Kisah Si Naga Langit Jilid 06

Sonny Ogawa
Estimated read time: 39 min

Kisah Si Naga Langit Jilid 06 karya Kho Ping Hoo - HUI-LIONG SIN-TO terpaksa menangkis lagi sambil terhuyung ke belakang. Ouw Kan menggerakkan tangan kirinya, dengan telapak tangannya dia mendorong ke arah dada lawan. "Robohlah!" bentaknya.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Serangkum tenaga dahsyat menyambar dan tubuh orang itu terpental ke belakang dan terbanting roboh. Goloknya terlepas dari tangannya dan tubuh itu terkulal lemas. Matanya terbelalak memandang Ouw Kan yang berdiri sambil tersenyum mengejek. Telunjuk tangan kanannya diangkat menuding dan mulutnya yang mengeluarkan darah segar bertanya, "Siapa... siapa... engkau...?"

"Toat-beng Coa-ong Ouw Kan namaku!" kata Ouw Kan.

Orang itu tampak terkejut sekali. "Toat-beng Coa-ong...? Ahhhh.... mati aku...!" Dia terkulai lagi dan diam tak bergerak, tewas seketika karena pukulan Ouw Kan tadi mengandung hawa beracun yang amat dahsyat.

Bi Lan menonton dengan mata terbelalak dan hati merasa ngeri. Kini sadarlah anak ini bahwa penculiknya adalah seorang yang sakti dan berbahaya sekali. Tahulah ia bahwa ia tidak mungkin akan dapat terlepas dari cengkeraman kakek ini mempergunakan kekerasan. la menahan kebenciannya yang makin mendalam melihat betapa kakek itu demikian mudahnya membunuh orang, hanya untuk merampas kudanya.

Ouw Kan menghampiri Bi Lan dan tersenyum, lalu berkata dengan nada bangga. "Hah, orang macam itu berani melawan aku! Mencari mampus sendiri. Hayo, Bi Lan, kita melanjutkan perjalanan dengan menunggang kuda."

Bi Lan tldak membantah ketika ia diangkat dan didudukkan di atas punggung kuda. Kemudian kakek itu melompat dan duduk di belakangnya. Kuda dilarikan meninggalkan tempat itu. Bi Lan menoleh memandang ke arah pemilik kuda yang menggeletak tanpa nyawa di atas tanah dan ia mulai merasa ngeri.

"Bi Lan, kalau engkau bertemu orang mengatakan bahwa aku menculikmu lalu orang itu menantangku, dia tentu akan mati di tanganku dan engkaulah yang menyebabkan kematiannya itu," kata Ouw Kan.

Bl Lan merasa ngeri, Kakek ini lihai bukan main dan ia tahu bahwa ucapen kakek itu bukan sekedar gertak kosong belaka. "Habis, apa yang harus kukatakan kepada orang? Engkau memang menculikku." Jawabnya. "Engkau akan membawaku ke mana, kek? Apa yang akan kau lakukan denganku? Kalau engkau hendak membunuhku, kenapa tldak kau lakukan sekarang?"

"Heh-heh, aku suka melihatmu dan sayang kalau engkau dibunuh, Bi Lan. Aku akan membawamu ke utara dan menyerahkanmu kepada Sribaginda Raja Kin yang kematian puteranya. Terserah kepadanya apa yang akan dilakukannya terhadap dirimu."

Bi Lan mengerutkan alisnya. Hatinya merasa khawatir sekali. Raja Kin itu mendedam sakit hati kepada ayah ibunya yang telah membunuh puteranya dalam perang. Kalau ia terjatuh ke tangan raja itu, tentu akan celaka hidupnya. Raja itu tentu akan melampiaskan dendamnya. Mungkin ia akan dibunuh, atau disiksa. Atau la akan disandera dan dijadikan umpan untuk memancing datangnya ayah ibunya! Ah, gawat sekali kalau begitu. Akan tetapi ia diam saja.

Siang hari itu panasnya bukan main. Ouw Kan menghentikan kudanya dan mereka turun dari atas punggung kuda. Setelah menambatkan kudanya pada sebatang pohon, Ouw Kan mengajak Bi Lan duduk dl bawah pohon yang teduh. Jalan pegunungan itu sunyi sekali.

"Perutku lapar, kita makan dulu." katanya dan dia mengeluarkan sebuah bungkusan yang berisi roti kering dan daging kering. "Kita makan seadanya dan minum anggur ini." Ternyata kakek itu membawa seguci anggur.

"Aku tidak suka minum anggur. Di sana ada air, aku ingin minum air." kata Bi Lan, menunjuk ke arah air yang mengucur dari celah-celah batu padas.

Karena ia tidak 8ngin kelaparan dan, kehabisan tenaga, Bi Lan makan roti dan dag8ng kering, dan minum air yang ditampung dengan kedua tangannya.

Ouw Kan sendiri makan roti dan daging kering lalu la minum anggur sampai habis setengah guci. Dalam. keadaan hampir mabuk dia lalu merebahkan diri di atas rumput dl bawah pohon itu dan sebentar saja dia sudah tldur mendengkur!

Bi Lan duduk di rumput dan memandang kakek itu dengan jantung berdebar. Inilah saatnya, piklrnya. Saat yang memberi kesempatan kepadanya untuk meloloskan diri, untuk melarikan diri! la menanti sampai dengkur kakek itu terdengar teratur dan panjang-panjang, tanda bahwa tidurnya sudah pulas benar.

la bangkit berdiri, perlahan-lahan sambil terus mengamati kakek itu. Tidak ada tanda-tanda bahwa kakek itu memperhatikannya. la memutar tubuhnya, kemudian berjingkat rnelangkah meninggalkan tempat itu. Akan tetapi baru belasan langkah ia berjalan, tiba-tiba tubuhnya seperti ditarik oleh kekuatan yang tak tampak sehingga ia terhuyung ke belakang dan jatuh terduduk di tempatnya yang tadi!

la memutar tubuh melihat betapa kakek itu masih mendengkur! Bi Lan menjadi penasaran sekali. Kembali ia bangkit berdiri dengan hati-hati dan kini ia melangkah meninggalkan tempat itu sambil mundur, matanya tetap memandang ke arah kakek yang masih tidur mendengkur.

Setelah mundur belasan langkah, la melihat kakek yang masih mendengkur itu tiba-tiba menggerakkan tangan ke arahnya dan kembali ada tenaga yang amat kuat menariknya ke depan.

Betapapun ia berusaha untuk bertahan, tetap saja tubuhnya tertarlk kembali ke depan dan ia jatuh terduduk di tempatnya yang tadi, tak jauh dari tubuh kakek yang rebah telentang dan tidur mendengkur itu!

Hati Bi Lan menjadi gemas sekali. Mengertilah ia bahwa kakek sakti itulah yang membuat tubuhnya selalu tertarik kembali. Entah bagaimana, dalam keadaan tidur mendengkur kakek itu mampu mencegahnya melarikan diri! Kemarahan membakar hatinya. Sekaranglah kesempatan itu terbuka baginya.

Makin lama ia akan semakin jauh di daerah utara dan akan makin kecilah harapan untuk dapat meloloskan diri. Kalau kakek ini, biarpun dalam tidur, dapat menghalanginya melarikan diri, satu-satunya jalan harus membunuhnya lebih dulu! Bi Lan menjadi nekat.

Di dekatnya terdapat sebongkah batu sebesar kepalanya. la mengambil. batu itu dan mengangkatnya dengan ke-dua tangannya. Lalu ia menghampiri Ouw Kan. Dengan mengerahkan seluruh tenaganya ia membanting batu itu, menimpakannya ke arah muka Ouw Kan yang tidur telentang di atas rumput!

"Wuuuttt.... bukkkk!" sungguh aneh. Dia masih mendengkur, akan tetapi ketika batu itu menimpa, kepalanya bergerak kesamping sehingga batu itu menghantam tanah, tidak mengenai mukanya! Bi Lan menjadi penasaran sekali. Diambilnya lagi batu itu dan ditimpakan lagi ke arah muka.

Namun, sampai tiga kali ia mengulang, tetap saja hantamannya itu tidak pernah mengenai muka kakek itu. Bi Lan menjadi penasaran sekali dan untuk ke empat kalinya ia menimpakan batu itu sekuat tenaga ke atas dada Ouw Kan! Sekali ini kakek itu tidak dapat mengelak dan batu itu tepat menehantam dadanya.

