Kisah Si Naga Langit Jilid 04 karya Kho Ping Hoo - SETELAH menikah, kedua mempelai itu membuat persiapan untuk melakukan perjalanan ke Lin-an. Mereka tinggal di rumah pelesir Bunga Seruni dalam kamar Hong Yi selama sepekan.

Keduanya merasa berbahagia sekali karena setelah menikah mereka berdua merasa cocok satu sama lain, merasa betapa masing-masing dihargai dan dihormati, dilayani dan diperlakukan dengan penuh kelembutan dan kemesraan sehingga dari penghormatan dan kemesraan ini bertunaslah cinta kasih yang mendalam.
Lu-ma ikut sibuk membuat persiapan. Wanita yang amat menyayang Hong Yi itu mempersiapkan segala macam perbekalan. Dengan hati tulus ia menguras uangnya untuk membelikan pakaian secukupnya untuk sepasang suami isteri itu. Bahkan untuk melakukan perjalanan yang cukup jauh itu ia menyewa sebuah kereta yang tentu saja cukup mahal. Pada hari terakhir keberangkatan mereka, tiada hentinya Lu-ma menyusut air matanya.
Setelah selesai berkemas dan barang-barang yang hendak dibawa sudah dimasukkan kereta yang dikusiri seorang laki-laki setengah tua, Lu-ma merangkul dan menciumi pipi Hong Yi yang juga basah air mata. Gadis ini pun terharu sekali meninggalkan bibinya yang amat menyayanginya.
"Hong Yi, dan engkau juga Si Tiong, kuingatkan lagi pesanku kepada kalian. Kalau kalian sudah tiba di Lin-an, jangan lupa memberi kabar kepadaku. Ceritakan bagaimana keadaanmu dan apakah sudah memperoleh pekerjaan. Si Tiong, jaga baik-baik isterimu, dan Hong Yi, kalau kalian sudah mapan di Lin-an, jemputlah aku. Engkaulah satu-satunya orang yang kumiliki, engkau satu-satunya keponakan, juga anakku. Aku ingin melihat mimpiku menjadi kenyataan dan hidup bersamamu, mengasuh anak-anakmu." Lu-ma menangis dan menciumi Hong Yi.
Sembilan orang gadis penghibur juga keluar untuk mengucapkan selamat jalan dan hampir semua dari mereka menangis terharu. Mereka semua merasa nelangsa, merasa kesepian dan merasa betapa sengsara hidup mereka dan diam-diam mereka merasa iri terhadap Hong Yi yang memperoleh kebahagiaan di samping seorang suami.
Setelah puas mengucapkan selamat tinggal dan berpelukan dengan mereka semua, akhirnya Hong Yi dan Si Tiong memasuki kereta yang segera bergerak meninggalkan Rumah Hiburan Bunga Seruni, diiringi tangis Lu-ma dan lambaian tangan para gadis penghibur. Kereta terus meluncur keluar dari kota Cin-koan menuju ke kota raja Lin-an.
Seperti telah disinggung sedikit di bagian depan kisah ini, Kerajaan Sung yang didirikan oleh Panglima Chao Kuang Yin yang kemudian menjadi kaisar pertama dari Kerajaan Sung berjuluk Kaisar Sung Thai Cu, yang dengan susah payah telah mempersatukan kembali daratan Cina pada tahun 960, seratus enam puluh tahun kemudian, yaitu pada tahun 1126, terpaksa harus berantakan dan kehilangan hampir separuh wilayahnya sebelah utara.
Mula-mula, bangsa yang dianggap bangsa liar, yaitu bangsa Nunchen atau juga dikenal sebagai bangsa Kin atau Kim (Emas) yang tinggal di lembah Sungai Sungari di Mancuria, menghimpun kekuatan besar yang dahsyat dan mereka menyerang Kerajaan Liao, yaitu bangsa Khitan. Setelah melalui perang sengit, akhirnya Bangsa Kin berhasil menalukkan kerajaan bangsa Khitan yaitu Kerajaan Liao.
Peristiwa ini terjadi dalam tahun 1124 dan sisa bangsa Khitan yang tidak tewas melarikan diri ke barat dan mengungsi ke Turkestan Barat. Di sana bangsa Khitan tinggal di Lembah Ili dan kemudian mereka dikenal sebagai orang Kerait, Karakitan, Kitai atau Catai. Mereka mendirikan kerajaan kecil yang bertahan sampai akhirnya musna karena kebangkitan bangsa Mongol kelak.
Pada waktu itu yang menjadi kaisar dalam Kerajaan Sung adalah Kaisar Hui Chung. Kaisar ini berwatak lemah dan banyak menggantungkan keputusannya kepada perdana menterinya, yaitu Cai Ching. Kaisar Hui Chung dan para penasehatnya bersikap tidak acuh terhadap peristiwa penalukan Kerajaan Liao oleh bangsa Kin itu.
Ketika Kerajaan Liao sudah hampir dikuasai seluruhnya oleh bangsa Kin, Gubernur Ping Chou sebagai pertahanan Kerajaan Liao terakhir, tidak mau tunduk kepada bangsa Kin, melainkan menyerahkan daerah itu kepada Kaisar Hui Cung. Tanpa berpikir panjang Kaisar Hui Cung mengikuti nasihat Perdana Menteri Cai Ching, menerima pengoperan kekuasaan atas daerah Ping Chou dan mengirim pasukan untuk menjaga daerah yang dimasukkan ke wilayah Kerajaan Sung itu.
Hal ini membuat bangsa Kin marah sekali dan mereka lalu menyerbu ke selatan. Gelombang pasukan yang besar dan amat kuat, penuh dengan semangat berkobar menyerbu kerajaan Sung sampai ke kota raja! Kembali Kaisar Hui Cung yang lemah itu mengikuti nasihat Perdana Menteri Cai Ching dan memberi upeti dalam jumlah besar kepada pimpinan pasukan Kin. Tanda taluk ini memuaskan bangsa Kin yang menarik kembali pasukannya, kembali ke utara.
Para menteri protes kepada Kaisar Hui Cung tentang tindakan atau nasihat Perdana Menterl Cai Ching yang mendatangkan kerugian besar kepada kerajaan. Atas desakan para menteri, Perdana Menteri Cai Ching lalu dihukum buang karena dia dianggap yang bertanggung jawab atas malapetaka yang menimpa kerajaan Sung.
Akan tetapi Kaisar Hul Cung yang tidak memliliki pendirian tegas Itu kembali melakukan kesalahan yang besar sekali. Dia kembali mengikuti nasihat para pejabat tinggi yang menggantikan kedudukan Perdana Menteri Cai Ching. Para menteri itu menasihatkan bahwa Kaisar Hui Cung tidak seharusnya mengalah kepada bangsa Kin yang liar.
Membayar upeti kepada mereka berarti menerima penghinaan maka sudah sepatutnya kalau mengirim pasukan mengejar dan menyerang mereka untuk membalas penghinaan dan mempertahankan kehormatan kerajaan Sung. Kaisar Hui Cung tanpa berpikir panjang menerima nasihat ini dan mengirim pasukan melakukan pengejaran terhadap pasukan Kin yang ditarik mundur lalu menyerangnya.Tentu saja bangsa Kin menjadi marah sekali. Mereka menghimpun kekuatan besar dan kembali lagi ke selatan. Terjadi perang besar-besaran dan akibatnya kota raja Kai Feng jatuh ke tangan bangsa Kin dan Kaisar Hui Cung bersama kurang lebih tiga ribu orang pembesar kerajaan Sung dibawa sebagai tawanan perang!
Sisa keluarga istana bersama pasukan Sung yang kalah perang melarikan diri ke selatan, terus dikejar oleh pasukan Kin sampai menyeberangi Sungai Yang-ce dan tiba di kota Hang-chou dan Ning-po. Mulai saat itulah Kerajaan Sung kehilangan wilayah yang luas sekali di bagian utara. Peristiwa ini terjadi mulai tahun 1126 sampai 1129. Mulai waktu itulah Kerajaan Sung mendapat sebutan Sung Selatan dan kota rajanya bernama Lin-an (Hang-chouw).
Kaisar Kao Tsung (1127-1162) berusaha keras untuk melawan kekuasaan bangsa Kin. Dia mengumumkan panggilan terhadap para patriot yang gagah perkasa untuk berbakti kepada negara dan bangsa, untuk memperkuat barisan kerajaan.
