Pemberontakan Taipeng Jilid 17

Sonny Ogawa

Pemberontakan Taipeng Jilid 17 karya Kho Ping Hoo - DEMIKIANLAH, mulai hari tu, Gan Han Le diterima sebagai seorang panglima muda oleh Raja Ong Siu Coan, bekerja dibawah Tang Ki dan Lee Song Kim, dan diberi tugas untuk membersihkan mata-mata musuh yang bergerak di bawah tanah di daerah perbatasan utara.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Semenjak Han Le melakukan tugas ini, banyak mata-mata yang dapat dibunuh atau ditangkap, dan dalam waktu beberapa bulan saja daeah perbatasan itu menjadi bersih. Nama Gan Han Le dikenal oleh kalangan mata-mata, baik dari Kerajaan Mancu, dari para pejuang rakyat, maupun dari pasukan kulit putih dan dia ditakuti.

Tentu saja hal ini amat menggirangkan hati Tang Ki dan Lee Song Kim, karena selain mereka memeproleh seorang pembantu yang cakap, juga Raja Ong Siu Coan menjadi girang dan puas. Akan tetapi dalam melaksanakan tugasnya ini, jelas sikap keras tanpa ampun terhadap mata-mata Kerajaan Mancu, akan tetapi dia lunak terhadap mata-mata orang kulit putih atau mata-mata para pejuang rakyat.

Bahkan kalau ada mata-mata pejuang rakyat yang tertawan, dia membujuk agar mereka itu sadar dan maklum bahwa Tai Peng adalah rekan seperjuangan untuk menumbangkan kekuasaan penjajah Mancu, bukan musuh atau saingan. Dan dia agak lunak terhadap mata-mata orang kulit putih mengingat bahwa ibunya adalah bangsa kulit putih pula. Yang menjadi sasaran utamanya adalah Kerajaan Mancu.

* * *

Banyak orang, di antara mereka bahwa orang-orang bangsa Mancu sendiri, apalagi orang-orang Han yang merasa terjajah, merasa muak dengan kehidupan yang diisi dengan cara-cara yang tak tahu malu oleh Ibu Suri Cu Si. Tak dapat disangkal bahwa ia adalah seorang wanita yang penuh ambisi, keras hati, cerdik, berani dan pandai.

Untuk mempertahankan kedududannya sebagai orang nomor satu yang mewakili kaisar bocah, puteranya sendiri, ia tidak segan-segan menyingkirkan satu demi satu lawannya secara kejam dan tak mengenal ampun.

Kedudukannya menonjol dan semua pejabat dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah, tahu belaka bahwa bagi mereka, tidak ada pilihan lain kecuali mentaati segala perintah yang dikeluarkan oleh Ibu Suri Cu Si sebagai wakil kaisar. Tidak taat berarti dipecat atau bahkan mungkin saja dihukum berat.

Ada kabar yang bocor dari istana bahwa karena dalam suatu permainan catur, seorang abdi berani mengalahkan Ibu Suri Cu Si, langsung saja dia dihukum penggal kepala! Dosanya adalah meremehkan, merendahkan dan menghina Ibu Suri Cu Si! Dan ini sama pula dengan menghina kaisar karena Ibu Suri Cu Si adalah ibu kandung kaisar!

Akan tetapi yang membuat Yu Bwee merasa muak dan tidak betah lagi tinggal di kotaraja, apalagi di dalam istana, adalah melihat cara Ibu Suri Cu Si mengejar kesenangan, memuaskan nafsu ber4hinya! Melihat betapa wanita ini tidak malu-malu untuk berjin4 dengan seorang thaikam, kemudian berhubungan gelap dengan pamannya sendiri.

Yu Bwee tidak betah lagi dan iapun meninggalkan kotaraja dan pulang ke rumah orang tuanya. Ayah ibunya menyambut pulangnya sang puteri dengan gembira dan mendengarkan semua cerita dari pengalaman Yu Bwee. Ketika Yu Bwee menceritakan tentang peristiwa di dalam perjalanan melarikan diri keluarga kaisar ke Yehol, dan pertemuannya dengan seorang pemuda yang bernama Gan Han Le.

kedua orang tuanya saling pandang dan mengerutkan alisnya. dari ucapan Yu Bwee, ayah ibunya ini dapat menduga bahwa puteri mereka tertarik kepada pemuda itu. “Hemmm, engkau belum tahu benar akan keadaan pemuda itu, bagaimana engkau dapat mengatakan bahwa dia seorang pendekar perkasa yang lihai sekali?”tanya Ceng Hiang kepada puterinya.

“Ah, tentu saja aku tahu bahwa dia lihai bukan main, ibu. Ketika rombongan keluarga kaisar dihadang perampok, dialah yang menyelamatkan keluarga itu dan aku hanya membantu setelah dia hampir selesai membasmi perampok. Kemudian dia diminta oleh Ibu Suri Cu Si untuk mengawal rombongan.”

“Dan sampai sekarang dia masih mengabdi kepada Ibu Suri?” tanya Ceng Hiang yang sudah mengenal benar watak para pendekar. Kalau benar pemuda itu seorang pendekar, tentu dia tidak sudi mengabdi kepada Ibu Suri Cu Si yang akhir-akhir ini ia dengar pula berita busuk tentang dirinya.

“Tidak, dia terkena fitnah, ibu, dan hampir saja aku bentrok dengan dia.”

“Hemm, apakah yang telah terjadi, Yu Bwee?” tanya Yu Kiang, ayahnya.

Dengan panjang lebar Yu Bwee lalu menceritakan betapa pada suatu hari, ia diutus oleh Ibu Suri Cu Si untuk mengejar dan menangkap atau membunuh Gan Han Le karena pemuda itu berani kurang ajar terhadap Ibu Suri. Tentu saja ia tidak berani membantah dan iapun lalu melakukan pengejaran sampai akhirnya ia dapat berhadapan dengan pemuda itu.

“Dan engkau tentu berhasil menangkap pemuda yang kurang aj ar itu, bukan?” tanya ayahnya.

“Tidak, ayah. Dia tidak bersalah. Bukan dia yang kurang ajar, bahkan dia melarikan diri karena Ibu Suri Cu Si marah kepadanya setelah dia menolak kehendak Ibu Suri terhadap dirinya.”

“Kehendak Ibu Suri? Apa kehendaknya?” tanya Ceng Hiang, belum mengerti.

Dengan kedua pipi berubah merah Yu Bwee berkata, “Ia.... ia mengajak pemuda itu berbuat yang tidak sopan. Dia menolak dan Ibu Suri Cu Si marah, memerintahkan pengawal menangkapnya akan tetapi dia dapat meloloskan diri.”

“Hemmm, sungguh tidak tahu malu....!” Ceng Hiang berkata dan kedua pipinya juga menjadi merah. “Akan tetapi, anakku. Bagaimana kalau pemuda itu berbohong? Siapa tahu kalau dia memutar-balikkan kenyataan?”

“Akupun sudah menduga demikian dan dia menyatakan bahwa kalau dia yang mempunyai niat busuk itu, apa sukarnya bagi dia untuk memaksa Ibu Suri? Aku percaya, ibu, karena memang dia lihai sekali, maka alasannya itu memang tepat. Selain itu, diapun bukan orang sembarangan, dia putera seorang pendekar dan pahlawan yang terkenal."

“Siapa namanya tadi?” tanya pula Ceng Hiang, tidak enak hatinya melihat betapa puterinya nampaknya benar-benar tertarik.

“Namanya Gan Han Le dan dia adalah putera tunggal dari mendiang pendekar Gan seng Bu....”

“Ahhh.....!” Ceng Hiang berseru kaget. “Yang isterinya orang kulit putih itu....?”

“Benar, ibu. Ibu kandung Gan Han Le adalah seorang kulit putih.”

“Hemmm, jangan engkau lupa betapa jahatnya orang-orang kulit putih, Yu Bwee. Lihat betapa mereka telah menyerbu kotaraja dan merampok istana, membunuh banyak orang, selain merampok juga memperkosa wanita, dan kini mereka menguasai pelabuhan-pelabuhan di negara kita. Mereka jahat sekali, menyebar candu kepada rakyat....”