"Bukkk....!!" Bi Lan terpental sampai tiga meter, seperti dilontarkan tenaga yang amat kuat dan batu itu terlepas dan kedua tangannya, terpental lebih jauh lagi. Tubuh Bi Lan terbanting keras ke atas tanah sehingga pinggulnya terasa nyeri.

Ouw Kan bangkit duduk, menggosok-gosok kedua matanya seperti orang baru bangun tidur, memandang kepada Bi Lan lalu bangkit berdiri. Bi Lan juga bangkit berdiri walaupun pinggulnya terasa nyeri. la maklum bahwa ia tidak mungkin dapat terbebas dari kakek ini. Kesempatan baik tadi telah ia pergunakan, akan tetapi ternyata kakek itu seorang yang amat sakti.

Sedang dalam keadaan tidur saja kakek itu dapat menggagalkan usahanya menyerang untuk membebaskan diri, apalagi dalam keadaan sadar. Dan ia dapat membayangkan betapa ngeri nasibnya kalau terjatuh ke dalam tangan Raja Kin yang mendendam kepada ayah ibunya.

"Tidak! Aku tidak mau kau bawa lagi! Biar kau bunuh aku, aku tetap tidak mau ikut denganmu!" teriak Bi Lan dengan nekat.

Ouw Kan tertawa bergelak. Dia merasa semakin suka kepada anak yang pemberani, nekat dan tidak takut mati ini. "Ha-ha-ha, Bi Lan. Apa kau kira engkau akan dapat menolak kalau aku membawamu pergi?" Dia lalu berkemak-kemik membaca mantera dan mengerahkan kekuatan sihirnya, lalu berkata dengan suara yang lembut namun mengandung wibawa yang kuat sekali.

"Bi Lan, anak baik! Ke sinilah, engkau harus patuh dan ikut denganku, ke manapun kubawa engkau pergi!"

Ada sesuatu yang teramat kuat mendorong Bi Lan, baik mendorong hatinya dan kedua kakinya sehingga ia melangkah maju, menghampiri kakek itu. Akan tetapi baru tiga langkah ia berjalan, tiba-tiba terdengar suara tawa yang nyaring dan tiba-tiba saja kekuatan yang mendorong Bi Lan itu lenyap.

"Tidak, tidak!" Bi Lari berhenti dan menggeleng kepalanya. "Aku tidak sudi ikut denganmu. Engkau kakek jahat, telah membunuh nenek, pelayan dan tukang kebun kami. Aku benci padamu!"

Ouw Kan merasa terkejut sekali melihat betapa pengaruh sihirnya atas diri anak itu punah. Dia tahu bahwa suara tawa tadilah yang memunahkan kekuatan sihirnya. Dia merasakan getaran hebat terkandung dalam suara tawa itu.

"Omitohud! Toat-beng Coa-ong Ouw Kan di mana-mana mendatangkan kekacauan belaka. Anak sekecil inipun hendak dipaksanya. Uih, sungguh memalukan sekali seorang datuk besar sampai dimaki-maki anak kecil!"

Ouw Kan cepat memutar tubuh ke kanan dan dia melihat kakek itu! Seorang kakek yang berusia sekitar enam puluh tahun, berjubah kuning dengan kotak-kotak merah, kepalanya gundul mengenakan peci kain kuning. Tubuhnya tinggi besar berperut gendut dan bajunya tidak terkancing sehingga dadanya tampak. Mukanya bulat dan semua anggauta tu-buh kakek ini tampak kebulat-bulatan. Di tangan kanannya terdapat sebatang tongkat panjang berkepala naga.

Tentu saja Ouw Kan menjadi terkejut dan juga marah sekali. Baru beberapa bulan dia bertemu dengan kakek ini yang bukan lain adalah Jit Kong Lama, pendeta Lama dari Tibet yang amat sakti itu. Pernah dia dan Ali Ahmed datuk suku Hui itu berhadapan dengan Jit Kong Lama dan memperebutkan kitab-kitab yang dibawa Tiong Lee Cin-jin dan dia bersama Ali Ahmed kalah melawan kakek gundul dari Tibet ini.

"Jit Kong Lama!" Ouw Kan membentak marah. "Tidak malukah engkau sebagai seorang datuk besar hendak mencampuri urusan orang lain? Urusanku dengan anak ini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirimu, karena itu pergilah dan jangan mengganggu kami!"

"Ha-ha-ha! Ouw Kan, pinceng (aku) tidak sudi mencampuri urusan pribadimu, akan tetapi pinceng ingin mencampuri urusan anak ini. Kalau ia memang suka kau bawa pergi, pinceng tidak akan peduli. Akan tetapi kalau ia tidak mau kau bawa pergi, setelah ada pinceng di sini, engkau tidak boleh memaksanya."

Mendengar ucapan hwesio gundul berjubah aneh itu, Bi Lan cepat berkata dengan lantang. "Losuhu yang baik, dia itu orang jahat sekali!" Telunjuknya menuding ke arah muka Ouw Kan. "Aku tidak sudi ikut dengan dia!"

Jit Kong Lama tertawa lagi. "Ha-ha-ha, Ouw Kan, engkau sudah mendengar sendiri dengan jelas! Anak Ini tidak mau ikut denganmu, maka pergilah tinggalkan ia dan jangan menggunakan paksaan."

Ouw Kan menjadi marah bukan main. la amat membutuhkan diri Bi Lan untuk dijadikan bukti keberhasilan tugasnya kepada Raja Kin. Dia tidak berhasil membunuh Han Si Tiong dan Liang Hong Yi, sekarang harus gagal lagi menculik anak mereka. Membunuhi nenek dan dua pelayan itu, tentu saja tidak ada artinya bagi pembalasan dendam kematian Pangeran Cu Si.

Akan tetapi diapun bukan seorang bodoh. Baru beberapa bulan yang lalu, bersama Ali Ahmed sekalipun mere-ka tidak mampu menandingi Jit Kong Lama. Apalagi sekarang harus melawan seorang diri! Dia tidak sebodoh itu untuk mencari penyakit melawan orang yang jauh lebih, kuat dari padanya.

"Anak ini aku yang membawanya sampai di sini. Kalau ia tidak mau ikut, biar ia mampus saja!" Setelah berkata demikian, tiba-tiba dengan gerakan cepat sekali tubuhnya sudah melompat ke arah Bi Lan dan tongkat ular kobra itu meluncur ke arah kepala anak perempuan itu.

"Trakkk!" tongkat itu bertemu ujung tongkat naga di tangan Jit Kong Lama sehingga terpental dan tubuh Ouw Kan agak terhuyung ketika ia terdorong ke belakang.

"Omitohud! Apa kau kira pinceng ini patung? Anak ini tidak sudi kau bawa, apalagi kau bunuh! Karena ia tidak mau, pinccng harus membelanya!" Jit Kong Lama melintangkan tongkat kepala naga di depan dadanya.

Ouw Kan memandang dengan mata berapi, akan tetapi dia menahan diri dan tidak berani menyerang. "Jit Kong Lama, sekali ini aku mengalah kepadamu. Akan tetapi ingatlah bahwa aku bertugas sebagai utusan Sribaginda Raja Kin dan campur tanganmu ini berarti engkau telah berdosa terhadap Kerajaan Kin!"

"Ha-ha-ha, ancamanmu itu tidak ada artinya bagi pinceng. Pinceng bukan warga negara Kin, maka pinceng tidak berdosa kepada kerajaan manapun!"

Setelah melotot kepada pendeta Lama dan Bi Lan, Ouw Kan lalu memutar tubuhnya, berlari ke arah kuda yang ditambatkan pada batang pohon, melepas kendali kuda lalu melompat ke atas punggung binatang itu dan cepat meninggalkan tempat itu.

Kini pendeta Lama itu berdiri berhadapan dengan Bi Lan. Mereka saling pandang dan memperhatikan. Sebagai anak cerdik Bi Lan tahu bahwa kakek gundul ini telah menolongnya dan ia harus berterima kasih kepadanya. Maka iapun maju menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan Jit Kong Lama. "Losuhu telah menolong saya dan membebaskan saya dari tangan pembunuh dan penculik itu. Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada losuhu."

Jit Kong Hwesio membungkuk dan menggunakan tangan kirinya untuk meraba-raba dan menekan-nekan kepala, kedua pundak dan punggung Bi Lan. Anak itu merasa heran dan tidak enak diraba-raba seperti ku, akan tetapi ia diam saja. "Bangkitlah, anak baik. Siapa namamu dan di mana tempat tinggalmu?"

