Kisah Si Naga Langit Jilid 12

Sonny Ogawa

Kisah Si Naga Langit Jilid 12 karya Kho Ping Hoo - Goat Kong Lama lalu mengembangkan kedua lengannya, dan perlahan-lahan kedua tangannya bergerak ke atas kepala dalam bentuk sembah, kemudian didorongkan ke depan dan mulutnya mengeluarkan dengungan aneh.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Tiba-tiba ada angin menyambar ke depan. Angin itu berpusing dan menerjang Bi Lan. Akan tetapi Bi Lan merangkap kedua tangan depan dada seperti sembah, kedua matanya terpejam. la membiarkan angin itu berpusing di sekitar tubuhnya. Angin berpusing kuat dan membawa tanah dan debu ke atas, akan tetapi tidak kuat mengangkat tubuh Bi Lan.

Kini perlahan-lahan Bi Lan mengembangkan kedua tangannya dan mendorong ke depan. Angin berpusing itu kini meninggalkannya dan membalik menyerang Goat Kong Lama! Pendeta Lama itu terkejut. Tubuhnya hampir terpelanting oleh putaran angin dan cepat dia menghentikan sihirnya. Angin berhenti dan wajah pendeta Lama Itu menjadl pucat.

Goat Kong Lama mengerahkan tenaganya dan membentak dengan suara menggetar penuh wibawa. "Han Bi Lan, berlututlah engkau!"

Bi Lan juga mengerahkan tenaga batin dalam suaranya ketika ia berkata, "Siapa yang berlutut? Aku ataukah engkau? Yang pasti engkau, Goat Kong Lama. Hayo, berilah contoh!"

Goat Kong Lama terkejut karena tiba-tiba tanpa dapat ditolaknya lagi, kedua lututnya menjadi lemas dan dia jatuh berlutut. Akan tetapi dia segera menyadari keadaan yang tidak wajar ini dan cepat meloncat berdiri lagi.

Terdengar suara tawa dari para murid Kun-lun-pai yang merasa senang melihat pendeta Lama itu dipermainkan. Sementara itu, Kui Beng Thaisu dan Hui In Sian-kouw menjadi semakin heran. Mereka tahu bahwa dua orang itu tadi mengadu kekuatan sihir. Siapakah gadis muda yang selain menguasai Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat juga memiliki llmu sihir yang demikian kuat ini?

Goat Kong Lama maklum bahwa dengan sihirpun dia tldak akan mampu mengalahkan gadls aneh ini. Maka sambil mengeluarkan gerengan dahsyat, dia segera menerjang ke depan dan menyerang gadis itu dengan cepat. Semua serangan dilakukan dengan kedua tangan terbuka dan miring, seringkali gerakannya seperti orang menyembah dan gerakan silatnya lemah lembut, namun setiap sambaran tangan yang menerjang mengandung tenaga yang kuat.

Bi Lan segera mengenal ilmu silat Kwan Im Sin-caang (Tangan Sakti Dewi Kwan Im) itu. Untuk menyenangkan hati para pimpinan Kun-lun-pai, ia tetap memainkan ilmu silat Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat. Terjadilah pertandingan hebat dan seru. Tentu saja pihak Bi Lan lebih untung. la mengenal dan hafal sekali ilmu silat Kwan Im Sin-ciang yang diajarkan Jlt Kong Lama kepadanya.

Maka menghadapi serangan dengan ilmu silat ini tentu saja ia sudah mengenal lika-liku dan perkembangannya sehingga mudah menghindarkan diri. Sebaliknya, Goat Kong Lama yang tidak menguasai Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat sepenuhnya, hanya menguasai setengahnya saja, menjadi repot menghadapi desakan Bi Lan.

Beberapa kali kaki atau tangan gadis itu mengenai sasaran, akan tetapi Goat Kong Lama melindungi dirinya dengan ilmu kebal yang kuat sehingga dia tidak sampai roboh. Selain itu, juga Bi Lan tidak menggunakan tenaga sepenuhnya karena bagaimanapun juga, gadis ini tahu bahwa lawannya adalah murid keponakan suhunya sehingga masih terhitung saudara seperguruan sendiri.

Akan tetapi melihat Goat Kong Lama belum juga mau mengaku kalah walaupun sudah beberapa kali terkena tendangan atau tamparannya, Bi Lan menjadi marah juga. Orang ini tak tahu diri, pikirnya dan perlu diberi hajaran yang lebih keras.

"Haiiittt....!" Ia menyerang dengan serangkaian serangan dari Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang sambung menyambung.

Goat Kong Lama berusaha untuk mempertahankan diri dengan tangkisan dan elakan, akan tetapi karena jurus yang dipergunakan Bi Lan int merupakan jurus-jurus llmu silat yang belum pernah dipelajarinya, maka dia menjadi bingung tidak mengenal perkembangannya dan tidak dapat menghindarkan diri lagi ketika kaki kiri gadis itu mencuat dengan cepat dan kuat ke arah dada kanannya. Sekali ini Bi Lan mengerahkan tenaga sin-kangnya.

"Desss,...!" Biarpun Goat Kong ama telah melindungi dirlnya dengan ilmu kebalan, namun tendangan itu terlalu kuat menembus kekebalannya dan diapun terjengkang dan terbanting jatuh. Dia merasa dada kanannya nyeri dan ketika dirabanya, tahulah dia bahwa sebuah tulang iganya patah.

Goat Kang Lama terkejut dan merasa penasaran sekali. Menang kalah merupakan hal blasa dalam pertandingan silat, akan tetapi dia merasa dipermalukan dl depan semua anggauta Kun-lun-pai yang berkumpul di situ dan yang kini semua tersenyum gembira melihat kemenangan Bi Lan. Dia meraba punggungnya dan sratt...! Tangan kanannya telah mencabut pedang.

Pada saat itu, Kui Beng Thaisu dan Hui In Sian-kouw melompat ke depan. "Siancai....! Goat Kong Lama, pertandingan ini bukan permusuhan, mengapa menggunakan senjata? Kalau engkau menggunakan senjata, terpaksa kami akan mengusirmu dengan kekerasan!

Engkau jelas telah dikalahkan seorang murid Kun-lun-pai, mengapa masih nekat? Han Bi Lan, sebagai murid Kun-lun-pai, engkau kami minta untuk menceritakan di mana adanya pendeta Lama yang dicari Goat Kong Lama Itu agar tidak ada urusan lagi antara Kun-lun-pal dan dla."

Bi Lan menghadapi Goat Kong Lama yang terpaksa menyarungkan kemball pe-dangnya karena kalau sampai para pimpinan Kun-lun-pai marah dan turun tangan, tak mungkin dia akan dapat lolos. Baru melawan gadis itu saja sudah berat sekali.

”Goat Kong Lama. Kalau engkau merasa sebagai orang gagah kenapa tldak memenuhi, Janjimu tadl? Engkau telah kalah dan engkau harus mohon ampun kepada pimplnan Kun-lun-pai! Setelah itu baru akan dapat kuberitahu dimana adanya Jit Kong Lama."

Goat Kong Lama tidak dapat menyangkal lagl akan kekalahannya tadi, maka dengan muka merah dia lala menjatuhkan dirl berlutut menghadap Kui Beng Thaisu dan berkata, "Kui Beng Thaisu, pinceng (aku) bersalah dan minta maaf."

"Sudahlah, Goat Kong Lama. Kami tidak dapat menerima penghormatah seperti ini. Semua itu hanya kesalahpahaman belaka. Yang sudah biarlah berlalu. Bangkitlahl"

Ketua Kun-lun-pai itu menggerakkan tangan kanannya ke depan dan Goat Kong Lama merasa ada angln amat kuat menyambar dan seolah mengangkatnya sehingga dia terpaksa bangklt berdiri. Dia terkejut sekali dan menyesal bahwa tadi dia terlalu memandang rendah orang. Ternyata ketua Kun-lun pai yang sudah tua inl memillkl tenaga sakti yang luar biasa!

"Han Bl Lan, sekarang katakan di mana adanya Jit Kong Lama." katanya kepada Bi Lan, kini lenyaplah sikapnya yang angkuh tadi.

"Dia sudah pergi ke barat, hendak kembali ke Tibet dan menyerahkan diri kepada para pimpinan Lama di sana." kata Bi Lan dan dalam suaranya terkandung kesedihan mengenang gurunya yang disayangnya itu.