“Aku mengerti, ibu. Akan tetapi ibu sendiri pernah berkata bahwa kebusukan suatu pemerintahan sama sekali tidak mencerminkan watak bangsanya. Pemerintahan hanya dikuasai oleh segelintir orang saja, dan rakyat tidak bertanggung jawab akan segala hal yang dilakukan oleh beberapa orang yang bertanggung jawab itu. Kurasa ibu dari Gan Han Le tidak ada sangkut pautnya dengan kejahatan pasukan kulit putih, buktinya ia menikah dengan seorang pendekar pribumi.”

Ibu dan ayahnya saling pandang dan Ceng Hiang menarik napas panjang. “Betapapun juga, aku selalu tidak suka dan curiga kepada orang kulit putih bulr.....”

“Han Le tidak bule, ibu.”

“Dan matanya yang biru....?"

“Memang matanya agak kebiruan.”

Makin tidak enak rasa hati Ceng Hiang dan suaminya. Jelaslah bahwa puteri mereka amat tertarik kepada pemuda peranakan yang matanya kebiruan itu. “Akan tetapi, benarkah dia lihai sekali,? Bagaimana kalau dibandingkan dengan kepandaianmu?”

“Aku kalah, ibu.”

“Ehhh?” Ceng Hiang terkejut. Ia tahu bahwa puterinya ini lihai, hampir seluruh ilmu kepandaiannya telah diwarisinya. “Apakah engkau sudah bertanding melawannya?”

Yu Bwee mengangguk. “Biarpun aku percaya kepadanya atas semua keterangannya, aku ingin menguji kepandaiannya, ibu. Maka aku memaksanya untuk bertanding.”

Yu Kiang mengerutkan alisnya. Dia bukan seorang ahli silat sepeti isterinya, dan berdarah bangsawan, maka mendengar akan ulah puterinya itu, tentu saja dia terkejut dan tidak senang. Tak patut seorang gadis, puteri berdarah bangsawan pula, menantang berkelahi seorang pemuda begitu saja, padahal pemuda itu tidak bersalah!

“Bagus sekali perbuatanmu, ya?” bentaknya. Akan tetapi Ceng Hiang tidak melihat sesuatu yang buruk dalam kelakuan anaknya itu.

“Ayah, aku hanya ingin menguji sampai dimana kelihaiannya, karena aku tertarik sekali melihat dia mengamuk ketika dia menyelamatkan keluarga kaisar yang dirampok itu. Kami bertanding, dan agaknya kami seimbang, ibu. Akan tetapi akhirnya aku berhasil merobek bajunya di bagian dada.”

“Hemm, kalau begitu dia tidak berapa hebat! Perbuatanmu itu merupakan tanda bahwa engkau masih menang setingkat, karena kalau kaukehendaki, tentu bukan bajunya yang robek dan dia akan terluka parah.”

Yu Bwee tersenyum dan memandang ibunya dengan sinar mata nakal. “Akupun tadinya berpendapat seperti itu, ibu, akan tetapi ternyata pedapatku seperti itu keliru dan dia jauh lebih lihai dariku.”

“Eh? Maksudmu.....?” tanya Ceng Hiang heran.

“Tanpa kuketahui, dia telah berhasil mengambil tusuk sanggulku!”

“Wah....!”

“Dan dia minta kepadaku untuk diperbolehkan menyimpan tusuk sanggul itu sebagai tanda peringatan.....”

“Dan kau perbolehkan?”

“Tentu, ibu. Dia lihai dan baik sekali. Dalam adu ilmu ini, ternyata dia sengaja mengalah.”

Kembali Ceng Hiang dan suaminya saling pandang dan diam-diam mereka merasa khawatir. Tidak kelirukah pilihan hati puteri mereka itu? Gadis itu telah berusia tujuh belas tahun, cukup dewasa. Bagaimanapun juga, hubungan antara puteri mereka dan pemuda peranakan itu masih belum terlalu mendalam, dan merekapun sudah bersiap untuk meninggalkan kotaraja.

“Yu Bwee, ada hal penting yang ingin kami bicarakan denganmu.” kata Ceng Hiang. “Ayah dan ibumu telah mengambil keputusan yang mungkin akan mengejutkan hatimu.”

Yu Bwee memandang kepada kedua orang tuanya itu dengan sinar mata penuh prtanyaan. “Ada urusan apakah, ibu?”

“Begini, sesuai dengan rencana kami berdua, ayahmu telah mengundurkan diri dari pekerjaannya kepada pemerintah.”

Hal ini memang mengejutkan dan mengherankan hati Yu Bwee. “Ah, apa sebabnya dan bagaimana selanjutnya?”

“Kami melihat betapa pemerintah semakin lemah, bukan saja karena ulah Ibu Suri seperti yang kaulihat sendiri, akan tetapi juga di istana selalu terjadi perebutan kekuasaan karena Kaisar masih bocah. Sungguh tidak enak menjadi seorang pejabat di bawah pemerintah seperti sekarang ini.

"Yang setia dan jujur akan hancur, sedangkan yang dapat hidup hanya mereka yang penjilat dan korup. Melihat beberapa orang sahabat dan rekannya yang jujur dijatuhi gukuman karena ingin meluruskan keadaan, maka ayahmu mengambil keputusan untuk mengundurkan diri saja.

"Kita semua akan meninggalkan kotaraja dan untuk sementara waktu, selagi keadaan pemerintah masih begini kacau, kita akan hidup sebagai petani yang sederhana di dusun. Ayahmu memiliki sebidang tanah yang cukup luas untuk dijadikan pertanian dan peternakan, di selatan.”

Yu Bwee mengangguk. “Aku juga ikut girang, ayah dan ibu. Aku pun muak melihat keadaan kehidupan yang bobrok dan busuk di dalam istana.”

Demikianlah, beberapa hari kemudian, keluarga ini meninggalkan kotaraj a, dalam sebuah kereta besar yang ditarik empat ekor kuda. Yu Kiang menjual semua barang-barang berharga yang besar, dan hanya membawa barang-barang berharga yang kecil saja, dan hasil penjualan barang-barang miliknya itu dijadikan emas dan perak dan dibawanya pergi, menggunakan peti-peti yang ditaruh di dalam kereta.

Tidak seperti bangsawan atau hartawan lain, yang kalau pergi keluar kota tentu mempergunakan pengawalan pasukan ataupun pengawalan para petugas perusahaan pengawalan, keluarga ini tidak mempergunakan pengawal. Apa perlunya pengawal kalau Ceng Hiang dan Yu Bwee, ibu dan anak itu sendiri merupakan dua orang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi? Mereka berdua saja lebih kuat dibandingkan dengan sepasukan pengawal yang besar jumlahnya!

Akan tetapi karena pada waktu itu, negara berada dalam keadaan kacau, pemberontakan terjadi di mana-mana dan kedudukan pemerintah Mancu menjadi lemah sekali dengan penyerbuan pasukan orang kulit putih yang lalu dan kekuasaan Tai Peng di selatan, maka di mana-mana bermunculan gerombolan-gerombolan pengacau dan penjahat yang mempergunakan kesempatan selagi pemerintah dalam keadaan lemah itu untuk merajalela.

Ketika kereta yang mereka tumpangi, yang dikendalikan oleh seorang kusir tua, kusir mereka yang sudah menjadi pembantu mereka sejak Ceng Hiang masih kanak-kanak, baru saja meninggalkan kotaraja, semua orang mengenal nyonya Yu Kiang yang berilmu tinggi, juga puterinya yang lihai, maka tidak ada yang berani mncoba untuk mengganggu kereta mereka.

Akan tetapi, setelah mereka meninggalkan kotaraja beberapa hari lamanya dan kini sudah jauh dari daerah kotaraja, mulailah terjadi gangguan-gangguan terhadap kereta mereka. Sebelum terjadi gangguan, Ceng Hiang maklum bahwa perjalanan yang cukup jauh itu tentu akan mendatangkan gangguan yang cukup banyak, apalagi kalau diketahui oleh para penjahat bahwa keluarganya membawa cukup banyak emas dan perak.

