Pemberontakan Taipeng Jilid 12 karya Kho Ping Hoo - SEPERTI telah kita ketahui, ketika Sheila mengajak Han Le pergi meninggalkannya, hati Bu Beng Kwi hancur lebur. Dia merasa seolah-olah semangatnya terbang melayang dibawa pergi Sheila, seluruh kebahagiaannya lenyap terbawa pergi dan yang ada hanyalah sesosok tubuh yang terasa lemah dan lelah, sepi dan sunyi tanpa semangat lagi.

Ingin rasanya mati saja. Dia tahu betapa hancur pula rasa hati Sheila, wanita yang dikasihinya itu, setelah Sheila melihat kenyataan bahwa dia adalah Koan Jit, pembunuh suami wanita itu, musuh besarnya! Dan dia tidak menyalahkan Sheila, bahkan merasa terharu dan kasihan sekali. Biarpun dia merasa hidupnya hampa dan tidak ada artinya lagi.
Namun dia sadar bahwa Sheila dan puteranya tentu akan menghadapi banyak tantangan dalam hidup, bahkan tentu akan mengalami banyak rintangan dan ancaman bahaya. Oleh karena itulah, kekhawatiran dan keselamatan Sheila dan anaknya itu menggugahnya, menghidupkan kembali tubuhnya yang lunglai dan diapun cepat membayangi kepergian ibu dan anak itu.
Dialah yang memberikan buntalan pakaian ibu dan anak itu, dia pula yang menyelimuti mereka, membantu Han Le mendapatkan kelinci dan ayam hutan, bahkan memberi bungkusan garam. Ketika ketiga orang laki-laki kurang ajar mengganggu Sheila, Bu Beng Kwi pula yang diam-diam mengusir tiga orang laki-laki itu. Diapun terus membayangi ketika Sheila dan Han Le dibawa pergi oleh Tan-ciangkun menuju ke Nan-king, dibawa masuk ke dalam istana raja Ong Siu Coan.
Biarpun Sheila dan Han Le telah berada di dalam istana, tetap saja Bu Beng Kwi membayangi. Tentu saja amat sukar untuk menyelundup ke dalam istana. Akan tetapi, berkat kesaktiannya, diapun pada malam harinya berhasil menyusup masuk kompleks istana dan bersmbunyi. Dia melihat pula betapa Sheila diterima dengan baik oleh Ong Siu Coan.
Akan tetapi dia melihat bahaya mengancam diri Sheila ketika melihat betapa raja itu agaknya mulai tergila-gila kepada Sheila. Untung ada Tang Ki yang mencegah terjadinya pemaksaan yang akan dilakukan raja itu terhadap diri Sheila sehingga pemerkosaan dapat dicegah. Andaikata tidak muncul Tang Ki, tentu Bu Beng Kwi akan nekat muncul dan melindungi Sheila pada malam hari itu.
Semenjak terjadinya hal itu dan dia melihat bahaya yang mengancm diri Sheila, Bu Beng Kwi lalu mencari akal untuk dapat mengeluarkan Sheila dan anaknya dari istana itu. Kebetulan sekali pada suatu hari dia melihat sebuah kereta yang memuat beberapa peti besar, dikawal oleh tiga orang berikut kusir.
Karena sikap mereka bertiga itu mencurigakan, dengan gerak-gerik mereka yang jelas membayangkan kekuatan dan kepandaian silat, diam-diam Bu Beng Kwi yang telah keluar dari istana untuk mencari jalan mengeluarkan Sheila dan anaknya, membayangi dan pada malam harinya, ketika tiga orang itu berhenti dan bermalam di sebuah rumah penginapan, menurunkan peti-peti yang jumlahnya delapan buah itu ke dalam kamar, diapun melakukan pengintaian.
Dengan kepandaiannya yang tinggi, akhirnya Bu Beng Kwi dapat membuka sebuah di antara peti-peti itu di luar tahu pemiliknya dan terkejutlah dia melihat bahwa setiap peti terisi dua puluh lima pucuk senjata api! Kemudian, pengintaiannya membuat dia maklum bahwa tiga orang itu adalah kaki tangan orang kulit putih yang menyelundupkan dua ratus buah senjata api untuk dijual kepada pihak pemerintah baru di Nan-king.
Tanpa banyak kesukaran, Bu Beng Kwi dapat menyingkirkan dan membunuh tiga orang itu, yang dianggapnya sebagai pengkhianat-penghianat yang menjual diri kepada orang kulit putih. Dia merampas kereta berikut delapan peti berisi dua ratus pucuk senjata api itu, dan dialah yang melanjutkan perjalanan menuju keluar kota Nan-king seperti yang telah didengarnya dari percakapan antara tiga orang mata-mata itu.
Dan tepat seperti yang sudah didengarnya, kedatangannya disambut oleh mata-mata Tai Peng. Akan tetapi, untuk dua ratus pucuk senjata api itu, dia tidak minta uang. Menyamar sebagai mata-mata pihak kulit putih, dia mengatakan bahwa dia diperintah oleh para komandan kulit putih untuk menukar dua ratus pucuk senapan itu dengan diri nyonya Sheila, wanita kulit putih yang berada di istana Nan-king.
Demikianlah, yang menjadi mata-mata itu adalah Bu Beng Kwi, dan Raja Ong Siu Coan telah menyetujui penukaran itu. Dan malam itu, seperti telah dijanjikan, dengan keretanya, Bu Beng Kwi menanti di tempat gelap, siap untuk menukarkan delapan peti yang masih disembunyikan dengan diri Sheila dan puteranya.
Setelah menanti dengan jantung berdebar penuh ketegangan, akhirnya yang dinanti-nantikannya datanglah. Ibu dan anak itu datang dikawal oleh pasukan pengawal, naik kuda dan begitu tiba di situ, Sheila dan Han Le langsung saja naik ke dalam kereta tanpa bertanya lagi. Mereka memang sudah diberitahu bahwa mereka akan dijemput oleh mata-mata orang kulit putih yang akan membawanya pergi.
Dengan pasrah, karena maklum betapa bahayanya kalau ia tetap berada di istana, Sheila menggandeng tangan puteranya dan naik ke dalam kereta. Karena cuaca di situ gelap, iapun tidak melihat siapapun juga, kecuali bayangan beberapa orang di bawah pohon tidak jauh dari kereta itu. Belum nampak ada kusir yang duduk di depan kereta.
Setelah melihat bahwa Sheila dan Han Le memasuki kereta, barulah Bu Beng Kwi mengambil delapan peti terisi senjata api. Para mata-mata dan pengawal memeriksa dan menghitung. Setelah mendapat kenyataan bahwa dua ratus pucuk bedil itu lengkap jumlahnya, mereka mengangguk.
Tanpa banyak cakap lagi Bu Beng Kwi lalu naik ke tempat duduk kusir di depan dan mencambuk dua ekor kuda yang menariknya. Keretapun berjalan meninggalkan tempat itu melalui jalan yang gelap.“Ibu, kita hendak ke manakah?” beberapa kali Han Le mengajukan pertanyaan ini kepada ibunya. Ada sedikit kekecewaan di dalam hati anak ini. Dia sudah dipisahkan oleh ibunya dari gurunya yang sangat dihormati dan dikasihinya, yaitu Bu Beng Kwi. Kemudian, dia mendapatkan guru baru di istana, dan dia mulai belajar silat dan juga ilmu baca tulis, akan tetapi kembali dia diajak pergi oleh ibunya!
Beberapa kali Sheila hanya menjawab, “Diam dan tenanglah, Henry, dan tidur sajalah. Besok engkau akan tahu sendiri ke mana kita pergi.” Sheila agak ragu-ragu untuk memberi tahu kepada puteranya bahwa mereka akan pergi ke bangsa kulit putih. Ia dapat membayangkan betapa puteranya, yang hanya warna matanya saja menurun kepadanya dari darah kulit putih, akan merasa asing di antara bangsa kulit putih.