Pendeta Lama itu memandang kepadanya dengan alis berkerut dan sinar matanya membayangkan ketidak-percayaannya. "Bagaimana aku dapat mempercayai keterangan itu?"

"Engkau harus percaya karena aku adalah muridnya!" kata Bi Lan.

"Engkau... engkau... muridnya?" kata Goat Kong Lama dengan mata terbelalak. "Tapi.... engkau tadi melawanku dengan Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat....!"

"Benar. Aku juga murid Kun-lun-pai. Akan tetapi Jit Kong Lama juga guruku. Kau lihat ini!" kata gadis itu dan ia segera membuat gerakan silat dengan kedua tangan miring seperti orang memuja.

"Kwan Im Sin-ciang (Tangan Sakti Dewi Kwan Im)....!" seru Goat Kong Lama.

"Dan lihat ini!" Bi Lan memungut sebatang ranting kayu lalu bersilat beberapa jurus dengan ranting kayu itu.

"Kim Bhok Sin-tung-hoat (Ilmu Tongkat Sakti Kayu Emas)." kembali Goat Kong Lama berseru. "Kau.... kau benar muridnya!"

"Nah, percayakah engkau sekarang? Suhu Jit Kong Lama sudah pulang ke Tibet untuk menyerahkan diri, bertaubat dan menebus semua dosanya. Pergilah!"

Goat Kong Lama mengangguk-angguk, mengangkat kedua tangan depan dada, menghadapi pimpinan Kun-lun-pai, membungkuk lalu berkata, "Omitohud! Pinceng mohon maaf dan mohon diri!" Setelah berkata demikian, pendeta Lama itu memutar tubuhnya lalu berlari cepat seperti terbang meninggalkan tempat itu.

Kini Bi Lan menghadapi Kui Beng Thaisu dan Hui In Sian-kouw. Dua orang pimpinan Kun-lun-pai itu menatap wajah Bi Lan dengan penuh keheranan. Mereka merasa penasaran sekali. Murid pendeta Lama Tibet dan sekaligus juga murid Kun-lun-pai yang dibuktikannya dengan kemahiran ilmu silat pusaka Kun-lun-pai! Banyak pertanyaan yang memenuhi hati Kui Beng Thaisu.

Betapapun Juga, gadis ini telah membela nama Kun-lun-pai dengan mengalahkan Goat Kong Lama tadi. Dan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi hatinya, dia merasa tidak leluasa karena di s8tu berkumpul semua murid Kun-lun-pai.

"Nona Han Bi Lan, engkau tadi mengatakan bahwa engkau datang ini untuk menghadap kami?" tanya ketua Kun-lun-pai itu.

"Benar, locianpwe." jawab Bi Lan sambil menghampiri buntalan pakaiannya.

"Kalau begitu, mari kita masuk dan bicara di dalam." ajak ketua Kun-lun-pai itu. Bi Lan mengangguk dan ia mengikuti Kui Beng Thaisu dan Hu in Sian-kouw memasuki kuil.

Setelah mereka duduk dalam ruangan tengah yang tertutup, Bi Lan meletakkan buntalan pakatannya di atas meja. "Nah, sekarang janganlah membuat kami terlalu lama keheranan dan menduga-duga, nona Han Bi Lan. CeritaKanlah mengapa engkau datang ke Kun-lun-pai dan hendak bertemu dengan kami?" tanya Kui Beng Thaisu.

"Dan bagaimana pula engkau mengaku sebagai murid Kun-lun-pai dan menguasai, Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat?" tanya pula. Hui In Sian-kouw.

Bi Lan tersenyum, akan tetapi menghela napas panjang. "Panjang ceritanya dan sebelumnya saya harap locianpwe pimpinan Kun-lun-pai suka memaafkan saya. Saya sudah sebelas tahun lamanya ikut suhu Jit Kong Lama yang mengasingkan diri di sebuah puncak Kun-lun-san, mempelajari ilmu-ilmu dari suhu. Beberapa hari yang lalu, saya berpisah dari suhu yang ingin kembali ke Tibet. Tugas saya yang pertama adalah berkunjung ke Kun-lun-pai, menghadap para pimpinan Kun-lun-pai.

"Akan tetapi baru saja tiba di pekarangan kuil saya melihat Goat Kong Lama, mendengar pembicaraannya dan melihat betapa dia menantang bertanding kepada para pimpinan Kun-lun-pai. Karena itulah maka saya memberanikan diri menghadapinya untuk membela Kun-lun-pai karena saya merasa sebagai kewajiban saya membe-la Kun-lun-pai."

"Tapi... engkau menguasai ilmu silat pusaka kami...." kata Hui In Sian-kouw.

Bi Lan tersenyum. "Terjadinya kurang lebih setahun yang lalu. Pada suatu hari saya bertemu dengan seorang pemuda sombong. Ketika melihat bahwa dia membawa kitab-kitab kuno dalam buntalan pakaiannya, saya lalu meminjam sebuah kitab tanpa dia ketahui."

"Siancai! Itu namanya mencuri!" seru Hui In Sian-kouw.

Bi Lan tersenyum manis memandang wajah pendeta wanita itu dan matanya. bersinar-sinar nakal. "Saya hanya ingin memberi pelajaran padanya agar dia tidak sombong. Biar tahu rasa dia! Ketika saya melihat bahwa kitab itu berisi pelajaran ilmu silat, saya tertarik sekali dan saya mendengar dari suhu bahwa kitab itu adalah kitab pusaka milik Kun-lun-pai.

"Saya mengambil keputusan untuk meminjam kitab itu dan di bawah bimbingan dan petunjuk suhu, saya mempelajari dan melatihnya selama setahun. Karena saya memang merasa pinjam, maka setelah selesai saya pelajari dan saya kuasai, begitu berpisah dari suhu, saya langsung menghadap pimpinan Kun-lun-pai untuk mengembalikan Kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat ini."

la membuka buntalan pakaiannya mengambil kitab itu dan menyerahkannya kepada Kui Beng Thaisu.

Kui Beng Thaisu menerima kitab itu memeriksanya sebentar dan dia mengangguk-angguk, "Siancai....! Memang inilah kitab kami yang hilang puluhan tahun yang lalu itu. Nona Han Bi Lan, pemuda yang kau maksudkan itu adalah murid dari Tiong Lee Cin-jin yang bermaksud mengembalikan kitab itu kepada kami. Dia melaporkan bahwa kitab itu hilang dalam perjalanan. Kiranya engkau yang mengambilnya."

"Saya meminjamnya, locianpwe, dan hari ini saya kembalikan. Harap Locianpwe suka memaafkan saya."

"Kami memaafkanmu, nona. Bagaimanapun juga, engkau sudah berani membela Kun-lun-pai dengan taruhan nyawa dan mengaku sebagai murid Kun-lun-pai. Kalau engkau murid Kun-lun-pai, maka mempelajari Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat tentu tidak bersalah karena tingkat kepandaianmu juga sudah memadai. Karena itu, engkau baru sah kami terima sebagai murid Kun-lun-pai kalau engkau mengakui pinto (aku) sebagai guru dan ini adalah Hui In Sian-kouw, sumoiku yang menjadi ketua kun-lun-pai bagian wanita, jadi ia juga gurumu."

Bi Lan mengerti apa yang dimaksudkan kakek itu, maka iapun segera berlutut memberi hormat kepada kedua orang tua itu, memberi hormat kepada Kui Beng Thaisu dan menyebut "suhu" lalu kepada Hui In Sian-kouw dengan menyebut "subo (ibu guru)". Hui In Sian-kouw menyentuh kedua pundak Bi Lan dan pienyuruhnya bangkit dan duduk kembali.

Setelah kedua orang ketua Kun-lun-pai ini menerima Bi Lan sebagai murid Kun-lun-pai, gadis itu lalu diperkenalKan kepada semua murid Kun-lun-pai. Semua murid merasa girang dan kagum mempunyai saudara seperguruan yang demikian lihai. Hui In Sian-kouw tidak lupa untuk rnemperkenalkan Bi Lan kepada Biauw In Suthai yang masih menjalani hukuman dalam Pondok Pengasingan.

Pendeta wanita ini ketika diberitahu tentang Han Bi Lan yang telah membela Kun-lun-pai dan kini diakui sebagai murid yang sah dari Kun-lun-pai, mau menerima Bl Lan berkunjung kepadanya di Pondok Pengasingan.

