Kisah Si Naga Langit Jilid 02

Sonny Ogawa

Kisah Si Naga Langit Jilid 02 karya Kho Ping Hoo - "Belang, cepat kita turun, kita kembali!" Anak itu menendang-nendang dengan kakinya ke perut kerbau. Akan tetapi dia melihat anak kerbau itu berloncatan dan berlari memasuki hutan.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

"Heii, Kecil! Cepat kembali, jangan masuk ke sana!" teriaknya dan dia melompat turun dari punggung kerbaunya dan berlari mengejar anak kerbau yang berloncatan dan berlari masuk ke dalam hutan seperti anak kecil yang manja dan nakal.

Tiba-tiba anak yang mengejar kerbaunya itu terbelalak dan tersentak, berhenti dari larinya, memandang dengan wajah pucat ke depan. Tangan kirinya masih menggapai ke depan untuk memanggil kerbaunya dan tangan kanannya menutup mulut agar tidak mengeluarkan teriakan. Apa yang dilihatnya mendatangkan kengerian hebat dalam hatinya.

Selagi anak kerbau itu berloncatan, tiba-tiba dari atas pohon besar yang tumbuh di situ, meluncur kepala seekor ular yang luar biasa besarnya. Ular itu tergantung pada dahan pohon, tubuhnya yang besar itu terjulur ke bawah dan moncongnya yang terbuka lebar itu menyambar dan menggigit leher anak kerbau yang mengeluarkan suara parau penuh kesakitan dan ketakutan. Ular yang menggigit anak kerbau itu menariknya ke atas dan anak kerbau itu meronta-ronta lemah dengan keempat kakinya.

Anak itu hampir berhenti bernapas. Ular itu besar sekali. Panjangnya belasan meter dan tubuhnya sebesar pohon siong. Setelah anak kerbau itu dibawa sampai ke atas dahan, tubuh ular itu segera melingkarinya dan menghimpitnya dengan kuat. Agaknya anak kerbau Itu tewas seketika oleh tekanan himpitan yang kuat itu dan tidak bersuara lagi, hanya ada dua kaki belakangnya yang masih tampak itu berkelojotan dalam sekarat.

Anak itu menangis dan berlari keluar dari hutan, naik ke atas punggung induk kerbau dan turun lagi seperti yang kebingungan, lalu menarik tanduk kerbau itu dan diajaknya berlari cepat meninggalkan tepi hutan menuruni lereng sambil menangis sesenggukan.

Setelah menuruni sebuah lereng, anak itu melihat seorang laki-laki setengah tua berdiri di tengah jalan setapak sambil memandangnya. Melihat ada orang dewasa, anak itu menghentikan lari kerbaunya, menghampiri orang itu dan berkata dengan suara bercampur tangis.

“Paman, tolonglah saya, paman.... tolonglah anak kerbau saya..."

Laki-laki itu adalah Tiong Lee Cin-Jin. Dia baru saja turun dari lereng bagian atas setelah ditinggal pergi Jit Kong Lama. Mellhat seorang anak laki-laki berlari-lari menuntun kerbaunya sambil menangis, dia cepat menghadang. Mendengar ucapan anak itu yang minta tolong, dia menjulurkan tangan, mengelus kepala anak itu dan bertanya dengan suara lembut.

"Tenanglah, anak yang baik. Apa yang terjadi dengan anak kerbaumu?"

"Anak itu menengok ke belakang lalu menuding ke arah hutan yang berada di lereng sebelas atasnya. "Ada naga jahat... naga itu menangkap anak kerbau saya.... di sana, di hutan itu...!"

"Naga...?" Tlong Lee Cln-jin mengulang sambil tersenyum. Mana mungkin ada naga di hutan itu atau di mana saja? Sepanjang pengetahuannya, naga hanya terdapat dalam dongeng jaman dahulu, beribu tahun yang lalu. Lalu dia menduga. "Maksudmu ular?"

"Bukan, bukan ular, akan tetapi naga. Mana ada ular yang besarnya seperti itu? Paman, tolonglah saya. Kalau saya tidak membawa pulang anak kerbau itu, tentu majikan akan membunuh saya...."

"Hemm, mari kita lihat ke sana. Tambatkan saja kerbaumu di sini," kata Tiong Lee Cin-jin, Karena tidak ingin kehilangan induk kerbaunya, anak itu lalu mengikat kerbau itu kepada sebatang pohon. Setelah Itu, bersama Tiong Lee Cin-jin dia mendaki lereng menuju ke hutan tadi.

Ular itu masih berada dl atas dahan pohon. Moncongnya terbuka lebar-lebar seperti akan robek dalam usahanya menelan badan anak kerbau yang terlampau besar untuk moncongnya itu. Tubuh kerbau itu sudah tertelan setengahnya dan sedikit demi sedikit badan anak kerbau itu tergeser masuk. Agaknya akan makan waktu lama sebelum anak kerbau itu dapat masuk seluruhnya ke dalam perut ular. Tampak lehernya, di mana bagian badan anak kerbau itu masuk, menggembung besar.

Anak itu menudingkan telunjuknya ke atas. "Itu dia! Naga jahat itu mulai menelan anak kerbauku! Tolonglah anak kerbauku, paman!"

Tiong Lee Cin-jin memandang dan dia merasa kagum. Ular itu memang besar sekali, jarang dia melihat ular sebesar itu dan gambar dan warna kulitnya indah. "Itu bukan naga, itu seekor ular kembang," katanya.

Rasa ngeri lenyap dari hati anak itu ketika mendengar bahwa binatang yang makan anak kerbaunya itu bukan naga melainkan ular. Pada masa itu, naga merupakan mahluk keramat bagi rakyat, mahluk yang dihormati dan ditakuti, maka ketika tadi anak itu menduga bahwa anak kerbaunya dimakan naga, dia menjadi ketakutan setengah mati. Sekarang setelah dia mendengar bahwa yang makan anak kerbaunya itu hanya seekor ular, walaupun besar sekali, dia menjadi berani dan marah.

"Ular? Ular keparat, ular jahat, lepaskan anak kerbauku! Kubunuh engkau!" Dia mengambil sebuah batu sebesar kepalan tangannya dan menyambitkan batu itu ke atas, mengarah ular yang tampaknya sama sekali tidak bergerak itu, Sambitan itu luput dan anak itu sudah mengambll sebuah batu lagi. Akan tetapi Tiong Lee Cln-jin memegang lengannya.

"Sabarlah, anak baik. Jangan ganggu dia! Lihat, dia sedang menikmati makannya, mengapa diganggu? Andaikata engkau sedang makan masakan daging ayam lalu datang seekor ular mengganggumu, bagaimana?"

Anak itu tercengang mendengar ucapan yang dianggapnya aneh ini. Dia segera membantah. "Akan tetapi, paman. Ular itu jahat sekali! Dia makan anak kerbauku, dia kejam buas dan jahat!"

Tiong Lee Cin-jin tersenyum. "Bagaimana kalau ular itu mengatakan kepadamu ketika engkau sedang makan daging ayam, Manusia itu jahat, kejam dan buas sekali. Dia menyembelih ayam dan memasak lalu makan dagingnya! Nah, bagaimana jawabmu?"

"Akan tetapi, paman. Ayam memang makanan manusia!"

"Begitukah? Dengar, anak baik. Hewan-hewan kecil seperti anak kerbau, kijang, kelinci dan yang lain-lain itu memang makanan ular itu. Kalau dia tidak mendapatkan makanan itu, dia akan mati kelaparan karena dia tidak dapat makan rumput atau buah atau daun-daunan. Dia makan anak kerbaumu bukan karena buas, kejam, rakus atau jahat. Sama sekali tidak, melainkan dia makan anak kerbaumu itu karena memang itulah jenis makanannya dan dia makan itu agar dia tidak mati kelaparan.

"Ular, singa, harimau dan sejenisnya hidup karena makan binatang lain yang lebih lemah dan kecil. Lembu, kerbau, gajah dan sejenisnya makan rumput dan sayur-sayuran. Kera, tupai dan sejenisnya makan buah-buahan. Sudah demikian kehendak Yang Menciptakannya. Kalau tidak mendapatkan makanan khas mereka, mereka akan mati kelaparan.

"Coba ingat baik-baik, hanya manusia yang rakus, karena hampir semua tumbuh-tumbuhan, semua buah-buahan, semua binatang yang ada di dunia ini menjadi makanannya, baik yang berada di darat, di udara, maupun di laut. Siapa yang lebih buas dan kejam?"