Pada suatu hari, sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda memasuki pintu gerbang utara kota raja Lin-an. Melihat dua ekor kuda yang tampak kelelahan dan kereta yang kotor berdebu, mudah diduga, bahwa kereta itu tentu telah melakukan perjalanan yang jauh. Setelah tiba di tengah kota, kereta itu berhenti dan kusirnya turun lalu memegangi kendali kuda.
"Sicu, kita sudah masuk kota raja dan berada di tengah kota. Hanya sampai di sini saya mengantar sicu berdua." Kata kusir itu kepada penumpangnya.
Penumpang kereta itu bukan lain adalah Han Si Tiong dan isterinya, Liang Hong Yi. Si Tiong membuka tirai kereta dan memandang keluar. Kereta itu berhenti di depan sederetan pertokoan. "Paman, bawalah kami ke sebuah rumah penginapan agar tidak susah lagi kami mengangkut barang-barang bawaan kami." kata Si Tiong kepada kusir.
Kusir itu naik kembali dan menjalankan kereta. Sudah beberapa kali dia berkunjung ke kota raja Lian-an sehingga dia tahu di mana adanya rurnah penginapan. Setelah tiba di pekarangan sebuah rumah penginapan, si Tiong dan Hong Yi menurunkan barang-barang bawaan mereka dari kereta.
Setelah menerima uang pembayaran sewa kereta, kusir lalu menjalankan keretanya keluar dari pekarangan rumah penginapan itu. Si Tiong dan Hong Yi mengangkuti barang-barang mereka, dibantu seorang pelayan rumah penginapan. Setelah mendapatkan sebuah kamar, mereka membawa barang-barang itu masuk kamar mereka.
Setetah mandi, bertukar pakaian bersih dan sarapan di dalam rumah makan yang menjadi bagian dari rumah penginapan itu juga, suami isteri itu keluar dari rumah penginapan itu. Di jalan raya depan rumah penginapan itu amat ramai orang berlalu lalang dan banyak di antara mereka adalah pemuda-pemuda yang bersikap gagah. Mereka adalah orang-orang yang datang ke kota raja karena tertarik oleh pengunguman pemerintah yang membutuhkan orang-orang gagah untuk menjadi perajurit pasukan kerajaan.
"Yi-moi, keluarkan surat itu. Sebaiknya kita mencari alamat Ciang-goanswe itu." kata Si Tiong kepada isterinya yang menyimpan surat pemberian Ciang Kong-cu yang menjadi tamu dalam perayaan pernikahan mereka tempo hari.
"Apakah tidak lebih baik kita berjalan jalan dan melihat-lihat lebih dulu. Tiong-ko?"
"Tidak, Yi-moi. Kita harus dapat menemukan alamat itu dan menghadap Jenderal Ciang lebih dulu." kata Si Tiong dengan suara tegas sambil menatap tajam wajah isterinya. Tatapan mata yang mengandung penuh kasih sayang, namun juga mengandung keteguhan kemauan keras.
Hong Yi tersenyum. "Kenapa begini tergesa-gesa, Tiong-ko?"
"Tidak tergesa-gesa, Yi-moi. Akan tetapi kita harus lebih mementingkan pekerjaan daripada kesenangan. Kalau urusan kita telah selesai dan kita berhasil memperoleh pekerjaan, masih banyak sekali waktu bagi kita untuk bersenang-senang dan berpelesir di kota raja ini. Bukankah engkau pikir juga begitu?"
Mendengar ucapan yang beralasan kuat dan tidak dapat dibantah namun diucapkan dengan lembut dan dengan senyum membayang di mulut dan mata suaminya, Hong Yi hanya dapat mengangguk angguk dan tersenyum. la merasa senang sekali menemukan suatu sisi lain yang mengagumkan hatinya dari laki-laki yang menjadi suaminya ini, yaitu sikap tegas dan kemauan yang teguh.
"Baiklah, suamiku. Isterimu ini selalu siap untuk melaksanakan semua kehendakmu" katanya gembira.
"Nanti dulu, isteriku yang bijak! Aku tidak ingin melihat isteriku tercinta seperti seekor domba yang menurut ke mana saja engkau digiring. Engkau harus mempunyai pandangan dan pendirian sendiri dan dapat membantu dan mengingatkan aku kalau aku mengambil keputusan yang keliru. Kalau engkau hanya mengekor, bagaimana kalau keputusanku keliru? Tentu kita berdua akan keliru pula."
Hong Yi memperlebar senyumnya. la merasa semakin bangga dan kagum. "Jangan khawatir, suamiku. Aku akan membantumu sekuat kemampuanku. Kita bekerja sama, bahu membahu, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, senang sama dinikmati, susah sama ditanggung."
”Bagus! Aku merasa bahagia sekali, Yi-moi, karena aku semakin yakin bahwa aku tidak salah memilih isteri. Nah sekarang kita lihat, alamat Jenderal Ciang itu.”
Hong Yi mengeluarkan sesampul surat pemberian, Ciang Kongcu. Jenderal Ciang Sun Bo, seperti yang tertulis pada sampul surat itu, tlnggal di baglan barat kota raja. Mereka lalu segera menuju ke sana setelah bertanya kepada penduduk di mana rumah jenderal Itu. Ketika mereka berdua berjalan ke arah barat, mereka melihat banyak laki-laki muda juga berjalan menuju ke arah itu.
Setelah tiba dekat gedung besar dikelilingi pagar tembok tinggi itu mereka berdua mendapat kenyataan bahwa para orang muda itupun mempunyai tujuan yang sama dengan mereka, yaitu mendaftarkan diri masuk menjadi perajurit. Mereka semua memasuki pintu gerbang yang dijaga oleh seregu perajurit.
Berbondong-bondong para pemuda itu masuk dan berantri dalam ruangan depan di mana terdapat seorang petugas yang mendaftar nama mereka satu demi satu. Yang sudah didaftar namanya lalu dipersilakan masuk ke dalam ruangan lain untuk menjalani pemeriksaan badan, riwayat dan lain-lain.
Ketika Si Tiong dan Hong Yi ikut antri di ruangan depan, tentu saja Hong Yi menjadi perhatian semua orang. Bukan hanya karena ia seorang wanita yang cantik, melainkan terutama sekali karena semua pendaftar adalah kaum pria, tidak pernah ada seorang wanita yang ikut mendaftarkan diri menjadi seorang calon perajurit. Hong Yi merupakan wanita satu-satunya, maka tentu saja ia menimbulkan keheranah akan tetapi juga kegembiraan bagi para pria muda yang berada di situ.
Kaisar Kao Tsung memang bersemangat sekali untuk menyerang Kerajaan Kin di utara. Hal ini adalah karena dia merasa sakit hati, bukan hanya mendendam karena bangsa Kin sudah merebut wilayah utara yang luas sekali sehingga dia terpaksa harus melarikan diri sampai ke Hang-couw, akan tetapi terutama sekali karena ayahnya, Kaisar Hui Cung, ditawan oleh mereka sehingga meninggal dunia dalam tawanan.
Kaisar Kao Cung (Kao Tsung) ingin merebut kembali wilayah utara atau setidaknya ingin menyerang dan membalas dendam atas kekalahan Kerajaan Sung. Karena itu dia sendiri membuat pengumuman mengundang para muda untuk menjadi perajurit, bahkan memerintahkan panglimanya yang paling setia.
Yaitu Jenderal Gak Hui, untuk menyusun pasukan istimewa yang dipimpin oleh para pendekar yang berkepandalan tinggi. Beberapa orang panglima mendapat tugas menerima dan menampung para pemuda yang datang mendaftarkan diri, dan mereka yang ditugaskan itu, diantaranya adalah Jenderal Ciang Sun Bo.
Ketika Si Tiong dan Hong Yi tiba gilirannya mendaftar, petugas memandang mereka dengan alis berkerut. "Kalian maju berdua, siapa yang hendak mendaftarkan diri?" tanyanya sambil menatap wajah Hong Yi yang cantik dengan kagum.
"Yang mendaftarkan diri adalah kami berdua." Jawab Si Tiong dengan tenang.
Petugas itu menatap wajah Si Tiong, lalu kembali dia memandang Hong Yi. "Siapakah ia ini? Adikmu?"
"la adalah isteriku."
Petugas itu mengerutkan alisnya. "Kami belum pernah menerima seorang wanita menjadi perajurit. Juga kami tidak dapat menerima seorang perajurit yang membawa serta isterinya! Engkau ini hendak berperang ataukah hendak berbulan madu?"