Bi Lan memasuki pondok yang sepi itu dan segera berlutut menghadap pendeta wanlta yang juga duduk di atas lantai sambil bersila itu. Bi Lan sudah mendengar tentang Biauw In Su-thal yang menjalani hukuman dan ia merasa kasihan kepada pendeta wanita yang masih tampak berwajah manis itu. Baru mengasingkan diri selama setahun saja wajah Biauw In Suthai sudah berubah, tidak ada garis-garls yang menunjukkan kekerasan hatlnya lagi pada wajahnya.

"Bibi guru...!" Bi Lan menegur ragu.

Blauw In Suthal membuka mata, memandang kepada Bi Lan dan ia tersenyum kagum. "Ah, engkau cantik jelita dan lincah sekali! Engkau yang bernama Han Bi Lan dan yang telah membela Kun-lun-pai dan mengalahkan pendeta Lama yang amat lihai? Setelah berkunjung ke sini dan mengembalikan kitab engkau lalu hendak pergi ke mana, Bi Lan?"

"Saya akan melanjutkan perjalanan saya, bibi guru. Saya akan kembali ke rumah orang tua saya di Liang-an (Hang-chouw)."

"Ah, ke kota raja kerajaan Lam Sung (Sung Selatan)? Jauh sekali. Bi Lan, engkau adalah murid Kun-lun-pai yang telah menguasai Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat, berarti tingkat kepandaianmu sudah tinggi sekali. Aku ingin minta bantuanmu, maukah engkau menolongku, Bi Lan?"

Bi Lan merasa heran sekali. Bantuan apa yang dibutuhkan pendeta wanita ini? la hanya mendapat keterangan dari para murid Kun-lun-pai dan juga dari Hui In Sian-kouw bahwa Biauw In Suthai ini sedang merijalani hukuman dan diharuskan tinggal di Pondok Pengasingan untuk bersamadhi dan bertaubat. Kini wanita yang sudah menjalani hukuman selama setahun itu ingin minta pertolongannya!

"Bibi guru, tentu saja saya suka menolongmu, asal saja tidak melanggar peraturan Kun-lun-pai dan tidak berlawanan dengan hati nurani saya sendiri." jawabnya hati-hati.

Biauw In Suthai mengangguk-angguk. "Bagus sekali. Memang demikianlah seharusnya seorang pendekar dan murid Kun-lun-pai yang baik. Tidak seperti aku dahulu yang hanya menurutkan gejolak perasaan hati sendiri. Kekerasan hatiku membuat dua orang murid yang kusayangi sekarang ini, pergi mencari seseorang untuk membunuhnya dan aku minta bantuanmu, yaitu apabila dalam perjalananmu engkau menjumpai mereka, sampaikanlah pesanku bahwa peraturan pernikahan itu sekarang sudah kubatalkan dan katakan agar mereka berdua tidak lagi berusaha membunuh laki-laki itu."

Bl Lan mendengarkan dengan heran. "Bibi guru, apakah bibi guru tidak mau memberi penjelasan kepada saya agar saya mengerti duduknya perkara? Siapakah kedua orang murid bibi guru itu dan siapa pula laki-laki yang hendak mereka bunuh itu? Mengapa pula hendak mereka bunuh?"

Biauw In Suthai menghela napas panjang. "Baiklah, akan kujelaskan, Bi Lan. Setahun yang lalu, muridku Kim Lan dalam pertandingan silat dikalahkan seorang pemuda. Sudah menjadi peraturanku ketika itu bahwa muridku yapg kalah oleh seorang pria harus menjadi isterinya. Kalau pria itu menolaknya, maka muridku harus membunuh prla itu.

"Kim Lan kalah dan pria itu menolak menjadi suaminya, maka Kim Lan lalu pergi untuk mencari pemuda itu dan membunuhnya. Ai Yin, muridku yang kedua, ikut pergi bersama sucinya (kakak seperguruannya). Pemuda itu bernama Souw Thian Liong, murid Tiong Lee Cin-jin."

"Murid Tiong Lee Cin-jin? Bibi maksudkan, pemuda itu yang tadinya membawa kitab untuk diserahkan kepada pimpinan Kun-lun-pai?" Bi Lan teringat akan Souw Thian Liong yang tadinya belum ia ketahui namanya.

"Benar, Bi Lan. Dialah orangnya yang telah mengalahkan Kim Lan akan tetapi tidak mau menjadi suaminya."

"Tapi..... tapi, bibi! Bagaimana ada aturan seperti itu? Kalau kalah harus menjadi isteri orang yang mengatahkan dan kalau pria itu menolak atau dibunuh? Aneh sekali peraturan itu bibi. Maafkan saya, akan tetapi bagaimana mungkin perjodohan dapat dipaksakan seperti itu?" kata Bi Lan sambil menahan tawa karena hatinya merasa geli. Peraturan itu dianggapnya konyol.

Biauw In Suthai menghela napas panjang. "Sekarang akupun dapat melihat betapa bodohnya peraturan yang kubuat menurutkan perasaan hati itu. Karena itu, suheng menegurku dan menyuruhku bertaubat di sini selama tiga tahun. Aku menyesal, maka tolonglah aku, Bi Lan. Kalau engkau bertemu dengan Kim Lan dan Ai Yin, cegah mereka membunuh Souw Thian Liong dan katakan bahwa peraturanku itu sudah kucabut."

Bi Lan mengangguk. "Baiklah, bibi. Mudah-mudahan saya akan dapat bertemu dengan mereka."

Setelah meninggalkan Pondok Pengasingan itu, Bi Lan tak dapat menahan rasa geli hatinya dan ia tertawa sendiri. Peraturan yang aneh! Dalam pertandingan sudah dikalahkan pemuda itu, bagaimana dapat membunuhnya? Hemm, jadi pemuda itu bernama Souw Thian Liong, murid Tiong Lee Cin-jin? Ilmu silatnya memang hebat dan ia sudah menyaksikannya sendiri ketika pemuda itu menolong para saudagar yang diganggu 'perampok-perampok lihai.

Setelah tinggal di Kun-lun-pai selama dua hari, Bi Lan lalu berpamit untuk melanjutkan perjalanannya. la Ingin menjenguk ayah Ibunya dl kota raja dan hatinya berbahagia sekali membayangkan ia akan bertemu dan berkumpul kembali dengan orang tuanya. Tentu selama ini orang tuanya amat mengkhawatirkan keselamatannya. la membayangkan betapa akan gembiranya hati ayah ibunya kalau bertemu dengannya.

Dan iapun akan mencari Ouw Kan yang telah membunuh Lu Ma, pelayan tua yang setia dan yang menurut ibunya masih bibi ibunya sendirl dan yang amat mencintanya. la rnasih ingat bahwa ayah ibunya adalah orang-orang gagah yang memimpin pasukan dan ketika meninggalkannya, mereka berangkat untuk perang membantu pasukan besar Jenderal Gak Hui.

la pun teringat bahwa ia pesan kepada ayahnya untuk membawa oleh-oleh sebatang pedang bengkok yang biasa dipakai perwira Kerajaan Kin. Bi Lan tersenyum kalau ingat akan hal ini. Apakah kini ayahnya sudah membawakan oleh-oleh itu dan maslh menyimpannya?

* * *

"Tidak, ayah... tidak... aku tidak percaya!" Gadis itu menangis sesenggukan. la adalah Kwee Bi Hwa, berusia kurang lebih sembilan belas tahun. Gadis ini memiliki wajah yang manis sekali, kecantikan yang khas, tidak seperti perempuan bangsa Han lainnya. Kejelitaannya terasa asing.

Memang sesungguhnya, ada kecantikan suku Mancu dalam dirinya. Ayahnya, Kwee Bun To, adalah seorang peranakan Mancu yang menjadi guru silat dari perguruan silat Pek-eng Bukoan (Perguruan Silat Garuda Putih) dan tinggal di daerah utara. Isteri Kwee Bun To Juga seorang wanita Mancu, maka tldak mengherankan kalau kecantikan yang dimiliki Kwee B Hwa adalah kecantlkan peranakan Han dan Mancu.

