. Untung saja mantel pusaka itu melindunginya. Walau sakit, tapi tidak sampai melukai bagian dalam tubuhnya. Sebuah tendangan juga tidak bisa dihindari Chin Tong Sia. Begitu kerasnya sehingga Chin Tong Sia terlempar menabrak tembok bangunan. Rasanya seluruh bangunan itu ikut bergoyang.

“Aduh! Monyet gundul menampung air. Sahabat dekat menggali kubur. Monyet tua sialan...!” Sambil berteriak kesakitan Chin Tong Sia berpantun. Sebuah pantun konyol yang diteriakkan sesukanya. Tapi dalam keributan itu tiba-tiba terdengar suara pantun lain. Serangkai pantun yang dinyanyikan dengan suara lebih sumbang dan lebih jelek, tapi dengan dorongan kekuatan tenaga dalam yang menggetarkan hati.

“Monyet mati belum tentu jadi mayat. Apa gunanya menampung air? Bila sahabat tidak putus asa. Apa gunanya menggali kubur?”

Ketika orang berpantun itu tiba-tiba muncul di arena, Mo Hou benar-benar kaget setengah mati. Penyanyi bersuara jelek itu tidak lain adalah Put-pai-siu Hong-jin, manusia bertampang jelek yang dulu melukainya. “Kau lagi...!” Pemuda itu menggeram marah.

Seperti orang tidak bersalah Put-pai-siu Hong-jin tertawa terkekeh-kekeh. Entah apa sebabnya, kali ini dia datang tanpa baju, sehingga tulang-tulangnya yang kurus itu menonjol kesana-kemari. Wajahnya yang buruk itu sangat mengerikan, sehingga Souw Giok Hong tidak berani menatapnya lama-lama. Sebaliknya Chin Tong Sia kelihatan gembira dan berseri-seri.

“Nona Souw, inilah... suhengku. Dia benar-benar datang!”

Souw Giok Hong berusaha tersenyum. Namun senyumnya segera hilang dan berubah kecut ketika Put-pai-siu Hong-jin tertawa kepadanya. Lobang mulut yang lebar itu sama sekali tidak ada giginya, kosong melompong.

“Waduh, temanmu cantik sekali...!”

“Suheng, jangan macam-macam!” Chin Tong Sia membentak.

“Baiklah. Aku tidak akan mengganggunya. Sekarang pergilah kau membantu teman-temanmu itu! Serahkan saja anak penyihir ini kepadaku. Akan kuajak dia main sihir-sihiran, heh-heh-heh.”

Chin Tong Sia mengerutkan dahinya. “Suheng, kau juga mempunyai ilmu sihir?”

Put-pai-siu Hong-jin tertawa terkekeh-kekeh. “Konyol kau! Siapa bilang aku bisa ilmu sihir? Ilmu bohong-bohongan, itu tidak ada gunanya untuk dipelajari.”

Mo Hou benar-benar marah sekali, begitu geramnya dia, sehingga semua bentuk kembarannya berteriak bersama-sama, lalu menerjang Put-pai-siu Hong-jin. “Monyet ompong! Kubunuh kau!”

Delapan orang Mo Hou itu menggempur Put-pai-siu Hong-jin dari empat penjuru. Tidak sesosok bayanganpun yang peduli pada Chin Tong Sia dan Souw Giok Hong lagi. Sehingga kesempatan itu dipergunakan pula oleh mereka untuk meloloskan diri dari tempat itu. Mereka menyelinap kembali ke tempat Pangeran Liu Wan Ti berada. Namun baru beberapa langkah mereka berjalan, sesosok bayangan telah berdiri bertolak pinggang di depan mereka. Seorang gadis cantik bermata liar dan ganas yang tidak lain adalah Mo Goat atau Tiau Hek Hoa!

“Saudara Chin, awaaas... dia Tiau Hek Hoa! Pengkhianat itu!” Souw Giok Hong yang amat mengenal Tiau Hek Hoa itu menjerit.

“Jadi kau gadis bermuka hitam itu, heh?” Chin Tong Sia yang telah dikhianati oleh Mo Goat itu membentak marah.

“Bocah bodoh...! Memang benar aku! Mau apa?”

“Huh! Sudah kuduga bahwa kau seorang pengkhianat! Menjebloskan aku ke dalam perangkap! Lalu kembali ke rombongan dan membohongi mereka! Sungguh licik!” Chin Tong Sia berseru marah.