Apalagi Han Le tidak begitu lancar berbahasa Inggris walaupun sejak kecil ia sudah mengajarnya. Han Le tidak pernah mendapat kesempatan untuk berbicara dalam bahasa Inggris dengan orang lain kecuali dengan ibunya. Karena itu, maka ditangguhkannya keterangan yang sebenarnya kepada anak itu, agar anaknya tidak gelisah dan dapat tidur di dalam kereta itu.
“Ibu, kenapa ibu tidak memberitahu sekarang saja? Aku akan gelisah dan tidak dapat tidur, menduga-duga ke mana kita akan pergi. Kemanakah kita pergi, ibu?” kembali Han Le mendesak.
“Aku sendiri belum tahu, Henry.”
“Belum tahu? Kalau begitu, kenapa kita pergi?”
“Sribaginda yang memerintahkan. Kita harus pergi dari istana, malam ini juga. Kita menurut saja kepada kusir kereta ini, kemana kita akan dibawa pergi.”
“Heii, pak kusir! Ke manakah kami akan kaubawa pergi? Ke mana?” Han Le berteriak ke arah punggung kusir.
Akan tetapi, kusir itu tidak menjawab, duduk diam seperti arca yang hanya nampak punggungnya yang lebar. Beberapa kali Han Le berteriak dan bertanya, namun tidak ada jawaban. Akhirnya anak itu mengomel.
“Ibu, sungguh jahat sekali raja yang menjadi suheng dari mendiang ayah itu, ya? Dia mengusir kita tanpa memberi tahu ke mana kita akan dibawa pergi. Sungguh aku tidak senang mempunyai supek macam dia, walaupun dia telah menjadi raja!”
“Husshh, Henry, tidurlah dan jangan banyak cakap lagi.” Sheila berkata dalam bahasa Inggris kepada puteranya sambil menuding ke arah punggung kusir, seperti memberi tahu agar puteranya tidak bicara lagi yang bukan-bukan karena ada kusir itu yang mendengarkan.
Han Le bersungut-sungut, akan tetapi diapun lalu merebahkan diri miring di atas tempat duduk, berusaha untuk tidur. Sheila juga menyandarkan tubuhnya dan berusaha untuk memejamkan matanya. Namun, tidak mungkin ia dapat tidur menghadapi keadaan seperti itu. Nasibnya belum dapat ditentukan akan menjadi bagaimana. Ia tidak begitu perduli akan dirinya sendiri.
Setelah apa yang dideritanya, kehancuran hatinya melihat kenyataan bahwa pria yang dipujanya, yang bahkan dicintanya, Bu Beng Kwi, ternyata adalah musuh besar, yaitu Koan Jit orang yang paling dibencinya, iapun tidak perduli lagi akan apa yang terjadi dengan dirinya. Bahkan rasanya kalau tidak melihat puteranya, ia ingin mati saja menyusul suaminya. Akan tetapi di sampingnya ada Henry, puteranya.
Tidak, ia tidak ingin mati lebih dulu. Ia harus mendidik Henry, yang penting adalah nasib Henry, bukan nasib dirinya. Karena itu ia akan melihat bagaimana nanti keadaan di antara bangsanya sendiri. Kalau Henry merasa tidak berbahagia berada di antara bangsa kulit putih, ia akan mengajak Henry pergi lagi, entah ke mana, asal Henry dapat hidup berbahagia.
Terbayanglah di depan matanya peristiwa pembukaan rahasia diri Bu Beng Kwi yang sudah sering terbayang olehnya. Dan seperti biasa, tak dapat ia menahan membasahnya kedua matanya. Ia tahu benar betapa besar rasa cintanya kepada Bu Beng Kwi. Teringat ia betapa laki-laki itu seringkali menangis dan menyesali diri sendiri, dan iapun merasa terharu Tak mungkin ia dapat membenci Bu Beng Kwi. Ia merasa kasihan, terharu dan juga kagum yang membangkitkan cinta kasih yang besar.
Akan tetapi kalau ia teringat akan wajah Koan Jit, setelah topeng Bu Beng Kwi dilepas, ia segera teringat kepada mendiang suaminya dan iapun merasa benci sekali kepada Koan Jit. Dan ternyata bahwa Koan Jit adalah Bu Beng Kwi, bahwa Bu Beng Kwi adalah Koan Jit! Ia terjepit di antara kasih sayang dan kebencian. Namun yang jelas, ia amat berduka dan merasa kehilangan, kehilangan pria yang dikasihinya, Bu Beng Kwi!
Kalau ia masih berada di dekat Bu Beng Kwi, tidak akan begini nasibnya. Ia tentu masih hidup berbahagia di Bukit Ayam Merah, melayani segala keperluan Bu Beng Kwi. Mencuci untuknya, memasak untuknya, membersihkan rumahnya, melakukan segala pekerjaan yang amat disukanya karena dengan pekerjaan itu ia memperlihatkan rasa cintanya kepada pria itu.
Dan kini ia merasa menyesal mengapa Bu Beng Kwi membuka rahasianya? Kenapa Bu Beng Kwi menghidupkan lagi Koan Jit sehingga menghidupkan pula dendam dan kebenciannya? Mengapa? Air matanya mengalir turun di kedua pipinya. Tiba-tiba kereta berhenti. Han Le yang tadinya sudah pulas itu terbangun.
“Ibu, kenapa kereta berhenti? Sudah sampaikah kita?” tanyanya.
“Ssttt, diam saja kau,” kata Sheila dalam bahasa Inggris, berbisik lirih karena ia melihat bayangan orang menghadang didepan kereta dan mendengar orang membentak-bentak di depan kereta itu, agaknya ditujukan kepada kusir kereta.
“Turunlah kalau engkau mau selamat!” terdengan suara kasar membentak. “Kereta ini dan seisinya untuk kami! Kalau kau membantah, kami akan menyeret dan membunuhmu lebih dulu!”
“Kalian siapakah? Tidak tahukah bahwa aku melaksanakan perintah Sribaginda Raja di Nan-king?” terdengar suara berat dari kusir itu.
“Ha-ha-ha, kami pemungut pajak di jalan tidak mengenal utusan kaisar atau utusan siapa saja. Harus tunduk kepada perintah kami. Hayo menggelinding turun kau, atau engkau sudah bosan hidup?” terdengar suara pertama membentak.
Terdengar suara pecut meledak-ledak dan kereta itu berguncang. Sheila yang membayangkan bahwa kusir itu tentu dikeroyok oleh para perampok itu, memeluk puteranya dan menanti dengan jantung berdebar penuh kekhawatiran.
“Tenanglah, ibu. Aku akan melindungimu....” terdengar Han Le berbisik dan biarpun kata-kata ini menggelikan, namun cukup mengharukan hati Sheila yang memeluk lebih keras lagi.
Terdengar teriakan-teriakan perkelahian di luar kereta. Kusir itu bukan lain adalah Bu Beng Kwi, tadi mendengar percakapan antara Sheila dan Han Le dengan hati terharu. Diapun kagum melihat betapa Sheila tetap tabah dalam keadaan apapun juga. Dia tidak ingin memperlihatkan diri dan hanya akan membawa ibu dan anak itu sejauh mungkin dari jangkauan tangan Ong Siu Coan dan anak buahnya, kemudian akan meninggalkan mereka.
Akan tetapi, sungguh tidak disangkanya sama sekali bahwa di tempat sunyi di luar hutan yang berada di kaki sebuah bukit itu keretanya akan dihadang oleh perampok yang jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang. Bu Beng Kwi menjadi marah dan tentu saja dia tidak sudi menyerahkan kereta dan isinya.
Dia tadi menggunakan cambuknya merobohkan perampok yang mengancamnya, akan tetapi dia terkejut melihat betapa perampok itu dapat meloncat bangun kembali. Dia lalu meloncat turun dari kereta. Belasan orang, atau mungkin juga dua puluh itu, kini mengepungnya dan ketika mereka bergerak menyerang, tahulah Bu Beng Kwi bahwa mereka bukanlah perampok sembarangan saja.
