Pemberontakan Taipeng Jilid 09 karya Kho Ping Hoo - LEGA dan girang rasa hati Sheila. Bagaimanapun juga, pengakuan Han le itu telah untuk sementara menolong mereka. walaupun ia tidak dapat membayangkan bagaimana sikap Ong Siu Coan kalau sampai bertemu dengan mereka.

Ia pun sudah mendengar bahwa suheng dari mendiang suaminya itu kini telah menjadi seorang raja besar. Ia mengajak puteranya duduk menghadapi raksasa itu yang kii tidak lagi nampak menakutkan, melainkan ramah dan mendatangkan harapan.
“Nyonya, aku merasa kasihan sekali kepadamu. Aku sudah mendengar akan kebesaran nama Gan Seng Bu sebagai seorang pendekar dan pejuang yang amat gagah perkasa. Dan betapa nyonya telah menderita sejak dia tewas. Dapat kubayangkan betapa banyak bahaya yang mengancam diri nyonya sebagai seorang janda muda yang cantik. Bahkan sekarangpun nyonya masih belum terbebas dari ancaman bahaya. Siapa dapat menjamin bahwa di dalam hati para anak buahku tidak terdapat niat yang buruk terhadap diri nyonya yang cantik?”
“Kami percaya akan ketulusan dan kebaikan hati ciangkun yang tentu akan melarang anak buahnya untuk berbuat jahat terhadap kami,” kata Sheila.
Komandan itu tersenyum. Dia berusia kurang lebih empat puluh tahun, tubuhnya yang besar itu membuat dia nampak gagah walaupun berpakaian preman. “Nyonya tidak tahu. Mereka adalah pria-pria yang sudah terbiasa hidup dalam kesukaran, kekerasan dan bahaya. Semua itu membuat mereka menjadi keras. Mereka meninggalkan keluarga dan siapapun tidak akan dapat menyalahkan mereka kalau mereka menjadi haus dan buas kalau melihat wanita, apalagi wanita cantik.”
Sheila mengerutkan alisnya. Teringat ia betapa setahun yang lalu, sepasukan orang Tai Peng membasmi serombongan pengungsi dan kalau saja tidak muncul Bu Beng Kwi, iapun tentu sudah menjadi korban kebuasan mereka terhadap wanita itu. “Ah, kami hanya dapat mengharapkan pertolongan ciangkun.”
Perwira itu menyeringai, memperlihatkan deretan gigi yang besar-besar, lalu dia menatap wajah yang cantik itu. “Kiranya tidak mungkin kalau di antara kita tidak ada hubungan apapun, toanio. Mereka tentu bahkan akan mencurigai aku, menganggap aku melindungi orang kulit putih. Satu-satunya jalan adalah kalau toanio mau menjadi isteriku dengan sah. Nah, sebagai suamimu dan ayah tiri anakmu ini, tentu saja tidak ada seorangpun yang akan berani menganggu isteri dan anakku.”
“Ahh...!” Sheila terbelalak dan memandang dengan wajah pucat. Kiranya raksasa inipun bukan baik dengan sewajarnya, melainkan baik karena mengandung pamrih. dan pamrihnya sama saja dengan laki-laki lain yang hendak mendapatkan dirinya. hanya bedanya, Lai-ciangkun ini menggunakan cara halus, memperisterinya! Memperisteri dengan ancaman bahwa kalau tidak, maka sang perwira tidak dapat melindunginya.
Sheila bangkit berdiri dan menggandeng tangan puteranya. “Terima kasih atas kebaikanmu dan maakan aku, ciangkun. Akan tetapi terpaksa aku tidak dapat menerima usulmu itu. Biarlah kami pergi saja dari sini, karena tadinya kami datang ke sini mengira bahwa di sini merupakan sebuah dusun di mana kami dapat tinggal dan hidup sebagai petani biasa. ijinkan kami pergi dengan aman dari tempat ini.”
Wajah perwira itu berubah merah. Dia merasa malu karena ditolak pinangannya dan juga merasa kecewa dan marah.Sepasang mata yang lebar itu melotot seperti hendak melompat keluar dari pelupuk matanya. “Toanio, apakah engkau tidak tahu bahwa begitu engkau keluar dari pintu gerbang perumahan kami, engkau tentu akan disergap dan diperkosa orang? Anakmu akan dibunuh dan engkaupun akan mati akhirnya?”
“Hemm, aku tidak percaya bahwa orang-orang yang menamakan dirinya pejuang akan melakukan perbuatan terkutuk sepeti itu, dan aku yakin bahwa ciangkun juga tidak akan membiarkannya saja. Ingat, pemimpin kalian yang kini menjadi raja itu tentu tidak akan tinggal diam karena kami adalah keluarga sutenya!” Sheila hendak menggunakan nama Ong Siu Coan untuk mengancam.
Akan tetapi, kalau tadi nama Ong Siu Coan yang disebutnya membuat sikap perwira itu berubah, kini raksasa itu malah tertawa bergelak. “Ha-ha-ha! Apa artinya kalian menjadi keluarga raja kami kalau beliau tidak tahu tentang kalian di sini? Semua orang yang berada di perkampungan ini adalah anak buahku, dan kalian akan lenyap seperti ditelan bumi. dan berita tentang kalian takkan diketahui orang luar sama sekali.”
Sheila merasa ngeri. Celaka, pikirnya, ia dan puteranya terjatuh ke tangan orang-orang yang tidak kalah jahat dan buasnya dibandingkan tiga orang pasukan pemerintah yang mengganggunya tadi. Orang-orang Tai Peng ini memang jahat dan kalau ia teringat akan gerombolan orang Tai Peng yang pernah dibasmi Bu Beng Kwi, ia bergidik. Ia seperti terlepas dari mulut serigala memasuki guha harimau.
“Lai-ciangkun, kasihanilah kami ibu dan anak yang tidak berdosa. Kami hanya ingin dibebaskan dan jangan diganggu, dan kami akan mengambil jalan kami sendiri.” Ia memohon dan memandang kepada raksasa itu dengan sinar mata penuh permohonan dan harapan.
Namun, raksasa itu adalah seorang yang sudah mengeras batinnya. Segala sepak terjangnya dalam hidup hanyalah terdorong nafsu, dan semua ini, nafsu untuk memperoleh keuntungan sebesarnya dengan adanya Sheila, menutup semua pertimbangan lain.“Nyonya, hanya ada dua pilihan bagimu. memenuhi permintaanku, menjadi isteriku dengan sah dan kelak memperkenalkan aku kepada raja kami sebagai suamimu, atau kalau engkau menolak, engkau akan kuserahkan kepada anak buahku. Ingat, anak buahku di sini tidak kurang dari dua puluh orang, mereka semua seperti harimau-harimau kelaparan dan engkau tentu akan diperebutkan, dagingmu dirobek-robek dan engkau akan mati dalam keadaan yang menyedihkan, dan lebih dulu anakmu akan mereka bunuh di depan matamu. Bagaimana, engkau pilih yang mana?”
“Engkau... engkau manusia jahat!” Tiba-tiba Han Le membentak marah sekali melihat ibunya hanya terbelalak dengan muka pucat, dan anak ini sudah menerjang maju dan menggunakan kepalan tangannya untuk memukul dada perwira yang tinggi besar itu.
“Bukkk!” Pukulan itu tidak ditangkis dan mengenai dada sang perwira, akan tetapi Han Le seperti memukul dinding yang kokoh kuat, bahkan kepalan tangannya yang terasa nyeri.
“Ha-ha-ha, engkau setan cilik, pergilah!” Dan tangan raksasa itu menampar mengenai pundak Han Le sehingga anak itu terbanting roboh.
“Henry....” Sheila menubruk anaknya.
“Sekali lagi, pertimbangkan baik-baik. Pilih menjadi isteriku dan hidup mulia ataukah mampus di tangan anak buahku!” bentak sang perwira dengan sikap galak kepada wanita yang kini berlutut sambil memeluk puteranya itu.
Sheila tidak takut mati. kehidupan demikian pahit baginya setelah melihat kenyataan bahwa Bu Beng Kwi, pria yang dipuja dan dicintanya itu, bukan lain adalah Koan Jit, pria yang dibencinya setengah mati. Baginya, kematian merupakan pelepasan dari derita batinnya. Akan tetapi, biarpun ia tidak takut mati, ia takut menghadapi kematian puteranya!
