Pemberontakan Taipeng Jilid 11

Sonny Ogawa

Pemberontakan Taipeng Jilid 11 karya Kho Ping Hoo - HENING sejenak dan Ong Siu Coan menatap ke arah wajah Sheila yang sejak tadi menundukkan mukanya saja. Laporan Tang Ciangkun dengan suara demikian merendah menambah kewibawaan raja itu.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Mengingatkan Sheila bahwa yang berada di depannya bukanlah seorang suheng dari mendiang suaminya seperti dahulu lagi, melainkan seorang raja yang berkuasa dan ia merasa menyesal telah datang ke sini karena merasa terasing dan demikian rendah diri terhadap segala kebesaran ini.

“Hemm, aku ingat sekarang. Engkau isteri Seng Bu yang bernama.... bernama.... eh, siapa lagi aku lupa.....”

“Nama saya Sheila, Sribaginda,” kata Sheila merendah.

“Oya, Sheila! Hemm, apakah tak pernah kubaca dalam Kitab Suci nama wanita seperti itu? Hemm, ada Delila, hampir sama akan tetapi berbeda. Dan ini anakmu? Anak Seng Bu?”

“Benar, Sribaginda. Dia ini anak hamba bernama Gan Han Le?"

Kini Ong Siu Coan memandang kepada Han Le. “Gan Han Le? Hemm anak muda, coba angkat mukamu agar aku dapat melihatmu.”

“Baik, supek...“

“Henry....!” Sheila berseru lirih. “Jangan menyebut seperti itu, beliau adalah Sribaginda Kaisar! Sebut Sribaginda.”

Ong Siu Coan mengerutkan alisnya. Di dalam hatinya, dia suka akan keberanian dan kejujuran anak itu, akan tetapi sebagai seorang kaisar, dia harus memperlihatkan kewibawaannya.

“Gan Han Le, mukamu memang seperti muka Seng Bu, kecuali matamu yang kebiruan. Sheila, setelah engkau menghadap kami, apa yang kau kehendaki sekarang ini?”

Dalam keadaan seperti itu, ketika kaisar berkenan menawarkan apa yang dikehendaki orang yang menghadapnya, tentu biasanya orang-orang akan mengajukan permintaan-permintaan mereka. Akan tetapi tidak demikian dengan Sheila.

“Ampun, Sribaginda. Bukan maksud hamba berdua anak hamba untuk mengganggu paduka. Hamba berdua tidak mohon sesuatu, dan hamba akan merasa berbahagia kalau anak hamba ini dapat mempelajari ilmu di kotaraja ini, agar kelak dia dapat menjunjung nama mendiang ayahnya sebagai seorang pendekar seperti ayahnya.”

Ong Siu Coan tersenyum. Ketika berkata-kata, Sheila nampak cantik menarik, kecantikan yang aneh. Dia sudah jemu dengan kecantikan para selir dan dayang yang tidak sah karena Kiki tidak mengijinkan dia memiliki isteri lain. Dan kecantikan wanita ini memang luar biasa. Mata yang biru itu, rambut yang seperti benang sutera emas!

Pada saat itu, muncullah seorang wanita dari pintu belakang. Seorang wanita yang usianya sebaya dengan Sheila, hanya satu dua tahun lebih tua, dan melihat pakaiannya yang demikian mewah dan penuh dengan tanda kebesaran, dapat diduga bahwa ia adalah sang permaisuri sendiri.

Berbeda dengan para puteri bangsawan yang kelihatan lemah lembut dan kalau melangkah perlahan-lahan seperti langkah tarian yang diatur, wanita ini melangkah dengan gerakan yang gesit tegap. Wajahnya manis, dengan tahi lalat di pipi.

Inilah Tang Ki atau yang lebih dikenal dengan nama Kiki, puteri mendiang Hai-tok Tang Kok Bu, seorang di antara empat datuk besar, yaitu Empat Racun Dunia. Kiki adalah pembantu paling setia dari Ong Siu Coan ketika berjuang, dan kemudian menjadi isterinya dan kini menjadi permaisuri dari Kerajaan Sorga!

Wanita itu memang Kiki, yang kini menjadi permaisuri. Akan tetapi, sikapnya terhadap suaminya masih biasa saja, tidak seperti sikap permaisuri terhadap raja. Tanpa banyak peraturan, ia duduk di dekat suaminya di atas kursi panjang itu, tanpa mengabaikan penghormatan Tang Ciangkun yag ditujukan kepadanya. Ong Siu Coan juga bersikap biasa saja, bahan tersenyum memperkenalkan Sheila kepada permaisurinya.

“Lihat, ia adalah isteri mendiang Gan Seng Bu! Namanya Sheila! Cantik, ya? cantik seperti Delila! Tahukah engkau siapa Delila? Wanita cantik jelita yang sudah meruntuhkan iman dan semangat seorang laki-laki gagah perkasa seperti Samson! Ha-ha-ha!”

Kiki cemberut. Sudah lama ia merasa jemu dan tidak suka kepada pria yang menjadi suaminya dan menjadi raja ini. Suaminya ini sekarang jarang mendekatinya, bahkan jarang memperhatikan seolah-olah ia hanya satu di antara perabot kamar saja. Suaminya mabok kemenangan dan mabok kedudukan, gila hormat dan berambisi. Kini melihat betapa suaminya menaruh perhatian akan kecantikan seorang wanita lain di depannya, tentu saja hatinya menjadi panas.

“Hemmm, mudah-mudahan ia tidak menjadi Delila baru dan paduka Samsonnya!” kata Kiki dengan senyum mengejek. Kalau tidak ada orang lain di situ, ia tidak pernah menyebut paduka, hanya engkau biasa saja! Suami isteri ini memang tidak pernah merubah sikap terhadap masng-masing biarpun mereka telah menjadi raja dan permaisurinya, kecuali di depan orang lain.

Ong Siu Coan memandang isterinya dengan mata terbelalak. “Apa? Gilakah engkau? Aku bukan Samson, melainkan putera Tuhan yang bungsu! Engkau tahu bahwa aku adalah adik Yesus yang lebih berkuasa daripada segala macam tokoh dan nabi seperti Samson!”

Kiki menarik napas panjang, merasa tidak ada gunanya dan hanya akan memalukan saja berdebat soal yang kuno itu di depan orang lain. Suaminya selalu bersikap sungguh-sungguh dan marah-marah kalau sampai disangkal bahwa dia bukan putera Tuhan, bukan adik Yesus.

“Sudahlah, mau apa wanita ini datang ke sini?” tanyanya sambil lalu, jelas memandang rendah dan membayangkan sikap tidak suka kepada Sheila.

“Biar ia di sini menjadi dayang, dan anaknya diperbolehkan belajar sastera dan silat agar kelak dapat menjadi seorang yang tangguh dan berguna bagi kerajaan kita. Tang Ciangkun, bawalah ibu dan anak ini dan serahkan kepada kepala bagian rumah tangga, sampaikan perintahku agar Sheila diajari semua pekerjaan agar ia dapat menjadi dayang dan pelayan dalam yang baik, dan Gan Han Le ini serahkan kepada bagian pendidikan agar dia dapat belajar surat dan silat.”

Ketika Tang Ciangkun memberi hormat menerima perintah, raja itu menambahkan, teringat bahwa tentu bukan tanpa pamrih pembantunya yang setia dan baik ini datang menghadapkan ibu dan anak itu kepadanya.

“Oya, dan sebagai hadiah, engkau kuangkat menjadi komandan pasukan penjaga tapal batas di utara, menggantikan panglima yang akan kutarik kembali ke kota raja dan kunaikkan pangkatmu menjadi panglima muda. Besok akan kukirim surat keputusan dan pengangkatanku itu!” katanya sambil melambaikan tangan mengusir mereka pergi dari hadapannya.

Tang Ciangkun tentu saja menjadi girang bukan main. Selama ini, dia memperoleh kedudukan yang cukup tinggi, bukan hanya karena ilmu silatnya yang cukup tangguh dan kesetiannya membantu perjuangan Tai Peng sampai pemimpin itu menjadi raja, juga karena dia masih bersamaan she (nama keturunan) dengan permaisuri, walaupun tidak ada hubungan keluarga apapun.