“Kita tidak perlu menanam bibit permusuhan dengan orang kang-ouw,” katanya kepada puterinya. “Oleh karena itu kalau ada gerombolan yang hendak mengganggu, lebih dulu kita menawarkan sumbangan. kalau mereka tidak mau dan memaksa hendak merampok, barulah kita turun tangan melawan mereka. Akan tetapi, jagalah agar jangan sampai engkau melukai terlalu berat, apalagi membunuh. Cukup kalau membuat meeka ketakutan dan tidak mengganggu lagi.”

“Akan tetapi, ibu. Kenapa kita harus bersikap halus terhadap penjahat yang kejam?” Yu Bwee membantah.

“Perjalanan kita masih panjang, Yu Bwee. Tidak baik kalau menanam bibit permusuhan sehingga perjalanan kita selanjutnya akan terus mengalami gangguan.”

Setiap kali mereka bermalam di kota atau dusun, mereka tentu menurunkan barang-barang berharga dari atas kereta dan membawanya ke dalam kamar, sehingga kereta itu kosong dan cukup dijaga oleh kusir. Pada suatu malam, ketika mereka beristirahat dalam sebuah rumah penginapan, datanglah gangguan yang pertama.

Seperti biasa, mereka menyewa dua buah kamar, sebuah untuk Yu Kiang dan Ceng Hiang, dan sebuah lagi, dekat dengan kamar mereka, untuk Yu Bwee. Peti-peti berisi emas dan barang-barang berharga ditumpuk di kamar Yu Kiang. Malam itu, menjelang tengah malam, Yu Bwee terbangun dari tidurnya karena ia mendengar suara yang tidak wajar di atas genteng kamarnya.

Cepat ia turun dari pembaringan, di dalam gelap meraba-raba dan mencari sepatunya, mengenakan pakaian luar, kemudian iapun keluar dari dalam kamarnya itu melalui jendela kamar yang ia buka perlahan-lahan. Kemudian, ia berindap-indap naik ke atas genteng. Ketika ia mengintai, ia melihat dua bayangan hitam sedang berjongkok di atas kamar orang tuanya, agaknya sedang mengintai dari genteng yang mereka buka.

Yu Bwee marah dan ingin turun tangan memberi hajaran, akan tetapi ia teringat akan pesan ibunya dan iapun tersenyum nakal. Tangannya mencengkeram genteng dan menghancurkannya, lalu menggunakan pecahan kecil dari genteng itu untuk menyambit dua kali. Dua butir benda kecil menyambar dengan amat kencangnya.

“Tuk! Tuk!”

“Aduhh.....!” Dua orang itu memegang belakang kepala mereka dan menahan pekik kesakitan, lalu menengok ke belakang dan kanan kiri.

“Apa yang mengenai kepalaku?” tanya yang seorang sambil mengelus belakang kepalanya yang benjol sebesar kacang tanah.

“Aku juga! Apakah ada yang menyambit?”

“Ah, tidak ada orang..... tentu semacam lebah yang menyengat kita.”

Mereka mengintai lagi, tangan mereka masih terus mengelus bagian kepala yang kena sambit tadi, yang terasa cukup neyeri. Kemudian mereka dengan hati-hati sekali berloncatan turun, lalu menghampiri jendela kamar Yu Kiang dan isterinya.

“Peti-peti itu tertumpuk di dalam....” kata yang seorang.

"Kita congkel jendela, engkau yang mencari dan mengambil peti yang paling berharga, aku menjaga sumai isteri itu, kalau ada yang terbangun akan kubacok mampus sebelum sempat berteriak,” kata orang kedua yang agaknya menjadi pemimpin.

Temannya mengangguk dan mereka lalu menggunakan golok yang sejak tadi mereka bawa untuk mencongkel daun jendela.

“Tak! Tak!”

“Aduuhhh...!” Kini seruan itu lebih kuat daripada tadi, dan mereka berdua meraba kepala bagian kanan dan di situ nampak benjolan sebesar telur ayam.

“Ada yang menyambit kita!” bisik yang seorang dan mereka berdua sudah meloncat berdiri, golok di tangan.

“Tidak ada orang! Apa setan yang mengganggu.....?” kata yang kedua.

Mereka berloncatan menuju pekarangan belakang dari mana tadi tentu ada benda yang menyambar dan mengenai kepala mereka karena mendengar jatuhnya benda-benda kecil itu ke atas lantai setelah mengenai kepala mereka. Mereka memandang ke dalam kebun itu, namun gelap dan tidak nampak bayangan manusia lain.

Tiba-tiba, seorang di antara mereka menunjuk dengan mata terbelalak dan tubuh gemetar. Temannya menengok dan keduanya kini berdiri menggigil, muka pucat dan mata terbelalak ketika melihat ujud yang menakutkan sekali, mahluk yang berkerudung putih, tidak nampak mukanya atau kedua lengannya, karena tertutup kain putih dan mahluk itu melayang menuju ke arah mereka!

“Celaka..... se..... setan....!” kata yang seorang.

Akan tetapi, orang kedua yang menjadi pemimpin, agaknya lebih tabah. “Setan atau bukan, kalau mengganggu akan kubunuh!” dan diapun menyambut dengan tusukan goloknya ke arah dada “setan” itu.

“Tranggg....!” Golok itupun terlepas dan jatuh ke atas lantai, dan sebuah tangan mencengkeram tengkuk si penyerang. Tangan yang dingin seperti es!

“Hiiihhhh....!” Orang itu hampir pingsan saking ngerinya dan diapun lalu meloncat, menyusul temannya yang sudah lari terlebih dahulu. Mereka lari jatuh bangun dan babak bundas menabrak pohon, tersandung batu, bangun lagi, lari sambil merangkak dan menghilang di dalam gelap.

Yu Bwee melepaskan kain putih yang ternyata adalah alas tempat tidurnya, dan tertawa. Daun jendela kamar ibunya terbuka dan ibunya juga tertawa. “Bagus, begitu caranya agar mereka ketakutan dan tidak berani lagi mengganggu,” kata Ceng Hiang yang ternyata sudah siap karena tadi pun ia sudah mendengar gerakan di atas genteng.

Ibu dan anak yang gagah itupun tidur lagi. Yu Kiang tidak tahu sama sekali akan peristiwa itu dan tentu saja dua orang penjahat itu menceritakan kepada teman-temannya betapa keluarga itu dilindungi oleh setan yang amat menakutkan. Mereka memperlihatkan dua benjolan di kepala mereka untuk meyakinkan teman-teman mereka. Dan selamatlah rombongan keluarga itu keluar dari kota dan melanjutkan perjalanan.

Masih dua kali mereka mengalami gangguan di jalan. yang pertama dapat dihindarkan oleh Ceng Hiang yang memberikan lima puluh tael perak kepada gerombolan perampok yang jumlahnya belasan orang. Mereka mau menerima sumbangan itu dan pergi meninggalkan kereta tanpa mengganggu lagi. Akan tetapi, pencegatan kedua di dalam hutan di lereng sebuah bukit, tidak dapat dihindarkan dengan sumbangan.

Ketika Ceng Hiang bersama Yu Bwee keluar dari kereta dan Ceng Hiang menawarkan lima puluh tael perak sebagai sumbangan, mereka hanya terkekeh-kekeh mentertawakan ibu dan anak itu. Jumlah para perampok itu ada lima belas orang dan tentu saja mereka memandang rendah kepada dua orang wanita itu.

Seorang kusir tua dan seorang bangsawan yang agaknya membiarkan dua orang wanita menghadapi perampok sedangkan dia sendiri tinggal di dalam kereta. Memang Ceng Hiang membujuk suaminya agar tinggal saja di dalam kereta.

“Ha-ha-ha, nyonya yang cantik dan nona yang mungil! Apa kalian mengira bahwa kami adalah anak-anak kecil yang merengek minta uang jajan? Ha-ha-ha, kami sudah lama menanti kalian di sini! Kami akan membunuh laki-laki yang berada di dalam kereta, juga kakek kusir itu, kemudian kami mengambil semua barang yang berada di dalam kereta, dan kalian berdua... hemmm, buah yang masak dan buah yang ranum segar. Yang sebutir sudah masak manis, yang kedua ranum dan renyah! Ha-ha-ha, kalian akan menjadi penghibur kami!”