Ucapan itu memancing tawa riuh rendah dari para calon perajurit yang berada di ruangan itu. Mendapat sambutan tawa, petugas itu merasa dirinya lucu dan menjadi pusat perhatian, maka dia menjadi semakin berani dan berkata lagi,
"Kalau untuk mendaftarkan diri saja engkau takut dan minta ditemani dan diantar isteri, apalagi kalau berperang. Lebih baik engkau pulang saja dan sembunyi dalam kamar bersama isterimu, lebih enak dan asyik!" Kembali ucapannya disambut tawa.
Wajah Si Tiong sudah berubah kemerahan, akan tetapi Hong Yi menyentuh lengannya memberi isyarat agar suaminya bersabar. la mengeluarkan sampul surat dari Ciang Kongcu dan menyodorkannya kepada petugas itu.
"Leluconmu itu akan kusampaikan nanti kepada Jenderal Ciang. Hendak kulihat apa yang akan dia lakukan setelah mendengar kelakarmu yang tidak lucu kepada kami itu!" kata Hong Yi dengan suara dibuat bernada mengancam.
Petugas menerima sampul surat itu dan setelah dia membaca tulisan di sampul, dia terbelalak dan wajahnya menjadi pucat. Surat itu ditujukan kepada atasannya, Jenderal Ciang, datang dari keponakan jenderal itu yang tinggal di kota Cin-koan. Dia cepat bangkit berdiri dari tempat duduknya dan merangkapkan kedua tangan di depan dada, memberi hormat terbongkok-bongkok kepada Hong Yi dan Si Tiong dan suaranya agak gemetar ketika dla bicara.
"Maafkan,.... eh, ampunkan saya.... karena tidak tahu bahwa jiwi (anda ber-dua) adalah kerabat dari Ciang-goanswe, maka saya telah berani kurang ajar dan berkelakar, Ampunkan saya.... mulut ini patut ditampar...." Petugas itu lalu menampari kedua pipinya dengan kedua tangan sehingga terdengar suara plak-plik-plok. Semua orang tertawa melihat ulah petugas yang ketakutan itu.
Hong Yi juga tersenyum geli dan merasa kasihan kepada petugas itu. "Sudahlah, kami memaafkanmu."
Petugas itu berhenti menampari muka sendiri, kedua pipinya menjadi merah karena tamparan itu dan dengan suara memohon dia berkata, "Akan tetapi saya mohon agar ji-wi tidak melaporkan perbuatan saya tadi kepada Ciang-goan-swe...."
"Kami berjanji tidak akan melaporkan, akan tetapi cepat sekarang bawa kami menghadap beliau." kata pula Hong Yi yang mendahului suaminya karena ia takut kalau-kalau suaminya tidak sesabar ia dan akan marah kepada petugas itu.
"Baik, silakan tunggu sebentar, silakan duduk di sini, saya akan melaporkan dulu kepada Ciang-ciangkun (Panglima Ciang)." kata petugas itu sambil membungkuk-bungkuk.
Hong Yi duduk di atas kursi petugas tadi dan Si Tiong hanya berdiri saja karena memang tidak ada tempat duduk lain. Semua pemuda yang berada di situ kini memandang ke arah mereka, terutama kepada Hong Yi. Wanita ini duduk dengan tenang sambil tersenymn-senyum. Para pemuda itu memandang kagum, akan tetapi mereka tidak berani mengeluarkan kata-kata setelah tadi mendengar bahwa suami isteri itu masih kerabat sang jenderal.
Tak lama kemudian petugas tadi sudah muncul kembali dan wajahnya tersenyum cerah ketika dia menghampiri Si Tiong dan Hong Yi. "Jiwi dipersilakan menghadap Ciang-goanswe. Mari, silakan mengikuti saya."
Petugas itu sendiri lalu mengantar suami isteri itu masuk ke sebelah dalam gedung besar itu. Dalam perjalanan ke dalam ini dia sempat berbisik, "Harap ji-wi tidak melupakan janji jiwi dan tidak melaporkan perbuatan saya tadi kepada Jenderal Ciang."
Si Tiong berkata dengan tegas sambil mengerutkan alisnya. "Jangan ulangi lagi urusan itu. Kami sudah berjanji dan seorang gagah akan selalu memegang janjinya!"
Setelah tiba di dalam sebuah ruangan yang luas dan tampak sunyi, petugas itu masuk seorang diri meninggalkan suami isteri itu di luar pintu. Si Tiong dan Hong Yi mendengar percakapan pendek mereka yang berada di dalam ruangan.
"Lapor, tai-ciangkun. Suami isteri yang membawa surat sudah tiba di sini." kata petugas itu.
”Suruh mereka masuk!" terdengar suara yang keras dan memerintah.
Petugas itu keluar dan mempersilakan suami isteri itu masuk, lalu dia pergi keluar lagi. Si Tiong dan Hong Yi masuk ke dalam ruangan itu dan melihat bahwa yang berada di dalam ruangan itu hanya seorang laki-laki saja. Dia seorang laki-laki tinggi besar, berkulit agak kehitaman dan gagah, berusia sekitar lima puluh tahun.
Dengan pakaian panglima yang mentereng, pria itu tampak gagah sekali dan berwibawa. Matanya yang lebar itu segera menyambut Hong Yi dengan pandang mata yang membuat Hong Yi merasa tidak enak hati. Biarpun belum lama ia menjadi gadis penghibur dan tidak sangat banyak melayani pria, namun ia sudah hafal akan pandang mata pria seperti mata panglima itu. Pandang mata yang mengandung nafsu berahi besar. Seorang pria mata keranjang!
Melihat betapa mata yang lebar itu memandang kepadanya penuh kagum tanpa disembunyikan, Hong Yi menundukkan pandang matanya Si Tiong juga melihat pandang mata panglima itu, akan tetapi kini dia sudah mulai terbiasa. Di sepanjang perjalanannya dari kota Cin-koan ke kota raja, hampir semua pria memandang isterinya seperti itu.
Dia tahu benar bahwa isterinya memang cantik menarik, maka dia tidak dapat terlalu menyalahkan pandang mata para pria itu, bahkan kini ada perasaan bangga timbul dalam hatinya kalau ada pria memandang isterinya dengan kagum. Tadinya di ruangan pendaftaran dia diam-diam menikmati rasa bangganya melihat semua pemuda memandang Hong Yi dengah kagum. Hatinya berbisik bangga "Wanita inl isteriku! Milikku sendiri!"
Si Tiong dan Hong Yi kini sudah berdiri di depan Jenderal Ciang dan mereka mengangkat tangan depan dada memberi hormat. Panglima itu membalas dengan lambaian tangan sambil lalu seperti biasa sikap kebanyakan pembesar terhadap orang-orang yang dianggapnya jauh berada di bawahnya.
"Duduklah kalian!" katanya sambil menunjuk ke arah kursi-kursi yang berjajar di depannya. Si Tiong dan Hong Yi, mengucapkan terima kasih lalu duduk berjajar di depan panglima itu. Kembali panglima itu memandang kepada Hong Yi penuh perhatian, kemudian memandang kepada Si Tiong dengan sinar mata penuh selidik.
"Siapakah namamu?" tanyanya, sambil memandang kepada Si Tiong.
"Nama saya Han Si Tiong, ciangkun." Jawab Si Tiong dengan sikap tenang.
"Dan engkau siapa, nona?" panglima itu bertanya, kini memandang kepada Hong Yi, mata dan mulutnya tersenyum ramah, dan suaranya leblh lembut.
Mendengar ia disebut nona, Hong Yi lalu menjawab, "Nama saya Liang Hong Yi, isterinya, ciangkun."
"Hemm, menurut petugas tadi, kalian datang membawa surat dari Ciang Kongcu di Cin-koan, benarkah itu? Mana suratnya?"
Hong Yi yang membawa surat itu lalu mengeluarkannya dan ia bangkit berdiri dari kursinya, menghampiri panglima itu dan menyerahkan suratnya. Ketika menerima surat itu, jari-jari tangan panglima itu menyentuh jari tangan Hong Yi dan ia tahu bahwa sentuhan itu sama sekali bukan kebetulan melainkan dilakukan dengan sengaja. Panglima itu agaknya mempergunakan kesempatan itu untuk menyentuhnya dan hal inl saja sudah membuktikan bahwa laki-laki itu adalah seorang mata keranjang.
