Kisah Si Naga Langit Jilid 14

Sonny Ogawa

Kisah Si Naga Langit Jilid 14 karya Kho Ping Hoo - Ban Gu yang merasa dimaki-maki itu menjadi marah juga. “Heh, jaga mulutmu, perempuan liar! Tahukah engkau siapa kami? Toako, ini adalah Bouw-kongcu, putera kepala daerah Bouw! Dan aku adalah Ban Gu, putera kepala pasukan keamanan kota ini. Berani engkau memaki kami? Kau bisa kutangkap dan kumasukkan penjara!”

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

“Memaki kalian? Menyiksa dan membunuh kalian pun aku berani,” kata gadis itu dan tiba-tiba cambuk kuda di tangannya menyambar ke depan. Cepat sekali ujung cambuk itu menyambar, seperti kilat menyambar.

“Tar-tarrr....!!” dua kali cambuk itu menyambar dan dua orang pemuda itu mengaduh, kedua tangan mendekap muka mereka yang tampak ada balur memanjang merah dan berdarah! Tentu saja mereka marah sekali. Mereka berdua pernah belajar silat, apalagi Ban Gu yang memiliki ilmu silat yang cukup tangguh dan dia terkenal sebagai pemuda ugal-ugalan yang suka mengandalkan kekuatannya dan terutama kedudukan ayahnya.

“Perempuan gila....!!” Dia membentak dan tangan kanannya sudah mencabut sebatang golok, lalu dia melompat ke depan dan menyerang dengan goloknya.

Bouw Kui juga tidak tinggal diam. Diapun sudah mencabut goloknya dan menerjang ke depan pula. Gadis yang ketakutan itu segera berlari menghampiri orang tuanya dan mereka berempat segera pergi dari situ, keluar dari rumah makan tanpa pamit karena merekapun belum makan apa-apa. Mereka merasa lebih cepat mereka meninggalkan Leng-ciu lebih baik.

“Tar-tar-tar-tarrrr !” Pecut itu meledak-ledak.

Thian Liong memandang kagum. Bukan main gadis itu. Gerakan pecutnya itu bukan gerakan sembarangan, melainkan gerakan tangan yang memiliki tenaga sinkang (tenaga sakti) yang amat kuat sehingga pecut yang hanya terbuat dari bambu itu kini berubah menjadi senjata yang kuat menangkis sambaran golok tanpa menjadi rusak!

“Trang-tranggg...! Dua kali pecut itu meledak lagi, tepat mengenai pergelangan tangan kedua orang pemuda yang memegang golok. Golok itu terlepas dan jatuh berkerontangan di atas lantai. Kini pecut itu menari-nari, meledak-ledak dan tubuh dua orang pemuda menjadi bulan-bulanan pecut.

Dua orang kongcu itu meloncat-loncat seperti dua ekor monyet menari karena tubuh mereka dihujani lecutan cambuk yang merobek-robek pakaian dan kulit tubuh mereka sehingga tubuh mereka itu kini mandi darah! Mereka merasa betapa tubuh mereka nyeri semua perih-perih dan panas, sakit sampai menusuk ke dalam tulang sumsum.

Mereka jatuh terguling dan tanpa malu-malu lagi mereka berlutut dan menyembah-nyembah sambil mengangguk-anggukkan kepala seperti dua ekor ayam makan padi sambil merintih-rintih.

“Aduh... ampun... ampun… jangan bunuh...!!” Keduanya minta-minta ampun.

Gadis itulah yang oleh banyak orang di banyak tempat dijuluki Pek Hong Nio-cu atau Nona Burung Hong Putih! Ia menghentikan cambukannya, hidungnya mendengus dan ia segera berkata kepada Ban Gu.

“He, kamu tikus she Ban! Cepat engkau panggil Kepala Daerah Bouw dan Kepala Pasukan Keamanan datang ke sini. Cepat dan tikus she Bouw ini biar berlutut terus di sini sampai kamu kembali bersama dua tikus yang kupanggil itu!”

Mendengar ini, Ban Gu diam-diam merasa girang sekali, akan memanggil ayahnya dan Bouw-taijin, baru tahu rasa engkau, perempuan iblis, pikirya. Dia mengangguk, lalu bangkit berdiri dan berlari dengan terhuyung-huyung karena tubuhnya terasa nyeri semua, seperti disayat-sayat rasa seluruh tubuhnya.

Banyak orang kini menonton peristiwa itu. Akan tetapi tentu saja mereka tidak berani mendekat, hanya menonton dari jarak agak jauh sehingga rumah makan itu tampak sepi ditinggalkan orang. Bahkan mereka yang melalui jalan di depan rumah makan itu tidak berani lewat.

Semua orang berbisik-bisik dan merasa tegang karena kalau sang pembesar yang merupakan raja dan panglimanya itu muncul bersama pasukannya, tentu gadis itu akan celaka. Akan tetapi mereka yang sudah pernah melihat sepak terjang Burung Hong Putih, diam-diam merasa gembira sekali dan tahu bahwa mereka akan memperoleh tontonan yang menyegarkan hati mereka yang selama ini banyak mengalami penindasan itu.

Tak Iama kemudian, datanglah rombongan dua orang pembesar itu. Agaknya karena tergesa-gesa dan agar mereka cepat tiba di tempat itu, kedua orang pembesar itu naik sebuah kereta dan di belakang kereta terdapat duapuluh orang lebih perajurit penjaga keamanan yang biasanya suka dipergunakan untuk melakukan “pembersihan” kepada rakyat jelata untuk memaksa mereka membayar pajak atau melakukan apa saja yang dikehendaki kepala daerah atau komandan pasukan itu.

Begitu kereta berhenti di depan rumah makan, Ban Gu yang tidak sempat berganti pakaian, masih berpakaian koyak-koyak dan tubuh berlumuran darah, turun diikuti oleh ayahnya yang bertubuh tinggi besar berperut gendut sekali, berpakaian sebagai seorang perwira yang serba gemerlapan dan gagah. Wajah Ban Ho Tung, kepala pasukan keamanan ini, penuh brewok sehingga tampak menyeramkan, dan wajah itu sudah membayangkan bahwa dia biasa bersikap keras dan galak.

Orang kedua, usianya sebaya dengan Ban Ho Tung, adalah Bouw Ti, kepala daerah Leng-ciu yang berpakaian sebagai seorang bangsawan, tubuhnya tinggi kurus, kumisnya seperti tikus dan sikapnya angkuh dan sombong sekali, jalannya saja dibuat-buat segagah mungkin, namun malah tampak lucu karena tubuhnya yang kerempeng seperti seorang pemadat berat itu.

“Mana ia perempuan iblis, penjahat dan pemberontak itu?” tanya Ban-ciangkun (Perwira Ban) kepada puteranya, sikapnya petentang-petenteng (membusungkan dada menantang).

“Ia tadi berada di dalam rumah makan ini, ayah,” kata Ban Gu sambil menuding ke dalam.

“Siapa mencari aku?” terdengar bentakan nyaring merdu dan dari dalam rumah makan itu melangkah keluar gadis berpakaian putih itu. Tangan kanannya memegang pecut dan ujung pecut melingkar di leher Bouw Kui yang diseret sehingga pemuda itu berjalan dengan kaki tangannya seperti seekor anjing.

“Tikus kecil Ban, kamu ke sini. Berlutut!” Gadis itu membentak sambil menudingkan telunjuk kirinya kepada Ban Gu.

Pemuda ini memang merasa sakit hati dan marah sekali. Dia kini tidak merasa takut lagi. Bukankah ada ayahnya dan ada Bouw-taijin beserta duapuluh lebih perajurit di belakangnya? “Perempuan iblis, engkau akan tahu rasa nanti…”

“Wuuuttt.... tarrrr...!” Pecut itu sudah melayang dan tepat membelit kaki Ban Gu, kemudian sekali tarik tubuh Ban Gu terseret ke depan kaki gadis itu dalam keadaan berlutut!

Ban Gu menjadi pucat dan dia berteriak-teriak. “Tolooonggg.... ayah, toloonggg...!”

“Hemm, kalian ini dua orang pemuda brengsek, mengandalkan kedudukan orang tua untuk menghina wanita-wanita. Kalian sudah sepantasnya dihajar!” Setelah berkata demikian, kembali ia menggerakkan cambuknya dua kali.

“Tarrrr!! Tarrr!!”

