Pemberontakan Taipeng Jilid 15

Sonny Ogawa

Pemberontakan Taipeng Jilid 15 karya Kho Ping Hoo - Yu Bwee lalu menyerang lagi, kini tubuhnya bergerak cepat, kaki tangannya mengirim serangan bertubi-tubi dan setiap serangan mengandung tenaga yang amat kuat.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Diam-diam Han Le kagum bukan main, akan tetapi pemuda ini mempergunakan kecepatan gerakan tubuhnya untuk mengelak atau menangkis. Dia selalu mengalah dan jarang membalas karena memang dia tidak ingin merobohkan gadis itu.

Yu Bwee telah mewarisi ilmu dari ibunya dan Ceng Hiang adalah seorang wanita yang beruntung sekali mewarisi ilmu- ilmu dari keturunan keluarga Para Pendekar Pulau Es! Akan tetapi, karena ia bukan keturunan langsung, maka ilmu-ilmu dari Pulau Es yang diwarisinya itu hanya merupakan sisa-sisa saja dari ilmu-ilmu aselinya.

Bagikan air yang sudah mengalir jauh, tentu saja tidak dapat disamakan dengan air yang baru keluar dari sumbernya. Kepandaian yang dimilikinya dari ibunya itu tentu saja belum ada sepuluh prosen dari ilmu-ilmu Pulau Es ! Namun cukup membuat ibunya menjadi seorang wanita yang amat lihai, bahkan ia sendirpun menjadi seorang gadis yang sukar dikalahkan oleh ahli silat sembarangan saja.

Baru tenaga sinkang yang dipergunakannya tadi saja, yang berhawa dingin, adalah sinkang yang amat hebat, yang dinamakan Soat-im Sin-kang (Tenaga Sakti Inti Salju) yang merupakan ilmu dari keluarga Pulau Es. Akan tetapi tentu tidak sedahsyat aselinya.

Di lain pihak, Han Le mewarisi ilmu-ilmu dari Bu Beng Kwi atau Koan Jit yang menjadi murid pertama dari mendiang Thian-tok, seorang di antara Empat Racun Dunia yang sakti. Ilmu silat tangan kosong Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang telah dikuasainya dengan baik membuat pemuda berpakaian putih ini lihai sekali.

Ketika tiba giliran Han Le untuk mengeluarkan ilmunya dan membalas, bukan dengan maksud merobohkan, hanya untuk menguji dan mendesak, pemuda ini kaget dan kagum ketika tubuh lawan itu selalu dapat mengelak dan gadis itu mempergunakan langkah-langkah aneh yang selalu membuat tubuhnya berada di luar jangkauan serangannya!

Itulah Pek-seng Sin-pouw (Langkah Ajaib Seratus Bintang) yang dimainkan oleh Yu Bwee dari ibunya, yang secara kebetulan menemukan kitab peninggalan Tat Mo Couwsu yang mengajarkan ilmu langkah ajaib itu. Mereka saling serang sampai seratus jurus dan Yu Bwee mulai berkeringat. Belum pernah ia dapat menyentuh tubuh lawan walaupun lawannya juga belum pernah dapat menyentuhnya.

Yu Bwee tidak tahu bahwa sesungguhnya pemuda berpakaian putih itu selalu mengalah. Walaupun ia memiliki Pek-seng Sin-pouw, kalau Han Le menyerang dengan sepenuh kemauan, walaupun ia dapat bertahan tidak urung ia akan dapat dirobohkan oleh pemuda itu.

Han Le sudah merasa cukup menguji ilmu kepandaian gadis itu dan dia merasa kagum bukan main, juga semakin tertarik, karena gadis itu selain memiliki kecantikan yang luar biasa, ternyata memiliki ilmu silat yang aneh-aneh dan lihai bukan main. Juga gadis ini bukan seorang yang ganas, buktinya biarpun tidak mampu mengalahkannya, belum juga gadis itu mau mencabut pedang. Padahal ketika menghadapi perampok, begitu terjun ia sudah mengeluarkan pedangnya dan sungguh amat berbahaya.

Ketika tangan kanan Yu Bwee meluncur dan mencengkeram ke arah dadanya, Han Le sengaja memperlambat gerakan mengelak, akan tetapi diam-diam dia melindungi kulit dadanya dengan ilmu kebal Kim-ciong-ko sehingga jari-jari tangan gadis itu meleset dari kulitnya yang menjadi keras dan licin, dan yang kena dicengkeram hanyalah bajunya saja.

“Bretttt...!” baju di bagian dadanya itupun terobek selebar tangan! Keduanya melompat mundur dan Yu Bwee masih memegang kain robekan baju putih sambil tersenyum penuh kemenangan. Bagaimanapun juga, gadis ini merasa girang dan bangga karena bukankah dengan robeknya baju di bagian dada itu membuktikan bahwa ia lebih unggul?

Han Le yang meloncat ke belakang itu lalu menjura. “Nona, sungguh lihai sekali, aku mengaku kalah.”

Giranglah hati Yu Bwee. Pemuda ini meupakan lawan yang amat tangguh, dan rendah hati sehingga mudah mengaku kalah begitu saja, padahal ketika tangannya mencengkeram dada tadi, ia merasa betapa dada itu keras seperti baja dan licin sekali sehingga tangannya hanya berhasil merobek baju.

Ia menduga bahwa pemuda itu memiliki ilmu kekebalan yang hebat. Sikap ini mendatangkan rasa suka di hatinya dan ia semakin ragu apakah ia harus memaksa pemuda ini untuk kembali ke istana.

“Sudahlah, tidak mudah mengalahkanmu. Sesungguhnya, benarkah apa yang kau ceritakan tentang sikap sang permaisuri tadi?”

“Aku Gan Han Le bukanlah orang yang suka berbohong,” kata Han Le.

“Namamu Gan Han Le? Aku bernama Yu Bwee...." Otomatis gadis itu memperkenalkan diri.

“Aku girang sekali dapat berkenalan denganmu, nona Yu Bwee. Sungguh mengherankan sekali melihat seorang gadis berbangsa Mancu memiliki ilmu silat yang demikian lihainya.”

“Aku tidak sepenuhnya keturunan Mancu. Dalam darah ayahku mengalir pula darah Han. Aku hanya seorang peranakan. Dan engkau? Kulihat engkau berbeda dengan pemuda Han yang biasa. sepasang matamiu itu....”

“Agak kebiruan?” Han Le berkata dan merasa sebal dengan dirinya sendiri. “Memang, akupun seorang peranakan. Ayahku seorang Han aseli, akan tetapi ibuku seorang kulit putih....”

“Ahhh....!”

“Hemm, engkau heran dan memandang rendah? Tidak aneh karena semua orang membenci orang kulit putih, akan tetapi biarpun ia seorang wanita kulit putih, ibuku bijaksana dan membantu perjuangan rakyat, ayahku yang sudah tiada juga seorang pendekar dan pahlawan rakyat pejuang....”

“Aih, kalau begitu benar! Ayahmu tentu Gan Seng Bu!”

Han Le terkejut. Tadi dia sama sekali tidak menyangka bahwa gadis itu terkejut bukan karena mendengar ibunya berkulit putih, melainkan terkejut karena agaknya dapat menduga siapa adanya ayahnya yang menikah dengan wanita kulit putih. Rasa bangga menyelinap di dalam hatinya.

“Engkau mengenal ayahku?”

Yu Bwee menggeleng kepala. “Tidak mengenal orangnya, hanya mendengar namanya dari cerita ibu. Ibupun, walaupun puteri seorang pangeran Mancu, amat akrab dengan para pendekar pejuang dan sering bercerita tentang para pendekar sehingga ketika engkau mengatakan bahwa ibumu seorang kulit putih, aku teringat akan pendekar Gan Seng Bu yang menikah dengan wanita kulit putih.”

Yu Bwee berhenti sebentar dan mereka kini saling pandang, dengan sinar mata lain, penuh kagum. “Aku tahu bahwa ayahmu telah gugur, akan tetapi di mana ibumu?”

Pertanyaan ini bagaikan sebatang pedang menusuk jantungnya. Han Le menjadi agak pucat dan diapun menarik napas panjang, teringat betapa ibunya telah menjadi isteri Koan Jit, musuh besar yang telah membunuh ayahnya! Ibunya telah berkhianat.

“Ibu juga sudah meninggal dunia,” jawabnya singkat.

