Kisah Si Naga Langit Jilid 10 karya Kho Ping Hoo - ”AKU bukan tamu!" Pria itu membentak marah. "Tidak perlu menghadap ketua kalian. Dialah yang harus keluar menemui aku karena aku hendak menuntut dia! Hayo, kalian beritahukan ketua kalian agar keluar menemui aku. Ketua kalian Hui Sian Hwesio, bukan?"

Murid-murid Siauw-lim-pai itu mulai marah. Orang ini sudah keterlaluan. "Tidak bisa! Kami tidak blsa memenuhi permintaanmu yang melanggar peraturan kami itu!" kata kepala jaga dengan suara mulai ketus.
"Kalian tidak blsa memanggil ketua kalian keluar? Kalau begitu, aku akan memanggilnya sendiri!" Setelah berkata demikian, pria itu memasuki pintu gapura dan melangkah memasuki pekarangan kuil yang luas itu.
Akan tetapi dengan tangkas lima orang murid penjaga itu melompat dan menghadang didepannya. "Maaf, sobat. Sesual dengan peraturan kami, tak seorangpun orang luar boleh memasukl pekarangan sebelum memperoleh persetujuan. Dan kami tldak dapat menyetujui engkau menyelinap masuk begltu saja tanpa memperkenalkan diri dan tanpa memberi tahu keperluanmu!"
"Hemm, kalian berani melarangku? Coba hendak kulihat bagaimana kalian dapat menghalangiku. Murld Siauw-lim-pai sekarang memang sudah menjadi orang-orang jahat yang patut dihajar!" Setelah berkata demlkian, orang itu melangkah maju terus tanpa menghiraukan mereka berlima yang menghadangnya.
Tentu saja lima orang murid Siauw-lim-pai itu menjadi marah sekali. Mereka menggerakkan tangan untuk mencegah dan menangkap orang yang tidak tahu aturan itu. Akan tetapi orang itu menggerakkan kaki tangannya dengan cepat dan lima orang murid Siauw-lim-pai itu berpelantingan roboh ke kanan kiri.
Cepat sekali gerakan kaki tangan orang Itu yang sudah membagi-bagi tamparan dan tendangan sehingga tidak dapat dihindarkan oleh lima orang murid Slauw-lim-pai itu. Setelah merobohkan lima orang murid Sianw-lim-pai, dia melangkah terus menuju ke anak tangga yang merupakan bagian terdepan dari kuil besar.
Setelah tlba di bawah kuil, dia berhenti dan mendengar teriakan-teriakan para murid yang tadl dirobohkan. Dia tidak perduli berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangannya bertolak pinggang dan dia berteriak. Suaranya terdengar nyaring sekali karena dla mengerahkan khi-kang yang membuat suaranya melengking.
"Hui Sian Hwesio, keluarlah untuk berbicara!!"
Keadaan menjadi gempar. Para murid Siauw-lim-pai meninggalkan pekerjaan masing-masing dan berbondong mereka menuju ke pekarangan kuil. Akan tetapi mereka tidak berani turun tangan dan hanya berdiri menanti perintah dari pimpinan mereka. Tidak kurang dari empat puluh orang murid telah berkumpul di anak tangga serambi depan dan di pekarangan.
Namun pria itu tidak tampak takut, bahkan tersenyum mengejek dan mengulang teriakannya tadi. Tiba-tiba muncul seorang hwesio berusia kurang lebih lima puluh tahun di serambi depan dan dengan langkah lebar hwesio itu menuruni anak tangga. Para murid Siauw-lim-pai merasa lega karena hwesio pendek gendut yang muncul ini adalah pelatih mereka dalam ilmu silat.
Hwesio ini bernama Ki Sian Hwesio, merupakan sute (adik seperguruan) termuda dil antara para plmplnan Siauw-lim-si, akan tetapi karena ilmu silatnya tangguh, maka dia dipilih oleh Hui Sian Hwesio sebagai pelatih, membantu Cu Slan Hwe-sio. Melihat ribut-ribut Ki Sian Hweslo cepat keluar dan klnl berhadapan dengan pria itu. Lima orang murid yang tadi berjaga dan dirobohkan tamu aneh itu, segera mendekati Ki Sian Hwesio dan kepala jaga itu melapor.
"Suhu tamu ini tidak memperkenalkan dirinya, memaksa masuk untuk menemui ketua dan telah merobohkan teecu (murid) berlima."
Ki Sian Hwesio mengerutkan alisnya menatap wajah pria yang masih tampak marah itu. "Sobat, seorang tamu sepatutnya tunduk terhadap tata tertib pihak tuan rumah, bukan memaksa masuk dan berterlak-teriak di sini. Siapakah engkau dan ada keperluan apa engkau berkunjung ke Siauw-lim-pai?"
"Aku Ingin bertemu dan bicara sendiri dengan Ketua Siauw-lim-pai! Apakah engkau ini wakil dari ketua?" orang itu bertanya.
Ki Sian Hwesio menggeleng kepalanya. "Bukan, akan tetapi....""Kalau begltu pergilah dan panggil ketua atau wakil ketua kalian untuk bicara denganku!" potong prla itu ketus.
"Pinceng (aku) memang bukan ketua atau wakil ketua, akan tetapi pinceng berhak dan berkewajiban untuk atas nama Siauw-lim-pai mengusir orang tidak tahu aturan yang berani lancang mengacau dl sini!"
Sinar mata tamu itu mencorong ketika dia mendengar ucapan ini. Dia menatap wajah hwesio yang pendek gendut itu dan berkata, "Hemm, ingin kulihat bagaimana engkau akan mampu mengusir aku dari tempat ini!"
Karena sudah jelas bahwa tamu ini melanggar peraturan Siauw-lim-pai, bahkan telah merobohkan lima orang murid, Ki Sian Hwesio tidak ragu-ragu lagi untuk bertindak.
"Manusia sombong, sambutlah serangan pinceng ini!" bentak hwesio gendut pendek itu dan dia sudah menyerang dengan dahsyatnya.
Biarpun tubuhnya pendek gendut, Ki Sian Hwesio dapat bergerak dengan cepat sekali dan pukulannya mengandung tenaga besar. Hwesio ini lebih suka melatlh ilmu sllat Siauw-lim-pai aliran utara yang mengutamakan kecepatan dan kekuatan, maka serangannya itu cepat namun dahsyat sekali. Sambaran kepalan tangannya mendatangkan angin bersuitan.
Akan tetapi agaknya tamu yang belum juga memperkenalkan namanya itu memiliki ilmu kepandaian silat tinggi. Pantas kalau dia berani bersikap demikian kasar dan berkunjung ke Siauw-lim-pai yang menjadi pusat para pendekar silat. Menghadapi serangan Ki Sian Hwesio itu, dengan tenang namun lincah sekali dia mengelak ke samping dan selagi tangan hwesio itu meluncur luput, dia sudah membalas dengan tamparan tangan terbuka ke arah ubun-ubun kepala Ki Sian Hwesio yang jauh lebih pendek itu.
"Wuuuttt.... dukk!" Ki Sian Hwesio menangkis ke atas dan dua lengan bertemu dengan kuatnya. Akibat benturan kedua lengan ini, dua orang itupun terhuyung ke belakang. Hal ini menunjukkan bahwa tenaga mereka seimbang.
Ki Sian Hwesio menjadi penasaran dan diapun melakukan serangan dengan gencar dan bertubi-tubi, memainkan ilmu silat Siauw-lim-pai yang kokoh kuat. Akan tetapi ternyata lawannya juga lihai sekali, mampu menandinginya, bukan saja mampu menghindarkan kakinya dari tangkapan, akan tetapi lawannya bergulingan dan ketika kakinya turun kembali, tak dapat dihindarkan lagi kakinya dapat dicengkeram!
Sebelum dia sempat meronta, de-ngan gerakan yang aneh namun kuat sekali lawannya menggeliat, kedua tangannya disentakkan dan tubuh Ki Sian Hwesio terlempar beberapa meter dan jatuh (erbanting di atas tanah.
Demikian kuat bantingan itu sehingga tulang pundak kirinya patah! Itu adalah ilmu gulat dari bangsa Mancu! Melihat betapa pelatih mereka terbanting keras dan hanya dapat bangkit duduk sambil mengeluh, para murid Siauw-lim-pai menjadi marah dan mereka sudah siap untuk mengeroyok tamu itu.