Dua orang itu menjerit dan tangan mereka mendekap pinggir kepala yang berdarah-darah karena daun telinga kanan mereka telah putus terpenggal ujung cambuk dan kini dua potong daun telinga itu menggeletak di atas tanah! Keduanya lalu merangkak melarikan diri ke arah orang tua mereka.

“Perempuan jahat! Berani engkau menyiksa dan menghina putera kami? Kami adalah kepala daerah di Leng-ciu ini!”

“Keparat! Dan aku adalah kepala pasukan keamanan di Leng-ciu. Engkau telah berani menghina kami, berarti engkau sudah bosan hidup!” bentak pula Ban Ho Tung sambil mencabut pedangnya lalu dia memberi isyarat kepada duapuluh empat orang anak buahnya untuk menangkap atau mengeroyok gadis berpakaian putih itu. Para perajurit yang sudah turun dari kuda masing-masing maju mengepung.

Gadis itu mengeluarkan suara melengking seperti suara burung dan tiba-tiba tangannya sudah melolos ikat pinggang, yang berupa sabuk sutera merah. Ketika para perajurit menyerbu, ia bergerak bagaikan seekor burung cepatnya. Tubuhnya melesat dan seolah lenyap, merupakan bayangan yang berkelebatan di antara gulungan sinar merah yang menyambar-nyambar.

Terdengarlah teriakan-teriakan mengaduh dan para perajurit itu roboh berpelantingan ketika mereka disambar sinar merah dari sabuk sutera merah yang digerakkan secara amat lihai itu. Diam-diam Thian Liong yang keluar dan ikut nonton perkelahian itu merasa kagum sekali.

Tingkat kepandaian silat gadis ini, biarpun gerakannya aneh dan asing, namun dibandingkan tingkat ilmu silat yang dimiliki gadis maling berpakaian merah muda atau tingkat Ang Hwa Sian-li Thio Siang In, agaknya tidak kalah atau sukar ditentukan siapa yang paling lihai di antara mereka!

Setelah merobohkan duapuluh empat orang perajurit itu, Si Burung Hong Putih melihat betapa dua orang pembesar itu ketakutan dan hendak melarikan diri. Akan tetapi ia melompat mengejar, dan sinar merah sabuk suteranya meluncur ke depan. Tahu-tahu leher kedua orang itu telah terbelit ujung sabuk yang ternyata menjadi panjang sekali dan sekali tarik, dua orang itu roboh terguling-guling ke arah kakinya!

Dua orang itu bangkit berdiri dengan leher masih terbelit ujung sabuk merah. Pembesar Bouw yang berwatak angkuh dan sombong, biarpun ketakutan setengah mati melihat puteranya terpotong daun telinga kanannya dan semua perajurit pengawalnya dihajar sampai berjatuhan, namun masih mencoba untuk menggertak gadis itu.

“Nona, engkau telah berdosa besar sekali! Pasukan kerajaan akan datang, menangkapmu sebagai seorang pemberontak yang jahat!”

“Srattt...!” Gadis itu menggerakkan tangan kirinya dan ia telah mencabut sebatang pedang bengkok diukir gambar seekor naga, mengkilap saking tajamnya dan ukiran naga itu terbuat dari emas! “Kalian ingin kupenggal leher kalian dengan ini?”

Ketika Bouw Ti dan Ban Ho Tung melihat pedang bengkok yang diukir gambar naga dari emas itu, seketika mata mereka terbelalak dan wajah mereka menjadi pucat, tubuh mereka gemetar dan kedua kaki menggigil. Mereka lalu menjatuhkan diri berlutut di depan gadis itu, membentur-benturkan dahi di tanah sambil berkata dengan suara penuh ketakutan.

“Ampun beribu ampun, hamba sama sekali tidak tahu bahwa paduka yang mulia adalah....”

“Tidak perduli aku siapa! Apakah kalian berdua mengakui dosa-dosa kalian?” bentak gadis itu sambil mengancam dengan pedang bengkoknya dan melepaskan sabuk sutera merahnya dari leher mereka.

“Hamba.... hamba.... tidak tahu kesalahan dan dosa apakah yang telah hamba perbuat, yang mulia....”

Bouw Ti meratap dan melihat sikap dua orang pejabat itu yang berlutut lalu menyebut yang mulia kepada nona itu, Bouw Kui dan Ban Gu yang masih kesakitan terkejut dan ketakutan, lalu ikut berlutut mendekam di atas tanah, tidak berani bergerak, bahkan menahan napas agar tubuh mereka tidak membuat gerakan.

Demikian pula para perajurit pengawal, mereka juga ketakutan dan berlutut di atas tanah. Ada pula di antara mereka yang sudah lama menjadi perajurit mengenal pedang bengkok dengan ukiran naga emas itu. Itu adalah pedang tanda kekuasaan yang diberikan oleh Sribaginda Kaisar sendiri. Pemegang pedang itu boleh menghukum dan membunuh pembesar mana saja tanpa lebih dulu minta ijin dari Kaisar!

“Hemm, orang she Bouw dan orang she Ban. Kalian berdua adalah orang-orang pribumi yang dipercaya oleh Sribaginda, diberi kedudukan dan kekuasaan untuk mengatur rakyat di daerah kalian, menjaga keamanan dan mengusahakan kesejahteraan dan ketenteraman bagi rakyat. Akan tetapi ternyata kalian menindas rakyat, bangsamu sendiri, dan membiarkan anak-anak kalian menjadi pemuda berandalan yang jahat dan kejam. Dan sekarang kalian masih bertanya dosa apa yang kalian lakukan? Hayo jawab!”

Dua orang pembesar itu menjadi semakin ketakutan. “Hamba layak dihukum.... akan tetapi hamba mohon beribu ampun dan hamba berdua berjanji tidak akan melakukan penindasan lagi, akan melaksanakan tugas kewajiban hamba sebaik-baiknya.”

“Hemm, benarkah itu? Kalian akan berusaha agar kehidupan rakyat di daerah ini menjadi sejahtera dan makmur? Kalian akan bertindak seadil-adilnya?”

“Hamba bersumpah!” Dua orang pembesar itu menjawab dengan berbareng.

“Baik, sekarang disaksikan oleh semua orang yang melihat kejadian ini dari jauh itu,” ia menuding ke arah banyak orang yang berdiri di kejauhan, “Biarlah sekarang aku memberi hukuman ringan kepada kalian!”

Berkata demikian, secepat kilat sinar pedang berkelebat dan dua orang pembesar itu mengaduh dan memegangi tangan kiri mereka yang sudah kehilangan jari kelingking masing-masing, terbabat putus oleh pedang yang amat tajam itu.

“Sekarang hanya jari kelingking kiri kalian yang kuambil, lain kali kalau aku masih mendengar atau melihat kalian berlaku sewenang-wenang kepada rakyat, kalian akan kutangkap dan kuseret ke pengadilan kota raja, atau kalau aku tidak sabar, akan kupenggal leher kalian di sini juga!”

“Ampunkan hamba…!” Dua orang itu menyembah-nyembah. Dua orang putera mereka juga menyembah-nyembah ketakutan.

Gadis itu menyarungkan lagi pedangnya dan melibatkan sabuk sutera merah di pinggangnya, lalu menghampiri kudanya, melompat ke punggung kuda dan menjalankan kudanya meninggalkan tempat itu.

Ketika ia melewati orang-orang yang berkerumun nonton dari kejauhan, ada yang berseru, “Hidup Pek Hong Nio-cu….!”

Serentak semua mulut, seperti dikomando, berseru, “Hidup Pek Hong Nio-cu…!!”

Akan tetapi, gadis itu hanya tersenyum dan membedal kudanya meninggalkan kota Leng-ciu. Ia tidak tahu bahwa ada bayangan orang berkelebat dan mengikutinya keluar dari pintu gerbang kota sebelah utara.

Yang dijuluki Pek Hong Nio-cu itu sebetulnya adalah seorang puteri kaisar yang lahir dari seorang selir kaisar yang cantik. Selir ini adalah seorang pribumi (bangsa China aseli yang menyebut dirinya bangsa Han). Biarpun ia hanya puteri seorang selir, namun karena selir itu menjadi kesayangan kaisar Dinasti Kin, maka tentu saja anak perempuan ini juga amat disayang dan dimanja kaisar.