Panglima Ciang membuka sampul itu dan membaca suratnya. Surat itu mengatakan bahwa Ciang Kongcu mengenal baik Liang Hong Yi dan dia mengharapkan agar pamannya, Panglima Ciang Sun Bo suka membantu Hong Yi dan suaminya yang hendak bekerja menjadi perajurit di kota raja. Juga dalam surat itu Ciang Kongcu memberitahu pamannya bahwa suami Hong Yi adalah seorang pendekar.
Setelah membaca surat itu, Panglima Ciang mengangguk-angguk. Pertanyaan pertama yang keluar dari mulutnya membuat Hong Yi terkejut. "Nona Liang Hong Yi, bagaimana Ciang Kongcu dapat mengenalmu dengan baik?"
Hong Yi sempat tertegun. Tentu saja ia tidak mungkin dapat menjawab bahwa ia pernah melayani kongcu itu sebagai seorang wanita penghibur! Akan tetapi hanya sejenak ia tertegun, lalu dengan tenang ia menjawab.
"Ciang Kongcu terkenal di kota Cin-koan kami sebagai seorang kongcu yang budiman dan hampir semua orang mengenalnya, ciangkun. Ketika kami merayakan hari pernikahan kami, Ciang Kongcu hadir pula sebagai tamu undangan dan ketika dia mendengar bahwa kami berdua akan pergi mencari pekerjaan, Ciang Kongcu lalu memberi surat ini kepada kami."
Ciang Goanswe mengangguk-angguk lagi dan mengerutkan alisnya. Pertanyaannya yang kedua juga membuat kedua orang suami isteri itu tertegun. "Han Si Tiong, benarkah engkau seorang pendekar yang pandai ilmu silat!"
Si Tiong agak tersipu. "Ciangkun, saya hanyalah seorang biasa saja akan tetapi saya akan selalu berada di pihak yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan."
"Ilmu silat aliran manakah yang kau pelajari?"
"Ilmu silat Siauw-lim-pai aliran utara, ciangkun."
"Dan engkau ingin menjadi seorang perajurit? Kalau benar, apa alasanmu ingin menjadi perajurit?"
"Saya ingin menjadi perajurit untuk membantu kerajaan menghadapi bangsa Kin yang biadab, untuk membela bangsa dan tanah air." kata Si Tiong dengan gagah dan penuh semangat.
"Bagus, engkau dapat diterima sebagai perajurit. Hal itu dapat kami atur. Dan engkau, nona, mengapa engkau ikut pula mencari pekerjaan? Apakah engkau juga ingin menjadi perajurit?" Panglima itu tersenyum sinis. "Sayang sekali, kami belum membentuk sebuah pasukan wanita!"
Hemm, sudah tahu ia isteri orang, masih saja memanggil nona, pikir Hong Yi. Akan tetapi ia tidak perduli dan menjawab, "Saya juga ingin berjuang membela negara dan bangsa membantu suami saya, ciangkun."
"Ehh? Apakah engkau juga pandai ilmu silat?"
"Saya pernah belajar dari subo (ibu guru) Bian Hui Nikouw selama beberapa tahun."
"Bagus kalau begitu! Nah, Han Si Tiong, engkau sekarang pergilah ke ruangan depan tadi untuk melengkapi pendaftaran kalian dengan data-data lengkap. Kalian dapat kami terima. Akan tetapi Liang Hong Yi biar di sini dulu, aku masih ingin memeriksanya. Nah, pergilah!" Panglima tinggi besar itu menuding ke arah pintu.
Si Tiong terpaksa bangkit dan keluar dari ruangan itu. Biarpun dia merasa heran mengapa isterinya ditahan, dia tidak merasa khawatir karena dia percaya bahwa isterinya cukup mampu untuk membela diri.
Setelah ditinggal suaminya, Hong Yi duduk sambil menundukkan mukanya. Sikapnya tenang saja walaupun sesungguhnya hatinya mulai merasa curiga dan khawatir.
"Nona Liang Hong Yi, kenapa engkau menundukkan muka saja? Apakah engkau merasa malu kepadaku? Seorang calon perajurit tidak boleh malu-malu!" kata Ciang-goanswe.
Hong Yi mengangkat muka memandang wajah pangljma itu. la melihat jelas sekali dari sinar mata laki-laki itu bahwa panglima itu memang mempunyai niat tidak sopan terhadap dirinya. "Saya tidak malu, ciangkun. Akan tetapi mengapa ciangkun menahan saya disini? Apa lagi yang hendak ciangkun tanyakan?"
"Aku harus mengujimu lebih dulu sebelum menerimamu sebagai perajurit, nona. Aku harus yakin dulu bahwa engkau benar-benar memiliki kepandaian silat yang memadai untuk ikut bertempur. Kalau engkau ternyata seorang wanita lemah, tentu saja aku tidak boleh menerimamu karena hal itu berarti mengantarmu untuk dibantai musuh. Nah, aku hendak menguji ilmu silatmu. Bersediakah engkau?"
Hong Yi bangkit berdiri. "Tentu saja saya siap, ciangkun!" katanya dengan lega karena kalau hanya diuji ilmu silatnya, tentu saja ia siap dan ia penuh kepercayaan kepada diri sendlri bahwa kepandaiannya akan cukup memadai karena selama bertahun-tahun Bian Hui Nikouw menggemblengnya dengan sungguh-sungguh dan ia juga berlatih dengan tekun.
Ciang-ciangkun bangkit berdiri sambil tersenyum, lalu melangkah ke tengah ruangan. "Ke sinilah, nona. Kalau engkau dapat menahan sepuluh jurus seranganku berarti engkau lulus dan sudah pantas untuk menjadi komandan regu."
Hong Yi menghampiri panglima itu, berdiri di depannya dan memasang kuda-kuda dengan kedua kaki ditekuk sehingga tubuhnya merendah, kedua lengannya disilangkan di depan dengan jari-jari tangan terbuka. Itulah pembukaan jurus Garuda Mengatupkan Sepasang Sayapnya. "Saya sudah siap, ciangkun." katanya.
Ciang Sun Bo adalah seorang laki-laki yang sejak muda sudah berkecimpung dalam dunia kemiliteran. Sejak di utara dia sudah menjadi seorang komandan, ikut pula berperang ketika Kerajaan Sung dlserang oleh bangsa Kin. Dia ikut pula mengundurkan dan melarikan diri ke selatan dan karena kesetiaannya dia diangkat menjadi seorang jenderal. Akan tetapi diapun terkenal sebagai seorang laki-laki mata keranjang.
Maka, begitu melihat Hong Yi yang cantik manis, hatinya tertarik untuk mempermainkannya. Ciang Sun Bo adalah seorang ahli silat yang bertenaga besar. Dengan tenaga raksasanya, dalam pertempuran dia amat menggiriskan musuh-musuhnya. Golok besarnya yang berat itu berkelebatan tak tertahankan lawan saking kuatnya senjata itu digerakkan.
Setelah berdiri berhadapan dengan Hong Yi, Ciang-ciangkun lalu berseru, "Lihat seranganku!" Tangan kanannya yang besar dan berlengan panjang itu meluncur ke arah pundak Hong Yi. Gerakannya mencengkeram pundak itu mendatangkan angin yang menyambar kuat.
Hong Yi cepat mengelak ke kanan sehingga pundak kirinya terhindar dari cengkeraman. Akan tetapi tangan kiri, panglima itu sudah meluncur ke arah perutnya! kembali Hong Yi menghindarkan diri dengan elakan ke belakang.
"Bagus! Sambutlah serangan jurus kedua!" kata panglima itu dengan gembira dan kini kedua lengannya berkembang dan dia melakukan gerakan menubruk seperti seekor biruang menerkam mangsanya. Hong Yi kembali mengelak dengan loncatan ke belakang.
Panglima atau Jenderal Ciang menjadi kagum dan dia melanjutkan serangannya yang menjadi semakin dahsyat. Hong Yi mempergunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan selalu mengelak dengan amat cepatnya, bagaikan gerakan seekor burung walet sehingga sertua serangan itu tak pernah menyentuh tubuhnya. Setelah menyerang sebanyak tujuh jurus, Panglima Ciang berhenti dan berkata.
"Nona, kalau seorang perajurit dalam pertempuran selalu mengelak, akhirnya dia akan mati terkena serangan musuh. Sebagai seorang perajurit yang bertempur, engkau harus membalas, jangan hanya mengelak saja!"
