Kisah Si Naga Langit Jilid 13

Sonny Ogawa

Kisah Si Naga Langit Jilid 13 karya Kho Ping Hoo - MAKAN minum bersama lima orang itu berlangsung gembira. Diam-diam Bi Lan merasa heran betapa Hwa Hwa Cin-jin makan daging dan minum arak dengan lahapnya!

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Akan tetapi ia teringat akan gurunya sendiri. Gurunya juga seorang pendeta Lhama yang lajimnya berpantang makan makanan berjiwa dan minum-minuman keras, akan tetapi gurunya melanggar pantangan itu.

Banyak pendeta yang melanggar pantangan, baik secara terbuka maupun sembunyi-sembunyi. Agaknya Hwa Hwa Cin-jin ini seperti gurunya, melanggar pantangan secara terbuka dan seenaknya saja. Sambil makan minum, Jenderal Ciang bertanya kepada Bi Lan.

“Kami ingin sekali mengetahui pengalamanmu, Bi Lan. Kami tadinya sudah putus asa mendengar engkau dilarikan penculik dan kami tidak berhasil mencarimu. Tahu-tahu setelah sebelas tahun engkau hilang, hari ini engkau muncul dalam keadaan selamat dan sehat. Apakah yang terjadi denganmu?”

Melihat keramahan dan kebaikan sikap tuan rumah, Bi Lan tidak keberatan untuk menceritakan pengalamannya. “Saya dilarikan penculik itu dengan cepat keluar kota raja.”

“Apa engkau tahu siapa penculik itu dan mengapa pula dia menculikmu?” tanya Jenderal Ciang.

Bi Lan mengangguk. “Dia mengaku terus terang bahwa dia adalah Toat-beng Coa-ong Ouw Kan dan dia diutus oleh Raja Kin untuk membunuh ayah dan ibu sebagai balas dendam karena ayah telah menewaskan Pangeran Cu Si, putera Raja Kin, dalam perang. Karena ayah dan ibu tidak ada, maka Ouw Kan lalu menculikku dengan niat untuk menyerahkan saya kepada Raja Kin.”

“Hemm, jahat.... jahat…!” kata Jenderal Ciang. “Kemudian bagaimana Bi Lan?”

“Dalam perjalanan itu, saya ditolong oleh Suhu Jit Kong Lhama yang mengalahkan Ouw Kan dan selanjutnya saya ikut suhu untuk mempelajari ilmu silat sampai sebelas tahun lamanya. Setelah selesai belajar, saya lalu berpisah dari suhu dan datang ke ibu kota Lin-an ini untuk mencari ayah ibu.”

“Hemm, jadi engkau selama ini menjadi murid Jit Kong Lhama? Ke mana saja engkau dibawanya?”

“Suhu mengajak saya mengasingkan diri di sebuah bukit di pegunungan Kun-lun-san.”

“Ah, begitu jauh? Pantas saja usaha kami mencarimu tidak berhasil. Dan di mana sekarang adanya Jit Kong Lhama?”

“Suhu sudah kembali ke Tibet.”

“Siancai....! Kiranya nona menjadi murid Jit Kong Lhama!” kata Hwa Hwa Cin-jin. “Pantas nona amat lihai, pinto (saya) sudah mendengar akan nama besar gurumu itu, nona!”

Akhirnya perjamuan makan itu selesai. Bi Lan makan sampai kenyang dan ia sudah minum cukup banyak anggur, minuman yang tidak biasa memasuki perutnya. Tiba-tiba gadis itu mengangkat tangan kiri menutupi mulutnya yang menguap. Tak dapat ia menahan untuk tidak menguap. Rasa kantuk yang kuat sekali menguasainya.

Ia bangkit akan tetapi terkulai dan jatuh terduduk kembali. Kantuknya tak tertahankan dan akhirnya gadis itu merebahkan kepalanya di atas meja, berbantal lengannya sendiri dan dari pernapasannya yang lembut mudah diketahui bahwa ia telah tertidur!

Jenderal Ciang bertepuk tangan, lalu dia menjulurkan tangannya dan mengguncang pundak gadis itu. Namun Bi Lan tetap tidur pulas, agaknya tidurnya nyenyak sekali.

“Ha-ha-ha, bagus sekali, Cin-jin. Pekerjaanmu berhasil baik sekali!” dia memuji sambil memandang kepada Hwa Hwa Cin-jin karena dia tahu bahwa tosu itulah yang menaburkan bubuk putih ke dalam cawan anggur gadis itu ketika tadi Bi Lan pergi ke kamar mandi.

“Ha-ha, racun pembius pinto tidak akan ada yang mampu menahannya, Ciang-goanswe. Biar seekor gajah sekali pun akan tertidur pulas kalau menelan racun pembius buatan pinto,” kata Hwa Hwa Cin-jin dengan bangga.

“Goanswe, saya kira gadis ini sebaiknya cepat dibunuh saja. Ia puteri Han Si Tiong dan ini berbahaya sekali. Kalau sampai ia mengetahui bahwa Toat-beng Coa-ong Ouw Kan itu ada hubungannya dengan kita dan bahwa kita memusuhi Han Si Tiong, tentu ia hanya akan menimbulkan kesulitan bagi kita,” kata Lui To.

Jenderal Ciang mengangguk-angguk. “Ya, engkau benar, Lui-ciangkun. Sejak dulu Han Si Tiong menentangku, bahkan dia menjadi pembantu setia dari mendiang Jenderal Gak Hui. Tadinya aku mengira dia sudah mati atau menjadi tawanan Raja Kin, karena Toat-beng Coa ong Ouw Kan tidak pernah memberi kabar. Kiranya gadis ini ditolong dan menjadi murid Jit Kong Lhama! Ia lihai sekali berbahaya, memang sebaiknya kalau dibunuh saja.”

“Tapi, ayah, di manakah sebetulnya ayah ibu gadis ini?” tanya Ciang Ban, matanya memandang gadis yang tertidur itu dengan mata lahap.

“Siapa tahu mereka di mana? Mereka mengembalikan pangkat kepada Sribaginda Kaisar, mengundurkan diri dan sampai sekarang tidak ada yang tahu mereka berada di mana. Kalau saja kita tahu, tentu aku telah mencari jalan untuk membasmi mereka. Perdana Menteri Chin Kui sendiri pernah membicarakan mereka dan beliau juga menghendaki agar para pengikut mendiang Jenderal Gak yang setia itu dibasmi semua karena hanya akan mendatangkan kesulitan saja.”

“Goanswe, tak perlu repot-repot membunuh gadis ini. Sekali menggerakkan tangan saja ia akan mati. Biarlah pinto membunuhnya sekarang juga selagi ia masih tidur pulas,” kata Hwa Hwa Cin-jin sambil bangkit berdiri dan dia sudah mengangkat tangan kanan ke atas, siap untuk menotok jalan darah maut di tubuh Bi Lan.

“Nanti dulu, suhu!” tiba-tiba Ciang-kongcu bangkit dan menjulurkan tangan mencegah niat gurunya. “Ayah, aku merasa sayang sekali kalau gadis sejelita ini dibunuh begitu saja. Berikan ia kepadaku, ayah. Setelah aku merasa puas dengannya, tentu akan kubunuh!”

Jenderal Ciang memandang puteranya dan mengelus jenggotnya sambil tersenyum. Dia ingat kepada putera tunggalnya ini dan dia tahu bahwa puteranya itu memiliki kesukaan yang tiada bedanya dengan kesukaannya sendiri di waktu muda. “Akan tetapi hati-hatilah, Ciang Ban. Gadis ini adalah murid Jit Kong Lhama dan ia lihai dan berbahaya sekali!”

Ciang-kongcu menyeringai lebar. “Ha-ha, ayah. Aku mempunyai banyak cara untuk dia membuat ia tak berdaya dan tunduk kepadaku. Dengan totokan, dengan mengikat tangannya, atau dengan memberinya obat perangsang....”

“Hemm, sesukamulah. Hanya jangan engkau lengah. Nah, bawalah ia pergi ke kamarmu!” kata Jenderal yang mewariskan watak jahatnya kepada anak tunggalnya itu.

Ciang Ban yang sudah terlalu banyak minum arak sehingga mukanya merah itu tersenyum senang. Dia bangkit dan menghampiri Bi Lan yang masih tidur. “Marilah, manisku. Mari kita bersenang-senang!” kata Ciang Ban dan tanpa malu-malu kepada ayahnya, Lui-ciangkun dan gurunya, pemuda ini hendak merangkul gadis itu, memondongnya dan membawanya ke kamar tidurnya yang berada tidak jauh dari ruangan itu.