Ia diberi nama Moguhai dan sejak kecil ia memiliki watak yang bengal dan lincah seperti seorang anak laki-laki. Dalam usia lima tahun saja, ia sudah berani menunggang kuda dan membalapnya, berlumba dengan para putera bangsawan, bahkan yang usianya lebih tua dari padanya. Ia suka pula bermain panah-panahan sehingga sejak kecil dapat melepaskan anak panah dengan jitu.

Ketika para putera bangsawan yang sudah berusia sepuluh tahun ke atas mulai berlatih ilmu silat, Puteri Moguhai yang berusia enam tahun juga tidak mau ketinggalan, ikut-ikutan berlatih ilmu silat. Tentu saja guru silatnya tidak berani melarang karena ia puteri kaisar, pula ketika guru-guru silat melihat betapa bocah perempuan ini memiliki bakat yang luar biasa, mereka bahkan bersemangat untuk mengajarkan ilmu silat kepadanya.

Maka tidak mengherankan apabila Puteri Moguhai memperoleh kemajuan pesat dan setelah berusia sepuluh tahun, dalam latihan, ia dapat mengalahkan murid-murid pria yang usianya lebih beberapa tahun dari padanya! Para gurunya tentu saja menjadi girang dan bangga dan mereka seolah berlumba untuk menurunkan ilmu-ilmu simpanan mereka kepada sang puteri, bukan hanya karena senang mempunyai murid demikian cerdiknya, melainkan tentu saja ada pamrih untuk menyenangkan hati sang kaisar!

Ketika Puteri Moguhai berusia sepuluh tahun, pada suatu hari, ketika itu senja telah tiba, ia berjalan-jalan ke dalam taman istana yang luas. Cuaca remang-remang, akan tetapi ia masih dapat menikmati bunga-bunga yang bermekaran karena waktu itu musim semi telah tiba.

Ketika ia mendekati sebuah pondok yang berada di tengah taman itu, pondok kecil tempat peristirahatan keluarga kaisar, ia dari jauh melihat ibunya memasuki pondok itu bersama seorang laki-laki. Jelas tampak olehnya bahwa laki-laki itu bukan kaisar, bukan ayahnya!

Puteri Moguhai baru berusia sepuluh tahun dan belum dapat menduga apa-apa yang melanggar susila. Ia hanya merasa heran sekali, akan tetapi tidak berani mendekati pondok, hanya merunduk-runduk lebih dekat lalu bersembunyi di balik semak-semak di samping pondok untuk mengintai ke arah pintu dengan maksud agar dapat melihat siapa laki-laki itu, kalau nanti keluar dari pondok.

Di atas pondok itu tergantung sebuah lampu sehingga ia akan dapat melihat wajah laki-laki itu nanti. Ia mendekam di situ, hati-hati sekali tidak berani banyak bergerak, bahkan ketika ada nyamuk menggigitnya, ia hanya mengusir nyamuk itu, tidak berani menamparnya.

Sementara itu, yang memasuki pondok itu memang Ibu Puteri Moguhai yang dulu adalah seorang wanita pribumi bernama Tan Siang Lin. Kini ia adalah seorang selir terkasih dari Kaisar Kin. Usianya sekitar duapuluh delapan tahun namun masih tampak cantik jelita dan gerak-geriknya lembut, seperti seorang gadis muda.

Selir kaisar itu memasuki pondok yang diterangi lampu gantung itu bersama seorang pria. Laki-laki itu berpakaian sederhana, tubuhnya sedang namun tegap, wajahnya bersih, tampan dan senyumnya menawan, sikapnya juga lembut dan sinar matanya mencorong. Begitu memasuki pondok dan daun pintunya ditutup, selir kaisar itu lalu mengeluh.

“Sie-koko (Kanda Sie)…!” Dan ia sudah menubruk hendak merangkul pria itu.

Akan tetapi pria itu menyambut dengan memegang dan menahan kedua pundak wanita itu, lalu berkata dengan suara halus namun penuh wibawa. “Tidak, Lin-moi. Jangan lakukan itu. Ingat, engkau adalah isteri seorang pria bahkan seorang kaisar! Aku tidak ingin melihat engkau menjadi seorang isteri yang melakukan hal tidak pantas dan mengkhianati suami. Mari, duduklah, kita bicara baik-baik dan pantas.”

Dia mendorong wanita itu duduk di atas buah kursi, sedangkan dia duduk di kursi depan wanita itu. Tan Siang Lin atau yang kini menjadi selir kaisar itu menggigit bibir dan mengusap beberapa butir air mata yang menetes di atas kedua pipinya.

“Akan tetapi, Sie-ko, aku... aku rindu padamu.... apakah engkau tidak cinta lagi padaku, koko?” Dalam suara itu terkandung kesedihan yang ditahan-tahan.

Laki-laki itu menghela napas panjang. “Lin-moi, justeru karena aku mencintaimu dengan sepenuh hatiku, maka aku tidak ingin melihat engkau menyimpang dari kebenaran. Aku ingin melihat engkau bahagia sebagai seorang isteri kaisar yang dimuliakan, dihormati, dan bersih dari pada noda.”

“Lalu, kenapa engkau datang berkunjung ke taman ini, koko? Padahal kunjunganmu ini berbahaya sekali, kalau sampai ketahuan, pasti nyawamu taruhannya. Apa maksudmu berkunjung ini, kalau bukan karena… rindu padaku seperti juga aku merindukanmu?”

Laki-laki itu tersenyum. “Aku hanya ingin menyaksikan sendiri bahwa engkau hidup bahagia di sini, Lin-moi. Aku mendengar dan kini melihat sendiri bahwa engkau menjadi seorang selir yang dikasihi kaisar, dihormati dan dimuliakan orang, walaupun engkau seorang pribumi Han. Juga aku mendengar tentang.... siapa lagi nama anak itu…?”

“Puteri Moguhai…”

“Ya, nama yang indah, walaupun agak asing terdengarnya. Aku mendengar pula tentang anak itu. Kabarnya ia cerdik sekali dan berbakat baik dalam ilmu silat. Karena itu, kedatanganku ini untuk menyerahkan kitab-kitab ini kepadamu. Kelak, setelah anak itu berusia empat belas tahun dan sudah memiliki dasar ilmu silat yang baik, kau berikan kitab¬kitab ini dan suruh ia melatih sendiri. Sudah kuberi petunjuk-petunjuk jelas dalam kitab-kitab ini. Hanya ini yang dapat kuberikan kepadanya, Lin-moi, dan ini, suruh ia kelak selalu memakai ini dan semoga Tuhan selalu melindunginya.“

Selir kaisar itu menerima tiga buah kitab dan sebuah perhiasan rambut berbentuk burung Hong dari perak dengan mata mirah. Ia menerimanya dengan terharu sekali.

“Sekarang aku harus pergi, Lin-moi. Hati-hatilah engkau menjaga diri dan hati-hati pula mendidik dan menjaga puterimu.” Pria itu bangkit berdiri dan hendak melangkah ke pintu.

“Nanti dulu, koko. Masih ada satu hal yang ingin kuceritakan padamu... ini... merupakan rahasia pribadiku... dan hanya engkau saja yang boleh mendengarnya.”

Pria itu duduk kembali dan menatap wajah Tan Siang Lin dengan sinar mata mencorong. “Apakah itu, Lin-moi?”

“Ketika aku melahirkan... sebetulnya anakku itu terlahir kembar, keduanya perempuan...”

Pria itu membelalakkan kedua matanya. “Kembar? Dan... yang seorang lagi…?”

“Ketika aku melahirkan, yang membantu adalah seorang wanita tua yang menjadi bidan, dan ditemani seorang sahabat baikku. Ia seorang janda pangeran, suaminya sudah mati dan ia tidak mau menikah lagi, padahal ia masih muda, sebaya dengan aku. Kami menjadi sahabat yang akrab sekali, bahkan telah bersumpah mengangkat saudara. Ia seorang puteri kepala suku bangsa Uigur, namanya Miyana.

"Ketika melihat aku melahirkan bayi perempuan kembar, Miyana menangis dan mengatakan kepadaku bahwa kaisar adalah seorang yang percaya bahwa anak kembar wanita akan membawa malapetaka maka besar kemungkinan anak kembarku akan dibunuh!

"Maka, atas usul Miyana, anak yang satunya lagi ia selundupkan keluar dari kamarku sehingga aku dianggap melahirkan seorang anak perempuan saja, yaitu Moguhai itulah. Bidan tua itupun dipesan menyimpan rahasia, akan tetapi beberapa hari kemudian ia mati karena sakit mendadak. Aku menduga bahwa itu perbuatan Miyana yang takut kalau-kalau bidan itu membuka rahasia.”