Mendengar ini, Hong Yi lalu bergerak menyerang. Akan tetapi karena yang diserangnya itu adalah seorang panglima yang mengujinya dan pertandingan itu hanya merupakan ujian terhadap kemampuannya, maka tentu saja gerakan serangannya itu tidak didukung tenaga sepenuhnya dan dilakukan lambat saja. Tangan kanannya, dengan jari terbuka, menampar ke arah dada panglima Ciang.
Akan tetapi, tiba-tiba panglima itu bergerak cepat menyambut serangan tangan Hong Yi dengan sambaran tangan kanan yang menangkap pergelangan tangan kanan Hong Yi dan dengan sentakan tenaga raksasa yang amat kuat dia sudah memuntir lengan kanan wanita itu dan terus menelikung lengan Hong Yi ke belakang tubuh. Tubuh Hong Yi berputar dan kini panglima itu mendekap tubuhnya dari belakang dan jari-jari tangan kiri panglima itu dari belakang menggerayangi dan meremas buah dadanya!
Hong Yi terkejut dan marah sekali. la tadi memang mengalah karena tentu saja tidak mau menyerang benar-benar agar jangan sampai serangannya mengenai tubuh Ciang-ciangkun, apa lagi sampai mengalahkannya. Akan tetapi ternyata sikapnya yang mengalah itu bahkan disalah gunakan panglima itu yang berbuat kurang ajar kepadanya.
Karena terkejut merasa betapa buah dadanya diremas, Hong Yi mengerahkan tenaganya, memutar tubuh ke kiri dengan tiba-tiba dan dengan hentakan keras la menggerakkan siku lengan kirinya ke belakang menghantam dada panglima itu.
"Dukkk....!!" Keras sekali siku kiri Hong Yi itu, menghantam dada Panglima Ciang sehingga tubuh panglima itu terjengkang, mulutnya mengeluarkan keluhan mengaduh. Hong Yi sudah tidak mau memperdulikannya lagi dan wanita ini lalu berlari keluar ruangan itu menuju ke ruangan depan ke mana suaminya pergi.
"He, tunggu, keparat!" Panglima Ciang memaki marah dan mengejar.
Ketika Hong Yi memasuki ruangan depan, ia melihat suaminya sedang berdiri di depan petugas yang agaknya menanyakan segala macam data tentang diri mereka. Hong Yi berlari masuk, mengejutkan sernua orang.
"Yi-moi, ada apakah?" Si Tiong bertanya heran.
Akan tetapi Hong Yi sudah, menyambar tangannya dan menarlknya. "Mari, Tiong-ko, kita pergi saja dari tempat ini!" Hong Yi menarik tangan suaminya yang terpaksa mengikutlnya. Mereka berlari keluar dari ruangan itu dan tiba di pekarangan gedung. Akan tetapi pada saat itu, Panglima Ciang keiuar pula dari ruangan itu dan berteriak kepada para perajurit penjaga di luar yang berjumlah lima belas orang.
"Tahan mereka! Tangkap mereka!" Lima belas orang perajurit itu mendengar aba-aba panglima atasan mereka, serentak bergerak dan mereka sudah mengepung Si Tiong dan Hong Yi. Suami isteri itu terkepung dan mereka siap membela diri dan berdlri saling membelakangi.
"Ciangkun, apa kesalahan kami? Mengapa kami hendak ditangkap?" Si Tiong berteriak kepada panglima itu dengan penasaran.
"Tiong-ko, kita tidak bersalah apapun. Aku tidak melakukan kesalahan, percayalah kepadaku!" kata Hong Yi lirih kepada suaminya.
"Tangkap mereka, jebloskan mereka dalam penjara!" teriak Panglima Ciang dengan marah. Lima belas orang peraju-rit itu serentak menyerbu dan tangan-tangan mereka berserabutan hendak me-nangkap Si Tiong dan Hong Yi. Suami isteri itu tentu saja tidak membiarkan dirinya ditangkap. Mereka mengelak, menangkis bahkan menarnpar dan menendangi mereka sehingga para perajurit itu berpelantingan.
Melihat ini, Panglima Ciang menjadi semakin marah. "Pergunakan senjata, kalau perlu bunuh mereka!" Dia sendiri sudah mencabut golok besar yang berai dan berkilauan. Para perajurit yang mendengar perlntah ini segera mencabut senjata tajam masing-masing.
Pada saat itu terdengar suara bentakan menggeledek, "Tahan! Jangan bergerak semua!"
Semua orang menengok dan terkejutlah Panglima Ciang ketika melihat siapa yang mengeluarkan bentakan itu. Si Tiong dan Hong Yi juga cepat menengok dan mereka melihat seorang pria bertubuh tinggi tegap berusia sekitar lima puluh tahun, wajahnya gagah dan berwibawa, pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang panglima berkedudukan tinggi. Di belakang panglima ini berdiri tujuh orang perwira tinggi lainnya.
Panglima Ciang Sun Bo tergopoh-gopoh menyambut panglima itu dan memberi hormat sambil menyebut, "Gak Tai-ciangkun (Panglima Besar Gak)!"
Mendengar sebutan ini, Si Tiong dan Hong Yi memandang kagum. Biarpun belum pernah bertemu, namun kedua suami isteri itu pernah mendengar nama Panglima Gak Hui yang terkenal di seluruh negeri sebagai seorang panglima yang gagah perkasa, bijaksana dan arnat setia kepada negara, setia kepada Kerajaan Sung.
"Panglima Ciang, apa yang terjadi di sini? Mengapa engkau dan para perajurit mengeroyok dua orang muda ini?" Dia memandang ke arah Si Tiong dan Hong Yi.
Panglima Ciang tampak gugup. "....anu, Tai-ciangkun, ia... wanita ini melawan dan suaminya itu menibantu..."
Panglima Gak Hui memandang kepada Si Tiong, lalu kepada Hong Yi dan diam-diam merasa heran mengapa ada wanita cantik dalam kantor penerimaan calon perajurit itu. "Siapa nama kalian?" tanya panglima Gak Hui.
Si Tiong dan Hong Yi melangkah maju dan memberi hormat kepada panglima yang terkenal itu. "Saya bernama Han Si Tiong dan ini adalah isteri saya bernama Liang Hong Yi, tai-ciangkun."
"Hemm, Nyonya, benarkah melawan Ciang-ciangkun? Kalau benar mengapa?"
Hong Yi sudah pernah bergaul dengan pria-pria bangsawan, maka ia tidak malu-malu berhadapan dengan seorang panglima besar. "Maafkan saya, tai-ciangkun. Saya tidak bersalah. Saya dan suami saya datang ke sini untuk mendaftarkan diri menjadi perajurit. Kami ingin berjuang untuk membela nusa dan bangsa, menentang bangsa Kin yang menjajah tanah air kita. Kami diterima Panglima Ciang, akan tetapi dia hendak menguji ilmu silat saya dan dia.... dia bersikap tidak wajar dan melanggar susila, maka terpaksa saya melawannya, tai-ciangkun."
Jenderal Gak Hui mengerling ke arah Panglima Ciang. Dia sudah lama mendengar tentang watak rekannya ini yang terkenal mata keranjang, maka dia sudah dapat membayangkan apa yang kiranya terjadi. Dari sepak terjang suami isteri muda ketika dikeroyok tadi, dia melihat bahwa mereka berdua, terutama si suami, memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Tentu Panglima Ciang bersikap tidak sopan terhadap wanita cantik itu akan tetapi dia bertemu dengan batu, wanita itu menolak dan melawan.
"Apa yang kau lakukan, Ciang-ciang-kun?" tegurnya dengan suara tegas.
Panglima Ciang menjadi merah mukanya. Biarpun Jenderal Gak Hui termasuk rekannya, namun Jenderal Gak Hui lebih besar kekuasaannya dibandingkan dia dan juga jenderal itu menjadi kepercayaan kaisar. "Saya.... saya telah menerima mereka, Gak-ciangkun. Saya.... saya hanya ingin menguji wanita itu, baik ilmu silatnya maupun mentalnya karena tidak biasa ada wanita mau menjadi perajurit."
"Hemm, sudahlah. Aku sendiri yang akan menerima Han Si Tiong dan isterinya ini, menjadi pembantu-pembantuku."
Bukan main girangnya hati Han Si Tiong dan Liang Hong Yi. Mereka tentu saja merasa bangga bukan main dapat menjadi pembantu-pembantu Jenderal Gak Hui yang amat terkenal dan dipuja rakyat jelata itu. Jenderal ini sudah terkenal sebagai pelindung rakyat jelata yang diganggu oleh para penjahat dan para perajurit Kerajaan Kin di perbatasan.
