Pemberontakan Taipeng Jilid 10 karya Kho Ping Hoo - MEREKA tidak menderita luka parah, karena Song Kim yang cerdik dan sedang mencari dukungan itu tidak mau membuat orang membencinya dengan membuat lawan luka parah, apalagi tewas.

“Masih adakah di antara cuwi yang merasa bahwa aku tidak pantas menjadi Thian-he Te-it Bu-hiap dan menjadi bengcu? Kalau masih ada yang ragu-ragu dan ingin menguji kepandaian, silakan maju sebelum pertemuan ini dibubarkan.”
“Manusia sombong!” Kui Eng membentak. Biarpun bentakan itu bercampur dengan kegaduhan orang-orang yang memuji-muji Song Kim yang dengan amat mudahnya telah mengalahkan tiga orang lawan yang lihai itu.
Namun agaknya Song Kim dapat mendengarnya dan diapun menoleh ke arah Kui Eng. Memang terdapat perasaan suka dalam hati Song Kim terhadap Ciu Kui Eng ini. Belasan tahun yang lalu, ketika Kui Eng masih seorang gadis cantik jelita, pernah ia bersama Lian Hong dan Ci Kong menyamar untuk melakukan penyelidikan ke kota raja. Mereka bertemu dengan Lee Song Kim yang jatuh cinta kepada Kui Eng dan melamarnya!
Kui Eng tentu saja menolaknya dan Ci Kong yang marah-marah membuat penyamaran mereka terbuka dan mereka nyaris celaka. Kini, melihat wanita yang pernah dicintanya itu, diam-dim Song Kim tertarik. Dia sudah mendengar bahwa Ciu Kui Eng, murid Tee-tok itu, telah menikah dengan orang yang kini menjadi ketua Kang-sim-pang dan biarpun dia belum mengenalnya.
Namun dia dapat menduga bahwa pria yang gagah dan duduk di dekat Kui Eng itu tentulah ketua Kang-sim-pang yang menjadi suami Kui Eng itu. Dia tersenyum dan sengaja memandang kepada mereka ketika mengeluarkan kata-kata yang lantang.
“Benarkah tidak ada lagi orang gagah yang meragukan keunggulanku? Tidak ada lagi yang hendak menguji kepandaianku? Apakah karena tidak berani? Kami pernah mendengar bahwa perkumpulan Kang-sim-pang memiliki banyak orang gagah perkasa. Apakah tidak ada wakilnya di sini? Sudah lama sekali aku ingin bertemu, berkenalan dan membuktikan apakah kaki tangan mereka sama kerasnya dengan hati mereka!” Dengan ucapan ini Song Kim menyindir nama perkumpulan itu karena Kang-sim-pang berarti Perkumpulan Hati Baja!
Mendengar tantangn ini, tentu saja betapapun sabarnya, wajah Thio Ki menjadi merah sekali. Dialah yang ditantang dan dia tidak percaya apakah Lee Song Kim mengeluarkan kata-kata itu hanya kebetulan saja, agaknya memang sengaja melontarkan kata-kata itu untuk menantangnya? Dialah orang Kang-sim-pang, bahkan ketuanya!
Akan tetapi ada orang yang lebih panas hatinya dan lebih marah daripada dia ketika mendengar ucapan Song Kim itu. Orang itu adalah isterinya sendiri, Ciu Kui Eng! Memang sejak tadi Ku Eng sudah marah kepada Song Kim. Apalagi ketika mendengar tantangan yang jelas ditujukan kepada suaminya itu.
Ia mendahului suaminya, karena melihat kelihaian Song Kim, ia masih ragu apakah suaminya akan mampu menandingi manusia sombong itu. Song Kim adalah murid mendiang Hai-tok, maka ialah tandingannya, ia murid Tee-tok sehingga dapat dibilang bahwa ia setingkat dengan Song Kim. maka, melihat sikap suaminya yang menjadi marah, ia segera bangkit dan berseru nyaring.
“Lee Song Kim, manusia sombong, akulah lawanmu!” dan iapun hendak meloncat ke atas panggung.
Akan tetapi Thio Ki sudah memegang lengan isterinya dan mencegah. “Aku yang ditantang, biarlah aku yang akan menghadapinya!” kata Thio Ki.
“Tidak perlu engkau maju sendiri, akupun cukup untuk menghajarnya!” kata Kui Eng keras dan ia melepaskan pegangan tangan suaminya.
Thio Ki melepaskan tangan isterinya karena pada saat itu, banyak mata ditukukan kepada mereka. Thio ki maklum bahwa ucapan isterinya tadi sengaja untuk mengangkat dirinya karena banyak orang melihat dan mendengarnya. Isterinya sengaja mengatakan bahwa tidak perlu dia maju sendiri, biar isterinya yang maju menghajar Lee Song Kim.
Dengan ucapan itu seolah-olah isterinya hendak mengakui bahwa tingkat kepandaiannya lebih tinggi daripada tingkat isterinya. Padahal, di balik itu agaknya isterinya khawatir kalau-kalau dia tidak akan mampu menandingi song Kim! Kalau sampai dia kalah, tentu akan turun nama besar Kang-sim-pang!
Dia tahu benar bahwa isterinya lebih lihai darinya dan kalau sampai isterinya tidak mampu mengalahkan Song Kim, apalagi dia! Kekalahan isteinya, andaikata sampai kalah, tidak akan mengganggu kebesaran nama Kang-sim-pang, tidak seperti kalau dia sendiri sebagai ketuanya yang kalah. Maka. dengan terharu dan khawatir, dengan kedua tangan terkepal, dia duduk kembali dan melihat saja ketika isterinya meloncat naik ke atas panggung.Ciu Kui Eng adalah murid tunggal dari Tee-tok, seorang di antara Empat Racun Dunia yang menjadi datuk-datuk kaum sesat. Di antara ilmu-ilmu silatnya yang tinggi, juga Tee-tok amat terkenal oleh kehebatan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang istimewa. Ketika Tee-tok tertarik kepada Kui Eng yang ketika itu baru berusia dua belas tahun, dan bermaksud mengambil gadis itu sebagai muridnya.
Ayah Kui Eng, yaitu mendiang Ciu Lok Tai hartawan di Tung-kang, menguji Tee-tok dengan senjata api. Diserang dengan senjata api, Tee-tok dapat menyelamatkan diri, menghindar dengan ginkangnya yang luar biasa sehingga dia seolah-olah segesit burung walet yang sukar untuk ditembak!
Karena telah mewarisi ilmu dari gurunya, ketika melompat ke atas panggung, gaya lompatan Kui Eng bagaikan seekor burung walet melayang saja, demikian ringan dan cepatnya tubuh itu melayang ke atas lalu menyambar turun ke atas panggung tanpa mengeluarkan suara seolah-olah bukan tubuh manusia melainkan seekor burung yang hinggap di atas panggung, di depan Lee Song Kim!
Semua orang terkejut dan kagum, bahkan di antara para pendekar yang sudah mengenalnya, bertepuk tangan dengan penuh harapan. Mereka mengenal siapa Ciu Kui Eng karena gadis perkasa ini pernah menjadi pemimpin pasukan pejuang yang terdiri dari pekerja- pekerja pelabuhan. Bahkan Thio Ki, yang kini menjadi suaminya, ketika itu menjadi pembantunya yang paling tangguh.
“Hidup Ciu-lihiap!” terdengar beberapa orang berteriak gembira.
Akan tetapi Song Kim tersenyum dan sejenak menatap wajah wanita itu dengan senyum yang khas, senyum memikat, juga sinis karena diapun memandang rendah kepandaian wanita ini. Karena dia hendak mengambil hati banyak orang, maka dia menahan diri, tidak mau mengeluarkan kata-kata kasar. Bahkan dia cepat menjura dengan sikap sopan dan ramah.
“Maaf, nyonya. Tidak kelirukah ini? Suamimu berada di sana, dan dia adalah ketua Kang-sim-pang, kenapa tidak dia yang maju? Apakah engkau hendak mewakili dia karena engkau takut dia terluka? Ataukah engkau maju karena sebagai murid Tee-tok engkau hendak memperlihatkan kepandaian?”
