Kisah Si Naga Langit Jilid 09 karya Kho Ping Hoo - SI PEMUDA tinggi besar melangkah maju dan mencabut pedangnya. Tampak sinar berkilat ketika pedang dicabut dan pemuda tlnggi besar itu berkata, "Nona, suteku telah kalah bertanding tangan kosong denganmu. Sekarang aku menantangmu untuk mengadu ilmu pedang, tentu saja kalau engkau berani."

Siang In mencibirkan bibirnya. "Bocah Bu-tong-pai sombongl Aku pernah mendengar bahwa Bu-tong-pai terkenal dengan ilmu pedangnya Thai-kek Sin-kiam! Akan tetapi aku tidak takut!"
Setelah berkata demikian, dua tangan gadis itu bergerak ke arah belakang punggung dan tampak dua sinar pedang berkelebat ketika la sudah mencabut sepasang pedangnya yang tergantung di punggungnya, tertindih buntalan pakaian. Sepasang pedang itu kecil dan panjang, tampak ringan sekali, akan tetapi ketika dicabutnya terdengar bunyi berdesing nyaring.
Melihat gadis itu sudah siap dengan siang-kiam (sepasang pedang) di kedua tangannya, pemuda tinggi besar itu membentak, "Sambut pedangku!" dan dia sudah menyerang dengan cepat dan dahsyat, Slang In menangkis pedang yang menyambar ke arah lehernya itu.
"Cringgg....!" Tampak bunga api berpijar dan pemuda itu segera memutar pedangnya untuk mendesak lawan dengan serangkaian serangannya, pedang dl tangannya berubah menjadi sinar bergulung-gulung.
Akan tetapi dengan tenang sekali Siang In menyambut serangan itu dengan gerakan kedua pedangnya yang membentuk dua lingkaran sinar yang dapat menghadang dan menangkis semua serangan lawan. Gadis itu telah memainkan Toat-beng Siang-kiam (Pedang Pasangan Pencabut Nyawa) yang amat hebat. Dari dua lingkaran sinar kuning itu terkadang tampak sinar kilat mencuat dan menyambar-nyambar.
Melihat ini, pemuda tinggi besar itu terkejut bukan main dan sebentar saja, dalam belasan jurus kemudlan, dia telah terdesak hebat sehlngga kini hanya dapat memutar pedang melindungi dirinya dan tidak mampu balas menyerang.
"Haiiiittt....!" Tiba-tiba gadis membentak, dua lingkaran sinar pedangnya itu membuat gerakan menggunting.
"Tranggg.... trakkk!" Pemuda tinggi besar itu terkejut bukan main karena pedangnya telah digunting oleh sepasang pedang lawan dan patah menjadi dua potong! Sebelum hilang rasa kagetnya, kaki Siang In mencuat dan menendang dadanya.
"Dess...!" Tubuh pemuda tinggi besar itu terjengkang roboh! Sutenya segera membantunya untuk bangkit berdiri dan mereka memandang gadls itu dengan sinar mata marah dan penasaran. Siang In mencibirkan blbirnya dan sekali dua tangannya bergerak ke belakang punggung, sepasang pedangnya sudah tersimpan kembali.
"Hemm, sepertl itu sajakah Thai-kek Sin-kiam yang digembar-gemborkan oleh Bu-tong-pai?" ia mengejek.
"Ang-hwa Sian-li! Tingkat kami masih terlampau rendah untuk mempelajari Thai-kek Sin-kiam. Tunggu sajalah. Sekali Thai-kek Sin-kiam dimainkan, engkau akan dihajar dan semua kesombonganmu akan terhapus!" Setelah berkata demikian, pemuda tinggi besar itu menarik tangan sutenya dan diajak pergi.
Laki-laki yang tadi dihajar dua orang murid Bu-tong-pai itu lalu menghampiri Siang In dan memberl hormat. "Terima kasih atas pertolongan Lihiap. Nama Ang-hwa Sian-li takkan saya lupakan selamanya. Akan tetapi saya memang bersalah, Lihiap (pendekar wanita). Saya kinl menyadari bahwa sebetulnya saya tidak perlu mencuri. Kalau saya berterus terang minta bantuan, tentu para pimpinan Bu-tong-pai akan menolong saya. Saya harus mengembalikan semua ini kepada Bu-tong-pai!" Setelah berkata demikian, orang itu membungkus kembali barang-barang itu dalam kain dan hendak pergi meninggalkan Siang In.
"Tunggu dulu, paman!" Siang In ambil sepotong emas dari kantung uangnya dan memberikan kepada orang itu.
"Ini, pergunakan emas ini untuk membiayai pengobatan anakmu."
Orang itu menerima pemberian itu dengan terharu dan berulang kali dia memberi hormat dan membungkuk-bungkuk. "Terima kasih, lihiap, terima kasih." Lalu dla pergi untuk mengembalikan barang-barang yang dicurinya itu kepada Bu-tong-pai.Siang In menghentikan ceritanya dan mlnum anggur terakhir dari gucinya yang kini telah kosong. "Demiklanlah, Liong-ko. Aku melanjutkan perjalanan dan tiba di dusun ini, kebetulan bertemu denganmu dan tadi tentu mereka yang melontarkan surat dengan pisau Itu."
Sejak tadi Thian Liong mendengarkan dengan penuh perhatian dan dia dapat menarlk kesimpulan bahwa dua orang rnurid Bu-tong-pai itu bukan orang-orang jahat, hanya sikap mereka terhadap tukang kebun yang mencuri benda-benda perak itu terlalu keras. Dia khawatir kalau kesalah-pahaman ini menjadi permusuhan yang meruncing, maka dia lalu berkata,
"In-moi, kukira semua itu hanya merupakan kesalah-pahaman saja. Sikap dua orang murid Bu-tong-pai itu memang terlalu keras dan mereka patut ditegur. Akan tetapi urusan sekecil itu tidak semestinya kalau dijadikan sebab permusuhan antara engkau dengan mereka. Kebetulan sekali akupun ada urusan untuk menemui para pimpinan Bu-tong-pai, maka biarlah besok pagi aku menemanimu dan aku akan menjadi penengah untuk mendamaikan kallan."
"Akan tetapi aku ditantang, Liong-ko, dan aku tldak takut melawan mereka!" kata Slang In penasaran. "Kalau engkau mendamaikan kami, jangan-jangan mereka mengira bahwa aku takut!"
Thian Liong tersenyum. "Tldak, In-moi. Aku tldak akan mendatangkan kesan seolah-olah engkau takut."
"Sudahlah, kita llhat saja besok. Aku ingin beristirahat, ingin mandi yang segar kemudian tidur yang nyenyak, tldak memikirkan apa-apa lagi. Soal besok bagaimana besok sajalah..." la menggapai pelayan.
"In-mol, biarkan aku yang membayarnya." kata Thian Liong.
"Ah, aku tahu bahwa engkau mempunyai banyak emas dalam kantungmu itu, Llong-ko. Akan tetapi masakan ini sebagian besar aku yang memakan, maka harus aku yang membayarnya."
Pelayan datang. Siang In membayar harga makanan dan minuman, lalu mereka masuk ke dalam dan menuju ke kamar masing-masing. Thian Liong duduk dalam kamarnya dan termenung. Dalam waktu singkat, secara berturut-turut dia bertemu dengan wanita-wanita yang terlibat urusan dengan dirinya. Baru saja tamat belajar dan turun gunung melaksanakan tugas yang diberikan gurunya, dia mengalami hal-hal aneh dan serius dengan tiga orang wanita!
Pertama, dengan gadis berpakalan merah muda di kaki Pegunungan Kun-lun-san itu, gadis yang dia hampir yakin tentu yang telah mengambil kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang seharusnya dia serahkah kepada pimpinan Kun-lun-pai. Gadis yang tldak dia ketahui namanya, namun yang harus dia cari untuk minta kembali kitab itu sebagai pertanggungan jawabnya terhadap Kun-lun-pai.
Kemudian, pertemuannya dengan Biauw In Suthai yang kemudian melibatkan diri gadis ke dua, Kim Lan, dengannya karena oleh pendeta wanita itu, Kim Lan diharuskan menjadi isterinya dan kalau dia menolak, gadis itu harus membunuhnya!
Dan ketiga, pertemuannya dengan Thio Siang In yang berjuluk Ang-hwa Sian-li ini. Pertemuan inl agaknya juga melibatkan dlrlnya karena gadis itu hendak bertandlng dengan pihak Bu-tong-pai dan dia tldak mungkin tinggal diam saja! Alangkah anehnya semua pengalaman itu.
