Kisah Si Naga Langit Jilid 11

Sonny Ogawa

Kisah Si Naga Langit Jilid 11 karya Kho Ping Hoo - TAK lama kemudian suasana menjadi semakin menegangkan ketika terdengar orang berteriak dengan suara lantang sekali dan gemanya berkumandang di seluruh kompleks bangunan kuil Siauw lim.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

"Heii...! Para pimpinan Siauw-lim-pai! Hayo serahkan penjahat laknat itu kepadaku atau mulai hari ini aku akan membunuh seorang murid Siauw-lim-pai setiap hari!"

Pada saat itu Thian Liong sedang menerima petunjuk dari Hui Sian Hwesio mengenai jurus ke lima dalam kitab Sam-jong Cin-keng. Selama satu bulan ini dia baru berhasil menguasai empat jurus saja. Ketika suara lantang itu berkumandang sampai ke dalam ruangan yang menjadi kamar sang ketua, Hui Sian Hwesio menunda pelajaran itu dan berkata kepada Thian Liong.

"Thian Liong, keluarlah dan lihat apa yang terjadi. Bantulah Siauw-lim-pai kalau terancam, akan tetapi jangan menggunakan kekerasan agar tidak menimbulkan permusuhan."

"Baik, suhu," Thian Liong lalu keluar dari ruangan itu dan menuju ke pendopo. Ketika tiba dipendopo, dia melihat semua murid Siauw Lim-pai sudah berkumpul dl situ dan mereka semua tampak tegang. Cu Sian Hwesio dan Ki Sian Hwesio juga sudah berdiri dipendopo.

Di bawah anak tangga pendopo itu berdiri seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun. Tubuhnya sedang saja, namun tegap dan tampak kokoh dan gagah. Di punggungnya tergantung sebatang pedang beronce biru. Dia tampak marah. Kumisnya yang tipis itu bergerak-gerak, matanya mencorong tajam ketika dia menyapu tempat itu dengan ge|andang matanya, mencari-cari.

"Di mana dia, Cia Song yang telah berjanji sebulan yang lalu untuk menghadapkan keparat yang memperkosa puteriku itu? Hayo cepat suruh dla keluar menemuiku untuk mempertanggung-jawabkan janjinya kepadaku!"

Cu Sian Hwesio melangkah maju menuruni anak tangga dan berhadapan dengan Kwe Bun To. Dia merangkap tangan dl depan dada dan berkata dengan suara lembut, "Omltohud, selamat datang, Kwee-kauwsu. Hendaknya dlketahui bahwa sejak malam tadi Cia Song teleh pergi untuk menangkap penjahat itu. Menurut katanya, pagi ini dia akan menghadapkan penjahat itu kepadamu di sini. Harap kauwsu bersabar dan menanti kedatangannya."

"Hemm, sudah sebulan aku bersabar. Malam itu Cia Song sudah datang berkunjung dan mendengar keterangan anakku tentang peristiwa terkutuk itu dan dia mengulang janjinya dalam waktu sebulan dia akan menangkap penjahatnya dan menyerahkannya kepadaku. Apakah dia hanya pendusta besar?" Guru silat itu tampak marah sekali.

Thian Liong menghampiri dan berdiri di dekat Ki Sian Hwesio, siap untuk membantu kalau guru silat itu mengamuk. "Omitohud, tidak ada murid Siauw-lim-pai yang melakukan kejahatan, apa lagi memperkosa wanita dan tidak ada yang menjadi pendusta, Kwee Kauwsu. Pinceng harap engkau suka bersabar dan menunggu sejenak." kata Cu Sian Hwesio.

"Aku tidak mau bersabar lagi! Aku tidak mau menunggu lagi!" Guru silat itu membentak marah.

Pada saat itu terdengar teriakan dari luar kuil, "Kwee-kauwsu, aku datang!"

Para hwesio girang mengenal suara ini, suara Cia Song! Tak lama kemudian tampak pemuda itu berlari datang sambil menggandeng tangan seorang laki-laki yang usianya sekitar tiga puluh tahun. Pemuda itu bertubuh sedang, wajahnya bersih tidak berkumis atau berjenggot akan tetapi wajah itu tak dapat disebut tampan. Hidungnya pesek dan bibirnya tebal, matanya sipit seperti terpejam.

Setelah berlari menggandeng tangan orang itu dan tiba di depan Kwee Bun To, Cia Song mendorong pemuda itu ke depan sehingga orang itu jatuh berlutut di depan guru silat yang mengamatinya dengan sinar mata tajam.

"Inilah orang yang engkau cari itu, Kwee-kauwsu." kata Cia Song tegas. "Terbuktilah sekarang bahwa pelakunya bukan murid Siauw-lim-pai!"

Orang itu berlutut dan tampak ketakutan sekali. Matanya yang sipit dia coba untuk dibelalakkan, dan tubuhnya gemetaran. Setelah mengamati beberapa lamanya, Kwee Bun To mengerutkan alisnya dan bertanya, "Orang macam ini ....??" Lalu dia berkata kepada orang itu membentak, "Siapa namamu?"

Akan tetapi orang itu tidak menjawab hanya memberi hormat dengan mengangguk-anggukan kepalanya.

"Hemm, dia gagu?" tanya Kwee Bun To.

"Tidak, Kwee-kauwsu, aku telah menotoknya!" Setelah berkata demikian, Cia Song lalu menotok tengkuknya dan orang itu terbatuk-batuk.

"Hei, siapa namamu?" kembali Kauw-su (guru silat) Kwe Bun To membentak.

"Na.... nama saya.... Giam Ti...." kata orang itu dengan suara gemetar.

"Dia mempunyai alias Hui-houw-ong (Raja Macan Terbang) dan menjadi kepala gerombolan di Bukit Angsa, Kwe-kauwsu." Cia Song menjelaskan.

Kwee Bun To mengerutkan alisnya. Engkau sudah beristeri?" tanya guru silat itu ketus.

Orang yang bernama Giam Ti dan berjuluk keren itu diam saja, hanya mendekam seperti macan kelaparan.

"Plak!" Cia Song menampar pundaknya. "Hayo jawab sejujurnya!"

Giam Ti meringis, agaknya tamparan itu terasa nyeri dan diapun mengangguk-angguk. "Su... dah... saya... sudah beristeri...."

"Jahanam busuk! Engkau sudah beristeri dan engkau berani memasuki kamar anakku, menotoknya lalu memperkosanya? Hayo jawab!" Kwee Bun To menghardik.

"Saya.... saya...."

Cia Song menekan pundak orang itu. "Hayo,mengaku, atau engkau ingin kusiksa lebih dulu?" Tekanan pundak itu mendatangkan rasa nyeri yang luar biasa. Rasa jantung orang itu seperti dltusuk ratusan batang jarum sehingga dia merintih lemah.

"Ya... ya... saya... saya yang melakukan perkosaan itu..."

"Keparat terkutuk!" Kwee Bun To menampar.

"Plakkkk!" tangan yang kokoh tegang itu menampar pipi. Giam Ti terpelanting dari tempat dia berlutut dan bibirnya yang tebal pecah berdarah. Dia mengaduh dan mencoba bangkit, akan tetapi Kwee Bun To kembali mengayun kaki menendang, mengenai dadanya. "Dessss....!" Tubuh Giam Ti terjengkang dan dia muntah darah.

Akan tetapi Thian Liong merasa heran mengapa guru sllat itu membatasi pukulan dan tendangannya. Kalau guru silat yang lihai itu menghendaki, sekali tampar saja kepala orang itu pasti akan pecah. Akan tetapi ternyata tamparan dan tendangan itu tidak membuat Giam Ti tewas dan ini merupakan bukti bagi Thian Liong bahwa guru silat itu sengaja tidak membunuh orang itu.

Atau pemerkosa itu yang memiliki sinkang yang cukup tinggi sehingga dia dapat melindungi dirinya dengan kekebalannya. Tiba-tiba Thian Liong terkejut sekali ketika dia melihat Cia Song tiba-tiba menerjang maju dan mengayun tangan terbuka memukul ke arah kepala Giam Ti.

"Wuuuttt.... prakkk!" Tangan itu menghantam kepala Giam Ti. Orang itu terpelanting roboh dan tidak mampu bergerak lagi, tewas dengan kepala retak!

Kwee Bun To terbelalak. Agaknya dia juga terkejut sekali seperti Thian Liong. Juga Cu Sian Hwesio mengerutkan alisnya. "Omitohud....! Cia Song, mengapa engkau lakukan itu?" tegurnya.

"Cia-sicu, kenapa engkau membunuhnya?" Kwee Bun To juga menegur.