Rata-rata mereka memiliki ilmu silat yang cukup tinggi! Dan mereka mempergunakan golok atau pedang yang baik! Diam-diam dia terkejut sekali. Tidak dapat dia menduga siapa yang mengirim pasukan pilihan ini untuk menghadang keretanya. Dugaannya memang tepat. Dua puluh empat orang itu bukanlah perampok biasa saja, melainkan dua lusin perajurit pilihan yang dikirim oleh permaisuri untuk menghadang kereta dan membunuh Sheila dan Han Le!
Melihat betapa Sheila telah membuat Ong Siu Coan, kemudian bahkan Lee Song Kim, jatuh cinta, timbul perasaan tidak senang, bahkan kebencian dan iri hati di dalam dada permaisuri itu. Oleh karena itu, diam-diam ia mempersiapkan dua losin perajurit pengawal pilihan dan mengutus mereka untuk menghadang kereta itu dan menyamar sebagai perampok-perampok, membunuh ibu dan anak itu, juga kusirnya yang didengarnya adalah seorang mata-mata bangsa kulit putih.
Betapapun lihai dua losin perajurit itu namun mereka terkejut bukan main menghadapi kusir itu. Sinar bulan tua memberi penerangan yang cukup sehingga para pengeroyok itu dapat melihat wajah orang yang mereka keroyok. Dan mereka terkejut setengah mati. Wajah itu sepeti wajah setan! Lebih lagi rasa kaget mereka ketika melihat betapa kusir itu berkelebat dan dalam waktu beberapa gebrakan saja, empat orang di antara mereka telah roboh tak dapat bangun kembali!
Si wajah setan ini ternyata lihai bukan main, pikir mereka. Tadinya mereka mentertawakan perintah permaisuri. Untuk membunuh seorang kusir, seorang wanita kulit putih dan anaknya saja permaisuri telah mengutus sebanyak dua losin perajurit pilihan! Akan tetapi kini mereka terkejut dan mereka memperketat pengepungan, mempercepat dan memperkuat gerakan senjata mereka. Tak mungkin seorang kusir bertangan kosong mampu mengalahkan mereka yang jumlahnya dua losin dan semua bersenjata lengkap!
Akan tetapi, kembali empat orang roboh berturut-turut dan tidak mampu bangun kembali tercium kedua tangan dan kaki kusir itu! Delapan orang telah tewas dan kini para pengeroyok menjadi marah, penasaran, akan tetapi juga agak gentar. Bahkan tiga orang di antara mereka, yang menjadi pemimpin pasukan dan dua orang pembantunya, diam-diam meninggalkan teman-teman yang mengeroyok dan merekapun menghampiri kereta.
Mereka, bagaimanapun juga, harus dapat melaksanakan tugas yang diperintahkan permaisuri, karena kalau sampai gagal, mereka tentu akan dihukum mati ! Ketika mereka menyingkap tirai pintu kereta, mereka melihat seorang wanita sedang berpelukan dengan anaknya, seorang laki-laki belasan tahun. melihat munculnya tiga orang yang memegang pedang, Han Le terkejut dan marah. Apalagi ketika seorang di antara mereka menangkap lengan ibunya dan menyeretnya turun dari kereta.
“Jangan ganggu ibuku!” bentak Han Le sambil memukul. Akan tetapi, sebuah tamparan membuat dia terpelanting keluar kereta. Tiga orang itu lalu menangkap Sheila, memondongnya dan merekapun melarikan diri menghilang ke dalam gelap, ke arah hutan yang berada di kaki bukit. Han Le tidak perduli akan kepeningan kepalanya dan diapun lari mengejar.
“Lepaskan ibuku...!” bentaknya sambil mengejar. Akan tetapi tiga orang itu berlari cepat ke dalam hutan yang gelap. Han Le nekat, terus mengejar ke dalam hutan secepat mungkin.
Sementara itu, mendengar teriakan Han Le, Bu Beng Kwi terkejut sekali. Teriakan itu berarti bahwa Sheila telah ditangkap orang, pikirnya. Hal ini membuat dia marah sekali. Dari dalam dadanya keluar suara menggereng hebat. Para pengeroyok yang kini tinggal tiga belas orang jumlahnya itu, terkejut dan gentar. Gerengan itu seperti mengguncang jantung mereka dan di antaranya ada yang seketika menjadi lumpuh seperti anak kambing mendengar harimau mengaum.
Memang gerengan yang dikeluarkan Bu Beng Kwi itu mengandung tenaga khikang yang amat kuat. Bu Beng Kwi mengamuk. kaki tangannya menyambar-nyambar dan demikian cepat gerakannya seolah-olah dia berkaki enam dan bertangan enam. Dalam waktu sebentar saja, tiga belas orang itu telah roboh semua. Di tempat itu berserakan tubuh dua puluh satu orang yang agaknya telah tewas semua!
Sekali loncat, Bu Beng Kwi telah mendekati kereta dan ketika dia menjenguk ke dalam tidak melihat Sheila dan Han Le, dia mengeluarkan keluhan dalam dan tubuhnya sudah berkelebat lenyap meninggalkan kereta itu. Dan nampak bayangan putih berkelebat ke dalam hutan, ke arah dari mana dia mendengar suara Han Le tadi.
Dengan kecepatan yang luar biasa, bayangan putih itu berkelebatan ke sana-sini di dalam hutan, dan akhirnya Bu Beng Kwi yang sudah merasa gelisah sekali melakukan pengejaran ke atas bukit, keluar dari hutan itu. Dan di luar hutan, nampaklah olehnya Han Le sedang menangis di bawah pohon, dengan pakaian robek-robek dan tubuh lecet-lecet. Tanpa terasa waktu itu malam telah hampir lewat, fajar telah menyingsing dan kegelapan telah berobah menjadi keremangan fajar.
“Han Le, mana ibumu?” Bu Beng Kwi berseru sambil cepat memondong tubuh anak itu.
Bagaikan mimpi rasanya, Han Le terbelalak memandang wajah orang yang memondongnya, kemudian dengan bercampurnya tangis dan tawa dia menuding ke atas bukit, “Ibu dilarikan mereka ke sana, suhu...”
Tanpa membuang waktu lagi Bu Beng Kwi melompat dan mendaki bukit itu seperti terbang cepatnya sambil memondong tubuh Han Le yang masih bengong terlongong karena kaget, heran dan juga girang sekali mengatasi rasa khawatirnya akan nasib ibunya. Gurunya telah muncul, itu berarti bahwa ibunya pasti dapat tertolong.
Sebuah kuil tua bobrok yang berdiri miring di lereng bukit itu menarik perhatian Bu Beng Kwi. Apalagi ketika mendengar jerit tertahan dari tempat itu, disusul suara ketawa yang parau. Bagaikan terbang dia lari ke arah kuil tua itu. Ternyata sebuah kuil yang sudah tidak terpakai lagi. Nampak pintu reyot tertutup dan sekali tendang, daun pintu itu roboh dan apa yang nampak di dalam membuat sepasang mata Bu Beng Kwi seperti mengeluarkan api.
Sheila sedang dipegangi tiga orang laki-laki dan sudah tertawa-tawa sedang menelanjanginya dan sudah berhasil merobek hampir seluruh pakaian wanita itu yang meronta-ronta. Agaknya tadi mulut yang mendekap mulut Sheila pernah terlepas maka terdengar jeritnya yang tertahan.
“Ibuuu....!” Han Le berteriak.
Bu Beng Kwi melepaskan tubuh Han Le di luar ruangan itu dan tubuhnya sendiri sudah menerjang ke dalam. Tiga orang laki-laki itu tadi terkejut mendengar hiruk-pikuknya daun pintu jebol dan mereka menjadi pucat melihat bahwa yang menjebol pintu adalah si muka setan yang tadi mereka keroyok.
Akan tetapi, kekagetan mereka masih terbayang pada wajah mereka ketika nyawa mereka melayang. Demikian cepatnya Bu Beng Kwi menerjang dan tiga kali tamparan kedua tangannya berturut-turut membuat tubuh tiga orang itu terpental dalam keadaan tidak bernyawa lagi, mati tanpa menderita luka yang kelihatan.