Agaknya tidak ada pilihan lain baginya untuk menuruti permintaan Lai-ciangkun. Agaknya hanya kalau ia mau menjadi isteri Lai-ciangkun, puteranya akan dapat diselamatkan. Akan tetapi, betapa mungkin ia melakukan hal itu ? Baginya, lebih baik mati daripada disentuh pria lain ! Saking bingungnya, Sheila kini hanya bisa menangis sambil merangkul puteranya.
“Ibu, jangan mau, jangan sudi, aku tidak takut mati!” Han Le berkata, agaknya mengerti akan kebingungan hati ibunya.
Pada saat itu, terdengar suara ribut-ribut dan kaki kuda di luar rumah itu disusul suara kaki bersepatu yang berat dan ketika tiba di depan pintu rumah itu, terdengar suara nyaring. “Hemm, di mana adanya Lai Hok?”
Mendengar suara ini, Lai-ciangkun nampak terkejut dan dia terbelalak, memandang ke arah pintu. “Saya..... saya berada disini...”
Akan tetapi daun pintu sudah didorong keras dari luar dan nampaklah seorang laki-laki yang bertubuh jangkung dan bermuka kekuningan. Usianya kurang lebih lima puluh tahun dan orang ini mengenakan pakaian tebal dengan sepatu kulit yang berat. Pembawaannya penuh wibawa dan melihat orang ini, Lai-ciangkun yang tadinya bersikap garang itu kelihatan takut-takut, berdiri dengan penuh hormat.
“Lai Hok, apa saja yang kau kerjakan di sini? Kami menanti-nanti pengiriman senjata api yang telah dijanjikan itu dan sampai sekarang belum juga muncul. Dan..... eh, siapa ini?” Orang itu agaknya baru melihat Sheila yang berlutut sambil merangkul puteranya.
“Tai-ciangkun, ia... ia adalah seorang tawanan yang sedang saya periksa.” Lai-ciangkun lalu bertepuk tangan dan dua orang pengawal masuk. “Bawa dua orang ini ke dalam kamar tahanan dan jaga baik-baik jangan sampai mereka lolos!”
“Baik, ciangkun!” kata dua orang itu, akan tetapi sebelum mereka menyeret tubuh Sheila dan Han Le, perwira yang baru tiba itu menggerakkan tangannya.
“Nanti dulu!” Dan dia menghampiri Sheila, memandang penuh perhatian. “Bukankah ia..... ia seorang wanita kulit putih? Bagaimana kalian menawan seorang wanita kulit putih?” Perwira she Tang itu terkejut sekali memandang kepada Lai-ciangkun dengan sinar mata tajam penuh selidik.
Dia adalah seorang di antara tangan kanan Ong Siu Coan, bahkan dia memperoleh kepercayaan untuk mengepalai pasukan yang mengurus pembelian senjata-senjata api dari orang kulit putih, juga mengepalai barisan mata-mata yang disebar di daerah timur. Melihat betapa tawanan anak buahnya itu seorang wanita kulit putih, tentu saja ia terkejut dan heran, maklum betapa gawatnya menawan seorang kulit putih!
“Tang-ciangkun, kami dapatkan ia berkeliaran di luar perkampungan kita, dan anak buahku menangkapnya. Saya sedang memeriksanya ketika ciangkun tiba, dan kami khawatir bahwa ia adalah seorang mata-mata yang melakukan penyelidikan terhadap keadaan kita.”
Dalam percakapan mereka itu, Sheila maklum bahwa orang yang baru tiba ini adalah atasan Lai-ciangkun, maka kembali ia memperoleh harapan. “Dia bohong!” katanya sambil bangkit berdiri dan menggandeng tangan anaknya. “Aku bersama anakku adalah rakyat biasa yang melarikan diri dari perang, pergi mengungsi, kemudian ditangkapnya dan dia mengancam agar aku menjadi isterinya, kalau tidak, aku akan diserahkan kepada anak buahnya dan anakku ini akan dibunuh!”
Perwira tinggi yang baru tiba itu kini menghadapi Lai-ciangkun dengan alis dikerutkan. Tentu saja dia mengenal watak anak buahnya dan hal inilah yang selalu merisaukan hatinya. Dia adalah seorang pendekar yang bersama para pendekar lain membantu perjuangan Tai Peng.
Kalau para pendekar banyak yang pergi meninggalkan Tai Peng setelah pasukan itu berhasil menguasai Nangking, karena melihat kegilaan dan kejahatan para pasukan Tai Peng yang dibiarkan oleh Ong Siu Coan.
Tang Ci yang merupakan pendekar dari utara ini, tetap tinggal. Dia memang tidak senang melihat ulah para pasukan Tai Peng, juga tidak suka melihat sikap Ong Siu Coan yang kini menjadi raja besar yang seperti orang gila, mengaku putera Tuhan dan kakak Yesus.
Akan tetapi karena dia merasa berhak memperoleh pangkat dan kemuliaan setelah ikut berjuang, dia menekan saja rasa tidak sukanya dan tetap menjadi tangan kanan Ong Siu Coan. Apalagi karena raja baru itu bersikap baik kepadanya, melimpahkan anugerah bahkan memberi kedudukan tinggi.
Maka, mendengar teriakan Sheila yang melaporkan ulah Lai-ciangkun itu, dia percaya dan tidak merasa heran. Sebaliknya, dia merasa heran melihat seorang wanita kulit putih begini pandai bicara dalam bahasa daerah, dan anaknya itu jelas tidak seperti anak kulit putih, kecuali matanya yang agak biru.
“Engkau, siapakah, nyonya? Dan mengapa pula seorang wanita kulit putih seperti engkau berada di daerah ini?Ceritakan dengan jelas, dan percayalah, tak seorangpun akan kubiarkan mengganggumu dan engkau akan memperoleh perlakuan patut dan adil. Aku adalah Tang Ci yang datang dari kotaraja Nan-king dan menjadi kepercayaan Sribaginda Kaisar di Nan-king.”
Mendengar bahwa perwira tinggi yang baru datang ini adalah seorang kepercayaan kaisar Nan-king, Han Le segera berseru, “Ah, kebetulan sekali kalau begitu. Bukankah kaisar itu bernama Ong Siu Coan?”
Tang Ci memandang anak itu dengan kaget. “Benar sekali, bagaimana engkau bisa tahu?”
“Karena dia adalah supekku (uwa guruku)! Mendiang ayahku adalah sutenya!”
“Eh? Siapakah engkau? Siapakah kalian?”
Sheila menarik tangan puteranya lalu menghadapi perwira itu, setelah ia bangkit berdiri. Sejenak mereka saling pandang. Diam-diam Tang Ci harus mengakui bahwa wanita kulit putih yang rambutnya keemasan dan matanya biru ini, yang mengenakan pakaian daerah sederhana dan mukanya tanpa riasan, rambutnya juga kusut, adalah seorang wanita yang amat cantik.
Sebaliknya, Sheila juga memperhatikan pria itu. Seorang yang berusia lima puluh tahun, bertubuh tinggi kurus, wajahnya lonjong dengan sepasang mata yang amat ajam. Wajah itu cerah dan amat berwibawa, wajah seorang yang berkedudukan tinggi dan yang yakin akan kepentingan dirinya dan kekuasaannya.
Munculnya orang ini mendatangkan harapan baru, setidaknya menolongnya lepas dari cengkeraman Lai-ciangkun dan anak buahnya, walaupun ia tidak tahu orang macam apa perwira tinggi yang baru tiba ini. Maka iapun bercerita dengan terus terang, seperti yang dilakukannya kepada Lai-ciangkun tadi.
“Namaku Sheila dan ini anakku Gan Han Le. mendiang suamiku adalah pendekar pejuang Gan Seng Bu.....”
“Ahhh...! Aku mengenal mendiang Gan-taihiap. Kiranya nyonya adalah isterinya? Sungguh luar biasa sekali. Aku mendengar betapa Gan-taihiap tewas, isterinya yang sedang mengandung membawa jenazahnya ke pedusunan dan isterinya hidup di antara rakyat petani. Nyonya Gan, bagaimana engkau bisa sampai di tempat ini? Dan inikah puteramu, putera Gan-taihiap?” kata Tang Ci penuh kagum dan juga girang. Memang pernah dia bertemu dengan pejuang itu yang pernah berjuang bersama para pendekar lainnya menentang pemerintah penjajah.