”Susiok, maafkan teecu karena teecu tak dapat menahan amarah terhadap penjahat ini. Teecu merasa sakit hati karena dia melakukan perbuatan keji dan melempar fitnah kepada murid Siauw-lim-pai. Kwee-kauwsu, kenapa engkau menegur aku yang membunuhnya? Aku juga mendendam kepadanya dan bukankah engkau juga sedang menyiksanya untuk membunuhnya? Aku tidak suka melihat orang disiksa, kalau memang dia jahat dan hendak dihukum bunuh, segera lakukan saja dan tidak perlu menyiksanya. Itu terlalu kejam bagiku."

"Omitohud....! Bagaimanapun juga, ada benarnya pendapat Cia Song tadi. Menyiksa dulu sebelum dibunuh amatlah kejamnya. Kwe-kauwsu, sekarang pelaku kekejian itu sudah tertangkap dan sudah dihukum mati sehingga jelas bahwa di antara engkau dan kami tidak ada urusan apapun. Harap engkau suka meninggalkan biara kami dengan damai dan sebagai seorang sahabat." kata Cu Sian Hwesio sambil memberi hormat kepada guru silat itu. "Biarlah kami yang akan mengurus jenazah Giam Ti ini."

Kwe Bun To mengerutkan alisnya dan memandang kepada mayat kepala gerombolan itu. "Memang urusan antara kita sudah beres dan ternyata murid Siauw-lim-pai tidak bersalah. Maafkan sikapku tadi. Akan tetapi, sungguh menyesal sekali bahwa Cia-sicu membunuh orang ini. Itu lancang dan tergesa-gesa namanya."

Cia Song melangkah maju menghadap guru silat itu. "Maaf, Kwee-kauwsu. Bagaimana engkau dapat mengatakan aku lancang dan tergesa-gesa? Aku tidak membunuh dia karena kesalahannya kepadamu, melainkan aku membunuhnya karena dia melempar fitnah kepada Siauw-lim-pai! Dan aku tidak tergesa-gesa, karena aku membunuhnya setelah melihat engkau juga sedang menyiksanya dan hendak membunuhnya."

"Hemm, siapa bilang aku mau membunuhnya? Aku tadi hanya ingin menghajarnya, tidak membunuhnya."

"Akan tetapi mengapa? Bukankah dia... dia telah menodai puterimu?"

"Justeru itulah! Kalau dia mati, lalu bagaimana dengan nasib anakku? Tadinya mau ku agar dia mempertanggung-jawabkan perbuatannya dan mengawini anakku!"

"Omitohud! Kenapa tidak engkau katakan sejak semula, Kwee-kauwsu? Kalau Cia Song tahu, pinceng yakin dia tidak akan membunuhnya'." kata Cu Sian Hwesio.

"Benar sekali. Ah, maafkan aku, Kwee-kauwsu. Siapa yang dapat mengira bahwa engkau akan mengambil dia sebagai mantu. Dia Orang jahat terkutuk ini menjadi mantumu, menjadi suami nona Kwee Bi Hwa? Sungguh tidak patut orang macam dia mendapat kehormatan seperti itu! Sungguh sama sekali tidak pernah kusangka, maka maafkan aku, Kwee-kauwsu."

Kwee Bun To menghela napas panjang. "Sudahlah, semua sudah terjadi. Agaknya memang nasib keluarga kami yang buruk. Selamat tinggal!" Guru silat itu lalu melangkah pergi, langkahnya loyo menunjukkan bahwa perasaan hatinya sedang gundah memikirkan nasib puterinya.

Setelah terjadinya peristiwa itu, Thian Liong masih tinggal di biara Siauw-lim selama dua bulan lagi. Sedangkan Cia Song telah meninggalkan Siauw-lim-pai untuk merantau dan melakukan tugas sebagai pendekar yang membela keadilan dan kebenaran, menentang yang jahat dan membela yang lemah.

Thian Liong membutuhkan waktu tiga bulan untuk mempelajari ilmu dari Kitab Sam-jong Cin-keng. Setelah melihat bahwa Thian Liong benar-benar sudah menguasai ilmu itu, Hui Sian Hwesio memanggilnya menghadap dan hwesio itu berkata,

"Souw Thian Liong, pelajaranmu telah selesai. Lega hati pinceng bahwa murid Tiong Lee Cin-jin telah menguasai ilmu dari kitab yang dia temukan. Dengan begini, selain dapat membalas budi kebaikan Tiong Lee Cin-jin yang telah mengembalikan kitab pusaka Siauw-lim-pai, juga Siauw-lim-pai telah membuktikan bahwa kami bukanlah partai yang serakah dan tidak pelit untuk membagi ilmu kepada sahabat baik."

"Akan tetapi sekarang teecu bukan orang luar, suhu, melainkan juga murid Siauw-lim-pai."

"Ha-ha, omitohud. Bagus sekali kalau engkau merasa demikian, Thian Liong. Memang, pinceng sudah mengakui engkau menjadi murid pinceng dan selanjutnya dalam sepak terjangmu, jangan lupa bahwa engkau selain murid Tiong Lee Cin-jin, juga murid Siauw-lim-pai. Kalau kelak engkau mempergunakan ilmu dari Sam-jong Cin-keng untuk melakukan perbuatan jahat, terpaksa pinceng sendiri yang akan mencari dan menghukummu."

"Peringatan dan nasihat suhu akan selalu teecu ingat dan laksanakan dengan baik."

"Pinceng yakin dan percaya kepadamu. Nah, sekarang, berangkatlah engkau melanjutkan perjalananmu dan sempatkan salam hormat pinceng kepada yang mulia Tiong Lee Cin-jin. Engkau pernah bercerita bahwa kitab pusaka Kun-lun-pai yang ditemukan gurumu dan yang harus kau kembalikan kepada Kun-lun-pai telah dicuri orang dari tanganmu. Pinceng anjurkan agar engkau cari kitab itu sampai dapat, Thian Liong. Karena itu merupakan tanggung jawabmu dan agar jangan mengurangi arti kebaikan yang ditunjukkan oleh yang mulia Tiong Lee Cin-jin."

"Baik, suhu. Memang teecu sudah mengambil keputusan untuk mencari kitab itu sampai dapat dan tidak akan kembali kepada suhu Tiong Lee Cln-jin sebelum kitab Itu dapat teecu temukan, dan teecu serahkan kepada Kun-lun-pai."

Thian Liong lalu berpamit dari semua Hwesio di biara itu dan meninggalkan Siauw-lim-si, berjalan kaki dan menggendong buntalannya.

* * *

Kakek Itu telah berusia kurang lebih tujuh puluh tahun. Tubuhnya besar gendut dan tinggi. Biarpun usianya sudah lanjut, tubuhnya masih sehat dan segar, juga wajahnya yang bundar gemuk itu belum dihias keriput. Kepalanya yang gundul itu memakai sebuah peci berwarna kuning dan jubahnya kuning dengan kotak-kotak merah.

Dari pakaiannya inl mudah diketahui bahwa dia adalah seo-rang pendeta Lama, yaitu pendeta Buddhis dari Tibet. Mengherankan sekali melihat seorang pendeta Tibet berada di sebuah di antara puncak-puncak pegunungan Kun-lun. Bahkan sudah kurang lebih sepuluh tahun pendeta Lama itu bersembunyi di puncak Kun-lun-san. Pendeta Lama ini bukan laln adalah Jit Kong Lama.

Seperti sudah diceritakan di bagiah depan kisah ini, Jit Kong Lama adalah seorang pendeta pelarian dari Tibet. Karena melakukan penyelewengan, hidup bersenang-senang menuruti nafsu, dia terancam hukuman dari Dalai Lama dan terpaksa dia melarikan diri dar tidak berani kembali ke Tibet.

Dia juga gagal untuk merebut kitab-kitab pusaka dari tangan Tiong Lee Cin-jin. Kemudian dia menyelamatkan Han Bi Lan yang berusia tujuh tahun dari tangan penculik anak itu, yaitu Ouw Kan, tokoh atau dukun dari Suku Uigur. Kemudian, dia mengambil Bi Lan sebagai muridnya dan sudah sepuluh tahun gadis itu menjadi rnuridnya.

Dalam usianya yang sudah tua, Jit Kong Hwesio yang dulu hidup malang melintang mengandalkan kesaktiannya dan banyak mengalami suka duka dan pertentangan, merasa berubah hidupnya ketika bersama Bi Lian bersembunyi di puncak Kun-lun-san. Dia merasa tenteram dan damai, dan dia merasa amat sayang kepada Bi Lan.