Sheila terbelalak memandang dan melihat bahwa yang menolong adalah Bu Beng Kwi, ia mengeluh panjang dan tubuhnya terkulai, jatuh pingsan. Tadi, sekuat tenaga ia mempertahankan diri sehingga tidak sampai pingsan, dan sekarang, begitu terbebas dari malapetaka yang mengerikan, apalagi melihat munculnya Bu Beng Kwi yang selama ini tak pernah dapat dilupakannya sedetikpun, perasaannya terguncang hebat dan iapun roboh pingsan.
Bu Beng Kwi cepat memondong tubuh Sheila dengan penuh kasih sayang. Diselimutinya tubuh itu dengan pakaian yang sudah compang-camping, dan dibawanya keluar.
“Ibu....!” Han Le berseru, khawatir sekali.
“Tenanglah, Han Le. Ibumu tidak apa-apa, hanya pingsan karena cemas dan lelah. Mari kau naik ke punggungku dan kita cepat kembali ke kereta kita.”
Han Le mentaati perintah gurunya dan ketika suhunya berjongkok, diapun naik ke gendongan punggung suhunya. Bu Beng Kwi menggendong Han Le dan memondong tubuh Sheila, lalu berlari cepat ke tempat di mana dia meninggalkan kereta tadi, di seberang hutan.
Han Le bergidik melihat mayat-mayat yang berserakan, akan tetapi gurunya segera membawa dia ke dalam kereta, lalu merebahkan tubuh Sheila ke atas bangku kereta pula.
“Kau jaga ibumu baik-baik agar jangan sampai jatuh. Kita harus segera pergi dari tempat ini.” katanya dan Han Le mengangguk, lalu berlutut dan merangkul tubuh ibunya. Keretapun bergerak, dikusiri Bu Beng Kwi, meninggalkan tempat itu.
Setelah mereka meninggalkan bukit itu dan jauh dari sana, matahari sudah naik tinggi dan Bu Beng Kwi menghentikan keretanya di bawah sebatang pohon besar. Tempat itu sunyi. Ketika dia menjenguk ke dalam kereta, ternyata Sheila masih pingsan, dijaga puteranya yang kelihatan khawatir.
“Suhu, ibu belum juga sadar,” kata Han Le dengan muka cemas.
“Tenangkan hatimu. Ibumu mendapat guncangan batin yang cukup hebat. Sekarang pergilah engkau mencari air dalam panci ini, kemudian buatlah api unggun dan masak air itu sampai mendidih.”
Melihat sikap suhunya yang tenang, giranglah hati Han Le yang tadinya amat mengkhawatirkan keadaan ibunya. “Baik, suhu,” katanya sambil melompat turun dan membawa panci itu, mencari air.
Bu Beng Kwi naik ke dalam kereta dan memeriksa denyut jantung Sheila melalui urat nadi tangannya. Denyut itu lemah dan tidak teratur. Wajah wanita itu pucat sekali dan melihat wajah itu, keharuan menusuk perasaan Bu Beng Kwi. Betapa besarnya dosa yang ditanggungnya terhadap wanita ini, pikirnya.
Dia menghela napas panjang dan mengeluh di dalam batinnya. Mula-mula, dia sebagai Koan Jit telah membunuh suami wanita ini. Kemudian sebagai Koan Jit pula dia telah membunuh Bu Beng Kwi, laki-laki yang dicinta olehwanita ini dengan hati murni.
“Hemm, Koan Jit, engkau harus menerima hukuman yang bagaimana beratnya untuk menebus dosa-dosamu,” demikian suara hatinya mengeluh.
Dan hukuman terberat yang pernah dirasakan selama dia mengubah jalan hidupnya adalah sekarang ini! Hukuman ini jauh lebih berat daripada hukuman yang bagaimanapun juga, bahkan dianggapnya lebih berat dari siksa yang membawa mati sekalipun. Dia mencinta wanita ini, dan mencinta puteranya. Dia mencinta mereka berdua dengan sepenuh jiwanya, ingin membahagiakan mereka. Namun, wanita yang dicintanya itu membencinya, menjauhinya.
Padahal, wanita ini sesungguhnya juga mencintanya, hanya karena perbuatannya yang lalu maka cinta itu berubah menjadi kebencian yang amat mendalam. Dan kenyataan ini amat menyiksa batinnya, mendatangkan penyesalan yang agaknya tidak akan mereda walaupun ditebus dengan nyawa sekalipun.
Ada dua macam penyesalan. Pertama adalah penyesalan karena menyadari akan dosa yang telah dilakukan, penyesalan yang dapat membuat si pelaku bertaubat dan tidak akan melakukan dosa itu untuk kedua kalinya. Penyesalan kedua adalah penyesalan yang timbul karena akibat buruk menimpa diri sebagai akibat perbuatan dosanya itu. Penyesalan yang kedua ini tidak akan menimbulkan kesadaran dan tidak membuat orang bertaubat.
Bu Beng Kwi menyesal karena keduanya. Dia telah menyadari dosa-dosanya semenjak bertemu dengan pendeta sakti Siauw-bin-hud dan seketika kesadaran itu merobah jalan hidupnya. Dia meninggalkan kehidupan bergelimang dosa sehingga sinar cinta kasih dan keadilan yang berada di dalam batin setiap manusia, kini bersinar terang dan tidak tertutup oleh debu-debu kekotoran.
Namun, siksa batin yang dideritanya sebagai akibat dosa-dosanya, ketika dia bertemu dengan Sheila dan puteranya, mendatangkan pula penyesalan yang amat hebat, membuat dia kehilangan gairah hidup.
Bagaimanapun macamnya, penyesalan tidak ada gunanya sama sekali. Hanya permainan pikiran saja yang mengingat- ingat masa lalu, dan ingatan akan masa lalu ini hanya membuahkan penyesalan, duka, dendam, kemarahan dan sebagainya lagi. Kalau kita mau waspada setiap saat, sehingga setiap gerak-gerik kita lahir maupun batin selalu berada di bawah pengamatan.
Maka kebijaksanaan akan selalu menyertai kita sehingga kita tidak akan salah langkah. Namun, betapapun saktinya, Bu Beng Kwi alias Koan Jit hanyalah seorang manusia biasa. Diapun menginginkan kesenangan, antara lain kesenangan agar selalu dapat berdekatan dengan Sheila dan Han Le, dua orang yang dicintanya, keinginan agar cintanya terhadap mereka dibalas tanpa halangan apapun. Dan keinginan, dalam bentuk apapun juga, tak terpisahkan dari suka.
Keinginan selalu melahirkan duka, karena keinginan tak ada batasnya, makin mekar dan sekali waktu pasti keinginan takkan terpenuhi dan timbullah kecewa, timbullah duka. Lenyapnya keinginan adalah apabila kita hidup saat demi saat, menikmati yang ada karena keinginan adalah pengejaran hal yang belum ada.
Kalau kita selalu hidup di saat ini, tanpa ikatan dengan masa lalu, tanpa harapan untuk masa depan, hidup sepenuhnya saat demi saat, maka dalam keadaan apapun juga kita akan selalu waspada. Waspada dan sadar dalam arti kata tidak tebuai masa lalu dan tidak terseret keinginan masa depan.
Hanya dengan beginilah kita dapat hidup sesungguhnya, menikmati apa yang ada hidup bahagia saat demi saat, bagaimanapun keadaan hidup kita di saat-saat itu. Kebahagiaan hanya terdapat di saat ini, bukan kemarin atau esok, karena hidup adalah saat ini pula, saat demi saat di mana kita harus sepenuhnya sebagai seorang manusia.
Sayang, sungguh sayang. Kita membiarkan sebagian besar kehidupan kita menjadi permainan pikiran, dikuasai sepenuhnya oleh pikiran yang selalu sibuk berceloteh sehingga batin melahirkan emosi. Pikiran menciptakan kemarahan, kekhawatiran, rasa takut, kebencian, prasangka, iri hati. dan sebagainya lagi. Pikiran mejadi debu kotoran yang menutupi sehingga cahaya kebahagiaan tidak nampak lagi.