Bi Lan bangkit berdiri. "Saya bernama Han Bi Lan dan tempat tinggal saya di kota raja Hang-chou."

"Omitohud! Begitu jauhnya dia membawamu? Dari Hang-chou ke sini? Wah, perjalanan dari sini ke Hang-chou dengan berjalan kaki akan makan waktu puluhan hari! Bagaimana engkau akan dapat pulang sendiri, Bi Lan? Di dalam perjalanan sejauh itu, engkau tentu akan bertemu banyak orang jahat. Engkau mungil dan cantik, tentu banyak orang jahat tidak akan melepaskanmu begitu saja."

Mendengar ini, kembali Bi Lan menjatuhkan dirinya berlutut. "Lo-suhu, mohon losuhu jangan kepalang menolong saya. Kalau losuhu sudi menolong saya mengantarkan saya pulang ke Hang-chou, pasti saya akan sampai di rumah dengan selamat dan kedua orang tua saya tentu akan berterima kasih sekali kepada losuhu."

Bi Lan belum mau menyebutkan nama ayah dan ibunya, karena la belum mengenal siapa sebenarnya kakek ini dan la tidak tahu apakah kakek ini tidak memusuhi ayah Ibunya.

"Omltohud.... untuk melindungimu engkau harus menjadi muridku dan pinceng melihat engkau bertulang baik, pantas menjadi muridku....."

"Teecu suka menjadi murid suhu!" Cepat Bi Lan menyambar tawaran ini.

"Omitohud! Tidak ringan syaratnya untuk menjadi muridku, Bi Lan. Sampai hari ini pinceng belum pernah menerinia murid dan kalau engkau memang berjodoh menjadi muridku, engkau harus memenuhi syarat itu."

"Apakah syarat itu, suhu? Teecu (murid) tentu akan bersedia untuk memenuhinya!" kata Bi Lan dengan penuh semangat.

"Ada dua syarat yang harus kau penuhi. Pertama, engkau harus mengikuti aku selama sepuluh tahun dan selama itu engkau tidak boleh pergi ke manapun juga, tidak boleh pulang ke rumah orang tuamu. Dan syarat ke dua, setelah sepuluh tahun menjadi muridku, engkau boleh pergi dan pulang kepada orang tuamu, akan tetapi engkau harus mencari sampai ketemu dan membunuh seorang musuh besarku yang bernama Tiong Lee Cin-jin. Nah, sanggupkah engkau memenuhi. kedua syarat itu?"

Bi Lan yang masih berlutut itu tertegun. Syarat ke dua itu tidak perlu ia ragukan lagi. Siapapun musuh gurunya, sudah menjadi kewajibannya untuk menentang musuh besar gurunya. Akan tetapi syarat pertama itulah yang berat. la tadi mau menjadi murid Lama itu agar ia dapat cepat diantar pulang. Akan tetapi syarat itu menghendaki agar selama sepuluh tahun ia tidak boleh pulang ke rumah orang tuanya!

la mempertimbangkan syarat itu. Kalau ia menolak, ia harus pulang sendiri, padahal Hang-chou begitu jauh, perjalanan begitu lama dan hampir dapat dipastikan ia akan celaka di tangan orang-orang jahat di sepanjang perjalanan jauh itu. Kalau ia menerinna, biarpun selama sepuluh tahun ia berpisah dari orang tuanya, akan tetapi setelah sepuluh tahun lewat, ia akan dapat bertemu kembali dengan mereka. Selain itu, ia akan mendapatkan ilmu-ilmu yang tinggi dari gurunya.

"Hei, bagaimana ini? Kenapa diam saja? Kalau tidak mau, sudahlah, pinceng inau pergi."

"Mau, suhu, teecu mau dan sanggup!" teriak Bi Lan cepat.

"Benarkah engkau sanggup? Kalau begitu, bersumpahlah, disaksikan Langit dan Bumi!"

Sejak kecil Bi Lan sudah diajar sastra oleh kedua orang tuanya, maka ia pernah membaca tentang orang bersumpah. Sambil masih berlutut ia merangkap kedua tangan dan mengangkatnya ke atas, lalu bersumpah dengan suara lantang, "Disaksikan Langit dan Bumi, saya Han Bi Lan bersumpah akan menjadi murid dari suhu Jit Kong Lama...."

Sampai di sini Bi Lan menoleh kepada kakek itu dan Jit Kong Lama menganggukkan kepala membenarkan. "Saya akan menaati semua perintahnya, selama sepuluh tahun tidak akan meninggalkannya dan setelah tamat belajar saya akan pergi mencari dan membunuh musuh besar suhu yang bernama Tiong Lee Cin-jin!"

Jlt Kong Lama tertawa dan mengangguk-angguk dengan gambira sekali. Tadi dia telah meraba dan menekan kepala dan tubuh anak itu dan dia mendapat kenyataan bahwa Bi Lan adalah seorang anak perempuan yang bertulang baik dan berbakat sekali. la akan menjadi seorang murid yang baik sekali.

Watak datuk ini memang aneh. Dia tidak ingin tahu siapakah orang tua anak itu. Dia tidak peduli. Yang penting baginya adalah anak itu, bukan orang tuanya. Maka diapun tidak bertanya lagi siapa ayah ibu anak itu dan Bi Lan juga diam saja.

"Mari kita pergi, Bi Lan." Jit Kong Lama menggandeng tangan anak itu dan dia berlari cepat sambil menggandeng.

Bi Lan terkejut sekali. la merasa tubuhnya seperti melayang karena kedua kakinya kadang tidak menginjak tanah. Saking cepatnya mereka meluncur, Bi Lan memejamkan kedua matanya, apa lagi kalau kakek itu membawanya melompati jurang yang lebar dan dalam.

Jit Kong Lama tidak berani kembali ke Tlbet dan dia membawa Bi Lan ke sebuah di antara puncak-puncak yang terpencil di Pegunungan Kun-lun-san. Dusun-dusun kecil di sekitar tempat itu dihuni sedikit penduduk yang bekerja sebagai petani dan mereka menganggap Jit Kong Lama sebagai seorang pendeta yang bertapa di puncak itu, ditemani seorang murid perempuan.

Jit Kong Lama dan Bi Lan hidup secara sederhana di puncak itu dan mulai hari itu dia menggembleng muridnya dengan tekun. Bi Lan juga berlatih dengan rajin sekali. Anak perempuan kecil itu sudah mempunyai cita-cita untuk menjadi seorang pendekar wanita agar kelak, selain dapat membalas dendam gurunya terhadap musuh besarnya.

Juga ia ingin mencari Ouw Kan untuk membalaskan kematian neneknya, juga pelayan dan tukang kebun mereka. Cita-cita inilah yang membuat anak itu bertahan dan belajar dengan penuh semangat walaupun terkadang ia merasa rindu sekali kepada ayah ibunya.

* * *

Kalau tidak diperhatikan tidak dlrasakan, sang waktu melesat dengan amat cepatnya, lebih cepat daripada apapun juga. Tanpa terasa, bertahun-tahun lewat seolah baru beberapa hari saja. Seorang tua yang mengenang masa kanak-kanaknya, merasa seolah masa itu baru iewat beberapa hari saja, padahal sudah puluhan tahun berlalu.

Sebaliknya kalau diperhatikan dan dirasakan, sang waktu merayap lebih lambat daripada siput sehingga sehari rasanya seperti sebulan. Menanti? Sesuatu atau seseorang yang terlambat satu jam saja rasanya seperti sudah terlambat sehari!

Demikianlah, tanpa terasa sepuluh tahun telah lewat sejak Souw Thian Liong mengikuti Tiong Lee Cin-jin sebagai murid pertapa yang sudah berkelana itu. Tiong Lee Cin-jin mengajak Thian Liong pergi ke Puncak Pelangi, sebuah di antara banyak puncak di Pegunungan Gobi. Di puncak yang indah namun sunyi ini Tiong Lee Cln-Jin membangun sebuah pondok dari kayu dan barnbu yang sederhana namun kokoh kuat.

Dlbantu Thian Liong, dia membersihkan pondok itu dan bekerja mencangkul dengan tekun setiap hari sehingga beberapa bulan kemudian di depan dan kanan kiri pondok terdapat taman yang penuh tanaman bunga beraneka warna dan belakang pondok terdapat sebuah kebun yang luas. Dia menanam segala macam sayuran, pohon-pohon buah dan juga tanaman obat-obatan.