Matahari telah condong ke barat. Burung-burung beterbangan pulang sarang Jit Kong Lama duduk di depan pondok kayu dan menatap ke depan, termenung. Hatinya merasa tidak enak sekali. Sudah tiga hari Bi Lan pergi meninggalkan pondok. Pamitnya hanya untuk bermdin-main di sekitar pegunungan Kun-lun-san. Dia merasa yakin bahwa muridnya itu tidak akan meninggalkannya tanpa memberitahu.

Karena itulah dia merasa tidak enak khawatir kalau-kalau muridnya itu mengalami halangan. Memang, dia sudah menggembleng Bi Lan selama hampir sepuluh tahun. Dia telah mengajarkan semua ilmunya yang terampuh dan gadis yang kini berusia tujuh belas tahun itu kini telah menjadi seorang yang tangguh dan tidak sembarangan orang akan mampu mengalahkannya.

Akan tetapi dia tahu bahwa betapapun lihainya, Bi Lan hanyalah seorang gadis muda yang kurang pengalaman, walaupun dia tahu bahwa muridnya itu memiliki kecerdikan yang luar biasa.

"Suhu.....! Aku datang....!" Tiba-tiba terdengar suara melengking dari jauh dan Jit Kong Lama tersenyum mengenal suara muridnya. Gadis itu telah menjadi begitu manja kepadanya, bahkan begitu akrabnya sehingga berani beraku dan berengkau kepadanya! Diapun menganggap gadis itu seperti anaknya sendiri yang tidak pernah dipunyainya.

Segera tampak Bi Lan berlarian seperti terbang mendaki lereng-lereng puncak terakhlr. Tak lama kemudian la sudah berdlrl di depan Jlt Kong Lama dengan senyumnya yang cerah dan manis. Jit Kong Lama mendadak melihat segala, sesuatu menjadl cerah dan indah.

"Bi Lan, ke mana saja engkau selama tiga hari ini? Engkau membikin aku gelisah saja!" kakek itu menegur, akan tetapi sambil tersenyum lebar.

"Aih, suhu. Mengapa mengkhawatirkan aku? Aku bukan anak kecil lagi. Dan pula, tidak percuma selama ini aku berguru kepadamu! Aku dapat menjaga diri. Aku membawa kabar gembira, suhu. Aku menemukan sebuah kitab pusaka pelejaran silat yang langka, kuno dan ampuh sekali! Akan tetapi setelah kuperiksa isinya, aku menjadi bingung. Bahasanya kuno banyak huruf yang tidak kumengerti. Karena itu, aku harap suhu suka membimbingku mempelajari ilmu silati itu."

"Eh? Kitab pusaka? Coba perlihatkan padaku!" kata Jit Kong Lama sambil tersenyum dan mengira muridnya bicara berlebihan. Bi Lan mengambil kitab dari buntalannya dan menyerahkannya kepada gurunya.

Jlt Kong Lama menerima kitab itu dan membuka-buka lembarannya. Bi Lan berdiri memandang dan merasa glrang dan bangga melihat kakek itu membelalakkan mata dan tampak terkejut dan heran sekali.

"Omitohud....!" Saking kaget dan herannya, Jit Kong Lama mengucapkan pujian ini yang selama sepuluh tahun ini hampir terlupa olehnya. "Ini adalah Kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat, kitab pusaka milik Kun-lun-pai! Dari mana engkau mendapatkan kitab ini, Bi Lan? Engkau tidak mencurinya dari Kun-lun-pai, bukan?"

Bi Lan memandang gurunya dengan bibir cemberut manja. "Aih, suhu. Aku tidak mencurinya, hanya meminjam. Kalau aku sudah selesai mempelajarinya, pasti kukembalikan kepada Kun-luri-pai kalau memang kitab ini milik Kun-lun-pai."

"Kitab pusaka ini memang merupakan puaaka Kun-lun-pai yang amat langka!" Kakek itu mengahgguk-angguk dan membalik-balikkan lembaran kitab itu. "Sungguh pelajaran silat yang hebat. Sayang aku sudah terlalu tua untuk mempelajarinya."

"Aku mendapatkannya bukan untukmu, suhu, akan tetapi untuk aku sendiri. Asal suhu mau membimbingku dan memberi penjelasan, aku tentu akan dapat menguasai ilmu itu."

"Baiklah. Akan tetapi setelah selesai harus kau kembalikan. Kalau sampai Kun-lun-pai mengetahui bahwa engkau mengambil kitab pusaka mereka, engkau tentu akan dimusuhi dan.... wah, berat sekali kalau harus bermusuhan dengan sebuah partai persilatan sebesar Kun-lun-pai yang mempunyai banyak sekali orang-orang sakti!"

"Aku pasti akan mengembalikannya kelak, suhu. Sekarang, ajarilah aku!"

Setelah menyimpan buntalan pakaiannya dalam kamar, mulailah Bi Lan dilatih oleh Jit Kong Lama menurut kitab itu. Mula-mula dia memberi petunjuk seperti yang tertulis di halaman pertama.

"Kitab ini mengandung ilmu silat tangan kosong yang disebut Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat atau singkatnya Ilmu Silat Berantai Lima Unsur utama, yaitu, air, api, logam dan kayu. Lima unsur ini mempunyai hubungan erat satu sama lain dan hubungan ini mengatur keseimbangan. Tanah mengalahkan air, air mengalahkan api, api mengalahkan logam, logam mengalahkan kayu dan kayu mengalahkah tanah.

"Juga kebalikannya, mereka saling menunjang. Kelimanya saling melengkapi sehingga mengatur keseimbangan dan kesempurnaan keadaan di bumi. Tanah berkedudukan di tengah, logam di utara, kayu di selatan, air di bawah dan api di timur. Tubuh kita merupakan alam kecil yang juga terikat pada hukum gerakan kelima unsur itu."

Demikianlah, semalam suntuk Jit Kong Lama menjelaskan tentang Ngo-heng (Lima Unsur Pokok) kepada muridnya. Kemudian pada hari-hari selanjutnya dia mulai membimbing Bi Lan berlatih ilinu silat yang luar biasa dan yang menjadi pusaka perguruan Kun-lun-pai.

Pada waktu itu, jarang ada murid Kun-lun-pai yang mengenal ilmu silat Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat karena kitab itu telah hilang seratus tahun lebih. yang lalu. Bahkan ketua Kun-lun-pai saat itu, Kui Beng Thaisu yang berusia tujuh puluh tahun, hanya menguasai tidak lebih dari tujuh bagian saja dari ilmu itu.

Demikianlah dengan amat tekun dan tidak mengenal lelah Bi Lan mempelajari ilmu silat dari kitab pusaka itu. Saking tekunnya, setiap hari ia berlatih tanpa mengenal waktu sehingga waktu meluncur dengan cepat tanpa ia sadari dan tahu-tahu setahun sudah berlalu sejak ia mempelajari ilmu silat itu. Setelah setahun berlatih keras, barulah Ia berhasil menguasai. seluruh ilmu silat itu.

Pagi hari itu Jlt Kong Lama sudah bangun dan mandi sehingga dia tampak segar. Namun ada sesuatu dalam sinar matanya yang mengandung kemuraman. Wajah bulat gemuk yang biasanya selalu dihias senyum itu pagi ini tampak lesu. Dia duduk menanti Bi Lan yang pagi-pagi sekali tadi sudah mandi dan sekarang sedang sibuk di bagian belakang pondok kayu itu menyiapkan minuman pagi untuknya.

Akhirnya Bi Lan memasuki ruangan depan dan meletakkan sebuah poci air teh dan cawannya ke atas meja sambil berkata, "Minumlah, suhu, selagi air teh ini masih panas." Dara itu kemndian hendak kembali ke belakang.

"Bi Lan, duduklah, aku ingin bicara denganmu." kata jit Kong Lama.

Bi Lan menahan langkahnya, lalu kembali dan duduk di seberang meja. la memandang wajah gurunya dan baru melihat wajah yang muram dan kehilangan kecerahannya itu.

"Eh? Ada apakah, suhu? Suhu tampaknya sedang memikirkan sesuatu dan merasa tidak gembira." tegurnya.

"Bi Lan, engkau telah berhasil menguasai Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat, rnaka stidah sepahtasnya dan tiba saatnya bagimu untuk mengemballkan kitab pusaka itu kepada Kun-lun-pai."

"Ah, tentu saja, suhu! Memang akupun sedang memikirkan hal itu dan besok atau lusa aku akan mengembalikarinya ke sana. Akan tetapi hal itu tidak perlu disedihkan, bukan? Kitab pusaka itu memang hak milik mereka dan akukan sudah menguasai seluruhnya?"