Anak itu menjadi bengong dan sejenak lupa akan anak kerbaunya. Dia menatap wajah Tiong Lee Cin-jin dengan pandang mata polos dan penuh keheranan. "Akan tetapi... engkau sendiri makan apa, paman?"

Tiong Lee Cin-jin tertawa. Suara tawanya lembut dan sopan, tidak terbahak. "He-he-he, anak baik. Aku juga seorang manusia, tentu saja makananku sama dengan manusia-manusia lainnya."

"Kalau begitu mengapa paman mencela makanan manusia?"

"Aku tidak bermaksud mencela, hanya ingin mengingatkan engkau agar tidak menganggap ular itu jahat dan buas karena dia sudah makan apa yang semestinya dia makan. Dia tidak akan suka makan bakmi atau cap-cai!"

"Akan tetapi dia mengambil anak kerbau milik saya! Bukankah itu berarti dia telah merampas dan merampok?"

"Dia tidak mengenal istilah hak milik, anak baik. Semua hewan yang berada di hutan, yang dapat menjadi mangsanya, bukan milik siapa-siapa. Dia tentu menganggap anak kerbau itu bukan milik siapa-siapa dan sudah Sewajarnya kalau menjadi mangsanya untuk mencegah dia kelaparan. Jadi sesungguhnya kesalahanmu sendiri mengapa engkau menggembalakan kerbau di hutan ini, anak baik. Tempat ini penuh binatang liar, bukan tempat untuk menggembala ternak."

Anak itu termanggu, lalu mengerutkan alisnya dan dia menjatuhkan dirinya duduk di atas tanah, tampak bingung dan sedih. Tiong Lee Cin-jin juga ikut duduk di atas sebuah batu tidak jauh dari anak itu. Diam-diam dia memperhatikan. Seorang bocah yang berwajah tampan, membayangkan watak yang jujur dan bersih, seperti sebuah batu mulia aseli yang belum digosok.

Sinar mata dan lekukan mulut itu menandakan bahwa anak ini mempunyai dasar watak yang baik. Tubuhnya juga membayangkan tubuh yang sehat, berdarah bersih. Perawakannya tegak lurus, dadanya bidang dan pundaknya rata.

"Akan tetapi, paman. Biarpun sekarang saya dapat mengerti bahwa ular itu memang sudah sewajarnya makan anak kerbau saya dan dia tidak dapat dipersalahkan, bahwa hal ini terjadi karena kesalahan saya sendiri, akan tetapi perbuatannya itu menimbulkan korban.

Korbannya adalah diri saya sendiri. Karena dia menjadikan anak kerbau itu sebagai mangsanya, maka sayalah yang akan menanggung akibatnya, kalau tidak mati saya sedikitnya akan mengalami siksaan. Bahkan mungkin sekali lebih daripada itu. Akibatnya dapat pula menyengsarakan kehidupan nenek saya yang sudah tua itu."

"Bagaimana bisa begitu?" tanya Tiong Lee Cin-jjn.

"Saya hanya bekerja sebagai penggembala kerbau milik kepala dusun kami, paman. Kalau nanti saya pulang tidak membawa anak kerbau itu, majikan saya tentu akan marah sekali. Dia seorang yang amat galak dan keras, mempunyai banyak tukang pukul. Saya tentu akan disiksa dan mungkin dibunuh. Nenek saya juga bekerja sebagai tukang cuci di rumah majikan saya itu tentu akan menanggung akibatnya pula. Saya takut untuk pulang, paman."

Anak tidak menangis lagi, akan tetapi menggunakan punggung tangan kirinya untuk mengusap beberapa tetes air mata yang mengalir keluar dari pelupuk matanya.

"Hemm, dan ayah ibumu?"

"Mereka sudah tiada, paman. Ayah dan ibu telah meninggal sejak saya berusia lima tahun dan sejak itu saya hanya hidup berdua dengan nenek saya."

Tiong Lee Cin-jin menghela napas panjang. Betapa banyaknya manusia yang hidup menderita karena kemiskinan di dunia ini, disamping hanya beberapa gelintir orang yang hidup berlebihan. Padahal, manusia diciptakan hidup di dunia ini seharusnya dapat mengisi hidupnya dengan saling mengasihi, saling membantu, menjadi alat dari Kekuasaan Tuhan agar bermanfaat bagi orang-orang lain.

Yang pandai membantu yang bodoh dengan pemikiran, yang kuat membantu yang lemah dengan kekuatan, sedangkan yang kaya membantu yang miskln dengan hartanya. Akan tetapi apa yang dilihatnya sejak dari India ke Cina? Yang pintar menipu yang bodoh, yang kuat menindas yang lemah, yang kaya memperbudak yang miskin.

"Sekarang bagaimana? Engkau harus pulang, setidaknya untuk mengembalikan kerbau ini kepada pemiliknya."

"Memang seharusnya begitu, paman. Akan tetapi saya tidak berani pulang karena saya pasti akan dipukuli, mungkin dibunuh oleh para tukang pukul Lurah Coa, bahkan nenekku tentu tidak akan luput dari hukuman pula."

"Jangan khawatir. Mari kuantar kau pulang darr aku yang akan menjadi saksi bahwa anak kerbau itu dimakan ular. Hayolah!"

Biarpun masih takut, mendengar ucapan dan melihat sikap Tiong Lee Cin-jin yang meyakinkan hatinya itu, dia mengangguk dan mengikuti orang tua itu keluar dari hutan. Beberapa kali dia menenggok dan memandang ke arah ular besar yang berusaha dengan tenang untuk menelan anak kerbau yang terlalu besar untuk moncongnya itu.

Setelah tiba di lereng di mana tadi mereka berjumpa, anak itu melepaskan ikatan kerbaunya dan menuntunnya menuruni lereng bersama Tiong Lee Cin-jin. Pemandangan di bawah sana masih tetap indah mempesona, Sawah ladang yang luas hijau menguning terbentang di bawah sana dan dari atas itu tampak rumah-rumah dusun sederhana di antara pohon-pohonan.

Tiong Lee Cin-jin memandang ke atas dan dia tersenyum, matanya bersinar, wajahnya berseri. Dia melihat awan putih yang membentuk seekor naga sedang terbang melayang, seperti seekor Naga Langit yang perkasa.

"Anak baik, siapa namamu?" tanyanya sambil berjalan di samping anak itu nieniti jalan setapak menuruni lereng.

"Marga saya Souw dan nama saya Thian Liong, paman."

Pria setengah tua itu melebarkan matanya dan berdongak ke atas memandang awan yang berbentuk naga itu. "Thian Liong (Naga Langit)? Souw Thian Liong....?" Betapa kebetulan. Dia melihat Naga Langit di angkasa yang dibentuk oleh awan dan nama anak ini berarti Naga Langit pula!

"Ya benar, paman. Dan paman sendiri, siapa nama paman?" tanya Thian Liong.

"Orang menyebutku Tiong Lee Cin-jin. Kulihat engkau mempunyai sebatang suling yang terselip di ikat pinggangmu. Maukah engkau meniupnya dan memainkan sebuah lagu untukku, Thian Liong?"

Anak itu memandang ke arah suling di pinggangnya dengan sedih, lalu berdongak memandang laki-laki itu dan berkata, "Paman, bagaimana aku dapat rneniup suling kalau hatiku sedih dan dihimpit perasaan takut seperti ini?"

Tiong Lee Cin-jin mengelus kepala Thian Liong. "Jangan bersedih dan jangan takut, anak baik. Segala urusan yang tidak mampu kau atasi, serahkan saja sepenuhnya kepada kekuasaan Tuhan. Kekuasaan Tuhan yang akan mengaturnya dan tidak ada kekuatan apapun di dunia ini yang dapat mengubah apa yang telah diatur dan ditentukan oleh Tuhan!"

"Tuhan? Siapakah itu Tuhan, paman?"

Mereka sallng pandang dan slnar mata Tlong Lee Cln-jln bertemu dengan sinar mata yang demikian polos dan jernih. Dia tersenyum. Ketidak-tahuan yang murni dan suci. Seperti seorang bayi. Manusia lahir tanpa disertai pengetahuan, bahkan tidak mengenal Tuhan. Setelah pikirannya bekerja, mulailah dia bertanya-tanya dan jalan plkirannya dlpengaruhi dari pemberitahuan dari luar.

"Tuhan adalah Yang Maha Kuasa, yang telah menciptakan bumi, langit, angin, tumbuh-tumbuhan, mahluk hidup, bulan, matahari dan bintang. Segala yang ada, segala yang tampak dan tidak tam-pak, semua ini adalah ciptaan Tuhan. Bahkan engk'au dan aku inipun ciptaan-Nya, Thian Liong. Mengertikah engkau?"