Kita dapat melihatnya dalam kehidupan kita sehari-hari, betapa hidup ini hanya dipenuhi oleh permainan pikiran yang menciptakan si aku. Aku ingin ini, aku ingin itu, aku senang lalu bosan, aku kecewa karena tak terpenuhi keinginanku, aku marah karena terganggu, karena aku dirugikan, aku takut karena aku terancam, karena ada bahaya aku dipisahkan dari orang atau benda milikku yang kusayang.
Setiap hari kita diombang-ambingkan dari saat ke saat oleh segala macam emosi. dan semua ini timbul hanya karena kesadaran kita dirampas dan diduduki oleh pikiran yang selalu mempermainkan masa lalu, masa ini, dan masa mendatang. Dapatkah kita hidup berbahagia? Dapatkah kita hidup di saat ini?
Kalau pertanyaan ini timbul dari keinginan si aku pula yang mengejar kesenangan dan kenikmatan, mempergunakan cara “hidup berbahagia saat ini” sebagai suatu cara untuk memperoleh kenikmatan, maka kita anak terseret dalam lingkaran setan. Itu masih ulah pikiran yang selalu mengejar kesenangan belaka.
Akan tetapi mari kia buang segala ikatan, kita buang segala kekotoran, kita buang segal gambaran-gambaran tentang diri pribadi yang diciptakan si aku dan kita akan waspada setiap saat, dan baru ada arti dalam kehidupan ini, karena kita benar-benar HIDUP, bukan sekedar seonggok daging yang dipermainkan oleh nafsu-nafsu keinginan!
Tuhan Maha Kasih ! Segala isi mayapada, yang nampak maupun yang tidak nampak, dilimpahkan kepada kita dengan penuh kerelaan, dengan penuh kasih. Kalau kita tidak dapat menikmatinya, tidak dapat menerimanya sebagai suatu berkah dari saat ke saat, dan kita membiarkan diri, diseret suara setan dan iblis yang selalu tidak mengenal puas, bukankah itu merupakan suatu kebodohan?
Mari kita nikmati denyut jantung kita. Kita nikmati setiap hirupan hawa melalui napas kita. Kita nikmati segala keindahan yang nampak oleh mata kita. Kita nikmati segala kemerduan yang terdengar oleh telinga kita, segala keharuman yang tercium oleh hidung kita, segala kelezatan yang termakan oleh mulut kita.
Dan kalau sudah begitu, yang memenuhi batin kita hanyalah perasaan syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kasih, perasaan berbahagia yang keluar masuk dalam batin kita melalui pernapasan kita. Kalau sudah begitu, kita bebas dari ikatan duniawi yang bagaimanapun juga.
Kalau sudah begitu segala peristiwa yang kita anggap baik maupun buruk hanya merupakan hembusan angin saja yang wajar, karena segala akibat tentu ada sebabnya walaupun sering kita tidak mengetahui adanya sebab itu, karena kita sudah buta oleh pengejaran keinginan.
Serelah memeriksa keadaan Sheila dan maklum bahwa wanita itu telah mengalami pukulan batin yang hebat, Bu Beng Kwi tidak berani menyadarkan cepat-cepat. Keadaan pingsan ini bahkan merupakan penyelamatan diri Sheila sendiri, pekerjaan kekuasaan yang ada dalam tubuh Sheila. Karena pingsan, maka untuk sementara ia terbebas dari rasa ngeri, kaget, marah, kemudian keharuan melihat Bu Beng Kwi, dan selamatlah ia.
Kalau tidak pingsan, hantaman batin yang mengguncangkan itu bisa saja membuatnya Sheila menjadi gila, bahkan mati. Karena itu, Bu Beng Kwi membiarkan saja Sheila dalam keadaan pingsan, hanya menotok beberapa jalan darah untuk melapangkan pernapasannya dan membantu kekuatan jantung saja.
Ketika Han Le selesai menyediakan air mendidih, dia menggunakan kain yang dibasahi air mendidih itu untuk mencuci muka dan leher Sheila. kemudian, melihat betapa ada tanda-tanda Sheila akan siuman, dia cepat meninggalkan kereta.
“Siapkan pakaian ibumu, kalau ia siuman agar berganti pakaian dan kau beri minuman air hangat-hangat. Ibumu sedang marah kepadaku, aku tidak mau ia melihatku di sini kalau ia siuman.”
“Tapi, suhu, kenapakah? Mengapa ibu marah kepada suhu?” Justeru hal inilah yang ingin sekali diketahui Han Le semenjak dia diajak ibunya pergi meninggalkan suhunya itu.
Akan tetapi, seperti juga ibunya, Bu Beng Kwi menggeleng kepala dan tidak menjawab, melainkan pergi meninggalkan kereta. Han Le melanjutkan pekerjaan gurunya tadi, menggunakan kain hangat basah untuk membersihkan tubuh ibunya.
Dengan hati iba dia melihat bekas-bekas tangan tiga orang biadab tadi di lengan dan kaki ibunya, tanda lembam kebiruan dan bekas jari tangan. Untung suhunya datang tepat pada saat yang amat berbahaya itu, pikir Han Le.
Sheila bergerak lemah, mengeluh panjang dan membuka kedua matanya. Ketika membuka dan melihat Han Le, ia segera bangkit dan merangkul puteranya. “Henry, apa yang terjadi? Kita di mana?” Ia terbelalak memandang ke kanan kiri dan agaknya heran melihat bahwa ia berada dalam kereta bersama puteranya.
“Tenangkan hatimu, ibu. Kita telah selamat terhindar dari pasukan jahat itu, mereka telah mati semua dan kita telah selamat. Engkau jatuh pingsan dan baru sekarang siuman, ibu. Engkau bergantilah pakaian dan minumlah air hangat ini.”
Karena masih merasa bingung dan belum sadar betul, Sheila menurut saja dan minum air hangat. kesadarannya pulih dan kini ia memandang kepada pakaiannya yang robek-robek, kulit kaki tangannya yang terasa nyeri dan terdapat bekas-bekas tangan membiru dan teringatlah ia akan peristiwa mengerikan yang dialaminya semalam. Matanya terbelalak dan kembali ia memandang ke kanan kiri, kemudian ia menubruk puteranya sambil menangis.
“Ahhh.... aku teringat sekarang... Henry.... Henry, dimanakah dia...?” Sheila teringat betapa ia diseret oleh tiga orang dan ia melawan mati-matian ketika tiga orang itu hendak memperkosanya di dalam sebuah kuil tua. Kemudian ia melihat munculnya Bu Beng Kwi yang mengamuk dan menyerang tiga orang itu.
“Siapakah yang ibu maksudkan?” Han Le bertanya, pura-pura tidak mengerti siapa yang dimaksudkan ibunya.
“Dia.... suhumu, bukankah dia yang menyelamatkan kita?”
“Benar, ibu. Akan tetapi mau apa ibu kini mencari suhu? Bukankah ibu marah dan membenci suhu?”
“Henry....!” Sheila menangis makin mengguguk sambil merangkul anaknya.
Biarpun tadinya dia merasa tidak senang karena ibunya marah dan membenci suhunya yang demikian baiknya, bahkan kemudian memaksanya pergi meninggalkan gurunya itu, kini melihat ibunya menangis demikian sedihnya, hati Han Le menjadi lunak dan merasa kasihan. Seperti menghibur adiknya saja, dia mengusap rambut di kepala ibunya, rambut yang seperti benang sutera emas dan yang selalu dikaguminya itu.
“Ibu, jangan menangis, ibu. Kita telah selamat dari malapetaka berkat pertolongan suhu. Ibu, setelah apa yang dilakukan suhu, setelah dia bersikap demikian baiknya kepada kita, dahulu dia menyelamatkan kita dari serangan pasukan Tai Peng, sekarang dia menyelamatkan kita pula dari perampok-perampok jahat. Setelah semua itu, ibu, betapapun marahnya engkau, apakah engkau tidak dapat memaafkan suhu?