"Aku tidak menyedihkan hal itu, Bi Lan, Akan tietapi tahukah engkau babwa engkau sudah sebelas tahun mempelajari ilmu dariku?"

Bi Lan mengangguk. "Aku tahu, suhu. Setahun yang lalu, ketika aku belum menemukan kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat, aku sudah sepuluh tahun berada di sini bersamamu dan sudah selesai belajar."

"Kau tahu apa artinya itu? Apakah engkau lupa akan janjiku kepadamu dulu?"

"Aku tidak lupa, suhu. Suhu akan mengajarku selama sepuluh tahun. Karena itulah, setahun yang lalu aku sengaja turun dari sini dan selama tiga hari bermain-main di sekitar Kun-lun-san. Kemudian aku mendapatkan kitab itu dan ingin sekali mempelajarinya sehingga aku tinggal setahun lagi di sini. Berarti aku sudah sebelas tahun tinggal bersama suhu.

"Aku tahu bahwa sudah tiba saatnya aku harus turun gunung, mencari orang tuaku, membalaskan kematian Nenek Lu-ma yang dibunuh oleh tokoh Uigur yang bernama Ouw Kan seperti yang suhu pernah ceritakan, dan juga tidak lupa mencari musuh suhu yang bernama Tiong Lee Cin-jin untuk membunuhnya. Akan tetapi, mengingat bahwa suhu sekarang telah begini tua, bagaimana aku tega untuk meninggalkanmu hidup seorang diri disini?"

Wajah yang bulat itu kini berseri kembali, mulutnya tersenyum dan Jit Kong Lama menjulurkan kedua tangannya di atas meja, menangkap tangan Bi Lan dan menggenggamnya.

"Terima kasih, Bi Lan. Tidak percuma aku dahulu menyelamatkanmu, tidak sia-sia aku mendidikmu selama sebelas tahun. Aku telah mendapatkan hadiah yang teramat besar dan tak ternilai harganya, hadiah yang mendatangkan kebahagiaan yang tak pernah kurasakan selama, hidupku, yaitu kasih sayangmu, Bl Lan. Selama ini engkau menyayangku seperti ayahmu sendiri, memasak, mencuci pakaian untukku. Engkau begitu manis, seperti matahari dalam hidupku. Ah, terima kasih Bi Lan." Sepasang mata kakek itu menjadi basah.

Bi Lan tersenyum. "Aih, suhu ini, ada-ada saja! Sudah tentu saja aku sayang kepada suhu! Suhu bukan hanya menjadi guruku, juga menjadi pengganti orang tuaku, suhu mendidikku dengan penuh kasih sayang, tentu saja aku sayang kepada suhu. Karena itu pula aku tidak tega meninggalkanmu, suhu."

"Tidak, Bi Lan. Aku selama sebelas tahun ini juga belajar dengan tekun, belajar untuk menguasai nafsu-nafsu keinginanku sendiri, keinginan yang mengejar kesenangan hati bagiku sendiri. Nafsu keinginan untuk menang sendiri inilah yang dulu menyeretku ke dalam kesesatan sehingga terpaksa aku harus meninggalkan Tibet. Dan sekarang aku juga telah tamat belajar seperti engkau, Bi Lan.

"Aku menemukan jawabannya bahwa hanya dengan kasih sayang murni terhadap segala sesuatu yang tampak dalam dunia ini, terutama terhadap sesama manusia, maka aku akan mampu menundukkan nafsu-nafsuku sendiri. Dengan mengesampingkan kepentingan pribadi dan mendahulukan kepentingan orang lain, maka nafsu dalam diriku akan menjadi jinak.

"Aku tidak mau menuruti keinginan hati sendiri dengan menahanmu di sampingku. Tidak, engkau harus turun gunung engkau harus mencari orang tuamu dan menentang si jahat Ouw Kan. Dan engkau tidak perlu lagi mencari Tiong Lee Cin-jin karena akulah yang bersalah terhadap dia. Pergilah, Bi Lan, pergilah tinggalkan aku dan doa restuku selalu menyertaimu." Kakek itu melambaikan tangan ke arah luar pintu pondok.

"Akan tetapi, bagaimana aku akan tega meninggalkanmu seorang diri di sini, suhu? Suhu sudah tua, siapa yang akan membuatkan air teh? Siapa yang akan memasakkan makanan? Siapa yang akan mencucikan pakaian suhu dan siapa yang akan merawat dan membersihkan isi rumah dan halaman?"

Kakek itu tersenyum. "Jangan khawatir, aku dapat melakukannya sendiri. Dahulu, sebelum engkau menjadi muridku, akupun hidup seorang diri."

"Akan tetapi suhu sekarang sudah tua sekali. Ah, begini saja baiknya, suhu. Mari suhu ikut bersama aku pergi ke Lin-an. Di kota raja itu orang tuaku memiliki rumah yang cukup besar. Suhu dapat tinggal bersama kami di sana!"

Jit Kong Lama menggeleng kepala sambil tersenyum. ”Tidak, Bi Lan. Aku harus kembali ke tempat asalku."

"Apa? Ke Tibet? Akan tetapi suhu akan dimusuhi di sana!" kata Bi Lan yang sudah pernah mendengar cerita gurunya bahwa gurunya seorang pelarian dari Tibet.

Jit Kong Hwesio tersenyum lebar. "Sekarang aku mengerti bahwa aku tidak akan dapat melarikan diri dari jangkauan karma. Aku tahu bagaimana untuk menghadapi para pendeta Lama di Tibet, yaitu dengan kasih sayang! Aku sudah tua, kalau mereka ingin membunuhku, silakan. Akan tetapi aku tetap akan menghidupkan kasih sayang di dalam hatiku. Sudahlah, Bi Lan. Keputusanku sudah tetap. Engkau harus turun gunung dan jangan meinikirkan aku lagi. Tugasmu di masa depan masih banyak sekali dan jauh lebih penting daripada memikirkan tentang diriku."

Bl Lan tidak dapat membantah lagi. la lalu membungkus semua pakaiannya dalam sebuah buntalan. la tidak membawa senjata karena memang tidak memiliki senjata. Gurunya mengajarkan ilmu-ilmu silat tinggi sehingga benda apapun di tangannya dapat dipergunakannya sebagai senjata, terutama sekali sepotong kayu yang menjadi senjata tongkat.

Setelah siap berkemas, ia menghampiri gurunya. Mereka berdiri berhadapan di depan pintu pondok karena kakek itu mengantar muridnya sampai di depan pintu. Mereka saling berhadapan. Bi Lan memandang wajah yang bulat dan yang tersenyum itu, namun ia melihat mata Itu demikian sayu.

"Selamat tinggal, suhu." katanya lirih.

"Selamat jalan, Bi Lan. Semoga hidupmu selalu bahagia, muridku.... anakku...."

Bi Lan mengeraskan hatinya namun tidak dapat menahan keharuan hatinya. "Suhu....!" la berseru dan merangkul kakek itu.

Jit Kong Lama juga merangkul Bi Lan dan mengelus kepala gadis itu dengan tangannya. "Berangkatlah, anakku, jangan memperlihatkan kelemahan hati seperti ini." katanya menghibur.

Bi Lan menangis sejenak, terisak di dada gurunya. Kemudian ia menguatkan hatinya dan tiba-tiba ia teringat betapa selama ini ia bersikap akrab dan tidak menghomati gurunya, maka ia lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki gurunya. "Suhu...." ia merangkul kedua kaki gurunya.

Jit Kong Lama mengejap-ngejapkan mata untuk mengusir dua titik air mata, dari pelupuk matanya. Kemudian dia membungkuk, memegang kedua pundak gadis itu dan menariknya berdiri. Kakek Itu menepuk-nepuk pundak Bi Lan dan tersenyum lebar.

"Aih, engkau membikin aku malu saja mempunyal murid yang cengeng! Hei Bi Lan, sama-sama menggerakkan mulut dan mengeluarkan suara, mengapa tidak tertawa saja daripada menangis? Tertawa lebih enak dilihat dan didengar, ha-ha-ha-ha."

Bi Lan segera tersenyum. Biasanya, setiap hari, gurunya ini memang selalu berkelakar dan tertawa. Kedua orang Itu tertawa dan aneh sekall melihat mereka tertawa dengan kedua mata basah.

"Selamat tinggal, suhu, selamat berpisah. Aku sayang kepadamu, suhu!"

"Selamat jalan, selamat berpisah. akupun sayang kepadamu, Bi Lan!"