Malam Itu Thian Llong hanya duduk borsamadhi. Dengan demlkian, sungguh pun tubuhnya mengaso seluruhnya, namun kesadaran dan kewaspadaannya selalu siap. Dia khawatir kalau-kalau terjadl sesuatu yang tidak baik atas diri gadis yang tidur dl kamar sebelah.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi Thian Liong sudah membuka pintu kamarnya. Dia melihat Siang In sudah bangun. Ketika dia keluar dari kamar, dia melihat gadis itu duduk di atas bangku depan kamar dan ternyata gadis itu sudah tampak segar. Sudah mandi dan bertukar pakaian, rambutnya disisir rapi dan setangkai bunga mawar merah segar menghias rambutnya. Bunga itu baru mekar setengahnya dan masih segar sekali, tampaknya baru saja dipetiknya.
la mengangguk dan tersenyum kepadanya. "Baru bangun, Liong-ko? Cepatlah mandi, aku menantimu untuk sarapan pagi. Aku sudah memesan kepada pelayan agar dipersiapkan bubur ayam panas dan lezat!"
Diam-diam Thian Llong merasa kagum. Gadis itu sama sekali tidak tampak tegang, bahkan santai saja seperti orang menghadapi hari yang penuh suka cita. Padahal ia menghadapi tantangan yang berat dari Bu-tong-pai! Dia mengangguk lalu pergi ke kamar mandi membawa pakaian pengganti.
Tak lama kemudian mereka berdua sudah duduk santai di dalam ruangan depan yang biasanya dipergunakan untuk tempat makan. Akan tetapi hari masih terlalu pagi. Ruangan itu bahkan bagian depannya masih ditutup dan belum ada yang bekerja. Hanya mereka berdua yang duduk di situ dan pelayan tua yang tadi terpaksa memasakkan bubur ayam berada di dapur setelah menghidangkan makanan itu di atas meja mereka. Mereka berdua makan tanpa banyak cakap.
Sehabis makan, baru Siang In berkata. ”Nah, sekarang aku berangkat. Apakah engkau jadi ikut?" Pertanyaannya datar saja, seolah tidak ada bedanya baginya apakah Thian Liong hendak menemaninya ataukah tidak.
"Tentu saja aku ikut karena tanpa ada urusanmu pun pagi ini aku harus berkunjung ke Bu-tong-pai untuk sebuah urusan penting."
"Urusan penting?" Siang In mengamati wajah pemuda itu penuh selldik. Ketika pandang matanya bertemu dengan sinar mata Thian Liong, ia berkata, "Sudahlah! Kalau itu merupakan rahasia tidak perlu diberitahukan kepadaku. Mari kita berangkat!"
Seperti halnya Siang In, Thian Liong juga membawa semua barangnya, dimasukkan dalam buntalan pakaian lalu menggendongnya dan kembali gadis itu memaksa untuk membayar harga bubur dan sewa kamar mereka. Thian Liong tidak dapat membantah.
Mereka lalu meninggalkan dusun itu, menuju ke Bukit Cemara yang sudah tampak dari luar dusun itu, di sebelah utara, Di bukit itu tampak sebuah hutan cemara yang sunyi. Bukit itu sudah termasuk daerah Bu-tong-pai.
Baru saja kedua orang muda itu memasuki hutan cemara, tampak dua orang pemuda, seorang tinggi besar dan seorang lagi tinggi kurus, sudah berada di situ. Melihat dua orang pemuda itu, Siang In cepat menghampiri dan setelah ia berdlri di depan mereka, ia tertawa mengejek.
"Kalian berdua masih berani muncul? Apakah kalian yang hendak maju menandinigi aku, dan sekarang kalian hendak maju mengeroyokku? Hemm, kalian berdua belajarlah dengan tekun selama sepuluh tahun lagi baru agak pantas untuk menandingiku!"
Thian Liong mengerutkan alisnya. Siang In terlalu memandang rendah dua orang pemuda itu dan sikap seperti itu amat tidak baik.
Pemuda tinggi besar itu menjawab dengan ketus. "Perempuan sombong! Kami bukan golongan pengecut yang suka main keroyok! Engkau kemarin memandang rendah ilmu pedang Thai-kek Sin-kiam dari perguruan kami. Sekarang kami mendatangkan orang yang telah mempelajari ilmu pedang itu untuk menghadapimu." Pemuda itu lalu memutar tubuhnya dan berseru nyaring. "Supek (uwa guru)! Harap supek datang ke sini. Gadis sombong itu telah datang!"
Tiba-tiba tampak bayangan putlh berkelebat dan tahu-tahu di sltu telah berdiri seorang laki-laki berusia kurang lebih enam puluh tahun. Alis, kumis dan jenggotnya yang panjang masih hitam, akan tetapi rambut di kepalanya sudah putih semua! Pakaiannya darl kain katun sederhana seperti pakaian pertapa. Di punggungnya tergantung sebatang pedang dengan ronce kuning.
Melihat cara orang ini muncul, Thian Liong maklum bahwa, dia memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang tinggi dan tentu orang ini lihai sekali. Tubuhnya sedang namun tegap dan wajah yang berbentuk persegi dengan jenggot panjang itu juga tampak berwibawa. Akan tetapi Siang In tetap tersenyum dan memandang ringan.
"Apakah nona yang berjuluk Ang-hwa Sian-li dan yang memandang rendah ilmu pedang Thai-kek Sin-kiam kami?" Orang berambut dan berpakaian serba putih itu bertanya, sikapnya tenang dan agaknya dia seorang penyabar.
"Benar, akulah yang disebut Ang-hwa Sian-li. Dan engkau inl siapakah? Apakah engkau ketua Bu-tong-pai dan siapa namamu?" tanya Siang In, slkapnya biasa saja seolah ia berhadapan dan bicara dengan orang seusia dan setingkat dengannya.
"Locianpwe, saya Thian Liong hendak menjadi penengah dan mendamaikan..."
"Liong-ko! Biarkan aku menyelesaikan dulu urusanku dan jangan engkau mencampuri. Setelah aku selesai, baru engkau boleh berurusan dengan mereka!" Siang In berseru keras sehingga kata-kata Thian Liong terpotong.
"Siancai, nona yang berwatak keras!" kata tokoh Bu-tong-pai itu dengan senyum sabar. "Aku bukan Ketua Bu-tong-pai, aku hanyalah pembantunya yang nomor tiga saja dan aku hanya ingat nama julukanku, yaitu Pek Mau San-jin (Orang Gunung Berambut Putih). Aku baru berhasil menguasai ilmu pedang Thai-kek Sin-kiam sepertiga bagian saja, akan tetapi aku ingin mencoba kehebatan Sepasang pedangmu yang menurut murid keponakanku ini hebat sekali."
Setelah berkata demikian, Pek Mau San-jin mencabut pedang beronce merah dari punggungnya. Sinar berkilat ketika pedang itu tercabut. Dia berdiri tegak dan pedang itu dipegang oleh tangan kirinya, gagang di bawah dan ujung pedang menempel pundak kirinya. Kemudian dia mengangkat kedua tangan ke atas berbareng menurunkan kedua tangan kaki kiri melangkah ke depan, pedang di tangan kiri tetap di bawah lengan, telunjuk dan jari tangan kanan menunjuk ke depan.
Inilah gerakan pembukaan yang dinamakan Sian-jin Ci-lu (Dewa Menunjuk Jalan) kemudian dia melangkah dengan kaki kanan ke depan memutar tubuh ke kanan menghadapi Siarig In, kedua lengan dikembangkan lalu kaki kiri ditekuk berlutut, kedua tangan tetap dikembangkan.
"Ang-hwa Sian-Li, aku sudah, silap menandingi ilmu sepasang pedangmut" kata Pek Mau San-jin tenang.
Melihat pembukaan yang sederhana ini, Siang ln tersenyum mengejek. Kedua tangannya meraih ke belakang dan tampak dua sinar kilat ketika siang-kiam (sepasang pedang) itu telah berada dl kedua tangannya. la memasang kuda-kuda yang kokoh, kedua kaki menyilang, pedang kiri diangkat ke atas belakang kepala, pedang kanan melintang depan dada. Sikapnya gagah dan indah.
"Akupun telah siap. Perlihatkan ilmu pedangmu, Pek Mau San-jin..." Siang In menantang.
"Engkau adalah tamu. Persilakan menyerang leblh dulu!" kata Pek Mau San-lin, kini bergerak berdiri, kedua tangan bertemu di depan leher dan gagang pedang itu dari tangan kiri sudah berpindah ke tangan kanan.