Sheila menghapus dua butir air matanya. Ia merasa terharu bertemu dengan orang yang telah mengenal suaminya. “Kami tinggal di dusun sampai suatu hari kami terpaksa pergi mengungsi karena adanya perang. Ini hari kami tiba di sini, dari bawah gunung kami melihat perkampungan ini, mengira ini sebuah dusun para petani maka kami datang ke sini. Kami mohon kebaikan hati ciangkun, mengingat bahwa ciangkun pernah mengenal mendiang suamiku, agar suka membebaskan kami dan mengijinkan kami pergi dari sini.”
“Akan tetapi, ke manakah engkau hendak pergi, toanio? Daerah ini berbahaya sekali, menjadi medan pertempurn antara tiga pasukan, yaitu pasukan Tai Peng, pasukan Mancu, dan kaki tangan pasukan asing. Engkau akan menemui bahaya.”
“Saya sudah usulkan...."
“Diam kau!” bentak Tang Ci kepada raksasa itu. “Apakah matamu sudah buta maka engkau berani sekali bersikap kurang ajar terhadap Gan-toanio? Kalau Sribaginda mengetahui kekurangajaranmu, engkau akan dihukum cincang tubuhmu!”
“Ampun, Tang-ciangkun......” Raksasa itu berkata dengan muka pucat. “Sesungguhnya saya tadi tidak percaya akan keterangannya maka....”
“Tutup mulutmu! Untung aku mengenal watak kalian yang busuk sehingga tidak merasa heran mendengar akan perbuatan kalian yang kotor. Cepat sediakan sebuh kereta dengan empat ekor kuda terbaik untuk Gan-toanio dan puteranya, dan persiapkan dua belas orang pasukan yang kuat untuk menjadi pengawal. Juga tukar kudaku yang sudah lelah. Aku sendiri yang akan mengawal Gan-tonio.”
“Baik, ciangkun, baik.....!” Perwira tinggi besar itu lalu pergi meninggalkan pondok itu untuk melaksanakan perintah atasannya.
“Tapi... tapi, ciangkun.... kami hendak dibawa kemanakah?” Sheila bertanya setelah perwira raksasa itu keluar.
Si tinggi kurus itu menarik napas panjang. “Toanio, kalau aku membiarkan engkau dan puteramu pergi, belum sampai dua li jauhnya, kalian tentu sudah akan menemui bahaya. Anak buah Tai Peng amat jahat, demikian pula anak buah pasukan Mancu yang banyak berkeliaran di sini. Satu-satunya tempat yang aman bagi engkau dan puteramu adalah istana di Nan-king...!"
“Ahhh.....! Ke istana kaisar baru Nan;-king.....?”
“Ke istana Ong-supek?” Han Le juga berseru, kaget, girangan juga bingung, karena belum pernah dia membayangkan akan pergi berkunjung kepada supeknya yang telah menjadi kaisar itu.
“Ya, satu-satunya tempat yang aman dan tepat bagi kalian adalah di istana kaisar. Toanio adalah isteri sute dari Sribaginda, berarti masih ipar seperguruan Sribaginda Kaisar sendiri, sudah sepatutnya kalau toanio juga memperoleh kemuliaan di sana. Apalagi mengingat betapa mendiang Gan-taihiap sudah banyak jasanya dalam perjuangan.”
“Tapi...... tapi kami tidak ingin pergi ke sana, kami ingin menjadi rakyat biasa, hidup sebagai petani di dusun...”
“Ibu, kenpa kita tidak ke sana saja? Bukankah ibu menghendaki tempat yang aman? Dan kabarnya, ilmu kepandaian supek amat tinggi. Tentu beliau akan suka mengajarkan ilmu silat kepadaku,” kata Han Le yang masih merasa kehilangan suhunya yang amat disayanginya dan yang diharapkan akan menurunkan ilmu slat tinggi kepadanya.
“Ah, Henry, supekmu itu kini bukan orang biasa, melainkan seorang kaisar! Mana mungkin mengajar silat kepadamu? Pula, datang begitu saja ke sana tanpa diundang, aku merasa seperti orang yang mengganggu..."
“Toanio, harap jangan berpendapat demikian. Ketahuilah, bahwa pernah Sribaginda berbincang-bincang tentang diri toanio dan mengharapkan agar kami dapat menemukan toanio dan mengundangnya ke istana! Adapun tentang ilmu silat, kalau puteramu ingin belajar, di istana banyak terdapat jagoan-jagoan silat yang amat lihai. Dia dapat belajar sepuasnya!”
Sheila kehilangan alasan lagi untuk menolak. Dan pula, mengapa ia harus menolak? Apalagi yang diharapkan hidup di pegunungan, di dalam dusun? Siapa yang dipandang dan siapa yang diharapkan? Apakah ia akan membiarkan puteranya tumbuh menjadi seorang pemuda dusun yang bodoh?
Memang, terdapat bahaya bahwa sikap Ong Siu Coan tidak akan baik terhadap dirinya dan puteranya, akan tetapi setidaknya, ia dan puteranya terlepas lebih dahulu dari ancaman anak buah Tai Peng yang jahat-jahat ini. Soal nanti akan dihadapinya nanti saja, dan pada saatnya ia akan menetukan sikap dan mengambil tindakan yang dianggap baik.
“Baiklah, tidak ada pilihan lain karena kami berada dalam kekuasaan ciangkun dan pasukan ciangkun. Aku menyerah dan suka ikut,” akhirnya ia berkata dan Han Le merangkul ibunya dengan girang. Sheila terharu. Anak ini membutuhkan kesenangan, membutuhkan pendidikan. Anak ini berhak memperoleh pendidikan yang baik, berhak hidup dalam kemuliaan, bukan selalu hidup serba kekurangan dan dalam kesukaran.
Tak lama kemudian, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, sebuah kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda dikawal oleh Tang Ci sendiri bersama selosin pasukan berkuda, meninggalkan bukit itu menuju ke Nan-king.
Tak jauh dari situ, sesosok tubuh manusia yang mengintai dari balik batang pohon besar, menarik napas dalam. Dia bukan lain adalah Bu Beng Kwi, semenjak ibu dan anak itu pergi selalu mengikuti dan membayangi dengan diam-diam, bahkan telah menolong mereka secara diam-diam pula dari ancaman tiga orang perajurit pemerintah Mancu.
Kini, melihat ibu dan anak itu pergi dalam sebuah kereta besar, dia menghela napas. Dia telah menggunakan kepandaiannya mengintai dan mengikuti semua peristiwa, sejak Sheila diperiksa oleh perwira Lai yang tinggi besar, sampai munculnya Tang Ci. Dia sudah siap untuk menolong dan membebaskan Sheila ketika diperiksa Lai-ciangkun.
Akan tetapi mendengar penawaran Tang Ci yang akan membawa ibu dan anak itu ke istana kaisar dari Kerajaan Sorga, yaitu Ong Siu Coan, dan melihat kesediaan Sheila, diapun hanya berdiam diri. Apapun yang akan diputuskan dan dilakukan oleh Sheila, dia tidak akan menghalanginya. Dia hanya berkewajiban untuk melindungi ibu dan anak itu, hal inipun dilakukan diam-diam dan jangan sampai kelihatan oleh mereka.
Setelah kereta pergi jauh, barulah dia menggunakan ilmunya berlari cepat, membayangi kereta itu dari jauh. Wajahnya pucat, matanya cekung dan sayu, membayangkan kekosongan hatinya, kosong dan sunyi, kehidupan seperti sudah mati baginya setelah ibu dan anak itu meninggalkannya.
Kini, satu-satunya keinginan yang bernyala di dalam hatinya, yang memberinya semangat untuk tinggal hidup, hanyalah melindungi Sheila dan Han Le, menjaga mereka agar mereka itu hidup dengan aman dan selamat, agar mereka itu dapat menemukan bahagia. Dia akan menjaga mereka dengan diam-diam, menggunakan seluruh kekuatan dan kepandaiannya, kalau perlu siap berkorban nyawa untuk mereka!
Biarpun pada waktu itu, negara sedang kacau, kehidupan rakyatpun selalu diganggu oleh keadaan perang, namun peristiwa yang terjadi di dunia persilatan itu amat menarik perhatian para tokoh persilatan, baik para pendekar maupun para tokoh kang-ouw.
