Pemberontakan Taipeng Jilid 13 karya Kho Ping Hoo - BETAPA banyaknya sudah tercatat dalam sejarah tentang perjuangan yang dipimpin oleh orang-orang yang menamakan dirinya pahlawan bangsa, patriot dan pejuang. Selagi mereka ini memimpin perjuangan, merebut kekuasaan, mereka mempergunakan slogan-slogan yang muluk untuk membangkitkan semangat rakyat jelata yang menjadi kekuatan mereka.

Segala sepak terjang mereka selalu demi rakyat, demi negara, demi bangsa dan sebagainya. Dan rakyat terbius oleh kata-kata muluk, terbakar semangat mereka oleh slogan-slogan sehingga rakyat dengan sepenuh hati, tanpa pamrih, bergerak mendukung dan terjun membantu gerakan yang dinamakan perjuangan itu. Itu awalnya.
Bagaimana akhirnya? Bagaimana kalau perjuangan itu akhirnya berhasil? Yang pasti, para pimpinan rakyat itu setelah perjuangan berhasil, saling memperebutkan kedudukan! Mereka menjadi penguasa-penguasa baru dan hidup bergelimang dalam kemuliaan, kehormatan dan kemewahan. Bagaimana dengan slogan-slogan yang mereka pergunakan untuk membangkitkan rakyat?
Yang mengatakan bahwa perjuangan itu dilakukan demi rakyat, menolong rakyat dari penindasan, medatangkan kemakmuran kepada rakyat? Begitulah! Slogan tinggal slogan dan rakyat tetap dilupakan. Penindasan tetap ada, walaupun kini berganti bentuk dan berganti orang yang menjadi penindasnya.
Ong Siu Coan menjadi satu di antara pemimpin-pemimpin semacam itu. Mula-mula memang perjuangannya didengung-dengungkan sebagai perjuangan untuk rakyat. Akan tetapi setelah dia berhasil menjadi raja? Rakyat tetap saja sengsara. Yang makmur jelas dia yang menjadi raja dan teman-temannya, kaki tangannya yang merupakan sekelompok penguasa baru, menggantikan yang telah mereka kalahkan dengan bantuan darah dan keringat rakyat dalam prjuangan.
Masih untunglah bagi pemerintah Mancu bahwa pada waktu itu, kekuatan pasukan Inggris terpecah karena adanya pemberontakan kaum Sepoy di India, negara besar yang mulai dicengkeram penjajah Inggris. Karena ini, maka pasukan Inggris tidak dapat menyerbu dengan kekuatan penuh sehingga terhenti setelah menduduki Kanton dan daerahnya ke barat dan utara.
Padahal waktu itu, keadaan pmerintah Mancu sudah lemah sekali. Di utara dan barat terdapat pemberontakan kaum Nien-fei dan suku Bangsa Miauw, dari selatan ada pemberontakan Tai Peng, dan dari timur, dari arah laut, terdapat ancaman orang kulit putih!
Kelemahan pemerintah Mancu bukan hanya karena timbulnya banyak pemberontakan, akan tetapi terutama sekali bersumber dari keadaan di dalam istana sendiri. Kaisar yang sejak muda hanya menjadi seorang pengejar kesenangan itu tidak ada perhatian sama sekali atau acuh saja terhadap keadaan negara.
Dia seperti telah buta oleh kesenangan, dan tubuhnya menjadi semakin lemah. bahkan dia tidak tahu betapa diam-diam selirnya tercinta, Yehonala yang kini telah menjadi permaisuri kedua, bermain gila dengan thaikam (orang kebiri) Li Lian Ying, merupakan perhubungan jina yang tidak wajar.
Kaisar tidak tahu akan hal itu, tidak tahu pula bahwa kerajaannya mengalami ancaman akan runtuh. Dia hanya terus mengejar kesenangan biarpun tubuhnya sudah menjadi semakin lemah, dan dia harus mempergunakan banyak obat kuat untuk membangkitkan kembali kegairahannya, tidak tahu bahwa hal ini semakin merusaknya lahir batin. Didalam keadaan negara kacau seperti ini, biasanya menurut sejarah negara di seluruh dunia, selalu ada saja orang gagah sejati yang tampil menjadi pemimpin rakyat.
Demikian pula, dalam keadaan kacau itu, muncul dua orang pendekar muda yang berkepandaian tinggi, memimpin rakyat petani yang sudah kehilangan segala-galanya karena dusun mereka dilanda perang, membentuk pasukan-pasukan dan melatih pasukan ini dengan ilmu berperang dan bekelahi sehingga mereka berdua berhasil membentuk pasukan rakyat yang makin lama menjadi semakin kuat.
Apalagi ketika para pendekar merasa cocok dan suka melihat gerakan ini lalu mendukung dan menggabungkan diri, pasukan rakyat yang dipimpin dua orang tu menjadi semakin kuat. Siapakah mereka itu? Mereka bukan lain adalah Ceng kok Han dan Li Hong Cang, dua orang murid Bu Beng Kwi yang sudah kita kenal!
Akan tetapi, pasukan mereka belum bergerak karena mereka, dibantu oleh para pendekar, sedang membangun dan memperkuat pasukan mereka, dan menggembleng para anak buah pasukan. Mereka baru akan bergerak kalau sudah memiliki pasukan besar yang kuat dan boleh diandalkan.
Sementara itu, di Kerajaan Sorga yang dipimpin oleh Ong Siu Coan, juga terjadi kemunduran. Ong Siu Coan yang kini sudah menjadi seorang raja yang hidupnya mulia dan penuh kemewahan, agaknya menjadi semakin gila saja dengan pikiran-pikirannya yang aneh.
Dia diganggu oleh pikirannya sendiri, yang menghubungkan isi Alkitab dengan dirinya sendiri. Dia semakin acuh, bahkan dia seperti tidak perduli lagi melihat betapa permaisurinya, Tang Ki, kini terlibat dalam hubungan gelap bersama Lee Song Kim yang menjadi orang kepercayaannya.
Satu di antara nafsu yang amat kuat dan besar kekuasaannya terhadap diri manusia adalah nafsu berahi. Tang Ki tadinya merupakan seorang isteri yang mencinta dan setia dari Ong Siu Coan, yang sama sekali tidak pernah mempunyai sedikitpun pikiran untuk menyeleweng dan suka menyerahkan dirinya kepada pria lain.Akan tetapi, bagaimanapun juga ia hanyalah seorang wanita biasa saja. Setelah memperoleh kedudukan sebagai raja, tercapainya ambisi dan cita-citanya, Ong Siu Coan mulai kurang memperhatikan isterinya. Apalagi karena Tang Ki tidak dapat memberinya keturunan, kemesraannya terhadap Kiki atau Tang Ki berkurang bahkan hubungan di antara mereka menjadi agak renggang.
Dalam keadaan haus akan rayuan dan belaian pria inilah muncul Lee Song Kim, seorang laki-laki yang berpengalaman dan pandai sekali merayu wanita, juga tampan dan gagah. Biarpun dahulu pernah Kiki membenci suhengnya ini, namun pertemuannya kembali dengan suhengnya itu membawa perubahan.
Ia sedang haus cinta kasih dan kemesraan seorang pria sebagai pengganti suaminya yang bersikap acuh dan Lee Song Kim yang ahli tentu saja dapat memenuhi kebutuhan ini. Bahkan ternyata bahwa suhengnya itu dapat memberinya kesenangan dan kepuasan yang jauh melampaui apa yang didapatkannya dari Ong Siu Coan. Song Kim melimpahkan rayuan dan kemesraan pada wanita yang sedang kering kehausan itu. Anehkah kalau Kiki lalu melekat kepadanya?
Semenjak dahulu, wanita adalah mahluk yang selalu mendambakan sanjungan, pujian dan cinta kasih pria. Karena itulah maka pada umumnya wanita amat lemah terhadap pujian dan rayuan, dua hal yang memang amat didambakannya. Apalagi kalau yang merayu itu pria yang berkenan di hati mereka. Akan mudah saja jatuh dan lupa diri kalau menghadapi rayuan seorang pria yang menarik dan pandai.
