Pemberontakan Taipeng Jilid 08 karya Kho Ping Hoo - SEMUA ini memang sudah lama berkecamuk di dalam hati Sheila dan baru sekarang ua kemukakan karena ia merasa tidak tahan tersiksa oleh dugaan-digaan ini.
“Dijauhkan Tuhan aku dari perasaan tidak senang, apalagi benci terhadap dirimu, Gan-toanio.”
“Kalau begitu, kenapa engkau selalu menjauhkan diri dariku, seperti... seperti orang yang tidak suka bertemu denganku, taihiap? Padahal aku... aku... selalu berusaha untuk menyenangkan hatimu...”

Bu Beng Kwi turun dari atas batu itu dan diapun duduk berhadapan dengan Sheila, di atas batu yang rendah dan lebat. sepasang matanya yang mencorong sinarnya itu menatap wajah Sheila penuh selidik, akn tetapi Sheila juga memandang kepadanya, tanpa ragu-ragu dan tidak menundukkan pandang matanya. sejenak mereka saling pandang dan terdengar Bu Beng Kwi berkata, suaranya gemetar.
“Gan-toanio, harap engkau suka berterus terang kepadaku. kenapa engkau... demikian baik kepadaku? Engkau bukan saja menyerahkn anakmu dengan tulus ikhlas, akan tetapi engkaupun bekerja mati-matian di sini untuk menyenangkan hatiku. bahkan ketika aku erluka, engkau.... ah, tida kuat aku menerima semua kebaikan itu. Kenapakah, toanio? Kenapa engkau lakukan semua kebaikan itu? Kenapa engkau begini baik terhadap diriku?”
Sheila menghadapi pertanyaan ini dengan tabah dan iapun memandang dengan senyum dan wajah berseri, “Taihiap, mula-mula aku sendiripun tidak mengerti. Mula-mula karena aku berterima kasih kepadamu bahwa engkau telah menyelamatkan kami dari orang-orang Tai Peng itu. Kemudian, setelah berada di sini, aku merasa berterima kasih dan kagum kepadamu, dan akupun mersa amat iba kepadamu, taihiap. Rasa iba ini yang membuat aku mau melakukan apa saja untukmu karena aku... aku sayang kepadamu, aku suka kepadamu, aku kasihan kepadamu dan aku cinta kepadamu, taihiap.”
Sebagai seorang wanita barat, walaupun merasa kikuk, Sheila tentu saja jauh lebih terbuka daripada wanita umumnya, dan dalam hal cinta mencinta, ia merasa berhak pula mengemukakan isi hatinya dengan terus terang.
Ucapan terakhir itu seperti pukulan yang menghantam kepala Bu Beng Kwi. Dia tersentak dan kepalanya terdorong ke belakang, kedua matanya dipejamkan dan ada rintihan halus keluar dari dadanya, tertahan di kerongkongannya. Sejenak dia memejamkan mata dan tidak menjawab. Sheila memandangnya dan wanita ini merasa terharu.
“Taihiap, aku adalah seorang wanita asing, berkulit putih dan mungkin engkau berjiwa pejuang benci kepada kulit putih. Akan tetapi, kasihanilah aku karena di tempat ini aku menemukan kebahagiaan yang selama ini tak pernah kurasakan semenjak suamiku tewas. Aku merasa bahwa di sinilah tempatku, di sisimu, dan aku ingin melayani semua kebutuhanmu selama hidupku, taihiap. Hanya engkau seorang yang dapat kegantungi nasib kami, aku merasa aman tenteram, bahagia dan tidak kekurangan sesuatu.”
Terdengar Bu Beng Kwi menarik napas panjang dan bibirnya berbisik, “Ya Tuhan, godaan dan siksaan apalagi yang harus hamba derita sebagai hukuman dosa hamba...?”
Karena bisikannya lirih sekali dan tidak terdengar oleh Sheila, wanita ini bertanya, “Taihiap, apa yang kau katakan?”
Inilah saatnya, pikir Bu Beng Kwi. selama beberapa hari ini, bahkan lebih lama lagi, dia tersiksa oleh keputusan yang harus diambilnya. memang membutuhkan keberanian yang amat besar, dan bahkan mungkin akan mengorbankan seluruh sisa hidupnya, mengorbankan harapannya, kebahagiaannya dan segala-galanya. Ini putusan untuk membukanya sekarang juga.
“Sheila....” Panggilan yang baru pertama kali keluar dari mulutnya itu kaku dan asing, namun terdengar merdu bagi Sheila yang memandang dengan wajah berseri. Betapa ia sudah lama mengharapkan pendekar itu akan menyebut namanya begitu saja, bukan nyonya atau Gan-toanio seperti biasanya, dengan sikap hormat dan dingin sekali.
“Ya, taihiap...?” jawabnya dengan suara gemetar pula penuh harap cemas. “Selama hidupku, aku bergelimang dengan dosa, bahkan aku tidak pernah mengerti, tidak pernah dapat merasakan apa artinya cinta. Yang ada padaku selama itu hanyalah nafsu semata, kejahatan, kebencian dan kekejaman. Akan tetapi sekarang, setelah aku menjadi tua, setelah aku menjadi buruk, menjadi cacat, aku.... aku telah jatuh cinta... kepadamu ahhh....”
Akan tetapi Sheila tersenyum dan iapun mendekat, memegang tangan pendekar itu. “Taihiap ! Betapa bahagianya hatiku mendengar itu, taihiap ! Apa salahnya kalau orang yang semulia engkau ini jatuh cinta?”
“Akan tetapi aku sudah tua, usiaku sudah setengah abad..."“Cinta tidak mengenal usia, taihiap, cinta itu kekal dan suci."
“Tapi, aku yang begini buruk, seperti setan..... siapapun merasa jijik melihatku, apalagi seorang wanita sehalus dan selembut engkau......”
“Tidak, taihiap! Engkau seorang laki-laki sempurna, engkau mulia dan cacatmu hanyalah cacat lahiriah belaka, hanya sedalam kulit. Siapa jijik kepadamu? Aku tidak! Aku cinta padamu, aku kasihan kepadamu.... siapa bilang jijik....?”
Dan dalam kebahagiaannya mendengar bahwa pria yang dipujanya ini ternyata juga mencintanya, hal yang sama sekali tak pernah dibayangkannya, bahkan agak mengejutkan karena tadinya ia mengira bahwa pria itu benci kepadanya, Sheila lalu merangkul dan mencium bibir Bu Beng Kwi dengan penuh perasaan cintanya!
Sedu sedan keluar dari dalam dada Bu Beng Kwi, tertahan di tenggorokannya dan menjadi rintihan ketika dia merasakan bibir yang lembut dan hangat wanita itu menyentuh bibirnya. Ingin dia meronta dan menolak, namun seluruh badannya seperti lumpuh dan dia tidak dapat menahan kedua lengannya yang penuh gairah merangkul dan mendekap, kemudian menekan muka wanita itu ke dadanya, seolah-olah dia ingin menyimpan tubuh wnita itu seluruhnya ke dalam hatinya. Akan tetapi, dia sadar dan dengan cepat, namun lembut, dia melepaskan rangkulannya, bahkan melepaskan diri dari rangkulan Sheila, bangkit berdiri dan melangkah mundur lima langkah.
“Sheila, jangan..... jangan lagi sentuh diriku.... ah, aku mohon padamu, jangan engkau siksa hatiku lagi.... lebih baik engkau bunuh aku sekarang juga, Sheila.....” Dan tiba-tiba Bu Beng Kwi menjatuhkan diri berlutut dan mengeluarkan sebatang pedang dari balik jubahnya, menyerahkan pedang itu kepada Sheila, mengulurkan gagangnya ke arah wanita itu.
Sheila juga bangkit berdiri dan memandang terbelalak, mukanya pucat dan iapun cepat menjatuhkan diri berlutut di depan pria itu. “Taihiap, apa artinya ini...?” tanyanya, penuh tuntutan karena ia sama sekali tidak mengerti akan sikap pria itu.