Thian Liong memperhatikan semua gerakan tosu itu dan dia merasa kagum. Biarpun gerakan pembukaan tadi hanya sederhana, namun gerakan itu demikian lembut dan lentur, sambung menyambung seperti gelombang lautan, isi mengisi dan dia tahu bahwa didalam kelembutan itu terkandung kekuatan yang amat dahsyat!
Dia mengkhawatirkan Siang In. Sekali ini, gadis ini benar-benar berhadapan dengan seorang ahli silat tingkat tinggi dan yang paling berbahaya adalah bahwa agaknya gadis itu tidak mengetahui akan hal itu sehingga memandang ringan. Diapun membayangkan ilmu pedang yang hebat itu. Kalau tosu yang baru memiliki sepertiga bagian saja sudah mampu bergerak seperti itu, apalagi yang telah menguasai sepenuhnya!
"Baiklah! Sambut serangan pedangku!" Siang In membentak dan sepasang pedangnya berubah menjadi dua gulungan sinar yang menyambar-nyambar.
Serangan gadis itu memang hebat dan hal ini sudah diduga sejak semula oleh Thian Liong. Gadis itu agaknya telah digembleng oleh seorang guru yang sakti. Akan tetapi yang membuat dia heran, kagum dan terkejut adalah ketika melihat sambutan tosu itu atas semua serangan gadis itu. Tosu itu bergerak begitu lembut bahkan tampak lambat, matanya seperti setengah terpejam.
Namun gerakan pedangnya itu mendatangkan hawa dahsyat dan kuat sehingga semua serangan sepasang pedang Siang In selalu tertangkis dan terpental. Dia melihat betapa gerakan seluruh tubuh tosu itu seperti otomatis, seperti tidak dikendalikan lagi oleh pikiran, seolah-olah seluruh bagian tubuhnya menjadi peka sekali seperti memillki mata di mana-mana.
Gerakannya pun sambung-menyambung dengan lembut dan lenturnya seperti orang menari saja, menari di angkasa, di antara awan tampaknya sama sekali tidak mempergunakan tenaga kasar. Seolah-olah gerakan tubuh tosu itu digerakkan oleh tenaga yang amat lembut namun amat dahsyat. Dan diapun mengerti!
Tosu itu seperti bersilat dalam keadaan samadhi, atau bersamadhi dalam silat! Hati akal pikiran tidak berulah dan gerakannya dipimpln oleh kekuasaan gaib, seperti kalau dia berada dalam puncak penyerahannya kepada Tuhan, seperti yang diajarkan oleh Tiong Lee Cin-jin! Ilmu yang amat hebat, pikirnya.
Thian Liong mengikuti seluruh gerakan perkelahian itu dengan seksama. Pertandingan yang hebat dan seru. Gadis itupun ternyata seorang yang memillkl llmu pedang pasangan yang lihai sekali, berbahaya dan ganas sehingga setiap sambaran pedangnya merupakan cengkeraman maut. Dan tosu itu ternyata tidak berbohong ketlka mengatakan bahwa dia hanya menguasai sepertiga saja darl ilmu pedang Thai-kek Sin-kiam.
Jurusnya tidak banyak dan diulang-ulang, akan tetapi anehnya, dengan jurus yang tidak banyak itu dia sudah mampu menahan semua serangan Siang In. Dan karena gerakannya seperti gelombang lautan, begitu lentur lembut dan otomatis seolah tidak mengeluarkan tenaga, setelah lewat lima puluh jurus, Siang In mulai berkeringat dan lelah, sebaliknya lawannya yang jauh lebih tua itu masih bergerak dengan tenang seperti pada permulaannya.
Tahulah Thian Liong bahwa kalau pertandingan itu dilanjutkan, akhirnya Siang In tentu akan kalah. Dia dapat membayangkan betapa marah dan penasaran hati gadis yang keras ini kalau sampai kalah. Mungkin ia akan menjadi nekat dan mengadu nyawa!
Tiba-tiba Slang In yang mulai kelelahan itu mengebutkan sehelai saputangan merah yang tergantung di gagang pedangnya dan slnar-sinar kecil hitam meluncur ke arah lawannya. Thian Liong yang sejak tadi memperhatikan pertandingan itu, terkejut dan cepat dia menggerakkan tangannya mendorong ke arah sinar-sinar hitam itu.
Pek Mau San-jin juga terkejut dan dia sudah secara otomatis membuang diri ke belakang. Namun, dia akan tetap menjadi korban jarum beracun kalau saja tidak ada sambaran angin yang kuat dari samping yang meruntuhkan semua jarum halus itu.
Thian Liong yang telah menyelamatkan tosu itu segera melompat di tengah, antara mereka dan berseru nyaring dan penuh wibawa, "Tahan, hentikan perkelahian!"
Dalam suara Thian Liong terkandung wibawa yang amat kuat sehinga Siang In yang biasanya keras hati dan tidak dapat menurut kemauan sembarang orang itu, entah bagaimana, menghentikan gerakannya dan bahkan mundur lima langkah ke belakang. Demikian pula, Pek Mau San-jin yang maklum bahwa hampir saja dia menjadi korban senjata rahasia, melompat ke belakang.
Thian Liong menghampiri dan berhadapan dengan Pek Mau San-jin, lalu memberi hormat dan berkata, "Totiang (bapak pendeta), apa gunanya semua pertikaian ini? Saya kira di antara Bu-tong-pai dan Ang-hwa Sian-li hanya terdapat kesalah-pahaman belaka."
Pek Mau San-jin mengerutkan alisnya dan memandang pemuda itu penuh selidik. Dia tidak mcngenal pemuda itu dan tidak tahu apakah pemuda itu kawan atau lawan. Karena pemuda itu muncul bersama Ang-hwa Sian-li, maka dia tentu saja menaruh curiga. "Orang muda, siapakah engkau dan mengapa mencampuri urusan kami dan Ang-hwa Sian-li?"
"Saya bernama Souw Thian Liong dan saya diutus suhu untuk menghadap Ketua Bu-tong-pai untuk urusan yang amat penting."
"Siapa gurumu yang mengutusmu kesini?"
Biarpun di situ ada Siang In, terpaksa dia memperkenalkan gurunya. "Suhu adalah Tiong Lee Cin-jin...."
"Wah, Liong-ko! Suhumu Tiong Lee Cin-jin yang amat terkenal itu? Kenapa tidak kau katakan kepadaku?" seru Siang In dengan heran. Dalam perantauannya yang baru setahun itu, sejak dari Sin-kiang, ia sudah mendengar banyak tentang Tiong Lee Cin-jin yang disebut-sebut sebagai seorang yang sakti dan bijaksana, bahkan ada yang mengatakan bahwa dia adalah seorang manusia dewa!
Juga Pek Mau San-jin terbelalak. "Murid Tiong Lee Cin-jin? Ah, kalau begitu kata-katamu patut didengar, Souw-sicu. Akan tetapi engkau tadi mengatakan bahwa antara kami dan Ang-hwa Slan-li hanya terjadi kesalah-pahaman. Kami tidak menganggapnya demikian karena gadis ini telah memandang rendah ilmu pedang Thai-kek Sin-kiam kami."
"Siapa bilang aku memandang rendah? Melihatpun baru sekarang ketika engkau memainkannya. Bagaimana aku bisa memandang rendah ilmu pedang yang belum pernah kulihat? Setelah kulihat tadi, biarpun engkau baru menguasai sepertiganya, harus kuakui bahwa Thai-kek Sin-kiam memang hebat seperti yang pernah kudengar." kata Siang In.
Pek Mau San-jin menoleh ke arah dua orang murid keponakannya yang berdiri sambil menundukkan muka mereka. Kemudian dia memandang kepada Siang In dan berkata, "Akan tetapi engkau telah rnenantang Bu-tong-pai untuk mengadu ilmu pedang!"
Siang In melangkah maju mendekat dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Pek Mau San-jin. "Hei, Pek San-jin, jangan engkau sembarangan menuduh tanpa bukti. Itu namanya fitnah, tahu?"
Thian Liong berkata kepada tosu itu. "Ang-hwa Sian-li berkata benar, totiang. la tidak menantang, melainkan dltantang. Inllah buktinya." Setelah berkata demikian, Thian Liong mengeluarkan pisau terbang dan surat tantangan itu, diberikan kepada Pek Mau San-jin.
Siang In sendiri memandang heran, tidak tahu bahwa pemuda itu ternyata telah mengambil surat dan pisau yang sudah ia buang. Pisaunya ia lempar menancap di tiang membunuh seekor cecak dan surat itu ia buang begitu saja. Kiranya Thian Liong mengambil dan menyimpannya, dan sekarang dapat dijadikan bukti kebenaran omongannya!
