Jodoh SI Naga Langit Jilid 01 karya Kho Ping Hoo - MAO-MAO-SAN (Gunung Mao-mao) menjulang tinggi sekitar empat meter dan puncaknya menembus awan. Gunung ini terletak di sebelah dalam Tembok Besar, di dekat perbatasan sebelah utara Propinsi Gan-su dan Mongolia Dalam.

Biarpun pegunungan ini terletak diperbatasan, namun pegunungan ini tidak sepi benar. Kota Tian-ju dan Gu-lang terletak di kakinya sebelah barat dan utara, sedangkan di kaki bagian timur terdapat kota Jing-tai.
Pegunungan ini mempunyai tanah yang subur, maka di kaki pegunungan dan di lereng-lereng bagian bawah terdapat banyak dusun pertanian di mana rakyat petani hidup cukup makmur, dalam arti kata tidak pernah kekurangan makan.
Akan tetapi di bagian lereng sebelah atas sampai ke puncak, Mao-mao-san jarang dikunjungi orang karena daerah ini penuh dengan hutan belantara yang dihuni banyak binatang buas. Para pemburu binatangpun hanya berani mencari untung sampai di lereng pertengahan saja.
Cerita tahyul beredar di kalangan rakyat petani bahwa di dekat puncak Mao-mao-san terdapat seekor naga siluman yang amat jahat. Kabarnya banyak pemburu yang berani naik lebih tinggi, lenyap tanpa meninggalkan jejak dan dikabarkan menjadi mangsa naga slluman. Semenjak cerita itu tersiar, tidak ada seorangpun pemburu berani naik mendaki lereng yang berada di pertengahan gunung.
Pagi itu hari di mulai dengan cuaca yang amat cerah. Matahari pagi bagai memuntahkan cahayanya, membangunkan segala sesuatu yang malas terbius malam dingin. Embun pagi membubung dari hutan-hutan kemudian lenyap dibakar sinar matahari yang mulai terasa hangat.
Burung-burung mulai sibuk, berkicau saling memberi salam, berloncatan dari dahan ke dahan, merontokkan embun yang tadinya tergantung di ujung-ujung daun-daunan. Mereka itu dengan riang gembira menyambut sinar matahari dan bersiap-siap melakukan pekerjaan mereka mencari makan.
Binatang-binatang hutan juga mulai meninggalkan sarang mereka untuk mencari makan bagi diri sendiri dan bagi anak-anak mereka. Bunga-bunga bermekaran. Kupu-kupu beterbangan. Awan putih tipis berbagai bentuk berarak di angkasa. Semua bekerja. Matahari, awan, pohon-pohon, bunga, embun, burung, kupu-kupu dan semua binatang hutan. Mereka semua mulai sibuk bekerja mencari makan.
Memang sesungguhnyalah. Hidup adalah gerak dan gerak yang paling baik dan bermanfaat adalah bekerja. Seluruh alam dan isinya tiada henti-hentinya bekerja. Kekuasaan Tuhan selalu bekerja, tak pernah berhenti sedetikpun juga. Kalau berhenti sedetik saja, akan kiamatlah dunia ini.
Dari lereng dekat puncak, masih di bawah awan, kita dapat melihat panorama yang teramat indah. Sukar dilukiskan kebesaran dan keindahan alam. Sawah ladang terbentang luas dibawah kaki kita. Di sana-sini tampak air berkilauan memantulkan sinar matahari seperti cermin-cermin.
Mata dapat menikmati pemandangan yang amat indah. Telinga juga dapat menikmati suara-suara merdu, kicau burung, desah angin di puncak-puncak pohon, gemercik air. Hidung juga dapat menikmati aroma yang amat segar, sedap dan alami.
Bau hutan, bunga, tanah basah, semua itu demikian dekat dan dikenal penciuman kita. Udara demikian sejuk segar, mengalir deras memenuhi paru-paru, membawa kesehatan dan kenyamanan perasaan. Indah dan nikmatnya hidup ini!
Di lereng bawah puncak yang amat sunyi itu dan yang hampir tidak pernah dikunjungi orang, pada pagi hari itu terjadi hal yang tidak seperti biasanya. Terdapat seorang laki-laki berjalan seorang dlri menuruni puncak. Laki-laki itu melangkah seperti di luar kesadarannya. Dia seolah bersatu dengan alam di sekitarnya, matanya melahap semua yang tampak, mata yang bersinar penuh bahagia, mulutnya tersenyum.
Pada saat seperti itu, dia seperti kehilangan jati dirinya karena sudah bersatu dengan alam. Dia adalah bagian dari pohon-pohon Itu, bagian dari ratusan burung yang terbang di angkasa, bagian dari sekumpulan kupu-kupu yang mencari madu diantara bunga-bunga, sebagian dari embun yang masih bergantung di ujung-ujung daun.
Dia berhenti melangkah. Di depannya terdapat sebuah jurang ternganga. Di bawah kaki nya, sinar matahari membentuk bayang-bayang memberi gairah kehidupan kepada segala sesuatu. Orang itu agaknya baru sadar akan dirinya dan diapun menghirup napas dalam-dalam sehingga dada dan perutnya mengembang.Seperti dengan sendirinya dia berdongak ke langit, dan mulutnya berbisik. "Terpujilah nama Yang Maha Kasih, yang menciptakan semua ini."
Dia lalu melangkah lagi, perlahan-lahan, dengan santai. Dia seorang lakl-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun. Rambutnya yang panjang digelung ke atas masih hitam semua. Wajahnya halus belum ada kerut tuanya. Sepasang matanya mencorong tajam namun lembut sekali. Hidungnya mancung dan mulutnya selalu tersenyum ramah dan penuh kesa-baran dan pengertian. Wajahnya berbentuk bulat dengan dagu meruncing.
Tubuhnya sedang saja, tampak lemah. Pakaiannya sederhana sekali, hanya sehelai kain panjang kuning yang dilibat-libatkan tubuhnya. Dia memakai sepatu kain tebal yang bawahnya dilapisi besi sehingga awet sekali. Di punggungnya tergendong sebuah buntalan kuning yang besar dan tampaknya berat.
Pria itu di waktu mudanya bernama Tiong Lee, seorang ahli sastra yang mendalami tentang pelajaran Khong-hu-cu, Lo-cu dan yang terakhir pelajaran Agama Buddha. Seperti telah menjadi kebudayaan Cina di waktu abad ke sebelas, ketiga agama ini berbaur dan filsafat tiga agama ini dipilih yang cocok untuk menjadi dasar kehidupan Cina.
Semenjak usia dua puluh lima tahun, Tiong Lee yang tertarik untuk mendalami pelajaran Agama Buddha, melakukan perjalanan ke India seperti pernah dilakukan oleh pendeta Hsuan Tsang pada abad ke tujuh. Di negara pusat Agama Buddha itu Tiong Lee mempelajari Agama Buddha secara mendalam, dan selain itu, dia mempelajari pula tentang ilmu Yoga dan pembangkitan kekuatan sakti dalam tubuh yang disebut Kundalini Yoga.
Juga dari para pertapa Hindu yang memiliki kesaktian yang luar biasa, dia mempelajari banyak ilmu sihir bersih yang berlawanan dengan ilmu "sihir hitam yang biasanya dipergunakan untuk melakukan kejahatan. Biarpun dia telah menjadi seorang ahli dalam Agama Buddha, Tiong Lee tidak mencukur rambutnya, tidak menjadi Hwesio (Bhikkhu).
Hanya pakaiannya saja sederhana seperti pakaian para pendeta. Rarnbutnya digelung dan diikat dengan pita kuning. Karena ke manapun dia pergi, dia mengajarkan tentang kehidupan yang benar dan baik, maka dia selanjutnya, setelah berusia lima puluh tahun, mendapat sebutan Tiong Lee Cin-jin.
Setelah berusia lima puluh tahun dan sudah dua puluh lima tahun merantau ke India dan Tibet, akhirnya Tiong Lee Cin-jin melakukan perjalanan ke timur untuk pulang ke Cina. Dia membawa banyak kitab-kitab suci, baik darl Agama Buddha maupun Agama Hindu, dengan maksud untuk dibawa pulang ke negerinya dan diterjemahkannya agar dapat dipelajari banyak orang di negerinya.
Pada pagi hari itu, perjalanannya dari dunia barat tiba di pegunungan Mao-mao. Tertarik oleh keadaan gunung itu, dia mendaki sampai ke puncak dan tinggal semalam di puncak. Pagi itu dia menuruni puncak dan menikmati keindahan alam. Dalam pesona kebesaran alam seperti itu, teringatlah dia akan kalimat bijaksana yang sukar dimengerti akan tetapi mudah dirasakan dalam keadaan seperti keadaannya di saat itu.
