Pemberontakan Taipeng Jilid 07

Sonny Ogawa

Pemberontakan Taipeng Jilid 07 karya Kho Ping Hoo - “TEECU berdua sute telah bersepakat untuk minta pendapat dan perkenan suhu. Teecu berdua ingin mengajak kawan-kawan seperjuangan, antara para pendekar untuk bersama-sama membangkitkan semangat rakyat di pedesaan, perlahan-lahan menyusun kekuatan dengan mendirikan lascar yang kuat yang bertujuan menyelamatkan tanah air dan bangsa.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

"Kalau perlu, laskar kami akan membantu pemerintah Mancu untuk memadamkan semua pemberontakan yang sifatnya hanya pengejaran ambisi tanpa mementingkan penderitaan rakyat, karena pemberontak-pemberontak macam Tai Peng dan lain-lain itu bahkan menjadi penghambat perjuangan menumbangkan kekuasaan penjajah.”

“Membantu pemerintah Mancu, bekerja sama dengan pemerintah penjajah?” Bu Beng Kwi berseru kaget dan memandang dua orang muridnya itu.

“Maksud suheng hanya untuk sementara, suhu,” kata Li Hong Cang. “Untuk dapat menghancurkan kekuatan yang berbahaya seperti Tai Peng, dibutuhkan pasukan besar dan sukarlah membentuk laskar sekuat itu untuk menentang Tai Peng. Maka, untuk sementara, sebaiknya kalau menggunakan kekuatan pasukan pemerintah untuk menghancurkan Tai Peng dan para pemberontak suku bangsa lain. Setelah itu, barulah kekuatan disusun sepenuhnya untuk menumbangkan kekuasaan penjajah dari tanah air.”

Bu Beng Kwi mengangguk-angguk, “Mungkin kalian benar. Terserah kepada kalian. Yang penting bagi kita adalah bahwa sepak terjang kalian haruslah murni, tanpa pamrih demi keuntungan pribadi, sepenuhnya ditujukan demi menyelamatkan rakyat dan bangsa kita. Akan tetapi, kalau cita-cita kalian demikian besar, kalian perlu mempelajari ilmu memimpin pasukan, ilmu perang, bukan sekedar ilmu silat. Dan agaknya aku masih menyimpan sebuah kitab kuno tentang ilmu perang, ilmu pusaka peninggalan Jenderal Gak Hui. Boleh kalian miliki dan pelajari bersama ilmu perang melalui kitab kuno itu.”

Bu Beng Kwi lalu masuk ke dalam kamarnya, mengambil sebuah kitab tebal yang sudah amat tua, menyerahkannya kepada dua orang muridnya yang menjadi gembira bukan main. Sejenak keduanya tenggelam ke dalam kitab itu, membuka-buka lembarannya dan membaca beberapa bagian penuh kekaguman, Kemudian Ceng Kok Han menyimpannya.

“Maaf, suhu. Teecu percaya semua tindakan suhu tentu sudah dipertimbangkan semasaknya dan setiap perbuatan suhu berdasarkan kebijaksanaan. Akan tetapi terus terang saja, teecu dan sute tadi merasa terkejut dan terheran-heran melihat suhu telah mengambil murid seorang anak dari wanita kulit putih. Teecu berdua ingin sekali mendengar sebab dan alasannya, kalau suhu tidak keberatan.”

Bu Beng Kwi mencoba untuk tersenyum, namun wajahnya yang kaku itu agaknya sudah terlalu lama tidak tersenyum maka gerakan mulutnya tidak cukup untuk menunjukkan sebuah senyuman.

“Pertanyaan kalian memang pantas dan sudah sepatutnya aku memberi penjelasan. Ibu dan anak itu adalah pengungsi-pengungsi yang ketika pegi mengungsi bersama penduduk dusun, dicegat oleh pasukan kecil Tai Peng yang mengganggu mereka. Pasukan itu melakukan perampokan, pembunuhan dan perkosaan, maka aku turun tangan menyelamatkan para pengungsi dan membasmi para penjahat yang berkedok pejuang itu.

"Anak itu terluka dan pingsan. Ketika aku hendak mengobatinya, aku melihat bakat yang baik sekali pada tubuhnya, dan aku kasihan kepadanya. Ibunya tidak mau berpisah dari anaknya dan nekat untuk ikut ke sini, bekerja menjadi pelayan walaupun aku tidak menganggapnya sebagai pelayan.

"Sudah hampir setahun mereka di sini dan Han Le ternyata memang cerdik dan berbakat, sedangkan ibunya juga seorang wanita yang amat rajin. Lihat saja, bukankah pondok kita ini menjadi bersih dan taman itu penuh dengan tanaman bunga yang indah?”

Dua orang murid itu sudah cukup mengenal watak suhu mereka. Biasanya, suhu mereka sama sekali tidak perduli akankeadaan rumah, apalagi bunga dalam taman. Tentu ada sesuatu yang mendorong suhunya menerima wanita kulit putih itu tinggal di situ. Mereka memandang dengan sinar mata bertanya-tanya dan agaknya Bu Beng Kwi dapat menduga bahwa kedua orang muridnya ini masih meragukan kehadiran Sheila dan keterangannya tadi belum memuaskan hati mereka.

“Baiklah kalian ketahui hal lain yang mendorong aku untuk menerima ibu dan anak itu di sini. Ketahuilah bahwa mendiang ayah dari anak itu bernama Gan Seng Bu, seorang pendekar dan pahlawan yang pernah berjuang bersama para pendekar untuk menentang penjajah dan juga orang kulit putih yang menjual madat.”

“Gan Seng Bu...?” Li Hong Cang berseru. “Ah, ketika teecu membantu Tai Peng bersama para pendekar, teecu pernah mendengar nama ini disebut-sebut dengan kekaguman. Kiranya sute cilik itu puteranya? Dan wanita kulit putih...”

“Ia adalah isteri mendiang Gan Seng Bu. Pendekar itu pernah menyelamatkan wanita itu ketika ia masih gadis melarikan diri bersama orang tuanya dan diserbu oleh para pemberontak. Hampir ia menjadi korban orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Ayah ibunya tewas dan Gan Seng Bu menolongnya. Mereka saling jatuh cinta dan semenjak itu, ia hidup di dusun di antara para pejuang dan menikah dengan pendekar itu.”

Kini kedua orang murid itu mengerti dan merekapun maklum mengapa guru mereka menerima ibu dan anak itu. Bahkan diam-diam merekapun merasa setuju sekali. bagaimanapun juga, biarpun rambutnya seperti benang emas dan matanya seperti warna lautan yang dalam, tidak seperti orang-orang kulit putih yang merusak hidup rakyat dengan penyebaran racun madat.

Bahkan wanita itu telah hidup belasan tahun lamanya di antara para pejuang, hidup seperti orang dusun dan kini bahkan bekerja keras seperti seorang pelayan saja membersihkan pondok dan memperindah suasananya. Diam-diam mereka merasa kagum sekali.

Setelah beberapa hari tinggal di situ, dua orang muda itu segera menjadi akrab sekali dengan Han Le dan mereka memberi bimbingan kepada anak itu dalam latihan ilmu silat. Han Le merasa girang sekali dan bangga mempunyai dua orang suheng itu. Bukan hanya dengan Han Le, bahkan kedua orang muda itu bersikap manis terhadap Sheila. Janda muda ini adalah sorang kulit putih, tentu saja iapun mudah menjadi akrab dengan mereka karena baginya tidak ada pantangan dalam keakraban pergaulan antara pria dan wanita. Apalagi melihat betapa dua orang muda itu adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa, seperti mendiang suaminya, dan mereka bersikap demikian baik terhadap puteranya.