Pek Mau San-jin menerima surat dan pisau itu, alisnya berkerut dan dia lalu memutar tubuh menghadapi dua orang murid keponakannya yang berdiri di belakangnya. "Kalian berdua, ke sinilah dan berlutut!" perintahnya.
Suaranya masih lembut akan tetapi sekarang mengandung nada yang penuh penyesalan dan teguran. Dua orang murid itu melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan Pek Mau San-jin, wajah mereka pucat dan mereka rnenundukkan muka.
Pek Mau San-jin menghadapi Ang-hwa Sian-li dan Thian Liong, lalu berkata, "Maafkan pinto yang mudah terbujuk dan salah sangka, nona. Sekarang harap ceritakan apa yang telah terjadi antara engkau dan dua orang murid keponakan kami ini."
Siang In tersenyum mengejek. "Cerita mereka tentu lain lagi. Dengarkan baik-baik, Pek Mau San-jin. Ketika aku sedang berjalan, aku mellhat seorang laki-laki lemah dipukuli oleh dua orang ini. Aku lalu maju melerainya, akan tetapi mereka marah dan mengatakan aku membela pencuri. Aku bukan membela pencuri, hanya membela orang lemah yang dipukuli orang-orang yang mengandalkan kekuatan mereka. Kami lalu bertanding dan aku mengalahkan mereka berdua.
"Tukang kebun yang mencuri barang-barang perak untuk membiayai anaknya yang sakit itu menyatakan penyesalannya dan berjanji hendak mengembalikan barang-barangnya yang dicurinya. Aku lalu pergi dan bermalam di dusun sebelah selatan itu. Akan tetapi malah tadi ada yang melempar pisau dan surat itu ke atas meja makanku. Nah, itulah yang terjadi, Pek Mau San-jin."
Pek Mau San-jin kembali menghadapi dua orang murid keponakan yang masih berlutut di depannya itu. "Hemm, murid Bu-tong-pai rnacam apa kalian ini? Kalian bertindak kejam memukuli tukang kebun yang terpaksa mencuri barang-barang perak itu! Tahukah kalian? Sebelum aku datang ke sini, pangcu (ketua) memberitahukan bahwa semalam tukang kebun itu datang menghadap dan mengembalikan barang-barang yang dicurinya sambil mohon ampun! Apakah kalian dapat mengembalikan dan menebus apa yang telah kalian lakukan kepada dia? Memukuli dan menyiksanya? Itu kesalahanmu yang pertama!"
"Ampun, supek, teecu (murid) berdua terburu nafsu, terdorong kemarahan karena dia telah melakukan pencurian." kata murid yang bertubuh tinggi kurus.
"Hemmm, kapan para gurumu di Bu-tong-pai mengajar kalian untuk bertindak kejam? Apa lagi terhadap seorang pembantu yang miskin, yang terpaksa melakukan pencurian untuk membiayai pengobatan anaknya! Dan kesalahanmu yang kedua. Kalian melapor kepadaku bahwa Ang-hwa Sian-Li telah menghina Bu-tohg-pai dan memandang rendah ilmu pedang Thai-kek Sin-kiam, padahal ia tidak melakukan hal itu. Kalian berani membohongiku!"
"Supek, teecu berdua melakukan itu agar supek mau membela teecu berdua dan membalas kekalahan kami." Kata pemuda tinggi besar.
"Huh, kalian mengaku murid Bu-tong-pai yang gagah perkasa, akan tetapi setelah kalah kalian tidak mau secara jantan mengakui kekalahan kalian. Sebaliknya berbohong untuk memanaskan hatiku dan sekarang kalian hanya membikin malu kepadaku! Dan yang ketiga, lebih membuat aku malu lagi. Kalian telah mengirim tantangan kepada Ang Hwa Sian-li. Akan tetapi kepadaku kalian melapor bahwa pagi ini Ang-hwa Sian Li yang menantangku! Murid macam apa kalian ini.”
Dua orang itu sambil berlutut memberi hormat dan dengan suara berbareng mereka berkata, "Ampunkan teecu, supek...”
Thian Liong berkata kepada Pek Mau San Jin, ”Sudahlah, locianpwe, saya harap urusan ini dianggap tidak ada saja. Bagaimanapun, locianpwe maupun Ang hwa Sian Li tidak terluka. Harap locianpwe mengampuni dua orang saudara ini..."'
"Apa...?" Siang In membentak dengan suara nyaring. "Kesalahan mereka bertumpuk tiga lapis dan engkau mintakan ampun? Sebagai guru yang baik, sudah sepantasnya menghukum murid-murid yang bersalah. Kalau tidak, bagaimana sang guru akan mempunyai wibawa terhadap murid-muridnya? Dia akan dicemooh dan para murid akan menjadi semakin berani dan kurang ajar!"
Pek Mau bun-jin tersenyum akan tetapi kedua pipinya menjadi agak merah. Dia merasa malu sekali. "Kalian cepat kembali dan masuklah ke ruangan hukuman menanti keputusan Pang-cu (Ketua) dan jangan keluar dari ruangan itu sebelum diperintah!"
"Baik, supek." kata dua orang pemuda itu dan mereka lalu memberi hormat, berdiri dan pergi dari situ dengan kepala ditundukkan.
Pek Mau San-jin lalu mengangkat kedua tangan depan dada, berkata kepada Siang In. "Ang-hwa Sian-li, engkau masih muda akan tetapi sudah memiliki kepandaian tinggi dan juga berpemandangan jauh. Ucapanmu tentang dua murid kami itu memang benar, dan kami minta maaf atas kesalahan mereka terhadapmu."
Biarpun wataknya keras dan liar, namun puteri cucu kepala Suku Uigur ini selain ilmu Silat, juga mendapat pendidikan kebudayaan yang cukup dari ibunya. la pandai membawa diri dan kalau orang bersikap baik dan lembut kepadanya iapun tidak kalah lembut, akan tetapi kalau ada yang mengasarinya, ia pandai juga bermain kasar dan keras. Siang In membalas penghormatan tokoh Bu-tong-pai itu dan berkata sambil tersenyum manis.
"Totiang terlalu memuji. Saya yang muda mendapat pelajaran dan pengalaman yang baik sekali dengan bertanding melawan totiang. Yang bersalah sudah dihukum, itu sudah cukup bagi saya, tidak ada yang perlu dimaafkan, totiang."
"Akan tetapi, kami mengundang Souw Sicu sebagai murid Tiong Lee Cin-jin untuk bertemu dengan ketua kami, dan kami juga mengundang engkau, nona."
"Akan tetapi, aku tidak mempunyai urusan dengan Ketua Bu-tong-pai seperti halnya saudara Souw Thian Liong ini!" kata Siang In, dan ucapan ini hanya untuk pemanis bibir saja karena sebetulnya di dalam hatinya ia ingin sekali ikut Thian Liong menemui ketua Bu-tong-pai untuk mengetahui keperluan apa yarig membawa pemuda itu menemuinya.
Biarpun baru menduga, Siang In yakin bahwa pemuda itu memiliki ilmu silat yang tinggi. Hal ini terbukti ketika pemuda itu memukul runtuh jarum-jarum beracunnya sehingga menyelamatkan Pek Mau San-jin. Hanya orang yang memiliki sin-kang (tenaga sakti) amat kuat saja yang mampu memukul runtuh jarum-jarumnya dari jauh, menggunakan sambaran hawa pukulan.
"Kami sungguh mengundangmu, Ang-hwa Sian-li. Kalau ketua kami mendengar akan perbuatan tak terpuji dari dua orang murid kami kepadamu, lalu aku tidak mengundangmu, tentu beliau akan marah dan menegurku sebagai tidak mengenal sopan santun. Karena itu, demi menjaga agar aku tldak mendapat teguran dari ketua kami, kuharap engkau suka menerima undanganku untuk bersama Souw-sicu menemui Pangcu kami."
Siang In menoleh kepada Thian Liong dan tersenyum, seolah hendak mengatakan melalui pandang mata dan senyumnya bahwa ia "terpaksa" ikut berkunjung ke Bu-tong-pal! "Wah, kalau begitu, baiklah, totiang. Kalau aku tidak menerima undanganmu, berarti aku yang tidak mengenal sopan santun."
Tosu itu tertawa dan mereka bertiga lalu berjalan mendaki lereng menuju ke sebuah puncak bukit di mana perkampungan Bu-tong-pai berada.
Pada waktu itu yang menjadi ketua Bu-tong-pai adalah seorang kakek berusia tujuh puluh tahun yang biasa disebut Ciang Losu. (Guru Tua Ciang). Nama lengkapnya adalah Ciang Sun dan hanya dia seoranglah yang menguasai Thai-kek Sin-kiam sebanyak delapan bagian. Sebelum dia juga tidak ada yang dapat menguasai Thai-kek Sin-kiam secara lengkap karena kitab pusaka pedang itu hilang tak tentu rimbanya hampir seratus tahun yang lalu.