Kalimat itu berbunyi: "Tidak memiliki apapun berarti memiliki segalanya!"
Kata memiliki yang pertama berarti kemelekatan kepada sesuatu yang dipunyai, dan kemelekatan kepada sesuatu, baik sesuatu itu orang, barang ataupun nama dan kedudukan, pasti mendatangkan sengsora kehilangann. Adapun kata memlliki yang kedua berarti manunggal, bersatu dengan segalanya.
Kita dapat menikmati merdunya kicau burung di pohon dan indah harumnya bunga tanpa takut kehilangan. Akan tetapi sekali kita memiliki burung itu dan mengurungnya dalam sangkar, atau memiliki tanaman bunga itu dan mengelilinginya dengan pagar, sekali waktu kita akan menderita kalau burung itu hilang atau bunga itu dipetik orang.
Tiong Lee Cin-jin tersenyum dan menundukkan mukanya seolah menghitung langkahnya satu-satu. Mempunyai akan tetapi tidak memiliki, itulah seninya kehidupan. Mempunyai hanya secara lahiriah saja. Batin tidak memiliki dan tidak melekat sehingga tidak merasa takut atau duka kalau kehilangan apa yang dipunyainya. Hanya Yang Maha Kuasa yang berwenang memiliki segala apa yang ada.
Kita tidak memiliki apa-apa. Semua yang ada pada kita hanyalah pinjaman belaka. Bahkan badan inipun bukan milik kita. Kita tidak kuasa atasnya. Bahkan kita tldak kuasa untuk menghentikan tumbuhnya kuku atau sehelai rambut. Ada yang menumbuhkan. Itulah Tao. Itulah kekuasaan Tuhan yang tidak pernah berhenti bekerja walau sedetikpun.
Tiba-tiba, entah dari mana datangnya, tampak dua bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di depan Tiong Lee Cin-jin berdiri dua orang pria tua. Ke munculan mereka yang seperti pandai menghilang atau terbang itu menyadarkan Tiong Lee Cin-jin bahwa dia berhadapan dengan dua orang yang memlliki ilmu kesaktian tinggi. Melihat dua orang itu, dia memandang penuh perhatian.
Orang pertama adalah seorang laki-laki yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih. Kumisnya yang putih itu pendek saja, akan tetapi jenggotnya yang juga sudah putih itu tumbuh dari bawah tellnga kiri sampa! ke bawah telinga kanan, lebat sekali. Rambut dan allsnya yang tebal juga sudah putih semua. Akan tetapi kulit mukanya yang banyak kerutan ttu masih nampak kemerahan dan scgar.
Dia mengenakan sebuah topi dari bulu binatang yang bentuknya seperti peci sederhana. Dari potongan baju dan celananya yang juga sederhana, Tiong Lee Cin-jin yang sudah banyak pengalaman itu tahu bahwa pria itu adalah seorang bersuku bangsa Uigur.
Orang kedua adalah seorang laki-laki yang lebih tua lagi. Usianya tentu sekitar tujuh puluh tahun dilihat dari mukanya yang penuh keriput. Matanya sipit, kumisnya tipis saja, akan tetapi jenggotnya lebih tebal daripada jenggot orang pertama, dan berwarna kelabu. Kepalanya memakai kain kepala berwarna putih yang dibelitkan seperti sorban.
Dilihat dari cara dia berpakaian Tiong Lee Cin-jin menduga bahwa kakek kedua ini tentu bersuku bangsa Hui, yang sebetulnya adalah bangsa Han juga, akan tetapi yang sudah berabad-abad tinggal di Mongolia Dalam. Dilihat dari sorban di kepalanya, dapat diduga bahwa kakek Hui ini beragama Islam. Memang suku bangsa Hui sebagian besar adalah Muslim.
Melihat dua orang yang lebih tua darinya dan mereka berdua itu agaknya sengaja menghadang di depannya, Tiong Lee Cin-jin cepat memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada, lalu membungkuk dan berkata dalam bahasa Han dengan ramah sambil tersenyum.
"Selamat berjumpa, seudara tua yang baik! Semoga Yang Maha Kuasa selalu memberkahi kalian berdua."
Kakek suku bangsa Uigur itu terkekeh dan dia menggerak-gerakkan tongkatnya yang ternyata adalah seekor ular cobra yang dikeringkan ke atas lalu menjawab. "Selamat bertemu, sobat!" katanya dalam bahasa Han.
Kakek suku bangsa Hui memukul-mukulkan tongkatnya yang terbuat dari semacam bambu yang disebut Bambu Sisik Naga ke atas tanah lalu berkata lantang. "Wa'alaikum salaam, semoga Allah memberkahi anda! Bukankah anda yang bernama Tiong Lee Cin-jin?" kata pula kakek suku bangsa Hui itu dengan bahasa Han yang lancar pula.
Tiong Lee Cin-jin tersenyum. Dia ttdak merasa heran kalau kedua orang ini mengenal namanya. Bagi dia, tidak ada yang aneh di dunia ini karena segala sesuatu itu pasti ada alasan dan sebabnya. "Benar sekali, saya adalah Tiong Lee Cin-jin. Sebaliknya, siapakah ji-wi (anda berdua), datang dari mana hendak ke mana?"
"Aku bernama Ouw Kan datang dari Sin-kiang barat." Kakek suku Uigur yang memegang tongkat ular berkata.
"Dan aku adalah Ali Ahmed dari pedalaman Mongol. Kami berdua memang sengaja datang hendak bertemu denganmu, Tiong Lee Cin-jin. Kami mendengar bahwa engkau baru pulang dari India dan akan lewat di daerah ini, maka, kami sengaja datang menghadangmu," kata kakek suku Hui.
Kembali Tiong Lee Cin-jin memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depari dada lalu berkata sambil tersenyum. "Sungguh merupakan penghormatan besar sekali bagiku. Setelah sekarang kita berjumpa di sini, apakah kiranya yang dapat saya bantu dan lakukan untuk ji-wi?"
"Heh-heh-heh, bagus sekali. Kiranya nama besar Tiong Lee Cin-jin sebagai seorang yang baik hati dan pemurah bukanlah kabar kosong belaka!" kata Ouw Kan sambil menggerak-gerakkan tongkat ular cobranya. "Anda memang dapat membantu kami, Tiong Lee Cin-jin, yaitu berikan dan tinggalkan buntalan yang kau gendong itu untuk kami."
Tiong Lee Cin-jin mengerutkan alisnya. "Sahabat berdua, isi buntalan ini hanya beberapa potong pakaian pengganti dan kitab-kitab yang saya bawa dari India. Kalau ji-wi menghendaki, silakan mengambil pakaian dan sedikit bekal uang emas yang berada di buntalan, kemudian membiarkan saya melanjutkan perjalanan saya." Suaranya masih tetap lembut dan ramah karena baginya, kehilangan pakaian dan uang emas tidak menimbulkan masalah.
"Heh, Tiong Lee Cin-jin! Jangan bicara seenaknya saja kamu! Apa kau kira kami berdua ini hanya sebangsa perampok hina?" bentak Ouw Kan marah sambil menudingkan tongkat ular cobranya ke arah dada Tiong Lee Cin-jin.
"Lalu apa yang kau kehendaki, saudara Ouw Kan?" tanya Tiong Lee Cin-jin.
"Tiong Lee Cin-jin, kami tidak menginginkan harta benda milikmu. Haram bagiku untuk mengambil harta orang lain. Kami hanya menghendaki agar engkau meninggalkan kitab-kitab itu kepada kami!" kata Ali Ahmed sambil menunjukkan telunjuknya ke arah buntalan yang berada di punggung Tiong Lee Cin-jin.
"Aneh sekali permintaanmu itu, Saudara Ali Ahmed. Kitab-kitab yang kubawa dari India ini adalah kitab-kitab Agama Buddha dan Hindu sedangkan engkau adalah seorang Muslim. Apa gunanya kitab-kitab ini bagimu?" tanya Tiong Lee Cin-jin.
"Kami tidak ingin mempelajari agama, akan tetapi kami tahu bahwa banyak kitab suci yang kau bawa itu mengandung pelajaran tentang ilmu silat tinggi dan itmu sihir. Bahkan ada sebuah kitab peninggalan Sang Budhi Dharma mengenai pelajaran silat yang sakti. Aku Sangat membutuhkan kitab itu." kata Ouw Kan garang.