Siapa orangnya tidak akan tertarik menerima undangan, baik secara langsung maupun tidak langsung, dari seseorang yang mengundang semua tokoh persilatan untuk menjadi saksi pengangkatan diri orang itu sebagai Thian-he Te-it Bu-hiap (Jago silat Nomor Satu di Kolong Langit)? Peristiwa yang sungguh luar biasa sekali.
Belum pernah ada orang, baik dari golongan putih maupun golongan hitam, yang berani mengangkat diri sendiri menjadi jagoan nomor satu di dunia ! Dan orang itu memakai nama Lee-kongcu! Orangpun bertanya-tanya, siapa gerangan tokoh yang demikian sombong dan tinggi hati, yang berani mengundang tokoh-tokoh persilatan untuk menyaksikan dia mengangkat diri seperti itu?
Dia menantang seluruh tokoh persilatan yang ada, karena pengangkatan itu sama dengan pengumuman bahwa tidak ada orang di dunia ini yang akan mampu menandinginya ! Betapa takaburnya! Dan pesta pengangkatan diri itu diadakan di sebuah bukit di lembah Yang-ce-kiang, di sebelah utara sungai itu, di sebuah dusun yang bernama Cu-sian, tak jauh dari Nan-king, hanya dibatasi Sungai Yang-ce-kiang dan beberapa belas li saja di lembah Yang-ce!
Dan tempat inipun merupakan daerah perbatasan antara wilayah yang diduduki tentara Tai Peng dan yang masih dikuasai pemerintah Mancu, dan daerah itu terkenal sebagai daerah di mana seringkali terjadi pertempuran, baik antara pasukan Tai Peng dan Mancu, maupun antara mata-mata dari kedua pihak ! Sungguh berani sekali orang yang menyebut dirinya Lee-kongcu itu!
Lebih gila lagi, Lee-kongcu juga mengundang pembesar-pembesar dari Kerajaan Ceng, terutama sekali pembesar militer, seolah-olah dia mengharapkan pengakuan dari pemerintah bahwa dialah jagoan nomor satu di dunia ! Apa gerangan keinginan orang itu, demikian banyak tokoh kang-ouw berpikir, merasa tertarik sekali sehingga ketika hari yang ditentukan tiba, banyaklah orang datang membanjiri lembah Yang-ce bagian utara itu.
Memang ada tokoh-tokoh besar dunia persilatan, seperti ketua-ketua partai persilatan besar, tidak sudi melayani undangan orang yang mereka anggap gila itu, dan tidak datang sendiri. Namun, karena merekapun tertarik dan ingin mengetahui siapa gerangan orang itu, mereka mengirim juga utusan untuk sekedar meninjau dan mencatat peristiwa yang menggemparkan dunia persilatan itu.
Bermacam-macam reaksi yang timbul akibat undangan yang disebar oleh Lee-kongcu itu. Partai-partau persilatan besar mengadakan rapat-rapat memperbincangkan soal itu, dan ramailah nama Lee-kongcu menjadi bahan percakaan setiap pertemuan antara orang kang-ouw menjelang pesta itu.
Dan pada saat hari itu tiba, tidak mengherankan kalau daerah lembah Sungai Yang-ce-kiang itu menjadi ramai sekali, didatangi orang bermacam bentuk, baik sikap maupun pakaian mereka. Orang-orang aneh, bahkan pendeta-pendeta Agama To, juga hwesio-hwesio tua, orang-orang yang berpakaian compang-camping seperti pengemis, dan banyak pula orang-orang yang sikapnya bengis dan kasar, tanda bahwa mereka itu jelas sekali datang dari golongan hitam atau penjahat-penjahat.
Ada pula orang-orang yang berpakaian pendekar, halus dan bersih, yang pria tampan dan wanita cantik jelita, namun mereka itu membayangkan sikap yang gagah perkasa sehingga membuat orang merasa segan dan tidak ada yang berani mencari perkara. Mencari perkara di tempat berkumpulnya semua orang gagah dari empat penjuru itu sama dengan mengundang penyakit untuk diri sendiri.
Peristiwa itu ada juga segi yang mendatangkan kegembiraannya, yaitu bagi mereka yang bertemu dengan wajah-wajah lama para sahabat. Karena keadaan negara yang dilanda perang, maka banyak di antara para tokoh persilatan itu tidak saling bertemu selama bertahun-tahun. Kini, karena sama-sama tertarik oleh ulah Lee-kongcu, mereka dapat bertemu di tempat itu. Maka terjadilah petemuan-pertemuan yang menggembirakan di lembah yang subur itu.
Lee-kongcu mengundang pembesar-pembesar militer penting, juga ketua-ketua perkumpulan silat yang besar-besar dan tidak lupa mengirim undangan pribadi kepada murid para datuk sesat yang sudah tidak ada, yaitu murid-murid dari Empat Racun Dunia karena dia menganggap mereka itu sebagai wakil dari dua golongan. Guru-guru mereka adalah orang-orang golongan sesat, akan tetapi mereka sendiri, yang menjadi murid-muridnya, terkenal sebagai orang-orang gagah dan pejuang-pejuang perkasa.
Maka tidaklah mengherankan kalau di tempat itu muncul pendekar-pendekar perkasa seperti murid dari Tee-tok (Racun Tanah) bersama suaminya yang juga seorang pendekar bernama Thio Ki putera ketua Kang-sim-pang. Suami isteri pendekar ini pernah pula membantu Ong Siu Coan seperti para pendekar lain ketika tentara Tai Peng mulai bergerak, akan tetapi merekapun meninggalkan Ong Siu Coan ketika melihat kegilaan orang itu dan kejahatan pasukan Tai Peng.
Pasangan ini sudah berusia tiga puluh delapan tahun dan tiga puluh enam tahun, dan mereka mmempunyai seorang anak perempuan yang kini berusia kurang lebih sebelas tahun dan bernama Thio Eng Hui. Thio Ki kini melanjutkan pimpinan perkumpulan Kang-sim-pang (Hati Baja) yang cukup terkenal.
Mereka datang berdua saja, meninggalkan puteri mereka di rumah karena mereka khawatir kalau-kalau di tempat pesta itu akan terjadi hal-hal yang akan membahayakan keselamatan puteri yang baru berusia sebelas tahun itu.
Selain pasangan ini, datang pula pasangan yang dihormati banyak orang karena mereka datang dari kota raja dan kalau isterinya merupakan seorang wanita bangsawan yang lihai ilmu silatnya, suaminya juga seorang bangsawan yang memiliki kedudukan tinggi. Mereka ini bukan lain adalah Ceng Hiang, puteri seorang pangeran yang bernama Ceng Tiu Ong, juga murid keturunan keluarga Pulau Es yang ilmu silatnya tinggi sekali.
Suaminya adalah Yu-kiang, seorang bangsawan tinggi di istana yang juga menerima undangan pribadi dari Lee-kongcu yang kita ketahui bukan lain adalah Lee Song Kim. Suami isteri yang usianya juga sudah mendekati empat puluh tahun itu mempunyai pula seorang anak perempuan yang usianya sudah sepuluh tahun, bernama Yu Bwee.
Seperti juga pasangan pertama tadi, Yu-kiang dan Ceng Hiang meninggalkan puteri mereka. Mereka datang naik kereta dan dikawal oleh pasukan pengawal istana yang berpakaian indah sebanyak dua losin orang sehingga kedatangan mereka itu menarik perhatian.
Masih ada lagi pasangan suami isteri yang tidak kalah menariknya, karena sepasang suami isteri ini pernah menggegerkan duna persilatan dengan sepak terjang mereka yang gagah perkasa. Mereka ini bukan lain adalah Tan Ci Kong dan isterinya, Siauw Lian Hong. Seperti kita ketahui, mereka ini telah mempunyai pula seorang putera yang diberi nama Tan Bun Hong, berusia dua belas tahun.
Ketika Tan Ci Kong membantu perjuangan Tai Peng, isterinya, Siauw Lian Hong, tidak ikut berjuang melainkan mengajak puteranya untuk menyingkir di puncak Naga Putih karena rumah mereka telah terancam oleh pasukan pemerintah akibat kunjungan Ong Siu Coan yang menjadi buronan pemerintah.
