Kisah Si Naga Langit Jilid 08 karya Kho Ping Hoo - ”AKAN tetapi engkau harus menerima suci Kim Lan menjadi isterimu, sicu. Harus!" kata Ai Yin. Kata terakhir itu mengandung tekanan kuat sekali.

"Harus?" Thian Liong mengerutkan alisnya yang tebal dan memandang Ai Yin dengan sinar mata mengandung rasa penasaran. "Siapa yang mengharuskan?"
"Sumpah, kami yang mengharuskan. Tidak ada pilihan lain bagi suci Kim Lan. Menurut sumpah kami, kami harus menikah dengan lakl-laki yang mampu mengalahkan llmu pedang kami!"
"Aturan gila! Sumpah macam apa itu? Bagaimana kalau laki-laki yang mengalahkan kalian itu sudah tua dan sudah beristeri?"
"Itu merupakan kekecualian. Sumpah kami hanya menyangkut pria yang belum berkeluarga, tua muda tidak masuk hitungan. Dan kami percaya bahwa engkau belum berkeluarga, sicu."
"Hemm, aneh. Bagaimana kalau pria yang mengalahkan kalian Itu tidak bersedia menikah dengan kalian?"
"Menurut sumpah kami, kalau begitu masalahnya, kami harus membunuh pria itu! Jadi tldak ada pilihan laln bagi suci Kim Lan. la harus menlkah denganmu atau kalau sicu menolak, la harus membunuhmu!" kata Ai Yin.
Thian Llong terkejut sekali. "Gila benar! Belum pernah aku mendengar aturan yang lebih gila darl pada ini. Aku sama sekali tldak ada kelnglnan untuk menikah, bagalmana mungkin aku dlpaksanya? Tentu aaja aku menolak untuk memenuhl aturan glla-gilaan Ini. Aku tidak mau menlkah dengan siapapun!"
Tlba-tlba Klm Lan memandangnya dan berkata, suaranya mengandung kekerasan. "Kalau engkau menolak, Souw Thian Liong, berartl penghinaan yang tiada taranya bagiku. Aku akan membunuhmu atau engkau harus membunuhku karena engkau telah menodai dan mencemarkan nama dan kehormatanku!"
Thian Llong membelalakkan matanya. ”Aih! Apa pula ini? Aku tidak pernah menyentuhmu, bagalmana engkau dapat mengatakan bahwa aku menodal dan mencemarkan kehormatanmu?"
"Ini sudah menjadi sumpahku. Tidak ada plllhan lain baglku. Aku harus menjadl isterimu atau terpaksa aku akan mengadu nyawa denganmu!" Setelah berkata demikian Kim Lan mencabut pedangnya.
"Wah... ini gila! Nona Klm Lan. Engkau tidak aan memang melawan aku, dan aku dapat lari meninggalkanmu dengan mudah. Engkau tldak akan dapat mengejar atau membunuhku."
"Aku akan terus mencarimu, memperdalam llmuku dan selalu berusaha untuk membunuhmu!" kata Kim Lan.
"Dan aku akan membantu suci untuk membunuhmul" kata pula Ai Yin sambil inencabut pedangnya.
"Wah-wah, kalian ini sudah tidak waras lagi. Nona-nona, kalian adalah, orang-orang muda, bagaimana berpendirian begini kolot? Perjodohan hanya ditentukan oleh cinta atau kesepakatan kedua pihak, sama sekali tidak boleh main paksa."
"Kita diikat oleh sumpah!" jawab kedua orang gadis cantik itu berbareng.
"Kalau engkau tetap gagal dalam usahamu untuk membunuhku, bagaimana, nona Kim Lan?" Thian Liong bertanya.
"Kalau selalu tetap gagal, tidak ada jalan lain bagiku kecuali membunuh diri atau dibunuh guruku."
"Gila....! Thian Liong berteriak. "Kalian gadis-gadis muda sudah menjadi korban keganasan seorang nenek gila!"
Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan Biauw In Suthai sudah berada di depan Thlan Llong. "Bocah she Souw! Engkau berani memaki aku nenek glla? Murld-muridku memenuhi sumpahnya, berarti mereka adalah orang-orang gagah sejatl yang setia kepada gurunya. Akulah yang akan membantu Kim Lan membunuhmu kalau engkau menolak menjadi suaminya!"
"Dunia sudah miring! Kalian orang-orang tidak waras!" Thian Liong berseru sambil menyambar buntalan pakaiannya dengan tangan kiri dan siap membela dlri dengan pedang Thian-liong-kiam di tangan kanan.
"Bunuh jahanam ini" Biauw In Suthai berteriak dan tiga orang wanita itu menggerakkan pedang di tangan mereka. Tampak tiga sinar kilat menyambar dengan dahsyat ke arah Thian Liong.
Demikian cepat seperti kilat menyambarnya tiga pedang itu sehingga Thian Liong terpaksa membuang diri ke belakang lalu bergulingan menjauh dan cepat dia melompat bangkit kembali. Melihat tiga orang wanita Itu sudah hendak menerjangnya lagi dengan pedang diputar di atas kepala, Thian Liong cepat menyimpan pedangnya dan mengerahkan tenaga sakti, mendorong ke arah mereka dengan kedua telapak tangan.
"Wuuutttt....!!" Angin yang kuat sekali menerpa tiga orang wanita itu. Mereka merasa terkejut sekali dan berusaha menahan, namun mereka tidak kuat dan tetap saja tubuh mereka terdorong angin dan terhuyung-huyung ke belakang. Bahkan Ai Yin yang agaknya paling lemah dl antara mereka bertiga, terguling roboh. Walaupun mereka tldak terluka, namun mereka terkejut sekali dan ketika mereka memahdang ke depan, ternyata pemuda itu telah menghilang dari situ.
Melihat itu, Kim Lan menjatuhkan diri berlutut dl depan kaki subonya dan menangis. "Subo, teecu (murid) dltolak seorang laki-laki dan teecu tidak mampu membunuhnya. Sllakan subo menghukum dan membunuh teecu, teecu pasrah...."
Blauw In Su-thai menghela napaa panjang. tangan kanan maslh memegang pedangnya. Pada saat itu, Ai Yin yang mencinta suclnya Juga ikut berlutut di depan kaki Biauw In Suthai dan berkata, "Subo, suci tidak bersalah. Ia sudah berusaha membunuh Souw Thian Liong, bahkan teecu dan subo sendirl juga sudah membantunya. Namun, orang itu terlalu tangguh."
"Hemm, menurut sumpahmu sendiri, laki-laki itu adalah jodohmu dan kalau dia menolak, engkau berusaha untuk membunuhnya. Pergilah dan usahakanlah agar engkau dapat membunuh dia, dan jangan sekali-kali engkau berani kembali menghadapku di sini sebelum engkau mampu membunuhnya!" kata nenek itu, kemudian sambil mendengus marah, ia memutar tubuhnya dan menlnggalkan tempat itu.
Kim Lan masih terisak dan menghapus air matanya. Mukanya menjadi pucat dan ia memandang wajah sumoinya dengan sedih. "Sumoi, selamat tinggal, aku hendak pergi dan berusaha memenuhi sumpahku, sampai aku berhasil atau mati." Setelah berkata demikian, Klm Lan memballkkan tubuhnya dan berlart cepat meninggalkan sumoinya.
"Suci, tunggu....ll" Ai Yin melompat dan melakukan pengejaran.
Kim Lan berhenti. Mereka berdiri berhadapan. "Ada apakah, sumoi?"
"Suci, aku Ikut pergi denganmu."
Kim Lan membelalakkan matanya, kemudian mengerutkan allsnya yang Indah bentuknya. "Ah, sumoi! Engkau tidak boleh! Subo akan marah sekali kepadamu'"
"Biarlah, suci. Aku tidak tahan lagi dihantui sumpah kita itu, apalagi setelah melihat akibatnya kepadamu! Aku tidak mau kelak sepertimu, suci. Dan ingat, yang disumpah subo hanyalah kita berdua, karena itu aku harus membantumu dan membelamu. Bukankah engkau akan membelaku juga kalau aku tertimpa masalah seperti engkau sekarang ini? Suci, kita berdua sudah yatim piatu, tidak mempunyai siapa-siapa lagi. Kita berdua sudah seperti saudara sendiri, sejak kecil hidup bersama. Ah, kalau aku tahu akan begini jadinya, dahulu aku tidak akan mau bersumpah, biar tidak menguasai Tian-lui-kiam-sut juga tidak mengapa."