"Kitab peninggalan Tat Mo Couwsu (Buddhi Dharma) itu menurut surat wasiat guru besar itu diperuntukkan biara Siauw-lim di Gunung Sung-san. Para hwesio Siauw-lim-pai yang berhak atas kitab itu dan aku harus menyerahkannya kepada mereka. Amat tidak baik mengambil hak milik orang lain."
"Tidak perduli. Tinggalkan buntalan itu!" bentak Ouw Kan dan Ali Ahmed berbareng.
Tiong Lee Cin-jin tersenyum dan ,menghela napas panjang. Kemudian, perlahan-lahan dia melepaskan ujung kain buntalan yang diikatkan di depan dadanya, melepaskan gendongannya. Kemudian diturunkan gendongan itu dan diletakkan di atas tanah, di depannya.
Melihat ini, dua orang itu berpencar, melangkah maju menghampiri dari kanan kiri. Tiba-tiba Ali Ahmed menudingkan tongkat bambunya ke arah buntalan kain kuning sambil berseru, "Terbanglah ke sini!"
Tiba-tiba saja buntalan kain kuning itu melayang ke atas seperti ada tangan tak tampak yang mengangkatnya. Buntalan itu melayang perlahan ke arah Ali Ahmed.
Pada saat itu, Ouw Kan juga mengangkat togkat ular cobranya dan. berteriak "Kembali kepadaku!" Tongkapya ditudingkan ke arah buntalan yang sedang melayang ke arah Ali Ahmed dan tiba-tiba saja buntalan itu beralih arah, kini melayang ke arah Ouw Kan.
Ali Ahmed mengeluarkan suara menggeram. Tongkat bambu di tangan kanannya tetap menuding ke arah buntalan dan kini tongkat itu bergetar keras. "Ke sini!" bentaknya.
Dari buntalan kain kuning ini kembali beralih arah, membalik ke arah kakek bersuku bangsa Hui itu. "Ke sini!" bentak Ouw Kan dan tongkat ular cobranya juga tergetar hebat. Kini buntalan itu bergerak ke kTernyatai seolah-olah terbetot oleh dua kekuatan dahsyat yang memperebutkannya.
Tiong Lee Cin-jin yang menonton adu kekuatan sihir ini tersenyum. "Sungguh sayang sekali!" katanya lirih akan tetapi suaranya mengandung kekuatan sehingga dapat terdengar jelas oleh dua orang yang sedang memperebutkan buntalan kain kuning dengan mengadu tenaga sihir itu.
"Kalian telah bersusah payah membuang waktu bertahun-tahun untuk menghimpun tenaga sakti. Ternyata hari ini tenaga sakti itu hanya kalian pergunakan untuk menuruti nafsu Setan! Tidak sadarkah kalian bahwa begitu kalian menuruti keinginan, berarti kalian telah membiarkan diri dicengkerarn nafsu setan dan akan menjadi permainannya? Sadarlah, wahai kedua orang saudaraku, sebelum terlambat terjebak bujukan iblis yang akan menyeret kalian ke dalam dosa dan kesengsaraan!"
Mendengar ucapan Tiong Lee Cin-jin itu, kedua orang seperti melepaskan buntalan yang mereka perebutkan sehingga buntalan itu meluncur ke bawah dan jatuh ke atas tanah di depan Tiong Lee Cin-jin yang sudah duduk bersila di atas rumput.
"Tiong Lee Cin-jin, kata-katamu menyesatkan. Aku ingin mendapatkan kitab-kitab untuk menemukan cara menyempurnakan diri mencapai penerangan dan kebahagiaan sejati!" kata Ouw Kan.
"Aku juga ingin mendapatkan ilmu agar kelak aku dapat masuk sorga!" kata Ali Ahmed.
"Aih, saudara-saudaraku yang baik! Insaflah akan kesesatan kalian. Sadarilah bahwa semua pelajaran dalam agama apapun juga pada dasarnya sama, yaitu membiarkan jiwa yang rindu kepada sumbernya seperti air rindu kepada samudera, melalui pikiran, ucapan dan perbuatan yang baik dan benar, yang sifatnya membangun tidak meruntuhkan, menjaga tidak merusak, membahagiakan dan tidak menyengsarakan sesama hidup.
"Kita mempersiapkan diri setiap saat untuk menjadi alat yang membantu pekerjaan Kuasa Yang Maha Mulia pencipta alam semesta dan semua isinya. Bagaimana kita dapat melaksanakan semua ini? Melalui hati akal pikiran? Tidak niungkin. Hati akal pikiran telah dijadikan sarang nafsu setan yang selalu ingin mendapatkan sesuatu.
"Apakah itu harta, atau nama besar, atau juga yang diinginkannya itu yang dinamakan kesempurnaan, sorga dan sebagainya lagi, semua itu sama saja. Yang diinginkan hati akal pikiran itu adalah yang diinginkan nafsu setan, yaitu kesenangan! Baik itu dinamakan kesempurnaan atau kebahagiaan atau sorga, kalau sudah diinginkan, dicari, maka semua itu tiada lain hanyalah kesenangan. Kita membayangkan kesenangan dalam sorga atau kesempurnaan itu.
"Kesenangan itulah yang menarik kita untuk mengejar dan memperolehnya dan ini merupakan keinginan nafsu daya rendah. Menuruti keinginan nafsu daya rendah ini menyeret kita ke dalam kesesatan karena demi mencapai apa yang kita inginkan kita akan melakukan apapun juga tanpa mempertimbangkan apakah cara yang kita pakai itu baik atau sesat."
"Heh-heh, Tiong Lee Cin-jin, pendapatmu itu bahkan menyesatkan! Kalau kita tidak mempergunakan hati akal pikiran, mengisinya dengan pengertian, ba-gaimana mungkin kita dapat membedakan antara yang benar dan yang salah? Tanpa pengetahuan tentang yang baik dan yang buruk, bagaimana kita akan mampu melawan daya pengaruh nafsu?" kata Ouw Kan.
"Hati akal pikiran memang merupakan anugerah khusus bagiatauusia karena tanpa itu kita akan hidup tiada bedanya dengan hewan. Hati akal pikiran memang perlu dipergunakan untuk menimba ilmu pengetahuan lewat pengalaman dan pelajaran karena kehidupan manusia di dunia ini secara lahiriah membutuhkan ilmu pengetahuan. Akan tetapi kalau ilmu pengetahuan atau kalau hati akal pikiran kita pergunakan untuk melawan daya pengaruh nafsu, kita akan kecelik!
"Coba kumpulkan seluruh maling di dunia ini, dan tanya, apakah ada seorang saja di antara mereka yang tidak tahu atau tidak mengerti bahwa perbuatan mencuri itu adalah perbuatan jahat dan tidak baik? Semua, tidak terkecuali, tentu mengerti melalui hati akal pikirannya. Akan tetapi, pengetahuan dan pengertian melalui hati akal pikiran itu tidak dapat menghentikan perbuatan mencuri itu!
"Sebaliknya malah. Hati akal pikiran yang sudah menjadi sarang bagi nafsu daya rendah itu bahkan menjadi pembela perbuatan mencuri itu dengan membisikkan berbagai alasan. Aku terpaksa melakukan ini, demi keluargaku, orang lain juga melakukan malah lebih besar daripada aku. Demikian hati akal pikiran membisiki sehingga semua maling tidak merasa menyesal, tidak bertobat malah semakin menjadi-jadi."
"Hemm, agaknya engkau sama sekali tidak memberi jalan kepada orang yang berbuat dosa untuk bertaubat. Kalau begitu, apakah yang harus dilakukan manusia untuk tidak melakukan kesesatan?" Ouw Kan mengejar.
"Apapun yang diusahakan untuk mengubah, semua usaha itu masih dalam lingkungan hati akal pikiran, masih dalam lingkaran kekuasaan nafsu daya rendah yang selalu menginginkan sesuatu yang lebih baik! Pamrih-pamrih ini yang menjebak kita sehingga terjadi lingkaran setan. Ingin lebih baik, ingin lebih menyenangkan, ingin ini ingin itu yang akhirnya menyeret kita ke dalam kesesatan-kesesatan baru yang lain lagi. Tidak ada usaha hati akal pikiran yang akan berhasil.
"Hanya ada satu saja kekuatan yang akan mampu menundukkan nafsu daya rendah. Kekuatan itu bukan lain adalah Kekuasaan Yang Maha Kasih. Dengan kekuasaan inilah kita akan dapat menalukkan natsu setan yang bagaimana licik dan jahatpun! Kekuasaan ini akan memberi kekuatan kepada kita, akan menuntun kita. Kekuatan ini muncul kalau kita menyerah kepada Yang Maha Kuasa secara mutlak.