Akan tetapi ada satu hal yang membuat Sheila merasa kurang enak hati. belum sampai sebulan dua orang muda itu berada di situ, akhir-akhir ini sinar mata mereka terhadap dirinya terasa lain olehnya. Biasanya hanya ada keramahan dan penghormatan, namun akhir-akhir ini ia dapat menangkap dengan naluri kewanitaannya betapa dalam sinar mata mereka terkandung kekaguman yang berlebihan dan mendekati kehangatan dan kemesraan. Pandang mata mereka penuh arti, juga senyum mereka tidak wajar lagi!

Sheila cukup berpengalaman sebagai seorang janda muda yang sering digoda orang untuk dapat menangkap perasaan kagum dan suka dalam hati kedua orang muda itu yang terpancar melalui sinar mata mereka. Tentu saja hal ini membuatnya merasa kurang enak, walaupun tentu saja ia tidak mau menyatakan sesuatu dan bersikap wajar saja di depan mereka.

Lebih tidak menyenangkan hatinya lagi ketika ia mendapat menyataan bahwa sejak dua orang muridnya itu pulang, Bu Beng Kwi jarang sekali keluar dari dalam kamarnya sehingga ia jarang bertemu dengan penolongnya itu. Akan tetapi sebaliknya, ia sering bertemu dengan dua orang muda yang nampaknya kini makin suka mendekatinya.

Pada suatu sore, ketika Sheila sedang membersihkan daun-daun kering dari taman di depan rumah, tiba-tiba muncul Ceng Kok Han yang tanpa banyak cakap lalu membantu pekerjaannya memunguti dan menyapu daun-daun kering itu.

“Aih, sudahlan, Ceng-sicu. Tidak perlu kau bantu, ini pekerjaanku sehari-hari, nanti tangan dan pakaianmu menjadi kotor saja.” kata Sheila menolak dengan lembut dan tersenyum manis.

“Tidak mengapa, toanio, aku suka membantumu karena aku merasa kasihan kepadamu,” jawab Ceng Kok Han.

Sheila menunda pekerjaannya dan memandang kepada pemuda itu sambil tertawa kecil. “Engkau sungguh aneh, sicu. Kenapa kasihan kepadaku? Aku senang melakukan pekerjaan di sini.”

“Toanio, orang cantik dan sepandai engkau ini sungguh tidak selayaknya hidup sederhana ini, bekerja keras seperti pelayan....”

“Harap jangan berkata demikian, sicu!” Sheila berkata cepat memotong dan suaranya mengandung penasaran. “Ketahuilah bahwa selama bertahun-tahun ini, baru sekarang aku merasakan hidup penuh kedamaian, ketenteraman dan kebahagiaan. Aku suka sekali melakukan semua pekerjaan ini, jadi, kalau engkau merasa kasihan, hal itu tidak tepat bahkan lucu sekali.”

“Toanio, engkau dahulu isteri seorang pendekar perkasa yang terkenal. Sekarang, selayaknya kalau engkau menjadi seorang isteri dan ibu rumah tangga yang terhormat dan hidup serba kecukupan. Akan tetapi sebaliknya engkau malah hidup di tempat yang amat sunyi, jauh tetangga jauh masyarakat. Toanio, kenapa sejak suamimu meninggal dunia, sudah belasan tahun lamanya, engkau tidak..... tidak menikah lagi?”

Mendengar pertanyaan ini, wajah yang masih cantik dan nampak jauh lebih muda dari usianya yang sudah tiga puluh tahun lebih itu berubah kemerahan. Sheila yang sudah mengenal pemuda ini karena sering bercakap-cakap, tahu bahwa Ceng Kok Han adalah seorang pemuda yang gagah perkasa yang berwatak terbuka dan jujur, suka mengeluarkan isi hatinya melalui mulut tanpa sungkan lagi. Oleh karena itu, iapun tidak merasa tersinggung, lalu tersenyum lebar memandang pemuda itu.

“Wah, Ceng-sicu, engkau ini aneh-aneh saja. Siapakah orangnya yang suka dengan sungguh-sungguh mengawini aku? Seorang janda dengan seorang anak, perempuan kulit putih pula yang pada umumnya dianggap musuh. Kalau ada, mereka itu hanya berniat untuk mempermainkan aku saja. Karena itu aku tidak pernah menerima lamaran mereka, sicu. Aku harus menjaga kebahagiaan hidup anakku satu-satunya orang yang kumiliki di dunia ini.”

“Engkau terlalu merendahkan diri, toanio. Engkau seorang wanita yang biarpun berkulit putih, namun amat cantik, bijaksana dan tidak kalah dibandingkan dengan wanita pribumi yang manapun.”

Wajah itu menjadi semakin merah, dan hatinya terasa tidak enak karena pujian dari pemuda yang jujur itu semakin berlebihan. “Sudahlah, sicu, harap jangan bicara tentang itu. Buktinya, sampai sekarang aku hidup berdua saja dengan anakku dan aku tidak pernah mengeluh.”

“Akan tetapi, tanio, kalau sekiranya toanio ingin merubah kehidupan yang penuh dengan kesepian ini, kalau saja toanio sudi menerimanya, ada seorang pria yang dengan sepenuh hati, dengan sungguh-sungguh ingin membahagiakanmu, ingin mempersuntingmu sebagai isteri tercinta, bukan sekedar main-main seperti yang kukatakan yadi.”

Sepasang mata yang biru itu terbelalak memandang Ceng Kok Han penuh selidik. “Sicu...! Apa.... apa maksudmu? Siapa siapa yang kau maksudkan itu?”

“Akulah pria itu, toanio. Kalau sekiranya engkau sudi menerima, aku..... aku meminangmu untuk menjadi isteriku.”

Sapu itu terlepas dari tangan Sheila. Matanya masih terbelalak memandang dan bibirnya yang setengah terbuka itu gemetar namun tidak dapat mengeluarkan suara. Kemudian ia memejamkan matanya, tidak tahu harus tertawa atau menangis karena hatinya ingin melakukan keduanya. Ia ingin tertawa karena geli hatinya bahwa seorang pemuda seperti Ceng Kok Han menyatakan cinta kepadanya melalui pinangan.

Dan ia ingin menangis karena merasa terharu mengetahui bahwa pemuda perkasa seperti Kok Han ini dapat dipercaya kata-katanya dan tentu sungguh-sungguh merasa suka dan kasihan kepadanya, bukan sekedar tertarik dan bermaksud mempermainkan terdorong oleh nafsu berahi semata. Akan tetapi ia cukup bijaksana untuk tidak melakukan keduanya, tidak menangis dan tidak tertawa, hanya memejamkan matanya sejenak dan menguatkan hatinya.

Kemudian ia membuka matanya memandang. pemuda itu masih berdiri di depannya, tegak dan gagah, dengan sikap menanti penuh kesabaran, menanti jawabannya. Ah, terasa benar olehnya kasih sayang yang hangat terpancar keluar melalui sinat mata pemuda itu dan iapun tahu benar bahwa hidup sebagai isteri pemuda ini tentu membawa ketenangan dan ketenteraman, terlindung dengan baik. Akan tetapi satu hal ia tahu pasti, yaitu bahwa ia tidak memiliki cinta kasih terhadap pemuda perkasa ini, walaupun ia merasa kagum dan suka.

“Ceng-sicu, harap engkau maafkan aku. Aku adalah seorang wanita yang tidak muda lagi, usiaku sudah hampir tiga puluh lima tahun. sedangkan engkau baru berusia paling banyak dua puluh lima tahun. Bukan hanya selisih usia ini saja yang membuat aku tidak berani menerima pinanganmu, sicu, melainkan karena aku.... aku...”

“Engkau telah menaruh hati kepada orang lain, mencinta orang lain?”