Pria itu mengangguk-angguk. “Hemm, lalu... anak yang satunya lagi itu?”

“Tak lama kemudian Miyana yang sudah janda, pulang kepada orang tuanya, kepada ayahnya yang menjadi kepala suku Uigur. Tentu saja anak itu diam-diam dibawanya dan sampai sekarang aku tidak pernah lagi, mendengar tentang ia dan anak itu. Nah, itu, koko, dan hanya engkau seorang yang mengetahui.”

Pria itu menghela napas panjang. “Aih, sungguh nasib mempermainkan keturunan kita, Lin-moi. Inikah hukuman akibat dosa kita berdua? Nah, terima kasih atas semua ceritamu, Lin-moi dan jangan lupa berikan kitab-kitab itu kepada Moguhai. Sekarang aku pergi.”

Pria itu melangkah keluar, diikuti oleh selir kaisar itu. Moguhai yang mengintai di luar melihat mereka keluar dan ia menatap wajah pria itu dengan penuh perhatian. Ia melihat mereka berdiri berhadapan di luar pintu, lalu pria itu memegang pundak ibunya dan berkata dengan suara lirih, “Nah, selamat tinggal, Lin-moi, semoga engkau hidup berbahagia. Selamat tinggal!”

“Selamat jalan, Sie-koko... jaga dirimu baik-baik!” kata ibunya dengan suara mengandung isak.

Tiba-tiba pria itu mengerakkan kedua kakinya, sekali berkelebat dia telah lenyap dari situ. Moguhai terbelalak! Setankah yang dilihatnya tadi? Kalau manusia, mana mungkin menghilang begitu saja? Ibunya bergaul dengan setan yang disebutnya Sie-koko? Saking tidak dapat menahan keheranannya, gadis cilik itu lalu lari menghampri ibunya. “Ibu……!”

“Eh, engkau Moguhai? Dari mana engkau......?” Ibunya bertanya kaget, sama sekali tidak mengira anaknya muncul begitu tiba-tiba. Jangan-jangan anak itu telah melihat.

“Ibu, apakah ibu mempunyai sahabat setan?”

“Ehh? Setan......?”

“Aku tadi melihat ibu dengan seorang laki-laki yang ibu sebut Sie-koko, akan tetapi dia menghilang seperti setan!”

Siang Lin segera merangkul anaknya dan diajaknya masuk ke dalam pondok itu. Dia memeluk dan berkata dengan nada suara serius. “Anakku, dia itu bukan setan, melainkan seorang pendekar yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Dia seorang sakti, Moguhai dan dia... dia itu dahulu menjadi sahabat baik ibumu. Lihat, dia meninggalkan kitab-kitab dan perhiasan rambut ini untukmu. Kalau kelak engkau mempelajari tiga buah kitab ini, berarti dia itu juga gurumu, Moguhai. Akan tetapi ingat, anakku, jangan katakan tentang dia itu kepada siapapun juga. Kalau sampai diketahui Kaisar, ibumu ini tentu akan dihukum mati, dan mungkin engkau juga tidak akan terluput dari hukuman.”

“Akan tetapi kenapa, ibu? Ayahanda Kaisar tentu tidak akan marah mendengar aku mendapatkan seorang guru yang sakti.”

“Engkau tidak mengerti, anakku. Dia itu seorang pendekar bangsa Han, tentu ayahmu akan menaruh curiga dan mengira dia itu mata-mata dari kerajaan Sung yang akan menyelidiki istana. Karena itu, demi keselamatan kita sendiri, jangan katakan kepada siapapun juga. Engkau berjanji?”

Moguhai mengangguk-angguk. “Baik, ibu.”

Demikianlah, Moguhai hanya tahu dari ibunya bahwa laki-laki, yang memberi kitab kepadanya itu adalah “Paman Sie” dan ia tidak pernah bertemu lagi dengannya. Tiga kitab itu merupakan kitab-kitab pelajaran ilmu silat yang ampuh dan tinggi. Yang pertama mengajarkan cara berlatih untuk menghimpun sin-kang (tenaga sakti) sehingga ia selain memiliki tenaga dalam yang hebat, juga dapat mengerahkan tenaga sakti, untuk membuat dirinya ringan dan dapat bergerak cepat seperti terbang.

Kitab kedua berisi pelajaran ilmu silat yang menggunakan senjata sabuk dan ilmu ini dilatih Moguhai dengan sehelai sabuk sutera panjang merah. Adapun kitab ketiga berisi pelajaran ilmu pedang yang aneh akan tetapi hebat sekali. Itulah ilmu pedang Sin-coa-kiamsut (Ilmu Pedang Ular Sakti) yang dimainkan dengan pedang bengkoknya, pedang khas bangsa Kin sehingga kini.

Setelah berusia sembilan belas tahun, Moguhai menjadi seorang gadis yang lihai bukan main sehingga ia mendapat julukan Pek Hong Nio-cu atau Nona Burung Hong Putih karena perhiasan rambutnya juga berupa burung Hong perak bermata mirah!

Pek Hong Nio-cu atau Puteri Moguhai meninggalkan kota Leng-ciu menunggang kudanya. Biarpun ia puteri Kaisar, namun ia berjiwa pendekar. Hal ini berkat ibunya yang sering menceritakan tentang sepak terjang para pendekar persilatan yang selalu berjuang untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, selalu menentang kejahatan, melawan para penindas dan membela rakyat kecil yang tertindas.

Karena itulah, ia seringkali meninggalkan istana dan merantau ke daerah-daerah. Setiap bertemu kejahatan, ia pasti menantang yang jahat dan memberi hajaran keras. Banyak pembesar yang korup menerima hajaran keras darinya dan banyak gerombolan penjahat dibasminya.

Kaisar yang mendengar akan sepak terjang puterinya ini, merasa kagum dan bangga, maka lalu menghadiahkan pedang bengkok berukir naga emas yang menjadi tanda kuasaan besar. Semua pembesar maklum bahwa pemilik pedang naga emas itu berkuasa seperti kaisar sendiri, boleh menghukum atau membunuh siapa saja tanpa ijin kaisar!

Ketika Pek Hong Nio-cu menjalankan kudanya dengan santai keluar kota Leng-ciu, tiba-tiba ada bayangan berkelebat dari belakangnya dan tahu-tahu di tengah jalan berdiri seorang pemuda. Jalan itu sepi, tidak ada orang lain kecuali mereka berdua. Pemuda itu berdiri tegak di tengah jalan, jelas menghadang perjalanan kudanya.

Pek Hong Nio-cu mengerutkan alisnya. Ia memperhatikan seorang pemuda biasa saja, menggendong buntalan seperti orang-orang yang melakukan perjalanan jauh, pakaiannya sederhana dan wajah pemuda itupun biasa saja walaupun dapat dibilang tampan namun tidak ada yang terlalu menonjol atau mencolok. Seorang pemuda dusun biasa!

“Hei, minggir kamu! Apa tidak melihat kudaku hendak lewat? Apa ingin tertubruk kuda!” tegurnya.

Pemuda itu adalah Thian Liong. Dengan tenang dia lalu mengangkat kedua tangannya ke depan dada sambil membungkuk sedikit sebagai penghormatan. “Maafkan aku, Pek Hong Nio-cu......”

“Eh! Dari mana engkau mengenal nama julukanku?” Pek Hong Nio-cu menegur, agak kesal karena perjalanannya terganggu.

“Aku mendengar dari orang-orang yang menyaksikan engkau menghajar orang pembesar brengsek di kota Leng-ciu tadi! Sungguh hebat sekali perbuatanmu tadi, nona. Aku merasa kagum sekali kepadamu!”

“Hemm, aku tidak butuh pujianmu!” bentak Pek Hong Nio-cu karena sudah sering ia mendengar laki-laki memujinya yang sebetulnya hanya merupakan rayuan untuk menyenangkan hatinya. Ia sudah mendapatkan kenyataan bahwa semua adalah perayu-perayu gombal kalau sudah berhadapan dengan wanita cantik!

“Aku tidak memuji kosong, nona, melainkan bicara sebenarnya!”

“Sudahlah, aku tidak mau mendengar ocehanmu. Apa maksudmu menghadang perjalananku? Minggir, atau kutabrak engkau!”