"Kalau hati sanubari kita kosong dan terbuka, Kekuasaan Mutlak itu akan masuk, membangkitkan jiwa kita, memberinya kekuatan dan nafsu-nafsu daya rendah akan kembali menduduki tugasnya semula, yaitu menjadi pelayan kita, menjadi hamba kita, bukan menjadi majikan kita."
"Semua uraianmu itu terdengar muluk-muluk dan indah. Akan tetapi aku merasa tidak setuju ketika engkau menyebutkan bahwa mencari sorga sama dengan mencari harta. Semua orang, dari agama apapun juga, merindukan sorga. Kenapa engkau berani merendahkan sorga sedemikian rupa sehingga kausamakan dengan harta benda?" Ali Ahmed bertanya sambil mengerutkan alisnya yang tebal.
"Saudaraku yang baik. Sorga atau harta benda memang tidak ada bedanya ka-lau keduanya itu dibayangkan sebagai sesuatu yang akan mendatangkan kesenangan lalu dikejar-kejar. Yang mengingin-kan kesenangan dan mengejar-ngejarnya adalah nafsu daya rendah. Memang sifat nafsu itu demikian, mencari kesenangan.
"Coba kita bertanya kepada diri sendiri. Andaikata sorga itu dibayangkan sebagai sesuatu tempat yang tidak enak, tidak menyenangkan, bahkan menyakitkan, apakah kita masih akan mengejarnya? Kurasa tidak akan ada seorangpun manusia mengejarnya!
"Kalau kita membayangkan kesenangan, apapun bentuknya, jelas bahwa itu ulah, nafsu duniawi dan kedagingan, karena segala macam bentuk kesenangan adalah bentuk keenakan yang dapat dirasakan jasmani selagi berada di dunia. Dan selama ada kesenangan, disitu pasti ada pula kesusahan, saudara kembarnya yang tak terpisahkan."
"Wah, Tiong Lee Cin-jin ini sengaja banyak bicara untuk mengalihkan perhatian kita dari buntalan kitab-kitab itu, Ali Ajimed. Jangan dengarkan dia lagi!" kata Ouw Kan dengan marah dan dia sudah bersiap dengan tongkat ular cobranya.
Ali Ahmed juga melompat ke belakang dan mengerutkan alisnya. "Benar, dia bahkan ingin mempengaruhi, kita dengan ajaran-ajaran sesat! Tiong Lee Cin-jin kau serahkan atau tidak kitab-kitab itu? Ataukah kami harus menggunakan kekerasan?" Orang bersuku bangsa Hui itu mengancam dengan tongkat bambunya, yang diacungkan ke atas.
Tiong Lee Cin-jin yang masih duduk bersila itu tersenyum dan melambaikan tangan kanannya ke arah buntalan yang terletak di atas tanah di depannya. "Sudah sejak tadi kulepaskan dari gendongan. Di antara kalian berdua, entah siapa yang berjodoh memiliki kitab-kitab itu."
"Aku yang berjodoh!" tiba-tiba Ouw Kan berseru dan dia menggerakkan tangan kanan yang memegang tongkat ular cobra. Dengan tongkatnya itu dia hendak mengambil buntalan kitab. Akan tetapi tongkat bambu di tangan Ali Ahmed juga meluncur dan menangkis tongkat ular cobra.
"Tidak, aku yang berjodoh!" Orang Hui itu berseru.
"Trakkk!" Tongkat mereka bertemu dan sungguh hebat sekali. Tongkat ular cobra kering dan tongkat bambu itu ketika saling bertemu, terdengar suara nyaring dan tampak bunga api berpijar seolah-olah yang bertemu itu adalah benda yang terbuat daripada baja murni. Dari kenyataan ini saja sudah dapat diketahui bahwa dua orang Itu adalah orang-orang yang memilikl kesaktian.
Ouw Kan menyerang dengan gerakan silat yang aneh bagi Tiong Lee Cin-jin. Gerakan Ouw Kan yang bertubuh sedang dan tegap ini meliuk-liuk seperti gerakan seekor ular, cocok sekali dengan senjatanya, yaitu sebatang tongkat ular cobra kering.
Hebatnya, gerakannya yang cepat dengan serangan yang tidak terduga-duga datangnya itu diseling dengan suara mendesis-desis yang keluar dari mulutnya yang diruncingkan, presis seekor ular yang menyemburkan uap beracun.
Namun, lawannya, Ali Ahmed ternyata juga memiliki gerakan silat yang hebat. Gerakan kedua kakinya jelas dipengaruhi oleh ilmu Siauw-lim-pai Utara. Tongkat bambunya menyambar-nyambar, diseling kedua kakinya silih berganti yang tidak kalah bahayanya bagi lawan dibanding tongkainya.
Mereka bergerak cepat dan tangkas, tong kat ular cobra dan tongkat bambu itu lenyap bentuknya berybah menjadi gulungan sinar hitam dan hijau. Hanya kadang-kadang kedua sinar Itu bertemu dan meledaklah bunga api berpijar menyilaukan mata.
Tlong Lee Cin Jin masih tetap duduk bersila. Buntalan kain kuningnya yaog kini diperebutkan orang itu masih terletak di atas tanah, di depannya. Sejak tadi Tiong Lee Cin-jin menonton pertandingan itu dan diam-diam dia harus mengakui bahwa tingkat kepandaian silat dya orang itu sudah tinggi.
Pantasnya mereka itu datuk-datuk persilatan di darah mereka sendiri. Dia tidak merasa heran bahwa ada orang-orang dunia per silatan mengetahui bahwa dia pulang ke Cina membawa kitab-kitab pusaka. Orang orang dunia persilatan itu selalu haus akan pusaka-pusaka yang sekiranya dapat membuat mereka menjadi semakin lihai, seperti senjata-senjata ampuh atau kitab-kitab pelajaran ilmu yang tinggi.
Perkelahian antara Ouw Kan dan Ali Ahmed itu menjadi semakin seru. Kini keduanya tidak hanya mengandalkan ilmu silat untuk saling serang, akan tetapi juga mempergunakan ilmu sihir. Ketika Ouw Kan mengeluarkan teriakan aneh, dari mulut ular cobra kering yang menjadi tongkatnya itu menyambar uap hitam yang berbau amis ke arah lawan!
Ali Ahmed tidak menjadi gugup. Tangan kirinya terbuka mendorong ke depan dan keluarlah uap putih dari telapak tangannya yang menyambut uap hitam. Keduanya terdorong ke belakang dan terhuyung. Akan tetapi mereka sudah dapat mengatur keseimbangan tubuh mereka kembali dan sudah siap untuk saling gempur, melanjutkan pertandingan tadi.
Akan tetapi tiba-tiba keduanya tersentak kaget ketika mendengar suara tawa bergelak yang datangnya seolah dari atas kepala mereka. Suara tawa bergelak itu datang bergelombang, makin lama makin kuat mengandung daya serangan yang amat kuat menerobos telinga mereka dan menjalar ke arah jantung!
Dua orang kakek itu kini berdiri, bersedakap, memejamkan kedua mata mereka dan mengerahkan seluruh tenaga sakti mereka untuk melindungi diri mereka dari serangan suara tawa yang amat kuat itu.
Suara tawa seperti itu yang mengandung tenaga khi-kang yang amat kuat, dapat merusak jantung atau setidaknya akan dapat mengacau jaringan syaraf di otak sehingga dapat membuat orang menjadi gila!
Tiong Lee Cin-jin juga merasakan kehebatan pengaruh suara tawa itu. Namun dengan wajah tetap sabar dan tenang, dengan bibir masih tersungging senyuman lembut, dia memejamkan kedua matanya dan tenggelam ke dalam alam semesta.
Suara tawa itu sama sekali tidak mengganggunya karena dia seolah telah bersatu dengan suara itu, hanyut bersama suara itu, sedikitpun tidak menentang sehingga suara itu sama sekali tidak mengganggu bahkan dia dapat merasakan keindahan dalam suara tawa yang bergelak-gelak dan bergema itu.
Inilah keadaan yang dinamakan "melebur dan membaur dengan segala" sehingga tidak terjadi pertentangan, seperti sebatang pohon liu (cemara) yang tidak menentang datangnya badai sehingga meliuk-liuk menurutkan dorongan angin dan sama sekali tidak patah dahannya, tidak rontok daunnya, dan tetap utuh sampai badai berlalu.
Tidak seperti pohon siong yang kokoh menyambut badai dengan mengandalkan kekuatannya dan akhirnya tumbang dan roboh oleh hantaman badai yang jauh lebih kuat daripada dirinya!