Dan kini, mendadak dia menjadi seorang pamglima muda, seorang jenderal, komandan pasukan penjaga tapal batas utara! Maka dia lalu menjatuhkan diri berlutut dan menghaturkan terima kasih, lalu dengan wajah berseri mengundurkan diri mengiringkan Sheila dan Han Le.

Akan tetapi, sikap Ong Siu Coan yang ramah dan manis terhadap Sheila, yang memuji kecantikannya, telah mendatangkan perasaan cemburu dan panas di dalam hati Kiki. Diam-diam ia memerintahkan orang kepercayaannya untuk mengusahakan agar Sheila jangan diberi tugas sebagai dayang di dalam istana melayani keluarga raja, melainkan diberi tugas di dapur dan di bagian belakang yang tidak mungkin wanita berkulit putih itu memperlihatkan diri di depan kaisar.

Tentu saja perintah rahasia ini tidak ada yang berani membantah karena semua orang tahu belaka betapa keras dan kejamnya tangan permaisuri itu. Hal ini bahkan melegakan hati Sheila. Baginya, yang paling penting adalah kemajuan dan pendidikan puteranya. Setelah anaknya kehilangan gurunya, guru yang paling baik di dunia ini pikirnya dengan hati duka, maka Henry perlu mendapatkan pendidikan yang baik.

Dia kelak harus menjadi seorang yang pandai. Dirinya sendiri tidak dipikirkannya. Biar ia dipekerjakan di dapur atau di kebun, bekerja berat sekalipun ia tidak akan mengeluh asal saja puteranya memperoleh pendidikan yang baik seperti yang diharapkan.

Dan hal ini mungkin dilakukan karena bantuan perwira Tang yang kini menjadi panglima muda dengan kedudukan komandan di perbatasan. Tang Ciangkun itu merasa gembira sekali dengan kenaikan pangkatnya, dan ketika dia mengundurkan diri keluar dari ruangan di mana mereka diterima raja tadi, dia mendengar Sheila mengeluh.

“Tang Ciangkun, aku merasa menyesal sekali telah ikut bersamamu ke sini. Engkau melihat dan mendengar sendiri tadi, kehadiranku bahkan mendatangkan suasana tidak enak saja kepada Sribaginda dan Permaisuri. Aku sendiri tidak perduli akan keadaan diriku, akan tetapi aku amat mengkhawatirkan keadaan puteraku. Ciangkun, aku akan berterima kasih sekali kepadamu kalau engkau suka membantu sehingga anakku akan dapat belajar bun dan bu (sastera dan silat) seperti yang kami citakan.”

Tang Ciangkun yang merasa gembira dan berterima kasih karena ibu dan anak ini mendatangkan keuntungan besar dan kenaikan pangkat kepadanya, segera berkata, “Baik, jangan khawatir, toanio, Kebetulan sekali kepala pengawal istana adalah sahabat baikku, Dia memiliki ilmu silat yang lebih tinggi dariku, dan dia dapat mengajarkan ilmu silat kepada puteramu. Adapun tentang pelajaran sastera, dia tentu akan bisa mendapatkan seorang guru di antara para karyawan di istana ini.”

Demikianlah, berkat bantuan Tang Ciangkun, kepala pengawal yang bernama Giam Ci, mencarikan guru sastera dan dia sendiri melatih ilmu silat kepada Han Le. Melihat ini, Sheila merasa lega sekali, apalagi karena ia jarang atau hampir tidak pernah diperintah ke bagian dalam istana berhadapan dengan raja dan permaisuri seperti yang dikhawatirkan.

Sudah satu bulan ia berada di situ dan belum juga ia bertemu dengan raja dan permaisuri. Akan tetapi, pada suatu hari, ia terkejut sekali ketika ada petugas datang ke bagian belakang dan pengawal ini menyampaikan perintah Raja bahwa ia diharuskan menghadap sekarang juga!

Dengan hati gelisah dan jantung berdebar Sheila memasuki ruangan di mana Raja Ong Siu Coan sudah menanti. Begitu melihat Sheila, Ong Siu Coan bangkit dan menyuruh pengawal itu mundur. Akan tetapi seperti biasa, dua orang pengawal pribadi yang seperti patung itu tetap berdiri di sudut kamar.

“Aih, kenapa sejak berada di sini, sudah satu bulan aku tidak pernah melihatmu? Aku sampai lupa bahwa engkau berada di sini!”

Sheila berlutut dan memberi hormat. “Hamba sibuk bekerja di dapur selama ini.”

“Ah, engkau mana pantas bekerja di dapur?”

Dengan hati khawatir sekali Sheila berkata, “Akan tetapi hamba sudah merasa suka sekali dengan pekerjaan hamba dan hamba berterima kasih kepada paduka.”

“Hemm, kalau begitu bolehlah. Akan tetapi sewaktu-waktu kalau kupanggil engkau harus datang. Aku butuh sekali bantuanmu, Sheila.”

Kembali Sheila menahan jantungnya yang berdebar keras. “Apakah yang dapat hamba lakukan untuk paduka, Sribaginda?”

“Aku ingin lebih mendalami isi Alkitab, dan karena bahasa Inggrisku masih dangkal, amat sukar aku mengerti benar isinya. Tejemahan yang ada dalam bahasa daerah juga tidak lengkap. Kau bangkitlah dan duduklah di kursi di dekatku sini. Engkau harus membantu aku memahami isi Alkitab.”

Sheila tidak berani membantah, bangkit dan menghampiri kursi lalu duduk tak jauh dari Ong Siu Coan yang sudah mengeluarkn sebuah kitab, yaitu Alkitab yang sudah lusuh dan usang. Tiba-tiba Sheila mendapat suatu kekuatan yang keluar dari dalam lubuk hatinya. Raja ini seperti orang gila saja, menganggap dirinya sebagai putera Allah dan sebagai adik Yesus.

Jelaslah bahwa raja ini mempelajari Alkitab dengan keliru dan menyeleweng daripada kebenaran, Kalau hanya menterjemahkan dan mengajarkan isi Alkitab saja, tanpa lebih dahulu mengubah pandangannya yang menyeleweng tentang dirinya sendiri, kiranya tidak akan ada gunanya.

“Ampunkan hamba, Sribaginda. Sebelum mempelajari Alkitab, hamba mohon bertanya, apakah paduka ini pemeluk Agama Kristen?”

“Tentu saja! Kau pikir bagaimana? Bukan saja beragama Kristen, bahkan aku adalah utusan Tuhan untuk mengamankan dunia dan mendatangkan berkah bagi manusia, aku adalah putera Tuhan yang diturunkan terakhir, aku adik bungsu dari Yesus sendiri ! Karena itu aku harus mempelajari isi Alkitab dengan sempurna!”

Kata-kata yang kacau, pikir Sheila. Orang ini mabok dalam kemenangan dan kemuliaan, memandang diri sendiri sedemikan tingginya sehingga terdengar mengerikan! “Akan tetapi, yang mulia Sribaginda. Umat Kristen dalam kepercayaannya mendasarkan isi Alkitab. Bagaimana paduka dapat mengharapkan agar semua orang percaya akan keadaan paduka kalau tidak terdapat di dalam Alkitab?”

“Aha, ternyata engkau masih bodoh! Tentu saja ada di dalam Alkitab! Nanti kuperlihatkan kepadamu, sejak dahulu sudah terlihat tanda-tanda dan ramalan-ramalan bahwa aku akan turun ke dunia, walaupun tidak disebut sebagai putera Tuhan dan adik Yesus. Akulah yang akan mengubah seluruh dunia dengan kekuasaanku, membasmi yang lalim dan mengangkat yang percaya ke dalam surga!”

Sheila merasa betapa bulu tengkuknya meremang. Ia merasa seperti berhadapan dengan seorang yang miring otaknya, seorang gila yang amat berbahaya. Dengan sekuat keberaniannya iapun mencoba untuk menyadarkan. “Maaf, yang mulia. Agama Kristen adalah agama yang berdasarkan Cinta Kasih, yang tidak akan mempergunakan kekerasan, apalagi membasmi....”

“Kau keliru! Yesus sendiri marah-marah melihat kelaliman. Dan kau kira Tuhan tidak akan marah melihat kelaliman manusia. Lihat saja di dalam Alkitab dan ingat akan peistiwa Nabi Nuh ketika banjir besar membasmi semua manusia yang lalim, ingat pula kota Sodom dan Gomorah yang hancur lebur dan semua orang yang lalim binasa terbasmi habis oleh kemurkaan Tuhan. Akupun menjadi putera utusan Tuhan yang menjalankan perintah Tuhan, membasmi penjajah Mancu yang lalim, dan membasmi semua orang lalim di dunia ini!