“Sheila, aku seorang laki-laki yang buruk rupa, cacat, dan usiaku sudah lenjut, sudah setengah abad lebih dan engkau masih muda, baru tiga puluh tahun lebih, dan engkau cantik jelita. Aku tidak berhak menyeretmu ke dalam ketuaan dan keburukan. Dan engkau berbudi agung dan mulia, sebaliknya aku.... ah, engkau tidak tahu orang macam apa aku ini.....”
“Aku tahu, taihiap. Engkau adalah seorang pria yang mulia, yang gagah perkasa, dan dibalik kecacatanmu itu engkau menyembunykan cinta kasih yang suci, engkau sorang berilmu tinggi, penentang kejahatan. Aku memujimu, taihiap, aku mengagumimu dan aku mencintaimu....”
“Tidak...! Tunggu dulu, Sheila. Buka matamu baik-baik dan lihatlah siapa aku...!” Suara itu menggetar dan tidak jelas, dan tangan kiri Bu Beng Kwi meraba mukanya, kemudian jari-jari tangannya mengupas atau menarik kulit muka itu dan muka itu berobah.
Kiranya muka yang seperi setan itu, yang buruk sekali pletat-pletot, yang matanya besar sebelah, hidungnya nyerong dan mulutnya miring, telinganya kecil, semua itu hanyalah semacam topeng yang amat tipis, seperti kulit dan kini setelah topeng itu dilepas, nampaklah wajah yang tidak dapat dibilang buruk, tidak cacat, dengan kulit muka agak gelap.
Begitu melihat muka ini, sepasang mata yang sudah lebar dari Sheila itu terbellak menjadi semakin lebar, mukanya menjadi pucat seperti tidak ada darahnya lagi, napasnya terhenti dan bibirnya berkemak-kemik, “...kau... kau... Koan... Koan... Koan Jit...!” tiba-tiba ia menjerit nyaring sekali dan tubuhnya terkulai.
“Ibuuuu..... ibuuuu.....!” dari jauh terdengar suara Han Le memanggil. Karena tidak melihat ibunya dan gurunya, anak ini mencari-cari dan akhirnya dia tiba di kaki bukit dan memanggil-manggil.
Bu Beng Kwi mengenakan lagi topengnya, lalu mengurut tengkuk dan punggung Sheila yang tadi disambarnya dengan tangan sehingga wanita itu tidak sampai jatuh terbanting ketika terkulai pingsan. Begitu siuman, Sheila terisak dan teringat, lalu menutupi mulut yang hendak menjerit lagi, kini terbelalak melangkah mundur sambil menatap wajah yang sudah mengenakan topeng setan itu lagi.
“Mimpi..... mimpikah aku......? Taihiap... kau..... kau...?"
“Engkau tidak mimpi, aku bukanlah pendekar budiman seperti yang kau sangka, Sheila. Aku adalah manusia terkutuk pembunuh suamimu, perusak kebahagiaan hidupmu, akulah manusia iblis yang amat kejam dan jahat itu. Nah, tusuklah dada ini dengan pedang, terimalah pedang ini dan balaslah kematian suamimu agar lega hatimu, lega pula hatiku. Aku siap menerima hukuman di tanganmu...“
Kini tanpa ragu-ragu lagi Sheila menerima pedang itu, digenggamnya erat-erat. Wajahnya masih pucat dan di dalam keremangan malam yang mulai tiba karena matahari sudah sejak tadi tenggelam, ia siap menusukkan pedang itu. Ia mengangkat muka memandang wajah itu, wajah yang amat buruk, wajah yang mendatangkan rasa iba dan kasih sayangnya, dan tiba-tiba tangan yang memegang pedang itu gemetar.
Akan tetapi ia menguatkan hatinya, mengingat bahwa di balik wajah itu yang hanya sehelai topeng terdapat wajah musuh besarnya, wajah yang amat dibencinya, wajah Koan Jit pembunuh suaminya. Tangannya menjadi kuat.
“Ibuuuu.... !” Tiba-tiba terdengar teriakan Han Le tak jauh di belakangnya, dan seketika tangan itu menjadi lemas kembali. Hampir saja ia membunuh orang yang menjadi penolongnya, penolong puteranya, guru puteranya, dan laki-laki yang dicintanya!
Kembali Sheila mengeluarkan suara menjerit, suara yang melengking karena keluar dari dalam hatinya, suara lengkingan yang mengandung rasa nyeri bukan main, pedih perih dan duka, dan dibuangnya pedang itu seperti membuang seekor ular yang menjijikkan. Kemudian, sambil terisak ia membalik.
“Ibu...! Ada apakah.....?” Han Le sudah tiba di situ dan memegang tangan ibunya.
“Henry...... Oohhh .... Henry anakku ....!” Sheila merangkul anaknya dan menangis tersedu-sedu.
“Ibu, ibu.... ada apakah...?” Han Le mengguncang tangan ibunya dan menjadi bingung, juga penuh kekahawatiran. Dia melihat gurunya hanya berdiri sambil menundukkan mukanya, seperti patung. “Suhu ada apakah?” Akan tetapi suhunya tidak menjawab.
“Henry, mari kita pergi dari sini. sekarang juga!” Tiba-tiba Sheila, sambil masih terisak, memegang lengan anaknya dan ditariknya anaknya, diajaknya lari menuruni bukit itu.
“Bu, pergi ke mana? Ada apa? Mengapa?”
“Diam! Kau taati saja kata-kataku. Kita pergi sekarang juga!” Dan sambil berlari-lari Sheila menarik tangan puteranya, diajak pergi dari situ, pergi meninggalkan pegunungan itu, tanpa tujuan tertentu, kemana saja asal pergi jauh meninggalkan tempat itu, meninggalkan Bu Beng Kwi. Dan di sepanjang perjalanan yang semalam suntuk tanpa pernah mau berhenti, Sheila terus menerus menangis, membuat Han Le menjadi bingung dan khawatir sekali.
Berulang kali dia bertanya kepada ibunya. “Ibu, apakah yang telah terjadi? Kenapa kita harus pergi meninggalkan suhu seperti ini? Begini tiba-tiba dan kita meninggalkan semua pakaian kita?”
Ibunya diam saja, hanya terisak sambil berjalan terus, tersaruk-saruk.
“Ibu, kita hendak pergi ke manakah?” Kembali tidak ada jawaban. “Apakah ibu bertengkar dengan suhu? Apakah suhu melakukan sesuatu yang membuat ibu marah? Ibu, kenapa ibu memisahkan aku dari suhu? Aku sayang kepadanya, aku ingin belajar silar darinya. Ibu, kenapakah, ibu? Apa yang telah terjadi?”
Namun ibunya diam dalam seribu bahasa, hanya menangis dan terus menarik tangannya. hal ini membuat hati kecil Han Le menjadi penasaran sekali. Dia berhenti melangkah.
“Ibu, berhentilah. Aku tidak ingin pergi, ibu, aku tidak mau meninggalkan suhu.”
Melihat ini, Sheila berhenti dan menahan isaknya, Di malam yang diterangi bintang-bintang sejuta di langit itu, hatinya masih penuh dengan perasaan marah dan kecewa, bingung dan gelisah. Sikap anaknya menambah perasaan marahnya.
“Henry, dengarkan baik-baik. Engkau boleh pilih, ikut aku atau gurumu. Kalau engkau berat kepada gurumu, kembalilah dan biarkan aku pergi sendiri, biarkan aku hidup atau mati sendiri....”
“Ibu...!” Henry menubruk dan merangkul pinggang ibunya sedangkan wanita itu menangis lagi. “Ibu, tentu saja aku akan ikut engkau. Akan tetapi setidaknya, katakanlah mengapa kita harus pergi malam-malam begini, dengan mendadak, meninggalkan suhu? Apakah ibu bertengkar dengan suhu?”