Dia mendorong daun pintu terbuka lalu masuk dan mendorong daun pintu kamar itu tertutup kembali dari dalam tanpa menguncinya. Tubuh Bi Lan terasa lunak, kenyal, hangat dan menyebarkan keharuman dari pakaian dan rambutnya yang membuat Ciang Ban merasa semakin terbakar dan berkobar oleh nafsu berahinya. Melihat ulah puteranya itu, Jenderal Ciang malah tertawa geli.

Lui-ciangkun atau Lui To yang memang berwatak penjilat itu ikut tertawa bergelak dan Hwa Hwa Cin-jin yang memang berwatak cabul dan mata keranjang diam-diam merasa iri kepada Ciang-kongcu atau Ciang Ban. Tentu kalau bisa, ingin sekali dia menggantikan pemuda itu, mempermainkan gadis muda belia itu sepuasnya-puasnya dulu sebelum dibunuh!

Dengan muka kemerahan dan napas terengah-engah terbakar nafsu, Ciang Ban melempar tubuh Bi Lan ke atas pembaringan, kemudian bagaikan seekor singa kelaparan menerkam seekor domba, dia melompat dan menubruk ke arah gadis yang terlentang di atas pembaringan itu.

“Wuuuuttt.... desss...!!” Ciang Ban mengaduh ketika perutnya disambut tendangan sebatang kaki yang mungil namun yang kekuatannya seperti sepotong baja. Tubuhnya terlempar ke belakang dan jatuh berdebuk ke atas lantai kamar! Kiranya Bi Lan sama sekali tidak pingsan atau mabok seperti yang mereka semua kira.

Han Bi Lan adalah murid Jit Kong Lhama yang amat disayang datuk ini. Maka, selain ilmu-ilmu silat tinggi ia juga telah mempelajari segala macam ilmu sihir dan ilmu sesat dari datuk itu, termasuk ilmu tentang penolakan segala macam racun yang biasa dipergunakan oleh golongan sesat untuk menjatuhkan lawan secara licik. Ilmu sihirpun dikuasai oleh gadis ini. Dan iapun seorang gadis yang amat cerdik.

Maka, ketika ia diterima dengan amat ramah oleh Ciang Ban dan Jenderal Ciang, juga melihat wajah Lui To dan terutama Hwa Hwa Cin-jin yang sinar matanya penuh kelicikan dan kepalsuan, ia sudah merasa curiga. Diam-diam ia merasakan dan menyelidiki dengan lidahnya sebelum ia makan minum dan ia mendapat kenyataan bahwa makanan dan minuman itu tidak mengandung racun.

Bagaimanapun juga, ia tetap berhati-hati, maka ketika ia permisi ke kamar mandi, di sana ia menelan sebutir pel merah, yaitu obat penolak racun untuk berjaga-jaga. Maka ketika ia minum lagi dan lidahnya merasakan sesuatu yang tidak wajar pada minumannya itu, ia menelannya saja seolah-olah tidak tahu apa-apa.

Setelah yakin bahwa minumannya mengandung obat pembius, Bi Lan pura-pura tertidur atau pingsan. Ia ingin tahu apa yang akan mereka lakukan dan apa yang akan mereka bicarakan.

Setelah ia pura-pura pingsan, barulah ia mendengar pembicaraan mereka dan dengan kemarahan yang ditahan-tahan ia mengetahui bahwa mereka semua adalah orang-orang yang memusuhi ayahnya, bahkan mereka mempunyai hubungan dengan Ouw Kan, datuk suku Uigur yang dulu membunuh neneknya dan menculiknya.

Baru setelah tahu apa yang hendak dilakukan Ciang Ban terhadap dirinya, ketika pemuda bangsawan itu menerkam dirinya, Bi Lan menyambut dengan tendangan kakinya yang tepat mengenai perut pemuda itu. Ciang Ban mengaduh dan terjengkang lalu terbanting ke atas lantai.

Akan tetapi pemuda ini bukan seorang lemah. Dia adalah murid dari Hwa Hwa Cin-jin, maka biarpun dia merasa perutnya mulas, dia memaksa diri melompat bangun sambil mencabut pedangnya yang belum keburu dia tanggalkan saking nafsunya sudah memuncak tadi.

Bi Lan sudah melompat turun dari atas pembaringan. Ciang Ban berteriak memberi isyarat kepada mereka yang berada di luar kamar, lalu dia membentak dan menyerang gadis itu dengan pedangnya. Dia menusukkan pedangnya lurus ke depan mengarah dada gadis itu dengan jurus serangan Tit-ci-thian-lam (Tudingkan Telunjuk ke Arah Selatan).

Pedangnya meluncur cepat sekali dan seolah sudah pasti akan menembus dada Bi Lan. Namun Bi Lan merendahkan diri sehingga pedang itu meluncur ke atas kepalanya dan dari bawah, kedua tangannya bergerak cepat seperti dua ekor ular menyambar ke atas. Tangan kanannya memukul ulu hati lawan dan tangan kirinya merampas pedang.

“Ngekk… uhhh…!” Betapapun lihainya Ciang Ban, namun sekali ini dia bertemu lawan yang jauh lebih tinggi tingkat ilmu silatnya. Dia merasa ulu hatinya seperti ditotok toya baja, membuat dia tak dapat bernapas dan tiba-tiba saja pedang di tangan kanannya sudah direnggut lepas dari tangannya. Totokan pada ulu hatinya itu mendatangkan rasa nyeri yang hebat sehingga tubuhnya terhuyung ke arah pintu. Bi Lan melompat ke depan, pedang rampasannya menyambar, disusul tendangan kakinya.

“Crakk.... desss....!”

Jenderal Ciang, Lui-ciangkun, dan Hwa Hwa Cin-jin, ketiganya adalah orang-orang yang tangguh, terutama sekali Hwa Hwa Cin-jin, terkejut mendengar teriakan Ciang Ban tadi. Mereka bertiga lari menuju ke pintu kamar itu.

Akan tetapi tiba-tiba pintu kamar tertabrak sesuatu dan terbuka. Dan tubuh Ciang Ban melayang dan roboh di depan kaki tiga orang itu, disusul melayangnya kepala pemuda itu yang sudah terlepas dari lehernya. Darah membanjiri lantai dan tiga orang itu terbelalak.

Dapat dibayangkan betapa marah hati Jenderal Ciang melihat puteranya sudah menggeletak menjadi mayat dengan kepala terpisah. Demikian pula dengan Hwa Hwa Cin-jin dan Lui To. Otomatis mereka bertiga mencabut pedang masing-masing dan hendak menyerbu ke dalam kamar.

Akan tetapi pada saat itu, Bi Lan yang tidak ingin dikeroyok dalam sebuah kamar sempit, sudah melayang keluar dari dalam kamar. Tanpa banyak cakap saking marahnya, Jenderal Ciang sudah menerjangnya dengan pedangnya yang panjang dan tebal.

Bi Lan dengan mudahnya mengelak, akan tetapi pada saat itu Hwa Hwa Cin-jin sudah menyerang pula dan serangan tosu sesat ini jauh lebih berbahaya dibandingkan serangan Jenderal Ciang Sun Bo bahkan lebih berbahaya daripada gerakan Lui To yang juga mulai menyerang Bi Lan.

Namun, setelah mempelajari Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat dari Kun-lun-pai, kitab yang dicurinya dari tangan Thian Liong itu, Bi Lan memiliki gerakan kaki yang aneh dan gesit luar biasa. Dengan beberapa lingkaran gerakan kaki saja ia sudah dapat menghindarkan diri dari serangan pedang tiga orang pengeroyoknya.

Kini, gadis yang tidak pernah memegang senjata, akan tetapi yang pandai mempergunakan senjata apa saja itu, telah merampas pedang milik Ciang Ban yang dibunuhnya. Kini ia memainkan pedang rampasan itu dengan Kwan Im Sin-kiam (Ilmu Pedang Dewi Kwan Im). Ilmu ini walaupun disebut ilmu pedang.

Namun Bi Lan dapat mempergunakan senjata apa saja, misalnya sebatang ranting kayu, untuk mainkan ilmu silat itu. Juga ia mahir ilmu Kim-bhok Sin-tung-hoat atau Ilmu Tongkat Sakti, akan tetapi ia pun dapat mempergunakan segala macam benda untuk memainkan ilmu silat ini.