Tiga empat tahun kemudian, karena kebiasaan dan kesukaan Tiong Lee Cin-jin menolong dan mengobati penduduk dusun sekitar puncak itu yang menderita sakit, dan pengobatannya itu selalu berhasil menyembuhkan, maka dia dikenal sebagai Tabib Dewa!

Kemudian berdatanganlah para penduduk membawa orang sakit ke Puncak Pelangi untuk minta obat kepada Tabib Dewa. Setelah dibutuhkan banyak orang, Tiong Lee Cin-jin menanam lebih banyak lagi tumbuh-tumbuhan yang mengandung obat.

Thian Liong digembleng ilmu silat setiap hari. Anak ini memang rajln sekali, bukan hanya rajin berlatih silat, melainkan juga rajin membantu suhunya sehingga diapun hafal akan semua jenis tanaman obat. Akhirnya Thian Liong juga mempelajari ilmu pengobatan dan suhunya yang bijaksana juga mengajarkan ilmu sastra kepadanya.

Demikianlah, setelah lewat sepuluh tahun, Thian Liong telah menjadi seorang pemuda dewasa berusia dua puluh tahun. Bentuk tubuhnya sedang dan tegap, kulitnya putih karena sejak kecil tinggi di puncak bukit. Rambutnya hitam panjang dan lebat, alisnya berbentuk golok, matanya tajam mencorong namun bersinar lembut, hidungnya mancung dan mulutnya selalu membayangkan senyum penuh pengertian dan kesabaran.

Mukanya agak bulat namun dagunya runcing. Langkahnya tenang dengan tubuh tegak. Pakaian dan sikapnya yang bersahaja dan rendah hati itu sama sekali tidak menunjukkan bahwa pemuda ini seorang yang telah memiliki ilmu yang tinggi, yang membuat dia menjadi seorang sakti yang lihai sekali. Kerendahan hatinya itu wajar, sudah lahir batin dan mendarah daging, karena sudah meresap benar ke dalam jiwanya, nasihat gurunya yang berulang kali sejak dia pertama kali menjadi muridnya.

"Ingat selalu, Thian Liong. Kita manusia ini hanya merupakan seonggok darah daging dan tulang yang lemah dan tidak bisa apa-apa kalau tidak ada Kekuasaan Tuhan yang bekerja dalam diri kita. Karena itu ingatlah selalu bahwa apapun yang dapat kita lakukan dalam hidup ini, baik melalui pikiran, kata-kata dan perbuatan, semua itu hanya mungkin kare-na Kemurahan Tuhan. Tuhanlah yang Maha Kuasa, Maha Pintar, Maha Bisa, Maha Ada, dan Maha Segalanya sejak dahulu, sekarang, kelak dan selama-lamanya. Kita ini hanya menjadi alatNya. Maka ingatlah selalu agar engkau menjadi alat Tuhan yang baik, karena kalau tidak, besar bahayanya onggokan darah daging dan tulang ini akan diperalat oleh Iblis."

Nasihat ini sudah meresap dalam jiwa dan hati sanubari Thian Liong, maka dia selalu merasa bahwa dirinya tidak bisa apa-apa dan kalaupun ada yang dapat dia lakukan, hal itu dapat terjadi karena Kekuasaan Tuhan yang membimbingnya.

Thian Liong mendapat kemajuan pesat dalam ilmu, sastra karena gurunya memiliki banyak kitab kuno yang harus dibacanya sampai habis. Kitab pelajaran filsafat dan agama telah dibacanya semua dan sering kali Tiong Lee Cin-jin mengajak dia merenungkan dan mempelajari inti pelajaran kitab-kitab itu. Thian Liong tahu bahwa gurunya itu condong kepada To-kauw (Agama To) dan pandangan hidupnya banyak dipengaruhi filsafat dalam Kitab To-tek-keng.

Akan tetapi gurunya juga tidak mengesampingkan ajaran-ajaran dari semua agama lain. Diambilnya ajaran-ajaran yang seirama, dan ini banyak sekali, dari agama-agama itu dan dikesampingkannya sedikit perbedaan yang ada mengenai sejarah, kepercayaan, dan upacara.

"Ketahuilah Thian Liong. Yang kita sebut Thian, Tuhan Yang Maha Kuasa itu mutlak Maha Ada dan Maha Benar. Kalau orang-oraog saling membicarakan dan mempertentangkan maka akan timbul bentrokan dan perselisihan. Hal ini terjadi karena mempertentangkan itu adalah hati akal pikiran kita yang sudah diperalat nafsu. Hati akal pikiran kita terlalu kecil sekali untuk dapat mengukur Keberadaan, Kebesaran, dan KebenaranNya.

"Hati-akal-pikiran hanya akan membentuk aku yang selalu minta dibenarkan, aku yang selalu merasa pintar, selalu merasa benar sendiri, paling mengerti. Si-aku yang sesungguhnya bukan lain adalah nafsu, kuasa iblis. Bagaimana mungkin kebenaran hendak diperebutkan?

"Memperebutkan kebenaran itu sendiri sudah jelas tidak benar! Semua agama mengajarkan manusia untuk hidup baik dan bermanfaat bagi dunia dan manusia dan semua agama itu benar adanya karena merupakan wahyu dari Tuhan untuk membimbing manusia agar tidak tersesatdan agar tidak melakukan kejahatan.

"Tentu saja ketika wahyu dlturunkan, manusia menerimanya disesualkan dengan jamannya, kebudayaan bangsanya pada waktu itu, dengan tradisinya dan segalanya. Hal ini tentu akan membuat wahyu-wahyu itu tampak berbeda pada lahirnya. Pakaiannya saja yang berbeda, bahasanya, dan setelah lewat ratusan atau ribuan tahun mungkin pula terjadi perubahan-perubahan dalam bahasa dan penafsirannya.

"Kenapa mesti dicari perbedaannya? Kenapa mesti dipertentangkan? Kenapa mesti membenarkan agama sendiri dan menyalahkan agama yang lain? Tuhan hanya satu. Bahkan satu dl antara jutaan ciptaanNya, yaitu matahari, manfaatnya untuk semua manusia di permukaan bumi, apalagi Tuhan sendiri!

"Tuhan Yang Maha Esa adalah Tuhan semua manusia, tak perduli berbangsa atau beragama apapun, bahkan Tuhan semua mahluk, yang tampak maupun yang tidak tampak, yang bergerak maupun yang tidak bergerak! Lihatlah sebintik lumut. Begitu kecil tak berarti, namun Kekuasaan Tuhan berada dalam dirinya, karena itu ia hidup!"

"Suhu, semua itu telah dapat teecu mengerti. Yang membuat teecu masih belum jelas adalah ucapan suhu dahulu bahwa kita tidak akan dapat merasakan bekerjanya Kekuasaan Tuhan dengan jelas, tidak akan dapat mengerti kalau menggunakan hati akal pikiran kita. Lalu untuk mengerti kita harus bagaimana?"

"Hati akal pikiran itu hanya merupakan gudang penyimpan segala macam pengalaman. la hanya akan mengetahui dan rnengerti apa yang tersimpan dalam ingatannya saja. Selebihnya ia tidak tahu apa-apa. Coba kau cari seorang yang belum pernah kau kenal, tidak kau ketahui namanya, tidak kau ketahui di mana tinggalnya, dapatkah engkau?

"Tidak mungkin, bukan? Itu baru mencari seorang manu-sia! Apalagi mencari Tuhan dan KekuasaanNya! Bagaimana hati akal pikiran akan dapat menemukannya? Nah, karena itu hentikanlah mencari dengan hati akal pikiran, biarkan hening dan rohmu yang akan dapat berhubungan dengan Tuhan. Tuhan itu ROH adanya, bukan mahluk. Melihat kekuasaannya? Buka saja panca inderamu dan perhatikan sekelilingmu.

"Di mana-mana di luar dirimu dan di dalam dirimu, Kekuasaan itu tak pernah berhenti bekerja! Berkah itu terus mengalir tiada hentinya. Lihatlah betapa sebentar saja Kekuasaan itu, atau yang disebut To (Jalan) itu berhenti, akan musnalah alam semesta ini!

"Matamu dapat melihat, hidungmu dapat mencium, telingamu dapat mendengar, jantungmu berdetik, rambutmu tumbuh dan segalanya itu, pekerjaan siapakah? Dapatkah engkau menghentikan tumbuhnya sehelai saja dari rambut di tubuhmu?"