Ucapan itu dikeluarkan dengan halus dan ramah, namun bagi Kui Eng tajam bagaikan pisau menyayat perasaannya. Mukanya menjadi semakin merah dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi tanda bahwa ia menjadi marah sekali.
“Lee Song Kim, sejak dahulu engkau memang seorang manusia yang sombong, besar kepala, licik, curang. Aku yang naik kesini untuk mencoba kepandaianmu, mengapa engkau menyebut-nyebut suamiku? Kalau engkau takut menghadapi aku, katakan saja, jangan memakai banyak alasan!” Ucapan Kui Eng inipun tajam dan mengandung sindiran.
“Aku? Takut? Ha-ha-ha, Thian-he Te-it Bu-hiap tidak perlu takut menghadapi siapapun juga, apalagi hanya seorang wanita seperti engkau, nyonya.” kata Song Kim sambil tertawa menutupi persaan tidak enak di hatinya.
Tentu saja dia tidak takut melawan Kui Eng, akan tetapi maksudnya tadi adalah untuk mengalahkan sumai wanita ini dan untuk memamerkan kepandaiannya kepada wanita yang pernah dicintanya ini, bukan untuk bertanding melawan Kui Eng! Dia tidak takut, sama sekali tidak. Dulupun dia tidak takut melawan murid Tee-tok ini, apalagi sekarang!
“Tak perlu banyak membual, nah, sambutlah seranganku ini!” bentak Kui Eng dan iapun sudah menerjang dengan gerakan yang cepat sekali sehingga tubuhnya lenyap dan hanya nampak bayangannya saja berkelebat ketika ia melakukan serangan ke arah Lee Song Kim.
Song Kim tentu saja tahu akan lihainya wanita murid Tee-tok ini, maka diapun tidak berani main-main dan cepat dia mengelak sambil menggerakkan keua tangannya menangkis dan balas menyerang. terjadilag serang menyerang yang seru dan sedemikain cepatnya sehingga hanya mereka yang memiliki ilmu tinggi saja dapat megikuti semua gerakan kedua orang itu.
Ci Kong dan Lian Hong, juga Ceng Hiang, dan tentu saja Thio Ki, mengikuti jalannya petandingan itu dengan penuh perhatian. Hati mereka terasa tegang karena memang perkelahian di atas panggung itu hebat sekali, berbeda sama sekali dengan ketika Song Kim melawan lawan-lawan yang tadi.
Ilmu silat Kui Eng sungguh tak boleh dipandang ringan, karena selain telah mewarisi ilmu-ilmu dari Tee-tok, juga wanita ini telah mendapatkan banyak pengalaman ketika ia aktip dalam perjuangan melawan pemerintah.
Dengan ginkangnya yang memang luar biasa, Kui Eng berusaha mendesak lawannya. Ia mengeluarkan jurus-jurus pilihan dari Ilmu Silat Cui-beng Sin-kun yang dipelajarinya dari Tee-tok. Ilmu silat ini merupakan ilmu silat andalan dari Tee-tok, gerakan-gerakannya amat dahsyat dan dimainkan mengandalkan kecepatan kilat disertai tenaga sinkang yang khusus dilatih untuk Ilmu Silat Cui-beng Sin-kun (Silat Sakti Pengejar Nyawa).
Namun, biar dia tidak pernah mendapat kesempatan mempelajari ilmu simpanan dari Tee-tok itu, Song Kim selalu dapat menghindarkan diri dengan elakan dan tangkisan. Harus diakuinya biarpun ia sudah menggembleng diri secara hebat selama ini, namun untuk dapat mengimbangi kecepatan dan keringanan tubuh Kui Eng, dia masih kalah setingkat.
Namun, kekalahan dalam hal ginkang ini tertutup oleh kelengkapan ilmu silatnya yang beraneka ragam dan terutama tenaga sinkangnya yang lebih kuat daripada Kui Eng. Karena itu, semua serangan Kui Eng yang betapapun cepatnya, semua kandas oleh elakan dan tangkisannya.
Bahkan ketika Song Kim mulai merobah-robah ilmu silatnya yang aneh-aneh dan serba tinggi, Kui Eng mulai terdesak. Wanita ini mengerahkan semua tenaga danmengeluarkan semua jurus simpanan, namun tetap saja ia sukar dapat membendung datangnya serangan yang serba aneh dan lihai itu.
“Lee Song Kim, lihat tongkatku!” tiba-tiba Kui Eng membentak dan nampak sinar hitam berkelebat dan tahu-tahu ia telah mengeluarkan sebatang tongkat seperti sepotong ranting saja yang panjangnya kurang lebih tiga kaki, dan begitunia menggerakkan ranting hitam ini, terdengar bunyi suara mengaung dan Song Kim terkejut.
Namun dia segera dapat menguasai dirinya dan mengelak ke sana sini, bahkan berusaha menangkap tongkat itu dengan tangannya yang kebal. Dia tentu saja sudah tahu bahwa keistimewaan Tee-tok adalah ilmu tongkat hitam yang disebut Cui-beng Hek-pang (Tongkat Hitam Pengejar Nyawa) dan agaknya dalam keadaan terdesak, Kui Eng kini mempergunakan ilmu tongkat itu. Namun, Song Kim tidak menjadi gentar.
Selama ini dia telah banyak mempelajari ilmu tongkat bahkan berhasil mempelajari ilmu tongkat dari Siauw-lim-pai yang terkenal tangguh, maka melihat permainan Kui Eng, diapun tahu bahwa ilmu yang dimainkan oleh Kui Eng mempergunakan sebatang ranting hitam itu adalah gabungan dari ilmu pedang dan ilmu tongkat pendek. Dan dengan tenang diapun menghadapi serangan lawan dengan kedua tangan kosong saja!
Biarpun dinpinggangnya terselip sepasang belati dan di punggungnya tergantung sebatang pedang, namun dia sengaja menghadapi lawan bersenjata ini dengan tangan kosong. Selain dia tidak ingin melukai wanita yang pernah dicintanya ini, juga dalam kesempatan ini dia dapat memamerkan kelihaiannya.
Dan memang dia hebat sekali. Ci Kong sampai bengong menonton perkelahian itu. Dia tahu betapa lihainya tongkat di tangan Kui Eng, namun tenyata Song Kim mampu menghadapin Kui Eng dengan tangan kosong saja dan sama sekali tidak nampak terancam atau terdesak!
Diam-diam dia membuat ukuran dan harus diakuinya bahwa dia sendiripun belum tentu akan mampu mengalahkan Song Kim dalam keadaannya sepeti sekarang ini. Laki-laki itu ternyata telah menggembleng diri dan memperoleh kemajuan yang hebat sekali, bahkan jauh lebih lihai dibandingkan dengan mendiang Hai-tok sendiri.
Apa yang dikhawaturkan Ci Kong menjadi kenyataan. Belum sampai tiga puluh jurus sejak Kui Eng mempergunakan tongkatnya menghadapi Song Kim, tiba-tiba Song Kim mengeluarkan bentakan nyaring, tangan kanan mencengkeram ke arah leher wanita itu, disusul tangan kiri merampas tongkat dan kaki kanan menendang ke arah perut. Hebat bukan main serangan ini, dilakukan dengan cepat dan dengan tenaga sinkang yang kuat.
Kui Eng terkejut. Kalau ia menghindarkan diri dari serangan cengkeraman dan tendangan yang beruntun, tongkatnya akan terampas. Kalau dipertahankannya tongkatnya, ia mungkin akan terkena oleh satu di antara serangan itu. Akan tetapi untuk melepaskan tongkatnya, merupakan pantangan baginya.
Terampas senjata tongkat yang diandalkannya sama saja dengan menyerah kalah! Maka, ia mengelak dengan menarik tongkatnya ke belakang, tangan kirinya menangkis cengkeraman, dan agar jangan sampai terkena tendangan, terpaksa ia menyambut tendangan itu dengan kakinya pula.
“Desss...!” Akibat adu tendangan ini, tubuh Kui Eng terlempar keluar dari atas panggung dan hanya dengan ginkangnya yang istimewa ini dapat berjungkir balik membuat salto sampai tiga kali maka ia tidak sampai terbanting dan dapat turun dengan kaki lebih dulu ke bawah panggung!