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara nyaring berwibawa. "Semua murid mundur!"
Ternyata yang membentak ini adalah Cu Sian Hwesio yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka hitam. Mendengar ini, para murld tidak jadl mengepung dan melangkah mundur, memberi ruangan ke-pada wakil ketua Siauw-lim-pai. Cu Sian Hwesio melangkah maju turun dari anak tangga dan berdiri berhadapan dengan tamu itu.
"Omitohud!" kata Cu Sian Hwesio sambil merangkap kedua tangan di depan dada memberi salam sembah. "Pinceng melihat ada gerakan silat Kong-thong-pai dalam permainan sicu (orang gagah). Selama ini tidak pernah ada permusuhan antara Siauw-lim-pai dan Kong-thong-pai, kenapa sicu datang membikin ribut di sini?"
"Ini adalah urusan pribadiku dengan orang Siauw-lim-pai, sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan perguruan silat manapun!" kata pria itu ketus.
"Omitohud, agaknya sicu marah sekali! Siapakah nama sicu yang terhormat, dan ada urusan apakah antara sicu dengan Siauw-lim-pai?" tanya Cu Sian Hwesio, suaranya tetap tenang dan sabar.
"Engkau siapa?" tanya orang itu, suaranya masih mengandung kemarahan. "Aku hanya Ingin bicara dengan Ketua Siauw-lim-pai!"
"Ketua Siauw-lim-pai sedang bersamadhi, tidak boleh diganggu. Pinceng adalah Cu Sian Hwesio, wakil Ketua Siauw-lim-pai dan semua urusan dengan Siauw-lim-pai dapat diselesaikan dengan pinceng. Suheng Hui Sian Hwesio selaku Ketua Siauw-lim-pai telah menugaskan pinceng untuk menangani semua urusan mengenai Siauw-lim-pai."
Sikap orang itu agak berubah. Dia kini mengangkat kedua tangan membalas salam Cu Sian Hwesio dan berkata, tidak seketus tadi. "Bagus, kalau begitu, aku boleh berurusan denganmu. Namaku Kwee Bun To dan baru beberapa bulan tinggal di dusun kaki bukit ini untuk mengundurkan diri dari keramaian kota dan hidup tenteram dengan anak tunggalku, seorang gadis. Kami memilih tinggal di kaki bukit ini karena mengira bahwa dekat dengan Siauw-lim-pai, tentu kehidupan di sini aman dan tenteram. Siapa kira justeru Siauw-lim-pai yang telah menghancurkan kebahagiaan hidup kami dan menghancurkan kehidupan anak kami yang telah dewasa!"
Orang yang mengaku bernama Kwee Bun To Ini mengepal tinju dan mengamang-amangkan ke atas. "Aku bersumpah untuk menangkap murid Siauw-Lim-pai itu, membelah dadanya mengeluarkan jantungnya dan menginjak-injak kepalanya sampai hancur lebur!"
Para murid Siauw-lim-pai bergidik mendengar sumpah yang mengerikan itu. Akan tetapi Cu Sian Hwesio tetap tenang dan dia tersenyum sabar. "Omitohud! Agaknya Kwee-sicu menderita dendam saklt hati yang teramat besar. Akan tetapi, apakah sebenarnya yang telah terjadi dan apa hubungannya dengan murid Siauw-lim-pai?"
"Hemm, agaknya para pimpinan Siauw-lim-pai hanya dapat mengajarkan siiat dan doa-doa saja, akan tetapi tidak mampu mengawasi kelakuan para muridnya. Nah, dengarlah kalian semua, orang-orang Siauw-lim-pai! Malam tadi, seorang laki-laki telah menyelinap masuk kamar anak perempuanku, menotoknya kemudian memperkosanya! Dan jahanam keparat busuk itu adalah seorang murid Siauw-lim-pai!"
Semua orang terkejut. “Omitohud!" seru Cu Sian Hwesio. "Nanti dulu, Kwee-sicu. Bagaimana engkau dapat mengatakan bahwa dia adalah murid Siauw-lim-pai?"
"Kebetulan aku terbangun malam tadi dan aku mendengar gerakan orang dalam rumah. Aku keluar dari kamarku dan sempat melihat sesosok bayangan berkelebat keluar dari kamar anakku. Aku mengejarnya dan setelah tiba di luar, aku menyerangnya. Kami berkelahi dan dia dapat melarikan diri. Keparat!"
"Bagaimana sicu dapat mengetahui bahwa dia murid Siauw-lim-pai? Apakah sicu dapat mengenal mukanya?"
"Tidak, cuaca terlalu gelap, aku hanya dapat menduga bahwa dia tentu seorang lakl-laki yang masih muda."
"Akan tetapi bagaimana sicu mengetahui bahwa orang itu telah menodai anakmu?"
"Aku kemudian mendapatkan anakku dalam keadaan tertotok dan menjadi korban perkosaan. Ah, aku harus dapat menemukan jahanam terkutuk itu!"
"Nanti dulu, Kwee-sicu. Engkau tadi menceritakan hahwa keadaan cuaca gelap sehingga engkau tidak dapat mengenal mukanya. Akan tetapi bagaimana engkau dapat begitu yakin bahwa pemerkosa itu adalah murid Siauw-lim-pai?"
"Buktinya sudah jelas! Ketika aku berkelahi dengan dia, aku mengenal jurus-jurusnya. Jelas dia mempergunakan jurus silat Lo-han-kun (Silat Orang Tua Gagah) dari Siauw-lim-pai. Tidak salah lagi! Aku berani bersumpah!"
"Omitohud, urusan ini menjadi amat ruwet dan sulit. Kalau engkau tldak mengenal mukanya, lalu bagaimana pinceng dapat menerima tuduhanmu bahwa dia itu murid Siauw-lim-pai? Bukti ilmu silat itu sama sekali tidak kuat, sicu. Semua orang, biarpun bukan murid resmi Siauw-lim-pai, dapat saja mempelajarinya."
"Tidak, aku yakin dia murid di sini. Pertama, jurus silatnya tadi. Ke dua, bukankah Siauw-lim-si yang paling dekat dengan dusun kami? Karena itu, aku sengaja datang ke sini untuk menuntut kepada ketua atau kepadamu sebagai wakil ketua, untuk menangkap dan menyerahkan muridmu yang jahanam itu kepadaku!"
"Akan tetapi bagaimana pinceng dapat menangkap orangnya kalau pinceng tidak tahu siapa orang itu? Rasanya tidak mungkin menangkapnya karena engkau tidak memberi tanda-tanda tertentu dari orang itu. Kami tidak dapat memenuhi permintaanmu itu, Kwee-sicu. Permintaanmu itu tidak masuk akal. Kami tak mungkin melakukan penangkapan atau tuduhan kepada murid-murid kami sendiri tanpa adanya bukti yang nyata."
"Hemm, kalau begitu, terpaksa aku akan melakukan pembalasan dengan caraku sendiri. Sebulan sekali aku akan membunuh seorang murid Siauw-lim-pai dan aku baru berhenti kalau Siauw-lim-pai sudah menyerahkan jahanam keparat ter-kutuk itu kepadakui"
"Omitohud! Engkau sama sekali tidak boleh melakukan hal itu, sicu! Itu kejam dan tidak adil namanya dan pinceng pasti akan mencegahya!" seru Cu Sian Hwesio.
"Bagus engkau hendak melindungi dan membela jahanam busuk itui. Jangan dikira aku takut kepadamu, Cu Sian Hwesio!" Kwee Bun To bersikap siap untuk bertanding.
Pada saat itu, seorang pemuda menghampiri Cu Sian Hwesio dan memberi hormat kepada hwesio bermuka hltam tinggi kurus itu. "Susiok!"
Cu Sian Hwesio memandang. Pemuda itu berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, wajahnya bulat dengan kulit muka putih bersih, alisnya tebal hitam. Seorang pemuda bertubuh sedang tegap yang bersikap lembut dan wajahnya tampan gagah. Sepasang matanya tajam dan mulutnya selalu dihias senyum ramah.
"Ah, kiranya engkau, Cia Song!" seru Cu Sian Hwesio gembira.