Tak lama kemudian, muncullah seorang kakek lain. Kemunculannya aneh. Mula-mula tampak asap putih bergulung-gulung, kemudian ketika asap membubung dan menghilang, tampak kakek itu. Dia seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh tahun. Jubahnya seperti jubah seorang hwesio, dari kain kuning ber-kotak-kotak merah. Kepalanya memakai sebuah peci kuning pula, menutupi kepala nya yang gundul.
Tubuhnya tinggi besar, perutnya gendut dan kancing jubahnya bagian dada terbuka sehingga tampak dadanya yang gempal dan bidang dan di atas ulu hatinya tumbuh rambut hitam keriting. Kepala gundul yang tertutup peci kuning itu besar dan bulat. Mukanya bundar dan segala anggauta tubuh pendeta ini serba bundar.
Sepasang matanya lebar dan bulat, hidungnya juga besar, demikiap pula mulutnya, lebar dan selalu menyeringai. Kedua daun telinganya panjang dah lebar. Melihat pakaian kuning berkotak-kotak merah dan tongkat panjang berkepala naga itu, Tiong Lee Cin-jin tahu bahwa pendeta itu adalah seorang pendeta Lama dari Tibet.
Setelah memperlihatkan diri, pendeta itu berdiri tegak, tangan kirinya memegang tongkat kepala naga yang tingginya sama dengan tinggi tubuhnya, dan dia masih tertawa bergelak, akan tetapi tawanya wajar, tidak lagi mengandung khi-kang yang memiliki daya serang dahsyat seperti tadi.
”Hua-ha-ha-ha, kiranya ada dua ekor anjing dari Sin-kiang dan Mongol yang saling berebutan tulang di sini! Kalian ini orang Uigur dan Hui, bukan?"
"Setan jahanam!" Ali Ahmed memaki marah karena dikatakan anjing oleh pendeta itu. "Aku memang benar datang dari Mongolia Dalam, namaku Ali Ahmed. Siapakah engkau, manusia sombong?"
"Dan aku adalah Ouw Kan dari Sin-kiang. Engkau ini, pendeta Lama harap jangan mencampuri urusan kami," bentak Ouw Kan.
"Ha-ha-ha, aku Jit Kong Lama memang suka mencampuri urusan orang lain kalau urusan itu menyangkut diriku. Ketahuilah kalian, kitab-kitab dari Barat itu hanya aku yang berhak memiliki dan tidak boleh diambil siapapun juga. Kalian berdua lebih baik segera mengelinding pergi dari sini sebelum kepala kalian yang meiiggelinding terpisah dari tubuh kalian!" kata pendeta yang bernama Jit Kong Lama itu. Namanya sungguh besar karena Jit Kong berarti Sinar Matahari.
Ouw Kan dan An Ahmed yang tadi saling serang itu marah sekali. Mereka untuk sementara melupakan permusuhun di antara mereka dan bagaikan mondapat komando, keduanya membanting tongkat mereka ke atas tanah. Terdengar dua kali ledakan, asap mengepul, tongkat lenyap dan berubah menjadi dua ekor binatang yang menyeramkan.
Tongkat ular cobra milik Ouw Kan kini telah menjadi seekor ular cobra yang besar dan panjang, yang mengangkat kepala dan lehernya ke atas sehingga tegak, moncongnya agak terbuka, rnendesis-desis dan ada uap hitam tersembur keluar dari moncongnya, lidahnya keluar masuk adan sepasang matanya seperti berapi. Ular cobra ini bergerak maju hendak menyerang Jit Kong Lama.
Adapun tongkat bambu milik Ali Ahmed berubah menjadi seekor kelabang yang juga besarnya hampir sama ular cobra itu, kulitnya berwarna merah darah, kakinya yang amat banyak itu bergerak-gerak, sungutnya meraba-raba dan moncongnya juga siap untuk mehggigit. Banyak kaki yang bergerak-gerak itu membawa tubuh yang besar itu maju dengan cepat ke arah Jit Kong Lama.
Melihat dua orang lawannya menyihir tongkat mereka menjadi ular dan kelabang yang akan menyerangnya, Jit Kong Lama menyeringat dan memandang rendah. "Ha-ha-ha, permainan kanak-kanak seperti itu kalian pamerkan kepadaku?" katanya.
Dan sekali dia melempar tongkat kepala naga itu ke atas, tampak asap mengepul dan tongkat itu sudah berubah menjadi seekor burung rajawali besar. Burung itu dengan ganas dan buasnya sudah menyambar ke bawah dan menyerang ular cobra dan kelabang itu dengan patuk dan cakarnya. Ular cobra dan kelabang itu melawan mati-matian.
Akan tetapi segera mereka menjadi kewalahan karena burung rajawali itu menyambar nyambar dari udara sehingga sukar bagi mereka untuk menyerangnya, sebaliknya burung itu dapat menyerang kedua lawannya dengan leluasa dari atas.
Tiong Lee Cin-jin tahu siapa Jit Kong Lama itu. Ketika meninggalkan dia dan kembali ke Cina, dia singgah di Tibet dan mengadakan pertemuan dengan para pendeta Lama, bahkan selama satu jam dia diberi kesempatan untuk menghadap Dalai Lama.
Dari para tokoh pendeta Lama di Tibet, dia mendengar bahwa ada beberapa orang pendeta Lama di Tibet yang melakukan penyelewengan. Mengumpulkan harta benda dari rakyat untuk kepentingan diri sendiri dan melakukan pelanggaran pantangan berdekatan dengan wanita. Jit Kong Lama merupakan seorang di antara para pendeta Lama yang melakukan penyelewengan itu bahkan dia merupakan seorang tokoh besarnya.
Melihat adu kekuatan sihir antara pendeta Lama Itu melawan datuk dari suku bangsa Uigur dan Hui, tahulah dia bahwa Jit Kong Lama jauh lebih kuat daripada dua orang lawannya. Dugaannya memang benar. Ketika Ouw Kan dan Ali Ahmed melihat ular dan kelabang jadi-jadian milik mereka itu kewalahan menghadapi serangan gencar burung rajawali, keduanya lalu mengangkat tangan kanan ke atas dan mengerahkan tenaga sihir mereka.
Ular dan kelabang itu tiba-tiba terbang ke belakang dan setelah tiba di tangan mereka, berubah kembali menjadi tongkat ular cobra dan tongkat bambu yang sudah lecet-lecet. Sambil tertawa Jit Kong Lama ju-ga memanggil burung rajawali jadi-jadian itu. Burung itu terbang ke tangannya dan berubah pula menjadi tongkat pan-jang berkepala naga.
"Kalian masih juga belum minggat dari sini?" tegurnya dengan nada memandang rendah kepada dua orang lawannya itu.
Akan tetapi Ouw Kan dan Ali Ahmed adalah dua orang yang di daerah tempat tinggalnya terkenal sebagai datuk-datuk yang sukar dicari tandingannya. Maka tentu saja mereka tidak mudah menyerah kalah. Biarpun tadi dalam adu kekuatan sihir mereka harus mengakui keunggulan Lama dari Tibet itu, namun mereka masih beluin mau mundur.
Setelah saling bertukar pandang, seperti menyatukan keinginan untuk menandingi pendeta Lama yang hendak menghalangi mereka mengambil kitab-kitab pusaka, dua orang itu serentak bergerak maju, cepat sekali mereka menerjang dan menyerang Jit Kong Lama.
Serangan mereka ini bukan sekedar serangan dengan mempergu-nakan ilmusilat, namun serangan yang diperkuat dengan ilmu sihir. Tubuh mereka lenyap dan hanya tongkat ular cobra dan tongkat bambu itu saja yang tampak menyerang dan seperti terbang ke arah tubuh Jit Kong Lama!
Namu pendeta dari Tibet itu tidak menjadi gentar. Dia sendiri adalah seorang ahli silat dan ahli sihir yang sudah mencapai tingkat tinggi, maka diapun mengeluarkan suara membaca mantra dan tiba-tiba tubuhnya juga lenyap dan yang tampak hanya tongkat panjang berkepala naga itu yang bergerak cepat menyambut serangan dua batang tongkat yang mengeroyoknya itu.
Kalau saja di situ terdapat orang biasa yang menyaksikan pertandingan itu, tentu akan bengong terlongong saking herannya melihat ada dua batang tongkat pendek "berkelahi" mengeroyok sebatang tongkat panjang!
Namun, Tiong Lee Cin-jin adalah seorang yang telah mendapatkan gemblengan bermacam ilmu selama dua puluh lima tahun merantau ke daerah barat, yaitu ke daerah Bhutan, India, Nepal, Tibet dan bertahun-tahun merantau ke daerah Himalaya dan bertemu dengan banyak pertapa-pertapa sakti, mempelajari banyak macam ilmu.