Namun akhir-akhir ini kesehatan Ciang Losu amat mundur. Kekuatan tubuhnya dlgerogoti usia sehingga dia lebih banyak bersamadhi dari pada melakukan kegiatan mengurus perguruan Bu-tong-pai. Untuk itu dia menugaskan para sutenya, di antaranya Pek Mau San-jin yang merupakan sutenya yang paling muda. Maka tidak aneh kalau Pek Mau San-jin hanya mencapai tingkat ke tiga saja di perguruan itu.
Ketika Ciang Losu yang tua itu mendengar bahwa murid Tiong Lee Cin-jin diutus gurunya untuk mengunjunginya, dia merasa gembira dan segera keluar menyambut. Sudah lama dia merasa kagum sekali mendengar nama Tiong Lee Cin-jin dan biarpun yang datang sekarang hanya seorang muda, akan tetapi karena dia menjadi murid dan utusan Tiong Lee Cin-jin yang sengaja datang berkunjung, dia merasa girang sekali.
Thian Liong dan Siang In yang mengikuti Pek Mau San-jin memasuki bangunan induk dari perkqinpungan Bu-tong-pai melihat munculnya seorang kakek tinggi kurus, rambut dan jenggotnya yang panjang sudah berwarna putih seperti benang perak, pandang matanya lembut dan mulutnya terhias senyum sabar, segera memberi hormat.
Mereka menduga bahwa kakek ini tentu ketua Bu-tong-pai dan dugaan mereka benar. Pek Mau San-jin yang tadi menyuruh seorang murid yang dijumpainya di pintu gerbang. untuk melapor kepada Ciang Losu akan kunjungan murid Tiong Lee Cin-jin, segera memperkenalkan.
"Toa-suheng (kakak seperguruan tertua), ini adalah sicu (orang gagah) Souw Thian Liong murid dan utusan Tiong Lee Cin-jin, dan yang ini adalah Ang-hwa Sian-li. Souw-sicu dan Ang-hwa Sian-li, inilah ketua Bu-tong-pai kami, suheng Ciang Losu."
"Harap locianpwe (orang tua gagah) sudi memaafkan kalau kedatangan kami mengganggu ketenangan locianpwe." kata Thian Liong dengan sikap hormat.
"Sian-cai, sikap Souw-sicu saja cukup menjadi bukti betapa bijaksananya Tiong-Lee Cin-jin yang kami hormati. Mari, orang-orang muda gagah, silakan masuk, kita bicara di dalam." kata Ciang Losu dengan wajah ceria.
Mereka berempat masuk dan duduk di ruangan dalam yang tertutup. Seorang murid menyuguhkan air teh lalu keluar lagi. "Nah sekarang kita dapat bicara dengan leluasa di sini. Ceritakanlah, apa yang membawa kalian berdua orang-orang muda gagah datang berkunjung ke Bu-tong-pai dan menemui pinto (saya)."
"Saya tidak mempunyai keperluan apa-apa, locianpwe. Saya datang untuk memenuhi udangan Pek Mau San-jin." kata Siang In sambil memandang kepada pembantu ketua Bu-tong-pai itu.
Pek Mau San-jin segera menerangkan kepada suhengnya. "Suheng, Souw-sicu datang dan minta menghadap suheng karena dia diutus oleh gurunya untuk membicarakan sesuatu yang penting dengan suheng. Adapun nona ini, ada sesuatu terjadi antara Ang-hwa Sian-li ini dan dua orang murid kita yang membuat merasa tidak enak dan mengundangnya."
Dengan singkat Pek Mau San-jin lalu menceritakan tentang peristiwa yang di alami Siang In dan dua orang murid Bu-tong-pai yang menjadi gara-gara bentrokan antara Pek Mau San-jin dan gadis perkasa itu.
"Saya telah menyuruh dua orang murid itu menanti di ruangan hukuman, menanti keputusan suheng." Pek Mau San-jin mengakhiri ceritanya.
Ciang Losu mengangguk-angguk. Wajah yang penuh kesabaran itu sama sekali tidak memperlihatkan kemarahan hatinya. "Anak-anak itu harus dihukum. Laksanakan hukuman itu sekarang juga, sute. Mereka harus melakukan samadhi selama tiga bulan. hanya berhenti sehari sekali untuk makan. Dengan demikian kita harapkan mereka akan dapat menghilangkan kekejaman dari hati mereka."
"Baik, suheng, akan saya laksanakan sekarang juga." Pek Mau San-jin memberi hormat lalu meninggalkan ruangan itu.
Setelah sutenya pergi, Ciang Losu berkata kepada Siang In dan Thian Liong "Kalian lihat, betapa sulitnya mengalahkan musuh utama dalam hidup ini. Musuh utama itu adalah dirinya sendiri, nafsu-nafsunya sendiri. Ang-hwa Sian-li...."
"Locianpwe, nama saya adalah Thio Siang In, saya merasa malu kalau lo-cianpwe yang menyebut saya dengan julukan kosong itu." kata Siang In.
Ciang Losu tersenyum lebar memperlihatkan rongga mulut yang sudah tidak ada giginya lagi. "Nona Thio Siang In, pinto lihat bahwa di balik kekerasan hatimu terdapat kerendahan hati dan kejujuran. Maafkanlah ulah kedua orang murid Bu-tong-pai kami."
"Tidak mengapa, locianpwe. Mereka sudah dihukum dan kalau mereka dapat mengubah sikap, saya ikut merasa girang."
"Sekarang, pinto ingin mendengar darimu, SoTionicu. Tiong Lee Cin-jln mengutus engkau datang menemui pinto, sebetulnya membawa keperluan apakah?"
"Locianpwe, saya diutus suhu untuk menyerahkan sebuah kitab kepada lecianpwe, karena menurut suhu, kitab itu adalah hak milik Bu-tong-pai." Setelah berkata demikian, Thian Llong menurunkan buntalan pakaiannya dari punggung dan membuka buntalan itu.
"Ah, bukan main! Tiong Lee Cin-jin menemukan kitab kami dan mengembalikan kepada kami? Sungguh mulia, sungguh bljaksana!" kata Ciang Losu dengan wajah berseri, tampaknya gembira sekali.
Thian Liong mengambil Kitab Kiauw-ta Sin-na dari dalam buntalan. Kitab ini agak tebal dan sudah tua sekali. "Inilah kitab itu, locianpwe, harap sudi menerimanya."
"Terima kasih....!" Kakek itu menerima kitab, lalu dibuka. Setelah melihat isinya, dia berkata, "Sian-cai....! Kiranya Kitab Kiauw-ta Sin-na yang hilang lima puluh tahun yang lalu!"
"Locianpwe telah menerima kembali kitab yang telah lama hilang, kenapa malah tampak kecewa?" tiba-tiba Siang In bertanya.
"Eh... ahh....? Nona Thio Siang In sungguh memiliki penglihatan yang amat tajam!" seru Clang Losu sambil tersenyum dan memandang kagum. "Sesungguhnyalah, pinto merasa kecewa melihat bahwa yang dikirim oleh Tiong Lee Cin-jin adalah Kitab Kiauw-ta Sin-na, bukan Kitab Thai-kek Sin-kiam yang hilang seratus tahun yang lalu seperti yang tadi kusangka dan harapkan."
"Suhu pernah bercerita kepada saya, locianpwe, bahwa dalam perjalanannya, suhu juga berusaha mendapatkan kembali kitab pusaka milik Bu-tong-pai itu, akan tetapi menurut suhu, tidak ada seorangpun di dunia barat yang tahu tentang Kitab Thai-kek Sin-kiam itu." Kata Thian Liong.
"Ah, tidak mengapa, Souw-sicu. Kitab Kiauw-ta Sin-na ini juga merupakan kitab pusaka kami yang penting. Harap sampaikan ucapan terima kasih dan seluruh anggauta dan pipipinan Bu-tong-pai."
"Baik, locianpwe, akan saya sampaikan kepada suhu pesan locianpwe." Kata Thian Liong.
"Bu-tong-pai tidak dapat membalas apa-apa atas kemuliaan hati dan kebijaksanaan Tiong Lee Cin-jin. Kami hanya dapat mendoakan semoga Tiong Lee Cin jin berusia panjang dan hidup penuh kebahagiaan." kata pula kakek itu.
"Terima kasih, lo-cianpwe." Dua orang muda itu laki berpamit dari Ketua Bu-tong-pai yang sudah tua itu.