"Sumoi....!" Kedua orang gadis itu berangkulan dan menangis. Tak lama kemudian, dua orang gadis itu sudah menuruni lereng pegunungan Kun-lun-san. Ai Yin ikut pergi bersama sucinya untuk. membantu sucinya mencari Thian Liong, untuk membunuh pemuda itu atau kalau: gagal mereka yang akan dibunuh guru mereka! Tentu saja, kecuali kalau pemuda itu mau menikahinya.
Sementara itu, di balik sebuah batu besar, Biauw In Suthai berdiri dan dengan punggung tangan kirinya ia mengusap kedua matanya untuk menghapus beberapa butir air mata yang membasahi pelupuk matanya. Nenek yang keras hati seperti baja itu menangis, walaupun tak bersuara dan hanya beberapa butir air mata membasahi pelupuk matanya!
Kalau saja ada murid Kun-lun-pai melihatnya, pasti mereka akan menjadi gempar dan terheran-heran. Hati Biauw In Suthai terkenal keras dan kaku, bahkan ketika ia kematian gurunyapun tak sebu-tir alr mata keluar dari matanya yang selalu bersinar keras. Akan tetapi pada saat itu, di mana tidak ada orang lain menyaksikannya.
Ia merasa hatinya seperti ditusuk-tusuk pedang dan ia tidak dapat menahan ketika beberapa butir air mata membasahi kedua matanya. Itupun cepat-cepat butir-butir air mata itu dihapusnya. Kemudlan dengan tubuh terasa lemah lunglal ia menjatuhkan dlrl duduk dl atas tanah berumput dan bersila. Pikiannya melayang-layang ke masa lalu.
Ia pernah muda. Lama sebelum menjadi pendeta dan tokoh besar tingkat tiga Kun-lun-pai. la pernah jatuh clnta. Bahkan tlga kali la jatuh cinta! Namun ke tiga kallnya gagal. Selalu saja la dlsila-siakan, ditinggal pergi suaminya yang menikah dengan wanlta lain. la merasa seakan bunga layu yang dibuang setelah sari madunya dihisap habis. la tldak pernah mempunyai anak dari tiga kali menjadi isteri orang.
Mulailah la merasa benci kepada laki-laki. Demikian mendalam rasa sakit hatinya sehingga la memperdalam ilmu silatnya dan setelah menjadi seorang ahli silat yang pandai, ia mencari ketiga orang laki-laki bekas suaminya yang menyia-nyiakan dan membunuh mereka! Kemudian sebagai seorang pendekar wanita.
Ia melanglang-buana dan selalu membunuh penjahat tanpa ampun. Akan tetapi yang dibunuhnya selalu prial Prla yang menjadl penjahat, terutama sekall la selalu memburu para jai-hwa-cat (penjahat pametik bunga atau pemerkosa wanlta) dan tanpa ampun membunuhnya dengan sadis!
la baru menghentikan kebiasaannya yang menggemparkan dunla perailatan itu setelah ta bertemu dengan Kui Beng Thaisu yang sekarang menjadl Ketua Umum Kun-lun-pai. la dlkalahkan dengan mudah oleh pendeta Kun-lun-pal itu, bahkan lalu menerlma bimblngan dalam llmu silat dan juga tentang kerohanlan.
Akhirnya, karena ia maju sekali, bukan saja dalam llmu sllat, melainkan juga dalam soal kerohanian sehingga la tldak lagi menjadl ganas dan kejam, bahkan pantang untuk sembarangan membunuh, Kui Beng Thaisu yang melihat bakat baik darl wanita ini untuk menjadl pelatlh llmu sllat, alu mengangkatnya sebagai pimpinan bagian murid Kun-lun-pai wanita, menjadi pembantu Hui In Sian-kouw yang menjadi ketua bagian murld wanita.
Kemudian Biauw In Suthai memilih dua orang gadis yatim piatu menjadi murid pribadinya, yaitu Kim Lan dan Ai Yin. Selama hampir sepuluh tahun ia mendidik dua orang gadis ini, bahkan menurunkan ilmu pedang Tian-lui-kiam-sut yang tidak dapat diajarkan kepada sembarang murid. Untuk itu, ia mengharuskan dua orang murid ini melakukan sumpah seperti yang telah kita ketahui.
Sumpah itu menunjukkan betapa benci ia kepada kaum pria dan sesungguhnya ia tidak rela kalau dua orang murid yang disayangnya seperti anak-anaknya sendiri itu menjadi isteri orang hanya dengan bahaya kelak akan mengalami nasib seperti dirinya, yaitu disia-siakah suami dan ditinggal pergi! Kalau ada pria yang mampu mengalahkan Thian-lui-kiam-sut, berarti pria itu sakti dan hal ini dapat menguntungkan ia atau pihak Kun-lun-pai.
Pria yang menjadi suami muridnya itu dapat mengajarkan ilmu-ilmunya yang sudah dapat mengalahkan Tian-lui-kiam-sut sehingga mutu ilmu silat Kun-lun-pai dapat meningkat. Akan tetapi kalau pria itu menolak mengawini murid yang dikalahkannya, muridwa harus membunuh laki-laki itu. Inilah merupakan jalan baginya untuk membalas dendamnya kepada kaum pria yang dibencinya! Juga untuk menguji kesetiaan dua orang murid yang dikasihinya itu.
Semua ilmunya telah ia berikan dan ia menuntut agar dua orang muridnya itu berbakti dan setia kepadanya. Akan tetapi, ketika diam-diam ia mengintai dan melihat betapa dua orang muridnya itu pergi meninggalkannya untuk berusaha mengejar dan membunuh Souw Thian Liong. Hati pendeta wanita itu merasa sedih sekali.
Dendam sakit hati merupakan racun jahat yang akan merusak batin sendiri. Dendam sakit hati menimbulkan kebencian dan nafsu kebencian membuahkan kekejaman, menghilangkan prikemanusiaan karena kebencian bagaikan api baru dapat dipadamkan oleh tindakan buas untuk mendatangkan siksaan bahkan pembunuhan terhadap orang yang dibenci.
Namun yang diderita oleh Biauw In Suthai bukan hanya dendam kebencian karena disia-siakan pria selama tiga kali saja, terutama sekali dendam ini dikobarkan karena pada terakhir kalinya, yaitu ketika ia bertemu dengan pria ke empat dan ia jatuh cinta secara mendalam, pria itu tidak membalas cintanya karena medgetahui bahwa ia telah menjadi janda tiga kali! Kekecewaan ini merupakan puncak penderitaannya karena harus diakuinya bahwa pada pria ke empat ini ia benar-benar jatuh cinta.
Selagi Biauw In Suthai tenggelam ke dalam kesedihan, tiba-tiba ia mendengar teguran suara yang lembut. "Biauw In, ada apakah dengan engkau?”
Nenek itu terkejut bukan main. Orang datang begitu dekat di belakangnya dan ia tldak mengetahuinya! Hal Ini menunjukkan betapa hebat gin-kang (ilmu meringankan tubuh) orang itu. Akan tetapi ketlka ia bangkit dan memutar tubuh, la melihat bahwa dl situ telah berdiri seorang kekek yang jangkung kurus, berjenggot panjang, berambut putlh, yang bukan lain adalah Kui Beng Thaisu sendiri, Ketua Umum Kun-lun-pai, penolong dan juga pembimbingnya.
la maklum bahwa kepada kakek ini ia tidak dapat menyembunyikan sesuatu. Kakek iitu andah berada di situ, tentu telah mengetahui akan kepergian dua orang muridnya tadi, bahkan mungkin sudah mengetahui pula tentang Souw Thian Liong! Maka, iapun segera menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu, menahan tangisnya. Saking sedihnya, ia tidak dapat mengeluarkan kata-kata.
"Sumoi, tenangkan batinmu dan ceritakanlah kepadaku, apa yang telah terjadi sehingga engkau tenggelam dalam kesedihan?"
Kui Beng Thaisu adalah orang yang menyadarkan nenek itu yang dahulu masih seorang wanita muda berusia tiga puluh tahun bernama Blauw In. Juga dia yang memberi pendidlkan dan bimbingan kepadanya. Akan tetapi karena pada waktu itu gurunya masih hidup dan Biauw In diterima sebagal murid Kun-lun-pai, mellhat tingkat kepandaiannya sudah tinggi.