“Maaf, Pek Hong Nio-cu. Tadi, ketika melihat engkau beraksi, aku mengira bahwa engkau adalah seorang gadis yang pernah kukenal, gadis yang mencuri pusakaku.”

“Tikus busuk!” Pek Hong Nio-cu yang pada dasarnya berwatak keras dan galak itu sudah melompat turun dari punggung kudanya. Agar kuda itu tidak melarikan diri, ia mengikatkan kendali kuda pada sebatang pohon di tepi jalan dan cepat ia kini berdiri menghadapi Thian Liong dengan sikap menantang. “Kurang ajar, berani engkau mengira aku sebagai pencuri?”

Thian Liong kini memandang dengan mata terbelalak. Bukan, gadis ini bukanlah gadis berpakaian merah, pencuri kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat milik Kun-lun-pai itu. Hanya bentuk tubuhnya saja yang sama, juga sama-sama cantik jelita.

Setelah Pek Hong Nio-cu turun dari kuda dan Thian Liong memandang wajahnya dengan penuh perhatian, dia terbelalak. Wajah yang bulat itu, pandang mata tajam dan senyum mengejek itu, dan terutama tahi lalat di ujung bibir kanan itu! Tak salah lagi! Siapa, lagi kalau bukan Ang Hwa Sian-li Thio Siang In?

Memang benar, Ang Hwa Sian-li berpakaian serba hijau, akan tetapi pakaian mudah saja diganti, dari yang berwarna hijau kini menjadi yang berwarna putih. Tahi lalat itu, tak salah lagi! Thian Liong tertawa dan melangkah maju lalu menudingkan telunjuknya ke arah hidung gadis itu. “Hei! Bukankah engkau Thio Siang In?”

“Ngawur! Siapa itu Thio Siang In?” Pek Hong Nio-cu membentak kehilangan kesabaran karena menganggap pemuda itu main-main.

“Aih, In-moi (adik In), masa engkau sudah lupa kepadaku? Atau pura-pura lupa? Aku Souw Thian Liong! Jangan marah kepadaku dan lupakanlah hal yang lalu. Kitab itu sudah kukembalikan yang berhak, yaitu Siauw-lim-pai yang menjadi pemilik sah. Maafkan kalau dulu aku tidak dapat meminjamkannya kepadamu, In-moi.”

“Ngaco! jangan kira engkau dapat main-main dan kurang ajar kepadaku. Sambut ini!” Bentak Pek Hong Nio-cu ia sudah menerjang dengan pukulan kilat ke arah ulu hati Thian Liong.

Melihat pukulan yang cepat dan kuat sekali itu, Thian Liong cepat mengelak mundur. “In-moi, aku tidak main-main, dan aku tidak ingin berkelahi denganmu.”

Akan tetapi Pek Hong Nio-cu, malah menyerang semakin ganas dan gencar. Serangan-serangan gadis itu sungguh tak boleh dipandang ringan karena pukulannya mengandung tenaga sakti yang amat kuat.

Thian Liong menjadi terkejut dan timbul kegembiraannya untuk menguji kembali kepandaian gadis ini yang dulu pernah dia kalahkan. Siapa tahu Siang In sudah mempelajari ilmu-ilmu baru yang lebih lihai. Maka dia cepat mengelak dan membalas serangan lawan dengan tamparan-tamparannya yang kuat.

Pek Hong Nio-cu yang kini merasa terkejut dan heran. Pemuda yang disangkanya pemuda dusun biasa itu ternyata lihai bukan main. Tidak saja dapat menghindarkan serangannya yang cepat dan bertubi, bahkan mampu membalas dengan tamparan yang mengandung tenaga sakti yang kuat.

Pek Hong Nio-cu menjadi penasaran sekali lalu mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya dan menyerang dengan dorongan telapak tangannya. Thian Liong ingin mengukur tenaga gadis itu maka diapun menyambut dengan tangkisan sambil mengerahkan sinkangnya pula.

“Wuuuttt... dukkk!” Tubuh Pek Hong Nio-cu terdorong kebelakang sampai lima langkah! Ia terbelalak dan menjadi marah karena melihat pemuda itu hanya mundur selangkah saja. Dalam adu tenaga sakti ini jelas bahwa ia kalah kuat.

“Srettt......!!” Tampak gulungan sinar merah berkelebat dan setelah sinar itu bergulung-gulung, lalu sinar itu mencuat dan menyambar ke arah kepala Thian Liong. Itulah senjata sabuk merah yang telah diloloskan Pek Hong Nio-cu dari pinggangnya.

“Hyaattt…!” Sinar merah itu menyambar cepat sekali, akan tetapi Thian Liong yang maklum akan berbahayanya senjata sabuk sutera merah itu, sudah cepat merendahkan dirinya sehingga sabuk itu lewat di atas kepalanya. Begitu sinar itu lewat di atas kepala, tangan Thian Liong menyambar dan ujung sabuk sudah dapat dipegangnya!

Pek Hong Nio-cu terkejut. Ia mencoba untuk menarik sabuknya, namun tetap saja ujung sabuk berada di tangan Thian Liong, tak dapat terlepas dari pegangannya. Pek Hong Nio-cu marah sekali cepat ia maju dan mengirim tendangan berantai ke arah tubuh Thian Liong.

Pemuda ini menggunakan tangan kanannya yang bebas untuk menangkis tendangan-tendangan itu sehingga gadis itu merasa kakinya nyeri bertemu dengan tangan Thian Liong. Ia membetot sekuat tenaga. Thian Liong khawatir kalau-kalau sabuk sutera merah itu putus.

Dia tidak mau merusak senjata lawan, maka tiba-tiba dia melepaskan pegangannya dan otomatis tubuh Pek Hong Nio-cu terjengkang ke belakang. Thian Liong terkejut karena gadis itu tentu akan terbanting jatuh.

Akan tetapi ternyata tidak. Tubuh yang padat langsing itu membuat pok-sai (jungkir balik) ke belakang sampai lima kali dengan indahnya dan tidak terbanting sama sekali, dan kembali berdiri dengan tegak, bahkan sabuk sutera itu telah dilibatkan kembali ke pinggangnya. Agaknya sambil berjungkir balik tadi ia masih sempat menyimpan kembali sabuknya.

“Hebat!” Thian Liong memuji kagum.

Gadis itu memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang bagus. Akan tetapi yang dia puji malah semakin marah. Pek Hong Nio-cu menganggap pujian Thian Liong itu sebagai ejekan dan kini begitu tangan kanannya bergerak, ia sudah mengeluarkan pedang bengkoknya yang mengeluarkan cahaya berkilauan saking tajamnya!

“Manusia sombong!” bentak gadis itu, kemarahannya memuncak karena dua kali ia telah kalah, pertama dalam ilmu silat tangan kosong, bahkan kedua kalinya, ia yang bersenjatakan sabuk sutera merah tidak mampu mengalahkan pemuda yang bertangan kosong itu. “Kalau memang engkau gagah, cabut pedangmu dan lawan pedangku ini!”

Thian Liong mulai menyesal mengapa dia jadi menimbulkan permusuhan yang berlarut-larut dengan gadis yang galak, lihai dan jelas berjiwa pendekar yang tadi menentang pembesar-pembesar jahat sewenang-wenang itu. Dan diapun mulai curiga. Dia sama sekali tidak merasa salah lihat.

Gadis ini jelas Thio Siang In yang berjuluk Ang Hwa Sian-li yang rambutnya dihias mawar merah dan pakaiannya serba hijau. Akan tetapi selain tanda-tanda itu, juga Ang Hwa Sian-li bersenjata sepasang pedang. Akan tetapi gadis ini, yang wajahnya serupa benar, pakaiannya serba putih, bersenjata sabuk sutera merah, dan pedangnya bukan sepasang pedang melainkan sebatang pedang bengkok!

Selain itu, ketika tadi bertanding, dia melihat ilmu silat mereka juga sama sekali berbeda. Ilmu silat yang dimainkan Thio Siang In memiliki dasar ilmu silat dari daerah barat, bahkan ganas dan keji seperti yang biasa dipergunakan orang-orang golongan sesat. Akan tetapi sebaliknya ilmu silat yang dimainkan Pek Hong Nio-cu ini memiliki dasar yang bersih. Ternyata ilmu silat antara kedua orang gadis itu sama sekali berbeda, walaupun tingkatnya kira-kira hampir sama.