Di pintu depan mereka disambut oleh Pek Mau San-jin yang mengantar mereka sampai keluar pintu gerbang Bu-tong-pai. Setelah mengucapkan terima kasih atas sambutan Bu-tong-pai yang baik, Thian Liong dan Siang In lalu meninggalkan perguruan silat yang terkenal itu dah menuruni puncak bukit.
Setelah tiba di kaki bukit, Siang In mengajak pemuda itu berhenti dan la bertanya. "Liong-ko, urusan di Bu-tong pai sudah beres. Sekarang, engkau hendak pergi ke manakah?"
"Aku sekarang akan pergi ke Siauw-Lim-pai." jawab Thian Liong sejujurnya.
"Wah? Bukankah kuil Siauw-Lim-pai itu jauh sekali dari sini? Mau apakah engkau pergi ke perguruan-perguruan silat? Tadi ke Bu-tong-pai dan sekarang hendak ke Siauw-lim-pi. Apakah juga engkau ke sana untuk menyerahkan kitab pusaka Siauw-lim-pai?"
Thian Liong mengangguk. "Tldak salah dugaanmu, In-moi. Aku memang sedang melaksanakan perintah suhu untuk menyerahkan kitab-kitab pusaka kepada pemiliknya yang berhak."
"Suhumu Tiong Lee Cin-jin itu aneh sekali! Aku sudah mendengar bahwa dia merantau ke dunia barat selama puluhan tahun dan berhasil mendapatkan banyak kitab penting. Kenapa sekarang kitab-kitab itu dibagi-bagikan?"
"Bukan begitu, In-moi. Dalam perantauannya ke barat untuk memperdalam ilmu, suhu menemukan kitab-kitab para perguruan silat yang dulu dicuri orang. Suhu berhasil merampasnya kembali dan karena kitab-kitab itu ada yang berhak memiliki, maka suhu mengutus aku untuk mengembalikan kitab-kitab itu kepada yang berhak. Bukankah hal itu sudah wajar dan semestinya?"
"Sama sekali tidak wajar. Kalau suhumu yang menemukan dan merampasnya kembali, semestinya kitab-kitab itu menjadi hak milik suhumu! Enak saja para ketua perguruan silat itu menerima kembali kitab mereka tanpa merasa bersusah payah! Ah, sudahlah, memang aku sudah mendengar bahwa Tiong Lee Cin-jin itu orangnya aneh luar biasa. Tapi kulihat engkau ini orang biasa saja, seperti juga aku. Ngomong-omong, berapa banyak sih kitab yang harus kau kembalikan kepada para ketua perguruan silat itu, Liong-ko?"
"Hanya tiga buah kitab, In-moi. Sebuah untuk diserahkan kepada Ketua Kun-lun-pai, sebuah untuk Ketua Bu-tong-pai dan yang sebuah lagi harus kuserahkan kepada Ketua Siauw-lim pai."
"Hemm, bagian Bu-tong-pai sudah kau serahken. Apakah kitab untuk Kun-lun-pai juga sudah kau berikan kepada ketuanya?"
Thian Liong menggeleng kepala dan menghela napas panjang. "Itulah yang merisaukan hatiku, In-moi. Kitab untuk Kun-lun-pai Itu dicuri orang dalam perjalananku."
"Waah...! Dicuri orang? Apa namanya kitab pusaka Kun-lun-pai itu, Liong-ko? Siapa tahu aku dapat membantumu mencarinya."
"Kitab itu berjudul Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat."
"Dan siapa pencurinya?"
"Itulah yang memusingkan. Pencurinya seorang gadis, aku akan dapat mengenal wajahnya, akan tetapi sayang, aku tidak tahu namanya."
"Hemm, bagaimana seorang gadis mampu mencuri kitab pusaka itu darimu? Coba gambarkan bagaimana gadis itu. Siapa tahu aku akan dapat bertemu dengannya dan dapat merampas kitab yang dicurinya itu!" kata Siang In penuh semangat.
”la masih remaja, paling banyak tujuh belas tahun usianya. Pakaiannya serba merah muda. la lincah jenaka, bengal, galak dan cerdik."
"Wajahnya, bagaimana rupanya?"
"Hemm, wajahnya bulat telur, rambutnya hitam panjang, kalau tertawa timbul lesung pipit di kedua pipinya...."
"la cantik?"
"Cantik sekali, pinggangnya ramping, dagunya meruncing, kulitnya putih...."
"Hemm, cantik mana kalau dibandingkan... aku?"
Thian Liong menatap wajah didepannya. "Wah... sukar menilai, In-moi. Engkau juga cantik sekali, sukar rnengatakan siapa di antara kalian yang lebih cantik. Usia kalian juga sebaya dan ilmu silat kalian juga sama lihainya."
"Tentu Kun-lun-pai marah sekali mendengar kitab pusaka mereka dicuri orang. Apakah mereka sudah tahu?"
"Memang mereka tadinya marah sekali. Akan tetapi akhirnya Kui Beng Thaisu, ketua Kun-lun-pai dapat menerima kenyataan dan akupun sudah berjanji kepadanya untuk berusaha mencari dan menemukan kembali kitab pusaka, Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat itu."
"Kitab pusaka Bu-tong-pai tadi adalah Kitab Kiauw-ta Sin-na. Lalu sekarang tinggal sebuah, yaitu kitab pusaka yang akan kau serahkan kepada Siauw-lim-pai. Apakah nama kitab itu, Liong-ko?" Sepasang mata bintang itu memandang ke arah buntalan pakaian di punggung Thian liong.
"Namanya Kitab Sam-jong Cin-keng. Menurut keterangan suhu, kitab ini mengandung ilmu yang diciptakan sendiri oleh Dewa Ji-lai-hud!"
"Wah, aku ingin sekali melihatnya! Liong-ko yang baik, tolong perlihatkan kitab itu padaku, sebentar saja!" Gadis itu mendekat.
"Wah, tidak boleh, In-moi!"
"Aih! Masa hanya melihat saja tidak boleh?"
"Suhu memesan agar aku jangan memberikan kitab-kitab itu kepada siapa saja kecuali kepada para ketua yang berhak menerimanya."
"Akan tetapi aku hanya ingin pinjam sebentar, melihat-lihat lainnya untuk menambah pengetahuan dan pengalamanku. Sebentar saja, nanti kukemballkan,"
"Maaf, In-moi, aku tidak dapat memenuhi permintaanmu. Suhu berpesan agar aku menjaga kitab-kitab Itu dengan taruhan nyawaku."
Walah gadis itu berubah merah, matanya bersinar-sinar mengandung kemarahan. "Hemm, buktinya sebuah di antara tiga buah kitab itu hilang...!"
"Hal itu terjadl karena aku lengah dan gadis itu mencurinya."
"Benarkah? Apakah tidak karena engkau tergila-gila oleh kecantikannya dan engkau meminjamkan kitab itu kepadanya lalu ia melarikan diri membawa kitab itu?"
"Sama sekali tidak, In-moi. Engkau, juga cantik, akan tetapi tetap saja aku tidak berani meminjamkan kitab ini padamu. Maafkan saja."
"Bagaimana kalau ada orang menggunakan kekerasan untuki merampas kitab?"
”Tentu saja akan kulawan dan kupertahankan."
"Kalau begitu karena engkau tidak mau meminjamkannya, aku akan merampasnya dengan kekerasan. Lawanlah aku!" Setelah berkata demikian, dengan cepat sekali Siang In sudah menerjang pemuda itu dan tangan kirinya menotok ke arah dada sedangkan tangan kanannya mencengkeram ke arah buntalan yang tergantung di punggung Thlan Liong.
Thian Liong terkejut sekali dan cepat dia mengelak dengan loncatan ke belakang. Dia merasa kecewa dan marah. Kenapa setiap kali bertemu dengan gadis cantik, selalu dia menghadapi kesulitan dan persoalan? Pertama bertemu gadis jelita berpakaian merah muda itu yang kemudian mencuri kitab pusaka Kun-lun-,pai dari buntalan pakaiannya sehingga dia mengalami kesulitan.
Kemudian dfa bertemu dengan Kim Lan, murid Kun-lun-pai yang cantik itu, yang hendak memaksanya agar dia menjadl suami gadis itu! Dan sekarang ini, dia menghadapi Ang-hwa Sian-Ii Thlo Siang In yang ayu manis, dan lagi-lagi dia menghadapi kesulitan karena gadis inl hendak memaksanya meminjamkan kitab pusaka StauW-lim-pai!
"In-moi, jangan begitu! Kitab ini bukan milik kita. Kita tidak berhak...”