Sungguh seorang laki-laki yang terbuka dan terus terang, pikir Sheila. Maka iapun mengangguk setelah mengamati hatinya sendiri. Benar, ia telah jatuh cinta kepada orang lain. Baru sekarang kenyataan ini nampak benar olehnya. Ia telah jatuh cinta kepada Bu Beng Kwi, kepada penolongnya, penyelamatnya, kepada pendekar besar yang buruk rupa dan cacat tubuhnya itu! Maka, dengan penuh keyakinan iapun mengangguk untuk menjawab pertanyaan pemuda itu.

Ceng Kok Han menerima pengakuan wanita itu dengan gagah. Dia memang merasa hatinya tertusuk kekecewaan, namun dia menerimanya tanpa mengeluh. “Toanio, katakanlah, dia..... dia berada di sini?”

Karena ia berhadapan dengan seorang pria yang jujur dan gagah perkasa, Sheila meras tidak perlu menyembunyikan rahasianya dan iapun mengangguk.

“Apakah dia... sute Li Hong Cang?”

Sheila ttersenyum lemah dan menggeleng kepala. Sejenak Ceng Kok Han tertegun dan terbelalak memandang wajah wanita itu, kemudian dia menundukkan mukanya dan pandang matanya berpancar kekaguman dan keharuan. Dia lalu menjura dengan dalam dan penuh dengan hormat.

“Ah, toanio, aku semakin kagum kepadamu. Sungguh engkau seorang wanita yang berbudi luhur, seorang wanita yang akan dapat menjadi cahaya terang dalam kehidupan seseorang dengan cinta kasihmu yang suci murni. Maafkan kelancanganku tadi, toanio.” Dia menjura lagi.

Sheila membalas penghormatan itu dengan hati terharu. “Engkaulah yang harus memaafkan aku, sicu, karena aku telah mengecewakan hatimu. Semoga engkau kelak dapat bertemu dengan jodohmu yang sepadan dengan kegagahan dan kebaikanmu.”

Pemuda itu membalikkan tubuh dan meninggalkan Sheila yang masih berdiri termenung. kemudian iapun melanjutkan pekerjaannya, diam-diam merasa kagum kepada murid tertua Bu Beng Kwi itu.

Penglaman yang menegangkan hati Sheila terulang kembali pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali. Ia baru saja mandi dan berganti pakaian, terus pergi membawa pakaian kotor menuju ke pancuran air di mana ia biasanya mencuci pakaian. Baru saja ia mulai mencuci, terdengar suara lirih memanggil namanya.

“Sheila...!”

Tentu saja ia merasa terkejut sekali karena selama berada di situ, belum pernah ada orang menyebut nama kecilnya begitu saja. Ia cepat menoleh dan terbelalak melihat bahwa yang memanggilnya adalah Li Hong Cang, murid kedua dari Bu Beng Kwi. Pemuda tinggi kurus dengan muka putih dan alis tebal itu telah berdiri di dekatnya dan memandang kepadanya dengan sinar mata memancarkan kekaguman.

“Eh, Li-sicu! Engkau mengejutkan orang saja!” kata Sheila sambil tersenyum cerah, memaksa diri untuk bersikap biasa dan menekan debar jantungnya. “Engkau nakal sekali. Darimana engkau mengetahui nama kecilku, sicu?”

Akan tetapi pancingannya untuk mencairkan suasana dengan senda gurau tidak ditanggapi oleh Hong Cang yang masih saja bersikap serius dan pandang matanya yang penuh kagum itu tidak berubah. “Aku tahu dari anakmu. Sheila, engkau sungguh cantik jelita pagi ini, seperti dewi pagi yang gemilang. Alangkah indahnya rambutmu itu, seperti benang sutera emas...!"

Sheila merasa bulu tengkuknya meremang mendengar pujian ini. Ia tahu akan gawatnya suasana. Pemuda ini tidak main-main dan seperti juga apa yang dilakukan Ceng Kok Han kemarin, pemuda ini berterang memujinya dan memperlihatkan perasaan kagum dan cintanya!

Karena tidak tahu harus berbuat apa, Sheila tetap saja bersikap sendau gurau. “ih, sicu, jangan memuji berlebihan. Aku hanyalah seorang perempuan tua. Anakku yang menjadi sutemu itu sudah hampir dewasa!” Ucapannya ini dimaksudkan untuk mengingatkan dan menyadarkan kembali Hong Cang dari maboknya.

Akan tetapi agaknya pagi itu Li Hong Cang sudah mengambil keputusan, sudah nekat untuk mengaku cintanya kepada wanita yang membuatnya tergila-gila ini. “Sheila.... aku memujimu dari lubuk hatiku, setulus cintaku. Aku cinta padamu, Sheila, dan kalau engkau sudi meneimanya, aku ingin hidup bersamamu sebagai suamimu. Akan kuajak engkau tinggal di kota, hidup yang layak dan aku akan membahagiakanmu, Sheila. Sudikah engkau menerima cintaku?"

Hampir saja Sheila tak dapat menahan ketawanya. ia merasa seperti berada di panggung saja, seperti sedang bermain sandiwara. Baru saja kemarin kok Han menyatakan keinginannya hendak meminang, kini hong cang menyatakan cintanya! Akan tetapi tentu saja ia tidak berani mentertawakan pemuda yang nampaknya serius sekali itu. Maka iapun mengambil keputusan untuk menolaknya dengan halus namun tegas untuk membuyarkan khayal yang membuat pemuda itu bersikap demikian romantis.

“Li-sicu, maafkan aku dan harap jangan menyesal kalau aku terpaksa mengecewakan hatimu. Aku tidak mungkin membalas cintamu, tidak mungkin dapat menerima pinanganmu, pertama karena engkau jauh lebih muda dariku, kita tidak pantas menjadi suami isteri. Dan kedua karena aku sudah mencinta laki-laki lain. Nah, maafkanlah aku, sicu.”

Alis yang hitam tebal itu berkerut dan muka yang putih itu menjadi semakin pucat, “Sheila, engkau... engkau memilih suheng? Jadi engkau mencinta suheng Ceng Kok Han?”

Sheila menggeleng kepala, “tidak, bukan dia yang kucinta.”

Sepasang mata pendekar itu terbelalak dan mukanya menjadi kemerahan. Tiba-tiba dia lalu menjura dengan sikap hormat, “Toanio, maafkan kelancanganku... engkau sungguh seorang wanita yang luar biasa, toanio.” Li Hong Cang lalu memberi hormat lagi dan pergi meninggalkan Sheila.

Dua hari kemudian semenjak dua orang pemuda itu menyatakan cintanya, mereka pergi meninggalkan pondok itu. Mereka berpamit kepada Sheila dengan sikap hormat, seperti sikap mereka ketika pertama kali datang. Tidak nampak lagi tanda-tanda bahwa mereka pernah mengaku cinta, Sinar mata mereka kini sungkan dan hormat, dan sikap merekapun tetap ramah ketika mereka minta diri.

Sheila pun besikap biasa dan menghaturkan selamat jalan kepada mereka. Baru setelah mereka pergi, ia merasa kehilangan karena bagaimanapun juga, kehadiran dua orang muda itu sedikit banyak mendatangkan perubahan di tempat yang amat sunyi itu. Setelah mereka pergi, baru ia berani bertanya kepada Han Le ke mana mereka pergi dan apa yang hendak mereka lakukan.

“Kedua orang suhengku itu berangkat ke kota besar untuk mulai dengan perjuangan mereka menentang pemberontak Tai Peng, ibu. Kelak kalau aku sudah besar, akupun ingin mengikuti jejak mereka.” kata Han Le dengan sikap gagah.

Dan pada sore hari itu, ketika Sheila duduk di serambi belakang seorang diri, tiba-tiba muncul Bu Beng Kwi di depannya. “Toanio, kenapa engkau menyia-nyiakan kesempatan baik dan rela mengubur dirimu di tempat sunyi ini?”