"Lihat betapa Tuhan marah dan menjatuhkan berbagai penyakit kepada manusia, bencana alam, kesengsaraan. Semua itu untuk menghukum orang-orang yang lalim dan jahat!”

Dia berhenti sebentar untuk mengambil napas dan memandang keatas, seolah-olah menanti “ilham” yang datang dari atas dan melanjutkan. “Tuhan pendendam dan pemarah, dan semua orang akan digilas oleh kemarahanNya dan akan dihancur-binasakan kalau tidak cepat bertaubat dan percaya kepada Tuhan melalui aku puteraNya!”

Gila, pikir Sheila. Ia mencoba lagi untuk meluruskan yang bengkok, “Ampun beribu ampun, Sribaginda. Bukan hamba membantah atau tidak percaya, akan tetapi karena hamba paduka panggil untuk bicara soal agama, maka hamba berani mengajukan pendapat hamba untuk bahan pertimbangan paduka dalam mempelajari Agama Kristen. Hamba berpendapat bahwa Tuhan bersifat Maha Pemurah, Maha Kuasa, Maha Adil, dan Maha Pengampun. Seperti telah disebutkan di dalam kitab, demikian Maha Kasih dan Maha Pemurah sehingga Dia menurunkan puteranya ke dalam dunia untuk membimbing semua umat manusia, untuk mencuci dosa manusia dengan darahNya....”

“Memang benar! Akan tetapi sampai kini manusia tidak mau bertaubat. Karena itu, sekarang Tuhan menurunkan aku sebagai putera kedua, untuk melanjutkan perjuangan kakakku Yesus, menyelamatkan umat manusia, membasmi sumber kesengsaraan manusia, membasmi yang berdosa!” Ong Siu Coan memotong.

Wah, semakin menjadi gilanya, pikir Sheila. Sejak memasuki ruangan yang khas di sebelah dalam ini tadi, ia sudah merasa ngeri dan bergidik. Ruangan itu dibuat seperti keadaan bukan di bumi lagi, seperti yang pernah ia baca digambarkan dalam kitab Wahyu. Tempat duduk raja itu terbuat dari emas permata, dan raja sendiri mengenakan sebuah mahkota tipis dari emas yang gemerlapan dengan taburan batu permata.

Di belakangnya nampak dinding yang dilukisi awan sedemikian indah seolah-olah hidup dan bergerak, sehingga raja itu nampak seperti duduk di atas awan! Yang hebat, singgasana raja itu diukir dengan amat indah, berbentuk seekor binatang yang berkepala tujuh. Binatang itu menyerupai ki-lin atau semacamnya, tubuh dan kepalanya seperti seekor harimau, kakinya seperti kaki beruang dan mulutnya seperti mulut singa!

Teringatlah Sheila akan bunyi sebuah nubuat atau ramalan di dalam kitab Wahyu tentang seekor binatang yang keluar dari dalam laut, keadaannya seperti yang terukir pada singgasana yang diduduki raja itu. Betapa kemudian binatang yang disebut juga naga itu memerangi dan mengalahkan orang-orang kudus dan menjadi berkuasa disembah oleh setiap bangsa di dunia!

Teringat akan ini dan mendengar ucapan raja itu, diam-diam timbul rasa takut di dalam hati Sheila. Apalagi ketika Ong Siu Coan mengambil sebuah pedang yang berada di atas meja sembahyang, pedang aneh bentuknya ketika dicabutnya dari sarungnya, karena pedang itu terbuat dari batu giok dan berbentuk Naga.

“Lihat ini, Sheila. Inilah pengganti sabit seperti yang disebutkan di dalam ayat suci. Bukalah Alkitab itu dan cari dalam kitab Wahyu, yaitu ramalan yang diberikan kepada Yohanes, dan carilah Wahyu 14 ayat 14 sampai dengan 16.”

Dengan jari agak gemetar Sheila membuka kitab suci itu dan mencari bagian yang disebutkan Ong Siu Coan.

“Coba baca dan terjemahkan!” kata pula raja itu dengan nada memerintah, wajahnya berseri, sepasang matanya mencorong dan dia nampak gembira sekali.

Sheila mencoba untuk menenangkan hatinya sehingga suaranya tidak begitu gemetar walaupun ia merasa serem seperti kalau orang berhadapan dengan seorang gila yang sukar dimengerti. Iapun membaca sambil menterjemahkan.

“Dan aku melihat dengan sesungguhnya, ada awan putih dan di atas awan putih itu duduklah seorang seperti anak manusia dengan sebuah mahkota emas di atas kepalanya dan sebuah sabit tajam di dalam tangannya, Maka keluarlah seorang malaikat lain dari Bait Suci, dan dia berseru dengan suara nyaring kepada dia yang duduk di atas awan itu : Ayunkanlah sabitmu dan tuailah, karena sudah saatnya untuk menuai, karena tuaian di bumi sudah masak. Dan dia yang duduk di atas awan itu, mengayunkan sabitnya ke atas bumi, dan bumipun dituailah!”

Sheila berhenti membaca, mengangkat muka memandang kepada raja itu dengan mata terbelalak, tengkuknya terasa dingin.

Ong Siu Coan tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, dan akulah anak Allah. Akulah dia yang duduk di atas awan putih itu, dan naga berkepala tujuh itu sudah kutaklukkan, dan akulah yang akan melaksanakan perintah Bapakku, akulah yang akan membabat semua yang bersalah, dan melalui akulah semua manusia akan memperoleh keselamatan, termasuk engkau, Sheila!”

Dan kini berubahlah sikap Ong Siu Coan. Dia sudah meletakkan kembali pedang Giok-liong-kiam, tentu saja yang palsu karena yang aseli telah dicuri oleh Lee Song Kim, dan dengan muka kemerahan dan mulut menyeringai dia mendekati Sheila, lalu merangkulnya.

Tentu saja Sheila terkejut bukan main karena hal ini tak disangkanya. Iapun meronta ketika kedua tangan raja itu bergerak dengan kasar dan hendak menanggalkan pakaiannya, sedangkan muka raja itu mendekatinya hendak menciumnya.

“Ah, Sribaginda! Ingatlah, hamba adalah isteri sute paduka sendiri!” Sheila memperingatkan sambil meronta dengan sia-sia dari kedua tangan yang amat kuat kokoh itu.

“Heh-heh, karena itulah engkau harus melayaniku, Sheila. Sute telah tidak ada lagi, dan engkau begini cantik, matamu begini biru, rambutmu seperti benang emas, aahhh...!”

“Lepaskan, Sribaginda, kalau tidak hamba akan menjerit !” kata pula Sheila ketika pipinya telah diciumi walaupun ia sudah berusaha untuk menjauhkan mukanya, dan kancing-kancing baju atasnya sudah terlepas.

“Ha-ha-ha, engkau telah dipilih oleh putera Tuhan sendiri, mengapa engkau menolak? Dan siapa yang akan berani menentang aku kalau aku menghendaki dirimu?” Ong Siu Coan kini semakin nekat.

Pada saat itu muncullah sang permaisuri, Tang Ki! Wanita ini muncul dari sebuah pintu belakang dan ia mengerutkan alisnya ketika melihat betapa suaminya sedang berusaha menggauli Sheila dengan paksa.

“Hemmm, bagus sekali!” katanya, suaranya lirih namun mengandung desis kemarahan.

Mendengar suara ini, Ong Siu Coan terkejut dan cepat melepaskan Sheila dan bangkit lalu undur ke belakang. Sheila sendiri juga bangkit dan cepat membereskan pakaiannya yang sudah separuh terbuka, mengusap air matanya dengan ujung lengan baju tanpa mengeluarkan suara tangis.

“Bagaimanakah engkau berani masuk begitu saja menggangguku?” bentak Ong Siu Coan marah.

Akan tetapi isterinya tidak menjawab, melainkan memandang kepada Sheila dan membentak. “Engkau tidak lekas kembali ke dapur?” Dan telunjuknya menuding ke arah pintu.