Bi Lan lalu melompat pergi. Pada sebuah tikungan, ia menoleh dan melambaikan tangan dibalas oleh gurunya yang masih tertawa!

Setelah Bi Lan pergi meninggalkan pondok kayu di sebuah di antara puncak-puncak Kun-lun-san, Jit Kong Lama juga meninggalkan pondok itu. Kakek ini tidak membawa apa-apa kecuali tongkat panjang berkepala naga. Dia menuruni puncak dan menuju ke barat karena dia mengambil keputusan untuk kembali ke Tibet, siap menyambut apapun yang akan menimpa dirinya.

Pada sore harinya setelah Jit Kong Lama pergi, muncul seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, berkepala gundul dan memakai peci kuning, berjubah pendeta Lama dan membawa sebatang pedang di pungungnya. Pendeta Lama ini bertubuh kekar, wajahnya penuh brewok dan matanya menyeramkan, mencorong seperti mata harimau.

Mulut danmenibayahgkmbayangkan kekerasan hati. Dia menendang daun pintu pondok sampai jebol, lalu masuk dan memeriksa ke dalam pondok itu. Tak lama kemudian dia keluar lagi, bersungut-sungut karena tidak menemukan seorangpun di sana. Dia lalu mengamuk. Kedua kakinya menendangi pondok kayu itu.

Terdengar suara hiruk pikuk dan pondok kayu itupun ambruk. Tiang-tiang kayunya patah-patah. Atapnya ambruk dan rata dengan tanah. Setelah melampiaskan kemarahannya kepada pondok kosong itu, diapun segera memutar tubuh meninggalkan pondok lalu menggunakan ilmunya berlari cepat sekali menuju ke markas Kun-lun-pai.

Sementara itu menjelang tengah hari, para murld Kun-lun-pai laki maupun wanita, sedang sibuk bekerja. Ada yang bekerja dalam kompleks perkampungan Kun-lun-pai, ada pula yang bekerja di ladang. Seperti biasa, lima orang murid laki-laki duduk di gardu penjagaan di pintu gerbang Kun-lun-pai.

Pada siang hari itu, Hui In Sian-kouw, Ketua Kun-lun-pai bagian wanita datang berkunjung ke kuil induk dan mengadakan percakapan dengan Kui Beng Thaisu, Ketua umum Kun-lun-pai yang menjadi suhengnya. Hui In Sian-kouw seperti biasa melaporkan keadaan para murid wanita.

Dan menceritakan bahwa sumoinya (adik perempuan seperguruannya) Biauw In Suthai yang menjalani hukuman prihatin di pondok pengasingan tekun bersamadhi. Sudah setahun leblh Biauw In Suthai dan menurut hukumannya, ia masih harus berprihatin di pondok pengasingan itu selama dua tahun lagi.

"Biarlah, Biauw In sumoi memang membutuhkan itu untuk dapat melunakkan kekerasan hatinya yang luar biasa. Mudah-mudahan saja sekali ini usahanya berhasil." kata Kui Beng Thaisu sambil mengelus jenggotnya yang panjang dan putih. "Akan tetapi, apakah kedua orang muridnya itu belum juga pulang?"

Hui In Siankouw menghela napas dan menggeleng kepalanya. "Kasihan Kim Lan dan Ai Yin. Sudah setahun lebih Kim Lan pergi mencari Souw Thian Liong. Bagaimana mungkin ia akan mampu membunuh Thian Liong, biar ia dibantu Ai Yin sekalipun? Tingkat kepandaian Thian Liong jauh lebih tinggi."

"Ya, memang kasihan mereka itu menjadi korban kekerasan hati guru mereka. Akan tetapi yang pinto (aku) herankan, mengapa sampai sekarang Thian Liong belum juga datang ke sini menyerahkan kitab pusaka kita? Apakah dia belum berhasil menemukan kitab yang katanya dicuri orang itu?"

"Pinni (aku) juga heran, suheng. Menurut penglihatanku, murid Tiong Lee Cin-jin itu bijaksana dan dapat dipercaya sepenuhnya. Akan tetapi sampai kini dla belum juga datang. Mungkin pencuri kitab itu lihai sekali sehingga dia belum dapat menemukannya, suheng."

Pada saat itu, tiba-tiba seorang murid Kun-lun-pai memasuki ruangan itu dan melihat bahwa Kui Beng Thaisu dan Hui In Sian-kouw sedang duduk bercakap-cakap, dia segera berlutut.

"Mohon ampun, losuhu, lo-suthai, kalau teecu mengganggu...." katanya gagap. Wajah murid berusia tiga puluhan tahun ini tampak pucat.

"Tenanglah dan bicara dengan jelas. Apa yang terjadi maka engkau segelisah ini?" tanya Kui Beng Thaisu.

"Di luar pintu gerbang datang seorang pendeta Lama yang berkeras ingin masuk untuk bertemu dengan pimpinan Kun-lun-pai. Teecu berlima melarangnya dan ingin melapor lebih dulu ke dalam, akan tetapi dia memaksa dan merobohkan teecu berlima. Dia memaksa masuk dan kini dia dihadapi ketiga suhu di pekarangan depan."

"Hemm, seorang pendeta Lama? Mengapa seorang pendeta Lama datang membawa kekerasan? Aneh sekali! Mari, sumoi, kita melihat ke sana!"

Hui In Sian-kouw mengangguk dan keduanya segera keluar diikuti murid yang melapor tadi. Setelah tiba di depan beranda, mereka melihat seorang yang berkepala gundul dan berpakaian seperti pendeta Lama berusia empat puluh tahun lebih, tubuhnya kekar mukanya brewokan dan kulitnya coklat gelap seperti kulit orang India, sedang dikeroyok oleh tiga orang tosu (pendeta To) yang menjadi guru-guru pelatih para murid Kun-lun-pai bagian pria.

Tiga orang sute termuda dari Kui Beng Thaisu yang berusia kurang lebih lima puluh tahun itu masing-masing menggunakan sebatang pedang dan ketiganya menyerang pendeta Lama itu dengan Ilmu pedang Kun-lun-pai yang dahsyat, yaitu Tian-lui Kiam-sut (Ilmu Pedang Kilat Guntur).

Akan tetapi, pendeta Lama itu hanya menggunakan kedua ujung bajunya yang longgar dan panjang uhtuk melawan. Kedua ujung bajunya itu menyambar-nyambar dan mendatangkan angin dahsyat yang kuat sekali sehingga terdengar suara berdesir-desir.

Ketika pendeta Lama itu melihat munculnya Kui Beng Thaisu dan Hui In Sian-kouw, dia secara tiba-tiba mengebutkan kedua ujung lengan bajunya ke arah tiga orang pengeroyoknya. Tiga orang tosu itu cepat menyambut dengan pedang mereka.

"Wuuuuttt.... plak-plak-plak....!" Tiga orang tosu itu terjengkang dan terhuyung ke belakang ketika pedang mereka bertemu dengan ujung lengan baju.

"Siancai.....i Kalian bert8ga mundurlah, sute. Sungguh tidak patut menyambut kunjungan rekan dari Tibet dengan pedang di tangan!" kata Kui Beng Thai-su yang berdiri di atas tangga beranda itu. Tiga orang sutenya segera 'mundur dan berdiri dt bawah tangga, menantl perintah.

Pendeta Lama ttu tersenyum mengejek memandang kepada Kui Beng Thaisu dan Hui In Siankouw. "Kami bukan rekan kalian!"

Kui Beng Thaisu berkata hormat namun tegas, "Sobat, kita sama-sama bertugas untuk mengajarkan kebaikan dan menunjukkan jalan kebenaran kepada manusia, maka kita adalah rekan. Mengapa engkau mengatakan bahwa engkau bukan rekan kami?"

"Hemm, dengan siapakah aku berhadapan? Apakah kalian berdua ini yang menjadi pimpinan Kun-lun-pai?" tanya pendeta Lama itu.

"Perkenalkan. Pinto adalah Kui Beng Thaisu, ketua umum Kun-lun-pai dan ini adalah sumoi Hui In Sian-kouw, ketua bagian wanita. Siapakah engkau, sobat?"

"Aku berjuluk Gwat Kong Lama dari Tibet, utusan istimewa dari Yang Mulia Dalai Lama di Lhasa."

"Siancai....! Kiranya engkau adalah utusan istimewa dari Dalai Lama! Kami merasa terhormat sekali menerima kunjunganmu." kata Kui Beng Thaisu.

"Hemm, Kui Beng Thaisu, kalian mengaku mengajarkan kebaikan dan menunjukkan jalan kebenaran kfepada manusia, akan tetapi apa yang kalian ajarkan itu tidak cocok dengan perbuatan kalian sebagai pimpinan Kun-lun-pai!"