“Ya...”
“Apa sebabnya?”
“Engkau..... engkau anak kecil, tidak boleh tahu dan tidak mengerti. Jangan tanyakan sebabnya. Mari, kita lanjutkan perjalanan.”
Melihat kenekatan ibunya, Han Le tidak berani membantah lagi, namun diam-diam hatinya penuh dengan rasa penasaran. Sambil melangkah, setelah mereka berdiam diri dan terus berjalan sampai lama sekali, dia akhirnya mengeluarkan isi hatinya yang ditahan-tahan sejak tadi, dengan hati-hati.
“Ibu, begitu besarkah kesalahan suhu sehingga ibu tidak dapat memaafkanya?”
“Aku tidak dapat memaafkannya.”
“Kenapa?”
“Jangan tanyakan itu.”
“Tapi, kata ibu, suhu adalah seorang yang paling mulia di dunia ini....”
“Henry!” Sheila setengah menjerit. “Jangan bicarakan akan hal itu lagi, jangan sebut-sebut dia didepanku!”
Han Le tidak berani bicara lagi dan mereka melanjutkan perjalanan, dan fajar telah mulai nampak di ufuk timur.
Sementara itu, setelah Sheila dan Han Le pergi meninggalkannya, Bu Beng Kwi merasa seolah-olah seluruh tubuhnya menjadi lumpuh. Dia roboh berlutut dan menangis seperti anak kecil, sesenggukan dan sama sekali dia tidak mampu mengendalikan perasaannya. Segala hal yang terjadi di masa lalu, terbayanglah dan membuat hatinya semakin tertusuk dan perih.
Sudah lama sekali dia menyesali diri, sudah lama sekali dia kembali ke jalan benar, berubah sama sekali dari jalan hidupnya yang lalu. Namun, belum pernah kejahatannya di masa lalu membuat dia demikian menyesal seperti saat ini!
Belasan tahun yng lalu, dia terkenal sebagai Hek-eng-mo (Iblis Bayangan Hitam), ketika namanya masih Koan Jit, murid pertama dari datuk sesat Thian-tok. Dia tidak mau kalah oleh gurunya dalam kesesatan. kejahatannya membuat dia ditakuti dan disegani orang. Tidak ada kejahatan yang tidak dilakukannya.
Sampai akhirnya dia menghambakan diri kepada orang kulit putih untuk mencari kedudukan. Dia diangkat menjadi perwira dan memperoleh kepercayaan dan kamuliaan. Kemudian dia membunuh Gan Seng Bu, sutenya sendiri yang dianggap sebagai orang berbahaya baginya. Dibunuhnya dengan curang ketika dia tidak mampu mengalahkannya, yaitu dalam perkelahian dan dia mempergunakan pistolnya.
Akan tetapi akhirnya, semua cita-citanya gagal. Dia kehilangan harta bendanya yang diambil oleh gurunya sendiri bersama Ong Siu Coan, kehilangan semua pusaka termasuk Giok-liong-kiam. Bahkan dia kehilangan kedudukannya, dan dalam keadaan putus asa ini, dia bertemu dengan Siauw-bin-hud, kakek sakti tokoh besar Siauw-lim-pai, dan kakek inilah yang menyadarkannya, memberinya sebuah ilmu silat yang berdasarkan ayat-ayat suci dari kitab suci Agama Buddha.
Dan dalam menghafal isi ayat-ayat inilah dia tersadar dan seluruh kehidupannya berubah sama sekali. Dia menyadari semua dosanya, menyesal dan bertaubat. Bahkan dia lalu turun tangan menolong ketika para pimpinan pejuang ditawan oleh pasukan pemerintah Ceng dan pasukan kulit putih.
Dia rela mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkan para pimpinan pejuang itu, membiarkan jalan terowongan menuju ke tempat tahanan itu runtuh menimpa dirinya untuk menutup terowongan itu sehingga pasukan musuh tidak mampu melakkan pengejaran terhadap para pimpinan pejuang yang meloloskan diri.
Dia masih teringat akan semua peristiwa itu. Tentu orang-orang, baik dari pihak para pendekar pejuang maupun dari pasukan musuh, merasa yakin bahwa dia sudah tewas, tubuhnya hancur dan rusak teruruk terowongan yang runtuh itu. Akan tetapi, agaknya Tuhan belum ingin mencabut nyawanya.
Ledakan alat peledak itu entah bagaimana, tidak membuat di mati, juga ketika terowongan itu runtuh, ada batu-batu besar yang runtuh terlebih dahulu dan batu-batu inilah yang menyelamatkannya karena batu-batu ini menahan semua reruntuhan dari atas.
Biarpun tubuhnya luka-luka, lengannya patah-patah sehingga menjadi bengkok dan kakinya juga patah-patah sehingga kini dia terpincang-pincang, namun akhirnya dia dapat lolos dan membuat lubang keluar dari tumpukan batu-batu itu dan membebaskan diri! Sampai berbulan-bulan dia rebah kesakitan, menderita antara mati dan hidup.
Namun akhirnya diapun sembuh. Lengan kirinya bengkok-bengkok, kakinya pincang sebelah dan punggungnya bongkok. Untung bahwa mukanya tidak cacat, akan tetapi dia tidak mau lagi dunia mengetahui bahwa orang yang bernama Koan Jit masih hidup. Diam-diam diapun merasa menyesal mengapa dia tidak mati saja.
Terpaksa dia lalu mempergunakan sebuah topeng yang tipis dan seperti kulit, untuk menutupi mukanya dan muncullah tokoh Bu Beng Kwi sedangkan tokoh Koan Jit sudah dianggap tidak ada lagi di dunia ini. Bahkan ketika dia mengambil dua orang murid yang berbakat, yaitu Ceng Kok Han dan Li Hong Cang, dia adalah Bu Beng Kwi dan dua orang murid inipun tidak pernah melihat wajah suhu mereka sebagai Koan Jit.
Dia sudah mengambil keputusan yang tetap, bahwa dia akan mati sebagai Bu Beng Kwi dan selamanya tidak akan pernah membuka kedoknya. Namun, agaknya Tuhan menhendaki lain! Secara kebetulan sekali, hari itu dia melihat pasukan Tai Peng menganggu para pengungsi. Dia turun tangan dan dia dihadapkan dengan Sheila dan puteranya!
Tentu saja dia mengenal Sheila dan sudah ingin meninggalkannya. Akan tetapi kembali Tuhan menghendaki lain. Putera Sheila itu terluka dan wanita itu mohon kepadanya untuk mengobatinya. Terpaksa dia tidak dapat menolaknya, mengobati Han Le dan melihat bakat baik pada diri Han Le, timbul keinginannya untuk mengambil anak itu menjadi murid.
Bagaimanapun juga, anak itu adalah keponakannya sendiri. Bukankah anak itu putera dari sutenya, Gan Seng Bu, yang mati di tangannya sendiri? Biarlah dia menebus dosanya dengan mewariskan seluruh kepandaiannya kepada Han Le! Demikanlah maksudnya, dan tidak ada maksud lain.
Bahkan ketika terpaksa menerima Sheila yang tidak dapat terpisah dari puteranya, dia tidak mempunyai niat lain. Biarkan ibu itu menemani puteranya dan setelah tamat belajar, Han Le tentu akan pergi bersama ibunya. Itu kehendaknya. Namun, Tuhan menghendaki lain!
Tanpa diduganya sama sekali, dia telah jatuh cinta kepada Sheila! Dahulu sekali, ketika Sheila menjadi isteri dari sutenya, yaitu Gan Seng Bu, pernah dia memandang wanita itu dengan kagum. Namun, ketika itu, yang timbul dalam perasaannya hanyalah nafsu saja, nafsu berahi seperti kalau dia melihat wanita cantik lainnya.