“Biar saja! Aku adalah puteri Raja Mo Tan, yang mendapat tugas untuk mencari dan membunuh bekas Panglima Yap Kim! Aku melakukan apa saja untuk melaksanakan tugas itu. Dan ternyata aku berhasil mendapatkan buruanku itu. Nah, kalian mau apa? Mau menghalangi aku? Huh! Jangan harap! Lihat saja sekelilingmu! Pasukanku telah menguasai benteng ini!” Selesai bicara gadis itu mengerahkan tenaga dalamnya, kemudian memecah diri menjadi empat bayangan. Dan bayangan itu segera bergeser ke samping untuk mengepung Chin Tong Sia dan Souw Giok Hong.

“Saudara Chin, hati-hati dengan senjata gelapnya! Gadis itu suka menggunakan racun!” Liu Wan Ti memberi peringatan.

Mo Goat menoleh. Dia segera mengenal wajah Liu Wan yang pernah berkelahi dengan dia di kota Hang-ciu lima tahun lalu. “Bagus. Sebenarnya aku sudah curiga padamu, karena aku pernah melihat ilmu pukulanmu. Kau bukan seorang tabib. Tapi aku tak menyangka kalau kau masih begini muda...”

“Adik Goat! Jangan lepaskan orang itu! Dia itu Liu Wan Ti! Putera Mahkota Han yang kita cari selama ini!” Tiba-tiba Mo Hou berteriak dari tempatnya begitu melihat kedatangan adiknya.

“Putera Mahkota? Wah, aku benar-benar terkecoh dalam beberapa hari ini! Aku sama sekali tidak mengenalnya walau sudah berkumpul berhari-hari!”

Chin Tong Sia dan Souw Giok Hong saling pandang. Ternyata terlepas dari mulut singa, mereka jatuh ke taring serigala pula. Puteri Raja Mo Tan itu tidak kalah berbahayanya daripada Mo Hou. Tio Ciu In yang duduk di sebelah Liu Wan Ti menjadi cemas pula. Dia teringat peristiwa lima tahun lalu, pada saat Mo Goat melukai Ku Iing San sehingga pemuda itu harus dipotong kakinya.

“Liu Toako, eh... pangeran Liu? Bagaimana ini. ?”

“Bagaimana dengan lukamu sendiri? Sudah lebih baik?” Pangeran Mahkota itu balik bertanya.

“Lumayan. Tapi aku belum berani mengerahkan tenaga dalam. Aku khawatir darahnya akan keluar lagi.”

Panglima Yap Kim menghela napas panjang. “Jangan dipaksa. Istirahat sajalah barang sebentar lagi. Aku juga sedang berusaha mengembalikan tenagaku. Aku sebenarnya tidak terluka. Aku hanya kehilangan tenaga karena tadi terlalu memaksa diri.”

Pangeran Liu Wan Ti mengangguk-angguk, lalu menatap Tio Ciu In kembali. Kenangan masa lalu kembali terbayang di depan matanya. Sungguh tidak diduga ia masih bisa berjumpa dengan gadis yang pernah merampas hatinya itu.

“Nona Tio, dimana saja kau selama Ini? Aku benar-benar tidak mengira bahwa kita bisa bertemu lagi. Pada waktu itu aku dan para tokoh Im-yang-kauw melihat sendiri gua yang runtuh itu. Kami semua berpendapat bahwa kau telah terkubur di gua itu. Apalagi kami menemukan sepatu dan ikat pinggangmu...” Liu Wan Ti berbisik perlahan. Tio Ciu In tertunduk dalam-dalam.

“Pendekar Buta itu menyelamatkan aku. Aku dibawa ke tempat tinggalnya dan diambil sebagai murid.” Selesai berkata gadis itu tiba-tiba tersentak. Dia ingat gurunya si Pendekar Buta, yang juga datang ke benteng ini bersamanya.

“Lalu dimana Pendekar Buta itu sekarang, Nona Tio?”

“Eh, dia... dia juga berada di benteng! Aku tidak tahu, dimana dia sekarang. Mungkin masih di dapur atau di gudang penyimpanan kayu bakar.”

“Dia? Dia ada di sini...?”

Sementara itu rombongan Souw Thian Hai masih berkutat dengan pasukan Bayan Tanu yang mengeroyok mereka. Walaupun pasukan pilihan itu tidak dapat mendekati mereka, namun Souw Thian Hai dan rombongannya juga tidak bisa mengalahkan barisan pengepung itu. Mereka bertempur sambil terus bergeser mendekati arena pertempuran Mo Hou dan Put-pai-siu Hong-jin. Souw Thian Hai berpasangan dengan isterinya, Chu Bwe Hong. Tio Siau In berpasangan dengan Yok Ting Ting.