Oleh karena itu, biarpun tiga orang itu mempergunakan ilmu sihir dan menghilang, dia masih dapat melihat mereka ketika mereka bertanding mempergunakan tongkat mereka. Dia melihat dengan jelas pertandingan itu. Ouw Kan dan Ali Ahmed memainkan tongkat, pendek mereka seperti seorang bermain pedang, sedangkan Jit Kong Lama memainkan tongkatnya yang panjang seperti orang bermain silai tongkat dengan kedua tangan.
Pertandingan itu seru dan dahsyat sekali. Ternyata ketiganya merupakan ahli-ahli silat tingkat tinggi. Terutama sekali Jit Kong Lama. Ilmu silatnya dahsyat sekali. Ketika dengan kedua tangan dia memainkan tongkat kepala naganya, tiada ubahnya dia bagaikan seekor naga yang melayang-layang dan setiap gerakan tongkatnya mendatangkan angin yang menyambar kuat!
Dua orang yang mengeroyok itupun memiliki ilmu silat yang tinggi. Gerakan mereka lincah dan tangkas, serangan mereka cepat dan mengandung tenaga sin-kang yang kuat. Namun, setiap kali tongkat ular cobra atau tongkat bambu bertemu tongkat panjang berkepala naga, dua tongkat yang lebih pendek itu terpental kuat.
Tiong Lee Cin-jin mengikuti jalannya pertandingan dengan penuh perhatian. Lambat laun, kedua orang pengeroyok itu mulai terdesak hebat. Kini tiga tongkat itupun sudah lenyap bentuknya. Yang tampak hanya dua gulungan sinar pendek mengeroyok segulung sinar panjang. Namun tentu saja pandang mata Tiong Lee Cin-jin yang tajam terlatih itu dapat mengikuti jalannya pertandingan dengan baik.
Suatu saat dia melihat tongkat ular cobra menyambar dengan tusukan atau totokan ke arah leher Jit Kong Lama. Tusukan itu berbahaya sekali karena ujung tongkat yang menyerupai mulut ular cobra yang terpentang itu mengandung racun ular cobra yang amat ampuh. Tergores sedikit saja, racun akan memasuki tubuh lewat luka goresan dan kalau racun sudah mencapai jantung, matilah orang itu!
Pada detik-detik berikutnya, tongkat bambu di tangan Ali Ahmed juga sudah menyambar dan melakukan totokan ke arah jalan darah di lambung Jit Kong Lama! Inipun merupakan serangan maut, karena kalau jalan darah itu sampai terkena totokan tongkat yang dialiri sinkang (tenaga sakti) itu maka pendeta Lama itu tentu akan roboh dan tewas seketika.
Tiong Lee Cin-jin maklum betapa pendeta Lama itu berada dalam ancaman maut. Akan tetapi pendeta gendut itu masih menyeringai. Tiba-tiba, secara tidak terduga dan cepat sekali, tangan kirinya menangkap ujung tongkat ular cobra dan kaki kirinya mencuat dalam tendangan kilat ke arah lengan tangan kanan Ouw Kan yang memegang tongkat.
Begitu cepatnya tendangan itu sehingga terpaksa Ouw Kan menarik tangarinya dan pada saat itu Jit Kong Lama mengerahkan tenaga membetot tongkat ular cobra sehingga terlepas dari pegangan Ouw Kan. Pada saat itu, tongkat bambu datang meluncur ke arah lambung. Jit Kong Lama tidak sempat menangkis atau mengelak. Akan tetapi dia sedikit memutar tubuhnya sehingga tongkat yang tadinya meluncur dan menyerang lambung, kini menusuk ke arah perut yang gendut itu!
"Cappp....!" Tongkat bambu itu menancap di perut Jit Kong Lama yang gendut. Ali Ahmed sudah rnengeluarkan seruan gembira karena mengira tongkatnya telah memasuki perut lawan. Akan tetapi Tiong Lee Cin-jin berpendapat lain.
Jit Kong Lama menyeringai lebar, tangan kirinya melontarkan tongkat ular cobra ke arah Ouw Kan. Tongkat meluncur seperti anak panah menyambar, ke arah dada pemiliknya. Ouw Kan terkejut dan cepat mengelak, akan tetapi tetap saja ujung tongkat menyerempet pundaknya.
"Aduh.....!" Ouw Kan terhuyung.
Pada saat itu, Jit Kong Lama berseru nyaring, "Pergilah!" Tiba-tiba perutnya bergerak mengembung dan tongkat bambu yang masih dipegang oleh Ali Ahmed itu seperti dldorong keras.
Tubuh orang suku Hui itu ikut terdorong sehingga ia roboh terjengkang. Cepat dia bangkit dan mukanya menjadi pucat, di ujung bibirnya tampak darah sehingga mudah diketahui bahwa Ali Ahmed telah menderita luka dalam. Sementara itu, Ouw Kan cepat menelan pil obat penawar racun tongkat ular cobranya sendiri yang telah melukai pundak dan meracuninya.
Dua orang itu kini maklum mereka tidak mungkin akan mampu menandingi Jit Kong Lama, maka keduanya tanpa berunding lagi sudah berloncatan jauh meninggalkan lereng itu!
"Hua-ha-ha-ha-ha! Cacing-cacing tanah seperti itu berani menjual lagak hendak memiliki kitab-kitab pusaka yang suci! Jit Kong Lama tertawa dan setelah berkata demikian, dia memutar tubuhnya dan menghampiri Tiong Lee Cin-Jin.
Setelah mengamati pria yang masih duduk bersila itu sesaat lamanya, kemudian dia memandang ke arah buntalan kain kuning di depan orang itu, Jit Kong Lama bertanya, "Engkaukah yang bernama Tiong Lee Cin-jin dan yang telah berhasil mengumpulkan banyak kitab pusaka penting untuk kau bawa ke Tiong-Goan (Cina)?"
Tiong Lee Cin-jin perlahan-lahan bangkit berdiri. Mengebutkan kain yang membalut tubuhnya bagian bawah yang kotor terkena debu, kemudian mengangkat kedua tangan kedepan dada menyembah sebagai salam. "Selamat berjumpa, Jit Kong Lama, semoga Yang Maha Kasih memberkatimu!"
"Hua-ha-ha! Tentu saja Yang Maha Kasih selalu memberkati aku. Buktinya baru saja aku dapat mengalahkan dan mengusir dua orang jahat itu!"
"Bukan, sayang sekali bukan kekuasaan Yang Maha Kasih yang tadi membantumu mengalahkan Ouw Kan dan Ali Ahmed, Jit Kong Lama. Yang membantumu adalah ilmu-ilmumu sendiri yang didorong oleh nafsu setan yang menguasai dirimu," kata Tiong Lee Cin-jin dengan sikap tenang dan suaranya terdengar lembut penuh kesabaran.
Sepasang mata yang besar bulat itu mencorong, alis yang tebal itu berkerut, lubang hidung yang lebar itu kembang kempis. "Apa kau bilang? Apa maksudmu mengatakan bahwa kemenanganku tadi didorong nafsu setan? Jangan seenaknya engkau bicara, Tiong Lee Cin-jin!"
"Tindakan dua orang tadi yang hendak menggunakan kekerasan untuk merampas kitab-kitabku jelas terdorong nafsu setan, ingin memiliki barang yang sama sekali bukan hak mereka. Lalu engkau muncul dan engkau menentang mereka, bertanding dan mengalahkan mereka. Bukankah perbuatanmu itupun terdorong nafsu yang sama, ingin memiliki kitab-kitabku seperti yang kau katakan kepada mereka tadi?"
Jit Kong Lama tertawa bergelak sehingga perutnya yang gendut itu bergoyang-goyang. "Hua-ha-ha-ha! Engkau keliru, Tiong Lee Cin-jin. Aku memang menginginkan beberapa buah kitab, akan tetapi bukan dengan cara merampok atau merampas, melainkan sebagai imbalan. Aku telah menyelamatkan engkau dari perampokan yang dilakukan dua orang tadi, maka tentu saja aku berhak mem-peroleh imbalan darimu. Aku tidak minta imbalan apa-apa kecuali beberapa buah kitab yang akan kupilih di antara kitab-kitabmu, Tiong Lee Cin-jin. Ha-ha-ha-ha!'
"Menolong dengan pamrih memperoleh imbalan itu bukan pertolongan namanya, melainkan pemerasan," kata Tiong Lee Cin-jin lembut, seperti memberl nasihat kepada muridnya.