Bukan main marahnya Yu Bwee mendengar ucapan itu. Baru kalimat pertama dan kedua saja sampai pada kata-kata bahwa orang itu mau membunuh ayahnya, sudah membuat mukanya merah dan matanya mengeluarkan sinar berkilat. Ucapan selanjutnya membuat ia tidak mampu menahan kemarahannya dan sekali tubuhnya begerak, ia telah meloncat ke depan dan menggerakkan tangan menampar muka kepala perampok itu.

Kepala perampok yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam itu melihat gerakan orang, akan tetapi tidak dapat mengikutinya dengan pandang mata karena tubuh gadis itu seperti terbang saja. Dia masih berusaha menggerakkan kedua tangan, untuk menangkis dan sekaligus menyambar dan menangkap.

“Plakkk!” Tamparan itu tiba tanpa dapat dihindarkan lagi, bukan main kerasnya sehingga kepala perampok itu mengeluarkan seruan keras saking nyerinya, merasa seolah-olah kepalanya di sambar pertir dan tubuhnya terpelanting, lalu terjungkal dan tidak mampu bergerak, hanya kedua matanya saja yang bergerak berputaran, mulutnya mengeluarkan suara mengorok.

Kiranya tamparan itu telah membuat tulang rahangnya patah-patah, berikut giginya rontok dan bibirnya pecah-pecah. Darah muncrat keluar dari bibir yang pecah dan lidah yang terluka oleh hancurnya gigi dan tulang rahang!

Para perampok terkejut setengah mati. Muka kepala perampok itu seperti dihantam dengan sebuah kapak saja, bukan ditampar oleh tangan yang demikian kecil dan lembut! Akan tetapi, dasar perampok-perampok kasar yang biasanya hanya mengganggu orang lemah, suka mempergunakan kekerasan, mereka tidak mengenal keadaan dan kini beramai-ramai mereka menyerbu.

Ada yang hendak menangkap Yu Bwee yang jelita, ada yang hendak menubruk Ceng Hiang yang demikian cantik manis, ada yang hendak membunuh kusir dan menyerang ke dalam kereta, untuk membunuh laki-laki yang berada di kereta, dan ada pula yang hendak memperebutkan harta benda yang berada di dalam kereta.

“Bwee-ji (anak Bwee), jangan membunuh orang!” Ceng Hiang berseru mendahului puterinya yang ia tahu amat marah sehingga telah menampar sedemikian kerasnya sehingga membuat kepala perampok terluka parah.

Akan tetapi, kemarahan Yu Bwee hanyalah kepada kepala perampok itu, karena ucapannya tadi. Setelah menampar seperti itu, kemarahannya mereda dan iapun tersenyum kepada ibunya, “Jangan khawatir, ibu. Mari kita hajar anjing-anjing tak tahu diri ini!”

Dua tubuh wanita itu berkelebatan dan kini belasan orang perampok itu merasa seperti sedang mimpi buruk sekali. Mereka tidak sempat melihat bagaimana dua orang wanita itu bergerak. Tahu-tahu mereka itu merasa seperti disambar petir dan belasan orang itupun roboh satu demi satu sebelum mereka sempat melakukan apa yang dikehendaki mereka tadi.

Ada yang tiba-tiba pening kepalanya dengan pandang mata berpusing, ada yang tiba-tiba saja menerima hantaman yang membuat tulang pundak mereka terlepas, tulang lengan patah dan tulang kaki retak. Dalam waktu beberapa detik saja, mereka semua telah roboh dan mengaduh-aduh, ada yang memegangi kepala, kaki, pundak dan lengan, merangkak bangun dan memandang seperti orang bodoh ke arah kereta yang kini sudah bergerak lagi melanjutkan perjalanan!

Keluarga itu melanjutkan perjalanan, terus ke selatan. Masih tiga kali lagi mereka mengalami gangguan dan hadangan para perampok, namun Ceng Hiang dan Yu Bwee dapat mengatasi gangguan itu. Sepak terjang mereka membuat para perampok lari ketakutan atau roboh tak berdaya dan walaupun tidak pernah ada yang tewas, namun mereka yang pernah menerima hajaran, sama sekali tiak berani lagi mencoba untuk melakukan pengejaran.

Dusun yang dimaksudkan oleh Ceng Hiang ketika memberi tahu puterinya, yaitu dusun di mana terdapat tanah pertanian luas yang telah dibeli suaminya, berada jauh di selatan, di dekat perbatasan yang menjadi daerah kekuasaan pasukan Tai Peng!

Tanah itu memang subur karena termasuk lembah Sungai Yang-ce-kiang. Terletak di lereng sebuah bukit yang hijau dan begitu tiba ti tempat itu, Yu Bwee merasa suka sekali. Tempat itu memang indah, selain tanahnya subur, juga pemandangan alamnya amat indah, banyak pula terdapat pedusunan yang melihat keadaan rumah-rumahnya merupakan pedusunan yang cukup makmur.

Merek tiba di dusun itu di suatu sore dan seorang kakek petani yang bertubuh tinggi kurus menyambut kereta itu dengan gembira sekali. Di belakangnya nampak berlari-lari beberapa orang penduduk dusun.

“Yu-taijin (pembesar Yu) datang... Yu-taijin datang!” teiak kakek itu dengan gembira.

Yu Kiang tersenyum melihat kakek itu, juga Ceng Hiang dan Yu Bwee mengenalnya. Kakek itu pernah bekerja kepada mereka di kotaraja, merupakan seorang pegawai yang sudah lama bekerja di dalam keluarga mereka sebagai seorang tukang kebun. Kakek inilah yang mengatur pembelian tanah di pedusunan itu. Bahkan kusir tua itupun mengenal baik kakek dan mereka saling menyapa dengan gembira.

“Ciu-lopek, bagaimana kabarnya? Jangan sebut aku taijin lagi, karena aku sudah bukan seorang pembesar lagi sekarang. Bukankah engkau juga sudah mendengar akan hal itu?” kata Yu Kiang sambil turun dari kereta, disusul oleh Ceng Hiang dan Yu Bwee. Penat juga melakukan perjalanan hari itu, karena sejak pagi sekali mereka berkereta, sampai senja itu baru berhenti.

Akan tetapi kakek Ciu tetap saja menyebut Yu Kiang dengan sebutan taijin, karena memang sudah terbiasa. Ceng Hiang disebutnya Toanio (nyonya besar) dan Yu Bwee dia panggil siocia (nona).

“Yu-taijin, syukurlah kalau taijin bertiga dapat tiba di sini dalam keadaan selamat. Hati saya sudah merasa tidak enak sekali karena suasana sekarang begini kacau dan banyak perampokan. Bahkan dusun-dusun kini tidak aman lagi, taijin. Dusun kita inipun selalu terancam dan kami penduduknya hidup dalam keadaan gelisah. Semoga setelah taijin sekeluarga berada di sini, dusun ini menjadi aman.”

Mereka lalu memasuki rumah ang sederhana namun cukup bersih dan besar, rumah yang sdah dibeli oleh Yu Kiang dengan perantaraan kakek Ciu, dan yang selama ini dijaga dan dibersihkan oleh pelayan yang setia itu. Ada tiga kamar besar di dalam, sebuah untuk Yu Kiang dan isterinya, sebuah untuk Yu Bwee dan sebuah lagi untuk kamar tamu, dan di belakang terdapat pula kamar-kamar untuk pelayan.

“Paman Ciu, apakah yang telah terjadi? Apakah dusun ini pernah dirampok?” setelah mereka tiba di dalam rumah dan telah memeriksa keadaan rumah baru mereka itu, Ceng Hiang bertanya kepada kakek Ciu.

“Dusun ini belum, toanio. Akan tetapi dusun-dusun di sekitar sini sudah pernah dirampok. Kami semua berada dalam keadaan ketakutan.”