"Ah, kasihan sekali engkau, Han Le. Sekarang, setelah mengenal siapa adanya dirimu, aku percaya padamu. Memang, sudah banyak kabar desas-desus yang kudengar tentang permaisuri kedua itu. Biarlah, akan kukatakan bahwa aku tidak berhasil menyusulmu.”

“Terima kasih, Yu Bwee, aku tahu bahwa engkau memang baik sekali dan seorang gadis berjiwa pendekar yang gagah perkasa.”

Yu Bwee memandang robekan kain putih yang masih berada di tangannya dan sadar bahwa sejak tadi ia memeganginya, ia lalu melepaskannya sehingga kain putih itu melayang jatuh ke atas tanah, dan iapun memandang ke arah baju di bagian dada berlubang itu. “Maafkan, aku tadi telah merobek bajumu.....” katanya.

“Tidak mengapa, Yu Bwee, masih untung bahwa engkau hanya merobek baju, bukan kulit dagingku.”

Tiba-tiba saja terdengar suara bentakan, “Gan Han Le, menyerahlah sebelum kami terpaksa menembakmu! Menyerah untuk menjadi tawanan kami!” dan tiba-tiba saja muncul dari balik semak-semak dua orang perwira tentara kerajaan yang menodongkan dua buah senapan ke arah Han Le!

“Nona Yu, minggirlah dan jauhi pemuda itu!” kata orang kedua.

Yu Bwee mengenal mereka sebagai dua orang perwira pengawal yang tentu diutus pula oleh permaisuri Cu Si untuk melakukan pengejaran dan mereka membawa senjata senapan! Sungguh berbahaya, pikir Yu Bwee. Ia sudah tahu akan hebatnya senjata api itu, yang dalam jarak jauh amat sulit dilawan dengan ilmu silat, lebih berbahaya dari senjata rahasia apapun juga karena amat tepat dan mematikan. Ia tidak mau mundur.

Akan tetapi bahkan Han Le yang melangkah mendekati dua orang itu sampai jarak antara mereka hanya kurang lebih lima belas meter. Pemuda itu bersikap tenang sekali, bahkan mulutnya tersenyum ketika dia berkata dengan nada menentang. Dia menjaga agar gadis itu tidak berada di belakangnya. “Kalau aku tidak menyerah, lalu kalian mau berbuat apakah?”

“Kami akan menembakmu mampus!” bentak mereka bergantian dan moncong bedil mereka telah ditodongkan ke arah dada Han Le.

“Han Le, menyerah sajalah, terlalu berbahaya melawan mereka yang memegang senapan !” kata Yu Bwee dengan khawatir sekali melihat sikap Han Le yang agaknya tidak mau menyerah itu.

“Tidak! Aku tidak sudi menyerah!” Tiba-tiba Han Le menerjang ke depan dan begitu moncong sebatang senjata api memuntahkan api, tubuhnya sudah bergulingan.

“Darr.....!” peluru itu berdesingan lewat di atas tubuh yang masih bergulingan dan sambil bergulingan, Han Le sudah mencabut pistol kecil dari pinggangnya.

“Klek-klek !” Dia membuka kuncinya, lalu menembak. “Darr....!” Penembak pertama tadi terjungkal roboh.

“Darr...!” orang kedua menembak, akan tetapi kembali Han Le sudah bergulingan dan membuka kunci pistol membuang tempat peluru pertama dan ketika lawannya sedang sibuk mengisi peluru dia sudah melompat bangkit dan kembali pistolnya meledak.

“Darr....!” dan perwira kedua itupun terjungkal. Keduanya tewas seketika karena peluru pistol yang ditembakkan Han Le tepat mengenai kepala sampai tembus!

Han Le tidak memperdulikan mereka, melainkan memandang ke sekeliling untuk melihat kalau-kalau masih ada musuh. Akan tetapi sunyi saja di puncak bukit itu, agaknya hanya mereka berdualah yang tadi datang. Dia lalu melangkah kembali menghadapi Yu Bwee yang memandang kepadanya dengan kagum.

Pemuda ini selain lihai ilmu silatnya, juga amat pandai mempergunakan senjata api. Untung bahwa sejak semula ia sudah merasa kagum, tertarik dan suka kepada Han Le sehingga ketika ia hendak menangkapnya tadi, ia tidak mencabut pedangnya. kalau sampai mereka bermusuhan dan Han Le mencabut pistolnya, tentu ia akan tewas pula dengan amat mudahnya seperti kedua orang perwira itu.

“Terpaksa aku mendahului mereka, kalau tidak.... tentu aku yang menjadi korban,” katanya seolah-olah minta maaf kepada Yu Bwee. “Engkau tahu bahwa bagaimanapun juga, aku tidak sudi kembali ke istana Yehol.”

Yu Bwee hanya mengangguk dan matanya mengamati wajah pemuda itu penuh kekaguman.

“Yu Bwee, aku pergi sekarang, senang sekali telah dapat berkenalan denganmu. Selamat tinggal, Yu Bwee.”

“Selamat jalan....!"

Pemuda itu membalikkan tubuh, akan tetapi baru melangkah tiga langkah, dia berhenti dan membalik kembali menghadapi Yu Bwee. “Yu Bwee, aku.... aku ingin sekali menyimpan benda milikmu untuk menjadi kenangan dan peringatan pertemuan ini.... relakah engkau memberikan kepadaku.....?”

Sejenak Yu Bwee bingung, tidak tahu apa yang dimaksudkan, akan tetapi wajahnya menjadi kemerahan ketika ia dapat menyelami maksudnya. Ia menjadi bingung tak tahu harus menjawab bagaimana. “Benda.... benda apa maksudmu?"

“Tusuk kondemu yang kiri...."

Yu Bwee meraba kepalanya dan matanya terbelalak. Rambutnya digelung ke belakang dan dua batang tusuk konde dari emas di situ, akan tetapi kini tusuk konde yang kiri sudah lenyap! “Tusuk kondeku lenyap...!" katanya.

Han Le mengeluarkan tusuk konde itu dari saku bajunya. “Inilah benda itu, Yu Bwee. Maaf, sudah kuambil ketika kita bertanding tadi dan tadinya hendak kusimpan, akan tetapi aku tidak ingin menjadi pencuri, maka aku minta dengan terang-terangan. Kalau engkau keberatan, benda ini akan kukembalikan kepadamu, kalau boleh, akan kusimpan sebagai kenangan.”

Berdebar rasa jantung Yu Bwee dan mukanya sebentar pucat sebentar merah. Betapa bodohnya menganggap diri lebih pandai dalam ilmu silat daripada Han Le! Kiranya diam-diam pemuda itu telah berhasil mencabut tusuk konde tanpa ia mengetahui. Padahal, tusuk konde itu dekat dengan tengkuknya.

Dan kalau pemuda itu menghendaki, bukan tusuk konde yang dicabut, melainkan nyawanya melalui totokan pada tenkuk! Dan pemuda perkasa ini ingin menyimpannya sebagai tanda mata, sebagai kenangan! Ia berusaha mejawab, akan tetapi lehernya seperti tersumbat rasanya dan ia hanya dapat mengangguk dan mengeluarkan suara lirih, “Simpanlah!"

“Terima kasih, Yu Bwee, aku tidak akan melupakanmu selama hidupku, selamat tinggal!”

“Selamat berpisah...."

Sekali dua kali meloncat saja tubuh itu berubah menjadi bayangan putih yang berkelebatan dan lenyap ke bawah puncak. Sejenak Yu Bwee berdiri termenung, dan ia merasa heran sekali mengapa tiba-tiba saja hidup ini terasa begini sunyi dan kosong, Ia merasa seperti kehilangan dan kesepian.

Ketika ia menunduk, nampak robekan kain putih itu dan seperti di luar kesadarannya sendiri ia membungkuk dan menjumput kain itu, sejenak diamatinya kain putih itu dan sambil menarik napas panjang, robekan kain selebar tangan itupun dimasukkannya ke dalam saku bajunya!

Iapun pergi meninggalkan puncak dengan cepat, menuju ke Yehol untuk membuat laporan palsu kepada permaisuri Cu Si. Kalau kedua orang perwira bersenjata api tadi tidak tewas, entah apa yang harus dilaporkan. Akan tetapi sekarang ia dapat melapor bahwa usahaya mencari Han Le gagal dan bahwa ia tidak bertemu dengan pemuda itu.