Percakapan seperti inilah yang membuat Thian Liong menjadi rendah hati menghadap Tuhan dan menyerahkan diri sepenuhnya dalam bimbingan KekuasaanNya.

Pada pagi hari itu, setelah melayani gurunya makan pagi dan telah selesai mencuci peralatan makan, Tiong Lee Cin jin memanggilnya. Suhunya sudah duduk di serambi depan pondok mereka, duduk di atas sebuah bangku bambu Tiong Lee Cin-jin tampak termenung. Thian Liong menghampiri gurunya dan duduk dl atas bangku di depan kakek itu sambil memandang gurunya.

Gurunya sekarang tampak segar dan sehat walaupun usia-nya sudah enam puluh tahun. Sepahang matanya tajam bersinar penuh wibawa, senyumnya tak pernah meninggalkan bibirnya. Rambutnya sudah dlhiasi uban, diikat dengan pita kuning. Pakaiannya sederhana sekali, hanya kain kuning yang dilibatkan di tubuhnya. Wajah itu tampak jauh lebih muda dari usia sebenarnya.

Thian Liong tahu bahwa ini adalah hasil dari ketenangan batin yang tak pernah dilanda permasalahan hidup. Bukan berarti bahwa gurunya tidak pernah menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Sama sekali bukan. Seperti ucapan gurunya. Manusia hidup tak mungkin terbebas daripada masalah susah senang selama dia masih mempergunakan pikiran, karena susah senang ini memang permainan pikiran.

Apabila hati akal pikiran tidak bekerja, misalnya di waktu tidur, maka manusia tidak akan lagi merasakan susah atau senang. Gurunya sudah memiliki batin yang kokoh kuat, tenang dan seperti gunung karang, tidak tergoyahkan oleh hantaman gelombang suka dan duka. Gurunya menghadapi semua peristiwa yang menimpa dirinya sebagai suatu hal yang wajar saja.

Sehingga dapat menerimanya sambil tersenyum, tidak mempengaruhi perasaan batinnya. Tidak ada lagi rugi untung bagi Tiong Lee Cin-jin. Bahkan tidak ada lagi susah senang yang mengikuti batinnya. Semua keadaan diterima dengan tenang dan seperti gunung karang menerima gelombang, susah senang lewat begitu saja tanpa bekas.

"Suhu memanggil teccu?'" tanya Thian Liong.

Tiong Lee Cin-jin memandang muridnya dengan sinar mata penuh sayang dan tersenyum. Ada kebanggaan sedikit memancar dari sinar matanya. Bagaimanapun juga, tentu saja kebanggaan dalam hati kakek itu. Selama sepuluh tahun dia menggembleng murid tunggalnya ini dan dia melihat kemajuan yang luar biasa pada diri muridnya ini. Harus dia akui bahwa dia sendiri di waktu muda tidak memiliki bakat sehebat muridnya ini.

Dalam sepuluh tahun, Thian Liong hampir dapat menguasal semua ilmu yang diajarkannya dengan baik. Bukan hanya ilmu silat lahiriah, melainkan juga batiniah. Pemuda itu dapat menghimpun tenaga sakti yang amat kuat. Selain itu, juga batinnya kuat, pengetahuannya mendalam mengenai soal kerohanian.

Bagaimanapun juga, kebanggaan ini hanya terdorong oleh kepuasan hatinya melihat kemajuan muridnya, sama sekali tidak membuat dia menjadi sombong atau tinggi hati, lebih tepat sebagai perasaan bangga dan puas dari seseorang yang melihat hasil pekerjaannya berbuah baik dan memuaskan.

"Thian Liong, engkau tentu sudah dapat menduga apa maksudku memanggilmu. Kalau engkau lupa menghitung, aku ingatkan engkau bahwa telah sepuluh tahun engkau mempelajari ilmu dariku."

Thian Liong menelan ludah untuk menenangkan hatinya yang berdebar. Tentu saja dia mengerti dan masih ingat akan ucapan gurunya dahulu bahwa gurunya akan membimbingnya mempelajari ilmu selama sepuluh tahun.

"Apakah suhu maksudkan bahwa waktunya telah tiba bagi teecu untuk berpisah dari suhu?" tanyanya dengan suara tenang dan sikap biasa saja.

Gurunya mengangguk-angguk. "Benar, Thian Liong. Seperti pepatah dahulu mengatakan bahwa ada waktu berkumpul pasti akan tiba waktu berpisah. Tiada yang abadi di dunia ini dan perubahan memang perlu bagi kehidupan ini. Sekarang tiba saatnya bagi kita untuk saling berpisah, Thian Liong. Engkau perlu untuk turun gunung dan mempraktekkan semua teori pelajaran yang pernah engkau terima dariku. Tanpa diamalkan, apa gunanya semua ilmu yang kau kuasai itu? Dan tanpa diamalkan, sia-sia sajalah engkau bersusah payah selama sepuluh tahun mempelajarinya, Selain itu, aku juga akan memberi beberapa tugas untuk itu."

"Teecu akan senantiasa menaati semua perintah suhu dan teecu akan selalu ingat akan semua nasehat suhu dan akan melaksanakannya dalam langkah kehidupan teecu. Tugas apakah yang hendak suhu berikan kepada teecu?"

"Tentu engkau masih ingat akan tugas hidupmu setelah engkau menguasai ilmu yang selama sepuluh tahun ini kau pelajari dengan tekun di sini. Tugas seorang pendekar yang membela kebenaran dan keadilan, membela mereka yang lemah tertindas dan menentang mereka yang kuat kuasa dan sewenang-wenang.

"Terutama sekali engkau jangan lupa untuk berbakti kepada bangsa dan kerajaan Sung, membantu kerajaan menghadapi kemurkaan bangsa Kin. Itu merupakan tugas umum bagimu yang dapat kau lakukan sepanjang hidupmu. Aku masih mempunyai dua buah tugas untukmu. Pertama, ada beberapa bingkisan kitab yang harus kau serahkan kepada Ketua Kuil Siauw-lim-pai, Ketua Partai Kun-lun-pai, dan ketua partai Bu-tong-pai.

Kitab-kitab itu ada hubungannya dengan ilmu silat mereka, untuk memperdalam dan mematangkan ilmu mereka. Kemudian, sisa kitab-kitab agama dan filsafat agar kau haturkan kepada Sribaginda Kaisar Sung Kao Tsu. Dan yang terakhir, dan ini penting sekali, engkau harus berusaha untuk menyelamatkan Kerajaan Sung dari pengaruh buruk Perdana Menteri Chin Kui...”

"Apakah kesalahan Perdana Menterl Chin Kui maka teecu harus menentangnya, suhu?"

"Aku belum menceritakan kepadamu tentang Jenderal Gak Hui, patriot dan pahlawan sejati itu, Thian Liong. Ketahuilah, Jenderal Gak Hui berhasil membujuk Sribaginda Kaisar untuk memberi ijin kepadanya melakukan penyerbuan ke utara untuk merampas kembali daerah Sung yang telah dikuasai bangsa Kin.

"Sribaginda telah memberi ijinnya, dan Jenderal Gak Hui telah berhasil menyerbu ke utara dan menang dalam banyak pertempuran. Akan tetapi apa yang terjadi? Perdana Menteri Chin Kui membujuk Kaisar untuk memerintahkan Jenderal Gak Hui agar menghentikan serbuan ke utara dan menarik mundur pasukannya!"

"Akan tetapi mengapa begitu, suhu?"

"Menurut berita rahasia yang sempat kudengar, agaknya antara Perdana Menteri Chin Kui dan Kerajaan Kin terdapat persekutuan rahasia. Karena itulah maka perdana menteri yang khianat itu membujuk kaisar dan karena dia memiliki pengaruh yang amat besar maka kaisar berhasil dibujuknya."

"Akan tetapi apakah Jenderal Gak Hui mau menarik mundur pasukannya?" tanya Thian Liong penasaran.

"Jenderal Gak Hui adalah seorang pang lima yang amat setia dan jujur, maka apapun yang diperintahkan kaisar dia pasti tidak mau menolaknya. Dia mematuhi perintah kaisar dan menarik mundur pasukannya walaupun ditangisi rakyat yang tadinya daerahnya dibebaskan dari cengkeraman bangsa Kin. Tentu saja hal itu menghancurkan hati Jenderal Gak Hui sehingga dia tidak segera membawa kembali sebagian dari barisannya ke selatan, melainkan membuat perkemahan di perbatasan."