Pertanyaan yang tiba-tiba itu mengejutkan hati Sheila. “Taihiap, maafkan aku, akan tetapi apa maksud pertanyaan taihiap ini? Aku tak mengerti....”

“Engkau telah menolak cinta kasih dua orang muda seperti Ceng Kok Han dan Li Hong Cang!”

Sheila memandang dengan mata terbelalak kaget. “Taihiap... tahu akan hal itu?”

“Mereka mengaku kepadaku tentang cinta mereka kepadamu dan minta perkenanku untuk meminangmu. Aku memberi perkenan, akan tetapi mereka hari ini pergi dengan hati patah. Toanio, kenapa engkau tidak memilih seorang di antara mereka dan meninggalkan tempat yang sunyi ini, membangun kehidupan baru yang penuh bahagia dengan seorang di antara kedua muridku itu? Bukankah mereka itu adalah orang-orang muda yang gagah perkasa, berjiwa pendekar dan akan sanggup melindungimu selamanya?”

Baru sekali ini Sheila mendengar orang ini bicara demikian banyak, dan bicara dengan suara demikian bersemangat. Akan tetapi kata-kata yang panjang dan bersemangat ini sama sekali tidak menyenangkan hatinya, bahkan baginya merupakan benda runcing yang menusuk perasaannya. Tak terasa lagi Sheila yang biasanya tabah itu kini menutupi mukanya untuk menyembunyikan air mata yang bercucuran keluar dari sepasang matanya yang biru.

Namun, Bu Beng Kwi telah melihatnya dan dengan suara mengandung keheranan namun lembut dia bertanya. “Toanio, kenapa engkau menangis?”

Sheila menghapus air matanya. Lalu ia memandang kepada laki-laki itu. Hanya sebentar mereka bertatap pandang karena Bu Beng Kwi, seperti biasanya segera menundukkan mukanya. “Taihiap, demikian bencikah taihiap kepadaku?”

Bu Beng Kwi terkejut, sejenak mengangkat muka, matanya mencorong memandang wajah Sheila akan tetapi lalu menunduk kembali. “Apa maksudmu?”

“Taihiap selalu menjauhiku, dan sekarang dengan halus mengusirku. mengapa taihiap membenciku ? Apakah karena aku seorang perempuan kulit putih? Ataukah aku memberatkan penanggungan taihiap di sini? Kalau benar demikian, katakanlah saja, taihiap dan aku.... aku akan pergi bersama anakku, aku... tidak ingin menyusahkan taihiap yang sudah demikian baik kepada kami....”

“Aku tidak membencimu, toanio. Jangan salah mengerti. Dua orang muridku itu tertarik dan jatuh cinta kepadamu. Mereka terus terang di depanku dan minta perkenan dariku untuk meminangmu. Tentu saja aku memperbolehkan karena aku lihat bahwa engkau cukup berharga untuk menjadi isteri orang yang bagaimanapun juga. Akan tetapi engkau menolak mereka, memilih hidup bersunyi diri di sini? Mengapa?”

Sheila merasa betapa jantungnya berdebar kencang. Ingin mulutnya meneriakkan bahwa ia tidak mungkin dapat meninggalkan pria ini, bahwa ia tak mungkin berpisah dari tempat ini, dari Bu Beng Kwi. Akan tetapi tentu saja ia tidak seberani itu, karena Bu Beng Kwi sedikitpun tidak memperlihatkan tanda-tanda keramahan kepadanya, bersikap dingin, bahkan selalu menjauhkan diri. Malah orang yang diam-diam dipujanya, dijunjung tinggi dan dicintanya ini seperti menyuruh dua orang muridnya untuk meminangnya!

“Aku sudah merasa senang dan berbahagia sekali di sini, taihiap. Aku tidak ingin pergi ke manapun juga. Bukankah anakku juga berada di sini? Kami merasa suka dan merasa aman tenteram hidup di sini, dan kesunyian di sini bahkan merupakan keheningan yang menyejukkan hati.”

“Benarkah yang kau katakan itu, toanio?”

Sheila memandang kepadanya dengan sinar mata berkilat dan wajah berseri. “Perlukah aku bersumpah, taihap? Semenjak suamiku meninggal dunia, baru sekarang aku merasakan kehidupan yang penuh dengan kedamaian dan ketenteraman, dan aku berbahagia sekali tinggal di sini, taihiap. Kalau boleh, aku ingin tinggal di sini, selamanya, sampai aku mati.”

Kembali Bu Beng Kwi mengangkat muka memandang dengan sinar mata mencorong ketika mendengar ucapan ini, akan tetapi dia lalu membalikkan tubuhnya dan berkata, “Aku girang sekali mendengar ini, toanio'. Dan seperti orang tergesa-gesa diapun pergi meninggalkan Sheila. “Ya Tuhan, ampunkan semua dosaku... ya Tuhan, ampunilah saya...”

Sheila tak berani bergerak dan kini kedua pipinya basah oleh air matanya yang mengalir turun. Sejak tadi ia mengintai dan timbul dugaannya bahwa tentu Bu Beng Kwi seringkali meratap dan menangis seorang diri seperti itu di waktu malam, walaupun baru dua kali ini ia mengintai dan melihatnya. Sekali ini, ratap tangis Bu Beng Kwi yang minta-minta ampun kepada Tuhan akan dosa-dosanya itu diseling doa-doa dalam bahasa yang tidak dimengertinya, doa yang biasanya diucapkan oleh para hwesio.

Kiranya Bu Beng Kwi ini pandai pula berdoa seperti pendeta, pikirnya penuh keharuan. Dosa apa gerangan yang pernah dilakukan orang ini sehingga kini dia menyesali diri sedemikian rupa? Sukar untuk dipercaya bahwa seorang gagah perkasa dan budiman seperti Bu Beng Kwi ini pernah melakukan dosa yang membuat dia begitu menderita dalam penyesalan. Ingin sekali Sheila meloncat dan berlari keluar untuk merangkul dan menghibur, menyusuti air mata orang itu, akan tetapi tentu saja ia tidak berani.

“Akulah yang telah membunuh... akulah yang telah merusak kehidupannya, terkutuklah perbuatanku itu... ya Tuhan, ampunilah hambamu ini.. aku sudah cukup menyiksa diri, menderita, namun hukuman ini masih belum cukup untuk menebus dosa-dosaku...”

Bu Beng Kwi meratap dan menangis, bahkan menjambak rambutnya sendiri dan ketika dia menjatuhkan diri berlutut, dia membentur-benturkan kepalanya pada tanah sampai terdengar bunyi berdebukan yang mengerikan hati Sheila.

Akhirnya dengan suatu keluhan panjang, tubuh Bu Beng Kwi itu terguling roboh dan rebah terlentang tak bergerak lagi. Sheila memandang dengan bingung dan gelisah. Tertidurlah orang itu? Ataukah jatuh pingsan? Jangan-jangan dia jatuh sakit, pikirnya. Selagi ia merasa bimbang dan ragu, menghampiri ataukah tidak, dan merasa serba salah, tiba-tiba nampak bayangan dua orang berkelebat datang dan tahu-tahu di situ telah berdiri dua orang laki-laki.

Mula-mula Sheila mengira bahwa yang datang itu adalah Ceng Kok Han dan Li Hong Cang, akan tetapi karena malam itu bulan hanya muncul sepotong dan cuaca remang-remang, ia tidak dapat melihat jelas. Baru setelah dua orang itu nampak menggerakkan tangan memukul tubuh Bu Beng Kwi, ia tahu bahwa mereka bukanlah dua orang muda itu dan iapun menjerit melihat Bu Beng Kwi dipukul.

'“Desss.....!" Jerit yang keluar dari mulut Sheila itulah yang menarik kembali Bu Beng Kwi ke dalam alam sadar, akan tetapi dia telah terkena pukulan yang keras sekali pada dadanya, yang membuat tubuhnya terbanting keras dan bergulingan. Sheila menggigil dan tak kuat berdiri, berlutut dan memandang dengan mata terbelalak penuh rasa gelisah.