Sedangkan Giam Pit Seng berpasangan dengan muridnya, Tan Sin Lun. Mereka berenam selalu menjaga jarak agar pasangan mereka tidak terpisah satu sama lain. Hanya dengan berpasangan mereka mampu bertahan dari kurungan lawan. Dua kelompok pasukan pilihan itu dipimpin oleh Bayan Tanu. Dibantu Ho Bing, Siang-kim-eng, Tiat-tou dan lain-lain. Dilihat dari segi ilmu silat, mereka itu memang bukan lawan Souw Thian Hai dan Tio Siau In.

Namun karena mereka dibantu oleh pasukan pilihan yang sudah dipersiapkan untuk menghadapi jago silat tinggi, maka mereka sangat sulit dikalahkan. Setiap kali terdesak atau mendapat bahaya, mereka selalu dilindungi barisannya. Ketika pertempuran itu terus bergeser maju dan akhirnya sampai di tempat Pangeran Liu Wan Ti berada, tiba-tiba Panglima Yap Kim bangkit berdiri. Bekas panglima itu segera mengenal Souw Thian Hai dan isterinya!

“Saudara Souw...! Souw Hujin! Selamat bertemu!” Ternyata tidak hanya bekas panglima itu saja yang gembira melihat kedatangan rombongan itu. Ternyata Tio Ciu In dan Souw Giok Hong juga gembira sekali.

“Suhu...! Siau In!”

“Ayah! Ibu...,!” Panggilan atau seruan itu benar-benar mengejutkan rombongan pendekar Souw Thian Hai. Bahkan Souw Thian Hai sendiri sampai lupa bahwa dia sedang berkelahi dengan Bayan Tanu. Dan kelengahan itu benar-benar dimanfaatkan oleh Bayan Tanu. Tombak rantainya menerobos pertahanan lawan dan melukai paha Souw Thian Hai.

“Souw Taihiap, awas...!” Giam Pit Seng berteriak. Tapi mata tombak itu sudah terlanjur mengenai sasarannya. Darah memancar dari luka itu, membuat Souw Thian Hai menyeringai kesakitan. Sekejap kaki kanan itu seperti lumpuh karena mata tombak itu tepat mengenai urat pokok.

“Aduuuh...!” Giam Pit Seng yang baru saja memberi peringatan itu tiba-tiba menjerit pula. Ternyata pedang Siang-kim-eng juga menerobos pertahanan Giam Pit Seng dan menyambar lengan pendekar itu. Sebuah goresan yang panjang dan dalam membuat lengan itu tidak bisa digerakkan lagi. Otomatis senjata pit yang dipegangnya terlepas.

Seperti berlumba Chu Bwe Hong dan Tang Sin Lun memberi pertolongan. Chu Bwe Hong menolong suaminya, sedangkan Tan Sin Lun menolong gurunya. Walau kaget mendengar suara panggilan kakaknya, namun Tio Siau In tidak mengurangi kewaspadaannya, sehingga rasa kaget itu tidak sampai mencelakakannya. Sambil berseru girang ia meloncat keluar arena. Dia berlari menuju ke arah Tio Ciu In.

Tapi jeritan Giam Pit Seng mengejutkan Tio Siu In. Sekejap pikirannya bingung. Siapa yang harus dia lihat lebih dulu? Gurunya yang berada dalam bahaya atau kakaknya yang sudah lima tahun berpisah? Akhirnya Tio Siau In berbalik kembali. Dia tidak bisa meninggalkan gurunya. Dengan pedang pendeknya dia menerjang Siang-kiam-eng.

“Cici, maaf! Aku akan menolong Suhu dulu!” Di pihak lain Souw Giok Hong tak dapat berbuat apa-apa melihat bahaya yang mengancam ayahnya. Dia dan Chin Tong Sia benar-benar tak berkutik menghadapi delapan bayangan Mo Hou. Dia hanya bisa melihat, bagaimana sibuknya ibunya bersama Yok Ting Ting menolong ayahnya.

Demikianlah situasi benar-benar buruk bagi pihak Pangeran Liu Wan Ti. Pasukan para pendekar yang bergabung dengan perajurit benteng itu tidak mampu bertahan lagi. Banyak diantara mereka yang tewas atau terluka. Bahkan banyak pula diantara mereka yang tertawan. Terompet kemenangan telah ditiup di segala tempat.