Thian Liong menggaruk kepalahya dan mengerutkan alisnya, meniandang heran. "Akan tetapi orang-orang bercerita kepada saya bahwa semua itu ada dewa yang menjaganya, paman. Ada dewa matahari, dewa bulan, dewa bintang, dewa gunung, dewa sungai dan seterusnya, demikian yang saya dengar."

Tiong Lee Cin-jin mengangguk-angguk. Dia harus memberi jawaban yang sesuai dengan apa yang telah didengar dan dipercaya anak ini, agar tidak membingungkan hatinya. "Katakanlah bahwa ada para dewa dan para malaikat yang menjaga semua itu, akan tetapi mereka itu adalah pelaksana dari kekuasaan Tuhan, Thian Liong. Mereka adalah hulubalang, pembantu dan hamba Tuhan."

"Ah, paman. Kalau begitu Tuhan itu seperti Rajanya dan para dewa itu para perajuritnya!"

Tiong Lee Cin-jin tersenyum dan mengangguk. Biarlah, anak yang masih polos ini menganggapnya begitu agar pikirannya tjdak menjadi bingung. "Ya, begitulah kira-kira. Tuhan adalah Raja dari segala raja, penguasa langit dan bumi serta sekalian isinya."

Mereka tiba di dusun dan mulailah Thian Liong merasa takut lagi. Wajahnya pucat dan dia tampak kebingungan. Melihat ini, Tiong Lee Cin-jin berhenti di depan dusun itu dan bertanya, "Thian Liong, takutkah engkau akan ancaman majikanmu?"

"Paman, aku tidak perduli akan keadaan diriku sendiri. Biarlah kalau dia mau menghukum aku, menyiksa atau membunuh sekalipun. Akan tetapi aku khawatir kalau nenek yang sudah tua itu akan dihukumnya pula. Aku kasihan kepada nenekku, satu-satunya orang yang kumiliki?"

Tiong Lee Cin-jin mengelus kepala anak itu. "Jangan takut, Thian Liong. Ingatkah engkau akan Raja di atas segala raja tadi?"

"Maksud paman.... Tuhan?"

"Benar. Serahkan segalanya kepada Tuhan yang Maha Kuasa, Maha Adil Maha Kasih dan Maha Murah. Dia yang akan melindungi engkau dan nenekmu kalau engkau mau berserah kepadaNya."

"Benarkah itu, paman?"

"Tentu saja benar dan aku yang akan menanggung bahwa hal itu benar adanya. Kalau engkau percaya dan berserah diri, Tuhan tentu akan mengutus para dewa itu untuk melindungimu dari gangguan orang jahat."

Wajah anak itu tampak lega dan sinar matanya tidak ketakutan lagi. "Kalau begitu, aku akan berserah diri kepadanya, paman."

"Engkau tidak takut lagi?"

"Tidak, bukankah paman ada bersamaku? Dan para Dewa diutus Tuhan untuk melindungi aku dan nenek. Aku tidak takut lagi!‟

"Kalau begitu mari kita masuk dan menemui majikanmu." Mereka memasuki dusun. Thian Liong menuntun kerbaunya berjalan di depan sebagai penunjuk jalan.

Majikan anak itu adalah Lurah Coa Lun, seorang laki-laki berusia lima puluh tahun. Lurah Coa ini seolah menjadi seorang raja k6cil di dusunnya, merupakan orang paling kaya di situ. Semua orang di dusun itu takut kepadanya, bahkan kehidupari mereka bergantung kepada lurah ini. Hal itu karena semua penduduk telah terikat hutang kepada lurah Coa.

Ketika tiba musim kemarau panjang, para petani itu terpaksa berhutang kepada Lurah Coa untuk dapat menyambung hidup dan sejak itu, hutang mere-ka tidak pernah dapat terlunasi karena bunganya yang tinggi. Pencicilan hutang dan bunganya berkejaran.

Karena itu, semua penghuni dusun itu seolah-olah telahy berada dalam cengkeraman tangan Lurah Coa dan karena itu mereka semua merasa takut dan hanya dapat menaati semua perintah sang lurah. Selain itu, Lurah Coa juga memperkuat kedudukannya dengan memelihara dua belas orang jagoan tukang pukul sehingga tidak ada yang berani mencoba untuk menentangnya.

Lurah Coa mempunyai tiga orang isteri. Akan tetapi tiga orang isteri ini agaknya masih belum mampu memuaskan nafsunya. Dia seorang mata keranjang yang gila akan wanita muda dan cantik. Karena itu, kehidupan para wanita muda yang memiliki wajah cantik di dusun itu, baik ia masih gadis maupun sudah menjadi isteri orang, tidak aman.

Siapa yang diincar dan dikehendaki sang lurah, pasti akan menjadi mangsanya. Secara halus maupun kasar, lurah bejat moral itu pasti akan mendapatkan wanita itu untuk beberapa lama sampai dia merasa bosan dan melepaskannya kembali. Karena itu, banyak suami yang merasa memiliki isteri muda dan manis, diam-diam pergi mengungsi, pindah dari dusun itu. Juga banyak keluarga yang memiliki anak gadis cantik, mengungsikan gadis itu keluar dusun.

Hampir semua sawah ladang yang berada di dusun itu dan sekitarnya, sudah menjadi milik Lurah Coa. Mereka yang dibebani hutang yang semakin membengkak, terpaksa merelakan tanahnya disita oleh sang lurah dan mereka hanya menjadi buruh tani sang lurah saja sehingga kehidupan mereka semakin bergantung kepada sang lurah.

Ayah Souw Thian Liong bernama Souw Ki sudah meninggal dunia sejak Thian Liong berusia lima tahun. Juga ibu anak itu sudah meninggal dunia. Kedua orang suami Isteri itu meninggal dalam keadaan miskin dan terserang penyaklt perut yang waktu itu menjadi wabah di dusun-dusun sekitar daerah pegunungan itu.

Mereka terserang penyakit dan meninggal dunia secara berturut-turut. Yang selamat hanya' Thlan Liong dan neneknya, yaitu Nenek Souw ibu dari mendiang Souw Ki. Sejak itu, dalam usia lima tahun, Thian Liong hidup bersama neneknya. Nenek Souw yang sudah amat itu bekerja keras untuk dimakan berdua dengan cucunya. Ia bekerja sebagai tukang cuci pakaian di rumah keluarga Lurah Coa, dan setelah Thian Liong berusia delapan tahun, Nenek Souw mintakan pekerjaan untuk cucunya itu kepada sang lurah.

Kebetulan lurah itu baru menyita seekor kerbau dari seorang warga dusun yang tidak mampu membayar hutangnya, maka Thian Liong diberi pekerjaan menggembala kerbau itu. Sebelumnya, Lurah Coa tidak memelihara kerbau karena dia telah iriempunyai banyak buruh tani yang bekerja di sawah dan tidak memerlukan kerbau lagi.

Kerbau itu dipelihara dengan baik oleh Thian Liong, gemuk dan sehat. Thian Liong amat menyayang kerbau itu dan lebih-lebih lagi ketika kerbau itu melahirkan seorang anak kerbau. Karena itu, dapat dlbayangkan betapa sedlh dan juga takut rasa hati Thian Liong menghadapi kemarahan Lurah Coa ketika kerbaunya yang kecil dimakan ular raksasa. Dia amat mengkhawatirkan nasib neneknya. Apalagi kalau neneknya sampai dihukum, bahkan baru dipecat saja kehidupan mereka berdua akan terancam bahaya kelaparan!

Lurah Coa menjadi marah sekali ketika dia dilapori bahwa Thian Liong pulang tanpa anak kerbaunya. Dia segera melangkah keluar dan matanya terbuka lebar, mukanya menjadi kemerahan ketika dia melihat Thian Liong berdiri di halaman rumah sambil menuntun induk kerbau tanpa anak kerbau dan ditemani seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian seperti seorang pendeta, menggendong sebuah buntalan besar.

"Thian Liong, mana anak kerbaunya?" tanya sang lurah dengan suara bentakan dan matanya melotot. Lurah itu bertubuh tinggi kurus, matanya sipit, daun telinganya kecil seperti telinga tikus, hidungnya pesek dan mulutnya lebar, dihias kumis kecil panjang menggantung di kanan kiri mulut dan jenggotnya hanya beberapa helai saja.