Ketlka bangsa Yu-cen nenguasai daerah utara dan mendirikan dinasti Kin, Kwee Bun To melarikan diri, membawa istri dan seorang anaknya. Akan tetapi isterinya mati dalam perjalanan dan akhirnya dia tinggal di pegunungan dekat Siauw-Lim-pai.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, pada suatu malam seseorang memasuki kamar Bi Hwa, menotoknya dan memperkosanya. Kwee Bun To marah sekali dan menyerbu Siauw-lim-si karena merasa yakin bahwa pelakunya adalah murid Siauw-lim-pai.

Akan tetapi kemudian ternyata bahwa pelakunya yang berhasil ditangkap Cia Song, murid Siauw-lini-pai yang llhai itu, adalah seorang kepala perampok dan pemerkosa itu kemudian dibunuh Cia Song. Dengan hati sedih Kwee Bun To pulang dan menceritakan hal itu kepada puterinya. Bi Hwa menyambut cerita ayahnya itu dengan tangis.

Kwee Bun To memandang puterinya dan menghela napas panjang. Dia merasa iba sekali kepada puterinya yang tersayang. Puterinya adalah satu-satunya orang yang dia miliki di dunia ini, satu-satunya orang yang paling dekat dengan hatinya. Dia mau berkorban apa saja, kalau perlu nyawanya, untuk puterinya.

"Bi Hwa, percayalah, akupun menyesal bukan main. Tadinya aku bermaksud minta pertanggungan lawab Giam Ti dan ia harus menikahimu untuk mencuci aib. Akan tetapi murid Siauw-lim-pai itu terlanjur turun tangan membunuhnya.

Bi Hwa sudah menguatkan hatinya dan menghentikan tangisnya, la mengangkat mukanya yang agak pucat dan sepasang matanya yang merah karena tangis. "Ayah, aku sukar dapat percaya bahwa pelakunya adalah seorang kepala perampok. Bagaimana dia berani mengganggu keluarga ayah?"

"Anakku, bagaimana aku tidak akan mempercayanya? Ketika dia ditangkap Cia Song murid Siauw-lim-pai itu dan dihadapkan padaku, penjahat itu telah mengaku sendlri. Dan ingat, dia bukan kepala perampok biasa. Dia menjadi kepala gerombolan yang bersarang di Bukit Angsa tak jauh dari sini. Julukannyai Hui-houw-ong (Raja Harimau Terbang) sedikitnya menunjukkan bahwa dia memiliki kepandaian yang tinggi juga."

"Aku masih merasa penasaran, ayah. Orang itu sangat lihai. Ketika memasuki kamarku, sama sekali aku tidak mendengar apa-apa. Hal ini menunjukkan dia tentu memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang sempurna. Padahal, aku biasanya peka sekali, sedikit saja suara mencurigakan sudah cukup untuk membangunkan aku. Dan totokannya itu! Benar-benar melumpuhkan seluruh tubuhku. Bukan main lihainya."

"Sudahlah, Bi Hwa. Tidak perlu penasaran lagi. Bagaimanapun juga, pelakunya sudah mengaku dan sudah terhukum mati. Aku merasa lelah sekali lahir batin, perlu mengaso." kata Kwee Bun To sambil memasuki kamarnya.

Bi Hwa. masih duduk termenung. Ia merasa menyesal sekali, dan kecewa mendengar bahwa yang memperkosanya dahulu adalah seorang kepala perampok, seorang penjahat. Kalau saja pelakunya itu seorang murid Siauw-lim-pai, seorang pendekar seperti yang disangkanya semula, tentu ia tidak akan merasa sehina itu. Akan tetapi seorang kepala perampok?

Andaikata penjahat itu tertangkap hidup-hidup pun ia tidak akan sudi menjadi isteri seorang kepala perampok. Akan tetapi hatinya masih belum puas. la masih penasaran sekali. la masih ingat benar. Pria yang memperkosanya malam itu, walaupun dalam keadaan gelap dan ia sama sekali tidak dapat melihat wajahnya, namun tidak mungkin laki-laki Itu seorang penjahat yang kasar dan kejam.

Biarpun tidak mengucapkan sepatahpun kata, biarpun la tidak dapat melihat orangnya, namun laki-laki itu demlkian lemah lembut! Tidak mungkin dia seorang kepala perampok, seorang penjahat yang kasar dan kejam!

la harus menyelidikinya sendiri! Ayahnya kadang terlalu keras, lebih banyak penggunakan tenaga daripada akal. Timbullah semangat Bi Hwa dan pada keesokan harinya, Kwee Bun To mendapatkan kamar anakpya kosong dan hanya menemukan sepucuk surat tulisan tangan anaknya yang ditujukan kepadanya.

Ayah,
Saya pergi merantau untuk menghibur hati yang gundah. Harap ayah jangan mencari saya karena saya tidak akan pulang sebelum kedukaan ini lenyap. Kalau sudah tiba saatnya saya pasti pulang!

Anak:
Kwee Bi Hwa.


Pada saat Itu muncul keinginan Kwee Bun To untuk mengejar anaknya, dan mencegahnya pergi. Dia sudah melompat keluar kamar dan hendak lari mengejar keluar rumah. Akan tetapi setibanya di luar rumah, dia berhenti dan sekali lagi dibacanya surat anaknya. Dia menggeleng kepalanya dan menghela napas panjang, lalu menyimpan surat itu dan masuk kembali ke dalam rumah.

Tidak, dia tidak akan melakukan pengejaran. Dia mengenal baik puterinya itu. Di balik kelembutannya, anak itu mempunyai hati yang keras, tekad yang bulat seperti yang dimiliki kaum wanita suku Mancu pada umumnya. Anaknya sudah mengambil keputusan untuk pergi merantau dan ia tidak akan mau dicegah, tidak akan dapat dilarang ataupun dibujuk.

Apa lagi anaknya itu bukan seorang wanita lemah. Sejak kecil sudah belajar dan berlatih silat dengan baik dan termasuk seorang yang berbakat. Anaknya tidak akan mudah diganggu orang jahat. la pandai menjaga dan membela diri. Hal itu tidak perlu dia khawatirkan.

Dia hanya merasa sedih harus berpisah dari puterinya. Akan tetapi dia maklum bahwa kalau dia menghalangi niat puterinya, hal itu akan membuat Bi Hwa marah dan berduka. Maka, dengan hati berat ayah ini mengambil keputusan untuk rnenanti saja di situ sampai puterinya pulang.

Pada keesokan harinya, Kwee Bi Hwa berjalan seorang diri mendaki lereng dekat puncak Bukit Angsa. Tidak sukar baginya untuk menemukan bukit ini yang tidak berada terlalu jauh dari tempat tinggalnya yang berada di bukit lain dari pegunungan itu. Bukit Angsa itu dari jauh sudah tampak.

Biarpun tingginya tidak banyak bedanya dengan bukit-bukit lain yang memenuhi daerah pegunungan itu, namun Bukit Angsa mempunyai ciri yang khas, yaitu bentuk puncaknya. Puncak bukit dengan pohon-pohon besar itu, tampak dari jauh membentuk seekor angsa!

Setelah Bl Hwa tiba di dekat puncak tiba-tlba berkelebatan bayangan belasan orang dan dia sudah dikepung oleh orang-orang yang tampak bengis menyeramkan. Mereka semua membawa sebatang golok dengan tangan kanan. Di baju mereka bagian dada terdapat lukisan seekor harimau terbang!

Tahulah Bi Hwa ia berhadapan dengan gerombolan yang dipimpin oleh Hui-houw-ong Giam Ti, pemlmpin Gerombolan Harimau Terbang. Seorang di antara mereka, yang agaknya menjadl pemimpin, ketika melihat sebatang pedang tergantung di punggung gadis manis itu bersikap hati-hati dan dia melangkah maju menghadapi Bi Hwa dan bertanya.

"Nona, siapakah engkau dan apa kehendakmu datang dan melanggar daerah kekuasaan kami?"

"Tidak perlu kalian tahu siapa aku. Aku sengaja datang ke sini hendak mencari keterangan tentang seorang yang bernama Hui-houw-ong Giam Ti." kata Bi Hwa.

Mendengar jawaban ini, orang-orang itu tampak terkejut dan marah. Mereka mengepung ketat dan siap dengan golok mereka. "la mata-mata musuh!"

"Bunuh ia untuk menyembahyangi arwah Giam Toa-ko!"

Lima belas orang itu serentak menyerbu. Bi Hwa dari segala jurusan. Bi Hwa menggerakkan tangan kanannya dan tampak sinar berkilat ketika ia mencabut pedang. Kemudian sinar pedangnya bergulung-gulung ketlka ia menyambut serangan,mereka. Sinar pedang itu menyambar-nyambar dilkuti tamparan tangan kiri dan tendangan kaklnya.