"Gwat Kong Lama!" bentak Hul In Sian-kouw, kehilangan kesabaran. "Kalau kedatanganmu ini bermaksud baik, tidak semestinya engkau mengeluarkan kata-kata celaan tanpa bukti itu! Pergilah dari sini, Kami tidak suka berurusan dengan orang kasar sepertimu!"

"Hemm, kalian menyangkal? Kalau telah menyembunyikan seorang pendeta Lama yang telah bertahun-tahun menjadi burunan kami. Yang Mulia Dalai Sama mengutas aku untuk menangkap buruan itu dan menurut penyelidikanku, dia bersembunyi di Kun-lun-san. Kemarin sore aku menelusuri pondoknya di sebuah puncak pegunungan Kun-lun ini, akan tetapi dia telah kabur. Bukankah itu berarti bahwa Kun-lun-pai sengaja melindungi buronan kami? Hayo cepat akui di mana adanya Jit Kong Lama, buruan kami 8tu!"

"Siacai...!" seru Kui Beng Thaisu. "Kami tidak mengenal Jit Kong Lama, tidak tahu bahwa dia tinggal di daerah Kun-lun-san. Kami juga tidak tahu sekarang dia berada di mana."

"Gwat Kong Lama, tuduhanmu sungguh kasar. Kami memang tidak tahu, akan tetapi andaikata kami tahu juga, tidak akan kami beritahukan kepadamu yang bersikap sekasar ini!" kata Hui In Sian-kouw dengan nada suara marah.

Mendengar ini, Gwat Korig Lama memandang dengan mata mencorong kepada Hui In Sian-kouw. "Bagus, kalau begitu aku akan menggeledah seluruh perumahan Kun-lun-pai dan akan mencari sendiri. Aku yakin dia kalian sembunyikan di sini!" Setelah berkata demikian, Gwat Kong Lama melangkah lebar hendak memasuki kuil besar.

Akan tetapi cepat tubuh Hui In Sian-kouw berkelebat dan wanita berusia enam puluh satu tahun ini telah menghadang di depan pendeta Lama itu. "Berhentl!" bentaknya. "Siapapun tidak boleh memasuki perkampungan kami tanpa ijin!"

"Ho-ho, bagus sekali! Aku memang ingin sekali melihat sampai di mana kehebatan ilmu kepandaian para pimpinan Kun-lun-pai. Cabut senjatamu Hui In Sian-kouw dan mari kita bertanding untuk menentukan siapa di antara kita yang lebih unggul. Kalau aku menang, aku akan menggeledah perkampungan Kun-lun-pai ini. Sebaliknya kalau aku kalah, aku akan pergi tanpa banyak cakap lagi."

"Gwat Kong Lama, kami tidak pernah bermusuhan dengan para pendeta Lama di Tibet, karena itu pinni tidak ingin rnenggunakan senjata untuk bertanding. Cukup dengan tangan kosong saja untuk membuktikan siapa di antara kita yaog lebih benar."

"Bagus! Engkau hendak mengandalkan kun-hoat (ilmu silat) dari Kun-lun-pai? Mari, kita lihat siapa yang lebih tangguh. Pendeta Lama berkulit kehitaman Itu memasang kuda-kuda dengan berdirl dengan kedua kaki berdiri di atas ujung jari dan kedua tangan menyembah di depan dada.

Hui In Siankouw juga memasang kuda-kuda ilmu silat Kun-lun-pai dengati mengembangkan sedikit kedua kaki dan kedua tangannya dikembangkan lebar dl depan dan belakang tubuhnya.

"Hui In Siankouw, aku telah siap. Mulailah!" tantang Gwat Kong Lama.

"Engkau adalah tamu, silakan mulai dulu!" kata Hui In Siankouw.

"Baik, lihat seranganku!" Lama itu berseru dan tiba-tiba dia sudah menerjang maju, kedua tarigannya bergerak cepat melakukan serangan beruntun dari kanan kiri.

Hui In Sian-kouw adalah ketua Kun-lun-pai bagian wanita, tehtu sa-ja ilmu silatnya sudah matang dan tinggi. Dengan gerakan cepat ia mengelak ke belakang dan memutar tubuh untuk balas menyerang. Akan tetapi pendeta Lama itu telah menyusulkan tendangan bertubi-tubi dengan kedua kakinya.

Kembali Hui In Sian-kouw bergerak lincah untuk mengelak. Setelah mendapat kesempatan melepaskan diri dari kurungan serangan beruntun lawannya, ia membalas dengan serangan tangan kirinya yang menusuk ke arah lambung dengan jari-jari, tangan terbuka.

"Syuuuttt... plakk!" Tubuh Hui In Sian-kouw terdorong ke belakang ketika serangannya itu ditangkis oleh lawan. Tahulah ia bahwa lawannya memiliki tenaga sinkang yang amat kuat.

Terdengar pendeta Lama itu tertawa mengejek danj kini dia menerjang dengari dahsyat dan ganas sekali. Pukulan dan tendangan bertubi-tubi mendesak Hul In Sian-kouw sehingga ia tidak mampu membalas.

Akan tetapi, wanita ini mengerahkan ginkangnya (ilmu meringankan tubuhnya) dan tubuhnya berkelebatan menjadi bayang-bayang yang dengan cepat dapat menghindarkan dlri dari semua serangan Gwat Kong Lama.

Dengan sendirinya Hui In Sian-kouw terdesak terus oleh lawannyal yang sering tertawa mengejek. Akan tetapi karena Hui In Sian-kouw memilikl ginkang yang istimewa, piaka betapa gencar dia mendesaknya, belum juga ada pukulan atau tendangan yang dapat mengenai sasaran. Gwat Kong Lama merasa seolah-olah dia menyerang sebuah bayang-bayang saja! Dia menjadi marah dan penasaran.

Dia mulai memperhatikan gerakan Hui In Sian-kouw yang demikian ringan dan tahulah dia ilmu silat apa yang mendasari gerakan pendeta wanita itu. Maka tiba-tiba Gwat Kong La-ma mengubah gerakannya dan dia meinbentak nyaring. "Sambutlah ini!"

Hui In Sian-kouw terkejut sekali ketika menghadapi serangan yang seperti menyambung gerakannya sendiri, dan pada dasarnya menutup semua gerakannya. Serangan dahsyat menyambar dan ketika dia menghindar dengan elakan cepat tahu-tahu tangan pendeta Lama itu telah mengancam pelipis kirinya.'

Kui Beng Thaisu, ketua Kun-lun-pai yang sudah berusia lebih dari tujuh puluh tahun terkejut. Sejak tadi dia menonton pertandingan itu hatinya merasa lega karena dia merasa yakin bahwa gin-kang (ilmu meringankan tubuh) sumoinya cukup tangguh untuk dapat menghindarkan diri dari ancaman serangan pendeta Lama itu.

Akan tetapi dla terkejut ketika melihat perubahan gerakan Gwat Kong Lama. Biarpun hanya tinggal lima atau enam bagian saja dari ilmu silat pusaka Kun-lun-pai itu yang masih diingatnya, namun dia tahu bahwa pendeta Lama itu kini menyerang sumoinya dengan ilmu silat Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat!

Padahal kitab itu sudah lama hilang dari Kun-lun-pai dan setahun yang lalu, murid Tiong Lee Cin-jin yang bernama Souw Thian Liong itu datang dan mengatakan bahwa sebetulnya dia diutus suhunya untuk mengembalikan kitab yang hilang itu dan yang ditemukan Tiong Lee Cin-jin dalam perjalanannya ke barat, akan tetapi bahwa kitab itu hilang, ada yang mencurinya. Kini tiba-tiba muncul seorang pendeta Lama yang menyerang sumoinya dengan menggunakan jurus ilmu silat Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat!

Tentu saja Hui In Sian-kouw terdesak karena ilmu itu merupakan dasar dari ilmu-ilmu perguruan Kun-lun-pai sehingga seolah dasar gerakan pendeta wanita itu tertutup atau mendapatkan imbangan dari gerakan pendeta Lama bermuka brewok itu.

"Pergilah!" tiba-tiba Goat Kong Lama membentak, tangan kanannya mendorong.

Dan biarpun Hui In Sian-kouw sudah cepat mengelak, namun tetap saja pundak kirinya terkena dorongan itu dan tubuh pendeta wanita ini terhuyung ke belakang dan untung saja mempunyai gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat sehingga sebelum roboh terjengkang ia sudah dapat berjungkir balik tiga kali ke belakang sehingga tidak sampai jatuh. Wajahnya menjadi pucat dan dengan jujur ia merangkap kedua tangan depan dada dan berkata lirih. "Siancai....! Aku mengaku kalah."