Cia Song adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang berbakat dan yang dulu dilatih oleh Hui Sian Hwesio sendiri sehingga tingkat kepandaiannya lebih tinggi daripada murid-murid lain. "Tunggulah dulu, pinceng hendak menyelesaikan urusan dengan Kwee-sicu ini."
"Teecu (murid) sudah mendengar semua yang dipertengkarkan tadi, susiok (paman guru). Perkenankanlah teecu mewakili susiok dan Siauw-lim-pai untuk menghadapi Kwee-kauwsu (guru silat Kwee) ini."
Cu Sian mengangguk. Dia memang segan untuk berurusan dengan seorang yang sedang dimabok dendam dan kemarahan itu dan dia mengenal Cia Song sebagai seorang pemuda yang pandai dan bijaksana sehingga suhengnya, yaitu Ketua Siauw-lim-pai, Hui Sian Hwesio sering memuji-muji muridnya itu. Dia mengangguk-angguk lalu mundur beberapa langkah, membiarkan Cia Song mewakilinya.
Pemuda itu kini dengan tenang lalu berdiri menghadapi Kwee Bun To, ditonton oleh semua murid Siauw-lim-pai yang mengenal pemuda yang mereka kagumi sebagai seorang jagoan muda Siauw-lim-pai itu.
Kwee Bun To juga memandang penuh perhatian. Pemuda itu tampan gagah, sikapnya tenang dan lembut, wajahnya ramah, pakaiannya tidak terlalu mewah namun bersih sekali dan rapi, sepatunya dari kulit hitam mengkilap dan dipunggungnya tergantung pedang beronce merah.
Cia Song memberi hormat dengan merangkap tangan di depan dada. "Kwee-kauwsu, saya harap engkau suka bersikap tenang dan sabar, karena hanya dengan sikap seperti itu persoalan dapat diselesaikan dengan baik."
Kwee Bun To mengerutkah alisnya. Baru beberapa bulan dia pindah ke dusun di kaki bukit, dusun yang menjadi tempat asalnya. Tadinya dia memang seorang guru silat yang cukup terkenal di wilayah utara. Akan tetapi, ketika wilayah Cina Utara dikuasai oleh bangsa Yucen yang mendirikan Kerajaan Kin, sedangkan Kerajaan Sung terpaksa pindah ke sebelah selatan Sungai Yang-ce, guru silat Kwe Bun To terpaksa membubarkan perguruannya.
Dia tidak mau tunduk kepada bangsa Yucen dan melarikan diri. Dalam pelarian yang dilakukan bersama isteri dan anak tunggalnya itu, isterinya meninggal dunia karena menderita kaget dan sakit berat. Akhirnya dia tinggal di dusun di kaki bukit itu, berdua dengan Bi Hwa, puterinya yang sudah berusia tujuh belas tahun. Tak pernah dia memperkenalkan diri sebagai guru silat, akan tetapi bagaimana pemuda ini dapat menyebutnya kauw-su (guru silat)?
"Bagaimana engkau tahu bahwa aku adalah seorang guru silat? Siapakah engkau, orang muda?" tanya Kwee Bun To sambil memandang tajam penuh selidik.
Cia Song tersenyum ramah. "Nama saya Cia Song dan sebagai seorang murid Siauw-lim-pai, saya merasa berkewajiban untuk mewakili suhu, susiok dan semua saudara di Siauw-lim-pai untuk membereskan persoalan ini denganmu, Kwee-kauwsu. Selama ini saya merantau ke wilayah utara dan mendengar banyak hal, juga tentang Pek-eng Bu-koan (Perguruan Silat Garuda Putih) yang anda pimpin di kota raja akan tetapi terpaksa dibubarkan setelah bangsa Yucen menguasai daerah utara."
"Hemm, engkau mengetahui banyak hal. Akan tetapi, apa yang dapat kau lakukan mengenai persoalanku ini, sedangkan para pimpinan Siauw-lim-pai sendiri agaknya tidak mampu memecahkannya? Keluargaku telah tertimpa malapetaka dan aku hanya menghendaki agar Siauw-lim-pai menyerahkan jahanam terkutuk itu. Kalau hal itu tidak dapat dilakukan terpaksa aku akan melakukan pembalasan dengan caraku sendiri, yaitu setiap bulan aku akan membunuh seorang murid Siauw-lim-pai untuk melampiaskan dendam keluargaku!"
"Kwee-kauwsu, saya harap anda dapat menyabarkan dan menenangkan hati, tidak menuruti nafsu amarah karena dendam yang membakar hati. Jalan yang anda tempuh itu hanya akan memperbebar dendam mendendam dan permusuhan yarig tidak akan menguntungkan kedua pihak.
Ketahuilah, Kwee-kauwsu, para murid Siauw-lim-pai adalah orang-orang yang digembleng lahir batinnya, kiranya tidak mungkin melakukan hal serendah itu. Lebih besar lagi kemungkinannya bahwa pelakunya adalah orang yang memusuhi Siauw-lim-pai.
"Dia telah nrempelajari Lo-han-kun dan mengunakan itu untuk mengadu domba antara Siauw-lim-pai dan anda, juga untuk merusak nama baik Siauw-lim-pai. Karena itu, saya mempunyai usul yang jauh lebih baik daripada apa yang hendak anda lakukan sebagai balas dendam itu."
Sikap sopan dan ucapan yang ramah lembut itu agak mendinginkan hati Kwee Bun To yang dibakar api keirtarahan. "Hemm, orang muda, usul apakah yang hendak kauaampalkan kepadaku?"
"Begini, Kwee-kauwsu. Aku berjanji akan mencari pemerkosa itu sampai dapat kubekuk batang lehernya! Kalau aku berjanji untuk menangkap dan menyeret orang itu kepadamu, maukah engkau membatalkan ancamanmu untuk membunuhi para murid Siauw-lim-pai itu?"
"Hemm, Cia Song, jawabanmu ini jauh lebih baik daripada jawaban mereka tadi. Setidaknya engkau berjanji untuk menangkap jahanam itu, tidak perduli itu murid Siauw-lim-pai atau bukan. Baik, aku memberi waktu satu bulan kepadamu. Kalau dalam waktu sebulan engkau belum mampu menyerahkan jahanam itu, terpaksa aku menggunakan caraku sendiri untuk mernbalas dendam."
"Baik, Kwee-kauwau. Akan tetapi untuk mencari pemerkosa itu, saya harus bisa mendapatkan keterangan dan penjelasan dari puterimu tentang orang itu setidaknya ciri-ciri yang dapat diceritakan puterimu agar mudah bagiku untuk mencari orangnya."
"Baik, hal itu mudah diilakukan. Akan tetapi aku masih belum yakin engkau akan mampu menangkap jahanam itu sebelum menguji kemampuanmu. Karena itu, terimalah seranganku sekali saja. Kalau engkau mampu menahan, baru aku dapat menerima usulmu. Beranikah engkau menyambut seranganku?"
Cia Song tersenyum. "Kalau itu yang anda kehendaki, silakan, Kwee-kauwsu. Saya siap menyambut pukulannmu."
"Cia Song berhati-hatilah" Seru Cu Sian Hwesio khawatir.
Akan tetapi murid keponakannya itu menoleh sambil tersenyum kepadanya. "Susiok, teecu hendak membantu Kwee-kauwsu, tentu dia tidak ingin mencelakai teecu."'
"Cia Song, bersiaplah dari sambut seranganku ini!" Kwee Bun To membentak nyaring.
Cia Song cepat menghadapinya dan melihat guru silat itu menyerangnye dengan dorongan kedua telapak tangan, diapun cepat menekuk kedua lututnya dan membuat gerakan serupa, yaitu rnendorongkan kedua telapak tangannya ke depan untuk menyambut serangan jarak jauh yang mengandung hawa pukulan dahsyat itu.
"Wuuuuttt.... blarrr....!" Dua hawa pukulan yang dahsyat dan kuat bertemu di antara mereka.
Dan Kwee Bun To terdorong mundur sampai tiga langkah! Dia terkejut sekali. Biarpun dia tadi tidak ingin membunuh pemuda yang bermaksud membantunya itu, namun dia telah mengerahkan tiga perempat bagian tenaganya, dan ternyata pemuda itu mampu mendorongnya sampai tiga langkah.