Maka dia menyebut sumoi (adik perempuan seperguruan) kepada Blauw In Suthai dan nenek ini menyebutnya suheng (kakak laki-laki seperguruan). Dan setelah guru mereka meninggal, Kui Beng Thaisu menggantikan kedudukan ketua dan dia mengangkat Biauw In Suthai menjadi wakil ketua bagian murid wanita.
Biauw In Suthai menenangkan hatinya dan beberapa kali menghirup napas panjang sambil mengheningkan cipta. Setelah merasa hatinya tenang, ia bangkit berdiri dengan perlahan.
"Mari duduk di sana dan engkau keluarkanlah semua masalah yang merisaukan hatimu, sumoi," kata kakek itu.
Biauw In Suthai mengangguk dan kedua-nya lalu menghampiri sekumpulan batu tak jauh dari situ lalu masing-masing duduk di atas sebuah batu. "Maafkan kelemahanku, suheng. Semua itu terjadi demikiah cepatnya dan dalam waktu singkat terjadi demikian banyak perubahan. Mula-mula aku melihat munculnya seorang pemuda di depan asrama puteri para murid Kun-lun-pai. Tentu saja aku curiga kepadanya dan selain menergurnya aku juga menguji ilmu kepandaiannya karena kulihat dia memiliki ilmu berlari cepat yang hebat."
"Sian-cai (damai)..... Kenapa engkau masih juga belum dapat melunakkan hatimu yang keras itu, sumoi?"
"Aku berniat mengujinya saja, suheng. Ternyata dia memang lihai sekali. Suci Hui In Siankouw datang dan melerai. Atas pertanyaan suci, pemuda itu mengaku bernama Souw Thian Liong dan dia murid Tiong Lee Cin-jin."
"Murid Tiong Lee Cin-jin? Ahh, tidak aneh kalau dia lihai sekali. Akan tetapi apa keperluan murid Tiong Lee Cin-jin datang berkunjung?"
"Tadinya dia memang hendak menghadap suheng, akan tetapi dia tersesat ke asrama bagian puteri. Suci Hui In mewakili suheng dan dia bercerita kepada suci, bahwa dia diutus Tiong Lee Cin-jin untuk menyerahkan sebuah kitab kepada suheng. Kitab itu bukan lain adalah Kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat,"
"Siancai....!" Kui Beng Thaisu berseru kagum. "Jadi Tiong Lee Cin-jin telah berhasil menemukan kitab pusaka kita yang telah hilang ratusan tahun yang lalu itu dan mengembelikan kepade kita? Bukan main. Sungguh beliau seorang yang sakti den bijaksana sekali!"
"Akan tetapi kelanjutan ceritaku tidak begltu menyenangkan, suheng. Pemuda she Souw itu mengatakan bahwa baru saja kitab pusaka kita itu dicuri orang."
"Sian-cai...! Siapa yang mencurinya?"
"Itulah, suheng, Dia sendiri tidak tahu siapa yang mencurinya. Aku menganggap dia berbohong dan hendak menyembunyikan kitab itu. Aku hendak menyerangnya dan memaksanya mengaku di mana kitab itu, akan tetapi suci Hui In melarangku."
"Sucimu benar, sumoi. Pemuda Itu tidak mungkin menyembunyikannya. Dia sudah berani datang menceritakan tentang kehilangan kitab itu, berarti dia jujur. Apakah dia tidak mengatakan pertanggungan-jawabnya atas kehilangan itu?"
"'Dia mengatakan bahwa dia akan mencari kitab itu sampai dapat."
"Nah, Itu sudah cukup. Kitab pusaka itu sudah ratusan tahun lenyap. Tiba-tiba saja ditemukan Tiong Lee Cin-jin yang mengutus muridnya untuk mengembalikan kepada kita. Kalau kitab itu dlcuri orang, hal itu merupakan sebuah kecelakaan. Tiong Lee Cin-jin adalah seorang yang sakti dan bijak, tentu muridnya juga seorang yang gagah perkasa. Lalu, apa yang menyebabkan engkau bersedih?"
Biauw In Suthai menduga bahwa suhengnya tentu sudah tahu akan kepergian dua orang muridnya, bahkan mungkin tahu pula akan pertandingan tadl. "Ketika Souw Thian Liong turun dari puncak, aku bersama Kim Lan dan Ai Yin sengaja menghadangnya, suheng."
"Hemm, apa lagi yang kau lakukan bersama dua orang muridrnu itu, sumoi?"
"Aku menantang pemuda itu untuk bertanding pedang melawan muridku Kim Lan. Muridku itu sudah dewasa, sudah berusia sembilan belas tahun, dan pemuda murid Tiong Lee Cin-jin itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, suheng. Aku yakin bahwa pemuda itu pasti dapat mengalahkan Kim Lan dan aku ingin dia menjadi jodoh Kim Lan."
Kui Beng Thaisu mengerutkan alisnya yang putih. Dia memandang sumoinya dengan sinar mata lembut namun penuh keheranan. "Hemm, kalau hendak menjodohkan muridmu, kenapa harus mengadu mereka? Apakah maksudmu sebenarnya, sumoi?"
Nenek itu menundukkan mukanya. Terpaksa ia harus menceritakan rahasianya dengan dua orang muridnya itu. Suaranya lirih ketika ia menjawab, "Ketika dua orang muridku berlatih Tian-lui-kiam-sut mereka telah bersumpah bahwa mereka hanya mau menikah dengan pria yang mampu mengalahkan ilmu pedang mereka itu."
"Hemm, bagaimana engkau dapat menyuruh mereka bersumpah seperti itu? Bagaimana kalau pria yang mengalahkan mereka itu tidak mau menikah dengan mereka?"
Suara Biauw In Suthai semakin lirih ketika menjawab, "Kalau pria yang mengalahkan mereka tidak mau memperistri mereka, maka mereka harus membalas penghinaan itu dengan membunuhnya!"
"Siancai....!" Kui Beng Thaisu berseru dan alisnya berkerut. "Kemudlan bagaimana?"
"Kim Lan bertanding dengan Souw Thian Liong dan la kalah. Karena pemuda itu menolak untuk berjodoh dengannya, Kim Lan, menyerangnya dan hendak membunuhnya memenuhi sumpahnya, akan tetapi pemuda itu melarikan diri. Kini Kim Lan dan Ai Yin... mereka.... pergi untuk mencari dan membunuh pemuda itu...."
Kui Beng Thaisu terkejut dan menggeleng-geleng kepalanya sambil mengelus jenggotnya yang putih panjang. Kemudian dia mengangguk-angguk. "Hemm, tidak kusangka bahwa penyakit dendammu terhadap kaum pria ternyata telah berakar dalam batinmu sehingga diam-diam telah meracunimu. Racun itu pada akhirnya akan merusak dirimu sendiri. Buktinya sekarang telah mengorbankan kedua muridmu yang kau sayang seperti anak-anakmu sendiri.
"Ah, Biauw In sumoi, kiranya semua pelajaran yang telah kuberikan kepadamu selama puluhan tahun ini, hanya mampu menghilangkan kebuasanmu saja, akan tetapi tidak pernah dapat melenyapkan dendanimu terhadap pria. Alangkah sayangnya. Aku, sungguh merasa kecewa sekali, sumoi. Engkau tega mengorbankan muridmu sendiri untuk melamplas-kan dendam hatlmu terhadap pria."
Mendengar ucapan suhengnya yang sudah dlanggapnya sebagal gurunya sendlri, penolongnya dan orang yang selama kurang teblh dua puluh tahun membimbingnya, yang cllkeluarkan dengan nada sedih Itu, Biauw In Suthai menundukkan mukanya yang menjadi pucat dan ia menguatkan perasaannya agar jangan sampal menangis.
”Maafkan aku, suheng. Maafkan aku. Setelah kedua orang muridku pergi, baru aku menyadari bahwa aku telah membuat mereka menderita. Aku telah membuat dua orang yang kusayang seperti anak-anakku sendiri itu hidup merana. Sesungguhnya, selama ini aku sudah berusaha untuk menekan nafsu dendam kebencianku.