Ibu, engkau seorang wanita yang berhati mulia, aku tidak percaya bahwa engkau tidak dapat memberi ampun kepada suhu, apapun kesalahannya kepadamu, ibu. Kalau perlu, biarlah aku yang memintakan ampun untuknya kepadamu, ibu.” dan tiba- tiba Han Le berlutut di depan kaki ibunya, berkali-kali menyentuh kaki ibunya dengan dahi.
Melihat ini, Sheila mengeluarkan rintihan kecil dan merangkul anaknya, diangkatnya bangun anak itu dan ia pun menangis tersedu-sedu di pundak Han le yang juga ikut menangis, bingung melihat kedukaan demikian hebat dari ibunya.
Memang, Sheila merasa betapa hatinya seperti disayat-sayat mendengar kata-kata anaknya dan melihat betapa Han Le berlutut memohonkan ampun bagi gurunya ! Haruskah ia memberi tahu puteranya bahwa Bu Beng Kwi adalah Koan Jit, pembunuh ayah kandung anak itu?
Bahwa Bu Beng Kwi yang kini dianggap orang paling mulia oleh anaknya itu sesungguhnya adalah musuh besar mereka? Ah, ia tidak tega memberitahukan hal itu kepada Han Le. Ia sendiri mengalami kehancuran hati karena mengetahui rahasia itu, dan ia merasa yakin bahwa Han Le juga akan merasa kecewa dan berduka sekali.
Setelah tangisnya mereda, Sheila bertanya dengan suara lirih, “Henry, di manakah dia sekarang?”
“Dia tadi meninggalkan kereta setelah melihat ibu tidak apa-apa. Dia bilang... dia bilang bahwa lebih baik ketika siuman ibu tidak melihat dia karena.... dia bilang bahwa ibu sedang marah kepadanya.”
Sheila menarik napas panjang. Ia dapat membayangkan betapa tersiksa hati Bu Beng Kwi, mungkin lebih tersiksa darinya. Ia sendiri hanya kecewa melihat kenyataan pahit bahwa Bu Beng Kwi adalah Koan Jit, musuh besarnya. Akan tetapi Bu Beng Kwi atau Koan Jit itu bukan hanya kecewa, melainkan menyesal setengah mati. Sebelum membuka rahasianya saja, ia sendiri melihat betapa Bu Beng Kwi menangis semalaman seperti anak kecil, dan hal ini seringkali dilakukannya.
“Dia berada di bawah?” tanyanya sambil berganti pakaian utuh.
“Mungkin, aku tidak tahu pasti, ibu.”
Setelah membereskan pakaiannya, Sheila lalu turun dari atas kereta, dibimbing oleh puteranya. Ketika mereka sudah berada di bawah dan memandang ke kanan kiri, di situ sunyi saja. Tidak nampak bayangan Bu Beng Kwi. Dua ekor kuda penarik kereta dilepas dari kendali dan ditambatkan pada batang pohon, dan dua ekor kuda itu kini makan rumput dengan tenangnya. Tidak ada tanda-tanda bahwa di dekat situ ada Bu Beng Kwi atau orang lain. Hanya mereka berdua dan kuda-kuda itu, selebihnya sunyi.
“Dia.... dia tidak ada.....“ kata Sheila suaranya hampa dan ringan.
Han Le merasa penasaran. Baru saja suhunya masih berada di situ. Dia lalu berteriak-teriak memanggil. “Suhuuu....! Suhuuuuu....!”
Berulang kali Han Le memanggil, menghadap ke empat penjuru, namun tidak terdengar jawaban, juga tidak muncul orang yang dipanggilnya itu.
“Dia.... sudah pergi lagi.....” kata pula Sheila, suaranya lirih dan seperti orang kehilangan semangat atau putus asa. Konflik yang terjadi di dalam batin Sheila membuatnya menjadi lemah sekali, seperti orang kehilangan semangat.
Kita selalu hidup dengan konflik batin yang tiada hentinya. Konflik antara apa yang ada dengan apa yang kita inginkan. Keadaan dan kenyataannya begini, kita ingin begitu. Kita susah, kita ingin melenyapkan kesusahan itu, kalau kita marah, kita ingin tidak marah dan kita ingin sabar. Kita membenci, demikian kenyataannya, namun kita ingin tidak membenci.
Kita melihat betapa kita dengki dan iri, akan tetapi kita ingin agar tidak demikian, dan masih banyak lagi pertentangan yang terjadi setiap saat di dalam batin kita. Konflik itu menghamburkan kekuatan batin, konflik itu membuat kita lemah. Bahkan konflik ini memperkuat hal yang buruk itu. Kalau kita marah dan kita ingin agar tidak marah dan bersabar, maka keingian itu sendiri menjadi minyak yang akan menghidupkan terus kemarahan itu!
Kita tidak melihat bahwa marah dan keinginan sabar itu sama saja, timbul dari si aku juga, si aku yang selalu ingin enak, ingin senang. Aku marah karena aku meresa dirugikan, dan aku melihat betapa merugikan marah itu, maka aku ingin tidak marah dan ingin sabar, tentu saja dengan pengertian bahwa sabar itu baik dan menguntungkan!
Dalam keadaan marah, mana mungkin sabar? Kalau toh kemarahan itu mereda, hal itu hanya karena pemaksaan diri. Pemaksaan macam ini tidak melenyapkan api kemarahan, melainkan hanya menutupinya saja untuk sementara. Nampaknya saja lenyap, namun api kemarahan itu belum padam, seperti api dalam sekam, sewaktu-waktu akan menyala lagi bahkan lebih besar dan kuat!
Kenapa kita tidak mau hidup dan menghayati apa adanya, saat demi saat? Kalau kita marah, kenapa kita tidak membiarkannya saja sewajarnya dan kita mengamatinya, mempelajarinya, merasakannya, dengan penuh perhatian dan kewaspadaan? Kenapa harus lari dari padanya?
Kemarahan adalah kita sendiri, betapa mungkin kita lari dari diri sendiri? Pelarian bukanlah untuk mengatasi kemarahan. Akan tetapi kalau ada pengamatan terhadap diri sendiri di waktu marah, maka pengamatan inilah yang akan melenyapkan api kemarahan, lenyap bukan dipaksa lenyap atau ditutupi, melainkan lenyap sama sekali. Dan kalau sudah tidak ada lagi api kemarahan di dalam batin, apakah kita perlu untuk bersabar lagi?
Yang penting adalah lenyapnya kemarahan dari sumbernya, bukan menutupinya dengan kesabaran yang dipaksakan. Demikanlah pula dengan duka, takut dan sebagainya. Sumber semua perasaan itu berada di dalam diri sendiri, oleh karena itu penyembuhannya dalam diri sendiri, bukan diusahakan dari luar. Siapakah yang menyuruh kita takut, susah, marah dan sebagainya? Tidak ada bukan?
Jelas, rahasia sumbernya berada di dalam diri sendiri dan karena itu, untuk mempelajarinya dan mengatasinya, penyelidikan harus ditujukan ke dalam diri sendiri pula. Kita yang susah, kita yang marah, kita yang takut, jadi kitalah yang harus diselidiki! Dengan pengamatan setiap saat, pada saat kita marah, pada saat kita susah, pada saat kita takut dan seterusnya. Setiap saat!
Demikianlah pula dengan keadaan Sheila. Kenyataan adalah bahwa ia mencinta Bu Beng Kwi. Akan tetapi ia tidak ingin mencinta, ia ingin agar ia membenci Bu Beng Kwi, karena Bu Beng Kwi adalah Koan Jit, musuh besarnya, pembunuh suaminya. Ia harus membenci! Ia tidak mencinta musuh itu. Demikian, terjadilah konflik yang terus menerus antara kenyataan yang ada dan keinginan hati yang diciptakan oleh jalan pikirannya.