Hal ini saja sudah membuktikan bahwa tenaga sakti pemuda itu lebih kuat daripada tenaga Ki Sian Hwesio yang tadi bertanding melawannya. Hal ini menimbulkan kepercayaan dalam hatinya. Siapa tahu, mungkin pemuda ini yang akan mampu menangkap jahanam yang telah memperkosa puterinya.
"Cia Song, aku menanti kunjunganmu untuk mendengar keterangan dari anakku. Cu Sian Hwesio, sampaikan pernyataan maafku kepada Ketua Siauw-lim-pai atas gangguanku yang terpaksa kulakukan ini." Setelah berkata begitu, guru silat yang menderita pukulan batin hebat itu lalu memutar tubuhnya dan meninggalkan tempat itu dengan cepat.
"Omitohud!" Cu Sian Hwesio berseru. "Orang yang sedang penuh duka dan kemarahan, ditekan dendam sakit hati yang hebat seperti dia, menggelapkan semua pertimbangan dan dia dapat menjadi orang yang berbahaya sekali! Untung engkau dapat meredakan kemarahannya dan menanamkan kepercayaan dalam hatinya. Cia Song. Mari, mari kuhadapkan engkau kepada suheng Hui Sian Hwesio."
"Baik susiok."
Akan tetapi baru saja kedua orang itu melangkah hendak memasuki kuil, dua orang rnurid Siauw-Iim-pai yang tadi melakukan penjagaan di pintu gerbang, datang berlari-lari dan melapor kepada Cu Sian Hwesio bahwa ada seorang tamu hendak menghadap Ketua Siauw-lim-pai.
"Ehh? Siapa lagi yang akan menghadap ketua?" tanya Cu Sian Hwesio dengan heran.
"Tamu yang ini mematuhi aturan, suhu. Dia masih muda, mengaku bernama Souw Thian Liong dan dia adalah murid dan utusan Tiong Lee Cin-jin mohon menghadap ketua karena membawa pesan penting dari Tiong Lee Cin-jin."
Wajah yang berkulit hitam itu berseri dan sepasang rnata itu bersinar-sinar. "Tiong Lee Cin-jin? Omitohud....! Kalau dia murid manusia bijaksana itu, tentu saja suheng Hui Sian Hwesio mau menerimanya! Persilakan dia masuk dan sekalian akan pinceng hadapkan suheng bersama Cia Song."
Dua orang murid itu berlari menuju ke luar dan tak lama kemudian mereka mengantar Thian Liong ke depan Cu Sian Hwesio. Wakil ketua ini mengamati orang muda yang datang dan memberi hormat kepadanya. Seorang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh tahun, bertubuh sedang dan berwajah tampan dengan kulit putih bersih.
Mata pemuda itu mencorong namun bersinar lembut, hidungnya mancung, mulutnya selalu menyungging senyum. Pakaiannya sederhana dan dia menggendong sebuah buntalan pakaian. Pemuda ini mirip Cia Song, pikir Cu Sian Hwesio, hanya lebih muda.
"Locianpwe, mohon maaf sebesarnya kalau kedatangan saya mengganggu ketenteraman di sini. Kalau tidak membawa perintah suhu, sungguh saya tidak berani mengganggu tempat suci ini."
Cu Sian Hwesio merangkap kedua tangan di depan dada dan tersenyum. "Omitohud!" Dia berseru. "Pinceng merasa berbahagia sekali. Siauw-lim-pai telah mendapat kehormatan besar menerima kunjungan murid atau utusan yang mulia Tiong Lee Cin-jin! Mari, Souw-taihiap (pendekar besar Souw), mari pinceng antarkan engkau menghadap suheng Hui Sian Hwesio ketua Siauw-lim-pai."
"Mari, Souw-siauwte (Saudara Muda Souw), kita menghadap suhu. Kebetulan sekali saya juga hendak menghadap beliau dan kita dapat bersama-sama menghadap suhu. Perkenalkan, saudara Souw Thian Liong, saya bernama Cia Song, seorang di antara murid-murid Suhu Hui Sian Hwesio."
Sikap yang ramah terbuka itu menyenangkan hati Thian Liong dan dia merangkap kedua tangan di depan dada dengan hormat. Pemuda itu menyebutnya saudara muda, dan memang pemuda tampan gagah murid ketua Siauw-lim-pai itu tentu beberapa tahun lebih tua darinya. "Saya senang sekali dapat berkenalanj denganmu Cia-twako (kakak Cia), dan saya merasa terhormat sekali akan dapat menghadap locianpwe Hui Sian Hwesio."
"Marilah, Souw-taihiap dan Cia Song. Biarpun suheng Hui Sian Hwesio jarang sekali mau bertemu dengan orang lain, akan tetapi pinceng yakin bahwa sekali ini dia akan suka sekali untuk bertemu dengan kalian." kata Cu Sian Hwesio.
Mereka bertiga memasuki kompleks bangunan Siauw-Lim-pai yang luas dan setelah tiba di sebuah ruangan tertutup yang sunyi, di mana tidak tampak seorangpun hwesio, Cu Sian Hwesio merangkap kedua tangan di depan dada, berdiri agak membungkuk dengan hormat di luar pintu lau berkata dengan nada suara lembut.
"Suheng yang mulia, perkenankanlah pinceng menghadapkan murid Cia Song dan talhiap Souw Thlan Liong murid atau utusan yang mulia Tiong Lee Cin-jin kepada suheng!"
Sunyi menyambut ucapan Cu Sian Hwesio itu. Kemudian terdengar jawaban suara yang lembut sekali dari dalam, namun suara lembut itu terdengar oleh Thian Liong seolah ada orang berbisik di dekat telinganya. Dengan kagum dia mengerti bahwa suara itu dibawa tenaga dalam yang amat kuat, menembus segala apa yang menghalang di depan.
"Omltohud! Mimpi apa pinceng semalam sehingga yang mulia Tiong Lee Cin-jin mengutus murldnya datang ke slni?"
Belum habis kalimat itu terucapkan, daun pintu itupun bergerak seperti terbuka dari dalam. Akan tetapi Thian Liong tidak melihat adanya orang yang membuka daun pintu itu dan hembusan angin lembut namun kuat terasa olehnya. Tahulah dia bahwa pintu itu dibuka dengan dorongan angin dari jauh. Dan ketika dia memandang ke dalam ruangan itu, jauh di tengah ruangan yang luas itu tampak duduk seorang hwesio.
Usianya sekitar enam puluh tahun lebih, sedikitnya enam puluh lima tahun, tubuhnya gemuk tinggi besar seperti tubuh Arca Ji-lai-hud, mukanya bulat penuh senyum cerah dan alisnya tebal, matanya bersinar lembut. Hwesio itu duduk bersila di atas dipan kayu. Agaknya hwesio itu tadi membuka daun pintu dengan dorongan tangan yang menimbulkan angin lembut yang kuat.
Hal ini saja membuktikan betapa tinggi ilmu kepandaian hwesio itu yang sudah mampu mengatur tenaga saktinya sedemikian rupa seolah tenaga saktinya itu merupakan sebagian anggota tubuhnya yang dapat melakukan apa-apa dari jarak jauh.
"Silakan masuk, Souw-taihiap dan kalian juga, Cia Song dan Cu Sian Hwesio." kata hwesio tua itu sambil menggapai dengan tangan kanannya.
Tiba-tiba Thian Liong menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah hwesio tua yang dia yakin tentu Hui Sian Hwesio adanya. Tadi ketika Cu Sian Hwesio menyebutnya taihiap (pendekar besar), walaupun hatinya merasa tak enak, dia menerima saja. Akan tetapi ketika ketua Siauw-lim-pai menyebutnya demikian, dia merasa berat sekali untuk menerimanya, maka dia segera menjatuhkan diri berlutut.
"Harap locianpwe sudi memaafkan teecu (murid). Sungguh teecu tidak berani menerima sebutan taihiap dari locianpwe. Nama teecu Souw Thian Liong dan teecu akan merasa senang sekali kalau locianpwe menyebut nama teecu begitu saja."