* * *

Kemalangan yang bertubi-tubi menimpa Kerajaan Ceng dan hampir saja menghancurkan Kerajaan Mancu itu. Peking diserbu dan diduduki musuh, yaitu orang-orang kulit putih. Kaisar Hsian Feng yang usianya baru tiga puluh tahun lebih itu, setelah berhasil mengungsi ke Yehol, jatuh sakit berat yang membawa kematiannya!

Kaisar Hsian Feng meninggal dunia dalam usia muda dan di dalam pengungsian di Yehol. Tentu saja hal ini menggegerkan, akan tetapi keluarga kaisar dan para pembesar dapat merahasiakan hal ini agar tidak membuat kedaan menjadi semakin kacau dan lemah.

Pangeran Kung ditugaskan oleh para pembesar yang mewakili pemerintah untuk membuat perjanjian pedamaian dengan orang-orang kulit putih. Dalam hal ini, sebagai negara yang kalah, tentu saja pemerintah Mancu menerima syarat-syarat yang disodorkan oleh orang kulit putih. Perdamaian yang berat sebelah dan menguntungkan bangsa kulit putih yang diperbolehkan membuka kantor perdagangan di manapun juga!

Bahkan Peking yang sejak berabad lamanya menjadi kota terlarang, kini harus dibuka untuk para duta negeri Eropa untuk bertempat tinggal, dengan dasar persamaan hak. Banyak sekali daerah yang tadinya tunduk untuk menjadi bagian kekuasaan pemerintah Ceng, kini terjatuh ke tangan orang kulit putih.

Dalam tahun 1862 Bangsa Perancis memperoleh Cochin Cina, kemudian tahun 1863 menguasai Kamboja dan tahun 1867 menguasai Annam Macao juga resmi menjadi milik Portugal. Birma menjadi jajahan Inggris. Bukan hanya negara-negara selatan yang dicaplok oleh orang-orang kulit putih, akan tetapi semua kota pelabuhan di sepanjang pesisir selatan dan timur harus dibuka untuk mendaratkan kapal-kapal dagang mereka.

Dalam perjanjian yang diadakan setelah Peking jatuh dalam tahun 1860-1861 itu, Pangeran Kung berjasa besar. Pangeran Kung adalah adik mendiang Kaisar Hsian Feng, yang memimpin pasukan kerajaan.

Ketika mengetahui bahwa ajalnya akan tiba Kaisar Hsian Feng lalu mengumpulkan para pembantunya. Tiga orang Menteri dan lima orang Jenderal yang ikut pula mengungsi ke Yehol untuk mengatur upacara pengangkatan putera mahkota sebagai pengganti kaisar. Putera mahkota itu adalah Pangeran Cai Chun, yaitu putera dari Yehonala atau Cu Si, satu-satunya putera Kaisar Hsian Feng, yang pada waktu itu baru berusia enam tahun!

Cai Chun diangkat menjadi kaisar dengan julukan Kaisar Chi Hsiang, dan delapan orang pembesar itu oleh kaisar yang telah berada di ambang kematian itu diangkat menjadi wakil kaisar yang akan mengatur pemerintahan atas nama kaisar cilik yang tentu saja belum mengerti apa-apa itu.

Di antara delapan orang pembesar tinggi yang diangkat menjadi wakil kaisar cilik itu adalah Su Shun, seorang pembesar yang cerdik, berambisi besar dan menjadi pucuk pimpinan di antara mereka yang delapan orang itu. Namanya sudah terkenal sebagai seorang pembesar yang licik, berkuasa dan banyak sudah dia mengangkat orang-orang Han menjadi pembesar, asal mampu memeberi sogokan yang besar.

Dia terkenal sebagai seorang pembessr yang korup, namun karena cerdik dan berkuasa besar, tidak ada yang berani menentangnya. Sungguh sama sekali tidak disangka oleh Su Shun, pembesar yang sudah berpengalaman dan cerdik ini, bahwa dia akan medapatkan penentang dan musuh yang sama sekali tak disangka-sangkanya, dan yang dalam hal kecerdikan bahkan mengatasinya!

Musuh itu bukan lain adalah Yehonala atau permaisuri Cu Si yang kini, setelah puteranya diangkat menjadi kaisar, otomatis menjadi Ibu Suri Cu Si! Su Shun tidak megira bahwa dalam kepala cantik yang masih muda itu, terdapat ambisi yang jauh lebih besar daripada ambisinya, dan terdapat kecerdikan yang lebih lihai!

Niuhulu atau permaisuri pertama Cu An yang kini menjadi Ibu Suri Pertama, sebagai permaisuri pertama tentu saja memiliki kekuasaan besar. Dengan cerdiknya, Cu Si minta persetujuan para pembesar bahwa ia dan Ibu Suri Cu An diangkat menjadi wakil kaisar yang masih kecil itu pula, mewakili kaisar dalam mengambil keputusan yang diajukan oleh Delapan Wakil Kaisar yag menjalankan roda pemerintahan.

Dengan demikian, tentu saja seolah-olah Cu Si menempatkan dirinya dan Ibu Suri Cu An di tempat yang lebih tinggi kekuasaannya daripada delapan pembesar tinggi itu. Hal ini ditentang oleh Su Shun dan teman-temannya, dengan alasan bahwa tidak terdapat peraturan seperti itu semenjak Kerajaan Ceng berdiri.

Ibu Suri Cu An sendiri, seorang yang lemah dan tidak berambisi, tidak perduli akan itu semua. Akan tetapi tidak demikian dengan Ibu Suri Cu Si. Ia segera bertindak, membujuk Cu An bahwa delapan orang pembesar itu tidak setia dan dapat mencelakakan kaisar dan keluarganya.

Bahkan ia berhasil membujuk Ibu Suri Cu An untuk mengirim surat kepada Pangeran Kung yang menguasai balatentara untuk datang ke Yehol dan merundingkan bagaimana untuk meghadapi Su Shun dan kawan-kawannya.

Su Shun juga tidak tinggal diam. Disebarnya mata-mata dan dilakukanlah segala usaha untuk memisahkan dua orang Ibu Suri itu dengan Pangeran Kung, yang pertama tetap di Yehol dan yang kedua di Peking dan tidak memberi jalan kepada mereka untuk saling bertemu. Segala jalan dilakukan untuk menghalangi pertemuan atau hubungan di antara mereka.

Su Shun dan kawan-kawannya menyatakan bahwa tidak pantas bagi Pangeran Kung untuk menemui ipar-ipar perempuan dan tidak baik meninggalkan tugasnya di Peking yang masih dalam keadaan gawat, dan sebagainya. Karena malu hati, Pangeran Kung juga tidak berani berterang dan menghubungi dua orang kakak iparnya itu.

Perasaan malu ini oleh Su Shun dan kawan-kawannya dianggap sebagai perasaan takut dan mereka memandang rendah kepada kekuasaan Pangeran Kung yang mengepalai balatentara dan yang mendapatkan kesan baik di mata pasukan kulit putih, karena berhasilnya perjanjian perdamaian itu.

Juga pihak ibu suri, terutama sekali Ibu Suri Cu Si, tidak tinggal diam. Ia berusaha keras untuk menjatuhkan delapan orang yang dianggap menjadi saingannya itu. Cai Chun yang kini menjadi Kaisar Chi Hsiang adalah anaknya! Seharusnya ialah yang menjadi wali dan wakil kaisar selagi kaisar masih bocah, bukan delapan orang pejabat tinggi itu.

Dalam usaha Cu Si untuk berhubungan dengan Pangeran Kung di kotaraja, Yu Bwee berjasa sekali. Gadis perkasa inilah yang menjadi jembatan dan dengan kepandaiannya yang tinggi, Yu Bwee dalam melakukan perjalanan bolak-balik dari Kotaraja ke Yehol dan sebaliknya, membawa pesan-pesan dan surat-surat antara Ibu Suri Cu Si dan Pangeran Kung!

Tugas ini bukan tidak berbahaya. Beberapa kali Yu Bwee dihadang dan diserang oleh mata-mata yang disebar oleh Su Shun dan kawan-kawanya, namun gadis perkasa itu berhasil mengalahkan mereka semua dan melaksanakan tugasnya dengan baik.

Akhirnya, kedua pihak dapat mengadakan perundingan lewat perantaraan Yu Bwee dan Pangean Kung dapat menghadap kaisar di Yehol, bahkan kaisar bocah ini, diwakili oleh Ibu Suri, mengangkat Pangeran Kung menjadi perdana menteri yang bekuasa penuh. Ketika kaisar dan kedua Ibu Suri kembali ke kotaraja Peking, delapan pejabat tinggi yang dituduh berkhianat itupun ditangkap!