Karena setiap kali diharuskan memberi penghormatan yang berlebihan terhadap Lurah Coa, maka Thian Liong lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap sang lurah. "Ampunkan saya, tai-jin (tuan besar), anak kerbau itu dimakan ular di hutan...."

"Apaa? Dimakan ular di hutan? Gila kamu! Mana bisa anak kerbau dimakan ular di hutan. Memangnya kamu menggembala kerbau di dalam hutan?"

"Ampun, taijin. Anak kerbau itu berlompatan dan berlari memasuki hutan. Ketika saya mengejarnya, tahu-tahu ada ular menangkapnya dan memakannya."

"Bohong! Mana ada ular bisa makan anak kerbau yang begitu besar? Tentu engkau sudah menjual anak kerbau itu atau kausembunyikan! Hayo mengaku saja atau dicambuki lebih dulu agar mau mengaku?"

Pada saat itu, dari dalam rumah tampak berlari keluar seorang nenek yang sudah tua. Rambutnya sudah putih semua, tubuhnya kurus kering seperti jerangkong, pakaiannya tua dan lusuh. Usianya tentu sudah hampir delapan puluh tahun. la lari menghampiri Thian Liong yang berlutut dan menubruk anak itu sambil menangis.

"Adu cucuku Thian Liong....! Apa yang telah terjadi? Orang bilang anak kerbau yang kau gembalakan hilang dimakan ular? Betulkah itu, cucuku....?"

"Benar, nek," kata Thian Liong mengangguk sambil memandang wajah neneknya yang sudah basah air mata itu dengan sedih.

"Aduh celaka, Thian Liong....!" Ia lalu berlutut di dekat kaki Lurah Coa dan berkata dengan suara gemetar. "Taijin.... ampunkan hambamu ini.... ampunkan cucu hamba Thlan Liong....! Dia maslh kecll, dia masih bodoh..., ampunkan dia taijin...."

"Minggir kau! Thian Liong harus mengembalikan anak kerbau itu atau aku akan mencambukinya sampai dia mengaku di mana dia menyembunyikan anak kerbau itu!" hardlk Lurah Coa dengan geram.

"Thian Liong....!" Nenek Souw menjerit dan menubruk cucunya. Akan tetapi ia bergulingan dan roboh.

Thian Liong cepat merangkul neneknya. "Nenek....!" Anak itu berseru bingung melihat neneknya megap-megap seperti ikan dilempar di daratan.

"Thian Liong.... jaga.... dirimu.... baik..,. baik...." lapun terkulai lemas dalam rangkulan cucunya.

"Nenek...,?" Thian Liong berteriak.

Tiong Lee Cin-jin mendekati anak itu, berjongkok dan dia meraba leher Nenek Souw. "Thian Liong, nenekmu meninggal...." katanya terharu.

”Me... ninggal....?" Thian Llong memandang wajah Tiong Lee Cin-jin terbelalak.

Tiong Lee Cin-jin mengangguk. "la meninggal karena jantungnya lemah. la mati karena memang ia sudah tua dan lemah, Thian Liong."

"Nenek....! Ahh, nenek....!!" Thian Liong menubruk dan menanglsi neneknya, meratap-ratap.

Lurah Coa mengerutkan alisnya dan menjadi semakin marah. Kematian nenek itu saja amat merugikannya! Selain kehilangan tenaga kerja, diapun terpaksa harus mengeluarkan uang untuk mengubur Jenazah nenek itu. Semua ini gara-gara Thian Liong yang melenyapkan anak kerbaunya!

"Beri hukuman anak keparat ini dengan dua puluh kali cambukan!" bentaknya kepada dua belas orang tukang pukulnya yang sudah berkumpul di situ.

Dua orang di antara mereka melangkah maju. Mereka adalah dua orang algojo yang sudah biasa melaksanakan perintah untuk mencambuki orang. Mereka berdua menyeringai dan masing-masing memegang sebatang cambuk yang besar. Melihat ini, Tiong Lee Cin-jin melangkah maju.

"Nanti dulu!" tegurnya dengan suara yang lembut namun penuh wibawa. "Coa-chung-cu (Lurah Coa), anak kerbau itu memang benar dimakan seekor Coa (ular), kenapa anak ini yang dipersalahkan dan hendak dicambuk? Dicambuk dua puluh kali dia akan mati. Sepatutnya engkau sendiri yang dicambuk!"

"Apa kau bilang? Keparat, berani engkau menghinaku?" Lurah itu merasa disindir seolah-olah orang berpakaian pendeta itu mengatakan bahwa dia yang telah memakan anak kerbaunya. Nama marganya Coa memang berbunyi sepertl huruf ular. "Kalau begitu, biar engkau yang menanggung setengahnya. Hayo, kalian hukum cambuk mereka berdua, masing-masing sepuluh kali cambukan yang kuat agar pecah-pecah kulit punggung mereka, biar tahu rasa!"

Dua orang algojo itu mengangkat cambuk mereka, siap untuk memukul Thian Liong dan Tiong Lee Cin-Jin dengan cambuk mereka. "Tar-tarrr!!" Dua batang cambuk meledak di udara lalu turun menyambar dengan cepat ke arah Lurah Coa!

"Pratt! Pratt!! Aduh.... aduhh, gila kalian! Kenapa aku yang dicambuk?" Lurah Coa mengaduh dan berloncatan, akan tetapi cambuk-cambuk itu terus melecutinya dan dua orang algojo itu melecut penuh semangat!

"Aduh-aduh.... bunuh mereka! Bunuh mereka!" Lurah Coa memerintahkan sepuluh orang jagoannya yang lain untuk bertindak sambil dia menggeliat-geliat kesakitan.

Sepuluh orang tukang pukul itupun merasa terheran-heran melihat dua orang rekan mereka malah mencambuki majikan mereka. Mendengar perintah itu, mereka menjadi bingung. Ada yang menganggap perintah itu untuk membunuh dua orang rekan mereka, ada pula yang menganggap perintah itu untuk membunuh Thian Liong dan Tiong Lee Cln-jin.

Mereka, sepuluh orang, serentak bergerak. Mereka menganggap bahwa dengan tangan kosong saja mereka akan mampu membereskan orang-orang yang harus dibunuhnya. Sepuluh orang itu serentak menerjang maju akan tetapi kembali terjadi keanehan luar biasa yang disaksikan oleh orang-orang yang sudah mulai berkumpul di halaman rumah Lurah Coa melihat keributan itu.

Sepuluh orang itu sama sekali tidak menyerang Thian Liong dan Tiong Lee Cin-jin, juga tidak menyerang dua orang algojo yang masih mencambuki Lurah Coa, melainkan mereka itu saling gebuk dan saling tendang di antara mereka sendiri!

Terdengar suara bak-bik-buk dan teriakan-teriakan kesakitan dan kemarahan menjadi satu, hiruk pikuk dan para penonton terbelalak keheranan. Sementara itu, dua orang algojo masih asyik menggerakkan cambuknya ke arah tubuh Lurah Coa sambil menghitung.

"Tarr-tarrr! Ke enam! Tar-tarrr! Ke tujuh! Tar-tarrr!! Ke delapan....!!"

Pemandangan itu sungguh luar biasa sekali. Thian Liong masih merangkul dan menangisi neneknya. Tiong Lee Cin-jin masih berjongkok dekat anak-anak itu dan menoleh memandang orang-orang yang sedang sibuk sendiri itu. Lurah Coa masih mengaduh-aduh dan menggeliat-geliat, bajunya robek-robek dan punggung-nya beriepotan darah karena kulit punggungnya pecah-pecah oleh cambukan.

Teriakannya sudah melemah dan kini dia mengaduh sambil menangis. Sedangkan sepuluh orang itu saling genjot, saling tonjok dan saling tendang. Ramai sekali keadaannya, ramai dan kacau.

"Tarr-tarrr! Ke sembilan! Tarr-tarrr!! Ke sepuluh....!!"

Setelah dua orang algojo itu masing-masing memukul sepuluh kali, merekapun menghentikan cambukan mereka. Kini mereka berdlri memandang kepada Lurah Coa dengan mata terbelalak seolah tidak percaya kepada pandangan mata mereka sendlri, Lurah Coa Itu bergulingan di atas tanah dengan tubuh berkelopotan darah dan agaknya mereka berdua baru menyadari dengan kaget sekali bercampur heran dan bingung bahwa mereka tadi telah mencambuki Lurah Coa!

Sementara itu, sepuluh orang yang sallng gebuk itu kinipun sudah lemas. Muka mereka benjol-benjol dan matang biru, tidak ada seorangpun yang masih utuh karena tadi mereka saling gebuk tanpa memilih kawan maupun lawan. Siapa saja yang berada di dekatnya diserang. Dengan sendirinya mereka semua kebagian pukulan atau tendangan.