"Cukup! Berikan kepadaku atau aku terpaksa akan merampasnya dengan kekerasan!"
"Tidak boleh, In-moi!" kata Thian Liong yang mulai merasa panas juga perutnya.
"Hyaaaattt...." Siang In menerjang dengan cepat. Serangannya kuat bukan main dan kedua lengannya dikembangkan dan menyerang secara tiba-tiba dari samping, seperti sepasang sayap, kedua kakinya berjingkat dan berloncatan, seperti gerakan seekor burung.
Memang gadis ini telah menyerang dengan memainkan ilmu silat Kong-ciak Sin-kun, (Silat Sakti Burung Merak). Gerakannya indah dan aneh, akan tetapi berbahaya sekali karena kedua tangan dan kedua kaki itu menyerang secara bergantian secara tiba-tiba dan tak tersangka-sangka!
Thian Llong bersikap hati-hati. Gerakan serangan gadis ini dahsyat juga walaupun ketika diam-diam dia membandingkan, belumlah sedahsyat tingkat kepandaian gadis baju merah yang mencuri kitab pusaka Kun-lun-pai Itu. Dia mengerahkan ilmu meringankan diri dan mengelak dari semua serangan. Tubuhnya berkelebatan, berubah menjadi bayangan yang tidak mungkin dapat dilanda pukulan atau tendangan.
Siang In terkejut. Belum pernah la melihat gin-kang (ilmu meringankan tubuh) sehebat ini. Kedua matanya sampai menjadi kabur saking cepatnya bayangan Thian Llong bergerak. Siang In menjadi penasaran. Tiba-tiba ia sudah mencabut saputangan merah dan sekali mengebut dengan saputangan, belasan batang jarum kecil lembut menyambar ke arah tubuh Thlan Liong. "Haiiit!"
"Ahhh!" Thian. Liong mendorong dengan telapak tangannya dan jarum-jarum itupun runtuh semua. Akan tetapi kini gadis itu telah menyerangnya dengan cepat dan sekali ini kedua tangannya melakukan totokan-totokan ke arah jalan darah maut di seluruh tubuh Thian Liong. Itulah ilmu totok Im-yang Tiam-hoat, yang dtpergunakan Siang In setelah Ban-tok-ciam (Jarum Selaksa Racun) yang dikebutkan dengan saputangan merah tadi gagal.
"Hemm....!" Thian Liong menghadapi serangan baru ini dengan kagum. Gadis ini memang lihai, memiliki beberapa macam ilmu silat yang ampuh. Akan tetapi, seperti juga jarum-jarum beracunnya, ilmu totok inipun bersikap kejam karena setiap serangan merupakan serangan maut. Dia mengelak dan terkadang menangkis dengan membatasi tenaganya sehingga Siang In hanya merasa betapa lengannya tergetar hebat kalau tertangkis lengan pemuda, akan tetapi ia tidak sampai cidera patah tulang.
Setelah setnua serangannya gagal sama sekali dan pemuda itu belum juga satu kali membalas serangahriya, tahulah Siang In bahwa tingkat kepandaiannya kalah jauh. Semua serangannya tadi gagal dan sampai sekilan lamanya Thian Liong tidak pernah membalas. Hal ini berarti pemuda itu mengalah terhadapnya. Akan tetapi ia memang keras hati, tidak mau mengaku kalah begitu saja.
"Srat-sing....!" Dua sinar berkelebat dan gadis itu sudah mencabut siang-kiam (sepasang pedang) yang tergantung di punggungnya. Dua batang pedang yang Berkilauan berada di kedua tangannya. Akan tetapi ia tidak segera menyerang.
"Ayo, cabut pedangmu! Hendak kulihat apakah engkau mampu menandingi sepasang pedangku!" tantang Siang In sambil mengerutkan alisnya karena ia masih marah oleh penolakan Thian Liong yang tidak mau meminjamkan kitab pusaka Siauw-lim-pai untuk dilihatnya.
"Sudahlah, In-moi, mengapa engkau berkeras menantangku bertanding? Kita ini bukan musuh, melainkan sahabat, bukan? Aku girang dan berterima kaslh sekali atas semua slkapmu kepadaku yang amat baik dan bersahabat selama ini. Maka, kuminta kepadamu, hentikanlah pertandingan inl."
"Hemm, Souw Thtan Liong! Engkau mengaku bahwa aku bersikap baik dan bersahabat, akan tetapi sebaliknya, bagaimana sikapmu? Engkau pelit dan tidak percaya kepadaku sehingga memperlihatkan kitab pusaka itu engkau tolak? Apakah artinya persahabatan bagimu?"
"In-moi, kitab ini bukan milikku dan aku harus mentaati pesan dan perintah suhu. Bagaimana aku dapat disebut seorang berbakti kalau aku melanggar pesan suhu yang tidak boleh memperlihatkan kitab ini kepada orang lain kecuali kepada Ketua Siauw-lim-pai? In-moi, maafkan aku. Engkau boleh minta yang lain, akan tetapi jangan minta aku melanggar larangan suhu."
"Cukup. Aku tetap ingin menguji kepandaianmu dan engkau coba bandingkan, siapa di antara aku dan gadis yang mencuri kitab pusaka Kun-lun-pai yang lebih lihai. Pergunakan pedangmu. Aku tidak sudi bertanding dengan orang yang bertangan kosong melawan sepasang pedangku!"
Thian Liong menghela napas panjang. Gadis Inl sama keras hatinya dengan gadis baju merah yang mencurl kitab pusaka Kun-lun-pal itu. Kalau tldak dlturutl tantangannya, la tentu akan mendesak terus. Diapun mencabut Thian-liong-kiam dan melintangkan pedang itu di depan dadanya. Kalau demikian kukuh kehendakmu, baiklah, In-moi. Akan kulayani permainan pedangmu." kata Thian Liong dengan sikap tenang.
"Lihat seranganku. Haaaiiiit" Dua batang pedang di kedua tangan Siang In itu berubah menjadi dua gulungan sinar yang menyambar ke arah Thian Liong.
Pemuda ini cepat melangkah mundur dan mengelebatkan pedangnya, membentuk sebuah lingkaran, sinar yang melindunginya. Dia melihat betapa gerakan pedang di kedua tangan gadis itupun ganas sekali. Sepasang pedang itu menyambar-nyambar bagaikan dua ekor ular cobra yang liar dan ganas.
Setiap tusukan atau bacokan mengarah bagian tubuh berbahaya sehingga setiap serangan merupakan ancaman maut bagl lawan. Inilah Toat-beng Siang-kiam (Sepasang Pedang Pencabut Nyawa), ilmu pedang yang amat dahsyat dan ganas.
Akan tetapi Thian Liong menghadapi serangkaian serangan gadis itu dengan tenang. Gerakannya tenang dan mantap dan setiap kali sinar pedangnya bertemu dengan dua gulungan sinar pedang lawan sepasang pedang di tangan Siang In terpental. Akan tetapi hal ini bahkan membuat Siang In menjadi semakin penasaran dan ia mengamuk terus, menyerang dengan sekuat tenaga dan mengeluarkan semua jurus ilmu pedangnya.
Seperti tadi ketika mereka bertanding dengan tangan kosong, kini Thian Liong juga selalu mengalah, hanya mengelak dan menangkis saja. Tiga puluh jurus telah lewat dan selalu Siang In yang menyerang sedangkan Thian Liong hanya melindungi dirinya. Hal ini membuat Siang In menjadi semakin penasaran. la merasa dipandang rendah dan hal ini menyinggung harga dirinya.
"Hayo balas, pertandingan macam apa ini kalau engkau hanya mengelak dan menangkis saja?" bentaknya dan darl suaranya terdengar bahwa ia marah dan penasaran sekali.
Thian Liong merasa serba salah. Untuk menyerang tentu saja dia tidak tega, akan tetapi kalau dia tidak menyerang, dia tahu bahwa gadis itu menjadi penasaran dan merasa dipandang rendah. "In-moi, jaga seranganku!"
Thian Liong berseru dan gulungan sinar pedangnya menjadi lebar sekali. Angin mendesir-desir dan pedang Thian-liong-kiam, mengeluarkan suara berdesing-desing, bagaikan gelombang samudera dalam badai menerjang ke arah Siang In. Gadis itu terkejut bukan main dan cepat Ia mengerahkan tenaga dan memutar sepasang pedangnya untuk melindungi dirinya dari hantaman gelombang sinar pedang yang amat dahsyat itu.