Tahun 1859. Biarpun tadinya terhalang oleh pemberontakan di India yang membuat pasukan kulit putih terhambat penyerbuan mereka dan hanya dapat menduduki Kanton dan sekitarnya, namun kurang dari dua tahun kemudian, yaitu pada tahun 1858, setelah berhasil memadamkan pemberontakan di India, pasukan Inggris yang bergabung dengan pasukan kulit putih Perancis, Rusia dan Amerika, untuk kedua kalinya melakukan penyerbuan kembali.
Dengan tenaga sepenuhnya, tentara kulit putih gabungan itu menyerbu lewat teluk Po-hai, menyerbu dan menduduki Tien-cin setelah terjadi perang selama berbulan-bulan. Dan kini mereka bersiap-siap menyerbu ke Peking! Tentu saja keadaan menjadi geger dan kacau. Pemerintah Mancu sudah bersiap-siap mempertahankan Peking dari serbuan pasukan kulit putih.
Pada suatu hari, di sebuah kuil Agama To di luar kota Pao-ting, diadakan pertemuan antara para pendekar yang merasa perlu untuk berunding dan bergerak menyaksikan kekacauan yang timbul karena penyerbuan pasukan kulit putih itu. Nampak di antara mereka pendekar Tan Ci Kong dan isterinya, Siauw Lian Hong. Suami isteri pendekar itu kini tidak muda lagi.
Ci Kong sudah berusia empat puluh empat tahun sedangkan isterinya, Lian Hong sudah berusia empat puluh satu tahun. hadir pula suami isteri thio Ki dan ciu Kui Eng yang usianya sebaya dengan suami isteri pendekar pertama. Tidak kurang dari dua puluh orang pendekar yang berdatangan di kuil itu, atas prakaesa dan undangan Tan Ci Kong yang merasa delisah menyaksikan keadaan yang kacau akibat penyerbuan pasukan kulit putih.
Para tosu yang berada di kuil itu adalah sahabat Ci Kong, dan merekapun prihatin akan keadaan negara, maka mereka membantu dan memperbolehkan kuil mereka dijadikan tempat pertemuan para pendekar itu. Berkumpullah para pendekar itu di ruangan belakang kuil, di tempat yang tersembunyi dan tidak akan terlihat atau terdengar oleh mereka yang datang berkunjung ke kuil untuk bersembahyang. Pertemuan itu dipimpin oleh Ci Kong.
Setelah mereka semua saling memberi hormat dan mengambil tempat duduk mengelilingi meja, Tan Ci Kong lalu bangkit berdiri.
“Selamat datang, Cuwi Enghiong (para pendekar sekalian), selamat bertemu kembali. Cuwi (kalian) tentu dapat menduga mengapa kita harus berkumpul lagi di sini. Semua orang gelisah melihat perkembangan di negara kita. Pasukan kulit putih yang amat kuat menyerbu dan mengancam Peking, sedangkan pemberontak Tai Peng tentu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk menyerbu pula ke utara. Bagaimana pendapat cuwi dan apa yang harus kita lakukan?”
Para pendekar itu menjadi gaduh, saling bicara sendiri dan Ci Kong terpaksa minta agar mereka tenang. “Apabila di antara cuwi ada yang mempunyai usul, harap suka bicara seorang demi seorang agar dapat kita pertimbangkan bersama.”
Seorang di antara mereka yang berpakaian tamal-tambalan, seorang tokoh dari perkumpulan Tiat-pi Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Lengan besi) yang muncul selama beberapa tahun ini sebagai tokoh jembel yang berjiwa pendekar dan patriot, bangkit berdiri dan bicara dengan suaranya yang parau.
“Dahulu kita membantu gerakan Tai Peng, kemudian kita bersama meninggalkannya karena Tai Peng menyeleweng. Apalagi sekarang. Orang she Lee itu telah mengangkat diri menjadi Thian-he Te-it Bu-hiap dan menghimpun orang-orang golongan sesat untuk membantu Tai Peng. Jelas kita tidak dapat membantu Tai Peng lagi, bahkan harus menentangnya.”
Semua orang mengangguk dan menyatakan setuju. “Memang benar demikian, dan kita yang selalu memikirkan kepentingan rakyat jelata yang tertindas, sekarang menjadi serba salah. Jelas tidak dapat membantu Tai Peng, juga tidak mungkin membantu orang kulit putih, dan sejak dahulu kita bercita-cita mengusir penjajah Mancu. Apa yang harus kita lakukan sekarang?”
Kini Thio Ki yang telah menjadi ketua Kang-sim-pang, bangkit berdiri. “Dengan penyerbuan orang kulit putih, keadaan menjadi kacau dan rakyat pula yang mengalami pnderitaan. Bagaimanapun juga, orang kulit putih dapat menjadi penjajah yang lebih kejam daripada orang Mancu. Oleh karena itu, untuk sementara kita harus menentang orang kulit putih....”
“Kalau begitu apakah kita harus membantu pemerintah penjajah Mancu?” tanya seorang yang bertubuh tinggi besar bermuka merah. Dia adalah seorang murid Kun-lun-pai yang lihai.
“Tidak ada pilihan lain dan kita mau tidak mau harus menyetujui pendapat Thio pangcu dari Kang-sim-pang itu.” Ci Kong membenarkan.
“Tak mungkin dalam keadaan sekarang kita menentang keduanya. menghadapi dua orang lawan, bahkan tiga orang dengan Tai Peng, kita harus bersikap cerdik. Lebih dulu menghalau lawan yang paling berbahaya, dalam hal ini orang kulit putih dan Tai Peng. Kalau keduanya sudah tidak ada, kiranya tidak sukar merobohkan kekuasaan penjajah Mancu yang sudah semakin lemah itu.”
Ciu Kui Eng yang juga terkenal di antara para pendekar sebagai seorang pendekar wanita yang pernah memimpin perjuangan, bangkit dan dengan suara lantang ia berkata, “Kita boleh saja membantu pemerintah Mancu untuk menyelamatkan rakyat dari serbuan orang kulit putih, akan tetapi jelas bahwa kita tidak akan menjadi kaki tangan Mancu! Apakah cuwi belum mendengar akan munculnya pemimpin rakyat yang baru, yang kini telah menghimpun pasukan yang cukup kuat dan didukung oleh banyak pendekar?”
Ci Kong mengangguk-angguk. “Kami juga sudah mendengar, akan tetapi belum jelas benar.”
“Aku sudah bertemu dengan mereka dan harus kuakui bahwa dua orang pemimpin itu agaknya akan menjadi pemimpin besar yang gagah perkasa dan tanpa pamrih. Pasukan mereka kini sudah berjumlah puluhan ribu orang, dari para petani dan pengungsi, juga dibantu oleh golongan pendekar. Mereka adalah dua orang pendekar yang muncul begitu saja, entah dari perguruan mana, akan tetapi aku tahu bahwa mereka lihai sekali. Usia mereka sekitar tiga puluh tahun, yang seorang bernama Ceng Kok Han dan yang kedua bernama Li Hong Cang. Mereka telah berhasil menghimpun kekuatan dan sudah mulai merongrong pemerintah Tai Peng di selatan dan bentrokan-bentrokan sering terjadi yang merugikan pihak Tai Peng.”
Semua pendekar mendengarkan dengan kagum. Merekapun mendengar akan munculnya dua orang yang memimpin pasukan rakyat baru, akan tetapi para pendekar itu tadinya tidak mengambil perhatian karena pada waktu itu memang banyak sekali orang yang mengangkat diri menjadi “bengcu” (pemimpin rakyat) dan menggerakkan rakyat jelata untuk menjadi anak buahnya.
Akan tetpi sebagian besar di antara mereka hanyalah orang-orang petualang yang bermaksud memperalat kekuatan rakyat demi kepentingan diri sendiri. Banyak di antara para kelompok itu kemudian bahkan hanya menjadi perampok-perampok. Kini mendengar cerita Ciu Kui Eng yang mereka sudah kenal baik sebagai seorang pendekar wanita yang berjiwa pahlawan.mereka merasa kagum dan tertarik.
“Kalau begitu, kiranya tidak keliru kalau kita mengumpulkan teman-teman sehaluan untuk membantu gerkan Ceng Kok Han dan Li Hong Cang itu.” kata Ci Kong.
Semua orang merasa setuju, akan tetapi Tiat-pi Kai-pang tadi segera berkata, “Akan tetapi bagaimana kita dapat begitu saja membantu pasukan baru itu sebelum mengetahui benar tujuan dari gerakan mereka?”