Sheila menjura dengan wajah penuh duka dan segera meninggalkan ruangan itu. Setelah tiba di luar, ia cepat berlari menuju ke kamarnya di bagian belakang. Setelah Sheila pergi, barulah Tang Ki membalikkan tubuhnya menghadapi suaminya dengan muka merah dan sikap marah.

“Hemm, begini ya kalau engkau berada di belakangku? Sudah berani menghinaku dengan bermain perempuan di tempat ini!”

Kalau mendengar dan melihat sikap permaisuri itu, tentu para menteri dan hulubalang akan menjadi terkejut dan heran sekali. Memang Tang Ki tidak pernah bersikap hormat kepada suaminya ini kalau tidak hadir orang ketiga. Biarpun Ong Siu Coan telah menjadi raja, namun bagi Tang Ki, dia hanyalah laki-laki yang telah dibantunya, sejak dari manusia biasa sampai kini terangkat menjadi seorang raja besar di daerah selatan Sungai Yang-ce.

Ong Siu Coan diam saja, hanya memandang kepada isterinya dengan cemberut. Dia dapat berlagak di depan orang lain, mengaku sebagai putera Allah, adik Yesus dan sebagainya, namun di depan Kiki atau Tang Ki, dia mati kutu. Isterinya itu telah mengetahui akan semua rahasianya, mengalami pahit getirnya semenjak mereka berjuang dan Kiki selalu menjadi isterinya, pembantu setia, dan tangan kanannya.

“Kenapa diam saja? Katakan saja bahwa engkau sudah bosan padaku!” Tang Ki sambil menjatuhkan diri duduk di atas kursi di dekat singgasana suaminya.

Ong Siu Coan juga duduk di atas singgasana itu perlahan-lahan, nafsu berahi yang tadi menguasai dirinya, menjadi surut dan dia memandang kepada isterinya dengan alis berkerut.

“Aku ataukah engkau yang bosan? Yang jelas, aku merasa bosan karena sampai sekarangpun engkau belum mempunyai keturunan! Siapa kelak yang akan menggantikan aku menjadi raja kalau engkau tidak melahirkan seorang putera? Dan engkau tidak membolehkan aku mengambil isteri lain untuk menyambung keturunan!”

Seperti biasa, kalau Ong Siu Coan sudah menyinggung soal keturunan dan isteri muda, terjadilah percekcokan. Sebetulnya, diam-diam Kiki sudah merasa jemu dan tidak suka kepada suami ini, yang dianggapnya seperti orang yang telah menjadi gila dan ingin menganggapnya sebagai hamba sahaya saja. Akan tetapi bagaimanapun harus diakuinya bahwa kini iapun terangkat naik ke dalam kemuliaan, menjadi seorang permaisuri yang disembah-sembah oleh rakyat jelata!

“Hemm, tak perlu merengek. Kalau memang engkau membutuhkan wanita lain agar memperoleh keturunan, akupun tidak akan menghalangi. Akan tetapi bukan perempuan bule itu. Aku yang akan memilihkan, berapa saja kau suka. Akupun sudah bosan kepadamu!”

Biarpun ucapan itu amat menusuk perasaan, karena di situ tidak ada orang lain dan isterinya menjanjikan untuk membolehkan dia mengambil selir-selir, Ong Siu Coan tidak menjadi marah, bahkan merasa gembira sekali.

Akan tetapi, percakapan mereka atau lebih tepat percekcokan mereka itu terhenti seketika dengan munculnya seorang pengawal yang melaporkan bahwa Lui-ciangkun, seorang kepercayaan Ong Siu Coan yang bertugas sebagai seorang di antara komandan-komandan pasukan mata-mata yang banyak disebarkan di perbatasan utara, mohon menghadap.

Ong Siu Coan merasa lega karena kemunculan perwira itu berarti menyudahi kedaan tidak enak itu, apalagi dia teringat bahwa Lui-ciangkun pernah mengirim laporan tentang Lee Song Kim dan dia memerintahkan agar Lee Song Kim dihubungi dan kalau mungkin dihadapkan kepadanya karena dia ingin menarik orang lihai ini sebagai pembantunya.

Apalagi ketika mendengar dari pengawal yang datang melapor bahwa Lui-ciangkun datang dan mohon menghadap bersama seorang yang bernama Lee Song Kim, raja itu menjadi gembira sekali.

Tang Ki yang mendengar disebutnya nama Lee Song Kim, juga menjadi tegang, gembira dan penuh perhatian. Suhengnya datang. Dan biarpun ia pernah bermusuhan dengan suhengnya itu, namun ada sesuatu yang amat menarik pada diri suhengnya, dan hal itu sekarang semakin terasa olehnya semenjak timbul perasaan tidak suka kepada suaminya.

Raja dan permaisuri ini lalu membereskan pakaian mereka, mengatur sikap seanggun-anggun dan seagung-agungnya ketika mereka menanti munculnya Lui-ciangkun dan Lee Song Kim. Dengan cerdik Ong Siu Coan tidak menerima tamunya di ruangan di mana tersimpan Giok-liong-kiam itu, melainkan di ruangan di mana dia biasa menerima para tamu dan para menterinya.

Pedang pusaka Giok-liong-kiam biasanya kalau malam disimpan di meja sembahyang yang berada di kamar tidurnya, sedangkan kalau siang disimpan di ruangan yang disebutnya Ruangan Awan Putih itu.

Lee Song Kim semdiri merasa heran akan tetapi juga lega ketika melihat sikap raja dan permaisurinya itu. Mereka nampak sama sekali tidak marah, dan tidak kelihatan seperti orang yang membencinya. Bahkan jantungnya berdebar ketika dia melihat sinar mata Kiki yang masih cantik jelita seperti dulu, memandang kepadanya dengan sinar mata yang aneh baginya karena dia melihat kekaguman membayang dalam sinar mata itu!

Dan raja itupun nampak ramah dan tersenyum dengan wajah berseri ketika melihatnya. Seperti juga Lui-ciangkun, Song Kim menjatuhkan diri berlutut di depan raja dan permaisuri itu. Lui-ciangkun dengan singkat namun jelas melaporkan kepada raja tentang peristiwa pertemuan di mana Lee Song Kim mengangkat diri menjadi bengcu dengan julukan Thian-he Te-it Bu-hiap, betapa banyak tokoh persilatan menerimanya dengan gembira.

Kemudian betapa pertemuan itu ditinggalkan sebagian para tamu yang agaknya tidak menerima Song Kim sebagai bengcu dan kemudian penyerbuan yang dilakukan oleh pasukan besar pemerintah Mancu.

“Sayang bahwa kekuatan pasukan yang hamba pimpin hanya kurang lebih seratus orang, sedangkan kekuatan musuh sedikitnya lima ratus orang, dipimpin oleh orang pandai, sehingga hamba hanya berhasil menyelamatkan sebagian saja dari anak buah Lee-kongcu yang kini telah berada di markas.” Lui-ciangkun menutup lapornnya.

Ong Siu Coan mengangguk-angguk. “Engkau telah melaksanakan tugasmu dengan baik, Lui-ciangkun. Sekarang mundurlah dan biarkan kami bercakap-cakp dengan Thian-he Te-it Bu-hiap.”

Lee Song Kim mengangkat muka memandang, ingin melihat apakah dalam menyebutkan julukan itu sang raja hendak mengejeknya, namun dia melihat raja itu mengedipkan sebelah matanya kepadanya. Song Kim menunduk dan merasa lega, juga kagum karena Ong Siu Coan ternyata masih merupakan seorang yang cerdik dan berbahaya, walaupun sudah menjadi raja.

Diapun cepat memutar otaknya untuk mengatur siasat, siap menghadapi segala pertanyaan dengan jawaban-jawaban yang tepat sambil menduga-duga apa yang tersembunyi di balik sikap yang bersahabat dari raja ini, padahal dia pernah datang dan mencuri Giok-liong-kiam dari kamar raja.

Lui-ciangkun mengundurkan diri dan raja lalu memerintahkan semua pengawal, juga para pengawal pribadinya untuk mundur. Akhirnya hanya dia, permaisuri dan Lee Song Kim saja yang tinggal di ruangan itu. Pintu-pintu ruangan itu telah ditutup rapat dari luar oleh para pengawal atas perintah raja. Setelah mereka tinggal bertiga saja, raja dan permaisuri seoah-olah baru melepaskan kedok mereka.