Akan tetapi sekarang lain lagi! Dia benar-benar jatuh cinta! Dia merasa kasihan, kagum dan juga berdosa terhadap wanita itu, yang kehilangan kebahagiaannya karena dia! Dan dia melihat betapa wanita itu sungguh memiliki watak yang amat halus, mulia dan membuat dia merasa tergila-gila.
Namun, semua ini ditahannya dan dia rela tersiksa oleh cintanya ini sampai hampir setiap malam dia menangisi dirinya, gelisah dan rindu seorang diri! Dia berniat untuk mempertahankan diri, merahasiakan cintanya dan tidak akan mengaku, tidak akan mengganggu Sheila. Akan tetapi, hal yang sama sekali tak pernah disangka atau diimpikannyapun terjadilah.
Sheila jatuh cinta pula kepadanya! Sheila, wanita yang demikian cantik jelita, yang demikian halus budi pekertinya, wanita yang semulia-mulianya wanita, masih muda dan cantik, dapat jatuh cinta kepada seorang manusia berwajah setan seperti dia!
Sungguh hal ini sukar untuk dapat dipercaya, tidak dapat diterimanya. Namun, dia melihat buktinya ketika dia dalam keadaan sakit. Betapa Sheila menjaga dan merawatnya tanpa memperdulikan kesehatan dirinya sendiri. Tidak makan tidak tidur sampai tiga hari. dan seringkali menangisinya, mengira dia pingsan dan tidak menduga bahwa dia mendengar semua ucapan Sheila yang jelas menyatakan harapan dan cintanya.
Hal inilah yang amat menyiksa hatinya. Dia jatuh cinta kepada Sheila, hal ini masih belum hebat dan kiranya dia akan dapat menahan perasaannya, diam-diam membiarkan hatinya yang menderita siksaan penuh rindu dendam, penuh rasa cinta yang tak dapat disampaikannya.
Akan tetapi, sungguh merupakan hal yang luar bisa hebatnya, yang amat menyiksa hatinya ketika dia mendapat kenyataannya bahwa Sheila juga mencinta dirinya, mencinta dengan tulus ikhlas, cinta yang murni.
Cinta mereka berdua bukan sekedar cinta nafsu belaka, bukan karena dorongan berahi. Cinta mereka digerakkan oleh sesuatu yang lebih dalam lagi, membuat mereka masing-masing merasa betapa mereka saling membutuhkan dan agaknya tidak akan dapat hidup bahagia kalau tidak hidup bersama.
Dia harus mengakhiri siksa keraguan ini dengan kenyataan. Sheila amat membenci kepada Koan Jit dan menaruh dendam setinggi langit. Akan tetapi, Sheila juga mencinta Bu Beng Kwi! Maka, dia harus membiarkan wanita ini memilih satu di antara dua. Benci atau cinta, walaupun hal itu berarti mati atau hidup baginya.
Dia harus membuka kedoknya, memperkenalkan diri, membuka rahasianya bahwa Bu Beng Kwi adalah Koan Jit. Hal ini membutuhkan keberanian yang luar biasa. Belum pernah selama hidupnya dia dihadapkan dengan rasa takut dan khawatir seperti itu.
Dan dia tetap melakukannya. Dan Sheila telah memilih. Sheila tetap membenci Koan Jit dan karena ternyata oleh wanita itu bahwa Bu Beng Kwi adalah Koan Jit, maka Sheila telah mengambil keputusn. Pergi meninggalkannya. Pergi begitu saja, membawa puteranya, muridnya yang amat disayangnya ! Habislah sudah! Bahkan Sheila masih menambahkan penderitaannya, yaitu bahwa wanita itu tidak mau membunuhnya.
Membiiarkan dia hidup untuk menderita siksa batin yang lebih hebat dan lebih lama lagi. Kalau saja Sheila tadi menusukkan pedang itu, dia tentu sudah mati dan siksaan itupun sudah habis. Kini dia menangis seorang diri, mulai disiksa oleh perasaan sesal, kecewa, duka yang amat mendalam, merasa betapa hidupnya kosong dan sunyi, membuat dia kesepian ditinggalkan dua orang yang paling disayangnya dalam hidupnya. Apa bedanya ini dengan mati?
Tiba-tiba Bu Beng Kwi menghentikan tangisnya, duduk bersila sambil termenung. Perlahan-lahan mulutnya membentuk senyum, biarpun senyum yang menyedihkan, senyum mengandung duka. Dia tidak takut mati, kenapa takut siksaan ini.
Bukankah dia selalu mengharapkan hukuman bagi dosa-dosanya? Dan kini hukuman itu tiba, hukuman dari satu di antara kejahatannya. Mengapa dia harus menerimanya dengan keluh kesah? Biarlah, selamat datang hukuman, datanglah dan siksalah diriku lahir batin, biar lunas hutangku, demikian pikiran ini menenangkan batinnya. Diapun lalu bangkit dan sekali berkelebat tubuhnya lenyap dari puncak bukit itu.
Setelah berjalan dengan susah payah, semalam suntuk, pada pagi harinya, Sheila dan Han Le berhenti di tepi sebuah hutan karena sudah tidak kuat lagi bagi Sheila untuk melanjutkan gerakan kakinya. Ia jatuh terduduk dan mengeluh sambil memijit-mijit kedua kakinya.
“Ibu lelah...?” Han Le mendekat dan anak ini mengurut-urut betis ibunya. Sheila merasa terharu dan merangkul anaknya sambil menangis. Sudah mendesak di ujung lidah Han Le untuk bertanya lagi kepada ibunya tentang kepergian mereka, namun dia teringat bahwa ibunya tidak suka mendengar pertanyaan itu, maka diapun diam saja.
“Aku lelah dan ingin beristirahat sebentar, anakku.”
Melihat ibunya merebahkan diri begitu saja di atas rumput, Han Le merasa kasihan sekali dan dia teringat betapa mereka tidak membawa apapun. Andaikata ada selimut, atau setidaknya baju mantel panjang, tentu dia dapat menyelimuti tubuh ibunya yang nampak kedinginan karena hawa udara di pagi hari itu amatlah dinginnya. Melihat betapa sebentar saja ibunya sudah pulas, Han Le yang juga merasa lelah itu rebah di dekat ibunya dan tak lama kemudian diapun sudah tidur pulas.
Matahari telah naik tinggi ketika Sheila terbangun dari tidurnya, Ia merasa tubuhnya hangat dan ketika ia melihat ke bawah, ternyata tubuhnya telah tertutup selimut. Juga tubuh Han Le yang masih pulas itu tertutup selimut tebal dan ia mengenal selimut mereka sendiri yang mereka tinggalkan di dalam kamar mereka.
“Ehh...?” Sheila merasa terkejut dan terheran, apalagi ketika ia melihat dua buntalan pakaian berada di dekatnya. Ketika ia memeriksanya, ternyata dua buntalan itu terisi pakaiannya dan pakaian Han Le!
“Henry...!" katanya mengguncang-guncang kaki Han Le.
Anak itu terbangun dan cepat duduk. “Ada apakah, ibu?”
“Apakah semalam engkau mengambil selimut dan pakaian ini?” tanyanya.
Han Le memandang selimut yang telah menyelimuti dirinya dan buntalan pakaian itu, menggeleng kepala dan memandang ke kanan kiri, mencari-cari dengan matanya, mencari penuh harapan.
Sheila mengerti maksudnya dan iapun menoleh ke kanan kiri, akan tetapi keadaan di situ sunyi saja, tidak nampak seorang pun manusia. Seperti juga Han Le, ia dapat menduga bahwa tentu yang menyelimuti mereka dan mengantar buntalan pakaian adalah Bu Beng Kwi. Kalau bukan dia siapa lagi? Dan iapun merasa marah, menyepak selimut itu dari tubuhnya.
“Ibu, tentu suhu yang mengantar ini semua!”
Ibunya mengangguk dengan mulut cemberut, lalu mendorong buntalan pakaiannya itu dari dekatnya.
“Ibu, ini adalah pakaian kita sendiri, dan selimut kita sendiri...”