Setelah pedangnya bergulung-gulung dalam permainan Kwan Im Sin-kiam, tiga orang pengeroyoknya terkejut. Bayangan gadis itu lenyap dan yang tampak hanya gulungan sinar pedang yang seperti gelombang samudera menggulung ke arah mereka.

Hwa Hwa Cin-jin masih dapat melindungi dirinya dengan putaran pedangnya sambil terus mundur, akan tetapi tidak demikian dengan Ciang Sun Bo atau jenderal Ciang. Dia menjerit ketika pedang puteranya yang dipegang Bi Lan itu menusuk ke dalam dadanya yang mengakibatkan dia roboh dan tewas seketika.

Robohnya jenderal ini disusul robohnya Lui To atau Lui-ciangkun yang tersabet lehernya dan roboh mandi darah, tewas pula. Melihat ini, Hwa Hwa Cin-jin berteriak-teriak sambil melompat jauh melarikan diri.

Bi Lan melihat banyak perajurit pengawal berlarian datang, maka iapun lalu melompat ke ruangan samping yang terbuka, lalu tubuhnya melayang ke atas genteng. Para perajurit melakukan pengejaran, namun sebentar saja Bi Lan sudah lenyap dari tempat itu.

Namun di dalam gedung Jenderal Ciang terjadi kegemparan dan karena yang terbunuh adalah Jenderal Ciang, Perwira Lui, dan Ciang-kongcu, tentu saja hal ini menimbulkan kegemparan dan tak lama kemudian, kota raja penuh dengan perajurit yang melakukan pencarian dan pengejaran. Setiap Iorong jalan dijaga, sehingga Bi Lan menjadi bingung, tak ada jalan sama sekali untuk keluar dari kota raja.

Karena rumah gedung bekas tempat tinggal ayahnya yang kini ditempati Jenderal Ciang itu tidak jauh dari istana, maka ketika ia dihadang di sana-sini, terpaksa ia menyelinap ke sebuah lorong yang menembus ke arah istana. Di lorong ini tidak ada perajurit mencari atau berjaga karena siapa mengira bahwa si pengacau yang melakukan pembunuhan besar-besaran di rumah Jenderal Ciang akan berani melarikan diri ke daerah istana?

Sejak tadi udara diliputi mendung dan pada saat Bi Lan memasuki lorong itu, masih bingung bagaimana ia akan dapat melarikan diri keluar kota raja, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Hal ini agak menolongnya karena para perajurit penjaga keamanan kota yang dikerahkan untuk mengejar dan menangkap pembunuh, banyak yang berteduh di emper-emper rumah dan menghentikan pencarian mereka.

Akan tetapi Bi Lan harus bergerak hati-hati, sambil sembunyi-sembunyi karena ia tahu bahwa biarpun mereka tidak mencari dan berlalu lalang di jalan, mata para perajurit itu tentu dengan penuh perhatian melihat ke arah orang-orang yang berani menempuh hujan di jalan.

Tiba-tiba saja, di sebuah tikungan, ia melihat seorang laki-laki berusia hampir enam puluh tahun yang berpakaian sebagai seorang panglima. Inilah jalan satu-satunya untuk dapat lolos dari kota raja, pikir Bi Lan. Ia masih memegang pedang rampasan dari tangan Ciang-kongcu tadi.

Bagaikan seekor burung ia melompat keluar dan tahu-tahu ia sudah berada di depan panglima itu dan ujung pedangnya sudah menempel di tenggorokan orang itu. Sang panglima terkejut bukan main, terbelalak memandang, akan tetapi setelah melihat wajah gadis itu, wajahnya berseri-seri penuh harapan.

“Bi Lan.... engkau tentu Han Bi Lan puteri Han Si Tiong, bukan? Engkau yang telah mengamuk di rumah Jenderal Ciang?”

Tentu saja Bi Lan terkejut dan heran bukan main. “Eh... bagaimana engkau bisa tahu....?”

“Bi Lan, lupakah engkau kepadaku? Aku Kwee Gi, Panglima Kwee Gi, sahabat baik Han Si Tiong. Mari, mari cepat ikut aku, engkau harus bersembunyi, nanti saja kita bicara. Cepat pakai ini!” Panglima itu melepaskan mantelnya yang lebar lalu menyerahkannya kepada Bi Lan.

Gadis itu menutupi kepala dan badannya dengan mantel yang lebar ini, kemudian tanpa banyak cakap lagi ia membiarkan dirinya digandeng panglima itu melewati lorong-lorong yang sepi, kemudian memasuki rumah gedung dari pintu belakang.

Kini ia teringat akan Panglima Kwee Gi yang dulu seringkali datang bertamu ke rumah orang tuanya, bahkan sudah beberapa kali ia diajak ibunya berkunjung ke rumah sahabat ayahnya itu. Setelah teringat, tentu saja ia percaya sepenuhnya kepada panglima yang ia tahu merupakan sahabat baik ayahnya.

Setibanya di ruangan dalam, seorang pemuda tinggi besar muncul dan dia memandang heran melihat ayahnya bersama seorang gadis memasuki ruangan dalam itu. “Ayah, siapa nona ini, dan mengapa…!”

“Cun Ki, ini adalah Bi Lan, puterinya pamanmu Han Si Tiong pemimpin Pasukan Halilintar yang terkenal itu. Ingat? Bi Lan, ini adalah Kwe Cun Gi, anak kami. Kalian sudah bersahabat dulu ketika masih kecil.”

“Oh....! Kau Bi Lan.... yang dulu nakal dan manja itu?” seru pemuda tinggi besar berwajah tampan yang usianya sekitar duapuluh tahun itu.

“Dan engkau... kakak Cun Ki yang dulu suka menggodaku. Engkau yang nakal sekali!” kata pula Bi Lan.

“Akan tetapi kabarnya engkau hilang diculik dan......”

“Cun Ki, tahan dulu bicaranya. Keadaan genting sekali. Bi Lan sedang dikejar-kejar seluruh perajurit penjaga keamanan di kota raja. Cepat kau keluar dan jaga agar jangan ada orang memasuki rumah kita. Atur para pengawal untuk berjaga ketat dan kalau ada yang mencariku, katakan aku sibuk memimpin pasukan di luar untuk mencari pembunuh.”

Cun Ki membelalakkan matanya. “Ah, aku mendengar tentang itu.... jadi…. engkaukah yang telah mengamuk dan melakukan pembunuhan terhadap Jenderal Ciang, Ciang Ban, dan Perwira Lui To itu?”

“Cun Ki, jangan banyak cakap! Cepat laksanakan perintahku! Nanti saja kalau mau bicara!”

“Baik, ayah.” Pemuda itu lalu dengan gerakan yang gesit keluar dari ruangan dalam.

Panglima Kwee Gi membawa Bi Lan memasuki sebuah kamar, lalu berkata. “Engkau tinggallah di sini sebentar, aku akan memanggil bibimu.”

Bi Lan mengangguk. Ia tahu bahwa keadaannya berbahaya sekali. Kalau tidak ada Panglima Kwee yang melindunginya, kiranya akan sukar lolos dari kota raja yang kini semua pintu gapuranya pasti sudah terjaga ketat.

Tak lama kemudian, nyonya Kwee bersama suaminya muncul. Bi Lan segera mengenal wanita setengah tua yang masih tampak cantik itu. Nyonya Kwee juga mengenalnya dan mereka berangkulan.

“Aih, Bi Lan. Engkau lenyap begitu saja sebelas tahun yang lalu dan kini muncul secara mengejutkan pula.” Nyonya itu lalu mengajak Bi Lan duduk di atas kursi dan daun pintu kamar itu ditutup rapat-rapat.

“B Lan, mulai hari ini engkau bersembunyi dulu di sini. Kepada para pelayan, kami akan memberitahukan bahwa engkau adalah seorang keponakan kami bernama Kwee Ciok Li. Ayahmu adalah adikku yang tinggal jauh di dusun sebelah selatan. Engkau tidak usah keluar dari rumah agar tidak berjumpa orang lain. Nanti kalau keadaan sudah aman, kita mencari jalan agar engkau dapat keluar dari kota raja.”

“Ah, Paman Kwee, sungguh beruntung sekali aku bertemu dengan paman dan bibi. Paman telah menolong dan menyelamatkan nyawaku.”

“Hemm, jangan berkata begitu. Tadi, begitu mendengar berita bahwa jenderal Ciang dan puteranya, juga Perwira Lui mati terbunuh seorang gadis cantik, aku segera dapat menduga bahwa agaknya engkaulah orangnya. Karena itu, ketika mendapat perintah untuk mengerahkan pasukan melakukan pencarian, aku sendiri lalu memisahkan diri dan mencarimu. Beruntung aku menemukan engkau sebelum yang lain menemukanmu. Sekarang, ceritakanlah siapa yang dulu membunuh nenekmu dan melukai tukang kebun dan apa yang terjadi selanjutnya denganmu?”