“Aku dapat menerangkan itu, karena aku sudah bicara panjang lebar dengan kedua orang itu. Mereka tidak hanya pandai sekali ilmu silat, akan tetapi juga memiliki pemikiran yang mendalam dan pandangan yang luas,” kata Ciu Kui Eng.
“Mereka menjelaskan bahwa sebagai langkah pertama, pasukan mereka akan membantu pemerintah menenteramkan keadaan, menentang Tai Peng dan membantu untuk memadamkan pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di utara dan barat. Baru setelah keadaan tidak kacau lagi, ketika pemerintah penjajah sedang beristirahat dari perang yang melelahkan, selagi mereka lengah, maka pasukan kita akan menyerbu dan menggulingkan kekuasaan Mancu untuk selamanya!”
“Kalau begitu kita berarti akan membantu pemerintah penjajah Mancu!” teriak tokoh Tiat-pi Kai-pang itu.
“Hanya nampaknya saja begitu dan hanya untuk sementara saja.” Ci Kong berkata. “Itulah satu-satunya jalan. Membantu pemerintah penjajah untuk menenteramkan keadaan, juga membantu menghadapi orang kulit putih. Setelah itu, tibalah saatnya yang tepat, selagi penjajah lengah, kita bergerak dan menjatuhkan mereka. Bukan berarti kita untuk selamanya menjadi kaki tangan mereka. Ini hanya merupakan siasat belaka.
"Kalau tidak demikian, bagaimana mungkin kita dapat berhasil kalau sekaligus kita harus menghadapi dan menentang Tai Peng, orang kulit putih, pemerintah Mancu, dan para pemberontak lain itu? Kita tidak akan kuat dan sebelum maju jauh, kita sudah akan tergencet dan dihancurkan oleh musuh yang terlalu banyak dan terlalu kuat.”
Akhirnya semua orang meyatakan persetujuan mereka setelah mengerti benar akansiasat yang akan dijalankan oleh pasukan rakyat yang dipimpin oleh Ceng Kok Han dan Li Hong Cang, dua orang kakak beradik seperguruan itu. Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar. Semua orang bangkit berdiri dan bersiap-siaga, memandang ke luar pintu masuk ke ruangan belakang itu.
Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di situ berdiri seorang pemuda yang mengempit tubuh seorang laki-laki setengah tua, kemudian pemuda itu melemparkan tubuh orang yang dikempitnya ke atas lantai. Orang itu mengeluh akan tetapi tidak mampu bergerak, tanda bahwa jalan darahnya tertotok sehingga untuk sementara dia menjadi lumpuh, tak mampu menggerakkan kaki tangannya.
Semua orang memandang kepada pemuda itu dengan pandang mata penuh selidik dan kedurigaan. Seorang pemuda yang tampan dan gagah, berusia paling banyak delapan belas tahun, dengan wajah berbentuk bulat putih bersih, alisnya tebal menghitam dan sepasang mata mencorong namun lembut, pakaiannya sederhana akan tetapi bersih.
“Bun Hong, apa yang kau lakukan ini? Siapa dia?” tiba-tiba Siauw Lian Hong bertanya kepada pemuda itu.
“Ibu, dia ini seorang mata-mata, entah mata-mata Tai Peng atau pemerintah atau kulit putih, akan tetapi dia mata-mata!” jawab pemuda itu tenang.
Tan Ci Kong yang juga sudah bangkit, memperkenalkan pemuda itu kepada semua orang. “Cuwi, harap diketahui bahwa pemuda ini adalah anak tunggal kami bernama Tan Bun Hong. Harap cuwi maafkan penampilannya dan suka duduk kembali. Nah, Bun Hong, sekarang ceritakan apa yang terjadi dan siapa orang ini.”
Tan Bun Hong mengangkat kedua tangan dan memberi hormat kepada semua orang yang hadir, barulah dia bercerita kepada ayah ibunya. Memang pemuda ini ikut orang tuanya turun gunung dan mengadakan pertemuan di dalam kuil luar kota Pao-ting. Baru pertama kali itulah dia turun gunung setelah kedua orang tuanya menganggap bahwa ilmu kepandaiannya sudah cukup untuk dapat dipakai membela diri karena Bun Hong mewarisi ilmu-ilmu silat tinggi ayah dan ibunya.
Bahkan ketika tiba di kuil, Ci Kong yang hendak menggembleng puteranya itu, memberinya tugas yang cukup penting, yaitu agar pemuda itu mengamati dari luar kuil kalau-kalau ada musuh tersembunyi yang hendak mencelakakan para tokoh kang-ouw yang sedang mengadakan pertemuan di dalam kuil. Maksud Ci Kong, kalau tidak terjadi sesuatu, setelah pertemuan itu selesai, barulah dia akan memperkenalkan puteranya kepada mereka.
Ketika Bun Hong melakukan pengintaian dan pengamatan di kuar kuil, dengan penuh perhatian dia mengamati orang-orang yang berdatangan ke kuil itu untuk bersembahyang. Tidak banyak orang yang bersembahyang. Sejak pagi tadi, hanya ada belasan saja yang datang dan pergi lagi. Dia melihat serombongan keluarga membawa alat-alat sembahyang memasuki kuil, diterima oleh tosu penjaga di pintu depan.
Keluarga ini terdiri dari seorang ayah, ibu, nenek dan seorang anak laki-laki berusia enam tahun yang pucat dan nampak baru sembuh dari sakit. Dari percakapan antara keluarga itu dengan tosu penjaga kuil dia tahu bahwa keluarga itu datang membayar kaul, dan menghaturkan terima kasih kepada kuil karena putera mereka yang tadinya sakit keras kini telah sembuh kembali.
Ada beberapa orang lagi memasuki kuil dan di antara mereka, yang menarik perhatian adalah seorang anak perempuan, seorang gadis remaja yang usianya paling banyak enam belas tahun. Bun Hong memandang penuh perhatian, bukan bercuriga melainkan tertarik karena belum pernah dia melihat seorang gadis remaja yang demikian menarik seperti gadis itu.
Seorang gadis yang jelita dan manis, wajahnya berbentuk bulat telur dengan dagu merincing yang manis sekali karena di sudut bawah dagu itu terdapat sebuah tahi lalat merah yang kecil. Mulutnya indah dan selalu nampak tersenyum, membuat wajah itu nampak cerah selalu, dan terutama sekali sepasang mata yang bening dan taham itu juga selalu bergembira. Pakaiannya ringkas dan rapi.
Karena tidak ada lagi lain orang kecuali keluarga tadi, tiga orang laki-laki yang datang tidak berbareng, dan gadis remaja itu, Bun Hong yang merasa tertarik, keluar dari tempat dia mengintai dan memasuki kuil itu seperti seorang pelancong. Dia melihat gadis itu bicara dengan seorang laki-laki tinggi kurus yang berusia empat puluhan tahun dan bersikap sopan.
“Apakah nona hendak bersembahyang?” terdengar laki-laki itu bertanya.
Gadis remaja itu tersenyum dan nampak kilatan giginya yang putih dan rapi seperti mutiara dijajarkan. “Ah, tidak, aku hanya melihat-lihat saja. Aku seorang pelancong.”
“Aih, engkau seorang pelancong, nona? Kalau begitu engkau belum mengenal kuil ini, sebuah kuil yang amat keramat dan manjur sekali! Sudah banyak orang yang tertolong diobati penyakitnya, diperbesar rejekinya, memperoleh kemujuran, naik pangkat, bahkan ringan jodoh! Kenapa nona tidak mencoba-coba bersembahyang? Meramalkan nasib di Kuil Ban-hok-si (Kuil Selaksa Rejeki) inipun baik sekali!” kata orang itu dengan ramah.
“Kalau nona belum biasa, aku mau memberi petunjuk kepadamu.”
Gadis remaja itu tetap tersenyum menatap wajah laki-laki itu. “Terima kasih, paman. Eh, kenapa paman begini baik kepadaku? Apakah paman termasuk orang yang menjadi pengurus kuil ini?”