"Aku menyumpah kedua orang muridku itu hanya untuk menjaga agar mereka berdua memperoleh suami yang berilmu tinggi, yang lebih tangguh daripada mereka. Aku ingin mereka mendapatkan suami seorang pendekar. Akan tetapi setelah aku mendengar bahwa Souw Thian Liong itu murid Tiong Lee Cin-jin.... ah, aku menjadi lupa diri, terbakar oleh perasaan sakit hatiku...."
"Eh? Apa hubungan sakit hatimu dengan Tiong Lee Cin-jin?" tanya ketua Kun-lun-pai itu dengan heran.
Biauw In Suthai tetap menundukkan mukanya dan menjawab dengan lirih. "Tiong Lee.... Bu Tiong Lee.... dialah laki-laki terakhir dalam hidupku, dialah yang mengobarkan sakit hatiku terhadap tiga orang suamiku yang terdahulu seperti yang pernah kucerltakan kepada suheng...."
"Siancai....! Jadi Tlong Lee Cin-jin di waktu beliau masih muda itukah pria yang pernah membuat engkau jatuh cinta, kemudian engkau kecewa dan patah hati karena dia tidak membalas cintamu, bahkan meninggalkanmu begitu saja? Biauw In, Biauw In! Sungguh engkau telah tersesat jauh. Bagaimana mungkin engkau dapat mengharapkan seorang pemuda arif bijaksana sepertl Tiong Lee Cin-lin untuk jatuh cinta padamu?
"Beliau adafah seorang yang menyerahkan seluruh kehidupannya untuk mengembangkan pelajaran tentang agama, tentang rohaniah, dan beliau adalah seorang manusia yang telah mampu menundukkan semua nafsu daya rendah dalam dirinya. Jadi, engkau ingin murid-muridmu dapat membunuh Souw Thian Liong karena dia itu murid Tiong Lee Cin-jin, untuk melampiaskan sakit hati dan kekecewaanmu?"
"Maafkan aku, suheng. Sesungguhnya, bukan itu satu-satunya tujuanku. Andaikata pemuda itu menerima dan mau menjadi suami Kim Lan, berartl aku berbesan murid dengan Tiong! Lee Cin-jin dan Kun-lun-pai menjadi bertambah kuat karena mendapat tambaha'n tlmu melalui suami Kim Lan. Akan tetapi pemuda itu menolak sehingga Kim Lan pergi hendak mencari dan membunuhnya, dan Ai Yin ikut sucinya untuk membantu."
"Hemm, dorongan nafsu dendam kebencianmu telah membuat engkau menjadi seorang wanita yang tidak berperasaan dan tidak berperikemanusiaan lagi, membuat engkau tega untuk mengorbankan murid-murid sendiri, tega pula untuk menyuruh murid-muridmu membunuh orang-orang tidak berdosa.
"Sekarang nafsu jahatmu telah terlaksana, engkau membuat murid-muridmu bermusuhan dengan murid Tiong Lee Cin-jin. Seharusnya engkau merasa puas dan setan dalam dirimu bersorak-sorai kegirangan, mengapa engkau malah menjadi sedih dan menangis?"
Biauw In Suthai tidak kuat bertahan lagi. la turun dari atas batu dan menjatuhkan diri berlutut di depan batu yang diduduki Kui Beng Thaisu sambil menangis. Kini tangisnya adalah tangis aseli, tangis wajar seorang wanita tua yang merasa sedih dan penuh penyesalan diri, terisak-isak dan air mata bercucuran dari kedua matanya, mengallr di sepanjang pipinya yang pucat.
Seolah-olah bendungan yang dibentuk oleh kekerasan hati sejak bertahun-tahun dan menjadi bendungan baja yang amat kuat itu tiba-tiba pecah dan wanita itu menangis sampai sesenggukan. Beberapa lamanya Kui Beng Taisu hanya memandang sambil mengelus jeriggotnya yang putih panjang, mengangguk-angguk sendiri karena diam-diam dia maklum bahwa akhirnya dia berhasil mencairkan hati yang mengeras seperti baja itu.
Dia maklum bahwa tangislah merupakan obat yang amat manjur bagi penyakit yang diderita sumoinya itu. Kalau tidak dapat menangis, terdapat ancaman bahaya besar bagi kesehatan wanita itu. Kehancuran perasaan sehe-bat itu dapat membuat ia jatuh sakit berat atau bahkan mendatangkan guncangan dan tekanan batin yang dapat membuat ia menjadi gila.
Blauw In Suthal sepuasnya menumpahkan semua penyesalan dan kesedihan hatlnya mclalul tanglsnya. Satelah hatinya terasa ringan dan tangisanya mereda. la mengusap mukanya yang basah itu dengan ujung lengan bajunya yang sudah basah pula, kemudian ia berkata llrih.
"Suheng, anipunkan aku, suheng...."
"Engkau tahu, sumoi bahwa engkau tidak bersalah kepadaku. Engkau bersalah kepada Thian (Tuhan) dan kepadanyalah engkau harus minta ampun. Akan tetapi minta ampun saja tidak ada gunanya, sumoi. Permohonan arnpun kepada Tuhan haruslah disertai pertaubatan dan taubat yang sesungguhnya bukan hanya timbul dalam hati dan pikiran.
"Bukan hanya terucapkan oleh mulut, melainkan harus dibuktikan dalam tindakan, dalam perbuatan. Hati dan pikiranmu haruslah dicuci bersih dari dendam sakit hati itu dan pertaubatanmu harus terbukti dengan tidak mengulangi lagi plkiran dan perbuatan yang telah kau lakukan itu. Inipun belum cukup.
"Kesadaranmu dan penyesalang hatimu harus dibuktikan dengan relanya engkau menerima hukuman atas segala kesalahanmu itu dalam bentuk keprihatinan. Kalau tidak, maka semua penyesalanmu itu tidak ada gunanya karena akar kebencian masih tetap hidup dalam batinmu dan sewaktu-waktu dapat menumbuhkan tunas baru."
"Aku mengerti, suheng, dan aku siap menerima hukuman apapun yang suheng berikan kepadaku."
"Bagus kalau begitu. Mulai hari ini engkau harus tinggal dalam pondok peng-asingan selama tiga tahun!"
Biauw In Suthai menundukkan mukanya. "Aku menerima hukuman itu dengari rela, suheng."
"Sukurlah kalau begitu. Nah, pergilah ke pondok pengasingan' kita dan sampai bertemu kembali tiga tahun kemudian."
Biauw In Suthai memberi hormat lalu berjalan pergi mendaki puncak sambil iinenundukkan mukanya. Tentu saja ia mengenal pondok pengasingan itu. Merupakan sebuah pondok terpencil agak jauh di belakang kompleks bangunan Kun-lun-pai, sebuah pondok sederhana dan kosong di mana seorang murid yang terhukum harus melewatkan hari-harinya dengan berprihatin dan bersamadhi.
Tidak diperkenankan meninggalkan pondok yang sunyi itu sebelum masa hukumannya habis. Menyepi sendiri dan untuk makanannya yang sederhana, setiap pagi seorang murid bertingkat paling rendah mengantarkan makanan itu dan menaruhnya di depan pintu.
Kui Beng Thaisu mengikuti bayangan sumoinya dengan pandang mata, kemudian dia mengelus jenggotnya dan menghela napas panjang. "Sian-cai... semoga Thian menolongnya dan membebaskannya dari tekanan nafsu kebencian."
Thian Liong tiba di daerah Pegunungan Bu-tong-san. Karena senja telah tiba, ketika dia memasuki sebuah dusun yang cukup besar dan di situ terdapat sebuah rumah pengihapan sederhana, dia memasuki rumah penginapan merangkap rumah makan Itu. Tadinya dia mengira bahwa tempat itu hanya merupakan rumah ma kan dan dia hanya ingin makan dan bertanya-tanya di mana dia bisa mendapat-kan tempat untuk bermalam. Pelayan yang menyambutnya tersenyum mendengar pertanyaannya.
"Tuan mencari tempat untuk menginap? Di sinilah tempatnya. Kami mem-punyai beberapa buah kamar yang kartii sewakan kepada para tamu dari luar dusun. Selain di sini tidak ada tempat lain yang menyewakan kamar!"
Thian Liong menjadi girang. Dia tidak jadi mencuri makanan karena hendak mandi lebih dulu, dan dia minta diantar ke sebuah kamar yang akan disewanya untuk malam itu. Ternyata kamar itu walaupun kecil namun, bersih dan tempat tidurnya yang sederhana juga cukup bersih. Ada pula karriar mandi di situ dan Thian Liong segera mandi dan ber-ganti pakaian bersih.