“Maaf, paman. Sebelum aku menceritakan pengalamanku, aku ingin lebih dulu mendengar tentang ayah ibuku. Untuk itulah aku datang ke kota raja, untuk mencari orang tuaku.”

Pada saat itu Kwee Cun Ki melangkah masuk dan dengan singkat melaporkan bahwa penjagaan telah diatur sebaik mungkin. Setelah itu dia mengambil tempat duduk untuk ikut mendengarkan. Panglima Kwee Gi menghela napas ketika, mendengar pertanyaan gadis itu tentang orang tuanya. Dia menggeleng kepala dan berkata.

“Bi Lan, ketika ayah dan ibumu pulang dari perang mereka mendapatkan engkau telah hilang diculik orang. Mereka lalu berusaha mencarimu. Bahkan akhirnya ayahmu, Han Si Tiong mengembalikan pangkatnya kepada pemerintah dan bersama isterinya lalu meninggalkan kota raja. Kepadaku mereka hanya mengatakan bahwa mereka hendak mencarimu sampai dapat. Sungguh menyesal sekali, Bi Lan, aku sendiri tidak dapat mengatakan di mana mereka berada karena sudah bertahun-tahun mereka tidak memberi kabar kepadaku.”

Bi Lan mengerutkan alisnya. Hatinya kecewa akan tetapi ia tidak dapat menyalahkan panglima yang menjadi sahabat ayahnya itu.

“Biarlah aku akan membantumu mencari mereka, Lan-moi,” kata Cun Ki.

“Terima kasih, Ki-ko (kakak Ki),” kata Bi Lan.

“Nah, sekarang ceritakan apa yang telah terjadi dengan dirimu, Bi Lan. Kami semua ingin sekali mengetahuinya.”

“Ketika itu, aku diculik dan dilarikan oleh datuk sesat Ouw Kan. Dia menculikku untuk membalas dendam atas perintah Raja Kin karena ayah telah membunuh puteranya, Pangeran Cu Si, dalam perang. Ouw Kan hendak menyerahkan aku kepada Raja Kin. Di tengah jalan kami bertemu dengan Jit Kong Lhama dan pendeta Lhama itu berhasil mengalahkan Ouw Kan dan sejak itu aku menjadi murid Jit Kong Lhama.”

“Pantas engkau menjadi lihai sekali, Lan-moi!” Cun Ki memuji, padahal dia belum melihat sampai di mana kelihaian gadis itu.

“Aku juga menjadi murid Kun-lun-pai,” kata Bi Lan cepat agar diketahui bahwa ia bukan hanya menjadi murid datuk sesat itu, namun juga murid partai Ku-lun-pai yang terkenal! “Setelah tamat belajar, aku lalu cepat pergi ke kota raja untuk pulang ke rumah orang tuaku. Akan tetapi ternyata yang tinggal di sana adalah keluarga Jenderal Ciang Sun Bo.

"Bersama puteranya yang bernama Ciang Ban, dan seorang perwira bernama Lui To dan seorang pendeta tosu guru Ciang Ban bernama Hwa Hwa Cin-jin. Jenderal Ciang menyambutku dengan ramah. Dia mengatakan bahwa dia adalah sahabat baik ayah, maka dia menerimaku dengan baik, bahkan lalu mengadakan perjamuan makan untuk menyambut kedatanganku. Kami makan minum dan minumanku dicampuri obat bius.”

“Jahat sekali!” Kwee Cun Ki berseru marah.

“Aku sudah menaruh kecurigaan maka diam-diam aku telah menjaga diri dan minum obat penawar racun. Aku lalu pura-pura pingsan terbius. Dalam keadaan itulah aku mendengar mereka bicara dan aku tahu bahwa mereka itu sebetulnya bersekutu dengan datuk jahat Ouw Kan yang dulu menculikku, berarti bersekutu dengan Raja Kin dan mereka adalah orang-orang yang memusuhi ayahku.

"Mereka hendak membunuhku, akan tetapi Ciang Ban yang terkutuk itu lalu memondongku ke dalam kamar dengan maksud kotor dan hina. Aku tidak dapat menahan kemarahanku lagi dan kubunuh pemuda itu. Jenderal Ciang, Perwira Lui To dan Pendeta Hwa Hwa Cin-jin menyerangku. Aku berhasil membunuh jenderal Ciang dan Perwira Lui, akan tetapi Hwa Hwa Cin-jin dapat melarikan diri. Karena banyak perajurit pengawal bermunculan, aku lalu melarikan diri.”

Kwee Gi mengangguk-angguk. “Hemm, akhirnya mereka menerima hukuman juga dan tewas di tanganmu, Bi Lan. Jenderal Ciang itu memang merupakan antek Perdana Menteri Chin Kui.”

“Siapa itu Perdana Menteri Chin Kui, paman?”

“Dialah yang menjadi biang keladi semua ketidak-amanan dan kekacauan. Dia berhasil mempengaruhi kaisar dan perdana menteri itu bersekongkol dengan bangsa Kin di utara. Bahkan dia pula yang telah melakukan fitnah kepada jenderal Gak Hui pahlawan besar yang amat dihormati dan dibantu ayahmu. Han Si Tiong dan isterinya mengundurkan diri dari jabatannya, bukan hanya karena kehilangan engkau, akan tetapi terutama sekali karena kecewa melihat jenderal Gak Hui difitnah dan Kaisar berpihak kepada pengkhianat macam Chin Kui.”

“Pantas Ouw Kan diutus raja Kin untuk mencelakakan ayahku, kiranya juga dikarenakan ayah menjadi pembantu setia Jenderal Gak Hui,” kata Bi Lan gemas.

“Begitulah. Kita semua mengetahui bahwa Chin Kui seorang pengkhianat yang bersekongkol dengan penjajah Kin yang menguasai daerah utara Sungai Yang-ce. Bangsa Kin menguasai daerah itu dan Chin Kui telah membujuk kaisar agar tidak melawan, bahkan berbaik dengan penjajah mengirim upeti setiap tahun. Semua itu tentu ada imbalannya dan semua orang tahu betapa kaya rayanya Perdana Menteri Chin Kui itu.”

“Hemm, kenapa ada pengkhianat macam itu di kerajaan tidak ada yang menentang? Kenapa kaisar begitu bodoh? Apa tidak ada pejabat tinggi yang setia kepada negara dan berusaha menentang perdana menteri jahat itu?” tanya Bi Lan penasaran.

Kwee-ciangkun menghela napas panjang. “Apa yang dapat kami lakukan? Dia memiliki kekuasaan yang besar, bahkan kaisar sendiri selalu menuruti kata-katanya. Menentang dia, bisa berarti menentang pemerintah, menentang kaisar sendiri, dan akan berhadapan dengan pasukan pemerintah.”

“Kalau begitu, sebaiknya orang seperti itu dibinasakan saja! Aku sanggup melakukannya, paman!” kata Bi Lan penuh semangat.

Panglima Kwee tersenyum dan mengangguk-angguk. “Engkau memang pantas menjadi puteri Han Si Tiong dan Liang Hong Yi, Bi Lan! Semangatmu besar dan keberanianmu menakjubkan. Akan tetapi aku harus melarangmu. Entah sudah berapa banyak orang-orang gagah melakukan usaha itu, namun semua gagal dan bahkan mereka yang tewas.

Perdana Menteri Chin Kui menjaga dirinya dengan ketat. Pasukan pengawal khusus yang terdiri dari jagoan-jagoan, di antaranya didatangkan dari utara, selalu melindunginya siang malam. Betapapun tinggi kepandaian silatmu, tidak mungkin menembus pertahanan yang amat kuat itu.”

“Hemm, kalau begitu, apakah orang macam itu dibiarkan saja mengkhianati tanah air dan bangsa?” Bi Lan penasaran.

“Tidak, Bi Lan. Kami, orang-orang setia kepada Kerajaan Sung, tidak tinggal diam. Kami sudah menyusun kekuatan dan kami sedang berusaha untuk mendapatkan bukti-bukti penyelewengannya, baik penyelewengannya dalam korupsi uang negara, pemerasan terhadap para bangsawan dan hartawan, pajak-pajak gelap yang dilakukannya, yang hasilnya masuk kantungnya sendiri.