"Ha-ha-he! Sebaliknya ditolong akan tetapi tidak mau memberi keuntungan kepada si penolong, itu namanya tidak mengenal budi! Sudahlah, aku akan memilih sendiri kitab-kitab mana yang akan kuambil sebagai imbalan pertolonganku tadi, Tiong Lee Cin-jin."
Tiong Lee Cin-jin melangkah maju dan dengan tangan kanannya dia mengusap buntalan kain kuning berisi kitab-kitabnya. "Semua kitabku berada di dalam buntalan ini, Jit Kong Lama," katanya.
"Akan kupilih, yang mana kusukai akan kuambil!" kata Jit Kong Lama. Dia menancapkan tongkat kepala naganya di atas tanah lalu berjongkok untuk membuka empat ujung kain kuning yang disimpulkan di atas tumpukan kitab itu.
Akan tetapi terjadi keanehan. Jari-jari kedua tangannya yang kuat sekali itu tidak mampu membuka ikatan keempat ujung kain kuning yang disimpulkan secara sederhana itu! Betapapun dia mengerahkan tenaga mencobanya, tetap saja jari-jari tangannya tidak mampu membukanya, seolah-olah semua jari tangannya kehilangan tenaganya dan menjadi kaku atau lumpuli!
Jit Kong Lama menjadi heran lalu penasaran dan marah sekali. Dia mengerahkan sin-kang (tenaga sakti) sekuatnya, namun tetap saja jari-jarinya seperti mogok, tidak dapat membuka simpul. Kemudian dia mengerahkan kekuatan sihirnya. Sama saja. Jari-jari kedua tangannya seolah-olah memang tidak mau membuka simpul itu.
"Keparat!" Dia melompat bangun, berdiri menghadapi Tiong Lee Cin-jin. "Engkau mempergunakan ilmu siluman mencegah aku membuka buntalan kain ini!" bentaknya marah, matanya melotot dan mukanya berubah merah.
"Jit Kong Lama, aku sama sekali tidak mempergunakan ilmu apa-apa. Aku hanya menyesuaikan diri, menerima keadaan dengan penyerahan kepada Yang Maha Kuasa. Kalau Yang Maha Kuasa tidak menghendaki engkau membuka buntalan itu, biar engkau mempergunakan kekuatan apapun yang ada di dunia engkau tidak akan mampu membukanya..." kata Tiong Lee Cin-jin dengan tenang dan penuh kesabaran.
"Tiong Lee Cin-jin, engkau menantang aku, Jit Kong Lama? Apakah aku harus mempergunakan kekerasan terhadapmu untuk memiliki kitab-kitab ini...?”
"Tidak ada yang menantangmu selain nafsumu sendiri, Jit Kong Lama. Orang hanya memetik hasil yang ditanamnya. Menanam kekerasan akan memetik sendiri akibatnya."
"Sombong! Lihat naga hitamku menerkammu!" Setelah membentak demikian Jit Kong Lama melontarkan tongkat kepala naga itu ke atas. Terdengar bunyi ledakan.
Tongkat itu berubah menjadi asap hitam dan dari asap hitam itu muncul seekor naga yang menyeramkan. Matanya berkilat, moncongnya terbuka menyemburkan api, kedua lubang hidungnya mendengus mengeluarkan asap, cakar kedua kaki depannya siap inenerkam dan naga itu meluncur turun menerjang Tiong Lee Cin-jin dengan buas itu serta masih ditambah suara gemuruh yang keluar dari mulut naga itu sehingga dapat menggetarkan dan menakutkan hati orang yang paling tabah sekalipun.
Namun Tiong Lee Cin-jin adalah seorang yang sudah mencapai tingkat kejiwaan yang amat tinggi. Dalam keadaan bagaimanapun dia sudah menyerah total kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Penyerahan sedemikian mutlak sehingga meniadakan akunya, mengesampingkan nafsu-nafsunya dan yang bekerja pada dirinya pada saat itu bukan lagi hati akal pikirannya melainkan sepenuhnya diisi oleh Kekuasaan Tuhan yang mengalir masuk ke dalam jiwa raganya.
Kalau sudah demikian, maka bukan lagi dia se bagai manusia dengan hati akal pikirannya, melainkan Roh Kekuasaan Tuhan yang bekerja menanggulangi apa saja yang datang menimpa dirinya.
Tiong Lee Cin-jin yang diserang oleh naga hitam jadi-jadian itu membungkuk, tangan kanannya mengambil segenggam tanah lalu melontarkan tanah itu kepada naga hitam yang hendak menerkamnya, mulutnya berkata lembut namun penuh wibawa yang menggetarkan, "Berasal dari tanah kembali kepada tanah!"
Segenggarn tanah itu meluncur tepat mengenai kepala naga yang sedang menerkam itu. "Blarrrr...!" Terdengar ledakan disusul asap hitam bergulung-gulung. Naga itu terjatuh ke atas tanah dan begitu tiba di atas tanah naga hitam itu telah berubah kembali menjadi tongkat berkepala naga milik Jit Kong Lama.
Pendeta Lama itu terkejut dan marah bukan main. Diambilnya tongkatnya dan ditancapkan tongkatnya itu ke atas tanah lalu dia membentak, "Tiong Lee Cin-jin, apa engkau menghendaki aku membunuh mu dengan tanganku ini? Lihat, apakah kepalamu lebih kuat daripada batu ini?"
Dia menggosok-gosok kedua telapak tangannya. Uap putih mengepul dari kedua tangannya yang kini, menjadi kemerahan seperti bara api. Dia lalu meng hampiri sebuah batu sebesar kerbau yang terletak tak jauh dari situ. Dia mengangkat kedua tanganhya, berganti menghantam ke arah batu.
"Darr-darrr!" Batu sebesar kerbau itu hancur berkeping-keping terkena hantam-an kedua tangannya. Sungguh sebuah kekuatan yang amat dahsyat!
"Nah, Tiong Lee Cin-jin! Kau serahkan baik-baik semua kitab itu kepadaku atau aku harus menghancurkan dulu kepalamu dengan tanganku?" bentaknya sambil mengharnpiri Tiong Lee Cin-jin.
"Aku tidak menghalangi engkau mengambil kitab, namun kuperingatkan bahwa kitab-kitab ini bukan hak milikmu dan kalau engkau hendak nekad mengambilnya, hal itu sama saja dengan perampasan dan tentu saja hal itu amat tidak baik dan tidak patut dilakukan seorang pendeta sepertimu, Jit Kong Lama. Sepuluh ribu ayat kitab suci engkau hafalkan, namun satu saja tidak kau laksanakan, apakah artinya semua jerih payahmu itu?"
"Manusia sombong, engkau patut dihajar!" bentak Jit Kong Lama dan dia lalu mengayun tangan kanannya, yang merah seperti bara api, menampar ke arah muka Tiong Lee Cin-jin. Dapat dibayangkan betapa kepala itu akan hancur lebur dihantam tangan yang telah membuat batu besar pecah berkeping-keping ketika dipukul tadi!
Namun, Tiong Lee Cin-jin sedikitpun tidak membuat gerakan mengelak atau menangkis, melainkan diam saja, hanya matanya memandang dengan sinar lembut tajam kepada penyerangnya.
"Wuuuutttt.....!" Terjadi keanehan yang luar biasa. Tangan itu menyambar ke arah pelipis kiri kepala Tiong Lee Cin-jin. Rambut kepala Tiong Lee Cin-jin sudah berkibar tertiup angin pukulan dahsyat itu. Akan tetapi ketika tangan itu sudah mendekati kepala, tinggal sejengkal lagi, tiba-tiba saja tangan itu luncurannya menyimpang dan membelok tidak mengenai sasarannya!
Jit Kong Lama terkejut dan heran. Dia merasa seolah tangannya itu tertolak atau tertangkis oleh hawa yang lunak namun berat dan kuat bukan main, merasa seolah tangannya digerakkan dalam air. Dia menjadi penasaran dan tangan kiirinya menyusul, kini tangan kiri itu menyodok atau menusuk dengan jari-jari terbuka ke arah dada lawan.
"Wuuuuttt....!" Kembali yang diserang diam saja, hanya memandang dengan senyumnya yang lembut. Untuk kedua kalinya tangan Jit Kong Lama tidak mengenai sasaran. Tusukan tangan itupun seolah meleset karena tertepis hawa yang lunak berat dan kuat.
Jit Kong Lama melangkah mundur, matanya yang sudah besar itu dilebarkan terbelalak. Dia adalah seorang yang sudah mempelajari banyak ilmu dan sudah mempunyai banyak pengalaman bertanding melawan orang-orang sakti. Akan tetapi belum pernah dia mengalami hal seperti ini!