“Tidak, tidak, pengurusnya adalah para tosu itu. Aku juga seorang tamu yang ingin bersembahyang. Akan tetapi ketika melihat nona masuk seorang diri ke dalam kuil, hatiku tertarik dan mengira nona tentu berada dalam kesukaran. Ketahuilah, terus terang saja, nona, engkau mirip sekali dengan keponakanku, anak enciku yang tinggal jauh di utara. Aku sudah amat rindu kepada keponakanku itu, sudah bertahun-tahun tidak jumpa dan melihat engkau begini mirip dengannya, kalau sekiranya bisa, aku akan suka sekali menolongmu dalam suatu hal....”
“Ah, begitukah? Terima kasih, engkau sungguh baik, paman. Akan tetapi, aku tidak mau bersembahyang, aku hanya mau melihat-lihat. Kalau paman mempunyai keperluan bersembahyang, silakan.”
“Kalau begitu, maafkan aku,” orang itu lalu menjura dan meninggalkan gadis itu, masuk ke dalam kuil.
Sejenak Bun Hong mengamati dari jauh dan mendengar percakapan itu, timbul curiga dalam hatinya terhadap laki-laki tadi. Seorang laki-laki berani menegur dan mengajak bercakap-cakap seorang gadis remaja yang tidak dikenalnya, bahkan menawarkan jasa-jasa baiknya, sungguh patut dicurigai karena biasanya, sikap baik itu tentu mengandung pamrih!
Dan diapun melihat gadis itu menyelinap masuk ke dalam kuil dengan gerakan cepat. Hal ini mengejutkan Bun Hong. Gerakan seperti itu cepatnya bukan gerakan orang biasa, pikirnya dan diapun cepat meloncat dan menyelinap masuk ke dalam pintu gerbang kuil. Ketika tiba di dalam, ternyata beranda depan kuil itu luas sekali dan begitu memasuki pintu gerbang, hidungnya disambut bau dupa yang memenuhi tempat sembahyang di sebelah dalam dari beranda itu.
Dia celingukan ke sana-sini dan merasa heran. Baik laki-laki tinggi kurus tadi maupun si gadis remaja, tidak nampak bayangannya. Betapa cepat gerakan mereka, terutama gadis itu. Baru saja menyelinap masuk dan diapun sudah mengejar secepatnya, Bagaimana mungkin gadis itu sudah lenyap? Kecurigaannya makin menjadi-jadi. Akan tetapi agaknya di beranda itu tidak pernah terjadi sesuatu yang menarik perhatian orang.
Buktinya, beberapa orang yang sedang melakukan sembahyang di situ nampak tenang-tenang saja, demikian pula beberapa orang tosu yang melayani tamu dan yang melaksanakan pekerjaan mereka. Tidak nampak seorangpun di antara mereka itu seperti pernah melihat kejadian yang tidak wajar. Lalu, kemana menghilangnya gadis remaja tadi, dan orang tinggi kurus tadi?
Bun Hong melakukan penyelidikan dengan cepat dan diapun dapat melihat adanya sebuah pintu kecil di samping beranda, agak jauh dan tertutup oleh tanaman bunga-bunga yang lebat daunnya. Kalau orang menyelinap melalui pintu itu, dengan gerakan secepat yang dilakukan oleh gadis remaja tadi, tentu tidak akan nampak oleh orang lain.
Ke sanakah gerangan mereka tadi? Jantungnya berdebar penuh keregangan. Di belakang itu, di dalam ruangan belakang, ayah dan ibunya sedang mengadakan pertemuan dengan para pendekar lain untuk membicarakan urusan negara. Jangan-jangan dua orang yang mencurigakan tadi menyelinap masuk untuk memata-matai pertemuan itu!
Sangat boleh jadi si tinggi kurus tadiseorang mata-mata, entah mata-mata Tai Peng, mata-mata orang kulit putih, atau mata-mata pemerintah Mancu. Akan tetapi gadis remaja tadi? Tidak mungkin juga mata-mata! Akan tetapi, kenapa gerakannya demikian cepat dan ke mana ia sekarang pergi? Agaknya seorang mata-mata pula, akan tetapi berbeda dengan si tinggi kurus!
Dengan gerakan cepat, mempergunakan ilmunya, Bun Hong menyelinap ke samping beranda dan melihat betapa pintu pagar taman yang tidak berapa tinggi, diapun lalu meloncat ke atas pintu itu dan melihat betapa di balik pintu itu benar merupakan sebuah taman yang luas, diapun meloncat lagi turun ke sebelah dalam. Dengan berindap-indap diapun mencari-cari.
Tempat itu sunyi. Sebelah kiri menuju ke taman dan kebun sayur, dan sebelah kanan menuju ke ruangan terbuka dari bagian tengah kuil. Bun Hong meloncat ke dalam ruangan ini dan menyelinap di antara pot-pot bunga, menuju ke dalam melalui sebuah pintu yang sudah terbuka daunnya.
Setelah melalui dua ruangan, tiba-tiba dia berhenti dan bersembunyi di balik tiang. Dia melihat si tinggi kurus tadi keluar dari sebuah tikungan dan menyeret seorang tosu tua yang agaknya sudah lemas tubuhnya, entah pingsan ataukah tertotok jalan darahnya.
Dengan cepat si kurus itu menyeret tubuh tosu itu ke balik meja di sudut, mengikat kaki tangannya dengan pakaian tosu itu sendiri dan mengikat pula mulutnya, lalu meninggalkan tosu itu menggeletak di balik meja itu, tersembunyi dan tidak mudah nampak dari luar.
Kini Bun Hong tidak ragu-ragu lagi. Jelas bahwa orang itu adalah seorang mata-mata, atau penjahat dan setidak-tidaknya tentu orang yang tidak mempuyai iktikad baik terhadap para tosu atau para pendekar yang tengah mengadakan pertemuan di ruangan belakang kuil itu.
“Berhenti, siapa engkau?” Bun Hong membentak sambil meloncat keluar, dan tubuhnya sudah berdiri di depan laki-laki tinggi kurus itu.
Orang itu terkejut bukan main, sama sekali tidak mengira bahwa perbuatannya diketahui orang. Lebih lagi kagetnya melihat bahwa yang muncul bukan sorang di antara para tosu kuil itu, melainkan pemuda remaja tampan. Dia memandang rendah dan tersenyum mengejek.
“Bocah setan, mampuslah!” bentaknya dan dia menyerang dengan kecepatan kilat, jari tangan kirinya menotok ke arah jalan darah di pundak sedangkan tangan kanan mencengkeram ke arah lambung. Serangan-serangan itu hebat bukan main dan amat berbahaya.
Namun, pada waktu itu, Bun Hong telah mewarisi ilmu kepandaian ayah bundanya dan dia memang seorang pemuda yang berbakat baik sekali, memiliki gerakan yang tenang namun cepat. Dengan mudah dia mengelak dengan melangkah mudur, dan cepat tubuhnya memutar ke kanan lalu mengirim serangan balasan, yaitu tendangan ke arah lutut lawan dan tangannya menyusul dengan cengkeraman ke arah pundak.
“Ehhh...?” Orang itu nampaknya terkejut melihat betapa pemuda yang dipandang rendah itu bukan saja dapat menghindarkan diri dari serangannya, bahkan dapat membalas dengan cepat sekali sehingga hampir saja lutut kakinya terkena tendangan. Dia meloncat ke belakang, lalu menyerang lagi, kini karena tahu bahwa lawannya lihai, dia mengerahkan tenaga dan kecepatannya untuk melumpuhkan pemuda yang telah memergokinya itu.
Namun dia kecele. Pemuda itu mampu menangkis dan membalas dan mereka terlibat dalam perkelahian yang seru. Makin kaget dan gentarlah hati si tinggi kurus dan dia mulai mencari kesempatan untuk melarikan diri. Akan tetapi betapa kagetnya melihat pemuda itu sama sekali tidak memberi kesempatan kepadanya dan dia kehilangan jalan untuk lari karena terus terdesak oleh pemuda itu.
Akhirnya, memang karena kalah tingkatnya dan bingung, jari tangan pemuda itu berhasil menotok pundaknya dan diapun roboh terkulai dalam keadaan lumpuh kaki tangannya. Pada saat itu ada bayangan biru berkelebat dan terdengar bentakan halus.
“Engkau orang jahat!” Tahu-tahu gadis remaja yang berbaju biru, yang tadi menarik perhatian Bun Hong, telah datang dan menyambar ke arah Bun Hong dengan cepat sekali, menyerang dengan tamparan ke arah kepala Bun Hong dan tusukan jari tangan yang lain ke arah dada.