“Lee Song Kim, sungguh engkau berani mati sekali muncul di sini! Tahukah kau bahwa sekali aku memberi aba-aba, seratus orang pengawal akan mengepungmu dan menghancurkan seluruh tubuhmu sekarang juga?” Permaisuri itu membentak sambil bertolak pinggang dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Song Kim.

Akan tetapi, Lee Song Kim merasa heran melihat betapa wajah yang cantik itu sama sekali tidak cocok dengan suaranya. Suaranya seperti orang marah dan benci, akan tetapi wajah itu, sinar mata itu! Maka diapun maklum. Dia adalah seorang laki-laki yang berpengalaman, dan melihat sikap sang permaisuri ini, diapun tersenyum dan dalam keadaan masih berlutut diapun berkata dengan suara halus.

“Hamba telah berada di sini, dan hamba telah menyerahkan jiwa raga hamba di dalam kekuasaan paduka. Kalau memang paduka tega untuk membunuh hamba, silakan, hamba akan mati dengan rela dan mata terpejam di bawah tangan paduka.”

Mendengar ucapan itu, dan melihat sikap itu, sang permaisuri menjadi merah mukanya dan ia tersenyum. “Mengingat engkau dahulu adalah suhengku, biarlah sekali ini kuampuni kau. Akan tetapi awas kalau lain kali berani kurang ajar lagi!”

Diam-diam Song Kim tersenyum. Bekas sumoinya itu tentu menyindir perbuatannya mengusap paha ketika malam-malam datang mencuri pedang itu. Heran! Kenapa bekas sumoi yang dahulu membencinya itu tidak marah dan agaknya tidak mengatakan hal itu kepada suaminya?

“Lee Song Kim, kami mengajakmu bicara tanpa dihadiri para pengawal karena aku hendak bertanya kepadamu. Engkaukah yang malam-malam itu datang mencuri Giok-liong-kiam dari kamar kami?”

Tadi ketika berhadapan untuk pertama kali dengan raja dan permaisuri ini, Song Kim telah mempersiapkan diri untuk menjawab semua pertanyaan dan pertanyaan yang kini diajukan oleh raja termasuk pertanyaan pertama yang telah dia persiapkan jawabannya. Maka begitu ditanya, dia tidak nampak terkejut atau khawatir, melainkan menjawab dengan suara lantang dan lancar, sedikitpun tidak kelihatan gugup.

“Sebelumnya saya harap dapatkah kiranya paduka memberi ampun kepada hamba atas kelancangan hamba. Sesungguhnya sejak dahulu hamba merasa kagum sekali atas kemajuan yang dicapai oleh pasukan Tai Peng dan hamba bercita-cita untuk membantu gerakan yang paduka pimpin. Akan tetapi, hamba belum memperoleh kesempatan dan timbul gagasan dalam hati hamba untuk mengumpulkan orang-orang pandai di dunia persilatan.

"Kalau hamba telah nerhasil menjadi bengcu, memimpin tokoh persilatan, maka baru hamba akan menghambakan diri kepada pasuka berikut anak buah hamba. Untuk keperluan menghimpun orang-orang di seluruh dunia persilatan dan kang-ouw, hamba membutuhkan Giok-liong-kiam. Kalau hamba terang-terangan minta pinjam kepada paduka, tentu paduka tidak akan percaya kepada hamba.

"Oleh karena itu, mohon ampun sebelumnya, hamba telah berani berlancang tangan mencuri Giok-liong-kiam untuk hamba pinjam sebentar, yaitu untuk mempengaruhi para tokoh kang-ouw. semua ini hamba lakukan secara terpaksa, semata-mata untuk dpat mengumpulkan orang-orang pandai dan kemudian menghambakan diri, membantu paduka.”

Song Kim berhenti sebentar, mencuri pandang ke arah wajah raja dan permaisuri itu. Melihat betapa Ong Siu Coan tersenyum dan tetap tidak memperlihatkan kemaraha, bahkan wajahnya berseri cerah, dia menjadi lega dan melanjutkan.

“Sekarang hamba telah berhasil menghimpun tokoh-tokoh kang-ouw dan hamba bermaksud menghambakan diri bersama kawan-kawan ke hadapan kaki paduka, dan hamba tidak lagi memerlukan Giok-liong-kiam. Oleh karena itu, hamba telah membawa Giok-liong-kiam bersama hamba, hendak hamba kembalikan kepada paduka dengan terima kasih yang sedalam-dalamnya dan maaf yang sebesar-besarnya.”

Lee Song Kim mengeluarkan Giok-liong-kiam dari balik jubahnya dan menyerahkan pedang itu dengan gagang terlebih dahulu kepada Ong Siu Coan. Raja ini sambil tersenyum menerima pedang Giok-liong-kiam, mencabutnya untuk memeriksa sejenak. Dia merasa yakin bahwa iu adalah pedang yang aseli, maka disarungkannya kembali pedang itu.

“Engkau tidak tahu bahwa pusaka ini adalah pusaka yang telah dikaruniakan dan diperuntukkan aku oleh Tuhan sendiri, sebagai lambang kekuasaanku untuk menyelamatkan dunia dan manusianya, Lee Song Kim. Akan tetapi karena engkau telah mengambilnya dengan niat baik, biarlah aku memaafkanmu. dan sebagai gantinya, engkau boleh memiliki pusaka tiruannya, dan engkau boleh menyatakan kepada dunia kang-ouw bahwa itu adalah Giok-liong-kiam aseli agar engkau tetap menjadi bengcu.

"Jadilah bengcu, kumpulkan orang-orang kang-ouw dan bawa mereka kepadaku untuk membantu gerakan Tai Peng, dan engkau akan menjadi pembantuku yang paling baik. Engkau akan kuberi kedudukan tinggi dan kemuliaan. Bagaimanapun juga, engkau adalah suheng dari permaisuri kami.”

Lee Song Kim menjadi girang bukan main. Biarpun dahulu ia menganggap Ong Siu Coan orang biasa, rekan di dunia kang-ouw, bahkan saingannya, namun kini dia tidak boleh memandangnya sebagai orang setingkat. Ong Siu Coan telah menjadi seorang raja besar dengan kekuasaan pula, hidup bergelimang kekuasaan, kemuliaan dan kemewahan.

Tentu saja dia tidaklah begitu bodoh untuk menentang seorang seperti Ong Siu Coan, dan kalau saja dia dapat menjadi orang kepercayaannya, tentu dia akan ikut pula hidup dalam kemuliaan. Selain itu, di situ terdapat pula Kiki yang masih demikian menggairahkan, dengan senyum manis dan lirikan mata yang demikian penuh rahasia dan tantangan!

Dengan sikap hormat dan berterima kasih, Song Kim menerima penawaran raja itu dan mulai hari itu diapun menjadi orang kepercayaan Ong Siu Coan. Tugasnya hanyalah melanjutkan kedudukannya sebagai bengcu di antara kaum kang-ouw, lalu mengumpulkan orang-orang kang-ouw membujuk mereka agar suka menjadi para anggauta pasukan istimewa yang membantu gerakan pasukan Tai Peng yang masih berniat untuk melakukan penyerangan ke utara dan menundukkan seluruh kekuasaan Kerajaan Mancu yang mulai lemah.

Song Kim memperoleh tempat tinggal di kompleks istana yang megah itu, dan hidup sebagai seorang panglima muda atau juga pengawal pribadi raja yang memiliki kekuasaan besar. Bahkan dia dapat keluar masuk istana, di bagian manapun, tanpa larangan dan tidak ada pengawal istana yang berani melarangnya karena dia telah memperoleh ijin dan tanda kuasa sendiri oleh raja!

Tentu saja kesempatan ini dipergunakan oleh Lee Song Kim untuk memasuki istana di bagian paling dalam, mencari dayang-dayang yang paling cantik, merayunya dan karena hal ini tidak dilarang pula oleh Ong Siu Coan yang memanjakan pembantu ini, maka banyaklah sudah dayang yang jatuh ke dalam pelukan Lee Song Kim!