Terdengar sorak sorai menyambut kemenangan Song Kim ini. Kui Eng merasa penasaran dan hendak meloncat naik lagi, akan tetapi tiba-tiba suaminya sudah ada di dekatnya, menggandengnya dan mengajaknya kembali duduk ke tempat semula.
Lee Song Kim merasa gembira akan kemenangan itu, apalagi ketika melihat betapa makin banyak di antara tamu yang ikut menyambut kemenangannya. Biarpun demikian, dia melihat betapa banyak pula pendekar yang memandang kepadanya dengan alis berkerut. Juga Ceng Hiang berbisik-bisik dengan para panglima, lalu bangkit bersama suaminya.
“Karena pesta telah bubar dan kami tidak banyak waktu untuk menonton pameran kepandaian dan petandingan, kami akan pulang lebih dahulu,” katanya sambil menjura kepada Lee Song Kim.
Tuan rumah ini hanya tersenyum dan membalas dengan ucapan terima kasih. Perbuatan Ceng Hiang dan suaminya ini diturut oleh panglima lainnya, juga para pendekar yang tidak suka melihat kecongkakan Lee Song Kim, kini bangkit dan berpamit. Tak ketinggalan pula Ci Kong, Lian Hong, Kui Eng, Thio Ki, dan banyak lagi pendekar yang tidak mau mengakui orang seperti Lee Song Kim menjadi pemimpin kaum persilatan.
Akan tetapi yang masih tinggal di situ cukup banyak, lebih dari dua ratus orang tamu! Mereka ini adalah orang-orang yang termasuk golongan hitam. Mereka sudah lama haus akan pimpinan seorang datuk yang lihai, semenjak mundurnya Empat Racun Dunia dari dunia persilatan.
Mereka kini melihat sepak terjang Lee Song Kim, melihat betapa mudahnya Song Kim mengalahkan beberapa orang pendekar, bahkan telah mengalahkan pula pendekar Ciu Kui Eng yang terkenal amat lihai sebahai murid Tee-tok, mengalahkan dengan mudah pula, menghadapi pendekar wanita itu yang memegang senjata tongkat andalannya dengan tangan kosong saja.
Timbullah kekaguman dan harapan dalam hati golongan hitam untuk mengangkat Thian-he Te-it Bu-hiap itu sebagai pengganti para datuk, menjadi pemimpin dari kaum sesat sehingga golongan mereka akan menjadi jaya kembali.
Melihat ini, Lee Song Kim kembali mengeluarkan Giok-liong-kiam dari balik jubahnya. “Saudara-saudara, kalau kalian benar mengakui aku sebagai Thian-he Te-it Bu-hiap dan menjadi bengcu yang akan memimpin kalian, maka kalian harus memandang Giok-liong-kiam ini sebagai lambang kedudukanku, dan menghormati Giok-liong-kiam seperti menghormati diriku sendiri. Apakah kalian setuju?”
Dengan suara gemuruh, semua orang yang hadir di situ berseru, “Setujuu!!”
“Kalau kalian setuju, mulai sekarang, setiap kali Giok-liong-kiam ini nampak, kalian harus memberi hormat dengan berlutut!” kata pula Song Kim. “Siapa yang tidak setuju, boleh pergi dari sini atau boleh menentangku dan naik ke panggung ini. Yang setuju agar cepat berlutut, dan aku akan memimpin kalian membangkitkan kembali golongan kita seperti yang belum pernah terjadi selama ini!”
Seratus orang lebih itu lalu menjatuhkan diri berlutut, menghadap kepada Lee Song Kim, yang mengangkat Giok-liong-kiam tinggi-tinggi di atas kepalanya. Melihat ini, Song Kim tersenyum gembira. Tercapailah apa yang diidam-idamkannya. Dia telah diakui menjadi Thian-he Te-it Bu-hiap, bahkan diakui pula sebagai bengcu.
Biarpun masih ada para pendekar yang tidak atau belum mengakuinya, namun dia tadi telah memperlihatkan kepandaiannya dan buktinya tida ada lagi pendekar yang berani menentangnya. Andaikata kelak dia menghadapi tantangan mereka, dengan anak buah yang demikian banyak, dengan para tokoh golongan hitam di belakangnya, dia akan membasmi mereka semua!
Pada sat itu, melihat orang-orang yang berkepandaian tinggi dari golongan hitam menjatuhkan diri berlutut kepadanya, dia merasa seperti menjadi seorang raja besar yang menerima kehormatan dari semua anak buahnya.
Dengan hati penuh kebanggaan Song Kim menyimpan kembali Giok-liong-kiam dengan hati-hati ke dalam jubahnya. Benda itu junu merupakan lambang kekuasaannya dan dia harus menjaganya dengan hati-hati. “Bangkitlah kalian dan duduklah kembali. Kita lanjutkan pesta ini sampai semalam suntuk.”
Semua orang bangkit dan bersorak kegirangan, apalagi ketika Song Kim memerintahkan para anggauta Ang- hong-pai untuk melayani para tamu, juga mengeluarkan gadis- gadis penyanyi dan penghibur sehingga suasana pesta berbeda dari tadi.
Kini pesta itu penuh kegembiraan di mana beberapa orang tamu yang sudah mabok tidak mali-malu untuk menggoda anggauta Ang-hong-pai yang masih muda-muda dan berparas lumayan itu. Para tamu dari golongan sesat itu rata-rata adalah golongan kasar dan menjadi hamba dari nafsu mereka sendiri, golongan yang suka mengejar kesenangan melalui cara apapun juga.
“Aih, kenapa engkau mencegah aku melanjutkan pertandingan itu? Biar dia memang lihai sekali, akan tetapi aku tidak takut dan aku belum roboh!” Kui Eng menegur suaminya ketika mereka berada di kaki bukit bersama Ci Kong dan Lian Hong.
“Thio-pangcu benar,” kata Ci Kong kepada Kui Eng. “Dia sengaja hendak menimbulkan kesan dan memamerkan kepandaiannya. Tidak baik kalau tadi kita berkeras karena pertandingan yang diadakan hanya untuk menguji kepandaian saja, bukan untuk berkelahi mati-matian. Juga, di sana terdapat banyak panglima dan pembesar, dan kulihat Song Kim mempunyai banyak sekali anak buah. Bahkan sebagian besar para tamu adalah golongan sesat yang berpihak kepadanya.”
“Akan tetapi, sudah gatal-gatal pula tanganku hendak menghajar jahanam sombong itu !” kaya pula Lian Hong yang sama keras jatinya dengan Kui Eng.
“Apakah kita harus pergi begitu saja membiarkan dia menjadi bengcu dan menjadi seorang yang berani berjuluk Thian-he Te-it Bu-hiap?”
Ditegur oleh isterinya, Ci Kong tersenyum. Dia mengenal watak isterinya yang keras dan membenci kejahatan, juga mengenal watak Ciu Kui Eng yang kini menjadi isteri Thio Ki, pangcu (ketua) dari Kang-sim-pang itu.
“Tentang dia mengangkat diri menjadi Thian-he Te-it Bu-hiap, dan menjadi bengcu, biarkanlah saja. Dia boleh berjuluk apa saja, hal itu setiap orang mempunyai kebebasan, dan semakin tinggi dia menggunakan julukan, semakin nyeri kalau dia jatuh kelak. Juga dia boleh saja menjadi bengcu, karena hanya merupakan bengcu dari golongan hitam, bukan dalam arti kata pemimpin takyat yang sebenarnya. Akan tetapi ada dua hal yang tidak boleh dibiarkan begitu saja. Pertama, dia telah menguasai Giok-liong-kiam...”
“Hemm, bukankah pedang pusaka itu dulu milik kalian?” Kui Eng bertanya.
“Benar sejak dahulu pedang itu milik kami dan berada pada kami. Akan tetapi, pada suatu hari muncul Ong Siu Coan, beberapa tahun yang lalu. Dia meminjam pedang pusaka itu dan diberikan oleh suamiku,” kata Lian Hong, kini merasa menyesal mengapa pedang pusaka itu dipinjamkan kepada Ong Siu Coan.