“Ehhh...?” Bun Hong mengelak. Aka tetapi, serangan pertama yang luput itu disusul oleh tonjokan tangan ke arah lambung Bun Hong, cepat dan keras bukan main serangan susulan ini sehingga tidak ada kesempatan lagi bagi Bun Hong untuk mengelak. Dia terpaksa menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
“Dukkk...!” Dua lengan bertemu dan gadis itu mengeluarkan jerit tertahan karena lengannya terasa nyeri. Ia meloncat ke belakang dengan muka merah karena marah sedangkan Bun Hong sendiri juga harus mengakui betapa lengan yang kecil berkulit halus itu mengandung tenaga sinkang yang kuat.
Akan tetapi, Bun Hong juga merasa penasaran dan kini timbul dugaannya bahwa gadis remaja yang lihai itu tentulah seorang mata-mata pula, agaknya sahabat dari orang yang telah dirobohkannya. Mungkin saja percakapan antara mereka di luar kuil tadi hanya sandiwara belaka, atau dalam percakapan tadi mengandung kata-kata rahasia yang hanya diketahui mereka berdua saja.
Pikiran ini membuat Bun Hong penasaran dan ketika gadis remaja itu menyerangnya lagi, dia mengerahkan tenaga menangkis dan balas menyerang dengan hebatnya sehingga gadis itu terkejut, terdorong ke belakang dan terpaksa gadis itu meloncat jauh ke belakang untuk menghindarkan diri dari serangan susulan.
Agaknya gadis inipun baru sekarang yakin akan kelihaian Bun Hong. Akan tetapi serangan susulan itu tidak datang karena Bun Hong sudah menyambar tubuh orang yang dirobohkannya tadi, mengempitnya dan membawanya meloncat dan lari ke belakang.
“Demikianlah, ayah.” Bun Hong mengakhiri ceritanya yang didengarkan oleh ayah ibunya dan para pendekar. “Aku membawa mata-mata ini ke sini, aku yakin dia memata-matai pertemuan ini.”
Pada saat itu, terdengar bentakan halus dan nampak bayangan biru berkelebat masuk, “Penjahat busuk, engkau hendak lari ke mana?”
Dan muncullah gadis remaja yang tadi dan tanpa memperdulikan banyak orang yang berada di situ ia langsung saja menyerang Bun Hong. Melihat gadis remaja ini Bun Hong menjadi marah. Dia menangkis dan balas menyerang sehingga mereka berdua segera bekelahi dan saling serang dengan seru dan ternyata bahwa gadis itu memang lihai dan dapat bergerak cepat sekali.
Tiba-tiba Ciu Kui Eng sudah meloncat dan menengahi kedua orang muda yang sedang berkelahi itu sambil membentak “Eng Hui, kiranya engkau gadis remaja itu!”
Gadis itu terkejut ketika melihat ibunya tahu-tahu menahan serangannya. “Ibu....!” Kemudian ia melihat Thio Ki hadir di antara semua orang gagah yang berada di situ. “Ayah...!”
Suami isteri pendekar ini tentu saja merasa heran bukan main melihat puteri tunggal mereka. Tadi mereka mendengar cerita putera dari sahabat mereka Tan Ci Kong dan Siauw Lian Hong tentang gadis remaja yang disangkanya sahabat mata-mata, sama sekali mereka tidak menyangka bahwa gadis itu ternyata adalah Thio Eng Hui, puteri mereka sendiri.
“Ayah! Ibu! Orang ini jahat sekali, membunuh orang tak berdosa!” teriak gadis itu.
“Nah, inilah gadis yang menjadi mata-mata itu!” Bun Hong yang balas berteriak dan keduanya sudah saling pandang dengan mata melotot lagi.
“Eng Hui, diam kau!” Ciu Kui Eng membentak puterinya, kemudian menghadapi para pendekar yang masih memandang bingung dan memperkenalkan.
“Cuwi, gadis ini adalah Thio Eng Hui, puteri tunggal kami. Agaknya terjadi kesalah pahaman di antara ia dan pemuda ini. Kita sudah mendengar cerita pemuda ini. Dan biarlah kini giliran anak kami yang bercerita. Eng Hui, hayo ceritakan mengapa engkau sampai datang ke sini dan tiba-tiba menyerang pemuda ini?”
Eng Hui sejenak memandang Bun Hong, kemudian ke arah orang kurus yang masih rebah di atas lantai dengan muka pucat dan memandang dengan mata mengandung ketakutan. “Ayah dan ibu, setelah kalian pergi, aku merasa tidak betah di rumah, maka aku memberi tahu kepada para murid di rumah untuk menjaga rumah dan aku sendiri pergi menyusul ayah dan ibu. Tadi, ketika aku tiba di depan kuil, aku bertemu dengan orang kurus itu yang mengajak bicara dan dia amat ramah dan baik.
"Karena aku hendak menyelidiki apakah ayah dan ibu benar berada di kuil ini, diam-diam aku menyelinap masuk. Ketika sedang mencari-cari di dalam, aku melihat betapa pemuda ini memukul roboh orang kurus yang ramah itu, maka akupun segera turun tangan membelanya. Pemuda itu membawa si kurus lari ke belakang dan aku mengejar sampai sini.” Mendengar penjelasan ini, semua pendekar tersenyum. Memang telah terjadi kesalah-pahaman di antara dua orang muda itu. Ciu Kui Eng sendiri tertawa dengan hati lega karena ternyata puterinya tidak melakukan hal-hal yang dapat menimbulkan keributan. Hanya kesalah-pahaman biasa saja.
Siauw Lian Hong juga girang mendengar penuturan puteri sahabatnya itu, maka iapun lalu menghampiri puteranya. “Bun Hong, ketahuilah bahwa gadis manis ini adalah puteri dari sahabat kami. Ayahnya adalah Thio Ki atau Thio-pangcu ketua Kang-sim-pang, sedangkan ibunya adalah Ciu Kui Eng yang sudah seringkali kaudengar namanya. Ternyata Thio Eng Hui ini menyangka engkau seorang penjahat maka menyerangmu.”
Bun Hong memandang kepada Eng Hui dengan muka merah. Sementara itu Kui Eng juga berkata kepada puterinya. “Pemuda itu Tan Bun Hong, putera dari Tan Ci Kong dan Siauw Lian Hong, dua orang sahabat kami yang paling baik dan yang sudah sering kau dengar namanya. Dia menangkap orang ini karena orang ini agaknya seorang mata-mata yang menyelundup dan kini kami akan memeriksanya.”
“Ah, begitukah?” Eng Hui juga menjadi merah mukanya dan tidak berani lagi memandang langsung kepada pemuda itu.
“Eng Hui, engkau yang bersalah dalam hal ini. Lekas minta maaf kepada kakakmu Tan Bun Hong. Bagaimanapun juga, engkau lebih muda dan engkau yang kurang teliti.”
“Nanti dulu, ibu,” kata Eng Hui penasaran. “Orang kurus itu belum diperiksa dan belum ternyata bahwa dia memang bersalah, jadi masih belum terbukti bahwa dia yang benar dan aku yang bersalah. Kita tunggu sampai orang ini diperiksa.” lalu ia melirik ke arah Bun Hong. ”Kalau kemudian ternyata aku memang bersalah, biarlah aku akan minta maaf.”
Bun Hong merasa tidak enak. “Sudahlah, bibi. Sebaiknya urusan ini tidak diperpanjang karena kesalah-pahaman bukanlah suatu kesalahan, tidak perlu minta maaf. Ayah, sebaiknya orang ini segera diperiksa,” sambungnya kepada ayahnya.
Tan Ci Kong mengangguk, lalu menghampiri orang yang rebah di lantai itu dan diapun berjongkok di dekatnya. “Nah, sobat. Lebih baik engkau mengaku sekarang, apa artinya perbuatanmu yang mencurigakan itu? Engkau menyelinap masuk ke dalam kuil seperti seorang pencuri, dan engkau bahkan telah menotok roboh seorang tosu. Siapa engkau dan apa maksud perbuatanmu yang mencurigakan itu?”