Terdengar terlakan para pengeroyok dan merekapun roboh berpelantingan, terkena tamparan atau tendangan, sedangkan golok mereka patah dan terpental ketika bertemu sinar pedang. Lima belas orang itu terkejut bukan main dah mereka menjadi ketakutan lalu melarikan diri pontang panttng ke arah puncak.

Bi Hwa melakukan pengejaran ke puncak Bukit Angsa. Di puncak la menemukan sarang gerombolan yang merupakan sebuah perkampungan dengan rumah-rumah kayu sederhana. Ketika ia memasuki perkampungan itu, di situ tampak sepi. Semua-pondok tertutup pintu dan jendelanya. Akan tetapi ia maklum bahwa para anggauta gerombolan itu masih berada di situ, bersembuyi dalam rumah-rumah yang tertutup.

Bi Hwa mellhat sebuah rumah yang paling besar di antara rumah-rumah lain. la menghampiri rumah besar itu, berdiri di depannya lalu berseru sambll mengerahkan sin-kangnya sehlngga suaranya terdengar melengking nyaring dan menggetar dl seluruh perkampungan itu.

"Hei, semua anggauta gerombolan Macan Terbang, keluarlah. Aku tidak Ingin mencelakai kalian. Kedatanganku hanya ingin minta keterangan dari kalian! Hayo keluar, kalau tidak aku akan marah dan akan kubakar seluruh perkampungan ini!"

Gertakannya berhasil. Rumah-rumah mulai membuka pintunya dan bermunculanlah para anggauta gerombolan yang tadi mengeroyoknya dan bersama mereka keluar pula wanita-wanita dan kanak-kanak, yaitu keluarga mereka. Setelah pemimpin mereka menjatuhkan diri berlutut, semuanya lalu berlutut bersama keluarga mereka. Jumlah para anggauta gerombolan itu sebanyak dua puluh orang lebih dan keluarga mereka lebih banyak lagi.

"Li-hiap (pendekar wanita), ampunkan kami...." kata pemimpin gerombolarr itu.

Bi Hwa memperhatikan seorang wanita cantik berusia kurang lebih dua puluh llma tahun yang menuntun seorang anak perempuan berusia sekitar empat tahun keluar dari rumah besar, diikuti beberapa orang wanita berpakaian. pelayan. Wanita inipun mengajak anaknya menjatuhkan diri berlutut.

"Aku tidak akan mencelakai kalian asalkan kalian mau memberitahu padaku dengan sejujurnya tentang Hui-houw-ong Giam Ti. Siapa di antara kalian yang dapat memberi keterangan yang lengkap tentang dia?"

"Saya dapat, lihiap. Saya Giam Kui, adik kandung kakak Giam Ti." kata laki-laki berusia dua puluh tujuh tahun yang tadi bersikap sebagai pimpinan gerombolan itu.

"Saya juga bisa, lihiap. Saya adalah isteri Hui-houw-ong Giam Ti." kata wanita cantik tadi dengan suara lembut.

"Baik, kalian berdua boleh menjawab semua pertanyaanku dengan sejujurnya. Dan yang lain bubarlah, lakukan pekerjaan kalian masing-masing."

Semua anggauta gerombolan tampak lega dan mereka lalu bubaran. Isteri Giam Ti bangkit dan berkata, "Li-hiap, mari silakan masuk rumah agar kita lebih leluasa bicara."

Bl Hwa mengangguk dan ia laiu diiringkan Nyonya Giam Ti yang memondong anaknya, dan Giam Kui. Para pelayan terus masuk ke belakang untuk mempersiapkan minuman, sedangkan Bi Hwa dipersilakan duduk di ruangan depan.

"Sekarang katakan, di mana adanya Hui-houw-ong Giam Ti?" tanya Bi Hwa sebagai pancingan.

Isteri dan adik mendiang Giam Ti itu tampak terkejut dan saling pandang dengan heran. "Akan tetapi...., lihiap.... dia sudah mati...." kata Nyonya Giam Ti dengan suara terisak.

”Apa yang telah terjadi dengan dia? Coba ceritakan dengan sejelasnya. Jangan berbohong!"

Nyonya Giam Ti menoleh kepada adik iparnya dan berkata, "Adik Giam Kui, engkau yang lebih tahu duduk persoalannya. Engkau ceritakanlah kepada lihiap." Giam Kui mengangguk lalu berkata.

"Kejadian itu baru beberapa hari yang lalu, lihiap. Seorang pemuda yang amat lihai datang ke perkampungan kami ini dan dia mengamuk, merobohkan kami semua, termasuk kakak saya Giam Ti. Kemudian dia memaksa kakak saya untuk ikut dengannya dan melaksanakan semua perintahnya dengan ancaman bahwa kalau kakak saya tidak mau menurut, dia bukan saja akan membunuh kakak Giam Ti, akan tetapi dia juga akan menyiksa dan membunuh kakak ipar ini dan anaknya. Karena tidak mampu melawan dan takut akan ancaman itu, kakak Giam Ti pergi dengan dia."

Giam Kui menghentikan ceritanya dan memandang wajah Bi Hwa seolah dia sebetulnya tidak perlu bercerita karena gadis perkasa di depannya itu tentu telah mengetahui semua peritiwa itu.

"Hemm, begitukah? Tahukah engkau siapa nama pemuda itu?" tanya Bi Hwa.

Dua orang itu saling pandang lagi dan menggeleng kepala. "Kami semua tidak ada yang tahu siapa dia, li-hiap. Dia seorang pemuda yang tampan dan gagah sikap dan gerak geriknya halus, akan tetapi dia lihai bukan main. Usianya sekitar dua puluh lima tahun." kata Giam Kui.

"Lalu bagaimana selanjutnya?" tanya Bi Hwa.

"Kakak saya tidak pulang malam itu dan pada keesokan harinya, ada utusan dari Siauw-lim-si yang mengabarkan bahwa kakak saya telah tewas dan kami disuruh mengambil jenazahnya yang telah berada di luar kuil." kata Giam Kui dan kakak iparnya menangis terisak.

"Sekarang katakan, bagaimanakah tingkat ilmu silat Giam Ti itu? Apakah dia lihai sekali? Apakah tingkatnya jauh lebih tinggi dibandingkan tingkatmu?" tanya Bi Hwa kepada Giarn Kui.

”Li-hiap, dia adalah kakak saya dan juga kakak seperguruan saya. Memang tingkat kepandaiannya lebih tinggi dari pada tingkat saya, akan tetapi tidak jauh selisihnya."

Mendengar ini Bi Bwa mengerutkan alisnya. Tingkat ilmu silat Giam Kui ini tidak berapa tinggi, dalam dua tiga gebrakan saja roboh olehnya. Kalau tingkat kepandaian Giam Ti hanya sedikit lebih tinggi dari adiknya ini, tidak mungkin di malam itu mampu memasuki kamarnya tanpa terdengar dan dapat menotoknya.

"Jawablah sejujurnya, apakah lebih sebulan yang lalu dia pernah menyerbu rumah Kwee Bun To yang berada di puncak bukit sana itu? Pada malam hari dia melakukan penyerbuan itu?"

Giam Kui mengerutkan alisnya dan menggeleng kepalanya. "Ah, tidak sama sekali, lihiap. Terus terang saja, walaupun kami suka melakukan pekerjaan merampok, namun kami tidak pernah menggapggu penduduk sekitar pegunungan ini. Kami takut kepada Siauw-lim-pai dan kami hanya minta sumbangan dari orang-orang luar yang kebetulan lewat di daerah ini."

"Hemm...! Pertanyaan terakhir dan kuharap kalian menjawab dengan terus terang karena jawaban ini penting bagi penyelidikanku. Apakah Giam Ti seorang laki-laki yang mata keranjang dan suka mengganggu wanlta?"

"Ah, sama sekall tidak" Nyonya Giam Ti tiba-tiba berteriak. "Mendiang suamiku adalah seorang suami yang baik. Dia amat mencinta saya dan mencinta anak kami!"