Jenderal Gak Hui melarang keras pasukannya mengganggu rakyat, bahkan dia memerintahkan pasukannya untuk membantu rakyat dalam membangun dusun mereka yang rusak oleh perang, dan menolong mereka apabila mereka membutuhkan pertolongan.
"Banyak terima kasih, Gak tai-ciangkun!" Suami isteri itui berseru sambil memberi hormat.
Setelah menyelesaikan kunjungannya untuk memeriksa pelaksanaan penerimaan calon-calon perajurit, Jenderal Gak Hui meninggalkan gedung Panglima Ciang dan Si Tiong bersama isterinya diajak serta. Jenderal Gak Hui mengajak mereka ke markasnya dan setelah melihat, mereka mendemonstrasikan permainan silat mereka, Jenderal Gak Hui lalu mengangkat suami isteri itu menjadi perwira-perwira.
Hong Yi tidak dipisahkan dari suaminya, bahkan diangkat menjadi pembantu perwira yang selalu mendampingi suaminya dalam memimpin pasukan. Tentu saja suami isteri ini menjadi girang bukan main dan berterima kasih sekali kepada keputusan Jenderal Gak Hui yang bijaksana.
Sewaktu mereka bertugas di kota raja, pekerjaan mereka adalah melatih ilmu silat kepada para perajurit. Tugas ini mereka lakukan dengan penuh kesungguhan dan tekun sehingga para perajurit dalam pasukan pimpinan mereka memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu silat dan olah keperajuritan.
Tentu saja Jenderal Gak Hui merasa puas dan girang bahwa dia tidak salah pilih ketika mengangkat suami isteri itu menjadi, pembantunya. Dalam waktu singkat Han Si Tiong mendapatkan kenaikan pangkat sehingga dia dan isterinya dipercaya untuk memimpin pasukannya yang berjumlah ribuan orang.
Setahun kemudian Hong Yi melahirkan seorang anak perempuan. Tentu saja hal ini menambah kebahagiaan mereka. Anak itu diberi nama Han Bi Lan dan mereka, lalu mengirim utusan untuk menjemput Lu-ma karena Hong Yi membutuhkan bantuan bibinya itu untuk merawat dan mengasuh Bi Lan. Pula ia merasa kasihan kepada bibinya yang dulu memang menginginkan untuk ikut dengannya kalau mimpinya sudah terujud, yaitu kalau ia dan suaminya telah memperoleh kedudukan dan kemuliaan di kota raja Lin-an.
Lu-ma datang dan ia merasa berbahagia sekali. Biarpun di Cin-koan ia dapat hidup berkecukupan sebagai pengelola rumah hiburan, namun ia tidak pernah merasa berbahagia, apa lagi setelah di tinggal pergi Hong Yi. la mencinta Hong Yi seperti anak kandung sendiri dan kini ia hidup serumah dengan Hong Yi dan suaminya, apa lagi ia kini mempunyai momongan seorang cucu yang mungil! Ia mendapatkan kebahagiaan yang tidak pernah dirasakannya ketika ia tinggal di Cin-koan.
Kaisar Kao Tsung mengumpulkan para menteri dan panglimanya untuk mengadakan sidang dan membicarakan usul yang diajukan oleh Jenderal Gak Hui kepada Kaisar. Persidangan itu dihadiri oleh semua pejabat tinggi, sipil dan militer. Tentu saja Perdana Menferi yang menjadi pembantu kaisar terpenting hadir pula. Perdana Menteri itu adalah Chin Kui.
Menteri Chin Kui adalah seorang laki-laki tinggi kurus berusia sekitar lima puluh tahun. Mulutnya selalu condong tersenyum sinis, mukanya dan sepasang telinganya yang kecil membuat wajah itu mirip wajah tikus dengan kumisnya yang jarang dan menjuntai di kanan kiri mulutnya. Akan tetapi sepasang mata yang kecil itu selalu bergerak, membayangkan kecerdikan dan dia pandai membawa diri, pandai mengambil hati. Dia pandai bicara dan dapat mengambil hati Kaisar Kao Tsung sehingga dla amat dipercaya.
Setelah persidangan dibuka menyambut munculnya Kaisar Kao Tsung, dengan penghormatan kepada kaisar, Kaisar Kao Tsung lalu berkata dengan suaranya yang lembut. "Persidangan ini kami adakan untuk membicarakan usul yang disampaikan Jenderal Gak Hui kepada kami. Kami harap kalian dapat menyumbang pemikiran bagaimana jalan terbaik yang harus diambil. Jenderal Gak, harap engkau suka kemukakan usulmu itu agar para menteri dan panglima dapat mendengarkan lalu ikut membantu memikirkan."
Jenderal Gak Hui memberi hormat kepada kaisar, mengucapkan terima kasih atas kesempatan bicara yang diberikan, lalu dia bangkit dan menghadap ke arah para menteri dan panglima. "Saudara-saudara, para menteri dan panglima yang saya hormati. Saya telah menghaturkan usul kepada Sribaginda Kaisar agar saya diperkenankan menghimpun dan memimpin barisan untuk menyerang bangsa Kin dan mengusirnya dari tanah air kita. Sekaranglah saat yang terbaik untuk bergerak dan mengusir mereka."
Kaisar Kao Tsung mengangkat tangan memberi isarat sehingga Jenderal Gak Hui menghentikan ucapannya dan memberi hormat kepada kaisar lalu duduk kembali. "Jenderal Gak Hui, kami ingin sekali mendengar alasanmu, mengapa engkau sekarang ini saat terbaik untuk bergerak dan menyerang pasukan bangsa Kin.”
"Sribaginda Kaisar Yang Mulia, anggapan hamba ini berdasarkan alasan-alasan yang amat kuat dan hamba tidak akan berani mengajukan usul kepada paduka kalau hamba tidak merasa yakin benar pertama dari para mata-mata dan penyelidik yang hamba kirim ke utara, hamba mendapat keterangan bahwa keadaan bangsa Kin yang menduduki daerah utara kini tidak terlalu kuat.
"Banyak kekacauan terjadi karena rakyat memusuhi mereka dan rakyat tidak mau membantu ransum mereka secara suka rela. Dan kecuali itu, terjadi pertikaian dan perebutan kekuasaan di antara para komandan yang menguasai daerah jajahan mereka itu. Adapun alasan yang kedua, hamba telah mempersiapkah pasukan dengan baik sehingga terkumpul barisan yang berjumlah cukup banyak.
"Selain itu, hamba juga membentuk pasukan-pasukan inti yang dilatih ilmu silat dengan baik, bahkan didukung para pendekar yang berjiwa patriot. Karena itu, harhba yakin bahwa kalau hamba membawa barisan bergerak sekarang, hamba tentu akan berhasil membinasakan dan memukui mundur mereka."
Kaisar Kao Tsung mengangguk-angguk sambil tersenyum. "Bagus sekali, Jenderal Gak Hui. Kami merasa setuju sekali karena kamipun sudah lama sekali menanti-nanti saatnya untuk melihat bangsa Kin yang biadab itu dihancurkan agar segala dendam sakit hati ini dapat terbalas. Akan tetapi kami ingin mendengar pendapat kalian. Kemukakanlah pendapat kalian agar kita dapat memikirkan dan merundingkan bersama."
Sebagian besar para menteri dan panglima dengan singkat namun tegas menyatakan mendukung usul dan pendapat Jenderal Gak Hui. Ketika tiba-tiba giliran Panglima Ciang Sun Bo untuk menyatakan pendapatnya, dia memberi hormat kepada kaisar dan berkata,
"Hamba mohon ampun, Sri baginda Yang Mulia. Bukan sekali-kali hamba hendak menentang usul pendapat Jenderal Gak Hui, akan tetapi hamba hanya mengingatkan agar paduka berhati-hati sekali dalam mengambil keputusan untuk menyerang bangsa Kin. Hamba mendengar dan agaknya semua orang juga mengetahui bahwa balatentara Kin amatlah kuatnya sehingga hamba khawatir kalau-kalau barisan kita tidak akan mampu mengalahkan mereka."
Jenderal Gak Hui mengerutkan alisnya dan menoleh kepada Panglima Ciang Sun Bo. "Ciang-ciangkun, kalau engkau takut. Jangan ikut maju berperang!"
"Jenderal Gak Hui, biarkanlah semua orang mengajukah pendapat mereka masing-masing." kata Kaisar Kao Tsung.