“Kalianpun mengerti mengapa aku memberikan pedang itu kepadanya ketika dia meminjamnya,” kata Ci Kong kepada Thio Ki dan Kui Eng. “Ketika itu, dia bercita-cita untuk berjuang menumbangkan kekuasaan Pemerintah Mancu. Bukan hanya pedang pusaka Giok-liong-kiam kami pinjamkan untuk menarik bantuan para pendekar, bahkan kita semua juga ikut pula menyumbangkan tenaga, bukan?
"Baru setelah kita melihat penyelewengan pasukan Tai Peng, yang dibiarkan saja oleh Ong Siu Coan yang mulai menjadi gila kekuasaan, kita mengundurkan diri. Pedang itu masih ada padanya. Maka, sungguh mengherankan bagaimana Giok-liong-kiam dapat berada di tangan Lee Song Kim!”
“Dia mengatakan bahwa yang berada di tangan Ong Siu Coan itu palsu! Agaknya yang berada di tangannya itulah yang palsu,” kata Thio Ki.
Ci Kong menggeleng kepala. “Tidak, keduanya salah. Yang berada di tangan Ong Siu Coan jelas yang aseli karena dia menerimanya dari kami sendiri. Dan yang berada di tangan Song Kim tadipun bukan palsu!”
“Kalau begitu dia telah mencurinya dari Ong Siu Coan!” kata Kui Eng.
“Kurasa bukan begitu,” kata Lian Hong. “Lebih banyak kemungkinannya bahwa Song Kim diberi pinjam oleh Ong Siu Coan....”
“Mana mungkin? Bukankah antara Song Kim dan Kiki, bekas sumoinya itu, terdapat permusuhan?” Kui Eng membantah.
“Siapa tahu apa yang telah terjadi antara mereka? Mereka adalah orang-orang jahat dan tidak akan mengherankan kalau terjadi kerja sama antara Ong Siu Coan dan Lee Song Kim.” jawab Lian Hong.
“Bagaimanpun juga, kita harus merampas kembali Giok-liong-kiam. Selain itu, ada satu hal lagi yang harus kuselesaikan. Jelaslah kini bahwa orang she Lee yang melakukan pembunuhan atas diri orang-orang Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai, yang melakukan hal itu untuk mengadu domba antara kedua perkumpulan persilatan besar itu, bukan lain adalah Lee Song Kim. Aku tidak dapat membiarkan saja kejahatannya itu”
“Kalau begitu kalian hendak menentangnya? Kami akan membantu kalian!” kata Kui Eng penuh semangat. Suaminya mengangguk, setuju dengan pernyataan isterinya.
Ci Kong menarik napas panjang. “Terima kasih atas kebaikan hati kalian. Kalian adalah sahabat-sahabat baik kami sejak dahulu! Akan tetapi kita harus berhati-hati sekali. Lee Song Kim sekarang bukanlah yang dahulu. Dia telah memiliki ilmu silat yang tinggi dan beraneka ragam. Melihat perkelahian tadi saja, aku sendiri meragukan apakah akan mampu menandinginya.”
“Aku tidak takut!” Lian Hong penasaran. “Kalau kita maju berdua, apalagi berempat, tentu dia akan mampus!”
“Kita tidak boleh sembrono menurutkan perasaan marah,” kata pula Ci Kong. “Ingat bahwa dia mempunyai banyak anak buah, dan aku melihat Theng Ci di sana. Dan mengingat bahwa Theng Ci adalah tokoh besar Ang-hong-pai, melihat pula gerak-gerik para pelayan wanita yang gesit-gesit, maka aku menduga bahwa merekapun adalah para anggauta Ang-hong-pai.
"Agaknya Song Kim telah bekerja sama dengan Ang-hong-pai, atau kalau melihat sikapnya, boleh jadi dia telah menguasai Ang-hong-pai. Dan para anggauta itu menjadi anak buahnya. Nah, sekarang dia dibantu lagi oleh banyak orang sesat yang lihai, bagaimana kita boleh sembarangan saja? Kita harus menanti saat yang baik, untuk merampas kembali Giok- liong-kiam dan kalau mungkin membasminya.”
Mereka lalu berunding dan mengatur siasat, akan tetapi belum juga mendapatkan cara terbaik untuk menyerbu tempat tinggal sementara Lee Song Kim yang penuh dengan orang-orang golongan hitam itu. Mereka dapat menduga bahwa tempat itu hanya merupakan tempat sementara saja dan mereka belum tahu di mana letaknya sarang yang sesungguhnya dari Lee Song Kim.
Selagi mereka berunding nampak bayangan berkelebat. Empat orang pendekar itu berloncatan, siap siaga menghadapi musuh. Akan tetapi ternyata yang muncul adalah seorang wanita yang cantik sekali dan berpakaian mewah. Wanita yang sudah mereka kenal baik karena ia adalah Ceng Hiang, puteri pangeran yang menjadi isteri Yu Kiang itu. Mereka merasa lega dan gembira.
Biarpun ia keluarga bangsawan tinggi yang tinggal di kota raja, namun Ceng Hiang merupakan seorang kenalan lama yang mereka kagumi. Ceng Hiang ini merupakan satu-satunya orang yang mewarisi beberapa macam ilmu keluarga Pulau Es yang mereka kenal, dan di luar pengetahuan mereka, ayah wanita inipun telah menemukan kitab peninggalan Tat Mo Couwsu yang kemudian dipelajari dan dilatih oleh Ceng Hiang, yaitu kitab yang berisikan Ilmu Pek-seng Sin-pouw (Langkah Ajaib Seratus Bintang).
“Ah, kiranya kalian sedang berbincang-bincang di sini!” kata Ceng Hiang.
“Pantas aku menanti kalian di bawah sana tetap juga belum muncul. Agaknya urusan amat penting yang kalian bicarakan di sini!”
Ci Kong dan lain-lain saling pandang dan melalui pandang mata, mereka mufakat untuk membuka rahasia mereka kepada wanita yang mereka hormati ini.
“Kami sedang bicara tentang jahanam Lee Song Kim itu!” kata Lian Hong.
“Tentang pedang Giok-liong-kiam yang berada di tangannya?” tanya Ceng Hiang dan kini ci Kong yang menjawab.
“Bukan hanya tentang pedang itu, akan tetapi juga tentang perbuatannya membunuh orang-orang Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai untuk mengadu domba. Kami sedang mencari siasat untuk dapat menyerbu ke tempatnya, merampas kembali pedang dan membasmi manusia jahat itu.”
“Aih, kalau begitu sungguh kebetulan sekali!” Ceng Hiang berseru gembira sambil duduk di atas akar pohon yang menonjol di atas tanah. “Mari kita duduk dan berunding. Aku memang mencari kalian untuk minta bantuan kalian menghadapi Lee Song Kim!”
“Ehhh?” Kui Eng berseru. “Apa maksudmu?”
“Duduklah, dan dengarkan rencana kami.” semua orang duduk dan memandang wajah yang cantik jelita itu ketika Ceng Hiang mulai bercerita.
“Tadi ketika meninggalkan tempat pesta, aku dan suamiku mengajak para panglima berunding dan kami bersepakat untuk mencurigai Lee Song Kim sebagai sekutu Tai Peng. Aku sudah mendengar bahwa Giok-liong-kiam terjatuh ke tangan Ong Siu Coan, dan kini melihat kenyataan bahwa pedang pusaka itu berada di tangan Lee Song Kim, maka kami merasa yakin bahwa dia tentu bersekongkol dengan Ong Siu Coan.
"Agaknya orang gila itu menugaskan Lee Song Kim untuk menarik para tokoh dunia persilatan agarndapat membantu gerakan Tai Peng yang kini macet sampai di selatan Sungai Yang-ce-kiang saja setelah ditinggalkan oleh para pendekar yang pernah membantunya.”
Sampai di sini, Ceng Hiang memandang kepada mereka dan empat orang pendekar itu merasa tidak enak. Bagaimanapun juga, mereka pernah juga membantu Ong Siu Coan dan ucapan Ceng Hiang itu seperti menyindir mereka.