Dia bersiap-siap untuk keluar dari kamar menuju ke rumah makan yang berada di ruangan depan. Dia harus membawa kantung uang emas dan pedangnya, karena kalau ditinggalkan di dalam kamar, ada kemungkinan barang-barang berharga itu akan dicuri orang.
Dia mengikatkan pedang di belakang punggungnya dan mengikatkan kantung emas di pinggangnya, meninggalkan buntalan pakaiannya di atas meja dalam kamar. Pada saat itu dia mendengar suara merdu wanita di luar kamarnya, bicara dengan suara pelayan yang telah menerimanya tadi.
Berdebar rasa jantung Thian Liong. Segera dla teringat akan gadis yang dijumpainya di Kun-lun-san dahulu Itu, maka cepat dia membuka daun pintu kamarnya dan melangkah keluar. Hampir saja dia bertabrakan dengan seorang gadis berpakaian serba hljau.
Namun dengan gerakan ringan dan gesit sekali gadis itu mengelak dan mencondongkan tubuh ke kiri sehlngga tidak terjadl tabrakan. Thian Liong mencium bau harum bunga mawar ketika gadis itu membuat gerakan menghindar.
"Ah, maafkan aku, nona!" katanya dan dia melihat bahwa gadls ini bukan gadis yang dljumpalnya dl Kun-lun-san dahulu itu.
Memang keduanya sebaya, kurang lebih delapan belas tahun, sama-sama cantik jelita, wajahnya agak bulat, memiliki daya tarik yang kuat, terutama sekali sepasang matanya yang indah dengan kerling tajam memikat dan bibirnya yang menggairahkan dengan senyumnya yang semanis madu. Gadis itu memandang wajah Thian Liong yang tampan dan ia tersenyum. Manis sekali!
Thian Liong memandang, dalam hatinya merasa kagum dan juga heran bagaimana dalam sebuah dusun di kaki pegunungan itu dia dapat bertemu dengan seorang gadis seperti itu. Jelas bukan seorang gadis dusun yang sederhana. Rambut yang hitam lebat itu digelung indah ke atas dan dihias setangkai bunga mawar merah. Kalung, anting-anting dan gelang emas bertabur permata menghias tubuhnya yang padat langsing. Di punggungnya, di bawah sebuah buntalan pakaian dari kain kuning, tampak ga-gang sepasang pedang.
"Tidak mengapa," kata gadis itu dengan suara merdu dan senyumnya menghias bibir yang merah basah, "Masih untung kita tidak bertabrakan!"
"Maafkan," kata lagi Thian Liong dan dia melanjutkan langkahnya menuju ke depan. Dia mendengar pelayan itu berkata kepada gadis tadi.
"Inilah kamar nona," kata pelayan itu.
"Sunyi benar rumah penginapan ini" kata gadis itu.
"Hari ini memang sepi, nona. Tamunya hanya nona dan tuan tadi, yang hampir bertabrakan dengan nona. Biasanya ramai, sampai sepuluh buah karnar kami penuh semua."
"Sudah, tinggalkanlah aku."
"Baik, nona. Kalau nona hendak makan, silakan pergi ke rumah makan kami, di bagian depan bangunan ini." kata pelayan itu yang segera pergi.
Thian Liong tidak memperdulikan mereka lagi dan memasuki rumah makan sederhana itu. Dia duduk menghadapi meja dan memesan nasi dan dua macam masakan sayur dan daging ayam. Untuk minumnya dia memesan air teh. Ketika dia duduk termenung menanti datangnya makanan yang dipesannya, tiba-tiba terdengar suara merdu di belakangnya.
"Wah, agaknya tamunya hanya kita berdua! Bagaimana kalau aku juga makan di meja ini? Agar ada teman bercakap-cakap."
Thian Liong menoleh dan bangkit berdiri ketika melihat bahwa yang bicara adalah gadis tadi. Buntalannya sudah tidak ada, tentu ditinggalkan di dalam kamar seperti yang dia lakukan. Siang-kiam (sepasang pedang) itu kini tergantung di pungungnya dan di pinggangnya tergantung beberapa buah kantung kain. Pakaiannya yang serba hijau itu bersih dan terbuat dari sutera yang halus. Bunga mawar merah di rambutnya ,serasi sekali dengan pakaiannya yang hijau.
Thian Liong tercengang keheranan mendengar gadis itu ingin duduk semeja dengannya untuk makan dan bercakap-cakap. Dari sikap yang berani dan tidak malu-malu ini dia dapat mengambil kesimpulan bahwa gadis ini seorang gadis yang biasa melakukan perjalanan di dunia per-silatan dan seorang gadis yang sikapnya terbuka dan tidak terikat oleh segala macam peraturan dan peradatan.
"Oh, silakan, nona. Silakan!"
Gadis itu tampak gembira sekali dan ia lalu menarik sebuah kursi dan duduk berhadapan dengan Thian Liong, terhalang meja yang tldak berapa besar sehingga mereka saling berhadapan dalam jarak dekat, hanya satu meter lebih. Berdebar juga rasa jantung dalam dada Thian Liong.
Gadis itu demikian dekat dengannya dan kembali hidungnya menangkap keharuman bunga mawar. Bagaimana mungkin setangkai bunga mawar yang menghias kepala gadis itu dapat menaburkan keharuman demikian semerbak? Gadis itu menggapaikan tangan memanggil pelayan yapg segera datang menghampiri.
"Aku memesan makanan yang sama dengan yang dipesan tuan ini. Dan jangan lupa, sediakan seguci kecil anggur yang paling baik."
Pelayan itu mengangguk dan pergi meninggalkan mereka. "Akan tetapi aku hanya memesan minuman air teh, nona."
Gadis itu mengerling dengan matanya yang indah. Kerling tajam memikat disertai senyum manis, alisnya bergerak tanda heran. "Akan tetapi mengapa? Hawanya begini dingin, sebaiknya minum arak atau anggur yang dapat mengha-ngatkan badan."
"Aku.... aku tidak pernah minum arak."
Sepasang alis itu kini bergerak naik bersama kedua matanya yang terbelalak lebar. "Sungguh aneh! Baru sekarang aku mendengar seorang laki-laki tidak pernah minum arak! Padahal melihat engkau membawa sebatang pedang di punggungmu, mestinya engkau seorang kang-ouw (dunia persilatan) yang tidak asing dengan arak atau anggur."
Thian Liong tersenyum. "Arak dapat membuat orang mabok dan mabok membuat orang kehilangan akal dan pertimbangan sehingga dia dapat melakukan hal-hal yang tidak baik."
"Hi-hi-hik!" Gadis itu tertawa, tawanya lepas sehlngga kedua biblr itu merekah, tampaklah deretan gigi yang rapi dan putih bersih. "Orang minum arak harus dapat menyesuaikan dengan kekuatan minumnya sehingga tidak dapat sampai mabok; Aku sendiri selama hidupku bekum pernah mabok, beberapa banyakpun anggur atau arak yang kuminum!"
"Silakan nona kalau hendak minum anggur, bagiku cukup air teh hangat saja!" kata Thian Liong yang tidak ingin mencela kebiasaan minum arak gadis itu.
Beberapa lamanya mereka hanya duduk, menanti datangnya makanan yang dlpesan, tidak bicara apapun gadis itu mengamati wajah Thian Liong dengan penuh perhatian. la melakukan itu tanpa pura-pura dan dengan terang-terangan. Di lain pihak, Thian Liong yang tahu bahwa gadis itu memandangnya penuh perhatian, menjadi salah tlngkah. Dia selalu mengelak untuk beradu pandang dan diam-diam dia memperhatikan bajunya, apakah ada yang tidak beres dengan pakaiannya.
Dia merasa rikuh, canggung dan tidak enak diamati seperti itu. Maka, dla menghela napas lega ketika pelayan datang membawa pesanan nasi dan masakan untuk mereka. Melihat bahwa yang dipesan pemuda Itu hanyalah nasi dan dua macam masakan sayur dan daging ayam, gadis itu mengerutkan alisnya.
"Hanya ini?" tegurnya kepada pelayan.
"Itulah yang dipesan oleh tuan ini, nona." kata pelayan.