Ketika Tan Ci Kong meninggalkan Ong Siu Coan karena melihat penyelewengan Tai Peng, dia juga menyusul isterinya ke puncak itu dan selanjutnya mereka tinggal di tempat itu, hidup sebagai petani dan pemburu. Hidup di antara penduduk gunung yang sederhana itu mereka merasa tenteram dan semenjak meninggalkan perjuangan, baru Ci Kong turun gunung ketika dia dikunjungi oleh Thian Khi Hwesio, dimintai bantuannya untuk menyelidiki tentang pembunuhan terhadap orang-orang Kun-lun-pai yang didesas-desuskan dilakukan oleh orang Siauw-lim-pai.
Kemudian Tan Ci Kong berhasil melerai dan menggagalkan perkelahian yang hampir saja terjadi antara tokoh-tokoh Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai, karena adu domba yang dilakukan oleh Lee Song Kim. Kemudian, dia pulang ke puncak Naga Putih karena maklum bahwa dalam pelaksanaan tugasnya kali ini, dia perlu dibantu oleh isterinya yang juga lihai sekali.
Mereka berdua meninggalkan putera mereka dan berangkat turun gunung karena pada waktu Ci Kong tiba di rumah, telah lebih dulu tiba undangan dari Lee-kongcu itu. Suami isteri inipun tertarik sekali dan merekapun langsung saja menuju ke lembah Yang-ce-kiang dan di situ mereka bertemu dengan kawan-kawan lama sehingga terjadilah pertemuan yang amat menggembirakan.
“Siapakah sebenarnya orang yang menamakan dirinya Lee-kongcu ini?” tanya Ciu Kui Eng. Mereka berenam duduk di tepi anak sungai yang airnya jernih dan yang mengalir ke arah Sungai Yang-ce-kiang yang besar.
“Akupun ingin sekali tahu siapa dia. berani sekali dia mengangkat diri menjadi Thian-he Te-it Bu-hiap dan agaknya dia mengundang semua orang gagah di dunia. Bahkan ada beberapa orang jenderal dia undang. Sungguh orang yang memiliki kebernian besar sekali !” kata Ceng Hiang.
Ci Kong dan isterinya saling pandang. Mereka berdua sudah menduga siapa adanya orang yang dibicarakan itu. Ci Kong lalu bertanya, “Agaknya kalian akan lebih heran lagi kalau tahu siapa dia. Akupun baru menduga saja, akan tetapi agaknya tidak akan meleset dugaanku ini. Dia itu tentulah Lee Song Kim!”
“Eh? Si keparat yang berhati palsu itu? Dia pernah mengkhanati para pimpinan pejuang sehingga mereka semua ditawan oleh pemerintah Ceng! Dan kini dia berani membuat ulah seperti ini? Sungguh tak tahu diri!” kata Thio Ki kaget dan heran.
“Hemm, kulihat kepandaiannya biasa saja, paling tinggi hanya setingkat dengan aku! Bagaimana dia berani bertingkah mengangkat diri menjadi jagoan nomor satu di dunia?” kata pula Ciu Kui Eng merasa penasaran.
“Hemm, diapun menjadi buronan pemerintah. Kini dia berani mengundang para tokoh militer, apakah dia sudah bosan hidup?” Yu-kiang bernata.
“Harap kalian jangan memandang rendah orang ini,” kata Siauw Lian Hong yang sudah mnerima keterangan dari suaminya tentang dugaan suaminya bahwa Lee Song Kim inilah orangnya yang telah mengadu domba antara Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai, bahkan membunuh tokoh-tokoh pandai dari Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai.
“Kita mengenal Lee Song Kim, murid Hai-tok yang amat licik itu. Kita semua tahu betapa liciknya dia, sehingga mudah saja dia mengkhianati dan menjebak para pucuk pimpinan para pejuang dan murid-murid Hai-tok memang hebat. Lihat saja Kiki, bukankah gadis yang dulu kekanak-kanakan itu sekarang telah pula menjadi permaisuri seorang kaisar? Kurasa, kalau Lee Song Kim sekarang berani mengangkat diri sendiri menjadi Thian-he Te-it Bu-hiap, tentu dia memiliki andalan yang kuat.”
“Benar, kita tidak boleh memandang rendah orang bernama Lee-kongcu yang aku yakin tentu Lee Song Kim itu. Sebelum mengangkat dirinya menjadi jagoan nomor satu di dunia dengan mengundang banyak tokoh persilatan, orang yang bernama Lee-kongcu itu telah membuat kegemparan. Bayangkan saja, dia telah mengadu domba antara Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai sehingga hampir saja tokoh-tokoh kedua perkumpulan besar itu saling hantam sendiri karena saling menyangka lain pihak membunuh tokoh-tokoh mereka. Dan yang membunuhnya bukan lain adalah Lee-kongcu itulah. Dia telah membunuh orang-orang terkenal Kun-lun-pai seperti Tiong Gi Tojin, Tiong Sin Tojin, dan juga Huang-ho Sin-to Kwa Ciok Le, dan dia telah membunuh pula Thian Khi Hwesio wakil ketua Siauw-lim-pai.”
“Ahhh...!” Semua orang berseru kaget.
“Agaknya dia telah mempelajari ilmu-ilmu tinggi selama belasan tahun ini, dan siapa tahu kita jauh ketinggalan dari dia,” kata Ceng Hiang sambil mengepal tinju. Ia pribadi mempunyai kenangan pahit dengan Lee Song Kim, dan orang itu merupakan seorang di antara musuh yang dibencinya.
“Semua itu hanya dugaan saja dari suamiku,” kata Lian Hong, “Walaupun dugaan itu agaknya pasti benar. Sebaiknya kita tunggu saja sampai saatnya tiba.”
Demikianlah, dengan hati tegang enam orang itu lalu ikut bersama rombongan tamu memasuki perkampungan baru yang dibangun oleh Lee-kongcu untuk keperluan pesta itu. Pesta diadakan pada pertengahan musim semi sehingga udaranya cerah dan pemandangan indah sekali, pohon-pohon penuh daun dan bunga, dan air anak sungai mengalir jernih.
Di tempat terbuka yang merupakan kebun, di bawah pohon-pohon besar, terdapat meja kursi yang sudah diatur sedemikian rupa sehingga mengitari sebuah panggung di mana diatur pula meja kursi untuk tamu kehormatan.
Anak buah Lee-kongcu yang berpakaian rapi dan seragam biru putih, menyambut para tamu dengan penuh kehormatan, dan agaknya memang sudah diatur sebelumnya oleh Lee-kongcu. Tanpa ragu-ragu para penyambut ini mengiringkan orang-orang penting.
Di antaranya para panglima dari kota besar dan kota raja, termasuk Yu Kiang dan Ceng Hiang, dan juga para kepala perkumpulan besar dan orang-orang golongan tua yang pantas dihormati karena usia dan kedudukannya, menuju ke panggung kehormatan.
Tan Ci Kong, Siauw Lian Hong, Thio Ki dan Ciu Kui Eng yang tidak dipersilahkan ke panggung kehormatan, mengambil tempat duduk tak jauh dari panggung agar mereka dapat menyaksikan dari dekat ulah dari tuan rumah yang belum memperlihatkan diri itu.
Dua pasang pendekar ini duduk diam saja, akan tetpi mereka memasang mata dan memperhatikan siapa yang datang berkunjung. Diam-diam mereka merasa kagum juga melihat betapa para tamu itu terdiri dari tokoh-tokoh persilatan yang penting, ketua atau wakil partai-partai besar, bahkan banyak pula terdapat pembesar penting dari daerah dan dari kota raja!
Mereka kagum karena ternyata orang she Lee yang menamakan diri Lee-kongcu dan mereka duga tentu Lee Song Kim itu ternyata memiliki keberanian besar dengan mengundang demikian banyak tokoh penting. Banyak di antara para tamu yang tidak mereka kenal.
Mereka tidak tahu bahwa di antara banyak tamu yang jumlahnya kurang lebih dua ratus orang itu, terdapat beberapa orang mata-mata, baik dari pemerintah Mancu, dari Tai Peng, maupun mereka yang bekerja untuk orang kulit putih. Para mata-mata itu memperoleh kesempatan baik untuk menyusup sebagai tamu.