“Aku tahu bahwa para pendekar telah tertipu oleh Ong Siu Coan,” sambung Ceng Hiang yang agaknya mengerti akan isi hati mereka.
“Dan karena ditinggal oleh para pendekar, Ong Siu Coan agaknya hendak mengumpulkan kekuatan dengan perantaraan Lee Song Kim.”
Thio Ki mengangguk-angguk. “Agaknya dugaan itu memang memiliki kemungkinan besar sekali.” Yang lain-lain juga mengangguk.
“Lalu apa maksudnya bantuan kami dibutuhkan?” tanya Ci Kong meragu.
“Kami telah bersepakat dengan para panglima bahwa Lee Song Kim harus dibasmi, agar kekuatan Tai Peng tidak bangkit kembali. Malam ini kami akan menyerbu dengan menggunakan pasukan besar, dan kuharap kalian suka membantu kami, mengingat betapa lihainya Lee Song Kim dan dia mempunyai banyak pembantu yang berilmu tinggi.”
“Akan tetapi.... bagaimana mungkin kami harus membantu pasukan pemerintah?” Kui Eng berseru. “Maaf, engkau tentu mengerti kedudukan kami,” katanya sambil memandang kepada puteri yang cantik itu.
Cheng Hiang tersenyum manis. “Engkaupun tentu tahu pula bagaimana pandanganku tentang penjajahan dan perjuangan rakyat yang gagah, kalau tidak begitu, bagaimana kita dapat menjadi sahabat? Akan tetapi, aku bukan minta kalian untuk membantu pasukan pemerintah, melainkan untuk bekerja sama karena bukankah kita mempunyai kepentingan masing-masing?
"Kalian hendak merampas kembali Giok-liong-kiam dan membasmi orang jahat, sedangkan pasukan pemerintah hendak melumpuhkan Tai Peng yang kalian juga tahu bukan merupakan pasukan pejuang rakyat yang bersih. Nah, dua kepentingan yang berbeda ini, apa salahnya kalau mendekatkan kedua pihak untuk menghadapi lawan yang tangguh?”
Empat orang itu saling pandang, kemudian Ci Kong yang mengangguk. “Kurasa ada benarnya pendapat itu. Kalau kita bergerak bersama pasukan pemerintah menyerbu malam ini, bukan berarti kita membantu pasukan pemerintah, melainkan kita menghadapi Lee Song Kim. Kita tidak bekerja sama melainkan kebetulan saja mempunyai kepentingan masing-masing untuk menentang Lee Song Kim. Aku setuju, terserah kepada yang lain.”
Lian Hong, Kui Eng, dan Thio Ki akhirnya menyetujui juga. Mereka tadi sedang kebingungan, belum mendapatkan siasat yang tepat untuk menghadapi Lee Song Kim dan anak buahnya yang banyak, dan kini tiba-tiba saja mereka seperti mendapat bantuan yang amat kuat, yaitu pasukan besar tentara, bahkan tentu saja dibantu oleh Ceng Hiang yang mereka tahu amat lihai ilmu silatnya!
“Akan tetapi kenapa harus malam nanti? Tidakkah lebih baik sekarang saja kita menyerbu?” Kui Eng mengajukan usul.
“Para pnglima kini sedang mempersiapkan pasukan. Tanpa pasukan, kita kalah kuat karena menurut penyelidikan yang kusuruh lakukan, sekarang ini sisa para tamu, lebih dari seratus orang, masih berada di sana dan mereka itu adalah golongan hitam yang telah setuju mengangkat orang she Lee itu menjadi pemimpin mereka.”
Terpaksa Kui Eng dan yang lain-lain bersabar, dengan kekuatan mereka saja, biar ditambah oleh Ceng Hiang sekalipun, mana mungkin menghadapi Lee Song Kim yang sudah mempunyai anak buah yang kuat, kini ditambah lagi orang-orang golongan hitam yang seratus orang lebih jumlahnya?
“Mengingat akan kekuatan pihak lawan, kami akan mengerahkan sedikitnya lima ratus orang. Pasukan itu akan menyerbu, sedangkan kita akan menghadapi Lee Song Kim bersama para pembantunya,” kata pula Ceng Hiang. “Nah, sekarang aku harus kembali dulu untuk membantu para panglima mengatur pasukan, dan mengabarkan bahwa kalian sudah siap untuk membantu....”
“Eh..... nyonya Yu, maafkan,” kata Ci Kong. “Harap jangan katakan apa-apa kepada para penglima. Kami akan menentang Lee Song Kim, akan tetapi bukan berarti membantu pasukan Ceng, maka biarlah kami bersiap-siap di dekat sarang musuh dan menanti tibanya penyerbuan, baru kami akan bertindak.”
Ceng Hiang tersenyum dan mengangguk-angguk. “Kalian tidak mau dikatakan membantu pasukan pemerintah. Aku mengerti dan baiklah. Sampai jumpa malam nanti, di tempat pertempuran.” Wanita cantik itu lalu berkelebat dan lenyap di antara pohon-pohon.
Setelah Ceng Hiang pergi, dua pasang suami isteri itu lalu mendaki bukit dan menyusup-nyusup di antara semak-semak belukar dan pohon-pohon agar jangan sampai kelihatan dari atas.
“Harap ingat baik-baik, kita sama sekali tidak boleh membantu perajurit pasukan kerajaan Ceng, dan kita hanya menyerang Song Kim dan mereka yang membantunya, berusaha merampas kembali Giok-liong-kiam dan kalau dapat membunuh orang jahat itu. Sebelum dia mati, tentu ada saja ulahnya untuk mendatangkan kekacauan di dunia ini,” pesan Ci Kong kepada yang lain.
Setelah tiba di luar perkampungan itu, mereka bersembunyi sambil mengintai, menanti sampai pasukan pemerintah datang menyerbu. Sampai lama mereka menanti, dan setelah cuaca menjadi gelap benar, pendengaran mereka yang tajam mulai menangkap pergerakan dari bawah bukit. Gerakan itu datang dari empat penjuru dan diam-diam mereka merasa girang.
Sekali ini Lee Song Kim pasti tidak akan dapat lolos lagi karena tempat itu telah dikepung dari empat penjuru oleh pasukan yang amat besar jumlahnya, sedikitnya lima ratus orang menurut pemberitahuan Ceng Hiang tadi. Mereka menanti dan makin mendekati pintu gerbang karena mereka ingin cepat-cepat menyerbu dan mencari Lee Song Kim.
Dari luar pintu gerbang masih terdengar suara alat musik mengiringi nyanyian suara gadis-gadis penyanyi, diseling suara ketawa dan jerit-jerit kecil suara wanita, tanda bahwa pesta itu mulai kasar dan banyak yang sudah mabok bersikap terlalu bebas dengan para pelayan wanita. Mendengar jerit-jerit wanita dan suara ketawa-ketawa itu, Lian Hong dan Kui Eng saling pandang dengan muka merah dan mereka merasa semakin marah kepada Lee Song Kim.
Mereka tidak tahu bahwa sebetulnya Lee Song Kim bukan orang sekasar itu, bahkan tidak suka mabok-mabokan dan menggoda wanita di depan umum seperti yang dilakukan para tamu yang kini menjadi anak buahnya itu. Namun, dia hendak menyenangkan hati orang-orang itu, maka diapun tidak melarang, hanya mengundurkan diri ke dalam kamarnya dan membiarkan mereka bersenang-senang sesuka hatinya semalam suntuk.
Selagi dia duduk termenung, menikmati keberhasilannya hari itu, tiba-tiba dia mendengar suara dari luar jendela kamarnya. Jendela itu diketuk orang. Diam-diam dia terkejut. Kalau ada orang mampu mendekati jendela kamarnya tanpa dia mendengarnya sejak tadi, jelas bahwa orang itu memiliki ginkang yang cukup hebat. Dia menghampiri jendela, akan tetapi menahan diri untuk membuka daun jendela. Jangan- jangan seorang musuh yang datang pikirnya.
“Siapa di luar jendela?” tanyanya perlahan.