Orang kurus itu kini sudah mulai dapat menggerakkan kaki tangannya dan dengan agak sukar dia bangkit duduk di atas lantai, sepasang matanya memandang ke kanan kiri dan melihat betapa dia berada di tengan kerumunan para pendekar dia merasa gentar sekali. Akan tetapi mendengar perkataan Ci Kong tadi, dia mendapatkan harapan dan segera berpegang kepada harapan itu.
“Benar taihiap, saya.... saya memang pencuri, saya masuk ke dalam kuil ini karena mendengar bahwa di dalam kuil terdapat banyak harta yang disimpan para tosu. Karena ketahuan seorang tosu, saya merobohkannya, akan tetapi.... sial, perbuatan saya diketahui oleh orang muda ini....”
“Cukup!” Ci Kong membentak, karena sebagai seorang pendekar yang sudah seringkali menghadapi mata-mata dan sudah banyak kali terjun dalam perjuangan, dia sudah berpengalaman sehingga tidak mudah dibohongi begitu saja.
“Mengaku saja terus terang bahwa engkau sudah tahu akan pertemuan kami ini dan datang untuk memata-matai kami. Hayo katakan, kau mata-mata pihak mana dan siapa yang mengutusmu, dan apa saja tugasmu?”
“Saya.... saya betul pencuri, akan tetapi belum mencuri apa-apa, harap taihiap suka memberi ampun dan membebaskan saya...."
“Ah, aku ingat sekarang!” Tiba-tiba seorang di antara para pendekar itu berseru dan dia bukan lain adalah tokoh Tiat-pi Kai-pang tadi. “Bukankah engkau ini yang berjuluk Pek-ci Sin-to (Maling Sakti Tikus Putih) yang terkenal di kota Pao-ting? Tan-taihiap, dia ini jelas mata-mata pemerintah Mancu! Sudah lama aku mendengar betapa maling hina ini menghambakan diri kepada pemerintah Mancu dan menjadi mata-mata!”
Tan Ci Kong mencengkeram rambut orang itu dan mengguncangnya. “Nah, sekarang telah kelihatan belangmu! Hayo mengaku saja apa yang kaulakukan di sini!”
Orang kurus itu kelihatan semakin ketakutan, apalagi ketika dia merasa betapa kuatnya cenkeraman tangan Tan Ci Kong. Para pendekar ini tentu akan memaksa dan kalau perlu menyiksanya agar dia mengaku, pikirnya. Tiba-tiba dia berusaha meronta dan memandang kepada seorang di antara pendekar itu sambil berseru, “Toako, kenapa kau diam saja? Tolonglah aku.... aughhhh.....”
Semua orang, termasuk Ci Kong terkejut bukan main karena tiba-tiba saja seorang di antara para pendekar menggerakkan tangannya dan sebuah piauw (senjata rahasia runcing) telah menyambar dan menancap di ulu hati tawanan itu. Selagi semua orang terkejut, orang tinggi besar itu telah melompat dan keluar dari ruangan itu. Semua orang yang terkejut dan bingung itu disadarkan oleh Bun Hong yang berteriak.
“Dia tentu pemimpinnya. Kejar....!” Semua orang baru sadar bahwa tentu si tinggi besar yang mereka kenal sebagai Ciang Koai, seorang pendekar yang dulu pernah berjuang bersama mereka membantu Tai Peng, kini menjadi kaki tangan pemerintah Mancu dan tentu dia membunuh pembantunya, si kurus itu, agar si kurus tidak membuka rahasia. Maka, semua orang lalu berserabutan mengejar keluar kuil.
Akan tetapi ketika semua orang tiba di luar kuil, ternyata kuil itu telah dikepung oleh sedikitnya seratus orang tentara kerajaan! Ternyata gerakan si kurus tadi memang sengaja dilakukan untuk memancing kalau-kalau ada penjaga pihak para pendekar di luar kuil itu tanpa diketahui para pendekar!
Melihat hal ini, Ci Kong mengepal tinju. Baru saja para pendekar mengambil keputusan untuk bergabung dengan pasukan rakyat yang dipimpin oleh Ceng Kok Han dan Li Hong Cang, bukan untuk melawan pemerintah Mancu melinkan untuk menenteramkan keadaan dengan menghadapi Tai Peng dan para pemberontak lain, dan kini mereka malah dikepung oleh pasukan pemerintah!
“Kita berpencar dan lari mencari jalan masing-masing! Ingat akan keputusan rapat pertemuan kita!” teriaknya dan mereka lalu berpencaran. Ci Kong bersama Lian Hong dan putera mereka, Bun Hong, segera menyerbu ke arah kiri.
Mereka disambut oleh tombak-tombak para perajurit, akan tetapi mereka mengamuk dan menerjang terus, merobohkan siapa saja yang menghalang jalan keluar mereka. Para pendekar yang lain juga menyerbu ke semua jurusan. Thio Ki juga disertai Kui Eng, dan puteri mereka Eng Hui, menerjang ke arah kanan dan mmerekapun mengamuk untuk membuka jalan keluar. Terjadilah pertempuran yang sengit di luar kuil.
Para tosu dan para tamu kuil itu menjadi ketakutan dan berjongkok di belakang meja-meja sembahyang untuk bersembunyi. Biarpun jumlah para pendekar itu hanya kurang lebih dua puluh orang sedangkan para perajurit ada seratus orang, namun tidak mudah bagi pasukan itu untuk menangkap para pendekar yang rata-rata memiliki kepandaian silat yang tinggi itu.
Setelah terjadi pertempuran yang tidak terlalu memakan waktu lama, sebagian besar dari para pendekar itu dapat lolos, hanya meninggalkan tiga orang yang tewas dan beberapa orang di antara mereka membawa lari luka, akan tetapi di pihak pasukan perajurit Mancu, tidak kurang dari lima puluh orang roboh dan terluka, bahkan ada beberapa orang yang tewas pula!
Karena para pendekar itu melarikan diri berpencar, sukar bagi para perajurit yang sudah merasa jerih untuk melakukan pengejaran. Mereka hanya menyerbu kuil, menangkapi para tosu, bahkan para tamu yang datang hanya untuk bersembahyang, ikut pula ditangkap!
“Han Le, muridku dan juga anakku yang baik, duduklah di sini, aku ingin membicarakan sesuatu yang amat penting denganmu.”
Han Le tersenyum. Semenjak gurunya ini menjadi suami ibunya, selalu gurunya menyebutnya murid dan anak, dan kasih sayang gurunya menjadi semakin jelas dilimpahkan kepadanya. Kini dia sudah berusia sembilan belas tahun dan selama ini dia menerima gemblengan yang tak mengenal lelah dari Bu Beng Kwi. Menurut keterangan suhunya, hampir semua ilmu silat yang dimiliki suhunya telah dia kuasai dengan baik.
Dan dia amat sayang kepada suhunya, apalagi ketika dia mendapat kenyataan betapa terdapat cinta kasih yang besar antara gurunya atau ayah tirinya dan ibunya. Dia melihat betapa ibunya hidup berbahagia sebagai isteri suhunya, nampak dari wajah ibunya yang selalu berseri cerah penuh kebahagiaan, bagaikan setangkai bunga yang terpelihara baik dan tak pernah haus dari siraman air yang menghidupkan dan menyegarkan.
Untuk ibunya itu saja dia sudah amat berterima kasih kepada suhunya dan diam-diam dia kagum kepada ibunya, yang demikian waspada dan bijaksana, tidak keliru memilih walaupun pada lahirnya, ibunya amat cantik dan suhunya amat buruk rupa. Dia yakin benar bahwa suhunya adalah seorang laki-laki sejati, seorang pendekar budiman yang sukar dicari keduanya.
Bahkan kini kedua orang suhengnyapun telah menjadi pemimpin-pemimpin rakyat yang gagah perkasa, pejuang-pejuang kenamaan dan patriot-patriot yang membela kepentingan rakyat. Diapun berniat untuk mengikuti jejak kedua orang suhengnya yang bercerita banyak tentang perjuangan ketka dua tahun yang lalu berkunjung ke tempat itu.
“Suhu, bagiku, suhu merupakan guru dan ayah yang amat baik dan setiap yang dibicarakan suhu selalu penting bagiku. Sekarang ada kepentingan apakah yang membuat suhu bersikap demikian sungguh-sugguh?” katanya sambil duduk di atas bangku depan suhunya, terhalang sebuah meja di mana terdapat minuman air teh yang tadi dihidangkan ibunya untuk orang tua itu.