Akan tetapi, setelah menerima pukulan hebat pada dadanya dan disusul tendangan keras yang membuat tubuhnya terlempar, Bu Beng Kwi yang terkejut mendengar jeritan Sheila tadi, dapat meloncat bangun kembali. Tubuhnya yang tinggi itu nampak bergoyang-goyang sedikit ketika dua orang lawannya sudah berloncatan datang mendekat.

“Ha, lihat mukanya! Tentu dia ini orangnya!” terdengar seorang di antara mereka, yang tubuhnya gendut, berkata dengan suara parau dan dalam.

“Benar, Toako, tentu dia orangnya. Hei, benarkah engkau yang berjuluk Bu Beng Kwi?” kata yang bertubuh tinggi besar dan kedua lengannya panjang sepeti lengan orang hutan.

Bu Beng Kwi menarik napas panjang, merasa betapa dadanya nyeri. Pukulan orang berlengan panjang tadi mengandung sinkang yang kuat dan dia tahu bahwa dia telah menderita luka cukup parah di dalam dadanya. Bahkan mulutnya sudah merasakan darah! Akan tetapi, Bu Beng Kwi bersikap tenang ketika dia melangkah maju menghampiri dua orang itu.

“Siapakah kalian ini, orang-orang pengecut yang tidak tahu malu menyerang orang yang tidak bersiaga?” tanyanya, suaranya tenang namun berwibawa.

“Bu Beng Kwi, ingatkah engkau ketika engkau membunuh pasukan Tai Peng dan juga Tung-hai Siang-liong? Kami adalah rekan-rekannya, kami tokoh-tokoh Tai Peng yang datang untuk menghukummu. Berlututlah agar kamu menyerah dan kami bawa menghadap pimpinan kami di Nan-king,” kata yang berperut gendut.

Kini Bu Beng Kwi sudah dapat memulihkan tenaganya dan pandang matanya sudah terang kembali. Dia melihat bahwa dua orang itu ternyata mengenakan jubah pendeta, dan rambut mereka digelung seperti biasa para tosu menggelung rambutnya. Akan tetapi, dia melihat gambar pat-kwa di dada mereka dan tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan dua orang tokoh Pat-kwa-pai yang terkenal sebagai pemberontak yang gigih dan memiliki banyak orang pandai.

“Hemm, kiranya dua orang tosu Pat-kwa-pai!” katanya dengan senyum di kulum. “Pantas Tai Peng melakukan penyelewengan, kiranya dibantu oleh orang-orang dari Pat-kwa-pai yang terkenal berkedok agama dan perjuangan untuk mengelabui rakyat jelata. Benar, aku telah membasmi pasukan kecil Tai Peng yang melakukan perampokan dan pembunuhan terhadap para pengungsi, dan kemudian Tung-hai Siang-liong yang menyerangku juga roboh binasa. Lalu kalian mau apa?”

“Hemm, manusia sombong. Engkau sudah terluka parah dan menghadapi maut, masih saja membuka mulut besar dan tidak cepat berlutut menyerahkan diri?” bentak si lengan panjang.

“Hiante, tak perlu banyak cakap, bunuh saja dia!” kata yang berperut gendut dan diapun cepat menerjang ke depan, mengirim tendangan ke arah perut Bu Beng Kwi. Si gendut ini agaknya memang ahli tendang yang amat lihai. Biarpun perutnya gendut sekali, namun kakinya dapat terangkat tinggi, cepat seperti kilat menyambar dan mengandung tenaga yang kuat sekali ketika dia menendang. Tendangan ini tadi pernah membuat tubuh Bu Beng Kwi terlempar jauh.

Akan tetapi sekali ini Bu Beng Kwi telah siap siaga. Kemarahan membuat darahnya seperti mendidih dan melihat datangnya tendangan, dia bukan mengelak bahkan melangkah maju menyambut tendangan itu. Dengan kecepatan yang tak dapat diikuti dengan mata, tahu-tahu dia telah menangkap tumit kaki yang menendang itu, terus mendorong kaki itu ke atas dengan kekuatan penuh, sedangkan tangan kanannya memukul ke arah perut gendut itu dengan tangan terbuka.

“Hukkk!” Tubuh si gendut itu terlempar jauh ke belakang setelah perutnya dimasuki tangan itu. Tubuh yang gendut itu terbanting keras di atas tanah dan si gendut itu tidak dapat bangun, hanya mengaduh-aduh memegangi perutnya yang terasa mulas dan kepalanya yang benjol-benjol karena ketika terbanting tadi, kepalanya bertemu dengan batu yang keras.

Si tinggi besar menyerang pada detik berikutnya, tidak mampu menolong temannya dan kedua lengannya yang panjang itu sudah menyambar, yang kiri mencengkeram ke arah kepala Bu Beng Kwi sedangkan yang kanan menghantam ke arah lambung. Serangannya dahsyat dan kuat bukan main sampai terdengar suara angin bercuitan ketika kedua lengan panjang itu bergerak.

Akan tetapi Bu Beng Kwi yang sudah marah bukan main itu tidak memberi kesempatan kepada lawan kedua ini. Sebetulnya, kalau saja Bu Beng Kwi tidak terluka karena serangan gelap ketika dia dalam keadaan tidak sadar tadi, mungkin dia tidak akan menurunkan tangan besi karena tingkat kepandaian dua orang itu masih jauh di bawah kalau dibandingkan dengan tingkatnya.

Begitu melihat lengan yang tadi memukulnya menyambar, dia memapaki dengan tangan kanannya, menangkap tangan yang mencengkeram ke arah kepalanya. Dua tangan yang jari-jarinya terbuka itu saling bertemu dan saling cengkeram, sedangkan lengan kiri Bu Beng Kwi menagkis tangan yang menghantam lambung, dan meneruskan tangkisan itu dengan mendorong dada lawan dengan telapak tangan yang menangkis itu.

“Aughhhh...!” Si tinggi besar menjerit kesakitan karena lima buah jari tangan kirinya yang saling cengkeram dengan tangan kanan lawan itu terasa nyeri dan terdengar tulang-tulang lima jarinya patah-patah, kemudian setelah pukulannya pada lambung tertangkis, tiba-tiba telapak tangan Bu Beng Kwi sudah mengenai dadanya.

“Desss...! Tubuhnya terlempar dan menimpa tubuh si gendut! Dua orang tokoh Pat-kwa-pai itu adalah orang-orang yang sudah cukup tinggi tingkatnya di perkumpulan mereka, karena mereka adalah tokoh tingkat tiga. Maka dapat dibayangkan betapa terkejut hati mereka ketika menghadapi Bu Beng Kwi, dalam segebrakan saja mereka telah menderita luka parah. Mereka menjadi ketakutan dan sambil setengah merangkak dan saling bantu, keduanya bangkit melarikan diri tinggang langgang tanpa pamit lagi.

Bu Beng Kwi tidak melakukan pengejaran, melainkan berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar, gagah dan menakutkan lawan. diam-diam Sheila yang nonton semua peristiwa itu, merasa kagum. Pahlawannya, penolongnya itu memang hebat bukan main! Akan tetapi, wanita ini menjerit ketika melihat betapa tiba-tiba tubuh yang jangkung itu terkulai dan roboh di atas tanah di dalam kebun itu!

Sheila melupakan semua rasa sungkan dan takut, lalu ia berlari menghampiri. Melihat Bu Beng Kwi rebah miring, ia lalu berlutut dan memeriksa. ketia dalam cuaca remang-remang itu ia melihat wajah yang pucat itu, dan darah berlepotan mengalir keluar dari mulutnya, ia menjadi panik.