"Kasihan sekali rakyat yang ditinggalkan dan kasihan Jenderal Gak Hui." kata Thian Liong sambil menarik napas panjang. "Kemudian apa yang terjadi selanjutnya, suhu?"

"Kisah selanjutnya sungguh membuat hati menjadi terharu, Thian Liong. Setelah pasukan Jenderal Gak Hui ditarik mundur, pasukan kerajaan Kin melampiaskan dendamnya kepada rakyat yang tadinya menyambut pasukan Sung dengan gembira. Mereka dianggap membantu pasukan Sung dan setelah mereka ditinggalkan, pasukan Kin menghukum rakyat daerah yang telah dibebaskan kemudian ditinggalkan itu dengan kejam dan sewenang-wenang.

"Banyak rakyat tidak berdosa dibunuh. Para serdadu Kin mendapat kesempatan untuk melampiaskan nafsu mereka dengan alasan mereka menghajar musuh. Mereka merampok, memperkosa dan tidak ada kekejaman yang pantang mereka lakukan."

"Hemm, begitukah kiranya kalau nafsu sudah menguasai manusia, mengubah manusia menjadi lebih kejam daripada binatang buas yang tidak mempunyai akal pikiran."

"Benar, Thian Liong. Ketika Jenderal Gak Hui mendengar laporan ini dia tidak dapat menahan kemarahan hatinya. ia lupa diri bahkan berani melupakan perintah kaisar yang melarangnya menyerbu ke utara. Dia sendiri memimpin pasukannya dan mengamuk, membasmi dan membunuh banyak sekali pasukan Kerajaan Kin."

"Sungguh seorang panglima yang mencinta bangsanya dan gagah perkasa." Thian Liong memuji dengan kagum.

"Memang begitulah. Akan tetapi akibatnya menyedihkan sekali, Thian Liong. Perdana Menteri Chin Kui menjadi marah sekali dan siap menghasut kaisar, mengatakan bahwa Jenderal Gak Hui telah menentang perintah kaisar, berarti telah memberontak dan pantas dihukum mati."

"Ah, suhu! Akan tetapi Jenderal Gak Hui yang gagah perkasa itu tentu tidak mudah ditangkap. Selain gagah perkasa, diapun memiliki pasukan yang amat kuat dan setia, Juga didukung rakyat yang mencintanya." kata Thian Liong penuh harapan.

Gurunya menggeleng kepala dan meng hela napas panjang. "Kenyataannya tidak demikian, Thian Liong. Jenderal Gak Hui di waktu mudanya pernah disumpah oleh ibunya untuk bersetia sampai mati, kalau perlu berkorban nyawa. Karena itu, ketika Kaisar menjatuhkan hukuman mati kepada Jenderal Gak Hui, dia menerimanya dengan hati rela dan menyerahkan diri walaupun para pendukungnya berusaha keras untuk mencegahnya.

"Bahkan kawan-kawannya terdekat yang bertekad hendak menyelamatkannya dari hukuman mati, bahkan dibentak dan dimarahi oleh Jenderal Gak Hui sebagai orang-orang yang tidak setia kepada kaisar! Demikianlah, panglima besar yang setia dan patriotik itu, panglima yang benar-benar seorang pahlawan, telah menemui kematiannya secara menyedihkan, menjadi korban kelicikan Perdana Menteri Chin Kui."

Thian Liong menghela napas panjang. "Ahh, sekarang teecu mengerti mengapa suhu menugaskan teecu untuk menentang pembesar lalim itu dan menyelamatkan kerajaan dari tangannya yang kotor. Teecu akan berusaha sekuat tenaga untuk melaksanakan tugas yang suhu berikan kepada teecu."

"Sekarang kau ambillah peti dari kolong pembaringanku dan bawa peti itu ke sini." kata Tiong Lee Cin-jin.

Thian Liong mengangguk lalu memasuki kamar gurunya dan membawa sebuah peti hitam diletakkan peti itu di depan gurunya. Tiong Lee Cin-jin membuka peti kayu hitam itu. Ternyata peti itu berisi banyak kitab yang sudah tua. Dia mengeluarkan tiga buah kitab.

"Ini adalah sebuah kitab Sam-jong Cin-keng berisi pelajaran dari Ji-lai-hud. Kitab ini harus kau serahkan kepada Ketua Siauw-lim-pai karena Kuil Siauw-lim yang berhak memiliki dan merawatnya, juga mempelajari isinya. Yang ke dua ini kitab Kiauw-ta Sin-na dan pelajaran ini sealiran dengan ilmu cengkeraman dari Bu-tong-pai, maka harus kau serahkan Ketua Bu-tong-pai.

"Yang ke tiga ini adalah kitab inti ilmu Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat, agar kau serahkan Ketua Kun-lun-pai. Dan ini," kakek itu mengeluarkan sebatang pedang dan belasan buah kitab. "Belasan kitab agama dan fllsafat ini harap kau haturkan kepada Sribaginda Kaisar untuk menambah pelajaran akhlak para pejabat, sedangkan pedang ini, lihat nama pedang itu yang terukir di pangkalnya."

Thian Liong mencabut pedang itu. Pedang itu ternyata tumpul, tidak tajam dan tidak runcing! Terbuat dari baja yang berwarna putih gelap seperti kapur. Dia melihat tiga huruf yang terukir pada pangkal pedang itu dan membaca tiga huruf itu, mata Thian Liong terbelalak lebar karena keheranan.

Dia membaca namanya sendiri di situ. Thian-liong-kiam (Pedang Naga Langit)! Mengapa pedang itu bernama presis seperti namanya? Dia menyarungkan pedang itu kembali dan memandang kepada gurunya dengan sinar mata mengandung pertanyaan.

Tiong Lee Cin-jin tersenyum, "Begitulah aku dahulu ketika untuk pertama kali mendengar engkau menyebutkan namamu. Seperti juga engkau sekarang ini, aku terheran-heran. Apalagi ketika itu, ketika kita pertama kali bertemu, aku memandang ke angkasa mellhat awan-awan membentuk seekor naga yang sedang melayang di angkasa. Sungguh suatu kebetulan yang menakjubkan.

"Aku telah menemukan pedang yang namanya Thian-liong-kiam, kemudian aku mendengar namamu juga Thian Liong dan melihat Thian-liong (Naga Langit) terbang di angkasa. Karena itu, maka aku mengambil keputusan untuk memberikan pedang ini kepadamu."

"Akan tetapi, untuk apakah pedang ini, suhu? Suhu selalu mengajarkan bahwa semua anggauta tubuh kita dapat dimanfaatkan untuk melindungi diri, dan benda apapun juga yang tampak dapat kita pergunakan untuk membantu dan menjadi senjata kita."

"Benar sekali dan kenyataannya memang masih seperti itu, Thian Liong. Akan tetapi, pedang ini sudah kutemukan dan benda ini buatan orang sakti, merupakan benda pusaka yang langka. Juga, melihat pedang ini tumpul, tidak tajam dan tidak runcing, aku yakin pembuatnya dahulu tidak mempunyai maksud agar pedang ini dipergunakan untuk melukai atau membunuh orang.

"Ambillah dan engkau dapat mernanfaatkamiya bila perlu. Ketahuilah, bahwa selain pedang ini terbuat dari batu bintang yang lebih kuat daripada baja, juga air rendamannya dapat menawarkan segala macam racun."

"Terima kasih, suhu. Kapah teecu harus berangkat, suhu?" Dalam pertanyaan ini terkandung keharuan karena mengingatkan dia bahwa sebentar lagi dia akan berpisah dari orang yang selama ini bukan saja menjadi gurunya, akan tetapi juga menjadi pengganti orang tuanya, menjadi satu-satunya orang yang menyayang dan disayangnya di dunia ini.

Selain merasa berat untuk berpisah dari orang yang dihormati dan disayangnya itu, dengan siapa selama sepuluh tahun dan hidup bersama, juga ada perasaan iba menyelubungi hatinya mengingat bahwa gurunya yang sudah tua itu akan dia tinggalkan dan hidup seorang diri.

Tidak akan ada yang membantu bekerja di kebun, tidak ada yang melayaninya lagl. Akan tetapi dengan batinnya yang telah menjadi kokoh kuat Thlan Liong dapat menguasai perasaannya sehingga perasaan haru itu tidak tampak pada wajahnya dan tidak terdengar pada suaranya.