"Hayo cepat tambah masakan Ikan sirip kuning saus tomat, goreng burung dara, udang masak jamur, kepiting goreng telur. Cepat, berapapun akan kubayar!"
Pelayan Itu memandang bodoh. "Wah, pesanan nona terlalu mewah. Mana di dusun ada udang dah kepiting? Ikan sirip kuningpun tidak ada, yang ada hanya ikan lee-hi biasa. Burung dara juga tldak ada, adanya ayam atau bebek."
"Wah, brengsek! Ya sudah, cepat sediakan segala macam masakan yang ada di sini! Ikan lee-hi, ayam dan bebek, apa saja. Cepat!"
"Baik, nona." Pelayan itu cepat mengundurkan dirl untuk menyampaikan pesan itu kepada tukang masak.
Melihat semua itu, Thian Liong tersenyum, kemudian berkata, "Mari, nona, Silakan makan, selagi sayurnya masih panas."
”Ya, akan tetapi makannya perlahan-lahan saja sambil menunggu masakan lain yang kupesan."
"Bagiku ini saja sudah cukup." kata Thian Liong sambil mengambil sepasang sumpit bambu yang disediakan di atas meja.
Gadis itupun memilih sepasang sumpit dengan hati-hati, mencari yang bersih, kemudian dia berkata. "Tapi aku sudah memesan masakan-masakan lain untuk kita berdua!"
Thlan Liong tldak menjawab, akan tetapi diam-diam dla merasa tidak enak juga kalau tidak ikut makan begitu banyak makankan yang telah dipesan oleh gadis itu. Agar jangan mengecewakan hati gadis itu yang agaknya hendak menjamunya, diapun makan perlahan dan sedikit-sedikit untuk menanti masakan-masakan baru yang dipesan.
Gadis itu minum anggur dengan lahap, menuangkan anggur ke dalam cawannya dan minum minuman keras itu seperti minum air saja. Beberapa kali ia menawarkan kepada Thian Liong, namun pemuda itu selalu menolak dengan lembut dan mengucapkan terima kasih. Bau anggur yang harum sedap itu memang merangsang seleranya.
Akan tetapi dia tidak mau mencoba-coba. Gurunya, Tiong Lee Cin-jin, pernah mengatakan bahwa minuman keras itu amat berbahaya karena dapat membuat orang ketagihan dan menjadi pemabok. Seolah dapat mendengar suara hatinya, tiba-tiba gadls itu berkata.
"Anggur inl merupakan minuman yang menyehatkan, asal saja peminumnya mengenal batas kekuatannya. Kalau melampaui batas kekuatannya, memang dapat menjadi racun. Bahkan semua obat yang menyembuhkan sekalipun, kalau terlalu banyak diminum dapat menjadi racun yang membahayakan kesehatan!"
Masakan-masakan yang dipesan diantar datang dan gadis itu mempersilakan Thian Liong makan masakan baru itu. Setelah menghabiskan setengah guci anggur gadis itu menjadi semakin akrab dan hangat, la kembali niinum anggur dari cawannya sambil menatap wajah pemuda yang duduk di depannya. Kemudian ia berkata setelah mengusap bibirnya dengan sehelai saputangan.
"Sungguh aneh sekali keadaan kita berdua ini. Tinggal di bawah satu atap, bahkan makan bersama di satu meja, dan kita belum mengenal nama masing-masing! Bukankah ini aneh sekali? Kalau ada orang melihat kita dan mendengar bahwa kita tidak saling mengenal, pasti dia tidak percaya!"
Thian Liong menghablskan makanan terakhir dalam mulutnya lalu minum air tehnya dan mengusap bibirnya dengan ujung lengan bajunya. Dia maklum akan apa yang terkandung dalam ucapan gadis itu, maka dia lalu memperkenalkan namanya.
"Namaku Souw Thian Liong, seorang yatim piatu yang sedang mengembara."
"Souw Thian Liong? Namamu gagah sekall, segagah orangnya! Engkau tentu lebih tua beberapa tahun dari aku, maka aku akan menyebutmu Liong-ko (kakak Liong). Engkau tidak berkeberatan, bukan?"
Thian Liong tersenyum. "tentu saja tldak."
"Engkau datang darl mana, Liong-ko? Di mana tempat tinggalmu dan kalau engkau yatlm piatu, siapa saja keluargamu? Engkau sudah berkeluarga beristeri dan mempunyal anak, bukan? Dan sekarang hendak pergi ke mana?"
Diberondong pertanyaan itu, Tilan Liong tersenyum. Gadis ini lincah, mengingatkan dia akan gadis yang dijumpainya di Kun-lun-san. Akan tetapi gadis berpakaian serba merah muda itu galaknya bukan alang kepalang, sedangkan gadis berpakaian serba hijau dengan setangkai bunga mawar di kepalanya inl tampaknya leblh ramah dan tidak galak.
"Wah, harus satu demi satu aku menjawab hujan pertanyaanmu itu. Tentang keluarga, aku sudah tidak mempunyai sanak keluarga lagi. Aku hidup sebatang kara, tentu saja belum mempunyai isteri atau anak. Tempat tlnggalku? Aku tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Dunia ini tempat tinggalku, langit atap rumahku dan bumi lantainya! Dari mana aku datang dan ke mana hendak pergi? Yah, katakanlah datang dari belakang dan hendak pergi ke depan."
"Hl-hlk engkau lucu, Liong-ko! Burung mempunyal sarang, ular mempunyal lubang, harlmau mempunyal guha, semua mahluk memlllkl tempat tinggal. Maaa engkau aeorang manusia tidak? Dan hari inl engkau berada di kaki pegunungan Bu-tong-aan, tentu mempunyai tuuan hendak ke mana?"
Thian Liong teringat akan gadis yang dia duga telah mengambil kitab pusaka milik Kun-lun-pai. Dia harus berhati-hati. Dia belum mengenal siapa sebenarnya gadls ini. Siapa tahu diam-diam gadis ini berniat untuk merampas dua buah kitab yang masih berada dalam kantung emas yang tergantung di pinggangnya. Maka dia tidak menjawab dan mengalihkan perhatian.
"Ah, engkau tidak adil, nona. Engkau telah menghujaniku dengan pertanyaan dan aku memperkenalkan diriku. Akan tetapi engkau belum memperkenalkan dirimu sehingga namamupun aku belum tahu."
"Hemm, engkau ingin mengenal namaku? Aku bernama Thio Siang In dan karena aku menyebutmu Liong-ko, maka engkau boleh menyebutku In-moi (adik ln)."
"Thio Siang In? Wah, namamu indah, seindah.... orangnya!"
Thian Liong sengaja membalas, untuk menyenangkan hati gadis itu dan untuk menyimpangkan per" hatian agar gadis itu tidak banyak bertanya tentang dirinya.
Gadis itu tersenyum dan matanya yang indah mengerling tajam. "Ah, kiranya engkau seorang yang pandai pula merayu, Liong-ko."
"Tidak, In-moi. Aku hanya bicara sejujurnya. Lalu, di mana tempat tinggalmu dan siapa keluargamu? Ceritakanlah selengkapnya tentang dirimu."
"Engkau benar hendak mendengar dan mengetahuinya?"
"Benar-benar, In-moi. Bukankah kita telah berkenalan dan menjadi sahabat?"
"Baiklah. Aku berusla delapan belas tahun.... dan engkau..."
"Aku berusia dua puluh tahun." sambung Thian Liong.
"Tepat seperti dugaanku. Engkau tentu leblh tua dariku. Aku tinggal di sebuah dusun di Sin-kiang. Bersama Ibu kandungku, seorang puteri Kepala Suku Ui-gur. Ayahku.... ayahku.... entahlah, kata Ibu, ayahku telah lama pergi ketika aku masih dalam kandungan.... ah, heran sekali!" Tlba-tiba gadis Itu bangkit berdiri dan memandang kepada Thlan Liong dengan mata terbelalak.
"He, kenapa?" Thian Llong bertanya heran.
"Heran sekall! Kenapa begini aneh? Ibu memesan agar aku merahasiakan tentang ayahku, akan tetapi tiba-tiba saja aku menceritakannyai kepadamu!"
"Kalau tidak kau ceritakan juga tidak mengapa. Bagaimanapun juga, aku tidak suka mendengar seorang suami meninggalkan isterinya begitu saja selagi anak-nya berada dalam kandungan!"