Hwesio tua itu tertawa lembut dan mengelus jenggotnya yang menutupi le-hernya. Dia tidak berkumis dan gundul, akan tetapi jenggotnya yang sudah, berwarna dua itu cukup panjang. "Omitohud! Yang mulia Tiong Lee Cin-jin telah memberi bimbingan luar dalam kepadamu, membuat pinceng merasa kagum sekali. Bangkit dan masuklah Thian Liong dan jangan banyak sungkan. Sebagai murid yang mulia Tiong Lee Cin-jin, engkau patut kami anggap sebagai golongan sendiri."
"Terima kasih, locianpwe." kata Thian Liong dan diapun mengikuti Cu Sian Hwe-sio dan Cia Song memasuki ruangan itu. Setelah berhadapan dengan hwesio itu, Hwesio berdiri di pinggiran sedangkan dua orang muda itu langsung berlutut di depan Hui Sian Hwesio.
Hui Sian Hwesio memandang kepada dua orang pemuda yang berlutut sambll menundukkan muka mereka Itu dan mengangguk-angguk sambil tersenyuin dan mengelus jenggotnya dengan tangan kiri.
"Cia Song coba angkat mukamu dan pandang pinceng!" perintahnya dengan suara lembut. Cia Song menurut, mengangkat mukanya dan menatap wajah suhunya, bertemu pandang mata sejenak lalu dia menunduk kembali.
"Omitohud! Bagus sekali, engkau telah mendapatkan banyak sekali kemajuan, hanya saja engkau harus banyak mengurangi kekerasan hatimu dengan banyak melakukan latihan siu-lian (samadhi) dan pengendalian nafsu."
"Baik, suhu. Teecu menaati perintah suhu." jawab Cia Song lirih.
"Sudah bertahun-tahun engkau pergi berkelana. Sekarang datang ke Siauw-lim-si (kuil Siauw-lim) membawa keperluan penting apakah?"
"Teecu merasa rindu kepada Siauw-lim-si, kepada suhu, para su-siok (paman guru) dan semua saudara, maka teecu sengaja datang berkunjung, suhu." jawab Cia Song dengan hormat.
"Maaf, suheng. Pinceng ingin menyampaikan laporan tentang jasa murid Cia Song yang telah menyelamatkan Siauw-lim-pai dari keributan yang baru saja terjadi." kata Cu Sian Hwesio.
"Keributan? Apakah yang telah terjadi, sute (adik seperguruan)?"
"Baru saja kita kedatangan seorang guru silat dari Pek-eng Bu-koan bernama Kwee Bun To. Dia marah-marah dan menuntut agar kita menyerahkan seorang murid Siauw-lim-pai yang katanya telah memperkosa seorang puterinya."
"Omitohud! Semoga Tuhan mengampuni kita! Siapakah murid Siauw-lim-pai yang melakukan perbuatan hina itu, sute?"
"Kauwsu (guru silat) Kwee Bun To itu tidak mengetahui siapa orangnya."
"Hemm, kalau begitu bagaimana dia dapat mengatakan bahwa pelakunya adalah murid Siauw-lim?"
"Menurut ceritanya, malam itu puterinya diperkosa orang dan dia bertemu dengan pelakunya. Di malam gelap itu dia menyerang dan orang muda yang melakukannya itu melawannya dengan menggunakan ilmu silat Lo-han-kun yang dikenalnya. Maka dia mengatakan dengan pasti bahwa pelakunya adalah murid Siiauw-lim-pai."
"Omitohud! Bagaimana dapat terjadi hal seperti ini? Lalu bagaimana sute?"
"Dia menuntut agar kita menyerahkan pelaku itu, kalau tidak dia akan membunuhi murid Siauw-lim-pai satu demi satu. Hampir saja pinceng sendiri bertanding dengan dia, akan tetapi lalu muncul murid Cia Song yang melerai dan menyabarkan Kwee Bun To. Cia Song menjanjikan kepadanya bahwa dia akan menangkap pelaku perkosaan itu dalam waktu satu bulan. Kwee Bun To menerima janji itu dan mengundurkan diri sehingga Siauw-lim-pai terhindar dari keributan."
Hui Sian Hwesio mengangguk-angguk dan memandang kepada muridnya. "Cia Song, engkau berjanji kepada Kwee-kauwsu untuk menangkap pelaku itu dalam sebulan, apakah engkau mengetahui siapa pelakunya?"
"Teecu belum mengetahuinya, suhu."
"Hemm, kalau begitu, bagaimana engkau berani berjanji hendak menangkapnya?"
"Akan teecu selidiki sampai teecu berhasil menangkapnya."
"Apakah engkau percaya bahwa pelakunya adalah seorang murid Siauw-lim-pai?"
"Teecu tidak percaya. Mungkin saja orang lain yang sengaja menggunakan ilmu silat Lo-han-kun untuk menyembunyikan diri dan menjatuhkan kesalahan kepada Siauw-lim-pai. Teecu akan menyelidikinya, suhu."
"Omitohud! Sikapmu itu memang baik sekali dan telah menyelamatkan Siauw-lim-si dari keributan dan permusuhan. Akan tetapi juga merupakan tindakan yang gegabah! Seorang laki-laki sekali berjanji harus dipenuhi dan engkau sudah berjanji akan menangkap pelaku itu, maka janji itu harus kau penuhi! Bagaimana kalau sampai sebulan engkau belum dapat menemukan pelaku kejahatan itu?"
"Kalau sampai teecu gagal, teecu akan mempertanggung-jawabkan kepada kauwsu Kwe Bun To, suhu."
"Bagus, bagus sekali! Seorang laki-laki harus memenuhi janjinya dan harus berani mempertanggung-jawabkan semua tindakannya! Engkau pantas menjadi seorang murid Siauw-lim-pai."
Hui Sia Hwesio niemuji, mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya, lalu memandang kepada Thian Liong. Diam-diam dia merasa bangga dan girang karena utusan Tiong Lee Cin-jin mendengarkan semua percakapannya depgan Cia Song. Sungguh membanggakan hati kalau Tiong Lee Cin-jin mendengar akan kegagahan murid Siauw-lim-pai!
"Souw Thian Liong, sekarang pinceng beralih kepadamu. Engkau sebagai murid Tiong Lee Cin-jin diutus berkunjung ke Siauw-lim-si membawa berita penting apakah? Ada petunjuk apakah dari gurumu?"
Thian Liong memberi hormat sambil berlutut. "Locinpwe, teecu diutus oleh suhu untuk pertama-tama menyampaikan salam hormat suhu kepada locianpwe."
"Omitohud! Tiong Lee Cin-jin yang terhormat sungguh bijaksana dan baik hati. Salamnya pinceng terima dengan rasa bahagia dan kelak kalau engkau bertemu dengan beliau, sampaikan salam dan hormat pinceng yang mendalam untuk beliau."
"Teecu akan menyampaikan pesan lo-cianpwe. Dan tugas teecu yang kedua adalah untuk menyerahkan sebuah kitab yang ditemukan suhu di dalam perjalanannya ke barat yang menurut suhu kitab itu adalah hak milik Siauw-lim-pai." Setelah berkata demikian, Thian Liong mengeluarkan kitab Sam-jong Cin-keng yang tua itu dan dengan kedua tangan dia menyerahkannya kepada Hui Sian Hwesio.
Hwesio tua itu menerima kitab itu, membuka-buka lembarannya dan membelalakkan matanya seolah tidak percaya akan apa yang dilihatnya, lalu meletakkan kitab di atas pahanya dan dia merangkap kedua tangan depan dada.
"Omitohud....! Seperti dalam mimpi saja rasanya saat ini pinceng dapat memegang kitab Sam-jong Cin-keng yang sudah hilang puluhan tahun ini! Sungguh luar biasa sekali kebijaksanaan yang mulia Tiong Lee Cin-jin. Setelah menemukan kitab ini, dia masih bersusah payah mengutus muridnya untuk mengembalikannya kepada kami! Bukan main! Mana mungkin di dunia ini ada seorang yang demikian jujur dan mulia seperti dta? Tidak, ini tidak mungkin! Dia yang menemukan setelah puluhan tahun Siauw-lim-pai hilang harapan dan tidak mencari lagi, maka dialah yang berhak atas kitab ini!"
"Akan tetapi, suheng! Kitab Sam-jong-cih-keng adalah sebuah kitab pusaka Siauw-lim-pai, menjadi hak milik kita sepenuhnya!" seru Cu Sian Hwesio.