“Akan tetapi, apakah tidak ada pasukan keamanan yang membasmi perampok itu?”

“Aih, sudah lama di sini tidak ada lagi pasukan keamanan, toanio. Benteng pertahanan dari pasukan pemerintah agak jauh dari sini, dan mereka itu tentu tidak memperdulikan nasib orang-orang dusun seperti kami.”

“Kenapa orang-orang dusun tidak bersatu dan melawan perampok-perampok itu?” Yu Bwee bertanya sambil mengerutkan alis. Ia benci terhadap para perampok yang sudah pernah pula mengganggu perjalanan orang tuanya.

“Siocia, siapakah yang berani menentang mereka? Mereka bukan perampok biasa.....”

“Bukan perampok biasa? Apa maksudmu? Siapakah mereka itu?” Yu Bwee menjadi penasaran.

Kakek itu memandang ke arah jendela dan pintu, seolah-olah ketakutan untuk menjawab, lalu berkata lirih, “Mereka adalah pasukan Tai Peng......”

“Hemmm, pasukan Tai Peng/”” Ceng Hiang bertanya dengan alis berkerut. “Bukankah dusun ini masih termasuk wilayah kekuasaan pemerintah kita?”

“Benar, toanio, akan tetapi mereka kini semakin berani selama beberapa bulan akhir-akhir ini. Dengan dalih pembersihan dan mencari mata-mata, mereka menyerbu dusun-dusun, merampok, membunuh dengan kejam.....”

“Keparat!” Yu Bwee mengepal tinju. “Kalau mereka berani menganggu dusun ini, aku yang akan menghajar mereka!"

Tentu saja kakek Ciu sudah tahu akan kelihaian nyonya majikan dan puterinya, maka diapun memnadang dengan wajah berseri. “Dengan adanya keluarga taijin di dusun ini, kami merasa lega.”

Akan tetapi Ceng Hiang dan Yu Bwee tidak tahu bahwa di setiap dusun di sekitar perbatasan itu tentu ada mata-mata Tai Peng sehingga kedatangan keluarga yang membawa barang-barang berharga itu telah diketahui oleh para perajurit Tai Peng.

Juga ibu dan anak ini sama sekali tidak menyangka bahwa pasukan Tai Peng yang suka merampok itu selain amat banyak jumlahnya, juga dipimpin oleh orang-orang pandai dan cara mereka menyerbu dusun seperti kalau menyerbu musuh dan mempergunakan siasat perang!

Beberapa hari kemudian, para penduduk dusun merasa lega karena tidak terjadi apa-apa dan mereka percaya kepada kakek Ciu bahwa keluarga bangsawan yang baru saja pindah dari kotaraja itu merupakan orang-orang pandai yang tentu ditakuti para perampok.

Malam itu terang bulan dan Yu Bwee bersama ibunya, yang selama beberapa hari ini berjaga-jaga diwaktu malam, siap menghadapi segala kemungkinan, malam ini tidak lagi merasa tegang. Mereka berdua menganggap bahwa kakek Ciu dan penduduk dusun itu terlalu ketakutan karena buktinya, tidak pernah terjadi gangguan selama mereka tiba di situ.

Akan tetapi lewat tengah malam, ketika Ceng Hiang, suaminya, dan juga Yu Bwee sedang tidur nyenyak, mereka dikejutkan oleh suara gaduh yang makin lama semakin ribut. Teriakan-teriakan “kebakaran” dan “rampok” mengejutkan mereka. Apalagi ketika Yu Bwee sudah mengetuk pintu kamar orang tuanya dan ketika ibu dan ayahnya keluar, ia berkata dengan suara gugup, “Wah, mereka telah datang menyerang dan membakari rumah-rumah di sekitar dusun!”

“Keparat!” Ceng Hiang berseru. “Kita harus basmi mereka.“ Akan tetapi ketika ia dan puterinya hendak keluar, ia teringat kepada suaminya dan menjadi khawatir. Mungkin sekali para perampok itu akan menyerbu rumah mereka!

“Sebaiknya engkau bersembunyi saja dan mengenakan pakaian seperti penduduk biasa,” katanya dan pada saat itu, kakek Ciu datang berlari-lari dari belakang dengan tubuh gemetar.

“Paman Ciu, jangan khawatir. sekarang lebih baik engkau membawa suamiku pergi bersembunyi di kebun belakang. kami berdua akan membasmi para perampok kurang ajar itu!”

Melihat Ceng Hiang dan Yu Bwee berpakaian ringkas dan memegang pedang, kelihatan demikian tenang dan gagah, hati kakek Ciu menjadi lega dan diapun cepat mengajak Yu Kiang untuk berembunyi di dalam kebun yang gelap karena di situ terdapat banyak pohon-pohon dan semak-semak.

Ceng Hiang dan Yu Bwee lalu berloncatan keluar dan melihat keadaan di dusun itu, mereka berdua menjadi marah sekali ! Ternyata para perampok itu sebelum menyerbu dusun, lebih dahulu membakari rumah-rumah penduduk.

Melihat ini, terpaksa Ceng Hiang dan Yu Bwee berpencaran dan mereka lalu menyerbu para perampok yang sambil berteriak-teriak dan tertawa-tawa melakukan kekejaman yang luar biasa. Membunuhi orang-orang lelaki, merampok barang-barang, ada pula yang memanggul wanita yang menjerit-jerit minta tolong.

“Jahanam busuk!” bentak Yu Bwee dan pedangnya berkelebat, menusuk dada seorang perampok yang memanggul seorang gadis remaja. perampok itu mengeluh dan roboh, sedangkan gadis remaja itu sudah disambar oleh tangan kiri Yu Bwee.

“Bersembunyilah!” kata Yu Bwee melepaskan gadis itu yang lari sambil menangis ketakutan. Melihat betapa ada kawannya yang roboh tewas, dua orang perampok menjadi marah dan dengan golok di tangan mereka menyerang Yu Bwee.

“Perampok-perampok busuk!” Yu Bwee membentak, pedangnya berkelebat menangkis dan begitu pedangnya bergerak, terdengar suara nyaring dua kali dan dua orang itupun roboh mandi darah! Kiranya sambil menangkis, gadis perkasa ini mengelebatkan pedangnya dan sekali sambar saja, pedangnya sudah membabat batang leher kedua orang perampok.

Gegerlah para perampok melihat ini. Di bagian lain, para perampok juga menjadi terkejut melihat betapa seorang wanita cantik, dengan pedangnya, juga mengamuk dan merobohkan beberapa orang perampok. Segera mereka memberi tanda dengan suitan-suitan dan kini muncul lebih banyak perampok, dipimpin oleh para perwiranya yang memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi.

Yang menerjang Yu Bwee kini adalah seorang perwira yang bermuka hitam, dibantu oleh belasan orang anak buahnya. Perwira muka hitam itu memainkan siang kiam (sepasang pedang) dan melihat gerakannya, jelaslah bahwa dia seorang ahli silat yang cukup lihai. Pantas perampok-perampok Tai Peng ini berani mengganas, pikir Yu Bwee. Selain jumlahnya banyak, terlatih, juga dipimpin oleh perwira yang lihai.

Akan tetapi, begitu ia memutar pedangnya, perwira yang bermuka hitam itu mengeluarkan seruan kaget karena hampir saja lengan kanannya terbabat pedang gadis itu. Lengan bajunya robek dicium ujung pedang! Dia lalu berseru kepada anak buahnya dan Yu Bwee dikeroyok banyak orang yang menghujankan senjata kepadanya.

Namun ia tidak takut dan pedangnya diputar dengan cepat dan kuat sehingga banyak senjata para pengeroyok yang patah, dan ada pula beberapa orang yang roboh oleh tendangannya.

Ceng Hiang juga menghadapi pengeroyokan banyak orang. Bahkan ada dua orang perwira yang mengeroyoknya, dua orang yang lihai sekali, yang seorang bersenjata cambuk baja dan yang kedua bersenjata sebuah tombak gagang pendek. Selain dua orang perwira yang lihai ini, masih ada belasan orang mengeroyoknya, namun seperti juga Yu Bwee, nyonya perkasa ini mengamuk dan sinar pedangnya merobohkan beberapa orang pengeroyok.