"Juga kami sedang mengumpulkan bukti penyelewengannya tentang persekongkolannya dengan Bangsa Kin. Bukti bahwa dia menerima banyak hadiah dari Bangsa Kin. Semua itu, kalau sudah dapat dikumpulkan, akan kami haturkan kepada Sribaginda Kaisar.

"Dengan demikian maka kaisar yang akan bertindak. Kecuali dengan jalan itu, amat sukar untuk mengalahkan Chin Kui yang memiliki kekuasaan dan pengaruh besar sekali. Satu-satunya orang yang akan mampu menundukkan hanyalah kaisar sendiri.”

Bi Lan mengangguk-angguk. “Ah, begitukah, paman? Kalau begitu, dalam hal ini aku tidak dapat membantu. Aku ingin segera keluar dari kota raja, paman, untuk mencari ayah dan ibuku.”

“Tentu saja, akan tetapi bersabarlah. Sekarang sedang hangat-hangatnya pasukan mencarimu. Perdana Menteri Chin Kui sendiri tentu marah dan merasa kehilangan karena Jenderal Ciang dan Perwira Lui merupakan pembantu-pembantunya yang setia. Tunggu sampai beberapa hari, kalau suasananya sudah dingin dan mereka semua mengira bahwa engkau pasti sudah lolos dari kota raja, barulah aku akan mengatur agar supaya engkau dapat keluar dari kota raja.”

“Baiklah paman. Akan tetapi, apakah paman dapat memberi petunjuk kepadaku, di manakah kiranya orang tuaku sekarang?”

Panglima Kwe menggeleng kepala dan menghela napas. “Aku sudah berusaha menyebar orang-orangku untuk mencari, namun tidak berhasil menemukan jejak mereka. Aku hanya mempunyai satu perkiraan, yaitu besar sekali kemungkinannya mereka pergi ke utara untuk mencari Ouw Kan karena mendengar akan ciri-ciri penculik itu dari tukang kebun yang belum terbunuh mati.

"Kami sudah dapat menduga bahwa pelakunya adalah Ouw Kan yang berjuluk Toat-beng Coa ong. Dia adalah seorang suku bangsa Hui dan berasal dari Sin-kiang. Kini dia membantu pemerintah bangsa Kin di utara. Karena itu besar kemungkinan ayah ibumu mencarinya ke utara, atau ke Sin-kiang.”

* * *

Sampai seminggu lamanya Bi Lan bersembunyi di dalam rumah Panglima Kwee dan dalam waktu seminggu itu, hubungannya dengan keluarga itu menjadi akrab. Terutama sekali Kwee Cun Ki. Pemuda itu nampak benar-benar tertarik kepada Bi Lan, bahkan berulang kali dia mengatakan kepada gadis itu bahwa dia ingin menemani gadis itu mencari orang tuanya di utara dan Sin-kiang.

Ketika pada hari kedelapan Panglima Kwee mengatakan kepada Bi Lan bahwa waktunya sudah tiba bagi Bi Lan untuk diselundupkan keluar kota raja, Cun Ki mengulangi keinginannya itu kepada Bi Lan, di depan ayah ibunya.

“Lan-moi, sekali lagi aku minta agar engkau suka kutemani untuk mencari orang tuamu. Melakukan perjalanan seorang diri di daerah musuh itu sungguh amat berbahaya bagimu.”

Panglima Kwee dan isterinya sudah maklum bahwa putera tunggal mereka itu jatuh cinta kepada Bi Lan. Di dalam hati, mereka setuju sekali kalau Bi Lan menjadi mantu mereka. Kwee Gi segera berkata, “Kami setuju kalau Cun Ki menemanimu, Bi Lan. Dengan bantuannya, tentu akan lebih mudah menemukan orang tuamu.”

“Benar, Bi Lan,” kata Nyonya Kwee. “Dengan adanya Cun Ki yang menemanimu, hati kami tidak akan merasa gelisah seperti kalau engkau pergi seorang diri. Seorang gadis merantau seorang diri tanpa kawan di tempat yang jauh itu, apalagi di daerah musuh, sungguh hatiku akan merasa gelisah selalu. Engkau sudah kuanggap seperti anak sendiri, Bi Lan.”

Ucapan nyonya ini sebetulnya sudah merupakan isyarat yang jelas bahwa ia ingin Bi Lan menjadi anak mantunya. Akan tetapi Bi Lan tidak mengerti dan ia cepat menjawab. “Terima kasih atas kebaikan hati paman, bibi dan juga Ki-twako. Kalian telah menolongku dan bersikap baik sekali kepadaku. Untuk itu aku mengucapkan banyak terima kasih. Akan tetapi, aku ingin melakukan perjalanan seorang diri. Terima kasih atas penawaranmu untuk menemaniku, Ki-twako. Ketahuilah bahwa aku masih mempunyai tugas pribadi yang harus kuselesaikan. Kelak, kalau semua tugas dan urusanku sudah selesai, aku pasti akan datang berkunjung untuk mengucapkan terima kasihku.”

Karena Bi Lan bersikeras menolak, maka Cun Ki tidak berani memaksa, hanya dia merasa kecewa bukan main. Dia tadinya mengharapkan bahwa kalau melakukan perjalanan bersama, gadis yang membuatnya tergila-gila itu akan tergerak hatinya dan akan membalas cintanya. Akan tetapi melihat Bi Lan berkeras tidak mau ditemani, tentu saja dia tidak berani memaksa yang akan membuat gadis itu marah.

Usaha membawa Bi Lan keluar kota raja dipersiapkan. Sebuah kereta berhenti di depan gedung keluarga panglima Kwee. Kusirnya seorang laki-laki yang masih muda, berwajah tampan. Tak lama kemudian, Panglima Kwee masuk ke dalam kereta dan di belakang kereta terdapat belasan orang perajurit pengawal menunggang kuda. Rombongan kecil ini lalu berangkat dan keluar dari pintu gerbang kota raja sebelah utara.

Para perajurit yang menjaga di pintu gerbang segera memberi hormat ketika melihat bahwa penumpang kereta itu adalah Panglima Kwee Gi dan isterinya. Pada hari-hari kemarin, tentu ada perwira anak buah Perdana Menteri Chin Kui yang ikut menjaga dan mengawasi. Kalau ada mereka, biarpun yang lewat itu Panglima Kwee, tentu mereka akan melakukan pemeriksaan yang teliti.

Akan tetapi, pencarian pembunuh itu kini sudah tidak ketat lagi. Seminggu telah lewat dan pembunuh itu tidak ditemukan jejaknya. Dianggap sudah kabur dari kota raja, maka kini di pintu gerbang hanya dijaga para perajurit keamanan biasa.

Panglima Kwee adalah komandan pasukan keamanan, maka tentu saja para perajurit percaya kepadanya dan setelah memberi hormat, para penjaga itu membiarkan kereta dan pengawalnya lewat keluar dari pintu gerbang.

Belasan orang perajurit itu adalah orang-orang kepercayaan Panglima Kwee. Setelah rombongan tiba jauh dari pintu gerbang, di jalan yang sunyi, rombongan berhenti. Seorang pengawal muda turun dari atas kudanya, menanggalkan pakaian luarnya dan kini mengenakan pakaian yang sama dengan yang dipakai kusir, lalu menggantikan kedudukan kusir.

Kusir itu bukan lain adalah Bi Lan yang menyamar sebagai kusir. Semua perlengkapannya telah dibungkus dalam buntalan pakaian yang disembunyikan dalam kereta. Dalam buntalan itu, selain pakaiannya, juga ada sekantung uang emas sebagai bekal, merupakan hadiah dari Panglima Kwee.

Setelah mengucapkan terima kasih dan memberi hormat kepada Panglima Kwee Gi dan isterinya, Bi Lan lalu menunggangi kuda yang tadi ditunggangi pengawal yang kini menjadi kusir, dan gadis itupun membedal kudanya, membalap ke arah utara, diikuti pandang mata Panglima Kwee Gi dan isterinya.

Kekecewaan dan keharuan membayang dalam pandang mata suami isteri itu. Mereka lebih senang melihat gadis itu berada di rumah mereka, sebagai anak mantu mereka! Kini gadis itu telah pergi, menuju ke seberang utara yang dikuasai bangsa Kin, tempat berbahaya sekali dan entah mereka akan dapat bertemu lagi dengan gadis itu ataukah tidak.