Su Shun yang melarikan diri dapat dikejar dan ditangkap, dihukum mati, ada pula yang dihukum minum racun, dipenjara selama hidup atau dibuang. Pendeknya, semua lawan dan kaki tangan mereka tidak ada yang diampuni oleh Ibu Suri Cu Si dan semenjak itu, Ibu Suri Cu Si seolah-olah memegang kendali pemerintahan mewakili puteranya!

Memang benar di sampingnya masih ada Ibu Suri Cu An yang kedudukannya lebih tinggi, namun Ibu Suri ini lemah dan tidak pernah mau mencampuri urusan pemerintahan, berbeda dengan Cu Si yang gila kekuasaan dan mulailah wanita ini menguasai kerajaan sampai hampir lima puluh tahun lamanya!

Namun, di samping ambisinya yang berkobar-kobar untuk menjadi orang yang paling berkuasa di seluruh negeri, Ibu Suri Cu Si juga merupakan seorang wanita yang panas, yang besar sekali nafsu ber4hinya. Semenjak gadis ia diperisteri mendiang Kaisar Hsian Feng yang lemah karena terlalu banyak pelesir, apalagi ia ditinggal mati dalam usia yang amat muda, bagaikan bunga sedang mekar-mekarnya, sedang haus-hausnya akan kepuasan batin.

Oleh karena itu, kembali ia merasa kesepian, merana dan hiburan yang ia dapatkan dari Li Lian Ying, thaikam kepercayaannya itu, tidak lagi mampu memuaskan dahaga yang menyiksanya. Dan melihat junjungannya seperti cacing kepanasan atau ikan di daratan, kembali Li Lian Ying yang cerdik itu yang datang menolong. Thaikam ini mengetahui rahasia seorang thaikam lain yang bernama An Tek Hai, seorang laki-laki tinggi besar yang bertubuh kuat.

Rekannya ini sudah dikebiri seperti dia juga, akan tetapi pengebirian terhadap An Tek Hai belum sempurna benar sehingga thaikam yang satu ini tidak sepenuhnya mati kejantanannya. Melihat ini, dengan tujuan menyenangkan junjungannya, Li Lian Ying mulai mendekati An Tek Hai dan memberi obat-obat ramuan dari Tibet yang dahulu dipergunakan Kaisar Hsian Feng untuk memperkuat dirinya.

Setelah minum obat itu, terjadilah hal yang luar biasa. An Tek Hai menemukan kembali kejantanan sepenuhnya, bahkan jauh lebih kuat daripada sebelum di dikebiri! Dengan janji akan membalas budi Li Lian Ying, diperkenalkanlah keadaan An Tek Hai ini oleh Li Lian Ying kepada Ibu Suri Cu Si. Tentu saja Cu Si menjadi girang sekali.

An Tek Hai adalah seoang laki-laki yang termasuk tampan, tidak seperi Li Lian Ying dan tubuhnya begitu kokoh kuat dan jantan. Apalagi ketika An Tek Hai mulai melayaninya, Cu Si merasa girang bukan main. Bagaikan orang yang sedang kehausan, ia dapat minum sepuasnya sekarang. Bagaikan tumbuhan bunga yang kekeringan, kini ia memperoleh siraman sehingga bunga, daun sampai ke akar-akarnya menjadi basah dan segar kembali.

Mulailah hubungan gelap yang dilakukan siang malam antara Cu Si dan An Tek Hai, dan karena An Tek Hai adalah seorang “kebiri” yang boleh saja keluar masuk di semua ruangan dalam istana, tidak ada seorangpun yang mencurigai. Dengan leluasa Cu Si dapat saja memanggil An Tek Hai ke kamarnya setiap kali timbul seleranya.

Betapapun juga, para dayang merasa curiga, namun desas-desus di kalangan mereka itu sama sekali tidak diperdulikan Cu Si dan Tek Hai yang sedang dimabok n4fsu.

Kaisar bocah yang ketika masih pangeran bernama Cai Chun, kemudian ketika diangkat kaisar di Yehol bernama Kaisar Chi Hsiang, kini setelah menjadi kaisar di kotaraja mendapat nama lain, yaitu Kaisar Tung Chi. Kaisar ini biarpun masih amat muda, sudah mendengar pula akan desas-desus bahwa Ibu Suri Cu Si bermain gila dengan seorang thaikam yang bernama An Tek Hai. Dia merasa malu dan marah sekali.

Memang sejak kecil kaisar ini tidak terlalu dekat dengan ibu kandungnya yang dianggapnya berwatak buruk, keras dan galak, tidak seperti watak Ibu Suri Cu An yang lemah lembut dan bijaksana. Biarpun Ibu Suri Cu Si ibu kandungnya, namun sejak kecil dia merasa lebih dekat dengan Ibu Suri Cu An!

Mendengar akan hubungan gelap itu, dibantu oleh para pengawal thaikam, pada suatu pagi dia menyuruh tangkap An Tek Hai yang baru saja keluar dari kamar Ibu Suri Cu Si! An Tek Hai hanya tertawa, mengira bahwa kaisar yang masih bocah itu main-main. Akan tetapi dengan sikap bengis kaisar bocah itu memerintahkan orang-orangnya untuk menelanjangi An Tek Hai.

“Kalau dia benar thaikam palsu dan kejantanannya masih belum mati, pukul saja dia sampai mampus!” kata Kaisar Tung Chi kepada para pengawalnya. Dia berpikir bahwa kalau An Tek Hai ternyata masih memiliki kejantanan, berarti dia thaikam palsu dan desas-desus tentang Ibu Suri kedua itu mungkin benar.

Sebaliknya, kalau kejantanan thaikam An Tek Hai itu benar-benar sudah mati, berarti bahwa desas-desus itu hanya fitnah belaka. An Tek Hai ketakutan setengah mati, tubuhnya gemetar dan wajahnya pucat, hampir dia tidak mampu berdiri saking takutnya dan dia hanya berlutut sambil mendekam dan hampir terkencing di celana.

Ketika para pengawal itu memaksanya menelanjanginya untuk memeriksa, tentu saja orang yang ketakutan setengah mati ini kehilangan kejantanannya sama sekali. Untunglah bagi An Tek Hai, karena hal ini menghilangkan kecurigaan Kaisar Tung Chi dan An Tek Hai dibebaskan.

Ketika Ibu Suri Cu Si mendengar laporan An Tek Hai tentang peristiwa itu, ia marah sekali, akan tetapi ia tidak mampu berbuat sesuatu terhadap puteranya sendiri yang sudah menjadi kaisar, bahkan ia merasa khawatir dan diam-diam ia menyuruh An Tek Hai untuk meloloskan diri pergi ke Hang-cow, dengan memberi banyak bekal. Maksudnya agar kekasihnya itu untuk sementara waktu tidak memperlihatkan diri agar tidak membangkitkan kecurigaan.

Akan tetapi, ternyata An Tek Hai bernasib malang, dan desas-desus tentang dirinya sudah menarik banyak orang yang menjadi pembencinya. Kepergiannya diketahui dan diapun ditangkap dengan tuduhan pengkhianat yang hendak meninggalkan kotaraja untuk menjadi mata-mata musuh. Dia dijatuhi hukuman mati!

Ibu Suri Cu Si diam-diam menangis sampai beberapa hari lamanya, menangisi kekasihnya yang telah tiada. Semua hiburan Li Lian Ying tidak dapat mengobati kerinduannya, dan Li Lian Ying, thaikam yang cerdik ini tahu penyakit apa yang diderita oleh junjungannya. Ia mendengar bahwa di waktu masih gadis remaja, sebelum dingkat menjadi selir kaisar, Cu Si pernah saling mencinta dengan pamannya sendiri, yaitu adik ibunya yang usianya tidak berselisih banyak dengannya.

Hubungan cinta itu terputus ketika Yehonala menjadi selir kaisar, dan kini pamannya itu, yang bernama Yung Lu, telah menjadi seorang pejabat pertengahan di Peking. Setelah melakukan penyelidikan melalui kaki tangannya, Li Lian Ying lalu mengajukan usul kepada junjungannya.

“Hamba merasa bersedih sekali melihat paduka setiap hari tenggelam dalam kedukaan. Hamba kira, pertemuan dengan seorang anggota lama akan dapat menggembirakan paduka, tentu saja kalau paduka menyetujui.”