Kalau Tiong Lee Cin-jin membuat gerakan mengerahkan tenaga sakti untuk menangkis serangannya, bahkan kalau Tiong Lee Cin-jin, menggunakan ilmu kekebalan untuk menerima serangan-nya, hal itu tidak akan mengherankannya. Akan tetapi lawannya ini tidak membuat gerakan apapun, juga tidak melakukan sihir, tidak membaca mantera, bahkan sama sekali tidak mengeluarkan tanda-tanda melawan serangannya.
Akan tetapi, dua kali pukulannya yang dia tahu amat ampuh itu tidak dapat menyentuh tubuh lawan. Dia merasa seperti ada dinding hawa yang aneh menyelimuti tubuh Tiong Lee Cin-jin, atau seolah tangannya yang tidak mau memukul orang itu!
"Keparat! Lawanlah aku dengah ilmumu, jangan menggunakan ilmu siluman!" bentaknya marah.
Tiong Lee Cin-jin tersenyum dan menjawab dengan suara yang halus. "Jit Kong Lama, semua ilmu menjadi ilmu siluman yang jahat kalau dipergunakan untuk berbuat sewenang-wenang, menyerang untuk menyakiti atau membunuh orang yang sama sekali tidak bersalah. Renungkanlah itu dan sadarlah. Mari kita berpisah sebagai saudara, bukan sebagal musuh."
Akan tetapi bagi Jit Kong Lama yang belum pernah dikalahkan orang, belum pernah pula mengalah terhadap orang lain, ucapan Tiong Lee Cin-jin dianggap sebagai ejekan yang merendahkan atau menghinanya. Orang yang menganggap' diri sendiri terlalu tinggl dan terlalu penting selalu mudah tersinggung. Dia menyambar tongkat kepala naga yang tadi ditancapkan di atas tanah dan membentak.
"Kita berpisah sebagai saudara kalau engkau menyerahkan kitab-kitab itu kepadaku! Kalau tidak, kita tetap akan berpisah sebagai musuh dan sebelum berpisah, aku akan menghancurkan dulu kepalamu!" ucapan ini ditutup oleh sambar an tongkat kepala naga itu. Terdengar bunyi desir angin mengiuk dan ujung tongkat menyambar ke arah kepala Tiong Lee Cin-jin.
Seperti tadi Tiong Lee Cin-jin tidak menangkis maupun mengelak melainkan diam saja, hanya memandang dengan sorot matanya yang lembut dan mulutnya fersenyum penuh kesabaran. Tongkat menyambar dan tampaknya sekali ini ujung tongkat akan mengenai sasaran.
Akan tetapi setelah hantaman tongkat itu tiba dekat kepala, hanya beberapa senti meter lagi jaraknya, tiba-tiba tongkat itu membalik seolah bertemu dengan benda tak tampak yang amat keras dan kuat. Tongkat itu membalik dengan kekuatan yang sama dan memukul ke arah kepala Jit Kong Lama sendiri? Jit Kong Lama terkejut dan cepat menggerakkan tongkat sehingga luput menghantam kepalanya sendiri.
"Segala sesuatu kembali ke asalnya semula. Kekerasanpun kembali kepada kekerasan. Lupakah engkau akan kenyataan itu, Jit Kong Lama?"
Jit Kong Lama berdiri terbelalak. Mukanya berubah pucat. Kini terbukatah matanya. Yang melindungi Tiong Lee Cin-Jin Itu bukanlah semacam ilmu yang dapat dipelajari manusia. Teringatlah dia akan dongeng yang pernah didengarnya tentang kesaktian Sang Budhi Dharma atau yang dikenal sebagai Tat Mo Couwsu. Menurut dongeng, Sang Budhi Dharma juga memiliki kesaktian seperti yang dihadapinya sekarang ini.
Tanpa bergerak menangkis atau mengelak, Sang Budhi Dharma dapat terhindar dari segala macam serangan berupa kekerasan yang datang dari luar dirinya. Ada sesuatu yang melindunginya sehingga semua serangan tidak dapat menyentuh dirinya. Menurut dongeng, sikap Sang Budhi Dharma itu disebut "Menyatu dengan Alam". Dengan tidak mengadakan perlawanan, maka dia terlindung oleh KEKUATAN GAIB yang menggerakkan seluruh alam mayapada ini.
Kekuatan yang menumbuhkan segala sesuatu, kekuatan yang mengguncang air samudera, kekuatan yang menggerakkan awan-awan, kekuatan yang mengatur segala sesuatu yang tampak maupun yang tidak tampak. Kalau Kekuatan seperti itu melindungi seseorang, maka kekuasaan apakah yang akan mampu menyentuh orang itu?
Teringat akan ini, Jit Kong Lama mengerutkan alisnya, memandang kepada pria setengah tua yang berdiri dengan senyum lembutnya itu dengan gentar. Kemudian, dengan tangan kanan memegang tongkat kepala naga, dan tangan kiri dimiringkan ke depan dada, dia berkata,
"Tiong Lee Cin-jin, biarlah sekali ini aku mengaku kalah. Akan tetapi ingat, aku adalah seorang yapg tidak dapat begitu saja menerima kekalahan. Tunggulah saatnya aku menemuimu atau muridmu untuk membalas kekalahan hari ini!" Setelah berkata demikian, tanpa menantl jawaban, tubuhnya melompat dan terdengar bunyi ledakan. Asap mengepul tebal dan ketika asap membuyar, pendeta Lama itu sudah tidak tampak lagi bayangannya!
Tlong Lee Cin-jin menghela napas panjang, mengambil buntalan kain kuning dan menggendongnya kembali dengan sikap tenang dan tidak tergesa-gesa. Kemudian dia menghela napas panjang lagi dan berkata seorang diri, lirih. "Sayang, orang-orang yang telah menguasai banyak ilmu setinggi itu tidak mempergunakan ilmunya untuk menyebar benih kebaikan di dunia. Sungguh sayang...!"
Dia lalu melangkah menuruni lereng seolah tidak pernah terjadi sesuatu. Ketika melangkah ini, kcpalanya bergoyang-goyang perlahan, matanya menerawang jauh dan dia sendiri mendengar detak jantungnya berbisik "Tuhan... Tuhan... Tuhan...." tiada henti-hentinya.
Anak-anak laki-laki itu berusia sekitar sepuluh tahun. Dia duduk di atas punggung seekor kerbau betina dengan santai sambil meniup sebatang suling bambu. Lagunya lagu kanak-kanak dusun yang sederhana. Namun karena ditiup di lereng pegunungan yang sunyi itu, terdengar mengalun indah.
Di tempat yang sunyi hening seperti itu, suara anjing menggonggong di kejauhanpun terdengar menyenangkan hati. Bahkan suara daun di puncak pohon bergoyang-goyang menimbulkan desah gemerisik pun terdengar merdu menenangkan hati.
Tubuh anak itu sedang saja, kulitnya yang tampak pada tubuh bagian atas yang telanjang itu karena dia hanya mengenakan celana hitam sebatas lutut, tampak kecoklatan terbakar terik matahari. Rambutnya dipotong pendek. Kepalanya dilindungi sebuah caping lebar sehingga mukanya tertutup bayangan caping. Wajah anak itu tampan dan cerah, berbentuk bulat telur dengan dagu agak meruncing.
Sepasang alis matanya hitam tebal melindungi sepasang mata yang bersinar terang dan yang memandang dunia ini dengan berseri, sepasang mata yang putihnya jernih dan hitamnya legam. Hidungnya mancung dan mulutnya membayangkan kemauan yang kuat. Seperti kebanyakan anak dusun, anak inipun membayangkan kejujuran dan keterbukaan sehingga tampak bodoh.
Dia meniup suling dan tenggelam dalam suara sulingnya sendiri sehingga dia seperti lupa akan keadaan dirinya, membiarkan kerbau yang ditungganginya itu berjalan sendiri. Anak kerbau di belakangnya mengikuti induk kerbau sambil terkadang berloncatan dan mencoba segala macam rumput dan daun-daun yang ditemui di jalan.
Tiba-tiba anak itu menghentikan tiupan sulingnya. Kerbau induk itu berhenti dari makan rumput yang amat subur dan gemuk yang tumbuh di situ. Anak itu terbelalak memandang ke kanan kiri. Baru dia menyadari bahwa dia dibawa kerbaunya sampai ke tepi hutan!
Hutan yang ditakuti semua penduduk dusun di kaki pegunungan. Hutan terlarang dan yang kabarnya dihuni oleh para siluman. Pimpinannya adalah seekor naga siluman yang amat jahat...!