Bi Hwa merasa sudah cukup mendapatkan keterangan yang memuaskan hatinya. la bangkit berdiri dan berkata kepada Giam Kui. "Nah, cukuplah keterangan kalian. Terima kasih dan aku berpesan kepada semua anggauta gerombolan ini untuk mengubah cara hidup dan cara kerja kalian. Hentikanlah pekerjaan kalian merampok itu. Giam Kui, engkau pimpinlah anak buahmu untuk bekerja sebagai petani dengan rajin.

"Kulihat bukit ini memiliki tanah yang amat subur. Kalau kalian rajin dan tekun, bertani di sini tentu akan mendatangkan hasil yang cukup baik. Juga terdapat banyak binatang buruan dalam hutan-hutan di pegunungan ini. Kalian dapat juga menjadi pemburu binatang. Kulit dan dagingnya dapat kalian jual.

"Jangan melakukan kejahatan lagi karena kalau kalian masih tidak mau mengubah jalan hidup kalian, pada suatu hari tentu akan muncul pendekar yang membasmi kalian. Bahkan aku sendiri kalau kelak mendapatkan kalian masih menjadi gerombolan perampok, tentu takkan tinggal diam dan takkan memberi ampun."

"Baik, lihiap, kami akan mentaati pesan lihiap." kata Giam Kui yang memang sudah merasa jerih melihat kematian kakaknya.

Bi Hwa meninggalkan Bukit Angsa dengan hatl puas. Yakinlah kini hatinya bahwa yang memperkosanya dahulu Itu jelas bukan Hul-houw Giam Ti. Sambil berjalan menuruni bukit itu Bi Hwa termenung. Akan tetapi mengapa Giam Ti mengaku di depan ayahnya bahwa dia yang melakukan pemerkosaan itu dan mengapa murid Siauw-lim-pai itu menangkapnya? Kemudian malah membunuhnya?

Tidak salah lagi, pikirnya. Pasti ada rahasia di balik peristiwa ini dan satu-satunya orang yang patut dicurigainya adalah murid Siauw-lim-pai itu. la sudah melihat pemuda itu. Pemuda yang tampan dan halus budinya. Dan menurut ayahnya, pemuda itu yang bernama Cia Song, memiliki tingkat ilmu silat amat tinggi!

Bi Hwa mengepal kedua tangannya. Tak salah lagi! Tentu Cia Song itulah pelakunya! Ketika ayahnya menuntut ke Siauw-lim-pai, Cia Song berjanji kepada ayahnya untuk dalam waktu sebulan menangkap pelaku pemerkosaan itu. Cia Song juga datang ke rumahnya untuk mendengar sendiri keterangan dari mulutnya. Semua itu hanya untuk mengelabuhi ayahnya saja. Tentu pemuda itu menangkap Giam Ti dan memaksa kepala gerombolan itu untuk mengaku bahwa dialah pelakunya.

Agaknya Giam Ti terpaksa membuat pengakuan palsu karena takut kalau-kalau isteri dan anaknya dibunuh seperti yang diancamkan Cia Song ketika datang dan menangkapnya. Setelah Giam Ti terpaksa mengakui perbuatannya yang sebenarnya tidak dilakukannya untuk melindungi isteri dan anaknya, Cia Song lalu membunuhnya agar rahasianya tidak ada yang rnengetahui dan membocorkannya.

"Pasti begitulah yang telah terjadi!" desis mulut Bi Hwa dan ia mengepal lagi tangan kanannya. "Cia Song, engkau harus mempertanggung-jawabkan perbuatanmu. Aku akan mencarimu dan sampai mati aku tidak akan berhenti mencarimu sampai aku dapat bertemu denganmu!"

Setelah mengambilkeputusan ini dalam hatinya, Bi Hwa lalu melanjutkannya berlari cepat, dan kedua matanya menjadi basah.

* * *

Bi Lan memasuki kota raja Lin-an yang merupakan ibu kota Kerajaan Sung Selatan dengan berjalan perlahan-lahan. la tidak mengacuhkan pandang mata para pria di jalanan yang ditujukan kepadanya karena hal itu sudah biasa baginya. Semenjak berpisah dari Jit Kong Lama dan turun gunung, di setiap kota dan dusun yang dilewatinya, ia selalu melihat mata para pria yang memandang kepadanya dengan kagum.

Ia tidak memperdulikan lagi pandang mata mereka itu karena ia sendiri sedang asik terkagum-kagum melihat bangunan-bangunan besar di kota raja Lin-an. Ketika ia meninggalkan kota raja, dilarikan oleh kakek Ouw Kan yang menculiknya, ia baru berusia tujuh tahun.

Selama lebih dari sebelas tahun la meninggalkan kota ini, dan sekarang ia memasuki kota ini dengan rasa kagum bukan main. Segalanya sudah berubah. Bangunan-bangunan besar dan indah. Taman-taman yang luas. Toko-toko penuh bermacam-macam barang. Rumah-rumah penginapan dan rumah-rumah makan. la menjadi bingung dan tidak mengenal jalan. la sudah lupa di mana letak rumah orang tuanya!

Kemudian ia teringat. Rumah orang tuanya berada di sebelah barat istana raja. Tidak begitu jauh dari istana, sekitar satu kilometer saja jauhnya. Teringat akan ini, ia lalu mencari istana kaisar. Dengan bertanya-tanya, mudah saja ia menemukan bangunan-bangunan megah istana itu. Dari sini diambilnya jalan yang menuju ke barat.

Setelah berjalan sekitar satu kilometer, ia menjadi bingung lagi karena rumah-rumah di situ sudah banyak berubah ia tak dapat mengenal lagi yang mana rumah orang tuanya. Hatinya yang tadinya semakin tegang setelah ia mengambil jalan ini, berubah menjadi bingung. Yang mana rumah orang tuanya?

la berhenti di depan sebuah rumah besar yang tampaknya baru. Pekarangan rumah itu mirip dengan pekarangan rumah orang tuanya dahulu. Dan bentuk rumahnya juga sama, hanya yang ini tampak baru. Ah, tak salah lagi. Inilah rumah orang tuanya. Pohon tua di sebelah kiri itu, di mana ia sering bermain, masih ada.

Dengan hati gembira penuh harapan Bi Lan memasuki pekarangan itu. Karena hatinya tegang dan pandang matanya ditujukan penuh perhatian ke arah bangunan, ia tidak tahu bahwa sejak tadi beberapa pasang mata menatap dan mengikuti gerak-geriknya dari sebuah gardu penjagaan yang terdapati di pekarangan itu. Bi Lan melangkah masuk.

"Hei, nona! Berhenti!" terdengar bentakan dan tiba-tiba dari sebelah kanannya muncul lima orang berpakaian perajurit yarig membawa tombak, langsung mereka itu berdiri menghadang di depannya, memandang dengan sikap keren akan tetapi mulut mereka menyeringai secara kurang ajar.

Bi Lan memandang mereka dengan heran. Dahulu, rumah orang tuanya tidak dijaga oleh perajurit, maka ia menjadi ragu lagi apakah ia memasuki pekarangan rumah, yang keliru. Seorang perajurit jangkung dan agak-pya menjadi kepala penjaga, mengamati wajah dan tubuh Bi Lan dengan pandang mata "lapar", kemudian bertanya dengan suara keren.

"Nona manis, engkau tidak boleh memasuki pekarangan ini begitu saja tanpa ijln dari kami! Engkau siapakah dan apa kehendakmu memasuki pekarangan ini?"

Melihat sikap yang ceriwis itu, Bi Lan tldak mau memperkenalkan namanya. Langsung saja ia bertanya. "Bukankah ini rumah Perwira Han Si Tiong?"

Si jangkung itu memandang kepada Bl Lan dengan mata terbuka lebar karena heran, lalu menoleh kepada teman-temannya dan tertawa, diikuti suara tawa teman-temannya. Mereka adalah perajurit-perajurit yang berusia antara dua puluh dua dan dua puluh lima tahun.

Tentu saja mereka tidak mengenal nama itu karena pada waktu Perwira Han Si Tiong tinggal di situ, belasan tahun yang lalu, mereka masih kecil dan belum menjadi perajurit.

"Ha-ha-ha, nona manis, apakah engkau bermimpi?" kata si jangkung sambil menengok ke arah rumah yang ditunjuk oleh Bi Lan. "Gedung ini adalah milik dan tempat tinggal Ciang Kongcu (Tuan Muda Ciang) dan kami tidak mengenal siapa itu Perwira Han Si Tiong!"