"Tidak! Engkau salah sangka! Ayah kandungku itu pergi karena dia terpaksa. Menurut cerita ibuku, kalau ayahku tidak pergi melarikan diri, dia dan ibuku tentu akan mati."
"Eh! Kenapa begitu?"
Siang In menghela napas panjang dan memandang wajah Thian Liong dengan heran. "Sungguh mati, tak tahu aku mengapa aku harus menceritakan semua rahasia ini kepadamu yang baru saja kukenal? Liong-ko, tak perlu kau tahu segalanya, cukup kalau kau ketahul bahwa ibuku adalah seorang puteri bangsa Uigur den ayahku seorang Han. Nah, aku tinggal dengan Ibuku dan aku menjadi murid dari paman tua (uwa), kakak ibu sendiri.
"Akan tetapi biarpun aku maslh mempunyai seorang ibu pada saat ini aku juga sebatang kara karena aku sudah pergi merantau meninggalkan kampung halaman di Sin-kiang setahun yang lalu. Jadi, kita ini ada persamaan, sama-sama perantau, beratap langit berlantai bumi."
Gadi ini tertawa lepas dan mau tidak mau Thian Liong ikut pula tertawa karena tawa yang wajar terbuka dan mengandung getaran gembira seperti itu amat menular!
Tiba-tiba ada sinar menyambar ke arah mereka. Thian Liong dapat melihat dengan jelas bahwa benda berkilat itu meluncur dan menyambar ke arah meja di depan mereka. Dia yakin benar bahwa benda yang ternyata sebatang hui-to (pisau terbang) kecil itu tidak mengarah tubuh mereka, melainkan menuju ke arah meja.
Akan tetapi Thio Slang In sudah menggunakan sepasang sumpit di tangan kanannya untuk menjepit pisau terbang itu! Gerakannya demikian cepat sehingga Thian Liong merasa kagum bukan main. Gadis peranakan Uigur ini ternyata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan memiliki tenaga dalam yang amat kuat.
Kalau tidak demikian, tidak munglkin ia mampu menangkap pisau terbang itu hanya dengan jepitan sepasang sumpitnya. Dengan tenang Siang In mengambil sehelai kertas yang tertancap pisau itu, lalu melempar pisau itu dengan gerakan tangan kiri ke atas. Matanya hanya mengerling sebentar ketika ia menggerakkan tangan kiri.
"Wuuuttt.... capppp!" Pisau kecil itu terbang meluncur keatas dan menancap di tiang kayu, tepat mengenai perut sebuah cecak yang sedang merayap di uang itu. Tubuh cecak itu terpaku pada tiang!
Thian Liong memejamkan matanya, merasa ngeri melihat perut cecak itu tertusuk pisau dan terpantek pada tiang. Walaupun yang terbunuh itu hanya seekor cecak, namun dia merasa ngeri dan betapa kejamnya gadis cantik ini membunuh seekor cecak yang tidak bersalah apa-apa. Ketika Thian Liong membuka matanya memandang kepada Siang In gadis itu tampak tersenyum mengejek dan melempapkan kertas itu ke atas meja.
"Hemm, orang-orang Bu-tong-pai sombong! Dikiranya aku gentar menghadapi Thai-kek Sin-kiam mereka?" Ketika ia melihat Thian Liong memandang ke arah kertas di atas meja itu, Siang In berkata. "Bacalah, tidak ada rahasia. Bahkan kalau engkau mau, engkau boleh ikut dan menjadi saksiku."
Biarpun kejadian itu amat menarik hati Thian Liong, dia tidak akan berani membaca surat yang dikirim secara istimewa itu, tidak mau mencampuri urusan prbadi orang kalau saja gadis itu tidak menyuruhnya membaca. Dia mengambil kertas putih itu dan membaca tulisan yang bergaya gagah itu.
Dia dapat menduga bahwa penulis surat itu sengaja memamerkan tenaga dalamnya melalui tulisannya sehingga gaya tulisannya amat kuat, coretan-coretan itu tajam dan runcing sehingga tarnpak indah dan gagah.
Ang-hwa Sian-li, kami tidak ingin membuat keributan di tempat umum. Kalau engkau berani, datanglah besok pagi-pagi di hutan cemara sebelah utara dusun ini dan kita mengadu kepandaian. Kalau engkau tidak datang, berarti engkau hanya seorang pengecut!
Bu-tong-pai
Setelah membaca surat itu, Thian Liong memandang wajah Slang !n dan bertanya, "In-moi, siapakah itu Ang-hwa Sian-li?"
Siang In tersenyum dan tnenggunakan tangan kirinya untuk menyentuh bunga mawar merah di kepalanya. Thian Liong memandang ke arah bunga itu dan mengertilah dia mengapa Siang In mempunyai julukan Ang-hwa Sian-li (Dewl Bunga Merah). Memang gadis itu cantik jelita seperti gambar dewi dan agaknya selalu menghias rambutnya dengan se-tangkai bunga mawar merah.
"Akulah yang dimaksudkan. Karena aku Jarang memperkenalkan namaku yang sesungguhnya, dan selama inl baru kepadamulah aku memberltahukan namaku, maka orang-orang yang pernah berurusan denganku menyebutku Ang-hwa Sian-li."
Thian Liong mengambil kesimpulan. "In-moi, kalau orang-orang menyebutmu Dewi Bunga Merah, hal itu tentu karena engkau telah melakukan perbuatan-perbuatan yang baik untuk menolong orang. Sebutan Dewi itu merupakan pujian. Kalau orang suka melakukan kejahatan, tentu akan diberi julukan Iblis atau Siluman."
Gadis itu tersenyum. "Terima kasih kalau engkau berpendapat begitu, Liong-ko. Aku tidak tahu apakah aku ini jahat atau baik. Yang jelas, kalau ada orang lemah tertindas membutuhkan pertolongan, tentu aku akan menolongnya. Sebaliknya kalau ada orang mengandalkan ke-kuatannya untuk menindas orang lain, pasti aku akan menentangnya dan tidak akan segan untuk membunuh dan inem-basmi mereka!"
Thian Liong dapat menduga bahwa Ang-hwa Sian-li ini tentulah seorarig ga-dis yang berwatak pendekar. "Akan tetapi, tnengapa pihak Bu-tong-pai meniusuhi dan menantangmu? Menurut apa yang kudengar, Bu-tong-pai adalah perguruan silat kaum pendekar. Padahal engkau sendiri, menurut perkiraanku, adalah seorang pendekar wanita."
"Aku tidak tahu apakah aku ini seorang pendekar atau bukan dan akupun tidak perduli apakah Bu-tong-pai itu perguruan silat kaum pendekar atau bukan Akan tetapi yang kutahu, ada orang-orang Bu-tong-pai yang sombong dan karenanya aku menentang mereka. Setelah aku mengalahkan mereka, agaknya mereka merasa penasaran dan mengirim surat tantangan ini. Huh, tak tahu malu!" Gadis itu mengambil cawannya yang diisi penuh anggur lalu meminumnya.
Thian Liong berpikir sejenak. Memang, tidak semua pendekar bersikap baik. Tentu ada pula yang kasar dan ada pula yang tinggl hatl dan sombong. Dia teringat akan slkap Biauw In Suthai, tokoh Kun-lun-pai itu. Kun-lun-pai, seperti juga Bu-tong-pai, dikenal sebagai sebuah perguruan silat kaum pendekar Karena itu mungkin, maka gurunya mau bersusah payah mendapatkan kembali kitab-kitab mereka dan mengembalikannya ke-pada mereka. Ternyata Biauw In Suthai juga tidak bersikap baik, melainkan ga-lak dan angkuh bukan main.
"In-moi, maukah engkau menceritakan kepadaku sebab-sebab pertentangan itu? Apakah yang telah terjadi?"
Gadis itu meletakkan cawan yang telah kosong ke atas meja. Kedua pipinya kemerahan, tanda bahwa minuman itu telah mulai mempengaruhinya. "Sungguh aku merasa heran sekali, mengapa terhadapmu aku seakan tidak dapat merahasiakan sesuatu. Aku bahkan ingin menceritakan segalanya kepadamu. Terjadinya siang tadi di sebuah lereng." Siang In lalu menceritakan pengalamannya.