Sejenak tidak ada jawaban, lalu terdengan suara yang parau namun terdengar jelas dari dalam kamar, “Apakah Lee-kongcu yang berada di dalam? Aku ingin bicara dengan Lee-kongcu, penting sekali, karena Lee-kongcu berada dalam bahaya maut!"
Song Kim terkejut, akan tetapi dia lalu mengeluarkan suara ketawa. “Hemmm, siapa engkau? Jangan mencoba untuk menakut-nakuti aku! Hayo jawab, siapa engkau?”
“Aku she Lui, kongcu tidak mengenalku, akan tetapi aku mengenalmu, Lee-kongcu. Aku adalah satu di antara tangan kanan dan kepercayaan Sribaginda Raja Yang Maha besar di Nan-king.”
“Tai peng....??” Song Kim bertanya heran dan kaget. Mau apa orang Tai Peng malam-malam begini menyusup ke sini? Dia lalu teringat akan Giok-liong-kiam dan otomatis tangannya meraba benda pusaka yang berada di balik jubahnya itu. Tentu Ong Siu Coan mengutus orang pandai untuk mencoba merampas kembali pusaka itu, tentu mata-mata Tai Peng melihatnya dan kini Tai Peng mulai bertindak. Akan tetapi dia tidak takut.
“Benar, kongcu. Aku she Lui adalah seorang perwira tinggi Tai Peng yang memimpin pasukan mata-mata Tai Peng. Aku menjadi utusan pribadi Sribaginda dan perlu sekali bicara denganmu, sebelum terlambat. Biarkan aku masuk!”
“Hemm, takut apa?” Timbul kecongkakan hati Song Kim dan diapun berkata. “Kalau engkau berkepandaian tentu dapat masuk sendiri. Aku menanti di dalam kamar ini!”
Sunyi sejenak, kemudian terdengar suara tadi berkata. “Baiklah, Lee-kongcu. Maafkan aku!”
Tiba-tiba saja daun pintu itu terdorong dari luar dengan amat mudah, tahu-tahu terbuka dan sesosok bayangan berkelebat loncat ke dalam kamar. Begitu bayangan itu tiba di tengah kamar, sebatang pedang sudah menodong lambungnya dari samping. Orang itu sama sekali tidak bergerak, juga tidak menoleh kepada Song Kim yang telah menodongkan pedangnya itu, melainkan berkata,
“Ah, aku datang untuk menyelamatkan nyawa Lee-kongcu, akan tetapi malah disambut dengan menodongkan pedang!”
Song Kim melihat orang itu masuk tanpa memegang senjata dan tidak mencurigakan sama sekali, maka diapun menarik kembali pedangnya. Akan tetapi dia belum menyarungkan pedangnya ketika berkata, “Maaf, aku tidak mengenalmu dan engkau datang begini mengejutkan dan tiba-tiba. Tentu saja aku menjadi curiga.“
Dia lalu menuding ke arah sebuah kursi dan orang itupun duduk berhadapan dengan tuan rumah yang duduk pula di atas kursi. Mereka berhadapan dan Song Kim melihat bahwa orang itu usianya kurang lebih lima puluh tahun, tubuhnya tinggi kurus dan sepasang matanya tajam bersinar-sinar, didahinya terdapat bekas luka memanjang dan melintang.
“Nah, ceritakan, engkau she Lui dan menjadi utusan Sribaginda Raja di Nan-king, Maksudmu utusan Ong Siu Coan pemimpin balatentara Tai Peng?”
“Benar, Lee-kongcu.”
“Nah, katakan ada keperluan apa?”
“Kongcu, Sribaginda sendiri yang memerintahkan aku untuk cepat menolong kongcu dan semua tamunya, akan tetapi dengan syarat bahwa kalau kongcu dan para tamu dapat diselamatkan, terutama kongcu sendiri, kongcu harus ikut dengan kami menghadap Sribaginda Raja di Nan-king. Beliau ingin sekali bertemu dengan Thian-he Te-it Bu-hiap yang menjadi bengcu baru!”
Song Kim tersenyum dan membayangkan wajah Ong Siu Coan. Seorang yang hebat, dapat mengangkat diri sedemikian tingginya sampai menjadi raja besar! Dan terbayang pula wajah Tang Ki atau Kiki, sumoinya yang manis itu, dan senyumnya melebar.
“Akan tetapi sebelum aku menerima syarat itu, perlu aku mengetahui lebih dahulu, bahaya apa yang mengancam diriku dan bagaimana engkau akan dapat menyelamatkan aku?” Song Kim masih tidak percaya dan mengira banwa tentu Ong Siu Coan hendak menipunya.
“Kongcu, tidak ada banyak waktu. Ketahuilah bahwa tempat ini telah dikepung oleh pasukan pemerintah Mancu!”
“Apa....?!” Song Kim meloncat dan mendekati jendela untuk menjenguk keluar. “Kami akan melawan..."
“Jangan tergesa-gesa, kongcu. Yang dikepung adalah bukit ini dan sebanyak paling sedikit lima ratus orang perajurit mengepung dari empat penjuru. Berapa banyaknya anak buah kongcu? Paling banyak seratus orang lebih! Bagaimana akan mampu menahan serbuan ratusan, mungkin mendekati seribu orang pasukan yang sudah terlatih perang? Dan jangan lupa, ada pendekar-pedekar sakti yang ikut membantu, dan pasukan itu sendiri dipimpin oleh Nyonya Yu Kiang yang sudah terkenal kelihaiannya!”
“Ceng Hiang...!"
“Benar, kongcu.”
“Aku tidak percaya!” Akan tetapi tiba-tiba terdengar lapat-lapat bunyi terompet dan wajah Song Kim berubah pucat.
“Nah, agaknya tidak banyak waktu pula untuk mengadakan pemilihan, kongcu. Kalau kongcu menerima syarat itu, aku akan mengerahkan pasukan mata-mata Tai Peng yang sudah siap untuk membantu sampai kongcu dapat meloloskan diri, kalau tidak, aku akan meninggalkan kongcu dan teman-teman dibasmi oleh pasukan Mancu, Bagaimana?”
Memang tidak ada pilihan lain bagi Song Kim. Dia tahu benar. Tentu saja dia merasa sungkan dan khawatir untuk dibawa menghadap Ong Siu Coan yang kini telah menjadi seorang raja besar, akan tetapi dia adalah seorang yang amat cerdik. Kalau Ong Siu Coan sampai mau bersusah payah mengirim orang-orangnya untuk menolongnya dari ancaman bahaya ini, tidak mungkin raja itu mengandung niat jahat terhadap dirinya. Tidak ada lain pilihan.
“Baik. Aku menerima syarat itu, lalu bagaimana sekarang? Bagaimana engkau akan dapat menolongku?”
“Biarkan para tamu yang rata-rata memiliki kepandaian itu mengadakan perlawanan dari dalam. Padamkan semua api dan penerangan dan melakukan pertempuran dengan berpencar agar kekuatan musuh yang lebih besar menjadi kacau. Ingat bahwa kekuatan kamipun hanya seratus orang lebih pasukan kita melawan musuh yang tiga empat kali lebih banyak.
"Kami akan menyerang dari luar sehingga kita menjepit pasukan musuh. Kongcu sendiri agar menyamar dan menyusup ke arah barat. Dengan kepandaian kongcu, hal itu tidak akan sukar kalau saja kongcu tidak dikenal. Di bawah bukit, kami akan menyiapkan kuda untuk kongcu pakai. Ada apalagi yang ingin kongcu tanyakan?”
Suara pasukan musuh kini makin terdengar gemuruh dan keadaan para tamu mulai panik karena merekapun mendengar suara itu. “Tidak ada apa-apa lagi,” kata Song Kim.
“Ingat, kalau kongcu melarikan diri lalu tidak memenuhi janji, pasti Sribaginda tidak akan berhenti sebelum dapat menangkap kongcu dan menjatuhkan hukuman!” Setelah berkata demikian, orang tinggi kurus itu meloncat keluar jendela dan lenyap.