“Hemmm....” Sheila tetap cemberut. Melihat ibunya bersungut-sungut dan nampak marah.
Han Le tidak mau bicara lagi tentang suhunya dan tanpa bicara dia lalu melipat selimutnya dan selimut ibunya, memasukkan ke dalam buntalan masing-masing. Hatinya merasa sedih bukan main. Semalam dia masih mengharapkan ibunya akan mereda kemarahannya dan akan kembali ke Bukit Awan Merah.
Akan tetapi sekarang, suhunya tidak mengharapkan mereka untuk kembali ke sana? Bukankah pengiriman buntalan pakaian itu sama dengan mengusir secara halus? Tak terasa lagi, dua titik air mata turun ke atas pipinya. cepat dua butir air mata itu dihapusnya dengan ujung lengan baju, akan tetapi Sheila masih sempat melihatnya.
“Henry, engkau menangis?”
Anak itu memandang ibunya, menggeleng kepala. “Aku... aku lapar, ibu, biar aku akan mencari kelinci atau ayam didalam hutan.” Setelah berkata demikian, Henry lalu lari ke dalam hutan, meninggalkan ibunya.
Sheila duduk termenung, tidak melihat kecerahan matahari pagi yang sudah naik tinggi itu. Hidup terasa sunyi dan tidak menyenangkan, sekelilingnya nampak buruk dan mengganggu. Ia merasa seperti baru saja direnggutkan dari surga dan dicampakkan ke dalam neraka. dan semua ini gara-gara Koan Jit, si jahanam itu! Makin bencilah ia kalau teringat kepda KoanJit. Anehnya, hatinya tidak dapat membenci Bu Beng Kwi si muka buruk itu!
Padahal, bukankah Bu Beng Kwi adalah Koan Jit pula? Tidak, ia tidak dapat menerima hal ini, tidak dapat percaya. Bagaikan mimpi saja semua itu! Bagaimana mungkin Koan Jit si muka iblis itu, yang teramat jahatnya, sama orangnya dengan Bu Beng Kwi yang demikian budiman dan mulia? “Sudahlah, aku tidak mau lagi mengingatnya.”
Ia menaik napas panjang. Habislah sudah riwayat bersama Bu Beng Kwi itu, habislah sudah harapannya, habislah sudah hidup tenang tenteram penuh damai dan bahagia di Bukit Ayam Merah. Ia tidak perlu menceritakan hal itu kepada Henry. Anak itu masih terlalu kecil untuk menderita kecewa dan menyesal seperti yang dideritanya. Ia tahu betapa puteranya itu mencinta gurunya.
Akan merupakan pukulan batin yang amat hebat kalau ia memberitahu anaknya bahwa suhunya itu sebetulnya bukan lain adalah Koan Jit, musuh besar mereka yang tadinya disangka tewas akan tetapi ternyata masih hidup itu. Tidak, Henry tidak boleh tahu. Kelak, kalau anak itu sudah dewasa dan memiliki kepandaian tinggi, baru akan diberitahu dan kalau mungkin, biar anak itu yang akan membunuh Koan Jit, membalaskan kematian ayah kandungnya.
Akan tetapi, harapan untuk menjadikan Henry seorang pendekar perkasa juga kini telah lenyap. Siapa lagi yang akan mampu mendidik Henry seperti Bu Beng Kwi? Sheila tersentak dari lamunannya ketika muncul Han Le yang membawa seekor kelinci gemuk dan seekor ayam hutan gemuk. Kedua binatang itu telah mati!
“Lihat, ibu! Hanya dengan sambitan batu saja aku dapat membunuh dua ekor binatang ini. Dagingnya tentu lunak dan sedap. Dan lihat apa yang kudapatkan di jalan tadi. Seguci garam. Tentu ditinggalkan seorang pemburu. Sungguh untung sekali. Dengan garam ini kita dapat makan daging yang lezat!”
Anak itu tertawa gembira dan Sheila ikut pula tersenyum, menahan lidahnya yang hendak bergerak mengatakan dugaannya bahwa agaknya yang membantu anak itu mendapatkan kelinci, ayam dan garam, tentu sama orangnya dengan yang memberi selimut dan buntalan pakaian pagi tadi!
Karena tahu bahwa puteranya lapar dan perutnya sendiripun lapar, tanpa banyak cakap lagi Sheila membersihkan kelinci dan ayam itu, dibantu puteranya, dan mereka lalu memanggang daging kelinci dan ayam itu, setelah diberi garam. Mereka makan dengan lahap dan setelah kenyang dan munum air sumber yang berada di dalam hutan, mereka berdua lalu melanjutkan perjalanan.
“Ke mana kita akan pergi sekarang, ibu?” kata Henry sambil menggendong dua buntalan pakaian itu di atas punggungnya.
Sheila memandang puteranya dengan hati penuh iba. Ia sendiri tidak tahu kemana harus pergi dan ia tahu benar bahwa kepergiannya meninggalkan tempat yang aman tenteram bersama Bu Beng Kwi itu berarti memulai suatu perjalanan dan petualangan yang penuh dengan kekurangan, kesengsaraan, bahkan bahaya.
“Kemana saja, anakku, asal bisa bertemu sebuah dusun. Kita akan hidup baru, aku akan bekerja dan kita hidup di dusun seperti dulu sebelum kita terpaksa lari mengungsi.”
Han Le adalah seorang anak yang cerdik. Melihat betapa wajah ibunya pucat dan lesu, sinar matanya layu, dia tidak mendesak karena maklum bahwa pertanyaannya hanya akan membuat hati ibunya menjadi semakin berduka. Mereka berjalan terus menuju ke selatan, melalui jalan setapak, jalan liar yang membawa mereka menuju ke sebuah gunung yang nampak dari jauh menjulang tinggi sehingga puncaknya tidak nampak karena tertutup oleh awan putih.
Ketika mereka mulai mendaki kaki gunung itu, dari bawah nampaklah sekelompok bangunan di lereng gunung. Giranglah rasa hati Sheila dan dengan penuh harapan baru ia berkata kepada puteranya sambil menuding ke arah kelompok bangunan itu, “Kita pergi kesana, Henry!”
Ketika itu matahari mulai condong ke barat dan melihat jaraknya, mungkin pada senja hari itu mereka baru akan dapat tiba di perkampungan yang berada di lereng gunung itu. Akan tetapi baru kurang lebih satu jam mereka mendaki kaki gunung, tiba-tiba dari sebuah tikungan jalan muncul tiga orang laki-laki yang usianya rata-rata tiga puluh lima sampai empat puluh tahun.
Melihat pakaian mereka yang serba ringkas, mereka itu bukanlah petani, kalau bukan pemburu tentu orang-orang dari kalangan persilatan. Apalagi melihat gagang golok nampak tersembul di balik pundak mereka. Diam-diam Sheila merasa terkejut dan khawatir, karena selama ini ia sudah banyak bertemu dengan orang-orang dan dapat menduga bahwa tiga orang itu adalah orang yang biasa mempergunakan kekerasan.
Ia menggandeng tangan anaknya, digenggamnya erat-erat dan sambil menundukkan muka, ia berjalan terus sambil menundukkan muka, ia berjalan terus sambil mepet ke pinggir, dengan harapan agar jangan menarik perhatian tiga orang itu.
Namun usahanya itu sia-sia belaka. Biarpun ia sudah mencoba untuk menutupi rambutnya, tetap saja nampak segumpal rambut kuning keemasan terjuntai keluar, dan kulit tangannya yang putih itu menarik perhatian tiga orang itu yang segera berhenti dan menghadang di depannya.
“Siapakah kalian dan hendak ke manakah?” terdengar seorang di antara mereka, yang mulutnya tersenyum genit, matanya agak juling, menegur.