Beberapa hari kemudian, ketika Lee Song Kim seperti biasa berjalan-jalan di seluruh kompleks istana, tibalah dia di dapur istana yang secara kebetulan dia melihat Sheila bekerja di sana. Dia terkejut, terheran, lalu kagum melihat wanita kulit putih yang biarpun usianya sudah tiga puluh tahun lebih, namun masih nampak cantik jelita dan bahkan sudah masak menggairahkan. Hatinya segera tertarik sekali dan diapun mendekati Sheila, mengajaknya bicara.

“Aih, sungguh mati, kukira di sini aku telah bertemu dengan seorang bidadari! Nona, engkau tentu seorang bidadari dari sorga, bukan?” demikian Song Kim menegur Sheila yang sedang berada di luar dapur.

Sheila bukan seorang wanita yang kaku atau pemalu. Ia sudah mendengar akan munculnya seorang panglima yang tampan dan pandai merayu wanita sehingga banyak dayang yang jatuh hati kepada pria itu. Kini di depannya berdiri pria yang disohorkan itu, dan harus diakuinya bahwa pria itu memang ganteng dan gagah dan pandai pula merayu hati wanita.

“Bagaimana ciangkun dapat menduga bahwa aku seorang bidadari sorga?” tanyanya dengan suara biasa, tidak nampak genit.

“Tentu saja karena aku sudah mendengar sendiri dari Sribaginda bahwa para bidadari itu bermata biru dan berambut kuning emas!”

“Tidak, ciangkun. aku adalah seorang pelayan biasa yang bertugas di dalam dapur. Dan maafkan, aku bukan gadis remaja lagi, melainkan seorang ibu dari anak yang usianya sudah belasan tahun. Maaf, banyak pekerjaan menumpuk yang harus kubereskan.”

Dan iapun masuk ke dalam dapur, meninggalkan Lee Song Kim yang terlongong dan merasa hatinya copot dan keluar dari rongga dadanya, berloncatan mengikuti bayangan wanita bermata biru berambut kuning keemasan. Song Kim tidak mau berhenti sampai di situ saja. Dia lalu bertanya-tanya, mulai melakukan penyelidikan tentang diri wanita kulit putih yang telah menjatuhkan hatinya itu.

Tentu saja dia menjadi semakin tertarik dan kagum ketika mendengar bahwa wanita itu adalah janda pendekar Gan Seng Bu, adik seperguruan Ong Siu Coan sendiri! Bahkan wanita itu adalah janda yang selama belasan tahun dapat mempertahankan diri, hidup menjanda bersama seorang puteranya, dan akhirnya dapat ditemukan oleh seorang kepercayaan raja, dan dibawa ke istana itu.

Karena wanita kulit putih itu ternyata masih mempunyai hubungan dengan raja, yaitu merupakan adik ipar seperguruan, Song Kim bersikap hati-hati dan tidak berani lancang mempergunakan kekerasan. Kalau dia mempergunakan kekerasan, tentu akan membuat raja merasa tersinggung. Akan tetapi diapun dapat menduga bahwa wanita kulit putih tidak terlalu dianggap keluarga oleh raja.

Buktinya hanya dipekerjakan sebagai seorang pelayan dapur. Kalau dia memintanya kepada raja, tentu akan diserahkan kepadanya dengan baik. Dalam keadaan dimabok cinta, akhirnya Song Kim menyatakan isi hatinya ketika pada suatu hari dia berkesempatan menghadap raja dan permaisuri seorang diri saja.

Mendengar pernyataan Song Kim bahwa dia suka kepada dayang bernama Sheila dan mohon perkenan raja untuk dapat mengambil janda itu senagai isteri. Ong Siu Coan terbelalak lalu tertawa bergelak. Dia sendiri pernah tergila-gila kepada Sheila, akan tetapi bukan mencintanya, hanya sekedar terangsang ber4hinya melihat wanita berkulit putih bermata biru berambut emas itu.

Akan tetapi setelah Kiki mempergokinya dan marah-marah, dan melihat betapa Sheila menolaknya, berahinya memadam. kini mendengar bahwa seorang kepercayaannya itupun tergila-gila, dia merasa geli dan juga girang.

“Bagus sekali kalau engkau hendak menikah dengan Sheila!” kata raja sambil tertawa. “Dia adalah janda suteku, kini pantaslah kalau menjadi isterimu, Lee Song Kim. Aku setuju sekali!”

“Aku tidak setuju!” Tiba-tiba sang permaisuri berkata, suaranya ketus dan tajam sehingga Ong Siu Coan dan Lee Song Kim menengok, memandang kepada wanita cantik itu.

“Aku tidak perduli dan sama sekali bukan urusanku kalau Lee Song Kim hendak mengambil isteri wanita yang mana saja. Akan tetapi jangan Sheila! Ingatlah bahwa ia adalah seorang wanita kulit putih! Padahal, Lee Song Kim bertugas sebagai bengcu dan menarik sebanyak mungkin orang-orang dari dunia kang-ouw untuk membantu kita. Apakah hal ini tidak akan mendatangkan kesan buruk terhadap para orang kang-ouw kalau dia mengambil isteri seorang wanita bule?”

“Hamba tidak ada kesan buruk itu, bahkan membanggakan! Dan tentang bagaimana sikap orang-orang kang-ouw, hal ini hamba sanggup untuk menghadapi dan mengatasinya,” kata Lee Song Kim dengan alis berkerut.

Akan tetapi Ong Siu Coan sudah mengangguk-angguk, agaknya membenarkan pendapat permaisurinya, dan diapun menjadi bimbang. Biarpun dia ingin menyenangkan hati pembantu yang amat berharga ini, namun tentu saja yang paling penting adalah memikirkan akibat yang akan menimpa kekuatan Tai Peng. Kalau benar pendapat permaisurinya, berarti pernikahan itu hanya akan merugikan Tai Peng, merugikan kerajaannya, merugikan dia!

“Hemm, hal ini memang perlu dipikirkan dengan panjang lebar, Lee Song Kim. Urusan jodoh bukanlah urusan sehari dua hari yang diputuskan dengan terburu dan tergesa-gesa. Kita tunda dulu dan kita pikirkan bersama baik-buruknya, untung ruginya. Setelah sebulan kemudian, baru kita akan bicarakan kembali.”

Tentu saja Song Kim tidak berani membantah atau memperlihatkan sikap kecewa walaupun diam-diam dia merasa kecewa dan marah kepada bekas sumoinya itu. Terpaksa dia bersikap sabar menanti sampai raja menyetujuinya, hal yang tadinya dia sudah merasa yakin sekali.

Dua hari kemudian, Sribaginda Raja Ong Siu Coan mengadakan pertemuan mendadak dengan para penasihatnya di bidang kemiliteran, terutama sekali panglima yang menangani masalah senjata api. Pada waktu itu, seperti juga pasukan pemerintah Mancu, pasukan Tai Peng juga melihat kegunaan senjata api dalam peperangan, maka mereka seperti berlomba untuk mendapatkan senjata api dari orang-orang kulit putih yang menyelundupkannya, seperti halnya dengan candu.

Dengan harga mahal sekali kedua pemerintahan ini berani membeli senjata api dari orang-orang kulit putih. Tentu saja yang menjual senjata api kepada mereka adalah penyelundup-penyelundup kulit putih, petualang-petualang yang berani melakukan pekerjaan-pekerjaan berbahaya demi memperoleh keuntungan besar.

Bahkan hal ini agaknya dilihat dengan mata setengah dipicingkan oleh pasukan orang kulit putih karena mereka ini mempunyai siasat untuk mengadu domba antara pasukan Mancu dan pasukan Tai Peng! Sudah barang tentu hanya senjata api yang mereka anggap ringan dan kuno saja yang boleh diselundupkan dan dijual kepada kedua pihak yang bermusuhan itu.

Persidangan yang dilakukan oleh Sribaginda Raja Ong Siu Coan itu sehubungan dengan adanya kontak antara mata-mata yang bertugas mencari dan membeli senjata gelap ini dengn seorang mata-mata kaki tangan orang kulit putih. Mata-mata orang kulit putih ini menawarkan sebanyak dua ratus batang senjata api bedil kepada pihak Tai Peng, bukan dijual dengan harga tinggi, melainkan untuk ditukar dengan wanita kulit putih bernama Sheila yang berada di istana Nan-king itu!