"Ampunkan hamba, Yang Mulia." kata Jenderal Gak Hui sambil mengerutkan alisnya dan menundukkan mukanya. Dia tahu bahwa Panglima Ciang Sun Bo sengaja menentangnya karena memang ada perasaan tidak suka antara dia dan Panglima Ciang, apa lagi setelah kejadian beberapa tahun yang lalu.
Yaitu ketika terjadi keributan di gedung panglima itu karena dia hendak berbuat tidak sopan terhadap Liang Hong Yi yang kini bersama suami wanita itu telah menjadi pembantunya yang boleh diandalkan. Karena jasa Han Si Tiong dan Liang Hong Yi itulah maka kini dapat dibentuk pasukan khusus yang kuat sehingga membesarkan hatinya untuk menyerang bangsa Kin di utara.
Tiba-tiba Perdana Menteri Chin Kui yang sejak tadi hanya diam mendengarkan saja, berkata dengan suaranya yang halus namun cukup lantang. "Yang Mulia, hamba kira apa yang dikatakan Panglima Ciang Sun Bo tadi sama sekali tidak keliru dan patut untuk diperhatikan dan direnungkan. Semua orang tahu betapa kuatnya balatentara Kin.
"Tentu paduka tidak lupa bahwa kejatuhan Sung di utara justeru karena pasukan-pasukan kita yang lebih dulu menyerang balatentara Kin. Hal itu yang menyababkan bangsa Kin menyerang terus sampai ke selatan. Tentu paduka tidak lupa akan kesalahan taktik yang diusulkan Perdana Menteri Cai Ching ketika itu.
"Dia mengusulkan kepada mendiang Kaisar Hui Tsung untuk mengejar dan menyerang barisan Kin di utara sehingga para pimpinan Kin menjadi marah lalu berbalik menyerang kita sampai terpaksa kerajaan diungsikan ke sini. Yang Mulia, sebaiknya jangan mengganggu harimau yang sedang tidur. Saat ini bangsa Kin tenang-tenang saja tidak mengganggu kita, mengapa kita mendahului menyerang mereka?"
Kaisar Kao Tsung mengerutkan alisnya dan memandang kepada Perdana Menterinya itu dengan heran. "Perdana Menteri Chin Kui, bagaimana engkau dapat berkata begitu? Apakah kalau menurut engkau, kami tidak usah memusuhi bangsa Kin, tidak usah membalas dendam atas kematian ayahanda kami, tidak berusaha untuk merebut kembali wilayah Sung yang telah dirampasnya? Begitukah?" Dalam suara Kaisar Kao Tsung terkandung kemarahan.
"Ampun, Yang Mulia. Sama sekali tidak demikian maksud hamba. Akan tetapi, kita tidak bisa selalu mengandalkan kekuatan tenaga. Kekuatan tenaga kasar tanpa dibantu pemikiran yang mendalam dan cerdik dapat menggagalkan semua usaha. Kalau kita hendak menyerang Bangsa Kin, kita harus mempergunakan perhitungan yang tepat, tidak sembrono. Mohon Paduka bayangkan, kalau sembrono lalu serangan itu gagal sama sekali.
Bahkan mengakibatkan balatentara menyerbu ke selatan dan menguasai seluruh negeri, bukankah hal itu akari merupakan suatu malapetaka yang mengerikan? Hamba sekarang hendak bertanya kepada Jenderal Gak Hui. Dia yang mengusulkan penyerangan ke utara ini. Kalau sampai penyerangan gagal dan akibatnya seperti yang hamba khawatirkan itu, lalu siapa yang akan bertanggung jawab?"
Mendengar ucapan itu, Kaisar Kao Tsung menoleh kepada Jenderal Gak Hul. Wajah Jenderal Gak Hui menjadi merah dan hatinya yang keras dan penuh kesetiaan kepada Kerajaan Sung menjadi panas.
"Hamba tidak akan gagal, Yang Mulia!" katanya kepada kaisar yang memandang kepadanya.
"Akan tetapi tidak ada yang pasti di dunia ini, Gak Ciangkun. Hidup kitapun tidak bisa dipastikan kapan berhentinya. Bagaimana kalau engkau gagal, kalah dalam perang melawan balatentara Kin? Bagaimana pertanggungan jawabmu terhadap Yang Mulia, terhadap bangsa dan terhadap kerajaan?" Suara Perdana Menteri Chin Kui mengandung tantangan dan ejekan.
Jenderal Gak Hui merasa dadanya seolah hendak meletus saking marahnya. Akan tetapi di depan kaisar dia tidak berani memperlihatkan kemarahan dan menahan perasaannya. Apa yang hendak dia lakukan adalah demi kepentingan kerajaan dan bangsa, akan tetapi kegagalannya akan ditimpakan kepada dia seorang!
"Kalau saya gagal, saya bersedia untuk dipecat dan dijatuhi hukuman yang pallng berat, Chin-taijin (Pembesar Chin)l" katanya sambil memandang wajah Perdana Menteri itu dengan sinar mata tegas dan keras.
"Bagus! Tentu saja kalau gagal engkau tidak cukup mengucapkan maaf lalu lepas tangan. Engkau mempermainkan nasib kerajaan dan bangsa dalam usulmu ini, Ciang-kun!"
"Sudahlah, Perdana Menteri Chin Kui!" kata Kaisar Kao Tsung. "Jenderal Gak Hui sudah menyatakan pendapat dan kesanggupan pertanggungan jawabnya dan kami mengenal dia sebagai seorang gagah yang selalu memegang teguh kata-katanya. Kami juga percaya bahwa dia tentu akan berhasil. Karena itu, kami memutuskan menerima usulmu, Jenderal Gak Hul. Laksanakanlah seperti yang kau rencanakan itu!"
"Terima kasih atas kepercayaan paduka dan hamba siap melaksanakan perintah, Yang Mulia!" Kata Jenderal Gak Hui dengan suara tegas yang mengandung kegembiraan.
Persidangan dibubarkan dan Jenderal Gak Hui cepat kembali ke markasnya. Dia segera memanggll semua pembantunya, yaltu para perwira yang menjadi komandan dari pasukan-pasukannya. Setelah mereka berkumpul, di antara mereka terdapat Han Si Tiong dan isterinya, Liang Hong Yi, Jenderal Gak menceritakan tentang persetujuan kaisar yang menerima usulnya untuk melakukan penyerbuan ke utara, mengusir penjajah Kin.
”Aku peringatkan kepada kalian bahwa kita semua adalah pengemban-pengemban tugas yang mulia, yaitu membela bangsa dan tanah air dengan taruhan nyawa. Hidup yang sempurna berarti melaksanakan tugas dengan baik karena hidup ini sendiri berarti memikul tugas-tugas. Untuk dapat menjadi seorang manusia seutuhnya kita, harus dapat melaksanakan semua tugas itu dengan sebaik-baiknya.
"Tugas pertama dan utama adalah tugas seorang manusia terhadap Tuhannya, yaitu menaati semua perintah Tuhan melalui kitab agama masing-masing yang tentu bersumber kepada kebaikan dan hidup bermanfaat bagi manusia dan dunia. Dalam tugas utama ini tercakup tugas-tugas lain yang banyak macamnya, misalnya tugas kewajiban sebagai orang tua terhadap anak-anaknya, sebagai anak terhadap orang tuanya, sebagai suami terhadap isterinya dan sebaliknya, sebagai anggauta keluarga terhadap sanak keluarganya, sebagai guru terhadap muridnya dan sebaliknya, sebagai anggaUta masyarakat, sebagai sahabat, sebagai warga negara terhadap negaranya dan sebagainya lagi.
"Termasuk tugas yang sekarang kalian emban, yaitu tugas seorang perajurit terhadap atasan dan pasukannya, sebagai seorang patriot terhadap bangsa dan tanah airnya. Kalau hendak menjadi seorang manusia seutuhnya, maka, semua tugas itu harus dilaksanakan dengan baik. Satu saja tugas itu diabaikan, tentu dia tidak dapat menjadi manusia baik yang seutuhnya! Biarpun semua tugas yang kusebutkan tadi telah kalian laksanakan dengan baik.
Namun kalau kalian tidak memenuhi tugas kalian sebagai seorang perajurit dan patriot, maka kalian tetap akan menjadi orang yang tercela. Apa lagi kalau ada di antara kalian yang mengkhianati perjuangan, nama seorang pengkhianat akan dikutuk rakyat selama hidupnya. Aku percaya bahwa kalian adalah patriot-patriot yang gagah perkasa, yang siap mempertaruhkan nyawa demi keselamatan bangsa dan tanah air, demi kehormatan Kerajaan Sung."