Teringatlah Sheila betapa begitu ia dan puteranya meninggalkan Bu Beng Kwi maka kesukaran dan ancaman bermunculan, dan semua bahaya itu baru dapat terhalau setelah Bu Beng Kwi muncul. Agaknya... ia tidak akan dapat hidup aman dan bahagia lagi tanpa Bu Beng Kwi. Dan kini pendekar itu telah pergi meninggalkannya. Tak terasa lagi air matanya turun menetes-netes walaupun ia tidak ingin menangis kehilangan Bu Beng Kwi.
Han Le juga merasa penasaran ketika teriakan-teriakannya memanggil suhunya tidak mendapatkan jawaban. Tidak mungkin gurunya meninggalkan mereka begitu saja! Dia teringat betapa suhunya tidak berani bertemu dengan ibunya karena ibunya sedang marah kepadanya. Mendadak timbul sebuah akal.
“Ibu, katakanlah, apakah ibu mau memaafkan suhu?” tiba-tiba dia bertanya dengan suara nyaring.
Sheila memandang puteranya dengan linangan air mata, kemudian ia mengangguk.
“Ibu, katakanlah dengan jelas agar hatiku menjadi yakin. Apakah ibu mau memaafkan suhu, mengampuni semua kesalahan suhu kepada ibu?”
Dengan bibir gemetar Sheila berkata, “Aku... aku maafkan dia....”
“Dan apakah ibu tidak marah lagi kepadanya?” kembali Han Le bertanya, suatanya nyaring.
Sambil menggeleng, Sheila menjawab, “Aku tidak lagi marah kepadanya.”
Dengan suara girang Han Le lalu berteriak, membentuk corong dengan kedua tangan di kanan kiri mulutnya. “Suhuuu! Harap suhu suka ke sini! Ibu tidak marah lagi kepada suhu!”
Dan tiba-tiba saja nampak bayangan putih berkelebat dan tahu-tahu Bu Beng Kwi sudah berdiri di situ, di depan mereka!
“Suhu....!” Han Le berseru dan dia segera menjatuhkan dirinya berlutut menghadap gurunya.
Akan tetapi Sheila hanya berdiri dengan tubuh terasa lunglai, dan hanya sebentar ia mengangkat muka memandang kepada Bu Beng Kwi dengan sepasang mata berlinang air mata, kemudian ia menunduk dan air matanya mengalir turun di sepanjang kedua pipinya yang agak pucat.
Bu Beng Kwi tak dapat menahan keharuan hatinya. Dia tadi merasa seolah-olah hidup kembali ketika mendengar suara Sheila yang selain menyatakan bahwa wanita itu telah memaafkannya, juga tidak marah lagi kepadanya. Kini, melihat wanita yang dicinta sepenuh jiwanya itu berdiri dalam keadaan demikian menyedihkan, hatinya dipenuhi rasa iba dan sayang diapun cepat melangkah maju lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki Sheila!
“Benarkah engkau dapat mengampuni semua kesalahan dan dosaku, Sheila? Ya Tuhan, betapa mulia hatimu, Sheila, dan betapa jahat dan hinanya diriku ini.....” Suara Bu Beng Kwi meng etar penuh perasaan.
Bagaikan tiba-tiba lumpuh kedua lututnya, Sheila juga menjatuhkan diri berlutut dan menangis. “Taihiap....”
Mereka bertiga berlutut dan kini Bu Beng Kwi menggunakan kedua lengannya untuk merangkul Sheila dan Han Le. Berkali-kali dia berdongak ke atas, seolah-olah hendak menyatakan terima kasihnya kepada Tuhan dan berkali-kali mulutnya berkata lirih.
“Sheila... Han Le... betapa aku cinta kepada kalian. Hanya kalianlah yang kumiliki di dunia ini...” Didekapnya ibu dan anak itu, rapat-rapat di dadanya seolah-olah dia tidak ingin berpisah lagi dan ingin memasukkan kedua orang itu ke dalam rongga dadanya.
Sampai beberapa lamanya mereka berada dalam keadaan yang amat mengharukan itu. Akhirnya Bu Beng Kwi berkata kepada Han Le, lirih, “Han Le, bagaimana pendapatmu kalau mulai sekarang engkau bukan hanya menjadi muridku, melainkan menjadi anakku?”
Han Le mengangkat muka memandang wajah yang buruk namun amat disayangnya itu. Ucapan itu tadi membuat dia bingung, walaupun amat menggirangkan hatinya. “Suhu, apa... apakah maksud suhu....?”
Akan tetapi suhunya tidak menjawab, melainkan berkata kepada ibunya, “Sheila, sudikah engkau? Kita bukan anak kecil lagi, juga Han Le sudah besar, oleh karena itu biarlah kesempatan ini kupergunakan untuk melamarmu, Sheila. Bolehkah aku menjadi ayah Han Le? Maukah engkau.... sudikah engkau menjadi isteriku?”
Han Le terbelalak dan wajahnya berseri gembira. Ingin dia meneriakkan sebutan ayah kepada gurunya, akan tetapi dia merasa malu dan juga takut kepada ibunya yang belum menjawab. Sampai lama Sheila hanya menunduk, kemudian menarik napas panjang, lalu berkata dengan suara halus.
“Marilah kita pulang dulu, kita bicarakan urusan ini dirumah.”
Bu Beng Kwi menarik mereka bangkit berdiri dan diapun tertawa. “Ha-ha, sungguh aku orang yang kasar dan tidak memakai aturan. Meminang orang di tengah jalan! Mari kita pulang, Sheila! Han Le! Mari kita pulang!”
Betapa indahnya kata “pulang” itu bagi Sheila di saat itu. Betapa ia selama meninggalkan Bukit Awan Merah merasa amat rindu kepada rumah tempat tinggal mereka itu, rindu akan “pulang”. Sheila mendapatkan banyak waktu untuk merenungkan pinangan Bu Beng Kwi. Harus diakuinya bahwa ia benar-benar mencinta Bu Beng Kwi, dan iapun melihat kenyataan bahwa orang yang bernama Koan Jit itu telah benar-benar berubah.
Bukan baru sekarang berubah, bukan berubah karena kini bertemu dengannya dan jatuh cinta. Bukan berubah karena ingin mengambilnya sebagai isteri. Melainkan sudah lama sekali Koan Jit telah berubah menjadi seorang manusia lain yang telah mengubah jalan hidupnya. Sebelum bertemu dengannya, jauh sebelum itu, Koan Jit telah menjadi seorang pendekar budiman yang mengorbankan nyawa demi menolong para pimpinan pejuang yang tertawan.
Dunia menganggapnya sudah tewas dan karena Koan Jit selalu merasa menyesal akan dirinya, akan dosanya, dia sendiri membiarkan dunia menganggap Koan Jit telah mati. Dia bahkan lalu meniadakan Koan Jit, memakai topeng buruk dan menjadi Bu Beng Kwi.
Hal ini telah dilakukan jauh sebelum berjumpa dengannya. Kemudian, setelah bertemu dengannya dan saling mencinta, barulah Bu Beng Kwi membuka topengnya. Hal ini menunjukkan bahwa Koan Jit adalah seorang manusia yang kini telah berubah sama sekali, memiliki kejujuran.
Kalau tidak begitu, tentu dia akan diam saja, tidak mau membuka rahasianya yang ditutupnya terhadap dunia umum. Akan tetapi tidak, dia tidak mau menipu Sheila. Dia memperlihatkan diri sebagai musuh besar yang dibencinya, dengan mempertaruhkan kebahagiaan dirinya, kehilangan cintanya!
Mempertimbangkan semua ini, dan bertanya kepada batin sendiri, Sheila mendapatkan jawaban. Ia mencinta Bu Beng Kwi atau Koan Jit yang sekarang ini. dan ia pun merasa yakin bahwa mendiang suaminya juga tidak akan dapat membenci bekas toa-suheng ini, yang telah berubah menjadi seorang manusia yang berhati mulia.