Menurut mata-mata pasukan kulit putih itu, Nyonya Sheila dicari-cari oleh keluarganya yang menjadi bangsawan orang kulit putih, dan setelah pihak kulit putih mendengar dari mata-mata mereka bahwa Nyonya Sheila itu berada di istana Nan-king, maka mereka lalu menawarkan penukaran dua ratus pucuk senjata api itu dengan diri Nyonya Sheila yang harus dikirimkan kepada pihak kulit putih!

Mendengar pelaporan mata-mata ini, Raja Ong Siu Coan lalu mengadakan sidang itu untuk minta pendapat para penasihatnya. tentu saja para penasihat itu merasa setuju sekali.

“Adanya wanita kulit putih di dalam istana, hamba kira tidak mendatangkan keuntungan apapun, baik kepada pasukan kita terutama sekali kepada paduka. Kalau paduka memenuhi permintaan pihak orang kulit putih, terdapat dua keuntungan. Pertama, tentu saja dua ratus pucuk senjata api itu akan memperkuat persenjataan pasukan kita, dan kedua, pihak kulit putih akan berterima kasih kepada paduka dan selanjutnya akan lebih mudah bagi kita untuk membeli senjata api dari mereka,”

Demikian para penasihatnya berpendapat. Bahkan permaisuri sendiripun mendesak raja sehingga akhirnya, sidang dibubarkan dengan keputusan bahwa Sheila akan diserahkan kepada mata-mata pihak kulit putih, ditukarkan dengan dua ratus pucuk senjata api!

Setelah bubaran dan berada di dalam kamar mereka sendiri, Ong Siu Coan berkata kepada isterinya, “Satu hal yang tidak enak, yaitu Lee Song Kim. Dia tentu akan merasa kecewa sekali kalau mendengar bahwa Sheila yang dicintanya dan diharapkan menjadi isterinya itu tahu-tahu telah lenyap, ditukar dengan senjata api. Bagaimana kalau engkau sendiri yang pergi menemuinya dan membujuknya agar dia dengan rela melepaskan Sheila demi kepentingan kerajaan, dan untuk menjadi calon isterinya dia boleh memilih puteri mana yang disukainya? Bujuk dia baik-baik agar tidak berkurang kesetiannya kepada kita.”

Permaisuri Tang Ki mangangguk setuju dan malam itu juga ia lalu pergi mengunjungi Lee Song Kim di gedung tempat tinggalnya yang berada di kompleks istana itu, di ujung timur. Tentu saja Lee Song Kim tergopoh menerima kunjungan tamu agung ini yang hanya di antar oleh dua orang pelayan wanita.

Tak lama kemudian, Lee Song Kim menerima tamu agung itu di dalam ruangan tamu, dan mereka berdua duduk berhadapan di ruangan yang kosong itu, karena baik Song Kim maupun Tang Ki menyuruh pelayan-pelayan mereka untuk keluar dari dalam ruangan itu.

Sejenak mereka duduk berhadapan, saling pandang dan Song Kim yang lebih dahulu menundukkan pandang matanya. Bagaimanapun juga, dia teringat bahwa yang dihadapinya ini adalah permaisuri, isteri dari Raja yang menjadi junjungannya, walaupun wanita ini adalah sumoinya sendiri.

“Kalau boleh hamba bertanya, kepentingan apakah yang membawa paduka Sribaginda ratu memberi kehormatan besar kepada hamba dengan kunjungan ini?” akhirnya Song Kim bertanya.

Hening sejenak tiada jawaban, dan ketika dia mengangkat muka memandang, dia melihat betapa wanita cantik di depannya itu tersenyum geli, kemudian malah melepaskan suara ketawa kecil.

“Hi-hik, Lee-suheng. Sungguh mati, aku tak dapat menahan rasa geli hatiku melihat sikapmu yang begini menghormat kepadaku. Tahukah engkau setiap kali kita bertemu dan engkau bersikap seperti itu, aku selalu merasa bahwa seolah-olah kita sedang menjadi anak wayang dan bermain sandiwara di atas panggung, hi-hi-hik!”

Lee Song Kim juga tersenyum, akan tetapi dia masih belum berani bersikap demikian terbuka dan biasa seperti yang dilakukan oleh Tang Ki. Dia menarik napas panjang.

“Memang benar pendapat paduka, karena sesungguhnya, hidup di atas dunia ini tiada bedanya dengan bersandiwara di atas panggung, menjadi anak wayang dan memegang peran masing-masing. Karena peran kita masing-masinglah dalam kehidupan ini maka kini paduka menjadi seorang permaisuri dan hamba menjadi pembantu dan hamba sahaya paduka.”

“Hushh, jangan lanjutkan itu, suheng. Di sini tidak ada orang lain, tidak enak bicara kalau engkau bersikap hormat-hormatan seperti itu!”

Song Kim menjadi heran, akan tetapi ia masih belum berani mengubah sikapnya. Wanita ini, biarpun dahulu bermusuhan dengannya, kini adalah seorang junjungannya. Kalau dia menuruti kemauannya dan mengubah sikap, bagaimana kalau kata-kata Tang Ki itu hanya merupakan pancingan belaka untuk menjebaknya? Tentu dia akan celaka!

“Habis, bagaimana hamba akan bersikap?” tanyanya, hati-hati.

“Sudahlah, suheng, tanggalkan saja semua topeng sopan santun yang kadang-kadang amat membosankan hatiku itu. Anggap saja aku ini masih Kiki, sumoimu sendiri. Ini merupakan permintaanku, juga perintah. Kalau kita berada berdua saja, bersikaplah biasa seperti suheng dan sumoi.”

“Baiklah..... sumoi.”

"Nah, begini baru enak kita bicara. Suheng, aku datang untuk bicara denganmu mengenai maksudmu untuk menikah dengan Sheila, perempuan bule itu. Suamiku dan aku sudah sepakat untuk tidak menyetujui terjadinya hal itu, suheng.”

Mendengar ini, Song Kim mengerutkan alisnya dan memandang kepada wajah permaisuri itu dengan tajam penuh selidik. “Akan tetapi... bukankah.... Sribaginda Raja memberi waktu sebulan untuk memikirkan hal itu secara mendalam? Bagaimana sekarang tiba-tiba....”

“Tenanglah, suheng,” kata wanita itu sambil menyentuh punggung tangan Song Kim. “Kami sudah mempertimbangkan untung ruginya maka berani mengambil kesimpulan dan tidak menyetujui pernikahan itu. Ingatlah bahwa engkau mempunyai kedudukan penting di sini. Kalau engkau memperisteri seorang wanita kulit putih, hal itu akan mendatangkan nama buruk dan mencemarkan kewibawaan Sribaginda sendiri. Pula, engkau melihat apa sih pada diri Sheila sehingga engkau jatuh cinta kepada wanita bule itu? Masih banyak wanita cantik di dunia ini, dan engkau boleh memilih, asal jangan perempuan bule itu.”

“Aku... aku amat tertarik kepadanya, sumoi. Ia cantik dan lembut, dan terutama mata dan rambutnya...”

“Hemm, tidak kau lihat betapa kulitnya biarpun amat putih akan tetapi tidak sehalus kulitku? Hemm, apakah.... apakah ia itu kau anggap lebih cantik dari aku, suheng? Sudahlah, kau lupakan saja Sheila dan kau boleh memilih seorang wanita cantik yang mana saja, tentu akan bisa kau dapatkan. Kami bahkan akan membantu engkau sampai wanita yang kau kehendaki dapat kau miliki.”

Tiba-tiba suatu pikiran menyelinap ke dalam kepala Song Kim. Sumoinya ini bersikap begini menantang! Dan kalau sampai dia dapat mendekati sumoinya ini, hemmm.... siapa tahu dia akan dapat merampas singgasana dan menggantikan kedudukan Ong Siu Coan!

“Tentu saja kecantikan Sheila tidak dapat dibandingkan dengan engkau, sumoi. Akan tetapi.... satu-satunya wanita di dunia ini yang amat kucinta, sejak dahulu, kini telah menjadi milik orang lain, dan aku hanya mampu memandangnya dengan penuh kerinduan. Kalau aku tidak boleh menikah dengan Sheila, kiranya tidak ada wanita lain di dunia ini yang dapat kucinta, karena cintaku telah terbawa oleh wanita pertama itu. Engkau sendiri tahu betapa sampai sekarang dalam usia hampir empat puluh tahun, aku masih belum mau menikah, sumoi.”