* * *

Thian Liong menuruni lereng bukit itu sambil melamun. Dia merasa kecewa dan menyesal sekali karena sebuah di antara tugas yang diberikan kepadanya oleh gurunya telah gagal. Dia telah berhasil menyerahkan kitab Sam-jong Cin-keng kepada Cu Sian Hwesio ketua Siauw-lim-pai, bahkan telah beruntung diberi kesempatan mempelajari ilmu dari kitab itu oleh ketua Siauw-lim-pai sehingga dia memperoleh kemajuan besar dalam ilmu silatnya.

Kemudian dia juga telah menyerahkan kitab Kiauw-ta Sin-na kepada Ciang Losu ketua Bu-tong-pai. Akan tetapi kitab yang ketiga, yaitu Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang seharusnya dia berikan atau kembalikan kepada Kun-lun-pai seperti yang diperintahkan gurunya, telah lenyap dicuri gadis liar berpakaian merah muda itu.

Dia harus bertanggung jawab. Dia harus dapat merebut kembali kitab itu dan menyerahkannya kepada yang berhak, yaitu kepada Kun-lun-pai. Akan tetapi dia tidak mengenal siapa gadis itu, siapa namanya dan ke mana harus mencarinya!

Kalau dia tidak dapat menemukan gadis maling itu dan mengembalikan kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat kepada Kun-lun-pai, dia belum mau sudah karena dia mengabaikan perintah gurunya dan dia merasa “berhutang” kepada Kun-lun-pai. Wah, gadis berpakaian merah muda itu! Gemas sekali dia!

Awas kau, kalau dapat kutemukan, bukan saja kitab itu kurampas darimu, juga engkau patut diberi hajaran. Akan kupukul pantatmu sampai sepuluh kali, seperti yang dia seorang bapak memukul pantat anaknya yang nakal ketika dia berkunjung ke dusun kaki bukit dulu. Biar tahu rasa kau! Demikian gemas rasa hati Thian Liong sehingga dia bersungut-sungut sendiri. Gadis liar! Rampok, maling! Kurang ajar betul.

Tiba-tiba wajah gadis berpakaian merah muda yang tadinya dia membayangkan sebagai wajah setan, berubah dan tampaklah wajah lain. Wajah seorang gadis lain yang berpakaian serba hijau dan memakai bunga mawar merah di rambutnya. Wajah Thio Siang In yang berjuluk Ang Hwa Sian-li! Gadis yang satu ini sama liarnya, juga sama lihainya, sama kurang ajarnya. Masa ingin pinjam kitab Sam-jong Cin-keng milik Siauw-lim-pai dan pinjamnya pakai memaksa lagi!

Hemm, bagaimanapun juga dia telah menghajar gadis itu dengan mengalahkannya sehingga ia pergi dengan marah-marah. Tidak sekurang ajar gadis baju merah muda yang mencuri kitab milik Kun-lun-pai! Ah, kenapa nasibnya begini? Bertemu dengan dua orang gadis liar yang sama-sama membikin dia pusing dan marah.

Tiba-tiba terbayang wajah seorang gadis lain! Nah, yang ini lagi! Tiada hujan tiada angin, menyerangnya mati-matian dan setelah dia berhasil mengalahkannya, dia harus mengawininya! Gila! Kalau dia menolak, gadis bernama Kim Lan itu harus membunuhnya dan kalau gagal, harus membunuh diri sendiri atau akan dibunuh gurunya!

Aturan mana ini? Si nenek yang menjadi guru Kim Lan dan sumoinya yang bernama Ai Yin itu boleh jadi sudah gila, mengadakan peraturan seperti itu kepada murid-murid wanitanya. Gila! Apakah para wanita itu sudah gila semua?

Setelah meninggalkan Siauw-lim-si, Thian Liong mengambil keputusan untuk melaksanakan dua kewajiban yang dipesan oleh gurunya. Pertama, dia harus merebut kembali kitab pusaka milik Kun-lun-pai itu. Dan kedua, gurunya pesan agar dia membantu Kerajaan Sung menghadapi musuh-musuhnya.

Dia mengingat-ingat. Suhunya pernah menyebut nama Perdana Menteri Chin Kui sebagai orang jahat dan berkhianat dan yang telah mempengaruhi kaisar. Dia diberi tugas untuk menyelamatkan Kerajaan Sung dari pengaruh para pembesar yang jahat. Akan tetapi, yang lebih dulu harus dia kerjakan adalah mencari gadis setan berbaju merah itu untuk merampas kembali kitab pusaka Kun-lun-pai!

Dia mengenang kembali pertemuannya dengan gadis berpakaian merah itu. Hemm, cantik jelita dan lincah jenaka memang. Tapi galaknya minta ampun. Dan kejam. Begitu saja membunuh orang, biarpun yang dibunuhnya itu seorang penjahat. Akan tetapi ilmu silatnya amat hebat. Hanya dengan sebatang ranting, ia mampu mempermainkan si gendut, perampok lihai itu, bahkan membunuhnya. Permainan rantingnya mirip ilmu pedang.

Thian Liong menghentikan langkahnya, memejamkan matanya untuk membayangkan kembali gerakan gadis baju merah itu ketika bertanding melawan perampok gendut. Dia banyak tahu akan aliran ilmu silat dari gurunya. Gurunya pernah membeberkan rahasia dasar gerakan silat perguruan-perguruan besar, bahkan ilmu silat dari aliran luar pedalaman Cina seperti ilmu silat yang berdasar pada aliran Tibet, Gobi, Mancu, Mongol dan lain-lain.

Sekarang dia teringat benar. Gerakan kedua kaki gadis baju merah itu ketika bergeser, dengan berjingkat dan berputar. Itu adalah gerakan dasar ilmu silat aliran Tibet yang diajarkan pendeta Lhama di Tibet. Gurunya, Tiong Lee Cin-jin sudah pernah bertahun-tahun tinggal di Tibet dan mempelajari ilmu silat dari suku bangsa itu.

Ah, tidak salah lagi. Dia ingat benar. Gadis yang mencuri kitab Ngo-heng Loan-hoan Kun-hoat milik Kun-lun-pai itu adalah seorang ahli silat aliran Tibet. Mungkin ia murid seorang tokoh pendeta Lhama yang sakti. Karena itu, dia harus mencari ke daerah utara, daerah yang diduduki bangsa Kin karena besar kemungkinan gadis maling itu melarikan diri ke sana.

Pula, dalam perjalanan dia mendengar betapa bangsa Kin di utara itu melakukan penindasan dan pemerasan terhadap rakyat pribumi Han. Agaknya di sanalah dia akan lebih banyak dibutuhkan rakyat yang terjajah daripada di selatan.

Demikianlah, dia melakukan perjalanan ke utara, ke daerah yang dikuasai pemerintah bangsa Kin. Sesungguhnya, kerajaan Kin tidaklah begitu kuat. Andaikata Kaisar Kao Tsung yang kini bertahta di kota raja baru Nan-king mengerahkan para panglimanya seperti mendiang Gak Hui untuk menyerbu ke utara dan melakukan perlawanan, besar kemungkinan mereka akan mampu mengusir bangsa Kin dari tanah air.

Akan tetapi, Kaisar Kao Tsung terlalu lemah dan terlalu dipengaruhi Perdana Menteri Chin Kui dan antek-anteknya yang menakut-nakuti kaisar, yang mengatakan bahwa bangsa Kin terlalu kuat dan sebagainya, maka Kaisar Kao Tsung mengalah dan tidak pernah melakukan perlawanan.

Dia hanya puas dengan daerah di sebelah selatan Sungai Yang-ce yang dikuasainya. Memang daerah selatan ini jauh lebih subur dibandingkan daerah utara, namun kekalahan Dinasti Sung dari bangsa Kin ini menyuramkan kebesaran Kerajaan Sung yang pernah berjaya.

Benar saja seperti yang telah didengar dalam perjalanannya, ketika memasuki daerah jajahan itu, Thian Liong melihat keadaan rakyat yang hidup menyedihkan. Bukan hanya banjir besar di musim hujan dan kekeringan di musim panas yang membuat mereka hidup dalam keadaan miskin, hanya cukup untuk makan secara hemat sekali, akan tetapi yang lebih daripada itu adalah tekanan dari para pembesar yang membuat mereka dicekam rasa ketakutan.

Di kota kota, para pedagang ditekan dengan pajak yang luar biasa besarnya, yang memaksa banyak pedagang kecil menjadi bangkrut. Hanya pedagang yang besar dan mampu menyogok para pembesar saja yang dapat hidup. Kehidupan rakyat di pedusunan tidak lebih baik.