Cu Si dengan malas-malasan memandang pelayan yang amat setia itu. “Hemm, Lian Ying, siapa yang kau maksudkan itu?” tanyanya dengan suara agak kurang senang.

Bagaimanapun juga, sanak keluarganya adalah orang-orang biasa, dan tidak senang hatinya kalau diingatkan akan keluarganya, sama dengan mengingatkan bahwa ia adalah keturunan orang-orang biasa!

“Baru-baru ini hamba bertemu dengan seorang sahabat yang menceritakan bahwa paman paduka yang bernama Yung Lu menjadi seorang pejabat pertengahan di kotaraja. Lupakah paduka kepada paman paduka itu?”

Wajah Ibu Suri Cu Si berseri mendengar disebutnya nama ini. Tentu saja ia masih ingat kepada Yung Lu, pamannya itu. Ketika maih remaja, ia pernah jatuh cinta kepada pamannya itu, dan biarpun hanya merupakan cinta monyet, namun masih menjadi kenangan manis.

Mendengar nama Yung Lu kini berada di kotaraja, terbayanglah wajah yang tampan itu dan iapun ingin sekali bertemu dengannya. Akan tetapi ia melihat kesulitan untuk dapat bertemu dengan pamannya itu dan hal ini ia katakan kepada Li Lian Ying.

“Harap paduka jangan khawatir,” kata Li Lian Ying. “Kalau paduka berkenan, pertemuan itu dapat hamba atur. Bukankah dia merupakan paman paduka sendiri? Tidak akan ada salahnya kalau paduka memanggil dia menghadap untuk dimintai nasihat tentang urusan pemerintahan. Takkan ada yang mencurigai kehadiran seorang paman yang mengunjungi paduka.”

Cu Si girang sekali dan cepat ia menuliskan surat panggilan itu. Tentu saja Yung Lu merasa tegang dan dengan jantung berdebar-debar menanti di ruangan tamu yang mewah dan indah itu. Selama hidupnya, baru sekali ini dia memasuki bagian istana yang demikian indahnya. Sejak keponakannya menjadi selir kaisar dan kemudian bahkan menjadi permaisuri kedua dan akhir-akhir ini menjadi Ibu Suri, dia tidak pernah bertemu dengan Yehonala.

Dan kedudukan keponakannya itu bukan tidak ada manfaatnya baginya. Dia seorang yang tidak berpendidikan tinggi, akan tetapi kini dapat menduduki jabatan tinggi pertengahan. Semua itu adalah karena dia dikenal sebagai paman dari Ibu Suri Cu Si ! Dan kini, keponakannya itu memanggilnya!

Li Lian Ying muncul dan tanpa banyak cakap lagi, thaikam ini mengajak Yung Lu masuk ke dalam dan diantarnya orang itu ke dalam kamar Ibu Suri Cu Si di Istana barat. Di dalam ruangan kamar yang luas itu, Yung Lu melihat seorang wanita cantik duduk di atas dipan, dan sukar baginya untuk mengenal wajah gadis remaja Yehonala yang pernah saling mencinta dengannya.

Yang duduk di dipan itu adalah seorang wanita cantik jelita dan agung, wanita yang sudah matang, dengan pandang mata tajam berwibawa dan mulut yng kecil tersenyum manis. Dia hendak menjatuhkan diri berlutut, akan tetapi dengan tangannya, Ibu Suri Cu Si melarangnya.

“Paman Yung Lu, tidak perlu berlutut...!” kataya. Pada saat itu, dengan sopan Li Lian Ying lalu keluar dari kamar, menutupkan tirai sutera berlapis-lapis untuk menutupi keadaan di dalam kamar itu dari penglihatan orang di luar kamar dan diapun duduk berjaga di luar kamar.

“Paman Yung Lu, engkau duduklah di sini, di dekatku. Aku sungguh rindu sekali kepadamu. Lupakah engkau kepada Yehonala mu?”

Dengan tubuh gemetar Yung Lu duduk di atas dipan, di dekat wanita itu dan bagaikan seekor harimau betina yang kelaparan, Ibu Suri Cu Si segera merangkulnya dan menjatuhkan dirinya di atas pangkuan Yung Lu.

“Ah, Yung Lu, aku kesepian, aku rindu padamu....” keluhnya.

Tentu saja hal ini sama sekali tak pernah disangka-sangka oleh Yung Lu. Membayangkan saja dia tidak berani bahwa bekas kekasihnya di waktu remaja itu, yang kini telah menjadi orang paling berkuasa di seluruh negeri, ternyata masih teringat kepadanya, bahkan masih mencintanya! Dia heran mengapa semalam tidak mimpi kejatuhan bulan!

Dan tentu saja dia menyambut ajakan wanita cantik itu dengan gembira karena Yung Lu termasuk seorang laki-laki yang mata keranjang dan nafsu berahi merupakan kesenangan yang selalu dikejarnya. Akan tetapi dia masih merasa khawatir dan ragu-ragu, takut kalau sampai ketahuan orang lain. Hal ini dirasakan oleh Cu Si yang tertawa genit.

“Laki-laki tolol, kenapa begini takut-takut? Siapa orangnya yang berani masuk ke sini tanpa kupanggil?” katanya sambil merangkul.

Yung Lu merasa bagaikan dalam mimpi. Kini tanpa disangkanya, dia mendapatkan segalanya dari wanita ini, padahal dahulu ketika mereka masih remaja, biarpun mereka saling mencinta, dia tidak pernah mendapatkannya. Kini wanita itu menyerahkan segalanya dengan rela dan tentu saja dia merasa seperti melayang ke langit ke tujuh.

Demikianlah, mulai hari itu, Yung Lu menjadi kekasih baru Ibu Suri Cu Si. Dan untuk memudahkan dua orang ini mengadakan hubungan setiap saat yang mereka kehendaki dengan leluasa, kembali Li Lian Ying yang mengajukan usul-usul yang amat cerdik. Kebetulan waktu itu, jabatan pengawas Urusan Rumah Tangga Istana sedang kosong dan jabatan ini lalu diberikan kepada Yung Lu.

Semenjak itu, sebagai pejabat dalam istana, dengan leluasa Yung Lu mengadakan pertemuan dengan Cu Si. Kehadirannya tidak mendatangkan kecurigaan, karena pertama, dia adalah paman sendiri dari Cu Si, dan kedua, dia adalah pejabat baru yang mengurus semua persoalan di dalam rumah tangga istana.

Dan kini wajah Cu Si nampak berseri, tubuhnya nampak segar dan sehat. Dia menemukan kekasih yang hebat dalam diri pamannya itu, jauh lebih hebat dibandingkan dengan mendiang Kaisar Hsian Feng, atau dengan An Tek Hai sekalipun! Ibu Suri Cu Si dapat melakukan segala perbuatan yang disukainya dengan bebas dan leluasa karena Ibu Suri Cu An yang lebih suka membaca kitab-kitab agama di dalam kamarnya, menyerahkan segala urusan kepada madunya itu.

Akan tetapi, seperti biasa terjadi di dunia ini, kesenangan tidak pernah meninggalkan saudara kembarnya, yaitu kesusahan. Hubungan mesra antara paman dan keponakan itu baru beberapa bulan saja sudah membuat Ibu Suri Cu Si mengandung. Bingunglah wanita ini.

Hanya Li Lian Ying orang yang dipercayainya, di samping Yung Lu tentunya, akan tetapi kedua orang itu tidak berhasil menggugurkan kandungan dengan obat-obat yang mereka bawa. Untuk mempergunakan obat yang terlalu keras, mereka tidak berani, takut kalau akibatnya malah berbahaya bagi nyawa Ibu Suri Cu Si. Dan mengundang tabib pun tidak mugkin karena tentu rahasia itu akan bocor.

Akhirnya Cu Si teringat kepada isteri Pangeran Chun yang merupakan saudara perempuannya yang boleh dipercaya. Antara mereka memang ada hubungan yang akrab walaupun tentu saja isteri pangeran itu selalu merasa rendah diri terhadap Ibu Suri Cu Si. Diam-diam Cu Si memanggil isteri Pangeran Chun dan setelah saudara perempuan ini datang, Cu Si cepat metangkulnya dan mengajaknya bicara bisik-bisik di dalam kamarnya, berdua saja.

Di situ, Cu Si menceritakan keadaan dirinya yang mengandung! Adiknya mendengarkan dengan mata terbelalak, lalu duduk diam seperti patung karena tidak tahu harus bicara apa. Barulah ia terkejut ketika Cu Si menyatakan maksudnya mengundang saudara perempuan itu.