Dan anehnya, berbareng dengan berhentinya dua orang tukang cambuk tadi, sepuluh orang itupun berhenti saling serang dan mereka mengerang kesakitan dengan mata terbelalak keheranan karena baru sekarang mereka menyadari bahwa mereka tadi telah sallng pukul antara rekan sendiri!

Lurah Coa sekarang telah bangun. Melihat dua orang yang tadi mencambukinya berdiri dengan menundukkan muka dan tampak ketakutan, kemarahannya memuncak. Biarpun seluruh tubuhnya nyerh dan pedlh perih, dia lalu merampas sebatang cambuk di tangan seorang di antara dua algojo itu dan dia lalu mengayun cambuk, mencambuki mereka berdua sekuat tenaganya!

"Tar-tar-tarrr....!!" Dia terus mencambuki sekuat tenaga, mencambuki dua orang tukang pukulnya itu sekenanya, muka, kepala, dada sehingga dua orang itu menggeliat-geliat dan melindungl muka mereka dengan kedua tangan. Baju mereka berdua cabik-cabik dan kulit mereka pecah-pecah, darah mulai mewarnai baju mereka.

"Ampun, taijin.... ampun....!" Mereks berdua meratap-ratap akan tetap Lurah Coa mencambuki terus sampai dla kehabisan tenaga dan napasnya hampir putus barulah dia berhenti karena tidak kuat lagi. Dia melempar cambuknya dah dengan tubuh lunglai dia menjatuhkan dirinya duduk di atas sebuah kursi.

Kini dia menyadari keadaan sepenuhnya. Biarpun masih tiada habis herannya melihat peristiwa yang telah menimpa dirinya dan dua belas orang jagoannya, namun kini dia mencurahkan seluruh perhatiannya kepada Thian Liong dan Tiong Lee Cin-jin. Dia masih belum menyadari bahwa kehadiran pendeta asing itulah yang menimbulkan peristiwa aneh tadi.

"Thian Liong! Engkau telah membikin hilang anak kerbauku, untuk itu engkau akan dihukum! Dan engkau pendeta asing, engkau memasuki dusun kami dan membuat onar di sini, membela anak yang bersalah ini. Mungkin engkau telah bersekongkol dengan dia untuk mencuri anak kerbauku. Karena itu engkaupun akan dihukum!"

"Lurah Coa, engkau masih belum menyadari sikapmu yang sewenang-wenang itu? Perbuatanmu yang suka menyiksa orang kini berbalik menimpa dirimu sendiri dan engkau masih juga belum jera?" kata Tiong Lee Cin-jin kepada kepala dusun itu.

Akan tetapi kepala dusun yang sudah terlanjur merasa seperti seorang raja kecil di dusunnya dan tidak pernah ada orang berani menentangnya, menudingkan telunjuknya kepada Tiong Lee Cin-jin dan Thian Liong, lalu berseru kepada anak buahnya. "Hayo kalian tangkap dua orang ini! Cepat!!"

Akan tetapi dua belas orang tukang pukul yang masih belum hilang kaget mereka dan masih merasa nyeri-nyeri seluruh tubuh mereka itu, hanya memandang dan tidak ada yang berani bergerak. Mereka adalah orang-orang yang sedikit banyak sudah mempunyai pengalaman di dunia kang-ouw.

Dan mereka kini sudah dapat menduga bahwa orang berpakaian seperti pendeta itu tentu seorang sakti maka terjadi peristiwa aneh-aneh seperti yang tadi mereka alami. Maka, mendengar perlntah majlkan mereka itu, tidak ada seorangpun dl antara mereka yang berani bergerak.

"Hayo tangkap dua orang ini! Apakah kalian semua sudah tuli?" bentak lagi lurah yang masih menggigit bibir menahan rasa nyeri yang terasa di seluruh tubuhnya.

Mendengar perintah ulangan ini, dua belas orang tukang pukul tidak berani membangkang lagi dan mereka sudah meraba gagang golok yang tergantung di pinggang.

Melihat ini, Tiong Lee Cin-jin memandang kepada mereka dan berkata, "Kalian ini sebetulnya adalah penjaga keamanan dusun, menjaga keamanan semua penduduk dusun, bukan melaksanakan perintah Lurah Coa untuk memukul dan menyiksa orang. Apakah kalian masih belum mau bertaubat dan hendak melanjutkan perkelahian di antara kalian sendiri menggunakan golok?"

Mendengar ucapan Tiong Lee Cin-jin itu, dua belas orang tukang pukul klni yakln bahwa tadi mereka bergontok-gontokan sendiri adalah karena dlpengaruhi pendeta ini. Mereka menjadi jerih, menggeleng kepala dan otomatis melepaskan lagl gagang golok mereka. Mereka membayangkan betapa ngerinya kalau mereka saling serang seperti tadi, kini mempergunakan golok. Tentu akan banyak di antara mereka yang luka parah atau bahkan tewas.

"Kalian masih belum turun tangan?" bentak pula Lurah Coa.

"Lurah Coa, engkau sudah mendengar pengakuan kami bahwa anak kerbau itu dimakan ular dan engkau masih belum mau percaya. Sekarang lihatlah sendiri, juga kalian para tukang pukul! Ular raksasa itu kini datang memperlihatkan diri kepada kalian agar kalian dapat percaya!"

Tiong Lee Cin-jin menggapai dengan tangannya dan Lurah Coa bersama dua belas orang tukang pukulnya terbelalak, muka mereka pucat dan tubuh mereka menggigil. Mereka melihat ada seekor ular yang besar sekali, sebesar batang pohon siong, merayap datang menghampiri mereka!

Para penduduk dusun yang berkumpul di situ tidak melihat ular ini. Mereka menjadi terheran-heran melihat dua belas orang tukang pukul itu menggigil ketakutan menghampiri Lurah Coa lalu berdiri di belakangnya. Lurah itupun menggigil ketakutan. Mereka mundur-mundur dan akhirnya menjatuhkan diri berlutut,

"Ampun ... ampunkan saya " Lurah Coa meratap.

”Ampunkan kami kami tidak berani lagi..." Dua belas orang itupun berseru ketakutan, menghadap kaarah Tiong Lee Cin-jin.

Tlong Lee Cin-jin mengibaskan tangannya dan ular itupun lenyap. Dia lalu bertanya kepada Lurah Coa dan anak buahnya. "Benarkah kalian semua telah bertobat dan tidak akan mengulangi lagi sikap dan perbuatan kalian yang menindas rakyat dusun ini?"

"Saya tidak berani....” ratap lurah Coa.

"Kami bertobat...." Dua belas orang tukang pukul itu serempak berseru ketakutan.

"Bagus. Bertaubat berarti membuka pintu yang menuju jalan kebenaran. Namun bertobat tidak ada artinya sama sekali kalau hanya diucapkan dengan mulut, melainkan harus menerima dalam hati sanubari dan tercermin dalam perbuatan. Tanpa pelaksanaan dalam perbuatan, bertobat hanya merupakan pemanis bibir dan palsu belaka.

"Lurah Coa, seorang lurah bukan seorang pembesar yang hanya memperbesar perut sendiri, juga bukan seorang penguasa yang mempergunakan kekuasaannya untuk menindas orang lain dan mencari enaknya dan benarnya sendiri. Seorang lurah adalah seorang pemimpin rakyat yang berkewajiban iintuk membimbing rakyatnya ke arah pembangunan dusun demi kesejahteraan rakyatnya, menjadi seorang bapak yang selalu memberi teladan kepada rakyat.

"Kalau berdiri di depan memberi teladan, kalau berdiri di tengah bekerja sama dengan rakyat, kalau di belakang mengawasi dan memberi pengarahan. Ingat, engkau bisa menjadi lurah karena ada rakyat dusun, tanpa mereka engkau bukan apa-apa. Mulai sekarang, jadilah pemimpin rakyat yang baik.

"Kembalikan sawah ladang mereka. Bebaskan hutang-hutang mereka. Ulurkan tangan dan bantulah kalau ada rakyat yang kekurangan. Kalau sudah begitu, seluruh rakyat di dusun akan cinta dan taat kepadamu, bukan taat karena terpaksa dan takut. Sanggupkah engkau membuktikan rasa bertobatmu dengan semua anjuran itu?"