Bi Lan mengerutkan alisnya. Setelah kini melihat keadaan pekarangan dan rumah gedung itu, walaupun terdapat banyak perubahan, namun ia merasa yakin bahwa inilah rumah orang tuanya. la memandang lima orang perajurit dan maklum bahwa mungkin mereka ini tidak tahu apa yang terjadi sebelas tahun lebih yang lalu karena pada waktu itu mereka ini tentu belum menjadi perajurit.

Akan tetapi, penghuni baru rumah ini tentu tahu di mana adanya orang tuanya. Mungkin saja orang tuanya sudah pindah tempat atau dltugaskan di kota lain. "Kalau begitu aku akan bertemu dengan Ciang Kongcu." kata Bl Lan.

Mendengar Ini, lima orang perajurit itu menyerinyai semakin lebar. "Wah, ini namanya domba muda gemuk menghampiri harimau yang sedang lapar! Engkau akan ditelannya bulat-bulat!" kata seorang perajurit.

Si jangkung tertawa, "Ha-ha, itu benar, nona. Engkau begini cantik, begini lembut. Daripada dagingmu yang lembut dicabik-cabik harimau kelaparan, lebih baik engkau kujadikan isteriku. Aku masih perjaka ting-ting dan sebentar lagi naik pangkat. Mari kita bicara di dalam gardu, biar lebih bebas, leluasa aan asyik."

Si jangkung itu menjulurkan tangannya menangkap pergelangan tangan kanan gadis itu dan hendak menariknya untuk diajak memasuki gardu penjagaan, ditertawakan oleh empat orang temannya. Bi Lan menjadi marah Sekali. Sekali menggerakkan tangan kanannya, ia sudah menusuk lambung orang itu dengan jari-jari tangannya.

"Hukk....!" Tubuh si jangkung ditekuk ke depan karena perutnya terasa nyeri bukan main dan ketika dia membungkuk itu, Bi Lan menangkap dan menjambak rambutnya sehingga topi seragamnya terlepas dan rambutnya terurai.

Bi Lan menjarnbak rambut dan menekan kepala itu sehingga si jangkung mengaduh-aduh dan kepalanya tertekan ke bawah, tak dapat meronta karena dia masih menderita nyeri hebat pada perutnya yang disodok tadi! Empat orang temannya terkejut dan cepat mereka itu menerjang maju, hendak memukul dengan tombak mereka. Akan tetapi, Bi Lan menggerakkan tangan kiri dan kaki kanan empat kali.

Empat orang perajurit itupun roboh terbanting dengan keras, tombak mereka terpental dan terlepas. Sekali sambar, Bi Lan telah merampas tombak dari tangan si jangkung, kemudian melepaskan jambakan dan menggunakan kaki kiri menginjak kepala itu dari belakang sehingga muka si jangkung tertekan dan mencium tanah!

Bi Lan menodongkan ujung tombak runcing itu pada punggung si jangkung, menghardik. "Berani engkau kurang ajar kepadaku?"

Si jangkung ketakutan dan tanpa terasa celananya menjadi basah. "Ampun, nona, ampunkan saya.... saya tidak berani lagi...."

Empat perajurit lain merangkak bangun dan merekapun tidak berani menyerang melihat betapa nona itu ternyata lihai bukan main dan kini mengancam komandan mereka dengan tombak.

"Hayo cepat antar aku menewui penghuni rumah ini. Jangan banyak tingkah kalau engkau tldak ingin tombakmu ini menembus dadamu!" Bi Lan menghardik sambil melepaskan tekanan kakinya pada kepala orang itu.

"Baik.... baik... nona...." Si jangkung merangkak dan bangkit berdiri sambil meringis dan memegangi perutnya yang masih nyeri. Mukanya, terutama bibir dan hidungnya, berlepotan tanah.

"Hayo maju!" Bi Lan menodongkan tombaknya di punggung si jangkung itu yang berjalan menuju ke gedung dengan agak terpincang dan muka ditundukkan. Dia merasa takut sekali karena ujung tombak yang runcing itu terasa benar menekan punggungnya.

Setelah mereka tiba di pendapa, tiba-tiba pintu depan rumah gedung itu terbuka dari dalam dan muncullah empat orang laki-laki dari dalam. Bi Lan memandang penuh perhatian. Seorang dari mereka adalah pria berusia enam puluh tahun lebih, berpakaian gagah dan indah, pakaian seorang panglima perang, bertubuh tinggi besar dan pandang matanya angkuh seperti pandang mata seorang yang sadar dan bangga akan kedudukan dan kekuasaannya.

Orang ke dua juga berpakaian seperti seorang panglima, ha-nya tidak sementereng pakaian panglima tlnggi besar itu. Usia orang ke dua itu sekitar lima puluh tahun, tubuhnya tinggi kurus, mukanya begitu kurus mirtp muka tikus, akan tetapi matanya tajam dan bergerak-gerak membayangkan kecerdikan.

Orang ke tiga berpakaian seperti seorang tosu (pendeta Agama To) tubuhnya pendek gendut, tampak lucu. Usianya sekitar enam puluh lima cahun, mukanya berwarna kekuningan, muiutnya tersenyum mengejek dan pandang matanya agak memandang rendah segala sesuatu. Adapun orang ke empat masih muda, sekitar tiga puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar, wajahnya tampan dan gagah dengan alisnya yang hitam tebal.

Dia berpakaian seperti seorang pemuda bangsawan, pakaiannya indah dan dia pesolek, rambutnya licin berminyak, bahkan kulit mukanya ada tanda-tanda bekas bedak. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang yang sarungnya cerukir indah.

"Apakah aku berhadapan dengan pemilik dan penghuni rumah ini?" tanya Bi Lan sambil memandang empat orang itu.

Orang muda bangsawan itu melangkah maju. "Nona, akulah pemilik rumah ini. Nona siapakah dan ada keperluan apakah mencari aku?"

Mendengar ini, Bi Lan mengayunkan kaki menendang dan perajurit jangkung itu terlempar dan jatuh terbanting bergulingan. Bi Lan melemparkan tombak itu ke dekat orang itu sambil membentak, "Pergilah!" Tombak itu menancap di atas tanah, dekat si jangkung yang terlempar keluar ke pekarangan.

Setelah itu Bi Lan menghadapi empat orang itu. Sikapnya tenang saja biar pun ia berhadapan dengan orang-orang yang melihat pakaiannya tentu merupakan orang-orang berkedudukan tinggi.

"Jadi engkaukah yang sekarang menempati rumah ini?" tanya Bi Lan sambil memandang kepada pemuda tinggi besar itu. la sudah dapat menduga agaknya orang inl yang tadi oleh para perajurit penjaga disebut sebagai Ciang Kongcu.

"Benar sekali, nona. Aku, Ciang Ban, yang menjadi penghuni rumah ini. Apakah yang dapat aku bantu untukmu?" Ciang Ban, atau lebih dikenal sebagai Ciang Kongcu, berkata sambil tersenyum ramah setelah dia melihat jelas betapa cantik jelitanya gadis itu. Diapun melihat betapa gadis itu lihai dan kuat sekali, tidak hanya dapat memaksa kepala jaga mengantarnya, akan tetapi juga dari tendangannya tadi tahulah dia bahwa gadis itu memiliki ilmu silat yang tangguh.

"Aku ingin mengetahui tentang penghuni lama rumah ini, yaitu Perwira Han Si Tiong dan isterinya. Kalau mereka tidak tinggal di sini lagi, di manakah mereka sekarang berada?"

Mendengar pertanyaan ini, Ciang Kongcu menoleh kepada tiga orang lain yang keluar bersamanya, kemudian panglima yang tinggi besar dan berpakaian indah mewah itu berkata, "Perwira Han Si Tiong? Ah, tentu saja kami mengenalnya dengan baik, nona. Dia adalah rekan dan sahabat kami. Akan tetapi, siapakah engkau, nona?"

Mendengar bahwa panglima tua tinggi besar itu mengaku sebagai sahabat ayahnya dan hal ini sewajarnya karena mereka sama-sama perwira kerajaan, Bi Lan segera menjawab, "Saya adalah Han Bi Lan, dan saya ingin mengetahui di mana adanya ayah dan ibu saya."

"Ahh! Kiranya engkau puteri Han ciangkun yang diculik penjahat ketlka masilh kecil? Senang sekali kami melihat engkau dalam keadaan selamat, nona Han. Akan tetapi marilah kita masuk dan bicara di dalam tldak pantas kita bicara sambil berdiri di luar."