"Maafkan teecu, suhu. Teecu kira sudah sepatutnya kalau yang mulia Tiong Lee Cin-jin mengembalikan kitab Sam-jong-cin-keng, itu kepada Siauw-lim-pai. Kalau teecu sendiri menemukan kitab milik perguruan lain, tentu juga akan teecu kembalikan kepada perguruan yang berhak. Teecu yakin bahwa kalau suhu memberlkan kitab Sam-jong-cin-keng itu kepada yang mulia Tlong Lee Cin-jin, sudah pasti beliau akan menolaknya."
Biarpun sute dan muridnya mengemukakan pendirian mereka yang pantas dan kuat, namun Hui Sian Hwesio tetap mengambll kitab itu dan menyerahkan kepada Thian Liong sambil berkata. "Souw Thian Liong, terimalah kitab inl dan katakan kepada gurumu bahwa pinceng memberikan kitab ini kepadanya, karena pinceng menganggap dialah yang berhak memilikinya."
Thian Liong tidak berani menerimanya, cepat memberi hormat dan berkata, "Maafkan teecu, locianpwe. Teecu pikir apa yang dikatakan locianpwe Cu Sian Hwesio dan twako Cia Song tadi benar dan tepat, Kitab ini dahulu adalah milik Siauw-lim-pai dan sampai sekarangpun menjadi hal millk Slauw-lim-pai, maka teecu harap sudilah kiranya locianpwe suka menerimanya."
"Omitohud, pinceng selalu bertindak menurutkan naluri hati nurani. Sekarang begini saja, Souw Thian Liong. Pinceng melihat kenyataan bahwa engkau seorang murid yang amat baik dari Tiong Lee Cin-jin. Kita ambil jalan tengah saja. Pinceng mau menerima kitab ini sebagai hadiah dari Tiong Lee Cin-jin, akan tetapi karena Tiong Lee Cin-jin sebagai penemunya juga berhak maka pinceng akan mengajarkan ilmu yang terkandung dalam kitab ini kepadamu sebagai ganti murid Tiong Lee Cin-jin. Kalau begitu, barulah enak rasa, hati pinceng terhadap Tiong Lee Cin-jin."
Thian Liong terkejut sekali. "Akan tetapi.... teecu tidak berhak dan tidak berani menerimanya, locianpwe...."
"Hemm, kalau engkau tidak mau menerima pelajaran ilmu dari kitab Sam-jong-cin-keng ini, terpaksa pinceng juga tidak mau menerimanya dan bawalah kembali kitab ini kepada gurumu. Pinceng tidak ingin disebut orang yang mau enaknya sendiri, tidak mengeluarkan setetespun keringat namun menikmati hasilnya. Nah, bawalah kitab itu dan pergilah!"
Thian Liong menjadi bingung. Dia masih belum menerima kitab itu. "Aduh, locianpwe, teecu menjadi bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Kalau teecu harus membawa kembali kitab ini tentu suhu merasa tidak senang. Sebaliknya kalau teeeu menerima usul locianpwe, sungguh teecu merasa tidak enak kepada semua murid Siauw-lim-pai."
"Omitohud, engkau terlalu halus budi dan sungkan, Thian Liong. Tidak ada perasaan tidak enak kalau engkau sudah pinceng terima sebagai muridku! Siapa yang akan menyalahkanmu kalau sebagai murid pinceng engkau mempelajari ilmu yang menjadi pusaka Siauw-lim-pai? Ataukah engkau menganggap pinceng tidak pantas menjadi gurumu ke dua setelah gurumu Tiong Lee Cin-jin?"
Diam-diam Thian Liong merasa girang sekali. Dari gurunya dia sudah mendengar bahwa ketua Siauw-lim-pai ini adalah seorang yang memiliki kesaktian, maka alangkah beruntungnya kalau dia diterima menjadi murid dan akan diberi pelajaran dari kitab pusaka Sam-jong-cin-keng itu. Akan tetapi yang membuat dia meragu adalah kalau-kalau dia akan dlharuskan tlnggal terlalu lama dl Kull Siauw Lim.
"Terima kasih atas kemurahan hati suhu," katanya, tanpa ragu-ragu menyebut suhu kepada hwesio tua itu. "Akan tetapi, teecu telah mendapatkan tugas dari suhu Tiong Lee Cin-jin untuk membela Kerajaan Sung dan menentang kekuasaan menteri jahat yang mengacaukan negara. Kalau teecu harus menjadi murid dan tinggal lama di Siauw-lim-si, bagaimana teecu akan dapat melaksanakan tugas itu?"
"Omitohud! Jalan pikiran Tiong Lee Cin-jin ternyata tidak berbeda dengan jalan pikiran pinceng. Yang dia maksudkan tentu agar engkau menentang kekuasaan Perdana Menteri Chin Kui, bukan? Jangan khawatir, Thian Liong. Pinceng berjanji hanya akan mengajarkan isi kitab yang ditemukan kembali oleh gurumu pertama ini dan mengingat bahwa, engkau tentu telah memiliki dasar yang amat kuat, maka pinceng yakin bahwa dalam beberapa bulan saja engkau tentu akan mampu menguasainya dengan baik."
Demikianlah, mulai hari itu Thian Liong tinggal dl kuil Siauw-lim dan di bawah bimbingan Hui Sian Hwesio sendiri dia mempelajari dan berlatlh ilmu silat berdasarkan kitab pusaka San-jong Cin-keng yang menurut dongeng diciptakan sendiri oleh Ji-lai-hud!
Sementara itu, Cia Song yang memiliki tugas berat untuk rnenangkap pemerkosa puteri Kwee Bun To seperti yang sudah dia janjikan, juga meninggalkan kuil untuk melaksanakan tugasnya.
Sebulan lewat dengan cepatnya dan Thian Liong mendapat kenyataan yang luar biasa dan menyenangkan hatinya. Setelah berlatih siu-lian (bersamadhi) dan pernapasan menurut ilmu yang diajarkan Hui Sian Hwesio menurut Kitab Sam-jong Cin-keng, dia merasa bahwa tenaga dalam yang sudah dikuasainya dan berpusat di bawah pusar itu kini menjadi bertambah kuat.
Ilmu silat yang terkandung dalam kitab itu hanya ada delapan jurus pokok. Akan tetapi delapan jurus pokok ini mengandung tenaga sakti yang amat dahsyat dan juga memungklnkan perkembangan menurut bakat yang menguasai.
Pada suatu malam, Thian Liong rebah di etas pembaringan dalam kamarnya di kuil itu. Seperti biasa, waktu malam Itu dia membaca Kitab Sam-jong- Cln-keng dan melatih siu-lian karena dl waktu siang dia berlatih gerakan silat di bawah bimbingan Hui Sian Hwesio. Setelah merasa lelah dan mengantuk, dia menyimpan kitab itu dalam sebuah almari yang terdapat di sudut kamarnya dan diapun merebahkan dirinya ke atas pembaringan untuk tidur.
Menjelang tengah malam keadaan kuil itu sunyi sekali. Semua hwesio sudah tidur. Sesosok bayangan hltam yang gerakannya lincah dan ringan sekali dengan mudahnya karena dia menggunakan tenaga sin-kang yang amat kuat, membuka jendela kamar Thian Liong tanpa menimbulkan suara sedikitpun.
Dia melompat ke dalam kamar melalui jendela yang terbuka itu dan gerakannya benar-benar ringan seperti seekor kucing melompat sehingga ketlka kedua kakinya hlnggap di atas lantai kamar yang gelap itu, tidak terdengar suara sedlkitpun. Dia lalu bergerak ke depan, perlahan-lahan dan hati-hati sekali, dalam kegelapan itu dia menghampiri almari dan membukanya.
Dengan meraba-raba dia dapat menemukan Kitab Sam-jong Cin-keng dan cepat meninggalkan kamar melalui jendela yang terbuka. Akan tetapi karena tergesa-gesa kakinya melanggar kaki meja sehingga terdengar sedikit suara berderit. Secepat burung terbang, tubuhnya sudah melayang melalui jendela.