Kui Beng Thaisu menghampiri pendeta Lama itu. "Goat Kong Lama, engkau sungguh keterlaluan. Tidak malu melawan kami dengan llmu kami sendlri yang kitabnya hilang."'

"Tidak perlu banyak bicara lagi, Kui Beng Thaisu. Aku hanya akan menggeledah dan mencari kalau-kalau kalian menyembunyikan orang yang kucari itu dl dalam kuil mu."

"Hemm, jangan harap engkau akan dapat menghina pergunlan Kun-lun-pai selama pinto (aku) masih berada di sini!" Kui Beng Thaisu yang biasanya penyabar itu kini berkata dengan muka merah karena pendeta Lama ini agaknya sama sekali tidak percaya kepadanya dan hendak memasuki kuil tanpa ijin yang berarti suatu pelanggaran dan penghinaan.

"Kalau begitu, terpaksa akupun harus merobohkanmu, Kui Beng Thaisu!" kata pendeta Lama itu dan kedua orang pendeta itu sudah siap untuk saling serang.

Akan tetapi pada saat itu terdengar suara lembut namun nyaring berwibawa. "Tahan! locianpwe Kui Beng Thaisu, silakan locianpwe (orang tua gagah) mundur. Akulah lawan pendeta asing ini!" Sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang gadis cantik berpakaian merah muda telah berdiri di depan Goat Kong Lama.

Melihat bahwa yang datang hanyalah seorang gadis yang masih muda, paling banyak delapan belas tahun usianya, tentu saja Kui Beng Thaisu tidak percaya bahwa gadis semuda ini akan mampu menandlngi Goat Kong Lama yang selain memillki tingkat kepandaian tinggi, juga mcmiliki banyak pengalaman.

Bahkan sumoinya saja tidak mampu menandinginya, apa lagi gadis semuda ini. Selain itu, dia tidak mengenal gadis asing ttu, bagaimana dia dapat membiarkan gadis itu mencampuri urusan Kun-lun pai dengan pendeta Lama itu.

"Nona, terima kasih atas pembelaanmu. Akan tetapi, harap engkau mundur dan jangan mencampuri urusan Kun-lun-pai yang membela diri terhadap desakan Gwat Kong Lama ini. Kami sungguh akan merasa amat menyesal kalau sampai engkau sebagai orang luar terluka atau cidera karena membela Kun-lun-pai." kata pendeta ketua Kun-lun-pai itu deingan suara lembut.

"Locianpwe, maafkan aku. Sesungguhnya masih terhitung cucu murid locianpwe sendiri. Aku sengaja datang untuk menghadap locianpwe dan memperkenalkan diri. Akan tetapi aku tadi melihat pendeta Lama ini menyerang Kun-lun-pai, karena itu aku harus menandinginya. Locianpwe saksikan saja, aku pasti akan mempergunakan ilmu silat Kun-lun-pai dan tidak berani mempergunakan ilmu silat lain." Gadis itu berkata lantang.

Gadis ini bukan lain adalah Han Bi Lan. Seperti kita ketahui, Bi Lan berpisah dari gurunya dan oleh gurunya ia diharuskan mengembalikan kitab pusaka Kun-lun-pai, yaitu Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang dulu, setahun yang lalu dicurinya dari buntalan pakaian Thian Liong. Kini la telah mempelajari dan menguasai ilmu itu sepenuhnya. Ketika tadi ia datang ke Kun-lun-pai ia sempat menyaksikan kunjungan Goat Kong Lama.

Melihat Gwat Kong Lama mengalahkan Hui In Sian-kouw dengan menggunakan jurus-jurus dari Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat, ia merasa penasaran sekali. la merasa bersalah. Karena ia mencuri kitab itu, maka pendeta wanita itu tidak dapat menguasai ilmu itu dan dikalahkan pendeta Lama itu justru menggunakan Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat. la ingin menebus kesalahannya, maka cepat ia menawarkan diri untuk menandingi pendeta Lama itu.

Mendengar gadis itu mengaku sebagai murid Kun-lun-pai, Kui Beng Thai-su menoleh kepada Hui In Sian-kouw yang juga memandangi kepada Bi Lan dengan heran. "Sumoi, apakah engkau mengenal nona ini sebagai murid Kun-lun pai?"

Hui In Sian-kouw menggeleng kepalanya tanpa menjawab karena ia merasa heran dan juga kagum sekali akan keberanian gadis muda itu. Gadis itu tadi tentu melihat ia dikalahkan pendeta Lama itu, mengapa ia masih nekat hendak menandingi Goat Kong Lama dan berjanji akan melawan pendeta itu dengan ilmu silat Kun-lun-pai?

Ilmu silat Kun-lun-pai yang mana mampu menandingi Goat Kong Lama, kecuali Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat selengkapnya atau ilmu simpanan yang masih dirahasiakan suhengnya sebagai ketua Kun-lun-pai?

Sementara itu, Goat Kong Lama sudah tidak sabar lagi. Melihat sikap ngotot para pimpinan Kun-lun-pai yang-melarang dia melakukan penggeledahan ke dalam bangunan-bangunan Kun-lun-pal, semakin besar kecurigaannya bahwa yang dicarinya, Jit Kong Lama, pasti bersembunyi di dalam kuil itu.

"Hei, bocah!" tegurnya kepada Bi Lan. "Engkau anak-anak jangan turut campur. Aku hanya akan menggeledah kuil ini untuk mencari seseorang yang kuduga tentu bersembunyi di sini, akan tetapi para pimpinan Kun-lun-pai ini menghalangi aku. Minggirlah dan jangan mencari penyakit!"

Tiba-tiba Bi Lan mengerutkan alisnya. Pendeta ini adalah seorahg pendeta Lama, seperti suhunya. Juga namanya Goat Kong Lama, mirip nama suhunya Jit Kong Lama! Jangan-jangan yang dicari pendeta Lama ini adalah suhunya? Apakah ada hubungan antara gurunya dan pendeta Lama ini? Akan tetapi usia mereka jauh berbeda. Pendeta Lanta ini berusia sekitar empat puluh dua tahun, sedangkan suhunya sudah berusia tujuh puluh satu tahun!

"Heh, Goat Kong Lama! Engkau sendiri belum begitu tua, jangan berlagak seperti seorang kakek-kakek! Apakah yang kau cari itu bernama Jit Kong Lama?"

Goat Kong Lama memandang Bi Lan dengan mata terbelalak. "Omitohud! Bagaimana engkau bisa tahu?"

"Tak penting bagaimana aku bisa tahu, akan tetapi kiranya hanya akulah satu-satunya orang yang tahu di mana adanya orang yang kaucari itu. Beliau tidak berada di dalam kuil ini!"

"Hah? Engkau tahu? Katakan, nona, di mana dia?" tanya Goat Kong Lama dengan penuh semangat dan harapan. "Aku melakukan perjalanan ribuan Li jauhnya hanya untuk mencari dia!"

"Katakan dulu, apamukah Jit Kong Lama itu?"

"Dia adalah supekku (uwa guruku)."

Bi Lan teringat akan pengakuan suhunya bahwa dulu suhunya adalah seorang yang sesat dan berdosa. Pantas memilikl murid keponakan sekasar ini! "Hemm, kiranya dia itu uwa gurumu? Lalu mau apa engkau mencarinya?" Bi Lan mendeaak, ingin tahu apakah orang ini kawan ataukah lawan gurunya karena gurunya pernah mencerltakan bahwa gurunya merupakan seorang pelarian dari Tibet dari dimusuhi para pendeta Lama di sana.

"Ih, engkau ini bocah perempuan cerewet amat sih? Hayo katakan di mana adanya Jit Kong Lama!" bentak Goat Kong Lama kehabisan kesabaran.

"Tidak akan kukatakan kalau engkau belum menjawab pertanyaanku ini. Mau apa engkau mencarinya?"

Goat Kong Lama menjadi merah mukanya. Dia marah sekali, akan tetapi merasa tidak mampu menang berbantahan dengan gadis yang lincah dan pandai bicara itu, maka diapun menjawab dengan nada kasar dan keras. "Aku akan menangkap pengkhianat itu, menyeretnya kembali ke Tibet hidup atau mati!"

Tentu saja Bi Lan marah sekali mendengar orang ini hendak menyeret suhunya. Akan tetapi ia menahan perasaannya dan tersenyum mengejek. "Hemm, begitukah? Kurasa engkau tidak akan becus melakukan itu!"