Dengan pandang mata mereka yang tajam dan pengalaman mereka berkecimpung dalam dunia kang-ouw selama belasan tahun, dua pasang pendekar ini dapat melihat bahwa kalau dibuat perbandingan, di antara yang hadir itu jauh lebih banyak golongan sesatnya daripada golongan pendekar, sehingga diam-diam mereka waspada.
Bahkan di antara para penyambut yang mewakili Lee-kongcu, Ci Kong melihat seorang wanita cantik yang nampak berusia tiga puluh tahun lebih, anggun dan berwibawa. Dia merasa heran sekali, karena dia mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Theng Ci, tokoh dari Ang-hong-pai!
Pernah dia bersama gurunya, yaitu kakek sakti Siauw-bin-hud, mendatangi perkumpulan Ang-hong-pai untuk menemui Theng Ci, tokoh perkumpulan itu. Ketika itu gurunya, yaitu kakek sakti Siauw-bin-hud, mencari perampas pedang pusaka Giok-liong-kiam karena dialah yang disangka perampasnya. Theng Ci merupakan seorang di antara mereka yang memperebutkan pedang pusaka itu dan yang mengenal perampasnya.
Biarpun belasan tahun telah terlewat, ternyata wanita itu masih nampak sehat dan muda, padahal usianya sudah mendekati enam puluh tahun. Kalau orang she Lee itu mempuyai pembantu seperti Theng Ci, tentulah dia bukan orang baik-baik, pikir Ci Kong.
Akhirnya tamu terakhir datang dan hampir semua bangku di kebun itu telah diduduki tamu yang merupakan setengah lingkaran menghadap ke arah panggung di mana duduk kurang lebih dua puluh orang tamu kehormatan. Sejak tadi, serombongan pemain music meramaikan suasana, dan beberapa orang gadis penyanyi membuka mulut menyanyikan lagu-lagu merdu sehingga ada semacam kegembiraan seperti yang biasa terdapat dalam sebuah pesta.
Tiba-tiba suara music dan nyanyian itu menjadi lirih dan akhirnya berhenti. Lalu rombongan pemusik itu memukul kembali alat music mereka, kini dengan nyaring dan di antara suara tambur dan canang itu terdengarlah teriakan orang.
“Yang terhormat Lee-kongcu akan keluar untuk menymbut para tamu!”
Semua orang memandang dan dari lorong yang menuju ke panggung itu muncullah seorang laki-laki yang gagah perkasa dan tampan. Laki-laki itu berusia kurang dari empat puluh tahun, wajahnya tampan dan pesolek, mulutnya dihias senyum, kumis dan jenggotnya teratur rapi, pakaiannya dari sutera yang mahal dengan potongan seperti seorang terpelajar atau bangsawan.
Akan tetapi gagang emas sepasang belati di pinggang dan sebatang pedang di punggung menunjukkan bahwa dia bukanlah seorang pelajar yang lemah. Langkahnya tegap dan dia naik ke atas panggung sambil tersenyum dan mengangguk ke kanan kiri, lagaknya seperti seorang pembesar atau bahkan raja yang kedatangannya sudah dinanti oleh banyak orang!
Biarpun kini wajahnya yang tampan menjadi semakin gagah oleh kumis dan jenggot yang terpelihara baik, para pendekar yang hadir di situ masih mengenal bahwa laki-laki itu bukan lain adalah Lee Song Kim, murid datuk sesat Hai-tok Tang Kok Bu! Siauw Lian Hong mengepal tinju, juga Ciu Kui Eng, karena kedua orang wanita itu membenci Lee Song Kim.
Tidak salah dugaan Ci Kong dan pendekar ini memandang tajam. Kalau Lee Song Kim sudah berani mengangkat diri menjadi Thian-he Te-it Bu-hiap, maka tentu dia kini telah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Hal ini sudah dibuktikan dengan pembunuhan terhadap para tokoh Kun-lun-pai, bahkan wakil ketua Siauw-lim-pai juga dibunuhnya!
Kini dia melihat bahwa Lee Song Kim yang berambisi untuk menjadi jago nomor satu di dunia itu sengaja melakukan pembunuhan-pembunuhan dengan maksud mengadu domba antara Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai. Kalau kedua partai persilatan besar itu sampai bermusuhan.
Maka tentu akan menjadi lemah dengan sndirinya dan dialah yang akan mendapat keuntungan, karena akan lebih lancar jalannya menuju ke arah kedudukan yang dicita-citakan yaitu sebagai bengcu (pemimpin rakyat) di antara tokoh-tokoh persilatan, menjadi jagoan nomor satu di dunia persilatan!
Melihat sinar mencorong keluar dari sepasang mata Lee Song Kim, Ci Kong dapat menduga bahwa orang ini sekarang memiliki tingkat kepandaian yang tinggi, dan tentu selama belasan tahun ini telah menggembleng dirinya.
Teringatlah dia akan kematian Hai-tok di tangan para tokoh Siauw-lim-pai ketika datuk sesat itu tertangkap basah mencuri kitab-kitab Siauw-lim-pai, dan diapun telah mendengar akan lenyapnya kitab-kitab pelajaran silat rahasia dari perkumpulan perkumpulan besar.
Tak salah lagi, pikirnya. tentu Lee Song Kim dan gurunya, mendiang Hai-tok, yang telah melakukan pencurian-pencurian itu, dan agaknya semua kitab itu telah dipelajari dan dilatih dengan baik oleh Song Kim. Dia dapat menjadi seorang lawan yang amat berbahaya, pikirnya.
Sementara itu, Song Kim yang memandang ke sana-sini sambil tersenyum, tentu saja mengenal wajah-wajah mereka yang pernah menjadi musuhnya, akan tapi dia bersikap biasa, seolah-olah belum penah melihat mereka. Kemudian dia melangkah ke tepi panggung, menghadapi semua tamu dan berkali-kali dia memberi hormat dengan bersoja ke kanan kiri dan depan, terutama kepada para tamu kehormatan yang duduk di atas panggung.
“Selamat datang, cuwi yang mulia ! Selamat datang dan terima kasih atas kunjungan cuwi memenuhi undangan kami. Sebelum membicarakan urusan penting yang menjadi maksud undangan kami, kami persilakan cuwi menikmati hidangan sekedarnya!”
Setelah berkata demikian Lee Song Kim lalu duduk di atas kursi yang telah disediakan untuknya dan para pelayan wanita yang kesemuanya adalah anggauta Ang-hong-pai, segera sibuk mengeluarkan hidangan yang masih panas. Yang oleh Lee Song Kim, dinamakan hidangan sekedarnya itu ternyata merupakan hidangan yang serba mahal dan lezat.
Sebentar saja meja-meja itu penuh hidangan, dan terciumlah di antara bau yang sedap dan gurih itu, bau arak yang keras dan harum. Tamupun tidak sungkan-sungkan lagi, menyerbu hidangan dan mereka makan minum dengan gembira.
Bahkan para pembesar militer dari kota raja diam-diam merasa kagum melihat hidangan yang disuguhkan itu tidak kalah royalnya dibandingkan dengan hidangan yang keluar dalam pesta seorang bangsawan besar. Memang Lee Song Kim sengaja mengadakan pesta besar untuk mendapatkan kesan baik dari para tamunya.
Setelah para tamu makan minum secukupnya, Lee Song Kim kembali bangkit berdiri di tepi panggung dan memberi hormat kepada para tamunya. Semua tamu maklum bahwa kini tuan rumah tentu akan mengumumkan maksud undangannya, maka semua orang memandang penuh perhatian.
“Cuwi yang mulia!” katanya yang suaranya lantang, didorong oleh Tenaga khikang yang kuat, wajahnya serius namun senyumnya tak pernah meninggalkan mulutnya. “Sekarang tiba saatnya bagi kami untuk membicarakan urusan penting, yaitu maksud dari undangan yang kami kirimkan dan sebarkan untuk cuwi. Kita semua mengetahui bahwa dewasa ini, kehidupan rakyat terancam oleh perang yang terjadi di mana-mana. negara mempunyai banyak musuh. Dalam keadaan sekacau ini, sudah sepatutnyalah kalau kita, orang-orang kaum persilatan, bangkit untuk mengamankan keadaan dan membantu pemerintah mengatasi keadaan. Bagaimana pendapat cuwi? Tidak benarkah apa yang telah saya kemukakan tadi?”
“Akur, akur!”