Sedikit suara itu cukup untuk membangunkan Thian Liong. Nalurinya yang kuat dan peka membuat Thian Liong menyadari bahwa ada hal tidak wajar terjadi dalam kamarnya. Dia menengok dan melihat bayangan berkelebat keluar dari jendela yang terbuka. Otomatis seluruh syaraf dalam tubuh Thian Liong bekerja.
Seketika dia tahu bahwa ada orang memasuki kamarnya dan diapun segera dapat menduga bahwa orang itu tentu mencuri Kitab Sam-jong Cln-keng. Kalau bukan kitab itu yang dicuri, apa lagi? Dia segera menyambar Thian-liong-kiam yang diselipkan di bawah bantal, lalu sekali melompat tubuhnya sudah melayang keluar jendela melakukan pengejaran sambil menyelipkan pedang di ikat pinggangnya.
Dalam keremangan sinar lembut jutaan bintang di langit hitam Thian Liong melihat sosok bayangan itu di atas genteng kuil besar. Diapun melompat dan mengejar. Dia mengerahkan seluruh gin-kangnya (ilmu meringankan tubuhnya) dan berhasil mendahului dan menghadang orang yang berpakaian serba hitam dan mukanya memakai kedok hitam itu.
Hanya sepasang matanya saja yang tampak melalui lubang pada kedok, sepasang mata yang bersinar tajam. Diapun melihat bahwa pencuri berkedok hitam itu membawa sebuah kitab di tangan kirinya. Biarpun cuaca remang-remang Thian Liong tehu benar bahwa kitab itu bukan laln adalah Kitab Sam-jong Cin-keng yang sedang dipelajarinya di bawah bimbingan Hui Sian Hwesio.
"Pencuri! Kembalikan kitab itu!" Thian Liong membentak, suaranya melengking menembus malam sunyi.
Pencuri itu agaknya terkejut melihat Thian Liong dapat bergerak sedemikian cepatnya dan tahu-tahu telah menghadang di depannya. Tanpa banyak cakap lagi dia lalu menerjang maju, kepalan kanannya menyambar ke arah dada Thian Liong. Pukulannya cepat sekali dan juga mengandung tenaga yang amat kuat. Thian Liong mengenal pukulan ampuh, maka dia miringkan tubuh sambil menangkis dari samping.
"Dukk!" Keduanya terguncang oleh pertemuan kedua lengan itu dan pencuri itu mengeluarkan seruan kaget, namun dengan kecepatan yang luar blaaa kaki kirinya mencuat dalam tendangan yang menyambar ke arah lambung Thian Liong.
Thian Liong maklum bahwa pencuri itu adalah seorang yang memlllkl ilmu kepandaian silat tinggi. Dla sudah waspada dan begitu kaki lawan menyambar, diapun sudah menghindar ke kiri. Pencuri itu membalikkan tubuh untuk melarikan diri.
"Hendak lari ke mana kau? Kembalikan kitab itu!" Thian Liong mengerahkan gin-kangnya dan dia melompat tinggi mengejar. Ketika berada di atas pencuri itu, tangannya menyambar ke bawah, yang kiri mencengkeram ke arah kepala pencuri itu dan yang kanan menyambar untuk merampas kitab dari tangan kiri lawan.
"Uhh....!" Pencuri itu makin terkejut dan cepat merendahkan diri mengelak sambii melompat ke samping sehingga serangan Thian Liong luput walaupun hampir saja kitab itu dapat direbutnya. Pencuri itu agaknya menjadi marah sekali karena hampir saja kitab itu terampas oleh Thian Liong.
Mereka kini berhadapan dalam jarak kurang lebih empat meter. Tiba-tiba pencuri itu menggunakan tangan kanannya untuk diputar-putar dan tubuhnya merendah, kedua lutut ditekuk hampir berjongkok dan tiba-tiba tangan kanannya itu didorongkan ke arah Thian Liong sambil membentak keras.
"Haaiiiilittt....!" Dari tangan kanan yang didorongkan itu keluar uap hitam!
Thian Liong terkejut. Orang itu menyerangnya dengan tenaga sakti yang amat dahsyat dan melihat uap hitam itu sangat boleh jadi tenaga dorongan itu mengandung hawa beracun yang berbahaya. Thian Liong segera mengerahkan tenaganya pada lengan kirinya dan miringkan tangan kiri ke depan dada, lalu mendorong ke depan rnenyambut serangan lawan.
"Wuuuuttt.... bressss....!!" Dua tenaga bertemu dan uap hitam itu membuyar, tubuh pencuri itu terhuyung ke belakang. Thian Liong tidak mau menyia-nyiakan waktu lagi. Tubuhnya sudah berkelebat ke depan dan sekali sambar dia sudah berhasil merampas Kitab Sam-jong Cin-keng itu dari tangan si pencuri.
Akan tetapi, sungguh tak disangka sama sekali tubuh pencuri itu bergulingan dan tahu-tahu kitab itu dapat dirampas kembali! Thian Liong terkejut karena tidak menyangka pencuri itu memiliki kegesitan yang demikian luar biasa, dan tubuh yang bergulingan itu amat cepatnya. Dia segera teringat akan hasil llmu yang dilatihnya dari kitab Sam-jong Cln-keng, maka untuk merampas kembali kitab itu, dia mengerahkan tenaga dan menggunakan tangan kirinya untuk menyerang, mencengkeram ke arah leher lawan.
Pencuri itu agaknya maklum akan kelihaian Thian Liong, maka dia bermaksud mengelak dan melarikan diri. Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika dia mengelak, lengan Thian Liong itu dapat mulur (memanjang) seperti karet dan tahu-tahu telah merampas lagi kitab dari tangannya! Thian Liong merasa gembira karena ternyata ilmu mengulur tangan sehingga memanjang satu meter lebih itu telah berhasil dia kuasai dan kini telah memperlihatkan hasilnya!
Pencuri itu marah sekali. Dia sudah bersiap untuk menyerang lagi, akan tetapi pada saat itu terdengar teriakan beberapa suara, "Tangkap penjahat....!"
Mendengar teriakan-teriakan itu, si pencuri terkejut dan dia melompat jauh dengan gerakan cepat sekali dan menghilang dalam kegelapan yang remang-remang. Thian Liong tldak mengejar karena kitab yang dicuri itu telah dapat dirampasnya kembali. Dia segera melompat turun dari atas genteng kuil besar dan di bawah sudah berkumpul banyak hwesio, di antaranya terdapat Ki Sian Hwesio.
"Souw-sicu, apakah yahg terjadi? Kenapa tadi ada murid-murid yang berteriak tangkap penjahat?" tanya Ki Sian Hwesio, pelatih para murid Siauw-lim-pai itu.
"Suhu, tadi ada orang berpakaian serba hitam di atas genteng, bertandlng dengan Souw-sicu, maka kami berteriak-teriak." kata seorang murid Siauw-lim-pai.
Tiba-tiba muncul Cu Sian Hwesio, wakil Ketua Slauw-lim-pai dan dia segera berkata, "Souw-sicu, tadi pinceng mendengar suara ribut-ribut dan segera mengejar naik ke atas atap. Akan tetapi penjahat itu telah melarikan diri dengan cepat dan kebetulan pinceng bertemu dengan Cia Song, maka pinceng menyuruh dia untuk melakukan pengejaran. Apa yang telah dilakukan penjahat itu?"
"Dia memasuki kamar teecu dan mencuri Kitab Sam-jong Cin-keng, Susiok (paman guru). Teecu terbangun dan segera mengejarnya. Kami bertanding di atas atap dan teecu beruntung dapat merampas kembali kitab ini, akan tetapi dia mendengar suara ribut-ribut dan melarikan diri." kata Thian Liong sambil memperlihatkan kitab yang telah dapat dirampasnya kembali.
"Omitohud! Untung engkau dapat merampasnya kembali. Sekarang lebih baik jangan ribut-ribut dan jangan mengagetkan ketua, kita tunggu saja di ruangan ini sampai Cia Song kembali dari pengejarannya." kata wakil ketua itu dan mereka semua duduk di ruangan itu.
Thian Liong menceritakan lagi peristiwa pencurian dalam kamarnya itu. Tak lama kemudian, tiba-tiba tampak sosok bayangan orang berkelebat. Semua orang menoleh dan memandang dan ternyata yang datang itu, adalah Cia Song.