Bu Beng Kwi memandang kepada murid yang juga menjadi anak tirinya itu dengan sepasang mata yang mencorong penuh kasih sayang, juga penuh perhatian. Anak itu kini telah menjadi seorang dewasa, pikirnya puas, seorang laki-laki yang gagah perkasa. Dalam hal ilmu silat, murid ini sudah melampaui tingkat Ceng Kok Han dan Li Hong Cang, dua orang muridnya yang kini telah menjadi pejuang-pejuang kenamaan.
Muridnya ini telah berusia sembilan belas tahun, tubuhnya tinggi besar, tingginya sama dengan dia, dengan dada yang bidang dan perawakan yang gagah sekali. Bangga dia mempunyai murid seperti Gan Han Le ini. Dan bukan saja Han Le pandai ilmu silat tinggi, bahkan oleh ibunya dia diajari ilmu mempergunakan senjata api, yaitu sebuah pistol.
Isterinya itu, Sheila, adalah seorang wanita kulit putih yang pernah mempelajari cara menembak dan ia sendiri yang melatih puteranya itu menjadi seorang penembak mahir! Bu Beng Kwi berhasil mendapatkan sebuah pistol dan senjata inilah yang dipergunakan oleh Han Le untuk belajar menembak sehingga dia menjadi seorang penembak mahir yang amat jitu tembakannya.
Dan pistol itu kini tersimpan oleh Han Le, kadang-kadang diselipkan di pinggang tertutup baju, dan dengan adanya senjata api ini, tentu saja Han Le menjadi seorang ahli silat yang amat hebat dan berbahaya bagi lawannya.
“Han Le, ada suatu rahasia besar yang selama ini kusembunyikan darimu, dan aku sengaja menanti sampai engkau menjadi dewasa baru rahasia itu kubuka dan kuberitahukan padamu. Akan tetapi sebelum hal itu kulakukan, lebih dulu aku ingin sekali mengetahui apa yang akan kau lakukan sekarang, setelah kunyatakan bahwa sudah habis waktunya engkau mempelajari ilmu dariku. Engkau telah dewasa, telah matang dan cukup kuat untuk membela diri, untuk menentukan langkah hidupmu nanti, Nah, apakah yang akan kau lakukan, anakku?”
“Suhu, aku ingin sekali pergi turun gunung dan ikut dalam perjuangan membela rakyat jelata agar segala yang pernah kupelajari dari suhu tidak akan tersia-sia.” jawabnya dengan tegas dan sungguh-sungguh.
“Apa yang mendorongmu untuk berjuang?”
“Suhu, aku.... tertarik untuk mengikuti jejak kedua suheng, dan.... bahkan mendiang ayah kandungku juga seorang pejuang, bukankah begitu? Jadi, sudah selayaknyalah kalau akupun menjadi seorang pejuang. Bukankah suhu akan menyetujuinya?”
Bu Beng Kwi mengangguk-angguk, “Tentu saja, tentu saja aku setuju. Akan tetapi, apakah tidak ada lain cita-cita lagi dalam hidupmu, hal yang amat ingin kau lakukan?”
Bu Beng Kwi ingin mengetahui semua isi hati muridnya ini, karena sebelum dia membuka rahasia yang mungkin akan menghabisi hidupnya, dan dia sudah siap siaga menghadapi hal ini, dia ingin lebih dahulu memberi pengarahan kepada muridnya untuk melakukan apa yang diinginkannya.
Han Le mengerutkan alisnya dan mengingat-ingat, lalu dia menggeleng kepala perlahan. “Kiranya tidak ada lagi, suhu. Aku hanya mempunyai ibu dan suhu, dan kini ibu telah hidup berbahagia bersama suhu di sini. Dulu, di waktu aku belum mengetahuinya, ada cita-cita di hatiku untuk membalas kematian ayah! Akan tetapi setelah ibu memberi tahu bahwa yang membunuh ayah ternyata sudah tewas pula, padamlah cita-cita itu..... eh, kenapa suhu? Kenapa suhu memandangku seperti itu?”
Han Le terkejut ketika melihat perubahan pada pandang mata suhunya. Sepasang mata yang besar sebelah yang biasanya mencorong itu kini tiba-tiba saja seperti lampu kehabisan minyak, dan pandang mata suhunya itu aneh sekali.
“Han Le, tahukah engkau siapa nama ayahmu?”
“Tentu saja! Ayah bernama Gan Seng Bu.”
“Tahukah engkau siapa pembunuh ayahmu, yang masih suheng dari ayahmu sendiri?”
Han Le merasa heran, akan tetapi dia menjawab juga. “Ibu pernah memberi tahu. Pembunuh ayah itu adalah suhengnya sendiri yang bernama Koan Jit, akan tetapi ada apakah....?”
“Gan Han Le, apakah engkau ingin melihat bagaimana wajah Koan Jit, pembunuh ayah kandungmu itu?”
Han Le tekejut sampai bangkit berdiri, memandang kepada suhunya dengan mata terbelalak penuh selidik, alisnya berkerut. Apakah gurunya hendak main-main dengan dia? Kalau bermain-main, keterlaluan sekali permainan ini! “Suhu, apa artinya ini? Bukankah di sudah meninggal dunia?”
Bu Beng Kwi menggeleng kepala, meraba mukanya dan berkata. “Dia masih hidup, sayang sekali, dan kau boleh memandang wajahnya dengan baik-baik. Inilah orangnya!”
Tangannya bergerak cepat dan tiba-tiba saja wajah buruk Bu Beng Kwi itu berobah sama sekali! Bukan lagi wajah seorang kakek yang mukanya pletat-pletot, matanya besar sebelah, hidungnya menyerong dan mulutnya mencong, telinganya kecil. Sama sekali bukan, melainkan wajah seorang laki-laki yang dapat dibilang tampan, dengan muka penuh kerut-merut dan membayangkan kedukaan, kulit mukanya agak kehitaman dan sepasang matanya yang tajam itu kini diliputi kedukaan besar.
“Inilah wajah Koan Jit, pembunuh ayahmu itu!”
Sampai beberapa amanya Han Le berdiri terbelalak,wajahnya berubah pucat sekali, tak mampu mengeluarkan kata-kata. Kemudian dia berteriak, “Suhu! Harap jangan main-main!"
Bu Beng Kwi atau Koan Jit itu tersenyum sedih dan menggeleng kepalanya. “Gan Han Le, aku tidak main-main. Aku adalah Koan Jit, pembunuh ayah kandungmu, dan aku sudah siap untuk menerima pembalasan dendam darimu, aku siap untuk menerima kematian di tanganmu. Nah, balaslah kematian ayahmu itu dan bunuhlah aku!”
Dengan kakinya, Bu Beng Kwi menendang meja yang menghalangi mereka ke samping sehingga kini mereka berhadapan. Bu Beng Kwi masih duduk di atas kursinya dan Han Le sudah berdiri sejak tadi. “Tapi... tap.... bagaimana ini? Apa artinya ini? Mengapa suhu melakukan semua itu? Mengapa? Ah, suhu... aku tidak percaya! Jangan permainkan aku, jangan membikin bingung aku.... dan diapun menjatuhkan diri berlutut di depan kaki suhunya.
“Bangkitlah, Han Le, dan hadapi kenyataan. Engkau bukan mimpi dan aku tidak berbohong. Dahulu aku bernama Koan Jit dan aku pernah membunuh suteku yang bernama Gan Seng Bu. Kemudian, karena malu akan sepak terjangku sendiri aku mematikan nama Koan Jit dan aku berubah menjadi Bu Beng Kwi. Akhirnya aku berjumpa dengan ibumu, jatuh cinta dan... engkau tahu sendiri. Aku sengaja menunggu sampai engkau dewasa, baru memberi tahu akan hal ini agar engkau dapat mengambil keputusan secara dewasa pula. Nah, aku sudah siap. Akulah Koan Jit pembunuh ayahmu dan engkau boleh melakukan apa saja!”
Sambil mendengarkan keterangan suhunya, Han Le menangis dan tiba-tiba dia meloncat berdiri tegak, memandang wajah orang di depannya itu dengan muka beringas dan sepasang mata berkilat. Air matanya masih mengalir turun membasahi kedua pipinya ketika dia menudingkan telunjuknya ke arah muka Bu Beng Kwi.