Sheila mengangkat muka memandang dan ia terkejut. Sebuah wajah yang membayangkan kekejaman, pikirnya. Dan ketika ia mengangkat muka, tiga orang pria itu mengeluarkan seruan kagum. Kiranya wanita yang mereka jumpai adalah seorang wanita kulit putih yang amat cantik ! Matanya kebiruan, hidungnya mancung dan bibirnya kemerahan segar.
“Kami ibu dan anak hendak pergi ke dusun di atas sana,” jawab Sheila dengan suara lirih.
“Wah, ia tentu mata-mata Tai Peng yang mengadakan kontak dengan orang kulit putih!” kata orang kedua yang mukanya hitam.
“Atau ia mata-mata bangsa kulit putih yang mengadakan persekongkolan dengan pemberontak Tai Peng ” kata orang ketiga.
Mendengar ucapan tiga orang itu, Han Le yang sejak tadi memandang mereka penuh perhatian, segera maju membela ibunya, “Ibu bukan mata-mata Tai Peng, juga bukan mata-mata pasukan kulit putih!”
“Anakku berkata benar. Kami adalah rakyat biasa yang terlunta-lunta karena perang dan kami pergi mengungsi, mencari tempat tinggal baru. Kami hendak pergi ke dusun di atas itu.”
Tiga orang itu saling pandang lalu tertawa. ”Ha-ha-ha, manis, siapa dapat kau tipu? Engkau seorang wanita kulit putih, mengaku rakyat? Ketahuilah, kami bertiga adalah perwira-perwira pemerintah yang melakukan penyelidikan. Kau dan anakmu kami tangkap untuk pemeriksaan lebih lanjut.” berkata demikian, si mata juling sudah menyodorkan tangannya untuk menangkap lengan tangan Sheila.
Wanita itu melangkah mundur. “Jangan ganggu kami, kami tidak bersalah apa-apa!” kata Sheila dengan ketus, akan tetapi diam-diam ia merasa khawatir sekali. Baru sehari saja meninggalkan Bukit Ayam merah, sudah bertemu gangguan. Ah, betapa aman tenteramnya tinggal di Bukit Ayam Merah!
“Eh, engkau hendak melawan perwira pasukan pemerintah? Menyerahlah untuk kami tangkap dan kami bawa ke markas, daripada kami harus menggunakan kekerasan!” kata orang bermata juling, suaranya mengancam dan kini kembali dia melangkah maju untuk menangkap lengan Sheila.
“Jangan ganggu ibuku!” Han Le sudah meloncat ke depan ibunya dan menjaga ibunya dengan sikap gagah. Biarpun baru kurang dari setahun dia belajar silat kepada Bu Beng Kwi, namun dia sudah dapat melihat gerakan si juling tadi yang jelas hendak menangkap lengan ibunya dan sikapnya juga kurang ajar sekali.
Melihat ini, si juling tertawa, “Ha-ha, anak setan, minggirlah engkau!” katanya dan diapun menampar ke arah kepala Han Le. Akan tetapi dengan gesit, Han Le yang usianya baru hampir empat belas tahun itu mampu mengelak ke samping. Si mata juling tidak memperdulikan lagi kepada Han Le, melainkan menubruk ke arah Sheila. Ingin dia menangkap dan memeluk wanita kulit putih yang cantik itu, karena sejak melihatnya, sudah timbul berahinya.
Akan tetapi, tiba-tiba Han Le meloncat ke depan dan dengan gerakan cepat, kakinya menendang sekuat tenaga ke arah sambungan lutut kiri si mata juling.
“Tukk.....! Aduhh...!” Si mata juling juga terkejut dan sambungan lutut kirinya yang kena tendang itu tiba-tiba menjadi lumpuh sehingga dia jatuh berlutut dengan kaki kirinya, dan pada saat itu, tangan Han Le sudah memukul dengan jari terkepal ke arah dadanya.
“Dukk......!” Dan tubuh si mata juling itupun terjengkang dan terbanting! Namun, si mata juling itu termasuk seorang perwira Kerajaan Ceng yang cukup tangguh dan memang harus diakui bahwa kekuatan Han Le belum begitu besar. Maka, pukulan itu hanya mendatangkan rasa nyeri dan pengap saja.
Si mata juling sudah meloncat bangun dan melotot marah kepada Han Le. Mata yang juling kalau dipakai melotot nampak lucu karena bukan Han Le yang dipandangnya, akan tetapi matanya itu melirik ke kanan.
“Bocah keparat, engkau kepingin mampus !” bentaknya. “Bunuh dia, biar aku tangkap ibunya!” katanya kepada dua orang temannya. Karena si juling itu ternyata merupakan pimpinan.
Kedua orang itupun mentaati perintahnya dan mereka berdua sudah menerjang maju dengan tangan dikepal. Mereka menyerang Han Le dengan keyakinan bahwa sekali terjang dan sekali pukul saja, kepala dan dada anak itu akan remuk dan tewas di saat itu juga. Akan tetapi mereke kecelik.
“Wuuutt! Wuuutt!” Pukulan-pukulan mereka yang dilakukan amat kerasnya itu mengenai angin kosong belaka! Han Le amat lincah dan gesit, dapat mengelak dengan geseran-geseran kaki kanan kiri. Sementara itu si mata juling sudah menubruk Sheila dengan penuh nafsu.
Sheila menjerit melihat puteranya dikeroyok dua. Ia lebih mengkhawatirkan anaknya daripada dirinya sendiri dan karena ia memperhatikan puteranya, dengan mudah si mata juling dapat merangkul dan memeluknya, kemudian mencoba untuk menciumnya penuh nafsu.
Sementara itu, Han Le yang dapat mengelak beberapa kali itu, berhasil pula menyelinap dan meloncat melalui bawah ketiak si muka hitam dan melihat ibunya meronta-ronta dalam pelukan si mata juling yang belum juga berhasil menciumnya, Han Le menjadi marah sekali.
“Desss.....!” dari belakang, Han Le memukul punggung si mata juling. “Hekkk.....!” Si mata juling terkejut dan untuk sejenak napasnya menjadi sesak. Terpaksa dia melepaskan rangkulannya dari tubuh Sheila, membalik dan marah bukan main.
“Apakah kalian tidak mampu membunuh binatang cilik itu?” bentaknya kepada dua orang pembantunya. Dua orang itu menjadi malu, juga penasaran maka mereka berdua mencabut golok dan menghampiri Han Le dari kanan kiri.
“Henry, larilah ....!” Sheila menjerit ketika melihat puteranya diancam dengan golok oleh dua orang itu. Akan tetapi, si juling sudah menubruknya lagi. Kini Sheila dapat meloncat ke belakang dan lari ke belakang sebatang pohon, dikejar oleh si mata juling.
Pada saat dua orang yang mengepung Han Le menggerakkan golok, tiba-tiba mereka menjerit kesakitan dan golok mereka terlepas dari tangan! Tangan kanan mereka terasa nyeri dan kaku, seperti terkena tototkan. Mereka tidak melihat datangnya batu kerikil yang tadi menyambar dan mengenai lengan mereka.
Pada saat yang hampir bersamaan, ketika si mata juling berhasil menangkap kembali lengan Sheila, tiba-tiba diapun menjerit dan melepaskan kembali lengan itu karena tangan kanan yang menangkap itu menjadi kaku dan nyeri seperti ditotok!
Sesaat dia dan dua orang kawannya terkejut, akan tetapi karena tidak melihat sesuatu, si mata juling kembali mengulang terjangannya menubruk Sheila, sedangkan dua orang pembantunya sudah mengambil kembali golok mereka dan siap menyerang dan membunuh Han Le.
Pada saat itu, secara beruntun menyambar sinar-snar hitam kecil ke arah tiga orang itu dan merekapun berteriak kesakitan. Topi mereka terjatuh dan di kepala mereka tiba-tiba saja muncul benjolan-benjolan sebesar telur ayam yang matang biru! Rasa nyeri yang hebat membuat mereka memegangi kepala sambil mengaduh-aduh, tidak tahu apa yang menyebabkan kepala mereka terasa demikian nyeri sehingga benjol-benjol.