Cu Sian segera bangkit berdlri, menyambut pemuda tampan dan gagah itu dengan pertanyaan, "Bagaimana, Cia Song, berhasilkah engkau menangkap penjahat itu?"
Cia Song mengerutkan alisnya dan memandang kepada Thian Liong dengan menyesal. Kemudian dia berkata kepada sang wakil ketua. "Sayang sekali, susiok, teecu tidak berhasil menangkapnya. Teecu memang dapat menyusulnya dan kami bertanding mati-matian. Ternyata penjahat itu lihai bukan main. Dengan mengerahkan seluruh kemampuan, teecu hanya berhasil merenggut topeng kain hitam yang menutupi wajahnya, akan tetapi dia melompat jauh dan menghilang dalam kegelapan pohon-pohon di luar kuil kita."
Pemuda itu mengambil sehelai kain hitam dari saku bajunya dan menyerahkan kain itu kepada Cu Sian Hwesio. Pendeta itu menerima kain hitam yang tidak terlalu lebar itu dan mengamatinya. Hanya kain biasa yang dlpergunakan untuk menutup muka dan kepala dengan dua lubang di bagian mata. "Kalau begitu, engkau tentu telah melihat dan mengenal muka penjahat itu!" kata Cu Slan Hwesio girang.
Cia Song mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. "Sayang sekali tidak, susiok. Teecu dapat mgnyusulnya setelah berada di luar kuil dan kami bertanding di kegelapan bayang-bayang pohon, lebih mengandalkan pendengaran daripada penglihatan. Ketika teecu berhasil merenggut lepas topengnya, teecu tidak dapat melihat mukanya dalam kegelapan dan dia cepat melarikan diri."
"Cia-twako, apakah dia seorang wanita?" tanya Thian Liong.
"Souw-sute (adik seperguruan Souw), kenapa engkau masih menyebut twako (kakak) kepadaku? Bukankah aku ini sekarang termasuk menjadi suhengmu?"
"Maafkan, suheng. Apakah pencuri tadi seorang wanita?" Pertanyaan ini diajukan Thian Liong karena dla teringat akan dua orang gadis, yaitu gadis berpakaian merah yang telah mencuri Kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat millk Kun-lun-pai yang belum dia ketahui namanya dan yang seorang lagi Ang-hwa Sian-li Thio Siang In yang juga berminat untuk pinjam Kitab Sam-jong Cin-keng.
Mendengar perkataan ini, Cia Song dan juga Hui Sian Hwesio memandang heran. "Sudah kukatakan bahwa aku tidak dapat melihat mukanya di tempat gelap Souw-sute. Melihat kelincahan gerakannya, mungkin saja ia seorang wahita. Aku tidak tahu jelas. Bagaimana pendapatmu? Bukankah engkau juga sudah bertanding melawannya?"
Thian Liong menggeleng kepala dengan ragu. Dia juga tidak dapat menentukan. Pencuri itu jelas lihai sekali, akan tetapi gerakannya dalam bersilat tidak sama dengan gerakan Siang In.
"Mengapa engkau menduga bahwa pencuri itu seorang wanita, Souw-sicu?" Hwesio itu masih menyebut Thian Liong dengan sebutkan itu karena dia merasa sungkan mengingat bahwa Thian Liong adalah murid dan juga utusan Tiong Lee Cin-jin yang amat dihormatinya.
"Teecu hanya menduga saja, susiok. Bolehkah teecu meminjam sebentar kain topeng itu?"
"Ini, simpanlah. Engkau yang diganggu pencuri, biar engkau yang menyimpan topeng ini. Siapa tahu dari topeng ini kelak engkau akan dapat menemukan pencurinya." kata Cu Sian.
Hwesio sambil tersenyum dan menyerahkan kain itu kepada Thian Liong. Thian Liong menerirnanya dan tak lama kemudian Cu Sian Hwesio menyerukan kepada semua orang untuk kembali ke kamar masing-masing. Akan tetapi dia juga memerintahkan para murid untuk malam itu melakukan penjagaan dan perondaan secara bergilir.
Setelah para murid pergi dan di situ hanya tinggal Thian Liong, Cia Song dan Cu Sian Hwesio bertiga, pendeta itu bertanya kepada Cia Song. "Cia Song, bagaimana hasilnya dengan usahamu mencari pemerkosa puteri Kwee-kauwsu itu? Sekarang sudah tiba waktu yang dijanjikan. Kalau pinceng tidak salah menghitung, pada hari esok tentu guru silat itu akan datang menagih janji."
"Ah, jangan-jangan...." Thian Liong menahan kata-katanya.
"Apa maksudmu, Souw-sicu?"
"Maksud teecu, jangan-jangan pemerkosa dan pencuri itu sama orangnya!"
"Hemm, benar juga! Susiok, harap jangan khawatir. Teecu sudah melakukan penyelidikan dan sudah dapat menemukan jejak pemerkosa itu. Mungkin juga dia pencuri kitab tadi. Teecu pasti akan dapat menghadapkannya ke depan Kwee-kauwsu pada besok pagi. Sekarang juga teecu akan melanjutkan penyelidikan dan menangkap orangnya agar besok dapat teecu hadapkan kepada Kwee-kauwsu." kata Cia Song dengan suara mantap.
"Omitohud! Sukurlah kalau begitu. Akan tetapi.... dia.... dia bukan murid Siauw-lim-pai?" tanya pendeta itu agak khawatir.
"Bukan, susiok. Dia bukan murid Siauw-lim-pai, hanya saja dia agaknya dapat mencuri ilmu Lo-han-kun dan menggunakannya sehingga Kwee-kauwsu menyangka bahwa dia murid perguruan kita."
"Sukurlah. Pinceng dapat tidur nyenyak malam ini." kata Cu Sian Hwesio dan mereka lalu berpisah. Hwesio itu dan Thian Liong kembali ke kamar masing-masing sedangkan Cia Song keluar dari kuil untuk melacak pemerkosa yang di carinya.
Pagi hari itu keadaan, di Siauw-lim-si seperti biasa. Matahari pagi bersinar lembut dan hangat, mepghidupkan segala yang tampak. Para hwesio murid Siauw-iim-si juga sibuk dengan tugas pekerjaan mereka sehari-hari. Akan tetapi biar keadaan sama dengan pagi-pagi yang lalu, namun suasananya sungguh berbeda. Dalam hati para hwesio itu terdapat kegelisahan.
Semua orang tahu bahwa hari ini adalah hari yang dijanjikan bagi guru silat Kwee Bun To. Tiga puluh hari telah berlalu dan agaknya Cia Song, murid andalan Siauw-lim-pai itu agaknya belum juga dapat menangkap penjahat perperkosa puteri Kwee Bun To itu. Dan kalau sampai hari ini Cia Song belum juga dapat menyerahkan pemerkosa itu, tentu guru silat Kwee Bun To akan mengamuk dan membunuhi murid-murid Siauw-lim-pai!
Karena itu, suaeana amat menegangkan hati dan blarpun para hwesio itu melaksanakan tugas mereka masing-masing dan tidak ada yang menyebut-nyebut urusan dengan Kwee Bun To namun diam-diam mereka sudah bersiap-siap menghadapi kalau-kalau guru silat itu akan mengamuk.
Matahari telah naik tinggi dan Cia Song yang diharap-harapkan kedatangannya masih belum juga tampak batang hidungnya. Cu Sian Hwesio dan pembantunya, Ki Sian Hwesio yang biasarya tenang itu kini juga mulal menjadi gelisah. Mereka sudah menanti di pendopo kuil besar, duduk menunggu kemunculan Cia Song.
"Kenapa Cia Song belum juga datang, suheng?" tanya Ki Sian Hwesio.
Cu Sian Hwesio menghela napas "Pinceng juga merasa heran. Malam tadi dia mengatakan bahwa pagi ini dia pasti akan datang membawa penjahat itu.''
"Bagaimana kalau Kwee-kauwsu datang dan menuntut?"
"Tenanglah, sute. Kita melihat bagaimana nanti saja. Apapun yang terjadi akan pinceng hadapi." kata Ci Sian Hwesio. "Mari kita menanti di dalam saja sambil bersamadhi menenangkan hati agar nanti kuat menghadapi apapun juga. Mereka berdua lalu masuk ke dalam kuil...