Matahari tepat di atas kepala. Akhirnya pertempuran usai juga. Panas matahari tidak menghalangi kegembiraan pasukan Hun. Mereka bersorak sambil membunyikan terompet dan tamburnya. Benteng itu telah mereka taklukkan dan mereka kuasai. Kalaupun masih ada pertempuran, maka pertempuran itu hanya pertempuran kecil, yaitu pertempuran beberapa tokoh persilatan yang dikepung prajurit Hun.

Walau tidak memiliki kawan lagi, tapi tokoh seperti Kwe Tiong Li, Kwe Tek Hun, Jing-bin Lokai dan lainnya lagi, masih tetap bertempur sekuat tenaga. Seperti halnya rombongan Souw Thian Hai, mereka tetap tidak mau menyerah. Pangeran Liu Wan Ti merasa sangat sedih. Walaupun serangan ke dalam benteng itu bukan rencananya, tapi kekalahan para pendekar persilatan tersebut benar-benar menyakitkan hatinya.

Rasanya ia ikut bersalah atas kejadian itu. Panglima Yap Kim juga menyesal sekali. Semua itu hanya karena dia. Dua kekuatan besar yang sama-sama menginginkan dirinya. Yang satu ingin membebaskan dia, sementara yang lain ingin membunuh dirinya. Dan ternyata kekuatan yang menginginkan kematiannya itu telah mengalahkan kekuatan yang hendak membebaskan dia. Yap Kim benar-benar sedih dan menyesal sekali.

Ratusan korban telah jatuh di kalangan pendekar persilatan. Mereka mati hanya karena mau membebaskan dirinya. Benar-benar suatu pengorbanan besar, pengorbanan yang sangat menyentuh jiwa dan semangatnya. Perasaan seperti itu menghinggapi pula hati Pangeran Liu Wan Ti. Pangeran itu tak kuasa menyembunyikan rasa sedihnya. Berkali-kali dia berdesah panjang.

“Ciangkun, apa yang harus kita lakukan sekarang? Para pendekar itu telah dikalahkan. Tinggal tokoh-tokohnya saja yang masih bertahan. Dan mereka juga akan tergilas oleh pasukan Hun,” Pangeran Liu Wan Ti mengeluh sedih.

Yap Kim tidak menjawab. Matanya menatap ke sekelilingnya. Dilihatnya A Liong, Souw Thian Hai, Giam Pit Seng, Put-pai-siu Hong-jin, Chin Tong Sia dan yang lain lagi. Semuanya bertempur dengan susah payah. Lawan mereka memang hebat. Pasukan dan jago yang dibawa Mo Hou memang benar-benar pilihan.

Karena tempat itu lebih tinggi dari tempat lain, maka Yap Kim juga dapat menyaksikan sisa-sisa pertempuran di sekitarnya. Ia masih melihat para tokoh Tiat-tung Kai-pang yang mati-matian bertahan dari kurungan pasukan Hun. Bahkan dengan ketajaman matanya ia juga dapat melihat sahabat lamanya, Kwe Tiong Li dan puteranya, berkelahi dengan gagah perkasa.

Keadaan mereka tidak kalah sulitnya dibandingkan tokoh-tokoh Tiat-tung Kai-pang. Barisan yang mengepung mereka terdiri dari empat lapis, yang secara bergantian menyerang mereka dari empat jurusan. Ketika pandangan Yap Kim bergeser ke selatan, tiba-tiba matanya terbelalak.

Lebih kurang seratus tombak jauhnya dari tempat itu, dia melihat keributan kecil diantara kerumunan pasukan Hun. Belasan orang prajurit Hun tampak beterbangan, terlempar ke kanan dan ke kiri, seolah-olah ada gajah mengamuk di tengah-tengah mereka.

Namun ketika kerumunan itu menyibak, bukan gajah yang muncul, tapi seorang lelaki berpakaian tukang kebun dengan topi lusuh di kepalanya. Orang itu melangkah perlahan, sambil sebentar-sebentar memasang telinganya. Wajahnya tidak dapat terlihat dengan jelas, karena rambut putih di bawah topi lusuh itu dibiarkan terurai lepas menutupi mukanya.

“Siapa dia...?” Tak terasa bibir Yap Kim itu bergumam.

“Ada apa, Panglima?” Pangeran Liu Wan Ti dan Tio Ciu In bertanya kaget.

“Ah, tidak. Aku... aku hanya sedih sekali. Begitu tulus perjuangan para pendekar itu, sehingga mereka lebih rela mati daripada menyerah kepada musuh. Lihatlah! Masih banyak pendekar yang tidak mau meninggalkan benteng ini walau perang sudah usai. Mereka memilih gugur daripada pulang menanggung malu.” Yap Kim menjawab hampir tidak terdengar...

Jilid selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.