Tidak tahu, saking cepatnya betapa ada batu-batu kerikil secara beruntun menyambar dengan kecepatan yang sukar diikuti pandang mata dan mengenai kepala mereka. Rasanya bagaikan disengat lebah besar sehingga kepala mereka berdenyut-denyut, pening dan badan menjadi panas dingin, pandang mata menjadi kabur berkunang.
Tiga orang itu maklum bahwa kalau bukan ibu dan anak itu yang sesungguhnya merupakan orang-orang lihai, juga tentu ada orang pandai yang secara sembunyi melindungi mereka, maka tiga orang itupun lari tunggang langgang. Mereka berada di daerah musuh, maka mereka tidak berani banyak tingkah lagi. Melihat betapa tiga orang itu melarikan diri, Sheila dan Han Le menjadi lega dan girang.
Han Le memandang ke kanan kiri, lalu tiba-tiba berseru nyaring. “Suhu...! Suhu!!”
Namun, hanya gema suaranya saja yang sahut menyahut, dan tidak nampak seorangpun manusia. Keadaan sunyi, tidak ada yang bergerak kecuali rumput dan daun-daun pohon yang bergoyang tertiup angin. Sheila Juga memandang ke kanan kiri, mengerutkan alisnya ketika ia baru sadar bahwa besar sekali kemungkinan mereka mendapat pertolongan dan perlindungan dari Bu Beng Kwi.
Benarkah orang itu yang melindungi mereka, seperti juga yang mengirim selimut dan buntalan pakaian? Kelinci dan ayam hutan yang demikian mudah dirobohkan puteranya? Dan garam itu? Hatinya merasa tidak enak. Sungguh tidak menyenangkan dilimpahi budi oleh Koan J it, musuh besarnya!
“Sudahlah, mari kita lanjutkan pergi ke dusun di sana itu, khawatir kalau keburu malam,” katanya sambil menggandeng tangan puteranya.
Han Le masih memandang ke kanan kiri penuh harapan, namun dia tidak membantah ketika ibunya mengajaknya mendaki pegunungan itu, menuju ke dusun yang nampak dari bawah tadi.
Ibu dan anak ini sama sekali tidak tahu bahwa mereka telah memasuki daerah perbatasan antara daerah yang dikuasai pasukan Tai Peng dan daerah yang sebelah utara masih dalam kekuasaan pemerintah Mancu. Juga mereka tidak mengira bahwa daerah itu merupakan semacam medan laga antara tiga kelompok mata-mata, yaitu mata-mata pemerintah Mancu, mata-mata pasukan Tai Peng, bahkan mata-mata yang disebar oleh pasukan asing kulit putih!
Seringkali di sekitar daerah itu terjadi pertempuran-pertempuran, penculikan-penculikan atau pembunuhan yang penuh rahasia karena para mata-mata itu tentu saja merupakan orang-orang yang berkepandaian tinggi dan semua tindakan mereka mengandung rahasia.
Pada waktu itu, kekuasaan Tai Peng masih besar dan menguasai daerah Nan-king dan sekitarnya. Pemerintah Ceng atau Mancu tidak kuasa untuk mengusirnya, melainkan hanya berjaga-jaga di tapal batas. Akan tetapi sebaliknya, balatentara Tai Peng tidak dapat maju ke utara.
Sementara itu, pihak asing kulit putih masih menarik keuntungan sebesarnya dari konflik itu dengan menyelundupkan senjata gelap, dan candu. Membantu sana-sini untuk membuat perang semakin berkobar karena dari perang saudara, yang mendapat keuntungan terbanyak adalah orang asing kulit putih.
Perang saudara membuat bangsa itu menjadi lemah, akhirnya mereka tinggal mudah menundukkan pihak yang menang namun yang sudah penuh dengan luka parah itu. Maka mata-mata yang dikirim oleh pasukan asing ke daerah pergolakan itu bertugas selain untuk menyelidiki keadaan kedua pihak, juga untuk mengadakan hubungan perdagangan senjata api, membantu sana-sini dan berusaha untuk memperhebat perang saudara.
Dengan tergesa-gesa, karena selain khawatir malam keburu tiba dan juga khawatir kalau-kalau ada orang jahat mengejar mereka Sheila dan Han Le mendaki gunung itu. Senja telah mendatang ketika mereka akhirnya tiba di depan pintu gerbang perkampungan itu. Tiba-tiba terdengar bentakan orang dari belakang mereka.
“Heii, berhenti! Siapa kalian berani berkeliaran di sini?”
Sheila dan Han Le berhenti dan memutar tubuh. Mereka melihat dua orang berdiri tegak dengan pedang di tangan, dan sikap mereka mengancam. Akan tetapi ketika mereka berdua itu melihat bahwa yang mereka bentak adalah seorang wanita cantik kulit putih dan seorang anak laki-laki, pedang mereka yang tadi menodong itu diturunkan dan keduanya saling pandang.
“Heii,, perempuan kulit putih! Engkau mata-mata dari pasukan orang asing kulit putih, ya?” tanya seorang di antara mereka dengan sikap hati-hati. Bagaimanapun juga. dia dan kawan-kawannya belum mengenal siapa wanita kulit putih itu dan sudah sering orang kulit putih mengadakan kontak dengan kawanan mereka, untuk menjual senjata api.
Dengan sikap tenang namun ada kekhawatiran di dalam hatinya melihat bahwa dua orang ini, seperti tiga orang yang menyerangnya tadi, jelas bukanlah orang-orang dusun, bukan petani-petani sederhana yang jujur, Sheila menjawab. “Kami adalah ibu dan anak yang sedang pergi mengungsi karena perang, mencari tempat baru yang aman. Kami sama sekali bukanlah mata-mata, kami adalah rakyat biasa.”
“Ha-ha, kami bukanlah anak-anak kecil yang mudah dibohongi. Di mana ada wanita kulit putih berkeliaran sebagai rakyat biasa? Engkau dan anak ini menyerahlah untuk kami bawa menghadap komnadan kami. Hayo masuk!”
Mereka berdua kembali menodongkan pedang mereka ke arah Sheila dan Han Le dan mendorong mereka memasuki pintu gerbang. Ibu dan anak itu tidak berdaya lagi. Sheila menggandeng tangan puteranya, menariknya agar ikut masuk karena melawanpun tidak ada gunanya. Ternyata ia telah salah masuk, pikirnya. Ini bukan perkampungan orang dusun!
Rumah-rumah itu baru dan nampak sunyi, tidak ada keluarga petani, dan di sana-sini ada beberapa orang laki-laki yang sama kasarnya dengan dua orang yang menangkap mereka. Ketika mereka digiring masuk, para pria itu bangkit dan memandang, ada yang bersuit, ada yang memuji kecantikannya secara kurang ajar.
“Heii, Cun-ko, darimana kau mendapatkan mawar putih itu? Berikan saja padaku, biar kubeli dengan satu bulan gaji!”kata seorang di antara mereka yang mukanya brewok. Teman-temannya tertawa.
“Hushh, jangan main-main. Siapa tahu ia ini mata-mata pasukan kulit putih. Biar komandan kita yang memutuskan nanti!” kata seorang di antara mereka yang menangkap Sheila dan Han Le.
Ibu dan anak itu digiring terus memasuki sebuah bangunan yang paling besar yang berada di situ. Di dalam rumah itu telah dipasang lampu-lampu yang cukup terang. Akan tetapi rumah inipun nampak kosong, perabot-perabotnya kasar dan agaknya baru saja dibuat.
Di dalam ruangan yang besar, mereka dihadapkan kepada seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun. Seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, perawakannya gagah, wajahnya bengis dan matanya lebar melotot kini menatap wajah Sheila penuh perhatian.
“Hemm, darimana kalian mendapatkan wanita ini?” komandan itu bertanya kepada dua orang anak buahnya tanpa memandang kepada mereka.