Maka diterimalah pinangan itu! Mereka menikah secara sederhana sekali, hanya disaksikan beberapa orang penduduk dusun yang berdekatan. Para penduduk merasa terheran-heran melihat seorang wanita kulit putih yang demikian cantiknya mau menjadi isteri seorang laki-laki tua yang berwajah seperti setan! Namun mereka tidak berani berkata apa-apa. Yang paling bergembira adalah Han Le.
Dengan sepenuh hati, Bu Beng Kwi minta kepada Sheila agar keadaan dirinya sebagai Koan Jit dirahasiakan lebih dulu dari Han Le. “Jangan mengganggu ketenangan perasaannya,” demikian dia berkata. “Biarkan dia hidup tenang dan menganggap aku sebagai gurunya dan ayahnya, agar dia belajar dengan baik. Kelak, kalau dia sudah tamat belajar dan sesudah dewasa, aku sendiri yang akan membuka rahasia ini. Aku tidak akan mengelak dari tanggung jawab, Sheila. Aku hanya menjaga agar jangan sampai terguncang perasaannya dan hal itu akan mengganggu dia belajar.”
Sheila merasa semakin kagum dan hormat kepada bekas musuh besar yang kini menjadi suaminya itu. Ternyata di balik topeng buruk itu ia menemukan seorang laki-laki yang jantan, yang lembut, yang penuh cinta kasih, bijaksana dan berhati mulia. Dan ia tidak merasa menyesal dengan keputusannya menerima pria ini sebagai suaminya.
Ia merasa yakin benar bahwa demi kebahagaian puteranya, ia telah mengambil langkah yang benar. Ia tahu bahwa di bawah asuhan Bu Beng Kwi, puteranya akan menjadi seorang laki-laki yang berjiwa pendekar dan menjadi seorang manusia yang berguna bagi dunia.
Keadaan negara menjadi semakin kalut. Pemerintah Mancu menjadi semakin lemah dengan adanya pemberontkan Tai Peng. Hanya berkat kegigihan menteri-menteri dan panglima-panglima setia saja maka gerakan Tai Peng terhenti, akan tetapi daerah yang luas di sebelah selatan Sungai Yang-ce telah dikuasai “Kerajaan Sorga”, yaitu kerajaan yang didirikan oleh pemberontak Tai Peng di bawah pimpinan Ong Siu Coan itu.
Selain rongrongan dari pemberontak Tai Peng, juga pemerintah Mancu selalu dirongrong oleh pasukan orang kulit putih. Kekalahan pemerintah Mancu dalam perang candu membuat orang-orang kulit putih menjadi semakin berani. Mereka makin melebarkan sayap untuk mengeduk keuntungan sebesarnya dari negeri yang luas, rakyatnya yang banyak akan tetapi yang lemah karena adanya perang saudara yang terus menerus di sebelah dalam.
Dari menyebaran candu, orang kulit putih mengeduk keuntungan yang luar biasa besarnya, dengan mengorbankan rakyat yang menjadi pecandu-pecandu yang tidak ketolongan lagi. Juga orang kulit putih mengeduk keuntungan besar dari pembelian rempah-rempah, teh, sutera dan barang-barang lain dari pedalaman.
Bahkan adanya pemberontakan Tai Peng yang menimbulkan perang saudara besar itupun menjadi sumber penghasilan dan keuntungan bagi orang kulit putih, dengan jalan menjual senjata ke kanan kiri.
Pemberontakan Tai Peng yang melemahkan pemerintah Ceng (Mancu), juga menimbulkan pemberontakan daerah-daerah lain yang tentu saja merasa tertarik dan mempergunakan kesempatan selagi pemerintahan menjadi lemah, mereka memberontak terhadap pemerintah Mancu. Suku bangsa Nien-fei memberontak dalam tahun 1853, juga disusul suku Miauw di Kwei-couw Barat yang memberontak dalam tahun 1854.
Payahlah pemerintah menghadapi pemberontakan-pemberontakan ini. Mereka harus membagi-bagi pasukan untuk memadamkan pemberontakan di sana-sini dan karena kekuatan mereka terpecah, mereka menjadi semakin lemah dan sukar untuk dapat memadamkan pemberontakan- pemberontakan itu.
Dalam keadaan yang semakin lemah itu, pihak orang kulit putih menjadi semakin berani. Pada suatu hari dalam tahun 1856, terjadilah peristiwa yang akan mengobarkan perang baru antara pemerintah Mancu dengan pasukan kulit putih.
Banyak candu diselundupkan ke dalam daerah yang masih dikuasai oleh pemerintah Mancu, karena daerah selatan tidak aman bagi penyelundupan candu. Pemerintah baru dari Tai Peng melarang keras perdagangan candu dan sukarlah menyelundupkan candu di daerah yang dikuasai Kerajaan Sorga itu.
Pada suatu pagi, sebuah kapal berlabuh di pantai timur. Kapal itu memakai bendera Inggris dan bernama Kapal Arrow (Anak Panah). Sebetulnya kapal itu milik kongsi pelayaran Cina, segolongan orang yang rela menjadi kaki tangan orang asing demi memperoleh keuntungan besar. Anak buah kapal Arrow itu, kesemuanya orang pribumi, tidak tahu bahwa gerak-gerik kapal mereka itu diamati dengan seksama oleh para penjaga pantai.
Ketika kapal itu sudah berlabuh dan berhenti, sepasukan penjaga pantai menyerbu naik kapal. Anak buah kapal tidak berani mengadakan perlawanan dan ketika kapal diperiksa, ternyata membawa barang selundupan, candu dan senapan! Tentu saja anak buah kapal ditangkap dan kapal itu ditahan di pelabuhan, dan barang selundupan disita.
Peristiwa seperti ini sebetulnya biasa saja dan sudah wajar. Kapal ditahan dan anak buahnya ditangkap, barang-barang selundupan disita karena memang perbuatan itu melanggar. Akan tetapi, orang-orang asing kulit putih yang memang selalu menanti kesempatan itu, mempergunakan peristiwa ini sebagai alasan mereka untuk bergerak!
Orang Inggris menganggap bahwa penangkapan ini merupakan penghinaan pemerintah Mancu terhadap mereka karena kapal itu berbendera Inggris.Alasan ini cukup bagi mereka untuk “menghukum” pemerintah Mancu ! Tentu saja hal ini terjadi karena keadaan pemerintah Mancu yang mulai lemah.
Pasukan Inggris mengadakan persekutuan dengan orang-orang asing lainnya, yaitu terutama sekali perancis, Rusia, dan Amerika. Mereka berempat menggabungkan pasukan mereka dan menyerbu Kan-ton. Kota ini berhasil direbut dan diduduki.
Perang yang baru muncul semenjak Perang Madat ini tentu saja menggegerkan Kerajaan Mancu yang sudah dirongrong banyak pemberontakan. Para pejuang rakyat menjadi gelisah dan bingung, merasa serba salah. Mereka itu adalah kaum patriot yang hendak membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah Mancu dan berusaha menggulingkannya.
Akan tetapi tentu saja mereka sama sekali tidak ingin melihat tanah air mereka terjatuh ke dalam cengkeraman bangsa lain yang lebih asing lagi, yaitu orang-orang kulit putih. Perang yang dikobarkan oleh orang kulit putih ini membuat semua perhatian dicurahkan kepada mereka karena memang kekuatan orang kulit putih yang bersenjata lengkap itu sukar dilawan. Tai Peng tidak diperhatikan lagi.
Kalau saja pihak Tai Peng pada suatu saat itu bergerak, mempergunakan kesempatan itu untuk menyerbu ke utara, tentu dengan mudah Tai Peng akan mampu menguasai seluruh daratan Cina.
Akan tetapi, agaknya Ong Siu Coan sudah keenakan menjadi raja di selatan sehingga dia seolah-olah tidak perduli akan gerakan yang dilakukan oleh orang-orang kulit putih itu. Padahal, sepatutnya dia melihat bahaya besar berkembangnya kekuasaan kulit putih ini yang akan mencengkeram tanah air dan bangsanya...