“Kau...! Engkau telah membunuh ayahku, kemudian.... engkau menggunakan muslihat.... engkau pergunakan kelemahan hati ibuku dan engkau malah mengawininya! Engkau sungguh kejam, keji dan tidak berperikemanusiaan...! Engkau bunuh ayahku dan menipu ibuku!” Han Le mengepal tinju dan napasnya tersengal-sengal saking marahnya.
“Dan engkau menipu aku, menjadikan aku muridmu.... kau kira dengan kebaikan-kebaikan berselubung itu kau sudah menebus dosamu terhadap ayahku? Kau keji, kau kejam...!"
“Aku siap menerima hukuman, Gan Han Le....“ kata Koan Jit dan suaranya lirih sekali, mukanya kini tunduk dan kedua matanya basah. Bukan main sakitnya rasa hati dimaki-maki oleh anak yang dicintanya, disayangnya seperti anak sendiri. Akan tetapi dia merasa bahwa memang sudah semestinya demikian, dan hal ini sudah seingkali dibayangkannya selama bertahun-tahun ini, bahkan seringkali membuat dia tidak mampu tidur.
Dengan kedua tangan terkepal Han Le memandang wajah laki-laki tua di depannya itu, penuh kebencian. “Memang! Engkau harus mampus. Engkau binatang berwajah manusia, engkau iblis busuk, jahanam keparat, pembunuh ayahku, penipu ibuku....!”
Kedua tangannya sudah menggetar, penuh terisi tenaga sinkang karena Han Le sudah siap untuk menerjang dan mengirim pukulan maut kepada orang di depannya itu. Dia lupa bahwa orang itu adalah gurunya. Lupa karena memang wajah orang itu berbeda, dan yang teringat hanyalah bahwa orang itu pembunuh ayahnya dan penipu ibunya yang patut dibunuh!
Diapun menerjang ke depan dan mengirim pukulan ke arah dada orang tua itu. Akan tetapi detik terakhir, pakaian serba putih seperti yang biasa dipakai Bu Beng Kwi, seperti mengingatkan Han Le bahwa orang ini adalah Bu Beng Kwi, gurunya, maka ditahannya gerakan pukulannya dan dikurangi tenaganya. Namun pukulan itu sudah mengenai dada Bu Beng Kwi alias Koan Jit.
.”Bruukkk...!” Koan Jit terkena pukulan, akan tetapi pukulan keras dari tenaga otot saja, bukan pukulan sinkang sehingga dia tidak terluka parah, hanya terengah saja dan dia masih bangkit berdiri, diam-diam dia merasa heran mengapa muridnya yang marah sekali itu memukul seperti itu, bukan pukulan maut yang sekali saja akan dapat mengantar nyawanya ke alam baka. Dia berdiri dengan terhuyung dan menghampiri lagi muridnya yang berdiri bingung.
“Hukum dan bunuhlah aku, jangan kepalang tanggung, Gan Han Le,” katanya.
“Baik, aku akan membunuhmu! Sebagai Koan Jit, engkau telah membunuh ayahku! Sebagai Bu Beng Kwi, engkau telah menipu ibuku, menodai ibuku!” Sekali ini Han Le sudah mengambil keputusan untuk membunuh orang di depannya itu. Dia sudah mengerahkan tenaga dan siap menerjang, akan tetapi pada saat itu dia tersentak kaget karena jeritan ibunya.
“Henry...!” Ibunya datang berlari dan menubruk Koan Jit yang berdiri limbung sambil mengusap darah dari ujung mulutnya. “Henry, apa yang kau telah lakukan? Dan apa yang akan kau lakukan ini?” ibunya membentak sambil menghadapi puteranya.
Tentu saja Han Le merasa heran bukan main melihat ibunya menubruk Koan Jit dan tidak heran melihat bahwa Bu Beng Kwi telah berubah menjadi Koan Jit. “Ibu, tidak tahukah ibu siapa dia ini? Dia ini Koan Jit, pembunuh ayahku, pembunuh suami ibu ! Dan dia menyamar sebagai Bu Beng Kwi, menipu kita, bahkan menodai ibu dan mengawini ibu!”
“Ahhh, ini semua gara-gara engkau tidak membiarkan aku memberi tahu anakku sejak dulu, menanti sampai dia dewasa dan engkau sendiri yang memberi tahu keadaanmu.” Sheila menegur Bu Beng Kwi yang kini duduk kembali dengan kepala ditundukkan seperti anak kecil yang merasa bersalah.
“Henry, dengarlah. Memang dia ini Koan Jit. Ingatkah engkau ketika engkau kuajak pergi meninggalkan Bu Beng Kwi? Nah, ketika itulah akupun mengajakmu meninggalkannya. Akan tetapi... engkau tahu sendiri.... betapa baiknya dia, dan aku... ibumu ini, maafkan aku, nak, aku telah jatuh cinta kepadanya, kepada pembunuh ayahmu. Akan tetapi, engkau sendiri mengenal siapa adanya Bu Beng Kwi, orang macam apa.
"Koan Jit memang telah mati, yang hidup adalah tubuhnya, akan tetapi hatinya, namanya telah menjadi Bu Beng Kwi. Bu Beng Kwi telah membunuh Koan Jit, maka engkau tidak boleh membunuh Bu Beng Kwi, anakku, karena dia gurumu, dia ayah tirimu, dia mencinta kita berdua dengan sepenuh jiwa raganya!”
“Tidak, ibu! Tidak boleh begitu! Ah, mengapa ibu begitu keji? Mau saja menikah dengan pembunuh ayah? Ibu tidak cinta padaku, ibu... kejam dan mengkhianati ayah kandungku...! Aku harus bunuh dia, ibu. Harus!”
Dengan tubuh menggigil Sheila menghadang di depan puteranya. “Jangan, Henry! Engkau dilatih silat sejak kecil, apakah dengan kepandaian yang kau peroleh dari dia itu kini hendak kau pergunakan untuk membunuh dia, orang yang selama ini melatihmu, mengasihimu?”
“Baik, aku tidak mempergunakan ilmu silat yang dia ajarkan kepadaku. Persetan dengan ilmu-ilmunya itu! Aku akan membunuh dengan ini, tanpa kepandaian yang kuperoleh darinya!”
Dan Henry mencabut pistol jenis revolver itu dari balik bajunya dan menodongkannya ke arah Bu Beng Kwi yang masih diam saja sambil memandang kepada ibu dan anak itu.
“Henryyyy...!” Sheila menjerit dan mendekat sehingga ujung pistol itu menempel di dadanya sendiri. “Engkau tidak boleh lakukan itu! Tidak, dia adalah suamiku yang kucinta, kalau engaku berkeras hendak membunuhnya, engkau harus lebih dulu membunuhku!!”
Mendengar ucapan ibunya ini, terbelalak mata Han Le dan dia melangkah mundur, pistolnya menunduk, mukanya pucat sekali. “Ibu.... ibu bahkan membelanya, melindunginya? Padahal dia.... dia pembunuh ayahku....! Ibu.... ibu sungguh tidak patut.... ahhhh...!” Han Le meloncat keluar dan melarikan diri pergi dari situ tanpa menoleh lagi.
“Henry...! Henry....!” Sheila mengejar, akan tetapi puteranya itu telah berkelebat cepat sekali dan lenyap dari situ. Sheila yang terus mengejar, akhirnya terpelanting jatuh ketika kakinya tersentuh batu dan pada saat tubuhnya roboh, kedua lengan Bu Beng Kwi yang kokoh kuat menyambarnya dan tubuh yang terkulai pingsan itu lalu dipondongnya masuk kembali ke dalam rumah.
“Henry...... ahh, Henry......!” Sheila mengeluh ketika ia siuman kembali dan melihat suaminya duduk di tepi pembaringan dengan wajah sedih, wajah Koan Jit tanpa topeng. Sheila menangis sesenggukan.
Koan Jit mengelus rambut kepala isterinya penuh kasih sayang. “Kita harus berani menghadapi semua ini, isteriku. Sudah kubayangkan akan begini jadinya. bagaimanapun juga, dia tidak akan tega membunuhku.”
“Tapi dia..... dia pergi dan lari dari sini.... ah, bagaimana kalau aku kehilangan anakku lahir batin....?”