“Hanya engkaulah yang dapat menolongku dan mengeluarkan aku dari kesulitan ini, saudaraku.” kata Cu Si dan selanjutnya, dengan bisik-bisik Cu Si menyatakan rencana siasatnya.

Adiknya itu, isteri Pangeran Chun, diperintahkan untuk mengaku kepada suaminya bahwa ia mengandung, berpura-pura mengandung! Dan adiknya itu akan tinggal di situ bersamanya, dengan alasan agar mendapat perawatan yang baik di samping menemani Ibu Suri Cu Si. Hari itu juga, Cu Si mengutus Li Lian Ying untuk berkunjung kepada Pangeran Chun dan menyampaikan kabar itu!

Tentu saja Pangeran Chun terkejut dan terheran-heran mendengar bahwa isterinya mengandung. Akan tetapi dia percaya dan tidak perduli lagi karena memang dia mempunyai banyak selir sehingga dia lupa lagi kapan terakhir kalinya dia menggauli isterinya. Dan karena isterinya itu merupakan saudara yang amat akrab dengan Ibu Suri Cu Si, diapun tidak heran bahwa isterinya lebih suka menceritakan tentang kandungannya kepada saudaranya itu.

Demikianlah, rahasia ini ditutup rapat dan setelah kandungan itu tiba saatnya untuk dilahirkan, Ibu Suri Cu Si dan isterinya Pangeran Chun tak pernah berpisah dari satu kamar. Dua orang bidan dipanggil ketika malam itu Ibu Suri Cu Si melahirkan. Pada keesokan harinya, diumumkan bahwa isteri Pangeran Chun telah melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat!

Adapun kedua orang bidan yang membantu kelahiran itu, lenyap tak ada yang tahu ke mana perginya. Mereka itu diam-diam telah dibunuh oleh kaki tangan Li Lian Ying agar mereka tidak membocorkan rahasia tenang kelahiran anak itu.

Setelah “melahirkan” dan kesehatannya pulih, isteri Pangeran Chun membawa puteranya pulang, disambut dengan penuh kegembiraan oleh keluarga Pangeran Chun. Dan anak inilah, anak kandung Ibu Suri Cu Si, yang kelak setelah Kaisar Tung Ci meninggal, oleh Ibu Suri Cu Si yang memegang tampuk kekuasaan, diangkat menjadi kaisar pula!

Memang hebat sekali Ibu Suri Cu Si ini, seperti tercatat dalam sejarah. Ia seorang wanita yang keras hati, ambisius, dan cerdik bukan main. Dari keluarga bersahaja ia dapat naik menjadi permaisuri dan kemudian Ibu Suri yang memerintah negara besar itu selama kurang lebih lima puluh tahun!

Dan di samping kekuasaannya yang mutlak, keputusan-keputusan yang keras dan penting, di sebelah dalam istana tersimpan pula rahasianya, yaitu selalu dirundung kesepian sehingga ia melakukan hubungan gelap dengan banyak pria, dan ini merupakan kelemahannya, yaitu menjadi hamba dari nafsu berahinya sendiri.

Demikianlah sekedar gambaran awal keruntuhan Kerajaan Mancu, didahului dengan kekacauan dan lemahnya keluarga kerajaan itu sendiri.

* * *

Setelah berpisah dari Yu Bwee, gadis yang menarik perhatiannya itu, yang mendatangkan kesan mendalam, Gan Han Le melanjutkan perjalanannya. Dia telah melihat keadaan kotaraja, melihat kekacauan yang terjadi, bahkan melihat penyerbuan pasukan kulit putih yang telah menduduki kotaraja dan yang memaksa kaisar sekeluarganya melarikan diri ke Yehol.

Semua yang telah dialaminya itu membuat dia lebih bingung lagi. Semenjak dia lari meninggalkan ibunya dan gurunya, Han Le merasa bingung dan hatinya penuh dengan dendam yang bertumpuk, akan tetapi dia sendiri tidak tahu kepada siapa dendam itu harus ditumpahkan, kepada gurunya? Kepada Ibunya? Ah, tidak mungkin. gurunya kini telah menjadi ayah tirinya!

Akan tetapi, kenyataan bahwa gurunya, Bu Beng Kwi, ternyata adalah musuh besarnya juga, Koan Jit pembunuh ayah kandungnya, telah menghancurkan bayangan tentang diri seorang guru yang dicintanya dan dikaguminya. Kini rasa cinta dan hormatnya berbalik menjadi kebencian.

Bahkan diapun kehilangan perasaan suka kepada kedua orang suhengnya yang menjadi pimpinan rakyat. Tidak, dia tidak akan mencari mereka, tidak akan membantu mereka ! Membantu kedua orang suhengnya itu sama saja dengan membantu gurunya!

Dalam keadaan bingung ini Han Le meninggalkan Yehol dan diapun teringat kepada raja baru di Nan-king, pemimpin pasukan Tai Peng, yaitu Ong Siu Coan! Bukankah Ong Siu Coan itu suheng dari ayah kandungnya? Dan selama dia dan ibunya berada di sana, di Nan-king, merasa diperlakukan dengan amat baik oleh Ong Siu Coan.

Bahkan mungkin dia dan ibunya masih tinggal di sana dalam keadaan terhormat, kalau saja tidak muncul Bu Beng Kwi yang membawa mereka lari. Dia bahkan pernah belajar ilmu silat dari seorang kepala pengawal bernama Giam Ci, seorang sahabat dari Tang-ciangkun. Di sana dia diperlakukan oleh siapa saja dengan sikap hormat karena dia adalah sanak dari kaisar, putera dari saudara seperguruan Kaisar Ong Siu Coan sendiri.

Kenangan ini menarik hati Han Le untuk pergi berkunjung ke Nan-king! Dia akan mengunjungi supeknya yang menjadi kaisar itu, dan melihat perkembangannya nanti. Kalau keadaan di sana cocok dengan hatinya, mengapa dia tidak membantu saja gerakan supeknya itu, gerakan Tai Peng karena bukankah gerakan itu juga bermaksud menumbangkan penjajah Mancu?

Pada suatu sore dia tiba di sebuah kota yang letaknya di sebelah utara lembah Sungai Yang-ce, dan merupakan perbatasan kekuasaan Tai Peng dan kekuasaan pemerintah Kerajaan Mancu. Kota ini bernama Cu-sian dan karena terletak di perbatasan, maka kota ini selalu berada dalam keadaan gawat dan di situ berkeliaran mata-mata dari pihak Tai Peng.

Dari Kerajaan Mancu, dari golongan-golongan kang-ouw dan bahkan ada mata-mata yang bekerja untuk kepentingan orang kulit putih. Betapapun juga, perdagangan selalu ramai di kota ini, karena tempat inipun terkenal sebagai tempat penyelundupan candu dan senjata api gelap.

Kota Cu-sian ini sudah berada dalam kekuasaan Tai Peng dan karena itu, di mana-mana terdapat penjagaan pasukan tai peng yang selalu mencurigai siapa saja yang memasuki kota. Han Le juga tidak terkecuali. Begitu memasuki pintu gerbang, dia sudah dihadang oleh belasan orang tentara tai peng yang melakukan penggeledahan.

Akan tetapi Han Le sudah siap siaga sebelumnya sehingga dia menyembunyikan pistol kecilnya di dalam celana, diikat dengan betis kirinya. Buntalan pakaiannya tidak terdapat barang mencurigakan kecuali pakaian, maka diapun lolos dan dibiarkan masuk kota yang ramai itu.

Tidak mudah mendapatkan kamar di kota yang ramai itu, akan tetapi akhirnya dia bisa mendapatkan sebuah kamar di losmen kecil dan kotor yang berada di ujung kota. Di belakang losmen itu mengalir sebuah sungai kecil yang airnya kotor karena menampung semua sampah orang-orang yang tinggal di kota itu. Biarpun dia mendapatkan kamar terakhir yang paling kecil dan paling kotor, Han Le mersa lega karena akhirnya dia mendapatkan sebuah tempat untuk beristirahat.

Setelah membayar kamar itu, dia lalu keluar dari kamar dan pergi meninggalkan losmen untuk mencari rumah makan karena sejak pagi tadi dia belum makan. Hampir saja kakinya tersaruk sebatang tongkat yang melintang di ambang pintu losmen itu. Dia terkejut karena tongkat itu tadinya tidak ada dan tiba-tiba saja meluncur dari samping.