"Saya sanggup," jawab Lurah Coa sambil menundukkan kepalanya. Entah mengapa, mendengar ucapan yang lembut namun penuh wibawa dan menggores hatinya itu, Lurah Coa teringat akan semua tindakannya yang lalu, sadar akan semua perbuatannya yang sewenang-wenang dan diam-diam dia menangis.

"Dan kalian, orang-orang gagah yang tadinya dianggap sebagai tukang-tukang pukul anak buah Lurah Coa. Kalian adalah orang-orang yang sudah mempelajari ilmu silat, orang-orang yang memiliki tenaga yang kuat. Akan tetapi sayang, kalian mempergunakan kelebihan itu untuk mendukung kesewenang-wenangan Lurah Coa.

"Kalian menakut-nakuti rakyat dusun, kalian bahkan tidak segan untuk memukuli dan menyiksa mereka. Kalau benar-benar kalian sudah bertaubat, mulai sekarang jadilah pembantu lurah yang baik. Menjadi penjaga keamanan dusun, keamanan rakyat dusun sehingga kehidupan di sini menjadi aman tenteram tidak ada perbuatan kejahatan.

"Dengan demikian kalian akan menjadi sahabat bahkan saudara dari rakyat dan mereka akan me-rasa sayang dan segan kepada kalian, bukan takut lagi. Mereka tidak akan mellhat lagi kalian sebagai iblis-iblis mengganggu, melainkan sebagai malaikat-malaikat pelindung. Nah, sanggupkah kalian menjadi pelindung rakyat?" "Kami sanggup!" seru dua belas orang itu serentak.

"Bagus, senang dan suka sekali hatiku mendengar kesanggupan kalian semua. Sekarang aku hendak bertanya kepadamu, Lurah Coa. Engkau tahu bahwa Thian Liong hanya hidup berdua dengan neneknya dan keadaan mereka miskin sekali. Mereka mengandalkan makan sehari-hari dari hasil bekerja mereka di rumahmu. Sekarang Nenek Souw telah meninggal dunia, apa yang akan kaulakukan?"

Lurah Coa mengangkat mukanya dan Tiong Lee Cin-jin melihat berapa muka yang masih ada bilur-bilur bekas cambukanitu kini tampak cerah dan tidak tertutup hawa gelap seperti tadi.

"Sebelum saya menjawab, bolehkah kami semua mengetahui lebih dulu siapa sebenarnya saudara pendeta ini?"

"Orang menyebutku Tiong Lee Cin Jin seorang perantau yang kebetulan lewat di sini."

Lurah Coa merangkap kedua tangan depan dada memberi hormat lalu bangkit berdiri. "Kiranya Cin-jin seorang pendeta yang sakti dan bijaksana. Maafkan kami sekalian yang telah bersikap kurang hormat dan telah berani bertindak jahat. Saya sudah bertaubat dan menyadari dosa-dosa saya, Cin-jin. Saya akan mengurus penguburan jenazah Nenek Souw sebaik-baiknya. Adapun mengenai Thian Liong, saya akan memberinya pekerjaan dan menganggap seperti anak angkat saya."

Tlong Lee Cin-jin mengangguk-angguk. "Bagus, terima kasih atas kebaikanmu, Lurah Coa. Kalau untuk selanjutnya engkau bersikap dan berbuat seperti ini aku percaya bahwa engkau akan dapat mencuci kotoran yang timbul dari perbuatanmu yang sudah-sudah dengan perbuatan baikmu yang akan datang. Nah, selamat tinggal, aku harus melanjutkan perjalananku."

Setelah berkata demillian Tiong Lee Cin-jin membahkan tubuhnya dan melangkah keluar dari pekarangan rumah Lurah Coa. Akan tetapi tiba-tiba Thian Liong lari menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Tiong Lee Cin-jin. "Suhu, perkenankanlah saya ikut suhu!" katanya sambil membentur-benturkan dahinya di atas tanah.

"Thian Liong, jenazah nenekmu masih belum dikebumikan," kata Tiong Lee Cin-jin.

"Sudah ada Lurah Coa yang menyanggupi untuk mengurusnya, suhu. Biarkan saya ikut suhu."

"Akan tetapi aku hanyalah seorang perantau yang tidak tentu tempat tinggalnya. Engkau akan lebih senang tinggal di sini" kata pula Tiong Lee Cin-jin.

”Benar Thian Liong. Engkau tinggallah di sini bersama kami. Aku akan menganggapmu sebagai anak angkatku," kata Lurah Coa.

"Tidak, suhu. Satu-satunya orang yang kumiliki di dunia ini hanyalah nenekku. Sekarang ia sudah meninggal dunia. Suhu telah menyelamatkan saya, maka sekarang saya ingin ikut dan melayani suhu untuk selamanya. Saya bersedia hidup melarat bersama suhu." Anak itu meratap.

Tiong Lee Cin-jin mengangguk-angguk dan tersenyum. Dia sudah merasa bahwa anak ini berjodoh dengannya dan amat baik kalau menjadi muridnya. "Baiklah, engkau boleh ikut denganku, Thian Liong."

"Terima kasih, suhu!" Thian Liong lalu bangkit dan lari menghampiri jenazah Nenek Souw dan berlutut di sampingnya. "Nenek, perkenankan aku ikut dengan suhu Tiong Lee Cin-jin. Jangan khawatir, nek, jenazahmu akan diurus sebaiknya oleh Lurah Coa. Selamat tinggal, nek." Setelah mencium muka neneknya, dia lalu bangkit dan berlari mengejar Tiong Lee Cin-jin yang sudah berjalan meninggalkan pekarangan itu.

Lurah Coa mengikuti mereka dengan pandang matanya sampai dua orang itu tak tampak lagi. Dia lalu memerintahkan orang-orangnya untuk mengurus jenazah Nenek Souw baik-baik dan dia masuk ke dalam rumah untuk mengobati luka-luka lecutan di tubuhnya.

Semenjak hari itu, Lurah Coa berubah sama sekali. Dla berubah menjadi seorang lurah yang baik dan kehidupan rakyat di dusun itu menjadi benar-benar sejahtera dan berbahagia. Dua belas orang jagoan itu kini menjadi sahabat rakyat, menjadi penjaga keamanan dalam arti yang sebenarnya. Setelah mengubah sama sekali jalan hidup mereka, kini mereka mendambakan suatu kebahagiaan yang tak pernah mereka rasakan sebelumnya.

Mereka merasa aman tenteram dalam hidup mereka, sikap dan pandang mata semua penduduk terhadap mereka demikian ramah tulus dan hormat yang tidak dibuat-buat. Baru sekarang mereka merasakan betapa membikin senang orang lain jauh lebih menyenangkan daripada membikin susah orang lain.

* * *

Setelah berpuluh tahun berada dalam kekacauan dan pertentangan karena Cina dikuasai Lima Dinasti yang saling berperang dan berebutan kekuasaan, akhirnya pada tahun 960 M lahirlah Dinasti Sung yang berhasil mempersatukan Cina kembali.

Pendiri Dinasti Sung adalah seorang panglima dari satu di antara dinasti-dinasti yang pada jaman Lima Dinasti berkuasa di Cina, yaitu Dinasti Chou. Panglima ini bernama Chao Kuang Yin. Panglima Chao Kuan Yin ini menjadi kaisar yang mendirikan Dinasti Sung dengan cara yang unik, aneh dan lucu.

Pada masa itu, Dinasti CHou membutuhkan seorang yang tepat untuk menjadi kaisar karena kaisarnya yang sudah tua berada dalam keadaan sakit payah. Yang ditunjuk sebagai penggantinya adalah se-orang pangeran yang masih kecil, seorang anak-anak!

Hal ini mendatangkan rasa penasaran dan tidak puas dalam hati para perwira, Mereka lalu diam-diam mengadakan perundingan dan mengadakan pemilihan siapa kiranya yang pantas ditunjuk untuk menjadi kaisar baru. Mereka dengan suara bulat memilih Panglima Chao Kuang Yin yang mereka kenal sebagai seorang panglima besar ahli perang yang pandai dan yang juga bijaksana dalam pergaulannya dengan para pembesar lainnya.

Pada suatu malam, selagi Panglima Chao Kuang Yin masih tidur, para perwira bawahannya dan para pejabat tinggi memasuki kamarnya dan membangunkannya. Panglima itu terbangun dan merasa kaget dan heran sekali melihat para perwira dan pembesar mengerumuninya.

"Heii, apa-apaan ini? Apakah terjadi. Mau apa kalian menggugah ku??" tanya Panglima Chao Kuang Yin yang lalu duduk di atas kursi, memandang kepada mereka semua.