“Setuju sekali!”
Teriakan-teriakan menyambut ini dipelopori oleh mereka yang memang sudah tunduk kepada Song Kim, dan diturut oleh sebagian besar golongan sesat. Dan karena apa yang diucapkan Song Kim memang tak dapat dibantah kebenarannya, para pendekar juga banyak yang mengangguk menyatakan setuju.
Song Kim dengan wajah berseri mengangkat kedua tangan ke atas memberi tanda kepada semua tamu agar tenang. “Cuwi yang mulia. Biarpun kita kaum persilatan harus bangkit, namun kalau kebangkitan itu dilakukan secara liar dan sendiri-sendiri, tentu bahkan akan menimbulkan kekacauan dan persaingan. Oleh karena itu, perlu kiranya kalau kita bersatu dan untuk dapat terlaksananya persatuan di antara para tokoh dunia persilatan, sudah semestinya kalau perlu adanya seorang bengcu yang akan memimpin kaum kang-ouw. Tentu saja seorang pemimpin haruslah memiliki ilmu silat tertinggi. Setujukah cuwi?”
Kembali sambutan dipelopori kaki tangan Song Kim dan diturut oleh sebagian besar para tamu. Akan tetapi banyak di antara para pendekar yang diam saja.
Kembali Song Kim mengangkat kedua tangan minta tenang. “Cuwi tentu telah mengetahui bahwa belasan tahun yang lalu, pernah terjadi geger ketika semua orang memperebutkan pusaka Giok-liong-kiam dan pusaka itu dianggap sebagai lambang keunggulan. Siapa yang memiliki pusaka itu dianggap memiliki kepandaian tinggi dan pantas menjadi seorang bengcu! Pemilik Giok-liong-kiam boleh diangkat menjadi Thian-he Te-it Bu-hiap dan dingkat menjadi bengcu, karena kalau dia sudah berhasil memiliki Giok-liong-kiam, maka berarti bahwa dia tentu berkepandaian tinggi ! Setujukah cuwi kalau kita memilih orang yang telah memiliki Giok-liong-kiam menjadi bengcu?”
“Setuju...!” Kembali anak buahnya memelopori dan diturut oleh beberapa orang golongan sesat.
“Nanti dulu...!” Tiba-tiba Yu Kiang, suami Ceng Hiang yang duduk dikursi kehormatan, berseru. Semua orang memandang kepadanya, juga Song Kim membalik menghadapi orang itu.
“Kami mendengar bahwa Giok-liong-kiam berada di tangan pemimpin pemberontak Tai Peng yang kini mengangkat diri menjadi raja, yaitu Ong Siu Coan. Apakah ini berarti bahwa kita harus mengangkat pemimpin pemberontak itu menjadi bengcu sehingga kita semua akan menjadi pengkhianat dan pemberontak?”
Para pendekar juga saling pandang dengan heran. Mereka yang pernah membantu gerakan Tai Peng sebelum mereka kemudian meninggalkan Tai Peng yang melakukan penyelewengan, tahu belaka bahwa Giok-liong-kiam memang berada di tangan Ong Siu Coan.
Apalagi Tan Ci Kong dan isterinya, Siauw Lian Hong. Suami isteri pendekar ini tentu saja tahu dengan jelas tentang Giok-liong-kiam, karena merekalah yang memberikan Giok-liong-kiam kepada Ong Siu Coan yang datang berkunjung kepada mereka yang meminjamnya.
Bagimana kini Song Kim berani mengatakan bahwa para tamu harus memilih pemegang Giok-liong-kiam menjadi bengcu? Bukankah hal itu berarti bahwa orang itu mengusulkan agar mereka semua memilih Ong Siu Coan menjadi pemimpin dunia persilatan?
Akan tetapi Song Kim tidak menjadi gugup mendengar semua pertanyaan itu. Dia bahkan tersenyum cerah. “Justeru karena Giok-liong-kiam pernah dimiliki oleh pemimpin besar Tai Peng, maka siapa yang mampu mengambilnya dari istananya di Nan-king, berarti memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan pantaslah kalau menjadi pimpinan atau bengcu. Saya yang tanggung bahwa Giok-liong-kiam bukan berada di tangan pemimpin Tai Peng itu, melainkan di tangan seorang yang ilmu kepandaiannya melebihi Ong Siu Coan! Pantaskah pemilik Giok-liong-kiam itu diangkat menjadi bengcu?”
“Pantas! Pantas!”
“Setuju! Setuju!” kembali kaki tangannya berteriak dan diikuti oleh banyak tamu dari golongan sesat.
“Akan tetapi siapakah yang kini menjadi pemilik Giok-liong-kiam?” teriak Siauw Lian Hong yang tidak sabar lagi menanti, melihat sikap Song Kim yang dianggap sombong dan menyebalkan.
Lee Song Kim memandang kepadanya lalu menjura. “Pertanyaan pendekar wanita Siauw Lian Hong itu memang tepat, dan agaknya menjadi pertanyaan dari cuwi yang hadir, maka baiklah saya jawab. Giok-liong-kiam kini berada di tangan Thian-he Te-it Bu-hiap. Inilah dia!”
Dan diapun mengeluarkan pedang Giok-liong-kiam itu dari balik jubahnya. Diangkatnya pedang pusaka itu tinggi-tinggi di atas kepalanya. Pedang kecil berukir tubuh naga dan terbuat dari batu giok (kemala) hujau kemerahan itu nampak mengkilap dan indah sekali ketika dicabut dari rangkanya.
Semua orang memandang kagum dengan mata terbelalak dan Lian Hong hendak bangkit berdiri. Mukanya merah, matanya bernyala dan penuh kemarahan. “Pencuri keparat...!” desisnya, akan tetapi suaranya tenggelam ke dalam kegaduhan yang terjadi setelah semua tamu melihat Giok-liong-kiam itu.
Suaminya, Tan Ci Kong segera memegang lengannya dan menariknya dengan halus agar duduk kembali. “Tenanglah, di sini kita tidak bisa mengaku pernah membantu Ong Siu Coan,” bisiknya.
Lian Hong mengangguk dan biarpun mukanya masih kemerahan dan matanya bersinar marah, ia diam saja. Memang, tidak mungkin di tempat terbuka seperti itu, di mana hadir pula beberapa orang pembesar militer Kerajaan Ceng, mereka mengaku bahwa merekalah yang meminjamkna pedng Giok-liong-kiam kepada Ong Siu Coan, pemimpin pemberontak Tai Peng itu.
“Pedang itu palsu!” teriak seorang tamu. “Semua orang tahu pedang Giok-liong-kiam yang aseli berada di tangan raja Tai Peng di Nan-king!”
Mendengar teriakan ini, banyak pasang mata memandang ke arah pedang itu di tangan Song Kim itu dengan penuh keraguan. Akan tetapi, Ci Kong dan Lian Hong mengenal pedang itu dan mereka berdua merasa yakin bahwa pedang yang dipegang Song Kim itu memang Giok-liong-kiam aseli.
Song Kim tertawa sopan mendengar pedang itu disangka palsu. Dia mengangkat pedang itu tinggi-tinggi di atas kepalanya. “Cuwi, lihatlah baik-baik. Pedang Giok-liong-kiam ini aseli! Tanya saja kepada para pendekar yang pernah memperebutkannya belasan tahun yang lalu. Kalau palsu, tentu mereka akan menyangkalnya. Pedang ini aseli dan kalau ada Giok-liong-kiam lain, baik yang berada di tangan pemimpin Tai Peng sekalipun, maka pedang itu jelas palsu! Yang aseli berada di tangan Thian-he Te-it Bu-hiap! Dan siapa yang menyangkal, berarti tidak percaya kepada Thian-he Te-it Bu-hiap, dan tidak percaya sama dengan penghinaan. Nah, cuwi yang mulia. pemegang Giok-liong-kiam adalah jagoan nomor satu, dan pantas untuk menjadi bengcu. Apakah cuwi setuju?”
Sorak-sorai menyambut kata-kata ini, tentu saja yang menjadi pelopor adalah orang-orang yang sudah takluk kepada Lee Song Kim, diikuti oleh mereka yang menjadi golongan sesat dan merasa kagum kepada orang she Lee itu.