Kini hanya dua orang wanita itulah yang menjadi pusat perhatian para perampok yang jumlahnya tidak kurang dari lima puluh orang itu. Mereka mengerahkan tenaga untuk merobohkan ibu dan anak itu, namun makin didesak, makin banyak anak buah mereka roboh sehingga akhirnya mereka menjadi gentar juga.

Perwira muka hitam yang mengeroyok Yu Bwee maklum bahwa kalau diteruskan, tentu anak buahnya akan habis dibasmi gadis perkasa itu, dan diapun meloncat keluar kalangan, membiarkan anak buahnya mengepung ketat dan diapun lari untuk mencari teman-temannya yang boleh diandalkan.

Akan tetapi, dia terkejut melihat betapa tak jauh dari situ, seorang wanita lain mengamuk, dikepung oleh kawan-kawannya bersama anak buah yang sama banyaknya. Juga keadaan kawan-kawannya di situ menderita kerugian besar. Dia lalu mengeluarkan sempritan dan meniupnya berkali-kali, memberi tanda kepada kawan-kawannya untuk mundur.

Apalagi dia melihat kawan-kawan lain sudah banyak yang membawa lari barang rampokan dan ada pula yang menculik gadis dusun. Mendengar ditiupnya isyarat untuk mundur ini, legalah hati para pengeroyok ibu dan anak yang amat lihai itu. Mereka memang sudah merasa jerih terhadap wanita sakti yang mereka keroyok, maka begitu mendengar suara sempritan, mereka lalu berloncatan pergi, didahului oleh para perwira yang memimpin pengeroyokan.

Baik Ceng Hiang maupun Yu Bwee tidak mau membiarkan mereka lari begitu saja dan kembali ada beberapa orang perampok yang roboh oleh pedang mereka! Akan tetapi segera terdengar derap kaki kuda dan mengertilah Ceng Hiang dan Yu Bwee bahwa perampok itu datang dengan menunggang kuda yang agaknya mereka tambatkan di luar dusun.

Kini mereka melarikan diri dengan berkuda, dan tidak ada gunanya lagi dikejar. Yang terpenting adalah membantu para penduduk memadamkan rumah-rumah yang terbakar. Ceng Hiang dan Yu Bwee teringat akan rumah mereka maka merekapun cepat berlari pulang. Terkejutlah mereka melihat betapa keadaan rumah merekapun morat-marit, tanda bahwa rumah itupun tadi diserbu penjahat!

Dan ketika mereka memasuki rumah, mereka melihat kakek Ciu memapah Yu Kiang yang terluka. Tentu saja mereka terkejut dan cepat memeriksa keadaan Yu Kiang. Untunglah bahwa luka itu tidak parah, hanya bacokan pada pundak yang melukai daging pangkal lengan, tidak membikin putus otot atau mematahkan tulang.

“Bagaimana dapat terjadi?” tanya Ceng Hiang kepada suaminya sambil mengobati luka itu dan membalut pundak.

Yu Kiang yang kesakitan itu sukar menjawab, dan kakek Ciu yang menjawab dan memberi keterangan. “Kami bersembunyi di kebun. Ketika taijin mendengar bahwa rumah diserbu, dia memaksa untuk kembali ke rumah. Saya sudah mencegahnya sehingga terjadi ketegangan dan pada saat itu, nampak seorang perampok lari menyeret seorang gadis tetangga. Melihat ini, Yu-taijin menjadi marah dan membentak. Perampok itu membacok dengan golok dan Yu-taijin roboh. Untung bahwa perampok itu sibuk dengan gadis yang meronta-ronta, maka dia tidak menyerang lagi dan cepat menyeret gadis itu pergi.”

Ketika mereka memasuki rumah dan memeriksa, ternyata sebagian besar dari harta mereka, sebuah peti berisi emas dan perak yang mereka bawa dari kota raja sebagai hasil penjualan barang-barang dan rumah mereka, telah lenyap!

“Jahanam!” bentak Yu Bwee. “Berani melukai ayahku dan merampok barang kita! Aku harus menghajar mereka dan merampas kembali barang kita!” berkata demikian, Yu Bwee lalu meloncat keluar dari dalam rumahnya.

“Bwee-ji, jangan.....!” teriak ibunya akan tetapi karena ia sedang merawat suaminya, ia tidak mengejar dan tak lama kemudian terdengar derap kaki seekor kuda membalap keluar dari dusun. Yu Bwee melakukan pengejaran sambil menunggang kuda. Ceng Hiang tidak setuju dengan perbuatan Yu Bwee. Melawan perampok tidak berbahaya, akan tetapi karena perampok itu adalah pasukan Tai Peng.

Maka mengejar mereka sungguh amat berbahaya. Bagaimanapun juga, ibu ini percaya akan kepandaian Yu Bwee yang tentu akan mampu menjaga diri sendiri. Gadis itu sudah cukup berpengalaman. Bukankah pernah ia suruh melindungi keluarga kaisar dan berhasil baik?

Yu Bwee tidak dapat melakukan pengejaran dengan cepat karena ia harus meneliti jejak para perampok yang melarikan diri tadi, di tengah malam pula. Untung baginya bahwa ada sinar bulan sehingga ia dapat mencari jejak kaki banyak kuda yang lari ke selatan. Ia melakukan pengejaran terus. Sayang bahwa ia telah ketinggalan jauh, karena tadi ia membuang banyak waktu untuk pulang ke rumah. Andaikata ia tadi langsung melakukan pengejaran, tentu ia sudah dapat menyusul mereka!

Akan tetapi sampai sinar matahari subuh mulai menerangi bumi mendahului sang matahari sendiri, ia belum berhasil menyusul para perampok. Yu Bwee berhenti di tepi sebuah hutan, membiarkan kudanya makan rumput dan ia sendiri lalu masuk ke dalam hutan, encari-cari jejak kaki kuda di situ, bersimpang siur. Apakah ia salah jalan?

Tiba-tiba ia menyelinap di balik sebatang pohon. dari jauh ia melihat dua orang laki-laki berjalan setengah berlari, tertatih-tatih keberatan karena mereka meggendong bungkusan- bungkusan besar yang kelihatan berat. mereka adalah dua orang laki-laki tinggi besar bermuka brewokan dan kasar, dan mereka lewat tak jauh dari pohon di balik mana Yu Bwee bersembunyi. Terengah-engah mereka lewat, dan mereka berhenti sebentar hanya untuk menyeka keringat dari leher dan muka, menggunakan lengan baju mereka, kemudian mereka melanjutkan langkah memasuki hutan.

Selagi Yu Bwee mempertimbangkan apa yang akan dilakukan terhadap dua orang yang menurut pakaiannya adalah anggauta pasukan Tai Peng yang semalam menyerbu dusun, tiba-tiba ia mendengar derap kaki kuda dan iapun mengurungkan niatnya untuk keluar dan bersembunyi lagi.

Seorang penunggang kuda yang berpakaian serba putih datang dari arah lain. Dua orang itu, yang belum begitu jauh dari tempat Yu Bwee bersembunyi sehingga ia dapat melihat mereka, nampak terkejut dan berhenti sehingga sebentar saja penunggang kuda berpakaian putih dapat menyusul mereka dan kini si penunggang kuda menghentikan kudanya di depan mereka.

Dua orang itu yang tadinya terkejut, kini menyeringai. “Heh-heh, kiranya Gan-ciangkun. kami sampai terkejut!” kata mereka dengan sikap menghormat.

Yu Bwee terbelalak. Tentu saja ia mengenal pemuda yang berpakaian serba putih itu. Gan Han Le ! Biarpun masih putih, akan tetapi bentuk pakaian itu adalah pakaian seorang perwira, dan pemuda itu disebut Gan-ciangkun (perwira Gan) oleh dua orang anggauta pasukan Tai Peng yang semalam merampok dusun!