Setelah mempertimbangkan semua ini, dia lalu menjura dengan hormat. “Maafkan aku, nona, kalau aku telah salah mengenal orang. Biarpun nona serupa benar, bahkan persis, seorang gadis bernama Thio Siang In yang berjuluk Ang Hwa Sian-li, namun senjata dan ilmu silat nona sama sekali berlainan. Karena itu aku mulai yakin bahwa aku telah salah mengenal orang. Karena itu, harap engkau suka maafkan aku karena aku tidak bermaksud buruk terhadap dirimu.”

Pek Hong Nio-cu memandang dengan sinar mata mencorong. Mulutnya merengut dan kembali jantung Thian Liong berdebar. Kalau cemberut marah seperti itu, sungguh persis sekali gadis ini dengan Thio Siang In. Ang Hwa Sian-li, Thio Siang In dulu juga cemberut seperti ini ketika dia marah kepadanya!

“Engkau sudah memamerkan kepandaian mengalahkan aku dua kali dan masih bilang tidak berniat buruk terhadap aku? Hayo cabut pedangmu dan jangan kepalang kalau hendak mengujiku. Sebelum engkau dapat mengalahkan pedangku ini, aku masih belum mengaku kalah!”

“Nona, sungguh aku tidak ingin bermusuhan denganmu. Aku Souw Thian Liong mengaku bersalah dan mohon maaf,” kembali pemuda itu berkata.

“Hemm, aku tahu, engkau tentu Si Naga Langit yang selama ini disohorkan orang maka engkau menjadi begini sombong! Kalau engkau tidak mau mencabut pedangmu, terpaksa aku akan menyerangmu juga! Lihat pedang!”

Pek Hong Nio-cu sudah menerjang dengan pedang bengkoknya dan begitu menyerang, ia sudah mengeluarkan jurus yang lihai dari ilmu pedang Sin-coa Kiamsut, yaitu jurus Sin-coa-jut-thong (Ular Sakti Keluar Guha) dan pedangnya berubah menjadi sinar terang meluncur ke arah dada Thian Liong!

Thian Liong terkejut. Tadi, serangan tangan kosong dan sabuk sutera merah gadis itu baginya masih belum merupakan serangan terlalu berbahaya. Akan tetapi serangan pedang bengkok ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Maka, dia cepat melompat ke belakang sambil mencabut Thian-liong-kiam.

Melihat pemuda itu sudah mencabut pedangnya, Pek Hong Nio-cu menyerang lagi, lebih ganas dari pada tadi. Pedangnya membuat gerakan seperti seekor ular dan tahu-tahu pedang itu “mematuk” dari samping. Serangannya tak terduga-duga dan gerakannya selain cepat juga aneh. Beberapa kali Thian Liong mengandalkan gin-kang untuk mengelak dan berlompatan ke sana-sini.

Akan tetapi bayangan tubuhnya dikejar terus oleh gulungan sinar mengkilat pedang bengkok itu. Ketika pedang bengkok itu menyambar ke arah lehernya dengan bacokan dari samping, terpaksa Thian Liong menangkis dengan pedangnya.

“Tranggggg…!” Bunga api berpijar terang ketika dua batang pedang bertemu. Thian-liong-kiam adalah sebatang pusaka ampuh, akan tetapi ternyata pedang bengkok pemberian kaisar itupun ampuh sekali sehingga tidak menjadi rusak. Akan tetapi Pek Hong Nio-cu merasa betapa tangannya yang memegang pedang gemetar dan terguncang hebat.

Kembali ia terkejut dan diam-diam ia harus mengakui bahwa lawannya yang berjuluk Si Naga Langit itu benar-benar lihai sekali. Akan tetapi dasar ia seorang gadis yang keras kepala, ia tidak mau mengaku kalah dan menyerang terus dengan mengeluarkan semua kemampuannya.

Thian Liong mengimbangi permainan pedang gadis itu. Dia mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang gadis itu benar-benar merupakan ilmu pedang tingkat tinggi yang hebat sekali. Hanya sayang, agaknya gadis ini belum menguasai benar ilmu pedang itu, belum matang permainannya. Andaikata gadis itu sudah menguasai sepenuhnya, Thian Liong maklum bahwa pedangnya itu akan merupakan bahaya besar bagi lawannya.

Memang sesungguhnya demikian. Pek Hong Nio-cu atau yang nama aselinya Puteri Moguhai ini menerima ilmu pedang itu dari “pamannya”, yaitu yang oleh ibunya disebut sahabat she Sie, yang memberikan tiga kitab ilmu silat kepadanya, juga hiasan rambut burung Hong Perak.

Sayang ia hendak menyembunyikan ilmu pemberian “Paman Sie” itu dari orang lain, terpaksa melatihnya sendiri secara diam-diam, tidak di bawah pimpinan seorang ahli sehingga ia tidak dapat menguasai ilmu itu sepenuhnya.

Thian Liong mengimbangi permainan pedang gadis itu. Dia tidak ingin membuat gadis itu sakit hati, tidak mau mengalahkan secara mutlak, apa lagi melukainya. Maka setelah bertanding ramai selama tigapuluh jurus, tiba-tiba Thian Liong mengerahkan sin-kangnya, membuat pedang lawan melekat pada pedangnya. Pek Hong Nio-cu terkejut dan mencoba membetot lepas pedangnya, namun tanpa hasil, dan tiba-tiba Thian Liong membentak.

“Lepas!” Dia menggerakkan pedangnya dengan sentakan dan Pek Hong Nio-cu tidak dapat mempertahankan pedangnya lagi. Pedang itu seperti direnggut lepas dari tangannya, lalu melayang ke atas. Akan tetapi Thian Liong sengaja melompat ke belakang sehingga ketika pedang meluncur turun, Pek Hong Nio-cu dapat menangkapnya dengan tangan kanannya. Wajahnya berubah merah sekali dan ia menyimpan lagi pedangnya di sarung pedangnya.

Thian Liong cepat menghampiri dan dia menjura dengan kedua tangan dirangkap di depan dada dan membungkuk hormat. “Harap engkau suka maafkan aku, nona. Sesungguhnya aku tidak bermaksud untuk bertanding denganmu dan aku tadi tidak berbohong ketika mengatakan bahwa engkau sungguh serupa benar dengan seorang pendekar wanita bernama Thio Siang In yang berjuluk Ang Hwa Sian-li, karena itu, maafkan kesalahanku mengenal orang, nona.”

Sikap yang sopan dari Thian Liong sedikitnya menurunkan kadar kemarahan dan rasa penasaran di hati Pek Hong Nio-cu. Ia memandang pemuda itu dengan penuh perhatian, diam-diam merasa kagum karena pemuda itu benar-benar telah mengalahkannya. Begitu sederhana dan rendah hati, akan tetapi sesungguhnya memiliki ilmu silat yang amat tinggi.

“Hemm, engkau tentu hendak mengatakan bahwa ilmu kepandaian gadis pendekar sahabatmu itu jauh lebih tinggi daripada kepandaianku, bukan?” kata Pek Hong Nio-cu dengan suara mengandung kepahitan.

“Ah, tidak sama sekali, nona! Tingkat kepandaian kalian berimbang, bahkan, aku mau berterus terang, kalau ilmu pedangmu tadi sudah kaukuasai sepenuhnya dan kaulatih dengan sempurna, jangankan Ang Hwa Sian-li, bahkan aku sendiri belum tentu dapat menang melawanmu.”

Pek Hong Nio-cu mulai tertarik, selama beberapa bulan ini ia sudah mendengar akan ketenaran nama Si Naga Langit yang disohorkan sebagai seorang pendekar yang selalu menentang kejahatan. Akan tetapi biasanya, begitu yang ia dengar, para pendekar itu selain menjadi pembela kebenaran dan keadilan, juga bersikap memusuhi pemerintahan Kerajaan Kin.

Sebagai seorang yang berjiwa pendekar, Pek Hong Nio-cu tentu saja merasa cocok dengan sepak terjang para pendekar itu yang selalu menentang kejahatan. Akan tetapi sebagai seorang puteri Kaisar Kerajaan Kin, sebagai bangsa Nuchen yang mendirikan wangsa Kin, tentu saja ia merasa tidak senang kalau para pendekar menentang dan memusuhi pemerintah bangsanya!

Memang, iapun tahu bahwa ibunya adalah seorang pribumi, seorang wanita berbangsa Han, akan tetapi ayahnya adalah Kaisar berbangsa Nuchen, Kaisar Kerajaan Kin!