Hampir setiap orang kepala dusun, sikapnya seolah menjadi raja kecil yang menentukan mati hidupnya tiap warga dusun! Sang kepala dusun berhak menentukan apa saja. Keputusan pribadinya menjadi hukum tak tertulis yang harus dipatuhi. Tidak ada satupun yang salah pada dirinya. Semua harus dianggap benar dan harus ditaati setiap warga dusun.

Dia bisa merampok terang-terangan yang disebut menyita barang mereka yang berdosa, bisa memperkosa anak gadis orang yang disebutnya menikahinya sebagai selir. Tak seorangpun berani menentang kehendaknya kalau orang itu masih ingin hidup. Kalau kepala dusunnya seperti itu, kaki tangannya lebih mengerikan lagi!

Melihat keadaan seperti ini, jiwa kependekaran Thian Liong bangkit dan di mana saja dia berada, dia tentu turun tangan memberi hajaran kepada mereka yang bertindak sewenang-wenang mengandalkan kekuasaan dan kekerasan, dan menolong mereka yang tertindas dan lemah tak berdaya.

Dia tidak pernah menyembunyikan namanya dan mengaku bernama Thian Liong setiap kali perbuatan gagahnya menggegerkan sebuah dusun atau kota. Sebentar saja dia dianggap sebagai Si Naga Langit (Thian Liong) seolah-olah mahluk yang menjadi lambang kebesaran dan kesaktian itu turun dari langit untuk membela dan menolong rakyat yang menderita!

Dalam perjalanan ini, tidak lupa Thian Liong bertanya-tanya, mencari keterangan tentang seorang gadis yang cantik jelita dan yang pakaiannya serba merah muda. Akan tetapi sampai hari ini, ketika dia menuruni lereng bukit di kaki Pegunungan Thai-san, tidak ada orang yang dapat memberi keterangan kepadanya tentang gadis itu.

Ketika dia melihat sebuah dusun yang cukup besar dan ramai di kaki bukit, Thian Liong segera memasukinya. Dusun itu tampak cukup ramai dan tidak seperti yang dia lihat di dusun-dusun yang pernah dilaluinya, dusun ini kelihatan tenang. Penduduknya tidak tampak begitu dicekam ketakutan seperti dusun-dusun lain sebelah selatan.

Mungkin semakin dekat tempat itu dengan pemerintah pusat di Peking, semakin baiklah pembesarnya karena takut kepada atasan yang sewaktu-waktu dapat melakukan pemeriksaan, tidak seperti dusun-dusun yang jauh, yang tak pernah dilalui pejabat pejabat yang memeriksa keadaan di dusun-dusun.

Dusun Leng-ciu dapat juga disebut kota karena tampak ramai, banyak toko dan bahkan ada rumah makan dan rumah penginapan, walaupun sederhana. Dia mendapat harapan untuk mendengar berita tentang gadis baju merah di tempat ini.

Hari sudah siang dan Thian Liong merasa perutnya lapar karena sejak kemarin malam dia belum makan. Pagi tadi tidak sempat makan karena dia melakukan perjalanan naik turun bukit dan tidak melewati dusun. Melihat sebuah rumah makan yang kosong, tidak ada tamunya, dia lalu masuk.

Seorang pelayan setengah tua, berusia kurang lebih empatpuluh tahun, menyambutnya dengan senyum ramah. “Siauw-ko (saudara muda) hendak makan apa? Dan minum?”

“Hidangkan nasi dan masakan sayur, minumnya air teh saja.”

“Air teh? Ah, siauwko, kami mempunyai arak yang lezat!” pelayan itu menawarkan.

“Terima kasih, paman. Aku.... eh, aku tidak biasa minum arak, takut mabok,” jawab Thian Liong sambil tersenyum.

“Bagus! Bagus! Aku sendiri juga hampir tidak pernah minum arak, lebih baik teh, menyehatkan. Sebal sekali anakku laki-laki itu, setiap hari mabok. Ayaaa… bikin jengkel orang tua saja!” Pelayan itu menggeleng-geleng kepala lalu pergi untuk menyediakan makanan yang dipesan Thian Liong.

Pemuda ini tersenyum sendiri, akan tetapi juga timbul niatnya untuk mengajak pelayan yang suka bicara itu untuk bercakap-cakap. Siapa tahu dia tahu tentang gadis yang dicarinya. Apalagi saat itu, rumah makan sepi tidak tampak tamu lain. Ketika pelayan itu mengantar nasi dan semangkuk sayur, sepoci teh dengan cawannya, Thian Liong mengajaknya bicara sambil makan.

“Duduklah, paman dan mari temani aku minum teh. Nanti kalau ada tamu boleh paman tinggalkan aku.”

Pelayan itu menerima undangan itu dengan senang dan setelah minum teh secawan, Thian Liong bertanya, “Paman, aku ingin sekali bertanya. Apakah paman pernah melihat seorang gadis cantik berpakaian serba merah muda, punya lesung pipit di kanan kiri bibirnya dan gadis itu pandai ilmu silat?”

Pelayan itu mengerutkan alisnya. “Gadis cantik jelita dan pandai ilmu silat? Wah, ada benar tentu ia yang kau maksudkan itu! Masih muda belia, senyumnya semanis madu, kerling matanya seperti kilat menyambar, kalau tertawa semua bunga bermekaran, matahari bersinar semakin terang!”

“Betul, betul dara itu yang kumaksudkan! Di mana ia, paman?”

“Tapi pakaiannya bukan serba merah muda, melainkan putih, sutera putih halus dengan perhiasan gemerlapan. Memang ada yang merah, akan tetapi bukan pakaiannya melainkan sabuknya, sabuk sutera merah. Pakaiannya serba putih, elok anggun seperti burung Hong, karena itu semua orang menyebutnya Pek hong Niocu (Nona Burung Hong Putih)!”

Tiba-tiba ada serombongan orang memasuki rumah makan dan pelayan itu cepat bangkit. “Maaf, siauw-ko, ada tamu!” Bergegas dia menyambut rombongan terdiri dari empat orang itu.

Seorang laki-laki muda berusia duapuluh lima tahun, seorang gadis cantik berusia sekitar duapuluh tahun, dan suami isteri setengah tua sekitar limapuluh tahun. Pelayan itu segera mempersilakan mereka duduk menghadapi sebuah meja sebelah dalam, terhalang tiga meja dari tempat Thian Liong makan.

Thian Liong tidak memperhatikan mereka yang tampaknya seperti penduduk biasa. Dia sedang melamun, merenungkn cerita pelayan tadi. Tidak mungkin nona yang disebut Nona Burung Hong Putih itu gadis maling yang mencuri kitab pusaka Kun-lun-pai. Walaupun sama cantik dan sama pandai silat, namun pakaiannya jauh berlainan.

Maling wanita itu berpakaian serba merah muda, kalau yang diceritakan pelayan itu pakaiannya serba putih. Pula, maling wanita itu tidak memegang senjata, ketika membunuh perampok, hanya mempergunakan sebatang ranting. Akan tetapi Burung Hong Putih ini menggunakan sehelai sabuk sutera merah!

Tentu bukan gadis yang dicarinya. Betapapun juga, ia merasa tertarik. Siapa tahu gadis maling itu berganti warna pakaiannya? Atau, setidaknya, mungkin sebagai sama-sama wanita pandai ilmu silat, Burung Hong Putih ini mengenal gadis berpakaian merah muda.

Tiba-tiba dua orang laki-laki muda berusia antara duapuluh lima sampai duapuluh tujuh tahun memasuki rumah makan itu. Melihat betapa mereka berdua berjalan terhuyung sambil menyeringai dan tertawa-tawa, mudah diduga bahwa keduanya sudah mabok.

“Kita baru saja minum, masa mau minum lagi......?” kata seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus.

“Ha-ha-ha, di sini tempatnya mi bakso yang paling enak di dunia…! Ha-ha, heii, pelayan, hidangkan mi bakso komplit dua porsi! Cepat....!!” Dua orang itu lalu mengambil tempat duduk di meja yang berdekatan dengan meja rombongan pertama.

Pelayan setengah tua itu agaknya mengenal mereka karena dia bergegas menghampiri meja itu dan menggunakan kain lap untuk membersihkan meja itu. “Oh, Bouw-kongcu (Tuan Muda Bouw) dan Ban-kongcu (Tuan Muda Ban). Silakan duduk, silakan duduk....” kata pelayan itu dengan sikap hormat.

“Cerewet!” bentak si tinggi kurus yang disebut Bouw-kongcu. “Hayo cepat sediakan bakmi bakso dua mangkok, bodoh!” bentak Ban-kongcu yang tubuhnya tinggi besar dan sikapnya kasar.