Pada siang hari itu Thio Siang In yang melakukan perjalanan perantauan-nya dari Sin-kiang menuju ke timur, tiba di luar sebuah dusun di sebuah lereng pegunungan Bu-tong-san. Telah setahun lebih ia meninggalkan rumah ibunya di Sin-kiang untuk merantau dan di sepanjang jalan ia selalu membela yang lemah tertindas dan menentang yang kuat sewenang-wenang.
Karena kelihaiannya, sepak terjangnya menggegerkan dunia kang-ouw di sebelah barat dan segera orang-orang yang tidak pernah mendengar ia memperkenalkan nama, memberi julukan Ang-hwa Sian-li kepadanya karena gadis jelita dan gagah perkasa ini selalu memakai setangkai bunga merah pada rambutnya. Setelah mendengar julukan ini, Siang In menerimanya, bahkan ia lalu memperkenalkan diri kalau hal ini diperlukan, sebagai Ang-hwa Sian-li!
Selagi ia berjalan santai di lereng itu, dan tiba di luar sebuah dusun, ia melihat seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun, berlutut dan menangis minta-minta ampun kepada dua orang pemuda yang berusia kurang lebih dua puluh lima tahun dan tampak gagah perkasa.
"Ampun, tai-hlap (pendekar besar).... Ampunkan saya....! Semua ini saya laku-kan karena terpaksa.... saya harus membiayai, anak yang sedang sakit parah....”
"Alasan! Dasar pencuri hina!" bentak seorang di antara dua pemuda itu yang bertubuh tinggi besar, lalu sekali kakinya menendang, orang yang berlutut itu terpental dan bergulingan.
"Aduh... ampun... biarlah saya kembalikan semua ini...." Orang itu mengeluarkan beberapa buah benda terbuat dan perak, yaitu cawan piring dan alat-alat sembahyang. "Saya kembalikan semua inidan ampunilah saya...." kembali orang itu berlutut, merintih dan mulutnya mengeluarkan darah.
Pemuda ke dua yang tubuhnya tinggi kurus melangkah maju menghampiri. Pencuri busuk! Tidak mengenal budi! Setelah bertahun-tahun kami beri makan dan upah, masih juga mencuri dan mencoba minggat! Orang seperti engkau ini harus dihajar!" Dia sudah mengangkat tangan kanannya untuk memukul.
Siang In yang melihat semua ini mem-bentak nyaring, "Tahan! Jangan pukul."
Pemuda tinggi kurus itu menahan pukulannya dan memutar tubuhnya. Demikian pula pemuda tinggi besar itu juga menoleh. Keduanya memandang dan tercengang melihat seorang gadis cantik sekali berdiri di situ. Siang In adalah seorang gadis yang cantik jelita, maka ti-dak aneh kedua orang pemuda itu terpesona dan sikap mereka berubah sama sekali. Kalau tadi mereka kelihatan galak, kini keduanya tersenyum dan menghampiri Siang In.
Siang In memandang kepada dua orang pemuda yang menghampirinya itu dengan alis berkerut. Setelah dua orang itu berhadapan dengannya, Siang In menegur dengan ketus. "Lagak kalian ini seperti orang-orang gagah, membawa pedang dan berpakaian seperti pendekar! Akan tetapi yang kulihat ternyata kalian hanya orang-orang yang suka mempergunakan kekuatan untuk menindas dan menghina yang lemah!"
Pemuda tinggi besar itu segera meng-angkat kedua tangan depan dada memberi hormat, diturut oleh pemuda tinggi kurus. "Maaf, nona. Agaknya engkau salah paham. Kami berdua adalah pendekar-pendekar yang selalu menentang penjahat. Orang ini adalah seorang maling jahat, seorang yang tidak mengenal budi.
Selama beberapa tahun dia menjadi tukang kebun perguruan kami, diberi upah dan makan, akan tetapi apa yang dia lakukan? Dia minggat dan membawa lari alat-alat sembahyajng yang terbuat dari perak. Karena itu, kami menghajarnya!"
Siang In mencibirkan bibirnya yang merah. "Huh, pendekar macam apa itu? Memukuli orang yang lemah! Aku mendengar sendiri bahwa dia melakukan pencurian itu karena terpaksa, karena ingin membeayai pengobatan anaknya yang sakit. Sepantasnya sebagai pendekar, kalian menolongnya, bukan memukulinya. Tak tahu malu!"
"Nona!" Pemuda tinggi kurus memprotes. "Kami adalah murid-murid Bu-tong-pai"
"Aku tidak perduli kalian Inl murld-murid Bu-tong-pai atau murid perguruan apapun juga. Kalau jahat dan sewenang-wenang tentu akan kutentang!"
"Nona, dia itu pencuri! Apa engkau hendak membela pencuri?" tanya yang tinggi besar, mulai marah. Kehormatannya tersinggung karena gadis itu tidak menghargai Bu-tong-pai dan kekagumannya akan kecantikan gadis itu mulai memudar, terusir oleh kemarahan.
"Bagiku dia orang lemah tertindas dan kaiian orang-orang kuat yang sewenang-wenang. Aku pasti membelanya dan menentang kalian!"
"Nona, siapakah engkau yang berani mencampuri urusan kami murid-murid Bu-tong-pai?" bentak yang tmggi kurus.
Siang In terseyum mengejek. "Orang menyebutku Ang-hwa Sian-li, dan kalian cepatlah pergi dari sini, tinggalkan orang itu kalau kalian tidak ingin kuhajar!"
"Engkau gadis usil, suka mencampuri urusan orang lain dan sombong! Kalau aku memukuli pencuri itu, engkau mau apa?" bentak pula si tinggi kurus dan dia sudah melompat ke depan dan tal! ngannya terayun memukul ke arah tukang kebun itu.
"Dukk!" Lengannya tertangkis oleh lengan Siang In. Lengan yang mungil berkulit halus dari gadis itu ternyata mengandung tenaga sinkang kuat sehingga pemuda tinggi kurus merasa tulang lengannya seperti patah dan terasa nyeri sekali. Dia menjadi marah.
"Berani engkau melawan aku'?"
"Kenapa tidak?" Siang In mengejek.
"Biar ada sepuluh orang macam engkau, aku tidak akan takut!"
"Kami orang-orang Bu-tong-pai bukan pengecut yang suka main keroyok! Sambut seranganku!"
Pemuda tinggi kurus itu membentak dan dia menyerang dengan dahsyat, kedua tangannya bergerak hampir berbareng, susul menyusul, yang kiri menyambar ke pelipis kanan Siang In dan yang kanan menonjok ke arah perutnya! Serangan ini dahsyat sekali, datangnya cepat dan mendatangkan angin pukulan kuat.
Namun Siang In tenang saja menghadapi serangan dua tangan lawan itu. Dengan tangan kirinya dia menangkis tonjokan ke arah perutnya, dan tangan kanannya menyambar ke atas dengan jari terbuka, menyambut tangan kiri pemuda itu dengan tebasan dari bawah ke arah pergelangan tangan.
Pemuda itu terkejut sekali. Tangan kanannya yang menonjok ke perut kembali bertemu lengan yang terasa keras seperti baja, dan kini lengan kirinya yang menyerang pelipis bahkan terancam tebasan tangan lawan. Cepat dia menarik kembali tangan kirinya dan kaki kanarinya menendang. Kaki itu dengan kecepatan kilat mencuat ke arah dada Siang In.
Gadis itu miringkan lalu memutar tubuh dan ketika kaki menyambar lewat, didorongnya tunut kaki itu dengan tangan kirinya. Demikian kuat dorongan itu sehingga pemuda itu tidak mampu menahan. dirinya. Terbawa oleh tenaga tendangannya sendlri ditambah tenaga dorongan Siang In, tubuhnya melayang ke depan. Untung dia masih dapat melakukan gerakan pok-sai (salto) sehingga tubuhnya tidak sampai terbanting.
Setelah dua kali lengannya tertangkis sehingga terasa nyeri sekali dan hampir saja tadl dia roboh terbanting, pemuda tinggi kurus itu mulai terbuka matanya bahwa gadis cantlk itu lihai bukan main. Temannya, pemuda tinggi besar, agaknya juga dapat melihat hal ini maka diapun melompat ke depan dan berseru kepada pemuda tinggi kurus.
"Sute (adik seperguruan), mundurlah dan biar aku yang menghadapi perempuan sombong ini!"
Melihat suhengnya maju, pemuda tinggi kurus lalu melangkah mundur...