Setelah memberi peringatan kepada para perwira itu, Jenderal Gak lalu membagi-bagi tugas kepada mereka. Setelah pertemuan itu dibubarkan, Jenderal Gak memanggil Han Si Tiong dan Liang Hong Yi ke dalam kantornya.
"Kalian telah berjasa besar dalam menggembleng Pasukan Halilintar sehingga pasukan yang kalian pimpin dapat dijadikan pasukan inti yang akan mempelopori dan memberi dorongan semangat kepada seluruh barisan. Akan tetapi jasa kalian itu belum terbukti manfaatnya bagi kerajaan. Sekarang tiba saatnya kalian membuktikan bahwa kalian dan pasukan kalian benar-benar boleh diandalkan dan menjadi tulang punggung seluruh barisan. Apakah kalian berdua sudah siap lahir batin untuk melaksanakan tugas yang amat penting akan tetapi juga amat berbahaya ini?"
Dengan sikap tegak dan suara tegas suami isteri itu menjawab serentak, "Kami siap melaksanakan tugas, Tai-ciangkun!"
Gak Hui memandang suami isteri itu dengan kagum dan bangga. Tidak salah penilaiannya terhadap suami isteri ini ketika pertama kali dia melihat mereka dalam rumah Panglima Ciang Sun Bo. Han Si Tiong kini telah menjadi seorang pria gagah perkasa berusia tiga puluh tiga tahun, sedangkan Liang Hong Yi yang juga berpakaian sebagai seorang perwira Itu tampak gagah dan cantik manis dalam usianya yang dua puluh enam tahun.
"Sekarang kalian pulanglah dan membuat persiapan. Seperti telah kita rencanakan tadi, besok pagi-pagi benar sebelum fajar menyingsing, kita akan berangkat."
"Baik, tai-ciangkun!" kedua orang suami isteri itu memberi hormat lalu bergegas pulang ke rumah mereka.
Sebagai perwira, mereka telah mendapatkan rumah tinggal sendiri di mana mereka tinggal bersama anak tunggal mereka, Han Bi Lan yang kini sudah berusia tujuh tahun dan Lu-ma yang kini tampak selalu gembira dan tubuhnya menjadi gemuk. Lu-ma inilah yang mengasuh Bi Lan dengan penuh kasih sayang seorang nenek apabila ayah ibu anak itu meninggalkan rumah untuk bertugas.
Ketika Si Tiong dan Hong Yi melangkah masuk melalui pintu depan, Bi Lan, anak perempuan berusia tujuh tahun yang mungil dan manis itu, tiba-tiba menyambut ayah ibunya dengan bentakan nyaring, "Ayah ibu awas seranganku!" Dan anak itu dengan gerakan yang gesit sekali telah menyerang ayah ibunya dengan pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan. Mulutnya yang kecil mungil berseru berulang-ulang, "Haiiittt.... yaaattt?"
Si Tiong dan Hong Yi mengelak dan membiarkan anak mereka melakukan serangan bertubi-tubi sampai tujuh jurus. Kemudian Si Tiong menangkap lengan Bi Lan dan mengangkat tubuh anak itu dan dipondongnya.
"Bagus, Bi Lan. Akan tetapi engkau harus berlatih lebih tekun lagi." kata Si Tiong sambil mencium pipi anaknya.
"Akan tetapi engkau juga tidak boleh melalaikan pelajaranmu membaca dan menulis, Bi Lan." kata Hong Yi.
Lu-ma muncul dari dalam. Badannya gemuk dan sehat dan wajahnya penuh senyum. "Mana berani ia melalaikan pelajarannya? Selama ada aku di sisinya, ia tidak akan berani bermalas-malasan!" Bi Lan cemberut dan melapor kepada ibunya.
"Ibu, nenek Lu galak dan kejam! Kalau aku tidak menurut, ia tidak mau melanjutkan dongengnya!"
"Bukan galak dan kejam, melainkan itu karena ia sayang sekali kepadamu, Bi Lan. Nenek ingin engkau menjadi seorang yang pandai dan berguna bagi manusia dan dunia kelak." kata Hong Yi.
"Baiklah, nenekmu yang galak dan kejam ini malam nanti akan melanjutkan dongengnya tentang nenek sihir yang jahat itu." kata Lu-ma sambil tersenyum.
Bi Lan turun dari pondongan ayah-nya dan lari menghampiri Lu-ma lalu memeluknya."Nenek Lu tidak galak dan kejam, melainkan baik hati sekali! Aku sayang padamu, nek. Malam nanti lanjutkan donggengnya, ya?"
Mereka semua tertawa menyaksikan kemanjaan anak itu. Si Tiong dan Hong Yi lalu berkemas dan setelah makan malam mereka mengatakan kepada Lu-ma dan Bi Lan bahwa besok pagi-pagi sekali sebelum fajar menyingsing mereka akan berangkat bertugas dan sekali ini mereka akan pergi untuk waktu yang lama dan belum dapat ditentukan berapa lamanya.
"Kalian akan pergi ke mana dan melakukan tugas apakah maka membutuhkan waktu lama?" tanya Lu-ma.
"Kami akan memimpin pasukan menuju ke utara untuk berperang mengusir bangsa Kin." kata Hong Yi.
Lu-ma melompat bangkit dari duduknya. "Berperang....? Ahhh....!" Mata nenek itu terbelalak dan alisnya berkerut, wajahnya membayangkan kekhawatiran besar.
"Engkau kenapakah nek? Ayah dan ibu adalah prajurit-prarajurit patriot yang gagah perkasa, tentu saja mereka pergi berperang untuk mengusir penjajah...!” kata Bi Lan yang memang sejak kecil telah diberi pengertian oleh ayah ibunya tentang kependekaran dan kepahlawanan. ”kita sepatutnya merasa bangga, nek...”
Lu-ma masih tampak gelisah. "Akan tetapi.... bertempur....??"
"Bibi ucapan Hong Yi. Tadi benar sekali. Kami harus bertempur membela bangsa dan tanah air. Karena itu kami titip Bi Lan agar kau amati ia baik-baik selama kami pergi."
"Ibu, aku ingin ikut berperang melawan Bangsa Kin!" tiba-tiba Bi Lan berkata lantang.
Si Tiong tersenyum bangga. "Engkau masih terlalu kecil, Bi Lan. Engkau harus belajar dan berlatih dengan giat agar menjadi kuat dan mampu melawan musuh. Sekarang belum waktunya karena di pihak musuhpun tidak ada anak kecilnya."
"Kalau sudah besar aku boleh ikut bertempur, ayah?"
"Tentu saja! Engkau akan menjadi seorang pahlawan yang gagah perkasa dan ditakuti musuh."
Setelah Bi Lan tidur, malam itu Han Si Tiong dan Liang Hong Yi bicara lebih serius kepada Lu-ma. "Kalau terjadi apa-apa dengan kami, andaikata kami gugur dalam perang, rawatlah Bi Lan baik-baik bibi. Di almari itu kami tinggalkan seluruh harta milik kami, dapat engkau pergunakan untuk membesarkan Bi Lan. Jangan lupa untuk mengundang guru silat dan guru sastra untuk mendidiknya." pesan Liang Hong Yi.
Lu-ma mengangguk-angguk sambil mengusap air matanya. la tidak dapat menyembunyikan kegelisahan hatinya. Ia amat sayang kepada Hong Yi, menganggap wanita itu seperti anak kandungnya sendiri. Membayangkan Hong Yi bertempur dalam perang, terluka atau bahkan tewas, hatinya merasa gelisah bukan main.
Melihat nenek itu menahan isak dan mengusap air mata, Hong Yi merangkulnya. "Tenanglah dan jangan khawatir, bibi. Kami akan menjaga diri dengan hati-hati dan percayalah, Jenderal Gak Hui akan membawa kami mencapai kemenangan yang gemilang." kata Si Tiong dengan nada menghibur dan membesarkan hati.
"Benar, bibi. Jangan khawatir dan jangan memperlihatkan kesedihan kepada Bi Lan agar anak itu tidak ikut khawatir dan bersedih. Kami berdua pasti akan pulang dengan selamat." kata Hong Yi.
Akhirnya Lu-ma dapat menenangkan hatinya. Akan tetapi malam itu ia tidak mau berpisah dari Bi Lan dan menemani anak itu tidur di kamar Bi Lan...