“Souw Thian Liong, benarkah engkau yang disohorkan orang dengan sebutan Si Naga Langit?” Pek Nio-cu bertanya sambil menatap tajam wajah pemuda itu.

Wajah Thian Liong berubah kemerahan. Dia merasa rikuh juga dengan namanya yang disohorkan orang itu. Semua sepak terjangnya hanya didorong sebagai kewajibannya semata, sama sekali bukan untuk mencari ketenaran nama. “Yah, begitulah orang-orang menyebut saya, padahal itu adalah nama aseli saya,” katanya malu-malu.

“Jadi engkau seorang pendekar yang malang melintang di dunia kang-ouw, menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan?”

“Akan kuusahakan semampuku untuk membela kebenaran dan keadilan yang sudah menjadi kewajibanku, Pek Hong Nio-cu. Memang untuk itulah aku dengan susah payah mempelajari ilmu silat.”

“Dan sebagai seorang Han, engkau berkewajiban pula untuk menentang dan memusuhi pemerintah Kerajaan Kin?” gadis itu mendesakkan pertanyaan ini. Akan tetapi Pek Hong Nio-cu memandang heran ketika pemuda itu menggeleng kepalanya lalu menghela napas.

“Kerajaan Sung Utara telah kalah dan kekalahan itu harus diakui. Urusan negara diselesaikan oleh negara melalui perang. Apa artinya bagi perorangan untuk melawan bala tentara negara? Tidak, Pek Hong Nio-cu, aku tidak mencampuri urusan negara. Mungkin kalau negaraku berperang, bisa saja aku membantu dan menjadi perajurit. Akan tetapi di luar itu, aku tidak mencampuri.

"Aku menentang bangsa apa saja yang bertindak sewenang-wenang dan jahat. Biar bangsaku sendiri, kalau dia melakukan kejahatan tentu akan kutentang dan biar bangsa apapun kalau dia berada di pihak benar dan tertindas, akan kubela. Aku setuju sekali dengan tindakanmu di kota Leng-ciu tadi, Pek Hong Nio-cu.”

“Tindakan yang mana?” tanya gadis itu, semakin tertarik.

“Engkau telah membela seorang gadis pribumi dengan keluarganya ketika diganggu pemuda-pemuda putera pembesar, bahkan menghajar para pengawal mereka, kemudian engkau memberi hajaran keras kepada dua orang pembesar Kerajaan Kin. Tindakanmu itu membuktikan bahwa engkau berjiwa pendekar dan bertindak membela kebenaran dan keadilan tanpa pandang bulu sehingga para pembesarmu sendiri, kalau-kalau mereka bersalah, kauhukum berat! Karena itulah aku merasa kagum sekali kepadamu, Pek Hong Nio-cu.”

Pek Hong Nio-cu mengerutkan alisnya. “Pembesarku? Apa maksudmu dengan kata itu, Souw Thian Liong?”

Thian Liong tersenyum. “Engkau tidak perlu bersembunyi lagi, Pek Hong Nio-cu. Aku sekarang dapat menduga siapa engkau sebenarnya.”

“Hemm, begitukah? Coba katakan, siapa aku?” kata gadis itu dengan kepala ditegakkan, anggun menantang.

“Engkau tentu seorang puteri bangsawan yang berkedudukan tinggi sekali, dan kalau aku tidak keliru menduga, engkau tentu puteri dari istana, puteri Kaisar Kerajaan Kin sendiri.”

Sepasang alis itu berkerut, sepasang mata itu berkilat, dan hati Pek Hong Nio-cu semakin tertarik. Selama ini tidak ada orang yang tahu bahwa ia adalah puteri kaisar. Ketika ia memperlihatkan pedang bengkok, dua orang pembesar itupun hanya tahu bahwa ia mempunyai kekuasaan dari kaisar untuk menghukum siapa saja yang bersalah akan tetapi merekapun tidak tahu sama sekali bahwa ia sesungguhnya adalah puteri kaisar.

“Bagaimana engkau dapat menduga begitu, Souw Thian Liong?” tanyanya.

“Mudah saja. Sikapmu begitu anggun dan agung dan sikap seperti ini jelas menunjukkan bahwa engkau seorang puteri bangsawan tinggi. Kemudian, setelah engkau memperlihatkan pedang bengkok itu kepada dua orang pembesar brengsek, mereka berlutut ketakutan. Berarti pedang itu menjadi tanda kekuasaanmu yang amat tinggi.

"Setelah engkau mencabut pedang itu dan kita bertanding, aku melihat ukiran naga emas pada pedang bengkok itu dan ternyata pedang itu juga merupakan pedang pusaka yang mampu beradu dengan pedangku. Ukiran naga emas hanyalah patut dimiliki seorang kaisar.

"Maka mudah menduga bahwa tentu engkau mendapatkan pedang itu dari Kaisar sendiri. Demikianlah, aku dapat menduga bahwa engkau adalah puteri Kaisar Kerajaan Kin, melihat bahwa pakaianmu adalah pakaian seorang puteri bangsa Kin, Pek Hong Nio-cu.”

Pek Hong Nio-cu kini memandang kagum kepada pemuda itu. Harus ia akui bahwa dalam hal ilmu silat, ia masih kalah jauh dibandingkan pemuda itu dan ternyata pemuda itu juga cerdik sekali sehingga dapat menduga bahwa ia adalah puteri kaisar sendiri.

“Hemm, kiranya engkau selain lihai ilmu silatmu, juga mempunyai pikiran yang amat cerdik, Souw Thian Liong. Aku girang dapat berkenalan dengan seorang pandai sepertimu, apa lagi aku sudah mendengar bahwa engkau adalah seorang pendekar penentang kejahatan yang dikenal sebagai Si Naga Langit!” Puteri itu kini memandangnya dengan senyum manis. Hilang kini kesan angkuh dan galak dan wajah itu menjadi cantik jelita dan manis sekali.

Kembali Thian Liong terheran-heran karena dia ingat benar bahwa gadis di depannya itu adalah wajah Ang Hwa Sian-li Thio Siang In! Pandang mata penuh keheranan dan penasaran dari mata pemuda itu agaknya dapat terlihat oleh sang puteri.

“Hei, Souw Thian Liong! Kenapa engkau memandangku seperti itu?” ia menegur, alisnya berkerut.

Thian Liong menyadari keadaannya dan ia cepat menjura dengan hormat. “Maafkan saya, tuan puteri..!”

“Hushh... jangan sebut aku seperti itu. Biarpun engkau sudah mengetahui siapa aku sebenarnya, jangan sebut-sebut itu dan anggap saja engkau berhadapan dengan Pek Hong Nio-cu, seorang pendekar wanita biasa, bukan seorang puteri kaisar!”

Thian Liong tersenyum maklum. “Baiklah, Pek Hong Nio-cu, dan maafkan aku tadi yang memandangmu dengan penuh perasaan heran dan juga penasaran. Sesungguhnyalah, wajahmu, gerak-gerikmu, tiada bedanya sedikitpun dengan Ang Hwa Sian-li Thio Siang In. Kalau engkau mengaku bahwa engkau adalah Thio Siang In yang menyamar, aku tentu percaya sepenuhnya.”

Pek Hong Nio-cu memandang penuh selidik dan tampaknya ia tertarik sekali. “Hemm, coba perhatikan dengan seksama. Sama benarkah aku dengan gadis bernama Ang Hwa Sian-li Thio Siang In itu?”

“Sungguh mati, sama sekali tidak ada bedanya. Bahkan tahi lalat di ujung bibir itu sama benar! Wajah dan bentuk tubuh serupa, sedikitpun tiada bedanya. Yang beda hanyalah pakaian dan ilmu silat berikut senjatanya, juga gaya bahasanya.”

“Bagaimana perbedaannya?”

“Ang Hwa Sian-li Thio Siang In itu berpakaian serba hijau dan rambutnya terhias bunga mawar merah. Senjatanya juga sebatang pedang dan gerakan silatnya sungguh berbeda dengan gerakanmu, ilmu silatnya bersifat keji seperti biasa dimiliki golongan sesat. Akan tetapi ia sendiri bukan seorang gadis jahat yang sesat. Bukan, ia juga berjiwa pendekar, hanya agak keras dan galak dan gaya bicaranya seperti logat orang-orang dari daerah barat.”

“Ia itu seorang.... sahabat baikmu?” tanya Pek Hong Nio-cu yang kini duduk di atas sebuah batu di tepi jalan.