Daun pintu diketuk orang dari luar, Song Kim cepat membuka daun pintu dan Theng Ci sudah berada di depan pintu bersama beberapa orang pembantunya, yaitu Tiat-pi Kim-wan, Seng-jin Sin-Touw, dan Sin-kiam Mo-li, juga beberapa orang tamu. mereka nampak gelisah.
“Kongcu, menurut penyelidikan kami, kita telah dikepung oleh pasukan pemerintah Mancu yang jumlahnya besar sekali, dikepung dari empat penjuru dan mereka kini sedang mendaki, sudah sampai di lereng terakhir,” kata Theng Ci.
Setelah daun pintu terbuka, nampak oleh Song Kim betapa semua tamu sudah bangkit berdiri dengan wajah tegang, suara musik dan nyanyian sudah terhenti. Para gadis penyanyi berjongkok dan berkumpul dengan muka pucat dan tubuh menggigil. Akan tetapi, para anggauta Ang-hong-pai nampak tetap tenang dan tabah, demikian pula para tamu walaupun wajah mereka membayangkan ketegangan.
Song Kim mengangguk. “Tenanglah, aku sudah tahu!” katanya dan diapun cepat keluar, berdiri di atas meja menghadapi para tamunya dan anak buahnya. “Pasukan pemerintah mengepung tempat ini. Jangan khawatir, walaupun jumlah mereka lebih banyak, kita tidak perlu takut. Bahkan kita akan memperlihatkan tindakan kita pertama kali sejak kalian mengangkat aku menjadi bencu!
"Kita tidak akan kalah, karena kita akan dibantu oleh pasukan sahabat yang akan bergerak dari luar. Kalau pertempuran sudah berlangsung, selanjutnya kalian harap bergabung dengan pasukan pembantu dan bersama mereka melawan pasukan Mancu.
"Dan kalian harus mentaati siasat yang diperintahkan oleh komandan pasukan pembantu. Sekarang, padamkan semua penerangan dan api, kemudian menyebarlah. bersembunyi dan menyerang secara tiba-tiba jika ada tentara musuh mendekat. Dengan demikian, mereka tidak akan dapat melakukan penyerbuan terarah. Sudah mengerti semua?”
Semua orang mengangguk. “Akan tetapi, dalam pertempuran berpencaran, bagaimana kami dapat menghubungi kongcu?” Theng Ci bertanya khawatir.
“Ikuti saja petunjuk komandan pasukan pembantu dan kita akan bertemu lagi setelah lolos dari ancaman bahaya. Nah, lakukanlah perintahku sekarang juga, mereka sudah dekat!”
Theng Ci dan para pembantu lainnya, juga para tamu, cepat memadamkan api dan lampu penerangan, sedangkan Lee Song Kim cepat lari ke dalam untuk mengumpulkan barang-barang yang perlu dibawa. Akan tetapi karena tempat itu hanya merupakan tempat sementara yang dipakainya untuk mengadakan pertemuan, tidak banyak yang dibawanya.
Pedang Giok-liong-kiam disembunyikan di balik jubahnya yang kini ditutup oleh jubah lain yang agak tua sehingga pakaiannya yang serba indah tertutup. Juga dia menanggalkan hiasan rambut dari emas permata, lalu mengikat rambutnya dengan pita biasa, bahkan menyembunyikan sepasang belati dan pedangnya agar dia tidak dikenal orang. Setelah itu, dia memadamkan lampu di dalam rumah itu dan menyelinap keluar. Ternyata di luar sudah mulai terjadi pertempuran!
Para perajurit Kerajaan Ceng menjadi terkejut juga menghadapi penyambutan yang gigih itu. Karena orang-orang yang mereka serbu itu berpencar dan tidak bergerombol, bahkan menyerang mereka dari tempat-tempat tersembunyi, pasukan itu terkejut dan banyak di antara mereka yang menjadi korban serangan mendadak dari tempat tersembunyi. Apalagi keadaan amat gelap sehingga sukarlah mengenal mana kawan mana lawan.
Menghadapi perlawanan musuh, Ceng Hiang dan para panglima segera memberi aba-aba kepada para perajurit yang berada di belakang untuk menyalakan obor. Keadaan menjadi terang dan kini mulailah terjadi pertempuran yang tidak seimbang. Segera setiap orang dari golongan hitam yang menjadi anak buah Lee Song Kim, dikepung oleh tiga empat orang dan terjadi perkelahian mati-matian di bawah sinar ratusan buah obor.
Ci Kong, Lian Hong, Thio Ki dan Kui Eng tidak mempedulikan pertempuran antara pasukan pemerintah melawan orang-orang golongan hitam itu. Mereka tidak mau membantu, bahkan cepat berloncatan masuk ke dalam perkampungan itu untuk mencari Song Kim. Setelah mereka tiba di depan rumah, di taman mana tadi diadakan pesta, rumah yang gelap, Ci Kong membentak, “Lee Song Kim, keluarlah, dan kembalikan Giok-liong-kiam kepadaku!”
Sunyi saja di rumah yang gelap itu. Thio Ki menyambar sebatang obor dari tangan seorang perajurit dan berkata, “Mari kita serbu!”
Dia berada di belakang membawa obor agar tidak diserang secara mendadak dari dalam rumah. Ci Kong menendang daun pintu depan dan mereka berempat menyerbu masuk. Akan tetapi, rumah itu kosong. Mereka cepat mencari keluar, di antara mereka yang berkelahi, namun tidak nampak bayangan Song Kim ! Sementara itu, pasukan pemerintah menjadi kacau ketika mendadak mereka mengalami penyerbuan dari bawah puncak bukit, dan pertempuran menjadi semakin seru.
“Ah, jahanam itu tidak ada lagi!” kata Ci Kong dengan heran, penasaran dan juga kecewa.
“Si licik pengecut itu tentu sudah tahu akan bahaya dan telah melarikan diri,” kata Lian Hong.
“Bedebah!” Kui Eng memaki dengan kecewa. Mereka berempat masih terus berputar-putar mencari, sama sekali tidak mau mencampuri pertempuran, akan tetapi seperti yang mereka khawatirkan, sama sekali tidak nampak bayangan Lee Song Kim.
Ketika mereka melihat bahwa dari luar datang pasukan orang-orang lihai menyerbu, dan biarpun mereka yang jumlahnya kurang lebih seratus orang itu tidak berpakaian perajurit, dari cara merela melakukan penyerangan dengan teratur menunjukkan bahwa mereka adalah sebuah pasukan yang terlatih dan teratur.
“Hemm, agaknya mereka adalah pasukan mata-mata Tai Peng,” kata Thio Ki dan yang lain menyetujui.
“Kita tidak perlu terlibat dalam pertempuran di antara mereka. Mari kita pergi, turun bukit dan mencari jahanam she Lee itu,” kata Ci Kong.
Mereka lalu berlari turun gunung merobohkan siapa saja yang mencoba untuk menghalangi mereka, baik perajurit Tai Peng maupun perajurit pemerintah. Akan tetapi, usaha mereka mencari Lee Song Kim sia-sia. Orang itu sudah hilang entah ke mana, mereka sama sekali tidak menduganya. Akan tetapi, Ci Kong mendekati kenyataan ketika dia berkata kepada tiga orang lainnya.
“Sungguh aneh sekali munculnya pasukan Tai Peng itu. Mereka membantu Lee Song Kim dan anak buahnya! Agaknya dugaan Ceng Hiang memang tepat. Lee Song Kim tentu telah bersekongkol atau menjadi pembantu Ong Siu Coan yang sengaja meminjamkan Giok-liong-kiam kepadanya untuk dapat menarik tenaga bantuan golongan hitam yang memiliki ilmu silat tinggi. Kalau begitu halnya, agaknya dia melarikan diri ke Nan-king!”
“Wah, kalau dia sudah berada di istana raja baru itu, mana mungkin kita dapat menyusulnya?” kata Thio Ki.
Ci Kong mengepal tinju. “Sungguh merupakan kebodohan besar bagiku yang dulu percaya kepada Ong Siu Coan dan menyerahkan Giok-liong-kiam untuk dipinjamnya. Bagaimanapun juga, aku harus dapat merampas kembali pedang pusaka itu, entah dengan cara bagaimana!”