Akan tetapi, agaknya sikap Han Le berlawanan dengan sikap dia orang perajurit tai peng yang menyeringai gembira itu. Sikapnya dingin, dan sepasang matanya yang kebiruan itu menyinarkan kemarahan. “Dari mana kalian dan kenapa kalian tidak bersama pasukan?”

Seorang di antara perajurit itu, yang matanya melotot lebar, sambil menyeringai menjawab, “Ciangkun, kami baru saja kembali dari penyerbuan sebuah dusun untuk membersihkan tempat itu dari persembunyian mata-mata. Kami mendapat perlawanan sehingga pasukan tercecer dan kami tertinggal. Karena tidak kebagian kuda kami terpaksa menyusul pasukan dengan jalan kaki....”

“Hemmm... dan barang-barang apa yang kalian bawa itu?"

Dua orang itu saling pandang sambil menyeringai. “Bukan apa-apa... Gan-ciangkun. Tahu sendirilah, ini barang-barang rampasan dari para mata-mata musuh....”

“Tar-tar.... !” Tangan Han Le bergerak dan cambuk kudanya menyambar, mengenai muka kedua orang itu. Dua orang itu tersentak kaget dan tepekik kesakitan, buntalan yang mereka bawa di atas punggung tadi terlepas jatuh, bungkusannya terbuka dan isinya berserakan.

Ternyata barang-barang rumah yang berharga, yang terbuat dari perak, gulungan kain dan sebagainya lagi. Muka kedua orang itu lecet berdarah dan mereka kini memandang dengan mata terbelalak, terkejut, heran dan juga ketakutan.

“Kalian tadi malam melakukan permpokan dalam sebuah dusun dengan alasan aksi pembersihan terhadap mata-mata musuh! Kalian membunuh, merampok, dan memperkosa wanita! hayo mengaku!”

Dua orang itu saling pandang dan mereka kini menjadi semakin takut. “Tapi, tapi.... kami hanya melaksanakan perintah atasan, ciangkun....“

“Kalian perampok-perampok dan penjahat-penjahat yang berpakaian prajurit! Sungguh hanya mengotori nama perjuangan saja!” Kembali Han Le menggerakkan cambuknya dan orang itu berteriak-teriak kesakitan, leher dan muka mereka lecet-lecet berdarah terkena cambuk dan mereka lalu berlutut.

“Ampun, Gan-ciangkun, kami hanya melaksanakan perintah atasan kami, dan para perwira itupun hanya melaksanakan perintah dari Lee-ciangkun....”

“Tarrr!” cambuk itu menampar mulut sehingga bibir itu pecah. “Cukup! Aku sudah muak mendengarnya. Hayo angkat barang-barang itu dan ikuti aku!”

Dua orang perampok yang menjadi anggauta pasukan Tai Peng itu tidak berani membantah, tidak berani melawan karena berdua cukup mengenal siapa adanya Gan Han Le, seorang panglima baru yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian amat tinggi sehingga tiga orang perwira tinggi yang mengeroyoknya dalam ujian tidak mampu menang terhadapnya.

Mereka lalu dengan susah payah karena tubuh mereka yang sudah kelelahan itu kini ditambah lagi oleh penderitaan cambukan, mereka mengangkat dua buah buntalan setelah membetulkan bungkusan itu, dan berjalan di belakang kuda yang dijalankan perlahan oleh Han Le, memasuki hutan.

Tentu saja Yu Bwee menjadi bengong keheranan. Tadinya ia terkejut dan heran melihat betapa Han Le kini telah menjadi perwira Tai Peng, akan tetapi ia menjadi semakin terkejut dan heran pula melihat sikap Han Le terhadap dua orang anggauta Tai Peng itu.

Sikap inilah yang melegakan hatinya, yang tadi khawatir sekali melihat pemuda yag tak pernah dapat dilupakannya itu menjadi perwira Tai Peng, dan kini diam-diam ia membayangi dari jauh karena ia maklum akan keliahaian Han Le dan tidak ingin pemuda itu melihatnya sekarang, Ia ingin tahu apa yang akan dilakukan Han Le selanjutnya, dan ingin melihat apa rahasia pemuda itu.

Han Le berhenti di tengah hutan di mana terdapat petak rumput di mana bertumpuk barang-barang rampokan, termasuk sebuah peti milik ayahnya! barang-barang itu tertumpuk malang melintang.

“Taruh kedua buntalan itu disitu!” bentak Han Le kepada dua orang anak buah pasukan yang tidak berani membantah.

Melihat banyaknya barang rampasan yang berkumpul disitu, tahulah dua orang anak buah ini bahwa bukan hanya mereka berdua yang tertangkap basah oleh Gan-ciangkun dan dipaksa menaruh barang rampasan itu di disitu. Mereka adalah dua orang anak buah tokoh-tokoh sesat yang menjadi kaki tangan Lee Song Kim, mereka sudah terbiasa melakukan kejahatan.

Maka melihat barang-barang itu, mereka lalu mengira bahwa tentu Gan-ciangkun merampas barang-barang itu untuk dirinya sendiri. Maka, sambil menyeringai, si muka hitam berkata setelah bersama temannya melempar buntalan itu di atas tumpukan barang-barang itu.

“Gan-ciangkun, kasihanilah kami yang sudah kelelahan. Ciangkun memperoleh begini banyak, apakah berkeberatan untuk membagi sedikit saja kepada kami berdua?”

“Benar, ciangkun. Berilah bagian kepada kami dan kami tidak akan melapor kepada Lee-ciangkun!” kata orang kedua dengan nada memelas.

“Tar-tar!” Cambuk itu melecut-lecut sehingga kedua orang itu kini jatuh terguling-guling, hampir terinjak kaki kuda yang ditunggangi Han Le.

Setelah puas menghajar Han Le membentak. “Nah, pergilah kalian sekarang dari sini! Lebih lama sedikit saja aku melihat muka kalian, tentu aku akan membunuh kalian!”

Mendengar ini, dua orang yang kesakitan itu lalu melarikan diri tunggang langgang. Sejenak Han Le duduk tegak di atas punggung kudanya memandang ke arah larinya dua orang itu, dan tiba-tiba dia menggebrak kudanya lari ke utara dengan cepat sekali.

Yu Bwee terkejut, hendak mengejar akan tetapi maklum bahwa selain sukar mengejar kuda yang dibalapkan itu, juga tidak ingin kelihatan oleh Han Le. Biarlah ia akan menanti di sini, pikirnya. Bagaimanapun juga, Han Le tentu tidak akan meninggalkan barang-barang ini begitu saja, tentu akan kembali karena tak mungkin dia merampas barang-barang itu tanpa ada kelanjutannya.

Dugaannya benar. Tak lama kemudian ia mendengar suara derap kaki kuda tunggal datang dari jauh dan segera muncul Gan Han Le menunggang kuda, memboncengkan seorang penduduk dusun yang sudah tua.

Orang tua itu kelihatan ketakutan dan ketika Han Le melompat turun dari kudanya sambil membawa tubuh orang tua itu turun, dia segera berlutut. “Ampunkan saya.... jangan bunuh saya....”

Han Le mengerutkan alisnya. “Jangan takut, paman. Aku membawa paman ke sini bukan untuk membunuhmu, melainkan untuk memberi tahu bahwa sebagian barang milik penduduk dusun yang malam tadi dirampok, berada di sini. Sayang aku tidak dapat mengembalikan semuanya. Beritahukan kepada para penduduk bahwa sebagian barang itu berada di sni dan suruh mereka mengambilnya kembali.”

“Ahhh.....!” Petani itu kelihatan terkejut dan girang, lalu memandang tumpukan barang itu, lalu berlari menghampiri dan mengambil sebuah keranjang berisi pakaian dan barang-barang lain. “Ini milik kami....”

“Kalau milikmu ambillah kembali, paman, akan tetapi harap cepat pergi ke dusun memberi tahu kepada mereka yang kehilangan barang agar cepat mengambilnya ke sini.”

“Baik, baik..... taihiap.... ah, terima kasih, taihiap....” kata orang itu memberi hormat, lalu pergi dengan cepat sambil memanggul kembali keranjang yag terisi pakaian keluarganya yang tadi dirampok.