Ternyata mereka telah menyalakan lampu sehingga kamar itu menjadi terang. Dengan heran dia melihat bahwa semua perwlra tinggi yang menjadi pembantunya berada di situ, juga para pejabat tinggi yang berkedudukan penting di pemerintahan.

Seorang perwira yang paling tinggl kedudukannya di antara semua perwira, yaitu Perwira Ciang yang menjadi pembantu utama Pangllma Chao Kuang Yin, mengeluarkan sebuah jubah dan mengembangkan jubah itu hendak menyelimutl kedua pundak Panglima Chao Kuang Yin. Ketika melihat bahwa jubah itu adalah pakaian kebesaran Kaisar, panglima itu cepat bangkit berdiri dan menolak.

"Apa artinya ini? Apa maksud kalian?"

"Panglima Chao Kuang Yin, atas kesepakatan kami semua, malam ini juga kami mengangkat paduka menjadi kaisar kami yang baru!" kata Perwira Ciang Sui.

Panglima Chao Kuang Yin membelalakkan matanya dan alisnya berkerut, wajahnya berubah merah. "Apa kalian semua sudah menjadi gila? Aku adalah seorang panglima Kerajaan Chao yang setia kepada Kaisar! Aku tidak ingin menjadi pengkhianat!"

”Panglima Chao, tenanglah dan pikirkan baik-baik, justru karena paduka adalah seorang patriot sejati, seorang yang setia kepada kerajaan, maka paduka harus menolong dan melindungi kerajaan kita. Kaisar yang baru diangkat adalah seorang kanak-kanak, mana mungkin dia dapat memerintah dengan baik dan semestinya? Kalau dibiarkan saja keadaan ini, kerajaan kita pasti akan ambruk dan siapa lagi yang dapat menyelamatkan kerajaan ini kecuali paduka?"

"Tidak, aku tetap tidak mau!" bantah Panglima Chao Kuang Yin.

Seorang perwira tinggi lain berseru, "Kalau Panglima Chao Kuang Yin tidak mau, berarti dia ingin melihat kerajaan ini hancur dan ini berarti dia seorang pengkhianat yang harus dlhukum mati!" Dia mencabut pedangnya dan belasan orang perwira itu semua mencabut pedang, termasuk para pejabat tinggi. Mereka menodongkan pedang mereka kepada Panglima Chao Kuang Yin yang terbelalak keheranan.

Seorang pejabat tinggi bagian Sastra dan Budaya yang bernama Can Siong Tek berkata dengan suara yang lembut, "Panglima Chao Kuang Yin, harap paduka suka memperhatikannya baik-baik. Keadaan kerajaan dalam bahaya. Kaisar yang diangkat masih kanak-kanak dan tentu dia akan dipengaruhi dan terjatuh ke dalam tangan para menteri korup dan para thai-kam (laki-laki kebiri) penjilat sehingga pemerintahan jatuh ke tangan mereka. Dapat dipastikan kerajaan ini akan ambruk. Sekarang paduka tinggal pillh. Mau menjadi kaisar untuk menyelamatkan negara dan rakyat, atau kalau paduka menolak terpaksa kami bunuh karena paduka berarti menentang keputusan kami."

Chao Kuang Yin berdiam sampai lama, mempertimbangkan dan berpikir-pikir. Dia tahu benar bahwa kalau dia menolak dan melawan, dia pasti akan tewas di tangan mereka ini. Bukan dia takut mati, akan tetapi apa artinya kematiannya? Hal itu tidak akan menolong keadaan kerajaan.

Sebaliknya kalau dia hidup dan mau menerima kedudukan kaisar, dia dapat berusaha untuk mempersatukan seluruh negeri dan menyudahi perang saudara yang tiada henti-hentinya menghantui dan menyengsarakan rakyat jelata.

Akhirnya dia berkata, "Baiklah. Akan tetapi kalian harus berjanji untuk membantu aku memperkuat kerajaan dan mempersatukan semua kekuatan yang tadinya saling bertentangan."

"Hidup Kaisar!" Serentak mereka berseru dan mengenakan jubah kaisar pada tubuh Panglima Chao Kuang Yin.

Demikianlah, Panglima Chao Kuang Yin menjadi kaisar dan dia mendirikan Dinasti Sung. Dia menggunakan nama Kaisar Sung Thai Cu (960-976 M) dan menjadi pendiri Dinasti Sung sebagai kaisar pertama. Mulai saat itulah Dinasti Sung berdiri sampai tlga abad lebih (960-1279 M).

Ternyata kemudian bahwa pilihan para perwira tinggi dan pejabat tinggi itu tidak keliru. Panglima Chao Kuang Yin yang kini menjadi Kaisar Sung Thai Cu ternyata adalah seorang Kaisar yang amat cerdik pandai dalam persoalan politik, seorang yang bijaksana, tidak kejam dan tidak sewenang-wenang. Pula, dia adalah seorang bangsa Han.

Hal ini ditambah sikap dan sepak terjangnya yang bijaksana membuat para kerajaan dan pemerintahan lain tunduk kepadanya. Apalagi rakyat sudah bosan dengan peperangan yang tiada hentinya selama puluhan tahun, bosan dengan pengaruh kekuasaan suku-suku bangsa liar yang berebutan kekuasaan.

Para penguasa daerah yang tadinya, di masa kekuasaan Lima Dinasti herdin sendiri sebagai kerajaan-kerajaan kecil, ini satu demi satu menyatakan takluk dan berdiri di bawah panji kerajaan Sung yang dipimpin oleh Kaisar Sung Thai Cu. Kaisar Sung tetap memberi kedudukan kepada para penguasa itu sebagai pejabat tinggi dari Kerajaan Sung, Sebagai semacam gubernur.

Ada beberapa daerah yang tidak mau tunduk. Mereka ini dengan mudah diserang dan dltaklukkan. Akan tetapi, bahkan kepada mereka yang menentang inipun Kaisar Sung Thai Cu bermurah hati. Para pemimpinnya tidak dihukum, bahkan setelah daerah itu ditaklukkan, mereka tetap diangkat menjadi pejabat.

Demikianlah, dalam waktu beberapa tahun saja, seluruh Cina telah dapat dipersatukan, dan sebagian besar dari mereka ditundukkan dengan cara halus. Hanya beberapa daerah saja yang terpaksa ditaklukkan dengan kekuatan pasukan tentara.

Semenjak Dinasti Sung berdiri dengan kokohnya, gangguan dari bangsa yang oleh rakyat Cina dlsebut "bangsa liar" banyak berkurang. Gangguan yang masih ada hanya datang dari bahgsa Tartar yang mendirikan Liao (sekarang Mancuria), dan juga dari bangsa Hsia Hsia di Barat Laut.

Kebesaran Dinasti Sung yang dapat mempersatukan seluruh Cina itu hanya bertahan satu setengah abad lamanya. Kemakmuran dan gangguan keamanan, yang hanya sedikit itu membuat Kaisar Hui Tsung lengah. Jerih payah yang dilakukan Kaisar Sung Thai Cu itu akhirnya kandas dalam tahun 1121.

Kaisar Hui Tsung lengah, tidak begitu memperhatikan ketika tetangganya yang berada di utara, yaltu kerajaan Liao, telah diserbu dan dikuasai oleh bangsa Kin yang kuat. Setelah Bangsa Kin menguasai kerajaan Liao (Mancuria), mereka menghimpun kekuatan besar sekali dan menyerbu kerajaan Sung.

Bala tentara Sung mengadakan perlawanan hebat, namun akhirnya mereka dikalahkan dan seluruh wilayah Sung bagian utara telah dikuasai bangsa Kin. Kaisar Hui Tsung bahkan ditawan oleh pasukan Kin. Pemerintah Sung lalu melarikan diri ke selatan dan kota raja pindah ke Lin-an (sekarang Hang-chow). Karena kepindahan ini, maka Dinasti ini juga disebut Sung Selatan.

Wilayah Dinasti Sung Selatan ini berada di sebelah selatan Sungai Yang-ce dan karena tanah di daerah selatan ini jauh lebih subur dibandingkan tanah di utara, maka kerajaan Sung Selatan ini tidaklah dapat dikatakan mundur dalam hal kesejahteraan.

Kisah ini terjadi pada jaman Dinasti Sung Selatan dan yang menjadi kaisarpun pada waktu itu adalah Kaisar Kao Tsung, seorang keponakan dari Kaisar Hui Tsung yang ditawan oleh suku bangsa Khitan dari Kerajaan Kin. Kaisar Kao Tsung bertekad untuk membalas dendam dan melakukan perang terhadap Bangsa Tartar Khitan yang telah menguasai daerah utara Sungai Yang-ce.