”Bocah! Jangan mempermainkan aku! Hayo katakan dl mana adanya Jtt Kong Lama!" bentak Goat Kong Lama sambll melangkah maju mendekat.

"Sekarang begini saja, Goat Kong Lama. Engkau lancang berani menyerbu Kun-lun-pai, maka aku sebagai murid Kun-lun-pai menantangmu bertanding, mewakili para pemimpin Kun-lun-pai. Kalau engkau dapat mengalahkan aku, barulah aku akan memberi tahu kepadamu di mana adanya Jit Kong Lama. Akan tetapi kalau engkau yang kalah engkau Harus mohon maaf kepada locianpwe Kui Beng Thaisu. Beranikah engkau menerima tantanganku ini?"

Kui Beng Taisu, Hui In Sian-kouw dan para murid Kun-lun-pai yang sekarang telah berkumpul di pekarangan itu, terkejut dan heran melihat keberanian gadis muda itu yang seolah mempermainkan pendeta Lama yang amat lihai itu. Mendengar bahwa gadis itu mengetahui di mana adanya orang yang dicari Goat Long Lama.

Maka ini berarti bahwa gadis itu mempunyai urusan langsung dengan pendeta Lama itu, bukan sekedar mencampuri urusan Kun-lun-pai. Karena itu Kui Beng Thaisu tidak mempunyai alasan untuk melarang gadis itu menandingi Goat Kong Lama.

Pendeta Lama itu sendiri mendengar tantangan Bi Lan, tersenyum mengejek. "Heh-heh, baik, kuterima tantanganmu. Katakan dulu siapa namamu, agar aku mengetahul dengan siapa aku bertandlng."

"Namaku Han Bi Lan. Nah, bersiaplah engkau untuk mohon maaf kepada pimpinan Kun-lun-pai!"

"Nanti dulu! Taruhannya harus ditambah. Kalau engkau yang kalah, selain engkau mengatakan di mana adanya Jit Kong Lama, juga engkau harus menjadi penunjuk jalan dan mengantar aku sampai aku dapat menemukan orang itu!" Sambil berkata demikian, pendeta Lama itu tersenyum, senyum yang mengandung ejekan yang kurang ajar.

Semua orang dapat merasakan bahwa ucapan pendeta Lama itu mengandung arti bahwa kalau ia kalah Bi Lan harus menemaninya, tentu saja dengan maksud yang tidak senonoh terbukti dari senym dan panjdangan mata itu.

Wajah Bi Lan menjadi merah. Akan tetapi dasar ia seorang gadis yang lincah, nakal, cerdik dan pandai bermain kata-kata, maka la berkata, "Akupun menambah taruhan ini. Kalau engkau yang kalah, engkau harus mohon maaf kepada locianpwe Kui Beng Thaisu dengan berlututl"

Goat Kong Lama yang memandang rendah kepada Bi Lan dan merasa yakin bahwa dia pastl akan mampu mengalahkan gadls muda Itu, mengangguk. "Baik, janji taruhan ini disaksikan orang banyak dan harus dipenuhi!"

Bi Lan juga tersenyum, lalu ia menanggalkan pakaiannya dan meletakkan dl atas lantai, dekat tempat Kui Beng Thaisu dan Hui In Slan-kouw berdiri. Kemud8an ia menghadapi pendeta Lama itu dan berkata, "Nah, aku sudah siap, Goat Kong Lama. Mulailah karena engkau yang mendatangkan keributan ini!"

Goat Kong Lama ingin cepat menyelesaikan pertandingan itu, maka dia sudah cepat menyerang dan dia langsung menggunakan jurus Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat mengingat tadi dia mengalahkan Hui In Sian-kouw dengan ilmu silat ini. Dia yakin bahwa dengan ilmu pusaka Kun-lun-pai sendiri ini yang telah lama hilang dari perguruan Kun-lun-pai, akan mudah sekali baginya untuk mengalahkan Bi Lan sebagai murid muda Kun-lun-pai.

"Hiiyyeeehhh!" bentaknya dan lengannya yang kekar panjang itu sudah menyambar ke arah dada gadis itu dengan cengkeraman. Sebuah serangan berbahaya dan juga tidak sopan!

Kui Beng Thaisu yang mengenal jurus ilmu silat pusaka itu memandang dengan penuh perhatian dan sepasang alisnya berkerut. Bagaimana mungkin gadis muda itu akan mampu bertahan menghadapi serangan ilmu silat Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat itu? Dia sendiripun hanya sempat mempelajari ilmu itu sebanyak lima atau enam bagian saja.

Dan melihat gerakan pendeta Lama itu, biarpun agaknya dia juga belum menguasai ilmu itu sepenuhnya, namun setidaknya sudah menguasai lima bagian dan hal ini saja sudah cukup membuat dia lihai sekali. Bahkan Hui In Sian-kouw juga tadi tidak mampu menandinginya.

"Heiiittt....!!" Bi Lan berteriak melengking dan tubuhnya sudah mengelak dengan cepat dan mudah. Tentu saja mudah baginya karena ia sudah menguasai Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat sepenuhnya, maka jurus serangan yang amat dikenalnya itu tentu saja dengan mudah dapat dihindarkannya. la tahu ke mana lawan akan menyerang dan bagaimana perkembangan serangan selanjutnya. Serangan dari ilmu silat ini memang berantai dan di sinilah terletak kehebatannya.

Begitu cengkeraman tangan kiri. Goat Kong Lama tadi luput, tangan kanannya sudah menyambung dengan tamparan ke arah leher dan ini diikuti pula dengan tendangan kedua kaki secara bergantian! Hebat serangan beruntun ini, akan tetapi karena sudah hafal maka Bi Lan mudah saja menghindarkan diri. la juga bergerak dengan ilmu silat yang sama dan gerakantiya juga berantai.

Begitu menghindarkan diri dari tendangan bertubi itu, ia menyambung elakannya dengan serangan balik. Tiba-tiba saja tangan kirinya membuat gerakan memotong dengan tangan miring seperti orang menggunakan golok menebang pohon ke arah kaki yang meluncur lewat samping tubuhnya!

Goat Kong Lama terkejut sekali. Cepat dia menarik kembali kakinya, akan tetapi Bi Lan sudah menyambung serangannya dengan totokan ke arah dada dan serangan inipun disambung dengan tendangan kakinya yang menyambar ke arah pusar.

Goat Kong Lama menjadi heran dan bingung dan terpaksa dia membuang tubuh ke belakang dan bergulingan dli atas tanah karena hanya itu satu-satunya cara untuk mematahkan rangkaian serangan gadis itu. Dia melompat bangun dan berdiri dengan mata terbelalak memandang lawannya itu. Dalam segebrakan saja dia hampir kalah oleh gadis yang juga mempergunakan ilmu silat Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat!

Sementara itu, Kui Beng Thaisu dan Hui In Sian-kouw saling pandang dengan terheran-heran. Gadis itu memainkan Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat dengan gerakan yang sempurna. Akan tetapi mereka tahu benar bahwa tidak ada murid Kun-lun-pai, apa lagi yang begitu muda, yang menguasai ilmu pusaka yang telah lama hilang itu.

Bahkan Kui Beng Thaisu sendiri hanya menguasai paling banyak enam bagian dan Hui In Sian-kouw paling banyak tiga bagian saja. Biauw In Su-thai bahkan tidak pernah mempelajarinya. Akan tetapi Goat Kong Lama menguasai ilmu itu dengan baik dan kini gadis muda itu bahkan menguasainya lebih baik lagi!

Setelah tahu bahwa gadis muda yang dipandang rendah itu ternyata dapat bersilat dengan ilmu Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat secara sempurna, Goat Kong Lama maklum bahwa dia tidak akan menang kalau menggunakan ilmu itu.

Kalau ingin menang, dia harus mempergunakan ilmunya sendiri dan dia ingin mempermalukan gadis itu dengan menggunakan ilmu sihirnya. Maka, mulutnya berkemak-kemik dan sepasang matanya seperti mencorong menatap wajah Bi Lan.

Gadis itu mendengar mantra yang dlliucapkan lirih oleh Goat Kong Lama. la tersenyum. Tentu saja ia mengenal baik penggunaan sihir melalui pandang mata dan suara itu. la pun diam-diam mengerahkan tenaga batin seperti diajarkan gurunya, dengan berani membalas tatapan mata Goat Kong Lama.

Diam-diam pendeta Lama itu terkejut melihat betapa sinar mata gadis itu juga mencorong dan berani menyambut sinar matanya yang penuh kekuatan sihir. Bahkan sambil tersenyum...!

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.