"Berkemaslah karena engkau harus berangkat hari ini juga. Hari ini cerah, indah dan baik sekali untuk memulai perjalananmu. Bungkus semua kitab ini dalam buntalan kain agar mudah kau gendong. Jangan lupa bawa semua pakaianmu, juga semua uang hasil penjualan hasil kebun dan sumbangan orang-orang yang berobat itu boleh kau bawa sebagai bekal dalam perjalanan."

"Baik, suhu." Thian Liong segera berkemas, mengumpulkan semua kitab dan pakaiannya menjadi satu buntalan kain kuning. Juga pedang Thian-liong-kiam yang bergagang dan bersarung sederhana itu dia masukkan dalam buntalan, demikian pula uang pemberian suhunya.

Setelah selesai, dia menggendong buntalan kain kuning di pungungnya dan menjatuhkan dirinya berlutut lagi di depan kaki suhunya. "Suhu, haruskah teecu berangkat sekarang?"

"Berangkatlah sekarang juga, Thian Liong."

"Suhu, teecu mohon pamit."

"Mendekatlah, Thian Liong. Biarkan aku memelukmu."

Pemuda itu mendekat dan Tiong Lee Cin-jin lalu merangkulnya. Thian Liong balas merangkul. Dalam rangkulan itu guru dan murid ini merasakan betapa kasih sayang mereka menggetar menjalar dl seluruh tubuh mereka, membuat tubuh mereka gemetar.

"Berhati-hatilah dalam perantauanmu, Thian Liong. Ingatlah selalu kepada Tuhan dan dasari semua tindakanmu dengan penyerahan sepenuhnya atas Kekuasaan Tuhan, waspadalah selalu gerak-gerik lahir batinmu sendiri."

"Akan teecu ingat semua itu, suhu. Harap suhu menjaga diri baik-baik. Selamat tinggal, suhu."

"Selamat jalan, muridku."

Thian Liong bangkit dan melangkah keluar, diikuti pandang mata gurunya. Dia melangkah terus, keluar dari pekarangan, beberapa kali menengok dan melihat gurunya berdiri di ambang plntu depan. Thian Liong melihat gurunya tersenyum. Diapun tersenyum dan seketika rasa sedih dari haru karena perpisahan itu larut dalam senyum. Dia melangkah lebar dan dengan cepat meninggalkan Puncak Pelangi.

Tiong Lee Cin-jin memandang bayangan muridnya sampai lenyap ditelan pohon-pohon. Dia masih tersenyum, akan tetapi kedua matanya basah. Dia berkejap sehingga ada dua titik air mata turun di atas kedua pipinya. Diusapnya air mata itu dengah tangan kanan, kemudian dipandangnya tangan yang basah terkena air mata dan Tlong Lee Cin-jin tiba-tiba tertawa bergelak.

Dia mentertawakan ulah nafsu yang mendatangkan iba diri dan mentertawakan kelemahan itu. Kemudian sambil masih tertawa dla masuk lagi ke dalam rumah dan duduk bersila di atas pembaringan, lalu bernyanyi dengan suara lantang.

"Setelah mengenal keindahan dengan sendirinya mengenal keburukan, setelah tahu akan kebaikan dengan sendirinya tahu pula akan kejahatan. Sesungguhnya ada dan tiada saling melahirkan sukar dan mudah saling melengkapi panjang dan pendek saling mengadakan tinggi dan rendah saling menunjang sunyi dan suara saling mengisi dahulu dan kemudian saling menyusul.

Itulah sebabnya para bijaksana bekerja tanpa pamrih mengajar tanpa bicara. Segala terjadi tanpa dia mendorongnya tumbuh tanpa dia ingin memilikinya berbuat tanpa dia menjadi sandarannya. Walau berjasa dia tidak menuntut Justeru tidak menuntut maka takkan musnah.”

Suara nyanyian Tiong Lee Cin-jin yang mengambil ayat-ayat dari kitab To-tek-keng ini perlahan saja, akan tetapi karena suara itu didorong tenaga khi-kang yang amat kuat, maka suara itu mengandung getaran kuat dan terdengar pula oleh Thian Liong yang sedang melangkah cepat menuruni Puncak Pelangi. Mendengar nyanyian yang sudah dikenalnya itu Thian Liong tersenyum dan dia mempercepat langkahnya menuruni puncak.

* * *

Untuk memenuhi tugas dari gurunya, Thian Liong lalu melakukan perjalanan ke Kun-lun-san. Tempat ini yang paling jauh di antara yang lain, maka dia lebih dulu hendak pergi ke Kun-lun-pai untuk menyerahkan Kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang berada dalam buntalan kain kuning di punggungnya. Setelah itu, baru dia akan pergi ke Bu-tong-pai dan Siauw-lim-pai. Kemudian yang dia akan pergi ke kota raja Hang-chou, menghadap Kaisar Sung Kao Tsu dan menyerahkan tiga belas buah kitab.

Setelah semua kitab dapat dia serahkan kepada mereka yang berhak menerimanya, baru dia akan menyelidiki tentang Perdana Menteri Chin Kui dan kalau ternyata pembesar itu masih merupakan pembesar lalim yang mengancam keselamatan kerajaan, dia akan menentangnya sekuat tenaganya.

Setelah melakukan perjalanan yang amat jauh dan melelahkan, melalui gurun dan pegunungan, akhirnya pada suatu hari dia tiba di kaki pegunungan Kun-lun. Ada sebuah jalan raya yang cukup lebar menuju ke barat dan jalan ini yang biasa dipergunakan para rombongan pedagang yang membawa barang dagangan mereka dari dan ke daerah barat, menuju Tibet, terus ke selatan ke Kerajaan Bhutan Nepal, dan India.

Jalan itu seringkali sunyi, baru ramai kalau musim panas tiba dan para pedagang banyak yang melakukan perjalanan dalam rombongan yang dikawal dengan kuat. Pada hari-hari biasa, yang melewati jalan itu hanyalah penduduk dusun-dusun sekitarnya, para petani, pemburu, dan pencari hasil hutan.

Pagi hari itu Thian Liong berjalan diatas jalan besar, menanti-nanti kalau ada orang yang dapat dia tanyai tentang Kun-lun-pai. Dia sudah kehabisan bekal. Uangnya yang dia dapat dari gurunya tidak berapa banyak dan sudah habis untuk membeli makanan dalam perjalanan selama ini. Gurunya pernah berpesan kepadanya untuk kebutuhan hidupnya dia harus mencarl uang dengan bekerja. Bekerja apa saja asalkan tidak merugikan orang.

Tentu saja dengan mempergunakan ilmu kepandaiannya, dengan mudah dia akan dapat mengambil uang milik orang lain, akan tetapi hal itu berarti merugikan orang lain dan tentu saja dia tidak akan sudi melakukan perampokan atau pencurian. Akan tetapi pagi ini uangnya sudah habis sama sekali, maka dia tidak dapat membeli bekal makanan ketika melewati sebuah dusun pagi tadi.

Ketika dia tlba di sebuah jalan yang terletak di tempat tinggi, dia melihat jauh di depan ada debu mengepul dan terlihat gerakan banyak orang sedang bertempur. Melihat adanya beberapa buah gerobak berdiri tak jauh dari tempat pertempuran itu, Thian Liong dapat menduga bahwa sepihak dari mereka yang bertempur itu tentu rombongan pedagang.

Teringatlah dia akan cerita gurunya bahwa para pedagang jarak jauh itu biasanya dlkawal oleh orang-orang yang pandai ilmu silat karena banyak penjahat yang berusaha untuk merampok barahg dagangan yang berharga mahal itu. Thian Liong lalu berlari cepat menuruni lereng itu dan sebentar saja dia sudah tiba dl tempat pertempuran.

Dia melihat lima orang yang berpakalan sebagai saudagar berdiri ketakutan dekat lima buah kereta penuh barang, bersama lima orang kusir kereta yang juga menonton perkelahian dengan sikap ketakutan. Thian Liong memandang ke arah mereka yang berkelahi. Ternyata yang berkelahi hanya dua orang laki-laki yang dikeroyok oleh belasan orang yang berpakaian sebagai pengawal.

Akan tetapi dua orang yang bersilat pedang itu lihai bukan main. Dikeroyok belasan orang, mereka sama sekali tidak terdesak, bahkan para pengeroyok yang kocar-kacir dan sudah ada iima orang di antara mereka roboh mandi darah. Karena tidak tahu persoalannya, Thian Liong merasa ragu untuk bertindak. Dia tidak tahu siapa yang berada di pihak yang jahat sehingga dia meragu siapa yang harus dibelanya.