Akan tetapi begitu kedua pedangnya bertemu dengan gulungan sinar pedang yang menerjangnya, hampir Siang In menjerit karena kedua pedangnya terasa seperti tergulung gelombang sinar, diputar dan dlrenggut dari kedua tanganhya, la mempertahankan dengan pengerahan tenaga, namun tetap saja kedua pedangnya terenggut lepas dari kedua tangannya.
Tentu saja ia terkejut dan cepat melompat ke belakang dan ia melihat Thian Liong yang memutar pedangnya itu tiba-tiba menggerakkannya ke bawah dan... cappp! Dua batang pedangnya meluncur dan menancap di atas tanah, di depan kakinya!
"Ilmu silat sepasang pedangmu hebat, In-moi, membuat aku cukup kerepotan." kata Thlan Llong sejujurnya tanpa bermaksud mengejek karena memang dia menganggap ilmu pedang tadi berbahaya sekali.
Akan tetapi Stang In tidak menjawab, melainkan cepat la mengambil sepasang pedangnya dengan kedua tangan, kemudian ia meloncat dan berlari pergi meninggalkan Thlan Llong. Pemuda itu hanya dapat mengikuti bayangan gadis Itu dengan pandang matanya dan dia mendengar isak tertahan. Gadls itu meninggalkannya sambll menangis!
Thian Liong menyimpan pedangnya dan dia berdlrl termenung. Dia merasa heran dan tldak mengerti, Dua kali dia bertemu dangan dua orang gadis yang cantik jelita dan berkepandaian tinggi dan keduanya rnemiliki watak yang aneh. Keduanya keras hati, ganas dan kejam, akan tetapi keduanya Juga menentang kejahatan seperti pendekar-pendekar wanita!
Sungguh sukar menyelami watak kedua orang gadis itu. Akan tetapi dia-pun harus mengakui dalam hati bahwa baru sekarang secara berturut-turut dia rnerasa tertarik kepada wanita. Wajah gadis baju merah dan wajah Slang In silih berganti membayang di depan matanya. Dia mengheia napas dan melanjutkan perjalanannya menuju ke Siauw-lim!"
Siauw-lim-pai merupakan perguruan silat yang terkenal sekali, bukan saja sebagai sebuah perguruan silat yang dipimpin orang-orang sakti, akan tetapi juga sebagai pusat perkembangan Agama Buddha yang dlpimpin para hwesio (pendeta) yang beribadat. Biarpun para murid yang sudah lulus dan tldak tinggal lagi di perumahan Siauw-llm-si (Kuil Siauw-lim) yang biasa.
Itu tidak diharuskan jadi pendeta, namun semua murid yang masih belajar ilmu silat dl Kuil Siauw-lim dlharuskan hidup sebagai murid Buddha yang patuh dan baik. Selagi mereka belajar dalam kuil besar yang merupakann kornpleks perumahan luas itu, para murid harus merelakan kepala mereka digunduli seperti para pendeta dan hldup sederhana, pantang raakanan berjiwa dan minuman keras.
Pada waktu itu, yang menjadi ketua Siauw-llin-pai adalah Hui Sian Hwesio yang usianya sudah enam puluh lima tahun. Hwesio ini bertubuh tinggi besar dan gemuk, berkulit putih dengan muka bulat dan alisnya tebal. Sikapnya lemah lembut dan walaupun dia merupakan orang nomor satu di Siauw-lim-pai namun dia jarang ikut membimbing para murid dalam hal llmu silat.
Dia lebih mengutamakan pelajaran Agama Buddha dan lebih sering duduk bersamadhi seorang dlri. Adapun yang sibuk mewakilinya mengurus persoalan Siauw-lim-pai dan mengawasi para murid kepala adik-adik seperguruannya melatih llmu silat kepada para murid, adalah Cu Sian Hwesio. Dia menjadi wakil ketua dan adik seperguruan Hui Sian Hwesio. Cu Sian Hwesio yang berusia enam puluh tahun ini berkulit agak hitam, hldungnya mancung dan bentuk wajahnya leblh mirip orang India.
Memang dia merupakan seorang peranakan India, bahkan lama dia memperdalam pengetahuan agamanya di India. Tubuhnya tinggi kurus dan walaupun dia merupakan sute (adik seperguruan) Hui Sian Hwesio dan tingkat kepandaian silatnya masih di bawah tingkat sang ketua, namun Cu Sian Hwesio terkenal sebagai seorang hwesio yang tangguh dan lihai sekali ilmu silatnya.
Pada auatu pagi, seperti biasa, sudah terjadi kesibukan dalam kompleks perumahan Siauw-lim-pai yang luas itu. Para murid yang tidak kurang dari lima puluh orang jumlahnya, sejak pagi sudah mengerjakan kewajlban masing-masing. Mereka bekerja secara bergiliran. Yang mendapat tugas mengangkut air dari sumber air ke dapur dan tempat mandi sudah bekerja keras memikul air rnenggunakan tong-tong air.
Ada pula yang membelah batang pohon menjadi potongan kayu-kayu bakar. Ada pula yang bertugas mencari kayu di hutan sebelah. Ada yang bekerja di ladang di mana mereka menanam sayur-sayuran, Ada pula yang bertugas membersihkan seluruh komplteks, ada yang menyapu, ada yang membersihkan jendela-jendela dan pintu-pintu. Pendeknya, sejak pagi tidak ada muridnya yang menganggur juga di dapur terdapat kesibukan dari mereka yang bertugas memasak makanan.
Ada pula rombongan yang pagi Itu bertugas untuk mempelajari kitab-kitab agama dan menghafalkan doa-doa, dan ada pula rombongan yang bertugas untuk berlatih silat di lian-bu-thia (ruangan berlatih silat), sebuah ruangan yang luas di mana puluhan murid dapat berlatih secara berbareng. Dari ruangan ini terdengar suara-suara bentakan mereka.
Akan tetapi dalam ruangan lain, agak jauh dari ruangan berlatlh silat, terdapat sebuah ruangan yang khusus untuk berlatih samadhi dan ruangan ini tenang sekali. Setelah matahari naik agak tinggi, Iima orang murid Siauw-lim-pai yang bertugas jaga di pintu gapura kompleks perumahan Siauw-lim-si menerima kunjungan seorang tamu.
Lima orang murid yang berusia antara dua puluh sampai tiga puluh tahun itu menyambut datangnya tamu tak dikenal ini dengan sikap hormat dan ramah, sikap yang diajarkan oleh para pimpinan mereka. Orang-orang muda dengan kepala gundul dan pakaian sederhana kini bangkit dari duduknya di dalam gardu penjagaan dan melangkah keluar gardu menyambut tamu itu.
Tamu itu adalah seorang pria berusia kurang lebih lima puluh tahun. Tubuhnya sedang namun tampak kokoh kuat. Wajahnya yang dihias kumis tipis itu gagah perkasa, sinar matanya mencorong. Pakaiannya ringkas, seperti yang biasa dipakai kaum persliatan.
Sebatang padang beronce biru tergantung di punggunnya sehingga mudah sekali diduga bahwa pria Itu tentulah seorang ahli silat atau sebutan umumnya orang kang-ouw (sungai telaga) atau orang bu-lim (rimba persilatan). Seorang murid tertua dari lima orang itu, berusia tiga puluh tahun, cepat mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai penghormatan dan dia bertanya.
"Siapakah saudara yang datang berkunjung dan keperluan apakah yang membawa saudara datang ke Siauw-lim-si?"
Akan tetapi pria itu tidak membalas penghormatan murid Siauw-lim-pai itu, bahkan dia memandang dengan alis berkerut, tanda bahwa hatinya tidak merasa senang."
"Kalian berlima tentu murid-murid Siauw-lim-pai, benarkah?" Suaranya juga terdengar tidak ramah, bahkan agak ketus.
"Benar, kami adalah murid-murid Siauw-lim-pai." jawab lima orang muda itu, mulai merasa penasaran melihat sikap tamu yang tidak ramah itu.
"Nah, cepat panggil Ketua Siauw-lim-pai ke sini untuk menemui aku! Aku ingin bicara dengan dia!"
Lima orang murid, Siauw-lim-pai itu tentu saja mengerutkan alis dan merasa tidak senang. Tamu ini sungguh lancang dan tidak sopan. Masa berani mengeluarkan perintah memanggil ketua mereka begitu saja? Memangnya siapa sih dia. Akan tetapi, murid tertua mewakili teman-temannya karena dialah yang bertugas sebagai kepala jaga. Dia masih dapat bersikap sabar.
"Sungguh tidak mudah untuk menghadap ketua kami. Seorang tamu harus memberitahu nama dan alamat, apa keperluannya agar kami dapat melapor ke dalam, kemudian tergantung keputusan ketua kami apakah beliau dapat menerima tamu itu menghadap atau tidak..."