Mendengar ucapan yang keluar dengan suara mengandung getaran mengharukan itu, Tang Ki memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik, lalu ia mendekatkan tubuhnya ke arah Song Kim sambil bertanya, “Siapakah wanita itu, suheng? Kenapa engkau membiarkan ia dimiliki orang lain?” Ia mengira bahwa tentu suhengnya pernah jatuh cinta mati-matian dan gagal, maka ia ingin sekali mendengar siapa gerangan wanita yang membuat suhengnya tidak mau menikah dengan wanita lain itu.

Song Kim mengangkat muka memandang wajah yang cantik manis itu. Tahi lalat yang menghias pipinya itu membuat wajahnya nampak manis bukan main dan karena wanita itu duduk dekat sekali dengannya, dia dapat mencium bau semerbak mengharum yang keluar dari tubuh dan pakaiannya.

“Sumoi, apakah engkau tidak tahu? Siapa lagi wanita yang telah kucinta sejak belasan tahun yang lalu, sejak kita bersama tinggal di Pulau Layar? Siapa lagi kalau bukan... engkau seorang...? Maafkan aku, sumoi....”

“Aihh...!” Tang Ki memandang dengan muka berubah merah sekali, bukan karena marah melainkan karena terkejut dan juga malu dan senang! Ia memang tahu bahwa suhengnya pernah tergila-gila kepadanya, bahkan suhengnya sudah pernah mencoba untuk memperkosanya dan hampir saja berhasil.

Malah akhir-akhir ini, ketika Song Kim mencuri pedang, dia telah meraba pahanya, hal ini menandakan bahwa perasaan mesra yang dahulu itu masih ada. Dan sekarang, suhengnya malah berani mengaku terus terang.

Song Kim melihat sikap ini dan dia bukan seorang laki-laki bodoh, diapun cepat menangkap tangan yang terletak di atas meja di dekatnya itu, lalu menciumi jari-jari tangan itu dengan penuh kehangatan dan kemesraan, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Tang Ki tanpa melepaskan tangan wanita itu sambil meratap. “Sumoi... maafkan aku.... sejak dahulu aku tergila-gila kepadamu. Hanya untuk dapat berdekatan dengan engkau sajalah maka aku sekarang mau menghambakan diri kepada suamimu...”

Tang Ki yang oleh suaminya diberi tugas untuk membujuk Song kim agar suka mengurungkan niatnya menikahi Sheila, kini bahkan sebaliknya jatuh oleh bujuk rayu Song Kim yang amat ahli dalam hal itu. Jantugnya berdebar-debar, mulutnya tersenyum kecil, matanya bersinar-sinar.

“Benarkah.... benarkah itu, suheng?” katanya dengan suara berbisik dan pandang mata sayu.

Semua ini dapat dilihat oleh Song Kim dan dapat dimengertinya dengan baik. Diam-diam dia merasa heran mengapa kini, setelah menjadi seorang pemaisuri, sumoinya ini agaknya malah bersedia untuk melayani hasratnya! Dia tidak tahu bahwa semua itu terjadi karena memang ada perubahan terjadi di dalam hati Tang Ki.

Setelah ia merasa tidak suka kepada suaminya yang dianggapnya gila dan tidak lagi mencintanya, apalagi ketika ia melihat suaminya hendak menggagahi Sheila. Terjadi perubahan di dalam hati Tang Ki dan kini ia memandang pria yang memang lebih ganteng dibanding suaminya itu dengan gairah membayang pada sepasang matanya yang indah.

“Engkau.... engkau masih belum percaya kepadaku, sumoi...?” kata Song Kim tanpa melepas tangan yang kecil mungil itu dari genggamannya.

Tang Ki tersnyum manis. “Mana percaya kalau hanya kata-kata saja dan tidak ada buktinya?”

Mendengar jawaban ini, Song Kim tidak ragu-ragu lagi. Diapun bangkit dan merangkul. Tang Ki yang bagaikan setangkai pohon bunga yang kekeringan dan haus siraman air kasih sayang seorang pria, balas memeluk dan keduanya saling rangkul, saling cium dan saling belai penuh kerinduan.

Ber4hi merupakan satu di antara nafsu yang amat kuat. sekali orang berada dalam cengkeraman nafsu ber4hi, dia akan lupa segala. Yang teringat hanyalah penyaluran dan pemuasannya. Demikian pula dengan Song Kim dan Tang Ki. Mereka lupa bahwa mereka adalah seorang permaisuri dan seorang hambanya! Mereka bahkan lupa akan bahaya kalau sampai ketahuan orang dan terdengar oleh Sribaginda.

Namun, keduanya adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi sehingga mereka dapat berkencan dan melakukan perjin4han tanpa diketahui orang lain! Dan sejak saat itu, terjadilah hubungan gelap antara bekas suheng dan sumoi ini dan keduanya merasa cocok sekali.

* * *

Tentu saja Sheila merasa terkejut dan khawatir ketika ia bersama puteranya pada sore hari itu dipanggil oleh pengawal untuk menghadap Sribaginda Raja dan Ratu yang telah menanti di ruangan dalam. Sheila cepat mengajak puteranya, Gan Han Le, menjatuhkan diri berlutut di depan mereka.

“Sheila,” terdengar Sribaginda Raja Ong Siu Coan berkata dengan suara ramah. “Tahukah engkau dan puteramu mengapa saat ini kami panggil menghadap?”

Tanpa mengangkat mukanya, Sheila menjawab, “Hamba berdua tidak tahu, Sribaginda.”

“Ketahuilah bahwa keadaanmu di istana ini telah diketahui oleh bangsamu, dan kini datang utusan mereka untuk minta agar engkau dan puteramu dikirim kepada mereka. Ada keluarga orang tuamu yang menuntut agar engkau kembali kepada mereka. Karena itu, malam ini juga kalian berdua akan kami serahkan kepada seorang mata-mata pasukan kulit putih agar dibawa dengan kereta ke pelabuhan di mana telah menanti kapal bangsamu.”

Mendengar ini, Sheila merasa terkejut bukan main. Sama sekali ia tidak pernah membayangkan akan kembali kepada bangsanya. Pernah ia kembali bersama mendiang suaminya, belasan tahun yang lalu karena ada undangan bangsanya. Akan tetapi kembalinya itulah yang mencelakakan suaminya.

Suaminya tewas dan hatinya menjadi demikian sakitnya segingga ia rela meninggalkan bangsanya dan rela hidup di antara rakyat di dusun-dusun bersama puteranya. Akan tetapi, yang mengirimnya sekarang adalah raja! Dan ia sama sekali tidak berdaya untuk menolaknya. Dan iapun tidak akan menolak.

Memang ia sudah ingin sekali melepaskan diri dari istana raja yang pernah menjadi suheng mendiang suaminya ini, apalagi setelah peristiwa di malam itu, setelah sang raja mencoba untuk menggaulinya dengan paksa.

Diam-diam ia bahkan merasa girang bahwa ia dan puteranya akan dapat lolos dari tempat ini. Ia akan menghadapi komandan pasukan bangsanya, dan kelak saja kalau sudah berhadapan dengan mereka dan melihat sikap mereka, ia akan dapat mengambil keputusan apa yang selanjutnya akan dilakukannya.

“Hamba hanya mentaati perintah paduka, Sribaginda.” jawabnya tenang.

Sementara itu, jauh di luar tembok kota raja Nan-king, di dalam bayangan tembok benteng yang agak gelap dan sunyi, tiga orang panglima utusan Raja Ong Siu Coan mengadakan pertemuan dengan seorang laki-laki yang bertubuh jangkung, pakaiannya sederhana serba putih, usianya sekitar lima puluh lima tahun.

Mukanya buruk sekali, dengan kulit muka yang rusak seperti bekas terbakar, matanya juga besar sebelah, hidungnya menceng, mulutnya juga nyerong, telinganya mengecil, punggungnya bongkok dan lengan kirinya bengkok.

Semua keburukan ini ditambah lagi dengan jalannya yang terpincang-pincang. Orang ini bukan lain adalah Bu Beng Kwi yang telah kita kenal! Bagaimana secara tiba-tiba saja Bu Beng Kwi dapat muncul di luar kota raja Nan-king dan mengadakan pertemuan dengan tiga orang panglima utusan Raja Ong Siu Coan...?

Jilid selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.