Thian Liong lalu menghampiri lima orang saudagar yang bersama lima orang sais berdiri diekat kereta. "Sobat-sobat, apakah yang terjadi?" dia bertanya.

Para saudagar yang tadinya takut melihat Thian Liong mendekati mereka karena mengira karena pemuda itu kawan para perampok, menjadi lega mendengar pertanyaan itu. Akan tetapi karena pemuda itu tampak hanya seperti seorang pemuda dusun yang bersahaja dan lemah, merekapun tidak dapat mengharapkan bantuan darinya.

"Orang muda, pergilah cepat. Dua orang itu adalah perampok yang hendak merampas barang kami dan belasan orang itu adalah para piauwsu (pengawal barang) yang melindungi kami." jawab seorang kusir yang berdiri paling dekat dengan Thian Liong.

Mendengar ini, Thian Liong tidak ragu lagi pihak mana yang harus dia bantu. Dia memandang ke arah perkelahian. Dua orang itu memang lihai sekali. Para piauwsu yang juga mempergunakan pedang sebagai senjata, sudah kewalahan dan terdesak ke belakang. Dua orang itu berusia kurang lebih empat puluh tahun.

Orang pertama bertubuh tinggi kurus dengan muka berbentuk meruncing seperti muka tikus dan orang ke dua bertubuh pendek gendut namun gerakannya tidak kalah cepat dibandingkan kawannya. Kedua orang itu mengenakan pakaian yang sama, seluruhoya berwarna hitam dari sutera halus dan di bagian dada ada, gambar seekor burung rajawali putih.

Thian Liong lari menghampiri pertempuran itu dan mengerahkan tenaga sakti lalu berseru, "Hentikan pertempuran dan tahan senjata!"

Seruannya ini mengandung kekuatan yang memaksa mereka yang sedang bertempur itu masing-masing menahan gerakan dan berlompatan mundur sehingga otomatis pertempuran itu terhenti. Dan orang berpakaian hitam itupun berlompatan ke belakang dengan wajah terheran-heran. Mereka semua kini memutar tubuh menghadapi Thian Liong dengan sinar mata heran dan juga penasaran.

Seorang di antara dua orang perampok itu, yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka tikus membawa sebuah kantung kain biru yang diikatkan di punggungnya. Dia yang kini membentak kepada Thian Liong, "Heh, orang muda! Mau apa engkau menghentikan perkelahian kami?"

Thian Liong berkata dengan sabar, "Sobat, aku mendengar bahwa kalian berdua merampok para saudagar ini sehingga di antara kalian semua terjadi perkelahian yang mengaklbatkan luka bahkan mungkin kematian. Kenapa kalian berdua melakukan kejahatan ini? Kalau memang kalian rnembutuhkan sumbangan, saya kira kalian dapat memintanya dari para saudagar ini dan mereka tentu tidak akan menolak kalian untuk memberi sumbangan."

Dua orang perampok itu terbelalak keheranan, keduanya saling pandang kemudian mereka tertawa geli melihat ulah pemuda yang mereka anggap tolol itu. "Hei, bocah tolol! Menggelindinglah pergi dan jangan mencampuri urusan kami. Kami adalah orang-orang Pek tiauw-pang (Perkumpulan Rajawali Putih) dan kami akan membunuhmu pula kalau engkau tidak cepat pergi dari sini!"

Setelah berkata demikian, dua orang itu sudah menerjang lagi, menyerang para piauwsu yang tinggal berjumlah tiga belas orang itu. Para piauwsu juga menggerakkan pedang mereka dan kembali mereka berkelahi. Suara pedang bertemu pedang berdentlngan dan dua orang yang mengaku sebagai orang-orang Pek-tiauw-pang itu mengamuk.

Thian Liong tertegun, kecewa bahwa dua orang itu tidak mendengar nasihatnya. Akan tetapi sebelum dia turun tangan, tiba-tiba tampak bayangan merah muda berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang gadis yang mengenakan pakaian serba merah muda.

Gadis itu berusia kurang lebih tujuh belas tahun, cantik jelita seperti dewi, dan sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong dan mata itu jeli dan tajam bukan main. la berdiri disitu, tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan memegang sebatang ranting pohon yang masih ada daunnya, lalu terdengar suaranya melengking.

"Sudah lama kudengar akan kejahatan Pek-tiauw-pang! Sekarang aku melihat sendiri dua orang Pek-tiauw-pang merampok. Nonamu ini tidak akan mengampuni kalian!"

Setelah berkata demikian, tubuhnya bergerak cepat sekali seperti seekor burung terbang dan ia sudah melayang dan menyerang dengan ranting pohon itu ke arah si pendek gendut! Biarpun ranting itu hanya sebesar ibu jari kaki, dan panjangnya hanya satu meter, akan tetapi ketika menyambar ke arah kepala perampok pendek gendut, terdengar suara bercuitan dan ranting itu berubah menjadi slnar kehijauan yang menyambar ke arah jalan darah di leher si pendek gendut.

Jagoan Pek-tiauw-pang ini terkejut bukan main karena dia dapat, merasakan, sambaran angin serangan yang dahsyat mengarah lehernya. Itu merupakan serangan maut. Cepat dia mengelak dan melompat ke belakang, akan tetapi ada sehelai daun yang terlepas dari ranting itu dan terbang menampar pipinya,

"Plakk!" Biarpun hanya sehelai daun basah yang mengehai pipinya, akan tetapi terasa cukup nyeri, panas dan pedih. Si pendek gendut menjadi marah sekali. Dia mengeluarkan gerengan dan memutar pedangnya, menyerang ke arah gadis berpakaian merah muda itu. Pedangnya menjadi stnar putih bergulung-gulung yang menyerbu ke arah gadis itu.

Akan tetapi dengan indahnya gadis itu beriompatan menghindar dan terdengar ia mengeluarkan suara tawa merdu yang mengejek. "Hi-hik, manusia macam katak buduk berani melawan nonamu? Engkau sudah bosan hldup!"

Ranting di tangan gadis itu rnenyambar-nyambar, akan tetapi si pendek gendut itupun lihai. Dia dapat menangkis dengan pedang dan balas menyerang. Terdadi perkelahian seru di antara mereka.

Sementara itu, tiga belas orang piauwsu yang melihat betapa si pendek gendut sudah berkelahi melawan gadis baju merah muda yang membantu mereka, kini menyerbu dan mengeroyok si muka tikus!

Perampok tinggi kurus bermuka tikus ini mengerutkan alisnya, memutar pedang melindungi dirinya. Dia tahu bahwa kalau dia seorang diri harus menghadapi pengeroyokan tiga belas orang piauwsu itu, dirinya dapat terancam bahaya. Dia melirik ke arah temannya dan mendapat kenyataan bahwa gadis muda itu lihai sekali, bahkan dengan sepotong ranting agaknya dapat membuat kawannya repot sekali. Tiba-tiba si tinggi kurus melompat jauh ke belakang dan melarikan diri!

Terdengar teriakan yang keluar dari kelompok saudagar itu. "Tolong! Dia membawa semua uang kami dalam kantung biru itu! Kejar dia...!!"

Para piauwsu mengejar, akan tetapi ternyata orang tinggi kurus itu larinya cepat sekali. Melihat dan mendengar ini, Thian Liong lalu melompat ke depan dan melakukan pengejaran. Para piauwsu menghentikan pengejaran mereka karena mereka teringat akan keselamatan lima orang saudagar yang harus mereka lindungi.

Mereka kembali ke tempat itu dan melihat gadis berpakaian merah muda itu masih bertanding melawan perampok gendut pendek, mereka menonton sambil bersiap-siap. Sebagian dari mereka merawat lima orang kawan yang terluka.

Sementara itu, dengan mempergunakan ilmu berlari cepat yang membuat tubuhnya meluncur seperti terbang ketika melakukan pengejaran, sebentar saja Thian Liong sudah dapat menyusul perampok tinggi kurus bermuka tikus yang melarikan diri itu. "Perlahan dulu, sobat!"

Si tinggi kurus itu terkejut bukan main mendengar ucapan ini dan dia melihat bayangan orang berkelebat, tahu-tahu di depannya telah berdiri pemuda yang tadi mencela dia dan temannya karena melakukan perampokan!

Tadinya dia terkejut mengira bahwa yang dapat menyusulnya adalah gadis yang amat lihai itu. Akan tetapi ketlka mendapat kenyataan bahwa pengejarnya hanyalah pemuda tadi yang tampak biasa saja, dia menjadi marah sekali...

Jilid selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.