“Terima kasih, cuwi. Akan tetapi, saya kira di antara para pendekar yang hadir, ada yang tidak setuju dan siapa yang merasa lebih pandai dari Thian-he Te-it Bu-hiap dan hendak menguji kepandaiannya agar dapat percaya, silakan maju.”
Ini merupakan tantangan secara berterang! Diam-diam Ci Kong terkejut. Kalau Song Kim sudah berani mengajukan tantangan tanpa pandang bulu seperti itu, jelas bahwa orang ini sudah merasa bahwa dia tidak mempunyai tandingan lagi! Betapa sombongnya!
Tiba-tiba seorang laki-laki bertubuh tinggi besar meloncat ke atas panggung. Panggung itu sampai mengeluarkan bunyi dan agak bergoyang ketika tubuhnya yang berat dan kokoh kuat itu meloncat naik. “Aku Yauw Kang mewakili Bu-tong-pai untuk menguji kelihaian orang yang berani memakai julukan Thian-he Te-it Bu-hiap sebelum kami mengakuimu sebagai bengcu, orang she Lee!” katanya dan suaranya sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar, karena suara ini nyaring dan besar.
Lee Song Kim menyimpan kembali Giok-liong-kiam di balik jubahnya, lalu melangkah maju menghadapi raksasa bernama Yauw Kang itu, senyumnya melebar dan sikapnya tenang sekali, bahkan jelas memandang rendah. “saudara Yauw adalah seorang tokoh Bu-tong-pai? Akan tetapi, apakah tidak ada tokoh Bu-tong-pai lain yang lebih tinggi tingkatnya untuk maju agar para tamu yang terhormat dapat mengagumi ilmu kepandaiannya? Harap saudara Yauw mundur dan biarkan tokoh Bu-tong-pai yang paling lihai maju agar tidak membuang waktu.”
Ucapan itu dikeluarkan dengan suara hormat dan manis, namun sesungguhnya merupakan tamparan keras karena jelas bahwa Song Kim memandang rendah kepada laki-laki tinggi besar berusia kurang lebih empat puluh tahun itu.
“Lee-kongcu terlalu memandang rendah Bu-tong-pai!” bentak Yauw Kang. “Ketahuilah bahwa aku ditugaskan mewakili Bu-tong-pai dan aku adalah murid kepala pertama yang mewakili suhu menggembleng para murid tingkat tinggi!"
'“Bagus sekali kalau begitu,” kata Song Kim tanpa melepas senyumnya. “Saudara Yauw adalah tokoh tingkat dua dari Bu-tong-pai? Dan ingin menguji kepandaian Thian-he Te-it Bu-hiap? Baik, majulah!”
Yauw Kang yang sudah marah itu memasang kuda-kuda. Tubuhnya nampak kokoh kuat dan otot-ototnya mengembung. Tubuh yang tertutup pakaian itu seolah-olah membesar dan matanya mengeluarkan sinar. “Lee-kongcu, bersiaplah dan jaga seranganku!”
Yauw Kang menyerang dengan gerakan yang cepat dan kuat sekali, kedua telapak tangannya bertemu di udara mengeluarkan suara ledakan keras dan kedua tangan itu kini melancarkan pukulan, yang atas menghantam ke arah ubun-ubun kepala lawan dengan telapak tangan, sedangkan yang bawah menyodok ke arah ulu hati. Cepat dan dahsyat serangan ini.
“Hemm, Cun-lui-tong-thian (Guntur Musim Semi Menggetarkan Langit)!” kata Lee Song Kim dan seperti yang sudah hafal akan jurus ini, kedua tangannya sudah menyambut dengan tangkisan perlahan. Kedua tangan Yauw Kang yang menyerang itu terpental dan kini Song Kim mengajukan kakinya, kemudian kedua tangannya menyerang dengan jurus yang persis sama!
“Uhhh.....!” Tentu saja Yauw Kang kaget dua kali. Pertama kali ketika dia tadi mendengar jurus serangannya disebut dan ditangkis secara tepat oleh lawan dan kedua kali ketika lawan menyerangnya dengan jurus Cun-lui-tong-thian pula, dengan gerakan yang cukup cepat, kuat dan sempurna. Karena jurus itu amat berbahaya, sekaligus mengancam dua daerah berbahaya, yaitu ulu hati dan ubun-ubun kepala.
Maka cepat diapun menangkis pula seperti yang dilakukan oleh Song Kim tadi. Akan tetapi, tiba-tiba saja lutut kirinya tercium ujung sepatu kanan Song Kim dan seketika itu menjadi lumpuh dan diapun jatuh berlutut dengan sebelah kaki! Song Kim tidak melanjutkan serangannya, melainkan membungkuk seperti membalas penghormatan orang.
“Saudara Yauw dari Bu-tong-pai tidak perlu sungkan-sungkan. Berdirilah!” katanya, seolah-olah menolak penghormatan dengan berlutut!
Tentu saja wajah Yauw Kang menjadi merah sekali. Dia merasa heran bukan main. Tuan rumah ini bukan saja dapat memainkan jurus ampuh dari Bu-tong-pai, bahkan dapat menambah jurus itu dengan tendangan kaki ke arah lutut! Maklumlah dia bahwa orang yang mengangkat diri menjadi jagoan nomor satu dan menjadi bengcu ini memang amat lihai dan dia bukanlah lawannya.
Akan tetapi dia tetap merasa penasaran bagaimana orang yang bukan murid Bu-tong-pai mampu mengenal dan memainkan jurus simpanan tadi. Dia bangkit dan terpincang, menjura, “Lee-kongcu memang lihai. Aku mengaku kalah.” katanya jujur. “Akan tetapi dari mana engkau bisa mendapatkan jurus ilmu silat kami tadi?”
“Dia mencuri dari kita!” tiba-tiba terdengar seruan dari rombongan Kun-lun-pai.
Song Kim tersenyum dan menoleh ke arah rombongan itu. “Aku Lee Song Kim bukan tukang curi. Aku tidak mencuri jurus dari Bu-tong-pai, tidak pernah ”
“Hai-tok, gurunya, yang mencuri!” Tiba-tiba terdengar Kui Eng berteriak marah. Seperti juga Lian Hong, sejak tadi wanita itu marah-marah dan kalau tidak disegah suaminya, tentu ia sudah maju dan menyerang Lee Song Kim.
Kembali Song Kim tersenyum. “Itu bukan urusanku, yang penting aku tidak mencuri. Tentu saja sebagai Thian-he Te-it Bu-hiap, aku harus melengkapi pengetahuanku mengenai ilmu silat. Nah, siapa yang masih merasa penasaran dan hendak menguji ilmuku, silakan maju.”
Sementara itu, kaum sesat yang memang sudah merasa kagum, ditambah semangat mereka oleh adanya Giok-liong-kiam di tangan Lee-kongcu, kini menjadi semakin kagum dan gembira melihat betapa orang yang hendak mereka angkat mejadi pimpinan itu dalam segebrakan saja mampu mengalahkan tokoh kuat dari Bu-tong-pai, bahkan dengan menggunakan jurus Bu-tong-pai pula! Hebat!
Para ketua dan wakil partai-partai tadinya seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai dan lain-lain tidak ada yang mau maju. Mereka menganggap bahwa tidak perlu melayani seorang yang gila kehormatan seperti Lee Song Kim itu. Pula, mereka tidak memperebutkan sesuatu.
Biarlah orang ini menjadi bengcu, mereka toh tidak akan mengakui dan hanya golongan sesat saja yang agaknya mengakuinya. Maka,yang dinamakan “bengcu” ini sama sekali bukan pemimpin rakyat, bukan pemimpin para tokoh dunia persilatan, melainkan memimpin orang-orang jahat dari golongan hitam!
Akan tetapi, karena tidak terikat oleh suatu aliran persilatan tertentu, dan karena merasa penasaran akan kesombongan orang she Lee yang mengangkat diri sendiri menjadi Thian-he Te-it Bu-hiap dan bengcu, masih ada dua orang ahli silat dari dunia persilatan yang bebas, berturut-turut maju dan menghadapi Lee Song Kim.
Tingkat kepandaian dua orang ini tidak lemah, bahkan masih lebih lihai dibandingkan Yauw Kang tadi. Namun, mereka itupun bukan lawan tangguh bagi Lee Song Kim dan dalam waktu kurang dari sepuluh jurus, seorang demi seorang dapat dirobohkan oleh Song Kim...