“Taihiap...!” Ia menubruk dan mengguncang-guncang pundak Bu Beng Kwi. “Ahh, taihiap... sadarlah...!! Taihiap...!” Melihat betapa ketika diguncang itu Bu Beng Kwi sama sekali tidak bangun, bahkan kepalanya nampak lemas terkulai seolah-olah dia sudah tidak bernyawa lagi, Sheila menjadi khawatir sekali. Diguncang-guncang tubuh itu, didekapnya kepala itu, dipanggil- panggilnya, namun tetap saja Bu Beng Kwi tidak bergerak.

“Ibu, ada apakah, ibu?”

“Ahh, Henry, cepat bantu aku. gurumu telah berkelahi dan dia terluka parah. Mari kita angkat tubuhnya ke dalam pondok,” kata Sheila ketika melihat munculnya Han Le yang terkejut dan terbangun dari tidurnya mendengar jerit ibunya tadi.

Han Le terkejut, hampir tak dapat percaya bahwa gurunya dapat terluka patah dalam perkelahian. namun dia tidak bertanya lebih lanjut, membantu ibunya dan dengan sudah payah mengangkut tubuh Bu Beng Kwi yang berat itu, setengah menyeret dan setengah mendukungnya, masuk ke dalam rumah dan erus k dalam kamar Bu Beng Kwi.

Setelah tubuh itu direbahkan di atas pembaringan dan Sheila menyalakan lma batang lilin, ia semakin gelisah melihat betapa wajah yang buruk itu nampak sama sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda hidup. Hanya ketika ia meraba dadanya, jantungnya masih berdetak dan napasnya, walaupun lambat, masih berjalan.

“Cepat, kau masakkan air, Henry!” kata Sheila.

Anaknya itu tanpa bertanya apapun cepat melaksanakan perintah ibunya. Sheila menyuruh Han Le karena ia sendiri tidak sampai hati meninggalkan Bu Beng Kwi. Ia mempergunakan kain putih yang dibasahi dengan arak yang menghapus darah yang berlepotan di mulut Bu Beng Kwi.

Hati Sheila takut bukan main, khawatir kalau-kalau penolongnya itu tewas. Membayangkan betapa penolongnya itu tewas, tak terasa lagi air matanya bercucuran dan iapun menangus sambil merangkul leher yang kokoh kuat itu. Ia menyandarkan mukanya di dada yang bidang itu sambil menangis.

Ketika Han Le masuk membawa air panas, dia melihat ibunya menangis dalam keadaan seperti itu dan diam-diam anak ini merasa heran, juga terharu. Dia sendiri amat sayang kepada gurunya, akan tetapi tak pernah ia melihat ibunya demikian dekat dengan gurunya. Diapun membantu ibunya mencuci muka, kaki dan tangan gurunya dengan air panas, terutama sekali menggunakan kain yang direndam air panas untuk memebersihkan dada dan tubuh atas yang telah ditelanjangi karena ketika Sheila memeriksa, dia melihat tanda tapak tangan menghitam pada dada yang bidang itu.

Bu Beng Kwi memang terluka parah dan kalau saja dia tidak memiliki tubuh yang terlatih dan amat kuat, tentu pukulan dahsyat yang dilakukan lawan ketika dia dalam keadaan tidak sadar itu sudah menewaskannya. Dia belum tewas, akan tetapi luka parah itu membuat dia tidak sadar selama tiga hari tiga malam! Dan selama itu, Sheila tak pernah meninggalkannya lama-lama.

Bahkan wanita ini hampir tidak makan, juga tidak pernah tidur walaupun puteranya membujuknya. Sheila merawat Bu Beng Kwi, menyuapkan air bubur encer ke dalam mulut yang masih mampu menelan dalam keadaan setengah sadar namun masih selalu memejamkan mata dan tak pernah mengeluarkan suara itu.

Pada hari keempat, pagi-pagi sekali Bu Beng Kwi menggerakkan pelupuk matanya, tubuhnya tergetar sedikit, dan diapun membuka kedua matanya. Dilihatnya Sheila tertidur sambil bersandar pada kursi di dekat pembaringan, sambil berlutut di bawah pembaringannya, Sedangkan Han Le duduk di tepi pembaringan. Anak itu tadinya melenggut karena kantuk, akan tetapi agaknya dia merasa bahwa gurunya bergerak, maka diapun cepat mendekatkan mukanya.

“Suhu...!” katanya lirih.

“Ssttt...” Bu Beng Kwi memberi tanda agar anak itu tidak berisik sambil melirik ke arah Sheila yang tidur pulas bersandarkan kursi. “Jangan ribut, ibumu sedang tidur.”

Sambil berbisik Han Le berkata, “Benar, kasihan ibu. Sudah tiga hari dua malam ia tidak tidur dan baru malam ini saking lelahnya ia tertidur dan teecu menggantikannya menjaga suhu.”

Bu Beng Kwi terkejut. “Tiga hari tiga malam? Kau maksudkan aku pingsan selama itu...?”

“Benar, suhu. Dan ibu selama itu menjaga suhu, menyuapkan air bubur, membersihkan tubuh suhu...” katanya dengan bangga.

“Ahhh....!” Bu Beng Kwi membuang muka agar anak itu tidak melihat betapa kedua matanya menjadi basah. Seringkali dia merasa heran mengapa semenjak bertemu dengan Sheila, seringkali dia tidak dapat menahan mengalirnya air matanya, bahkan menangis tersedu-sedu seperti anak kecil. Padahal, dahulu dia tidak pernah mengenal tangis! Walaupun pernah dia menyesal secara mendalam, namun baru setelah dia bertemu Sheila saja dia banyak menangis.

Hatinya diliputi keharuan yang mendalam dan iapun memejamkan matanya kembali, seperti hendak mengusir bayangan betapa wanita itu selama tiga hari tiga malam menjaganya tanpa tidur, mungkin tanpa makan, merawatnya penuh perhatian. Bayangan ini seperti pedang berkarat yang menghunjam dan menembus jantungnya, membuat napasnya menjadi sesak dan kesehatannya yang belum pulih kembali itu tidak kuat menerimanya, membuat dia terkulai dan pingsan lagi.

Han Le mengira suhunya tertidur, maka dengan hati lega karena suhunya sudah sadar dan bicara, diapun duduk melenggut dan akhirnya diapun terkulai dan tertidur di tepi pembaringan. Ketika Sheila terbangun, dilihatnya puteranya tertidur pulas di tepi pembaringan, dan Bu Beng Kwi masih seperti malam tadi, rebah seperti orang pulas atau pingsan. Akan tetapi dengan hati agak lega dilihatnya betapa tarikan napas Bu Beng Kwi sudah panjang-panjang dan lancar, juga ketika ia menyentuhnya, kaki tangannya sudah hangat dan merah, tidak pucat dingin seperti kemarin.

“Henry, bangunlah dan cepat masak air dan masak bubur,” katanya menggugah puteranya.

Han Le terbangun. “Ibu, semalam suhu telah sadar dan bicara sebentar denganku.”

“Ah, benarkah? Atau engkau hanya bermimpi? Buktinya engkau tertidur pulas.”

Han Le menjadi ragu sendiri. Benarkah dia melihat suhunya sadar? Ataukah hanya mimpi belaka? Diapun cepat turun dan pergi ke dapur, sementara Sheila pergi mencuci muka dan membersihkan badan. Ia melakukan hal itu cepat-cepat karena tidak tega meninggalkan Bu Beng Kwi terlalu lama. Ia sudah kembali berlutut di tepi pembaringan dan melihat betapa orang itu masih juga belum sadar, ia memegang tangan Bu Beng Kwi.

“Taihiap, sembuhlah, taihiap. Kasihanilah aku, karena hanya engkau seoranglah gantungan harapanku, engkau seoranglah yang dapat membahagiakan hidupku, dapat membimbing dan mendidik puteraku. Taihiap, kasihanilah aku dan segera sembuhlah...”