"Terima kasih!" kata Bi Lan dan ia mengikuti mereka masuk ke ruangan dalam yang luas. Begitu memasuki rumah itu, Bi Lan merasa terharu karena rumah di mapa ia dilahirkan dan dibesarkan sampai berusia tujuh tahun. Setelah memasuki rumah itu, ia yakin benar bahwa ini rumah orang tuanya dahulu walaupun prabot rumahnya telah diganti dengan barang-barang yang indah dan mahal.

Setelah mereka, Han Bi Lan dan empat orang itu duduk, Ciang Ban atau Ciang Kongcu memperkenalkan tiga orang lainnya kepada gadis itu. "Han Siocia (Nona Han), perkenalkan. Ini adalah ayahku bernama Ciang Sun Bo atau disebut Ciang Goan-swe (Jenderal Ciang), sekarang menduduki jabatan panglima besar."

Bi Lan memandang kepada panglima yang tinggi besar itu. Ciang Goan-swe mengangguk dan tersenyum kepadanya. "Ha-ha, Han Siocia. Aku adalah sahabat baik ayahmu. Agaknya engkau telah lupa kepadaku, akan tetapi aku masih ingat kepadamu yang ketika itu masih kecil. Engkau baru berusia tujuh tahun ketika engkau dilarikan penculik. Kami telah mengerahkan pasukan penyelidik untuk mencarimu, namun tidak berhasil."

"Dan ini adalah Lui Ciangkun (Perwira Lui), pembantu ayahku." Ciang Kongcu memperkenalkan perwira tinggi kurus bermuka tikus itu. "Nama lengkapnya Lui Wan."

Han Soicia, akupun mengenal baik ayahmu, Perwira Han Si Tiong yang gagah itu." kata Lui Ciangkun dengan pandang matanya yang cerdik. Bi Lan hanya mengangguk karena semua itu tidak ingin ia ketahui. Yang ingin ia ketahui adalah di mana ia dapat bertemu dengan orang tuanya.

"Dan totiang (bapak pendeta) ini adalah Hwa Hwa Cin-jin. Dia adalah guruku, Han Siocia." Ciang Kongcu memperkenalkan pendeta itu.

"Siancai! Han siocia adalah seorang gadis yang cantik dan gagah perkass sekali. Pinto (aku) senang dapat bertemu denganmu."

"Terima kasih atas perkenalan ini, Ciang Kongcu. Akan tetapi saya ingin sekali mengetahui di mana saya dapat bertemu dengan ayah ibu saya."

Ciang Kongcu tidak menjawab melainkan menoleh kepada ayahnya. Ciang Goanswe kini yang menjawab pertanyaan Bi Lan, sedangkan Ciang Kongcu memberi isyarat kepada tiga orang itu.

Lui Ciangkun segera bangkit dan berkata, "Saya akan menyampaikan perintah Ciang Kongcu." Perwira tinggi kurus ini lalu pergi ke belakang.

"Han Siocia," kata Ciang' Goanswe. "Kiranya akulah yang lebih tahu akan keadaan orang tuamu daripada sernua orang yang berada di sini karena ayahmu masih terhitung pembantuku. Kurang lebih sebelas tahun yang lalu, Han-ciangkun dan isterinya berangkat ke perbatasan utara untuk memimpin Pasukan Halilintar berperang melawan musuh di utara."

Bi Lan mengangguk tak sabar. "Saya masih ingat akan semua itu, Ciang Goanswe, Ketika ayah ibu pergi berperang, datang si jahanam Ouw Kan yang berjuluk Toat-beng Coa-ong itu ke rumah ini, membunuh Luma dan tukang kebun yang tidak berdosa, lalu menculik saya."

Ciang Goan-swe mengangguk-angguk. "Benar, agaknya orang tuamu mempunyai musuh yang hendak membalas dendam, akan tetapi karena orang tuamu tidak berada di rumah, maka musuh itu lalu menculikmu. Kami telah mengerahkan pasukan untuk mencari, namun sia sia sehingga kami putus asa. Maka, bukan main girang rasa hati kami ketika hari ini tiba-tiba engkau muncul dalam keadaan sehat dan selamat, Han Siocia. kami sudah menganggap keluargamu seperti keluarga sendiri!"

"Tapi di manakah sekarang orang tuaku, Ciang Goan-swe?" tanya Bi Lan tak sabar.

Jenderal Ciang menghela napas panjang. "Sesungguhnya, hal itu kami tidak mengetahuinya. Ketika mereka pulang setelah menang dalam perang, mereka kami beritahu tentang peristiwa di rumah ini, bahwa engkau diculik penjahat tanpa kami ketahui siapa penculik itu. Ayah ibumu lalu pergi dari sini, katanya hendak mencarimu dan ayahmu bahkan mengembalikan pangkatnya kepada Sribaginda Kaisar karena dia akan pergi mencarimu.

"Dan sampai sekarang orang tuamu itu tidak pernah kembali ke sini. Kami prihatin sekali, Han Siocia, akan tetapi setelah kini engkau kembali dalam keadaan selamat kami merasa girang bukan main. Tentang orang tuamu, jangan khawatir, kami tentu akan menyebar penyelidik ke seluruh penjuru untuk mencari mereka sampai dapat ditemukan!"

Bi Lan merasa girang dengan janji ini. Memang akan sukarlah baginya mencari orang tuanya kalau ia tidak tahu ke mana mereka pergi. Kalau Jenderal Ciang menyebar banyak penyelidik, tentu hasilnya akan jauh lebih baik. la bangkit berdiri dan merangkap ke-dua tangan depan dada. "Terima kasih, Goan-swe."

Jenderal Ciang melambaikan tangan menyuruh gadis itu duduk kembali. "Aih, nona, atau lebih baik kusebut Bi Lan saja. Orang tuamu sudah seperti saudara denganku, maka engkau kuanggap sebagai keponakanku sendiri. Jangan sebut aku Goanswe, cukup dengan Paman Ciang saja!"

Kalau begitu, aku adalah toa-ko (kakak) bagimu dan engkau siauw-moi (adik perempuan) bagiku!" kata Ciang Kongcu sambil tersenyum.

Pada saat itu, Kui Ciangkun memasuki ruangan itu diikuti beberapa orang pelayan wanita yang membawa hidangan yang maslh mengepul. Melihat ini, Bi Lan berkata, "Aih, Paman Ciang, tidak perlu repot-repot...."

"Sama sekali tidak repot, Bi Lan. Saking gembiranya hati kami, melihat engkau muncul dalam keadaan selamat dan sehat seolah-olah kami melihat seorang keponakan yang telah mati hidup kembali, maka kami ingin menyambutmu dengan pesta dan makan bersama! Mari, jangan sungkan-sungkan!" kata Jenderal Ciang dengan gembira sambil menuangkan anggur ke dalam cawan di depan Bk Lan.

Bi Lan bangkit berdiri. "Maafkan saya, paman. Saya.... saya ingin ke kamar mandi sebentar."

Jenderal Ciang tersenyum dan mengangguk maklum. Tentu gadis itu ada keperluan ke kamar mandi, mungkin hendak membuang air kecil. Maka dia menoleh kepada seorang pelayan wanita. "Antarkan Nona Han ke kamar mandi.”

Pelayan itu lalu menghampiri Bi Lan yang bangkit berdiri dan mengikuti pelayan itu masuk ke bagian dalam. Kamar mandi rumah gedung itu masih di tempat yang dulu. Ada dua buah. Yang besar untuk keluarga dan yang kecil untuk para pelayan. Bi Lan memasuki kamar mandi yang besar dan menutup daun pintunya.

Setelah Bi Lan kembali ke ruangan tamu, hidangan sudah lengkap di atas meja. Uap yang sedap memenuhi ruangan itu. Bau sedap masakan bercampur dengan bau harum minuman anggur dan arak.

"Mari kita minum untuk menyambut keponakanku Han Bi Lan dan mengucapkan selamat datang!" kata Jenderal Ciang sambil mengangkat cawan araknya.

Semua orang mengangkat cawan masing-masing dan minum untuk kehormatan Bi Lan. Gadis ini merasa gembira juga mendapatkan penyambutan seramah itu. Maka, iapun tidak sungkan-sungkan lagi ketika mereka mulai makan minum dengan gembira...

Jilid selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.