“Kita tidak perlu datang ke sana, karena orang seperti dia berhati palsu. Kalau kita datang berkunjung dan meminta kembali pedang itu dari Ong Siu Coan, tentu kita akan ditangkap. Dan diistananya, kita tidak akan mampu berbuat apapun,” kata Lian Hong yang merasa khawatir kalau-kalau suaminya akan nekat mengejar ke Nan-king.
“Aku mendengar bahwa kini terdapat gerakan baru dari rakyat jelata yang menentang Kerajaan Tai Peng karena ternyata pasukan-pasukan Tai Peng banyak menyengsarakan rakyat dengan perbuatan mereka yang tiada ubahnya seperti para perampok biasa.” kata Kui Eng.
Ci Kong menarik napas panjang. “Sungguh menyedihkan sekali nasib rakyat jelata. Sudah dihisap oleh pemerintah Mancu yang menjajah, dirongrong dan diracun pula orang-orang kulit putih dari barat, kini bahkan ditambah lagi dengan penindasan perampok-perampok Tai Peng. Begitu banyaknya penindasan yang diderita rakyat. Bangkit dan berjuangpun amatlah beratnya karena hanya menghadapi tiga kekuatan yang besar dan menekan itu.” thio ki menarik napas panjang.
“Memang berat sekali. Kalau rakyat bangkit berarti ada empat kekuatan yang saling serang, dan akibatnya, rakyat sendirilah yang paling menderita. Orang kulit putih yang paling beruntung, menjual senjata je kanan kiri, membiarkan bangsa kita terpecah belah dan saling bunuh. Ah, kita hanya dapat mengharapkan munculnya seorang pemimpin besar yang ditunjuk oleh Thian untuk dapat membebaskan rakyat dari kesengsaraan yang bertumpuk.”
Dengan hati kecewa dan menyesal empat orang itu akhirnya saling berpisah, pulang ke tempat tinggal masing-masing setelah berjanji untuk bertemu lagi kalau tiba saatnya di mana tenaga mereka dapat disumbangkan untuk perjuangan membela rakyat.
Sementara itu pertempuran antara pasukan pemerintah Ceng melawan pasukan Tai Peng yang kini bergabung dengan anak buah Lee Song Kim, berlangsung dengan serunya. Biarpun para pembantu Lee Song Kim rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi, namun di pihak pasukan pemerintah terdapat Ceng Hiang yang mengamuk bagaikan seekor naga betina, dan jumlah pasukan pemerintah kurang lebih tiga empat kali lipat banyaknya.
Akhirnya pasukan Tai Peng bersama golongan sesat terpaksa melarikan diri meninggalkan lebih dari sepertiga bagian orang mereka yang tewas dan terluka parah. Juga di pihak pasukan pemerintah banyak korban jatuh dalam pertempuran hampir setengah malam lamanya itu. Pasukan Tai Peng melarikan diri ke selatan dan setelah tiba di perbatasan, pasukan Kerajaan Ceng yang melakukan pengejaran terpaksa mundur kembali karena di perbatasan terdapat penjagaan pasukan Tai Peng yang kuat.
Bagaikan seorang dusun yang baru pertama kali memasuki kota, Sheila dan Han Le yang dikawal oleh Tang Ciangkun memasuki istana di Nan-king itu. Sheila adalah seorang wanita kulit putih yang tenu saja sudah sering melihat gedung-gedung mewah, bahkan di waktu gadisnya ia tinggal di rumah orang tuanya yang cukup mewah.
Namun, begitu memasuki istana ini, ia takjub bukan main. segala benda yang berada di dalam istana ini demikian antik dan tentu berharga mahal sekali. Guci-guci bergambar yang kuno dan indah, tempat-tempat bunga dan patung-patung dari batu kemala, dinding berukir dan ada pula dari marmer berkembang mengkilap.
Cermin-cermin besar, lukisan-lukisn kuno dan tulisan-tulisan sajak berpasangan yang amat indah. Lantainya dari marmer yang dapat dipakai bercermin saking mengkilapnya, gantungan kain- kain sutera beraneka warna dan tirai-tirai yang halus menambah semaraknya ukiran-ukiran pada jendela, pintu, bahkan langit-langit.
Para pengawal yang berjaga di situpun mengenakan pakaian seragam yang indah dan mewah, rata-rata memiliki tubuh tegap dan wajah tampan, sedangkan di bagian dalam nampak pelayan-pelayan wanita yang canti-cantik. Sungguh merupakan sebuah istana besar yang megah, mewah dan indah.
Sheila dan Han Le harus menanti sampai beberapa lamanya di ruangan tunggu untuk para tamu sebelum akhirnya mereka di ijinkan masuk dikawal oleh Tang Ciangkun dan beberapa orang pengawal istana mengiringkan mereka memasuki ruangan besar di mana Sribaginda Kaisar dari kerajaan Sorga sudah menanti mereka! Hal ini diumumkan oleh pengawal yang memberitahu kepada mereka di kamar tunggu tadi. Kaisar dari Kerajaan Sorga.
Sheila tersenyum di dalam hatinya. Betapa sombongnya orang yang pernah menjadi suheng mendiang suaminya itu. Ketika mereka bertiga, dikawal oleh empat orang pengawal, memasuki ruangan itu, Sheila merasa jantungnya berdebar tegang. Bagaimana juga, suasana mewah gemerlapan di dalam ruangan itu sungguh menegangkan dan amat berwibawa. Han Le nampak gembira sekali, memandang ke kanan kiri penuh kagum.
Melihat betapa empat orang pengawal dan Tang Ciangkun menjatuhkan diri berlutut begitu mereka melangkahi ambang pintu, Sheila yang sudah mempelajari adat istiadat dan sopan santun, cepat memegang tangan puteranya dan diajaknya berlutut pula. Dengan suara sopan dan lantang, kepala pengawal melapor kepada raja Tai Peng itu bahwa Tang Ciangkun datang membawa dua orang tamu yang bernama Nyonya Gan Seng Bu dan puteranya, Gan Han Le.
Sheila segera mengenal pria yang duduk setengah rebah di atas kursi panjang berkasur dan berbantal itu. Dia mengenal Ong Siu Coan, walaupun sudah belasan tahun berpisah dan kini Ong Siu Coan telah menjadi seorang pria berusia empat puluhan tahun, bertubuh tinggi besar dan gagah, mengenakan pakaian raja yang gemerlapan, dan mukanya yang dulu licin kini dipenuhi cambang, jenggot dan kumis sehingga berwibawa dan menakutkan walaupun masih menarik dan tampan.
Mendengar laporan itu, Ong Siu Coan bangkit duduk dan dengan alis berkerut memandang ke arah Sheila dengan penuh perhatian, kemudian kepada Han Le hanya sekelebatan saja, dan mengangguk, memberi isyarat dengan tangan dan empat orang pengawal itupun mengundurkan diri, keluar dari ruangan itu dan menutupkan daun pintu.
Dua orang pengawal pribadi yang berdiri di sudut ruangan itu, di belakang sang raja, diam saja tak bergerak bagaikan patung, namun semua urat syaraf mereka siap siaga untuk bergerak melindungi junjungan mereka.
“Tang Ciangkun, mendekatlah dan ajak mereka, lalu ceritakan apa artinya semua ini,” terdengar Ong Siu Coan berkata, dan walaupun dia masih ingat kepada wanita kulit putih yang menjadi isteri sutenya ini, namun dia merasa acuh saja. Dia merasa terlalu tinggi untuk berurusan dengan segala macam wanita, walaupun berkulit putih dan bermata biru sekalipun...!
“Ampunkan hamba, Sribaginda. Hamba melihat ibu dan anak ini tertawan oleh pasukan kita dan disangka menjadi mata-mata orang asing kulit putih. Akan tetapi mereka mengaku sebagai isteri dan putera mendiang pendekar pejuang Gan Seng Bu dan karena hamba mengetahui bahwa mendiang pendekar itu berada di bawah naungan kemuliaan paduka, maka hamba membawa mereka untuk menghadap paduka. Terserah kebijaksanaan paduka untuk memutuskan tentang diri mereka...”