Dengan girang Sheila merasa betapa ada hawa panas menjalar dari telapak tangan yang lebar itu ke dalam tangannya, dan ia merasa pula betapa jari-jari yangan itu gemetar sedikit. ketika ia melihat perlahan-lahan Bu Beng Kwi lepaskan pegangannya, kemudian membuka matanya, Sheila girang bukan main. “Taihiap...! Engkau telah sembuh, bukan?”

Bu Beng Kwi membuka matanya, memandang kepada wajah Sheila sampai beberapa lamanya, kemudian dia menarik napas panjang dan bangkit duduk. Ketika Sheila hendak merangkulnya dan membantunya duduk, dengan tangannya dia menolak dan dia duduk sendiri.

“Gan, toanio, lukaku parah juga, perlu pengobatan. Akan tetapi aku sudah mampu megobati diri sendiri sekarang, dan banyak terima kasih atas kebaikanmu selama aku sakit, toanio. Sekarang, beristirahatlah dan biarkan muridku Han Le yang melayaniku. Keluarlah, toanio.”

Tentu saja ada perasaan kecewa di hati wanita itu yang ingin terus melayani sampai orang itu sembuh benar. Akan tetapi, mendengar suara yang berwibawa itu, yang bersungguh-sungguh, dan sinar mata yang mulai mencorong itu, iapun tidak berani membantah. Pula, ia harus bertukar pakaian dan membersihkan diri benar-benar karena selama beberapa hari ini ia tidak sempat. Juga makan. Ia harus makan kalau tidak ingin jatuh sakit.

“Baiklah, taihiap, semoga engkau lekas sembuh.”

“Terima kasih toanio.”

Setelah sekali lagi menatap wajah buruk itu dengan sinar mata penuh kebahagiaan karena kini orang itu sudah sadar, dan wajahnya juga agak pucat karena kurang makan dan tidur itu berseri, Sheila meninggalkan kamar itu. Ia segera menuju dapur terlebih dahulu untuk membantu puteranya memasak bubur encer dan air teh, kemudian menyuruh puteranya melayani Bu Beng Kwi sebaik mungkin.

“Layanilah dia baik-baik, anakku. Dia telah sadar dan tentu akan sembuh kembali. Ingat, kalau ada apa-apa cepat beritahu aku. Aku ingin sekali melihat dia sembuh kembali seperti sediakala.”

“Ibu, susah benarkah hatimu ketika suhu sakit?” Han Le tiba-tiba bertanya, tangan kanan memegang panci bubur dan tangan kiri cerek teh.

“Tentu saja, bukankah kasihan melihat dia menderita?”

“Ibu sangat mencinta suhu, ya? Seperti juga aku.”

“Tentu, Henry. Dia orang baik.”

“Dia orang baik, ibu. Apakah ayah dulu juga sebaik suhu? Suhu selalu bercerita bahwa ayahku adalah orang yang paling baik dan paling gagah di dunia ini, dan selalu berpesan kepadaku agar aku kelak menjadi orang gagah seperti ayahku.”

Sheila menelan ludah untuk menekan keharuan hatinya. “Ayahmu juga orang baik sekali, akan tetapi, gurumu juga tidak kalah baik. Engkau boleh menjadi seperti ayahmu kelak, atau seperti gurumu. Sama saja. Mereka berdualah orang-orang yang paling baik di dunia ini bagiku.”

“Ibu, berapakah usia ayah ketika dia meninggal dunia?”

Sheila menatap wajah anaknya dengan alis berkerut, tidak tahu apa yang terkandung di hati puteranya dengan pertanyaan itu, namun ia menjawab juga, “Masih muda sekali, Henry, baru dua puluh tahun lebih...”

Anak itu memandang ibunya dengan sinar mata tajam yang mengandung penasaran dan keheranan. “Ayah masih begitu muda kenapa meninggal? Ibu hanya mengatakan bahwa ayah tewas sebagai pahlawan, seorang pejuang yang gagah perkasa. Akan tetapi bagaimana matinya, ibu? Apakah dalam pertempuran?”

Ibu muda itu menggeleng kepala. memang ia belum menceritakan tentang kematian suaminya kepada Han Le, akan tetapi diam-diam, janda ini tidak pernah dapat melupakan orang yang telah membunuh suaminya secara kejam. Koan Jit! Nama itu tak pernah dapat terlepas dari ingatannya, nama yang berlumuran darah suaminya, yang diingat dengan kebencian yang sedalam lautan dan setinggi langit.

Koan Jit pembunuh suaminya yang tercinta, Koan Jit manusia yang dianggapnya paling keji dan paling jahat di dunia ini. Walaupun ia mendengar betapa kemudian Koan J it tewas dalam perjuangan sebagai seorang gagah perkasa yang mengorbankan nyawa demi keselamatan para pimpinan pejuang yang ditawan musuh, seperti yang didengarnya dibicarakan oleh para pejuang rakyat, namun kebenciannya tak pernah dapat terhapus dari dalam hatinya.

Semula memang ia bercita-cita untuk mengusahakan agar puteranya belajar ilmu silat sampai mencapai tingkat tinggi agar dapat membalaskan kematian ayahnya dan agar puteranya itu kelak dapat membunuh Koan Jit yang jahat. Akan tetapi setelah mendengar kematian Koan Jit, iapun merasa kecewa dan menyesal, dan mengambil keputusan untuk tidak bercerita tentang musuh besar yang sudah tewas itu kepada anaknya.

Kini cita-citanya berubah dengan sendirinya, dan ia hanya mengharapkan puteranya kelak akan menjadi seorang gagah perkasa, seorang pendekar dan pahlawan bagi rakyatnya. Akan tetapi kini, tiba-tiba saja puteranya bertanya tentang ayahnya. Ia tidak mungkin menyembunyikan lagi dan memang merupakan hak mutlak puteranya untuk tahu akan keadaan mendiang ayahnya yang belum pernah dilihatnya itu karena ayahnya tewas selagi Henry berada dalam kandungan.

“Tidak, anakku. Ayhmu tidak tewas dalam pertempurn dan hal ini memang membuat hatiku penasaran bukan main. Kalau ayahmu tewas dalam perjuangan, selagi bertempur dengan musuh, maka kematiannya itu akan mengharumkan namanya. Akan tetapi tidak, ayahmu tewas karena perbuatan seorang manusia iblis yang amat jahat, seorang manusia yang berhati kejam melebihi iblis, yang dengan curang telah membunuh ayahmu.”

“Siapakah orang itu, ibu?”

“Namanya Koan Jit, dan dia sebetulnya adalah suheng dari ayahmu sendiri.”

“Ah! Ah, kenapa suheng membunuh sutenya? Di mana orang kejam itu sekarang, ibu?”

Wanita itu menarik napas panjang, merasa menyesal sekali. “Dia telah mati, anakku.”

“Ahh! Bagaimana dia sampai membunuh ayah, ibu? Aku ingin sekali mendengarnya.”

Sheila lalu menceritakan tentang Gan Seng Bu, ayah puteranya yang menjadi seorang pendekar dan pejuang yang gagah perkasa. Thian-tok, seorang di antara datuk-datuk kaum sesat yang terkenal dengan sebutan Empat Racun Dunia, mempunyai tiga orang murid. Murid pertama adalah Koan Jit yang menjadi amat lihai dan mewarisi kejahatan gurunya, menjadi seorang tokoh yang ditakuti seperti iblis saking jahat, cerdik dan lihainya.

Murid kedua adalah Ong Siu Coan yang sekarang menjadi pemimpin barisan pemberontak Tai peng yang amat terkenal dan telah menguasai seluruh Nan-king dan daerahnya itu. Murid ketiga adalah Gan Seng Bu. ternyata tiga orang murid itu mempunyai watak yang berbeda-beda. Koan Jit menjadi seorang yang jahat dan palsu di samping kelihaiannya. Ong Siu Coan menjadi seorang yang memiliki ambisi besar ingin menjadi kaisar.