Ketika dia menoleh dengan marah, siap menegur orang yang agakya sengaja melintangkan tongkat, dia melihat seorang pengemis bermata buta dan kemarahannyapun lenyap. Dia tadi dapat meloncati tongkat itu dan tidak sampai tersaruk, dan pengemis yang buta matanya ini sudah pasti melakukan hal itu tanpa sengaja.

“Lopek (paman tua), berhati-hatilah dengan tongkatmu, jangan sampai membikin jatuh orang lewat,” kata Han Le, menegur halus memperingatkan si buta itu.

Pengemis itu lalu menodongkan tangannya minta sumbangan, “Yang buta tak melihat, yang bermata harus berhati-hati, tuan yang datang dari kotaraja harap bermurah hati terhadap seorang pengemis buta.”

Han Le mengeluarkan dua potong uang kecil dan meletakkannya di telapak tangan orang itu, akan tetapi alisnya berkerut dan dia bertanya, “Bagaimana engkau bisa tahu aku datang dari kotaraja?”

Biarpun kebetulan di situ tidak terdapat orang lain, pengemis itu menjawab berbisik, “Suaramu asing, tentu menarik perhatian. Satu petanyaan lagi, apakah pakaianmu putih?”

Han Le menjadi semakin heran. “Bagaimana engkau bisa tahu? Memang pakaianku putih.”

Akan tetapi pengemis buta itu tidak menjawab, melainkan bangkit berdiri dan melangkah pergi, menggunakan tongkatnya yang panjang untk meraba-raba ke atas jalan.

Han Le merasa penasaran dan cepat mengejar. Akan tetapi dia menjadi semakin terkejut dan heran. Biarpun orang itu buta dan berjalan dengan meraba-raba, namun gerakannya cepat bukan main sehingga diapun harus melakukan ilmu berjalan cepat untuk menyusulnya! Dan ternyata orang itu berhenti di belakang rumah kampung yang sepi karena senja telah larut, dan menantinya.

“Tuan, berhati-hatilah. Nanti malam tepat tengah malam jam dua belas, pergilah ke kuil tua di luar pintu gerbang sebelah timur. Kami semua berkumpul di sana dan kedatanganmu amat dinantikan.” tanpa menanti jawaban, pengemis buta itu meloncat dan agaknya dia sudah hafal dengan jalan di sini karena kini dia berlari cepat.

Han Le menjadi semakin penasaran dan hendak mengejar. Akan tetapi dia teringat akan pesan orang itu dan diapun menghentikan niatnya untuk melakukan pengejaran. Orang pengemis buta itu agaknya telah mengenalnya dan tahu bahwa dia datang dari kotaraja. Akan tetapi kenapa dia disuruh datang tengah malam nanti di kuil tua sebelah timur pintu gerbang?

Siapakah pengemis buta itu? Dari gerakannya ketika meninggalkannya, dia dapat menduga bahwa pengemis itu bukan orang sembarangan, atau mungkin juga hanya pura-pura buta saja. Apakah dia seorang mata-mata kerajaan yang mengenalnya sebagai pemuda yang pernah menolong keluarga kaisar? Ataukah seorang utusan dari Permaisuri kedua yang hendak menjebaknya?

Apapun yang terjadi, dia harus menghadiri pertemuan pada tengah malam itu. Dia sudah tertarik sekali karena tahu bahwa dia menghadapi pengalaman yang menegangkan, mungkin berbahaya. Han Le bersikap tenang saja dan dia melanjutkan keinginannya untuk makan di rumah makan. Banyak rumah makan di kota itu, dan dia memasuki rumah makan yang lezat hidangannya.

Setelah makan kenyang dia kembali ke losmen. Malam itu dia beristirahat tanpa meninggalkan kewaspadaannya, dalam keadaan siap siaga, bahkan tanpa melepas sepatu dan pakaian luarnya. Sebelum tiba saat tengah malam, Han Le sudah meloncat keluar dari kamarnya dan meninggalkan losmen secara diam-diam. Tidak sukar baginya untuk pergi ke gerbang timur tanpa kelihatan orang.

Malam sudah larut dan sunyi. Hanya beberapa orang laki-laki mabok saja yang berjalan sempoyongan menuju pulang dan rumah-rumah makan yang paling lambat baru saja ditutup. Han Le mempergunakan kepandaiannya untuk menyelinap di antara rumah-rumah, pohon-pohon, karena dia dapat menduga bahwa di tempat itu tentu berkeliaran banyak orang pandai.

Dia langsung menuju ke pintu gerbang timur dan memilih bagian tembok yang tidak terjaga dan gelap untuk melompatinya dan keluar dari tembok kota. Malam itu gelap sekali. Menguntungkan bagi Han Le yang bergerak dengan hati-hati mendekati kuil tua terpencil yang berdiri di lereng bukit itu.

Biarpun kuil itu merupakan sebuah kuil kuno yang sudah kosong, namun temboknya masih nampak kokoh kuat, dan malam ini ada sinar penerangan yang menyorot keluar dari dalam kuil, tanda bahwa di situ terdapat orang. Kuil ini memang kadang-kadang dipergunakan orang untuk melewatkan malam, tentu saja orang-orang yang tidak mempunyai uang untuk bermalam dengan menyewa kamar losmen.

Dilihatnya beberapa sosok tubuh orang berjaga di depan dan di belakang kuil secara sembunyi. Hal ini sudah diduganya. Pengemis buta itu mengatakan bahwa “mereka” akan menanti kehadirannya, berarti di situ akan terdapat banyak orang dan tentu akan membicarakan urusan penting, maka tentu tempat itu dijaga. Diapun mempelajari keadaan.

Kuil itupun cukup besar, merupakan bangunan induk dan bangunan-bangunan kecil di sekelilingnya. Beberapa orang penjaga itu hanya mengawasi bagian depan dan belakang kuil, hanya kadang-kadang saja meronda melewati kedua bagian pinggir. Ketika melihat tiga orang penjaga lewat meronda Han Le cepat menyusup dan begitu mereka lewat, diapun meloncat naik ke atas genteng kuil sampai dari pinggir.

Gerakannya cepat dan sudah diperhitungkannya sehingga di dalam kegelapan malam itu, tidak kelihatan apa-apa dan kakinyapun tidak menimbulkan suara ketika menginjak genteng. Pakaiannya yang serba putih itu kini sudah tertututp sehelai mantel biru yang tadi sengaja dipakaianya untuk menutupi pakaiannya yang putih.

Han Le merayap di atas genteng kuno yang tebal itu, menuju ke bangunan induk dari mana menyorot sinar penerangan yang cukup besar. Dengan hati-hati dia membuka genteng dan mengintai ke dalam. Ternyata ruangan di bawah itu cukup luas dan agaknya sudah dibersihkan untuk keperluan ini. Tidak ada meja kursi di situ, dan di lantai telah dihamparkan tikar yang menutupi lantai dari ujung ke ujung.

Ada lima orang duduk di dalam ruangan itu, dan satu di antaranya segera dikenal oleh Han Le, yaitu si pengemis buta! Dan dia merasa malu terhadap diri sendiri yang tadi pernah mengira bahwa pengemis buta itu hanya pura-pura buta, karena kini ternyata bahwa orang itu memang buta! Kedua matanya yang hampa nampak putihnya saja itu kelihatan jelas tersorot sinar lampu yang ada empat buah bergantungan di ruangan itu.

Kini nampak si buta itu mengetuk-ngetuk lantai bertilamkan tikar dengan tongkatnya, seperti ingin minta perhatian. Empat orang kawannya itu rata-rata berusia empat puluh tahun lebih, sikap mereka gagah, dengan pakaian sederhana, ada yang menyamar seperti petani, ada pula yang seperti saudagar, akan tetapi mereka semua memiliki sinar mata yang mencorong penuh semangat.

“Sudah kukatakan, aku tidak akan keliru. Menurut penyelidikan teman-teman kita, orang itu berpakaian serba putih dan dia mempunyai sepasang mata yang biru! Bukti apalagi yang lebih meyakinkan? Tentu dialah orangnya yang kita tunggu, dan ketika aku mencoba dengan tongkatku, dia mudah saja menghindar. Karena itulah dia kuundang.”

Berdebar rasa jantung dalam dada Han Le , mereka sedang membicarakan diriya! Kiranya dia disangka orang lain!