Kaisar Kao Tsung menghimpun kekuatan, mengumumkan dan mengundang para muda untuk masuk menjadi tentara dan ikut berjuang mengusir bangsa liar yang menguasai tanah air bagian utara itu.

Demikianlah sekilas tentang keadaan Dinasti Sung Selatan. Jatuhnya daerah utara dan kota raja yang tadinya menjadi pusat kerajaan Sung, yaitu kota raja Tiang-an atau Kai-feng, terjadi dalam tahun 1121 M.

Di lembah Sungai Yang-ce sebelah selatan, terdapat sebuah kota kecil Cin-koan. Kota kecil ini cukup ramai karena merupakan persinggahan para pedagang yang mengangkut barang dagangan mereka melalui Sungai Yang-ce.

Daerah itu terkenal dengan rempa-rempanya. Banyak pedagang datang ke kota Cin-koan untuk membeli rempa-rempa dan ada pula yang datang membawa dagangan ke kota itu berupa bahan pakaian dan segala macam keperluan lagi.

Tidak mengherankan kalau kota Cin-koan berkembang rnenjadi kota yang ramai dan mulailah rumah penginapan dan rumah makan bermunculan untuk menampung para pendatang dan pedagang yang setiap hari memenuhi kota Cin-koan.

Dan tidak aneh pula kalau bermunculan pula tempat-tempat hiburan seperti rurnah perjudian dan rumah pelacuran. Para pedagang yang berada jauh darl rumah dan yang memperoleh banyak keuntungan itu haus akan pelesiran dan mereka biasa membuang uang secara royal.

Rumah pelesir Bunga Seruni merupakan tempat pelesir yang terkenal di kota Cin-koan. Rumah pelesir ini dikelola oleh seorang mucikari yang biasa dipanggil Lu-ma, seorang wanita gemuk berusia lima puluhan tahun.

Pagi hari itu Lu ma sudah bangun dan setelah melakukan pemeriksaan terhadap belasan orang anak buahnya, yaitu gadis-gadis penghibur yang muda dan cantik, menyuruh mereka agar tidak bermalas-malasan, cepat mandi dan mengenakan pakaian bersih dan indah. Ia lalu memasuki sebuah kamar yang terpisah dan berada di bagian belakang.

Hari itu merupakan hari istimewa karena ada serombongan pedagang dari kota raja datang. Jumlah mereka ada tiga puluh orang lebih dan ini merupakan rejeki besar karena tentu di antara mereka ada yang akan berpelesir di rumah Bunga Seruni yang terkenal mempunyai banyak gadis penghibur yang cantik itu. Lu-ma memasuki kamar di belakang itu dan seorang gadis berusia kurang lebih delapan belas tahun menyambutnya.

Gadis itu cukup cantik dan pakaiannya sederhana, berbeda dengan para gadis penghibur. Gadis itu adalah seorang gadis yatim piatu, maslh terhitung keponakan Lu-ma dan sudah setahun lamanya ia tlngga! di rumah Lu-ma. Lu-ma amat menyayang gadis yang datang darl dusun ini karena ia rajin dan pandai membawa diri.

Saking sayangnya, Lu-ma tidak memeras tenaga gadis itu dan hanya kepada pria-pria pilihan saja ia menyuruh gadis itu melayani mereka. Pria yang lembut dan royal, bukan sebangsa pria kasar. Karena itu, biarpun ia menjadI seorang gadis penghibur atau pelacur, gadis itu tidak merasa terlalu tersiksa.

la jarang diharuskan menerima tamu, hanya beberapa hari sekali kalau kebetulan ada pria yang menurut Lu-ma pantas untuk dilayani keponakannya saja. Karena tidak ingin rnemamerkan diri, maka gadis itu berdandan secara sederhana saja walaupun hal itu tidak menyembunyikan kecantikannya. Gadis itu bernama Liang Hong Yi, baru setahun tinggal di situ dan baru beberapa bulan ia melayani laki-laki pilihan bibinya.

"Bibi, sepagi ini sudah bangun?" Liang Hong Yi menyambut bibinya sambil tersenyum. Gadis ini juga sayang dan menghormati bibinya. Walaupun bibinya menjadikan ia seorang pelacur, hal yang tidak mungktn terelakkan lagi mengingat akan pekerjaan bibinya sebagai mucikari, namun ia tahu bahwa bibinya sayang kepadanya. la tidak diperas dan tidak harus melayani sembarang pria, tidak harus melayani sebanyak mungkin pria seperti para gadis penghibur itu.

"Duduklah, Hong Yi. Ada hal penting yang ingin kubicarakan kepadamu," kata Lu-ma.

Hong Yi yang baru berusia delapan belas tahun itu berwajah bulat telur, dagunya runcing dan sepasang mata yang indah jeli seperti mata burung dara itu dilindungi sepasang alis yang hitam kecil panjang melengkung. Hidungnya kecil mancung dan mulutnya manis sekali dengan blbir yang selalu merah basah segar menantang.

Setitik tahi lalat kecil hitam di dagunya menambah manis wajahnya yang berkulit putih kemerahan dan mulus. Rambutnya juga hitam lebat, dengan anak rambut halus berjuntai di sekitar dahi dan pelipisnya. Tubuhnya ramping, akan tetapi tidak terlalu kurus, bahkan padat dan sintal.

"Ada apakah, bibi?" tanya Hong Yi sambil duduk di atas kursi berhadapan dengan bibinya, terhalang sebuah meja kecil.

"Hong Yi, semalam aku bermimpi melihat engkau terbang dan menari-nari di antara bintang-bintang!"

Hong Yi tertawa dan menutupi mulutnya dengan lengan bajunya. "Hi-hik, bibi ini aneh-aneh saja, mungkin bibi semalam keenakan tidur karena hawa udara memang dlngin malam tadi."

"Tidak, Hong Yi. Pagi tadi setelah terbangun, aku segera mengadakan perhitungan meramal dengan mencocokan hari tanggal lahirmu dan aku mendapat kenyataan bahwa engkau kelak akan hidup sebagai orang besar!"

"Aih, bibi. Orang macam aku bagal-mana dapat menjadi orang besar?" Tanpa disengaja, ucapan yang keluar dari bibir mungil itu bernada sedih.

Begitu mendengar ucapan keponakan-nya itu, Lu-ma lalu meraih tangan Hong Yl yang terletak di atas meja. "Maafkan bibimu, Hong Yi. Mulai sekarang aku berjanji tldak akan menyuruhmu melayani pria lagi."

Wajah yang manis itu memandang pada Lu-ma dengan mata terbelalak dan suaranya terdengar, gembira. "Benarkah itu, bibi?"

"Percayalah... Aku bersumpah, akan tetapi kalau engkau sudah menjadi orang besar, jangan kau lupakan aku, Hong Yi."

"Aku tidak pernah menyalahkan engkau karena aku menjadi seorang pelacur di sini, bibi. Engkau amat baik kepadaku dan aku tidak akan pernah melupakan kebaikanmu itu."

"Nah sekarang engkau berdandanlah."

"Sepagi ini harus melayani seorang pria, bibi?" Mata yang indah itu menjadi agak muram.

"Anak bodoh! Bukankah aku tadi sudah bersumpah tidak akan menyuruhmu melayani pria lagi? Tidak, bukan melayani pria. Akan tetapi aku menghendaki engkau pergi ke kuil Kwan-im-bio di tepi kota untuk bersembahyang dan mohon ramalan peruntunganmu."

Hong Yi tidak pernah membantah perintah bibinya, maka iapun mengangguk. "Baiklah, bibi. Aku segera akan berdandan dan berangkat." Pada saat itu, seorang pelayan wanita berdiri di ambang pintu kamar itu dan berkata kepada Lu-ma bahwa ada tamu yang hendak bertemu.

"Engkau cepat berdandan dan berangkat, Hong Yi," kata Lu-ma yang lalu meninggalkan gadis itu.

Hong Yi segera berganti pakajan yang lebih baik walaupun masih tetap bersahaja, tidak memakai terlalu banyak perhiasan. Baru saja ia selesai berdandan, ia mendengar suara ribut-ribut dari depan, suara laki-laki yang terdengar marah-marah. Ia cepat melangkah keluar, berpapasan dengan pelayan yang ketakutan.

"Ada apa?" tanyanya kepada pelayan itu.

"Wah, celaka, nona Liang," kata pelayan itu. "Ada dua orang tamu marah-marah...!"

Jilid selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.