Gan Seng Bu berwatak sederhana dan gagah perkasa. Biarpun gurunya seorang datuk sesat, namun dia sendiri menentang kejahatan dan menjadi seorang pendekar, bahkan pejuang yang gagah perkasa. di dalam perjuangannya ini, dia menyelamatkan Sheila yang kemudian menjadi isterinya.

Ketika Koan Jit menyusup dan mengekor kepada bangsa asing kulit putih, menjadi seorang perwira dari orang barat, dia menggunakan muslihat untuk mendatangkan Gan Seng Bu dan Sheila yang sedang mengandung ke markas pasukan barat. Di sini Gan Seng Bu ditangkap dan dibujuk oleh orang kulit putih untuk membantu mereka seperti Koan Jit.

Namun Gan Seng Bu tidak sudi dan akhirnya dia oleh orang kulit putih diserahkan kepada Koan Jit. Koan Jit mengajak sutenya itu mengadu kepandaian, Gan Seng Bu melawan, namun ketika Koan Jit terdesak, dia mempergunakan pistol dan tewaslah Gan Seng Bu di tangan Koan Jit yang licik itu.

“Demikianlah, anakku. Aku membawa jenazah ayahmu ke dusun dan engkau sudah melihat kuburannya,” kata Sheila menghentikan ceritanya.

Han Le mengangguk-angguk. Kuburan itu sudah dikenalnya dengan baik, Kuburan ayahnya dan dalam benaknya, kalau dia mengingat tentang ayahnya, yang nampak hanyalah gundukan tanah itu saja. “Lalu bagaimana matinya Koan Jit manusia jahanam itu, ibu?” tanyanya dengan suara mengandung kebencian.

Sheila menarik napas panjang. “Tuhan agaknya tidak menghendaki agar kita membalas dendam kematian ayahmu, Henry. Entah apa sebabnya, aku mendengar berita bahwa manusia jahanam itu telah berubah sama sekali. Dia bahkan membantu para pejuang, dan demi menyelamatkan para pimpinan pejuang yang tertawan, dia rela mengorbankan nyawanya. Dia tewas dalam usahanya yang berhasil, yaitu membebaskan para pimpinan pejuang yang tertawan musuh.”

“Jadi kalau begitu, di antara tiga orang murid dari kakek Thian-tok itu, yang dua orang telah tewas dan tinggal seorang lagi yang bernama Ong Siu Coan itu, ibu? Kalau begitu, dia adalah paman guruku. Kaukatakan tadi bahwa dia telah menjadi pemimpin pasukan besar yang berhasil?”

“Dia juga jahat sekali!” Sheila berkata. “Tahukah engkau siapa pasukan yang telah membuat kita lari mengungsi, bahkan yang hampir mencelakakan kita pada waktu kita lari mengungsi itu? Dan siapa pula orang-orang yang telah menyerang gurumu sehingga terluka? Mereka itu adalah pasukan Tai Peng, dan orang-orang yang menyerang gurumu itu adalah tokoh-tokoh Tai Peng, anak buah dari Ong Siu Coan itulah!”

“Ahhh...!” Anak itu tebelalak, merasa kecewa sekali. “Kalau begitu, dua orang suheng dari mendiang ayah itu jahat semua, yang baik hanya ayah seorang, sayang dia telah meninggal dunia.”

“Benar, anakku. Akan tetapi, sekarang ada suhumu, dia seorang yang berilmu tinggi dan berwatak baik sekali, Henry. Jadikanlah dia sebagai contoh, baik dalam belajar ilmu silat maupun wataknya. Bukankah kedua orang suhengmu itu juga menjadi pejuang-pejuang dan pendekar-pendekar yang gagah perkasa? Engkau bahkan harus dapat melebihi mereka, anakku, maka belajarlah yang giat dan taati semua perintah gurumu.”

“Tentu saja, ibu, karena di dalam dunia ini hanya ada dua orang yang kutaati dan kucinta sepenuh hatiku, yaitu ibu sendiri dan suhu. Bagiku, suhu merupakan pengganti ayah dan aku selalu mentaatinya.”

Sheila diam saja akan tetapi merasa betapa ada kebahagiaan menyelinap di dalam hatinya karena penyataan anaknya ini. Menjadi pengganti ayahnya! Dan iapun memejamkan kedua matanya, melamun dan membiarkan semangatnya melayang-layang.

Langit di barat itu merah sekali. Mugkin inilah yang menyebabkan bukit di mana tinggal Bu Beng Kwi itu olehnya diberi nama Bukit Awan Merah. Setiap senja, langit di barat menjadi merah seperti terbakar, membentuk segala macam bentuk aneh-aneh, dan warna merah itu dihias warna perak dan kebiruan di sana-sini, membat pemandangan yang luar biasa indahnya.

Bu Beng Kwi seringkali menikmati senja di puncak yang amat sunyi, dimana terdapat lapangan rumput dihias batu-batu hitam menonjol di sna-sini. Seperti biasa, dia duduk di atas sebuah batu yang halus dan datar, menghadap ke barat. Akan tetpi sekali ini, dia tidak menikmati keindahan matahari terbenam seperti biasanya, melainkan duduk melamun.

Telinganya masih berdengung dan suara Sheila dan puteranya masih bergema di dalam telinganya, yaitu percakapan yang dilakukan ibu dan anak iru beberapa hari yang lalu. Dan sejak mendengar percakapan itu, Bu Beng Kwi lebih banyak termenung di puncak ini, seperti orang kehilangan semangat. dan seperti juga hari-hari kenarin, setiap kali duduk termenung seorang diri di tempat itu, dia seperti orang linglung, bicara sendiri dan kadang-kadang mengepal tinju dan memukul tanah di depannya!

“Harus, aku harus!” Dia menggumam. “Soalnya hanya ada dua, hidup atau mati! Hasil atau gagal! Aku tidak boleh menjadi seorang pengecut selama hidupku!”

Demikianlah, Bu Beng Kwi bicara seorang diri, tanpa memperhatikan pemandaangan yang amat indahnya di kaki langit sebelah barat saja. Akan tetapi ketika ada bayangan orang mendaki buki menghampirinya, dia dapat melihatnya dan seketika sikapnya berobah. Dia cepat membereskan pakaiannya, duduk di atas batu bersila dan bersikap biasa, walaupun dia merasa betapa jantungnya berdebar keras sehingga terdengar nyaring berdegup di telinganya.

“Taihiap, kenapa masih di sini? Sejak tadi makanan malam telah saya persiapkan, juga kemarin malam dan kemarin dulu malam, akan tetapi tauhiap selalu tidak menyentuh makanan itu. Sudah beberapa hari tauhiap tidak pernah makan. kenapakah, tauhiap? Apakah engkau masih sakit?”

“Tidak, nyonya. Saya sudah sembuh.”

Sheila datang mendekat, dan duduk di atas batu yang lebih rendah tak jauh dari batu yang diduduki Bu Beng Kwi. Sejenak wanita itu nampak canggung dan ragu, akan tetapi ia selalu menelan ludah dan memaksa diri menyatakan isi hatinya.

“Taihiap, maafkan kelancanganku, akan tetapi..... aku merasa seolah-olah taihiap selalu menjauhkan diri dariku. Karena itu, timbul keraguan di hatiku, timbul perasaan takut kalau-kalau aku telah melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan hatimu. Taihiap, katakanlah terus terang, apakah kehadiranku di tempat ini sebetulnya tidak kaukehendaki? Apakah.... apakah sebetulnya taihiap membenci aku? Katakanlah terus terang, kebetulan kita mendapat kesempatan untuk bicara berdua di sini...”

Jilid selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.