“Akan tetapi, lo-kai (pengemis tua), aku masih merasa heran bagaimana orang kulit putih mau membantu kita? Benar-benarkah mereka itu, ataukah hanya tipu muslihat belaka?”

“Hemm, kurasa mereka bersungguh-sungguh. Setelah mereka menang perang dan mengadakan perjanjian damai dengan pemerintah Ceng, mereka memperoleh banyak keuntungan, mendapat kebebasan berdagang di mana saja. Tai Peng merupakan ancaman bagi pemerintah kerajaan Ceng, yang berarti juga mengancam kedudukan mereka. Karena itu, setiap usaha untuk menghancurkan Tai Peng, kini tentu akan dibantu oleh orang kulit putih!"

“Akan tetapi, lo-kai,” kata orang kedua sangsi. “Aku mendengar bahwa hubungan antara kulit putih dan Tai Peng baik sekali, karena mereka itu memiliki agama yang sama.”

“Benar,” kata orang ketiga, “Aku pernah menyelundup ke Nan-king dan melihat banyak orang kulit putih berkeliaran di sana. Sudah lama Tai Peng bersahabat dengan orang kulit putih.”

“Sekarang sudah pasti tidak demikian,” kata kakek buta dengan suara yakin. “Ingat saja tentang candu. Tai Peng melarang candu masuk ke wilayah kekuasaan mereka. Hal ini saja mendatangkan kerugian besar bagi orang kulit putih. Pula, kesamaan agama mereka hanya namanya saja, akan tetapi orang kulit putih juga tahu bahwa agama mereka itu telah dirobah oleh kaisar Tai Peng, dan menjadi alat untuk mengelabui rakyat, bukan agama yang aseli. Lebih menguntungkan bagi orang kulit putih kini untuk bersahabat dengan Kerajaan Ceng daripada dengan Tai Peng yang mulai nampak belangnya.”

Diam-diam Han Le mendengarkan percakapan itu dan dia kagum terhadap si buta yang nampaknya demikian mengenal keadaan pemerintahan. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau menelan begitu saja keterangan pengemis buta itu yang membenci Tai Peng dan agaknya orang-orang ini mau bersekutu dengan orang kulit putih untuk menentang Tai Peng! Dan agaknya di situ akan diadakan untuk membicarakan urus an politik.

“Akan tetapi, lo-kai. Kalau gerakan kita tidak menentang pemerintah Mancu, bahkan membantu pemerintah Mancu menentang Tai Peng, dan bekerja sama dengan orang kulit putih, bukankah berarti kita ini lalu menjadi kaki tangan pemerintah penjajah? Bagaimanapun juga, Tai Peng adalah gerakan rakyat yang berhasil menduduki sebagian tanah air dan merampasnya dari cengkeraman penjajah Mancu!” kata orang keempat. Tiga orang temannya mengangguk-angguk setuju.

Pengemis buta itu menarik napas panjang. “Pertanyaan itu merupakan hal yang selalu diragukan oleh para pendekar yang membantu perjuangan rakyat. Akan tetapi, kalian belum tahu akan seluk beluknya politik dan ilmu perang. Tidak bisa disamakan dengan ilmu silat bela diri. Dalam ilmu perang banyak lika-likunya.

"Bahkan kalau perlu, golongan yang kemarin dimusuhi, hari ini dirangkul sebagai sahabat, walaupun mungkin besok sudah kita pukul lagi sebagai musuh! Kita takkan berhasil kalau haya memeperlihatkan kepahlawanan saja, mencoba utuk membersihkan tanah air dari musuh-musuh sekaligus! Bagaimana mungkin kita mengusir sekaligus penjajah Mancu, penjahat-penjahat Tai Peng, dan pasukan kulit putih?

"Tidak mungkin sama sekali! Karena itu, kita harus menghancurkan yang terpenting lebih dulu, dan menggandeng kekuatan lain untuk membantu kita. Karena itu, tujuan kita sekarang adalah menghancurkan Tai Peng, dan untuk itu, kita mengulurkan tangan kepada orang kulit putih, juga kepada pemerintah Kerajaan Ceng. Setelah kelak Tai Peng hancur, barulah kita mengalihkan sasaran kepada Kerajaan Mancu, atau kepada orang kulit putih, tentu saja sesuai dengan keadaannya nanti. Mengertikah kalian?”

Empat orang itu saling pandang, akan tetapi mereka masih belum mengerti benar. Mereka adalah orang-orang gagah yang telah digembleng untuk bersikap gagah, tidak suka akan siasat-siasat dan muslihat licik. Akan tetapi karena mereka tahu bahwa mereka menghadapi urusan yang terlalu besar dan berat bagi mereka, bahwa mereka hanyalah pelaksana-pelaksana, merekapun mengangguk saja. Tiba-tiba terdengar suara penjaga dari luar berteriak akan datangnya tamu dari kotaraja!

“Silakan dia masuk!” kata pengemis buta.

Dari pintu ruangan itu yang kini menjadi lebar sekali karena separuh dinding bagian itu telah bobol, muncul tiga orang laki-laki yang usianya mendekati lima puluh tahun. Mereka masuk dengan langkah gagah, kemudian mereka menghadapi lima orang yang duduk bersila itu, seorang di antara mereka berkata,

“Kami diutus oleh Pangeran Kung untuk memenuhi undangan cu-wi (anda sekalian).”

“Bolehkah kami melihat surat perintah dari Pangeran Kung?” tanya si buta.

Ketika laki-laki tinggi besar yang mewakili dua orang temannya itu megeluarkan tanda perintah dari Pangeran Kung yang ada capnya sang pangeran, tentu saja bukan si buta yang menerimanya melainkan empat orang temannya yang mengembalikannya kepada tamu itu setelah menelitinya.

“Kami masih belum melupakan sekap pemerintah terhadap teman-teman kami seperjuangan,” kata pengemis buta itu dengan suara yang angkuh, ”dan hanya karena kami percaya kepada Pangeran Kung maka kami mengirim undangan agar ada wakil dari kotaraja yang menyaksikan pertemuan penting ini. Kami hanya mengharapkan persetujuan dari pemerintah tanpa campur tangan dan tanpa menghalangi gerakan kami untuk memukul Tai Peng.”

“Kami mengerti dan kamipun datang sebagai penonton dan pendengar belaka,” kata orang tinggi besar.

Mereka dipersilakan duduk dan tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan muncullah seorang gadis di ruangan itu. Tiga orang wakil pemerintah kerajaan itu terkejut, akan tetapi lima orang itu tidak memperlihatkan rasa kaget.

“Aih, Thio-siocia (nona Thio)! Mana ayah ibumu?” tanya seorang di antara teman-teman si pengemis buta.

Gadis itu berusia kurang lebih delapan belas tahun, dan tadi Han Le yang melakuan pengintaian, terkejut dan kagum bukan main melihat betapa gadis itu memiliki gerakan yang amat cepatnya. Kini, dia dapat melihat wajah gadis itu dengan jelas dibawah sinar empat buah lampu besar. Wajah yang lonjong dengan dagu meruncing manis, hidungnya agak berjungkat ke atas menambah kemanisan wajahnya.

Wajah yang ayu itu selalu berseri dan cerah, mulutnya seperti selalu menghias senyum, matanya berkilauan dan pakaiannya rapi. Tahi lalat merah di sudut bawah dagu menambah daya tariknya. Seorang gadis yang cantik jelita, dengan bentuk tubuh yang ramping indah!

Gadis itu bukan lain adalah Thio Eng Hui, puteri tunggal dari Thio Ki dan Ciu Kui Eng. seperti telah diceritakan di bagian depan, keluarga ini ikut pula terjun ke dalam perjuangan, dan semuda itu, Eng Hui sudah pula membantu orang tuanya.

Mereka bertiga kini menggabungkan diri dengan pasukan yang dipimpin oleh Li Hong Cang, dan ikut membantu pemimpin rakyat itu untuk melatih perajurit yang terdiri dari rakyat jelata. Seperti juga Ceng Kok Han yang membuat persiapan menghimpun tentara atau bekas laskar rakyat di sebelah barat, Li Hong Cang juga menghimpun laskar rakyat di sebelah timur.

“Ayah dan ibu sibuk, dan akulah yang ditunjuk oleh Li-bengcu (ketua Li) untuk menghadiri pertemuan ini. Li-bengcu, juga ayah dan ibu, mengirim salam kepada Pek-gan Lo-kai dan kawan-kawan di sini...!”

Jilid selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.