“Baik, baik, ji-wi kongcu (tuan muda berdua)...” pelayan itu lalu cepat-cepat mengambilkan pesanan dua orang muda itu. Ketika dia lewat di dekat Thian Liong, dia berbisik, “hemm... mereka putera kepala Dusun Bouw dan Kepala Keamanan Ban...”

Thian Liong melirik ke arah dua orang itu. Mereka mengeluarkan sebuah guci yang tadi dibawa Ban-kongcu dan bergantian minum lagi sambil tertawa-tawa.

“Ehh? Manis sekali!” Tiba-tiba Bouw-kongcu yang tinggi kurus itu memandang kepada gadis cantik yang duduk bersama rombongan pertama tadi. Gadis itu menundukkan mukanya.

“Heh-heh, kalau engkau suka, biar ia menemani kita makan minum,” kata Ban-kongcu sambil bangkit berdiri.

“Ya, heh-heh, tentu saja. Ajak ia ke sini.... si manis itu... heh-heh.”

Orang muda she Ban yang bertubuh tinggi besar itu lalu bangkit berdiri dan menghampiri meja rombongan empat orang itu. Dia langsung menghampiri nona tadi dan berkata. “Nona manis, Bouw-kongcu mengundang engkau makan minum bersama kami. Hayo, manis!”

Gadis itu tampak ketakutan dan menggeleng-geleng kepala. Pemuda itupun bangkit berdiri, diikuti laki-laki setengah tua. “Sobat, apa artinya ini? Kami tidak mengenal anda, jangan paksa adik saya untuk makan bersama, itu tidak sopan namanya!” kata pemuda itu dengan sikap marah.

Juga laki-laki setengah tua itu marah. “Jangan ganggu anakku!” bentaknya.

Ban Gu, demikian nama putera kepala keamanan dusun itu, membelalakkan matanya yang sudah lebar, memandang kepada ayah dan puteranya itu berganti-ganti. “Ha-ha, kalian berani menentangku, ya? Kalian belum mengenal siapa aku dan siapa Bouw-kongcu itu?”

“Sabarlah, sobat,” ayah pemuda itu mencoba untuk menyabarkan Ban Gu. “Kami sekeluarga baru saja tiba di kota Leng-ciu ini, kami tidak mengenal siapa kalian berdua dan kamipun tidak melakukan kesalahan apapun. Karena itu, harap jangan ganggu puteri saya, jangan ganggu kami yang hanya ingin makan di sini.”

“Bodoh! Aku Ban Gu adalah putera Kepala Pasukan Keamanan di sini dan Bouw-kongcu adalah putera kepala daerah yang berkuasa di sini, tahu? Hayo! Nona ini harus menemani kami makan minum dan siapapun tidak boleh menghalangi!” Setelah berkata demikian, Ban Gu menangkap pergelangan tangan gadis itu dan menariknya berdiri.

Pemuda yang menjadi kakak gadis itu marah. “Engkau kurang ajar, hendak menghina adikku?” Dia maju dan hendak menangkap pundak Ban Gu untuk ditariknya agar terlepas dari adiknya. Akan tetapi agaknya Ban Gu seorang yang pandai ilmu silat. Sekali dia melayangkan tinjunya, pemuda itu terpelanting roboh.

Ayah pemuda itu maju hendak mencegah Ban Gu menarik puterinya, akan tetapi sekali lagi Ban Gu mengayun tangan dan laki-laki setengah tua itupun terpelanting menabrak kursi. Sambil terbahak Ban Gu menangkap lagi tangan gadis itu dan menyeretnya menuju ke meja di mana Bouw-kongcu menunggu sambil menyeringai senang.

“Ting-yi....!” Ibu itu memburu, akan tetapi sebuah tendangan dari Ban Gu membuat nyonya itu terjengkang. Gadis itu menjerit, akan tetapi dengan mudah Ban Gu mengangkatnya dan memaksanya duduk di atas kursi di samping Bouw-kongcu.

Pada saat itu, Thian Liong sudah hampir tidak dapat menahan kemarahannya. Akan tetapi dia menahan diri karena terdengar derap kaki kuda di luar rumah makan dan seorang gadis berpakaian serba putih berkilau melompat turun dari punggung kuda. Thian Liong yang tadinya sudah bangkit berdiri untuk menghajar dua orang pemuda berandalan itu duduk kembali saking heran dan kagumnya.

Gadis ini benar-benar mengingatkan dia akan gadis maling yang mencuri kitab pusaka Kun-lun-pai. Bentuk tubuh yang denok semampai itu sama, wajahnya memang agak beda, akan tetapi keduanya sama cantik dan sepasang mata itupun sama-sama mencorong, bibirnya tersenyum nakal dan gerakannya gesit sekali. Tanpa disadarinya, Thian Liong mengamati dengan penuh perhatian.

Gadis itu berusia sekitar sembilan belas tahun, pakaiannya dari sutera putih bersih berkilauan, pinggang ramping itu dililit sabuk merah. Rambutnya dikuncir tebal panjang diberi pita merah dan di atas kepalanya terhias sebuah perhiasan berbentuk burung Hong putih dari perak bermata mirah yang indah sekali.

Agaknya gadis itu sengaja membuat perhiasan yang sesuai dengan julukan yang diberikan orang, atau orang-orang memberi julukan kepadanya karena di antaranya melihat perhiasan itu. Wajahnya manis sekali, kulitnya putih bersih, seperti biasa kulit wanita dari utara. Matanya mencorong seperti bintang dan senyumnya yang manis itu mengandung kenakalan. Tubuhnya yang ramping padat itu amat menggairahkan, dengan lekuk lengkung yang sempurna.

Pakaiannya menunjukkan bahwa ia seorang wanita bangsawan bangsa Kin, dengan hiasan bulu indah pada leher dan pada sepatunya yang terbuat dari kulit berwarna hitam mengkilat berbentuk sepatu tinggi membungkus betis (sepatu boot). Gadis itu melompat turun dan berlari memasuki rumah makan dan tangan kanannya masih memegang sebatang pecut kuda.

“Aku mendengar ada keributan di sini! Siapa yang membikin ribut?” suaranya nyaring dan merdu dan biarpun ia bicara dalam bahasa pribumi Han, namun terdengar lucu karena aksennya asing suku bangsa Kin.

Suami isteri setengah tua dan putera mereka sudah bangkit berdiri sambil menyeringai kesakitan, dan mereka bertiga yang melihat wanita itu datang dengan sikap demikian anggun dan berwibawa, mereka bertiga hanya dapat menuding ke arah gadis yang masih duduk ketakutan, apalagi dua orang pemuda yang duduk di kanan kirinya itu dengan kurang ajar menowel-nowel dan meraba-raba dengan tangan mereka.

Gadis baju putih itu melihat ke arah yang ditunjuk tiga orang itu dan kini alisnya berkerut melihat gadis yang duduk di antara dua orang pemuda yang jelas sedang berbuat tidak sopan kepadanya, meraba-raba dada dan menowel dagu dan pipi.

“Hemm, kiranya kalian ini dua ekor buaya darat yang membikin ribut di sini?” bentak gadis itu sambil menghampiri meja di mana Bouw Kui, putera kepala daerah, dan Ban Gu, putera kepala pasukan keamanan kota Leng-ciu itu duduk mengapit gadis itu.

Dua orang pemuda itu terkejut mendengar ada suara wanita memaki mereka sebagai buaya darat. Cepat mereka bangkit dan memutar tubuh menoleh dan memandang. Keduanya terbelalak kagum.

“Huihhh! Alangkah cantiknya!” kata Bouw Kui sambil menyeringai kagum.

“Hebat! Seperti bidadari! Toako, engkau sudah punya yang itu, yang ini untukku!” kata Ban Gu.

“Ah, tidak, Gu-te (adik Gu). Biar gadis pemalu dan penakut itu untukmu, aku memilih yang baru datang dan pemberani ini!” kata Bouw Kui.

Pelayan setengah tua itu tahu-tahu sudah berada di dekat meja Thian Liong. “Uhh, mereka mencari penyakit. Mereka pasti akan celaka……!” bisiknya dan Thian Liong menonton dengan ingin tahu sekali.

“Hei, kalian katak buduk! Hayo cepat kalian menjatuhkan diri berlutut dan minta ampun seratus kali, atau, aku akan menyiksa kalian sampai mampus!” bentak gadis itu sambil bertolak pinggang...

Jilid selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.