Thian Liong juga duduk di atas sebatang akar pohon yang menonjol di atas tanah. “Tidak juga, secara kebetulan saja kami saling jumpa ketika aku berkunjung ke Bu-tong-pai dan melerai perkelahian antara ia dan pihak Bu-tong-pai karena salah paham.”

Dengan singkat dia lalu menceritakan tentang perjumpaannya dengan Ang Hwa Sian-li di Bu-tong-pai di mana gadis itu berselisih dengan orang-orang Bu-tong-pai karena kesalah-pahaman mereka.

“Hemm, kalau begitu gadis itu jelas bukan aku karena aku belum pernah pergi berkunjung ke Bu-tong-pai,” kata Pek Hong Nio-cu. “Akan tetapi tadi engkau mengira aku seorang gadis yang mencuri kitab pusakamu. Apa artinya itu? Apakah Thio Siang In itu mencuri kitab pusakamu?”

“Bukan, bukan Ang Hwa Sian-li Thio Siang In yang mencuri kitab itu. Akan tetapi seorang gadis cantik lain. Tadinya aku mengira engkau adalah ia karena perawakan kalian mirip. Gadis itu berpakaian serba merah muda, juga cantik jelita, cerdik, galak. Gerakan ilmu silatnya seperti berdasarkan ilmu silat Tibet. Ia lihai sekali dan ia telah mencuri kitab pusaka Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat, kitab pusaka yang seharusnya kuserahkan kepada pemiliknya yang sah, yaitu Kun-lun-pai. Akan tetapi kitab itu dicurinya dan aku sekarang sedang mencari gadis itu untuk merampas kitab itu kembali.”

“Wah, Souw Thian Liong! Agaknya dimana-mana engkau selalu bentrok dengan gadis-gadis cantik yang lihai! Tadi engkau juga mengatakan bahwa engkau bentrok dengan Thio Siang In itu karena ia juga ingin pinjam kitab!”

Thian Liong menghela napas panjang. “Memang nasibku yang buruk. Thio Siang In hendak memaksa pinjam kitab Sam-jong Cin-keng yang harus kuserahkan kepada Siauw-lim-pai. Maka kami bertanding dan aku menyesal sekali kenapa aku harus selalu bertanding dengan gadis cantik yang lihai. Dan sekarang di sini aku harus bertanding pula melawan engkau, Pek Hong Nio-cu. Aahhh, agaknya sudah nasibku harus dibenci semua gadis cantik yang lihai.”

“Akan tetapi aku tidak benci padamu, Souw Thian Liong. Aku bahkan kagum padamu. Akan tetapi untuk apa sih engkau membagi-bagikan kitab? Kepada Bu-tong-pai dan kepada Siauw-lim-pai, mungkin kepada partai persilatan lain? Kenapa engkau membagi-bagikan kitab kepada mereka?”

Mendengar kata-kata itu, Thian Liong tersenyum dan hatinya merasa girang. Gadis baju merah itu telah mencuri kitab milik Kun-lun-pai sehingga dia kini harus bersusah payah mencarinya, padahal dia tidak tahu siapa nama gadis itu dan di mana tempat tinggalnya.

Dan Ang Hwa Sian-li Thio Siang In juga hendak memaksa pinjam kitab yang bukan miliknya sehingga terpaksa mereka harus bertanding dan gadis itu pergi dengan menangis dan benci kepadanya. Akan tetapi gadis ini, puteri kaisar Kerajaan Kin tidak benci kepadanya bahkan mengatakan kagum!

“Terima kasih, Pek Hong Nio-cu. Senang hatiku mendengar bahwa engkau tidak benci kepadaku. Baiklah kuceritakan mengapa aku membagi-bagi kitab kepada para pimpinan partai persilatan. Semua itu adalah atas perintah guruku. Ketika aku turun gunung, suhu menyerahkan tiga buah kitab kepadaku untuk diberikan kepada pemiliknya, masing-masing.

"Yaitu kitab Sam-jong Cin-keng kepada Siauw-lim-pai, kitab Kiauw-ta Sin-na kepada Bu-tong-pai, dan kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat kepada Kun-lun-pai. Tiga buah kitab itu tadinya dicuri orang dari pemiliknya masing-masing dan kebetulan suhu yang dapat menemukannya kembali dan menyuruh aku mengembalikannya kepada yang berhak.

"Akan tetapi di tengah jalan, gadis baju merah yang tidak kukenal itu telah mencuri Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat milik Kun-lun-pai. Kitab Sam-jong Cin-keng sudah kuserahkan kepada Siauw-lim-pai dan demikian pula kitab Kiauw-ta Sin-na kukembalikan kepada Bu-tong-pai.

"Tadinya Ang Hwa Sian-li Thio Siang In hendak pinjam kitab Sam-jong Cin-keng milik Siauw-lim-pai dengan paksa kepadaku, akan tetapi kutolak sehingga kami bertanding dan ia pergi dengan meninggalkan kebencian kepadaku. Sekarang, terpaksa aku harus mencari gadis baju merah untuk minta kembali kitab milik Kun-lun-pai itu.”

“Hemm, siapakah gurumu itu, Thian Liong?”

“Guruku dikenal sebagai Yok-sian (Tabib Dewa) bernama Tiong Lee Cin-jin.”

“Ahh, manusia sakti yang dikabarkan setengah dewa itu? Aku sudah mendengar akan nama besarnya! Pantas engkau begini lihai, kiranya engkau murid Si Tabib Dewa itu. Kau tahu, Thian Liong, ketika di istana ayahku terjangkit penyakit yang amat berbahaya sehingga banyak yang sakit pagi, sorenya mati dan sakit sore paginya mati, Si Tabib Dewa itu melayang di atas kota raja dan membagi-bagikan obat penawar penyakit. Tak seorangpun melihatnya dengan jelas, hanya melihat bayangannya saja berkelebat ketika dia meninggalkan obat itu.”

Thian Liong mengangguk-angguk. Dia percaya cerita itu karena memang gurunya sering melakukan hal-hal yang aneh dan dia tahu bahwa bagi gurunya, semua manusia itu, bangsa apapun juga, sama saja dan siap menjulurkan tangan menolong.

“Suhu memang selalu siap menolong siapapun juga,” katanya pendek.

“Wah, melihat engkau membagi-bagikan ilmu silat, aku jadi teringat kepada Paman Sie!”

Thian Liong memandang wajah yang cantik jelita itu dan bertanya, “Paman Sie? Siapakah dia?”

Pek Hong Nio-cu menggeleng kepala dan tersenyum. “Entahlah, kata Ibuku, dia sahabat baik ibuku dahulu dan dia juga guruku karena seperti juga engkau, dia membagi tiga buah kitab kepadaku. Akan tetapi dia jauh lebih tua daripada engkau, Thian Liong.”

“Nio-cu, setelah aku mengetahui bahwa engkau sesungguhnya puteri kaisar Kerajaan Kin, bolehkah aku mengetehui siapa namamu?”

“Namaku adalah Puteri Moguhai.”

“Dan gurumu?”

“Sudah kukatakan, guruku terakhir adalah Paman Sie yang memberi tiga buah kitab kepadaku dan aku melatih sendiri ilmu-ilmu dari tiga kitab itu. Guru yang pertama, yang mengajarkan ilmu silat dasar kepadaku adalah jagoan-jagoan istana.”

Thian Liong mengangguk-angguk. “Pemanmu itu tentu seorang yang berilmu tinggi. Terus terang saja, Pek Hong Nio-cu, kalau ilmu sabuk dan ilmu pedangmu itu kau latih di bawah bimbingan seorang guru pandai, tentu engkau akan menguasainya dengan baik dan kurasa dengan itu akan sukar dicari orang yang akan mampu menandingimu. Ilmu-ilmumu itu kulihat tadi amat hebat, dahsyat dan sulit sekali diduga perubahannya, hanya sayang engkau belum menguasainya secara matang."

“Tepat sekali dugaanmu, Thian Liong. Aku merasa girang bertemu denganmu dan kuharap engkau dapat memberi petunjuk kepadaku.”

“Ah mana mungkin, Nio-cu? Yang dapat memberi petunjuk tentu hanya pamanmu itu yang tentu sudah menguasai tiga kitab yang diberikan kepadamu.”

“Sekarang, engkau hendak pergi ke mana, Thian Liong...?”

Jilid selanjutnya,
KISAH SI NAGA LANGIT JILID 15
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.