“Lai-ciangkun, kami melihat mereka ini berkeliaran di luar secara mencurigakan sekali, maka kami menangkap mereka dan menghadapkan mereka kepadamu,” jawab dua orang itu.
Orang yang disebut Lai-ciangkun (perwira Lai) itu mengangguk-angguk senang. Semetara itu, wajah Sheila berobah pucat. Seorang ciangkun? Seorang perwira? Kalau begitu, orang-orang ini adalah anggauta-anggauta pasukan! Dan segera ia sadar bahwa ia dan puteranya telah jatuh ke tangan pasukan Tai Peng yang tidak mengenakan pakaian seragam!
Ia sudah pernah mendengar bahwa pasukan Tai Peng yang tidak berseragam adalah pasukan mata-mata yang lihai dan yang kejamnya melebihi pasukannya yang seragam ! Celaka, pikirnya, akan tetapi ia berusaha untuk menenangkan hatinya.
“Eh, perempuan kulit putih, siapakah namamu dan siapa pula anak laki-laki ini?” tanya si tinggi besar yang matanya lebar.
“Namaku Sheila dan ini anakku bernama Gan Han Le. Ciangkun, harap bebaskan kami kembali karena seperti yang telah kuberitahukan kepada dua orang anak buahmu, kami adalah rakyat biasa yang sedang mencari tempat tinggal baru setelah kami lari mengungsi dari perang. Kami bukan orang jahat dan tidak mempunyai kesalahan apapun.”
“Ha-ha-ha-ha,” komandan itu tertawa, bukan tawa ramah melainkan tawa mengejek. “Mudah saja engkau minta dibebaskan. Engkau amat mencurigakan, seorang perempuan kulit putih berkeliaran sampai di sini. Katakan, apakah engkau utusan pasukan kulit putih yang harus menghubungi kami untuk menawarkan senjata api?”
Sheila menggeleng kepala. “Tidak, sama sekali tidak. Aku tidak mempunyai hubungan dengan pasukan kulit putih, bahkan tidak tahu siapa kalian dan pasukan apa!”
“Hemm, ketahuilah bahwa kami adalah pasukan rahasia Tai Peng yang besar dan gagah perkasa! Hayo kau mengaku saja daripada harus kami siksa, apa maksudmu berkeliaran di sini? Siapa mengutusmu? Lebih baik mengaku terus terang. Aku tidak ingin menyiksa seorang wanita cantik seperti engkau.”
“Heh-heh, Lai-ciangkun, serahkan saja perempuan ini kepadaku. Tanggung ia akan mengakui semuanya, ha-ha!” kata seorang di antara dua perajurit tadi.
“Tidak, kepadaku saja, ciangkun. aku lebih pandai menjinakkan wanita!” kata orang kedua.
“Hemm, diam kalian, mata keranjang! Ia terlalu penting untuk diurus oleh orang-orang mata keranjang macam kalian!” Lai-ciangkun itu membentak.
Dan bentakan ini melegakan hati Sheila. Kiranya si raksasa ini bukan seorang laki-laki yang suka menggagahi wanita seperti banyak pria lain di dunia yang kejam ini. “Sesungguhnya, ciangkun. Aku sama sekali tidak berbohong. Aku memang seorang wanita kulit putih, akan tetapi aku menikah dengan seorang laki-laki Han, dan ini anak kami. Aku hidup sebagai seorang wanita dusun biasa, dan terpaksa kami berdua melarikan diri ketika terjadi perang, Kani pengungsi-pengungsi yang tidak berdosa, ciangkun. Harap suka bebaskan kami.”
“Ha-ha, tidak begitu mudah. Engkau harus kami tahan dulu dan akan kulaporkan kepada atasanku. Terserah kepada atasan kami bagaimana keputusan mereka tentang dirimu. Engkau bukan orang biasa, engkau seorang wanita kulit putih. Hei, kalian berdua, bawa ia ke dalam kamar tahanan. Akan tetapi awas, ia tawanan penting, tak seorangpun boleh mengganggunya. Ia harus diperlakukan dengan baik sampai aku menerima keputusan dan jawaban dari atasan. Mengerti?”
“Baik, ciangkun” kata dua orang itu yang tadi sudah kena dihardik sehingga mereka tidak berani bersikap sembarangan lagi.
Tiba-tiba Han Le yang sejak tadi hanya mendengarkan saja, berkata dengan suara lantang. “Kalian tidak boleh menawan kami Kalian adalah orang-orang Tai peng, bukan? Ketahuilah bahwa kami masih ada hubungan keluarga dengan pemimpin kalian! Pemimpin kalian yang bernama Ong Siu Coan itu masih keluarga dekat dengan mendiang ayahku!”
Sheila hendak mencegah anaknya bicara namun sudah terlambat, maka iapun hanya dapat menanti dengan jantung berdebar sambil memandang kepada raksasa itu dengan mata terbelalak.
'“Tunggu dulu!" perwira Lai yang tinggi besar itu membentak dua orang anak buahnya yang hendak menangkap lengan ibu dan anak itu, dan mereka berdua mundur lagi karena merekapun terkejut mendengar ucapan anak itu tadi.
“Eh, bocah, apa artinya kata-katamu tadi?” Dia membentak sambil melotot kepada Han Le.
Anak ini sama sekali tidak merasa takut. “Bukankah pemimpin pasukan Tai Peng bernama Ong Siu Coan? Nah, dia itu adalah uwa seperguruanku! Karena itu, jangan kalian menganggu aku dan ibuku, karena pemimpin kalian tentu akan marah dan menghukum kalian kalau mendengarnya.”
Perwira raksasa itu menoleh kepada Sheila. “Benarkah apa yang dikatakan oleh anakmu ini? Coba jelaskan kepadaku.”
Karena sudah terlanjur, terpaksa Sheila mengaku, dan iapun mengharapkan bahwa nama Ong Siu Coan akan membuat mereka takut untuk mengganggu ia dan anaknya. “Memang benar apa yang dikatakannya. Mendiang suamiku bernama Gan Seng Bu, seorang pejuang besar yang pernah menentang pemerintah penjajah Mancu sampai dia tewas. Tentu kalian pernah mendengar nama Gan Seng Bu, kalau belum ketahuilah bahwa mendiang suamiku itu adalah adik seperguruan dari pemimpin kalian, yaitu Ong Siu Coan. Laporkan saja kepadanya dan dia akan tahu.”
Mendengar keterangan yang dilakukan dengan sikap tenang ini, si raksasa tertegun. Memang dia pernah mendengar nama besar Gan Seng Bu, seorang pejuang walaupun tidak pernah bekerja sama dengan Tai Peng. Keluarga seperguruan dari pemimpinnya yang kini menjadi Maharaja di Nan-king ! Perwira Lai ini bukan seorang yang haus wanita, tidak memiliki kebiasaan memperkosa wanita.
Akan tetapi menengar bahwa ibu dan anak ini keluarga dekat dengan pemimpinnya, timbul suatu keinginan yang amat baik menurut anggapannya. Kalau dia dapat memperisteri wanita ini, berarti dia memiliki hubungan dekat dengan pemimpin yang kini menjadi raja besar itu dan tentu pangkatnya akan naik dengan cepat dan mudah ! Dia lalu memberi isyarat kepada kedua orang anak buahnya.
“Kalian keluarlah dulu, biar aku menangani sendiri urusan ibu dan anak ini.”
Dua orang anak buahnya saling pandang, akan tetapi tidak berani membantah dan merekapun keluarlah. Setelah daun pintu ditutup dan dia berada bertiga saja dengan Sheila dan Han Le, si komandan tinggi besar merubah sikap. Dia bangkit dari tempat duduknya dan dengan mempersilahkan ibu dan anak itu duduk diatas bangku di depannya.
“Maaf, karena tidak tahu bahwa engkau adalah Gan-toanio, maka kami bersikap kurang hormat dan anak buah kami menangkap toanio dan anakmu...”