Sejenak Gan Han Le mengikuti kepergian orang itu, kemudian menoleh ke arah tumpukan barang-barang, dan menarik napas panjang. Pada saat itu Yu Bwee yang tidak ingin melihat Han Le pergi lagi sebelum bertemu dengannya, meloncat keluar dari tempat sembunyinya dan berlari cepat menghampiri.

Han Le terkejut bukan main melihat munculnya orang secara tiba-tiba itu, akan tetapi ketika dia mengenal siapa gadis itu, dia makin terkejut dan terheran, akan tetapi juga girang sekali. Dia meloncat turun dari atas kudanya dan memandang wajah gadis itu dengan mata bersinar-sinar dan senyum berseri. Gadis yang selama ini tak pernah meninggalkan ingatannya itu kini tiba-tiba saja berdiri di depannya!

“Gan.... ciangkun.....!” kata Yu Bwee sambil menjura, kata terakhir terdengar penuh nada mengejek.

Wajah Han Le menjadi kemerahan ketika dia membalas penghormatan itu. “Ah,..... nona Yu, harap jangan menyebutku seperti itu. Aku masih tetap Gan Han Le seperti dahulu......”

“Benar, akan tetapi dengan kedudukan sebagai seorang panglima yang ditakuti dari pasukan Tai Peng yang merampok, bukan?”

Wajah itu semakin merah. “Nona, agaknya engkau telah sejak tadi mengintai, maka tentu engkau tahu bagaimana sikapku terhadap perampok-perampok tak tahu malu itu. Sayang aku hanya dapat mengumpulkan barang-barang rampasan sebegini saja, karena aku tahu setelah terlambat. Tak kusangka bahwa pasukan pilihan dari Tai Peng melakukan perampokan, dan aku akan menuntut Lee-ciangkun mengenai perbuatan yang memalukan ini! Akan tetapi, bagaimana engkau tiba-tiba saja berada di sini, nona? Bukankah engkau masih berada di Yehol, ataukah sudah kembali ke kotaraja?”

“Baru beberapa hari aku sekeluarga tinggal di dalam dusun yang dirampok oleh anak buahmu, ciangkun. Kami melawan dan berhasil mengusir para perampok, akan tetapi ayah terluka dan barang kami ada yang dilarikan. Aku mengejar sampai di sini, dan bertemu dengan engkau yang ternyata telah menjadi seorang perwira Tai Peng, perwira dari pasukan yang merampok dusun kami!

"Gan-ciangkun, aku minta pertanggung-jawabanmu atas malapetaka yang meimpa dusun kami, atas tewasnya beberapa orang dan terlukanya banyak orang termasuk ayahku, juga atas terculiknya beberapa orang gadis, dan perampokan atas barang-barang penduduk dusun. Kami berhadapan sebagai musuh!”

Han Le kelihatan terpukul dan sedih sekali. “Dengarlah dulu, nona. Sungguh mati aku tidak tahu sama sekali bahwa pasukan Tai Peng suka melakukan kejahatan seperti ini, dan baru malam ini aku mengetahuinya. belum lama aku diterima menjadi panglima oleh raja di Nan-king dan aku menghambakan diri kepada pasukan Tai Peng yang kuanggap sebagai pasukan kaum patriot yang hendak membebaskan bangsa dari penjajah.

"Aku mendapat tugas melakukan pembersihan di perbatasan utara, menagkap dan membasmi para mata-mata musuh yang mempersiapkan pemberontakan mengepung Nan-king. Nah, agaknya aku selalu nampak buruk di depanmu, nona, seperti juga dahulu ketika aku difitnah di yehol. Maukah engkau percaya kepadaku, nona Yu?”

Mereka saling pandang dan tentu saja Yu Bwee percaya kepada pemuda ini. Tadipun ia sudah dapat meduga apa yang terjadi, dan sikap Han Le terhadap para perampok sudah jelas menunjukkan bahwa dalam hal perampokan-perampokan itu, pemuda ini sama sekali tidak bersalah dan tidak tahu-menahu.

“Aku percaya kepadamu. Akan tetapi apa artinya kepercayaan itu? Kalau engkau tidak keluar dari pasukan yang suka merampok itu, bagaimana aku dapat mempercayaimu lagi selanjutnya?”

Han Le mengepal tinju. “Andaikata aku tidak berjumpa denganmu pun, aku pasti akan mengurus hal ini, akan kutuntut kepada Lee-ciangkun! Aku bukanlah orang yang suka menjadi perampok, nona. Aku akan tuntut dia, dan aku akan keluar dari pasukan Tai Peng kalau ternyata pasukannya melakukan kejahatan!”

Tiba-tiba terdengar suara tertawa keras. Han Le dan Yu Bwee terkejut sekali dan Han Le sudah meloncat ke dekat Yu Bwee, siap untuk saling melindungi dengan gadis yang telah menjatuhkan hatinya itu. Dan muncullah seorang panglima yang bukan lain adalah Lee Song Kim!

Dialah yang tertawa tadi dan di belakangnya ampak para pembantunya, antara lain Tiat-pi Kim-wan, Seng-jin Sin-touw, juga dua orang wanita pembantunya yang setia, yaitu Theng Ci ketua Ang-hong-pai, dan Sing-kiam Moli serta beberapa orangtokoh kang-ouw lagi.

Akan tetapi, Han Le tidak merasa takut melihat munculnya panglima yang sebetulnya merupakan atasannya itu. “Kebetulan sekali engkau datang, Lee-ciangkun!” katanya dengan suara lantang. “Memang aku ingin sekali pergi menghadapmu dan ingin mengajukan tuntutan atas sepak terjang anak buahmu yang memimpin pasukan untuk merampoki dusun-dusun!”

Kembali Lee Song Kim tertawa dan sepasang mataya yang tajam dan genit itu kini mengamati Yu Bwee yang cantik manis. “Ha-ha-ha-ha! Sudah lama kuragukan kesetiaanmu, orang she Gan. Ternyata sekarang terbuktilah bahwa engkau hanyalah seorang pengkhianat yang berpihak kepada mata-mata pihak musuh! Kiranya engkau telah menjadi mata-mata musuh yang diselundupkan ke dalam pasukan kami!”

“Itu bohong!” benak Han Le.

“Bohong? Pasukan kami membasmi para mata-mata musuh yang bersembunyi di dalam dusun-dusun, merampas barang-barang musuh, akan tetapi engkau malah membela musuh, memukuli para perajurit sendiri, merampas barang-barang untuk dikembalikan kepada para mata-mata musuh! Dan lebih hebat lagi, sekarang engkau berada di sini dengan seorang mata-mata Kerajaan Mancu! Bukankah itu sudah menjadi bukti yang cukup?”

“Bohong lagi! Nona ini bukan mata-mata Mancu...."

“Ha-ha-ha, pengkhianat Gan, kau kira kami ini orang-orang bodoh yang dapat kau bohongi begitu saja? Kami tahu siapa perempuan ini. Ia mata-mata dari Kerajaan Mancu, seorang puteri bangsawan she Yu.”

“Lee-ciangkun, kiranya tidak perlu banyak perbantahan dengan pengkhianat ini, biar kami yang menangkap mereka!” kata Tiat-pi Kim-wan yang sudah menerjang maju, diikuti Seng-jin Sin-touw, juga Theng Ci dan Sin-kiam Moli menerjang dan mengeroyok Han Le dan Yu Bwee dengan pedang mereka.

Lee Song Kim sendiripun cepat menerjang dan menyerang Han Le dengan pedangnya sehingga senjata menyambar ke arah tubuh Han Le dan Yu Bwee. Namun, dua orang muda ini sudah siap siaga menghadapi pengeroyokan ini, maka mereka sudah cepat saling membelakangi karena dengan cara demikian mereka dapat saling melindungi kawan sambil melakukan perlawanan.

Han Le mencabut pedangnya, pedang sebagai tanda kedudukannya dalam pasukan Tai Peng, sedangkan Yu Bwee juga mengeluarkan pedangnya, mengamuklah dua orang muda ini menghadapi para pengeroyoknya yang terdiri dari banyak orang pandai itu...

Jilid selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.